Upload
irlanfery81
View
130
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENDAPATANASLI DAERAH SERTA PENINGKATAN PAJAK ASLI DAERAH
DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN
Oleh : Irlan Fery.SE.M.Si*
ABSTRACTPembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah
(daerah) dan masyarakatnya serta kesempatan kerja merupakan peluangbagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber dayaekonomi dalam proses produksi untuk memperoleh pendapatan, dan daripendapatan ini selanjutnya akan menimbulkan daya beli masyarakat sertamenimbulkan pasar yang cukup besar yang pada akhirnya penduduk akanmemperoleh kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi adalah merupakan suatuproses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto atau pendapatannasional riil, pertumbuhan ekonomi itu terjadi apabila ada kenaikan outputperkapita. Pertumbuhan ekonomi menekankan pada tiga aspek, yaitu suatuproses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus, usaha untukmenaikkan pendapatan perkapita, dan kenaikan pendapatan per kapita ituharus terus berlangsung dalam jangka panjang. Ketiga aspek ini,sesungguhnya pertumbuhan ekonomi memberi indikasi tentang aktvitasperekonomian atau tambahan pendapatan bagi masyarakat yang tejadi padasuatu negara atau daerah pada suatu periode tertentu. Atas dasar tersebut,maka pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untukmenganalisis pembangunan ekonomi di suatu negara atau daerah. Periodewaktu yang dapat dijadikan acuan bahwa, indikator pertumbuhan ekonomidapat dilihat berdasarkan kurun waktu tertentu, misalnya selama pelita (limatahun) atau periode tertentu (dekade), dan dapat pula secara tahunan.
Key Words: Pertumbuhan Ekonomi, PAD, PajakAsli Daerah Muba.
Latar BelakangPembangunan dalam tiga dasawarsa di negara sedang berkembang
menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat dilapisan bawah tidak
senantiasa dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan,
bahkan dibanyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar.
Kenyataan ini, membuktikan bahwa strategi pembangunan yang terlalu
“GNP-oriented” tidak memberikan pemecahan mengenai masalah kemiskinan
2
(keterbelakangan). Todaro (1997 :14) menyatakan bahwa tujuan utama dari
usaha-usaha pembangunan ekonomi selain upaya menciptakan
pertumbuhan yang setinggi-tingginya, pembangunan harus pula berupaya
untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan
pendapatan, dan tingkat pengangguran atau upaya menciptakan kesempatan
kerja bagi penduduk, karena dengan kesempatan kerja penduduk atau
masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Arsyad (1999:108) menyatakan pembangunan ekonomi (daerah)
adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola
sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah (daerah) dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja atau kesempatan kerja berdasarkan pertumbuhan ekonomi.
Kesempatan kerja merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan
fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk
memperoleh pendapatan, dan dari pendapatan ini selanjutnya akan
menimbulkan daya beli masyarakat serta menimbulkan pasar yang cukup
besar yang pada akhirnya penduduk akan memperoleh kesejahteraan
(Soeroto, 1986:31).
Syafrizal (1997:27-38) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah
mengusahakan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh propinsi
(daerah) yang bersangkutan, mengingat potensi masing-masing daerah
bervariasi maka sebaiknya masing-masing daerah harus menentukan
kegiatan sektor dominan (unggulan). Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk melihat spesialisasi dan daya saing untuk meningkatkan keunggulan
komparatif (comparative advantage) suatu sektor ekonomi disuatu daerah
adalah melalui rasio kontribusi dan rasio pertumbuhan masing-masing sektor
disuatu daerah terhadap jumlah output total (PDRB) di wilayah studi dan di
wilayah referensinya (Yusuf, 1999:219-233).
3
Perubahan politik akhir-akhir ini nampaknya menciptakan peluang-
peluang bagi kehidupan sosial ekonomi. Hal tersebut setidaknya tercermin
dari lahirnya paket perundangan yang terdiri dari Undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 25
tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Garis besar yang ingin dicapai adalah motivasi dan komitmen untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan struktural, beragam distorsi dan
pelanggaran hukum, sementara ruang lingkup ( dan harapan ) spesifik yang
hendak dituju adalah mengalirnya investasi efektif, bergairahnya aktivitas
perekonomian, dan meningkatnya kesejahteraan diseluruh penjuru wilayah
dengan didukung oleh good governance (Nugroho, 2000:103). Implikasi
terpenting bagi daerah dengan diberlakukannya kedua Undang-undang
tersebut adalah daerah memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk
mengatur, mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi secara mandiri,
sehingga ketimpangan distribusi pendapatan antar masyarakat secara
bertahap dapat diperkecil.
Wewenang dan tanggungjawab yang besar tersebut harus seimbang
dengan sumber pendapatan yang memadai agar sejumlah urusan yang
didesentralisasikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Kenyataanya,
berdasarkan Undang-undang nomor 25 tahun 1999, khususnya menyangkut
dana perimbangan yang diharapkan mampu mendukung pelaksanaan
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 masih diragukan kemampuannya.
Apakah besar dana ini menjamin pelaksananaan urusan yang diserahkan ke
daerah secara efisien?.
Di sisi lain, otonomi menuntut kemandirian daerah diberbagai bidang,
termasuk kemandirian dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di
daerahnya. Kabupaten Muba, jika dilihat dari kemandirian dalam pendanaan
pembangunan mungkin masih perlu dipertanyakan. Dilihat dari kemampuan
pendapatan asli daerah (PAD), dimana rata-rata kontribusi PAD terhadap
pendapatan daerah.
4
Hal ini menyebabkan penerimaan yang dibutuhkan untuk membiayai
pembangunan masih sangat tergantung pada penerimaan yang bersumber
dari sumbangan dan bantuan pemerintah pusat atau propinsi. Oleh karena itu
untuk meningkatkan kemandirian daerah perlu dilihat pajak-pajak daerah
yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana
meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan PAD melalui
komponen penerimaan pajak daerah berbasis konsumsi yang berhubungan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Pengertian Pertumbuhan EkonomiMenurut Wijaya (1992 : 640), pertumbuhan ekonomi adalah
merupakan suatu proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto atau
pendapatan nasional riil, pertumbuhan ekonomi itu terjadi apabila ada
kenaikan output perkapita. Boediono (1981 : 1) secara singkat menyatakan
pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam
jangka panjang. Berdasarkan kedua definisi tersebut jelas bahwa
pertumbuhan ekonomi menekankan pada tiga aspek, yaitu suatu proses yang
berarti perubahan yang terjadi terus-menerus, usaha untuk menaikkan
pendapatan perkapita, dan kenaikan pendapatan per kapita itu harus terus
berlangsung dalam jangka panjang. Ketiga aspek ini, sesungguhnya
pertumbuhan ekonomi memberi indikasi tentang aktvitas perekonomian atau
tambahan pendapatan bagi masyarakat yang tejadi pada suatu negara atau
daerah pada suatu periode tertentu. Atas dasar tersebut, maka pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis
pembangunan ekonomi di suatu negara atau daerah. Periode waktu yang
dapat dijadikan acuan oleh Widodo (1990 : 35) disebutkan bahwa, indikator
pertumbuhan ekonomi dapat dilihat berdasarkan kurun waktu tertentu,
misalnya selama pelita (lima tahun) atau periode tertentu (dekade), dan dapat
pula secara tahunan.
Teori pertumbuhan ekonomi wilayah
5
Menurut Hoover (1975 : 217) ada beberapa faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu. Faktor-faktor tersebut yaitu:
“regional growth and change entail complex interactions among activities
within the regional economy, so it is not reasonable to expact that any single
initial cause of such change can be identified. Some theories of development,
however, emphasize certain kinds of change as especially independent,
exogenous, primary or causal (all these terms mean much the same) In
particular, we shall see that the external demand for a region’s exports and its
supply of labor and other production factors have been stressed as prime
mover in same widely accepted theories of regional development”.
Searah dengan Hoover, bahwa untuk mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi daerah perlu ditentukan prioritas pembangunan
daerah (Syafrizal, 1997:35-36). Kebijakan yang perlu di lakukan adalah
mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh propinsi atau daerah yang
bersangkutan.
Lebih lanjut, Perloff dan Wingo mengatakan bahwa pengambangan
ekonomi wiliyah tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki dan
permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan oleh sumber daya alam itu
(Soegijoko, 1997 : 124-222). Dalam jangka pendek, sumber daya alam yang
dimiliki merupakan suatu asset untuk memproduksi barang dan jasa yang
dibutuhkan. Pemanfaatan sumber daya alam dapat menumbuhkan zona
industri yang akan memberikan nilai tambah (value added) kepada sektor
industri yang menghasilkan barang setengah jadi, di samping itu, juga
meluaskan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan terutama bagi
masyarakat setempat sehingga akan berpengaruh pada pembangunan
ekonomi suatu daerah. Upaya pengembangan wilayah melalui usaha
pengembangan sumber daya alam dapat dikategorikan dalam tiga alternatif
pengembangan sebagai berikut.
6
1. Sebagai pusat pertumbuhan (growth center) pada umumnya untuk bahan
galian dengan jumlah cadangan besar. Dalam proses produksi bersifat
padat modal dan padat teknologi.
2. Sebagai pendukung sektor lain (integrative) akan menciptakan rangkaian
proses secara lintas sektoral (backward dan forward linkages).
3. Sebagai perangsang pengembangan wilayah sektor lainnya dengan
terbangunnya berbagai prasarana dasar wilayah yang dapat pula
menunjang pengembangan sektor lainnya.
Selanjutnya, ia juga menegaskan bahwa dampak dari pengembangan
ketiga alternatif di atas yaitu:
1. dampak fisik, antara lain mendukung penyusunan rencana tata ruang
wilayah dan keseimbangan lingkungan dalam pengembangan wilayah,
serta mendukung penyediaan bahan baku bagi pembangunan prasarana
dan sarana, bahan baku industri dan pengembangan pemukiman;
2. dampak non fisik antara lain :
a. diversifikasi komoditas regional ke arah spesialisasi untuk
meningkatkan keunggulan komparatif dalam perdagangan antar
daerah;
b. mendukung transforrmasi struktur ekonomi daerah secara dinamis,
antar sektor primer, sekunder dan tersier;
c. penciptaan kutub pertumbuhan (growth poles) dengan dampak
perluasan kesempatan kerja yang diharapkan mampu menekan
urbanisasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat;
d. meningkatkan pendapatan daerah (PDRB);
e. dukungan terhadap keterkaitan antar daerah dalam
optimasi/konfigurasi supply-demand komoditas tertentu.
Pendapatan asli daerah (PAD)Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 khususnya pada
Bab III, pasal 4 ditegaskan bahwa sumber pendapatan asli daerah meliputi
7
komponen hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pengertian pajak daerah menurut Undang-undang Nomor 18 tahun
1997 pada pasal 1 ayat 6 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah.
Berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 1997 jenis pajak daerah
yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota yang basis pajaknya
berhubungan dengan pendapatan masyarakat (PDRB) sebagai berikut.
a. Pajak pembangunan I (pajak hotel dan restoran) adalah pajak atas
pelayanan hotel dan restoran. Tarif pajak ini dikenakan atas jumlah
pembayaran yang dilakukan kepada hotel dan atau restoran. Dasar basis
pemungutan pajak ini adalah (penjualan) konsumsi.
b. Pajak hiburan (totonan) adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
Tarif pajak hiburan/tontonan dikenakan atas jumlah pembayaran atau
yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.
Dasar basis pemungutan pajak ini adalah penjualan (konsumsi).
c. Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.Tarif pajak ini
dikenakan atas nilai sewa reklame, yang didasarkan atas nilai jual objek
pajak reklame dan nilai strategis pemasangan reklame. Dasar basis
pajak ini adalah penggunaan/pemakaian dan penjualan (konsumsi).
d. Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik,
dengan ketentuan bahwa di daerah tersebut tersedia penerangan jalan,
yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Tarif pajak
penerangan jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik yang terpakai.
Dasar basis pajak ini adalah penjualan (konsumsi).
8
Hubungan antara pajak daerah dengan PDRBHubungan PAD (pajak daerah) dengan PDRB merupakan hubungan
secara fungsional, karena PAD merupakan fungsi dari PDRB. Dengan
meningkatnya PDRB akan menambah penerimaan pemerintah untuk
pembangunan program-program pembangunan. Selanjutnya akan
mendorong peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang
diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat yang
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kembali. Dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masyarakat,
maka akan mendorong kemampuan masyarakat untuk membayar pajak dan
pungutan lainnya.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Peacock dan Wiseman tahun
1961 berpendapat, perkembagan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak
yang semakin meningkat, dan semakin meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat (lihat
Mangkoesoebroto, 1998 : 173).
Selanjutnya, Miller dan Russex (1997 : 213 – 237), meneliti pengaruh
struktur fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pusat dan daerah di Amerika
Serikat yang mengalami defisit anggaran. Dengan menggunakan alat analisis
random effects model, hasil penelitian mereka adalah : pertama, peningkatan
surplus anggaran akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini hanya dapat
tercapai apabila pajak pendapatan perusahaan (corporates income tax)
ditingkatkan dan pengeluaran sektor pendidikan, transportasi publik dapat
ditekan. Kedua, pajak penjualan (sales tax) dan pajak lainnya digunakan
untuk trasfer payment, maka pertumbuhan ekonomi akan menurun,
sebaliknya jika pajak pendapatan perusahaan yang digunakan untuk trasfer
payment, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Ketiga, pajak
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, jika digunakan untuk
membiayai pendidikan, trasportasi publik dan keamanan publik.
9
Kneller, dkk. (1999 : 171 – 190), dengan menggunakan alat analisis
random effects model, meneliti tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi pada 22 negara anggota OECD. Hasil penelitian
menyimpulkan : pertama, penerimaan pajak pendapatan dan keuntungan,
pajak keamanan sosial, pajak upah tenaga kerja dan pajak kekayaan
menurunkan pertumbuhan ekonomi, sebaliknya penerimaan pajak atas
barang dan pelayanan domestik bepengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah yang bersifat produktif yaitu
pengeluaran pelayanan publik umum, pengeluaran untuk pertahanan,
pengeluaran pendidikan, pengeluaran kesehatan, pengeluaran untuk
perumahan dan pengeluaran untuk trasportasi dan komunikasi berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pengeluaran pemerintah
non produktif yaitu pengeluaran keamanan dan kesejahteraan sosial,
pengeluaran untuk rekreasi dan pengeluaran untuk pelayanan ekonomi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Implikasi kebijakan yang paling penting dari hasil penelitian tersebut
adalah bagaimana mendorong peningkatan penerimaan melalui pajak dan
secara tepat menggunakan penerimaan tersebut pada pengeluaran-
pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. MRP dibagi menjadi dua yaitu rasio pertumbuhan wilayah referensi
(RPR) dan rasio pertumbuhan wilayah studi (RPS). Dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan wilayah referensi adalah Propinsi SUMSEL, sedangkan
yang dimaksud dengan wilayah studi adalah Kabupaten Muba (dalam
konteks wilayah). Rumus RPR dan RPS tersebut yaitu:
RPR = (EiR / EiR(t) ) / (ER / ER(t)) -------------------------------------------------
(2.1)
Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPR) merupakan perbandingan
antara pertumbuhan pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah referensi dengan
pertumbuhan pendapatan (PDRB) total di wilayah referensi (EiR)
10
merupakan PDRB sektor i tahun akhir di wilayah referensi dikurang PDRB
sektor i tahun awal di wilayah referensi (EiR(t)), kemudian dibagi PDRB
sektor i tahun awal di wilayah referensi, hasilnya adalah merupakan
pertumbuhan PDRB sektor i di wilayah referensi, sedangkan ER= ER(t+n)–
ER(t) atau perubahan pendapatan (PDRB) total diwilayah referensi (ER)
merupakan PDRB total tahun akhir diwilayah referensi (ER(t+n)) dikurangi
PDRB total tahun awal di wilayah referensi (ER(t)), kemudian dibagi dengan
PDRB total tahun awal di wilayah referensi (ER(t)), hasilnya disebut
pertumbuhan total di wilayah referensi.
Nilai RPR yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah merupakan
perbandingan antara rata-rata pertumbuhan PDRB sektor i di wilayah
referensi dengan rata-rata pertumbuahan PDRB total diwilayah referensi,
sedangkan untuk menghitung rata-rata rasio pertumbuhan wilayah studi
(RPS) yaitu:
RPS = (Eij / Eij(t)) / (EiR / EiR(t) -----------------------------------------------------
(2.2)
Rasio pertumbuhan wilayah studi (RPS) merupakan perbandingan
antara pertumbuhan PDRB sektor i di wilayah studi dengan pertumbuhan
PDRB sektor i di wilayah referensi, di mana Eij = Eij(t+n)–Eij(t) dan
EiR = EiR(t+n) – EiR(t).
Apabila nilai RPR>1 maka RPR positif (+) dan jika RPR<1 disebut
negatif (-).RPR positif menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu sektor
tertentu dalam wilayah referensi lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB total
wilayah referensi, dan sebaliknya jika RPR negatif (-). Demikian juga dengan
RPS, jika nilai RPS > 1 maka RPS positif (+) dan RPS < 1, maka
dikatakan RPS negatif (-). RPS positif (+) menunjukkan bahwa suatu sektor
pada tingkat wilayah studi lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
sektor tersebut pada wilayah referensi, dan sebaliknya, jika RPS positif (-).
11
Dari analisis MRP akan diperoleh nilai riil dan nominal, kemudian kombinasi
dari kedua perbandingan tersebut akan diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi
yang potensial pada tingkat wilayah studi dengan empat klasifikasi, yaitu: (1)
nilai RPR positif (+) dan nilai RPS positif (+) berarti sektor tersebut
mempunyai pertumbuhan menonjol baik pada wilayah referensi maupun
wilayah studi,dan sektor ini disebut sebagai sektor dominan pertumbuhan; (2)
nilai RPR positif (+) dan nilai RPS negatif (-) berarti sektor tersebut
mempunyai pertumbuhan menonjol pada wilayah referensi tetapi belum
menonjol pada wilayah studi; (3) nilai RPR negatif (-) dan nilai RPS positif (+)
berarti sektor tersebut pada wilayah referensi pertumbuhannya tidak
menonjol, akan tetapi wilayah studi pertumbuhan sektor tersebut menonjol;
(4) nilai RPR negatif (-) dan nilai RPS negatif (-) berarti sektor tersebut baik
pada wilayah referensi dan pada wilayah studi mempunyai pertumbuhan
rendah.
Selanjutnya, untuk menunjukkan sektor basis ekonomi pada wilayah studi
akan digunakan location quotient (LQ). Perhitungan nilai LQ menggunakan
rumus sebagai berikut (Arsyad, 1997 : 291).
LQ = (Xij / Xj) / (XiR /XR ) ---------------------------------------------------------------
(2.3)
LQ adalah sektor basis (keunggulan komparatif) di wilayah studi merupakan
hasil perbandingan antara PDRB sektor i di wilayah studi dibagi PDRB total di
wilayah studi dengan PDRB sektor i di wilayah referensi dibagi PDRB total di
wilayah referensi. Apabila nilai LQ > 1 maka sektor tersebut disebut sektor
basis, apabila LQ<1 maka wilayah studi tersebut tidak dapat “mengekspor”
atau output sektor tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
wilayah studi tersebut, dan LQ = 1 maka peranan ralatif suatu sektor yang
bersangkutan dalam wilayah studi tersebut adalah sama dengan peranan
relatif suatu sektor sejenis dalam wilayah referenasi.
12
Deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial dapat dilihat berdasarkan
kriteria MRP dan LQ, maka digunakan alat yang disebut dengan analisis
overlay. Dari deskrisi tersebut ada empat kemungkinan. Pertama, MRP (+)
dan LQ (+) menunjukkan suatu sektor yang sangat dominan baik
pertumbuhan maupun kontribusi. Kedua, MRP (+) dan LQ (-) menunjukkan
suatu sektor yang pertumbuhannya dominan tetapi kontibusinya kecil. Ketiga,
MRP (-) dan LQ (+) menunjukkan suatu sektor yang pertumbuhannya kecil
tetapi kontribusinya besar. Keempat, MRP (-) dan LQ (-) menunjukkan bahwa
suatu sektor yang tidak potensial baik dari kriteria pertumbuhan maupun
kriteria kontribusi.
Berkaitan dengan pajak daerah yang memiliki hubungan positip
dengan pertumbuhan ekonomi, Fisher (1996:301) menegaskan bahwa ada
tiga dasar basis pemungutan pajak pusat dan daerah. Dasar basis
pemungutan berdasarkan pendapat Fisher meliputi pajak daerah maupun
pusat yang berbasis pada pendapatan dan perusahaan (income and
corporate), konsumsi (consumption), dan kekayaan (wealth). Rinciannya
dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Dasar Basis Pemungutan Pajak Pusat dan Daerah
No
Dasar Pajak yang dipungut
1. Pendapatan dan Perusahaan a. Pajak Pendapatan Perseorangan
b. Pajak Pendapatan Perusahaan
c. Pajak Nilai Tambah
d. Pajak Uang Pesangon
13
e.Pajak Asuransi Perusahaan
f. Pajak Lisensi
2. Konsumsi a. Pajak Penjualan
b. Pajak atas Pemakaian/Penggunaan
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Minuman Beralkohol
e. Pajak Produksi Tembakau
f. Pajak Hotel/Motel
g. Pajak Makanan Restoran
h. Pajak Telepon
i. Pajak Perjudian
3. Kekayaan a. Pajak Tanah/Bumi
b. Pajak Perumahan
c. Pajak Warisan
d. Pajak Transfer
Sumber : Fisher (2006:301)Berdasarkan pendapat Fisher tersebut, maka pajak pembangunan
I/hotel dan restoran, pajak hiburan/tontonan, pajak reklame, dan pajak
penerangan jalan dikategorikan pajak daerah yang berbasis pada konsumsi.
Searah dengan pendapat Fisher, ditegaskan bahwa dasar pemungutan
Pajak Penerangan Jalan adalah konsumsi listrik masyarakat (Devas
dkk.,1989:66). Boediono (1999:38-39) menjelaskan melalui persamaan
identitas C + S = Y. Fungsi yang pertama, C = cY disebut fungsi konsumsi
(consumption function), sedangkan fungsi yang kedua, S = sY disebut fungsi
tabungan (saving function). Khusus untuk bentuk konsumsi jangka pendek, C
= a + cY, dibedakan dua macam propensity to consume yaitu : (a) marginal
propensity to consume (MPC), yang didefinisikan sebagai perubahan
pengeluaran konsumsi yang disebabkan oleh perubahan tingkat pendapatan
(C/Y=c), dan (b) average propensity to consume (APC), yang didefinisikan
sebagai proporsi dari penghasilan yang dibelanjakan untuk konsumsi (C/Y =
14
a/Y + c). Implikasi dari fungsi tersebut jika dikaitkan dengan pajak daerah
yang berbasis pada konsumsi adalah bahwa keempat pajak tersebut
berhubungan dengan tingkat pendapatan total dari masyarakat (PDRB).
Reksoprayitno (1997:165-166) mengemukakan faktor-faktor yang cukup
besar peranannya dalam menentukan besar kecilnya pengeluaran konsumsi
suatu masyarakat ialah : (a) distribusi pendapatan nasional; (b) banyaknya
kekayaan masyarakat dalam bentuk alat-alat likuid; (c) banyaknya
barang-barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat; (d) kebijakan
finansial perusahaan-perusahaan; (e) kebijakan-kebijakan perusahaan dalam
pemasaran; (f) ramalan daripada masyarakat akan adanya perubahan tingkat
harga. Dalam hubungannya dengan fungsi konsumsi yang dinyatakan dalam
bentuk persamaan C = Co + cY atau C = Co + cYd, dapatlah kita katakan
bekerjanya faktor-faktor seperti kita sebutkan di atas akan terlihat dalam
bentuk berubahnya atau bergesernya fungsi konsumsi tersebut. Dengan kata
lain nilai nilai daripada intersept atau angka konstan Co dan atau tingginya
angka MPC akan mengalami perubahan sebagai akibat daripada bekerjanya
salah satu, beberapa atau keseluruhan daripada faktor-faktor tersebut.
Salah satu rencana jenis rencana implementasi adalah strategi
pembangunan yang intinya merupakan terobosan atau jalan pintas mencapai
tujuan pembangunan. Strategi pembangunan daerah yang strategis adalah
strategi yang diarahkan pada pengembangan suatu sektor ekonomi yang
mampu mempercepat proses pelipatgandaan produksi, pendapatan, dan
kesempatan kerja, dalam teori ekonomi konsep pelipatgandaan ini dikenal
multiplier. Glasson mengemukakan salah satu model yang berkaitan dengan
multiplier adalah economic base theory (Djamaluddin, 1996 : 33-43). Model
ini membagi kegiatan ekonomi daerah ke dalam dua sektor kegiatan yaitu
kegiatan mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan di luar perbatasan
ekonomi masyarakatnya atau untuk konsumsi orang-orang luar yang datang
pada daerah tersebut (basic activities) dan sektor kegiatan menyediakan
produknya untuk kebutuhan penduduk dalam daerahnya sendiri (non basic
15
activities). Secara implisit dalam pembagian ini terkandung hubungan sebab
dan akibat yang menciptakan teori economic base. Kenaikan dalam jumlah
basic activities dalam suatu daerah akan meningkatkan permintaan terhadap
barang dan jasa dalam region itu, dan mempengaruhi kenaikan dalam
non basic activities, oleh karena itu basic activities mempunyai peranan prime
mover, di mana setiap perubahan mempunyai multiplier effect pada
perekonomian daerah. Multiplier economic base ini biasanya dihitung dalam
pengertian lapangan kerja. Makin banyak total employment dalam basic
activities, maka multiplier makin tinggi pula. Kenaikan employment pada
suatu daerah ditentukan oleh jumlah pertumbuhan employment dalam basic
aktivities dikalikan dengan multiplier. Rumusnya adalah T = B(k), dimana
T = Perubahan dalam total employment, B = perubahan dalam basic
employment, dan k = employment multiplier.
Searah dengan Glasson, ditegaskan bahwa strategi pembangunan yang
berorientasi pada pengembangan sumber daya alam yang memiliki
spesialisasi untuk meningkatkan keunggulan komparatif suatu daerah, maka
akan menciptakan kutub pertumbuhan (growth poles) yang akan berdampak
pada perluasan kesempatan kerja yang diharapkan mampu menekan
urbanisasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Soegijoko,1997: 125).
Dengan terkumpulnya sektor-sektor basis atau unggulan dalam suatu
kawasan tertentu akan mendorong proses pertumbuhan ekonomi. Hal ini
terutama karena adanya keuntungan dari anglomerasi antara lain timbulnya
pola konsumsi yang berbeda, permintaan perumahan, pengangkutan dan
jasa pemerintah, berkembangnya berbagai jenis produsen dan pekerja-
pekerja terampil. Keuntungan dari proses anglomerasi tersebut berdampak
pada timbulnya berbagai kebutuhan (konsumsi) akibat kenaikan pendapatan
masyarakat (Y). Kenaikan Y ini kemudian meningkatkan permintaan agregat
(Z) melalui kenaikan pengeluaran konsumsi (C) . Kita ingat, C ini timbul
karena perilaku masyarakat yang tercermin pada fungsi konsumsinya
(apabila Yd naik dengan Y, maka pengeluaran konsumsi akan meningkat
16
dengan C = cYd = cW, dimana c adalah MPC). Selanjutnya melalui
proses multiplier C akan meningkatkan Z sebesar Z = 1/1-c * C atau
Z = 1/1-c * cYd = c/1-c * W ( Boediono, 1999 : 116). Kaitannya dengan
penerimaan pajak daerah yang berbasis pada konsumsi, maka secara
otomatis setiap konsumsi yang berkaitan dengan transaksi penjualan suatu
jasa/barang yang merupakan basis pajak daerah akan meningkatkan
penerimaan pajak daerah.
Elastisitas pajak daerahPajak yang dibahas dalam teori ekonomi makro adalah pajak
penghasilan (income tax). Pada penelitian mencoba menggunakan konsep ini
untuk menunjukkan hubungan kepekaan (elastisitas) pajak pembangunan I,
pajak hiburan/tontonan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan terhadap
pendapatan (PDRB). Parkin dan Bade (1992:117) menjelaskan melalui
persamaan identitas T = To + tY, artinya : (a) pajak terdiri dari dua bagian,
yaitu To, bagian yang autonomous, dan tY, bagian yang induced. Berarti
pajak mulai dikenakan pada waktu wajib pajak tidak mempunyai pendapatan,
dan pajak tersebut makin besar dengan meningkatnya pendapatan; (b) t
disebut marginal propensity to tax atau tax rate yang berarti tingkat
perpajakan (MPT=T/Y); (c) t juga disebut slope kurva pajak (elastisitas),
sedangkan T= tY artinya: (a) pajak hanya terdiri dari bagian yang induced,
berarti hanya dikenakan pada wajib pajak yang memiliki pendapatan, yang
tidak memiliki pendapatan tidak dikenakan pajak; (b) semakin besar
pendapatan, semakin besar pula pajak.
Berdasarkan teori tersebut, maka kita dapat mencari tingkat pajak
(tax rate) dari pajak daerah tersebut yaitu dengan membentuk fungsi PAD
(pajak daerah) = f(Y). Mengacu pada fungsi tersebut, maka kita dapat melihat
tingkat elastisitas penerimaan pajak daerah terhadap PDRB (Y). Perhitungan
elastisitas ini mampu menunjukkan kemampuan daerah untuk menghasilkan
tambahan pendapatan agar dapat mengimbangi kenaikan dalam
17
pengeluaran pemerintah dengan dasar pengenaan pajak daerah tersebut
secara otomatis. Berkaitan dengan perhitungan elastisitas atas pajak, Devay
(1988) mengungkapkan bahwa nilai elastisitas ini mempunyai dua dimensi,
yaitu : pertama, menunjukkan pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan
pajak; kedua, menunjukkan aspek kemudahan dalam memungut pajak
tersebut.
Selanjutnya, untuk melihat kepekaan antara pertumbuhan pajak daerah
terhadap PDRB dapat diketahui melalui elastisitas sebagai berikut ( Parkin
dan Bade, 1992 : 117).
E = gi / gy ------------------------------------------------------------------------------------
(2.4)
Elastisitas pajak daerah di Kabupaten Lampung Utara merupakan
perbandingan rata-rata pertumbuhan pajak daerah atau gi dengan rata-rata
pertumbuhan PDRB atau gy. Apabila elastisitas lebih kecil dari satu (E < 1),
maka laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari laju pertumbuhan pajak
daerah, dan apabila elastisitas lebih besar dari satu (E > 1), maka laju
pertumbuhan pajak daerah lebih cepat dari laju pertumbuhan ekonomi.
Landasan TeoriPenelitian ini bertujuan untuk menguji pertumbuhan ekonomi terhadap
peningkatan penerimaan PAD melalui komponen pajak daerah berbasis
konsumsi, dan mengidentifikasi sektor basis atau andalan yang dapat
dikembangkan yang menekankan kepada struktur ekonomi berdasarkan
kriteria pertumbuhan dan kontribusi. Untuk dapat mencapai tujuan dimaksud
maka akan digunakan alat-alat model perhitungan sebagai berikut.
1. Pengujian terhadap pengaruh PDRB terhadap peningkatan penerimaan
pajak daerah berbasis konsumsi akan dilakukan dengan elastisitas.
Rumus elastisitas pajak daerah terhadap PDRB sebagai berikut (lihat
Parkin dan Bade, 1992 : 117).
18
E = gi / gy --------------------------------------------------------------------------------
(2.5)
di mana:
E = elastisitas pajak daerah terhadap PDRB,
gi = rata-rata laju pertumbuhan pajak daerah.
gy = rata-rata laju pertumbuhan PDRB.
2. Mengidentifikasi sektor basis atau andalan yang dapat di kembangkan
dalam rangka peningkatan PAD yang berasal dari pajak daerah.
Untuk mengetahui ada tidaknya keunggulan suatu sektor pada suatu
wilayah, maka dapat dilakukan suatu pengkajian atas kegiatan sektor yang
dimaksud berdasarkan rasio kontribusi dan pertumbuhannya dengan
menggunakan suatu alat yang dinamakan model rasio pertumbuhan
(MRP), location quotient (LQ), dan analisis overlay (Yusuf , 2000 : 26-30).
a. Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
RPR = (EiR / EiR(t)) / (ER / ER(t)) ---------------------------------------------
(2.6)
RPS = (Eij / Eij(t)) / (EiR / EiR(t) ------------------------------------------------(2.7)
di mana :
EiR = EIR (t + n) - EiR(t)
ER = ER (t + n) - ER(t)
Keterangan :
EiR = perubahan pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah referensi pada
periode waktu t dan t + n,
n = jumlah tahun antara dua periode,
ER = perubahan pendapatan (PDRB) total di wilayah referensi,
Eij = perubahan pendapatan (PDRB) total di wilayah studi,
EiR = pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah referensi,
19
Eij = pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah studi,
ER = pendapatan (PDRB) total di wilayah referensi.
b. Location quotients analysis
Perhitungan nilai LQ menggunakan rumus sebagai berikut
(lihat Arsyad, 1997 : 291).
LQ = (Xij / Xj) / (XiR /XR ) --------------------------------------------------------
(2.8)
di mana :
LQ = sektor basis (keunggulan komparatif) di wilayah studi,
Xij = PDRB sektor i di wilayah studi,
Xj = total PDRB di wilayah referensi,
XiR = PDRB sektor i di wilayah referensi,
XR = total PDRB di wilayah referensi.
c. Overlay analysis
Analisis overlay dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatam
ekonomi yang potensial berdasarkan kriteria MRP dan LQ. Berdasarkan
deskripsi tersebut ada empat kemungkinan yaitu : (1) MRP (+) dan LQ
(+) menunjukkan suatu sektor yang sangat dominan baik pertumbuhan
maupun kontribusi, (2) MRP (+) dan LQ (-) menunjukkan suatu sektor
yang pertumbuhannya dominan tetapi kontibusinya kecil, (3) MRP (-)
dan LQ (+) menunjukkan suatu sektor yang pertumbuhannya kecil tetapi
kontribusinya besar, (4) MRP (-) dan LQ (-) menunjukkan bahwa suatu
sektor yang tidak potensial baik dari kriteria pertumbuhan maupun
kriteria kontribusi.
Hipotesis
20
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori
tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
1) Pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh positif terhadap pajak
pembangunan I, pajak tontonan, pajak reklame dan pajak penerangan
jalan.
2) Sektor pertanian; sektor pertambangan dan penggalian; sektor industri
pengolahan; sektor listrik, gas dan air; sektor bangunan; sektor
perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi;
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa
di duga merupakan sektor unggulan atau memiliki kriteria LQ dan RPS
positif (+).
Alat AnalisisAlat analisis yang digunakan adalah regresi sederhana dengan bantuan
program eviews, elastisitas pajak daerah, analisis MRP melalui dua
pendekatan yaitu rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPR) dan rasio
pertumbuhan wilayah studi (RPS), analisis location quotient (LQ), dan analisis
overlay.
Hasil Analisis Data dan Pembahasan, Pertumbuhan PDRB, PAD, PajakDaerah dan Komponennya
Berdasarkan hasil analisis data pada tabel dan gambar 3.1 terlihat
bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Musi Banyuasin selama periode
analisis cenderung mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi
selama periode analisis sebesar 2,48 % pertahun. Penurunan pertumbuhan
ekonomi dari 8,41 % pada tahun 1995 menjadi 6,98 % pada tahun 1996
terutama disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan sektor industri dari
16,09 % pada tahun 1995 menjadi 4,82 % pada tahun 1996. Pada tahun
1997 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup tinggi,
dengan rata-rata pertumbuhan 2,34 %. Penurunan tersebut, terjadi hampir
21
pada seluruh sektor, bahkan sektor pertanian mengalami pertumbuhan -0,34
%, sedang sektor yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor
industri sebesar 12,94 % dan sektor pengangkutan dan komunikasi
mengalami pertumbuhan sebesar 13,36 %.
Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Muba mengalami
pertumbuhan rata-rata -7,83 %. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 ini
merupakan pertumbuhan terendah sepanjang periode 1994-998, dan ini
merupakan saksi bagi tragedi perekonomian nasional, yang secara otomatis
juga berdampak pada perekonomian daerah. Pertumbuhan terendah terjadi
pada sektor bangunan yaitu sebesar -30,05 %, kemudian sektor keuangan
sebesar -28,10 % dan pada sektor penggalian sebesar -21,06 %. Sedangkan
sektor yang masih memiliki pertumbuhan positip adalah sektor pengangkutan
dan komunikasi yang tumbuh sebesar 2,61 %, sektor pertanian sebesar 1,25
% dan sektor listrik, gas dan air minum sebesar 0,73 %.
Tabel 3.1: Hasil Perhitungan Pertumbuhan PDRB, PAD,Pajak Daerah dan Komponennya Di Kabupaten Muba Tahun 1994-1998No Komponen 1995 1996 1997 1998 Rerat
a
1. PDRB 8.41 6.98 2.34 -7.83 2.48
2. PAD -22.58 8.15 6.89 -
16.17
-5.93
3. Pajak Daerah (PD) 19.60 33.60 22.36 -
13.32
15.56
4. Pajak Pembangunan I
(PPI)
18.99 68.06 11.43 -
13.34
21.29
5. Pajak Tontonan (PT) -19.90 3.62 -
63.22
-
74.01
-
38.38
6. Pajak Reklame (PR) 5.01 18.85 1.28 - 2.21
22
16.30
7. Pajak Penerangan Jalan
(PPJ)
89.03 82.92 67.35 -4.68 58.66
Sumber: BPS Kabupaten Muba, 1993-1998 dan Dispenda Kabupaten Muba 1994-
1998, diolah
Pajak Penerangan Jalan sepanjang periode analisis mengalami
pertumbuhan rata-rata 58,66 % pertahun. Pertumbuhan pajak ini jika
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB pada dasarnya memiliki arah
pertumbuhan yang sama. Pada tahun 1995, pajak ini mengalami
pertumbuhan 89,03 %, sedang pertumbuhan ekonomi sebesar 8,41 %.
Tahun 1996, pajak ini mengalami pertumbuhan 82,92 % yang meskipun
tinggi tetapi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yaitu sebesar 6,11 %, kondisi ini seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang meskipun mengalami pertumbuhan cukup tinggi sebesar 6,98
% tetapi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sebesar 1,43 %. Pola pertumbuhan ini juga terjadi pada tahun 1997, dimana
23
pertumbuhan Pajak Penerangan Jalan hanya sebesar 67,32 % atau
menurun sebesar 15,57 % dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1996.
Penurunan pertumbuhan pajak ini semakin tajam terjadi pada tahun 1998
yaitu dengan pertumbuhan -4,68 % sebagai akibat dari menurunnya
pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut dengan pertumbuhan -7,83 %.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan positip antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan
pendapatan asli daerah khususnya melalui penerimaan dari komponen Pajak
Pembangunan I, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
Elastisitas Pajak DaerahElastisitas (kepekaan) pendapatan yang berasal dari komponen pajak
yang berbasis pada konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika nilai
elastisitas lebih besar dari satu, maka disebut elastis yang artinya bahwa
kenaikan satu persen PDRB secara elastis akan menaikkan pajak daerah
sebesar nilai elastisitasnya. Sebaliknya, jika nilai elastisitasnya lebih kecil dari
satu disebut inelastis yang berarti kenaikan pajak daerah tidak elastis
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan tabel 3.2 dibawah ini, terlihat bahwa koefisien Ey adalah
positip dan lebih besar dari satu. Hal ini memberikan indikasi bahwa Pajak
Pembangunan I, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan jalan relatif sensitif
terhadap perubahan ekonomi (PDRB). Kondisi ini menggambarkan bahwa
selama 4 tahun terakhir suatu kenaikan pendapatan masyarakat masing-
masing sebesar 1 %, akan mendorong kenaikan rata-rata Pajak
Pembangunan I, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan masing-
masing sebesar 4,65 %, 1,48 % dan 12,96 %. Hal ini berarti, faktor eksternal
(PDRB) merupakan peluang yang sangat potensial bagi Kabupaten Muba
untuk dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya melalui komponen
pajak daerah.
24
Tabel 3.2: Hasil Perhitungan Elastisitas Pajak Daerah Terhadap PDRB
No. Jenis Pajak Daerah Tahun Ey1. Pajak Pembangunan I 1995 2,26
1996 9,75
1997 4,88
1998 1,70
Rata-rata 4,65
2. Pajak Hiburan/Tontonan 1995 -2,37
1996 0,52
1997 -27,02
1998 9,45
Rata-rata -4,86
3. Pajak Reklame 1995 0,59
1996 2,70
1997 0,55
1998 2,08
Rata-rata 1,48
4. Pajak Penerangan Jalan 1995 10,59
1996 11,88
1997 28,78
1998 0,59
Rata-rata 12,96
Sumber: BPS Kabupaten MUBA, 1993-1998 dan Dispenda KabupatenMUBA, 1994-1998, diolah.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendapatan yang berasal dari pajak daerah khususnya Pajak Pembangunan
I, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan sangat elastis (peka)
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, faktor eksternal tersebut
merupakan peluang yang sangat potensial bagi Kabupaten Muba untuk dapat
25
meningkatkan pendapatan asli daerahnya melalui penerimaan Pajak
Pembangunan I, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan. Kondisi ini,
menuntut pemerintah Kabupaten Muba untuk menyusun strategi
pembangunan yang dapat mengoptimalkan peluang dan meminimalkan
hambatan yang terdapat pada faktor eksternal tersebut. Selain itu, implikasi
dari cukup tingginya elastisitas pajak daerah terhadap PDRB adalah
keharusan bagi pemerintah daerah Kabupaten Muba, khususnya Bappeda
dan Dispenda untuk mempertimbangkan secara akurat pengaruh laju
pertumbuhan ekonomi dalam merencanakan pendapatan daerahnya, serta
yang tidak kalah pentingnya Bappeda Kabupaten Muba dalam menyusun
perencanaan daerah harus dapat mengantisipasi berbagai macam
ketidakpastian (uncertainty) yang ditimbulkan oleh fluktuasi faktor eksternal
tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, akan dibahas secara terperinci
yaitu melalui pengembangan sektor ekonomi potensial dengan metode
Model Rasio Pertumbuhan (MRP).
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)Deskripsi kegiatan ekonomi Kabupaten Muba berdasarkan hasil
pengolahan data dengan menggunakan alat analisis Model Rasio
Pertumbuhan, sehingga nilai tersebut dapat menunjukkan nilai lebih besar,
kecil atau sama dengan satu (rasio). Hasil analisis MRP Kabupaten Muba
dalam konteks Provinsi SUMSEL bahwa sektor industri pengolahan dan
sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang dominan
pertumbuhan, sedangkan sektor yang potensial untuk dikembangkan adalah
sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan dan konstruksi,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa.
Sektor yang menonjol pertumbuhannya pada Provinsi SUMSEL adalah
sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor perdagangan, hotel
dan restoran.
26
Tabel 3.3: Hasil Perhitungan MRP Wilayah Kabupaten Mubadalam Konteks Provinsi SUMSEL
No Lapangan Usaha RPR RPS
Riil Nominal
Riil Nominal
1 Pertanian 1.16 + 0.67 -
2 Pertambangan/Penggalian 0.28 - 9.23 +
3 Industri Pengolahan 1.63 + 1.29 +
4 Listrik, Gas dan Air Minum 5.01 + 0.22 -
5 Bangunan 0.91 - 1.34 +
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.24 + 0.39 -
7 Pengangkutan 1.57 + 1.34 +
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
0.25 - 1.98 +
9 Jasa-jasa -0.15 - 7.5 +
Sumber : BPS Kabupaten Muba ,1993-1998 dan BPS Provinsi SUMSEL,1993-1998, diolah.
Analisis Location QuotientBerdasarkan hasil analisis Location Quotients menunjukkan kegiatan
potensial yang dapat dikembangkan adalah sektor pertanian, sektor
pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, hotel dan restoran,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa.
Adapun hasil perhitungan terhadap sektor-sektor ekonomi di Kabupaten
Muba dengan menggunakan metode Location Quotients seperti terlihat pada
tabel 3.4.
27
Tabel 3.4: Rekapitulasi Perhitungan Location Quotients (LQ)
Tahun Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 91994 1.31 1.12 0.35 0.44 0.68 1.29 0.55 0.96 1.02
1995 1.24 1.27 0.38 0.38 0.73 1.37 0.53 1.08 1.02
1996 1.27 1.32 0.37 0.37 0.71 1.32 0.53 1.09 1.03
1997 1.34 1.33 0.41 0.29 0.7 1.27 0.58 1.05 1.04
1998 1.31 1.72 0.39 0.28 0.79 1.23 0.62 1.06 0.9
Rerata 1.29 1.35 0.38 0.35 0.72 1.3 0.56 1.05 1
Sumber : BPS Kabupaten Muba, 1993-1998 dan BPS Provinsi SUMSEL,1993-1998, diolah.
Analisis OverlayAnalisis Overlay dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatan
ekonomi yang potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan dan kriteria
kontribusi. Berdasarkan hasil analisis Overlay, dapat diketahui sektor yang
potensial dan dominan (unggul) di Kabupaten Muba, dan dengan
mengkombinasikan kriteria pertumbuhan dan kontribusi tersebut, maka akan
diperoleh sektor unggulan/dominan. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada hasil
analisis deskripsi kegiatan ekonomi sektoral yang potensial di Kabupaten
Muba seperti terlihat pada tabel 3.5.
28
Tabel 3.5: Deskripsi Kegiatan Ekonomi Sektoral yang Potensialdi Wilayah Kabupaten Muba, 1994-998
No Lapangan Usaha RPS LQ T
1 Pertanian - + +
2 Pertambangan dan Penggalian + + ++
3 Industri Pengolahan + - +
4 Listrik, gas dan air minum - - -
5 Bangunan/Konstruksi + - +
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran - + +
7 Pengangkutan dan Komunikasi + - +
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
+ + ++
9 Jasa-jasa + + ++
Sumber : BPS Kabupaten Muba, 1993-1998 dan BPS Provinsi Lampung,1993-1998, diolah.1. Sektor yang dominan dalam arti baik pertumbuhan maupun kontribusinya
besar adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa.
2. Sektor yang dominan pertumbuhan tetapi kontribusinya kecil adalah sektor
industri pengolahan, sektor bangunan dan konstruksi, sektor
pengangkutan dan komunikasi.
3. Sektor yang pertumbuhannya kecil tetapi kontribusinya besar adalah
sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran.
4. Sektor yang baik pertumbuhan maupun kontribusinya kecil adalah sektor
listrik, gas dan air minum.
Dengan mempertimbangkan hasil analisis Overlay (MRP dan Location
Quotient) untuk Kabupaten Lampung Utara dalam konteks Provinsi Sumsel,
maka dapat disimpulkan sektor yang paling dominan atau sektor unggulan
yang dapat dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi
29
adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa.
Mengacu pada salah satu peralatan penting dalam teori ekonomi
Keynes ialah kecenderungan mengkonsumsi yang menyoroti hubungan
antara konsumsi dan pendapatan. Bila pendapatan meningkat, konsumsi
juga meningkat, tetapi kenaikan ini tidak sebanyak kenaikan pada
pendapatan tersebut (dalam Jhingan, 1999 : 137). Tingkahlaku konsumsi ini
selanjutnya menjelaskan mengapa ketika pendapatan naik, tabungan juga
naik. Pada negara sedang berkembang seperti Indonsia (daerah), ada
kecenderungan jika pendapatan mereka meningkat, mereka mempergunakan
lebih banyak pada barang konsumsi karena mereka ingin memenuhi
keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Ekonomi Keynes menunjukkan
kepada kita bahwa bilamana kecenderungan marginal mengkonsumsi tinggi,
maka permintaan konsumsi, output dan pekerjaan meningkat dengan laju
lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Berdasarkan teori Keynes, jika
kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Muba diarahkan pada
pengembangan sektor basis atau unggulan keuangan, persewaan, jasa
perusahaan dan jasa-jasa, maka akan mendorong meningkatnya
kesempatan kerja, pendapatan, konsumsi dan secara otomatis penerimaan
pajak-pajak yang berbasis pada konsumsi akan meningkat yaitu Pajak
Pembangunan I (Hotel dan Restoran), Pajak Tontonan/Hiburan, Pajak
Reklame dan Pajak Penerangan Jalan, sedangkan sektor penggalian ( batu-
batuan, pasir, tanah liat dan kerikil) jika dikembangkan disamping akan
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan juga sektor ini secara
otomatis berkaitan dengan konsumsi barang-barang tahan lama. Jika
kebutuhan konsumsi akan barang-barang tahan lama terutama untuk bahan
material bangunan, maka penerimaan pajak melalui sektor ini akan
meningkat dan kedepan sektor ini diperkirakan merupakan salah sektor yang
akan memeliki kontribusi besar terhadap penerimaan daerah karena
berdasarkan Undang-undang tentang perubahan Undang-undang Nomor 18
30
tahun 1997 sektor ini menjadi salah satu jenis pajak daerah yaitu pajak
golongan galian C.
KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Utara selama periode
1994-1998 rata-rata sebesar 2,48 % pertahun. Rata-rata pertumbuhan
PAD adalah sebesar -5,93 % pertahun, sedangkan pertumbuhan masing-
masing komponen PAD adalah pajak daerah sebesar 15,56 % pertahun,
retribusi daerah sebesar 2,50 % pertahun, laba BUMD sebesar 45,01 %
pertahun, penerimaan dinas-dinas sebesar 26,88 % pertahun dan
penerimaan lain-lain sebesar -27,22 % pertahun. Dengan demikian, pola
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Muba memiliki
fluktuasi yang tajam. Hubungan positip antara pertumbuhan ekonomi
dengan pertumbuhan pajak daerah dapat dilihat pada tahun 1998
pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan -7,83 %, maka secara
otomatis laju pertumbuhan pajak daerah memiliki arah yang sama yaitu
sebesar -13,32 %. Dari 11 jenis pajak daerah terdapat 4 jenis pajak
daerah yang dapat dikategorikan berbasis pada konsumsi yang sekaligus
berhubungan langsung dengan PDRB yaitu Pajak Pembangunan I
mengalami rata-rata pertumbuhan selama periode analisis sebesar
21,29 % per tahun, Pajak Tontonan sebesar –38,38 % pertahun, Pajak
Reklame sebesar 2,21 % pertahun dan Pajak Penerangan Jalan sebesar
58,66 % pertahun. Berdasarkan hasil analisis elastisitas pajak daerah
yang berkategori berbasis pada konsumsi terhadap pertumbuhan
ekonomi, menunjukkan tingkat kepekaan/respon yang elastis yaitu Pajak
Pembangunan I sebesar 4,65 , Pajak Reklame sebesar 1,48 dan Pajak
Penerangan Jalan sebesar 12,96, sedangkan pajak tontonan/hiburan
menunjukkan tingkat kepekaan yang inelastis dengan koefisien –4,86.
Hubungan ini ditandai dengan besarnya koefisien elastisitas yang lebih
31
besar dari satu. Sehingga secara logis hubungan ini dapat dipahami
bahwa dengan meningkatnya PDRB suatu daerah berarti pendapatan
perkapita penduduk juga meningkat, sehingga konsumsi masyarakat juga
meningkat dan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat maka akan
mempengaruhi pajak daerah yang memiliki taxbase konsumsi khususnya
melalui penerimaan Pajak Pembangunan I, Pajak Reklame dan Pajak
Penerangan Jalan.
2. Berdasarkan hasil analisis Overlay (Model Rasio Pertumbuhan dan
Location Quotients) diperoleh kesimpulan bahwa di Kabupaten Muba
dalam konteks Provinsi SUMSEL mempunyai sektor unggulan yang dapat
dikembangkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi adalah sektor
pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan, dan sektor jasa-jasa.
32
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincoln, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan EkonomiDaerah, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
_____, 1997, Ekonomi Pembangunan, Edisi Ketiga, STIE YKPN, Yogyakarta.Bagian Keuangan, 1994-1998, “Realisasi APBD Kabupaten Musi Banyuasin”.BAPPEDA, 1998, “Musi Banyuasin Dalam Angka”.
BPS, 1998, “PDRB Kabupaten Musi Banyuasin”.
BPS, 1998, “PDRB Musi Banyuasin”.
Brodjonegoro, Bamabang P.S. ,1999, “Impact of Current Asean EconomicCrisis to Regional Analysis, Economic Development Pattern InIndonesia”, LPEM-FEUI, Jakarta.
Budiono, 1981, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Sinopsis Pengantar IlmuEkonomi, BPFE, Yogyakarta.
______, 1999, Ekonomi Makro, Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Nomor 2,BPFE, Yogyakarta.
Devas, Nick dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia,UI-Press, Jakarta.
Devay, K., 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek-PraktekInternational dan Relevansinya Bagi dunia Ketiga, Penerbit UniversitasIndonesia, Jakarta.
Dispenda, 1994-1998, “Realisasi Penerimaan Daerah Musi Banyuasin”.
Djamaluddin, M. Arief, 1996, “Strategi Pembangunan Ekonomi DaerahJangka Pendek”, Widyapraja, No. 25 : 33-43.
Fisher, Ronald C., 1996, State and Lokal Public Finance, Irwin.
Hoover, Edgar, M., 1975, An Introduction to Regional Economic, AlfredA-Knopt, New York, 2nd Edition.
Jhingan, M.L., 1999, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
33
Kartasasmita, G., 1996, Pembangunan Untuk Rakyat MemadukanPertumbuhan dan Pemetaan, PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.
_____, 1996, “Power dan Empowerment : Sebuah telaah mengenai KonsepPemberdayaan Masyarakat”, Dalam B. T. S. Soegijoko dan BS,Kusbiantoro (penyunting), Bunga Rampai Perencanaan Pembangunandi Indonesia, PT Gramedia, Jakarta.
Kneller, R., Bleaney, M. F. , Gemmell, N. , 1999, “Fiscal Policy and Growth :evidence from OECD Countries”, Journal of Public Economics, No. 74 :171-199.
Levi, John M., 1985, Urban and Metropolitan Economics, Mctraw-Hill BookCompany, New York.
Mangkoesoebroto, Guritno, 1998, Ekonomika Publik, BPFE, Yogyakarta.
Mardiasmo, Makhfatih Akhmad, 2000, “Penghitungan Potensi Pajak danRetribusi Daerah di Kabupaten Magelang”, Kerjasama PemerintahDaerah Kabupaten Magelang dengan Pusat Antar Universitas StudiEkonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Miller, Sephen M., Russex, Frank S., 1997, “Fiscal Structure and EconomicGrowth a the State and Local Level”, Public Finance Review, Vol. 25 :213-237.
Nugroho, Iwan, 2000, “Pengembangan Ekonomi Pedesaan MenyongsongOtonomi Daerah”, CSIS, Tahun XXIX, No. 1 : 102-113.
Parkin, Michael, Bade, Robin, 1992, Macroeconomics, 2nd.ed., Prentice-HallInternational Editions.
Republik Indonesia, 1999, “Undang-Undang Otonomi Daerah”. Sinar Grafika,Jakarta.
Soediyono, 1997, Ekonomi Makro : Analisis IS-LM dan Permintaan-Penawaran Agregatif, Liberty, Yogyakarta.
Soegijoko, Soegiyanto, 1994, “Prospeks Pertumbuhan Daerah Perkotaandalam PJP II”, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, P.T. Gramedia, Jakarta.
Soeroto, 1986, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
34
Susanti, Hera, Ikhsan, Moh. Widyanti, 1995, Indikator-Indikator MakroEkonomi, FE-UI, Jakarta.
Syafrizal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional WilayahIndonesia Bagian Barat”, Prisma, No. 3 : 35-36.
Todaro, Michael P., 1997, Economic Development, Sixth Edision, Longman,London and New York.
Yusuf, Maulana, 1999, “Modal Rasio Pertumbuhan (MRP) sebagai salah satualat Analisis Alternatif Dalam Perencanaan Wilayah dan Kota, AplikasiModal : Wilayah Bangka Balitung”,EKI, Volume XLVII, No. 2 : 219-233.
Widodo, Hg., Suseno T., 1990, Indikator Ekonomi Dasar PerhitunganPerekonomian Indonesia, Kanasius, Yogyakarta.
Wijaya, Faried, 1992, Kompedium Ekonomika, BPFE, Edisi 1, Vol. 4.
NAMA : IRLAN VERY.SE.M.Si.PEKERJAAN : DOSEN PNSD DI STIER MUBAPENDIDIDKAN : DOKTOR ILMU AKUNTANSI S3 UNIVERSITAS
INDONESIA DALAM PROSES.ALAMAT : JALAN LETNAN M.NUR SEKAYU MUBA