265
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GADJAH MADA S TUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN A SSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING LAPORAN AKHIR Diajukan Kepada Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Analisa Fiskal 2004

Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FE UGM

Citation preview

Page 1: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GADJAH MADA

STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERIDAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN

ASSESSMENT TERHADAP OPTIMALBORROWING

LAPORAN AKHIR

Diajukan KepadaDepartemen Keuangan Republik Indonesia

Badan Analisa Fiskal2004

Page 2: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu berkat bantuan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Untuk itu Tim PPE FE UGM mengucapkan terima kasih yang setinggi-tinginya kepada berbagai pihak tersebut. Ijinkan kami secara khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak berikut. Pertama, terima kasih kepada Bapak Dr. Anggito Abimanyu, Bapak Dr. Heru Subiyantoro, Bapak Noeroso L. Wahyudi, dan Bapak Almizan Ulfa dari Badan Analisa Keuangan Departemen Keuangan (yang ketika laporan ini dalam proses penyelesaian telah berubah nama menjadi Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional atau disingkat Bapekki) atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada PPE FE UGM untuk melaksanakan studi ini. Selain memberi kesempatan emas ini, mereka juga tidak pernah henti menyediakan waktu untuk diskusi, men-supply data dan memberi saran-saran. Tim PPE FE UGM juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. A. Fuad Rahmany, Bapak Dr. Rahmat Waluyanto, Bapak Dr. Andin Hadiyanto, dan Bapak Kunta Wibawa Dasa Nughraha, Ibu Ayu Sukorini dan Bapak Agung Galih Satwiko dari Departemen Keuangan atas waktu yang telah disediakan untuk berdiskusi dan memberikan saran perbaikan dan bahkan menyediakan data yang sangat berharga dalam mempertajam analisis studi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmat Waluyanto yang sangat antusias menyediakan waktu untuk memberi komentar atas laporan awal studi ini di tengah kesibukan beliau yang sangat padat serta menyediakan meminjamkan kepustakaan pribadinya. Terima kasih kepada Bapak Budi Mulya dari Bank Indonesia atas kesempatan untuk berdiskusi masalah manajemen utang serta saran dan masukan yang telah diberikan. Saran beliau telah memberi kami perspektif yang lebih komprehensif dalam melihat dan menganalisis studi ini. Tim PPE FE UGM juga berterima kasih kepada tim LPEM FE UI dan LP3E FE UNPAD atas kerja sama yang sangat baik selama ini. Kedua institusi yang ternama tersebut dan kami mengerjakan studi dengan tema serupa pada saat yang sama. Dalam pelaksanaannya, studi ini melibatkan pula sejumlah asisten peneliti. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada (berdasarkan urutan nama depan): Aisyah, Anang Budi Gunawan, Andhyka Imam Buchori, Anggoro Budi Nugroho, Betti Rosita Sari, Nurul Yuniataqwa, Primayanti, Putu Mahendra Diana, R. Sita Dewi Kusumaningrum, Silvi Hafianti, dan Vica Sakti Mantong Tendenan. Tanpa mereka, studi ini hampir tidak mungkin dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga studi ini dapat memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan mengenai manajemen utang pemerintah di masa mendatang. Segala kesalahan isi laporan tetap menjadi tanggung jawab tim peneliti. Ketua Tim Peneliti Bagus Santoso

Page 3: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

iii

ABSTRAK

ABSTRAK - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Studi ini memiliki tiga ruang lingkup penelitian, yaitu (1) menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, (2) mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan yang ada, dan (3) menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah. Pertama, dalam studi ini dihitung perkiraan natural debt limit (NDL) untuk perekonomian Indonesia, diestimasi fiscal policy reaction function, serta dilakukan simulasi rasio utang terhadap PDB. Hasil simulasi NDL menunjukkan bahwa rasio utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal bayar. Sedangkan hasil estimasi fiscal policy reaction function menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah sangat responsif dan berhati-hati dalam menjalankan kebijakan utangnya. Namun dari hasil simulasi rasio utang terhadap PDB menunjukkan bahwa Indonesia perlu mengkonversi sebagian utang luar negerinya menjadi utang dalam negeri, agar rasio utang luar negeri tersebut dapat mencapai 15 persen (suatu batas aman agar utang Indonesia berkesinambungan). Kedua, hasil estimasi menunjukkan bahwa walaupun biaya utang luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan utang domestik, namun jika mempertimbangkan adanya biaya kondisionalitas yang menyertai utang luar negeri menyebabkan utang luar negeri lebih tidak efisien. Ketiga, dalam upaya menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial pemerintah jangka menengah, maka beban utang komersial jatuh tempo dapat dimoderasi dengan upaya reprofiling utang. Studi ini merekomendasi dua metode reprofiling utang.

Page 4: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

iv

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Penelitian…………………………………………………………………………… 11.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………………. 11.3 Latar Belakang…………………………………………………………………………… 11.4 Metodologi Penelitian……………………………………………………………………. 5 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah………………. 5 Efisiensi Utang Dalam dan Luar Negeri……………………………………………….. 8 Portofolio Utang Komersial Pemerintah……………………………………………….. 9 Data yang Digunakan……………………………………………………………………. 9 BAB 2 STUDI PUSTAKA MANAJEMEN UTANG 2.1 Latar Belakang……………………………………………………………………........... 102.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang …………………………………………............ 11 Definisi..................................................................................................................... 11 Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian................................................... 12 Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal............................................................ 14 Kesinambungan Fiskal........................................................................................... 15 Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan

Fiskal....................................................................................................................... 16 Konsolidasi Fiskal.................................................................................................... 21 Koordinasi Fiskal..................................................................................................... 23 Manajemen Utang Pemerintah................................................................................ 24 Kesalahan-kesalahan dalam Manajemen Utang................................................... 26 Pembayaran Utang................................................................................................ 28 Restrukturisasi Utang............................................................................................. 302.3 Studi Empiris Manajemen Utang………………………………………………………. 34 Kasus Negara-negara OECD................................................................................. 36 Kasus Negara-negara Emerging Market............................................................. 42 Kasus Negara-negara HIPC................................................................................ 43 Kasus Uni Eropa................................................................................................. 46 Kasus Eropa Tengah.......................................................................................... 47 Kasus Sub Sahara.............................................................................................. 47 Kasus Eritrea....................................................................................................... 48 Kasus Gabon ...................................................................................................... 49 Kasus Filipina...................................................................................................... 49 Kasus Indonesia................................................................................................... 50

Page 5: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

v

BAB 3 STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI 3.1 Pasar Obligasi Pemerintah.................................................................................. 59 Tujuan Pasar Obligasi Pemerintah...................................................................... 59 Dampak Obligasi Pemerintah terhadap Perekonomian....................................... 60 Karakteristik Obligasi Pemerintah........................................................................ 61 Upaya Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi............................................... 62 Pasar Obligasi dan Sektor Perbankan................................................................. 63 3.2 Optimal Borrowing............................................................................................... 64 Strategi Manajemen Utang................................................................................. 67 Aspek Manajemen Risiko.................................................................................... 68 3.3 Pasar Obligasi Regional...................................................................................... 70 3.4 Pemeringkatan Utang Publik............................................................................... 79 BAB 4 DATA 4.1 Sumber dan Jenis Data..................................................................................... 844.2 Negara Sampel Studi........................................................................................ 85 Data dalam Tabel dan Grafik............................................................................. 894.3 Gambaran Indikator........................................................................................... 89 Rasio Utang terhadap PDB................................................................................ 89 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB.............................. 93 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB............................................... 97 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB..................................................... 101 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang................................... 105 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB........................................................... 108 Rasio Utang terhadap Penerimaan................................................................... 1114.4 Data Indonesia................................................................................................. 113 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia............................................................... 114 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia.............. 114 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia.............................. 115 Biaya Pinjaman Dalam Negeri........................................................................... 116 Biaya Pinjaman Luar Negeri.............................................................................. 117

BAB 5 ALTERNATIF TERBAIK KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN JANGKA MENENGAH

5.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1215.2 Kesinambungan Keseimbangan Primer (Primary Balance) .........................…. 1265.3 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB .................................................... 1375.4 Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan

Rasio Utang terhadap PDB Indonesia .............................................................. 145 BAB 6 EFISIENSI UTANG 6.1 Pengertian Pinjaman yang Efisien..................................................................... 1596.2 Country Risk Indonesia...................................................................................... 1606.3 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia........ 1646.4 Conditionalities Pinjaman Luar Negeri............................................................... 1666.5 Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia........................ 1696.6 Portofolio Utang.................................................................................................. 171

Page 6: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

vi

BAB 7 REPROFILING OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA 7.1 Latar Belakang……………………………………………………………………… 174 7.2 Portofolio Utang Pemerintah……………………………………………………… 175 7.3 Risiko-risiko Obligasi………………………………………………………………. 176 7.4 Beberapa Alternatif Restrukturisasi Utang………………………………………. 177 7.5 Penataan Kembali Maturitas (Reprofiling) dan Konsekuensinya……………... 179 Metode Rata-rata............................................................................................. 179

Metode Rasio Tetap Beban Utang Obligasi Pemerintah Jatuh Tempo terhadap PDB.................................................................................................. 183

7.6 Reprofiling dan Kapasitas Anggaran Pemerintah………………………………. 189 BAB 8 KESIMPULAN 8.1 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah……........ 191 8.2 Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri…………………………………. 193 8.3 Reprofiling Obligasi Pemerintah Indonesia……………………………………… 194 Lampiran 1: Daftar Pustaka…………………………………………………….. 197 Lampiran 2: Daftar Pertanyaan In-Depth Interview………………………….. 205 Lampiran 3: In-depth Interview dengan Narasumber………………………….. 207

Lampiran 4: Hasil Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB untuk Indonesia……………………………………………………………. 211

Lampiran 5: Ringkasan Butir-Butir Kesepakatan dalam Letter of Intent

(LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF……………….. 225

Page 7: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang

terhadap PDB (b) …………………………………………………………… 7Gambar 2.1 Perkembangan Utang Meksiko, 1990-2000..…………………………….. 36Gambar 2.2 Perkembangan Utang Jerman, 1990-1999.….....……………………….. 37Gambar 2.3 Perkembangan Utang Belgia, 1989-1998.…………..……………………. 39Gambar 2.4 Perkembangan Utang Jepang, 1984-1990………………….................... 40Gambar 2.5 Perkembangan Utang Amerika Serikat, 1990-2002.…………………….. 41Gambar 2.6 Perkembangan Utang Filipina, 1992-2001..……..……………………….. 50Gambar 2.7 Perkembangan Utang Indonesia, 1990-2004......................................... 51Gambar 3.1 Pengeluaran Obligasi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang Menurut

Sumber Pendanaan (dalam US$ Miliar)................................................ 64Gambar 3.2 Utang Publik yang Outstanding di Asia, Desember 2003...................... 73Gambar 3.3 Yield Obligasi Pemerintah Filipina......................................................... 75Gambar 3.4 Yield Obligasi Pemerintah Thailand....................................................... 75Gambar 3.5 Yield Obligasi Pemerintah Indonesia..................................................... 76Gambar 3.6 Yield Obligasi Pemerintah Malaysia........................................................ 76Gambar 3.7 Yield Obligasi Pemerintah Singapura.................................................... 77Gambar 3.8 Rata-rata Bulanan Nilai Tukar MYR (Ringgit) Terhadap USD dan Yen

Jepang................................................................................................... 77Gambar 3.9 Yield Obligasi Pemerintah Korea Selatan.............................................. 78Gambar 4.1 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002…. 90Gambar 4.2 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market,

1990-2002...………………………………………………………………….. 91Gambar 4.3 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2001....... 91Gambar 4.4 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002… 92Gambar 4.5 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2003……. 92Gambar 4.6 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara

OECD, 1988-2002…………………………………………………………… 93Gambar 4.7 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara

Emerging Market, 1990-2001………………………………….…………… 94Gambar 4.8 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara

HIPC, 1984-2000…………………………………………………………….. 95Gambar 4.9 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara

ASEAN, 1990-2002………………………………………………………….. 96Gambar 4.10 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara

Asia, 1990-2002……………………………………………………………… 96Gambar 4.11 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara

OECD, 1988- 2002………………………………………………………...... 97Gambar 4.12 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara

Emerging Market, 1990-2001….............................................................. 98Gambar 4.13 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara

HIPC, 1984-2001……………………………………………………………. 99Gambar 4.14 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara

ASEAN, 1990-2002…………………..........……………………………….. 100

Page 8: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

viii

Gambar 4.15 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002………………………………………………………………

100

Gambar 4.16 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002………………………..…………………………………. 101

Gambar 4.17 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990-1999.................................................................. 102

Gambar 4.18 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2002…………………………………………………………….. 103

Gambar 4.19 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002………………………………..………………………... 104

Gambar 4.20 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………………. 104

Gambar 4.21 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di beberapa Negara OECD, 1988-2002…………………...…………………………….. 105

Gambar 4.22 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara HIPC, 1990-2001……………………….………………………….. 107

Gambar 4.23 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………. 107

Gambar 4.24 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002………………………………………………… 108

Gambar 4.25 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002……………………………………………………………………. 108

Gambar 4.26 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………………. 109

Gambar 4.27 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002……………………………………………………………………. 110

Gambar 4.28 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2000……………………………………………………………………. 111

Gambar 4.29 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia., 1980-2004........................……. 114Gambar 4.30 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia,

1980-2004……………………………………………………………………. 115Gambar 4.31 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia, 1980-2004 115Gambar 4.32 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1980-2004…… 116Gambar 5.1 Rasio Keseimbangan Primer Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ...... 136Gambar 5.2 Rasio Utang Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ............................… 144Gambar 6.1 Suku Bunga SIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004.........................................… 160Gambar 6.2 Suku Bunga LIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004............................................. 160Gambar 7.1 Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri Pemerintah 1999 –

2010…………………………………………………………………………… 180Gambar 7.2 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sebelum

Reprofiling)…………………………………………………………………… 181Gambar 7.3 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sesudah

Reprofiling)…………………………………………………………………… 183Gambar 7.4 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

4 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………………. 184Gambar 7.5 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

4 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 184Gambar 7.6 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

4,5 Persen (Sebelum Reprofiling)…………………………………………. 185Gambar 7.7 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

4,5 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………. 185Gambar 7.8 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

5 Persen (SebelumReprofiling)…………………………………………….. 186Gambar 7.9 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB

5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 186

Page 9: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

ix

Gambar 7.10 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………….. 187

Gambar 7.11 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………….. 187

Gambar 7.12 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sebelum Reprofiling)………………………………………….. 187

Gambar 7.13 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sesudah Reprofiling)………………………………………….. 188

Page 10: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

x

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)............................................... 3 Tabel 1.2 Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur ................................................................................................ 4 Tabel 2.1 Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001 .................. 11 Tabel 2.2 Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) .................................................... 14 Tabel 2.3 Negara-Negara yang Sukses dalam Melakukan Konsolidasi Fiskal........... 22 Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Menghambat Persiapan Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) dan Negara-Negara HIPC yang Mengalaminya................ 44 Tabel 2.5 Indikator Utang Negara-Negara Berkembang dan HIPC ............................ 45 Tabel 2.6 Utang Luar Negeri Indonesia, 1990-2002 ................................................... 51 Tabel 2.7 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 2000-2003........ ............................. 53 Tabel 2.8 Rasio Keseimbangan Utang Eksternal dengan Ambang Batas Alternatif, 2000............................................................................................................. 55 Tabel 2.9 Komparasi Rata-rata 5 Indikator Utang Indonesia dengan Negara-Negara

OECD dan HIPC, 1992 – 1999................................................................... 56 Tabel 2.10 Struktur Pinjaman Domestik dan Luar Negeri Indonesia , 1992-1999 (dalam US$ juta)......................................................................................... 57 Tabel 2.11 Rasio Utang Luar Negeri terhadap Total Penerimaan untuk Negara-negara HIPC, OECD dan Indonesia, 1992-1999..................................................... 57 Tabel 3.1 Perkembangan Pasar Sekuritas Emerging Market……………………........ 60 Tabel 3.2 Tipe Utang Domestik (Obligasi) menurut Suku Bunga, 2000 (% terhadap

Total Utang)……..…………………………………………………… 61 Tabel 3.3 Penerbit Surat Utang Domestik, 2000 (% terhadap Total Utang)………… 62 Tabel 3.4 Total Pembiayaan Eksternal yang Outstanding, 2001 (% PDB)................. 71 Tabel 3.5 Struktur Obligasi yang Outstanding, 1994 dan 2000 (% terhadap Total

Utang)… ………………………………………………………………………… 72 Tabel 3.6 Kriteria-kriteria Region Negara Klub B………………………………………. 80 Tabel 3.7 Obligasi Denominasi USD yang Beredar di Asia dan Rating-nya, 31

Agustus 2004…………………………………………………………………... 81 Tabel 3.8 Pemeringkatan Obligasi Pemerintah 14 Negara Asia, 12 November

2004……………………………………………………………………………… 82 Tabel 3.9 Pemeringkatan Indonesia Menurut 4 Lembaga Penilai……………………. 83 Tabel 4.1 Rasio Pembayaran Bunga utang terhadap Total Utang di Beberapa

Negara Emerging Market , 1992-1999........................................................ 106 Tabel 4.2 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging

Market, 1992-1999…………….................................................................... 109 Tabel 4.3 Rasio Utang terhadap Penerimaan Beberapa Kelompok Negara, 1992-1999……………………………………………………………………….. 112 Tabel 4.4 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Dalam Negeri …………………………….. 117 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Luar Negeri ……………………………….. 118 Tabel 4.6 Hasil Estimasi Forward Discount dan Biaya Pinjaman Luar Negeri …….. 119 Tabel 4.7 Hasil Estimasi Rata-Rata Biaya Pinjaman…… …………………………….. 120 Tabel 5.1 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Dalam Negeri……………………. 124 Tabel 5.2 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri………………………. 124

Page 11: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

xi

Tabel 5.3 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri dengan Forward Discount…………………………………………………………………………. 124

Tabel 5.4 NDL Indonesia dengan Rata-rata Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri……………………………………………………………………… 125

Tabel 5.5 Biaya Pinjaman untuk Berbagai Macam NDL………………………………. 125 Tabel 5.6 Determinan dari Surplus Anggaran............................................................ 127 Tabel 5.7 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara

Industrialis, 1990-2002………………………………………………………… 128 Tabel 5.8 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara

Emerging Market , 1990-2002……….……………………………………….. 129 Tabel 5.9 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Seluruh

Negara OECD, 1990-2002……………………………………………………. 131 Tabel 5.10 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara

Maju OECD, 1990-2002.………………………………………………………. 132 Tabel 5.11 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-

negara HIPC, 1990-2002…….……………………………………………….. 133 Tabel 5.12 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-

negara ASEAN, 1990-2002…………………………………………………… 134 Tabel 5.13 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1970-2004……………………………………………………………………….. 135 Tabel 5.14 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Keseimbangan

Primer terhadap PDB……...…………………………………………………… 136 Tabel 5.15 Determinan dari Perubahan Rasio Utang terhadap PDB………………….. 138 Tabel 5.16 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Seluruh Negara OECD,

1990-2002…………………………………………………………………..…… 139 Tabel 5.17 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara Maju OECD 1990-2002……………………………………………………………………….. 140 Tabel 5.18 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara HIPC 1990-2002……………………………………………………………………….. 141 Tabel 5.19 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara Emerging

Market, 1990-2002…………….……………………………………………….. 142 Tabel 5.20 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-Negara ASEAN

1990-2002……………………………………………………………………….. 143 Tabel 5.21 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1970-2004…….. 144 Tabel 5.22 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB.. 145 Tabel 5.23 Dampak Perubahan Tahun Dasar Perhitungan PDB terhadap Rasio

Utang Pemerintah ……………………………………………………………… 146 Tabel 5.24 Asumsi Pendapatan Kapital dan Off-Budget Loss dalam Simulasi Rasio

Keseimbangan Primer terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB.... 147 Tabel 5.25 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untukl Berbagai Tingkat

Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993)………………………….. 148 Tabel 5.26 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat

Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ...........................…....... 150 Tabel 5.27 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer

1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 1993)......................................................... 152 Tabel 5.28 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer

1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 2000) ...................................................... 153 Tabel 5.29 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai

Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993) ......................... 155 Tabel 5.30 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai

Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ......................... 157 Tabel 6.1 Statistik Deskriptif Peringkat Risiko Beberapa Negara Berkembang,

1998-1999……………………………………………………………………….. 162 Tabel 6.2 Suku Bunga T-Bond 10 Tahun................................................……………. 162 Tabel 6.3 Peringkat dan Premi Risiko Beberapa Negara Berkembang……………… 163

Page 12: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

xii

Tabel 6.4 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia………………………………………………………………………. 165

Tabel 6.5 Nilai dan Bobot Komponen Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia................................................................................................. 165

Tabel 6.6 Serangkaian Conditionalities yang Pernah Diterapkan IMF pada Negara Debitur........................................................................................ 167

Tabel 6.7 Simulasi Expected Cost of Borrowing Portofolio Utang pada Berbagai Bobot…………………………………………………………………………... 172

Tabel 7.1 Utang Dalam dan Luar Negeri Indonesia, 1997- 2004............................ 175 Tabel 7.2 Profil Pinjaman Pemerintah, Oktober 2004............................................. 173 Tabel 7.3 Skedul Reprofiling Obligasi Pemerintah, 2004-2020............................... 182 Tabel 7.4 Pembobotan Beban Reprofiling, 2007-2009............................................ 182 Tabel 7.5 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja APBN 2004 dan

RAPBN 2005........................................................................................... 189 Tabel 7.6 Skedul Pembayaran Bunga Utang.......................................................... 190

Page 13: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

1

1. 1 Tujuan Penelitian

1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian

1.3 Latar Belakang

Bab

1 PENDAHULUAN METODOLOGI - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian atau penelitian secara mendalam dan hati-hati terhadap manajemen utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah dan assessment terhadap optimal borrowing.

Output utama dan ruang lingkup dari penelitian ini adalah:

1. Menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah.

2. Mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada.

3. Menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah.

Sejak krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997, yang akhirnya menjadi krisis multi-dimensi, perekonomian Indonesia belum dapat pulih sepenuhnya. Tanda-tanda pemulihan krisis ekonomi mulai nampak, namun belum menunjukkan sinyal yang sangat prospektif.

Krisis tersebut bermula dari krisis moneter di Thailand dan menular ke Indonesia dan negara-negara lain di Asia Timur, termasuk misalnya Malaysia dan Korea. Kedua negara tersebut terakhir telah mampu keluar dari krisis dan kembali menempuh jalur

Page 14: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

2

pertumbuhan ekonomi tinggi. Sementara itu, Indonesia masih harus berkutat dengan pertumbuhan ekonomi rendah (yaitu 4 persen nilai proyeksi tahun 2004). Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang lain, yaitu mereka diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang rendah tersebut membawa konsekuensi serius pada ketidakmampuan menyerap tingkat pengangguran yang tinggi.

Sebelum krisis menerpa beberapa negara Asia, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang (6,8 persen tahun 1985-1994 dan 8,1 persen tahun 1995-1996) dengan defisit APBN yang relatif kecil. Indonesia mengalami tekanan fiskal dan masalah-masalah domestik yang serius karena perubahan yang drastis dalam momentum pembangunan ekonomi, dari high phase menjadi low phase.

Selama masa pertumbuhan ekonomi rendah, motor pembangunan terletak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga, bukan pada investasi, ekspor, ataupun pengeluaran pemerintah. Meskipun Indonesia sudah mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi, namun investor belum terlalu tertarik untuk menginvestasikan dananya karena berbagai kendala yang ada, baik menyangkut rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur, rendahnya insentif investasi dan penegakan kepastian hukum, maraknya demonstrasi pekerja, maupun relatif mahalnya upah pekerja Indonesia dibandingkan negara pesaing.

Mendorong laju pertumbuhan ekspor tidaklah mudah. Depresiasi memang membuat nilai tukar rupiah melemah dan secara teoretis dapat mendorong ekspor. Namun, terdapat berbagai kendala dalam mempromosikan ekspor, termasuk misalnya besarnya kandungan bahan baku impor dalam produk ekspor sehingga harga produk tetap mahal. Bahkan, dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, impor justru meningkat karena selera masyarakat terhadap produk impor cukup tinggi.

Harapan terakhir mendongkrak pertumbuhan ekonomi rendah ini terletak pada ekspansi fiskal. Namun manuver ekspansi fiskal menjadi tidak mudah karena peluang meningkatkan penerimaan negara tidak akan mudah sampai dengan beberapa tahun mendatang.

Secara teoretis ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan, yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi pengeluaran pemerintah, mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun perlu dicatat beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan pajak adalah basis pajak yang sempit, banyaknya transaksi informal, dan sulitnya meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi pasar. Namun, kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiper-inflasi, juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan Bank Sentral independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan utang juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pertama, utang luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti utang ditumpukan pada sumber dalam negeri (Abimanyu, 2004). Kedua, pasar dalam negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah.

Pada sisi pengeluaran, manuver untuk men-fine-tune pengeluaran juga tidak mudah karena banyak pos APBN yang merupakan pos wajib (misalnya Undang-undang Otonomi Daerah mewajibkan Menteri Keuangan untuk menganggarkan setidaknya 26 persen dari penerimaan dalam negeri untuk Dana Alokasi Umum). Pos wajib tersebut mayoritas merupakan recurrent expenditures, bukan capital expenditures. Angka pengganda untuk recurrent expenditures lebih rendah daripada capital expenditures.

Dalam ranah teori, paham Keynesian menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong perekonomian (fiscal stimulus). Keynes (1936) memandang ekspansi fiskal melalui proses

Page 15: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

3

angka pengganda (multiplier) akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor.

Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung dalam perekonomian.

Pada masa sebelum krisis, elemen penting dari kebijakan fiskal pada waktu itu adalah Pengeluaran Rutin dibelanjai dengan penerimaan dalam negeri, baik berupa pajak maupun bukan pajak, yang utamanya bersumber dari penerimaan sumber daya alam. Sedangkan Pengeluaran Pembangunan sebagian dibelanjai dengan utang luar negeri (utang dalam negeri pemerintah belum ada), yang berupa pinjaman bilateral dan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Pada tahun 1996, APBN menunjukkan surplus 1,9 persen dari produk domestik bruto (Gross Domestic Product/PDB), utang pemerintah terhadap luar negeri sebesar US$55,3 miliar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu pemerintah belum memiliki utang dalam negeri. Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah (Boediono, 2004).

Rasio utang luar negeri terhadap PDB sebelum krisis terbilang relatif kecil. Sebagai perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara sedang berkembang (Tabel 1.1). Angka pencapaian Indonesia pada waktu itu jauh lebih baik daripada Afrika, Asia tanpa Cina dan India, dan negara-negara pengutang parah (Heavily Indebted Poor Countries).

Tabel 1.1 Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)

Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Negara Berkembang

41,5

39,4 38,7 43,5 44,7 40,6 40,1 40,9 37,7 35,0

Afrika

72,1

67,7 63,5 65,9 65,5 63,0 61,0 59,3 49,2 46,5

Asia

32,6

31,1 32,5 37,0 34,1 30,7 29,9 27,4 25,3 23,8

Asia Tanpa Cina dan India

52,5

51,4 59,1 84,7 72,2 65,4 65,4 57,7 51,7 47,4

Timur Tengah dan Turki

58,5

55,5 54,8 63,0 62,5 59,2 61,2 62,7 54,8 52,2

Western Hem.

36,9

35,5 33,7 37,9 44,3 38,7 38,9 45,3 44,1 40,0

Negara Pengutang Parah 125,8 111,6 100,5 99,2 97,2 94,4 92,1 83,5 74,8 70,7

Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003.

Krisis ekonomi membawa ekonomi Indonesia pada ekonomi stagflasi (ekonomi riil yang macet dan hiper-inflasi) dan menyebabkan Pemerintah Indonesia terjerat dalam utang yang sangat besar. Utang pemerintah meningkat dengan sangat tajam dari US$55,3 miliar sebelum krisis menjadi US$134 miliar (83 persen PDB) di awal tahun 2000. Kondisi utang yang parah tersebut disebabkan karena tiga kebijakan utama yang dilakukan pada waktu itu, yaitu BLBI, Kebijakan Penjaminan Bank, dan Kebijakan

Page 16: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

4

Rekapitulasi Perbankan. Pemerintah dihadapkan pada kenyataan, bahwa dari semula memiliki tingkat utang pemerintah yang rendah menjadi tinggi, dan dari semula tidak memiliki utang dalam negeri menjadi memiliki utang dalam jumlah yang sangat besar (Rp643 triliun).

Dari jumlah total Rp643 triliun tersebut, sekitar dua per tiga timbul karena kebijakan rekapitalisasi perbankan, sekitar seperempat berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya berasal dari kebijakan penjaminan bank. Kenaikan utang yang tajam ini bukan untuk pengeluaran baru (new spending), tetapi lebih disebabkan oleh kombinasi dari kekeliruan kebijakan pada masa lampau dan oleh krisis ekonomi.

Utang yang tiba-tiba ini muncul karena pemerintah pada waktu itu dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk segera keluar dari krisis. Dengan regulasi dan supervisi yang sangat lemah pada periode sebelum krisis menyebabkan swasta dapat dengan leluasa meminjam langsung dari luar negeri. Bagi kreditor luar negeri, mereka melihat utang swasta tersebut sebagai public and publicly guaranteed karena keluarga dari orang-orang berpengaruh pada waktu itu terlibat dalam usaha. Ketika krisis terjadi dan pengusaha gagal bayar, perbankan ikut limbung, dan kreditor memaksa pemerintah untuk mengambil alih utang-utang tersebut. Pemerintah dihadapkan pada contingent liabilities serius. IMF (2003) menghitung bahwa besarnya contingent liabilities akibat krisis lebih dari 50 persen PDB.

Konsekuensi dari utang yang tiba-tiba tersebut adalah kemampuan APBN sebagai stimulus fiskal semakin lemah karena besarnya beban pos-pos pengeluaran yang merupakan kewajiban dan komitmen yang harus dijalankan (termasuk komitmen membayar pokok dan bunga pinjaman). Hal ini menyebabkan kebijakan fiskal berubah peran dari stimulus fiskal menjadi kesinambungan fiskal (Rahmany, 2004). Dengan berubahnya peran tersebut, peran pemerintah sebagai agen pembangunan melalui capital expenditures menjadi semakin lemah. Namun, peran kesinambungan fiskal ini pun tidak mudah. Jika APBN tidak dikelola dengan hati-hati, maka kemungkinan gagal bayar mungkin terjadi.

Tabel 1.2 Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur

Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003, diolah.

Mayoritas utang Indonesia adalah utang jangka menengah. Perbandingan data internasional menunjukkan bahwa mayoritas utang di negara sedang berkembang adalah utang jangka panjang. Selain itu, mayoritas utang berasal dari pinjaman resmi (official) dan bank (Tabel 1.2).

Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Utang Total

(Milliar US$) 1.864,6 1.948,2 2.030,4 2.201,2 2 235,3 2.201,9 2.170,2 2.191,5 2.219,2 2.211,6

Maturitas(%):

Jangka Pendek 14,6 15,0 14,6 12,5 11,5 10,7 9,8 10,2 10,4 10,8

Jangka Panjang 85,4 85,0 85,4 87,5 88,5 89,3 90,2 89,8 89,6 89,2

Tipe Kreditor(%):

Official 44,0 42,1 39,4 38,4 38,2 37,4 38,9 39,9 40,1 39,8

Bank 24,1 27,5 29,6 29,2 28,7 28,7 28,0 27,2 26,8 27,2

Swasta 31,9 30,4 31,0 32,4 33,2 33,8 33,1 32,9 33,1 32,9

Page 17: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

5

1.4 Metodologi Penelitian

Dornbusch (1993) mencatat bahwa dalam hal pinjaman luar negeri, kebanyakan kreditur tidak dalam posisi meng-amortisasi utang. Karena itu, pembedaan utang dalam jangka pendek-menengah-panjang menjadi tidak relevan. Namun, pendapat Dornbusch (1993) tidak seluruhnya benar untuk kasus Indonesia, karena utang tidak otomatis bisa roll-over. Karena itu, usaha serius untuk reprofiling utang perlu dilakukan. Reprofiling akan berhasil jika kredibilitas pemerintah dinilai baik oleh pelaku pasar

Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban fiskal yang lain jika perekonomian mengalami shocks. Aktifitas semi-fiskal (quasi fiscal) dari BUMN dan BUMD dapat merupakan contingent liabilities jika mereka tidak dikelola dengan benar. BUMN dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara (APBN), tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan “too big to fail”.

Pemerintah bekerja sama dengan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari general governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari general governments terhadap PDB maksimal 60 persen. Dalam kedua produk hukum tersebut juga diatur bahwa Pinjaman Daerah dengan dana dari luar negeri harus melalui skema penerusan pinjaman (on lending).

Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah Tim PPE FE UGM memandang bahwa studi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) perlu dilakukan secara mendalam dan hati-hati. Untuk menemukan formula optimal pembiayaan (alternative financing) APBN yang mencakup pembiayaan dalam dan luar negeri, Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Functions dan melakukan simulasi untuk mengetahui besarnya keseimbangan primer bagi Indonesia. Namun, sebelum estimasi Fiscal Policy Reaction Functions dan simulasi dilakukan, besarnya Natural Debt Limit (NDL) untuk Indonesia perlu diestimasi terlebih dahulu.

Natural Debt Limit (NDL)

NDL merupakan batas yang dikendaki oleh pemerintah dimana pengeluaran ditekan pada tingkat yang minimum dan tidak menciptakan utang melebihi batas yang dapat dibayar. Mendoza dan Oviedo (2004) mendefinisikan Natural Debt Limit (NDL) sebagai nilai anuitas dari keseimbangan fiskal atau Primary Balance (PB) pada saat terjadi krisis fiskal. Krisis fiskal sendiri didefinisikan sebagai keadaan setelah adanya goncangan penerimaan pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut disesuaikan pada tingkat minimum pada periode yang panjang.

NDL dipengaruhi oleh rasio penerimaan terhadap PDB, rasio pengeluaran terhadap PDB, suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan, walaupun dalam keadaan krisis fiskal. Secara umum, NDL diturunkan dari kemungkinan dinamis keseimbangan primer.

Page 18: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

6

Fiscal Policy Reaction Function

Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Function untuk mengevaluasi formula optimal pembiayaan APBN. Model Fical Policy Reaction Function menggunakan variabel dependen primary balance dan first difference rasio utang terhadap PDB. Model tersebut diestimasi dengan data runtut waktu dan data panel.

Pendekatan Fiscal Policy Reaction Function dapat dijelaskan dengan model sederhana berikut. Utang pada periode t+1 (Bt+1) merupakan penjumlahan utang periode t (Bt) ditambah kebutuhan pembiayaan Ft (IMF, 2003)

= ++1B B Ft t t (1.1)

Persamaan (1.1) dapat ditulis ulang menjadi

( ) ( )= + − =+ + −+ 1 11 r B r PSB R Bt t ttt t (1.2)

St adalah pengeluaran selain bunga, Rt adalah penerimaan pemerintah, sehingga Rt - St = Pt adalah primary surplus, dan r adalah suku bunga pinjaman.

Persamaan (1.2) dapat ditulis ulang dalam bentuk rasio terhadap PDB (Y) sebagai berikut.

( )

( ) ( )

+ + = + −+

+ = + −+

1 1 11

1 11

B Y B Pt t t trY Y Y Yt t t t

g r pb bt t t

(1.3)

Utang akan berkesinambungan jika setidaknya bt+1 = bt, sehingga pt = bt (r-g). Dengan demikian, tingkat primary surplus (terhadap PDB) dapat digunakan sebagai target operasional Fiscal Reaction Function, yaitu:

α β ρ ε= + + +∑ −= 11Jp bX jt t tt jj (1.4)

Vektor Xj adalah variabel makro ekonomi yang mempengaruhi primary surplus. Dalam model ini koefisien ρ diharapkan positif untuk memastikan terjadinya long-run solvency.

Model pada Persamaan (1.4) dapat diestimasi dengan data runtut waktu (data runtut waktu Indonesia) atau panel (data dari beberapa negara). Namun, jika kita membahas besarnya primary surplus yang optimal maka besarnya primary surplus Indonesia harus dibandingkan dengan standar internasional (benchmarking). Karena itu Tim PPE FE UGM mengestimasi model tersebut dengan data panel dan diestimasi dengan metode Fixed Effects Generalized Least Square. Persamaan (1.4) dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi cross-section components (dilambangkan dengan sub-script i).

α β ρ ε= + + +∑ −= 11iJp bX ijt it itit jj (1.5)

Page 19: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

7

Pada prinsipnya skenario kebijakan surplus primer optimal dilakukan sebagai berikut (seperti terlihat pada Gambar 1.1)1. Jika posisi utang Indonesia pada periode t-1 adalah sebesar bt-1 dan besarnya p Indonesia pada periode t yang dipilih pemerintah berada di bawah nilai prediksi rata-rata antar negara (titik A pada Gambar 1.1) maka p harus dinaikkan untuk dapat mencapai rata-rata tersebut dan mencapai kesinambungan fiskal. Ada empat pilihan tersedia bagi pemerintah.

1. Pertama, besarnya p langsung dinaikkan menuju titik E. Dalam hal ini besarnya b tidak berubah pada periode t.

2. Kedua, otoritas menaikkan p tidak setinggi AE, tetapi hanya fraksi dari itu (misal AB). Pilihan ini berakibat bt meningkat. Untuk mencapi fiscal sustainability pemerintah dapat memilih jalur semacam garis BG.

3. Ketiga, pemerintah menolak menaikkan p dan mempertahankannya pada ketinggian A (mengikuti garis AF). Strategi ini akan membawa kondisi fiskal pada situasi unsustainable dan nilai b akan meningkat pada periode t serta berpotensi menuju krisis utang. Jika akhirnya pemerintah memilih fiscal sustainability maka besarnya surplus yang harus diadakan menjadi sangat besar.

4. Keempat, pemerintah justru mengurangi besarnya surplus menuju defisit. Jika pemerintah melakukan anggaran defisit dan ingin mencapai sustainability pada periode berikutnya maka pemerintah dapat memilih jalur AJ.

Gambar 1.1 Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang terhadap PDB (b)

Opsi sebaliknya tersedia jika posisi awal p pada periode t berada di atas nilai prediksi rata-rata antar negara (Titik B pada Gambar 1.1). Terdapat tiga opsi bagi pemerintah.

1. Pertama, p langsung dikurangi dari titik B menuju E. Dalam hal ini fiscal sustainability tercapai, dan nilai b pada periode t tidak berubah.

1 Gambar 1.1 lebih merupakan ancangan berpikir. Dalam prakteknya saran yang akan diberikan didasarkan pada hasil estimasi data empiris.

J

Utang Nol

G

F Krisis utang

B

D

E

B

A

Nilai prediksi p

I

H

p dan b = 0

pt

bt-1|Xt bt-1*

Page 20: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

8

2. Kedua, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan besarnya p pada jalur BH. Jika strategi ini ditempuh, maka fiscal sustainability dapat dipertahankan serta stok utang akan cepat berkurang menuju nol. Strategi kedua ini juga merupakan strategi yang baik jika tujuan pemerintah yang utama adalah ``segera melunasi utang.

3. Ketiga, pemerintah mengambil kebijakan semacam jalur BI pada Gambar 1.1. Output strategi ketiga adalah besarnya p dan b akan turun dalam jangka panjang.

Berdasarkan metode yang diusulkan pada bagian ini dan hasil wawancara pada bagian sebelumnya, dapat dihasilkan ide-ide kreatif untuk mencari formula optimal alternatif kebijakan utang pemerintah Indonesia. Dengan metodologi ini pemerintah memiliki berbagai skenario besarnya surplus (primary balance) yang dipilih serta konsekuensi stok utang.

Dengan menggunakan hasil analisis pada Fiscal Policy Reaction Functions dapat dibandingkan kinerja fungsi reaksi Indonesia dengan negara-negara maju yang kinerja pengelolaan utangnya baik dan dengan negara-negara pengutang parah. Dengan pendekatan ini dilakukan evaluasi, apakah fungsi reaksi Indonesia lebih mendekati negara yang mengelola utang dengan baik ataukah lebih mendekati negara pengutang parah.

Simulasi Keseimbangan Primer

Metode yang digunakan dalam simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia ini sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002). Namun kemudian dilakukan perubahan untuk beberapa asumsi agar hasil simulasi ini lebih dekat dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Simulasi ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar penurunan rasio utang terhadap PDB yang terjadi melalui berbagai asumsi keadaan fiskal dan makroekonomi Indonesia yang mungkin dicapai. Dalam simulasi ini, dilakukan prediksi untuk rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan 2010. Rasio utang terhadap PDB yang menjadi dasar simulasi adalah rasio tahun 2004. Dalam simulasi ini perubahan yang terjadi pada rasio utang terhadap PDB dipengaruhi oleh selisih antara pertumbuhan PDB dengan rata-rata suku bunga yang dibayarkan pada utang pemerintah, primary fiscal surplus, capital revenue serta off budget losses.

Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri

Untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada, Tim PPE FE UGM melakukan tiga hal. Pertama, yang dilakukan adalah wawancara terfokus dan mendalam (in-depth interview). Fokus topik yang ditanyakan adalah evaluasi efisiensi kebijakan pembiayaan APBN dan kebijakan utang.

Kedua, dilakukan analisis data kuantitatif biaya pinjaman dan portofolio utang yang optimal. Data yang digunakan dalam analisis efisiensi dan portofolio utang diperoleh dari Departemen Keuangan dan Bloomberg Online.

Ketiga, analisis deskriptif country risk dan biaya kondisional biaya pinjaman luar negeri. Analisis country risk Indonesia dilakukan untuk mengetahui persepsi Internasional terhadap risiko untuk melakukan investasi di Indonesia. Analisis biaya kondisionalitas dilakukan dengan cara mengamati pengalaman empiris beberapa negara, termasuk Indonesia, dalam memperoleh pinjaman dari kreditur asing.

Page 21: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

9

Portofolio Utang Komersial Pemerintah

Reprofiling dalam konteks manajemen utang merupakan upaya memindahkan beban utang yang terkonsentrasi pada satu periode tertentu dengan cara memperpanjang periode maturitas. Konsekuensi yang dihadapi pemerintah adalah suku bunga kupon akan naik, kepercayaan pasar dapat turun dan beban pembiayaan memanjang. Namun keuntungannya adalah risiko default dapat dihindarkan sehingga kredibilitas pemerintah dapat terjaga. Sasaran reprofiling adalah membuat profil dan skedul pembayaran beban utang obligasi pemerintah menjadi lebih moderat.

Dalam melakukan studi tentang reprofiling utang Pemerintah Indonesia, Tim PPE FE UGM menggunakan data pembayaran bunga, pokok pinjaman dan maturitas tahunan dari tahun 2004-2020. Dari observasi yang dilakukan kemudian dapat diidentifikasi profil maturitas obligasi Pemerintah Indonesia. Selain itu dikumpulkan juga berbagai keterangan dari staf (melalui wawancara) dan publikasi Departemen Keuangan RI perihal maturitas utang Indonesia jangka menengah.

Data yang Digunakan

Data yang digunakan dalam studi manajemen utang ini diperoleh dari International Financial Statistics (IFS), Government Financial Statistics (GFS), Global Development Finance, Key Indicator Asian Development Bank 2004, OECD Outlook 2004, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Departemen Keuangan dan Bloomberg Online. Data-data yang dikumpulkan adalah data untuk Central Government dengan pendekatan Cash Basis. Tim PPE FE UGM melakukan perbandingan data-data yang telah dikumpulkan. Untuk Indonesia data yang dikumpulkan diusahakan dalam seri yang sepanjang mungkin.

Page 22: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

10

2.1 Latar Belakang

Bab

2

STUDI PUSTAKA MANAJEMEN

UTANG STUDI PUSTAKA – STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Pemerintah adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Secara khusus, pemerintah dapat merepresentasikan suatu negara. Pemerintah suatu negara wajib menjalankan tiga fungsi pemerintah, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, pemerintah membutuhkan dana.

Dalam mengatur anggaran pengeluaran dan penerimaan, pemerintah menjalankan kebijakan fiskal. Operasionalisasi kebijakan ini dapat berupa pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi dan pengelolaan pendapatan.

Keseluruhan fungsi fiskal ini dapat tercapai secara berkelanjutan jika penerimaan negara (pemerintah) sesuai dengan kebutuhan pengeluarannya. Jika tidak, dibutuhkan alternatif pembiayaan tambahan yang mencakup pendanaan internal dan eksternal. Sehubungan dengan pendanaan eksternal, utang menjadi suatu alternatif kebijakan pembiayaan negara.

Todaro (2000) secara khusus berpendapat bahwa saving gap (kesenjangan tabungan dan kebutuhan investasi) dapat menjadi penyebab utang luar negeri. Jika akumulasi kapital domestik menurun, maka diperlukan modal dari luar negeri untuk mengolah sumber daya domestik tersebut. Todaro menyebutnya sebagai imported capital. Selain itu, defisit transaksi berjalan dalam neraca perdagangan juga dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan kapasitas pembayaran.

Perhatian terhadap utang dan defisit memiliki arti penting dalam analisis keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena defisit yang dibiayai oleh bank sentral dengan pencetakan uang akan mendorong terjadinya inflasi. Sementara defisit yang dibiayai dengan surat utang akan menimbulkan efek crowding-out (dengan asumsi-asumsi tertentu).

Page 23: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

11

2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang

Pada dasarnya, tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki utang. Ketidakseimbangan aliran modal umumnya terjadi. Utang tidak selalu merugikan, sejauh dikelola dengan baik. Pada tahun 2001, OECD Economic Outlook mencatat bahwa negara industri maju di dunia pun mempunyai rekening pinjaman dalam struktur PDB mereka. Sebagai contoh, Jepang dan Itali memiliki rasio utang terhadap PDB yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001

Negara Persentase Utang terhadap PDB Negara Persentase Utang

terhadap PDB Jepang 119 Irlandia 54 Italia 108 Spanyol 53 Belgia 105 Finlandia 51 Kanada 101 Swedia 49 Yunani 100 Jerman 46 Denmark 67 Austria 40 Inggris 64 Belanda 27 Amerika Serikat 62 Australia 26 Perancis 58 Norwegia 24 Portugal 55

Sumber: OECD Economic Outlook, 2001.

Utang akan aman bagi kondisi fiskal suatu negara jika pemerintah mampu memelihara kestabilan antara penerimaan pinjaman yang diperoleh dengan kemampuan pembayaran kembali. Jika tidak, maka utang akan mengganggu kestabilan ruang gerak pembiayaan negara. Stabilitas yang harus dicapai inilah yang disebut sebagai kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

Definisi Ada berbagai pengertian kesinambungan fiskal. Ayumu Yamauchi (2004) berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi jika nilai sekarang (present value) dari batasan pengeluaran (expenditure constraint) yang akan datang dapat dipenuhi tanpa harus melakukan koreksi atau penyesuaian fiskal untuk mencapai keseimbangan. Barnhill dan Kopits (2003) melihat bahwa kesinambungan fiskal merupakan interaksi antara keseimbangan anggaran primer dengan parameter kunci, yaitu pertumbuhan dan tingkat bunga yang mempengaruhi pembayaran utang publik. Sementara Blanchard et.al. (1990), berpandangan bahwa posisi utang yang aman akan tercapai bila rasio utang mengarah kepada keadaan semula.

Pengertian kesinambungan fiskal yang lain lebih melihat pertumbuhan ekonomi sebagai penyeimbang stok utang dan kemampuan fiskal. Jika PDB tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan stok utang dan kontinyu, maka posisi fiskal akan aman bagi pembayaran utang. Pendapat ini dikemukakan misalnya oleh Joseph Ntamatungiro (2004) dan Sebastian Edwards (2002). Ntamatungiro menekankan bahwa fiskal akan aman jika terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards berpendapat bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner.

IMF dan Bank Dunia secara sederhana mendefinisikan kesinambungan utang luar negeri (external debt sustainability) suatu negara sebagai kemampuannya dalam memenuhi kewajiban berjalan dan yang akan datang secara penuh tanpa perlu adanya penjadwalan

Page 24: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

12

kembali atau tunggakan (arrears). Sementara itu, Uni Eropa memiliki fiscal-financial programme sebagai panduan stabilitas fiskal-finansial negara-negara anggotanya. Kesinambungan fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan risiko gagal bayar, yaitu tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang (present value) semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang (Buiter dan Graf, 2002).

Pada umumnya negara debitur akan menghadapi banyak permasalahan menyangkut utang yang dilakukan, antara lain solvabilitas, likuiditas, kesinambungan dan kerentanan. Menurut Geithner (2002), solvabilitas terjadi jika Present Discounted Value (PDV) dari pengeluaran primer (E) saat ini dan masa yang akan datang tidak melebihi PDV pendapatan (Y) saat ini dan yang akan datang dikurangi initial indebtedness (utang mula-mula/Dt-1). Secara matematis, kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut:

10

1

11

1

01

11

1 )1()1()1(

=

=+

+∞

=

=+

+ +−+

≤+

∑∑ tti

it

i

i

it

i Drr

Y

r

E

CC (2.1)

Likuiditas terjadi jika kondisi solvabilitas dapat terpenuhi atau ketika aset likuid dan dana yang ada dapat memenuhi maturitas utang. Kerentanan terjadi jika terdapat goncangan pada solvabilitas dan likuiditas keuangan negara. Sedangkan kesinambungan dalam hal utang didefinisikan sebagai situasi dimana peminjam dapat memenuhi kewajiban utangnya tanpa harus melakukan koreksi pada keseimbangan penerimaan dan pengeluaran masa yang akan datang.

Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian Sebagai pelaku ekonomi, pemerintah juga mempunyai andil dalam perkembangan perekonomian suatu negara. John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menyarankan dilakukannya kebijakan pemerintah yang ekspansif untuk membantu mengurangi pengangguran akibat depresi ekonomi.

Hal ini berbeda dengan pendapat David Ricardo (1772-1823). Ricardo berpendapat bahwa upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal tidak akan berhasil. Jika terjadi defisit anggaran dan pemerintah melakukan pinjaman untuk menutupinya, maka ini sebenarnya merupakan pajak yang tertunda. Berdasarkan ekspektasi rasionalnya, konsumen akan beranggapan bahwa pemerintah akan mengkompensasikan dana pinjaman tersebut dengan cara menaikkan pajak di masa yang akan datang. Inilah yang disebut sebagai Ekuivalensi Ricardian (Ricardian Equivalence).

Menurut aliran Neoklasik, pinjaman yang dilakukan pemerintah terhadap publik akan berakibat pada berkurangnya investasi swasta. Hal ini disebabkan penurunan cadangan dana publik akan diikuti oleh meningkatnya tingkat bunga. Dengan biaya modal yang tinggi investasi swasta menjadi tertekan dan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Fenomena ini disebut sebagai crowding out.

Friedman (1987) menegaskan potensi terjadinya crowding-out ini pada masa-masa rawan defisit fiskal, bahkan pada saat perekonomian mencapai full-employment. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa utang pemerintah akan berhubungan dengan penyerapan utang swasta. Selain itu utang juga berhubungan dengan tingkat pendapatan. Teorinya didasarkan pada dua hipotesis perilaku pemberi pinjaman, yaitu:

Page 25: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

13

1. Modigliani’s Life-Cycle Hypothesis of Saving

Pada perekonomian maju dengan sebaran populasi yang stabil, individu akan menyimpan dana pada berbagai pilihan dimana terdapat kestabilan hubungan antara pendapatan dengan kesejahteraan ekonomi secara agregat.

2. Risk-Averse Portfolio Behavior Theory

Investor akan menanamkan dananya pada portfolio yang meminimalisir risiko dan memaksimalkan keuntungan.

Swasta akan mengambil pinjaman berdasarkan pada faktor-faktor seperti tingkat keuntungan usaha, ketersediaan kredit, tingkat pajak, risiko ekonomi maupun non ekonomi dan regulasi tentang kepailitan. Dengan adanya rasionalitas sektor swasta, maka kenaikan tingkat utang pemerintah akan direspon sebagai ekspektasi kenaikan pajak di masa mendatang. Jika hal ini terjadi maka Ricardian equivalence akan berlaku.

Berkaitan dengan defisit fiskal, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian akan berbeda. Hal ini bergantung pada cara pemerintah mengatasi kekurangan tersebut. Hoogendorn (1996) melengkapi analisis dengan 2 kemungkinan solusi yang diambil pemerintah untuk keluar dari defisit. Pertama, melakukan pinjaman ke swasta. Sejalan dengan pemikiran Neoklasik, skenario ini akan melahirkan efek tekanan terhadap swasta dalam hal kesempatan berinvestasi. Kedua, menambah penerimaan pajak, misalnya melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan perbaikan administrasi.

Defisit fiskal juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Mankiw (2003) mencatat tiga efek yang dapat ditimbulkan oleh ekspansi anggaran pemerintah yang terlampau eksesif. Pertama, terjadinya ekspansi di sektor moneter yang berujung pada peningkatan jumlah uang beredar (inflasi). Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, akan berlanjut dengan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Di beberapa negara, persentase capital flight terhadap utang pemerintah menunjukkan angka yang cukup tinggi. Bahkan, Venezuela pernah memiliki persentase capital flight terhadap utang pemerintah sebesar 240 persen pada akhir tahun 1988. Indonesia pernah mengalami capital flight yang besar pada puncak krisis 1998. Ketiga, dalam jangka panjang akan timbul pergeseran beban utang ke generasi yang akan datang.

Dampak kontradiktif perilaku fiskal terhadap pasar uang juga diamati oleh Brandon dan Marquez (1988). Studinya tentang dampak pemotongan pengeluaran pemerintah terhadap suku bunga di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa suku bunga cenderung menurun jika pemerintah berhenti berekspansi.

Konservatisme fiskal juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian. Di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman (Chouraqui, 1986) dan Amerika Serikat (Friedman, 1981), rasio utang terhadap PDB justru distabilkan dalam jangka pendek. Utang Amerika Serikat pasca Perang Dunia II yang umumnya bersifat jangka panjang dikonversikan dalam jangka pendek untuk segera diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko di masa depan.

Buiter (1983) mengutarakan kemungkinan adanya ruang bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap perekonomian. Hal ini berdasarkan teori Neo-Keynesian tentang peran penting campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada dua alasan pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Pertama, intervensi karena alasan distribusi. Pemerintah dapat melakukan redistribusi pendapatan untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya melalui reformasi pajak dan struktur yang progresif. Kedua, untuk mengatasi kegagalan pasar. Sebagai contoh, jaminan kredit untuk mengatasi asymmetric information mengenai usaha yang akan didanai olehnya.

Page 26: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

14

Buiter yakin bahwa anggaran pemerintah mampu menstabilkan permintaan agregatif masyarakat pada saat tertentu. Hal ini melibatkan pajak dan transfer (termasuk subsidi), ketika variabel konsumsi dan investasi tidak berubah.

Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal Selain dampak aktivitas fiskal terhadap perekonomian, kondisi perekonomian suatu negara juga dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal pemerintah negara tersebut. Inflasi yang tinggi, perubahan nilai tukar dan tingkat keterbukaan ekonomi dan perdagangan merupakan contoh hal-hal yang dapat mempengaruhi operasi keuangan pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran.

Rosen (1999) menyatakan bahwa aktivitas konsumsi, penjualan dan akumulasi kekayaan merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Pajak memainkan peranan vital bagi kelangsungan fiskal pemerintah. Di Inggris dan Eropa, pajak pertambahan nilai (Value Added Tax/VAT) menjadi sumber penerimaan penting walaupun kebijakan ini tidak lazim di Amerika Serikat. Jenis pajak yang dominan di Amerika Serikat adalah pajak penjualan. Pada tahun 1994, total pajak penjualan di tingkat negara bagian mencapai 38 persen dari total penerimaan negara di Amerika Serikat. Namun penerimaan dari pajak ini sangat bergantung pada aktivitas perekonomian. Jika aktivitas perekonomian mengalami kelesuan maka penerimaan pajak pun akan mengalami tekanan.

Menurut Buiter dan Juan (1993), tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit primer melalui penurunan nilai riil dari penerimaan pajak. Sementara itu, jika swasta memiliki piutang dalam bentuk mata uang domestik dengan bunga tetap maka inflasi akan mempengaruhi nilai riil penerimaan piutang tersebut.

Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap beban fiskal. Pada tahun 1981-1983 Meksiko mengalami sudden stop, yaitu terhentinya aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak menentu. Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan. Krisis yang dialami Meksiko ini dikenal sebagai ‘Tequila Crisis’. Nilai aliran devisa masuk yang tertunda mencapai 20 persen dari total PDB Meksiko saat itu. Selain Meksiko, Calvo (2004) juga mendeteksi gejala sudden stop di negara-negara berkembang lainnya.

Terjadinya sudden stop didorong oleh faktor eksternal dan internal. Contoh variabel eksternal adalah efek domino (contagious effect). Sedangkan variabel internal meliputi tarif, situasi politik dan tata kelola. Adanya dolarisasi utang-utang domestik (Domestic Liabilities Dollarization/DLD) membuat posisi fiskal pemerintah terbuka terhadap goncangan. Namun hal ini dilakukan untuk menarik minat kreditur, mengingat preferensi memegang dolar sangat tinggi.

Tabel 2.2 Biaya Restrukturisasi Finansial ( % PDB)

Negara Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) Indonesia, 1997 47 Thailand, 1997 29 Chili, 1981-1987 29 Meksiko, 1994-1999 19 Korea, 1997 17 Swedia, 1990-1993 4 Amerika Serikat, 1980-1992 2

Sumber : IMF, 2000

Selain di Amerika Latin, dampak perekonomian terhadap fiskal juga terjadi di Asia. Pengalaman menunjukkan bahwa krisis Asia pada periode 1997-1998 segera diikuti oleh

Page 27: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

15

bertambahnya utang publik. Penurunan nilai tukar beberapa negara Asia pada saat itu mengakibatkan kredit macet yang ditanggung oleh sektor perbankan. Kredit macet tersebut harus segera diambil alih oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya penjaminan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Biaya restrukturisasi finansial di Indonesia sendiri relatif lebih besar dibandingkan beberapa negara lainnya (Tabel 2.2).

Kesinambungan Fiskal

Kesinambungan fiskal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu indikator surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Menurut Cuddington (1996), defisit atau surplus keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam pengukuran ketahanan fiskal. Secara matematis, besar utang pada periode t merupakan utang pada periode sebelumnya (t-1) ditambah bunga, dikurangi surplus primer. Besar utang tersebut dirumuskan sebagai berikut.

Bt = (1 + rt) Bt – n – SURPB (2.2)

Di mana : Bt: jumlah utang pemerintah yang beredar pada tahun t rt: tingkat bunga SURPB: surplus pada keseimbangan primer Keseimbangan primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar bunga dan cicilan utang. Menurut definisi Accounting Approach yang diperkenalkan oleh Cuddington, defisit atau surplus pada keseimbangan primer akan berkesinambungan bila keseimbangan primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan. Tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB) tidak boleh lebih rendah dari suku bunga utang.

Dalam hal ini, surplus primer dari ekspor dipandang sebagai kompensator bagi ketahanan utang. Namun ukuran ini tidak cocok untuk negara berkembang. Cuddington (1996) menyatakan bahwa metode ini hanya cocok untuk negara-negara yang ekspornya maju. Aplikasi Accounting Approach ini harus memperhatikan kemungkinan penggunaan pencetakan uang sebagai sumber pembiayaan fiskal. Oleh karena itu, surplus (SURPB) di atas harus diterjemahkan sebagai surplus primer ditambah penerimaan dari pencetakan uang yang berkesinambungan (sebagai rasio dari PDB).

Metode lain yang diperkenalkan oleh Cuddington adalah Present Value Budget Constraint (PVBC). Cuddington berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan tercapai jika nilai sekarang (Present Value) dari utang pemerintah sama dengan nilai sekarang dari surplus primer yang diharapkan.

∑=

++

+=−

N

jj

jtt r

SURPBB

01)1(

1 (2.3)

Metode ini menekankan suatu kondisi di mana nilai sekarang dari akumulasi utang di masa mendatang sama dengan nol sehingga akan menjaga kelangsungan anggaran negara. Artinya pertumbuhan utang harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat bunga.

Sementara itu, Branson (1990) menggunakan pendekatan analisis keseimbangan eksternal dan internal melalui persamaan dinamis utang. Persamaan tersebut memasukkan unsur pencetakan uang (seignorage) dalam menganalisis dinamisasi utang selain menggunakan primary surplus. Secara matematis, persamaan tersebut dituliskan sebagai berikut.

Page 28: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

16

spb*)nr(db −+−= (2.4) Di mana : b: rasio utang terhadap PDB db: aritmathic annual growth (debt) r: suku bunga riil n: tingkat pertumbuhan PDB riil p: primary defisit after grants s: rasio seignorage terhadap PDB. Untuk negara yang memiliki utang, rasio utang terhadap PDB (b) negara tersebut bernilai positif. Jika selisih antara rasio utang terhadap PDB dengan pertumbuhan riil (r-n) positif maka utang akan meningkat karena peningkatan suku bunga. Oleh karena itu, untuk mencapai proses stabil maka selisih antara rasio defisit primer dengan rasio pencetakan uang terhadap PDB (p-s) harus negatif.

IMF dan Bank Dunia menganalisis utang eksternal dengan pendekatan PVBC tersebut. Apabila pengampunan utang diberikan, NPV (Net Present Value) utang luar negeri suatu negara akan stabil pada tingkat steady state relatif terhadap PDB. Menurut Edwards (2002), keadaan ini merupakan keadaan yang aman karena rasio utang sektor publik terhadap PDB bersifat stasioner.

Ada tiga ciri utama yang dijadikan patokan oleh IMF dan Bank Dunia dalam menerapkan pendekatan ini PVBC ini. Pertama, jika negara menerapkan reformasi ekonomi yang sesuai, rasio utang terhadap PDB yang dicapai setelah pengampunan utang akan berkesinambungan dalam jangka panjang. Kedua, dalam jangka panjang negara debitur akan dapat mempertahankan akses ke pembiayaan longgar. Ketiga, lebih rendahnya NPV dibandingkan face value karena negara miskin memiliki akses ke pembiayaan longgar yang disubsidi.

Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan Fiskal

Penilaian terhadap kesinambungan fiskal pemerintah memerlukan indikator yang jelas dan terukur untuk mengestimasi tekanan utang luar negeri. Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) menegaskan bahwa suatu indikator minimal harus memenuhi tiga persyaratan yaitu implementasi dan interpretasi yang sesuai dengan karakteristik negara terkait, penjabarannya didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi positif (bukan normatif), dan adanya kesamaan persepsi dalam perbandingan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perbedaan-perbedaan pengukuran dalam hubungan antarnegara.

Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran kinerja. Dalam observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut, Chouraqui menemukan bahwa Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan cara efektif untuk saling mengontrol secara kolektif kestabilan fiskal masing-masing negara anggota. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II berangkat dari kondisi perekonomian yang sama.

Beberapa alasan CAB digunakan sebagai indikator perubahan kebijakan fiskal adalah:

1. CAB merupakan ukuran dasar kebijakan fiskal yang dapat membedakan antara anggaran seimbang pemerintah yang berubah-ubah dengan yang tetap.

2. Melihat pengaruh kebijakan pada tahun-tahun selanjutnya pada keuangan publik.

3. CAB dapat menganalisis reaksi perubahan wewenang dalam lingkungan ekonomi.

Page 29: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

17

Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan fiskal. Fungsi identitas yang dielaborasi oleh Buiter mencantumkan banyak variabel yang terkait dengan penentuan stabilitas fiskal sebagai berikut.

)()(

)(*1

*1

*1

*1

*1

*1

*1

*

−−−−

−−−

−−−+−+−≡

−++−+−−−

ttttttttdt

dt

ttttdttttttttt

RREHHBBEBB

RBEiBiPRIVAFNETC (2.5)

Di mana: Ct: konsumsi pemerintah pada periode t Tt: pajak setelah dikurangi transfer dan subsidi Et: nilai tukar di pasar spot

*tN : nilai bantuan luar negeri dalam mata uang asing

Ft: aliran kas dari sektor publik At: pembentukan modal domestik di sektor publik PRIVt: dana hasil privatisasi it : suku bunga utang publik domestik

dtB 1− : nilai nominal face value kewajiban domestik pemerintah termasuk tunggakan

maupun yang sedang berjalan *ti : suku bunga utang dalam denominasi mata uang asing *1−tB : nilai nominal kewajiban luar negeri termasuk bunga, tunggakan dan

kewajiban bank sentral dalam denominasi mata uang asing *1−tR : cadangan devisa 1−tH : stok uang beredar

Dalam hal ketahanan utang, ada dua pendapat mengenai wacana indikator, yaitu mereka yang berpegang pada surplus primer dan yang berpegang pada rasio utang terhadap PDB. Beberapa penulis seperti Cohen (2000) dan Marks (2003) menggunakan parameter rasio utang terhadap PDB sebagai indikator ketahanan fiskal. Pertumbuhan utang luar negeri tidak boleh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya.

Turunnya rasio utang terhadap PDB tidak berarti adanya peningkatan posisi keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara, penipisan sumber-sumber kepemilikan publik dan penurunan modal tetap pemerintah.

Menurut Cuddington (1996), aliran surplus primer merupakan fondasi utama bagi ketahanan fiskal pemerintah terhadap utang. Cuddington mendefinisikan surplus primer sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran primer, tidak termasuk pembayaran bunga dan cicilan utang. Harinowo (2004) juga menegaskan bahwa surplus yang dicapai akan digunakan untuk melakukan kembali pembayaran utang yang telah jatuh tempo.

Buiter (1995) menawarkan 3 pilihan proksi yang berbeda dalam mengukur kesinambungan fiskal, yaitu rasio utang publik terhadap PDB, one-period primary gap, dan permanent primary gap. Buiter menyebut penurunan rasio utang terhadap PDB sebagai indikasi kemampuan menjaga solvabilitas jangka panjang. Buiter juga mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat mempengaruhi solvabilitas fiskal, yaitu: 1) rasio utang terhadap PDB, 2) rasio surplus primer terhadap PDB, 3) suku bunga jangka panjang dan 4) pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Primary Gap adalah selisih antara surplus primer aktual dan surplus primer yang diharapkan. Jika primary gap dihitung pada satu periode saja (t), maka hal ini disebut sebagai one-period primary gap. Namun, jika mempertimbangkan faktor solvabilitasnya sampai akhir periode utang maka primary gap tersebut disebut sebagai permanent primary gap.

Page 30: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

18

One-period primary gap dapat dirumuskan sebagai berikut.

tt1tt

ttN sσbg1gr(0)GAP −−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+−

≡ − (2.6)

Sedangkan permanent primary gap dapat dirumuskan sebagai solvency gap berikut.

∞∞−∞

∞∞∞ −−⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛+−

≡ AA1t sσbg1grGAP (2.7)

Di mana: Bt: utang pada periode t ∞: permant primary gap g: pertumbuhan ekonomi δ: standar deviasi s: surplus primary gap, yang merupakan selisih antara ideal atau rencana dengan

aktual atau realisasi r: suku bunga utang Fiskal akan aman jika primary gap yang terealisasi lebih besar daripada yang diharapkan.

Buiter (1995) cenderung menolak rasio utang terhadap PDB sebagai satu-satunya faktor penentu dalam mengukur kesinambungan fiskal. Menurut Buiter, rasio utang terhadap PDB memang penting, namun bukan faktor yang merisaukan jika hanya melihat besarannya. Menurut Buiter, yang lebih penting adalah solvabilitas fiskal dan kebijakan yang berkesinambungan. Sebagai contoh, rasio utang terhadap PDB Jepang pada tahun 2001 sebesar 119 persen (OECD, 2001). Namun, fiskal Jepang tetap aman karena rasio tersebut bukan menjadi satu-satunya ukuran.

Menurut Buiter, surplus primer juga dapat memperoleh tambahan dari aktivitas pencetakan uang (seigniorage). Buiter menyebut surplus primer yang telah mendapat tambahan tersebut sebagai augmented primary surplus (σ ). Buiter berpendapat bahwa variabel ini berbanding lurus dengan suku bunga riil domestik dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan mengetahui besaran-besaran tersebut, kita dapat memperkirakan besarnya surplus primer yang dibutuhkan untuk menstabilkan fiskal secara berkesinambungan. Sasaran utama yang hendak dicapai ialah menyeimbangkan kembali rasio utang terhadap PDB. Augmented primary surplus (σ ) dirumuskan sebegai berikut.

σ bnr )( −= (2.8)

Di mana: r: tingkat suku bunga domestik riil n: laju pertumbuhan ekonomi b: besarnya total pinjaman pemerintah, baik domestik maupun luar negeri

Pendapat Buiter memberikan kontribusi baru, yaitu kemungkinan penambahan surplus primer melalui aktivitas pencetakan uang.

Berkaitan dengan keseimbangan primer sebagai indikator ketahanan utang, Bohn (1998) mengamati respon surplus anggaran primer terhadap perubahan rasio utang terhadap pendapatan. Respon yang positif menunjukkan bahwa pemerintah mengambil tindakan mengurangi pengeluaran non bunga atau meningkatkan penerimaan, yang akan menghambat perubahan utang.

Hubungan sistematis antara rasio utang terhadap pendapatan dan surplus primer ditunjukkan dengan persamaan regresi sebagai berikut.

Page 31: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

19

tttttt d*Z*d*s µρεαρ +=++= (2.9)

Di mana: Zt: faktor-faktor lain yang mempengaruhi surplus primer εt: error term µt: α . Zt + εt. Berdasarkan penelitian Barro (1979) diperoleh persamaan untuk memperoleh surplus primer dengan tax-smoothing model. Jika dilakukan pengurangan pengeluaran pemerintah non-bunga dari penerimaan pajak. Model tersebut menunjukkan bahwa faktor non-utang yang mempengaruhi surplus primer (Zt) adalah tingkat pengeluaran pemerintah temporal, GVAR dan indikator siklus bisnis, YVAR. Model untuk rasio surplus terhadap PDB dituliskan sebagai berikut.

tYGtt YVAR*GVAR*d*s εαααρ ++++= 0 (2.10)

Sementara itu, menurut Bohn (1998), perubahan rasio utang terhadap PDB dipengaruhi oleh lagged level dan komponen non-utang pada surplus primer.

( )[ ]tttttt *xd*xdd µρ 1111 11 ++++ −−−−==∆ (2.11) Dengan xt+1 dan µt yang stasioner, rasio utang terhadap PDB menjadi stasioner, jika x . (1 – ρ) < 1.

Selain rasio utang terhadap PDB, dapat juga digunakan rasio utang terhadap ekspor untuk melihat solvabilitas dan kesinambungan fiskal suatu negara. Akan tetapi ukuran rasio utang terhadap ekspor mengandung beberapa kelemahan, antara lain dapat diatasinya utang luar negeri tidak hanya oleh ekspor, tetapi juga oleh substitusi impor. Selain itu ekspor aktual juga tidak menunjukkan hubungan antara produksi potensial dari komoditas ekspor suatu negara dalam jangka panjang ketika sumber daya dapat dialihkan dari produksi non-traded goods menjadi traded-goods (Buiter 1993).

Dinh (1999) memaparkan sebuah pendekatan sederhana yang didasarkan pada solvabilitas dan kesinambungan untuk mengukur kinerja fiskal. Indikator yang digunakan adalah Fiscal Solvency Adjustment (untuk mengukur seberapa besar tambahan fiskal yang diperlukan untuk mencapai tingkat solvabilitas sektor publik) dan Fiscal Sustainability Adjustment (untuk mengukur seberapa besar usaha fiskal yang diperlukan tanpa menambah relatif utang internal maupun eksternal terhadap output).

Dalam kaitannya dengan sektor publik, konsep solvabilitas didasarkan atas kemampuan untuk memenuhi intertemporal budget constraint. Model Fiscal Solvency Adjustment yang digunakan adalah sebagai berikut.

( )grYB

S* −=0

0 (2.12)

Di mana: S*: proporsi output yang harus dicapai agar tercipta solvabilitas pada sektor publik B0: utang awal pemerintah Y0: output (PDB) r: suku bunga Sedangkan untuk mengukur penyesuaian kesinambungan fiskal digunakan model Fiscal Sustainability Adjustment. Formula model tersebut adalah sebagai berikut.

Page 32: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

20

( ) ( ) ( ) ( )gpv

xeryxgrs **** +−−+⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−+−=

11 βµβ (2.13)

Di mana. s**: primary surplus (yang ditulis dalam presentase output) yang diperlukan

untuk mencapai debt sustainability pada sektor publik β: jumlah utang dalam negeri β*: jumlah utang luar negeri r : suku bunga riil dan tingkat pertumbuhan g: suku bunga riil dan tingkat pertumbuhan µ: grant atau komponen soft money pada anggaran x/y: proporsi ekspor pada output nasional r*: suku bunga riil internasional e : perubahan nilai tukar riil x : tingkat pertumbuhan ekspor 1/ v: velocity of money demand p : tingkat inflasi

Solvabilitas bukan satu-satunya parameter penentu kesinambungan fiskal. Menurut Buiter (1990), ukuran-ukuran solvabilitas juga dapat menipu. Sebab apabila suatu negara melakukan Ponzi Games (membayar utang lama dengan membuat utang baru dalam jumlah yang sama) dan pertumbuhan utang lebih kecil dibanding pertumbuhan bunga jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa fiskal negara tersebut solvabel.

Roubini (2001) berpendapat bahwa kriteria solvabilitas suatu negara justru tidak kaku. Solvabilitas akan tercapai bila pemerintah tidak meningkatkan jumlah utang lebih cepat dibandingkan tingkat bunga riil utang. Bahkan bila transaksi berjalan dalam keadaan defisit pun, solvabilitas masih dapat dicapai jika terdapat potensi surplus di masa depan. Kriteria solvabilitas yang bersandar pada surplus tidak lagi realistis karena pemerintah seringkali tidak dapat berkomitmen penuh dalam mencapai surplus di kemudian hari. Selain itu, penyesuaian dalam mencapai surplus membutuhkan biaya yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Artinya, ada pergeseran orientasi pajak jangka panjang untuk orientasi surplus jangka pendek. Bila jalur kontraksi yang dipilih, maka pemotongan subsidi bagi masyarakat menjadi pilihan. Hambatan lain dalam mengukur solvabilitas adalah adanya ketidakpastian mengenai external future dan domestic shocks. Bagaimanapun menurut Roubini, langkah pertama mencapai solvabilitas adalah mengurangi aktivitas pinjaman.

Roubini (2001) kemudian merekomendasikan beberapa parameter untuk mengukur solvabilitas:

1. Menggunakan indikator tradisional

Contoh indikator tradisional adalah rasio utang luar negeri terhadap PDB, rasio utang luar negeri terhadap ekspor, rasio pembayaran utang terhadap PDB dan rasio pembayaran utang terhadap ekspor. Untuk utang domestik, digunakan rasio utang publik terhadap PDB, rasio utang publik terhadap penerimaan pemerintah, rasio pembayaran utang terhadap PDB dan rasio pembayaran utang terhadap penerimaan pemerintah. Persepsi pasar tentang kredibilitas dan optimalisasi juga perlu dipertimbangkan.

2. Menggunakan data historis untuk mengukur utang dan gap

Data yang digunakan mencakup pertumbuhan PDB, neraca pembayaran, defisit fiskal, suku bunga, Foreign Direct Investment (FDI) dan informasi sumber daya pembayaran yang tersedia.

Page 33: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

21

3. Menggunakan nilai pasar

Jika terjadi perbedaan antara nilai pasar dari utang dengan nilai prospek penurunan pembayaran (aliran kas), maka kemungkinan akan terjadi pengurangan utang. Hal ini dialami oleh Ekuador pada tahun 1999.

Menurut Roubini (2001), jika perekonomian negara cukup terbuka dan hambatan perdagangan minim maka indikator rasio utang terhadap ekspor dapat digunakan. Tetapi jika volume perdagangan internasional minim dan keterbukaan kecil maka rasio utang terhadap PDB akan lebih baik. Hal ini disebabkan rasio utang terhadap ekspor hanya cocok bagi negara-negara yang mengandalkan sektor perdagangan internasional dan memiliki surplus yang kuat. Cadangan devisa akan digunakan untuk membayar pinjaman mereka.

Jika suatu negara tidak cukup terbuka terhadap perdagangan luar negeri dan memiliki pertumbuhan PDB rendah, maka harapan satu-satunya berada pada sektor pemerintah (publik). Untuk konteks demikian, Roubini berpendapat bahwa rasio utang terhadap penerimaan pemerintah lebih tepat digunakan.

Untuk mengukur kebijakan fiskal, formula di atas harus dibandingkan dengan defisit fiskal aktual. Perbedaan antara dua persamaan diatas dengan defisit fiskal aktual didefinisikan sebagai adjustment. Nilai positif pada persamaan tersebut mengindikasikan seberapa besar penyesuaian, dan nilai negatif mengindikasikan tidak perlu adanya penyesuaian.

Dari hasil studi literatur yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa defisit dapat ditutup dengan banyak cara, namun tidak semua solusi tepat pada konteksnya. Buiter menentang solusi yang tidak tepat konteks waktunya. Yang ditolak oleh Buiter adalah solusi untuk menyelesaikan defisit fiskal melalui privatisasi dan restrukturisasi. Kedua kebijakan ini tidak efisien, karena hanya akan menimbulkan contingent liabilities di masa mendatang. Restrukturisasi seolah meringankan beban utang, padahal restrukturisasi tersebut hanya menggeser kewajiban ke masa depan. Menurut pandangan Buiter, privatisasi akan bermanfaat jika tujuan yang hendak dicapai ialah efisiensi dan bukan untuk membayar utang. McKinnon (1991) menyarankan privatisasi perbankan sebaiknya dilakukan menjelang akhir masa reformasi.

Salah satu contoh keberhasilan desain fiskal yang dipaparkan oleh Buiter (1997) adalah keberhasilan desain fiskal di Inggris. Utang pemerintah tidak boleh lebih besar dibandingkan pembentukan modal bersihnya (net capital formation). Untuk itu, pemerintah harus dapat memonitor seluruh aset sektor publik dan akumulasi kewajiban yang terjadi dalam neraca komprehensif. Sebagai bagian dari pendukung teori surplus primer, Buiter kembali mengingatkan bahwa nilai sekarang (present value) surplus primer pemerintah pada suatu waktu setidaknya seimbang dengan kewajiban jatuh temponya. Jika biaya modal (cost of capital) utang meningkat maka surplus primernya juga harus ditingkatkan.

Dalam penelitiannya di Uni Eropa, Buiter (2003) memperkenalkan prinsip The Golden Rule, dimana pemerintah diminta untuk meminjam guna keperluan investasi saja. Dengan asumsi No Ponzi Games, hal ini dapat mendorong konservatisme bagi fiskal. Sedangkan prinsip lain yang diperkenalkan olehnya adalah The Permanent Balance Rule, yaitu pertambahan pajak sebagai bagian yang konstan dari PDB.

Konsolidasi Fiskal McDermott dan Wescott (IMF, 2001) secara khusus mengkonfrontasikan perdebatan antara dua pilihan untuk mengurangi pengeluaran atau menambah penerimaan pajak dalam situasi defisit. Kedua pilihan kebijakan ini disebut sebagai konsolidasi fiskal. IMF meneliti pengalaman empiris reformasi fiskal tersebut di Eropa Barat pada tahun 1996. Negara-negara yang sukses dalam melakukan konsolidasi fiskal dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Page 34: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

22

Penerapan aturan kebijakan sangat penting untuk melakukan konsolidasi fiskal. Kebijakan yang efektif ditujukan untuk memastikan kesinambungan fiskal jangka panjang dan untuk mengantisipasi peningkatan pengeluaran. Dalam kaitannya dengan pengeluaran, akhir-akhir ini banyak negara membuat dana simpanan untuk generasi yang akan datang dan kebijakan pengeluaran lebih diarahkan ke pengeluaran dana pensiun dan dana kesehatan.

Sebagian besar pembaharuan yang dilakukan merupakan perubahan dari aturan mengenai kebijakan pengeluaran yang lebih diarahkan pada aturan mengenai utang, seperti yang diterapkan oleh Kanada dan Swiss. Di Kanada, pembaharuan ini dilakukan melalui Federal Spending Control Act yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1991. Federal Spending Control Act membahas mengenai pengelolaan pengeluaran, kemudian diperbarui pada tahun 1998 dengan diarahkan kepada pengurangan utang melalui Debt Repayment Plan. Sementara itu, Swiss pada tahun 1998 pertama kali menetapkan aturan yang diarahkan pada Budget Objective 2001 yaitu menetapkan batasan defisit sebesar 2 persen dari penerimaan atau 0,25 persen dari PDB. Tahun 2001, aturan tersebut diperbaharui dengan menekankan pada utang melalui Debt Containment Rule.

Tabel 2.3 Negara-Negara yang Sukses dalam Melakukan Konsolidasi Fiskal

Negara Tahun Australia 1987, 1988 Belgia 1987 Denmark 1984, 1985, 1986 Irlandia 1987, 1988, 1989 Jepang 1987 Selandia Baru 1992 Norwegia 1986 Swedia 1987 Amerika Serikat 1977

Sumber: McDermott dan Wescott. 1996. Fiscal Reforms That Work. IMF

Konsolidasi fiskal akan terjadi jika memenuhi dua kriteria, yaitu 1) Rasio keseimbangan primer terhadap PDB (fiscal impulse) mencapai 1,5 persen dan 2) Angka ini tidak memburuk selama dua tahun.

Pengalaman negara-negara maju di Eropa Barat menunjukkan, bahwa pemotongan pengeluaran mempunyai probabilitas sukses yang mendekati satu bila dibandingkan dengan penambahan penerimaan pajak. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu kondisi perekonomian dunia dan pilihan kebijakan reformasi fiskal tersebut.

Sachs (1988) merekomendasikan penerimaan pajak sebagai instrumen utama pemulihan beban utang. Sachs mendefinisikan pajak sebagai kompensator pinjaman dengan melihat rasio perubahan pajak terhadap pertambahan utang. Rasio perubahan pajak terhadap pertambahan utang merupakan parameter yang diterapkan Sachs dalam melihat konsolidasi fiskal.

Sedangkan menurut Buiter (1983) pemerintah dapat menciptakan defisit yang optimal ketika pasar tenaga kerja dan output tidak jelas. Dengan mengurangi pajak dan meningkatkan pinjaman saat terjadi krisis maka pengeluaran publik akan dibiayai oleh swasta melalui pembelian obligasi. Dengan demikian, total konsumsi swasta akan turun sebesar kurang dari tingkat pajak. Ketika perekonomian pulih maka pinjaman tersebut akan dibiayai oleh pembayar pajak. Efek crowding-out dapat dihindari dengan cara pembiayaan defisit pemerintah oleh bank sentral melalui penciptaan uang. Tetapi hal ini akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Jika pemerintah tidak dapat menjamin solvabilitas anggaran maka beberapa kebijakan perlu diambil. Kebijakan ini mencakup realisasi pengeluaran pemerintah menjadi lebih

Page 35: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

23

rendah dari yang direncanakan, realisasi penerimaan pajak yang lebih tinggi, inflasi lebih tinggi dan antisipasi akan terjadinya kegagalan utang pemerintah. Buiter (2003) mengingatkan bahwa penjualan aset hanya akan menguntungkan jika hasilnya melebihi present value dari potensi kas di masa depan. Sedangkan privatisasi hanya layak dilakukan untuk alasan efisiensi dan bukan menutup defisit. Dengan demikian menurut Buiter, kebijakan Meksiko melakukan privatisasi besar-besaran pada dekade 1980-an untuk menutup defisitnya merupakan langkah yang tidak tepat.

Jepang adalah contoh negara yang mengalami masalah dalam melakukan kebijakan fiskal. Dekle (2002) menemukan bahwa Jepang akan mengalami tekanan utang cukup berat pada dekade 2040-an jika populasi penduduk usia lanjut terus bertambah. Secara demografis, populasi golongan ini cukup banyak. Padahal, secara ekonomis mereka tidak produktif. Pengurangan pengeluaran berupa subsidi kepada mereka akan dapat mengurangi beban negara dan membantu dalam mengkompensasikan utang.

Di Eropa Tengah, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Berger, Kopits dan Szekely (2004). Ketiga peneliti membandingkan kondisi fiskal Republik Ceko, Austria, Hungaria dan Polandia (Eropa Timur) dengan negara-negara Baltik (Latvia, Lithuania dan Estonia) pasca bubarnya Uni Soviet. Kenyataan menunjukkan bahwa ketiga negara Baltik melakukan pengetatan pengeluaran dengan disiplin keluar dari krisis lebih cepat dibanding Eropa Tengah.

Koordinasi Fiskal Departemen Keuangan sebagai pengelola fiskal harus transparan dalam memonitor seluruh aset dan kewajiban yang terjadi. Buiter (1997) menolak adanya off-balance sheet budget atau dana taktis di luar anggaran resmi. Menurutnya, seluruh aktiva pemerintah harus termonitor dengan seksama. Aset berupa sumber daya alam juga harus didata ulang berdasarkan harga pasarnya.

Pada beberapa kasus, Buiter juga menyorot peran bank sentral dalam stabilisasi fiskal. Kelemahan kebijakan dapat muncul baik dari sisi moneter maupun fiskal. Dalam kasus Uni Eropa, Buiter dan Graf (2002) menjelaskan tentang perlunya koordinasi fiscal-financial criteria dan peran European Central Bank (ECB). Menurut mereka, peran bank sentral idealnya dimasukkan dalam The Fiscal-Financial Programme Uni Eropa. Kesinambungan fiskal-finansial dan stabilitas makro dapat dicapai melalui kerjasama dua sisi.

Studi empiris menunjukan bahwa faktor inflasi dapat mempengaruhi besarnya beban fiskal pemerintah. Buiter dan Juan (1993) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi akan semakin tinggi pula defisit primer pemerintah. Hal ini terjadi karena inflasi mengurangi nilai riil penerimaan pajak. Oleh karena itu, kerjasama moneter dengan bank sentral mutlak diperlukan.

Ada beberapa pandangan mengenai peranan kebijakan moneter dalam kaitannya dengan adanya defisit dan utang. Beberapa pendapat menyatakan bahwa utang yang tinggi akan mempengaruhi integritas dan kredibilitas kebijakan moneter yang akan dijalankan.

Keynes (1923) menyatakan bahwa utang dapat diatasi melalui penetapan pajak, repudiasi atau inflasi. Menurut Collin Clark (1945) pajak yang tinggi untuk pembiayaan utang akan meningkatkan harga sehingga akan mengarahkan dari deflasi ke inflasi. Sedangkan defisit yang tinggi akan membuat pajak yang tinggi di kemudian hari untuk mengkompensasikan utang yang ada. Sementara itu, menurut Sargent–Wallace (1986), adanya defisit anggaran akan menyebabkan peningkatan utang sehingga rasio utang pun meningkat. Dalam konteks ini, pemegang kebijakan moneter mengalami dilema dalam menetapkan kebijakan uang ketat atau longgar untuk mengatasi inflasi.

Pernyataan mengenai utang yang tinggi selalu diikuti dengan inflasi yang tinggi, menurut Sargent dan Wallace, merupakan permainan kebijakan antara moneter dan fiskal. Melalui

Page 36: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

24

pernyataan di atas maka dengan adanya utang, suatu negara pasti akan mengalami inflasi di masa yang akan datang. Sedangkan jika kebijakan moneter melakukan seignorage maka juga akan terjadi inflasi. Perbedaannya adalah jika melakukan seignorage maka sebagian defisit anggaran akan dibiayai dengan pencetakan uang sehingga tidak ada akumulasi utang. Sebaliknya jka negara tidak melakukan apa-apa maka negara tersebut akan membiayai semua defisit dengan utang sehingga terdapat akumulasi utang.

Salah satu kebijakan moneter yang dilakukan adalah kebijakan uang ketat (tight money policy). Ketika suatu negara melakukan kebijakan uang ketat maka hal ini akan memperburuk masalah utang karena:

1. Dengan melakukan kebijakan uang ketat maka real interest rate akan naik sehingga akan menyebabkan naiknya utang.

2. Kebijakan uang ketat akan mempengaruhi primary surplus melalui komponen-komponen anggaran, seperti mengurangi pajak, meningkatkan primary defisit revenue dan meningkatkan kompensasi untuk pengangguran.

Tingginya tingkat suku bunga akan mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan meningkatkan rasio utang terhadap PDB. Kebijakan moneter uang ketat juga akan mengurangi seignorage sehingga mengakibatkan banyaknya defisit yang akan dibiayai oleh utang.

Dari kondisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemegang kebijakan moneter dan fiskal justru bekerja di luar tujuannya (kebijakan fiskal berekspansi sedangkan kebijakan moneter untuk membatasi aktivitas ekonomi). Untuk mengatasi hal ini harus ada batasan kebijakan antara wilayah kebijakan moneter dan fiskal. Dengan bekerjanya kebijakan moneter dalam membiayai defisit anggaran maka pemerintah akan kehilangan kredibilitasnya. Sehingga dalam hal ini, kebijakan moneter seharusnya mengeluarkan kebijakan anti inflasi.

Manajemen Utang Pemerintah

Struktur portofolio utang (seperti term of maturity, nilai tukar, komposisi suku bunga dan contingent liabilities yang besar) yang besar, buruk dan tidak didanai membuat pemerintah menghadapi risiko yang besar terhadap goncangan keuangan dan perekonomian. Hal ini merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Melakukan manajemen utang yang baik dapat menghindari pemerintah dari kemungkinan goncangan keuangan dan perekonomian.

Manajemen utang pemerintah adalah proses melakukan dan menetapkan strategi pengelolaan utang pemerintah untuk meningkatkan kebutuhan pembiayaan, menetapkan jenis risiko dan biaya, dan menetapkan tujuan manajemen utang pemerintah yang lain, seperti mengembangkan dan menjaga pasar surat utang pemerintah yang likuid dan efektif. Dalam konteks makroekonomi yang lebih luas bagi kebijakan publik, pemerintah harus menetapkan tingkat utang yang tepat agar utang publik dapat berkesinambungan.

Selain itu, kebijakan manajemen utang pemerintah yang hati-hati dapat mengurangi risiko goncangan keuangan dan perekonomian yang mungkin timbul di masa datang. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.

1. Menetapkan tujuan atas manajemen utang pemerintah 2. Membandingkan risiko atas pertimbangan biaya 3. Melakukan pemisahan dan koordinasi antara pihak moneter dan departemen

keuangan 4. Pembatasan atas pertumbuhan utang 5. Perlunya pengelolaan atas pembiayaan dan risiko pasar serta biaya bunga dari beban

utang

Page 37: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

25

6. Membangun sebuah institusi dan kebijakan yang dapat mengurangi biaya operasional termasuk pedelegasian wewenang yang jelas dari pemerintah kepada lembaga pemerintah yang menangani utang pemerintah

7. Pentingnya mengidentifikasi dan mengelola risiko yang terkait dengan contingent liabilities.

Koordinasi antara manajemen utang dan kebijakan moneter dan fiskal sangat penting untuk memastikan kebutuhan dana pemerintah dan untuk memenuhi kewajiban pembayaran, dengan tingkat bunga yang rendah dan jangka waktu yang lama. Banyak negara mengembangkan dan menjaga efisiensi pasar obilgasi pemerintah dalam negeri, baik primer maupun sekunder. Efisiensi ini merupakan faktor penting dalam pengelolaan utang pemerintah. Dalam jangka pendek, pemerintah mungkin menghadapi biaya yang tinggi atas surat utang pemerintah di pasar domestik. Akan tetapi, dalam jangka panjang pemerintah mengharapkan biaya pinjaman di pasar akan turun dan pasar domestik sendiri akan lebih likuid.

Masalah dalam pengelolaan utang pemerintah muncul karena kurangnya perhatian dari pemerintah atas manfaat kebijakan pengelolaan utang pemerintah yang prudent dan biaya yang timbul karena pengelolaan makroekonomi yang lemah serta tingkat utang yang melebihi kemampuan. Pemerintah seharusnya memberi perhatian yang lebih atas strategi pengelolaan utang yang prudent, kerangka kerja dan kebijakan yang dikordinasikan dengan kebijakan makro dan menentukan kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar yang tepat. Di negara-negara maju telah dilakukan pemisahan tujuan dan akuntabilitas manajemen utang antara bank sentral dan pemerintah sendiri, sedangkan di negara-negara berkembang hal ini masih sulit untuk dilakukan. Kesulitan ini disebabkan belum berkembangnya pasar keuangan dan belum independennya bank sentral negara-negara berkembang.

Debt Management Office (DMO)

Di beberapa negara wewenang dalam pengelolaan utang didelegasikan ke sebuah institusi atau lembaga pemerintah yang khusus mengelola utang. Lembaga ini, di beberapa negara dikenal sebagai Debt Management Office (DMO). DMO berada dibawah Departemen Keuangan negara yang bersangkutan. Ini dikarenakan pengelolaan utang tidak lepas dari kebijakan mengenai keuangan yang dilakukan oleh suatu negara. Namun di Denmark, kantor pengelolaan utang tersebut berada di bawah Bank Sentral Denmark yaitu Danmark National Bank (DNB). Berpindahnya kantor tersebut ke DNB ditujukan untuk menciptakkan koordinasi yang kuat antara pengelolaan reserve di DNB dan utang luar negeri pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan utang luar negeri sangat terkait dengan reserve suatu negara.

Tugas DMO terkait dengan pengelolaan utang di suatu negara. Di beberapa negara, DMO juga melakukan identifikasi dan mengelola risiko yang terkait dengan contingent liabilities. DMO di Irlandia yaitu, National Treasury Management Agency (NTMA), diberi kewenangan untuk mengeluarkan utang, melakukan aktivitas di pasar sekunder serta pengaturan settlement dan clearing.

Dalam melaksanakan tugasnya, beberapa DMO melakukan koordinasi dengan Departemen Keuangan, beberapa menteri terkait dan juga bank sentral. Koordinasi dilakukan dengan memberikan laporan kepada Menteri Keuangan mengenai rencana pinjaman tahunan dan pengelolaan pinjaman tersebut oleh DMO. Sementara itu, Menteri Keuangan memberikan arahan kepada DMO menyangkut kebijakan seperti tingkat utang tetap atau mengambang. Dengan menteri terkait, dilakukan koordinasi terkait pengelolaan utang yang ada pada departemen masing-masing dan juga aset yang ada. Koordinasi

Page 38: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

26

dengan bank sentral meliputi pengelolaan likuiditas yaitu menjaga dana yang ada di bank sentral.

Kesalahan-kesalahan dalam Manajemen Utang Eaton dan Fernandez (1995) menyebutkan beberapa kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan utang luar negeri. Kesalahan ini biasanya mencakup: 1) ukuran pinjaman yang tidak optimal (overborrowing maupun underborrowing), 2) alokasi yang tidak efektif dan 3) pembayaran kembali (repayment) yang tidak sesuai persyaratan.

Ukuran pinjaman yang tidak optimal umumnya terjadi karena kurangnya analisis atas besarnya pinjaman yang optimal. Sedangkan alokasi yang tidak efektif dapat terjadi karena lemahnya kontrol (Sachs 1988), tidak adanya studi kelayakan yang akurat dan laporan pelaksanaan yang tidak memadai. Temuan Eaton dan Gersovits (1988) menunjukkan buruknya persepsi investor terhadap proyek yang dibiayai dengan utang pemerintah. Pembayaran kembali yang tidak sesuai persyaratan berkisar pada kurangnya kapabilitas pemerintah dalam menyediakan sumber likuiditas pada saat utang jatuh tempo. Kesalahan pengelolaan tersebut menyebabkan utang habis dikonsumsi tanpa memperhitungkan produktivitas, nilai tambah tidak terjadi, sementara pemerintah tidak sanggup melunasi utangnya.

Selain itu, Eaton dan Fernandez (1995) juga mempersalahkan pemerintah yang menjamin semua utang publik mereka. Seharusnya dilakukan pembagian risiko dengan pihak terkait lainnya. Terjadinya krisis utang dunia pada dekade 1970 dan 1980an merupakan akibat dari kesalahan ini. Kasus Indonesia pada tahun 1997-1998 juga merupakan contoh yang sama.

Berkaitan dengan krisis utang, Rudiger Dornbusch (1987) mengidentifikasi empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis utang. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Kenaikan suku bunga riil yang menyebabkan naiknya permintaan pembiayaan. Ketidakseimbangan kebutuhan uang baru dan kredit sukarela ini akan menimbulkan krisis utang.

2. Merosotnya non interest current account karena memburuknya ekonomi makro, terms of trade dan penurunan permintaan komoditi ekspor. Hal ini menyebabkan gap pembiayaan semakin besar.

3. Kenaikan tingkat inflasi dunia yang mengakibatkan suku bunga nominal naik dan amortisasi riil utang luar negeri yang dini. Terjadi pemendekan maturitas efektif utang.

4. Tanpa perubahan suku bunga, kreditur akan meminta pembayaran pokok utang.

IMF dan Bank Dunia mempunyai pandangan berbeda tentang penyebab krisis utang suatu negara (Sachs, 1988). IMF lebih memandang pada kurangnya kehati-hatian dan defisit anggaran yang eksesif. Sedangkan Bank Dunia mengarah pada kesalahan kebijakan-kebijakan yang sifatnya struktural, misalnya kemiskinan, lemahnya tata kelola dan kebijakan yang terlalu berorientasi kedalam (inward orientation).

Kesalahan pada manajemen utang berimplikasi pada perspektif kreditur terhadap risiko pinjaman negara-negara debiturnya. Akibat krisis utang 1980-an, banyak bank komerisal swasta menjadi lebih hati-hati memberikan pinjaman kepada pemerintah negara-negara Amerika Latin. Mereka menerapkan persyaratan yang lebih rumit. Hal ini mengakibatkan meminjam pada bank komersial menjadi lebih sulit. Selain itu Sachs (1988) juga mengidentifikasi adanya kekhawatiran di negara-negara debitur tersebut akan terjadinya suddenrush, biaya kepanikan dan efek crowding-out jika mereka meminjam kepada swasta.

Untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan manajemen utang yang berakibat pada terjadinya gagal bayar, biasanya negara-negara donor akan menerapkan conditionality

Page 39: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

27

lending (pinjaman bersyarat). Tujuannya adalah untuk menyamakan keadaan ex ante dengan ex post di negara debitur, melindungi kreditur, meningkatkan kehati-hatian dan asumsi bahwa debitur tidak selalu kredibel (Sachs, 1988).

Dalam mengantisipasi kesalahan manajemen utang ini, ada yang disebut sebagai odious debt. Dalam berbagai literatur Indonesia, utang ini banyak diterjemahkan sebagai ‘utang najis’, yaitu utang yang tidak seharusnya ditanggung oleh rakyat. Secara konseptual yang dimaksud dengan odious debt adalah pinjaman yang dibuat di luar konsen masyarakat, dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat itu sendiri.

Ada beberapa penyebab utang najis (odious debt). Umumnya, hal ini terjadi karena kesalahan dalam pembuatan dan pengelolaan kesepakatan pinjaman. Pemerintahan yang berkuasa tidak meminta persetujuan kepada parlemen dalam melakukan pinjaman. Di samping itu, alokasi penggunaan juga tidak transparan. Tata kelola tidak diterapkan dengan baik. Akibatnya, utang habis dikonsumsi tanpa meninggalkan manfaat produktif sementara rakyat diharuskan menanggungnya. Kremer dan Jayachandran (2002) menggunakan istilah lootedloans (dana yang dijarah) untuk menggambarkan perilaku rezim yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengasumsikan bahwa semua rezim adalah korup dan tidak kredibel. Intinya, utang tidak secara inheren merugikan, namun utang akan merugikan apabila ada kesalahan manajemen pengelolaan utang. Kremer dan Jayachandran (2002) mengembangkan suatu model sederhana untuk mengelaborasi fungsi utilitas yang dihadapi pemerintah dalam mengelola suatu pinjaman:

bbpptt

it UUGJU λλ ++== )(1 (2.14)

Di mana: Ut: utilitas pada periode t,

λp: nilai tertimbang kekayaan rakyat/populasi, dimana 0≥pλ

λb: nilai tertimbang kekayaan bank, dimana 0≥bλ

Notasi 1 melambangkan rezim yang jujur (truthful) sementara nilai 0 untuk yang tidak jujur, dan serta Pemerintah diminta untuk memaksimumkan fungsi ini sebelum suatu pinjaman jatuh tempo. Bila rezim jujur dan tidak korup, maka besarnya lootedloans = 0.

Studi historis tentang odious debt telah lama dilakukan. Amerika Serikat membela Kuba perihal utang najis. Selepas kemenangannya dalam perang kemerdekaan melawan Spanyol, Kuba diminta melunasi seluruh kewajibannya kepada Spanyol selama perang. Amerika Serikat berpendapat bahwa kewajiban tersebut seharusnya tidak ditanggungkan kepada rakyat Kuba (Moore 1906). Hal ini disebabkan karena pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai perang melawan penjajah yang pada hakikatnya adalah hak segala bangsa. Kasus lain pernah terjadi juga misalnya di Kosta Rika pada masa Frederico Tinoco (1923), Mobutu Sese Seko di Zaire (1980-an), Marcos di Filipina (1986), Frandjo Tudjman di Kroasia (1997) dan Anastasio Somoza di Nikaragua (1979).

Pihak yang dirugikan akibat repudiasi utang najis adalah kreditur. IMF dan Bank Dunia sering menjadi korban legalitas repudiasi utang najis. Untuk itu, Kremer dan Jayachandran (2002) merekomendasikan serangkaian kebijakan untuk mengurangi risiko tersebut. Beberapa kebijakan bersifat legal karena menyangkut sanksi. Pertama, pemeriksaan legitimasi setiap pinjaman secara saksama dan pengawasan yang melekat sebagai metode kontrol. Kedua, sebagai bentuk pertanggungjawaban, rezim yang mengakses pinjaman diminta memberikan laporan pelaksanaan sebagai tinjauan kemajuan. Ketiga, redefinisi odious debt dan kriterianya perlu dilakukan agar dapat diperoleh kesamaan persepsi legal internasional mengenai keadaan yang dapat menyebabkan suatu pinjaman dapat dikatakan odious. Keempat, harus ada lembaga internasional independen yang secara legal bertugas melakukan justifikasi dan penilaian atas legitimasi suatu pinjaman. Untuk menimbulkan efek jera, biaya reputasi harus dibebankan. Rezim debitur hitam perlu diumumkan kepada dunia internasional.

Page 40: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

28

Rekomendasi kelima, membawa sengketa ini ke Dewan Keamanan PBB bila rezim yang terlibat dinilai tidak kooperatif dalam menyelesaikan kewajibannya.

Kemungkinan kesalahan pengelolaan utang lainnya juga dipaparkan oleh Kremer dan Miguel (2004). Kedua penulis mengeksplorasi pengalaman Kenya dalam mengelola dana bantuan Bank Dunia untuk memerangi penyakit cacing perut pada tahun 1998. Program ini disebut sebagai Primary School Deworming Project (PSDP). Cara yang dilakukan adalah memberikan bantuan obat-obatan kepada anak usia sekolah secara gratis. Akibatnya, pinjaman mengalir sampai habis sementara kasus penyakit tidak tertangani dengan tuntas. Hal ini disebabkan karena kesalahan pemerintah dalam melakukan cara alokasi yang tepat. Seharusnya, pemerintah mengarahkan kebijakan pada program-program yang bersifat preventif dan bukan pengobatan. Akhirnya, fiskal pemerintah mengalami tekanan. Sebagian biaya ditanggungkan pada masyarakat dan dilakukan cost-sharing dengan masyarakat dalam bentuk fee pembayaran obat. Namun cara ini segera diikuti penurunan akses kesehatan karena daya beli masyarakat yang relatif rendah. Oleh karena itu, kebijakan dialihkan pada intensifikasi penyuluhan dan penyediaan air sumur yang bersih. Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari kasus Kenya. Pertama, pentingnya menentukan cara penyaluran yang tepat, efektif dan efisien. Kedua, bagaimana menyelamatkan fiskal yang terjepit tanpa mengurangi kualitas layanan publik. Pemerintah harus mempunyai solusi alternatif yang tepat.

Asian Development Bank (ADB) menitikberatkan kelemahan institusional sebagai salah satu penyebab kesalahan dalam manajemen utang. Dua faktor lain yang juga menjadi pendorong adalah kinerja sektor keuangan dan pengaruh-pengaruh makro. ADB berpendapat bahwa rendahnya kapasitas manajerial dan teknikal, insentif yang kurang, inefisiensi sektor publik dan lemahnya pengawasan merupakan contoh kinerja institusi yang buruk. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya korupsi, salah sasaran dalam alokasi dan terganggunya konformitas tujuan organisasi. Padahal, organisasi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Diharapkan pencapaian kinerja organisasi selalu stabil dan ekonomis sehingga dalam sistem pengendalian manajemen, goal congruence merupakan prinsip yang penting. Untuk mengatasi kelemahan ini, ADB menyarankan dibentuknya aturan main yang formal dan hierarki yang tepat.

Pembayaran Utang Idealnya, pinjaman pemerintah segera diselesaikan sesuai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah kewajiban. Rose (2002) menyebutkan tiga alasan mengapa suatu negara sebaiknya membayar utangnya terutama utang luar negeri, yaitu adanya risiko penyitaan aset, menghindari reputasi yang buruk dan mencegah penurunan keuntungan dalam perdagangan internasional. Negara yang menderita defisit dalam neraca pembayarannya akan mengalami posisi yang kurang menguntungkan dalam perdagangan internasional.

Beberapa faktor yang seharusnya jadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan pinjaman antara lain:

1. Proyek yang didanai dengan pinjaman harus sejalan dengan strategi dan prioritas nasional serta berhubungan dengan rencana investasi publik.

2. Efisiensi sumber dana yang digunakan berhubungan dengan keuntungan yang didapat dari perbedaan inflow dan biaya pinjaman. Berarti tingkat return dari program investasi diharapkan lebih banyak daripada bunga yang harus dibayarkan.

3. Pertumbuhan output dan ekspor secara riil diharapkan lebih besar dibandingkan biaya pinjaman.

Jika dilihat dari sudut pandang peminjam, utang eksternal dibedakan berdasarkan jangka waktunya yaitu utang jangka panjang, jangka menengah atau jangka pendek. Utang

Page 41: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

29

eksternal sektor publik dan publicly guaranteed dapat dibedakan menjadi berbagai kategori sebagai berikut.

1. Utang langsung pemerintah pusat, yaitu pinjaman yang dibuat oleh pemerintah pusat atau pemerintah lokal, yang penyediaan dananya didapat dari anggaran pemerintah pusat.

2. Utang pemerintah pusat yang dijamin yaitu pinjaman yang dibuat oleh perusahaan publik atau swasta dan dijamin oleh pemerintah pusat. Pemerintah lokal dan perusahaan publik membayar utang obligasi namun obligasi ini mungkin adalah contingent liability yang berasal dari anggaran pemerintah pusat dan merupakan kasus utang yang gagal.

3. Utang langsung dari perusahaan publik yang tidak dijamin yaitu pinjaman dibuat secara langsung oleh perusahaan publik, dibayar oleh perusahaan publik dan tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Hal tersebut meliputi pinjaman langsung oleh pemerintah lokal dan tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Walaupun nantinya apabila utang tersebut gagal maka akan diurus oleh pemerintah pusat.

Hubungan antara utang luar negeri dengan posisi tawar dalam perdagangan internasional sangat jelas. Hal ini menjadi serius ketika mitra dagang adalah negara kreditur itu sendiri. Negara kreditur dapat menjatuhkan sanksi berupa embargo atau pengalihan impornya dari negara debitur. Selain itu, kreditur juga dapat menolak perluasan kredit perdagangan kepada debitur. Temuan Rose (2002) menunjukkan bahwa renegosiasi utang merupakan solusi tepat menghindari penurunan volume perdagangan dengan negara kreditur jika keadaan ilikuid terjadi.

Eaton dan Fernandez (1995) mengidentifikasi faktor biaya reputasi sebagai penyebab utama mengapa pemerintah merasa harus memenuhi semua kewajibannya (repayment). Keduanya menyoroti biaya repudiasi yang ditanggung oleh rakyat, potensi melakukan pinjaman berlebih (overborrowing) dan restrukturisasi sebagai jalan keluar. Berat atau tidaknya beban utang tergantung pada ukuran (size) pinjaman. Jika pemerintah tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka harus dilakukan negosiasi ulang. Secara normatif, sanksi adalah alternatif final. Prinsipnya adalah tanggung jawab publik suatu rezim. Baik debitur maupun kreditur harus memikirkan bagaimana caranya menanggung beban suatu sanksi pinjaman tanpa merugikan rakyat.

Kraay dan Nehru (2004) menunjukkan adanya periode kesulitan utang (debt distress) dimana suatu negara terpaksa mengambil exceptional financing melalui beberapa kemungkinan yaitu:

1. Melakukan tunggakan substansial (substantial arrears) pada hutang luar negerinya

2. Menerima pengampunan hutang dari Paris Club

3. Menerima non-consessional BOP support dari IMF dengan non-concessional Standby Arrangements atau Extended Fund Facilities (SBA/EFF)

Sementara non-distress episode adalah periode dimana tidak ada dari 3 indikator di atas yang terjadi.

Menurut Kraay dan Nehru (2004), tiga faktor yang menjadi penyebab kesulitan utang adalah beban utang, kualitas institusi dan kebijakan serta shocks yang mempengaruhi pertumbuhan PDB riil. Untuk negara dengan pertumbuhan rendah dan kebijakan yang lemah, tingkat utang 200 persen dari ekspor konsisten dengan debt distress 25 persen. Sementara negara dengan pertumbuhan tinggi bisa mentolerir 300 persen rasio utang terhadap ekspor dengan probabilitas distress yang sama.

Risiko debt distress seharusnya diperhitungkan ketika menentukan terms dan modalitas transfer sumber daya pada negara berpendapatan rendah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya tersedia untuk menjaga probabilitas debt distress yang

Page 42: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

30

dapat dikelola. Pada saat yang sama juga memastikan bahwa bantuan ditujukan kepada negara dengan kebijakan dan institusi yang baik.

Di negara-negara berkembang, kemauan membayar utang (willingness to repay) akan terjadi jika nilai yang diharapkan (expected value) dari meminjam kepada kreditur lebih besar daripada jika debitur mengambil alternatif pendanaan yang lain (Belloc dan Vertova, 2001).

Restrukturisasi Utang Manajemen utang pemerintah berkaitan dengan aspek pengelolaan maupun pertimbangan risikonya. Jika akumulasi utang maupun pembayarannya (debt service) memberatkan fiskal pemerintah, maka perlu dilakukan restrukturisasi ulang untuk meringankan pembayaran di masa mendatang. Restrukturisasi akan terjadi, jika biaya yang harus ditanggung pemerintah akibat renegosiasi lebih kecil dari sanksi yang dikenakan.

Basu (1997) mencatat beberapa skema restrukturisasi utang. Buyback merupakan salah satu cara mengurangi risiko utang dengan membeli kembali utang tersebut. Pengalaman menunjukkan, harga pasar setiap nilai dollar utang cenderung lebih rendah di pasar sekunder. Ini disebut dengan harga pasar (market price). Sedangkan besarnya nilai nominal utang merupakan face value nya. Pada bulan Agustus 1986, utang luar negeri Argentina dijual 66,5 sen per dollar nya, Peru 20 sen dan Bolivia 6 sen. Rendahnya harga pasar ini akan mendorong pemerintah untuk membelinya kembali.

Beberapa pengamat seperti Bulow dan Rogoff (2001) memberikan kritik terhadap pelaksanaan buyback. Menurut mereka, reduksi utang hanya menguntungkan kreditur, bukan debitur. Hal ini disebabkan karena pembelian kembali hanya mencerminkan kemampuan pembayaran yang semu dan mempercepat penerimaan kreditur. Selain itu, restrukturisasi dinilai tidak efisien bagi negara dengan pemilikan sumber daya rendah. Penelitian mereka menunjukkan bahwa buyback tidak berhubungan dengan solvabilitas utang suatu negara. Restrukturisasi hanya perlu dilakukan, jika ada indikasi ketidaksinambungan fiskal akibat utang.

Debt-to-equity swap merupakan cara lain mengkompensasikan kewajiban utang dengan cara menukarkannya kembali dengan aset tertentu yang senilai. Biasanya aset ini berupa saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dialihkan untuk kepentingan privatisasi. Di Chili, aktiva pemerintah di BUMN menurun sebesar 50 persen selama 1985-1991. Beberapa negara lain menukarkan utangnya dengan kekayaan sumber daya alam misalnya hutan yang disebut sebagai debt-to-environmental swap. Cara ini pernah dipraktekkan oleh Bolivia (1989) dan Brazil (1992).

Basu (1997) juga mencatat beberapa manfaat swap antara lain meningkatkan efisiensi, penerapan teknologi baru dan memproduksi jasa yang lebih baik untuk meningkatkan daya saing. Artinya, perbaikan yang didatangkan tidak harus berupa suatu bentuk kekayaan moneter tertentu, namun dapat juga berupa manfaat struktural lainnya.

Cara lain untuk mengantisipasi risiko gagal bayar adalah perundingan kembali dengan kreditur. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan potongan (haircut), penjadwalan kembali (rescheduling) atau pengampunan utang (debt relief). Forum ini dapat bersifat bilateral maupun multilateral. Contoh forum mulitilateral adalah London Club, Paris Club dan Highly Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative. Sedangkan yang bersifat bilateral tergantung pada pendekatan masing-masing debitur kepada krediturnya secara individual.

Beberapa lembaga donor membentuk sebuah forum dan menetapkan sendiri aturan baku mereka, salah satunya adalah Paris Club. Ada tiga prinsip Paris Club, yaitu:

1. Semua putusan kreditur diambil melalui konsensus

Page 43: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

31

2. Paris Club memelihara comparibility of treatment, yaitu kesamaan antara semua kreditur

3. Paris Club lebih memilih negosiasi ulang dengan negara-negara debitur yang terikat perjanjian dengan IMF.

Paris Club saat ini menyediakan empat tipe negosiasi utang yaitu: 1. Classic Terms yang bersifat umum, yaitu memberikan perpanjangan waktu

pembayaran (grace period) selama lima tahun; kesempatan pembayaran pokok utang 6-10 tahun; dan penangguhan suku bunga untuk menjaga NPV utang tetap utuh.

2. Naples Terms, untuk memfasilitasi pengurangan utang negara-negara berpendapatan rendah.

3. Houston Terms, untuk memfasilitasi pengurangan utang negara-negara berpendapatan menengah ke bawah.

4. Cologne Terms, untuk memfasilitasi pengurangan utang negara-negara HIPC.

Penjadwalan kembali (rescheduling) akan efektif jika risiko kegagalan lebih besar daripada biaya penalti. Hal ini akan menguntungkan kreditur jika debitur mempunyai perilaku pinjaman yang bersifat siklis sementara kesempatan investasinya terbatas. Callier (1985) dan Cline (1984) berpendapat bahwa hal ini akan terjadi jika akumulasi utang sangat besar sementara cadangan devisa kurang. Epstein dan Gintis (1989) menyebut pola perubahan sewaktu-waktu ini sebagai contingent renewal.

Rose (2002) mencoba melakukan penelitian terhadap dampak renegosiasi utang terhadap perdagangan luar negeri. Uji yang dilakukan dengan empirical gravity model of bilateral trade pada lebih dari 200 negara dalam jangka waktu 50 tahun menunjukkan, negosiasi ulang utang dapat menyebabkan penurunan signifikan secara statistik maupun ekonomi pada perdagangan bilateral antara debitur dan kreditur. Penurunan ini mencapai 8 persen per tahun dan berlangsung sekitar 15 tahun.

Berg dan Sachs (1988) mengkritik diskursus krisis utang luar negeri pada 1980-an yang hanya bersandar pada rendahnya cadangan devisa dan suku bunga tinggi sebagai penyebab utama. Menurut mereka, hal ini hanya gejala, bukan penyebab utama. Keduanya kemudian mencoba mengidentifikasi hubungan antara penjadwalan kembali dengan beberapa karakteristik kunci yang lebih struktural, antara lain proporsi pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), ketidakrataan pendapatan dan rezim dagang yang dianut. Ketiga karakter tersebut banyak ditemukan di negara berkembang.

Analisis statistik yang dilakukan dengan model probit dan tobit menunjukkan, ketiga karakteristik tersebut mempunyai korelasi berbeda terhadap penjadwalan kembali (rescheduling). Pertama, kedua peneliti menemukan bahwa negara-negara dengan ketimpangan pendapatan yang besar cenderung memiliki probabilitas melakukan penjadwalan utang yang mendekati satu. Hal ini juga terjadi pada negara-negara berpendapatan menengah (sesuai definisi Bank Dunia).

Kedua, banyaknya kesulitan dalam manajemen politik lokal juga mempengaruhi perilaku pinjaman negara-negara sedang berkembang. Bukti menunjukkan, kompleksitas pengelolaan politik akan diperburuk dengan adanya ketimpangan pendapatan. Pada dekade 1970-an, banyak pemerintahan yang melakukan pinjaman internasional hanya untuk menghindari efek politis dari menaikkan pajak dalam menutupi defisit. Fiskal sering menjadi korban kebijakan yang populis demi menjaga popularitas rezim. Penelitian Alesina dan Tabellini (1987) menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan pinjaman luar negeri yang eksesif jika lamanya berkuasa suatu rezim relatif pendek. Pengalaman Argentina menunjukkan, persaingan antarkelas telah menimbulkan kekacauan yang besar dalam perebutan kekuasaan. Golongan kapitalis kanan bersaing dengan sosialis kiri dalam mendominasi kebijakan. Naiknya Juan Peron pada tahun 1973 dan kudeta

Page 44: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

32

terhadap istrinya pada 1976 merupakan bukti sulitnya mengelola fiskal di tengah kemelut dialektika kelas yang dilematis.

Ketiga, adanya perbedaan kecenderungan dalam kebijakan perdagangan luar negeri. Berg dan Sachs menemukan bahwa strategi perdagangan yang lebih bersifat outward-looking akan mengurangi kemungkinan penjadwalan ulang. Hubungan ini bersifat signifikan. Hal ini dapat dipahami mengingat peningkatan ekspor akan memacu penerimaan cadangan devisa suatu negara. Ini terjadi misalnya di Asia Timur pada dekade 1980-an.

Selain itu, Berg dan Sachs (1988) juga mencoba memasukkan variabel letak geografis ke dalam model analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor geoekonomi bukan pendorong utama terjadinya penjadwalan ulang (rescheduling). Kedua peneliti menemukan bahwa pemerataan pendapatan lebih signifikan daripada letak geografis terhadap probabilitas penjadwalan kembali.

Cline (1984) mengidentifikasi empat faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penjadwalan kembali. Studinya menunjukkan, defisit transaksi berjalan, rasio pembayaran utang terhadap ekspor dan rasio utang bersih terhadap ekspor mempunyai korelasi positif. Sedangkan rasio cadangan devisa terhadap probabilitas penjadwalan kembali mempunyai korelasi yang negatif.

Pengampunan utang terjadi jika secara definitif donor menetapkan debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya. HIPC adalah salah satu contoh forum yang dibentuk pada tahun 1997. Brady Plan (1989) merupakan contoh lain pengampunan utang dalam sejarah. Fasilitas ini diberikan oleh IMF dan Bank Dunia. Sebagai syarat, debitur diminta menjalankan pasar bebas, keterbukaan terhadap investasi asing dan repatriasi modal luar negeri.

Edwards (2002) berpendapat bahwa pengampunan utang akan membawa dampak positif bagi perbaikan rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Kita tahu bahwa keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran primer pemerintah, tidak termasuk pembayaran cicilan utang dan bunga. Ia membedakan tipe pinjaman menjadi dua, yaitu concessional debt dan domestic debt. Kedua variabel ini merupakan unsur akumulator dari total utang periode t (∆Dt):

ttt DDDCD ∆+∆=∆ (2.15)

Di mana: DD: domestic debt DC: concessional debt, jenis dana konsesi ini merupakan pinjaman luar negeri dengan

keringanan (konsesi). Dana ini diberikan kepada negara-negara debitur miskin dalam HIPC

Besaran ∆Dt ini menurut Edwards (2002) merupakan jabaran yang melibatkan juga suku bunga utang, ditambah primary balance (PB) dikurangi seigniorage (∆Bt). Adapun seigniorage ini dipandang sebagai unsur pengurang karena adanya perspektif biaya dari aktivitas tersebut. Dapat dinotasikan sebagai perubahan uang primer per PDB.

0

0

YYBB

Bt

tt −

−=∆ (2.16)

Di mana: Bt: base money pada periode t Yt: pertumbuhan ekonomi (PDB)

Definisi ini menunjukkan muatan uang beredar pada besaran PDB tertentu. Lebih spesifik, Edwards (2002) menghubungkan antara akumulasi utang dengan tingkat suku bunga kedua jenis pinjaman ditambah keseimbangan primer dikurangi seigniorage.

Page 45: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

33

{ } tttD

ttC

tt BpbDDrDCrD ∆−++=∆ −− 11 (2.17)

Di mana: rt

C : suku bunga concessional debt rt

D : suku bunga domestic debt.

Selanjutnya, dengan menotasikan tingkat pertumbuhan PDB (Y) dengan g dan laju inflasi (π*) maka didapat fungsi pertidaksamaan sebagai batasan (constraint) berikut.

( ) ( )** ; πβπθ +≤+≤ gg (2.18)

Diasumsikan, tingkat pertumbuhan DC (θ) dan DD (β) harus lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi dan laju inflasinya untuk mencapai kondisi berkesinambungan. Maka dengan mempertimbangkan beberapa variabel, Edwards mengelaborasi pengukuran primary balance-to-PDB ratio sebagai berikut.

{ }( ) ( )( ) { }( ) ( )( )[ ]100

100

−−−−−− −+−= tgDt

tgCtt

**

eD/DDreD/DCrY/pb πβπθ βθ

( )[ ] ( )( )00* /1/1 YBgg ππ +−++ (2.19)

Di mana: Pbt/yt: rasio keseimbangan primer terhadap PDB DC: concessional debt DD: domestic debt θ : tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan dari DC β : tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan dari DD B0: base money pada periode 0 rt

C: tingkat bunga nominal DC rt

D: tingkat bunga nominal DD

Repudiasi utang atau penolakan pengakuan utang merupakan skenario lain dalam menghadapi risiko. Debitur secara sepihak tidak mau mengakui kewajibannya. Diperlukan dukungan politik yang kuat untuk melakukan hal ini. Kecuali berdasarkan persetujuan, cara ini dapat menimbulkan konflik politik yang serius. Inggris pernah menginvasi Mesir pada tahun 1882 karena kasus serupa. Pada tahun 1923, Prancis dan Belgia juga melakukannya terhadap Jerman (Feder dan Just, 1984).

Selain itu repudiasi juga akan merugikan baik kreditur maupun debitur karena menurunkan kredibilitas dalam pemberian pinjaman. Kreditur dapat mengeluarkan ancaman penolakan pencairan dana tambahan di masa depan (Stiglitz, 1986). Cara ini terbukti efektif bagi Nikaragua di bawah Sandinista. Embargo perdagangan merupakan skenario balasan lain yang mungkin terjadi (Krugman, 1985).

IMF (2002) mengingatkan beberapa dampak yang dapat terjadi akibat restrukturisasi utang, yaitu penurunan nilai kekayaan kreditur, terjadinya dolarisasi dan demonetisasi, penurunan aliran modal masuk, penyesuaian tingkat suku bunga dan peningkatan biaya modal (cost of capital). Nilai sekarang (present value) dari cadangan penerimaan aktiva akan mengecil. Hal ini disebabkan karena berkurangnya ekspektasi akan penerimaan potensi keuntungan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan derajat dolarisasi dan demonetisasi, bukti empiris di Ekuador menunjukkan bahwa permintaan dolar meningkat setelah terjadinya restrukturisasi. Kepercayaan terhadap mata uang lokal menurun sehingga menyebabkan peningkatan inflasi dan pergeseran tabungan ke satuan dolar. Akibatnya, bank sentral harus menaikkan suku bunga sehingga biaya investasi pada gilirannya akan menjadi mahal.

Page 46: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

34

2.3 Studi Empiris Manajemen Utang Penggunaan utang pemerintah di negara-negara berkembang umumnya dapat dikelompokkan dalam beberapa tujuan, antara lain memperkuat neraca pembayaran, pendanaan program-program pembangunan dan pembayaran kewajiban negara yang telah jatuh tempo. Hal ini menuntut kemampuan pemerintah dalam mengelola anggaran yang stabil. Dalam implementasi, upaya stabilisasi fiskal di berbagai negara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi semata, tetapi juga faktor-faktor non ekonomi misalnya politik, demografi dan situasi global secara umum. Menurut Cuddington (1996), kebijakan fiskal dapat berubah dari berkesinambungan menjadi tidak berkesinambungan maupun sebaliknya. Hal ini dipengaruhi oleh rezim fiskal suatu negara. Analisis kesinambungan fiskal juga harus memperhitungkan perubahan rezim suatu negara. Masa pergantian ini disebut oleh Cuddington sebagai structural breaks (jeda struktural).

Ozler dan Tabellini (1991) berpendapat bahwa kondisi politik merupakan salah satu faktor penentu akumulasi utang di negara berkembang. Studi mereka terkait dengan aspek ekonomi politis utang pemerintah. Mereka membedakan rezim pemerintahan menjadi dua tipe integritas, yaitu moral hazard regime dan credit rationing regime. Tipe moral hazard regime mengarah pada mereka yang meminjam tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang. Tipe ini kurang mempertimbangkan aspek keuntungan dan risiko pinjaman yang diperoleh. Dalam terminologi Buiter (2002), mereka tidak memikirkan aspek produktif dari utang (The Golden Rule). Namun pada tipe credit rationing regime pemerintah lebih berhati-hati dan rasional dalam memilih utang beserta natur risikonya.

Selain itu Ozler dan Tabellini (1991) juga menyebutkan bahwa ukuran (size) pinjaman ditentukan oleh dua variabel, yaitu instabilitas politik dan polarisasi politik Instabilitas politik didefinisikan sebagai probabilitas suatu pemerintahan akan segera diganti oleh pemerintahan berikutnya. Sedangkan polarisasi politik didefinisikan sebagai frekuensi tahunan terjadinya berbagai ekspresi politik seperti kerusuhan, demonstrasi, protes politik, percobaan kudeta, pembunuhan bermotif politis dan lain-lain. Prediksi didasarkan pada aspek eskalasi kedua variabel tersebut. Jika eskalasi meningkat, diperkirakan konsumsi pemerintah saat ini juga akan bertambah. Potensi terjadinya pinjaman juga sangat besar. Dengan kata lain, semakin tidak stabil kondisi politik suatu pemerintahan, akan semakin besar probabilita peningkatan pinjamannya.

Hasil penelitian di atas terhadap 55 negara berkembang selama periode 1972-1981 menunjukkan dua hal penting sehubungan dengan menajemen utang luar negeri. Pertama, instabilitas politik berdampak positif terhadap pinjaman luar negeri pada moral hazard regime, tetapi tidak berefek pada credit rationing regime. Dalam kaitan inilah definisi tentang odious debt hendaknya perlu dipertegas agar tidak menimbulkan pengalihan tanggung jawab antarrezim. Kedua, hasil uji pengaruh polarisasi politik terhadap utang masih bersifat ambigu karena sulitnya melakukan prediksi atas frekuensi yang dimaksud. Ketidakstabilan politik juga dapat mendorong terjadinya collective myopia, yaitu kebijakan yang hanya berorientasi pada saat ini dan tidak memikirkan masa mendatang.

Menurut Todaro (2000), utang luar negeri negara-negara berkembang di dunia masih relatif kecil sebelum dekade 1970-an. Umumnya utang ini terdiri dari pinjaman lunak dengan bunga rendah (concessional loan) yang disalurkan pada program-program pembangunan dan impor barang modal. Tujuan pinjaman belum mengarah pada pemenuhan pembiayaan defisit fiskal. Selain itu, aspek kesadaran terhadap risiko gagal bayar (default risk) juga masih rendah. Rendahnya kehati-hatian ini membawa banyak debitur ke dalam krisis utang dunia yang terjadi selama dekade 1980-an.

Page 47: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

35

Pengelolaan utang tak hanya mencakup pinjaman dan alokasi. Dalam pemanfaatan sumber pembiayaan negara, perlu diperhatikan aspek-aspek manajemen risiko. Hal ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap negara debitur. Perbedaan karekateristik antara lain tingkat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tata kelola (corporate governance) menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dan risiko konflik internal yang berbeda.

Dari sudut debitur, manajemen utang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan yang hendak dicapai oleh tiap-tiap negara. Hal ini berhubungan langsung dengan program pembangunan dan struktur kebijakan yang sedang dianut. Bagi negara-negara yang tergolong dalam Highly Indebted Poor Countries (HIPCs) isu penting yang terkait dengan kebijakan pemerintah adalah pengentasan kemiskinan. Sementara itu, pada negara-negara pasar baru seperti Meksiko, Eropa Timur, Rusia dan Indonesia, kesiapan dalam menghadapi liberalisasi perdagangan menjadi hal krusial yang harus dicapai.

Menurut Buiter dan Graf (2002), terdapat perbedaan tipe alokasi pinjaman antara negara-negara maju dan berkembang. Di negara berkembang, utang biasanya digunakan untuk menutupi kesenjangan tabungan dan permintaan investasi (saving gap) yang ada. Todaro (2000) pun mengkonfirmasi hal ini. Sedangkan di negara-negara maju, utang dimanfaatkan untuk memperbaiki posisi Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) yang berarti peningkatan efisiensi investasi suatu negara (Buiter 2002).

Selain itu, struktur portofolio kreditur juga harus dipertimbangkan. Jika kreditur kolektif lebih banyak daripada kreditur individual, maka putusan renegosiasi seringkali sullit dicapai. Menghadapi multikreditur lebih sulit dibandingkan dengan kreditur individual (Eaton dan Fernandez, 1995). Pencapaian kesepakatan bilateral seringkali lebih mudah jika forum resmi negara-negara donor tidak menyepakati restrukturisasi.

Meminjam pada kreditur komersial (misalnya bank swasta internasional) sering kali lebih sulit dibandingkan dengan meminjam kepada IMF dan Bank Dunia. Bank-bank swasta asing banyak mengajukan persyaratan yang rumit karena tingginya kehati-hatian mereka terhadap negara berkembang. Dalam keadaan negara debitur bersifat risk averse, meminjam kepada IMF dan Bank Dunia akan lebih menguntungkan. Sachs (1988) berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena skala kebijakan IMF dan Bank Dunia yang luas, kapasitas dana yang besar dan legitimasi internasional. Hal ini tidak berarti bahwa IMF dan Bank Dunia kurang hati-hati dibandingkan kreditur swasta, namun risiko kegagalan pembayaran yang terjadi (jika memang ada) akan lebih berat ditanggung oleh swasta daripada lembaga keuangan internasional lainnya.

Ada beberapa kendala bila pemerintah meminjam dari IMF dan Bank Dunia. Pertama, kedua lembaga tersebut merupakan representasi keyakinan internasional terhadap kredibilitas pemerintah. Hal ini harus dijaga agar tidak merusak reputasi. Ekuador misalnya, dikenal sebagai penunggak Brady Plan dan akibatnya sangat merugikan reputasi internasional Ekuador (IMF, 2002). Kedua, sulitnya koordinasi internal. Karena menyangkut Structural Adjustment Plan (SAP) yang strategis, putusan-putusan IMF dan persyaratannya harus dibicarakan dengan parlemen (DPR di Indonesia). Bila tidak disetujui, proses untuk memperoleh pinjaman akan memakan waktu yang panjang. Problem konsensus semacam ini pernah terjadi di Komoro. Dalam kasus seperti ini, IMF biasanya akan memegang orang-orang kunci dalam pemerintahan (Sachs 1988). Ketiga, sanksi yang dihadapi akan bersifat luas, misalnya embargo ekonomi dan penolakan aliran paket tambahan.

Dekade 1980-an adalah periode yang rawan krisis utang. Turunnya harga minyak, kenaikan suku bunga LIBOR dan jatuhnya harga komoditi dunia merupakan faktor-faktor yang diidentifikasi oleh Dornbusch (1987) sebagai penyebab krisis utang. Di Indonesia dan Meksiko, efek penurunan harga minyak dunia ini sangat terasa. Suku bunga riil yang sempat turun pada 1982, segera naik kembali pada tahun 1985 sehingga negara-negara debitur masih mengalami kesulitan pembayaran.

Page 48: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

36

Kasus Negara-negara OECD Meksiko

Krisis Meksiko terjadi karena adanya kesalahan manajemen utang di tengah tingkat inflasi yang tinggi. Fiskal Meksiko menjadi korban dualisme kebijakan populis, sementara penerimaan sangat minim. Pada tanggal 13 Agustus 1982, Menteri Keuangan Meksiko mengumumkan ketidakmampuan negaranya dalam melunasi utang luar negeri. Walaupun kemudian putusan ini diralat menjadi permohonan moratorium utang sepanjang 90 hari, namun para kreditur telanjur melihat keuangan pemerintah Meksiko telah bangkrut.

Akibat kesalahan ini, impor Meksiko turun sebanyak 43 persen selama tahun 1983. Upah pegawai juga turun 32 persen selama 1982-1984. Pengangguran yang luas segera terjadi. Basu (1997) menilai, kegagalan Meksiko ini disebabkan oleh kelalaian dalam mengamankan sejumlah dana untuk memenuhi kewajiban awalnya sebelum mengumumkan moratorium.2

Gambar 2.1 Perkembangan Utang Meksiko, 1990-2000

Sumber: GFS, diolah

Perkembangan utang dalam negeri dan utang luar negeri Meksiko selama periode 1990-2000 dapat dilihat pada Gambar 2.1. Nilai utang pada Gambar 2.1 berdenominasi mata uang dalam negeri. Terlihat bahwa baik utang dalam negeri dan utang luar negeri Meksiko mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode krisis. Selama periode 1990-1999, jumlah utang luar negeri Meksiko lebih besar dibandingkan utang dalam negeri. Hal ini berbeda dengan kondisi pada tahun 2000, di mana utang dalam negeri Meksiko melebihi utang luar negeri.

Sebenarnya gejala krisis utang 1980-an ini telah terasa sejak satu dekade sebelumnya. Utang negara-negara berkembang meningkat tajam dengan tingkat pertumbuhan mencapai 21 persen per tahun selama dekade 1970an. Pada periode 1981-1983 perekonomian Meksiko mengalami sudden stop, yaitu terhentinya aliran modal asing ke negara itu. Akibatnya, Meksiko mengalami penurunan cadangan devisa dan tekanan neraca pembayaran. Fiskal mengalami tekanan dan kepercayaan masyarakat menurun.

2 Perpanjangan atau penjadwalan kembali.

0

100

200

300

400

500

600

700

800

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Miliar

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 49: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

37

Krisis yang disebut sebagai ‘Tequila Crisis’ ini lebih disebabkan oleh faktor internal daripada eksternal.

Sebagai langkah kebijakan yang diambil untuk mengatasi krisis, Pemerintah Meksiko melakukan program privatisasi besar-besaran. Subsidi diturunkan dari 2,9 persen pada tahun 1982 menjadi 1,5 persen pada tahun 1991. Berbagai perusahaan termasuk di sektor telekomunikasi dijual kepada publik. Hingga 1991, hanya tersisa 280 BUMN yang tersisa, berkurang dari 1.155 pada tahun 1982.

Pada tahun 1994, Presiden Carlos Salinas de Gortari mengumumkan keikutsertaan Meksiko dalam North American Free Trade Area (NAFTA). Banyak pengamat menilai transformasi ekonomi dan sosial politik Meksiko ke dalam liberalisasi perdagangan ini terlalu cepat, terutama bagi sektor pertanian (Tornell dan Esquivel, 1995).

Kebijakan yang cenderung berpihak kepada pasar ini mengecewakan beberapa pihak, antara lain kelompok petani miskin di Provinsi Chiapas. Daerah ini terletak di Meksiko bagian selatan dan relatif tertinggal dalam hal pembangunan. Oleh karena itu, Emiliano Zapata memimpin kelompoknya memprotes sikap pemerintah yang lebih mendukung kebijakan Neoliberal daripada memerangi kemiskinan. Gerakan ini disebut Zapatista, dan segera berubah menjadi radikalisme militan. Konflik yang memuncak akhirnya mengakibatkan terbunuhnya seorang kandidat presiden Meksiko yaitu Luis Caldoso.

Jerman

Perkembangan utang dalam negeri dan utang luar negeri Jerman dapat dilihat pada Gambar 2.2. Nilai utang Jerman pada Gambar 2.2 berdenominasi mata uang dalam negeri. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa selama periode 1990-1997, utang dalam negeri Jerman lebih besar dibandingkan utang luar negeri. Namun pada tahun 1998-1999 sebaliknya, nilai utang luar negeri sedikit lebih besar dibandingkan utang dalam negeri.

Gambar 2.2 Perkembangan Utang Jerman, 1990-1999

Sumber: GFS, diolah

Pada tahun 2000, pemerintah Jerman mengeluarkan obligasi jangka pendek yang disebut sebagai Unverzinsliche Schatzanweisungen Treasury Discount Note yang berjangka waktu 1-2 tahun. Untuk jangka menengah, diterbitkan Bundesschatzanweisungen yang berjangka waktu empat tahun. Selain itu, secara khusus, diterbitkan juga obligasi berjangka lima tahun yang disebut Bundesobligationen. Semua surat utang negara

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

Miliar

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 50: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

38

tersebut diterbitkan dalam denominasi mata uang domestik. Ada juga varian berupa Strips yang mulai diterbitkan sejak tahun 1997.

Penjualan dilakukan oleh sindikasi bank melalui proses lelang untuk obligasi jangka panjang. Sebagian dari jumlah ini dicadangkan untuk Bundesbank. Selain itu, terdapat juga skema penjualan dengan private placement untuk obligasi dengan jangka waktu 5 tahun. Obligasi Jerman tidak memiliki otoritas penjual primer, namun dijual melalui Federal Bond Consortium.

Belgia

Perekonomian Belgia tumbuh 0,9 persen pada tahun 2003 dan 1,8 persen pada 2004. Pertumbuhan ini ditunjang oleh kenaikan tabungan, konsumsi dan investasi yang moderat. Pengangguran berkurang dan diperkirakan penyerapan tenaga kerja akan mencapai 61,6 persen pada akhir 2004. Inflasi menurun dari 2 persen (2002) menjadi 1,6 persen (2003). Sementara itu, sektor properti, ekspor dan impor pulih kembali setelah menurun selama dua tahun. Faktor utama pendorong perbaikan ini ialah menguatnya mata uang Euro.

Kebijakan fiskal Belgia cenderung ekspansif dan bersifat stimulus. Penerimaan pajak tenaga kerja dikurangi untuk menekan pengangguran. Banyak pengusaha dibantu untuk merangsang investasi. Sebagai contoh adalah pemotongan pajak perusahaan besar (corporate) sebesar 33,99 persen pada tahun 2003. Untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) tarif pajak dikurangi sampai 24,98 persen. Untuk mendorong kreativitas pengusaha, sasaran diarahkan pada knowledge economy. Dalam National Employment Conference, pemerintah Belgia menyetujui alokasi dana sebesar 3 persen dari anggaran untuk penelitian dan pengembangan.

Selain itu dilakukan ekspansi untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Sebagai contoh adalah proyek perbaikan prasarana kereta api bernama DIABOLO. Dana berasal dari pemerintah dan BUMN yang telah diprivatisasi. Liberalisasi juga dilakukan di sektor energi. Pada tahun 2004, sekitar 80 persen pasar listrik dan 90 persen pasar gas dibuka untuk bersaing di sektor swasta.

Pemerintah Belgia sangat antisipatif. Riset menunjukkan, jumlah penduduk Belgia yang berusia lebih dari 80 tahun akan bertambah dua kali lipat dalam 30 tahun. Pada tanggal 5 September 2001, pemerintah menetapkan komitmen untuk mengurangi utang publik dan membentuk dana publik yang disalurkan untuk populasi usia lanjut yang bertambah. Program ini disebut Ageing Fund. Tujuannya adalah agar ketika fiskal telah ditetapkan secara pasti, dalam jangka panjang tidak seorang pun anggota masyarakat yang terlantar ketika terjadi perubahan. Dana publik tersebut diperoleh dari surplus anggaran, penerimaan investasi dan non fiskal (off budget). Prediksi demografis semacam inilah yang belum ada di Indonesia.

Dalam kondisi demikian, kesinambungan fiskal jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah memelihara momentum. Kondisi fiskal Belgia sangat kuat. Hal ini terbukti bahwa pemerintah Belgia dapat mengurangi pajak tanpa mengalami goncangan dan penyesuaian (Yamauchi 2004), pada saat pertumbuhan PDB tidak tinggi. Pelajaran yang dapat diambil adalah diperlukannya komitmen terhadap pengurangan utang (menurunkan rasio utang), penciptaan surplus dan antisipasi contingent liabilities.

Perkembangan utang dalam negeri dan utang luar negeri Belgia selama periode 1989-1998 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Nilai utang pada gambar tersebut diukur dalam mata uang dalam negeri. Sebagian besar utang Belgia merupakan utang dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa pasar obligasi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pendanaan pemerintah Belgia.

Page 51: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

39

Gambar 2.3 Perkembangan Utang Belgia, 1989-1998

Sumber: GFS, diolah

Jepang

Jepang dikenal sebagai anggota Consultative Group on Indonesia (CGI) sekaligus negara pengekspor dana. Pada tahun 2003, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) merupakan salah satu kreditur yang menyalurkan pinjaman program sebesar US$ 0,2 miliar kepada Indonesia.

Walaupun demikian, ternyata Jepang memiliki utang yang cukup besar. Data OECD menunjukkan, pada tahun 2001 pinjaman Jepang mencapai 119 persen dari total PDB. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Jepang sangat aktif memutar dana dengan cepat.

Selama periode 1984-1990, utang luar negeri Jepang (dalam mata uang dalam negeri) cenderung stabil. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Utang dalam negeri Jepang relatif lebih besar dibandingkan dengan utang luar negeri. Pada tahun 1990, utang dalam negeri Jepang mencapai ¥238,7 triliun, sedangkan utang luar negeri hanya sebesar ¥1186 miliar.

Pada dekade 1970-an, suku bunga di Jepang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena subsidi yang besar dari pemerintah terhadap pasar uang. Di samping itu, hasrat menabung (Marginal Propensity to Save/MPS) masyarakat Jepang juga tinggi. Pada saat itu, pasar sekunder untuk obligasi belum diperbolehkan. Hanya terdapat tiga industri yang diperbolehkan menerbitkan obligasi, yaitu pemerintahan, perbankan dan elektronik. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui proses industrialisasi, sehingga, permintaan kredit sangat besar.

Pada awal 1980-an, pemerintah Jepang melakukan deregulasi. Pasar obligasi mulai dibuka dan tingkat suku bunga dibiarkan mengambang. Selain itu, pihak swasta juga diperbolehkan menerbitkan obligasi internasional karena mulai terjadi kejenuhan di pasar domestik. Terjadi kegamangan antara meminjam di sektor perbankan atau meraih dana dari pasar modal. Akhirnya perusahaan-perusahaan yang telah lama berkembang dan mempunyai nama besar lebih memilih menggalang dana melalui pasar modal. Utang publik dalam bentuk obligasi pun meningkat tajam. Sedangkan perusahaan-perusahaan baru cenderung melakukan pinjaman dari bank. Hal ini disebabkan karena perbankan lebih longgar dalam hal reputasi dan nama besar, walaupun pengawasannya lebih melekat (Hoshi, et al. 1993).

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

Miliar

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 52: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

40

Gambar 2.4 Perkembangan Utang Jepang, 1984-1990

Sumber: GFS, diolah

Pasar obligasi pemerintah Jepang merupakan pasar sekuritas pemerintah terbesar kedua setelah AS. Defisit fiskal terhadap PDB di Jepang merupakan defisit tertinggi diantara negara-negara OECD. Beberapa tahun yang akan datang, pengeluaran obligasi Jepang diharapkan sebesar kira-kira 90 persen total pengeluaran obligasi pemerintah negara OECD. Adapun obligasi Jepang ini diterbitkan dalam denominasi mata uang domestik.

Manajemen utang di Jepang merupakan isu yang paling penting diantara negara-negara OECD yang lain. Untuk mengatasi utang, pemerintah Jepang tidak menggunakan kebijakan moneter untuk menghindari inflasi dan depresiasi, tetapi lebih mengarah pada penjualan obligasi pemerintah. Walaupun demikian, idealisme masyarakat Jepang beranggapan bahwa bantuan oleh pemerintah perlu dihindari.

Isu demografis juga menjadi kontribusi penting dalam antisipasi contingent liabilities di masa mendatang. Jumlah penduduk usia lanjut di Jepang terus bertambah, sedangkan pertumbuhan golongan muda relatif lambat. Golongan tua mendapatkan subsidi, sementara kontribusi produktifnya (misalnya tabungan) kecil. Jika hal ini berlanjut, maka pada dekade 2040-an Jepang akan mengalami kekurangan stok kapital dan tekanan akibat pengeluaran subsidi.

Jepang mencoba mengurangi defisit dengan cara membatasi pengeluaran subsidi. Hal ini diterapkan dengan cara menaikkan batasan usia (ceiling ages) bagi kriteria penduduk usia lanjut yang ingin mendapatkan subsidi.

Dekle (2002) mencoba menganalisis hubungan antara pertambahan pajak dan pemotongan pengeluaran subsidi terhadap beban utang. Uji skenario yang dilakukan menunjukkan bahwa pada tahun 2040 jika penerimaan pajak mencapai 44 persen PDB, Jepang akan mempunyai rasio utang terhadap PDB sebesar 129 persen dari PDB pada tingkat bunga 3 persen. Bila tingkat bunganya mencapai 6 persen dan penerimaan pajak ditingkatkan menjadi 52 persen PDB, maka utang publik akan tetap sama pada tingkat 129 persen PDB. Selain itu, jika Jepang melakukan pemotongan pengeluaran (antara 22 sampai 27 persen PDB), maka rasio utang akan mencapai 93 persen PDB pada tingkat suku bunga 3 persen. Sedangkan jika suku bunga mencapai 6 persen, maka rasio utang terhadap PDB Jepang akan naik sebesar 346 persen dari PDB. Dengan demikian, pada suku bunga 3 persen, pemotongan pengeluaran akan lebih optimal bagi Jepang. Sebaliknya pada suku bunga 6 persen, peningkatan pajak akan lebih menguntungkan.

0

50

100

150

200

250

300

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990

Triliun Yen

0

200

400

600

800

1000

1200

1400Miliar Yen

Utang Dalam Negeri (Triliun) Utang Luar Negeri (Miliar)

Page 53: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

41

Amerika Serikat

Pemerintah Amerika Serikat dapat dikatakan merupakan lembaga penerbit surat utang yang paling kredibel. Masyarakat menilai investasi pada obligasi pemerintah AS sangat aman karena memiliki risiko gagal bayar (default risk) yang kecil. Bahkan Jones (2000) mengatakan “..for practical purposes investors do not consider the possibility of risk of default for these securities”. Pemerintah menjamin semua kewajibannya. Oleh karena itu, tingkat bunga kupon obligasi pemerintah sering dijadikan acuan dalam penilaian investasi bebas risiko (risk-free).

Pengelolaan utang dilakukan oleh US Department of Treasury (Departemen Keuangan AS). Walaupun demikian, ada juga obligasi lokal yaitu municipal bonds yang dikeluarkan dan dijamin oleh pemerintah kota atau negara bagian. Hingga 2000 lalu, ada 50.000 macam municipal bonds yang diterbitkan dan 1,5 juta macam masih beredar di tangan investor.

Gambar 2.5 Perkembangan Utang Amerika Serikat, 1990-2002

Sumber: GFS, diolah

Pinjaman pemerintah Amerika Serikat umumnya bersifat domestik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.5. Selama periode 1990-2002, jumlah utang dalam negeri Amerika Serikat tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sementara itu utang luar negeri menunjukkan tren meningkat, meskipun pada tahun 2000 dan 2001 mengalami penurunan. Pada tahun 2002, utang dalam negeri dan utang luar negeri mengalami peningkatan, masing-masing menjadi US $ 2.328,85 miliar dan US $ 1157,98 miliar.

Pemerintah Amerika Serikat menerbitkan dua jenis surat utang (US Treasury Bills atau T-Bills) pada harga diskon, yaitu treasury notes dan treasury bonds masing-masing berjangka waktu 2-10 tahun dan 30 tahun. Treasury bonds dijual dengan nilai nominal US$1000, US$5000, US$10.000, US$100.000, US$500.000 dan US$1 juta. Pembayaran bunga dilakukan secara tengah tahunan (semiannually). Penjualan dilakukan dengan cara lelang yang dilakukan oleh agen primer.

Pada pasar uang (jangka pendek) diperdagangkan juga Treasury Bills berjangka waktu satu tahun atau kurang dari 90 hari. Penjualan resmi dilakukan oleh lembaga pemerintah di bawah Departemen Keuangan yaitu Government National Mortgage Association (disebut juga Ginnie Mae). Selain itu ada juga beberapa agen penjual swasta yang disponsori pemerintah antara lain Federal National Mortgage Association (FNMA atau Fannie Mae), Federal Home Loan Mortgage Corp, Federal Home Loan Bank, Farm Credit System dan Student Loan Marketing Association.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

US $ Miliar

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 54: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

42

Kasus Negara-negara Emerging Market Argentina

Krisis Argentina merupakan contoh rentannya hubungan antara nilai tukar dengan sistem keuangan. Selain itu, juga terdapat tekanan terhadap fiskal dan kesalahan dalam penyesuaian suku bunga.

Ada banyak pendapat mengenai penyebab krisis Argentina. Feldstein (2002) berpendapat bahwa penyebab krisis Argentina adalah overvaluation dalam nilai tukar dan tumpukan utang luar negeri. Calvo, Izquierdo dan Talvi (2002) mengatakan bahwa krisis Rusia merupakan awal tejadinya sudden stops dalam aliran modal yang akhirnya menyebabkan krisis Argentina. Selain itu ketertutupan ekonomi semakin memperparah krisis Argentina. Perry dan Serven (2002) berargumen bahwa krisis Argentina disebabkan oleh kerentanan nilai tukar di bawah nilai tukar tetap, kerentanan fiskal, tingginya utang publik dan kelemahan perbankan. Mussa (2002) mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Mussa menyalahkan pemerintah yang tidak mampu memelihara fiskal yang bertanggung jawab.

Mulai tahun 1991, Argentina menggunakan nilai tukar tetap. Hingga tahun 1997, perbankan masih stabil dan sangat likuid. Namun, seiring terjadinya apresiasi dolar AS dan devaluasi di Brazil, mata uang Argentina menjadi tertekan. Akibatnya nilai tukar melemah (overvalued), pertumbuhan stagnan dan utang publik sulit dibayar. Kondisi ini disebut sebagai currency growth debt (CGD) trap pada tahun 1999.

Untuk menghindari utang publik yang semakin besar, Argentina harus meningkatkan surplus primernya dengan menaikkan pajak atau mengurangi pengeluaran pemerintah. Menaikkan pajak akan berdampak buruk pada sektor swasta karena meningkatkan biaya. Oleh karena itu kebijakan fiskal yang diambil oleh Argentina adalah mengurangi pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter yang diambil adalah mengubah nilai tukar dari nilai tukar tetap menjadi nilai tukar mengambang.

Pada tahun 2001, pemerintah Argentina melakukan pembelian kembali (buyback) utang-utang luar negeri dan domestiknya. Kesemuanya dalam bentuk obligasi. Untuk utang luar negeri, pemerintah mengajukan haircut untuk kupon dan cicilan primer (principal). Sementara itu, kreditur domestik menerima pembayaran kuponnya secara penuh. Hal ini berdasar pertimbangan bahwa debitur lokal akan secara moral lebih dirugikan jika terjadi depresiasi mata uang. Akibatnya, banyak kreditur asing merasa dirugikan. Sebagian besar kreditur asing tersebut berasal dari Eropa.

Para pemegang obligasi pemerintah Argentina di New York menuntut secara legal melalui jalur New York Law. Hal ini disebabkan karena Argentina menganut pembedaan asas legal manajemen utang sesuai dengan asal kreditur. Untuk kreditur domestik, permasalahan diselesaikan dengan hukum Argentina. Dalam sistem hukum New York restrukturisasi justru sulit dilakukan karena pengubahan tenor tidak fleksibel.

Brazil

Dari tiga perempat utang domestik Brazil, sepertiganya didenominasikan dalam dolar AS (Razin dan Sadka, 2002). Sebagian besar dari pinjaman berjangka pendek dan menengah. Untuk mengantisipasi terjadinya krisis utang, likuiditas Brazil harus tinggi. Nilai tukar harus kuat dan suku bunga harus stabil. Pada mulanya Brazil menerapkan sistem kurs tetap. Kesulitan timbul, akibat turunnya nilai mata uang Brazil dan diselenggarakannya pemilu yang lalu. Akibatnya, nilai tukar diambangkan dan muncul sinyalemen negatif.

Page 55: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

43

Brazil juga mengenal Emerging Market Bond Index (EMBI) yang membandingkan perbedaan insentif antara memegang obligasi pemerintah Brazil dengan Amerika Serikat (US Treasury Bills). Menurunnya penilaian pasar membuat dana dari luar negeri enggan untuk memasuki Brazil. Adanya efek sinyal dari penetapan kurs mengambang dan agenda pemilihan umum juga menyebabkan, pasar menduga akan terjadin inflasi yang diikuti oleh depresiasi nilai tukar.

Merespon peningkatan inflasi, bank sentral melakukan peningkatan suku bunga. Walaupun depresiasi terjadi, namun surplus ekspor tidak bertambah. Aliran modal masuk juga terganggu karena adanya disinsentif akan risiko sistematis suku bunga tinggi. Akibatnya, kemampuan Brazil dalam memenuhi kewajiban luar negerinya menjadi terganggu. Brazil kemudian melakukan pengetatan fiskal.

Pinjaman IMF pada bulan Agustus 2002 sebesar US$16 miliar telah mendorong bank sentral Brazil beroperasi lebih cepat. Jika surplus primer meningkat, IMF menjanjikan tambahan paket menjadi US$30 miliar. Persoalan kemudian muncul, karena suku bunga mengalami peningkatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah inflasi tinggi dan memancing aliran modal ke dalam negeri. Hingga tahun 2002, surplus primer hanya sekitar 2,5 persen GNP dan rasio utang terhadap GNP relatif rendah.

Assaf Razin dan Efraim Sadka (2002) mencoba mengembangkan model yang menjelaskan fitur-fitur penentu yang mempengaruhi utang luar negeri Brazil. Aspek politis pemilu dipertimbangkan, karena adanya ekspektasi pasar akan pergantian rezim. Dua model keseimbangan dibentuk, yaitu dalam skenario “baik” dan “buruk”. Kedua peneliti sampai pada simpulan adanya prime world rate of interest (r*) dunia di mana kreditur mau memberikan pinjaman. Rekomendasi mereka menganjurkan agar Brazil terus menurunkan tingkat suku bunga domestik, memulihkan investasi dan mengurangi defisit fiskal.

Nikaragua

Nikaragua memiliki tata kelola pemerintahan (corporate governance) yang buruk. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela pada akhir dekade 1970-an. Pada tanggal 19 Juli 1979, Frente Sandinista de Liberacion Nacional mengambil alih kekuasaan Presiden Anastasio Somoza melalui kudeta.

Sandinista mewarisi beban ekonomi yang berat dari pemerintahan Somoza. Beban utang luar negeri pada saat itu sangat besar. Kreditur terdiri atas 115 bank dan 12 negara. Sementara cadangan devisa sebesar US$ 3,5 hanya mencukupi dua hari impor.

Selain itu, perubahan politik membawa dampak terhadap perekonomian. Dana luar negeri Amerika Serikat yang telah dialirkan sejak pemerintahan Carter dihentikan oleh Reagan. Kuota impor gula AS dari Nikaragua juga dipotong 90 persen.

Oleh karena itu, negosiasi dilakukan dengan kreditur. Pemerintah Nikaragua berjanji akan memenuhi semua kewajibannya. Kasus Nikaragua menjadi gambaran besarnya dampak politik terhadap ekonomi dan efektivitas ancaman sanksi terhadap negara pengutang berat.

Kasus Negara-negara HIPC

Highly Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative merupakan forum donor yang dibentuk pada musim gugur tahun 1997. Tujuan utamanya ialah untuk memberikan keringanan dalam bentuk pengampunan utang kepada negara-negara pengutang berat. Termasuk di antara anggota-anggota forum donor ini ialah lembaga-lembaga kreditur dunia seperti IMF, Bank Dunia dan African Development Bank (AfDB).

Page 56: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

44

Jumlah utang di negara miskin meningkat signifikan pada periode 1980-1990. Kenaikan utang ini disebabkan karena ada keinginan dari sebagian negara debitur untuk mengambil lebih banyak utang dan sebagian lagi dari negara kreditur yang ingin membantu negara miskin, tetapi tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan ekspor. Oleh karena itu, HIPC dibangun sebagai konsekuensi moral untuk membantu negara-negara miskin melepaskan diri dari utang, dengan syarat program pengentasan diri dari kemiskinan berjalan dengan baik.

Dalam skemanya, HIPC memberikan pengampunan utang (debt relief) kepada debitur-debitur berat. Sebagai persyaratan, mereka diminta melakukan beberapa program pengentasan kemiskinan dan reformasi sosial yang diminta oleh forum. Hal ini antara lain dituangkan dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) yang harus dilaporkan kepada forum sesuai jadwal. Selain itu, diberikan juga Poverty Reduction and Growth Facility (PRGF) yang harus dilaporkan pelaksanaannya.

Periode reduksi utang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama disebut sebagai decision point, yaitu jangka waktu tertentu yang berhasil dicapai setelah sebuah negara melaporkan hasil pelaksanaan kebijakan selama tiga tahun. Jika tahap ini selesai, HIPC dapat memberikan penilaian untuk memutuskan penghapusan utang, menurut kriteria-kriteria yang telah ditetapkan forum. Tahap kedua adalah completion point. Tahap ini dicapai setelah ada penilaian atas kebijakan baru yang berjalan stabil dan kuat. Fokus kebijakan ini diarahkan pada perbaikan sosial dan rekonstruksi struktural.

Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Menghambat Persiapan Poverty Reduction Strategy Papers

(PRSP) dan Negara-Negara HIPC yang Mengalaminya

Proses Partisipasi

Pengumpulan Data dan Pengawasan

Manajemen Pengeluaran

Publik

Pembebanan Biaya dan Prioritas

Lainnya

Kamerun Chad

Ghana Malawi Senegal

Sierra Leone Zambia

Chad Kamerun Gambia Guinea Guyana Rwanda Zambia

Gambia Ghana Malawi

Madagaskar Senegal

Gambia Ghana

Madagaskar

Kamerun Madagaskar Sierra Leone

Gambia

Sumber: PRSP Preparation Status – Country Reports. (kecuali Rep. Kongo) Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh negara-negara HIPC dalam menyelesaikan kewajiban. Hal-hal tersebut berkaitan dengan stabilitas makroekonomi, kemiskinan yang masif, dan sulitnya mencapai konsensus politik (misalnya di Komoro). Selain itu, tugas reformasi struktural berupa reorientasi anggaran pemerintah dalam memerangi kemiskinan juga sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tata kelola (corporate governance) yang masih buruk.

Sebagian besar negara HIPC juga mengalami epidemi HIV/AIDS. Tingkat penularan yang tinggi membuat upah tenaga kerja mahal karena suplainya terbatas. Pembiayaan publik pun menjadi tinggi. Akibatnya, produktivitas memburuk sementara tabungan dan investasi tidak meningkat. Untuk kesinambungan jangka panjang, hal ini berbahaya. Persepsi internasional yang buruk juga mengakibatkan aliran modal terhambat. Untuk penanganan HIV/AIDS sendiri, pemerintah harus mengorbankan 1-1,3 persen PDB.

Pada tahun 2001 lalu, sebanyak 24 negara telah mencapai tahap decision point di bawah prakarsa HIPC. Kemajuan yang dicapai antara lain menurunnya rata-rata pembayaran utang selama periode 2001-2003 sebesar 30 persen. Pada periode yang sama IMF dan Bank Dunia juga sepakat mengurangi keharusan membayar utang sebesar 65 dan 55 persen secara bertahap. Rata-rata pengeluaran untuk kepentingan sosial juga bertambah, diharapkan 45 persen lebih tinggi dari tahun 1999. Pengeluaran untuk rekonstruksi sosial

Page 57: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

45

ini mencapai US$ 6,5 miliar, tiga kali lebih besar daripada pembayaran utangnya (van Trostenburg dan McArthur, 2001).

Sejauh ini, ada 38 negara peserta HIPC yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan. Jumlah ini terus bertambah. Hingga Maret 2003, terdapat delapan negara yang telah mendapatkan pengampunan utang termasuk Mali dan Benin. Hingga Juli 2003, terdapat empat negara yang belum menyelesaikan laporan PRSP, yaitu Sierra Leone, Republik Demokratik Kongo, Guinea-Bissau dan Sao Tome-Principe. IMF memperkirakan, rasio utang terhadap ekspor akan berkurang dari 300 persen sebelum HIPC menjadi 128 persen pada tahun 2005. Sedangkan rasio utang terhadap PDB diproyeksikan akan berkurang dari 60 persen menjadi 30 persen.

Dilaporkan bahwa penghapusan utang oleh HIPC ini telah dimanfaatkan untuk pelaksanaan rekonstruksi sosial di berbagai negara. Bolivia, Tanzania dan Uganda memilih memperbaiki infrastruktur pengairan. Burkina Faso meningkatkan pembangunan pedesaan dan sarana pengairan. Guinea-Bissau meningkatkan sektor pertambangan. Mauritania menggalakkan program pengentasan kemiskinan. Di Senegal, kemajuan kaum wanita ditingkatkan. Sedangkan Zambia memilih meningkatkan jaring pengaman sosial, pengairan dan penanggulangan bencana alam.

Tabel 2.5 Indikator Utang Negara-Negara Berkembang dan HIPC

Negara Berkembang Negara-Negara HIPC

Indikator Rata-rata 2001

Non-HIPC Low Income Countries

Sebelum Debt Relief

Diberlakukan

Indikator Utang 2001

Indikator Utang 2002

Setelah HIPC

NPV rasio utang

terhadap ekspor

120 143 274 275 214 128

NPV rasio utang

terhadap PDB

38 39 61 65 50 30

Rasio pembayaran

utang terhadap ekspor

19 15 16 10 10 8

Sumber: Global Development Finance (GDF), World Bank. 2003 HIPC, sebagaimana layaknya negara-negara miskin lainnya, memerlukan perlakuan khusus dalam manajemen utang luar negerinya. Fiskal negara-negara HIPC sangat rapuh, tingkat tabungan rendah, teknologi sederhana, pertumbuhan penduduk tinggi sementara investasi sangat minim. Akibatnya, penerimaan pajak dan ekspor pun sangat tertinggal.

Presiden Bush dalam rekomendasinya kepada Kongres AS (Juli 2002) mengusulkan agar bank-bank komersial dan lembaga-lembaga donor mau memberikan pengampunan utang kepada negara-negara miskin tersebut sampai kurang lebih 50 persen. Di atas ambang batas itu, pengampunan utang akan menimbulkan moral hazard bagi rezim debitur. Crisstof (2002) menunjukkan penelitian yang membuktikan bahwa penghapusan 50 persen utang negara-negara miskin akan lebih memelihara kesinambungan fiskalnya daripada jika diampuni 100 persen. Apabila dilakukan penghapusan 100 persen, mereka justru akan segera berutang kembali.

Page 58: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

46

Penaksiran-penaksiran terhadap HIPC yang selama ini dilakukan dinilai terlalu optimis oleh IMF sendiri dan IDA (2002). Penilaian decision point digeneralisasi dengan berpatokan pada mereka yang berhasil. Padahal, HIPC mengalami penurunan ekspor yang signifikan karena produktivitasnya rendah. Kasus tiap negara tidak sama. Lagipula, perkiraan decision point sering dibuat tanpa mengantisipasi penurunan harga dan kemunduran global. Intinya, forum kreditur ini kurang berhati-hati.

Pengalaman-pengalaman empirik di atas menunjukkan kepada kita, bahwa utang atau pinjaman tidak secara inheren buruk. Bila dikelola dengan baik, pinjaman dapat menjadi sangat produktif dan efisien. HIPC memberikan pelajaran bagi kita, bahwa komitmen utang memerlukan stabilitas yang luar biasa di segala bidang.

Kasus Uni Eropa Kebijakan ekonomi negara-negara Uni Eropa harus tunduk pada prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam The Broad Economic Policy Guidelines. Aturan tersebut memuat panduan mengenai kriteria fiskal-finansial, panduan mencapai stabilitas makro dan kesinambungannya. Mereka harus menyetujui perjanjian stabilitas dan kebijakan stabilisasi pro-siklus.

Terdapat hubungan antara investasi sektor publik dengan perjanjian stabilitas dan pertumbuhan. Hal ini disebut sebagai Cyclically-Adjusted Golden Rule. Hubungan ini mencakup antara lain pengaruh inflasi terhadap jumlah yang dapat dipinjam. Jumlah inipun tidak tergantung pada tingkat pertumbuhan. Prinsip ini membuat pemerintah selalu melakukan penyesuaian fiskalnya agar sejalan dengan prinsip Golden Rule yang diperkenalkan Buiter. Sesuai pendapat Buiter (2002), pemanfaatan pinjaman di negara-negara berkembang akan berbeda dibandingkan negara-negara maju.

Dalam skema tersebut, dikenal fiscal-financial programme yang memuat aturan pengeluaran negara masa lalu, saat ini dan proyeksi ke depan. Kesinambungan Fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan risiko gagal bayar, yaitu tingkat utang harus lebih kecil daripada nilai sekarang (present value) semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang. Buiter dan Graf (2002) merekomendasikan dimasukkannya peran bank sentral Eropa (ECB) ke dalam skema aturan.

Terdapat beberapa pandangan yang bias mengenai persyaratan yang harus dipenuhi suatu negara untuk menjadi anggota Uni Eropa. Persyaratan tersebut antara lain defisit tidak boleh terlalu kecil, surplus tidak boleh terlalu besar dan utang tidak boleh terlalu rendah. Hal ini dilakukan untuk menghindari rekayasa (manipulasi) data anggaran dalam memenuhi kriteria tersebut. Buiter dan Graf (2002) melontarkan kritik mereka terhadap beberapa bias yang mungkin terjadi, antara lain, adanya free-rider antara otoritas anggaran beberapa negara. Mereka yang mengalami defisit dibantu oleh yang lain untuk menstabilkan fiskalnya. Menurut Buiter, hal ini tidak produktif. Biaya ekonomis yang terjadi tidak sepatutnya dibebankan kepada yang lain.

Isu demografis menjadi perhatian serius bagi Uni Eropa. Tingkat kelahiran relatif rendah sementara harapan hidup tinggi. Hal ini menyebabkan produktivitas yang menurun sehingga beban fiskal berat. Beberapa solusi yang dilakukan antara lain mengkombinasikan pinjaman pemerintah dengan penundaan kenaikan tarif pajak dan memotong pengeluaran. Selain itu dapat dilakukan juga pengubahan sistem pembayaran dana pensiun dari yang bersifat pesangon menjadi pembayaran bulanan. Hal ini akan memperkecil risiko tekanan fiskal di masa mendatang.

Uni Eropa juga menerapkan rekomendasi fiskal Buiter (2003) berupa Golden Rule dan Permanent Balance Rule. Hal ini meningkatkan kehati-hatian (konservatisme fiskal) dan produktivitas anggaran itu sendiri. Namun, kebijakan ini hanya tepat untuk negara-negara maju dengan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Negara berkembang yang

Page 59: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

47

mengandalkan pajak sebagai kompensasi pinjaman akan sangat kontraktif bagi perekonomian.

Kasus Eropa Tengah Penelitian yang dilakukan oleh Berger, Kopits dan Szekely (2004) mencoba membandingkan perkembangan fiskal pemerintah negara-negara Eropa Tengah (Austria, Polandia, Ceko dan Hungaria) dengan negara-negara Baltik (Estonia, Latvia dan Lithuania). Ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi kebijakan fiskal di wilayah ini, yaitu siklus politik, kualitas institusi fiskal dan kebijakan nilai tukar. Pasca bubarnya Uni Sovyet, kebijakan ekonomi yang semula tersentralisasi oleh Moskow menjadi lebih liberal. Beberapa negara Baltik yang masih menerapkan sentralisasi seperti Estonia dan Latvia (kecuali Lithuania) berhasil mencapai kestabilan fiskal dibandingkan negara-negara Eropa Tengah. Ide sentralisasi lalu diyakini sebagai kunci keberhasilan ini. Padahal, sentralisasi di Slovenia justru menimbulkan kekacauan fiskal.

Ketiga peneliti mencoba menguji secara regresi dampak masing-masing variabel tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasilnya menunjukkan bahwa suku bunga dan siklus politik memiliki korelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara variabel transparansi dan kehadiran sentralisasi mempunyai hubungan yang positif namun tidak signifikan. Selain itu ada juga variabel-variabel karakteristik lain seperti populasi dan ukuran ekonomi yang pengaruhnya positif namun tidak signifikan.

Disimpulkan juga bahwa penyebab keberhasilan stabilisasi fiskal di negara-negara Baltik adalah konsolidasi fiskal yang sukses. Pengetatan pengeluaran ini juga dilakukan di Eropa Tengah namun hasilnya tidak maksimal karena masih kurangnya disiplin fiskal. Ini menyebabkan kawasan Baltik lebih cepat keluar dari krisis pasca Uni Sovyet dibandingkan dengan negara-negara Eropa Tengah.

Berger et al. (2004) juga menerapkan game theory untuk menguji efektivitas kebijakan Eropa Tengah. Hasilnya, mereka merekomendasikan agar kawasan tersebut lebih banyak menjalin kerjasama dalam berbagai forum regional. Sebagai contoh, bergabung dengan Uni Eropa (EU) dan NATO akan banyak mendatangkan manfaat.

Kasus Sub Sahara Negara-negara yang termasuk dalam kawasan Sub Sahara antara lain Senegal, Benin dan Burkina Faso. Kemiskinan di wilayah ini sangat masif. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank Institute (2003) menunjukkan bahwa kesenjangan tabungan (saving gap theory) di wilayah ini telah mengakibatkan rasio utang menjadi sangat tinggi. Pendapat Todaro (2000) mengenai saving gap theory terbukti benar.

Perekonomian Sub Sahara tumbuh sangat lambat karena minimnya akumulasi kapital. Mengacu pada pendapat Solow (1956), tabungan merupakan salah satu variabel pendorong pertumbuhan yang penting selain pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi. Jika modal dalam negeri tak mencukupi, maka impor kapital terpaksa dilakukan. Pada beberapa kasus, aliran modal masuk tidak dengan sendirinya terjadi jika insentif moneter tidak memungkinkan, misalnya paritas suku bunga. Dalam keadaan demikian, pinjaman (utang) menjadi satu-satunya pilihan.

Pemerintah di Sub-Sahara menghadapi berbagai masalah yang serius dalam menerapkan kebijakan fiskal karena adanya: 1. Distribusi pendapatan yang tidak merata dan tingginya populasi yang diakibatkan

kemiskinan ekstrim. 2. Rentan terhadap gangguan luar, misalnya bencana alam dan ketergantungan tenaga

ahli dari luar negeri.

Page 60: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

48

3. Beberapa kegagalan pasar karena informasi tidak sempurna, kegiatan monopoli dan berbagai macam eksternalitas negatif lainnya.

4. Kurangnya dukungan yang tepat untuk sektor swasta dalam hal keuntungan kompetitif, aturan dan sistem hukum.

5. Ketidakefisienan pemerintah dan institusi yaitu masalah pemerintahan dan kepercayaan.

Kebijakan fiskal wilayah ini umumnya bersifat structural adjustment program untuk perbaikan masyarakat. Kendala yang dihadapi pemerintah ialah distribusi pendapatan yang tidak merata, kerentanan terhadap perubahan (contingent liabilities), kegagalan pasar, kurangnya iklim yang kondusif bagi swasta misalnya menyangkut penegakan hukum dan rendahnya kualitas tata kelola pemerintah.

Kebijakan moneter Sub Sahara umumnya dikelola oleh BCEAO, bank sentral regional. Sejak devaluasi mata uang Franc CFA tahun 1994 yang lalu, bank sentral memberlakukan kurs tetap. World Bank Institute (Aloy et. al, 2003) dalam studinya merekomendasikan beberapa solusi bagi penetapan kebijakan fiskal di wilayah ini. Pertama, ketahanan SDM jangka panjang. Mengacu pada teori Lucas (1988), kualitas SDM sangat penting dalam mendorong pertumbuhan. Guna mengurangi kemiskinan, kebijakan di bidang pendidikan harus ditingkatkan. Hal ini akan membawa dampak eksternalitas sosial ke depan, misalnya perbaikan institusi. Kedua, pemerintah harus dapat menambah surplus fiskal misalnya melalui ekspor. Mengacu pada intertemporal constraint theory, nilai sekarang dari surplus primer harus sama dengan nilai utangnya. Kondisi ini terpenuhi jika pertumbuhan utang lebih rendah daripada bunganya. Maka, rasio utang terhadap PDB dapat terjaga. Untuk itu, otoritas moneter harus membangun kebijakan yang dapat mendukung ekspor. Misalnya, suku bunga diupayakan tetap rendah.

Menurut Solow, 1956 (constant savings rate growth model), pemberian pajak dapat menurunkan pendapatan perkapita, harusnya pemerintah menggunakan pajak konsumsi daripada menetapkan pajak pada investasi yang produktif. Pembiayaan dengan utang publik juga berpengaruh terhadap pertumbuhan karena adanya efek pengeluaran. Peningkatan defisit publik yang dibiayai melalui utang dapat mengurangi investasi swasta dan atau berkurangnya pendapatan dari luar. Namun hal ini tergantung dari efek defisit publik pada tingkah laku tabungan di sektor swasta.

Penelitian tentang negara Sub-Sahara memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara kemiskinan dan keadaan pertumbuhan ekonomi. Negara Sub-Sahara menghadapi masalah sulit dalam menerapkan kebijakan fiskal yang ditargetkan untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena kebijakan yang dijalankan tidak efisien. Kasus yang terjadi di Benin, Burkina Faso dan Senegal memperlihatkan adanya hubungan negatif antara pertumbuhan dan tingkat utang, dikarenakan pembiayaan moneter dan redistribusi kebijakan. Kunci dasar pertumbuhan di ketiga negara tersebut adalah tingkat tabungan dan produktivitas modal.

Kasus Eritrea Eritrea merdeka dari Etiopia pada tahun 1993. Negara ini menderita inflasi yang berat akibat perang. Pada tahun 2000, inflasi mencapai 19,9 persen. Rasio utang terhadap PDB meningkat tajam, dari sebesar 10 persen pada tahun 1994, 47 persen pada tahun 1997, 77 persen pada 1998 hingga mencapai 200 persen pada tahun 2002.

Rata-rata perubahan persentase PDB per kapita dalam US$ dari tahun 1993-2002 adalah sebesar 168,7 persen. Pertumbuhan PDB pada tahun 2002 mencapai nilai minus, yaitu -26,1 persen.

Page 61: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

49

Di negara ini dikenal adanya diaspora financing, yaitu sejumlah transfer yang berasal dari warga keturunan Eritrea di luar negerinya. Hibah ini merupakan sumber pembiayaan eksternal yang terbesar bagi Eritrea dan jumlahnya mencapai 37 persen dari total PDB selama sepuluh tahun terakhir.

Dalam jangka pendek, kebijakan pemerintah harus diarahkan pada rekonsiliasi dan konsolidasi pasca perang. Para pejuang bersenjata harus dimobilisasi ulang. Jika keadaan damai telah dicapai, penyesuaian kebijakan fiskal akan dapat dilakukan. Ayumu Yamauchi (2004) merekomendasikan bahwa untuk memulihkan beban utang maka pemerintah harus memperluas basis pajak dan memperbaiki administrasi penerimaan.

Kasus Gabon Gabon adalah negara yang sangat bergantung pada produksi minyak bumi. Pada tahun 2002 yang lalu, Gabon menghasilkan produksi minyak sebesar 12,6 juta ton. Jumlah ini diperkirakan akan terus menyusut hingga menjadi hanya 1,8 juta ton pada tahun 2033. Untuk mengurangi ketergantungan pada minyak, fokus perhatian utama harus diarahkan pada sektor non migas.

Menurut Ntamatungiro (2004), skenario analisis fiskal Gabon yang stabil sebaiknya diarahkan secara konkret pada tiga hal, yaitu peningkatan kinerja keseimbangan non migas, transfer FFG3 dan total keseimbangan primer lainnya. Hal ini sesuai dengan paradigma baru yang diutarakan oleh Ntamatungiro yaitu kesinambungan fiskal dalam perspektif sumber daya alam.

Menurut Ntamatungiro kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) didefinisikan sebagai kemampuan anggaran keuangan pemerintah dalam memenuhi seluruh kewajibannya dalam jangka waktu tertentu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian. Untuk melihat kesinambungan utang, indikator yang digunakan adalah surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Surplus primer (primary surplus) adalah total penerimaan dikurangi dengan total pengeluaran, tidak termasuk pembayaran bunga dan cicilan pokok utang.

Observasi Ntamatungiro dilandaskan pada asumsi pertumbuhan PDB non migas 5 persen, pertumbuhan penduduk 2,4 persen (sejalan pertumbuhan pendapatan berbasis migas), suku bunga utang 6 persen dan target rasio utang terhadap PDB sebesar 20 persen hingga tahun 2033. Uji skenario yang dilakukan memperoleh hasil yaitu pengurangan utang akan mensyaratkan surplus primer sebesar 4,4 persen dari PDB non migas selama 2003-2033. Utang akan dapat dikurangi dari 103 persen PDB non migas pada akhir tahun 2002 menjadi kurang dari 70 persen pada akhir tahun 2021. Posisi FFG akan menjadi sebesar US$9 miliar pada 2025 dan mencapai US$11 miliar pada 2033 (83 persen PDB non migas). Bagi Gabon melepaskan ketergantungan diri dari minyak berarti kesinambungan fiskal untuk jangka panjang.

Kasus Filipina Filipina menderita tekanan fiskal yang berat di masa pemerintahan Presiden Gloria Macapagal Arroyo (2004). Defisit selama delapan bulan meningkat menjadi 11,1 triliun peso (US$1,98 triliun) per Agustus 2004. Nilai ini hampir mendekati ambang toleransi 198 triliun peso atau 42 persen PDB. Menurut Arroyo, pemerintahnya membutuhkan sedikitnya 180 triliun peso untuk menahan beban utang. Ia menambahkan, utang Filipina saat ini telah mencapai 71 persen dari PDB, sehingga menjadi terparah ketiga di Asia, (Jakarta Post, 22/9 2004).

3 FFG (Fund for Future Generation) adalah transfer berupa cadangan atau tabungan dari penerimaan migas yang ditransfer ke dalam anggaran sebagai simpanan bagi tambahan dana di masa depan.

Page 62: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

50

Perkembangan utang dalam negeri dan utang luar negeri Filipina dapat dilihat pada Gambar 2.6. Terlihat bahwa baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri mengalami peningkatan selama periode 1992-2001.

Jika tidak ada tambahan penerimaan pajak, pemerintah akan mengalami goncangan hebat dua tahun ke depan. Arroyo menyebutnya sebagai kematian ekonomi (economic death). Lembaga penilai International Fitch Rating memperingatkan bahwa Filipina akan mengalami penurunan kredibilitas pinjaman jika tidak diperoleh tambahan pajak sampai akhir tahun 2004. Surat utang pemerintah sendiri mempunyai rating yang rendah karena persepsi yang buruk di kalangan investor.

Gambar 2.6 Perkembangan Utang Filipina, 1992-2001

Sumber: GFS, diolah

Presiden Arroyo mengharapkan kerelaan berkorban rakyatnya melalui kampanye intensifikasi pajak. Ia meminta Kongres menerbitkan undang-undang perpajakan yang akan memberikan tambahan likuiditas setidaknya sebesar 80 triliun peso setahun. Kebijakan ini tidak populer dan mendapat resistensi kuat dari masyarakat. Lembaga survei Pulse Asia melakukan jejak pendapat dan menemukan bahwa 78 persen warga Filipina menyatakan tidak perlu dilakukan penambahan pajak bagi fiskal.

Beberapa analis menambahkan bahwa bila kebijakan ini benar-benar dilakukan, maka pemerintah tidak akan mencapai angka yang maksimal. Diperkirakan, setidaknya ada 60 triliun peso penerimaan negara baru yang dapat diraih (de Venecia dalam Morella, 2004).

Kasus Indonesia Indonesia bukan negara pengutang baru. Pada tahun 1967, telah dibentuk lembaga International Governmental Group on Indonesia (IGGI) sebagai forum donor negara-negara kreditur yang bersimpati terhadap pembangunan di Indonesia. Pada saat itu, utang luar negeri Indonesia masih minim.

Sebagai akibat dari turunnya harga minyak pada periode 1980-an, pemerintah mulai mencari sumber pendanaan alternatif. Bersamaan dengan penggalangan dana domestik melalui reformasi sektor perdagangan (Pakto 1988), utang luar negeri mulai meningkat. Perkembangan total utang Indonesia selama periode 1990-2002 dapat dilihat pada Tabel

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Miliar

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 63: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

51

2.6. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai utang dan rasio utang terhadap PDB menunjukkan peningkatan setiap tahun

Tabel 2.6 Utang Luar Negeri Indonesia, 1990-2002

Tahun Total Utang (Miliar Rupiah)

Rasio Utang terhadap PDB (%)

1990 89.469 42,43 1991 91.607 36,65 1992 110.995 39,30 1993 123.658 37,50 1994 139.780 36,57 1995 140.010 30,80 1996 129.533 24,32 1997 154.563 24,62 1998 812.585 85,02 1999 1.091.799 99,28 2000 1.246.185 98,52 2001 1.382.662 95,40 2002 1.404.385 87,23 2003* 1.343.221 75,18 2004* 1.132.471 56,63

Keterangan : *) angka perkiraan. Sumber: Departemen Keuangan, diolah.

Gambar 2.7 Perkembangan Utang Indonesia, 1990-2004

Keterangan: *) angka perkiraan. Sumber: Departemen Keuangan dan GFS, diolah.

Sementara itu perkembangan utang dalam negeri dan luar negeri Indonesia untuk periode 1990-2002 dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar tersebut menunjukkan utang dalam negeri Indonesia terus meningkat selama periode 1997-2002. Sedangkan utang luar

0

100

200

300

400

500

600

700

800

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003* 2004*

Rp Triliun

Utang Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Page 64: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

52

negeri Indonesia sempat turun nilainya pada tahun 1999, namun kembali terus meningkat hingga tahun 2002.

Terjadinya krisis moneter tahun 1998 membuat tekanan fiskal pemerintah menjadi berat. Nilai tukar melemah akibat krisis depresiasi mata uang Baht Thailand pada pertengahan 1997. Akibatnya, utang luar negeri membengkak.

Utang Luar Negeri Swasta Indonesia

Gejala kerawanan pinjaman luar negeri Indonesia sebenarnya dapat diantisipasi sejak sebelum terjadinya krisis. Data menunjukkan, utang terus bertambah dengan swasta sebagai kontributor terbesar utang luar negeri Indonesia. Sejak tahun 1996, proporsi utang swasta bertambah lebih besar dari pemerintah. Pemegang pinjaman terbanyak adalah sektor perbankan swasta. Karena tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada waktu itu, kekhawatiran akan terjadinya contingent liabilities tertentu belum banyak.

Kusumaningtuti, S.S (Bank Indonesia, 2004) mengidentifikasi beberapa penyebab pendorong bertambahnya utang luar negeri Indonesia. Pertama, kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan utang sebagai alat pemacu pertumbuhan. Kedua, beberapa risiko seperti nilai tukar dan perbedaan tingkat suku bunga yang menyebabkan cost of capital menjadi sangat mahal. Ketiga, rendahnya tingkat likuiditas dalam negeri akibat kebijakan uang ketat (tight money policy). Keempat, belum cukup berkembangnya pasar modal (baik saham maupun obligasi) di Indonesia. Di Indonesia, pemantauan terhadap perkembangan utang swasta dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut Keppres No. 39/1991 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/22/PBI/2000, sektor perbankan swasta harus mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dalam mencairkan pinjaman luar negeri dan melaporkan realisasinya. Lembaga swasta non bank atau non lembaga keuangan cukup melaporkan saja transaksi yang terjadi. Sistem pelaporan yang digunakan adalah External Debt Information System (EDIS).

Inilah sebabnya, semua utang swasta Indonesia semasa krisis menjadi contingent liabilities bagi Bank Indonesia. Depresiasi rupiah menimbulkan tekanan terhadap kapasitas perbankan. Melemahnya nilai tukar telah menyebabkan kredit macet yang memberatkan sektor perbankan. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun disalurkan. Guna memulihkan kepercayaan, pemerintah lalu menjalankan program restrukturisasi. Bank-bank yang dinilai tidak sehat dilikuidasi, dan yang masih sehat direkapitalisasi dengan obligasi pemerintah. Total dana yang dikeluarkan mencapai Rp650 triliun.

Untuk mengelola aset-aset jaminan dan pengembalian uang negara, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan PP No. 17/1998. Tugas yang dilakukan antara lain manajemen aset, restrukturisasi utang dan penjualan kredit.

Dua hal di atas memberatkan beban fiskal pemerintah. Di satu sisi, pemerintah menghadapi lonjakan utang luar negeri. Di sisi lain, muncul contingent liabilities dari dana restrukturisasi perbankan.

Manajemen Utang Indonesia

Harinowo (2004) secara khusus menyinggung perlunya membawa kebijakan fiskal Indonesia dari massive deficits ke arah surplus environment. Ini dilakukan melalui perencanaan fiskal dengan lebih berhati-hati dan mengusahakan basis surplus lebih luas. Skenario konservatif ditetapkan, yaitu dengan mematok angka 1,2 persen sebagai defisit fiskal terhadap PDB pada tahun 2004.

Page 65: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

53

Dua prinsip yang harus dipegang adalah asas kehati-hatian pemerintah dan pengendalian diri terhadap utang. Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul utang baru sementara utang yang ada (outstanding) dapat tertangani dengan baik. Untuk itu diperlukan kerjasama, pengertian dan kesediaan forum-forum donor seperti London Club dan Paris Club.

Tabel 2.7 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 2000-2003

2000* 2001 2002 2003 I. External Debt (Rp trilliun) 609 623 583 595 persen dari PDB 48,1 43 36,2 33,2 Dalam US$ miliar (tidak termasuk pinjaman IMF)

63,5 59,9 65,2 70,3

II. Utang Domestik (Rp trilliun) 650 654 639 639 persen dari PDB 51,7 45,2 39,7 35,6 A. Obligasi rekap/Surat Utang Negara (SUN)

430 435 419 419

Fixed rate 167 175 154 159 Variable rate 226 219 240 231 Hedge Bond 37 40 25 13 B. Blanket Gurantee Program 218 218 218 218 C. Credit Program 1 1 1 1 III. Jumlah (Rp trilliun) 1259 1277 1222 1234 persen dari PDB 99,5 88,1 75,9 68,9 Memorandum items Nilai Tukar 9595 10400 8940 8465 PDB Nominal 1265 1449 1610 1791,5

Keterangan: *) termasuk obligasi rekap dimulai sejak 28 Mei 1999-31 Oktober 2000 Sumber: Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, diolah Prinsip ini membawa dampak positif. Sebelum krisis, total utang Indonesia mencapai sekitar 23 persen dari PDB. Setelah terjadinya krisis, jumlah ini membengkak menjadi lebih dari 100 persen. Perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB telah berkurang di bawah 70 persen selama tahun 2003. Menurut perkiraan sementara, pemerintah optimis angka ini terus menyusut menjadi 60 persen pada akhir 2004.

Sebelum terjadinya krisis, pemerintahan Soeharto menerapkan anggaran berimbang (balanced-budget) secara ketat. Namun sesudah krisis, beban kontinjen yang berasal dari dana restrukturisasi perbankan dan stabilisasi nilai tukar membuat utang luar negeri meningkat. Keseimbangan primer terganggu dan defisit mulai terjadi. Karena pendanaan domestik lewat sektor perbankan masih terganggu, maka utang luar negeri menjadi pilihan. Data Bank Indonesia (1998) menunjukkan, terjadi peningkatan utang swasta dan pemerintah Indonesia dari US$113 juta pada tahun 1996 menjadi US$131,4 juta. Jumlah ini terus bertambah sejalan berlanjutnya penandatanganan LoI dengan IMF. Jika tidak dikelola dengan baik, maka akumulasi pinjaman dapat membahayakan fiskal.

Harinowo (2004) mengajukan tiga rekomendasi dalam pengelolaan utang kontemporer Indonesia. Pertama, jika dilihat asalnya, utang pemerintah berkembang dari hanya utang luar negeri menjadi campuran antara utang LN dan domestik (comprehensive debts). Oleh karena itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan berbagai variabel makro dan internasional seperti tingkat bunga, nilai tukar dan inflasi. Penyaluran kedua jenis pendanaan tersebut haruslah dipisahkan.

Page 66: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

54

Kedua, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pemanfaatan utang pada sektor-sektor hardcore projects4 terbukti lebih produktif dibandingkan dengan softcore projects. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur yang pengembaliannya dapat terukur dengan jelas seperti terjadi pada PT. Telkom, PLN dan Indosat. Sedangkan soft core project mengarah pada pembangunan kualitas SDM dan pengentasan kemiskinan yang hasilnya cenderung belum dapat dilihat dengan cepat. Untuk itu, Harinowo lebih mengusulkan perlunya penyaluran utang pada infrastruktur yang produktif. Sedangkan softcore project lebih baik didanai dengan pembiayaan domestik.

Ketiga, ada juga proyek pembangunan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan namun juga pada saat yang sama dapat bersifat komersial. Harinowo mencontohkan potensi perikanan Indonesia. Dalam pendanaan proyek jenis ini, diperlukan adanya hybrid financing antara utang luar negeri dan dana swasta domestik.

Upaya Restrukturisasi Utang Indonesia

Pada tanggal 4 Juni 1998, pemerintah terlibat dalam perundingan dengan para kreditur di Frankfurt untuk membantu melakukan negosiasi utang swasta. Skema yang ditawarkan adalah penjadwalan kembali dan pengampunan utang (debt relief) dalam bentuk debt swap. Hasilnya tertuang dalam Frankfurt Agreement. Pemerintah setuju membentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Jakarta Initiative Task Force (JITF) yang diketuai Bacelius Ruru. Kedua forum ini bertugas memantau dan mengelola pelaksanaan pengembalian utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta Indonesia.

Secara detail, INDRA bertugas melakukan perlindungan terhadap risiko nilai tukar dan jaminan pembayaran utang swasta. Syaratnya, kreditur dan debitur sepakat untuk melakukan penjadwalan ulang dengan tenor delapan tahun dan tiga tahun grace period. Per Juli 2004, hanya satu perusahaan yang bergabung dengan INDRA.

Sementara itu JITF mempunyai peran yang berbeda. Tugasnya adalah sebagai mediator dan fasilitator dalam mengadakan negosiasi dengan para kreditur. Sebagai bagian dari pemerintah, JITF berwenang dalam melakukan carrot and stick mechanism terhadap para debitur yang tidak kredibel. Insentif yang diberikan misalnya keringanan pajak dan kemudahan dalam mengakses pasar modal, sedangkan hukuman yang diberikan dapat berupa ancaman Undang-Undang Kepailitan.

Selain pengampunan utang (debt relief) dan penjadwalan kembali (rescheduling) lewat INDRA dan JITF, pemerintah juga berupaya melakukan usaha restrukturisasi yang lain. Sejumlah forum telah diupayakan, antara lain London Club dan Paris Club. Hingga September 2002 lalu, telah terjadi masing-masing tiga kali perundingan pada kedua forum tersebut. Hasilnya, sejumlah penjadwalan kembali disepakati dengan perpanjangan tenor mencapai 17,5 tahun (London Club) dan 20 tahun (Paris Club). Selain itu, diupayakan pula pendekatan bilateral kepada masing-masing kreditur. Persoalan yang terkait dengan kelonggaran dari lembaga-lembaga kreditur adalah persyaratan mereka untuk mendapatkan penilaian dari IMF bagi para debitur. Persyaratan ini, mengharuskan Indonesia untuk tetap menjalin hubungan dengan IMF walaupun dalam skema yang berbeda.

Adapun perundingan dengan London Club diselenggarakan pada 29 Maret 1999, 28 September 2000 dan 6 Sptember 2002. Sementara itu, perundingan dengan Paris Club dilakukan pada 25 September 1998, 13 April 2000 dan 12 April 2002.

4 Hardcore project merupakan proyek-proyek prasarana fisik seperti pembangkit listrik, sambungan telepon dan air bersih yang sifatnya komersial dan dapat mendatangkan pengembalian dengan cepat. Sedangkan softcore projects mengarah pada pembangunan kualitatif SDM yang hasilnya tidak tampak secara nominal dan diterima untuk waktu yang lama.

Page 67: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

55

Indonesia – OECD atau HIPC?

Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) adalah organisasi kerjasama ekonomi yang terbentuk setelah Perang Dunia II. Pada saat itu suku bunga sangat tinggi dan perekonomian mengalami stagflasi. Keadaan dipersulit oleh perubahan harga minyak yang membuat stimulus fiskal menjadi berkurang. Pemerintah negara-negara OECD dinilai ragu-ragu dalam mengelola permintaan karena kebijakan fiskal sering berubah. Akhirnya, dilakukan standardisasi pemahaman pada berbagai indikator kebijakan ekonomi. Implementasinya disesuaikan dengan karakter negara masing-masing. Standar ini disebut sebagai Cyclically-Adjusted Budget Balance.

Pada mulanya, organisasi ini berkembang sebagai forum pertukaran pendapat dan kerjasama antar sesama negara Barat pengakses Marshall Plan. Dalam perkembangannya, ketigapuluh negara anggota yang umumnya negara-negara ini terus melaksanakan kelangsungan forum kerjasama ini seiring pertumbuhan ekonomi mereka sebagai industrialis maju. Negara tersebut antara lain adalah Jerman, Prancis dan Australia.

Sebagai forum perekonomian negara-negara maju, OECD menjadi acuan dalam berbagai proyek pemulihan ekonomi dunia. Studi ini mencoba mengidentifikasi pada posisi mana Indonesia berada dalam kontinum OECD dan HIPC ini. Disini OECD diidentikkan sebagai forum negara-negara yang dinilai berhasil dalam pengelolaan utang. Sedangkan HIPC merupakan kelompok negara-negara pengutang berat yang relatif kurang berhasil dalam mengelola pinjaman.

Dalam melakukan penilaian, perlu ditetapkan parameter yang tepat. IMF dan Bank Dunia gagal menetapkan ambang batas di mana utang pemerintah dapat dinyatakan berkesinambungan. Menurut peneliti Daniel Cohen, berdasarkan data historis disarankan agar batas atas rasio utang terhadap PDB adalah setinggi 80 persen. Sedangkan risiko krisis finansial dinilai terlalu tinggi jika rasio utang terhadap PDB melebihi 50 persen5.

Bank Dunia (1998) menetapkan negara-negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB lebih dari 80 persen dan rasio utang terhadap ekspor lebih dari 220 persen sebagai severely-indebted countries.

Tabel 2.8

Rasio Kesinambungan Utang Eksternal dengan Ambang Batas Alternatif, 2000 (%)

Utang Luar Negeri (NPV)/ Ekspor

Utang Luar

Negeri (NPV)/ PDB

Utang Luar Negeri (NPV)/

Penerimaan Fiskal

Pembayaran Utang Luar

Negeri / Ekspor

Pembayaran Utang Luar

Negeri / Penerimaan

Fiskal

Pembayaran Utang Luar

Negeri / PDB

Indonesia 399 % 100 % 47 % 21 % 12 % Cohen 200 % 80 % 300 % HIPC Initiative

150 % 250 %

Birdsall 2 % Oxfam 10 %

Sumber : World Bank Country Data, 2002 Timothy Geithner (IMF, 2003) memaparkan isu-isu kontemporer seputar pengukuran kesinambungan fiskal terhadap utang dan ambang batas utang (debt threshold) yang dapat ditolerir. Geithner menunjuk pada angka 40 persen dari PDB sebagai ukuran kewajaran pinjaman luar negeri yang wajar. Kalkulasi Geithner dilakukan terhadap 147

5 Riset Cohen dilakukan pada negara-negara berpendapatan menengah. Untuk kasus Indonesia yang minim pendapatan, EURODAD menilai perlu penyesuaian khusus.

Page 68: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

56

negara pasar berkembang (di atas taraf LDCs) dari tahun 1980-2001. Dari keseluruhan sampel, sebanyak 53 negara melakukan debt corrections, yaitu apa yang didefinisikannya sebagai tindakan koreksi untuk mengantisipasi kegagalan utang secara responsif. Hasilnya, terjadi penurunan rasio utang terhadap PDB sebesar 20 persen selama dua tahun.

Di luar indikator yang dimaksud, Geithner tidak menutup kemungkinan dilibatkannya faktor penilaian dari lembaga investasi internasional. Hal ini mencakup misalnya risiko sistematis atau spesifik suatu negara. Manasse, Roubini dan Schimmelpfenig (2003) misalnya, lebih percaya kepada lembaga investasi internasional daripada melakukan penghitungannya sendiri. Ketiga peneliti menganggap suatu negara mengalami kegagalan utang (debt default) jika Standard & Poor’s menilainya demikian. Adapun kegagalan yang dimaksud adalah jika kesulitan bayar terjadi selama 5,5 tahun berturut-turut.

Mengacu pada klasifikasi dalam Tabel 2.8 di atas, maka dapat diperkirakan identifikasi posisi Indonesia dalam kecenderungan kontinuum HIPC dan OECD. Terlepas dari definisi manapun yang dipakai dan mana yang benar, setidaknya kita dapat memperoleh gambaran secara umum mengenai kondisi Indonesia di antara dua kemungkinan ekstrim tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penghitungan rata-rata lima indikator utang Indonesia yang dibandingkan dengan rata-rata indikator dua negara HIPC (Ethiopia dan Sierra Leone) dan enam negara OECD (Austria, Kanada, Mexico, Norwegia, Swedia dan Amerika Serikat). Negara-negara sampel tersebut diambil berdasarkan ketersediaan data pada periode tahun yang sama yaitu 1992 sampai dengan 1999. Data diambil dari Government Financial Statistics (GFS) terbitan IMF (2002).

Tabel 2.9

Komparasi Rata-rata 5 Indikator Utang Indonesia dengan Negara-negara OECD dan HIPC, 1992 – 1999

Rasio Utang

terhadap Ekspor

Rasio Utang terhadap

PDB

Rasio Utang Luar Negeri

terhadap Penerimaan

Total

Rasio Utang Luar Negeri

terhadap Ekspor

Rasio Utang Luar Negeri

terhadap PDB

Indonesia 144,23 47,26 237,52 122,68 39,21 OECD

Austria Kanada Meksiko Norwegia Swedia Amerika Serikat

209,59 131,28

64,96 157,18 435,87

56,63 74,19 29,99 25,21 58,57 46,29

27,71 12,79

135,17 16,66 70,02 59,19

7,20 84,92 17,44 68,29

108,07

10,32 2,69

19,89 6,75

25,92 11,59

HIPC Ethiopia Sierra Leone

895,96 675,77

99,71

134,07

408,45

1449,81

551,83 637,29

65,70

126,52

Sumber: GFS, diolah Dari Tabel 2.9 di atas, terlihat bahwa posisi utang Indonesia jauh lebih baik daripada negara-negara HIPC. Rata-rata kelima rasio utang Indonesia berada jauh di bawah rata-rata rasio-rasio utang negara-negara HIPC. Dibandingkan dengan OECD dalam sampel, Indonesia lebih baik dari Swedia, Kanada dan Amerika Serikat dalam hal rasio total utang terhadap ekspor (debt-to-export ratio). Rasio total utang terhadap ekspor Ethiopia dan Sierra Leone bahkan jauh di atas ambang batas standar yang disyaratkan HIPC Initiative. Hal ini tentu sangat buruk. Sedangkan rasio utang terhadap PDB Indonesia masih berkisar di antara Amerika Serikat dan Austria. Dari segi perbandingan utang eksternal terhadap ekspor dan PDB, Indonesia tidak lebih baik dari OECD. Dengan demikian, dapat

Page 69: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

57

digambarkan bahwa secara umum Indonesia lebih condong kepada OECD daripada HIPC. Posisi utang Indonesia, walaupun belum dapat dikatakan setara dengan OECD pada beberapa indikator, jauh lebih baik dan moderat jika dibandingkan dengan HIPC.

Namun demikian, hal yang cukup memprihatinkan ialah posisi utang eksternal terhadap penerimaan total Indonesia (external debt-to-total revenue). Penghitungan rata-rata selama tahun 1992-1999 menunjukkan angka rasio tersebut sebesar 237,52 persen. Besaran ini hampir mendekati ambang batas toleransi HIPC sebesar 250 persen. Jika dibandingkan dengan angka total utang terhadap total ekspor atau PDB, prestasi Indonesia lebih buruk. Sebagai catatan, rasio-rasio utang eksternal Indonesia menunjukkan besaran yang relatif lebih tinggi dibandingkan OECD. Bila utang eksternal dinisbahkan dengan penerimaan total, maka posisi utang luar negeri menjadi lebih berat. Hal ini disebabkan karena masih besarnya proporsi pinjaman luar negeri Indonesia dibandingkan pinjaman domestik (Tabel 2.10). Negara-negara maju anggota OECD umumnya telah mampu mengandalkan pinjaman domestiknya daripada pinjaman luar negeri. Selain itu, hal ini juga menunjukkan kecilnya peranan penerimaan pemerintah sebagai kompensator utang luar negeri bila dibandingkan dengan ekspor.

Tabel 2.10 Struktur Pinjaman Domestik dan Luar Negeri Indonesia, 1992-1999

(dalam US$ juta)

Tahun Total Utang

Pinjaman Domestik

Pinjaman Luar Negeri

Proporsi Pinjaman Luar Negeri (%)

1992 110.995 5.449 105.546 95.09 1993 123.658 4.861 118.797 96.07 1994 139.780 939 138.841 99.33 1995 140.010 3.229 136.781 97.69 1996 129.616 83 129.533 99.94 1997 158.660 4.097 154.563 97.42 1998 812.585 132.300 680.285 83.72 1999 1.091.799 500.500 591.299 54.16 Sumber: Departemen Keuangan

Tabel 2.11

Rasio Utang Luar Negeri terhadap Total Penerimaan untuk Negara-negara HIPC, OECD dan Indonesia, 1992-1999

NEGARA 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Average HIPC Ethiopia 198.90 574.96 646.79 472.63 395.98 319.05 316.02 343.25 408.45

Sierra Leone 1039.28 752.62 659.94 1062.80 1386.15 1101.61 2384.73 3211.37 1449.81

OECD Austria 22.97 27.27 31.88 33.61 32.30 31.89 19.08 22.69 27.71 Kanada 5.30 8.74 11.93 11.36 14.30 15.31 19.18 16.16 12.79 Meksiko 105.40 97.81 151.96 211.67 154.49 116.44 138.06 105.53 135.17 Norwegia 16.99 24.41 21.18 20.27 14.66 9.02 7.99 18.76 16.66 Swedia 23.65 57.43 93.82 82.94 78.73 79.64 82.38 61.56 70.02

Amerika Serikat 45.63 49.99 48.59 58.15 66.38 72.19 66.58 65.99 59.19

Indonesia 208.40 210.94 199.88 170.10 141.02 396.04 326.68 247.06 237.52 Sumber: IFS dan GFS, diolah

Page 70: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

58

Tabel 2.10 di atas menunjukkan bahwa proporsi pinjaman luar negeri dari keseluruhan total pinjaman pemerintah sangatlah besar. Rata-rata proporsi pinjaman eksternal Indonesia dari tahun 1992 sampai 1999 adalah sebesar 90,43 persen. Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara OECD. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah menambah penerimaan pajak pemerintah dan mengurangi subsidi guna mendukung ekspor sebagai kompensator pengembalian utang luar negeri. Sementara itu, Tabel 2.11 menunjukkan bahwa rasio utang eksternal terhadap penerimaan total pemerintah Indonesia dari tahun 1992-1999 jauh di atas rata-rata negara-negara OECD.

Page 71: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

59

3.1 Pasar Obligasi Pemerintah

Bab

3 STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI

STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Sebagai bagian dari alternatif pembiayaan, obligasi pemerintah memegang peranan penting selain penerimaan pajak. Beberapa bagian pendanaan yang tidak dapat ditutup oleh penerimaan pajak dapat dikompensasikan dengan penerbitan obligasi. Permasalahan yang harus dihadapi adalah tersedianya pasar sekunder, besaran volume obligasi yang optimal dan struktur profil obligasi yang aman bagi fiskal.

Tujuan Pasar Obligasi Pemerintah Ada berbagai tujuan dibentuknya pasar obligasi pemerintah. Pertama adalah, dibutuhkannya sumber-sumber pembiayaan defisit negara. Sejak terjadinya krisis utang pada dekade 1980-an, banyak negara berkembang di Asia dan Amerika Latin berpaling kepada sumber-sumber domestik dalam pembiayaan anggaran pemerintah. Sumber-sumber pembiayaan eksternal seperti dari lembaga donor internasional (IMF dan Bank Dunia) dan bank-bank komersial internasional banyak dikurangi.

Kedua, obligasi pemerintah merupakan instrumen yang bermanfaat dalam stabilisasi neraca pembayaran. Instrumen ini akan memancing pergerakan aliran modal. Suku bunga yang menjanjikan dan tingkat kepastian yang stabil akan mendorong aliran modal masuk (capital inflow). Menurut Mihaljek, Scatigna dan Villar (2002), hal ini juga dipacu oleh gelombang privatisasi dunia pada dekade 1990-an.

Ketiga, instrumen obligasi mengandung aspek pengendalian risiko. Obligasi pemerintah akan mendorong pergeseran risiko anggaran negara ke arah jangka panjang. Pada umumnya, instrumen obligasi ditawarkan di pasar modal dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. Tanpa adanya pasar tersebut, pemerintah terpaksa akan membiayai seluruh pengeluarannya dengan sumber pembiayaan jangka pendek. Akibatnya, risiko akan terkumpul pada satu titik maturitas yang pendek.

Page 72: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

60

Tabel 3.1 Perkembangan Pasar Sekuritas Emerging Market

Utang Jangka Pendek (% total utang) Outstanding debt* Domestic securities International

securities

1994 2000 1995 2000 1995 2000 Asia 26 39 19 22 5 6 Amerika Latin 22 37 53 37 12 7 Eropa Tengah 24 24 15 15 - - Total 24 36 29 25 9 6

Keterangan: *) outstanding debt meliputi obligasi domestik dan internasional sebagai persentase dari PDB Sumber: Bank for International Settlement (BIS), 2002 dalam Mihaljek, Scatina dan Villar.

Keempat, persebaran distribusi kepemilikan obligasi pemerintah akan meminimalisir risiko pembiayaan negara. Bila obligasi pemerintah hanya dimiliki oleh beberapa orang maka risikonya menjadi sangat besar. Dengan membuka pasar obligasi, maka nilai obligasi pemerintah yang dimiliki oleh pemegang portofolio akan semakin kecil, sehingga risiko akan tersebar pada berbagai pemegang portofolio utang

Persoalan yang kemudian muncul adalah, bagaimana menetapkan pasar obligasi yang likuid, efisien dan sustainable bagi pemerintah. Data Bank for International Settlement (BIS) menunjukkan pada tahun 2000 untuk kategori emerging market, total outstanding debt kawasan Asia merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kawasan lain. Sedangkan dana domestik yang terserap lewat obligasi oleh negara-negara Amerika Latin merupakan yang terbesar, yaitu mencapai 37 persen dari PDB.

Dampak Obligasi Pemerintah terhadap Perekonomian Obligasi merupakan perangkat pendanaan sekaligus alat pengendalian moneter yang fleksibel. Berbeda dengan instrumen bank sentral seperti SBI, obligasi negara memiliki beberapa keuntungan. Pertama sebagai instrumen penyerap uang beredar, obligasi negara (pemerintah) dapat berperan dalam menurunkan laju inflasi nasional. Obligasi akan menarik likuiditas yang beredar di pasar untuk selanjutnya disalurkan ke dalam kas pemerintah. Dengan tidak adanya pasar obligasi, bank sentral hanya memiliki instrumen pasar uang jangka pendek untuk mengendalikan laju inflasi. Dengan demikian obligasi akan membantu kinerja bank sentral dan instrumen pasar terbuka.

Kedua, obligasi pemerintah merupakan instrumen investasi. Di samping mendatangkan likuiditas bagi pemerintah dan mengurangi laju inflasi bagi bank sentral, obligasi pemerintah juga mendatangkan keuntungan bagi investor. Hal ini dimungkinkan karena obligasi pemerintah memberikan aliran pendapatan tetap kepada pemegangnya berupa kupon (bunga) yang dibayar secara berkala.

Ketiga, aktivitas penggalangan dana dan penyebaran keuntungan tersebut dilakukan tanpa menimbulkan efek inflasi. Bila bank sentral membayarkan bunga SBI dengan cara mencetak uang baru, maka pembayaran bunga obligasi pemerintah dibiayai murni dengan anggaran pemerintah.

Pengalaman sejarah Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasar obligasi mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pada awal terbentuknya negara, pemerintah AS belum memiliki instrumen pembiayaan yang memadai. Articles of Confiderations yang dibentuk tahun 1777 hanya memberi Kongres wewenang untuk mencetak uang kertas yang disebut ‘Continentals’. Oleh karena itu, ditetapkan Konstitusi yang baru pada tahun 1789, yang membolehkan pemerintah memungut pajak dari warganya. Karena belum optimal, pemerintah kemudian menerbitkan surat utang yang disebut Revolutionary Debt Obligations. Instrumen ini digunakan sebagai alat pembiayaan untuk perang revolusi melawan Inggris, di samping untuk pembangunan infrastruktur.

Page 73: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

61

Sejalan dengan perkembangan perekonomian, aktivitas ini terus dijalankan walaupun perang telah usai. Selama periode 1820-1830-an, pemerintah AS mengeluarkan obligasi dalam volume yang sangat besar. Instrumen obligasi ini sangat diminati, bahkan mampu menyerap likuiditas kawasan Eropa (Caprio dan Vittas, 1997). Pinjaman ini digunakan untuk membiayai pembangunan jalan, kanal, rel kereta api dan rekapitalisasi bank pemerintah. Hasilnya, perekonomian tertolong dalam jangka pendek dan tumbuh dengan pesat.

Pengalaman Amerika Serikat di atas menunjukkan bahwa obligasi dapat menjadi instrumen alternatif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, obligasi menjadi alternatif pembiayaan baru selain kredit perbankan. Terbentuknya pasar obligasi akan mengurangi ketergantungan pada bank. Konsentrasi berlebih pada pembiayaan bank akan menimbulkan risiko likuiditas yang sulit diantisipasi. Eichengreen dan Luengnaruemitchai (2004) mencatat bahwa salah satu penyebab Krisis Asia 1998-1997 adalah ketergantungan yang terlampau berlebih pada bank, sementara pasar obligasi belum berkembang.

Karakteristik Obligasi Pemerintah

Seperti obligasi pada umumnya, obligasi pemerintah memiliki karakteristik fitur yang berbeda. Perbedaan ini mencakup jangka waktu jatuh tempo/tenor (maturity), suku bunga dan denominasi mata uang yang digunakan. Berbagai perbedaan karakteristik surat utang ini dimanfaatkan sebagai acuan dalam membentuk portofolio utang yang optimal.

Pada umumnya, negara-negara berkembang melakukan pinjaman dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena daya tawar mereka terhadap risiko yang masih rendah. Negara-negara berkembang memiliki ketahanan terhadap perubahan (shock) yang rendah. Di samping itu, biaya modal (cost of capital) pinjaman jangka pendek biasanya rendah.

Selain itu, tipe suku bunga yang digunakan akan sangat membentuk karakteristik risiko. Pada suku bunga mengambang/variabel (floating rate), besarnya suku bunga (kupon) yang dibayarkan akan mengikuti pergerakan suku bunga pasar. Sedangkan suku bunga tetap besarnya telah ditetapkan tanpa mengikuti dinamika pasar. Obligasi suku bunga tetap akan lebih memberikan kepastian dibandingkan suku bunga mengambang. Tabel 3.2 menunjukkan persentase obligasi yang beredar di kawasan Asia, Amerika Latin dan Eropa Tengah berdasarkan suku bunga yang ditawarkan.

Tabel 3.2

Tipe Utang Domestik (Obligasi) menurut Suku Bunga, 2000 (% terhadap Total Utang)

Kurs Mengambang Kurs Tetap Inflation

indexed Exchange rate linked

Asia 35 63 0 2 Amerika Latin 34 16 28 22 Eropa Tengah* 13 65 20 2 Total 27 48 16 9

Ketarangan: *Termasuk Saudi Arabia dan Israel Sumber: BIS, 2002 dalam Turner, 2002.

Denominasi mata uang yang digunakan akan dipengaruhi oleh nilai tukar negara bersangkutan. Risiko nilai tukar akan turut mengoreksi besarnya utang yang masih outstanding bagi pemerintah. Risiko ini juga akan berakibat bagi pengembalian investasi para pemegang obligasi. Melemahnya nilai tukar baik disebabkan oleh inflasi maupun depresiasi akan mengoreksi nilai riil penghasilan kupon yang mereka terima.

Page 74: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

62

Dengan memanfaatkan berbagai perbedaan karakteristik tersebut, pemerintah dapat membentuk portofolio utang yang optimal. Berbagai perubahan nilai tukar, suku bunga dan maturitas dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan manajemen risiko. Sebagai contoh dari sisi maturitas. Barro (1997) mengusulkan agar periode maturitas utang disesuaikan dengan jangka waktu penerimaan pajak. Metode ini disebut dengan “tax-smoothing”. Benjamin Dennis (2004) dengan cara yang sama berpendapat bahwa beban jatuh tempo harus diperhalus dengan cara memperpanjang tenor. Hal ini disebutnya sebagai “burden-smoothing”, karena memang bertujuan melindungi pembayar pajak dari beban utang.

Selain itu, berkaitan dengan denominasi dan nilai tukar, Turner (2002) mencatat bahwa permintaan obligasi berdenominasi Dolar Amerika Serikat biasanya akan meningkat bila rezim moneter menggunakan nilai tukar bebas (mengambang). Hal ini disebabkan karena kepercayaan terhadap nilai tukar di negara berkembang dan pasar berkembang (emerging market) umumnya rendah.

Upaya Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi Upaya pengembangan pasar sekunder obligasi pemerintah selalu berkaitan dengan fleksibilitas dan kesinambungan permintaan pasar terhadap obligasi itu sendiri. Pasar yang likuid memungkinkan pemegang obligasi untuk dapat menjual kembali portofolionya sewaktu-waktu. Kondisi ini akan menimbulkan ekspektasi yang positif di kalangan investor. Selain itu, keberhasilan pengembangan pasar sekunder obligasi akan berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainability) pasar jangka panjang. Untuk menjamin berkembangnya pasar obligasi yang likuid maka ketersediaan informasi secara merata dan aksesibilitas fasilitas pembayaran adalah persyaratan yang harus dipenuhi.

Di negara-negara pasar berkembang baik Asia maupun Amerika Latin, pemerintah merupakan penerbit obligasi domestik terbesar. Penggalangan dana sektor publik mencapai 40 persen dari total penerbitan di pasar obligasi. Di Amerika Latin, penggalangan dana sektor publik mencapai 32 persen (Tabel 3.3). Hal ini menunjukkan besarnya kebutuhan pendanaan publik di wilayah tersebut.

Tabel 3.3 Penerbit Surat Utang Domestik, 2000

(% terhadap Total Utang) Institusi Finansial Bank Sentral Sektor Publik Korporat Asia 20 10 40 31 Amerika Latin 26 22 32 20

Sumber: Turner, 2002.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa upaya pengembangan pasar obligasi memasuki tren positif di negara-negara pasar berkembang, dimana pemerintah dan korporat merupakan pelaku dominan. Turner (2002) memprediksi, obligasi akan mendominasi pasar dana di wilayah ini. Sedangkan peran perbankan akan berkurang dan kreditur akan berpindah ke pasar obligasi. Dengan kondisi ini, Dennis (2004) optimis bahwa Surat Utang Negara (SUN) akan menggantikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di masa mendatang. Untuk mengembangkan pasar sekunder, ekspektasi investor harus diakomodir dengan jelas. Informasi harus terdistribusi secara merata agar tidak mengganggu proses pembentukan harga. Hal ini menyangkut pergerakan harga, suku bunga dan prospek di masa depan. Turner (2002) merekomendasikan dilibatkannya teknologi informasi elektronik seperti internet agar lebih efisien. Peran teknologi informasi adalah untuk mempercepat proses penyelesaian pembayaran serta penyebaran informasi yang efisien.

Page 75: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

63

Pada prinsipnya, obligasi akan dipandang sebagai instrumen investasi yang sustainable jika menjanjikan kurva keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mengembangkan pasar yang stabil, maka pemerintah harus menjaga agar permintaan tetap likuid. Masa jatuh tempo yang panjang dan besarnya kupon yang ditawarkan merupakan variabel utama yang menjadi pertimbangan bagi investor.

Kebijakan fiskal juga dapat menunjang terbentuknya pasar sekunder yang likuid, misalnya dengan insentif pajak (Turner 2002). Pemerintah dapat merangsang aktivitas transaksi investor jangka pajang dengan memotong atau mengeliminasi pajak atas bunga (kupon) obligasi negara. Singapura merupakan contoh negara yang telah menerapkan kebijakan tersebut. Adapun keringanan ini harus diterapkan pada semua obligasi yang beredar di pasar, bukan hanya milik pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar privilese yang diberikan pada obligasi pemerintah tidak mendesak (crowd-out) obligasi swasta.

Pasar Obligasi dan Sektor Perbankan Obligasi dan kredit perbankan merupakan 2 alternatif sumber pembiayaan di pasar modal. Namun, fungsinya yang bersifat substitutif membuat kedua sumber tersebut sering berkompetisi. Bank berusaha menyediakan pembiayaan lewat kredit dengan fasilitas yang menarik, demikian pula penerbit obligasi berusaha membuat fitur pembiayaan bunga (kupon) yang kompetitif. Pasar (debitur) akan memilih yang paling efisien diantara keduanya. Ukuran yang digunakan adalah biaya modal (cost of capital).

Pinjaman di bank seringkali lebih sulit secara administratif. Bank menuntut kolateral (jaminan), kapasitas repayment, karakter debitur dan lain sebagainya. Namun penggalangan dana lewat obligasi juga mengandung kesulitan. Obligasi harus diterbitkan lewat pasar modal, melalui proses listing dan penjaminan oleh underwriter. Keseluruhan proses ini terakumulasi dalam biaya emisi yang disebut sebagai floating cost.

Pada perekonomian negara-negara maju, cadangan dana domestik masyarakat umumnya tinggi. Likuiditas di luar sektor perbankan masih sangat besar. Dalam keadaan demikian, pasar obligasi menjadi sangat menarik di negara-negara maju. Turner (2002) menemukan bahwa pasar obligasi berkembang pesat di negara-negara industri maju. Gambar 3.1 menunjukkan, bahwa kapasitas dana domestik di Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa pada umumnya masih besar. Di negara ini, pasar utang lebih didominasi oleh obligasi domestik daripada internasional.

Dalam tulisannya, Turner (2002) juga mengingatkan bahwa ada beberapa negara dimana bank sentral juga berfungsi sebagai pusat pengelolaan utang negara. Misalnya di Denmark, Debt Management Office (DMO) berada di bawah Denmark National Bank (DNB) atau bank sentral Denmark (IMF dan Bank Dunia, 2003). Struktur demikian akan berpotensi menimbulkan konflik tujuan yang hendak dicapai antara fiskal dan moneter. Di satu sisi, bank sentral sebagai pengendali laju inflasi akan berusaha menaikkan suku bunga sebagai instrumen stabilisasi harga. Namun di sisi lain, sebagai manajer portofolio utang bank sentral akan menginginkan biaya modal yang rendah dari bunga (kupon) obligasi. Akibatnya, suku bunga harus rendah agar tidak mengganggu stabilitas fiskal. Hal ini akan menimbulkan ambiguitas sasaran yang hendak dicapai.

Di sisi lain, keberadaan bank-bank komersial seringkali menimbulkan biaya kegagalan yang besar bagi masyarakat. Krisis Asia 1997-1998 adalah salah satu contohnya. Menurut Rajan (1998), biaya rehabilitasi sektor perbankan di Jepang mencapai US$500 miliar. Hal ini akan terus terjadi jika ketergantungan terhadap bank tidak dikurangi. Di Amerika Serikat, peran bank sebagai satu-satunya lembaga pendanaan mulai berkurang. Proporsi aset komersial perbankan hanya mencapai 30 persen saja dari keseluruhan nilai aset institusi keuangan di AS. Pada tahun 1979, proporsi kredit

Page 76: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

64

3.2 Optimal Borrowing

korporat perbankan mencapai 19,6 persen dari keseluruhan nilai kredit yang disalurkan. Jumlah ini terus menurun hingga mencapai 14,5 persen pada tahun 1994.

Gambar 3.1 Pengeluaran Obligasi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang

menurut Sumber Pendanaan (dalam US$ Miliar)

Amerika Serikat Eropa Jepang

Sumber: BIS, 2000 Dalam kenyataannya, keberadaan bank dan pasar obligasi dapat berperan secara sinergis. Bank dapat berperan sebagai underwriter bagi penerbitan obligasi. Dengan menjamin terjualnya seluruh surat utang, maka kreditur dapat melakukan penerbitan dengan risiko lebih rendah. Hubungan komplementer semacam ini menjadi tren baru dalam membangun simbiosis mutualisme antara bank dengan pasar obligasi.

Pembahasan tentang pinjaman yang optimal mengacu pada aspek biaya pinjaman yang paling minimal (efisien) dan penerimaan negara yang tepat (maksimal). Pinjaman yang optimal diartikan bahwa pada besaran penerimaan tertentu harus diperhitungkan nilai risiko yang paling minimal (Dennis 2004). Sebaliknya, pada tingkat risiko tertentu harus ditetapkan penerimaan yang paling maksimal. Aspek risiko tidak hanya berupa biaya nominal yang terjadi dalam bentuk pembayaran bunga dan cicilan, tetapi juga berupa opportunity cost yang dihadapi. Jadi, penentuan pinjaman optimal sangat berkaitan erat dengan efisiensi manajemen utang.

Barro (1997) memandang utang pemerintah yang optimal dari perspektif pajak yang optimal. Ada tiga asumsi yang digunakan. Pertama, bila penerimaan pajak bersifat lump-sum. Kedua, jika instrumen pajak bersifat distortif. Hal ini disebabkan karena penerimaan pajak bergantung pada tingkat pendapatan dan pola konsumsi masyarakat yang tidak tetap. Ketiga, jika terdapat ketidakpastian besaran dan fluktuasi penerimaan publik (misalnya akibat contingent liabilities). Dalam keadaan tidak pasti, maka maturitas utang harus disesuaikan dengan perubahan kontinjen yang terjadi. Dua rekomendasi yang diajukan oleh Barro adalah melakukan “tax-smoothing” dan “indexed-bonds”.

Page 77: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

65

Yang dimaksud dengan tax-smoothing (penghalusan pajak) adalah penyesuaian maturitas utang dengan jangka waktu penerimaan pajak. Hal ini dimaksudkan agar likuiditas pemerintah tetap terjaga. Sedangkan indexed-bonds merupakan upaya untuk melindungi pemegang obligasi dan pembayar bunga (pemerintah) dari penurunan nilai riil obligasi tersebut. Penurunan ini dapat disebabkan oleh inflasi, harga minyak, atau harga komoditi lainnya. Caranya ialah dengan melakukan koreksi terhadap penerimaan bunga atau nilai obligasi dengan laju inflasi atau variabel lain yang dijadikan acuan indeks.

Dennis (2004) mengidentifikasi optimal borrowing sebagai pinjaman dengan manfaat (penerimaan) terbesar pada risiko tertentu, atau dengan manfaat tertentu pada risiko paling minimal. Hal ini diimplikasikan pada besarnya biaya pinjaman. Beban biaya yang optimal adalah yang terkecil pada penerimaan sejumlah cash flow tertentu. Strategi utang akan diarahkan pada penurunan beban biaya pinjaman, baik berupa cicilan, bunga, tunggakan dan biaya oportunitas lainnya. Biaya non finansial juga harus diperhitungkan misalnya keharusan untuk mengimpor sejumlah tertentu komoditas dari negara donor.

Diasumsikan oleh Dennis, pemerintah akan berusaha memaksimumkan fungsi kesejahteraan tak terbatas atas pengeluaran sejumlah K barang publik tertentu. Fungsi objektif pemerintah adalah sebagai berikut.

( )[ ]∫∞

=

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧

ts

sKit dseKccE δγαα

γ)()( )(,...,11

(3.1)

Di mana:

c(i): pengeluaran pemerintah tipe (i) δ: tingkat preferensi waktu yang konstan 1-γ: parameter penghindaran risiko (sejauh mana kemauan menolerir perubahan)

K: kapital dalam bentuk barang publik γ : preferensi risiko E: kesejahteraan tak terbatas

Sedangkan fungsi batasan pengeluarannya meliputi cost savings, penerimaan lokal, pengeluaran total, penerimaan eksternal dan deviasi dari penerimaan eksternal tersebut. Dalam terminologi Dennis, cost savings adalah berkurangnya biaya pinjaman satu unit utang domestik dengan melakukan pinjaman 1 unit utang luar negeri.

[ ] ,)()()(*

))(*())(*(

jejdejRR

jBHjBdH

+−=

( ) )()()( )(* jejeje dZjRvR σ−−−= (3.2)

Di mana: B* (j): pinjaman luar negeri, j = 1,………………..,N R*(j): suku bunga tetap dalam denominasi asing e(j): banyaknya (N) nilai tukar diekspresikan dalam mata uang domestik per 1 unit

mata uang asing yaitu de(j)/e(j)

Page 78: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

66

Maka fungsi batasan pengeluaran pemerintah dapat dipresentasikan sebagai berikut.

[ ]∑ ∑ ∑= = = ⎭

⎬⎫

⎩⎨⎧

+++−++=N

j

K

j

N

jfjjj dtjFjejcjPRWTW

jBHjBdHjbdW

1 1 1

)()()()())(*())(*()( σηµ

[ ]∑=

++N

jjfjjej dZdZjFje

1)()()()( ξσ (3.3)

Dalam model yang dikembangkan Dennis, portofolio utang yang optimal dipandang sebagai komposisi dari satu portofolio spekulatif dan komposit dua portofolio hedging. Adapun portofolio spekulatif didesain untuk meminimumkan biaya pinjaman (cost of borrowing) dan dua portofolio hedging ditujukan untuk meminimumkan risiko dari aliran kas pemerintah. Tujuan mengestimasi aliran kas pemerintah adalah untuk menentukan komposisinya dalam model berkaitan dengan sensitivitasnya terhadap perubahan dalam perekonomian. Maka portofolio utang yang optimal adalah sebagai berikut.

[ ] WWvbW eseeefeeee 0111

11 111 α

γγVVefVVV −−−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

−+−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

= (3.4)

Di mana: bW: komposisi portofolio utang optimal Vee: matriks varians-kovarians N x N dari cost saving V: vektor N x 1 untuk cost saving Ves: matriks varians-kovarians N x (K + N) untuk cost savings Vef: matriks varians-kovarians N x N untuk perubahan nilai tukar Ef: vektor N x 1 yang merepresentasikan nilai setiap pembayaran utang luar negeri

dalam nilai mata uang domestik

Untuk melakukan estimasi persentase perubahan pengeluaran pemerintah (i) atas persentase perubahan nilai tukar IDR/USD dapat digunakan persamaan berikut.

[ ] [ ] )(1

)()(1 )ln()ln()(ln)(ln ic

tticic

tt eeicic εβξ +−+=− ++ (3.5)

Di mana: )(icξ : konstanta regresi )(icβ : koefisien variabel (slope)

)(icε : random error term

Untuk melakukan estimasi yang lebih luas, maka tidak hanya nilai tukar yang dapat menjadi variabel independen. Seluruh variabel makro ekonomi lainnya juga dapat dimasukkan ke dalam persamaan:

[ ] [ ]∑=

++ +−+=−N

j

ictt

jicictt jejeicic

1

)(1

),()(1 ))(ln())(ln()(ln)(ln εβξ (3.6)

Sedangkan untuk melakukan hedging, pertama kali dapat dilakukan identifikasi besarnya nilai variabel rerata tertimbang penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure). Kemudian ditentukan selisih antara keduanya, sehingga didapatkan besarnya persentase aset luar negeri dari keseluruhan nilai total utang yang setidaknya harus dipegang pemerintah agar fiskal aman.

Page 79: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

67

Strategi Manajemen Utang Pada prinsipnya, strategi manajemen utang diarahkan pada pencapaian biaya pinjaman yang paling rendah, stabilitas utang terhadap berbagai kerentanan (vulnerability) dan goncangan (shock), serta manajemen risiko yang dilakukan untuk meminimalisir hal-hal tersebut. Sasaran ini dimaksudkan untuk mengurangi gangguan terhadap keseimbangan primer pemerintah. Yang dimaksud dengan vulnerability menurut Dennis (2004) adalah kemungkinan utang mengalami rollover, yaitu penundaan pembayaran dari periode sebelumnya. Untuk menghindarkan terjadinya hal tersebut, maka Dennis merekomendasikan agar periode maturitas utang diatur sedemikian rupa sehingga beban tidak terpusat di satu titik periode tertentu. Oleh karena itu, strategi pengurangan risiko kerentanan sangat berkaitan dengan penentuan maturitas jangka pendek, menengah dan panjang dari utang publik.

Selain itu, manajemen risiko juga menjadi bagian dalam strategi manajemen utang. Risiko muncul dari ketidakpastian. Bila hal ini terjadi pada banyak negara (setting), maka dapat dipastikan bahwa risiko demikian termasuk sistematis (systemmatic risks). Hal ini dapat disebabkan oleh nilai tukar, suku bunga, inflasi dan contingent liabilities lainnya. Misalnya, siklus iklim yang membuat pemerintah harus mengeluarkan subsidi lebih banyak. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan hedging untuk mengurangi efek risiko. Caranya ialah melakukan diversifikasi terhadap portofolio utang pemerintah.

IMF (2003) menekankan bahwa salah satu strategi manajemen utang yang utama adalah minimalisasi biaya pinjaman. Hal ini dilakukan dengan cara memodifikasi struktur utang. Namun, IMF mengingatkan adanya beberapa jebakan (pitfalls) yang perlu diwaspadai dalam melakukan manajemen utang, yaitu:

1. Anggapan bahwa pinjaman jangka pendek akan berbiaya rendah. Padahal, utang jangka pendek juga membuka kerentanan yang lebih tinggi terhadap suku bunga dan nilai tukar (bila berdenominasi asing). Risiko nilai tukar akan lebih besar bila tidak dilakukan hedging. Pinjaman dengan put option akan mengalami tekanan jika tidak dikelola dengan baik. Berkurangnya biaya pinjaman di satu sisi akan diikuti oleh peningkatan risiko di sisi lain.

2. Praktek manajemen utang yang mendistorsi putusan swasta dan pemerintah. Banyak putusan pemerintah akan mengalami perubahan distortif tertentu sebagai konsekuensi manajemen utang. Hal ini dapat terjadi misalnya pada utang yang berhubungan dengan penerimaan pajak di masa mendatang. Pemerintah akan enggan untuk melakukan perubahan pajak, walaupun perubahan tersebut bersifat baik. Juga, pada utang yang dijamin dengan saham BUMN. IMF menduga terjadinya understating dalam biaya bunga.

3. Kesalahan dalam laporan contingent atau guaranteed liabilities. Prakteknya dapat berupa pelaporan kewajiban kontinjen yang lebih rendah dari yang semestinya. Hal ini terjadi karena pemerintah merekayasa laporan utang untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya mendapatkan dana baru, rating yang baik dan pengucuran bantuan baru terhadap daerah otonom yang dinilai berhasil mengelola pinjaman. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus melakukan pengetatan atas koordinasi dan pengawasan.

IMF mengingatkan bahwa struktur maturitas utang tidak boleh terkonsentrasi pada satu titik periode tertentu. Selain itu juga tidak boleh ada ketergantungan yang berlebih (eksesif) terhadap satu jenis pinjaman tertentu. Misalnya, proporsi pinjaman yang berlebih pada jangka pendek atau sebaliknya dan keseragaman suku bunga.

Prinsip yang direkomendasikan oleh IMF (2003) adalah Assets and Liability Management (ALM). Dengan prinsip ini, risiko pinjaman ditinjau dari kesesuaiannya dengan struktur aset yang dimiliki. Utang yang memiliki tenor jangka panjang sebaiknya juga didukung dengan aset jangka panjang. Menurut IMF, yang terpenting adalah mengidentifikasi

Page 80: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

68

karakteristik risiko/biaya yang sama dengan struktur aset dan penerimaan. Hal ini lebih mendesak daripada menyeimbangkan anggaran. Bila prinsip ini dipegang, maka toleransi terhadap risiko dapat diturunkan, sehingga biaya modal juga tidak membebani anggaran.

Idealnya, struktur utang pemerintah dibangun berdasarkan kemampuan pemerintah dalam melakukan pembayaran. Sehingga dalam proses pembayaran utang dimasa datang, proses penciptaan utang tidak memberatkan anggaran pemerintah. Sedangkan diversifikasi utang dilakukan atas dasar panjang tenor, tingkat suku bunga dan jenisnya (suku bunga tetap atau variabel) serta denominasi mata uang yang digunakan. Apabila prisip-prinsip ini dapat dilakukan maka risiko sistematis utang dapat dikurangi

Guna mencapai sasaran-sasaran strategis di atas, maka pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, utang harus dimodifikasi dengan membentuk portofolio utang. Ada besaran pinjaman optimal yang harus diidentifikasi sehingga dapat mengurangi cost of borrowing. Kedua, melakukan manajemen risiko agar potensi beban akibat perubahan yang terjadi dapat diketahui. Untuk mengukur risiko, pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap sensitivitas beban utang sebagai konsekuensi perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, IMF (2003) menilai perlunya model analisis yang memadai yang dapat digunakan akan memampukan pemerintah melakukan analisis risiko sebagai berikut.

1. Proyeksi tekanan pembayaran yang mungkin terjadi di masa depan, setidaknya jangka menengah dan jangka panjang. Hal ini memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pembayaran utang dan perubahan yang terjadi.

2. Menghasilkan debt profile yang memuat indikator-indikator risiko kunci portofolio utang yang diproyeksikan.

3. Mengestimasi risiko biaya pembayaran di masa depan baik dari sisi riil maupun finansial dengan melakukan stress test.

4. Membuat alternatif atas berbagai kemungkinan biaya dan risiko, sehingga memungkinkan bagi pemerintah untuk mendapatkan informasi pengambilan putusan tentang strategi pembiayaan alternatif lainnya.

Seluruh data dan informasi yang diolah akan menghasilkan tingkat toleransi pemerintah terhadap risiko. Tingginya tingkat toleransi inilah yang akan menentukan strategi pinjaman pemerintah di masa mendatang.

Aspek Manajemen Risiko Pengelolaan risiko dalam manajemen utang berkaitan dengan faktor biaya akibat perubahan yang terjadi. Biaya ini berhubungan dengan pengaruh yang berasal dari perubahan tingkat suku bunga, nilai tukar maupun inflasi dalam makroekonomi. Namun, risiko perubahan juga dapat berasal dari sebaran informasi yang asimetri, terutama bagi tipe obligasi dengan suku bunga variabel yang ditentukan oleh pasar (market-driven).

Salah satu risiko yang potensial terjadi dalam pasar obligasi adalah refinancing risk (bila terjadi kesulitan pembayaran), risiko nilai tukar, suku bunga dan inflasi. Risiko refinancing terkait dengan struktur maturitas utang yang jatuh tempo. Hal ini terjadi bila pemerintah tidak dapat mengatasi peningkatan biaya yang terjadi dengan melakukan roll over. Dalam praktek, pemerintah harus melakukan restrukturisasi pada tipe maturitas utang, bila terjadi ancaman refinancing. Metode ini disebut sebagai reprofiling, yaitu upaya untuk memperpanjang tenor pinjaman untuk mengurangi risiko tekanan pembayaran. Langkah ini membawa manfaat bukan hanya bagi pemerintah, namun juga bagi investor. Hal ini disebabkan karena tenor yang panjang akan menjadi sinyalemen pasar yang likuid bagi investor.

Page 81: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

69

IMF (2003) menetapkan beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan dalam menilai kerentanan (vulnerability) eksternal, antara lain:

1. Indikator Kecukupan Cadangan Devisa

a. Rasio cadangan devisa terhadap utang eksternal jangka pendek

b. Rasio cadangan devisa terhadap impor

c. Rasio cadangan devisa terhadap broad money

2. Indikator yang berhubungan dengan utang

a. Rasio utang eksternal terhadap ekspor

b. Rasio utang eksternal terhadap PDB

c. Rata-rata suku bunga utang eksternal

d. Rata-rata maturitas (jatuh tempo)

e. Proporsi utang eksternal denominasi asing terhadap total utang eksternal

Indikator-indikator di atas dapat dijadikan acuan untuk menilai kerentanan pemerintah terhadap perubahan eksternal. Besarnya variabel-variabel nilai tukar, harus disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dalam mengakses pasar modal, rezim nilai tukar dan fundamental ekonomi lainnya.

Risiko manajemen utang akan timbul sebagai penyimpangan biaya pembayaran jatuh tempo dari besaran ekspektasi yang telah diperkirakan sebelumnya (IMF 2003). Pengukuran risiko kemudian didasarkan atas kenaikan potensial biaya debt service terhadap ekspektasi biaya yang diprediksikan. Hal ini disebabkan karena biaya aktual tidak selalu sama dengan biaya estimasi atau expected cost pembiayaan. Oleh karena itu, manajer risiko harus melakukan perkiraan peningkatan biaya-biaya utang akibat perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Dari sisi pemerintah, biaya yang mungkin timbul adalah biaya penerbitan untuk pertama kalinya, biaya kupon berjalan dan yield to maturity. Sedangkan risiko yang potensial terjadi antara lain perubahan nilai tukar (jika berdenominasi asing), suku bunga dan inflasi. Faktor inflasi dapat mengancam baik pemerintah maupun investor, karena menurunkan nilai riil penerimaan yield. Bagi pemerintah, inflasi akan memberatkan jika obligasi diterbitkan dalam denominasi mata uang asing. Berdasarkan teori Purchasing Power Parity (Gustav Cassel, 1866-1945) nilai tukar dalam negeri akan terdepresiasi apabila laju inflasi meningkat.

Kemauan pemerintah dalam menanggung risiko (risk-tolerance) tidak selalu sama sepanjang waktu. Hal ini bergantung pada besarnya portofolio utang pemerintah dan volatilitas berbagai variabel perekonomian yang mungkin terjadi (IMF dan Bank Dunia, 2003). Semakin besar ukuran portofolio pinjaman dan semakin rentannya pemerintah terhadap berbagai perubahan, maka akan semakin besar potensi kerugian negara akibat biaya pinjaman yang makin membesar. Oleh karena itu, titik berat harus lebih diletakkan pada meminimalisir risiko daripada biaya pinjaman.

Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003) berpendapat bahwa batas toleransi pemerintah terhadap utang akan ditentukan oleh besarnya probabilita kegagalan (default) dan sejarah inflasi negara yang bersangkutan. Mereka melakukan pengkajian terhadap data historis kegagalan utang 100 negara debitur selama dua abad. Sasaran yang hendak dicapai adalah mengeliminasi berbagai forum (klub) kreditur-debitur dan mengurangi kerentanan regional.

Ketiga peneliti tersebut kemudian menyusun distribusi frekuensi sampel negara-negara yang gagal dan berhasil dalam mengelola utangnya termasuk external debt-to-GNP ratio-nya. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa besarnya ambang batas utang terhadap PDB yang aman adalah sebesar 15 persen pada rata-rata kasus berbagai

Page 82: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

70

3.3 Pasar Obligasi Regional

negara. Kemudian diidentifikasi komponen-komponen yang menentukan debt intolerance. Penulis menggunakan rasio utang terhadap PDB, PNB atau ekspor dan pemeringkatan (rating) dari lembaga Institutional Investor Ratings (IIR) sebagai proksi.

Dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan lembaga rating internasional maka pemeringkatan dilakukan dari skala 0 sampai 100. Poin 100 diberikan kepada mereka yang memiliki probabilita kegagalan utang terkecil (data dari tahun 1979-2000). Selain itu, dilakukan uji korelasi antara variabel risiko kegagalan utang dengan rasio utang terhadap PNB dan juga ekspor. Hasil uji ini menunjukkan bahwa negara-negara Emerging Market di kawasan Asia memiliki hubungan korelasi yang kuat antara variabel risiko kegagalan utang dengan rasio utang terhadap PDB dan ekspor. Hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara Emerging Market dikawasan Asia memiliki struktur fiskal dan sistem finansial yang lemah.

Perkembangan pasar obligasi dunia mencapai tahap pertumbuhan yang positif. Hal ini disebabkan karena obligasi, selain fungsinya sebagai instrumen pembiayaan juga dipandang sebagai aset investasi yang menguntungkan. Pembentukan portofolio obligasi merupakan tren baru di beberapa wilayah, termasuk Asia dan Amerika Latin. Sementara di Eropa dan Amerika Serikat, pasar obligasi telah lama berkembang dan lebih matang.

Ada beberapa syarat bagi berkembangnya sebuah pasar obligasi yang likuid. Pertama, ketersediaan likuiditas yang besar di tangan publik (pasar). Kedua, regulasi yang fleksibel. Ketiga, suku bunga yang kompetitif dan kebijakan moneter yang kondusif. Keempat, ketersediaan informasi dan persebarannya secara merata pada pelaku pasar.

Ketersediaan informasi menjadi penting karena merupakan salah satu variabel yang menentukan proses pembentukan harga. Sedangkan suku bunga dianggap sebagai cost of capital (biaya modal) sekaligus pengembalian investasi yang harus menarik bagi investor. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang efektif antara pemerintah dengan otoritas bank sentral untuk menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif bagi berkembangnya pasar obligasi. Suku bunga yang tinggi akan membuat investor enggan memegang obligasi.

Pada beberapa wilayah, dinamika pergerakan berbagai variabel di atas tidaklah sama. Kebijakan moneter yang menyangkut suku bunga, target inflasi dan nilai tukar tidak sejalan dengan sasaran makro ekonomi yang ditetapkan. Oleh karena itu, kondisi pasar obligasi juga terpengaruh oleh variabel moneter tersebut. Kemampuan fiskal pemerintah dari sektor obligasi misalnya, akan terpengaruh bila kebijakan moneter yang dijalankan tidak sesuai dengan harapan.

Data pada Tabel 3.4 menunjukkan bahwa dominasi perbankan sebagai satu-satunya alternatif pembayaran masih dominan di Asia. Di Eropa, pasar modal dan obligasi sebagai alternatif pembiayaan perbankan telah berkembang dengan pesat. Italia merupakan pasar obligasi terbesar ketiga di dunia, sekaligus terbesar di Eropa. Hal ini disebabkan karena defisit yang besar pada anggaran pemerintah. Jenis obligasi pemerintah paling dominan ialah Buoni del Tresoro Poliennali (BTP). Obligasi ini memiliki maturitas dari 3-30 tahun dengan suku bunga tetap (fixed). Untuk obligasi suku bunga mengambang, disediakan Certificati di Credito del Tresoro (CCT) yang dibayar secara semi-annually.

Page 83: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

71

Tabel 3.4 Total Pembiayaan Eksternal yang Outstanding, 2001

(% terhadap PDB) Outstanding Domestic Debt Securities

Domestic Credit

Provided by Banking Sector

Stock Market

Capitalization

Issued by Corporate

Issuers

Issued by Public Sector

Issued by Financial

Institutions

Emerging Markets 90,21 56,87 5,76 24,96 8,28 Asia Cina Hong Kong Malaysia Singapura Indonesia* Korea Selatan Thailand

131,91 140,59 141,98 156,23 102,95

24,75 110,37 112,03

75,56 45,21

310,81 135,92 138,25

16,51 54,97 31,67

9,27 0,9

3,07 50,40 6,71

- 27,84 4,96

23,52 25,04 11,78 36,57 34,16 10,96 18,32 26,17

12 8,8

11,9 7,54

20,61 -

23,20 0,35

Amerika Latin Argentina Brazil Chili Meksiko

41,21 37,13 59,19 76,74 24,69

38,70 71,62 37,06 89,28 20,49

1,73 2,71 0,56 8,82 1,52

26,12 9,11

51,99 29,76 12,10

4,53 2,04 9,40

13,86 0,68

Eropa Tengah Rep. Ceko Hungaria Polandia

42,48 51,84 49,54 37,34

16,04 16,22 19,8

14,85

1,23 4,79 1,53

0

29,32 36,35 35,31 25,26

0,92 4,61

0 0

Developed Countries Australia Kanada Jepang Selandia Baru Amerika Serikat Eropa

194,13 93,99 93,18

308,67 120

160,56 121,30

122,92 101,55

90,86 92,10 36,82

137,48 156,25

20,55 12,25 10,50 16,48

0 23,9 8,05

85,18 17,13 59,6

104,45 28,36 83,53 44,12

33,64 16,75 14,33 15,94

0 43,32 28,44

Keterangan: *) data dari Bank Indonesia dan Depkeu diolah Sumber: WDI dan BIS, 2002

Pasar obligasi Jerman merupakan yang terbesar kedua di Eropa dan keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Berkembangnya pasar obligasi Jerman terjadi akibat proses unifikasi yang membutuhkan biaya besar untuk pengembangan infrastruktur. Bundesbank (bank sentral Jerman) merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menerbitkan obligasi pemerintah. Untuk obligasi Jerman, disediakan berbagai pilihan maturitas dengan jatuh tempo terpanjang selama 30 tahun (Bundesainleihen). Lelang dilakukan dengan dua cara, yaitu tipe Amerika dan Belanda. Pada tipa Amerika, partisipan dengan harga tertinggi akan ditemui pertama diikuti harga tertinggi kedua dan seterusnya. Sedangkan dengan tipe Belanda, Bundesbank menentukan satu harga dari penawaran para partisipan.

Di Asia, publik mulai mencari alternatif lain dalam pembiayaan selain dari perbankan. Krisis Asia 1997-1998 telah menurunkan kepercayaan terhadap sektor perbankan. Tumpuan beban pada perbankan sangat besar. Sementara itu, pasar obligasi di Asia belum banyak berkembang. Di Indonesia misalnya, pasar obligasi baru berkembang setelah krisis. Surat Utang Negara (SUN) pemerintah baru diperkenalkan pada tahun 2001. Sebelumnya, pemerintah mengandalkan penerimaan pajak dan pinjaman luar negeri. Setelah program pinjaman yang bersifat official borrowing melalui IMF dan Bank Dunia berakhir, maka pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan sendiri yang bersifat domestik. Langkah ini dipilih, karena risiko pembiayaan ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan pinjaman official.

Page 84: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

72

Lebih jauh, ukuran negara, institusi yang kuat, stabilitas nilai tukar dan sektor perbankan yang kompetitif merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya pasar obligasi. Studi yang dilakukan olah Eichengreen dan Luengnaruemitchai (2004) menemukan bahwa ukuran ekonomi, keterbukaan, sistem hukum, kekayaan geografis, tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG), perkembangan industri perbankan, kebijakan moneter dan kehadiran pembiayaan sektor publik merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya pasar obligasi di suatu negara.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya pasar obligasi juga dipengaruhi oleh kondisi industri perbankan baik menyangkut ukuran maupun konsentrasinya dan kebijakan moneter yang berkaitan dengan suku bunga baik tingkat dan variabilitasnya serta rezim nilai tukar yang dianut. Sedangkan untuk memperluas pasar, pemerintah akan mengumumkan kalender penerbitan obligasi, membuat variasi penerbitan dan membangun sistem perdagangan yang sistematis.

Hasil uji korelasi yang dilakukan oleh Eichengreen dan Luengnaruemitchai (2004) menunjukkan, bahwa kualitas birokrasi dan pertumbuhan PDB memiliki angka koefisien korelasi 0,81 (mendekati satu). Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara kedua variabel tersebut apabila dibandingkan dengan variabel-variabel penjelas lainnya. Korupsi dan penegakan hukum juga menunjukkan korelasi yang mendekati satu. Artinya, penegakan hukum berpengaruh sangat signifikan dengan transparansi dan tata kelola yang baik. Di samping itu, penegakan hukum dan volatilitas suku bunga memiliki hubungan yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa kepastian hukum yang tinggi akan menurunkan biaya modal.

Dalam hal perkembangan pasar obligasi, kawasan Asia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pasar obligasi negara-negara industri maju. Data BIS 2002 menunjukkan nilai total obligasi yang outstanding di Asia hanya mencapai 36 persen dari total PDB-nya. Malaysia, adalah satu-satunya negara Asia dengan total nilai obligasi outstanding lebih besar daripada PDB-nya. Bersama dengan Korea, Malaysia dapat dijadikan representasi pasar obligasi Asia yang dapat dibandingkan dengan Inggris dan Jerman di Eropa (Mihaljek, Scatigna dan Villar, 2002). Hanya Malaysia dan Korea yang memiliki pasar obligasi paling besar di Asia. Di Cina dan Thailand, perbankan lebih dipercaya. Sementara Singapura dan Hong Kong telah memiliki pasar modal (saham) yang berkembang (Eichengreen dan Luengnaruemitchai, 2004).

Tabel 3.5 Struktur Obligasi yang Outstanding, 1994 dan 2000

(% terhadap Total Utang) International

Bonds Domestic

Bonds Public Sector

Bonds Private

Sector Bonds Negara 1994 2000 1994 2000 1994 2000 1994 2000

Asia 13 14 87 86 48 53 52 47 Amerika Latin 17 32 83 68 59 76 41 24 Eropa Tengah dan lainnya* 13 24 87 76 91 89 9 12 Total 14 21 86 79 59 64 42 36

Keterangan: *) termasuk Afrika Selatan dan Israel Sumber: BIS, 2002

Di Singapura, pemerintah baru membuka pasar obligasi setelah dilakukannya deregulasi bidang keuangan pada tahun 1997. Lembaga yang mengatur pelaksanaan pasar baru ini adalah Monetary Authority of Singapore (MAS). Pemerintah menetapkan yield curve sebagai pembanding untuk obligasi-obligasi yang lain. Maturitas ditetapkan antara 10 tahun (diterbitkan pada tahun 1998) dan 15 tahun (pada tahun 2001). Kalender obligasi juga ditetapkan, dengan obligasi berjangka waktu lebih dari satu tahun diterbitkan satu kali setiap tahunnya dengan kemampuan penyerapan likuiditas pasar mencapai

Page 85: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

73

US$2-3 miliar per transaksi. Untuk meminimalisir risiko, pemerintah menerapkan buyback untuk obligasi-obligasi yang sudah tidak aktif diperdagangkan.

Gambar 3.2 Utang Publik yang Outstanding di Asia, Desember 2003

Keterangan: untuk Korea dan Indonesia dalam US$ triliun Sumber: BIS, 2003

Di Thailand, pasar obligasi pemerintah mulai dikembangkan setelah krisis tahun 1997. Hal ini sebagai respon terhadap menurunnya kinerja perbankan akibat dampak krisis. Sekitar 80 persen dana masyarakat tersimpan di bank dalam bentuk deposito. Dari jumlah ini, 70 persen disalurkan oleh perbankan ke sektor properti yang sangat berisiko. Untuk menghindari kerentanan yang semakin besar, pemerintah segera membentuk bond market sebagai alternatif pembiayaan equity agar ketergantungan kepada bank dapat dikurangi.

Terdapat empat tipe utama dari obligasi yang diperdagangkan di Thailand yaitu:

1. Treasury Bills yang merupakan instrumen utang jangka pendek dengan masa jatuh tempo kurang dari satu tahun dan dijual dengan discount basis.

Page 86: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

74

2. Obligasi pemerintah yang merupakan instrumen utang jangka menengah dan panjang yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. Terdapat tiga tipe obligasi yaitu obligasi investasi, obligasi pinjaman dan obligasi tabungan.

3. Bank sentral Thailand menerbitkan obigasi bank sentral yang disebut Financial Institution Development Fund (FIDF) dan Property Loan Management Organization (PLMO).

4. Obligasi perusahaan swasta merupakan obligasi jangka menengah dan jangka panjang yang dikeluarkan oleh BUMN. Obligasi ini biasanya dijamin oleh Departemen Keuangan.

Walaupun relatif baru berkembang, Asia mempunyai potensi pasar obligasi cukup besar. Masih potensialnya pasar obligasi Asia ditunjukkan oleh kenyataan bahwa likuiditas beredar di wilayah ini cukup banyak. Cadangan likuiditas masyarakat yang dapat dihimpun masih cukup besar. Namun, likuiditas ini lebih banyak diserap oleh instrumen moneter bank sentral masing-masing. Data BIS (2003) menunjukkan, likuiditas di pasar domestik Asia lebih banyak diserap oleh bank sentral daripada obligasi pemerintah. Gambar 3.2 berikut menunjukkan bahwa utang publik lewat obligasi yang outstanding di kawasan Asia per Desember 2003 masih berada di bawah daya serap bank sentral.

Kenyataan yang terjadi di Asia menunjukkan bahwa bank sentral dan pemerintah cukup bersaing dalam memperebutkan cadangan dana domestik masyarakat. Hal ini memperkuat pendapat bahwa bank sentral dan departemen keuangan (treasury) sebaiknya dapat bekerjasama untuk tujuan yang sinergis walaupun berbeda. Bank sentral dapat diuntungkan lewat pengendalian inflasi, sedangkan pemerintah diuntungkan lewat penggalangan dana.

Pada tahun 2002, dengan dimotori oleh Asian Development Bank (ADB), dibentuklah Asian Bond Market Initiative (ABMI). Ini adalah forum inisiatif negara-negara ASEAN “plus 3” (Laos, Kamboja, Vietnam) yang didirikan di Chiang Mai, Thailand tanggal 17 Desember 2002 dengan tujuan untuk membentuk kerjasama dalam pengelolaan dan pengembangan pasar obligasi di Asia. ABMI juga mengelola persebaran informasi perihal perkembangan aktual pasar obligasi Asia melalui internet dengan membuat situs Asianbondsonline untuk memfasilitasi likuiditas pasar sekunder.

Gambar 3.3 hingga Gambar 3.7 berikut memperlihatkan yield obligasi pemerintah pada lima negara Asia dengan yield US Treasury Bond. Yield yang tinggi dan panjang akan mendorong ekspektasi investor di pasar sekunder untuk memegang obligasi lebih lama. Walaupun berbiaya cukup mahal bagi pemerintah (ada trade-off antara yield dan tingkat pembiayaan jangka panjang), tingkat kupon dan yield mengimplikasikan daya tarik yang besar bagi investor. Oleh karena itu, yield yang tinggi sangat penting untuk menarik minat pelaku pasar.

Page 87: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

75

Gambar 3.3

Yield Obligasi Pemerintah Filipina

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004

Gambar 3.4 Yield Obligasi Pemerintah Thailand

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org, 2004

Page 88: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

76

Gambar 3.5 Yield Obligasi Pemerintah Indonesia

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004

Gambar 3.6 Yield Obligasi Pemerintah Malaysia

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004

Page 89: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

77

Gambar 3.7 Yield Obligasi Pemerintah Singapura

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004

Gambar 3.8 Rata-rata Bulanan Nilai Tukar MYR (Ringgit) Terhadap USD dan Yen Jepang

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004

Page 90: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

78

Gambar 3.9 Yield Obligasi Pemerintah Korea Selatan

Sumber: ADB, www.asianbondsonline.adb.org. 2004 Kurva-kurva yield obligasi pemerintah Singapura, Thailand dan Malaysia umumnya sedikit berada di atas yield obligasi Amerika Serikat (US Treasury Bond), walaupun tak sebesar Filipina. Hal ini mengimplikasikan adanya potensi daya tarik yang lebih besar pada masa mendatang. Yang menarik, pemerintah Malaysia menetapkan nilai tukar yang tetap (pegged-exchange rate) untuk Dollar Amerika Serikat. Ketiadaan fluktuasi nilai tukar ini akan menyebabkan obligasi pemerintah Malaysia kurang menarik bila suatu saat yield jatuh dibawah yield Amerika Serikat.

Dalam investasi internasional, US Treasury Bonds diasumsikan sebagai instrumen investasi bebas risiko (risk-free rate). Suku bunga (kupon) T-Bond dijadikan asumsi standar bebas risiko internasional. Maka, perbedaan yang jauh antara tingkat yield obligasi pemerintah Indonesia dan Filipina dengan US T-Bond mengindikasikan premi risiko yang tinggi juga di kalangan investor. Hal ini dipersepsikan sebagai masih relatif rendahnya kredibilitas pemerintah Indonesia dan Filipina jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Akan tetapi, tingkat yield yang tinggi dibutuhkan agar obligasi pemerintah Indonesia khususnya lebih menarik bagi kalangan investor. Risiko default harus dicegah seminimal mungkin, agar premi risiko tidak bertambah lagi.

Page 91: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

79

3.4 Pemeringkatan Utang Publik

Pinjaman publik dapat dinilai dan diperingkatkan baik efektivitas, efisiensi dan transparansi penggunaannya. Lembaga pemeringkat umumnya terdiri atas perusahaan investasi, reksadana dan penilai risiko. Beberapa perusahaan investasi yang sering dijadikan acuan dalam penilaian standar internasional antara lain Bloomberg dan Standard&Poor, dan ADB (ABMI). Berikut beberapa definisi pemeringkatan (rating) menurut beberapa lembaga penilai internasional. 1. Standard&Poor mendefinisikan rating sebagai penilaian terhadap kapasitas obligor

dalam memenuhi kewajiban finansialnya: a current opinion of the creditworthiness of an obligor with respect to a specific financial obligation, a specific class of financial obligations, or a specific financial program (including ratings on medium term note programs and commercial paper programs). It takes into consideration the creditworthiness of guarantors, insurers, or other forms of credit enhancement on the obligation and takes into account the currency in which the obligation is denominated. (S&P, 2004)

2. Fitch: International credit ratings assess the capacity to meet foreign or local currency commitments. Both foreign and local currency ratings are internationally comparable assessments. The local currency rating measures the probability of payment only within the sovereign state's currency and jurisdiction. (www.fitchratings.com)

3. National Information and Credit Evaluation, Inc. (NICE): A NICE’s issuer rating is current opinion of an obligor’s overall creditworthiness to its financial obligations over three or more years based on relevant risk factors. Issuer ratings are divided into several categories ranging from ‘AAA’, reflecting the strongest credit quality, to ‘D’, reflecting the lowest. (www.eng.ratings.co.kr)

Dari ketiga definisi di atas, terkandung setidaknya dua hal dalam pengertian tentang rating. Pertama, penilaian terhadap aspek kapasitas obligor (debitur kredit/pinjaman) dalam memenuhi kewajibannya. Kedua, aspek risk coverage, menyangkut kemampuannya meminimalisir kemungkinan terjadinya gagal bayar atau default. Bila kedua prasyarat tersebut menunjukkan posisi atau keadaan yang baik, maka rating akan naik.

Standard&Poor (S&P) menggunakan klasifikasi rating dari AAA hingga D untuk menggambarkan kontinuum kapasitas pembayaran obligor yang menunjukkan kredibilitas. Skala ‘A’ merepresentasikan kredibilitas terhadap pinjaman yang tinggi, sedangkan ‘D’ menunjukkan situasi default. Tanda (+) dan (–) juga dapat digunakan untuk menilai skala relatif tiap-tiap obligor pada posisi yang berlainan. Misalnya, A+ menunjukkan keadaan yang kredibel, pengendalian terhadap risiko optimal (risiko kecil) dan lebih baik daripada A. Demikian juga BBB lebih baik daripada B dan seterusnya. Pada skala CCC sampai C, S&P mengidentifikasi keadaan sebagai high-risk vulnerability. Pada kondisi ini, petisi kepailitan telah siap ditandatangani dan obligor berada dalam bahaya finansial yang besar. Lembaga lain seperti Moody’s menggunakan simbol yang berbeda (Aaa, Aa2, A2 dan lain sebagainya) namun pada dasarnya metode yang digunakan sama. Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 menyajikan penilaian dari S&P Moody’s, Fitch dan R&I atas berbagai obligasi denominasi USD yang beredar di Asia pada bulan Agustus 2004.

Penilaian yang dilakukan oleh Kenneth Rogoff et. al. (2003) telah menunjukkan upaya pemeringkatan berdasarkan tingkat risiko kegagalan (default). Rogoff et.al. mengakomodir metode pemeringkatan yang dilakukan oleh Institutional Investor Rating (IIR) yang memasukkan skala probabilita kegagalan utang dari 0-100, dimana 100

Page 92: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

80

merupakan skor terkecil kemungkinan kegagalan utang terjadi. Pengukuran risiko kemudian didasarkan pada skor (100-IIR). Pelaksanaan IIR ini dilakukan dua kali setahun dengan melibatkan analis-analis risiko dan ekonom dari berbagai bank komersial dan perusahaan investasi internasional. Mereka memberikan masukan informasi perihal perubahan dan potensi kegagalan yang mungkin terjadi.

Hasil studi Rogoff pada 16 negara sampel selama periode 1979-2000 menunjukkan, skor IIR di bawah 30 masih akan tertolong jika debt-to-GDP ratio sebesar 80-160 persen, atau bila external debt-to-export ratio sebesar 300-700 persen. Rogoff kemudian mengelompokkan sampel ke dalam tiga golongan:

1. Klub A, yaitu mereka yang memiliki skor IIR ≥ 67,7. Negara-negara ini digolongkan sebagai least debt intolerant, yaitu yang memiliki kecenderungan menolak utang paling kecil atau, paling toleran terhadap utang. Akses negara-negara ini terhadap pasar modal sangat besar.

2. Klub B, yaitu negara-negara dengan skor 24,2 ≤ IIR ≤ 67,7. Mereka umumnya moderat. Akses terhadap pasar modal bersifat intermiten. Kelompok ini dibagi lagi ke dalam empat region sebagai berikut.

Tabel 3.6 Kriteria-kriteria Region Negara Klub B

Region I Region II Region III Region IV 45.9 ≤ IIR* < 67.7 45.9 ≤ IIR* < 67.7 24.2 < IIR* < 45.9 24.2 < IIR* < 45.9 External Debt / GNP < 35 External Debt / GNP ≥ 35 External Debt / GNP < 35 External Debt / GNP ≥ 35 Least debt intolerant Quasi debt intolerant Quasi debt intolerant Most debt intolerant

3. Klub C, yaitu mereka yang memiliki skor IIR* ≤ 24.2. Negara-negara ini paling

intoleran terhadap utang, sehingga akses terhadap pasar modalnya juga terbatas.

Page 93: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

81

Tabel 3.7 Obligasi Denominasi USD yang Beredar di Asia dan Rating-nya, 31 Agustus 2004

Negara Issuer Kupon (%)

Outstanding (US$ juta)

Tanggal issue

Jatuh tempo

Rating (Moody’s)

Cina Pemerintah 4,75 1.000 22 Okt 03 29 Okt 13 A2

Hongkong CLP Power HK Financing, Ltd. Kowloon-Canton Railway Mass Transit Railway

6,25 8,00 7,50

300 1.000 600

8 Mei 02 10 Mar 00 1 Nov 00

8 Mei 12 15 Mar 10 8 Nov 10

A1 A1 A1

Indonesia Pemerintah Pemerintah

6,75 7,75

1.000 400

3 Mar 04 25 Jul 96

10 Mar 14 1 Ags 06

B2 B2

Jepang Japan Fin. Corp. for Muni Ent. Bank of Tokyo-Mitsubishi Nippon Telegr and Teleph (NTT)

5,88 8,40 6,00

1.000 2.000 1.000

9 Mar 01 18 Feb 00 17 Mar 98

14 Mar 11 15 Apr 10 25 Mar 08

Aaa A3 Aa2

Korea Selatan

Pemerintah Korea Dev. Bank

4,25 5,75

1.000 750

29 Mei 03 3 Sep 03

1 Jun 13 10 Sep 13

A3 A3

Malaysia

Pemerintah Petronas Petronas Tenaga Nasional, Bhd.

7,50 7,00 7,88 7,63

1.750 2.000 1.000 600

29 Juni 01 15 Mei 02 15 Mei 02 22 Mar 01

15 Jul 11 22 Mei 12 22 Mei 22 1 Apr 11

Baa1 Baa1 Baa1 Baa2

Filipina Pemerintah Pemerintah PLDT

8,25 9,88 8,35

1.700 600 300

8 Jul 03 10 Mar 00 24 Feb 97

15 Jan 14 16 Mar 10 6 Mar 17

Ba2 Ba2 Ba2

Singapura DBS OCBC Singtel

7,13 7,75 6,38

850 1.250 1.350

10 Mei 01 29 Jun 01 15 Nov 01

15 Mei 11 6 Sep 11 1 Des 11

Aa3 A1 A1

Thailand Pemerintah PTT Public Co. Ltd.

7,75 5,75

600 400

10 Apr 97 15 Jul 04

15 Apr 07 1 Ags 14

Baa1 BBB+ (S&P)

Vietnam Brady Viet Nam Par 3,75 228 12 Mar 98 12 Mar 28 BB- (S&P) Keterangan: Tidak ada issue dalam denominasi Dollar Amerika Serikat dari Brunei Darussalam, Laos, Kamboja dan Myanmar Sumber: Bloomberg LP, Reuters and Moody`s, 31 Agustus 2004 (www.asianbondsonline.adb.org)

Page 94: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

82

Tabel 3.8 Pemeringkatan Obligasi Pemerintah 14 Negara Asia, 12 November 2004

S&P Moody's Fitch R&I Market Latest

Rating Outlook Date Latest Rating Outlook Date Latest

Rating Outlook Date Latest Rating Outlook Date

Brunei Darussalam -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- Kamboja -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- Cina BBB+ positive Feb 04 A2 stable Oct 03 A- positive Oct 03 A stable Jan 04 Hongkong A+ stable Jun 04 A1 stable Apr 04 AA- stable Jan 03 AA- stable Apr 04 Indonesia B positive Oct 03 B2 stable Sep 03 B+ positive Nov 03 B stable Jun 04 Jepang AA- stable Mar 04 Aaa stable Apr 04 AA negative Dec 03 AAA negative Apr 03 Korea A- stable Jul 02 A3 stable Mar 02 A stable Sep 03 A stable Jul 04 Laos -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- Malaysia A- stable Oct 03 Baa1 Positive Sep 02 A- stable Nov 04 A- stable Jan 04 Myanmar -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- -- No available rating -- Filipina BB stable Apr 03 Ba2 negative Jan 04 BB stable Oct 03 BBB- stable Nov 03 Singapura AAA stable Mar 95 Aaa stable Jun 02 AAA stable May 03 AAA Stable Aug 01 Thailand BBB+ stable Aug 04 Baa1 stable Nov 03 BBB positive Sep 03 BBB+ Stable Aug 03 Vietnam BB- stable May 02 B1 positive Jul 99 BB- stable Nov 03 -- No available rating --

Sumber: www.asianbondsonline.org

Page 95: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

83

Penelitian Rogoff tersebut menunjukkan secara historis-empiris, bahwa negara-negara dengan debt-to-GDP dan external debt-to-exports tinggi akan memiliki tingkat kesulitan dalam menghadapi risiko kegagalan utang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memiliki basis ekspor dan pertumbuhan ekonomi kuat. Mereka yang kuat ini akan lebih toleran terhadap utang dibandingkan dengan yang lemah. Bagaimanapun, rating mempunyai implikasi penting bagi penurunan biaya modal obligasi. Bila penilaian internasional cukup baik maka kepercayaan investor akan naik dan biaya modal akan dapat dikurangi. Bagi pemerintah, hal ini akan menurunkan beban pembiayaan fiskal jangka panjang.

Tabel 3.9 Pemeringkatan Indonesia Menurut 4 Lembaga Penilai

Sovereign Ratings

Agency Rating Outlook Date S&P B positive 3-Oct Moody's B2 stable 3-Sep Fitch B+ positive 3-Nov R&I B stable 4-Jun

Sumber: www.asianbondsonline.org Utang-utang berjangka pendek dengan rating yang bagus umumnya akan berdampak positif terhadap penurunan biaya modal (cost of capital). Studi yang dilakukan oleh Broner, Lorenzoni dan Schmukler (2003) menemukan adanya hubungan antara biaya modal dengan struktur maturitas (lamanya jatuh tempo) utang. Aktivitas pinjaman dalam jangka waktu lama akan meningkatkan biaya modalnya. Hal ini disebabkan karena tingginya premi risiko dalam pinjaman-pinjaman jangka panjang.

Pada kondisi sebaliknya, premi risiko pinjaman jangka pendek umumnya rendah. Inilah sebabnya mengapa negara-negara Emerging Market cenderung mengkonversikan pinjamannya ke dalam jangka pendek. Studi yang dilakukan oleh Diamond dan Rajan (2000) menguatkan hasil penelitian Broner, Lorenzoni dan Schmukler (2003). Dengan argumen bahwa kecerobohan dalam alokasi pinjaman jangka pendek pada aktiva-aktiva yang tidak likuid telah menyebabkan terjadinya krisis finansial di sektor perbankan negara-negara berkembang.

Indonesia mendapatkan penilaian pertumbuhan pasar yang stabil dari Moody’s dan R&I, sedangkan Standard&Poor dan Fitch menganggapnya positif (Tabel 3.9). Kisaran opini penilaian keempat lembaga tersebut umumnya antara B, B+ dan B2. Hal ini menunjukkan prospek pertumbuhan pasar obligasi pemerintah Indonesia yang cukup cerah di masa mendatang walaupun belum sempurna. Kisaran penilaian yang masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand (Tabel 3.8 di atas) menunjukkan bahwa pasar obligasi di Indonesia belum matang. Struktur maturitas dan yield yang panjang diharapkan dapat memacu tumbuhnya pasar sekunder secara lebih cepat dan kredibel. Selain itu, keyakinan publik terhadap kemampuan pemerintah Indonesia menghadapi berbagai risiko akan mampu meningkatkan rating dan menurunkan biaya modal.

Page 96: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

84

4.1 Sumber dan Jenis Data

Bab

4 DATA

DATA – STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Bab ini berisi keterangan mengenai data yang digunakan dalam studi ini. Tim PPE FE UGM mengumpulkan data berbagai negara semaksimal mungkin, kemudian data negara tersebut digolongkan menurut kelompok negara, yaitu negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development), HIPC (Highly Indebted Poor Countries), Emerging Market, ASEAN dan Asia.

Berdasarkan data tersebut, Tim PPE FE UGM telah melakukan perhitungan beberapa indikator penting setiap kelompok negara terkait dengan manajemen utang. Indikator-indikator tersebut ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel. Perhitungan indikator untuk Indonesia dilakukan secara tersendiri, tidak dimasukkan dalam pengelompokan tersebut di atas, kemudian Tim PPE FE UGM melakukan estimasi biaya pinjaman dalam negeri dan luar negeri Indonesia.

Dalam melakukan studi manajemen utang ini, Tim PPE FE UGM mengumpulkan data dari berbagai sumber sebagai berikut.

1. International Financial Statistics (IFS) edisi September 2004, diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF).

2. Government Financial Statistics (GFS) edisi Oktober 2004, diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF).

3. Global Development Finance, diterbitkan oleh World Bank

4. Key Indicator 2004, diterbitkan oleh Asian Developmet Bank (ADB)

5. OECD Outlook 2004, diterbitkan oleh OECD

6. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, diterbitkan oleh Bank Indonesia

7. Departemen Keuangan

Data-data yang dikumpulkan adalah data-data yang berkaitan dengan manajemen utang suatu negara. Data tersebut adalah:

1. Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (DGP) nominal

Page 97: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

85

4.2 Negara Sampel Studi

2. Produk Domestik Bruto (PDB) riil

3. Total utang

4. Utang luar negeri

5. Utang dalam negeri

6. Ekspor

7. Keseimbangan primer (primary balance)

8. Penerimaan total pemerintah

9. Penerimaan pajak

10. Penerimaan non-pajak

11. Capital revenue

12. Current revenue

13. Grant

14. Pengeluaran total pemerintah

15. Pinjaman dikurangi pembayaran pinjaman (lending minus repayment)

16. Pembiayaan luar negeri

17. Pembiayaan dalam negeri

18. Indeks Harga Konsumen (IHK)/Consumer Price Index (CPI)

19. Suku bunga

20. Overall deficit

21. Pembayaran bunga

Data-data yang dikumpulkan adalah data untuk Central Government dengan pendekatan Cash Basis, kecuali untuk data negara-negara OECD. Data negara-negara OECD menggunakan data General Government.

Tim PPE FE UGM melakukan pengelompokan negara dengan maksud agar dapat dilakukan perbandingan antara kondisi di Indonesia dengan kelompok negara tersebut. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat diidentifikasi apakah pola pengelolaan utang Indonesia memiliki kesamaan dengan pola pengelolaan utang kelompok negara tersebut. Dengan demikian studi ini dapat menemukan skenario terbaik dalam pengelolaan utang.

Studi ini mengestimasi data berbagai negara yang dikelompokkan menjadi lima kelompok sebagai berikut.

1. Negara-negara anggota OECD sebanyak 30 negara, yaitu:

1. Australia

2. Austria

3. Belgia

4. Kanada

5. Ceko (Rep)

6. Denmark

7. Finlandia

8. Perancis

Page 98: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

86

9. Jerman

10. Yunani

11. Islandia

12. Hungaria

13. Irlandia

14. Italia

15. Jepang

16. Korea

17. Luxemburg

18. Meksiko

19. Belanda

20. Selandia Baru

21. Norwegia

22. Polandia

23. Portugal

24. Slovakia

25. Spanyol

26. Swedia

27. Swiss

28. Turki

29. Inggris

30. Amerika Serikat

2. Negara-negara HIPC sebanyak 30 negara, yaitu:

1. Benin

2. Bolivia

3. Burkina Faso

4. Kamerun

5. Chad

6. Kongo

7. Ethiophia

8. Gambia

9. Ghana

10. Guinea

11. Guinea-Bissau

12. Guyana

13. Honduras

14. Kenya

15. Madagaskar

16. Malawi

17. Mauritania

18. Mali

19. Mozambik

20. Nikaragua

21. Niger

22. Pantai Gading

23. Rwanda

24. Sao Tome and Principe

25. Senegal

26. Sierra Leone

27. Tanzania

28. Uganda

29. Yaman

30. Zambia

3. Negara-negara Emerging Market sebanyak 34 negara. Penggunaan definisi Emerging Market dalam studi ini mengacu pada definisi yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu negara-negara yang termasuk dalam EMBI Global Index pada awal tahun 2002. Tim PPE FE UGM memasukkan Kosta Rika, India, dan Yordania dalam kelompok negara Emerging Market. Negara-negara tersebut, yaitu:

1. Algeria

2. Chili

3. Kosta Rika

4. Pantai Gading

5. Kroasia

6. Ceko (Rep)

7. Yunani

8. Hungaria

9. India

10. Israel

11. Yordania

12. Korea

Page 99: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

87

13. Lebanon

14. Malaysia

15. Meksiko

16. Maroko

17. Nigeria

18. Panama

19. Peru

20. Filipina

21. Polandia

22. Rusia

23. Afrika Selatan

24. Thailand

25. Turki

26. Ukraina

27. Brazil

28. Bulgaria

29. Venezuela

30. Argentina

31. China

32. Kolombia

33. Ekuador

34. Uruguay

4. Negara-negara di kawasan Asia, sebanyak 42 negara, yaitu:

1. Armenia

2. Azerbaijan

3. Bahrain

4. Bangladesh

5. Bhutan

6. Kamboja

7. China Macao

8. China

9. Hongkong

10. Georgia

11. India

12. Iran

13. Irak

14. Israel

15. Jepang

16. Yordania

17. Kazakstan

18. Korea

19. Kuwait

20. Krygyztan

21. Laos

22. Lebanon

23. Malaysia

24. Maldives

25. Mongolia

26. Myanmar

27. Nepal

28. Oman

29. Pakistan

30. Filipina

31. Qatar

32. Rusia

33. Arab Saudi

34. Singapura

35. Srilanka

36. Syiria

37. Tajikistan

38. Thailand

39. Turki

40. Uni Emirat Arab

41. Vietnam

42. Yaman

5. Negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nation) sebanyak delapan negara, yaitu:

1. Malaysia

Page 100: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

88

2. Filipina

3. Thailand

4. Singapura

5. Vietnam

6. Kamboja

7. Laos

8. Myanmar

Dalam kategori negara tersebut, Indonesia masuk dalam tiga kategori negara, yaitu negara Emerging Market, negara di kawasan Asia dan negara anggota ASEAN. Dalam studi ini, data Indonesia dianalisis secara terpisah. Kemudian hasil analisis data Indonesia dibandingkan dengan hasil analisis kelompok negara di atas.

Terdapat beberapa negara yang harus dikeluarkan dari estimasi karena data yang dimiliki oleh negara tersebut kurang lengkap. Negara-negara tersebut adalah:

1. Untuk negara OECD, Selandia Baru tidak dapat dimasukkan dalam estimasi. Hal ini dikarenakan pemerintah Selandia Baru telah menggunakan Accrual Basis dalam anggarannya dan tidak memiliki data dalam bentuk Cash Basis. Selain itu, Perancis, Irlandia dan Portugal juga tidak dimasukkan dalam estimasi karena tidak memiliki data utang.

2. Untuk negara HIPC, Gambia, Guinea dan Sao Tome and Principe tidak dimasukkan dalam estimasi, karena tidak memiliki data PDB dan Utang.

3. Untuk negara Emerging Market, tidak memasukkan Brazil, Bulgaria, Venezuela, Argentina, China, Kolombia, Ekuador, dan Uruguay karena tidak memiliki data utang dan PDB.

4. Untuk negara di kawasan Asia, tidak memasukkan Azarbaizan, Irak, Lebanon, Maldives, Pakistan, Rusia, Srilanka dan Tajikistan karena tidak memiliki data utang dan PDB.

Dalam studi ini, proses pengumpulan dan pengolahan data memerlukan waktu cukup panjang. Penyebab utamanya adalah kurang lengkapnya data yang dimiliki oleh masing-masing negara. Bahkan negara-negara anggota OECD yang mayoritas merupakan negara maju, memiliki ketersediaan data yang tidak lebih baik dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara Emerging Market. Sebagai contoh adalah Jepang. Data utang Jepang untuk tahun 1990-an tidak terdapat di IFS maupun GFS. Demikian pula halnya dengan Perancis yang tidak memiliki data mengenai utang. Sementara itu, data utang untuk Italia hanya tersedia untuk tahun 1991 dan 1992.

Untuk negara-negara sedang berkembang dan Emerging Market, kesulitan data merupakan hal yang umum terjadi. Menurut World Bank dalam World Economic Outlook 2003: Public Debt in Emerging Market, beberapa isu penting yang muncul sehubungan dengan data negara-negara Emerging Market adalah:

1. Ketersediaan data

Sebagian besar negara-negara sedang berkembang dan Emerging Market sementara ini masih melengkapi data yang dimilikinya. Beberapa data yang telah tersedia adalah data utang luar negeri. Namun data-data lain, khususnya yang berkaitan dengan sektor publik domestik seperti utang domestik, masih belum tersedia. Mayoritas data yang tersedia adalah data untuk tingkat central government.

Page 101: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

89

4.3 Gambaran Indikator

2. Ruang lingkup dan definisi data

Data untuk negara-negara sedang berkembang dan Emerging Market belum memiliki keseragaman dalam hal ruang lingkup data dan definisi data. Untuk data sektor publik, misalnya ada negara yang memasukkan bank sentral dalam sektor publik dan ada pula negara yang tidak memasukkan bank sentral dalam sektor publik. Contoh lainnya adalah dalam penggunaan definisi net dan gross.

Data dalam Tabel dan Grafik Dalam laporan studi ini, ditampilkan beberapa tabel dan grafik yang merupakan hasil estimasi yang telah dilakukan. Tabel dan grafik tersebut merupakan perbandingan negara-negara dalam satu kategori negara maupun perbandingan antarkategori negara. Dalam tabel dan grafik pada setiap kategori negara, hanya akan ditampilkan beberapa negara. Pemilihan negara untuk mewakili setiap kategori negara dilakukan berdasarkan kelengkapan data yang dimiliki.

Negara-negara yang mewakili kategori negara tersebut adalah:

1. OECD: Austria, Australia, Kanada, Denmark, Jerman, Korea, Inggris, Polandia, Spanyol Belanda, Norwegia dan Amerika Serikat.

2. HIPC: Ethiophia, Bolivia, Yaman, Ghana, Pantai Gading, Kenya, Burkina Faso, Rwanda, Senegal dan Sierra Leone.

3. Emerging Market: Chili, Hungaria, Israel, Peru dan Turki.

4. Asia: Bahrain, Bhutan, China Macao, China, Georgia, Iran, India, Yordania, Nepal dan Oman.

5. ASEAN: Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand.

Tim PPE FE UGM telah melakukan estimasi beberapa indikator penting yang digunakan dalam studi ini. Estimasi indikator-indikator tersebut dilakukan di beberapa negara OECD, Emerging Market, HIPC, ASEAN, Asia dan secara khusus di Indonesia. Indikator-indikator tersebut adalah rasio utang terhadap PDB, rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB, rasio pembayaran bunga terhadap PDB, rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap penerimaan. Berikut ini adalah perhitungan beberapa indikator sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk Indonesia, perhitungan indikator tersebut dijelaskan dalam bagian tersendiri, kecuali untuk rasio utang terhadap penerimaan.

Rasio Utang terhadap PDB Rasio utang terhadap PDB dihitung berdasarkan formula berikut.

ttahunPDBttahunUtangTotalttahunPDBterhadapUtang Rasio = (4.1)

Secara umum, rasio utang terhadap PDB negara-negara OECD cukup rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Rasio utang terhadap PDB negara-negara OECD berada di bawah 100 persen. Artinya nilai utang mereka lebih kecil dibandingkan

Page 102: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

90

dengan PDB. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Terlihat juga bahwa rasio utang terhadap PDB negara-negara OECD cenderung stabil dari tahun ke tahun. Pada Gambar 4.1, negara dengan rasio utang terhadap PDB paling tinggi adalah Kanada, sedangkan negara dengan rasio utang terhadap PDB paling kecil adalah Korea.

Gambar 4.1 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988 – 2002

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Australia

Austria

Kanada

Denmark

Jerman

Korea

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Inggris

Amerika

Polandia

Spanyol

Belanda

Norw egia

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Sementara itu, rasio utang terhadap PDB di beberapa negara Emerging Market cukup bervariasi. Negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB yang cukup rendah adalah Chili, Peru dan Turki. Hungaria sempat mengalami pertumbuhan rasio utang terhadap PDB yang tinggi, sehingga rasio utang terhadap PDB Hungaria berada di atas 200 persen pada tahun 1994. Akan tetapi rasio utang terhadap PDB negara ini kembali menurun sehingga kembali stabil. Perkembangan rasio utang terhadap PDB beberapa negara Emerging Market dapat dilihat pada Gambar 4.2.

%

%

Page 103: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

91

Gambar 4.2 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990 – 2002

0

50

100

150

200

250

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Chili

Hungaria

Peru

Turki

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Tim PPE FE UGM mengestimasi rasio utang terhadap PDB di negara-negara HIPC. Rasio utang terhadap PDB di beberapa negara HIPC dapat dilihat pada Gambar 4.3 terlihat bahwa rasio utang terhadap PDB negara HIPC cukup tinggi, bahkan Pantai Gading dan Sierra Leone pernah memiliki rasio utang terhadap PDB sekitar 200 persen.

Gambar 4.3 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984 – 2001

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Ethiopia

Sierra Leone

Bolivia

Ghana

Pantai Gading

Kenya

Rw anda

Senegal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.4 menunjukkan rasio utang terhadap PDB empat negara anggota ASEAN, yaitu Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Malaysia mengalami penurunan rasio utang terhadap PDB selama periode 1990-1995. Rasio utang terhadap PDB Filipina terlihat fluktuatif dan berkisar di angka 60 persen. Sementara itu, rasio utang terhadap PDB Singapura dan Thailand mengalami peningkatan sejak tahun 1998. Di antara keempat negara tersebut, Singapura memiliki rasio utang terhadap PDB paling besar.

%

%

Page 104: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

92

Gambar 4.4 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990 – 2002

0

20

40

60

80

100

120

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Filipina

Thailand

Malaysia

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.5 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990 – 2003

0

10

20

30

40

50

60

70

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

Georgia

India

0

20

40

60

80

100

120

140

160

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Israel

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

%

%

%

Page 105: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

93

Rasio utang terhadap PDB beberapa negara di Asia dapat dilihat pada Gambar 4.5. Selain Yordania dan Israel, keenam negara lainnya memiliki rasio utang terhadap PDB yang berada di bawah level 100 persen, di mana Georgia dan Oman merupakan negara dengan rasio utang terhadap PDB paling kecil. Gambar 4.5 juga menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB Yordania mengalami penurunan yang signifikan. Bahrain, India dan Nepal terlihat mengalami penurunan rasio utang terhadap PDB, sementara rasio utang terhadap PDB Oman dan Nepal terlihat stabil.

Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB

Rasio defisit/surplus anggaran pemerintah terhadap PDB diestimasi berdasarkan formula berikut.

ttahunPDB

ttahunAnggaranDefisitttahunPDBterhadapAnggaranrplusDefisit/SuRasio = (4.2)

Rasio defisit/surplus anggaran pemerintah terhadap PDB di beberapa negara OECD dapat dilihat pada Gambar 4.6. Nilai negatif menunjukkan rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB (dalam persen), sedangkan nilai positif menunjukkan rasio surplus anggaran pemerintah terhadap PDB (dalam persen). Terlihat bahwa pada beberapa tahun terakhir, negara-negara OECD memiliki surplus/defisit anggaran yang semakin kecil. Hal ini ditunjukkan oleh rasio defisit/surplus anggaran pemerintah terhadap PDB yang mendekati angka 0 persen.

Gambar 4.6 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD

1988 – 2002

-4

-2

0

2

4

6

8

10

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Australia

Austria

Kanada

Denmark

Jerman

Korea

%

Page 106: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

94

Gambar 4.6 (Lanjutan)

-5

-4-3

-2

-1

01

2

3

45

6

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Inggris

Amerika

Polandia

Spanyol

Belanda

Norw egia

Sumber: GFS dan IFS, diolah Sementara itu, rasio defisit/surplus anggaran pemerintah terhadap PDB di beberapa negara Emerging Market berfluktuasi setiap tahun, utamanya Peru. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.7. Chili pada awalnya memiliki surplus anggaran, namun kemudian mengalami defisit anggaran pemerintah pada tahun 1999, sebesar -1,37 persen. Sementara itu, Turki mengalami defisit anggaran pemerintah selama periode 1990-1997.

Gambar 4.7

Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990 – 2001

-10

-8

-6

-4

-2

0

2

4

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001Peru

Turki

Chili

Sumber: GFS dan IFS, diolah

%

%

Page 107: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

95

Gambar 4.8 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC

1984 – 2000

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

1984 1987 1990 1993 1996 1999

Ethiopia

Sierra Leone

Bolivia

Yaman

Ghana

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Pantai Gading

Kenya

Burkina Faso

Rw anda

Senegal

Sumber: GFS dan IFS, diolah Negara-negara HIPC secara umum mengalami defisit anggaran pemerintah. Pada Gambar 4.8 terlihat bahwa rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB untuk Ethiopia mengalami fluktuasi setiap tahun. Dari kelompok negara ini, Kenya memiliki rasio defisit anggaran yang paling fluktuatif. Sementara itu, Bolivia memiliki rasio surplus anggaran terhadap PDB cukup tinggi, yaitu di atas 15 persen.

Gambar 4.9 menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara ASEAN yang memiliki surplus anggaran pemerintah. Rasio surplus anggaran pemerintah terhadap PDB untuk Singapura cenderung stabil, kemudian mengalami kenaikan dari 0,18 persen pada tahun 1998 menjadi 4,59 persen pada tahun 1999. Sebelum krisis, Thailand mengalami surplus anggaran pemerintah, namun sejak krisis 1997, negara ini mengalami defisit anggaran. Rasio surplus anggaran pemerintah Thailand pada tahun 1996 sebesar 2,41 persen, sementara pada tahun 1997, rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB untuk Thailand sebesar 2,01 persen. Rasio ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan,

%

%

Page 108: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

96

hingga mencapai 10,32 persen pada tahun 1999. Sementara itu, rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB untuk Filipina cukup stabil, bahkan mengalami surplus anggaran selama periode 1993 -1997.

Gambar 4.9

Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN 1990 – 2002

-15

-10

-5

0

5

10

15

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Filipina

Thailand

Malaysia

Vietnam

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah Secara umum, negara-negara di Asia mengalami defisit anggaran pemerintah. Rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB di beberapa negara Asia dapat dilihat pada Gambar 4.10. Oman mengalami penurunan rasio defisit terhadap PDB, dari 12,21 persen pada tahun 1992, menjadi 1,59 persen pada tahun 1997. Rasio defisit anggaran terhadap PDB Oman kembali meningkat menjadi 8,21 pada tahun 1999. Selama periode 1992-1995, Yordania mengalami surplus anggaran pemerintah, namun kemudian mengalami defisit sejak tahun 1996. India, Bahrain dan China memiliki rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB yang cenderung stabil setiap tahun. Sementara itu, Bhutan, Iran dan Oman memiliki rasio defisit/surplus anggaran pemerintah terhadap PDB yang fluktuatif.

Gambar 4.10 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia

1990 – 2002

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

China Macao

China

Georgia

India

%

%

Page 109: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

97

Gambar 4.10 (Lanjutan)

-14

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Iran

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB

Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB diestimasi berdasarkan formula berikut.

t tahun PDB

t tahun utang bunga Pembayarant tahun PDBterhadapUtang Bunga Pembayaran Rasio = (4.3)

Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB di negara-negara OECD berada di bawah level 10 persen. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.11. Negara yang memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling besar adalah Denmark, sedangkan negara yang memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling kecil adalah Korea. Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB Denmark, Austria, Kanada, Inggris, Amerika Serikat dan Norwegia terlihat mengalami penurunan. Sementara itu, rasio pembayaran utang terhadap PDB Jerman, Korea dan Polandia mengalami peningkatan.

Gambar 4.11 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988 – 2002

0

1

2

3

4

5

6

7

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Australia

Austria

Kanada

Denmark

Jerman

Korea

%

%

Page 110: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

98

Gambar 4.11 (Lanjutan)

0

1

2

3

4

5

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Inggris

Amerika

Polandia

Spanyol

Belanda

Norw egia

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.12 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market

1990 – 2001

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Chili

Israel

Peru

Turki

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Perkembangan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB di beberapa negara Emerging Market dapat dilihat pada Gambar 4.12. Chili memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling kecil, yaitu sebesar 0,33 persen pada tahun 1999. Rasio ini cenderung menurun untuk kasus Chili, Israel dan Peru. Sementara rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB Turki mengalami peningkatan yang signifikan. Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB Turki mencapai 13,85 persen pada tahun 1999.

Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB di beberapa negara HIPC dapat dilihat pada Gambar 4.13. Terlihat bahwa Kenya, Yaman dan Sierra Leone mempunyai rasio pembayaran bunga utang yang berfluktuasi. Gambar 4.13 ini sekaligus menunjukkan bahwa data yang dimiliki oleh negara-negara HIPC kurang lengkap, sehingga rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB setiap negara HIPC tidak dapat diestimasi untuk setiap periode.

%

%

Page 111: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

99

Gambar 4.13 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984 – 2001

0

1

2

3

4

5

6

7

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Ethiopia

Sierra Leone

Bolivia

Yaman

Ghana

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Pantai Gading

Kenya

Burkina Faso

Rw anda

Senegal

Sumber: GFS dan IFS, diolah Di antara kelima negara ASEAN pada Gambar 4.14, Filipina memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB yang paling besar. Pada gambar tersebut terlihat bahwa rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB negara ASEAN mengalami penurunan, kecuali Filipina dan Thailand. Pada tahun 2002, negara yang memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling kecil adalah Singapura, yaitu sebesar 0,29 persen.

%

%

Page 112: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

100

Gambar 4.14 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990– 2002

0

1

2

3

4

5

6

7

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Filipina

Thailand

Malaysia

Vietnam

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB beberapa negara Asia dapat dilihat pada Gambar 4.15. Terlihat bahwa rasio ini cenderung stabil, kecuali kasus Bhutan. India memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling besar, yaitu sebesar 4,49 persen pada tahun 1999. Sementara itu, Iran dan Georgia memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB paling kecil.

Gambar 4.15

Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990 – 2002

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

Georgia

India

%

%

Page 113: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

101

Gambar 4.15 (Lanjutan)

0

1

2

3

4

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Iran

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Rasio keseimbangan primer terhadap PDB merupakan rasio yang mampu menunjukkan seberapa besar kemampuan anggaran pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Rasio keseimbangan primer (primary balance) terhadap PDB diestimasi berdasarkan formula berikut:

t tahun PDB

t tahun Primer anKeseimbangt tahun PDBterhadapPrimer anKeseimbang Rasio = (4.4)

Gambar 4.16

Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988 – 2002

-4

-2

0

2

4

6

8

10

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Australia

Austria

Kanada

Denmark

Jerman

Korea

%

%

Page 114: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

102

Gambar 4.16 (Lanjutan)

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Inggris

Amerika

Polandia

Spanyol

Belanda

Norw egia

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio keseimbangan primer terhadap PDB di beberapa negara OECD dapat dilihat pada Gambar 4.16. Beberapa tahun terakhir, ada beberapa negara yang menaikkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan ada pula yang menurunkan rasio ini. Negara yang menaikkan rasio ini adalah Australia, Korea, Jerman, dan Spanyol. Sementara itu, negara yang menurunkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB adalah Amerika, Norwegia dan Polandia. Hal ini disebabkan karena rasio utang terhadap PDB negara-negara tersebut mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir.

Secara umum, rasio keseimbangan primer terhadap PDB di beberapa negara Emerging Market mengalami fluktuasi setiap tahun. Negara yang paling fluktuatif adalah Hungaria dan Turki, sedangkan yang memiliki rasio keseimbangan primer terhadap PDB relatif stabil adalah Chili. Namun, rasio keseimbangan primer terhadap PDB Chili beberapa tahun terakhir menunjukkan tren menurun. Rasio keseimbangan primer terhadap PDB Peru juga mengalami fluktuasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.17.

Gambar 4.17 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market

1990 – 1999

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Chili

Hungaria

Peru

Turki

Sumber: GFS dan IFS, diolah

%

%

Page 115: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

103

Gambar 4.18 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984 – 2002

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Sierra Leone

Kenya

Burkina Faso

Rw anda

Senegal

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Bolivia

Yaman

Ethiopia

PantaiGading

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio keseimbangan primer terhadap PDB di beberapa negara HIPC ditampilkan dalam Gambar 4.18. Bolivia mempunyai rasio keseimbangan primer yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara HIPC lainnya. Sebagian besar nilai rasio keseimbangan primer negara-negara HIPC berkisar pada nilai -10 sampai dengan 10 persen, kecuali Bolivia yang memiliki rasio keseimbangan primer terhadap PDB di atas 20 persen pada tahun 2001. Negara yang memiliki rasio keseimbangan primer terhadap PDB cukup fluktuatif adalah Kenya, Sierra Leone dan Yaman. Selama beberapa tahun terakhir, sebagian besar negara HIPC menurunkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Negara-negara tersebut adalah Kenya, Senegal, Yaman dan Ethiopia.

Secara umum, negara-negara ASEAN menurunkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Hal ini terutama dialami oleh Filipina dan Vietnam. Thailand dan Singapura juga menurunkan rasio ini, meskipun pernah menaikkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB selama periode krisis. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.19.

%

%

Page 116: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

104

Gambar 4.19 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN

1990 – 2002

-15

-10

-5

0

5

10

15

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Filipina

Thailand

Malaysia

Vietnam

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah Sementara itu, sebagian besar negara di Asia pada Gambar 4.20 memiliki rasio keseimbangan primer terhadap PDB bernilai negatif dan cenderung mendekati angka 0 persen. Meskipun demikian, nilai rasio keseimbangan primer yang dimiliki oleh Bhutan berada jauh di atas 0 persen.

Gambar 4.20

Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Asia 1990 – 2002

-10

-5

0

5

10

15

20

25

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

China Macao

Georgia

India

%

%

Page 117: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

105

Gambar 4.20 (Lanjutan)

-15

-10

-5

0

5

10

15

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Iran

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang

Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang merupakan rasio yang menunjukkan besarnya perbandingan antara bunga utang yang harus dibayarkan dengan total utang. Rasio ini dihitung dengan menggunakan formula berikut.

UtangTotalUtangBungaPembayaranUtangTotalterhadapUtangBungaPembayaranRasio = (4.5)

Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang di beberapa negara OECD terlihat dalam Gambar 4.21. Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang tertinggi dimiliki oleh Australia, sedangkan rasio terendah dimiliki oleh Korea dan Kanada. Secara umum, rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang negara OECD menunjukkan tren menurun, kecuali Australia. Khusus Belanda, memiliki Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang yang cukup stabil.

Gambar 4.21 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara OECD

1988 – 2002

02468

101214161820

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Australia

Inggris

Korea

Spanyol

Norw egia

Belanda

%

%

Page 118: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

106

Gambar 4.21 (Lanjutan)

4

5

6

7

8

9

10

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Austria

Denmark

Kanada

Amerika

Polandia

Jerman

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Pada Tabel 4.1, diperlihatkan angka rasio pembayaran bunga utang di beberapa negara Emerging Market. Pada kelompok negara ini, rasio tertinggi dimiliki oleh Turki. Rasio pembayaran bunga utang Turki mencapai 25,71 persen pada tahun 1999. Sementara itu, Chili memiliki rasio pembayaran utang terhadap total utang yang cukup rendah, yaitu 2,34 persen pada tahun 1999.

Tabel 4.1 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang

di Beberapa Negara Emerging Market, 1992-1999

Negara 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Chili 4,18 4,02 3,85 3,80 3,52 3,07 5,01 2,34 Hungaria 6,86 5,00 2,96 10,57 11,26 15,38 12,54 12,17 Peru 5,54 5,93 6,52 6,53 4,70 4,64 4,84 4,92 Turki 7,26 10,34 10,42 7,59 8,85 17,85 28,34 25,71

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Sebagian besar negara HIPC memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang kurang dari 5 persen, kecuali Sierra Leone. Pada tahun 1991, rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang Sierra Leone berada di atas 5 persen. Rasio ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB negara-negara OECD. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah utang yang ditanggung oleh negara HIPC relatif lebih rendah secara nominal. Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang beberapa negara HIPC dapat dilihat pada Gambar 4.22.

Secara umum, rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang negara-negara Asia berada di bawah level 10 persen. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.23. Negara yang memiliki rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang yang cukup stabil adalah India, Yordania dan Nepal. Sementara itu, Oman mengalami penurunan tajam rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang pada tahun 1999, meskipun kembali naik pada tahun 2000.

%

Page 119: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

107

Gambar 4.22 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara HIPC

1990 – 2001

0

1

2

3

4

5

6

1990 1992 1994 1996 1998 2000

Ethiopia

Sierra Leone

Bolivia

Pantai Gading

Rw anda

Senegal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.23 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara Asia

1990 – 2002

0

2

4

6

8

10

12

14

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

Georgia

India

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.24 menunjukkan nilai rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang di beberapa negara ASEAN. Pada negara ASEAN, nilai rasio pembayaran utang terhadap total utang terkecil dimiliki oleh Singapura, yaitu sebesar 0,65 persen. Rasio pembayaran bunga utang terhadap total utang Thailand dan Filipina terlihat mengalami penurunan, meskipun beberapa kali kembali mengalami peningkatan.

%

%

Page 120: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

108

Gambar 4.24 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara ASEAN

1990 – 2002

0

2

4

6

8

10

12

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Filipina

Thailand

Malaysia

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB

Rasio total pengeluaran terhadap PDB menunjukkan besarnya perbandingan jumlah pengeluaran suatu negara terhadap PDB negara tersebut. Perhitungan angka rasio ini dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut.

PDB

nPengeluaraTotalPDBterhadapnPengeluaraTotalRasio = (4.6)

Besarnya rasio total pengeluaran terhadap PDB di beberapa negara OECD ditunjukkan dalam Gambar 4.25. Terlihat bahwa rasio ini cenderung stabil untuk hampir semua negara OECD. Pada gambar tersebut, rasio total pengeluaran terhadap PDB terkecil dimiliki oleh Korea, Kanada dan Amerika Serikat. Sebaliknya, rasio total pengeluaran terhadap PDB terbesar dimiliki oleh Belanda.

Gambar 4.25 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD

1988 – 2002

0

10

20

30

40

50

60

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Inggris

Amerika

Polandia

Spanyol

Belanda

Norw egia

%

%

Page 121: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

109

Gambar 4.25 (Lanjutan)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Australia

Austria

Kanada

Denmark

Jerman

Korea

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio total pengeluaran terhadap PDB beberapa negara Emerging Market ditunjukkan oleh Tabel 4.2. Rasio total pengeluaran terhadap PDB terbesar dimiliki oleh Hungaria, sementara rasio total pengeluaran terhadap PDB terkecil dimiliki oleh Peru.

Tabel 4.2 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market

1992-1999 Negara 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Chili 19,50 19,80 18,81 17,94 19,11 19,40 20,79 22,19 Hungaria 55,22 56,05 53,46 49,39 43,86 43,87 44,84 42,92 Peru 18,65 18,13 18,52 19,07 18,06 17,34 18,15 19,66 Turki 20,60 24,73 23,32 22,23 26,85 29,88 32,10 38,06

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.26

Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990 – 2002

0

20

40

60

80

100

120

140

160

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Bahrain

Bhutan

China Macao

China

Georgia

India

%

%

Page 122: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

110

Gambar 4.26 (Lanjutan)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Iran

Israel

Yordania

Oman

Nepal

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Gambar 4.26 menunjukkan nilai rasio total pengeluaran terhadap PDB di beberapa negara Asia. Secara umum, negara-negara Asia memiliki rasio total pengeluaran terhadap PDB yang relatif stabil. Israel, China dan Georgia memiliki rasio total pengeluaran terhadap PDB terkecil, sedangkan rasio total pengeluaran terhadap PDB terbesar dimiliki oleh Bhutan. Gambar 4.27 menunjukkan rasio total pengeluaran terhadap PDB di beberapa negara ASEAN. Rasio total pengeluaran terhadap PDB negara ASEAN cenderung stabil. Berdasarkan Gambar 4.27, terlihat bahwa rasio pengeluaran terhadap PDB negara-negara ASEAN beberapa tahun terakhir berkisar di level 20 persen.

Gambar 4.27

Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN 1990 – 2002

0

5

10

15

20

25

30

35

1990 1992 1994 1996 1998 2000

Filipina

Thailand

Malaysia

Vietnam

Singapura

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio total pengeluaran terhadap PDB beberapa negara HIPC dapat dilihat pada Gambar 4.28. terlihat bahwa rasio total pengeluaran terhadap PDB negara HIPC cukup fluktuatif, misalnya Yaman, Sierra Leone dan Kenya.

%

%

Page 123: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

111

Gambar 4.28 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984 – 2000

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1990 1992 1994 1996 1998 2000

Ethiopia

Sierra Leone

Yaman

Ghana

0

5

10

15

20

25

30

35

1990 1992 1994 1996 1998 2000

Pantai Gading

Kenya

Rw anda

Senegal

Burkina Faso

Sumber: GFS dan IFS, diolah

Rasio Utang terhadap Penerimaan

Rasio utang terhadap penerimaan menunjukkan besarnya persentase utang terhadap tingkat penerimaan. Rasio utang terhadap penerimaan dihitung dengan menggunakan formula berikut.

Penerimaan Total

Utang TotalPenerimaan terhadap Utang Rasio = (4.7)

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM, nilai rasio utang terhadap penerimaan ditampilkan dalam Tabel 4.3. Berdasarkan Tabel 4.3, rasio utang terhadap penerimaan tertinggi terdapat pada negara HIPC, yaitu Sierra Leonne. Pada tahun 1999, rasio utang terhadap penerimaan Sierra Leone sebesar 4.481,31 persen. Sementara itu, rasio utang terhadap penerimaan terendah terdapat di kelompok negara Emerging Market, yaitu Israel. Pada tahun 1999, rasio utang terhadap penerimaan Israel sebesar 0,24 persen.

%

%

Page 124: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

112

Tabel 4.3 Rasio Utang terhadap Penerimaan Beberapa Kelompok Negara, 1992-1999

Negara 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 HIPC

Ethiopia 595,42 874,75 948,08 669,74 571,15 468,46 463,45 488,31 Sierra Leone 1085,93 786,07 696,01 1104,92 1445,84 1162,86 2557,28 3481,31

OECD Austria 133,55 142,53 151,04 153,00 154,37 156,44 159,28 165,75 Kanada 342,12 374,85 377,06 385,55 375,43 340,89 330,29 308,10 Meksiko 182,32 169,79 236,26 266,94 204,49 174,95 213,55 185,40 Norwegia 56,81 82,36 78,80 71,89 58,27 50,71 47,60 49,47 Swedia 99,33 153,70 185,79 182,76 166,73 163,21 166,32 142,93 Amerika Serikat 259,82 267,35 259,37 251,38 246,63 227,22 207,42 190,71 ASEAN Filipina 33,73 26,15 35,12 30,95 35,48 34,81 26,03 27,04 Singapura 307,83 254,02 270,47 284,24 260,33 266,00 306,92 318,62 Thailand 61,26 46,63 31,29 24,83 19,45 25,04 66,24 128,99 Asia Bahrain 65,43 57,45 62,07 55,79 46,85 46,99 73,00 69,75 India 383,96 446,63 413,52 387,42 371,02 418,80 455,54 436,71 Yordania 496,62 435,80 436,50 371,71 381,73 392,89 399,02 377,19 Nepal 643,12 618,24 624,78 536,40 516,41 476,11 542,82 561,17 Oman 108,10 96,62 105,48 97,77 95,23 77,47 109,15 1149,63 Emerging Market Chilli 148,68 136,81 114,02 88,21 71,32 62,55 60,43 66,74 Hungaria 166,16 187,21 472,27 193,42 173,14 160,44 160,80 161,13 Israel 0,31 0,31 0,29 0,28 0,26 0,25 0,25 0,24 Peru 527,63 464,25 333,82 300,05 287,96 214,75 216,71 256,45 Turki 209,79 187,93 228,26 198,73 206,64 202,41 175,95 n.a Indonesia 219,16 219,57 201,24 174,12 141,11 399,64 335,25 250,32

Sumber: GFS dan IFS, diolah Untuk negara OECD, rasio utang terhadap penerimaan tertinggi dimiliki oleh Kanada, sedangkan rasio terendah dimiliki oleh Norwegia. Di antara tiga negara ASEAN pada Tabel 4.3, Singapura memiliki rasio utang terhadap penerimaan paling besar, yaitu sebesar 318,62 persen pada tahun 1999. Filipina memiliki rasio utang terhadap penerimaan paling kecil di antara ketiga negara tersebut, yaitu sebesar 27,04 persen. Untuk negara Asia, rasio utang terhadap penerimaan tertinggi dimiliki oleh Oman. Oman memiliki rasio utang terhadap penerimaan terbesar kedua setelah Sierra Leone. Negara yang memiliki rasio utang terhadap penerimaan paling kecil di negara Asia adalah Bahrain, yaitu sebesar 69,75 persen pada tahun 1999. Sementara itu, Peru merupakan negara Emerging Market yang memiliki rasio utang terhadap penerimaan paling besar, yaitu 256,45 persen.

Indonesia memiliki rasio utang terhadap penerimaan sebesar 242,55 persen. Jika dibandingkan dengan negara-negara dalam Tabel 4.3, rasio utang terhadap penerimaan Indonesia masih dalam batas wajar, meski sempat terjadi peningkatan tajam pada tahun 1997 karena krisis ekonomi.

Page 125: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

113

4.4 Data Indonesia

Tim PPE FE UGM mengumpulkan data Indonesia dengan periode data sepanjang mungkin. Dalam pengumpulan data tersebut, Tim PPE FE UGM menemui kesulitan karena ditemukan perbedaan data suatu variabel yang berasal dari dua sumber yang berbeda. Hal ini terjadi pada data yang berkaitan dengan utang dalam negeri, utang luar negeri dan keseimbangan primer.

Untuk data utang dalam negeri, terdapat perbedaan jumlah nominal yang cukup besar antara data utang dalam negeri dari IFS, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Data utang dalam negeri Indonesia dari IFS merupakan data dari tahun 1972 sampai 1999. Data dari Departemen Keuangan adalah data tahun 1998 sampai tahun 2004. Sedangkan data dari Bank Indonesia hanya tersedia untuk tahun 1990 dan 1999 sampai dengan 2003. Apabila ditinjau dari nilai nominal, maka jumlah utang dalam negeri Indonesia yang terdapat di IFS lebih kecil dibandingkan dengan data dari Departemen Keuangan. Sementara itu, data dari Departemen Keuangan lebih kecil dibandingkan dengan data dari Bank Indonesia. Dengan demikian, perbedaan data utang dalam negeri Indonesia dituliskan sebagai berikut.

Utang DN IFS < utang DN Departemen Keuangan < utang DN Bank Indonesia

Demikian juga dengan data utang luar negeri. Terdapat perbedaan untuk ketiga sumber data tersebut. Data utang luar negeri Indonesia yang dicatat oleh Bank Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan data utang luar negeri Indonesia dalam IFS. Sedangkan data IFS sendiri lebih kecil dibandingkan dengan data Departemen Keuangan, kecuali untuk data tahun 1997. Dengan demikian, perbedaan data utang luar negeri Indonesia dituliskan sebagai berikut.

Utang LN Bank Indonesia < Utang LN IFS < utang LN Departemen Keuangan

(kecuali tahun 1997)

Untuk data keseimbangan primer, Tim PPE FE UGM menemukan perbedaan antara data IFS dengan data Departemen Keuangan. Untuk tahun 1997, data rasio keseimbangan primer terhadap PDB Indonesia menunjukkan angka -0,76 persen, sedangkan data Departemen Keuangan menunjukkan angka 2,68 persen.

Karena terdapat perbedaan data seperti yang disebutkan di atas, maka Tim PPE FE UGM memutuskan untuk menggunakan sumber data untuk Indonesia sebagai berikut.

1. Data PDB menggunakan data IFS, namun untuk tahun 2003 dan 2004 menggunakan data dari Departemen Keuangan

2. Data Ekspor menggunakan data IFS

3. Data total utang untuk tahun 1972-1995 menggunakan data IFS dan GFS, sedangkan data total utang tahun 1996-2004 menggunakan data dari Dapartemen Keuangan

4. Data utang dalam negeri tahun 1972-1997 menggunakan data IFS dan GFS, sedangkan data utang dalam negeri tahun 1998-2004 menggunakan data dari Departemen Keuangan.

5. Data utang luar negeri, tahun tahun 1972-1995 menggunkan data IFS dan GFS, sedangkan tahun 1996-2004 menggunakan data Departemen Keuangan.

Page 126: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

114

6. Data keseimbangan primer, dihitung menggunakan komponen data overall surplus/deficit dan pembayaran bunga, menggunakan data dari Departemen Keuangan.

Rasio Utang terhadap PDB Indonesia Sebelum krisis, rasio utang terhadap PDB Indonesia cukup rendah dan berfluktuasi di bawah level 60 persen. Pada saat krisis, rasio ini mengalami peningkatan tajam, hingga mencapai 99,28 persen pada tahun 1999. Setelah itu, rasio utang terhadap PDB Indonesia menurun dengan cepat dan diprediksikan akan mencapai angka 56,63 persen pada tahun 2004. Perkembangan rasio utang terhadap PDB Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.29.

Gambar 4.29 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1980 – 2004

Keterangan: Data PDB merupakan data PDB tahun dasar 1993 *) angka prediksi Sumber: Pusat Analisis Makroekonomi dan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2005, Departemen

Keuangan Republik Indonesia.

Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia Gambar 4.30 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami surplus anggaran selama periode 1992-1997. Pada tahun 1997, rasio surplus anggaran pemerintah terhadap PDB Indonesia sebesar 2,41 persen. Setelah krisis, Indonesia mengalami defisit anggaran pemerintah. Hingga tahun 2002, rasio defisit terhadap PDB Indonesia mencapai 2,79 persen.

0

20

40

60

80

100

120

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004*

% Utang Dalam Negeri/PDB % Utang Luar Negeri/PDB

%

Page 127: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

115

Gambar 4.30 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia, 1980 – 2004

Keterangan: Data PDB merupakan data PDB tahun dasar 1993 *) angka prediksi Sumber: Pusat Analisis Makroekonomi dan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2005, Departemen

Keuangan Republik Indonesia.

Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia Perkembangan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.31. Rasio ini tidak berbeda jauh dengan negara lain. Pada tahun 1996, rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB Indonesia telah mencapai 1,32 persen. Setelah krisis, rasio ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan mencapai rasio tertinggi sebesar 6,01 persen pada tahun 2001. Rasio ini sedikit mengalami penurunan pada tahun 2002, menjadi 5,58 persen.

Gambar 4.31 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia, 1980 – 2004

Keterangan: Data PDB merupakan data PDB tahun dasar 1993 *) angka prediksi Sumber: Pusat Analisis Makroekonomi dan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2005,

Departemen Keuangan Republik Indonesia.

-15

-10

-5

0

5

10

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004*

%

0

1

2

3

4

5

6

7

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004*

%

Page 128: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

116

Gambar 4.32 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1980 – 2004

Keterangan: Data PDB merupakan data PDB tahun dasar 1993

*) angka prediksi Sumber: Pusat Analisis Makroekonomi dan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2005,

Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Indonesia memiliki rasio keseimbangan primer terhadap PDB yang cukup tinggi selama periode 1990-1995. Rasio ini mencapai 8,02 persen pada tahun 1995. Namun mulai tahun 1996 keseimbangan primer mulai turun. Sejak saat itu, rasio keseimbangan primer terhadap PDB Indonesia selalu berkisar antara 2-4 persen. Untuk tahun 2004, diperkirakan rasio ini akan mencapai angka 1,24 persen.

Biaya Pinjaman Dalam Negeri Tim PPE FE UGM mengasumsikan bahwa biaya pinjaman dalam negeri merupakan rata-rata tertimbang biaya bunga utang obligasi dalam negeri pemerintah R.I. Tim PPE FE UGM menggunakan data Outstanding Government Bonds per 28 Oktober 2004 dari website Departemen Keuangan R.I. Dalam analisis ini, biaya pinjaman dalam negeri merupakan rata-rata tertimbang bunga obligasi dua jenis obligasi pemerintah, yaitu obligasi fixed rate dan obligasi variable rate.

Tim PPE FE UGM mengestimasi rata-rata bunga pinjaman fixed rate dan variable rate untuk membandingkan jenis utang domestik mana yang memiliki suku bunga lebih rendah. Rata-rata bunga pinjaman fixed rate dan variable rate dihitung berdasarkan formula sebagai berikut.

∑=

=

=n

1ii

n

1iii

p

prri (4.8)

∑=

=

=m

1jj

m

1jjj

p

prr j (4.9)

-15

-10

-5

0

5

10

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004*

%

Page 129: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

117

Di mana:

r i : rata-rata bunga pinjaman fixed rate r j : rata-rata bunga pinjaman variable rate ri: tingkat suku bunga obligasi fixed rate jenis i, i: 1,2,…..23. pi: pokok pinjaman obligasi fixed rate jenis i, i: 1,2,…..23 ri: tingkat suku bunga obligasi variable rate jenis j, j :1,2,….26 pi: pokok pinjaman obligasi variable rate jenis j, j :1,2,….26

Secara matematis, rata-rata tertimbang bunga obligasi pemerintah dapat dituliskan sebagai berikut.

100%x

pp

prpr

rm

1jj

n

1ii

jj

m

1j

n

1iii

d

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎡∑∑

∑+∑

+

=

==

== (4.10)

atau

∑+∑

∑+∑=

==

==m

1jj

n

1ii

m

1jjj

n

1iii

dpp

prprr (4.11)

Di mana:

rd: rata-rata tertimbang bunga pinjaman dalam negeri

Hasil estimasi yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa rata-rata bunga pinjaman fixed rate ( r i) dan variable rate( r j) masing-masing sebesar 12,98 persen dan 7,31 persen. Dengan demikian, rata-rata bunga pinjaman fixed rate lebih besar dibandingkan rata-rata bunga pinjaman variable rate.

Rata-rata tertimbang biaya pinjaman dalam negeri Pemerintah Republik Indonesia adalah sebesar 9,81 persen per tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Dalam Negeri

Keterangan Nilai Total pokok pinjaman obligasi fixed rate (Rp Juta) 176.982.329 Total pokok pinjaman obligasi variable rate (Rp Juta) 223.642.576 Total pembayaran bunga obligasi fixed rate (Rp Juta) 22.966.296,82 Total pembayaran bunga obligasi variable rate (Rp Juta) 16.343.771,44 Total pinjaman dalam negeri (Rp Juta) 400.624.905 Total pembayaran bunga (Rp Juta) 39.310.068,26 Rata-rata tertimbang bunga pinjaman dalam negeri (%) 9,81

Sumber: Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia, diolah.

Biaya Pinjaman Luar Negeri

Sebagaimana halnya perhitungan biaya pinjaman dalam negeri, biaya pinjaman luar negeri juga merupakan rata-rata tertimbang dari bunga utang luar negeri. Dalam hal ini, terdapat dua jenis utang luar negeri, yaitu official debt dan market debt. Market debt Indonesia berupa obligasi internasional RI0014. Data ini juga diperoleh dari data Outstanding Government Bonds per 28 Oktober 2004 dari website Departemen

Page 130: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

118

Keuangan R.I. Obligasi ini memiliki jangka waktu jatuh tempo 10 tahun, terhitung sejak 20 Maret 2004 sampai 10 Maret 2014 dengan tingkat suku bunga 6,75 persen per tahun.

Sementara itu, biaya bunga official debt diperoleh dengan menghitung persentase jumlah pembayaran bunga periode t terhadap stok official debt periode t-1. Hal ini berdasarkan argumen bahwa bunga pinjaman pada periode t-1 akan dibayarkan pada periode t. Dalam analisis ini, Tim PPE FE UGM mengestimasi biaya pinjaman official debt untuk tahun 2004 dengan menggunakan formula sebagai berikut.

100%xStok

BungaPembayaranro ⎥

⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡=

2003

2004DebtOfficial

DebtOfficial (4.12)

di mana ro adalah tingkat suku bunga official debt pada tahun 2004. Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa ro sebesar 5,39 persen.

Selanjutnya, biaya pinjaman utang luar negeri diestimasi sebagai rata-rata tertimbang bunga official debt dan RI0014. Secara matematis, perhitungan biaya pinjaman luar negeri dituliskan sebagai berikut.

100%xpp

prprr

mo

mmoof ⎥

⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡+

+= (4.13)

Di mana:

rf: rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri ro: tingkat suku bunga official debt po: stok official debt rm: tingkat suku bunga RI0014 pm: pokok pinjaman RI0014

Hasil estimasi yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa rata-rata tertimbang bunga utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia sebesar 3,43 persen. Hasil estimasi ini dapat dilihat pada Tabel 4.5. Bunga utang luar negeri relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata tertimbang bunga utang dalam negeri, yang sebesar 9,81 persen.

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Luar Negeri

Keterangan Nilai Pokok pinjaman obligasi RI0014 (Rp Juta) 9.152.000

Total pokok pinjaman official debt (Rp Juta) 705.988.000

Pembayaran bunga obligasi RI0014 (Rp Juta) 617.760,00 Total pembayaran bunga official debt (Rp Juta) 23.932.993,20 Total pinjaman luar negeri (Rp Juta) 715.140.000,00 Total pembayaran bunga luar negeri (Rp Juta) 24550753,20 Rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri (%) 3,433

Sumber: Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara dan Pusat Analisis Makroekonomi, Departemen Keuangan Republik Indonesia, diolah.

Rata-rata tertimbang bunga utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia relatif kecil. Namun ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan sumber pembiayaan yang lebih murah atau efisien. Selain rata-rata tertimbang bunga utang luar negeri, Tim PPE FE UGM juga mempertimbangkan faktor risiko dalam estimasi biaya pinjaman luar negeri dan conditionalities yang harus dipenuhi oleh Pemerintah RI untuk memperoleh pinjaman luar negeri.

Page 131: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

119

Faktor risiko dianggap penting berdasarkan pertimbangan bahwa investor asing menghadapi country risk ketika menanamkan modal di Indonesia, salah satunya adalah risiko perubahan nilai tukar (exchange rate risk), sehingga risiko nilai tukar tersebut dikompensasi dengan forward discount.

Tim PPE FE UGM mengestimasi forward discount berdasarkan risiko nilai tukar dengan menggunakan informasi kuantitatif berupa data bulanan nilai tukar spot dan nilai tukar forward 1 tahun selama periode Februari 2004-Oktober 2005 dari Bloomberg Online. Tim PPE FE UGM melakukan kalkulasi rata-rata forward discount selama periode tersebut berdasarkan formula sebagai berikut.

∑= ⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

⎥⎥

⎢⎢

⎡−

⎟⎟⎟

⎜⎜⎜

⎛=

n

1t t

tbar

100%x1s

f

n

1FD (4.14)

Di mana:

FDbar: rata-rata forward discount ft: kurs forward pada periode t, t :1,2,….., n st: kurs spot pada periode t, t :1,2,….., n

Forward discount ini mengimplikasikan besarnya depresiasi yang diprediksi akan terjadi pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Hasil perhitungan forward discount dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil Estimasi Forward Discount dan Biaya Pinjaman Luar Negeri

Keterangan

Spot Rate (Rp)

Forward Rate (Rp)

Forward Discount (%)

27 September 2004 8.453 8.948 5,86 31 Maret 2004 8.564 9.081 6,04 30 April 2004 8.705 9.170 5,34 31 Mei 2004 9.268 9.888 6,69 30 Juni 2004 9.400 10.065 7,07 30 Juli 2004 9.130 9.700 6,24 31 Agustus 2004 9.370 9.795 4,54 30 September 2004 9.155 9.605 4,92 29 Oktober 2004 9.088 9.533 4,90 Rata-rata Forward Discount (FD) 5,732 Rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri (%) 3,433 Biaya pinjaman luar negeri (%) 9,165

Sumber: Bloomberg Online dan Departemen Keuangan Republik Indonesia, diolah. Forward discount utang Iuar negeri Indonesia pada tabel di atas sebesar 5,732 persen. Untuk mengetahui biaya pinjaman luar negeri, maka forward discount ini ditambahkan dengan rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri. Pada tabel di atas, biaya pinjaman luar negeri Indonesia sebesar 9,165 persen.

Pada tahap selanjutnya Tim PPE FE UGM melakukan estimasi rata-rata biaya pinjaman total Pemerintah Republik Indonesia. Rata-rata biaya pinjaman total dihitung sebagai rata-rata tertimbang biaya pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri (termasuk forward discount).

PinjamanTotal

negeriluarpinjaman)FD(rnegeridalampinjamanrr barfdt

∑∑ ++= (4.15)

Page 132: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

120

Hasil estimasi Persamaan 4.7 di atas dapat dilihat pada Tabel 4.7. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata biaya pinjaman Indonesia sebesar 9,40 persen.

Tabel 4.7

Hasil Estimasi Rata-rata Biaya Pinjaman

Ketarangan Nilai Total pinjaman dalam negeri (Rp Juta) 400.624.905 Rata-rata tertimbang bunga pinjaman dalam negeri (%) 9,81 Total pinjaman luar negeri (Rp Juta) 715.140.000

Rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri (%) 3,433 Forward Discount 5,732 Total Pinjaman (Rp Juta) 1.115.764.905 Rata-rata Biaya Pinjaman (%) 9,40

Sumber: Departemen Keuangan dan Bloomberg Online, diolah.

Page 133: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

121

5.1 Latar Belakang

Bab

5

ALTERNATIF TERBAIK

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN

JANGKA MENENGAH

HASIL STUDI EMPIRIS ALTERNATIF TERBAIK KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN JANGKA MENENGAH - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Bab ini membahas mengenai output pertama dari penelitian ini, yaitu mengenai hasil studi empiris alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah. Hasil empiris yang diperoleh merupakan hasil estimasi dan hasil dari berbagai simulasi yang telah dilakukan. Dalam estimasi, selain estimasi untuk Indonesia, dilakukan juga estimasi untuk negara-negara anggota OECD, HIPC, Emerging Market, dan ASEAN. Sedangkan untuk simulasi, hanya dilakukan untuk data Indonesia.

Permasalahan utama pemerintah suatu negara di bidang fiskal adalah menentukan rasio utang pemerintah yang berkesinambungan dengan pola penerimaan dan pengeluaran negara tersebut. Mengestimasi rasio utang pemerintah yang berkesinambungan merupakan hal yang sulit, sehingga terdapat kecenderungan pemerintah mengalami kegagalan untuk mempertahankannya. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai standar untuk menetapkan batasan atas utang yang berkesinambungan.

Pemerintah Indonesia, dalam UU Nomor 17 tahun 2003, menetapkan bahwa jumlah utang Pemerintah Indonesia maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dengan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB. Demikian pula dengan Pemerintah Daerah, utang Pemerintah Daerah maksimal 60 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut, dengan defisit maksimal 3 persen dari PDRB. Batasan ini merupakan batasan yang diadopsi dari aturan yang diterapkan Uni Eropa terhadap negara-negara anggotanya dan tidak diukur berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, perlu untuk diestimasi besar utang yang dapat ditanggung oleh

Page 134: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

122

Pemerintah Indonesia untuk kondisi perekonomian saat ini. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah Natural Debt Limit (NDL).

NDL merupakan batas yang dikendaki oleh pemerintah dimana pengeluaran ditekan pada tingkat yang minimum dan tidak menciptakan utang melebihi batas yang dapat dibayar. Mendoza dan Oviedo (2004) mendefinisikan Natural Debt Limit (NDL) sebagai nilai anuitas dari keseimbangan fiskal atau Primary Balance (PB) pada saat terjadi krisis fiskal. Krisis fiskal sendiri didefinisikan sebagai keadaan setelah adanya goncangan penerimaan pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut disesuaikan pada tingkat minimum dari periode yang panjang.

Implikasi penting dari konsep NDL ini adalah pemerintah menawarkan komitmen pemerintah kepada kreditur untuk tetap membayar utangnya, bahkan dalam kondisi krisis sekalipun. Komitmen ini didasarkan pada asumsi:

1. Pemerintah tidak menginginkan terjadinya collapse pada pengeluaran

2. Penerimaan pemerintah bersifat stokastik

3. Pasar contingent claims tidak lengkap

NDL akan lebih rendah pada suatu pemerintahan yang memiliki kondisi sebagai berikut.

1. Variabilitas penerimaan pemerintah yang lebih tinggi

2. Kurang fleksibel dalam menyesuaikan terhadap perubahan pengeluaran pemerintah

3. Pertumbuhan yang lebih rendah atau suku bunga riil yang lebih tinggi

NDL dipengaruhi oleh rasio penerimaan terhadap PDB, rasio pengeluaran terhadap PDB, suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan, walaupun dalam keadaan krisis fiskal. Secara umum, NDL diturunkan dari kemungkinan dinamis keseimbangan primer. Persamaan NDL dapat dituliskan sebagai berikut.

yrgtbbt −

−≡≤+

minmin

1 * (5.1)

Di mana:

1+tb : stok utang pemerintah pada periode t+1

*b : Natural Debt Limit (NDL) mint : rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB ming : rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB

r : tingkat suku bunga pinjaman riil y : tingkat pertumbuhan ekonomi

Suku bunga riil pada utang pemerintah sulit untuk diukur karena adanya perbedaan maturitas, denominasi mata uang, faktor indeks, risiko nilai tukar dan eksistensi kegagalan yang bervariasi terhadap waktu. Oleh karena itu, proksi yang digunakan dalam penelitian Mendoza dan Oviedo ini adalah spread Emerging Market Bond Index (EMBI) ditambah dengan indeks relatif T-Bills Amerika Serikat, yang dideflasikan dengan estimasi ekspektasi inflasi, dalam hal ini adalah PDB deflator Amerika Serikat. Sedangkan penerimaan publik diukur dengan menjumlahkan pajak total dan penerimaan non-pajak (tidak termasuk grants). Pengeluaran publik adalah total pengeluaran dan pembayaran transfer, namun tidak termasuk pembayaran utang.

Dalam penelitian yang dilakukan di Brazil, Kolombia, Meksiko dan Kosta Rika, Mendoza dan Oviedo (2004) menggunakan persamaan NDL (Persamaan 5.1)

Page 135: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

123

untuk mengetahui solvabilitas sektor publik negara-negara tersebut. Hasil yang diperoleh adalah rasio utang terhadap PDB di empat negara tersebut bervariasi. Besarnya antara 50 persen (Kolombia) hingga 56 persen (Brazil). Kecuali Kosta Rika, rasio utang publik di Brazil, Kolumbia dan Mexico semakin mendekati NDL. Pemerintah di ketiga negara tersebut harus memperhatikan rasio NDL tersebut untuk tetap mempertahankan akses ke pasar utang dan melindungi kredibilitas komitmen pembayaran utangnya. Selain itu, pemerintah juga harus berkomitmen penuh untuk mengurangi pengeluarannya

Tim PPE FE UGM melakukan estimasi untuk mengetahui tingkat NDL Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mendoza dan Oviedo. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam estimasi ini adalah:

1. Penerimaan pemerintah tidak termasuk utang.

Rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB menggunakan data Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1972-2003. Rasio minimun penerimaan terhadap PDB adalah 11,75 persen pada tahun 1999.

2. Pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, termasuk pengeluaran untuk pembayaran bunga dan pengeluaran cicilan pokok.

Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB menggunakan data Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1972-2003. Rasio minimum pengeluaran pemerintah terhadap PDB adalah 16,39 persen pada tahun 1972.

3. Suku bunga utang merupakan suku bunga nominal.

Suku bunga yang digunakan merupakan simulasi dari beberapa tingkat suku bunga yang dimiliki oleh Indonesia. Diantaranya adalah:

a. Rata-rata tertimbang bunga obligasi dalam negeri sebesar 9,81 persen

b. Rata-rata tertimbang bunga utang luar negeri, baik market debt maupun official debt sebesar 3,43 persen

c. Rata-rata tertimbang suku bunga utang, baik dalam negeri maupun luar negeri sebesar 9,4 persen.

4. Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan ekonomi riil ditambah dengan tingkat laju inflasi.

Tingkat inflasi mengikuti tingkat inflasi yang diasumsikan oleh Bank Dunia, yaitu sebesar 5 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi riil merupakan simulasi dari beberapa kemungkinan, diantaranya adalah 5 persen, 5,5 persen dan 6 persen.

Hasil simulasi NDL untuk Indonesia adalah sebagai berikut.

a. Dengan menggunakan tingkat bunga pinjaman rata-rata tertimbang obligasi dalam negeri sebesar 9,81 persen

Dari hasil estimasi (Tabel 5.1), dapat dilihat bahwa dengan pertumbuhan PDB riil masing-masing sebesar 5,5 persen dan 6 persen didapat nilai NDL sebesar 672,46 persen dan 389,91 persen. Nilai NDL yang besar pada estimasi ini dikarenakan selisih yang kecil antara nilai tingkat bunga rata-rata tertimbang dengan tingkat pertumbuhan PDB riil ditambah dengan inflasi. Dengan nilai NDL ini, maka pemerintah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam melakukan utang. Dengan asumsi penerimaan utang seluruhnya berasal dari penerbitan obligasi dalam negeri.

Page 136: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

124

Tabel 5.1 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Dalam Negeri

g (%) NDL (%) 5,5 672,46 6 389,91

Keterangan: g: pertumbuhan ekonomi

b. Dengan menggunakan tingkat bunga pinjaman rata-rata tertimbang luar negeri sebesar 3,43 persen

Tabel 5.2 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri

g (%) NDL (%) 5 70,62

5,5 65,63 6 61,29

Keterangan: g: pertumbuhan ekonomi

Pada estimasi kedua (Tabel 5.2), menggunakan proyeksi tingkat pertumbuhan PDB riil masing-masing 5 persen, 5,5 persen dan 6 persen maka nilai NDL yang diperoleh dengan menggunakan asumsi ini adalah sebesar 70,62 persen, 65,63 persen dan 61,29 persen. NDL yang didapat lebih rendah dibandingkan hasil estimasi dengan menggunakan tingkat bunga pinjaman rata-rata tertimbang obligasi dalam negeri. Nilai NDL yang lebih rendah tersebut disebabkan oleh selisih yang besar antara tingkat suku bunga rata-rata tertimbang luar negeri dengan tingkat pertumbuhan PDB riil.

c. Dengan menggunakan biaya utang luar negeri, termasuk forward discount yaitu sebesar 9,16 persen.

Tabel 5.3 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri dengan Forward Discount

g %) NDL (%) 5 552,38

5,5 346,27 6 252,17

Keterangan: g: pertumbuhan ekonomi

Pada simulasi ketiga ini (Tabel 5.3), proyeksi tingkat pertumbuhan PDB riil diasumsikan masing-masing sebesar 5 persen, 5,5 persen dan 6 persen, maka nilai NDL yang didapat adalah 552,38 persen, 346,27 persen dan 252,17 persen.

d. Dengan menggunakan tingkat bunga pinjaman rata-rata baik dalam maupun luar negeri sebesar 9,4 persen

Pada simulasi keempat ini (Tabel 5.4), proyeksi tingkat pertumbuhan PDB riil diasumsikan masing-masing 5 persen, 5,5 persen dan 6 persen, maka nilai NDL yang didapat adalah 773,33 persen, 421,81 persen dan 290,00 persen. Nilai NDL yang didapat dari simulasi ketiga ini lebih kecil dibandingkan hasil estimasi pertama. Meskipun demikian, nilai NDL ini tetap lebih besar dari hasil yang diperoleh dengan menggunakan estimasi kedua dan ketiga.

Page 137: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

125

Tabel 5.4 NDL Indonesia dengan Rata-rata Biaya Pinjaman Luar Negeri dan Dalam

Negeri

g (%) NDL (%) 5 773,33

5,5 421,81 6 290,00

Keterangan: g: pertumbuhan ekonomi

Selanjutnya simulasi dilakukan untuk mencari tingkat suku bunga utang nominal apabila nilai NDL yang hendak dicapai berada pada rentang 60 persen sampai dengan 200 persen. Pada estimasi ini, nilai NDL dan tingkat pertumbuhan PDB riil merupakan variabel yang telah ditentukan. Besarnya NDL yang diharapkan dalam estimasi ini berada dalam rentang 60 persen hingga 200 persen. Nilai 60 persen adalah batas rasio pinjaman terhadap PDB, sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003. Simulasi ini dilakukan untuk melihat tingkat bunga pinjaman yang optimal agar dapat mencapai NDL tertentu sesuai tingkat pertumbuhan PDB riil yang telah ditetapkan.

Dari hasil simulasi (Tabel 5.5), dapat dilihat bahwa pada tingkat pertumbuhan PDB riil sebesar 5 persen dan NDL yang diharapkan sebesar 200 persen maka suku bunga yang harus digunakan adalah sebesar 7,68 persen. Sedangkan untuk memperoleh NDL sebesar 100 persen dengan pertumbuhan PDB riil sebesar 5 persen maka tingkat suku bunga nominal yang dapat digunakan adalah 5,36 persen. Hal ini juga berlaku pada tingkat pertumbuhan PDB riil dan NDL yang lain. Untuk mencapai NDL sebesar 200 persen dengan tingkat pertumbuhan PDB riil sebesar 6 persen maka suku bunga yang harus digunakan adalah sebesar 8,68 persen. Sedangkan untuk mendapatkan NDL sebesar 100 persen dengan tingkat pertumbuhan PDB riil sebesar 6 persen maka suku bunga yang harus digunakan adalah sebesar 6,36 persen. Hasil dari simulasi tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 5.5 Biaya Pinjaman untuk Berbagai Macam Tingkat NDL

Pertumbuhan ekonomi (%) NDL (%)

5 5,5 6 200 7,68 8,18 8,68 175 7,35 7,85 8,35 150 6,91 7,41 7,91 125 6,29 6,79 7,29 100 5,36 5,86 6,36 75 3,81 4,31 4,81 60 2,27 2,77 3,27

Berdasarkan tabel simulasi NDL atas Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan batas NDL hingga 200 persen terhadap PDB, dengan tingkat pertumbuhan sesuai dengan asumsi, maka dibutuhkan suku bunga pinjaman antara 7 hingga 8 persen. Sedangkan untuk mendapatkan tingkat NDL 60 persen sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003, maka dibutuhkan suku bunga yang rendah yaitu antara 2,27 hingga 3,27 persen. Meskipun demikian, tingkat suku bunga yang demikian rendah akan sangat sulit untuk didapatkan. Sehingga untuk kasus Indonesia, sesuai dengan simulasi yang dilakukan oleh tim PPE FE UGM, tingkat NDL yang dapat diterapkan di Indonesia sebesar 150 hingga 200 persen.

Tingkat NDL yang aman bagi Indonesia ini (antara 773,33 persen sampai dengan

Page 138: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

126

5.2 Kesinambungan Keseimbangan Primer (Primary Balance)

61,29 persen) jauh diatas rasio utang terhadap PDB Indonesia saat ini, yaitu sebesar 52,2 persen. Sehingga dari simulasi ini dapat disimpulkan bahwa utang Indonesia saat ini berada dalam keadaan aman dari adanya risiko gagal bayar.

Pada tahun 1998, Henning Bohn melakukan penelitian untuk mengamati respon surplus anggaran primer terhadap perubahan rasio utang terhadap PDB Amerika Serikat selama periode 1916-1995. Bohn mencoba mengetahui bagaimana pemerintah Amerika Serikat bereaksi terhadap akumulasi utang, apakah pemerintah Amerika Serikat membiarkan utang tumbuh ataukah pemerintah segera mengambil tindakan atas meningkatnya stok utang.

Secara teoretis, rasio utang terhadap PDB, yang bersifat non-stasioner, ditunjukkan oleh beberapa model keuangan pemerintah yang optimal. Dalam perdebatan kebijakan publik, rasio utang terhadap PDB yang tinggi dan terus tumbuh dianggap mengkhawatirkan. Meski rasio utang terhadap PDB turun, adanya akar-akar unit dalam data tersebut menimbulkan keraguan apakah penurunan ini adalah keberuntungan (karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi) atau karena kebijakan. Hasil respon yang positif menunjukkan bahwa pemerintah mengambil tindakan mengurangi pengeluaran non-bunga atau meningkatkan penerimaan, yang menghambat perubahan utang.

Dalam penelitian ini, Bohn mencoba untuk mengetahui hubungan antara rasio keseimbangan primer terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB, pengeluaran pemerintah dan output gap. Persamaan yang diestimasi adalah sebagai berikut.

εβββα ++++= tttt dYVARGVARPB 321 (5.2)

Di mana: dt: rasio utang terhadap PDB pada awal tahun

PBt: rasio keseimbangan primer terhadap PDB GVAR: pengeluaran pemerintah sementara YVAR: cyclical variations dari output

Dalam estimasi tersebut, variabel GVAR dan YVAR merupakan variabel yang berasal dari penelitian Barro pada tahun 1986. Data yang digunakan merupakan data tahunan dan estimasi dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square.

Untuk setiap persamaan, Bohn melakukan enam estimasi dengan menggunakan berbagai macam variasi sampel. Persamaan pertama menggunakan keseluruhan data, yaitu dari tahun 1916-1995. Pada persamaan kedua, regresi dilakukan dengan mengeluarkan observasi tahun 1940-1947, pada saat terjadinya Perang Dunia. Pada persamaan ketiga dan keempat, Bohn mengestimasi ulang penelitian Barro. Persamaan kelima, estimasi dilakukan pada masa setelah Perang Dunia. Sedangkan persamaan keenam, Bohn melakukan estimasi ulang terhadap estimasi yang dilakukan oleh Hamilton dan Flavin, dan Wilcox selama periode 1960-1984).

Hasil dari estimasi (Tabel 5.6) menunjukkan bahwa koefisien rasio utang terhadap PDB signifikan dan positif untuk setiap hasil estimasi. Hasil ini berarti bahwa pemerintah Amerika Serikat mempunyai respon yang sistematis terhadap rasio utang terhadap PDB-nya.

Dari kasus Amerika Serikat, Bohn berkesimpulan bahwa surplus primer adalah

Page 139: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

127

fungsi menaik dari rasio utang terhadap PDB untuk periode 1916-1995. Bohn juga menunjukkan bahwa hubungan antara utang dan surplus primer dapat dikaburkan oleh adanya pengeluaran pada masa perang dan fluktuasi siklikal. Kebijakan fiskal Amerika Serikat sendiri secara historis berkelanjutan, bahkan pada periode defisit primer. Respon positif surplus primer pada rasio utang terhadap PDB yang dihasilkan dari penelitian ini membuktikan hal tersebut.

Tabel 5.6 Determinan dari Surplus Anggaran

Variabel Dependen: Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB (PBt) Sampel Konstanta GVAR YVAR dt R² σ DW 1 1916-1995 -0.019 -0.779 -1.45 0.054 0.936 0.014 1.42 (-5.424) (-33.001) (-3.628) (-6.048) [-3.975] [-20.874] [-4.075] [3.787] 2 1920-1995

(kecuali 1940-1947) -0.009 -0.551 -1.906 -0.028 0.618 0.011 1.4

(-2.030) (-4.034) (-4.666) (-2.701) [-2.155] [-3.721] [-4.296] [2.491 3 1916-1983 -0.018 -0.782 -1.414 0.054 0.942 0.014 1.54 (-4.903) (-31.667) (-3.360) (-5.996) [-3.958] [-20.943] [-4.004] [4.076] 4 1920-1982

(kecuali 1940-1947) -0.008 -0.52 -1.912 0.03 0.63 0.011 1.56

(-1.710) (-3.612) (-4.441) (-2.815) [-1.932] [-3.272] [-3.959] [-2.856] 5 1948-1995 -0.015 -0.593 -2.139 0.037 0.651 0.01 1.54 (-3.536) (-4.182) (-4.361) (-3.589) [-3.496] [-3.701] [-3.757] [2.821] 6 1960-1984 -0.013 -0.41 -2.051 0.044 0.724 0.007 1.43 (-2.110) (-2.173) (-4.174) (-2.028) [-2.174] [-2.281] [-3.391] [2.587]

Keterangan: Variabel dt merupakan variabel debt/PDB pada awal tahun. GVAR dan YVAR merupakan ukuran pengeluaran pemerintah sementara dan cyclical variations output, dari Barro [1986]. Semua estimasi mengunakan metode OLS dengan data tahunan

( ) = ordinary t-statistics [ ] = heteroskedasticity and autocorrelation – consistent t-statistics (dihitung dengan Newey-West lag of window of size1) σ = standard error DW = Durbin-Watson statistik

Sumber: Henning Bohn, “The Behaviour of U.S. Public Deficits”, The Quarterly Journal of Economics, Vol 113: 3 halaman 949-963

International Monetary Fund (IMF) juga melakukan penelitian serupa pada tahun 2003 dalam World Economic Outlook: Public Debt in Emerging Market. Dalam studi ini, IMF melakukan estimasi pada dua kelompok negara, yaitu negara-negara yang termasuk dalam kelompok negara Emerging Market (EM) dan negara-negara industri. IMF mendefinisikan negara-negara EM sebagai negara-negara yang yang terdapat dalam EMBI (Emerging Market Bond Index) pada awal tahun 2002 ditambah dengan Kosta Rika, Indonesia, Israel, Jordania dan India. Sedangkan negara-negara industri yang diestimasi dalam penelitian ini adalah negara-negara anggota OECD, dengan tidak memasukkan negara-negara Eropa Timur, Turki, Meksiko dan Korea. Dari seluruh negara-negara yang diestimasi, baik yang termasuk dalam katagori negara EM maupun negara industri, IMF tidak memasukkan negara-negara yang sedang dalam keadaan perang, karena hal ini dianggap akan mempengaruhi keseimbangan primernya, dan negara-negara yang memiliki pola atau trend tertentu dalam data fiskalnya. Tujuan dari estimasi ini adalah untuk mengetahui reaksi

Page 140: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

128

keseimbangan primer terhadap utang, termasuk contingent pada utang itu sendiri.

Estimasi dilakukan melalui pendekatan Fiscal Policy Reaction Function. Tingkat primary surplus digunakan sebagai target operasional dalam fiscal reaction function, yaitu :

∑ +++==

J

1jti,1ti,ti,j,jiti,

εbρΧβαp (5.3)

Di mana:

i,tP : primary balance di negara i pada periode t

iα : fixed effect (country specific intercept)

1tb − : tingkat utang akhir tahun pada periode t-1

jΧ : vektor variabel makroekonomi

i,tε : error term

Variabel makroekonomi yang dimasukkan dalam estimasi adalah output gap serta inflasi. Output gap pada estimasi ini merupakan deviasi PDB riil dari Hodrick-Prescott Filter. Pada persamaan tersebut, model diestimasi dengan menggunakan data panel dengan metode estimasi Fixed Effects Generalized Least Square.

Sebelum estimasi, terlebih dahulu dilakukan uji terhadap varietas utang, yaitu dari 30 persen sampai dengan 90 persen rasio utang terhadap PDB. Uji tersebut menunjukan bahwa debt feedback effect untuk Emerging Market sebesar 50 persen dan untuk negara industri sebesar 80 persen.

Tabel 5.7 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal

Negara-negara Industrialis, 1990-2002 Variabel Dependen: Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Penjelasan Variabel Tanpa

Variabel Kontrol

Dengan Variabel Kontrol

Spline Seluruh Sampel

Output Gap (YG) … 0.971*** 0.960*** 0.961*** Total utang publik (TD)-lag 0.057*** 0.060*** 0.045*** 0.039*** Inflasi … -0.407*** -0.349*** -0.416*** Koefisien regresi dengan spline … … … … Break pada 50 persen … … 0.086*** -0.042 Adjusted R² 0.361 0.691 0.702 0.621 Jumlah pengamatan 191 191 191 191

Keterangan: *) signifikan untuk α = 10 persen **) signifikan untuk α = 5 persen ***) signifikan untuk α = 1 persen Semua persamaan diestimasi dengan Generalized Least Square dengan metode fixed effects dan menggunkan heteroscedaticity-consistent variance-covariance matrix untuk pengujian statistik. Hasil estimasi tidak memasukkan data Jerman (efek dari reunifikasi), Norwegia (efek dari pendapatan dari minyak), dan Jepang (peningkatan keseimbangan primer), kecuali untuk estimasi semua sampel.

Sumber: World Economic Outlook 2003: Managing Public Debt ini Emerging Market, IMF, 2003.

Secara umum hasil dari estimasi yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa semua determinan dari kebijakan fiskal memberikan hasil yang signifikan. Di negara Emerging Market (Tabel 5.8), tingginya inflasi mengarah pada tingginya surplus keseimbangan primer, sebagai dampak dari seignorage. Sedangkan di negara industri (Tabel 5.7), inflasi mempunyai efek negatif terhadap surplus keseimbangan primer. Efek negatif ini dimungkinkan karena beberapa negara industri pada tahun 1990 berusaha mengurangi inflasi serta melakukan

Page 141: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

129

penyesuaian pada keseimbangan fiskalnya.

Tabel 5.8 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal

Negara-negara Emerging Market, 1990-2002

Variabel Dependen: Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Penjelasan variabel Tanpa

variabel kontrol

Dengan variabel kontrol

Regional Spline Keterbukaan Institusi Seluruh Sampel

Output Gap (YG) … 0.141*** … 0.134*** 0.057 -0.098 0.128***

Total utang publik (TD)-lag 0.039*** 0.047*** … 0.123*** 0.134*** 0.132*** 0.091***

Dengan pengawasan

Inflasi … 0.001*** 0.001*** 0.001*** 0.001*** 0.001*** 0.001*** Siklus harga minyak

(jika produsen minyak) … 0.054** 0.050*** 0.071*** 0.071*** 0.071*** 0.088***

Siklus harga komoditi non-minyak (jika produsen komoditas)

… 0.069 0.067 0.078* 0.081* 0.066 0.105**

Default / restrukturisasi … 0.715*** 0.541*** 0.654*** 0.493*** 0.686*** 0.822*** Nonlinearitas and interakasi Hubungan YG terhadap:

Keterbukaan perdagangan … … … … 0.131*** … …

Kualitas institusi … … … … … 0.078*** … Dummy Regional Amerika Latin … … 0.044* … … … … Bukan Amerika Latin … … 0.235*** … … … …

Hubungan TD terhadap:

Keterbukaan perdagangan … … … … -0.018** … …

Kualitas institusi … … … … … -0.003** …

Dummy Regional

Amerika Latin … … 0.041*** … … … … Bukan Amerika Latin … … 0.051*** … … … …

Nonlinearities Koefisien regresi dengan spline

Break pada 50 persen … … … -0.115*** -0.113*** -

0.111*** -

0.072*** Uji bila slope = 0

(Wald x²) … … … 1.641 … … 8.601***

Adjusted R² 0.497 0.578 0.562 0.63 0.578 0.623 0.682

Jumlah observasi 249 249 249 249 249 249 249 Keterangan: *) signifikan untuk α = 10 persen

**) signifikan untuk α = 5 persen ***) signifikan untuk α = 1 persen

Semua persamaan diestimasi dengan Generalized Least Square dengan metode fixed effects dan menggunkan heteroscedaticity-consistent variance-covariance matrix untuk pengujian statistik. Hasil estimasi tidak memasukkan data Bulgaria, Cina, Pantai Gading, Kroasia, Mesir, India, Israel, Jordania, Lebanon, Nigeria, dan Pakistan, kecuali untuk estimasi semua sampel.

Sumber: World Economic Outlook 2003: Managing Public Debt ini Emerging Market, IMF, 2003.

Dari hasil pada Tabel 5.7 dan Tabel 5.8 dapat dilihat pula bahwa untuk estimasi dengan menggunakan variabel kontrol dan tanpa variabel kontrol, koefisien lag dari rasio utang terhadap PDB untuk negara-negara industri lebih besar dibandingkan dengan koefisien dari variabel yang sama untuk negara-negara Emerging Market. Namun apabila menggunakan seluruh sampel, nilai koefisien variabel ini berbeda untuk kedua kelompok negara. Pada estimasi seluruh sampel, nilai koefisien rasio utang terhadap PDB untuk negara-negara Emerging Market lebih besar

Page 142: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

130

dibandingkan dengan koefisien untuk negara-negara industri. Namun untuk kedua kelompok negara tersebut, rasio utang terhadap PDB merupakan variabel yang signifikan dan berpengarih positif terhadap rasio keseimbangan primer terhadap PDB.

Dalam estimasi terhadap negara Emerging Market muncul beberapa dampak dari faktor institusi dan perluasan ekonomi yaitu:

1. Keterbukaan perdagangan dan kualitas institusional.

Keterbukaan perdagangan merefleksikan besarnya peran pemerintah dalam perekonomian yang lebih terbuka. Sementara itu, perbaikan kualitas institusi menunjukkan meningkatnya kemampuan dalam meningkatkan pendapatan, kredibilitas dalam kebijakan fiskal dan kontrol terdapat faktor produksi yang lebih longgar.

2. Negara-negara Emerging Market yang memiliki perekonomian terbuka cenderung untuk berperilaku seperti negara industri dengan meningkatkan rata-rata rasio keseimbangan primernya, bereaksi lamban terhadap kesinambungan utang, dan memiliki tingkat utang yang rendah. Negara-negara Emerging Market yang memiliki institusi yang baik pada umumnya juga memiliki rata-rata rasio utang terhadap PDB yang rendah.

Tim PPE FE UGM melakukan estimasi ulang penelitian Bank Dunia tersebut dengan menggunakan data International Financial Statistics (IFS) dan Government Financial Statistics (GFS). Estimasi untuk negara-negara industri dilakukan dengan melakukan estimasi terhadap negara-negara anggota OECD. Dari 30 negara angggota OECD, estimasi hanya dapat dilakukan pada 17 negara. Hal ini dikarenakan tidak lengkapnya data untuk negara-negara lain selain 17 negara tersebut. Data-data yang tidak tersedia tersebut baik untuk data utang, keseimbangan primer, produk domestik brutto riil, maupun data inflasi. Negara-negara yang diestimasi adalah:

1. Australia (aus)

2. Kanada (can)

3. Republik Ceko (cze)

4. Denmark (den)

5. Hongaria (hun)

6. Islandia (ice)

7. Italia (ita)

8. Korea (kor)

9. Meksiko (mex)

10. Belanda (net)

11. Norwegia (nor)

12. Slowakia (svk)

13. Swedia (swe)

14. Swiss (swi)

15. Turki (tur)

16. Inggris (uk)

17. Amerika Serikat (us)

Hasil yang diperloleh dari estimasi seluruh negara anggota OECD tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.9. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi rasio keseimbangan primer terhadap PDB adalah rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), output gap (YGAPit), output gap satu

periode sebelumnya (YGAPit-1) dan pertumbuhan ekonomi (δit). Sama dengan penelitian Bohn dan Bank Dunia, variabel rasio keseimbangan primer terhadap PDB berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio utang terhadap PDB. Variabel output gap dan output gap satu periode sebelumnya juga siginifikan dan masing-masing berpengaruh positif dan negatif terhadap rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Pengujian secara statistik terhadap koefisien kedua variabel tersebut dengan menggunakan uji Wald, menunjukkan hasil bahwa kedua koefisien tersebut secara statistik tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari output

Page 143: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

131

gap terhadap rasio keseimbangan primer terhadap PDB memiliki pengaruh yang saling menghilangkan (cancelled out).

Tabel 5.9 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Seluruh Negara OECD, 1990-2002 Variabel dependen: PBt

Variabel dependen: PBit Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 0.2096 0.0389 5.3817 0.0000 YGAPit -1.3352 0.5908 -2.2601 0.0258 YGAPit-1 1.7206 0.5983 2.8761 0.0048 δit 1.3961 0.5520 2.5293 0.0129 PBit-1 0.5509 0.0894 6.1629 0.0000 Fixed Effects: αaus -7.1881 αcan -17.8841 αcze -5.8275 αden -15.5159 αhun -18.9930 αice -10.1610 αita -18.5968 αkor -9.8456 αmex -10.2579 αnet -15.6159 αnor -10.1231 αsvk -11.5582 αswe -15.2169 αswi -4.8177 αtur -13.5011 αuk -11.7010 αus -12.7186 R-squared 0.6909 Rata-rata var dependen 1.3400 Adjusted R-squared 0.6313 S.D. var dependen 3.2500 S.E. dari regresi 1.9734 Sum squared resid 424.4626 F-statistik 60.9009 Durbin-Watson stat 2.1696 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 131 PBit: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t YGAPit: output gap pada periode t YGAPit-1: output gap pada periode t-1 δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t PBit-1: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t-1

Dari negara-negara anggota OECD yang diestimasi pada Tabel 5.9 tidak semuanya merupakan negara maju. Tim PPE FE UGM mendefinisikan negara-negara maju sebagai negara dengan pendapatan per kapita penduduknya lebih dari US$10,000 per tahun. Beberapa negara di kawasan Eropa Timur bahkan tergolong dalam Emerging Market, walaupun termasuk dalam keanggotaan OECD. Oleh karena itu, Tim PPE FE UGM juga melakukan estimasi yang sama dengan Tabel 5.9 namun hanya untuk negara-negara OECD yang termasuk katagori negara maju. Estimasi ini tidak memasukkan negara-negara anggota OECD yang merupakan negara di

Page 144: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

132

kawasan Eropa Timur (Republik Ceko, Slowakia, Bulgaria dan Hongaria), Meksiko, Korea dan Turki. Sehingga negara-negara yang diestimasi, yaitu:

1. Australia (aus) 2. Kanada (can) 3. Denmark (den) 4. Islandia (ice) 5. Italia (ita) 6. Belanda (net)

7. Norwegia (nor) 8. Swedia (swe) 9. Swiss (swi) 10. Inggris (uk) 11. Amerika Serikat (us)

Tabel 5.10

Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara Maju OECD, 1990-2002

Variabel dependen: PBt

Variabel dependen: PBit Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 0.2117 0.0427 4.9562 0.0000 YGAPit -3.3460 0.7338 -4.5602 0.0000 YGAPit-1 3.6411 0.7045 5.1683 0.0000 δit 3.1115 0.6326 4.9186 0.0000 PBit-1 0.5878 0.0608 9.6630 0.0000 Fixed Effects: αaus -13.3044 αcan -23.3522 αden -19.5165 αice -13.2339 αita -22.1936 αnet -21.2699 αnor -15.9004 αswe -19.7002 αswi -7.0705 αuk -16.1228 αus -18.3499 R-squared 0.8056 Rata-rata var dependen 1.3627 Adjusted R-squared 0.7677 S.D. var dependen 3.0111 S.E. dari regresi 1.4514 Sum squared resid 162.1952 Log likelihood -157.8246 F-statistik 79.7481 Durbin-Watson stat 2.0495 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 93 PBit: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t YGAPit: output gap pada periode t YGAPit-1: output gap pada periode t-1 δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t PBit-1: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t-1

Hasil dari estimasi negara maju OECD ini terdapat dalam Tabel 5.10. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 5.9 dalam hal signifikansi variabel. Perbedaan antara estimasi seluruh negara OECD dengan estimasi untuk negara maju OECD adalah pada besarnya nilai koefisien untuk variabel-variabel yang diestimasi. Untuk variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya, koefisien untuk negara maju OECD lebih besar dibanding dengan koefisien seluruh anggota OECD. Hal ini menujukkan bahwa bahwa negara-negara maju OECD lebih berhati-hati dalam bereaksi terhadap stok utangnya. Perbedaan

Page 145: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

133

nilai koefisien juga terjadi pada varibel pertumbuhan ekonomi. Koefisien negara maju OECD lebih besar dibandingkan dengan koefisien semua negara anggota OECD.

Selain melakukan estimasi pada kelompok negara OECD, Tim PPE FE UGM juga melakukan estimasi untuk negara-negara yang termasuk dalam Highly Indebted Poor Countries (HIPC). Hal ini dilakukan sebagai perbandingan, untuk melihat apakah terdapat perbedaan reaksi antara negara OECD dengan negara HIPC. Dalam daftar yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), ada 30 negara yang dikatagorikan sebagai negara HIPC. Namun, ketersediaan data untuk negara-negara HIPC tersebut sangat minimal. Sehingga dari ketiga puluh negara tersebut, hanya tujuh negara yang dapat diestimasi. Ketujuh negara tersebut adalah:

1. Bolivia (bol) 2. Kamerun (cmr) 3. Kongo (cod) 4. Ethiopia (eth)

5. Madagaskar (mad) 6. Rwanda (rwa) 7. Zambia (zam)

Tabel 5.11

Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-negara HIPC, 1990-2002

Variabel dependen: PBt

Variabel dependen: PBit Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 -1.4768 0.2673 -5.5244 0.0000 δit 220.1470 107.8546 2.0411 0.0524 Πit 28.6753 4.1432 6.9211 0.0000 YGAPit -333.7970 158.4534 -2.1066 0.0458 PBit-1 -0.4462 0.1045 -4.2722 0.0003 Fixed Effects: αbol -602.8908 αcmr -1074.2380 αcod -1940.4440 αeth -1854.6980 αmad -1678.3250 αrwa 6378.7220 αzam -4279.1160 R-squared 0.8420 Rata-rata var dependen 660.8927 Adjusted R-squared 0.7696 S.D. var dependen 3162.0080 S.E. dari regresi 1517.7490 Sum squared resid 55285480 Log likelihood -307.4828 F-statistik 31.9782 Durbin-Watson stat 2.1970 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect. Total jumlah observasi: 36 PBit: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t Πit: inflasipada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t PBit-1: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t-1

Hasil estimasi untuk negara-negara HIPC pada Tabel 5.11, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi rasio keseimbangan primer terhadap PDB berbeda antara negara-negara OECD dengan negara-negara HIPC. Untuk negara-negara anggota HIPC, variabel-variabel yang mempengaruhi rasio

Page 146: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

134

keseimbangan primer terhadap PDB adalah rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), pertumbuhan ekonomi (δit), inflasi (Πit) dan output gap (YGAPit). Hal yang sangat berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai kesinambungan keseimbangan primer adalah koefisien untuk rasio utang terhadap PDB. Koefisien variabel rasio utang terhadap PDB untuk negara HIPC signifikan, namun koefisiennya menunjukkan nilai yang negatif. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa reaksi keseimbangan primer negara HIPC berlawanan dengan reaksi negara OECD. Apabila stok utang negara HIPC tersebut meningkat, mereka tidak menaikkan rasio keseimbangan primernya, namun sebaliknya menurunkan rasio tersebut. Hal ini berbeda dengan negara-negara OECD yang pada saat stok utangnya meningkat, mereka juga akan meningkatkan rasio keseimbangan primernya terhadap PDB.

Tabel 5.12 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Negara-negara ASEAN, 1990-2002 Variabel dependen: PBt

Variabel dependen: PBit Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 0.0145 0.0135 1.0716 0.2903 δit 0.3521 0.0641 5.4908 0.0000 Πit 0.1097 0.0255 4.2970 0.0001 PBit-1 0.5642 0.1648 3.4243 0.0014 Fixed Effects: αina -1.9368 αmas -2.0864 αphi -2.0357 αsin -1.2503 αtha -3.0303 R-squared 0.8134 Rata-rata var dependen 3.2994 Adjusted R-squared 0.7761 S.D. var dependen 3.9604 S.E. dari regresi 1.8739 Sum squared resid 140.4597 Log likelihood -95.3290 F-statistik 58.1340 Durbin-Watson stat 1.8702 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 49

PBit: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t Πit: inflasipada periode t-1 PBit-1: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t-1

Perbandingan lain juga dilakukan oleh Tim PPE FE UGM dengan melakukan estimasi terhadap negara-negara anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN). Seperti halnya kelompok-kelompok negara sebelumnya, estimasi tidak dapat dilakukan untuk semua negara anggota ASEAN (10 negara). Hal ini juga dikarenakan tidak lengkapnya data yang diperoleh. Maka estimasi untuk negara-negara anggota ASEAN hanya dilakukan untuk negara-negara berikut.

1. Indonesia (ina)

2. Malaysia (mas)

3. Filipina (phi)

4. Singapura (sin)

5. Thailand (tha)

Page 147: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

135

Hasil estimasi untuk negara-negara ASEAN dapat dilihat pada Tabel 5.12.

Dari hasil estimasi pada Tabel 5.12 dapat dilihat bahwa variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1) tidak signifikan mempengaruhi rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian di Amerika Serikat, Emerging Market, OECD dan HIPC, dimana pada keempat kelompok negara tersebut, rasio utang terhadap PDB mempengaruhi rasio keseimbangan primer. Variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi rasio keseimbangan primer terhadap PDB adalah pertumbuhan ekonomi (δit) dan inflasi (Πit).

Tabel 5.13 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Indonesia, 1970-2004 Variabel Dependen: PBt

Variabel dependen: PBt Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

α -6.4319 1.8262 -3.5221 0.0015 Dummy_krisis -4.8405 1.7457 -2.7728 0.0100 Dt-1 0.2437 0.0747 3.2643 0.0030 (Dt-1)2 -0.0013 0.0007 -1.9358 0.0634 PBt 0.8642 0.0565 15.2902 0.0000 R-squared 0.9384 Rata-rata var dependen -1.3094 Adjusted R-squared 0.9293 S.D. var dependen 6.4351 S.E. dari regresi 1.7115 Akaike info criterion 4.0552 Sum squared resid 79.0881 Schwarz criterion 4.2842 Log likelihood -59.8833 F-statistik 102.8136 Durbin-Watson stat 2.1863 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Ordinary Least Squares (OLS) Total jumlah observasi: 32 PBt: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t α: konstanta Dummy_krisis: variabel dummy untuk krisis Dt-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t PBit-1: rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada periode t-1

Setelah melakukan estimasi terhadap kelompok-kelompok negara tersebut, maka Tim PPE FE UGM melakukan estimasi terhadap data Indonesia. Dalam estimasi terhadap data Indonesia ini, tim PPE FE UGM menggunakan variabel dummy untuk mengetahui efek dari terjadinya krisis ekonomi terhadap rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Variabel dummy bernilai satu pada estimasi tahun 1998-2004 dan bernilai nol pada estimasi tahun 1971 sampai dengan tahun 1997. Hasil estimasi untuk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.13.

Dalam melakukan estimasi untuk Indonesia, dilakukan pula plot terhadap variabel rasio keseimbangan primer terhadap PDB (Gambar 5.1). Dalam plot ini dapat dilihat bahwa variabel tersebut bergerak mengikuti tren fungsi kuadratik. Sehingga dalam estimasinya, dimasukkan variabel kuadrat dari rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya untuk dapat menangkap pergerakan variabel ini.

Dari hasil estimasi dapat diketahui bahwa untuk Indonesia, variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya keseimbangan primer adalah utang satu periode sebelumnya (Dt-1). Variabel ini signifikan mempengaruhi dan memiliki nilai yang positif. Variabel dummy untuk krisis berpengaruh secara signifikan, yang menunjukkan bahwa ada perbedaan antara rasio keseimbangan primer sebelum terjadinya krisis dan pada saat dan setelah terjadinya krisis. Variabel dummy ini mempengaruhi besarnya α (konstanta), namun tidak berpengaruh terhadap besarnya slope. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa besarnya α pada saat

Page 148: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

136

krisis dan setelah terjadinya krisis lebih besar dibandingkan dengan besarnya α sebelum krisis.

Gambar 5.1 Rasio Keseimbangan Primer Indonesia terhadap PDB, 1971-2004

Sumber: Departemen Keuangan

Dari semua estimasi yang telah dilakukan oleh Tim PPE FE UGM, akan sangat menarik untuk melihat besarnya arah dan besaran dari koefisien variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dt-1). Hasil yang diperoleh akan dapat dilihat rangkumannya pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14 Rangkuman Hasil Estimasi

Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB

Kelompok Negara Koefisien (Dt-1) Standar Eror t-statistik Prob.

Semua Negara OECD 0.2096 0.0389 5.3817 0.0000

Negara OECD Maju 0.2117 0.0427 4.9562 0.0000

HIPC -1.4768 0.2673 -5.5244 0.0000

ASEAN 0.0145 0.0135 1.0716 0.2903

Indonesia 0.2437 0.0747 3.2643 0.0030

Secara teoretis, variabel Dt-1 seharusnya memiliki koefisisn yang signifikan dan bernilai positif. Variabel ini signifikan karena besarnya rasio keseimbangan primer yang disediakan oleh pemerintah ditentukan oleh besarnya rasio utang pada satu periode sebelumnya. Variabel ini bernilai positif karena apabila utang satu periode sebelumnya meningkat, maka besarnya keseimbangan primer yang disediakan juga semakin besar. Dari Tabel 5.13 dapat dilihat bahwa kelompok negara HIPC memiliki angka koefisien yang negatif, sehingga apabila utang negara HIPC mengalami peningkatan, rasio besarnya keseimbangan primer yang disediakan akan mengalami penurunan. Untuk negara-negara anggota ASEAN, variabel ini tidak mempengaruhi keseimbangan primer secara signifikan.

Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki perilaku yang mirip dengan negara-negara OECD, baik untuk estimasi seluruh negara maupun untuk estimasi negara maju OECD. Koefisien Dt-1 Indonesia bernilai positif dan signifikan. Namun koefisien Dt-1 Indonesia lebih besar dibandingkan dengan koefisien Dt-1 OECD. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih ketat dalam

-16

-12

-8

-4

0

4

8

12

1975 1980 1985 1990 1995 2000

K e s e i mbangan Primer Indonesia

%

Page 149: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

137

5.3 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB

menjaga rasio keseimbangan primernya. Kebijakan ini akan berpengaruh positif bila Indonesia mengalami kenaikan rasio utang terhadap PDB. Apabila rasio utang terhadap PDB Indonesia meningkat, maka akan diikuti dengan kenaikan keseimbangan primer. Kenaikan keseimbangan primer Indonesia ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan keseimbangan primer negara-negara OECD apabila rasio utang mereka meningkat. Hal ini akan mengurangi pula risiko terjadinya gagal bayar. Namun apabila rasio utang Indonesia mengalami penurunan, maka besarnya penurunan rasio keseimbangan primer Indoesia pun akan lebih besar dibandingkan dengan negara-negara OECD.

Selain melakukan penelitian mengenai kesinambungan keseimbangan primer, Bohn (1998) juga melakukan penelitian mengenai kesinambungan rasio utang terhadap PDB. Persamaan yang diestimasi pada pengujian ini adalah:

εβββα ++++=∆ + tttt dYVARGVARd 3211 (5.4)

Di mana: dt: rasio antara utang terhadap PDB pada awal tahun

∆dt+1: perubahan rasio utang terhadap PDB GVAR: pengeluaran pemerintah sementara YVAR: cyclical variations dari output

Dari estimasi (Tabel 5.15) dapat dilihat bahwa lag dari rasio utang terhadap PDB memiliki koefisien negatif dan signifikan pada semua estimasi. Sedangkan GVAR dan YVAR bernilai positif, walaupun tidak selalu signifikan. Melalui hasil pada Tabel 10 ini Bohn membuktikan bahwa data rasio utang terhadap PDB dan data rasio keseimbangan primer terhadap PDB stasioner, apabila dalam estimasinya dimasukkan perubahan-perubahan (fluktuasi) dari variabel GVAR dan YVAR. Hal ini berbeda dengan asumsi pada umumnya, dimana data utang diasumsikan sebagai sebuah series yang tidak stasioner.

Tim PPE FE UGM kemudian melakukan replikasi estimasi Persamaan 5.4. Dalam estimasinya, Tim PPE FE UGM juga memasukan variabel-variabel ekonomi lainnya yang diperkirakan akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel (∆dt+1). Seperti halnya pada estimasi kesinambungan keseimbangan primer, estimasi dilakukan untuk berbagai kelompok negara. Estimasi berbagai kelompok negara ini akan dibandingkan dengan estimasi data Indonesia.

Page 150: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

138

Tabel 5.15 Determinan dari Perubahan Rasio Utang terhadap PDB

Variabel Dependen: Perubahan Rasio Utang terhadap PDB (∆dt+1)

Sampel Konstanta GVAR YVAR dt R² σ DW 1 1916-1995 0.038 -0.721 1.286 -0.126 0.755 0.029 1.73 (-5.424) (-33.001) (-3.628) (-6.048) [-3.975] [-20.874] [-4.075] [3.787] 2 1920-1995

(kecuali 1940-1947) 0.019 0.551 1.906 -0.076 0.319 0.023 1.35

-2.132 -0.492 -2.51 (-3.432) [2.249] [0.457] [2.650] [-3.211] 3 1916-1983 0.037 0.779 1.23 -0.133 0.749 0.031 2.12 -4.767 -14.863 -1.352 (-6.963) [3.345] [14.776] [1.681] [-3.689] 4 1920-1982

(kecuali 1940-1947) 0.017 0.085 2.349 -0.085 0.371 0.025 1.9

-1.759 -0.272 -2.514 (-3.650) [1.794] [0.227] [2.313] [-3.358] 5 1948-1995 0.02 0.54 2.366 -0.064 0.456 0.018 1.17 -2.64 -2.026 -2.566 (-3.319) [2.182] [2.518] [2.952] [-2.251] 6 1960-1984 0.017 0.58 2.849 -0.076 0.853 0.007 2.24 -2.945 -3.164 -5.967 (-3.588) [6.402] [3.676] [14.540] [-5.784]

Keterangan: ( ): ordinary t-statistics [ ]: heteroskedasticity and autocorrelation – consistent t-statistics (dihitung dengan

Newey-West lag of window of size1) σ : standard error DW : Durbin-Watson statistik. Variabel dt merupakan variabel debt/PDB pada awal tahun. GVAR dan YVAR merupakan ukuran pengeluaran pemerintah sementara dan cyclical variations output, from Barro [1986]. Semua estimasi mengunakan metode OLS dengan data tahunan

Sumber: Henning Bohn, “The Behaviour of U.S. Public Deficits”, The Quarterly Journal of Economics, Vol 113: 3 halaman 949-963

Variabel output gap dan output gap satu periode sebelumnya juga siginifikan dan keduanya memiliki arah yang berlawanan. Hasil uji Wald terhadap koefisien kedua variabel tersebut menunjukkan bahwa kedua koefisien tersebut secara statistik tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari output gap terhadap perubahan rasio utang merupakan pengaruh yang saling menghilangkan (cancelled out). Uji Wald juga dilakukan terhadap koefisien variabel pertumbuhan ekonomi (δit) dan pertumbuhan ekonomi pada satu periode sebelumnya (δit-1). Hasil dari Uji Wald tersebut menunjukkan bahwa koefisien kedua variabel tersebut juga memiliki pengaruh yang saling meniadakan (cancelled out) terhadap perubahan rasio utang terhadap PDB.

Hasil yang sama juga diperoleh pada estimasi untuk negara maju OECD (Tabel 5.17). Variabel-variabel yang signifikan pun tidak berbeda dengan variabel yang signifikan pada estimasi untuk seluruh negara OECD, yaitu rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), output gap (YGAPit), output gap satu periode sebelumnya (YGAPit-1), pertumbuhan ekonomi (δit) dan pertumbuhan ekonomi pada satu periode sebelumnya (δit-1). Uji Wald juga menunjukkan bahwa antara variabel output gap (YGAPit) dengan output gap satu periode sebelumnya (YGAPit-1), dan antara variabel pertumbuhan ekonomi (δit) dan pertumbuhan ekonomi pada satu periode seblumnya (δit-1) merupakan variabel yang pengaruhnya saling meniadakan (cancelled out).

Page 151: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

139

Tabel 5.16

Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Seluruh Negara OECD, 1990-2002

Variabel Dependen: d(Dit)

Variabel Dependen: d(Dit) Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 -0.3038 0.0877 -3.4637 0.0008 δit -7.3144 2.0791 -3.5180 0.0006 δit-1 0.9852 0.3212 3.0678 0.0027 YGAPit 5.9406 1.9881 2.9881 0.0035 YGAPit-1 -7.4083 2.0962 -3.5341 0.0006 Fixed Effects: αaus 24.7326 αcan 39.0849 αcze 16.5481 αden 34.2243 αhun 41.6623 αice 23.9373 αita 42.2030 αkor 33.6613 αmex 27.9708 αnet 37.4662 αnor 28.3507 αsvk 39.1828 αswe 35.2184 αswi 15.1810 αtur 41.0629 αuk 28.0201 αus 32.1493 R-squared 0.5493 Rata-rata var dependen 0.6422 Adjusted R-squared 0.4617 S.D. var dependen 6.1422 S.E. dari regresi 4.5064 Sum squared resid 2193.1900 F-statistic 32.9132 Durbin-Watson stat 1.6031 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 130 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t δit-1: pertumbuhan ekonomi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t YGAPit-1: output gap pada periode t-1

Hal yang membedakan antara hasil estimasi untuk semua negara anggota OECD dengan negara maju OECD adalah besarnya koefisien untuk variabel Dit-1. Untuk negara-negara maju OECD, koefisien variabel lebih besar dibandingkan dengan koefisien variabel tersebut untuk seluruh negara OECD. Walaupun demikian, untuk kedua kelompok negara tersebut rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap perubahan rasio utang terhadap PDB dan juga merupakan series yang stasioner.

Page 152: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

140

Tabel 5.17 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB

Negara Maju OECD, 1990-2002 Variabel Dependen: d(Dit)

Variabel Dependen: d(Dit) Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 -0.2999 0.0636 -4.7129 0.0000 δit -5.0436 1.3335 -3.7822 0.0003 δit-1 0.4142 0.1648 2.5128 0.0141 YGAPit 4.6341 1.5054 3.0783 0.0029 YGAPit-1 -5.8385 1.4467 -4.0357 0.0001 Fixed Effects: αaus 18.7537 αcan 33.7647 αden 30.4115 αice 20.6886 αita 39.2333 αnet 31.9864 αnor 22.4426 αswe 30.7816 αswi 13.1371 αuk 24.0269 αus 26.7480 R-squared 0.5807 Rata-rata var dependen 0.4302 Adjusted R-squared 0.4980 S.D. var dependen 3.6439 S.E. dari regresi 2.5819 Sum squared resid 506.6273 Log likelihood -209.0177 F-statistik 26.3157 Durbin-Watson stat 1.5030 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 92 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t δit-1: pertumbuhan ekonomi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t YGAPit-1: output gap pada periode t-1

Estimasi yang sama juga dilakukan untuk negara-negara HIPC. Untuk estimasi HIPC ini, jumlah negara yang dapat diestimasi berbeda dengan negara HIPC yang diestimasi untuk kesinambungan keseimbangan primer. Perbedaan ini disebabkan karena adanya keterbatasan ketersediaan data yang ada. Negara-negara HIPC yang diestimasi untuk kesinambungan rasio utang terhadap PDB adalah:

1. Bolivia (bol)

2. Kamerun (cmr)

3. Kongo (cod)

4. Ethiopia (eth)

5. Madagaskar (mad)

6. Rwanda (rwa)

Page 153: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

141

Tabel 5.18 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB

Negara-Negara HIPC, 1990-2002 Variabel Dependen: d(Dit)

Variabel Dependen: d(Dit) Variabel Koefisien Standar Eror Variabel Koefisien

Dit-1 0.0331 0.3856 0.0859 0.9329 Πit -0.6452 0.1924 -3.3533 0.0052 YGAPit -15.0692 3.0476 -4.9446 0.0003 δit 7.5953 1.6853 4.5067 0.0006 δit-1 4.4125 1.3908 3.1727 0.0073 D(Dit-1) -0.9641 0.3230 -2.9846 0.0105 D(Dit-2) -0.6291 0.2088 -3.0130 0.0100 Fixed Effects: αbol 0.5249 αcmr 0.3711 αcod 313.1397 αeth -57.0805 αmad -29.0979 αrwa 9.9398 R-squared 0.8262 Rata-rata var dependen 4.2693 Adjusted R-squared 0.6657 S.D. var dependen 33.6424 S.E. dari regresi 19.4510 Sum squared resid 4918.4170 Log likelihood -105.0468 F-statistik 10.2980 Durbin-Watson stat 2.2925 Prob(F-statistik) 0.0003

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 26 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t Πit: inflasi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t δit-1: pertumbuhan ekonomi pada periode t-1

Hasil untuk negara-negara HIPC (Tabel 5.18) menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi perubahan rasio utang terhadap PDB adalah inflasi (Πit), output gap (YGAPit), pertumbuhan ekonomi (δit) dan pertumbuhan ekonomi pada satu periode sebelumnya (δit-1). Sedangkan untuk variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), hasil estimasi terhadap negara-negara OECD menunjukkan bahwa variabel ini tidak signifikan dan memiliki koefisien positif. Dari koefisien tersebut juga dapat diketahui bahwa rasio utang terhadap PDB untuk negara-negara HIPC bukan merupakan series yang stasioner.

Kelompok negara yang juga diestimasi oleh Tim PPE FE UGM adalah negara-negara Emerging Market. Dari 34 negara yang termasuk dalam katagori tersebut, estimasi hanya dapat dilakukan untuk 12 negara. Estimasi untuk seluruh negara Emerging Market tidak dapat dilakukan karena keterbatasan data yang diperoleh, terutama untuk negara-negara Amerika Latin. Kedua belas negara yang diestimasi tersebut adalah:

1. Republik Ceko

2. Hongaria

3. Indonesia

4. India

Page 154: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

142

5. Jordania

6. Korea

7. Malaysia

8. Meksiko

9. Peru

10. Filipina

11. Thailand

12. Turki

Tabel 5.19 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-Negara Emerging Market, 1990-2002

Variabel Dependen: d(Dit)

Variabel Dependen: d(Dit) Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 -0.3533 0.1051 -3.3630 0.0012 Πit -0.0917 0.0300 -3.0531 0.0031 δit-1 0.7435 0.2508 2.9640 0.0040 YGAPit -1.3179 0.2658 -4.9583 0.0000 Fixed Effects: αcze 4.1560 αhun 16.8595 αina 17.8247 αind 15.1760 αjor 30.8645 αkor 4.5386 αmas 10.3771 αmex 9.3524 αper 15.0986 αphi 19.7918 αtha 3.7816 αtur 26.4754 R-squared 0.4120 Rata-rata var dependen -0.0607 Adjusted R-squared 0.3032 S.D. var dependen 9.7405 S.E. dari regresi 8.1311 Sum squared resid 5355.2430 F-statistik 18.9219 Durbin-Watson stat 1.5744 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 97 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t Πit: inflasi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t

Hasil estimasi (Tabel 5.19) menunjukkan bahwa untuk negara Emerging Market, variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya perubahan rasio utang terhadap PDB adalah rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), output gap (YGAPit), dan pertumbuhan ekonomi (δit). Koefisien Dit-1 untuk negara-negara Emerging Market berpengaruh signifikan dan negatif terhadap perubahan rasio utang terhadap PDB.

Page 155: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

143

Sedangkan hasil estimasi untuk negara-negara ASEAN (Tabel 5.20) menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi perubahan rasio utang terhadap PDB adalah rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dit-1), pertumbuhan ekonomi (δit), pertumbuhan ekonomi pada satu periode seblumnya (δit-1) dan inflasi (Πit). Koefisien Dit-1 untuk negara-negara ASEAN berpengaruh signifikan dan negatif terhadap perubahan rasio utang terhadap PDB. Dari estimasi untuk kedua kelompok negara tersebut dapat diketahui bahwa rasio utang terhadap PDB, baik untuk negara Emerging Market maupun untuk ASEAN merupakan data yang stasioner.

Tabel 5.20 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB

Negara-Negara ASEAN, 1990-2002 Variabel Dependen: d(Dit)

Variabel Dependen: d(Dit) Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

Dit-1 -0.1212 0.0378 -3.2066 0.0027 δit -0.8410 0.3658 -2.2989 0.0271 δit-1 -0.5040 0.1390 -3.6269 0.0008 Πit 0.7817 0.1563 5.0023 0.0000 Fixed Effects: αina 4.4127 αmas 9.6750 αphi 7.6895 αsin 20.3252 αtha 5.7625 R-squared 0.7990 Rata-rata var dependen 1.3639 Adjusted R-squared 0.7566 S.D. var dependen 11.1045 S.E. dari regresi 5.4781 Sum squared resid 1140.3440 Log likelihood -141.6301 F-statistik 50.3390 Durbin-Watson stat 2.3284 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Pooled Least Squares untuk panel data, dengan metode Fixed Effect (White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors and Covariance). Total jumlah observasi: 47 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t Πit: inflasi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t δit-1: pertumbuhan ekonomi pada periode t-1

Estimasi yang terakhir dilakukan adalah estimasi untuk Indonesia. Dalam estimasi kesinambungan rasio utang terhadap PDB ini, Tim PPE FE UGM menggunakan dua variabel dummy. Variabel dummy tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi perilaku variabel rasio utang terhadap PDB dan perubahan dari rasio utang terhadap PDB. Variabel dummy yang pertama (dumD1) adalah variabel dummy untuk melihat perilaku perubahan rasio utang terhadap PDB. Variabel dumD1 bernilai 1 pada saat perubahan rasio utang terhadap PDB positif (d(Dt)>0) dan bernilai 0 pada saat perubahan rasio utang terhadap PDB negatif (d(Dt)<0).

Sedangkan variabel dummy yang kedua (dumD2) adalah untuk mengakomodasi perilaku data rasio utang terhadap PDB. Variabel dumD2 ini bernilai 1 pada observasi tahun 1997-2000, tahun pada saat rasio utang terhadap PDB Indonesia meningkat dengan sangat cepat (Gambar 5.2). Sedangkan dumD2 benilai 0 untuk observasi selain observasi tahun 1997-2000.

Page 156: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

144

Gambar 5.2 Rasio Utang Indonesia terhadap PDB, 1971-2004

Sumber: Departemen Keuangan

Tabel 5.21

Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1970-2004

Variabel Dependen: d(Dt)

Variabel Dependen: d(Dt) Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Prob.

α 8.1705 2.6687 3.0616 0.0052 dumD2 90.9531 9.3424 9.7355 0.0000 Dt-1 -0.1976 0.0473 -4.1776 0.0003 Dt-1*dumD1 0.1483 0.0418 3.5468 0.0016 Dt-1*dumD2 -0.8099 0.1061 -7.6348 0.0000 Πt -0.3236 0.1112 -2.9111 0.0075 R-squared 0.9056 Rata-rata var dependen 1.0108 Adjusted R-squared 0.8868 S.D. var dependen 13.0301 S.E. dari regresi 4.3849 Akaike info criterion 5.9662 Sum squared resid 480.6836 Schwarz criterion 6.2437 Log likelihood -86.4760 F-statistik 47.9818 Durbin-Watson stat 2.1683 Prob(F-statistik) 0.0000

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan Ordinary Least Squares (OLS) Total jumlah observasi: 31 d(Dit): perubahan rasio utang terhadap PDB pada periode t Dit-1: rasio utang terhadap PDB pada periode t Πit: inflasi pada periode t-1 YGAPit: output gap pada periode t δit: pertumbuhan ekonomi pada periode t δit-1: pertumbuhan ekonomi pada periode t-1

Hasil dari estimasi untuk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.21. Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi perubahan rasio utang terhadap PDB untuk Indonesia adalah variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dt-1) dan inflasi (Πt). Kedua variabel dummy yang diestimasi menunjukkan hasil yang signifikan. Variabel dumD1 signifikan mempengaruhi besarnya koefisien variabel Dt-1 pada setiap perubahan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, variabel dumD2 signifikan mempengaruhi besarnya konstanta (α) dan koefisien variabel Dt-1 antara tahun 1997-2002 dan selain tahun 1997-2002. Koefisien variabel Dt-1 sendiri signifikan dan bernilai negatif. Hasil ini

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1975 1980 1985 1990 1995 2000

R a s i o Utang terhadap GDP

%

Page 157: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

145

5.4 Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia

menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB untuk Indonesia merupakan variabel yang stasioner.

Dari keseluruhan estimasi untuk melihat kesinambungan rasio utang terhadap PDB ini dapat dilihat arah dan besaran dari koefisien variabel rasio utang terhadap PDB satu periode sebelumnya (Dt-1). Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.22.

Dari Tabel 5.22 dapat dilihat bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia dalam estimasi ini memiliki perilaku yang sama dengan rasio utang terhadap PDB untuk negara-negara OECD, baik untuk semua anggota OECD maupun negara maju OECD. Dari semua kelompok negara, negara-negara HIPC merupakan kelompok negara dengan rasio utang terhadap PDB yang tidak stasioner. Namun variabel-variabel yang harus diestimasi bersama dengan Dt-1 agar menghasilkan series yang stasioner (GVAR dan YVAR dalam penelitian Bohn) berbeda-beda untuk setiap katagori negara.

Tabel 5.22 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB

Kelompok Negara Koefisien (Dt-1) Standar Eror t-statistik Prob.

Semua Negara OECD -0.3038 0.0877 -3.4637 0.0008 Negara OECD Maju -0.2999 0.0636 -4.7129 0.0000 HIPC 0.0331 0.3856 0.0859 0.9329 Emerging Market -0.3533 0.1051 -3.3630 0.0012 ASEAN -0.1212 0.0378 -3.2066 0.0027 Indonesia -0.1976 0.0473 -4.1776 0.0003

Dari hasil estimasi yang dilakukan di atas dapat dilihat bahwa reaksi rasio keseimbangan primer Indonesia terhadap rasio utang terhadap PDB sama dengan reaksi negara-negara OECD dan negara-negara maju. Untuk dapat melihat bagaimana kedua variabel tersebut saling bereaksi, Tim PPE FE UGM melakukan berbagai simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia. Simulasi ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar penurunan rasio utang terhadap PDB yang terjadi melalui berbagai asumsi keadaan fiskal dan makroekonomi Indonesia yang mungkin dicapai. Dalam simulasi ini, dilakukan prediksi untuk rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan 2010. Rasio utang terhadap PDB yang menjadi dasar simulasi adalah rasio tahun 2004.

Metode estimasi yang digunakan dalam simulasi ini sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002) dalam Indonesia: Managing Government Debt And Its Risks. Namun kemudian dilakukan perubahan untuk beberapa asumsi agar hasil simulasi ini lebih dekat dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Dalam simulasi ini perubahan yang terjadi pada rasio utang terhadap PDB dipengaruhi oleh selisih antara pertumbuhan PDB dengan rata-rata suku bunga yang dibayarkan pada utang pemerintah, primary fiscal surplus, capital revenue serta off budget losses. Secara matematis perhitungan simulasi dapat dituliskan sebagai berikut.

Page 158: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

146

ttttttt lossesbudgetoffrevenuecapitalsurplusfiscalprimary)gi(D)D(d +−−−= −1 (5.5)

Di mana: d(Dt): perubahan rasio utang terhadap PDB Dt-1: rasio debt/PDB pada periode t-1 it: rata-rata suku bunga nominal yang dibayarkan untuk utang

pemerintah pada periode t gt: pertumbuhan PDB riil pada periode t primary fiscal surplust: fiskal surplus ditambah dengan pembayaran utang pada

periode t capital revenuet: sumber penerimaan pemerintah dari penjualan aset pada

periode t off-budget lossest: tambahan kenaikan utang dari off-budget losses

(contingent liabilities) pada periode t

Data yang digunakan dalam estimasi diatas adalah dalam rasio terhadap PDB kecuali untuk data pertumbuhan PDB riil dan rata-rata suku bunga yang dibayarkan untuk utang pemerintah. Rasio utang terhadap PDB yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah rasio untuk tahun 2004. Data rasio utang terhadap PDB merupakan data yang berasal dari Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 dari Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Dalam Nota Keuangan tersebut, terdapat perubahan tahun dasar yang digunakan untuk perhitungan PDB Indonesia. Dampak perubahan dasar tahun penghitungan PDB terhadap rasio utang pemerintah dapat dilihat pada Tabel 5.23.

Tabel 5.23 Dampak Perubahan Tahun Dasar Perhitungan PDB

terhadap Rasio Utang Pemerintah

PDB dengan Tahun Dasar 1993 PDB dengan Tahun Dasar 2000 Tahun Rasio Utang Pemerintah Rasio Utang Pemerintah

2001 2002 2003 2004*) 2005**)

86,56% 77,02% 67,51% 60,10% 54,90%

75,43% 65,36% 57,80% 52,20% 47,00%

Keterangan: *)Asumsi dalam APBN 2004 **) Asumsi dalam RAPBN 2005 Sumber : BPS (untuk PDB tahun 2001- 2003) dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2005

Dalam simulasi ini data PDB yang digunakan dalam estimasi rasio utang terhadap PDB adalah PDB dengan tahun dasar 1993 (rasio utang terhadap PDB sebesar 60,10 persen) dan PDB dengan tahun dasar 2000, (rasio utang terhadap PDB sebesar 52,2 persen). Data rata-rata suku bunga yang dipakai dalam simulasi adalah biaya pinjaman untuk utang luar negeri pemerintah (9,17 persen), biaya pinjaman untuk utang dalam negeri pemerintah (9,81 persen) serta data biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah (9,40 persen). Biaya pinjaman utang luar negeri yang digunakan telah memasukkan komponen forward discount. Proses perhitungan biaya pinjaman luar negeri, dalam negeri dan total pinjaman telah dibahas di Bab 4.

Pada simulasi, data suku bunga yang dipakai merupakan suku bunga nominal yang telah dikurangi dengan perkiraan inflasi. Dalam hal ini Tim PPE UGM menggunakan asumsi untuk inflasi dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Untuk tahun 2004, Tim PPE FE UGM menggunakan tingkat inflasi sesuai perkiraan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2005 yaitu sebesar 7 persen. Sedangkan untuk tahun 2005, tingkat inflasi diasumsikan sebesar 5,5 persen dan untuk tahun 2006-2010 diasumsikan sebesar 5 persen. Pertumbuhan PDB dalam simulasi ini menggunakan pertumbuhan PDB riil. Nilai pertumbuhan PDB tahun 2004 yang

Page 159: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

147

digunakan sebagai data dasar untuk simulasi diperoleh dari proyeksi Departemen Keuangan dalam Nota Keuangan, yaitu sebesar 4,8 persen. Sementara itu untuk tahun-tahun berikutnya diasumsikan sebesar 5,5 persen untuk tahun 2005, 2006 dan 2007 dan untuk tahun 2008, 2009 dan 2010 sebesar 6 persen.

Sedangkan data mengenai rasio pendapatan kapital terhadap PDB dan rasio off-budget losses terhadap PDB menggunakan asumsi yang dipakai oleh Bank Dunia. Asumsi yang digunakan untuk kedua variabel ini dapat dilihat pada Tabel 5.24. Melalui berbagai skenario tersebut dapat diketahui seberapa besar penurunan rasio utang yang terjadi

Tabel 5.24 Asumsi Pendapatan Kapital dan Off-Budget Loss

dalam Simulasi Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB

(%)

Tahun Pendapatan Kapital Off-Budget Loss 2004 1,2 0,2 2005 0,5 0,1 2006 0,3 0,1 2007 0,3 0,1 2008 0,2 0,1 2009 0,2 0,1 2010 0,2 0,1

Keterangan: merupakan rasio terhadap PDB Sumber: Indonesia: Managing Government Debt And Its Risks, Bank Dunia 2000

Simulasi pertama dilakukan untuk mengetahui penurunan rasio utang terhadap PDB Indonesia melalui beberapa skenario keseimbangan primer. Rasio keseimbangan primer yang digunakan dalam sekenario sebesar 0 persen, 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen dan 2 persen. Rasio utang yang digunakan adalah rasio utang untuk kedua perhitungan tahun dasar PDB, yaitu sebesar 60,10 persen untuk tahun dasar 1993 dan 52,2 persen untuk tahun dasar 2000. Simulasi penurunan utang untuk PDB dengan tahun dasar 1993 dapat dilihat dalam Tabel 5.24.

Dari simulasi pada Tabel 5.25 dapat dilihat bahwa selama tahun 2004 sampai dengan 2010 (dengan perhitungan tahun dasar 1993) penurunan rasio utang terhadap PDB menyebabkan semakin besarnya rasio keseimbangan primer yang ditetapkan. Penurunan utang terbesar terjadi ketika simulasi dilakukan dengan menggunakan keseimbangan primer sebesar 2 persen di mana pada tahun 2010 rasio utang terhadap PDB menjadi sebesar 42,5 persen. Sedangkan ketika menggunakan keseimbangan primer terkecil yaitu sebesar 0 persen maka pada rasio utang terhadap PDB pada tahun 2010 turun menjadi sebesar 54,06 persen.

Page 160: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

148

Tabel 5.25 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer

Tahun Dasar PDB 1993 (%)

Keseimbangan primer 2% Tahun Utang g i PB CapRev OffBudgetLoss Perubahan Utang

2004 60,10 4,8 2,40 1,2 0,2 2005 56,74 5,5 3,90 2 0,5 0,1 -3,36 2006 53,91 5,5 4,40 2 0,3 0,1 -2,83 2007 51,12 5,5 4,40 2 0,3 0,1 -2,79 2008 48,20 6 4,40 2 0,2 0,1 -2,92 2009 45,33 6 4,40 2 0,2 0,1 -2,87 2010 42,50 6 4,40 2 0,2 0,1 -2,83

Keseimbangan primer 1,5% Tahun Utang g i PB CapRev OffBudgetLoss Perubahan Utang

2004 60,10 4,8 2,40 1,2 0,2 2005 57,24 5,5 3,90 1,5 0,5 0,1 -2,86 2006 54,91 5,5 4,40 1,5 0,3 0,1 -2,33 2007 52,60 5,5 4,40 1,5 0,3 0,1 -2,31 2008 50,16 6 4,40 1,5 0,2 0,1 -2,44 2009 47,75 6 4,40 1,5 0,2 0,1 -2,40 2010 45,39 6 4,40 1,5 0,2 0,1 -2,37

Keseimbangan primer 1% Tahun Utang g i PB CapRev OffBudgetLoss Perubahan Utang

2004 60,10 4,8 2,40 1,2 0,2 2005 57,74 5,5 3,90 1 0,5 0,1 -2,36 2006 55,90 5,5 4,40 1 0,3 0,1 -1,84 2007 54,08 5,5 4,40 1 0,3 0,1 -1,82 2008 52,12 6 4,40 1 0,2 0,1 -1,97 2009 50,18 6 4,40 1 0,2 0,1 -1,94 2010 48,28 6 4,40 1 0,2 0,1 -1,90

Page 161: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

149

Tabel 5.25 (Lanjutan)

Keseimbangan primer 0,5% Tahun Utang g i PB CapRev OffBudgetLoss Perubahan Utang

2004 60,10 4,8 2,40 1,2 0,2 2005 58,24 5,5 3,90 0,5 0,5 0,1 -1,86 2006 56,89 5,5 4,40 0,5 0,3 0,1 -1,34 2007 55,57 5,5 4,40 0,5 0,3 0,1 -1,33 2008 54,08 6 4,40 0,5 0,2 0,1 -1,49 2009 52,61 6 4,40 0,5 0,2 0,1 -1,47 2010 51,17 6 4,40 0,5 0,2 0,1 -1,44

Keseimbangan primer 0% Tahun Utang g i PB CapRev OffBudgetLoss Perubahan Utang

2004 60,10 4,8 2,40 1,2 0,2 2005 58,74 5,5 3,90 0 0,5 0,1 -1,36 2006 57,89 5,5 4,40 0 0,3 0,1 -0,85 2007 57,05 5,5 4,40 0 0,3 0,1 -0,84 2008 56,04 6 4,40 0 0,2 0,1 -1,01 2009 55,04 6 4,40 0 0,2 0,1 -1,00 2010 54,06 6 4,40 0 0,2 0,1 -0,98

Keterangan: Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB g: pertumbuhan PDB riil, i: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB CapRev: rasio pendapatan kapital terhadap PDB Off-Budget Loss: rasio off-budget losses terhadap PDB Perubahan: perubahan penurunan rasio utang terhadap PDB

Page 162: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

150

Tabel 5.26 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk

Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer Tahun Dasar PDB 2000

(%)

Keseimbangan primer 2% Tahun Utang Perubahan

2004 52,20 2005 48,96 -3,24 2006 46,22 -2,74 2007 43,51 -2,71 2008 40,72 -2,80 2009 37,96 -2,75 2010 35,26 -2,71 Keseimbangan primer 1,5%

Tahun Utang Perubahan 2004 52,20 2005 49,46 -2,74 2006 47,22 -2,25 2007 45,00 -2,22 2008 42,68 -2,32 2009 40,39 -2,28 2010 38,15 -2,25 Keseimbangan primer 1%

Tahun Utang Perubahan 2004 52,20 2005 49,96 -2,24 2006 48,21 -1,75 2007 46,48 -1,73 2008 44,64 -1,84 2009 42,82 -1,82 2010 41,03 -1,79 Keseimbangan primer 0,5%

Tahun Utang Perubahan 2004 52,20 2005 50,46 -1,74 2006 49,21 -1,26 2007 47,96 -1,24 2008 46,60 -1,37 2009 45,25 -1,35 2010 43,92 -1,33

Page 163: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

151

Tabel 5.26 (Lanjutan)

Keseimbangan primer 0%

Tahun Utang Perubahan 2004 52,20 2005 50,96 -1,24 2006 50,20 -0,76 2007 49,45 -0,75 2008 48,56 -0,89 2009 47,68 -0,88 2010 46,81 -0,86

Keterangan : Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB Perubahan: perubahan penurunan rasio utang terhadap PDB Variabel lainnya sama dengan variabel pada Tabel 20

Simulasi juga dilakukan dengan menggunakan data rasio utang terhadap PDB dengan PDB tahun dasar 2000, yaitu sebesar 52,2 persen. Simulasi ini menggunakan asumsi yang sama untuk beberapa variabel yang digunakan dalam simulasi pada Tabel 5.25. Hasil dari simulasi ini dapat dlihat pada Tabel 5.26.

Berdasarkan Tabel 5.26, rasio utang terhadap PDB terendah pada tahun 2010, sebesar 35,26 persen ketika keseimbangan primer ditetapkan sebesar 2 persen. Rasio utang terhadap PDB pada tahun 2010 mencapai rasio tertinggi sebesar 46,81 ketika keseimbangan primer sebesar 0 persen, sebesar 46,81 persen. Hasil Tabel 5.26 secara lengkap terdapat pada Lampiran 4.

Dari berbagai kemungkinan rasio keseimbangan primer Tabel 5.25 dan Tabel 5.26, maka rasio keseimbangan yang memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah pada tingkat 1,5 persen. Tim PPE FE UGM selanjutnya melakukan estimasi dengan tingkat keseimbangan primer sebesar 1,5 persen ini, untuk melihat besarnya penurunan rasio utang terhadap PDB. Untuk rasio utang terhadap PDB dengan tahun dasar 1993, yaitu sebesar 60,1 persen, target rasio utang yang ingin ditetapkan adalah sebesar 55 persen, 50 persen dan 40 persen. Pada saat rasio utang telah mencapai target melalui keseimbangan primer sebesar 1,5 persen, dilakukan perhitungan untuk mengetahui seberapa besar keseimbangan primer yang harus dicapai agar tingkatan utang yang telah ditetapkan tersebut dapat stabil. Hasil dari simulasi ini dapat dilihat pada Tabel 5.27.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan rasio keseimbangan primer terhadap PDB sebesar 1,5 persen, target rasio utang terhadap PDB sebesar 55 persen dan 50 persen dapat dicapai. Target 55 persen akan dapat dicapai pada tahun 2006, dengan menetapkan keseimbangan primer sebesar 1,5 persen pada tahun 2005 dan 1,41 persen pada tahun 2006. Selanjutnya target rasio utang terhadap PDB sebesar 55 persen dapat dilakukan dengan menetapkan keseimbangan primer sebesar -0,81 persen pada tahun 2007 dan sebesar -0,98 persen dari tahun 2008 sampai dengan 2010.

Target rasio utang terhadap PDB sebesar 50 persen dapat dicapai pada tahun 2009. Untuk dapat mencapai rasio tersebut diperlukan keseimbangan primer sebesar 1,5 persen setiap tahunnya sampai dengan tahun 2008 dan keseimbangan primer sebesar -0,75 persen pada tahun 2009. Selanjutnya rasio utang terhadap PDB utang dapat dipertahankan pada tingkat 50 persen dengan keseimbangan primer sebesar -0,90 persen pada tahun 2010. Namun dengan rasio keseimbangan primer tersebut, target rasio utang terhadap PDB yang diharapkan sebesar 40 persen tidak dapat dicapai pada tahun 2010. Dengan rasio keseimbangan ditetapkan sebesar 1,5 persen, pada tahun 2010, rasio utang terhadap PDB sebesar 45,39 persen.

Page 164: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

152

Tabel 5.27

Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 persen Tahun Dasar PDB 1993

(%) Utang: 60,10% - 55% Tahun Utang PB Perubahan

2004 60,10 0 2005 57,24 1,50 -2,86 2006 55,00 1,41 -2,24 2007 55,00 -0,81 0 2008 55,00 -0,98 0 2009 55,00 -0,98 0 2010 55,00 -0,98 0

Utang: 60,10% - 50% Tahun Utang PB Perubahan

2004 60,10 0 2005 57,24 1,50 -2,86 2006 54,91 1,50 -2,33 2007 52,60 1,50 -2,31 2008 50,16 1,50 -2,44 2009 50,00 -0,75 -0,16 2010 50,00 -0,90 0

Utang: 60,10% - 40% Tahun Utang PB Perubahan

2004 60,10 0 2005 57,24 1,50 -2,86 2006 54,91 1,50 -2,33 2007 52,60 1,50 -2,31 2008 50,16 1,50 -2,44 2009 47,75 1,50 -2,40 2010 45,39 1,50 -2,37

Keterangan : Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB Perubahan: perubahan penurunan rasio utang terhadap PDB Variabel lainnya sama dengan variabel pada Tabel 20

Dengan rasio keseimbangan primer sebesar 1,5 persen dilakukan juga estimasi dengan menggunakan rasio utang terhadap PDB dengan tahun dasar 2000. Target rasio utang terhadap PDB yang ingin dicapai dengan rasio awal 52,20 persen ini adalah sebesar 50 persen dan 40 persen. Pada saat rasio utang telah mencapai target melalui keseimbangan primer sebesar 1,5 persen, dilakukan perhitungan untuk mengetahui seberapa besar keseimbangan primer yang harus dicapai agar tingkat utang yang telah ditetapkan tersebut dapat stabil. Hasil dari simulasi ini dapat dilihat pada Tabel 5.28.

Dari hasil pada Tabel 5.28 dapat dilihat bahwa dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 52,2 persen pada tahun 2004, rasio utang dapat mencapai 50 persen pada tahun 2005 dengan keseimbangan primer sebesar 0,96 persen. Rasio utang ini akan dapat dipertahankan sampai dengan tahun 2010 dengan menetapkan rasio keseimbangan primer sebesar -0,75 persen pada tahun 2006 dan 2007, serta -0,90 persen pada tahun 2008 sampai dengan 2010.

Sedangkan untuk targat rasio utang terhadap PDB sebesar 40 persen dapat di capai pada tahun 2010 dengan keseimbangan primer sebesar 1,5 persen dari

Page 165: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

153

tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Untuk mempertahankan rasio utang 40 persen ini pada tahun 2010, maka keseimbangan primer yang dibutuhkan adalah sebesar -0,35 persen. Simulasi-simulasi untuk melihat berbagai tingkat rasio utang yang dapat dicapai dengan menggunakan keseimbangan primer sebesar 0 persen, 0,5 persen,1 persen, dan 2 persen dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 5.28 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Utang: 52,20% - 50% Tahun Utang PB Perubahan

2004 52,20 0 2005 50,00 0,96 -2,20 2006 50,00 -0,75 0 2007 50,00 -0,75 0 2008 50,00 -0,90 0 2009 50,00 -0,90 0 2010 50,00 -0,90 0

Utang: 52,20% - 40% Tahun Utang PB Perubahan

2004 52,20 0 2005 49,46 1,50 -2,74 2006 47,22 1,50 -2,25 2007 45,00 1,50 -2,22 2008 42,68 1,50 -2,32 2009 40,39 1,50 -2,28 2010 40,00 -0,35 -0,39

Keterangan : Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB Perubahan: perubahan penurunan rasio utang terhadap PDB Variabel lainnya sama dengan variabel pada Tabel 20

Tim PPE FE UGM juga mencoba melakukan simulasi dengan memisahkan antara utang luar negeri dan dalam negeri. Simulasi ini juga dilakukan dengan data rasio utang terhadap PDB dengan tahun dasar 1993 dan 2000. Data rasio utang luar negeri terhadap PDB serta rasio utang dalam negeri terhadap PDB berasal dari Nota Keuangan. Untuk perhitungan PDB dengan tahun dasar 1993, rasio utang luar negeri terhadap PDB sebesar 28,3 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB sebesar 31,8 persen. Sedangkan untuk PDB dengan tahun dasar 2000, data mengenai kedua rasio tersebut diestimasi dengan dasar perbandingan antara pertumbuhan PDB tahun 1993 dan 2000. Melalui perhitungan tersebut diperoleh rasio utang luar negeri terhadap PDB sebesar 24,58 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB sebesar 27,62 persen.

Dalam simulasi, variabel rasio penerimaan kapital terhadap PDB dan rasio off-budget losses terhadap PDB tidak dimasukkan dalam penghitungan penurunan utang luar negeri. Rasio keseimbangan primer yang digunakan, dipisahkan antara rasio keseimbangan primer yang disediakan untuk utang dalam negeri dan untuk utang luar negeri. Besarnya rasio keseimbangan primer untuk kedua jenis utang ini dipisahkan berdasarkan besarnya proporsi masing-masing utang tersebut terhadap total utang. Total rasio keseimbangan primer yang digunakan adalah 0 persen, 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen dan 2 persen.

Dari simulasi ini diharapkan rasio utang luar negeri terhadap PDB Indonesia dapat mencapai 15 persen pada tahun 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

Page 166: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

154

dilakukan oleh Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003). Sesuai dengan penelitian tersebut, batas toleransi pemerintah terhadap utang akan ditentukan oleh besarnya probabilita kegagalan (default) dan sejarah inflasi negara yang bersangkutan. Batas toleransi yang dihasilkan adalah besarnya variabel rasio utang luar negeri terhadap PDB yang aman, yaitu 15 persen. Simulasi penurunan rasio utang terhadap PDB dengan memisahkan antara utang luar negeri dan dalam negeri untuk tahun dasar 1993 dan dasar tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 5.29 dan Tabel 5.30.

Dari Tabel 5.29 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 rasio utang luar negeri terhadap PDB turun menjadi sebesar 21,52 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB turun menjadi sebesar 24,20 persen. Hasil ini diperoleh dengan menetapkan total rasio keseimbangan terhadap PDB sebesar 1,5 persen. Sedangkan dengan keseimbangan primer sebesar 2 persen rasio utang luar negeri terhadap PDB tahun 2010 turun menjadi sebesar 20,17 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB turun menjadi sebesar 22,66 persen, Pada keseimbangan primer terendah yaitu sebesar 0 persen maka rasio utang luar negeri terhadap PDN pada tahun 2010 menjadi sebesar 25,58 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB sebesar 28,84 persen.

Dari seluruh simulasi pada Tabel 5.29, tidak dihasilkan rasio utang luar negeri terhadap PDB yang mencapai 15 persen. Simulasi dengan menggunakan keseimbangan primer sebesar 2 persen hanya mampu menurunkan rasio utang luar negeri terhadap PDB menjadi sebesar 20,17 persen. Ini berarti diperlukan keseimbangan primer yang lebih tinggi untuk mencapai rasio utang luar negeri terhadap PDB sebesar 15 persen.

Sedangkan simulasi pada Tabel 5.29 (PDB tahun dasar 2000), dengan keseimbangan primer sebesar 2 persen, rasio utang luar negeri terhadap PDB tahun 2010 turun menjadi sebesar 16,81 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB turun menjadi sebesar 18,73 persen, Pada keseimbangan primer terendah yaitu sebesar 0 persen maka rasio utang luar negeri terhadap PDB pada tahun 2010 menjadi sebesar 22,22 persen dan rasio utang dalam negeri terhadap PDB sebesar 24,91 persen.

Semua simulasi pada Tabel 5.30 juga tidak mampu menghasilkan rasio utang luar negeri terhadap PDB sebesar 15 persen yang merupakan debt intolerance yang dikemukakan oleh Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003). Rasio utang luar negeri terendah yang dapat dicapai adalah ketika keseimbangan primer sebesar 2 persen, dimana rasio utang luar negeri terhadap PDB menjadi sebesar 16,81 persen. Simulasi pada Tabel 5.30 dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 4.

Page 167: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

155

Tabel 5.29 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer

(PDB Tahun Dasar 1993) (%)

Keseimbangan Primer 0% Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) PB (LN) PB (DN) Perubahan (LN) Perubahan (LN)

2004 60,10 28,30 31,80 4,8 2,81 2,17 2005 58,80 27,78 31,02 5,5 4,31 3,67 0 0 -0,52 -0,78 2006 58,02 27,41 30,61 5,5 4,81 4,17 0 0 -0,37 -0,41 2007 57,24 27,04 30,20 5,5 4,81 4,17 0 0 -0,37 -0,41 2008 56,29 26,55 29,74 6 4,81 4,17 0 0 -0,50 -0,46 2009 55,35 26,06 29,29 6 4,81 4,17 0 0 -0,49 -0,45 2010 54,42 25,58 28,84 6 4,81 4,17 0 0 -0,48 -0,45

Keseimbangan Primer 0,5% Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) PB (LN) PB (DN) Perubahan (LN) Perubahan (LN)

2004 60,10 28,30 31,80 4,8 2,81 2,17 2005 58,30 27,55 30,76 5,5 4,31 3,67 0,24 0,26 -0,75 -1,04 2006 57,02 26,94 30,08 5,5 4,81 4,17 0,24 0,26 -0,60 -0,68 2007 55,76 26,35 29,41 5,5 4,81 4,17 0,24 0,26 -0,60 -0,67 2008 54,32 25,63 28,70 6 4,81 4,17 0,24 0,26 -0,72 -0,71 2009 52,91 24,92 28,00 6 4,81 4,17 0,24 0,26 -0,71 -0,70 2010 51,52 24,22 27,30 6 4,81 4,17 0,24 0,26 -0,70 -0,69 Keseimbangan Primer 1%

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) PB (LN) PB (DN) Perubahan (LN) Perubahan (LN) 2004 60,10 28,30 31,80 4,8 2,81 2,17 2005 57,80 27,31 30,49 5,5 4,31 3,67 0,47 0,53 -0,99 -1,31 2006 56,03 26,47 29,55 5,5 4,81 4,17 0,47 0,53 -0,84 -0,94 2007 54,27 25,65 28,62 5,5 4,81 4,17 0,47 0,53 -0,82 -0,93 2008 52,36 24,71 27,65 6 4,81 4,17 0,47 0,53 -0,94 -0,97 2009 50,48 23,78 26,70 6 4,81 4,17 0,47 0,53 -0,92 -0,96 2010 48,63 22,88 25,75 6 4,81 4,17 0,47 0,53 -0,91 -0,95

Page 168: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

156

Tabel 5.29 (Lanjutan)

Keseimbangan Primer 1,5%

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) PB (LN) PB (DN) Perubahan (LN) Perubahan (LN) 2004 60,10 28,30 31,80 4,8 2,81 2,17 2005 57,30 27,07 30,23 5,5 4,31 3,67 0,71 0,79 -1,23 -1,57 2006 55,03 26,01 29,03 5,5 4,81 4,17 0,71 0,79 -1,07 -1,20 2007 52,79 24,95 27,83 5,5 4,81 4,17 0,71 0,79 -1,05 -1,19 2008 50,40 23,79 26,61 6 4,81 4,17 0,71 0,79 -1,16 -1,22 2009 48,05 22,65 25,40 6 4,81 4,17 0,71 0,79 -1,14 -1,21 2010 45,73 21,52 24,20 6 4,81 4,17 0,71 0,79 -1,12 -1,20 Keseimbangan Primer 2%

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) PB (LN) PB (DN) Perubahan (LN) Perubahan (LN) 2004 60,10 28,30 31,80 4,8 2,81 2,17 2005 56,80 26,84 29,96 5,5 4,31 3,67 0,94 1,06 -1,46 -1,84 2006 54,04 25,54 28,50 5,5 4,81 4,17 0,94 1,06 -1,30 -1,46 2007 51,30 24,26 27,05 5,5 4,81 4,17 0,94 1,06 -1,28 -1,45 2008 48,44 22,87 25,57 6 4,81 4,17 0,94 1,06 -1,39 -1,48 2009 45,61 21,51 24,10 6 4,81 4,17 0,94 1,06 -1,36 -1,46 2010 42,83 20,17 22,66 6 4,81 4,17 0,94 1,06 -1,34 -1,44

Keterangan: Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB Utang LN: rasio utang luar negeri terhadap PDB Utang DN: rasio utang dalam negeri terhadap PDB g: pertumbuhan PDB riil, i (DN): biaya pinjaman untuk utang luar negeri pemerintah i (LN): biaya pinjaman untuk utang dalam negeri pemerintah PB (LN): rasio keseimbangan primer untuk utang luar negeri PB (DN): rasio keseimbangan primer untuk utang dalam negeri Perubahan (LN): perubahan penurunan rasio utang luar negeri terhadap PDB Perubahan (DN): perubahan penurunan rasio utang dalam negeri terhadap PDB

Page 169: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

157

Tabel 5.30 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer

(PDB Tahun Dasar 2000) (%)

Keseimbangan Primer 0% Tahun Utang Utang LN Utang DN PB (LN) PB (DN) Perubahan(LN) Perubahan(DN)

2004 52,20 24,58 27,62 2005 51,02 24,13 26,89 0 0 -0,45 -0,73 2006 50,31 23,81 26,51 0 0 -0,32 -0,38 2007 49,61 23,49 26,12 0 0 -0,32 -0,38 2008 48,77 23,06 25,71 0 0 -0,43 -0,41 2009 47,94 22,64 25,31 0 0 -0,42 -0,41 2010 47,13 22,22 24,91 0 0 -0,42 -0,40

Keseimbangan Primer 0,5% Tahun Utang Utang LN Utang DN PB (LN) PB (DN) Perubahan(LN) Perubahan(DN)

2004 52,20 24,58 27,62 2005 50,52 23,89 26,63 0,24 0,26 -0,69 -0,99 2006 49,32 23,34 25,98 0,24 0,26 -0,56 -0,65 2007 48,13 22,79 25,34 0,24 0,26 -0,55 -0,64 2008 46,81 22,14 24,67 0,24 0,26 -0,65 -0,66 2009 45,51 21,49 24,02 0,24 0,26 -0,64 -0,65 2010 44,23 20,86 23,37 0,24 0,26 -0,63 -0,65

Keseimbangan Primer 1% Tahun Utang Utang LN Utang DN PB (LN) PB (DN) Perubahan(LN) Perubahan(DN)

2004 52,20 24,58 27,62 2005 50,02 23,66 26,36 0,47 0,53 -0,92 -1,26 2006 48,32 22,87 25,45 0,47 0,53 -0,79 -0,91 2007 46,64 22,10 24,55 0,47 0,53 -0,78 -0,90 2008 44,85 21,22 23,63 0,47 0,53 -0,88 -0,92 2009 43,08 20,36 22,72 0,47 0,53 -0,86 -0,91 2010 41,33 19,51 21,82 0,47 0,53 -0,84 -0,90

Page 170: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

158

Tabel 5.30 (Lanjutan)

Keseimbangan Primer 1,5% Tahun Utang Utang LN Utang DN PB (LN) PB (DN) Perubahan(LN) Perubahan(DN)

2004 52,20 24,58 27,62 2005 49,52 23,42 26,10 0,71 0,79 -1,16 -1,52 2006 47,33 22,40 24,93 0,71 0,79 -1,02 -1,17 2007 45,16 21,40 23,76 0,71 0,79 -1,01 -1,17 2008 42,88 20,30 22,58 0,71 0,79 -1,10 -1,18 2009 40,64 19,22 21,42 0,71 0,79 -1,08 -1,16 2010 38,44 18,16 20,27 0,71 0,79 -1,06 -1,15

keseimbangan primer 2 % Tahun Utang Utang LN Utang DN PB (LN) PB (DN) Perubahan(LN) Perubahan(DN)

2004 52,20 24,58 27,62 2005 49,02 23,19 25,83 0,94 1,06 -1,39 -1,79 2006 46,33 21,94 24,40 0,94 1,06 -1,25 -1,44 2007 43,67 20,70 22,97 0,94 1,06 -1,23 -1,43 2008 40,92 19,38 21,54 0,94 1,06 -1,32 -1,43 2009 38,21 18,08 20,13 0,94 1,06 -1,30 -1,41 2010 35,54 16,81 18,73 0,94 1,06 -1,27 -1,40

Keterangan: Keterangan: Utang: rasio total utang pemerintah terhadap PDB Utang LN: rasio utang luar negeri terhadap PDB Utang DN: rasio utang dalam negeri terhadap PDB g: pertumbuhan PDB riil, i (DN): biaya pinjaman untuk utang luar negeri pemerintah i (LN): biaya pinjaman untuk utang dalam negeri pemerintah PB (LN): rasio keseimbangan primer untuk utang luar negeri PB (DN): rasio keseimbangan primer untuk utang dalam negeri Perubahan (LN): perubahan penurunan rasio utang luar negeri terhadap PDB Perubahan (DN): perubahan penurunan rasio utang dalam negeri terhadap PDB Variabel-variabel lain yang digunakan pada Tabel 5.30 sama dengan variabel pada Tabel 5.29

Page 171: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

159

6.1 Pengertian Pinjaman yang Efisien

Bab

6 EFISIENSI UTANG

HASIL ESTIMASI EFISIENSI UTANG DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI INDONESIA - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Output kedua studi ini adalah untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan APBN. Secara spesifik, pada Bab VI dilakukan analisis efisiensi pinjaman sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN, baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Selain itu dibahas juga portofolio utang yang optimal.

Suatu pinjaman dianggap lebih efisien apabila biaya pinjaman tersebut lebih kecil dibandingkan biaya pinjaman lainnya. Dalam analisis ini dilakukan estimasi biaya pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri dengan menggunakan proksi rata-rata tertimbang bunga masing-masing pinjaman.

Efisiensi aktivitas suatu pinjaman luar negeri terkait dengan faktor biaya yang ditimbulkan oleh pinjaman tersebut. Dari sisi risiko, biaya akan meningkat apabila terjadi perubahan, misalnya perubahan nilai tukar dan tingkat suku bunga. Bila terjadi depresiasi nilai tukar, maka pembayaran utang luar negeri akan menjadi lebih berat. Demikian pula halnya dengan suku bunga, apabila terjadi peningkatan suku bunga pinjaman, maka beban pembayaran utang semakin meningkat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan tingkat suku bunga optimal sehingga tetap dapat menarik investor/kreditur (dalam hal ini dapat disebut investor karena pemegang obligasi memandang surat utang sebagai instrumen investasi).

Dari segi suku bunga, pinjaman akan menimbulkan beban bunga sebagai biaya modal bagi debitur. Padahal, pinjaman harus memiliki tingkat bunga (kupon) yang atraktif pagi investor. Untuk menciptakan tingkat bunga (kupon) yang menarik, diperlukan pembanding (benchmark). Ukuran yang dipakai biasanya adalah suku bunga antarbank London (London Interbank Offered-Rate/LIBOR) dan Singapura (Singapore Interbank Offered-Rate/SIBOR). Adapun suku bunga LIBOR dan SIBOR selama periode tahun 1999 hingga Januari 2004 (Gambar 6.1 dan Gambar 6.2) tidak pernah lebih tinggi dari 7,35 persen per tahun. Oleh karena itu, suku bunga surat utang pun sebaiknya harus lebih tinggi daripada SIBOR dan LIBOR, agar dapat menarik minat investor.

Page 172: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

160

6.2 Country Risk Indonesia

Gambar 6.1 Suku Bunga SIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004

Sumber: www.bi.go.id

Gambar 6.2 Suku Bunga LIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004

Sumber: www.bi.go.id

Secara umum, sebuah negara kreditur menghadapi risiko utang yang lebih besar ketika memberikan pinjaman kepada negara lain, dibandingkan ketika melakukan investasi dalam negeri. Hal ini disebabkan adanya unsur country risk dalam memberikan pinjaman kepada sebuah negara.

Country risk adalah potensi risiko sistematis yang dimiliki suatu negara di mana investasi dilakukan. Dalam konteks pinjaman, hal ini menunjuk pada potensi default

Page 173: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

161

utang negara kreditur, karena adanya peristiwa-peristiwa politik atau ekonomi di negara kreditur. Saphiro (1992) dalam Kuncoro (2001) mendefinisikan country risk sebagai faktor-faktor ekonomi yang memberikan kontribusi bagi risiko umum suatu negara secara keseluruhan. Country risk telah menjadi topik penting dalam perekonomian internasional selama beberapa dekade terakhir. Investor internasional menyadari bahwa globalisasi perdagangan dunia dan keterbukaan pasar modal menimbulkan risiko yang dapat menyebabkan krisis finansial dengan contagion effect yang cepat, sehingga mengancam stabilitas sektor finansial internasional (Hoti, 2002).

Pengukuran country risk merupakan faktor krusial dalam operasi bisnis intarnasional. Hoti (2002) menyebutkan bahwa fungsi utama pengukuran country risk adalah mengantisipasi kemungkinan repudiasi utang, default atau penundaan pembayaran oleh negara kreditur. Pengukuran country risk meliputi faktor ekonomi, finansial, politik dan interaksi ketiga faktor tersebut dalam menentukan country risk untuk suatu negara tertentu.

Beberapa lembaga penilai risiko (risk rating agencies) terkemuka melakukan analisis independen terhadap country risk dengan berbagai metode penilaian risiko yang berbeda. Risk rating agencies tersebut antara lain Standard & Poor, Moody, Fitch, Euromoney, Institutional Investor, Economist Intelligent Unit, the International Country Risk Guide (ICRG) dan Transparency International (TI). Risk rating agencies tersebut menggabungkan antara informasi kuantitatif dan kualitatif dalam mengukur risiko ekonomi (economic risk), finansial (financial risk) dan risiko politik (political risk), yang kemudian digunakan untuk memperoleh peringkat (rating) risiko gabungan (composite risk rating).

Dalam membiayai suatu proyek, risiko ekonomi merupakan risiko yang mungkin timbul karena output proyek tidak memberikan pemasukan yang cukup untuk menutupi biaya operasi dan membayar utang proyek. Risiko finansial berkaitan dengan risiko bahwa pihak yang menerbitkan obligasi tidak mampu membayar pokok pinjaman dan bunga pinjaman di waktu yang telah ditentukan. Sementara itu, risiko politik adalah risiko kerugian yang ditanggung negara debitur karena adanya perubahan struktur atau kebijakan politik di negara kreditur, misalnya peraturan perpajakan dan pengenaan tarif.6

Sejak Januari 1984, ICRG telah melakukan pemeringkatan risiko ekonomi, risiko finansial dan risiko politik dan composite risk untuk 90 negara dengan basis bulanan. Sejak Maret 2002, telah tersedia peringkat negara sebanyak 140 negara. Sistem pemeringkatan ICRG terdiri dari 22 variabel yang mewakili komponen utama country risk, yaitu risiko ekonomi, risiko finansial dan risiko politik.

Risiko ekonomi dikalkulasi berdasarkan lima variabel, yaitu PDB per kapita, pertumbuhan PDB riil per tahun, laju inflasi per tahun, persentase budget balance terhadap PDB dan persentase current account terhadap PDB. Risiko finansial juga dihitung berdasarkan 5 variabel, yaitu persentase utang luar negeri terhadap PDB, debt service ratio, persentase current account terhadap ekspor, import cover, dan stabilitas nilai tukar (persentase perubahan nilai tukar). Sementara itu, risiko politik dihitung berdasarkan 12 variabel, yaitu stabilitas pemerintahan, kondisi sosial-ekonomi, profil investasi, konflik internal, konflik eksternal, korupsi, politik militer, politik agama, penegakan hukum, konflik etnis, akuntabilitas demokrasi dan kualitas birokrasi.

Seperti umumnya lembaga yang membuat peringkat risiko negara lainnya, ICRG menggolongkan country risk menjadi dua golongan utama, yaitu kemampuan untuk membayar utang (ability to pay) dan kemauan membayar utang (willingness to pay). Risiko politik diasosiasikan dengan willingness to pay, sedangkan risiko ekonomi dan risiko finansial diasosiasikan dengan ability to pay. Rata-rata variabel untuk risiko

6 www.investorwords.com.

Page 174: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

162

ekonomi dan risiko finansial diberi bobot masing-masing 25 persen, sedangkan rata-rata variabel risiko politik diberi bobot 50 persen. Semakin rendah peringkat risiko suatu negara, semakin tinggi country risk negara tersebut.

Tabel berikut berisikan statistik sederhana risiko beberapa negara berkembang, yang disusun oleh ICRG. Pemeringkatan risiko tersebut dilakukan dengan mengunakan data bulanan selama periode 1998-1999.

Tabel 6.1 Statistik Deskriptif Peringkat Risiko Beberapa Negara Berkembang, 1998-1999

Ekonomi Finansial Politik Gabungan Negara Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD

Albania 26,72 3,02 32,63 3,5 54,67 2,57 57 2,68 Argentina 39,47 1,17 33,83 0,86 75,58 0,9 74,45 1,04 Chile 39,17 2,1 37,5 0,43 74,08 3,48 75,37 2,64 Indonesia 19,47 1,29 28,5 6,46 43 1,48 45,49 3,37 Irak 23,84 0,89 22,13 5,3 35,83 3,76 40,9 2,43 Malaysia 32,79 2,09 37,75 30,2 67,83 2,72 69,18 1,5 Meksiko 34,03 1,26 31,79 1,34 68,25 0,45 67,03 0,58 Saudi Arabia 33,87 3,23 43,21 0,33 64,75 0,97 70,91 1,91 Afrika Selatan 32,78 0,98 34,75 0,94 67,75 2,14 68,14 1,24 Zimbabwe 25,84 1,54 22,67 0,96 57,75 2,3 43,13 2,32

Keterangan: SD=standar deviasi Sumber: ICRG dalam Hoti, 2002.

Pada Tabel 6.1 di atas, dapat dilihat bahwa negara dengan peringkat risiko ekonomi terendah (memiliki risiko ekonomi paling tinggi) adalah Indonesia, Irak, dan Zimbabwe. Negara yang memiliki peringkat risiko finansial terendah adalah Irak, Zimbabwe, dan Indonesia. Negara yang memiliki peringkat risiko politik terendah adalah Irak dan Indonesia. Dengan demikian, negara dengan peringkat risiko gabungan paling kecil adalah Irak, Zimbabwe dan Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa di antara 10 negara berkembang dalam Tabel 6.1, ketiga negara tersebut merupakan negara yang memiliki country risk yang tinggi.

Negara kreditur bersedia memberikan pinjaman kepada suatu negara yang memiliki country risk yang tinggi apabila diberikan kompensasi. Kompensasi tersebut berupa suku bunga pinjaman yang lebih besar dibandingkan suku bunga pasar bebas risiko (market risk free). Umumnya suku bunga pasar yang dijadikan acuan adalah suku bunga US T-Bond. Perkembangan suku bunga T-Bond 10 tahun selama periode Januari 2004-September 2004 dapat dilihat pada Tabel 6.2. Perbedaan antara suku bunga pinjaman tersebut dengan suku bunga pasar disebut sebagai risk premium.

Tabel 6.2 Suku Bunga T-Bond 10 Tahun

Tanggal Suku Bunga (%)1 Januari 2004 4,15 1 Februari 2004 4,08 1 Maret 2004 3,83 1 April 2004 4,35 1 Mei 2004 4,72 1 Juni 2004 4,73 1 Juli 2004 4,5 1 Agustus 2004 4,28 1 September 2004 4,13

Sumber: http://forecasts.org/interest-rate/10-year-treasury-bond-yield.htm.

Page 175: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

163

Ada berbagai definisi mengenai risk premium, di antaranya adalah merupakan bentuk penghargaan karena seorang investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya pada investasi yang berisiko daripada menanamkan modalnya pada investasi yang bebas risiko. Risk premium juga berarti biaya tambahan di atas biaya normal. Dibandingkan dengan Kolombia, Brazil, Filipina dan Turki, suku bunga dan premi risiko obligasi internasional Indonesia relatif lebih kecil. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.3.

Tabel 6.3 Peringkat dan Premi Risiko Beberapa Negara Berkembang

Kolombia '13 Brazil'13 Filipina'13 Turki'14 Indonesia'14 Rating

Moody's Ba2 B2 Ba2 B1 B2 S&P BB B+ BB B+ B Fitch BB B+ BB B+ B+

Jatuh Tempo 15 Jan 2013 17 Jul 2013 15 Jan 2014 15 Jan 2014 10 Mar 2014 Kupon (%) 10.75 10.25 8.25 9.50 6.75 Bunga T-Bond 10 tahun* (%) 4.13 4.13 4.13 4.13 4.13 Spread / Premi Risiko (%) 6.62 6.12 4.12 5.37 2.62

Keterangan: *) 1 September 2004 Sumber: Bloomberg Online dalam Rahmany (2004) dan http://forecasts.org/interest-rate/10-year-treasury-

bond-yield.html.

Secara umum, sebuah negara kecil menghadapi kurva penawaran dana internasional (foreign fund) yang menaik (upward sloping), meskipun memiliki mobilitas modal yang baik. Semakin tinggi tingkat foreign indebtedness suatu negara, semakin tinggi probabilitas mengalami default (rescheduling) dan suku bunga pinjaman selanjutnya. Penentuan apakah suku bunga yang tinggi ini berarti biaya pinjaman yang tinggi tergantung pada hubungan antara probabilitas default (rescheduling) dari pihak negara debitur dan negara kreditur. Apabila asumsi probabilitas default oleh negara kreditur sama dengan asumsi negara debitur, maka kenaikan suku bunga pinjaman luar negeri tidak berarti biaya pinjaman luar negeri mengalami peningkatan (Edwards, 1985).

Harberger (1980) menyatakan bahwa apabila probabilitas default oleh negara kreditur lebih besar dibandingkan probabilitas default oleh negara debitur, maka suku bunga pinjaman yang lebih tinggi mencerminkan biaya pinjaman yang tinggi pula. Dengan demikian, expected cost pinjaman luar negeri tergantung dari perbedaan antara asumsi probabilitas default negara kreditur dan negara debitur.

Sejumlah penulis mencoba melihat hubungan antara country risk premium dan tingkat foreign debt. Beberapa peneliti gagal membuktikan hubungan positif antara kedua variabel tersebut dan tingkat indebtedness di negara kreditur. Sachs (1981) menemukan bahwa koefisien debt-output ratio sebesar 0,0008 dan tidak signifikan mempengaruhi country risk premium. Hal ini berbeda dengan penelitian Edwards (1985). Edwards menganalisis pengaruh beberapa variabel yang diduga mempengaruhi country risk di negara berkembang. Variabel-variabel tersebut adalah debt/GNP, reserves/GNP, lama pinjaman, volume pinjaman, investment/GNP dan current account/GNP.

Hasil penelitian Edwards menunjukkan bahwa reserves/GNP dan investment/GNP berpengaruh secara negatif signifikan terhadap country risk, sementara debt/GNP berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap country risk premium di negara-negara berkembang. Pengaruh positif debt/GNP ini menunjukkan bahwa negara berkembang menghadapi kurva penawaran dana internasional yang menaik (memiliki slope positif). Dari hasil penelitian Edwards diperoleh rekomendasi bahwa salah satu cara yang efektif untuk mengurangi country risk premium adalah dengan cara

Page 176: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

164

6.3 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia

mengurangi rasio debt/GNP atau debt/GDP. Dengan demikian, country risk premium yang dibayarkan untuk pinjaman luar negeri dapat dikurangi.

Dalam hal denominasi mata uang, kreditur asing juga mempertimbangkan aspek risiko perubahan nilai tukar (exchange rate risk) yang mungkin terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu, perlu dilakukan estimasi risiko nilai tukar dalam mengantisipasi perubahan nilai tukar. Parameter ini bermanfaat dalam memperkirakan tekanan yang terjadi di pasar berjangka valuta asing terhadap rupiah. Apabila pemerintah ingin mengantisipasi kerugian utang yang mungkin terjadi karena adanya risiko nilai tukar, maka pemerintah dapat melakukan hedging (lindung nilai) melalui forward contract. Forward contract adalah perjanjian jual beli aset (misalnya Dolar Amerika Serikat) pada periode t=0 dengan nilai tertentu (kurs forward), di mana disepakati bahwa pembayaran akan dilakukan pada suatu waktu tertentu, misalnya pada periode t=5.

Forward contract dapat memberikan kepastian bagi pemerintah dalam hal pembayaran utang, karena jumlah cicilan utang dan pembayaran bunga utang sudah diketahui, yaitu sesuai dengan kurs forward yang disepakati. Bila kurs aktual pada saat pembayaran utang berada di bawah kurs forward, maka pemerintah akan mengalami kerugian utang (debt loss). Hal ini disebabkan pemerintah harus membeli mata uang dengan harga yang lebih mahal (sesuai dengan kurs forward) dibandingkan apabila membayar pinjaman sesuai dengan kurs aktual. Demikian pula sebaliknya, apabila kurs aktual pada saat pembayaran utang berada di atas kurs forward, maka pemerintah memperoleh keuntungan, karena harga mata uang asing yang digunakan untuk membayar pinjaman lebih rendah dibandingkan harga mata uang asing menurut kurs aktual.

Risiko nilai tukar ini dikompensasi dengan forward discount. Forward premium/discount merupakan persentase perbedaan antara kurs forward dan kurs spot.7 Apabila kurs forward Rupiah terhadap US$ lebih besar dibandingkan kurs spot, maka bagi Indonesia, persentase perbedaan antara kedua kurs forward dan spot disebut forward discount. Sebaliknya, apabila kurs forward lebih kecil dibandingkan kurs spot, maka persentase perbedaan antara kedua kurs forward dan spot disebut forward premium. Karena kurs forward Rupiah terhadap US$ lebih besar dibandingkan kurs spot, maka forward discount menjadi komponen biaya pinjaman luar negeri Indonesia. Cara perhitungan forward discount ini telah dibahas pada Bab 4, yaitu sebesar 5,732 persen.

Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa rata-rata tertimbang bunga utang dalam negeri (terdiri dari obligasi fixed rate dan variable rate) sebesar 9,81 persen, sedangkan rata-rata tertimbang bunga utang luar negeri (terdiri dari market debt dan official debt) sebesar 3,433 persen. Biaya pinjaman dalam negeri merupakan rata-rata tertimbang bunga utang dalam negeri, sedangkan biaya pinjaman luar negeri merupakan rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri ditambah forward discount. Dengan demikian, biaya pinjaman luar negeri sebesar 9,165 persen. Meskipun dari angka tersebut terlihat bahwa biaya utang dalam negeri lebih tinggi dibandingkan biaya utang luar negeri, namun harus dipertimbangkan bahwa pinjaman luar negeri membawa konsekuensi tersendiri bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 6.4.

7 http://fx.sauder.ubc.ca/forward.html.

Page 177: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

165

Tabel 6.4 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia

Hasil Estimasi Nilai (%) Rata-rata tertimbang bunga obligasi dalam negeri 9,812

Fixed rate 12,977 Variable rate 7,308

Rata-rata tertimbang pinjaman luar negeri 3,433 RI0014 6,750 Official debt* 3,390

Forward Discount (FD) 5,732 Rata-rata tertimbang pinjaman luar negeri + FD 9,165

Keterangan: *) Data perkiraan Pusat Analisis Makroekonomi Depertemen Keuangan

Sumber: Departemen Keuangan dan Bloomberg Online, diolah.

Tim PPE FE UGM mengidentifikasi 2 jenis utang luar negeri pemerintah berdasarkan sumber, yaitu market debt dan official debt. Market debt adalah keseluruhan pinjaman pemerintah yang berasal dari pasar modal maupun pasar uang. Sedangkan official debt merupakan pinjaman yang berasal dari negara-negara donor dan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, Bank Dunia, CGI maupun ADB. Dalam kelompok official ini juga dimasukkan utang antarnegara secara bilateral, misalnya pinjaman Jepang, Jerman dan negara-negara lain ke Indonesia.

Pinjaman dari market (pasar) dapat diperoleh melalui instrumen utang pemerintah dalam bentuk obligasi. Dalam prakteknya, pinjaman dari market akan menunjukkan kemampuan pasar domestik maupun internasional dalam menyerap instrumen obligasi negara. Kapasitas ini berbeda untuk setiap negara. Eichengreen dan Luengnaruemitchai (2004) berpendapat bahwa Malaysia merupakan pasar dengan obligasi sebagai instrumen pinjaman yang besar, sedangkan di Hongkong dan Thailand pinjaman dari perbankan lebih populer.

Tabel 6.5

Nilai dan Bobot Komponen Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia Keterangan Nilai (Rp Juta) Bobot (%) Obligasi Dalam Negeri 400.624.905 100,00 1. Fixed Rate* 176.982.329 44,18 2. Variable Rate* 223.642.576 55,82 Utang Luar Negeri 715.140.000 100,00 1. RI0014* 9.152.000 1,28 2. Official Debt** 705.988.000 98,72 Utang Luar Negeri*** 565.610.380

Keterangan: *) 28 Oktober 2004. **) Data perkiraan Pusat Analisis Makroekonomi

Depertemen Keuangan. ***) Data perkiraan berdasarkan asumsi dalam Nota

Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2005 mengenai rasio utang luar negeri terhadap PDB 2004 (tahun dasar 2000).

Sumber: Departemen Keuangan, diolah.

Utang luar negeri Indonesia sebagian besar merupakan official debt, yaitu sebesar 98,72 persen dari total utang luar negeri. Sementara itu, market debt berupa obligasi internasional RI0014 hanya sebesar 1,28 persen. Sebelum obligasi RI0014 diterbitkan oleh pemerintah RI (10 Maret 2004), seluruh utang luar negeri Indonesia merupakan

Page 178: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

166

6.4 Conditionalities Pinjaman Luar Negeri

official debt pada tahun 2004. Di sisi utang dalam negeri, proporsi antara obligasi fixed rate dan variable rate tidak jauh berbeda, masing-masing sebesar 44,18 persen dan 55,82 persen (Tabel 6.5). Pada Tabel 6.5, data official debt berdasarkan data perkiraan Pusat Analisis Makroekonomi Departemen Keuangan lebih besar dibandingkan estimasi data utang luar negeri berdasarkan asumsi rasio utang luar negeri terhadap PDB 2004 (tahun dasar 2000) dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005, Departemen Keuangan.

Dalam pinjaman luar negeri official, dikenal adanya biaya oportunitas non-finansial lain yang perlu diperhitungkan. Biaya ini berupa sejumlah persyaratan (conditionalities) yang harus ditaati negara debitur untuk mendapatkan pencairan pinjaman. IMF (2001) menyebutnya sebagai: “..an explicit link between the approval or continuation of the Fund’s financing and the implementation of certain specified aspects of the government’s policy program. Persyaratan ini mengharuskan IMF untuk mengukur dan mengawasi dengan ketat setiap perkembangan yang dicapai secara struktural. Rose (2004) menyebut conditionalities ini sebagai bentuk mekanisme carrots and stick, dengan tujuan untuk memberikan batasan kehati-hatian kepada debitur dalam memanfaatkan pinjaman. Tanpa pengawasan, negara debitur kemungkinan akan melakukan moral hazard. Akibatnya, manajemen pinjaman tidak efektif dan pembayaran kembali tidak dapat dilakukan.

Federico (2001) mendefinisikannya sebagai: “the practice by which the International Monetary Fund (IMF, or Fund) makes its financial assistance to member countries contingent on the implementation of specific economic policies.” Prasyarat ini dapat berupa sejumlah regulasi tertentu atau kesepakatan kualitatif lainnya, misalnya keharusan mengimpor sejumlah komoditi tertentu dari negara donor atau keharusan memakai konsultan yang ditunjuk oleh negara kreditur.

Tujuan penerapan conditionalities adalah:

[...] (v) To give confidence to members by making the general resources of the Fund temporarily available to them under adequate safeguards, thus providing them with opportunity to correct maladjustment in their balance of payments without resorting to measures destructive of national or international prosperity.

(IMF Articles of Agreement, Article I)

IMF (2004) menetapkan bahwa persayaratan-persyaratan (yang mengandung biaya) ini harus fleksibel karena bertujuan untuk menjaga sumber daya IMF yang telah disalurkan:

…conditionality must be flexible; conditions specific to each country need to be considered in the design of conditionalities. Safeguarding the Fund’s resources so that they may be available to their members over time is a key underpinning of conditionality.

Bila terjadi kegagalan (default), maka negara kreditur atau lembaga donor dapat menerapkan sanksi administratif, misalnya penolakan restrukturisasi dan eksekusi paket tambahan, atau embargo ekonomi dalam perdagangan. Rose mencontohkan pengalaman Amerika Serikat terhadap Argentina akibat kegagalan utangnya. Hasan, Mitra dan Ramaswamy (2003) mencontohkan reformasi makro ekonomi India yang berbiaya mahal sebagai akibat tuntutan IMF yang memberikan bantuan penguatan neraca pembayaran negara tersebut. Persyaratan struktural semacam ini menimbulkan

Page 179: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

167

beban biaya tinggi. Karena dampaknya yang mahal, maka India semakin mengintensifkan pendekatan inward-looking dalam kebijakan perdagangannya dengan menerapkan substitusi impor. Sanksi akibat conditionalities ini merupakan contoh biaya oportunitas yang tidak terhitung secara eksplisit namun harus dipertimbangkan.

Tidak semua biaya dapat dikalkulasi secara moneter. Persyaratan-persyaratan di atas merupakan biaya implisit yang harus ditanggung pemerintah. Panday (2004) menyebutnya sebagai ‘biaya tersembunyi’. Bagaimanapun, conditionalities merupakan faktor penambah risiko yang harus diperhitungkan. Di Indonesia, rekapitalisasi sebagai bagian dari reformasi perbankan telah menimbulkan biaya anggaran yang besar. Program privatisasi juga mengakibatkan gejolak sosial akibat penentangan sejumlah pihak. Di India, liberalisasi perdagangan yang disyaratkan IMF telah menurunkan tingkat upah di pasar tenaga kerja lokal (Hasan, Mitra dan Ramaswamy, 2003). Hal ini disebabkan karena persaingan dan perubahan yang terjadi dengan cepat membuat produsen lokal harus mengubah inputnya secara cepat dan fleksibel. Setiap conditionality membawa konsekuensi biaya bagi masing-masing kreditur. Untuk memberlakukan conditionalities, IMF melakukan Poverty and Social Impact Analysis (PSIA) misalnya di Tajikistan. Penilaian kemudian dilakukan oleh tim gabungan antara IMF dan Bank Dunia (Joint Staff Assessment/JSA).

Pada tabel berikut dapat dilihat beberapa contoh conditionalities dalam pengalaman negara-negara debitur IMF.

Tabel 6.6 Serangkaian Conditionalities yang Pernah Diterapkan IMF pada Negara Debitur

Negara Conditionalities Tahun/Periode Keterangan Niger 1. Mereduksi tunggakan (arrears)

sebesar CFAF24,4 triliun 2. Pengurangan tunggakan pinjaman

luar negeri lain 3. Mengoreksi pembayaran gaji

pegawai sesuai benchmark 4. Mempersingkat jangka waktu

pelaporan pelaksanaan pengentasan kemiskinan kepada presiden

Persyaratan lain: kandungan hibah sebesar 50 persen dalam pembiayaan eksternal

2001/2002 Gagal dilaksanakan Pinjaman dari Jepang ditunda Terdapat kelebihan pembayaran sebesar CFAF300 juta Terjadi keterlambatan 3 minggu

Indonesia 1. Liberalisasi sektor kehutanan 2. Reformasi perbankan 3. Privatisasi BUMN

1999 IMF meminta pemerintah mengkomersialkan sektor kehutanan lewat UU kehutanan

Kamerun 1. Penurunan biaya investasi 2. Perbaikan prosedur dan administrasi 3. Peningkatan infrastruktur

Oktober 1999 IMF meminta biaya investasi dapat diturunkan sampai pada tingkat yang dapat diterima.

Tajikistan 1. Penurunan tarif gas alam 2. Privatisasi

2004 IMF meminta diberlakukannya reformasi di sektor energi.

Zambia Liberalisasi sektor pariwisata 2002 IMF meminta swasta turut dilibatkan dan infrastruktur di Kafue, Zambezi dan Luangwa termasuk airport Mfuwe diperbaiki

Sumber: www.imf.org.

Page 180: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

168

Kebijakan conditionalities menimbulkan sejumlah kritik. Pertama, Bird (2001) berargumen bahwa IMF terlalu banyak meminta conditionalities. Pada tahun 1997, setidaknya ada 16 kriteria kinerja yang diminta oleh IMF sebagai persyaratan dasar. Padahal pada tahun 1993 terdapat 10 kriteria. Akibatnya, conditionalities tidak sepenuhnya diimplementasikan. Terlalu banyak pemerintah yang gagal menerapkannya karena tidak mampu daripada yang berhasil. Bird (2001) mendata 29 negara yang berada di bawah program IMF selama periode 1980-1996, yaitu Argentina, Bangladesh, Bolivia, Republik Afrika Tengah, Kongo, Kosta Rika, Pantai Gading, Mesir, Guinea, Haiti, Honduras, Jamaika, Kenya, Madagaskar, Malawi, Mali, Mauritius, Meksiko, Maroko, Mozambik, Niger, Panama, Filipina, Senegal, Somalia, Srilanka, Togo, Uganda dan Uruguay. Dalam pengamatannya, tidak banyak perbaikan kondisi yang terjadi di negara-negara ini. Kedua, persyaratan yang diberikan oleh IMF terkadang bersifat melanggar kedaulatan. Hal ini mengakibatkan banyak negara debitur enggan berpaling kepada IMF. Ketiga, bila kebijakan yang diterapkan IMF selama ini tidak membawa hasil, maka kemauan untuk patuh kepada IMF juga akan menurun. Menurut Bird (2001), conditionalities memang tidak perlu dihilangkan, namun harus diarahkan dan didesain ulang agar lebih realistis. Harus ada desain yang berbeda untuk tiap negara. IMF seharusnya dapat membedakan persyaratan yang bersifat mandatory (syarat dasar yang memang harus dilakukan untuk mengakses dana) dan non-mandatory (masukan-masukan tidak mengikat yang bersifat spesifik dan fleksibel untuk tiap-tiap negara).

Calvo-Gonzales (2001) mengkritik pernyataan Dewan Gubernur IMF yang menyatakan bahwa: conditionality is still "essential" (Public Information Notice, 21 Maret 2001). Menurutnya, conditionality tidak lagi esensial. Ia akan gagal dengan sendirinya bila memang tidak ada komitmen pemerintah debitur untuk melakukan reformasi. Keberhasilan pelaksanaan program IMF terletak pada komitmen terhadap kebijakan reformasi yang dijalankan, bukan ada atau tidaknya conditionality itu sendiri. Adalah tugas tim IMF untuk melakukan riset apakah reformasi layak dijalankan. Seperti halnya Bird (2001), ia juga melihat bahwa riset-riset yang dilakukan IMF seringkali mengabaikan heterogenitas permasalahan. Misalnya, di beberapa negara dengan struktur politik pemerintahan koalisi, pandangan terhadap reformasi akan sangat beragam. Masalah semacam ini pernah terjadi di Spanyol ketika kebijakan Spanish Stabilization Plan tahun 1959 dijalankan. Ukuran yang dipakai oleh IMF banyak didasarkan untuk kepentingan lembaga tersebut, sehingga tidak relevan dengan keadaan nyata. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa conditionalities pinjaman luar negeri dapat menimbulkan biaya tinggi dalam berbagai macam konsekuensi.

Panday (2004) memperkuat kedua pendapat di atas. Dalam kritiknya terhadap Bank Dunia, ia menyebut conditionalities sebagai penyebab utama sulitnya kesepakatan dicapai antara debitur dan kreditur. Sulitnya pencapaian persetujuan tersebut disebabkan karena donor meminta persyaratan yang tidak relevan dengan keadaan. Hal ini memakan waktu dan biaya, sehingga menjadi beban tersendiri. Ia berpendapat, conditionalities hanya cocok untuk menolong negara-negara debitur yang terkena dampak Krisis Asia. Di luar itu, IMF dan Bank Dunia harus lebih banyak mempertimbangkan aspek lokal dari krisis di tiap-tiap negara. Maka, conditionalities sebaiknya menjadi kebijakan sekunder dalam penyaluran dana.

Page 181: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

169

6.5 Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia

Salah satu bentuk conditionalities pinjaman luar negeri Indonesia adalah nota kesepakatan antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia, yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). LoI ini dibuat sebagai landasan atas komitmen Indonesia untuk menjalani kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan IMF untuk keluar dari krisis ekonomi sejak 1997. Dalam LoI termuat kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang telah disetujui oleh IMF. LoI pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 1997, sedangkan LoI terakhir yang disepakati untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah Desember 2003. Jumlah LoI antara IMF dan Indonesia tercatat sebanyak 24 LoI. Butir-butir kesepakatan dalam setiap LoI dapat dilihat pada Lampiran 5.

Butir-butir kesepakatan yang terdapat dalam LoI disesuaikan dengan kondisi terakhir yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Seluruh kesepakatan yang termuat dalam LoI tersebut harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Secara umum, terdapat 10 bidang yang menjadi titik berat kesepakatan tersebut. Bidang-bidang tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bidang fiskal

2. Bidang moneter dan perbankan

3. Bidang restrukturisasi perbankan

4. Bidang restrukturisasi dan reformasi aturan kepailitan perusahaan

5. Bidang investasi dan regulasi

6. Bidang privatisasi perusahaan negara

7. Bidang perdagangan internasional

8. Bidang jaring pengaman sosial

9. Bidang lingkungan

10. Bidang lainnya

Pada awal LoI ini dijalankan, yaitu selama periode Oktober 1997 hingga April 1998, kesepakatan dengan IMF secara umum difokuskan pada bidang restrukturisasi perbankan nasional. Salah satu bentuk restrukturisasi perbankan yang dimuat dalam LoI adalah melakukan merger beberapa bank pemerintah dan rekapitalisasi atas bank-bank yang dianggap masih mampu bertahan. Selain itu, kestabilan ekonomi makro juga menjadi fokus dalam beberapa LoI awal ini, yang antara lain dilakukan dengan mengontrol tingkat inflasi dan jumlah uang beredar. Selain itu, persiapan privatisasi atas beberapa perusahaan negara juga menjadi kesepakatan yang tertuang dalam LoI selama periode Okober 1997 hingga April 1998.

Pada periode LoI selanjutnya, yakni antara Juni 1998 hingga September 2000, LoI difokuskan pada optimalisasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Hal ini dilakukan antara lain melalui menaikkan pajak beberapa barang, seperti alkohol dan tembakau, menurunkan subsidi beberapa bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar. Dalam bidang moneter dan perbankan, restrukturisasi perbankan nasional tetap menjadi prioritas. Beberapa bank nasional telah menjalani program rekapitalisasi dan disiapkan untuk diprivatisasi melalui divestasi saham pemerintah pada bank-bank tersebut. Selain itu, untuk menjaga kondisi makroekonomi, bank sentral diharapkan

Page 182: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

170

menjalankan perannya secara optimal dengan cara menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, tingkat inflasi dan jumlah uang beredar.

Selanjutnya untuk menjamin terlaksananya program restrukturisasi perbankan nasional, maka pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjadi salah satu butir kesepakatan yang harus dilaksanakan Indonesia dengan pihak IMF. Tercantum dalam LoI bahwa BPPN perlu diaudit oleh auditor internasional untuk menjamin transparansi dan efisiensi kinerja BPPN.

Dalam bidang privatisasi perusahaan negara, LoI yang dilaksanakan antara Juni 1998 hingga September 2000 menitikberatkan restrukturisasi perusahaan negara, yang kemudian akan diprivatisasi. IMF juga mensyaratkan perlunya audit oleh auditor internasional pada beberapa perusahaan milik negara, misalnya PLN, Pertamina dan BULOG.

Pada bidang perdagangan internasional, LoI menggariskan bahwa Pemerintah Indonesia harus menghapuskan hambatan tarif dan non-tarif atas impor dan ekspor beberapa komoditas. Selain itu, LoI antara Juni 1998 hingga September 2000 mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan subsidi bagi masyarakat miskin, baik pada kebutuhan pokok maupun pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan penciptaan jaring pengaman sosial.

Pada bidang lingkungan hidup, pemerintah diharapkan mempercepat pelaksanaan program langit biru dan perbaikan hutan melalui program reboisasi. Untuk menjamin transparansi dana perbaikan lingkungan tersebut, LoI juga mensyaratkan bahwa auditor internasional perlu dilibatkan untuk melakukan audit atas dana reboisasi.

Kemudian pada tahap akhir pelaksanaan LoI, yaitu antara Agustus 2001 sampai Desember 2003, titik berat LoI pada bidang moneter dan perbankan adalah melakukan divestasi atas saham-saham pemerintah pada bank-bank swasta nasional. Optimalisasi peran Bank Indonesia melalui rencana independensi bank sentral merupakan salah satu butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF pada periode LoI tersebut.

Pada bidang fiskal, pemerintah tetap berusaha memaksimalkan pendapatan melalui pengenaan pajak pada sektor-sektor yang selama ini belum tersentuh pajak, seperti penerapan pajak pada beberapa barang mewah dan pengenaan pajak pada barang-barang yang masuk melalui Batam dan sekitarnya. Pada bidang restrukturisasi dan reformasi aturan kepailitan perusahaan, pemerintah diharapkan membentuk mekanisme peradilan dagang dan menyelesaikan tinjauan mengenai standar audit dan akuntansi yang sesuai dengan standar internasional.

Di bidang privatisasi perusahaan negara, LoI periode Agustus 2001 sampai Desember 2003 menekankan penjualan perusahaan-perusahaan negara ke swasta, khususnya perusahaan-perusahaan yang dikenal tidak efisien dan mendatangkan kerugian bagi negara. Pada bidang jaring pengaman sosial, kenaikan harga minyak untuk kalangan non-industri diharapkan dapat menekan jumlah subsidi yang dianggarkan oleh pemerintah untuk selanjutnya dapat mengurangi defisit pemerintah.

LoI periode Agustus 2001 sampai Desember 2003 ini juga memasukkan kesepakatan-kesepakatan yang tidak dimasukkan dalam bidang-bidang yang telah disebutkan diatas. Kesepakatan-kesepakatan tersebut antara lain memuat keharusan pemerintah Indonesia membentuk komite antikorupsi untuk menjamin pemerintahan yang bersih dan mengaudit TNI dan lembaga lainnya, yang selama ini menerima dana dari pemerintah. Dalam LoI terakhir yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, yaitu LoI pada Desember 2003, terdapat kesepakatan agar Pemerintah tetap menjalin komunikasi dengan IMF, Bank Dunia dan masyarakat internasional atas semua kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah.

Page 183: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

171

6.6 Portofolio Utang

Salah satu masalah yang dihadapi oleh sebuah negara dalam melakukan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber adalah bagaimana membuat portofolio utang yang optimal. Dalam hal ini, pemerintah dihadapkan pada preferensi antara risiko atau expected cost of borrowing. Dennis (2004) menyebutkan bahwa pemerintah yang berhati-hati cenderung memilih untuk membentuk portofolio utang yang optimal dengan cara meminimalkan risiko utang.

Portofolio utang yang dibentuk terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Apabila kovarian (covariance) antara kedua jenis utang tersebut bernilai negatif, maka akan lebih baik apabila melakukan diversifikasi utang. Dengan demikian, portofolio utang yang terdiri dari kedua jenis utang tersebut memiliki risiko lebih kecil dibandingkan portofolio utang yang hanya terdiri dari salah satu jenis utang.

Secara matematis, expected cost of borrowing untuk suatu portofolio utang yang terdiri dari utang domestik dan utang luar negeri dapat dituliskan sebagai berikut (Dennis, 2004):

EEDD cωcωc += (6.1)

Di mana: c: expected cost of borrowing portofolio utang

cD: expected cost of borrowing di pasar domestik cE: expected cost of borrowing di pasar internasional ωD: bobot (persentase) pinjaman dalam negeri ωE: bobot (persentase) pinjaman luar negeri

Sementara risiko pinjaman berdasarkan portofolio utang tersebut dapat dihitung sebagai berikut:

Var (c) = ω2Dvar(cD) + ω2

Evar(cE) + 2ωDωEcov(cD,cE) (6.2)

= ω2Dσ

2D + ω2

Eσ2E + 2 ωDωEσDσEρ (6.3)

Di mana: σD : standar deviasi biaya pinjaman dalam negeri

σ2D : variance biaya pinjaman dalam negeri

σE : standar deviasi biaya pinjaman luar negeri σ2

E : variance biaya pinjaman luar negeri ρ: koefisien korelasi antara biaya pinjaman dalam negeri dan luar negeri

Dennis (2004) menerapkan formula tersebut di atas untuk kasus Indonesia. Biaya utang dalam negeri diproksi dengan menggunakan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan, sementara biaya utang luar negeri diproksi dari depresiasi pada periode sebelumnya (t-1) ditambah suku bunga pasar internasional. Dennis (2004) menggunakan 3 skenario, yaitu:

1. Skenario 1 menggunakan data kuartalan selama periode 1999-2003 (pasca krisis)

2. Skenario 2 sama dengan skenario 1, kecuali penggunaan tingkat depresiasi satu periode ke depan (t+1) dalam kalkulasi biaya utang luar negeri

3. Skenario 3 sama dengan Skenario 2, tetapi jangka waktu penelitian diperpanjang menjadi 1997-2003.

Hasil penelitian Dennis menunjukkan bahwa portofolio yang menghasilkan expected cost paling kecil adalah portofolio yang terdiri dari 100 persen utang luar negeri.

Page 184: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

172

Sementara itu, portofolio yang memiliki risiko paling rendah berbeda-beda untuk setiap skenario. Pada Skenario 1, portofolio dengan risiko paling kecil terdiri dari 90 persen utang dalam negeri dan 10 persen utang luar negeri. Pada Skenario 2, portofolio dengan risiko paling kecil terdiri dari 80 persen utang dalam negeri dan 20 persen utang luar negeri, sementara pada Skenario 3 portofolio dengan risiko paling kecil terdiri dari 65 persen utang dalam negeri dan 35 persen utang luar negeri.

Keputusan untuk menentukan portofolio utang dipengaruhi oleh dua faktor (Dennis, 2004). Pertama, sikap Menteri Keuangan terhadap risiko (risk taker atau risk averse) akan menentukan preferensi terhadap expected cost atau risiko. Kedua, sejauh mana Menteri Keuangan mengantisipasi krisis finansial sehingga harus mempertimbangkan skenario mana yang akan berdampak paling besar. Skenario ketiga lebih tepat digunakan untuk mengantisipasi krisis ekonomi, karena menggunakan data pada periode krisis (1997-1998) dalam menentukan struktur variance – covariance risiko, sementara Skenario 1 dan Skenario 2 lebih berfokus pada periode pasca krisis.

Portofolio utang Indonesia terdiri dari 35,91 persen utang dalam negeri dan 64,09 persen utang luar negeri. Tim PPE FE UGM melakukan simulasi berbagai bobot utang dalam negeri dan utang luar negeri berdasarkan Persamaan (6.1). Hasil simulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.7. Simulasi 12 menggunakan bobot utang sesuai dengan data dari Pusat Analisis Makroekonomi dan Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Departemen Keuangan. Sementara itu, portofolio utang dalam Simulasi 13 berdasarkan asumsi rasio utang terhadap PDB dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2005. Bobot utang dalam negeri dan luar negeri berdasarkan kedua sumber tersebut memiliki perbedaan, seperti yang terlihat pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7 Simulasi Expected Cost of Borrowing Portofolio Utang pada Berbagai Bobot

Simulasi Bobot

Utang Dalam Negeri

Utang Luar Negeri

Expected Cost of Borrowing

Simulasi 1 0,0 1,0 9,165 Simulasi 2 0,1 0,9 9,230 Simulasi 3 0,2 0,8 9,294 Simulasi 4 0,3 0,7 9,359 Simulasi 5 0,4 0,6 9,423 Simulasi 6 0,5 0,5 9,488 Simulasi 7 0,6 0,4 9,552 Simulasi 8 0,7 0,3 9,617 Simulasi 9 0,8 0,2 9,681 Simulasi 10 0,9 0,1 9,746 Simulasi 11 1,0 0,0 9,810 Simulasi 12* 0,36 0,64 9,397 Simulasi 13** 0,53 0,47 9,51

Ketarangan: *) berdasarkan data dari Pusat Analisis Makroekonomi dan Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Departemen Keuangan

**) berdasarkan asumsi rasio utang terhadap PDB dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2005.

Sumber: Departemen Keuangan dan Bloomberg Online, diolah. Hasil simulasi Tim PPE FE UGM sama dengan hasil simulasi Dennis (2004), yaitu bahwa portofolio utang yang memiliki expected cost paling kecil adalah portofolio utang yang terdiri dari 100 persen utang luar negeri (Simulasi 1). Namun kembali harus dipertimbangkan bahwa Indonesia masih rentan terhadap terjadinya krisis ekonomi, sehingga penggunaan portofolio utang pada Simulasi 1 dapat menimbulkan biaya krisis

Page 185: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

173

yang sangat besar apabila nilai Rupiah menjadi lebih fluktuatif (exchange rate risk). Selain itu, portofolio utang pada Simulasi menimbulkan biaya sosial karena adanya conditionalities seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Selain faktor biaya kondisional dan risiko nilai tukar, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah debt intolerance seperti yang dikemukakan oleh Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003). Mereka menyatakan bahwa batas aman rasio utang luar negeri terhadap PDB untuk negara berkembang adalah 15 sampai 20 persen. Apabila portofolio utang Indonesia terdiri dari 100 persen utang luar negeri, maka rasio utang luar negeri terhadap PDB (tahun dasar 2000) sebesar 52,2 persen. Berdasarkan temuan Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003), kondisi ini dapat mengakibatkan posisi Indonesia menjadi rentan terhadap krisis utang dan Indonesia akan menghadapi default risk yang tinggi. Berdasarkan posisi utang saat ini (Simulasi 12), rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB (tahun dasar 2000) sebesar 24,58 persen. Kondisi ini pun masih belum cukup aman bagi Indonesia.

Data utang dalam negeri yang tersedia cukup komprehensif, khususnya tingkat suku bunga obligasi setiap jenis obligasi yang termasuk fixed rate maupun variable rate. Hal ini memungkinkan Tim PPE FE UGM untuk mengestimasi variance biaya utang dalam negeri, var(cD). Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa var(cD) sebesar 0,00096. Nilai ini merupakan variance dari suku bunga 23 jenis obligasi fixed rate dan 26 jenis obligasi variable rate.

Data rinci mengenai official debt Indonesia tidak tersedia, misalnya negara atau institusi kreditur, pokok pinjaman, tingkat suku bunga dan masa pinjaman. Ketidaktersediaan data tersebut menyebabkan Tim PPE FE UGM tidak melakukan estimasi menurut Persamaan (6.2) atau Persamaan (6.3). Hal ini disebabkan variance biaya utang luar negeri, var (cE), dan koefisien korelasi antara biaya pinjaman dalam negeri dan luar negeri, ρ, tidak dapat diestimasi. Apabila tersedia data mengenai official debt yang cukup komprehensif, maka Tim PPE FE UGM akan mengestimasi Persamaan (6.2) dan Persamaan (6.3). Dengan demikian dapat diketahui portofolio yang memiliki risiko paling kecil.

Page 186: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

174

7.1 Latar Belakang

Bab

7 REPROFILING OBLIGASI

PEMERINTAH INDONESIA

UPAYA REPROFILING OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Bab ini membahas tentang upaya reprofiling, sebagai bagian dari restrukturisasi utang, dan penerapan kebijakan tersebut di Indonesia. Sejak diterbitkannya obligasi negara pada tahun 1999, pemerintah Indonesia menghadapi serangkaian kebijakan manajemen utang yang cukup sulit. Hal ini berkaitan dengan beban bunga yang harus dibayarkan, cicilan utang luar negeri dan pengaruh berbagai perubahan terhadap risiko pinjaman pemerintah. Untuk mengatasi berbagai kesulitan beban pinjaman tersebut, pemerintah melakukan reprofiling sebagai upaya menata kembali struktur jatuh tempo.

Beban utang Pemerintah Indonesia mulai meningkat sejak 1998. Hal ini tidak terlepas dari biaya Krisis Asia (moneter) yang telah menjadi krisis ekonomi pada periode 1997-1998. Biaya ini muncul dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp144,5 triliun sebagai upaya penjaminan terhadap perbankan. Sejalan dengan restrukturisasi utang swasta dan rekapitalisasi perbankan, pemerintah harus menanggung beban utang sebesar Rp650 triliun dalam bentuk obligasi rekap.

Biaya-biaya tersebut telah menimbulkan beban pinjaman yang besar. Pada tahun 2002, total pinjaman dalam dan luar negeri pemerintah RI terakumulasi mencapai Rp1.404,385 miliar, terdiri atas utang domestik Rp686,221 miliar dan luar negeri Rp718,164 miliar (Tabel 7.1). Untuk menghindari kewajiban pinjaman luar negeri yang semakin besar, maka beban ini harus digeser. Oleh karena itu diperlukan upaya reprofiling atas portofolio utang pemerintah dan memindahkan beban utang luar negeri kedalam negeri.

Reprofiling merupakan proses menata ulang jatuh tempo pinjaman pemerintah (obligasi). Kebijakan ini berkaitan dengan timing jatuh tempo pinjaman yang berlebihan dan dilakukan sebagai upaya untuk menghindari beban risiko yang berat pada anggaran pemerintah. Risiko-risiko yang dihadapi oleh pemerintah antara lain perubahan tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan kembali (refinancing risk). Reprofiling dapat dilakukan dengan cara memindahkan beban

Page 187: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

175

7.2 Portofolio Utang Pemerintah

obligasi yang jatuh tempo agar tidak terkonsentrasi pada satu periode tertentu. Bila daya serap pasar pada periode tersebut rendah, maka kemungkinan beban risiko akan semakin besar.

Tabel 7.1 Utang Dalam dan Luar Negeri Indonesia, 1997- 2004

Tahun Utang Luar Negeri (Rp miliar) Utang Dalam Negeri (Rp miliar) 1997 154.563 4.097 1998 680.285 132.300 1999 591.299 500.500 2000 620.996 625.189 2001 710.755 671.908 2002 718.164 686.221 2003 719.281 623.941 2004* 565.611 635.356

Keterangan: *) Angka perkiraan. Sumber: Departemen Keuangan, 2004.

Utang pemerintah dapat dirinci menjadi utang luar dan dalam negeri. Dari kedua jenis pinjaman ini, masing-masing dapat digolongkan menurut sumbernya yaitu pinjaman dari pasar dan pinjaman official.

Untuk pertama kalinya sesudah krisis, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) sebagai obligasi resmi negara. Penerbitan surat pinjaman ini merupakan upaya untuk mengurangi risiko beban utang luar negeri yang berlebihan. Jika beban ini tidak dialihkan, maka tekanan anggaran akan semakin berat. Utang luar negeri akan membawa kerentanan baru bagi Indonesia. Bila terjadi depresiasi nilai tukar, beban utang akan semakin bertambah karena peningkatan nilai cicilan pokok dan bunga. Setelah 1999, SUN telah menjadi instrumen pembiayaan yang penting untuk menggalang dana masyarakat dalam negeri. Tabel 7.2 menunjukkan, bahwa pada tahun 2004 total pinjaman dalam bentuk mata uang dalam negeri telah mendominasi portofolio pinjaman pemerintah.

Tabel 7.2 Profil Pinjaman Obligasi Pemerintah, Oktober 2004

Jenis Obligasi Pemerintah Nilai (dalam Rp triliun) Dalam rupiah

Tingkat bunga tetap (fixed-rate) 176,98 Tingkat bunga mengambang (variable-rate) 223,64 Lindung nilai (hedge bonds) 3,77 Obligasi kepada Bank Indonesia 219,16 Total 623,85

Dalam Valuta asing US$ 1 miliar Sumber: Departemen Keuangan, 2004

Agar penerbitan SUN menarik bagi investor, suku bunga (kupon) obligasi pemerintah ditetapkan di atas suku bunga SBI 3 bulan, baik dalam bentuk tetap (fixed-rate) maupun variabel. Kebijakan ini juga diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura, Amerika Serikat dan Malaysia, dimana suku bunga obligasi pemerintah lebih tinggi daripada suku bunga bank. Rata-rata pertumbuhan yield per tahun telah

Page 188: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

176

7.3 Risiko-risiko Obligasi

mendekati obligasi T-Bond pemerintah AS. Ini menunjukkan bahwa pemerintah selaku debitur dapat dipercaya sehingga pasar obligasinya akan selalu likuid.

Sampai dengan 28 Oktober 2004, nilai obligasi pemerintah yang beredar mencapai Rp623,85 triliun dan US$1 miliar. Jumlah utang obligasi domestik yang beredar relatif meningkat secara nominal, walaupun terdapat penurunan kewajiban obligasi internasional. Bila dibandingkan dengan obligasi negara berdenominasi dolar AS, maka nilai total obligasi domestik yang beredar masih relatif besar. Dengan asumsi kurs Rp9.152/US$, nilai total obligasi internasional yang beredar mencapai Rp9.152 triliun. Jumlah ini hanya mencapai 1,46 persen saja dari nilai total utang domestik.

Dalam penilaian terhadap obligasi sebagai aset dan instrumen pembiayaan, perlu dipertimbangkan aspek risiko yang terkandung di dalamnya. Risiko-risiko ini berasal dari berbagai perubahan yang terjadi, baik bersifat politis maupun variabel makro ekonomi. Beberapa risiko yang patut dipertimbangkan antara lain perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar bagi obligasi luar negeri. Bagi pemerintah, risiko-risiko ini dapat berdampak pada meningkatnya biaya anggaran pembayaran bunga obligasi. Oleh karena itu, berbagai kemungkinan risiko perubahan tersebut harus diantisipasi.

Di Indonesia, terdapat beberapa risiko yang dapat mempengaruhi kapasitas pembayaran utang pemerintah. Pertama, contingent liabilities berupa program penyehatan perbankan. Pemerintah mulai menerbitkan obligasi rekap pada tahun 1999 dengan bunga 14 persen. Kebijakan ini mengakibatkan untuk pertama kalinya beban bunga obligasi rekap muncul dalam APBN. Kemudian Keppres Nomor 176 Tahun 1999 memberikan legalisasi bagi penerbitan surat utang pemerintah untuk membiayai kredit program. Pada tahun 2002, ditetapkanlah Undang-Undang No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara.

Kedua, terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Risiko nilai tukar ini mengakibatkan beban pembayaran utang luar negeri yang bertambah. Pada bulan Desember 1999, total utang luar negeri Indonesia berjumlah US$75,86 miliar. Sedangkan pada bulan Maret 2004, jumlah ini berkembang mencapai US$82,1 miliar.

Ketiga, masih relatif tingginya tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sebagai contoh per Desember 2000, tingkat diskonto SBI selama 3 bulan mencapai 13,04 persen. Suku bunga ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga US Treasury Bills selama tiga bulan yang pada bulan Oktober 2000 hanya mencapai 6,19 persen.Tingginya tingkat suku bunga SBI tiga bulan ini membuat beban pembayaran utang pemerintah semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat suku bunga SBI tiga bulan menjadi dasar bagi penentuan suku bunga obligasi rekap jenis variable rate.

Selain itu, berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian secara makro akan mempengaruhi biaya modal yang harus ditanggung oleh pemerintah. Temuan Faust et.al (2003) dalam kasus Amerika Serikat (1987-2002) menunjukkan bahwa suku bunga dan nilai tukar akan mempengaruhi nilai aset produktif AS di dalam dan luar negeri. Apresiasi nilai tukar dolar akan meningkatkan ekspektasi terhadap mata uang negara tersebut di luar negeri. Akibatnya, ekspektasi memegang dolar meningkat, termasuk berbagai aktiva dalam denominasi dolar. Di sisi risiko, apresiasi membuat premi risiko memegang aset luar negeri menjadi rendah.

Page 189: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

177

7.4 Beberapa Alternatif Restrukturisasi Utang

Sebaliknya, kenaikan suku bunga akan meningkatkan premi risiko bagi pemerintah atas obligasi yang outstanding. Perubahan premi risiko ini juga akan mengoreksi tingkat suku bunga (kupon) sebagai tingkat keuntungan yang disyaratkan (required rate of return) bagi investor, sekaligus cost of capital bagi pemerintah. Adapun nilai obligasi dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Nd

N

tN

dB K

MK

INTV)1()1(1 +

++

= ∑−

(7.1)

Di mana: VB: nilai obligasi INT: penerimaan bunga (kupon) kd: discount rate sebagai tingkat keuntungan yang disyaratkan (required rate of

return) M: nilai par (face value) yang diterima pada saat maturitas

Sedangkan tingkat keuntungan yang disyaratkan atau required rate of return (kd) dapat diidentifikasi:

kd (%) = penerimaan kupon yang diharapkan + capital gain (7.2)

Potensi penerimaan obligasi merupakan penentu bagi nilainya. Potensi ini terdiri atas penerimaan bunga dan capital gains di pasar sekunder. Bila suku bunga naik di atas preferensi pasar, nilai obligasi akan turun. HaI ini akan membuat investor akan memindahkan portofolionya pada aktiva produktif lain, misalnya tabungan atau deposito. Sebaliknya bila suku bunga berada di bawah tingkat yang disyaratkan investor, maka instrumen obligasi negara akan menjadi atraktif bagi investor. Dalam hal ini, spread yang terjadi merupakan premi risiko bagi pemerintah, karena pemerintah harus membayar lebih mahal dari suku bunga pasar. Oleh karena itu, kerjasama antara pemerintah dengan bank sentral mutlak diperlukan.

Ukuran yang digunakan investor dalam menilai penerimaan obligasi adalah yield to maturity (YTM). Ukuran ini merupakan tingkat suku bunga yang dipakai untuk mendapatkan sejumlah penerimaan kas yang diharapkan pada saat maturitas jatuh tempo. Dengan demikian, YTM dapat menjadi tingkat keuntungan yang diharapkan (expected-rate of return) bila: 1) probabilita default maupun penarikan kembali obligasi sama dengan nol dan 2) obligasi tidak mempunyai opsi call. Bila restrukturisasi terjadi, hal ini akan meningkatkan premi risiko akibat persepsi pasar terhadap kapasitas keuangan pemerintah yang melemah. Bila tingkat risiko tinggi, maka harga obligasi pemerintah di pasar sekunder juga akan menjadi lebih rendah karena terkoreksi oleh meningkatnya risk premium.

Guna menghindari risiko sistematis maupun spesifik beban utang, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah:

1. Reprofiling. Reprofiling adalah penataan kembali maturitas utang yang jatuh tempo agar tidak terkonsentrasi pada satu periode tertentu. Dalam hal ini, jatuh tempo pinjaman disesuaikan dengan kemampuan pembayaran pemerintah pada periode yang bersangkutan. Barro (1997) menganjurkan dilakukannya tax-smoothing dalam pengelolaan utang pemerintah. Barro (1997) menganjurkan supaya jatuh tempo (maturitas) obligasi negara dapat disesuaikan dengan periode penerimaan pajak.

Page 190: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

178

2. Buyback, atau pembelian kembali obligasi pemerintah. Dalam skema ini pemerintah membeli kembali (atau menebus) beberapa obligasi yang masih beredar di masyarakat. Tujuan buyback adalah untuk mengurangi risiko beban pembayaran di masa mendatang. Dengan melakukan buyback, risiko beban utang pemerintah di masa datang dapat dikurangi.

3. Debt swaps. Fasilitas ini digunakan untuk menghindarkan dampak negatif kegagalan utang terhadap anggaran pemerintah. Utang yang terancam default atau sulit untuk diselesaikan akibat minimnya kapasitas pemerintah dapat ditukarkan dengan sejumlah asset tertentu dengan nilai sama. Aset ini dapat berupa pemilikan saham BUMN (debt-to-equity swaps), kekayaan alam tertentu misalnya hutan (debt-to-environmental swaps), aset transportasi atau pendidikan. Konversi utang dengan asset atau asset-bond swap telah dilakukan pada tahun 2004 sebesar Rp28,2 triliun untuk mengurangi jumlah Surat Utang Negara (SUN) bagi program rekapitalisasi perbankan. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya kemauan empat negara debitur Eropa untuk melakukan debt-swap utang luar negeri Indonesia. Jerman menyetujui dilakukannya US$60 juta swap dengan sejumlah aset kehutanan dan sarana pendidikan. Persetujuan dengan Jerman ditandatangani pemerintah pada tanggal 8 November 2004. Sedangkan Inggris menyetujui swap dengan penyediaan sarana transportasi 100 buah bis PPD dan apartemen murah senilai 23 juta euro. Selain itu proses debt-swap sedang dijajaki antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Italia dan Perancis.

Berbagai langkah di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk melakukan reprofile, pemerintah harus menata ulang beberapa jadwal penerimaan dan pengeluaran yang akan datang. Skedul penerimaan ini harus termonitor dengan baik, sebagai langkah awal antisipasi kapasitas keuangan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, jangka waktu pembayaran jatuh tempo (maturitas) utang perlu disesuaikan dengan periode penerimaan pajak (Barro, 1997). Bila sinkronisasi kedua variabel tersebut dapat dilakukan, maka beban pengeluaran pemerintah akan dapat direduksi.

Namun reprofiling juga dapat menimbulkan risiko, terutama persepsi pasar di kalangan investor. Penataan kembali periode maturitas utang akan menimbulkan persepsi penurunan kapasitas pembayaran pemerintah terhadap debitur. Bila hal ini terjadi, maka tuntutan risk premium di masa mendatang akan lebih tinggi. Implikasinya, pemerintah akan menerima anggaran beban bunga yang lebih besar lagi. Dalam jangka pendek, reprofiling akan menurunkan kredibilitas negara dan daya serap pasar terhadap obligasi pemerintah. Namun dalam jangka panjang, bila investor melakukan transaksi di pasar sekunder (akibat menurunnya ekspektasi return), maka pasar akan likuid kembali karena bertambahnya rentang bunga yang diharapkan akan terjadi.

Pengalaman reprofiling pernah dilakukan oleh Uruguay. Pada tahun 2002, PDB Uruguay terkontraksi sebesar 9,4 persen. Tekanan ini berdampak terhadap kapasitas pembayaran utang pemerintah. Menteri Keuangan Uruguay, Carlos Steneri (2003) menjelaskan bahwa pemerintahnya menghadapi dilema yang sulit dalam memecahkan masalah beban pembayaran utang. Pemerintah Uruguay harus terhindar dari beban fiskal yang berlebihan, namun hak-hak investor atas penerimaan obligasi juga harus dijamin. Oleh karena itu, pemerintahnya mencari alternatif yang feasible agar kedua tuntutan tersebut dapat terpenuhi. Dengan memenuhi sejumlah tuntutan dari IMF dan melakukan negosiasi dengan forum investor, dicapai kesepakatan penukaran obligasi lama dengan yang baru, yang memiliki rentang waktu lebih lama. Total kewajiban yang harus dipenuhi adalah sebanyak US$15 miliar dan beban bunga serta maturitas diupayakan tidak mengubah NPV nya. Oleh karena itu, investor menyambut gembira langkah ini dan pasar menjadi likuid kembali.

Page 191: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

179

7.5 Penataan Kembali Maturitas (Reprofiling) dan Konsekuensinya

Selain itu, pemerintah dapat melakukan pembelian kembali (buyback) untuk mengurangi jumlah obligasi yang jatuh tempo pada jangka pendek. Keuntungannya adalah, risiko volatilitas harga dapat dikurangi sekaligus menambah kepercayaan investor kepada pemerintah. Dalam hal pembelian kembali (buyback), pemerintah harus memperhitungkan besarnya proporsi utang yang akan ditebus dari total nilai yang outstanding dan kapasitas pemerintah untuk membayarnya. Buyback yang berlebihan akan mengecewakan pemegang obligasi (investor) dalam jangka panjang, karena menurunnya ekspektasi mereka terhadap potensi aliran kas di masa mendatang. Selain itu, bagi pemerintah juga diperlukan cadangan kas yang cukup untuk melakukan skema ini. Cadangan ini dapat berasal dari sinking fund, atau dana simpanan lain yang belum terdaftar di dalam APBN atas nama pemerintah misalnya dana di luar anggaran (off-budget).

Untuk melakukan swap, pemerintah perlu melakukan persetujuan dengan kreditur. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan:

1. Besarnya nilai swap yang akan dilakukan

2. Aset apa yang akan dipertukarkan atas pinjaman tersebut dan nilai strategisnya

3. Konsekuensi penurunan aktiva negara jika pertukaran tersebut terjadi

Mengingat besarnya biaya pertukaran dan nilai aset negara yang akan diserahkan, skema swap sering menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Kebijakan ini mengundang kritik di kalangan mereka yang memegang teguh prinsip self-sovereignity (kedaulatan) atas aset negara yang akan dipertukarkan, terutama kepada investor asing. Bila aset tersebut dinilai strategis, mahal dan berdampak luas bagi kepentingan banyak orang, maka pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pertukaran tersebut. Sebab, dampak kerugian sosial yang ditimbulkan akan sangat banyak. Yang dapat dilakukan adalah memilih alternatif kerugian yang paling minimal.

Reprofiling akan menimbulkan beberapa konsekuensi. Pertama, suku bunga kupon yang akan dibayarkan menjadi lebih mahal karena panjangnya maturitas utang. Studi yang dilakukan oleh Mari Pangestu dan Swati Ghosh (1999) menunjukkan bahwa suku bunga (kupon) mampu mencerminkan ekspektasi terhadap keuntungan maupun risk premium yang dipersepsikan investor. Kedua peneliti mencontohkan tingginya premi risiko pada industri kertas tahun 1994-1997. Hal ini mengakibatkan tingkat kupon obligasi industri tersebut yang konstan sepanjang tahun. Investor memasukkan unsur risiko ini ke dalam pertimbangan harga mereka. Dalam kasus Indonesia, pergerakan beban bunga obligasi pemerintah mencapai puncaknya pada tahun 2001-2002 (Gambar 7.1).

Page 192: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

180

Gambar 7.1 Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri Pemerintah, 1999-2010

Keterangan: *) Perkiraan Sumber: Departemen Keuangan, 2004.

Kedua, berkaitan dengan signaling effect dalam pasar, suku bunga dan harga obligasi akan mencerminkan aliran informasi dalam pasar. Tingginya tingkat suku bunga dipengaruhi oleh struktur maturitas pinjaman. Semakin panjang periode jatuh tempo, maka bunganya (kupon) akan semakin mahal. Hal ini terkait juga dengan ekspektasi return jangka panjang investor. Bila reprofiling terjadi, maka hal ini akan dipersepsikan sebagai kenaikan premi risiko bagi investor. Suku bunga (kupon) akan naik agar instrumen obligasi lebih atraktif. Selain itu, bila terjadi penjualan di pasar sekunder, maka hal ini akan membuat fleksibilitas transaksi menjadi lebih cair lagi.

Selain itu, pelaksanaan buyback juga akan berpengaruh terhadap ekspektasi nilai obligasi. Bila buyback dilakukan, maka ekspektasi terhadap keuntungan jangka panjang bagi investor akan menurun. Hal ini berdampak terhadap persepsi risiko dalam pasar. Brigham (2002) mencatat, pelaksanaan opsi call atau pembelian kembali akan menaikkan premi risiko bagi investor. Bila hal ini terjadi, maka suku bunga kupon akan menjadi lebih tinggi pada masa-masa yang akan datang. Bagi pemerintah, hal ini merupakan potensi peningkatan beban di masa mendatang. Maka, kebijakan buyback harus dipertimbangkan dengan seksama bila obligasi sebagai instrumen pembiayaan masih menjadi alternatif pilihan kebijakan pembiayaan. Lebih dari itu, buyback berbiaya mahal karena pemerintah harus menyediakan sinking fund sebagai cadangan dana untuk membiayainya.

Dalam melakukan reprofiling obligasi, terdapat dua metode yang dapat diterapkan, yaitu:

1. Metode rata-rata

2. Metode rasio tetap beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap PDB

Dalam metode rata-rata, profil jatuh tempo obligasi dimoderasikan dengan cara melakukan penyesuaian struktur maturitas mendekati nilai rata-rata beban jatuh tempo tahunannya. Sedangkan dengan metode yang kedua, diupayakan agar rasio jatuh tempo utang obligasi terhadap PDB tetap konstan.

0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000

100.000

1999 2000 2001 2002 2003* 2004* 2005* 2006* 2007* 2008* 2009* 2010*

Rp miliar

Pembayaran bunga DN Pembayaran bunga LN Pembayaran bunga total

Page 193: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

181

Metode Rata-rata Dalam metode ini, ditentukan nilai rata-rata beban jatuh tempo obligasi pemerintah pada periode tertentu. Kemudian, dilakukan upaya memoderasi beban jatuh tempo tahunan mendekati nilai rata-rata tersebut, terutama pada tahun-tahun dimana terjadi konsentrasi beban jatuh tempo yang tinggi, dimana nilai kewajiban pemerintah melebihi beban rata-rata tahunan. Dalam studi ini, diidentifikasi periode jatuh tempo antara tahun 2004 sampai dengan 2020. Profil maturitas mula-mula obligasi pemerintah terlihat dalam Gambar 7.2, sesuai dengan skedul yang telah ditetapkan oleh Departemen Keuangan RI (2004).

Gambar 7.2

Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sebelum Reprofiling)

Sumber: Departemen Keuangan, 2004 Penghitungan yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM menghasilkan rata-rata beban tahunan sebesar Rp24,10 triliun. Skedul dalam Gambar 7.2 di atas memperlihatkan tiga periode potensi pembayaran jatuh tempo yang sangat tinggi yaitu pada tahun 2007 sebanyak Rp34,84 triliun, 2008 sebanyak Rp40 triliun dan 2009 sebanyak Rp33,75 triliun. Beban ketiga periode tersebut berada di atas rata-rata beban tahunan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reprofiling agar skedul pembayaran bunga variabel tidak terkonsentrasi pada ketiga tahun tersebut. Tim mengidentifikasi tiga periode dimana beban jatuh tempo berada dibawah rata-rata Rp 24,10 triliun, yaitu tahun 2015-2018. Pengalihan beban dilakukan dengan menggeser selisih beban pada tahun 2007-2009 tersebut untuk dialihkan pada periode-periode dengan beban di bawah rata-rata, yaitu tahun 2015-2018. Ringkasan hasil akhir dari beberapa besaran penghitungan disajikan pada Tabel 7.3 sebagai berikut.

0

5 10

15

20

25

30

35

40

45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

(Rp triliun)

Fixed Rate Variable Rate

Rata-rata Maturitas Obligasi Pemerintah

Internasional-RI0014

Page 194: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

182

Tabel 7.3

Skedul Reprofiling Obligasi Pemerintah, 2004-2020 Ketarangan Nilai (Rp triliun) Rata-rata beban obligasi tiap tahun 24,10 Obligasi jatuh tempo tahun 2007 34,84 Obligasi jatuh tempo tahun 2008 40,07 Obligasi jatuh tempo tahun 2009 33,75 Obligasi jatuh tempo tahun 2007 yang dipindahkan (setelah dikurangi rata-rata tahunan) 10,74 Obligasi jatuh tempo tahun 2008 yang dipindahkan (setelah dikurangi rata-rata tahunan) 15,97 Obligasi jatuh tempo tahun 2009 yang dipndahkan (setelah dikurangi rata-rata tahunan) 9,64 Obligasi reprofiling yang ditambahkan pada periode 2015-2018 9,09

Sumber: Departemen Keuangan, 2004, diolah.

Persoalan yang muncul adalah tidak seragamnya proporsi obligasi suku bunga tetap, variabel dan RI0014 yang jatuh tempo pada satu tahun. Oleh karena itu, kami melakukan pembobotan dengan cara membebankan reprofiling yang dikenakan sesuai persentase beban obligasi tetap/variable pada tahun yang bersangkutan. Misalnya pada tahun 2007, persentase beban obligasi tetap (fixed-rate) mencapai 52,8 persen dari total seluruh kewajiban sedangkan obligasi variabel mencapai 47,2 persen. Maka beban yang dikenakan adalah sebesar proporsi masing-masing jenis obligasi terhadap keseluruhan nilai reprofiling yang dibebankan. Khusus untuk tahun 2008 tidak dilakukan pembobotan, karena keseluruhan obligasi yang jatuh tempo pada tahun tersebut adalah obligasi variabel. Hasil perhitungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut.

Tabel 7.4 Pembobotan Beban Reprofiling, 2007-2009

Bobot Reprofile (%) Tahun Obligasi Fixed

Rate Obligasi Variable

Rate

Jumlah Obligasi Fixed Rate yang dipindahkan

(Rp triliun)

Jumlah Obligasi Variable Rate yang

dipindahkan (Rp triliun) 2007 52,80 47,19 5,67 5,07 2008 - 100,00 - 15,97 2009 59,44 40,55 5,74 3,91

Sumber: Departemen Keuangan, 2004, diolah.

Dengan demikian skedul pembayaran beban kewajiban jatuh tempo pada tahun 2015 hingga 2018 akan bertambah mendekati rata-rata tahunan. Tanpa mengubah beban total pemerintah pada tahun 2020, pengaturan ini membuat profil kewajiban menjadi lebih merata. Profil maturitas obligasi pemerintah setelah reprofiling akan tampak pada Gambar 7.3.

Setelah profil kewajiban menjadi lebih merata, maka perhatian pemerintah akan diletakkan pada upaya penataan kembali beban kewajiban yang optimal, dimana beban yang di-reprofile akan membawa konsekuensi tenor yang lebih panjang. Karena adanya mekanisme pasar, maka kemungkinan adanya respon negatif dari investor dapat terjadi. Hal ini dapat berupa persepsi yang buruk terhadap kredibilitas pemerintah maupun keengganan untuk memegang obligasi lebih lama. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan premi sebagai penyeimbang harga atas probabilitas risiko yang ditawarkan tersebut. Memang akan terjadi pertambahan beban baru dalam jangka panjang. Namun dalam jangka menengah, setidaknya keuangan negara dapat diselamatkan dari konsentrasi beban jatuh tempo yang berlebihan.

Page 195: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

183

Gambar 7.3 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004

(Sesudah Reprofiling)

Sumber: Departemen Keuangan, 2004, diolah

Metode Rasio Tetap Beban Utang Obligasi Pemerintah Jatuh Tempo terhadap PDB

Metode reprofiling yang kedua dilakukan dengan cara menetapkan batas maksimum jatuh tempo utang komersial yang dapat ditolerir oleh pemerintah berdasarkan rasio tetap beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap PDB. Hal ini searah dengan rekomendasi Cuddington (1996) yang menyatakan bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi bila rasio utang terhadap PDB konstan dari tahun ke tahun. Mengacu pada prinsip tersebut, dalam metode ini obligasi pemerintah Indonesia yang jatuh tempo di-reprofile dengan menggunakan rasio utang obligasi pemerintah terhadap PDB yang konstan sebagai indeks. Hal ini dilakukan dengan menetapkan rasio beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap PDB yang besarnya tetap dari tahun ke tahun. Tim PPE FE UGM mengidentifikasikan tahun 2005 sebagai tahun dasar rasio dimana pada tahun ini pembayaran utang komersial pemerintah dianggap tidak memberatkan APBN.

Tim PPE FE UGM menggunakan 5 skenario pertumbuhan PDB untuk mengestimasi metode ini, yaitu 4 persen; 4,5 persen; 5 persen; 5,5 persen dan 6 persen. Berdasarkan skenario pertumbuhan tersebut, maka rasio utang komersial pemerintah jatuh tempo terhadap PDB tergantung pada asumsi laju pertumbuhan ekonomi, yang pada tahun 2005 berada pada rentang 0,81 dan 0,82 persen. Rasio yang didapat dari perhitungan tahun 2005 ini digunakan sebagai ukuran Rasio Tetap dan digunakan untuk mengukur kemampuan maksimal pemerintah dalam membayar obligasi pemerintah jatuh tempo pada tahun 2006 hingga tahun 2020 dengan cara mendeflasikan prakiraan PDB pada tahun tertentu (PDBt) dengan besarnya Rasio Tetap (R) tersebut. Hasil yang didapat dari proses ini merupakan batas toleransi kemampuan pemerintah dalam melunasi kewajiban jatuh tempo atas utang komersial. Secara matematis metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

0

5

10

15

20

25

30

35

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

(Rp triliun)

Fixed Rate RI0014 Tambahan Reprofiling Variable Rate

Rata-rata Maturitas Obligasi Pemerintah

Page 196: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

184

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

2005

2005PDB

DPDB

KMP tt =

RPDBt (7.3)

Di mana: KMPt: kemampuan maksimal pemerintah dalam membayar obligasi

pemerintah jatuh tempo pada tahun ke-t PDBt: Produk Domestik Bruto tahun ke-t D2005: obligasi pemerintah jatuh tempo pada tahun 2005 PDB2005: Produk Domestik Bruto tahun 2005

R=2005

2005PDB

D: rasio tetap beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap

PDB tahun 2005

Hasil estimasi secara lengkap dapat disajikan dalam profil maturitas pada berbagai skenario berikut.

Gambar 7.4 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4 Persen

(Sebelum Reprofiling)

Gambar 7.5 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4 Persen

(Sesudah Reprofiling)

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Jumlah Batas maksimal

0 5

10 15 20 25 30 35 40

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Obligasi sesudahdi-reprofile

Batas maksimal

Page 197: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

185

Profil maturitas obligasi pemerintah pada pertumbuhan PDB 4 persen sebelum dan sesudah reprofiling masing-masing ditunjukkan oleh Gambar 7.4 dan Gambar 7.5. Dalam gambar ini, terlihat bahwa dengan adanya reprofiling beban utang yang moderat akan dicapai setelah tahun 2018.

Gambar 7.6 dan Gambar 7.7 menunjukkan masing-masing profil maturitas obligasi pemerintah dengan skenario pertumbuhan PDB 4,5 persen sebelum dan sesudah reprofiling. Pada Gambar 7.7 terlihat bahwa sesudah reprofiling, beban utang yang moderat akan dicapai setelah tahun 2017.

Gambar 7.6 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4,5 Persen

(Sebelum Reprofiling)

Gambar 7.7 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4,5 Persen

(Sesudah Reprofiling)

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Jumlah Batas maksimal

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp trlyun

Obligasi sesudahdi-reprofile

Batas maksimal

Page 198: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

186

Gambar 7.8 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5 Persen

(Sebelum Reprofiling)

Gambar 7.9

Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5 Persen (Sesudah Reprofiling)

Sementara itu, profil maturitas obligasi pemerintah dengan skenario pertumbuhan PDB 5 persen sebelum dan sesudah reprofiling masing-masing ditunjukkan oleh Gambar 7.8 dan Gambar 7.9. Gambar 7.9 menunjukkan bahwa sesudah reprofiling, beban utang yang moderat akan dicapai setelah tahun 2016.

Profil maturitas obligasi pemerintah dengan skenario pertumbuhan PDB 5,5 persen, sebelum dan sesudah reprofiling masing-masing ditunjukkan oleh Gambar 7.10 dan 7.11. Pada Gambar 7.11, terlihat bahwa dengan adanya reprofiling, beban utang yang moderat akan dicapai setelah tahun 2016.

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Jumlah Batas maksimal

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Obligasi sesudahdi-reprofile

Batas maksimal

Page 199: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

187

Gambar 7.10 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen

(Sebelum Reprofiling)

Gambar 7.11 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen

(Sesudah Reprofiling)

Gambar 7.12

Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sebelum Reprofiling)

05

101520253035404550

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Triliun rupiah

Jumlah Batas maksimal

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45 50

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp trlyun

Jumlah Batas maksimal

0 10 20 30 40 50

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Rp triliun

Obligasi sesudahdi-reprofile

Batas maksimal

Page 200: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

188

Gambar 7.13

Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sesudah Reprofiling)

Sementara itu, profil maturitas obligasi pemerintah dengan skenario pertumbuhan PDB 6 persen sebelum dan sesudah reprofiling masing-masing ditunjukkan oleh Gambar 7.12 dan Gambar 7.13. Berdasarkan Gambar 7.13, setelah dilakukan reprofiling, profil beban utang yang moderat akan dicapai setelah tahun 2015.

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa kemampuan pemerintah dalam melakukan pembayaran akan naik seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Pertambahan utang ini tidak akan menimbulkan masalah yang besar bagi keuangan negara, sejauh PDB terus tumbuh secara optimal. Besaran utang akan terus bertambah, namun rasionya terhadap PDB akan tetap stabil/konstan. Oleh karena itu digunakan ukuran batas maksimal tahunan yang perlu dicapai pemerintah, yaitu dengan mengalikan besarnya nilai PDB tahunan dengan proporsi obligasi jatuh tempo terhadap PDB tahun 2005 sebagai acuan.

Profil skedul diatas menunjukkan, bahwa skenario pertumbuhan yang tinggi akan menyelesaikan beban utang lebih cepat. Pada skenario pertumbuhan 4 persen, profil beban yang moderat baru dicapai setelah tahun 2018. Sedangkan dengan skenario pertumbuhan 6 persen, moderasi utang dapat mulai terjadi pada tahun 2016 (dua tahun lebih awal). Maka, perlu diupayakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar kesinambungan fiskal dapat tercapai.

Dari sisi pemerintah, pengurangan beban berimplikasi pada bunga (kupon) yang harus dikurangi. Data di atas merupakan hasil pemrakiraan. Hingga tahun 2010 mendatang, potensi biaya bunga terbesar akan terjadi pada tahun 2005 sebesar Rp65.798.86 miliar. Bila premi risiko meningkat, maka bukan tidak mungkin beban anggaran pembayaran bunga utang juga akan bertambah. Peningkatan premi risiko dapat terjadi misalnya dari perubahan politik dan situasi perekonomian. Perubahan politik yang terjadi menyangkut pergantian rezim, kerusuhan sosial yang terjadi dan ancaman konflik yang mengganggu stabilitas lainnya. Sedangkan perubahan situasi perekonomian dapat bersifat jangka pendek maupun panjang, misalnya pengaruh perubahan suku bunga, nilai tukar dan efek inflasi.

Tambahan beban bunga ini merupakan sinyalemen ekspektasi investor terhadap tingkat keuntungan (return) yang telah mengakomodir risk premium nya. Secara umum, ekspektasi investor terhadap tingkat keuntungan yang disyaratkan dapat dielaborasikan sebagai tingkat keuntungan pada investasi bebas risiko (risk-free rate) ditambah dengan premi risikonya:

ks = kRF + RP (7.4)

0 10 20 30 40 50

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Triliun rupiah

Obligasi sesudahdi-reprofile

Batas maksimal

Page 201: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

189

7.6 Reprofilling dan Kapasitas Anggaran Pemerintah

Di mana: ks: ekspektasi tingkat keuntungan investor kRF: tingkat keuntungan bebas risiko (risk-free) RP: risk premium

Tingkat keuntungan bebas risiko biasanya mengacu pada suku bunga kupon obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury Bonds). Hal ini menjadi asumsi investasi internasional karena risiko kegagalan bayar (default) obligasi pemerintah AS dinilai rendah. Instrumen ini memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga menjadi standar penilaian investasi bebas risiko.

Hal ini dapat dilihat dari perbandingan kurva yield obligasi-obligasi pemerintah berbagai negara dengan kurva yield obligasi pemerintah AS (US Treasury Bonds). Karena diasumsikan sebagai tingkat keuntungan bebas risiko, maka semakin tinggi dan besar selisih tingkat kupon suatu obligasi dari US T-Bonds, maka semakin besar tambahan tingkat keuntungan yang ditawarkan sebagai premi risiko.

Bila tingkat keyakinan investor terhadap manajemen risiko obligor menurun, maka beban biaya bunga yang diminta akan menjadi lebih besar. Hal ini merupakan kompensasi bagi kepercayaan mereka terhadap kinerja manajemen risiko pemerintah. Obligasi-obligasi dengan tingkat kredibilitas yang rendah, biasanya akan membutuhkan juga tingkat suku bunga yang tinggi untuk menarik investor.

Upaya reprofiling akan menambah beban bunga. Pada bulan Agustus 2004, pemerintah RI pernah mencoba melakukan penataan kembali jatuh tempo obligasi rekap empat bank pemerintah dengan nilai total Rp174,59 triliun, dengan tambahan bunga Rp823,67 miliar untuk perpanjangan tempo 6-10 tahun. Usaha ini ditolak oleh DPR karena beban yang cukup besar bagi anggaran tersebut. Bagaimanapun, reprofiling dan buyback sebagai wujud restrukturisasi utang berpotensi meningkatkan bunga di masa-masa mendatang.

Tabel 7.5 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja APBN 2004 dan RAPBN 2005

(Rp triliun) 2004 2005 Uraian

APBN % terhadap PDB RAPBN % terhadap PDB Belanja Pegawai 57,2 2,9 62,2 2,8 Belanja Barang 35,6 1,8 31,0 1,4 Belanja Modal 39,8 2,0 43,0 2,0 Pembayaran Bunga Utang 65,7 3,3 64,0 2,9 a. Dalam Negeri 41,3 2,1 38,8 1,8 b. Luar Negeri 24,4 1,2 25,1 1,1 Subsidi 26,6 1,3 33,6 1,5 a. Perusahaan Negara 26,6 1,3 33,6 1,5 - Lembaga Keuangan 0,9 0,0 1,2 0,1 - Lembaga Non Keuangan 25,7 1,3 32,4 1,5 b. Perusahaan Swasta 0,05 0,0 0,04 0,0 Belanja Hibah - - - - Belanja Sosial 14,3 0,7 16,3 0,7 Belanja Lain-Lain 16,1 0,8 14,8 0,7 Jumlah 255,3 12,8 264,9 12,1

Sumber: Departemen Keuangan, 2004.

Page 202: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

190

Dari Tabel 7.5 di atas, terlihat bahwa pembayaran bunga utang masih menjadi proporsi pengeluaran APBN yang paling besar. Dari tahun 2004-2005, pembayaran bunga mencakup lebih dari 60 persen anggaran. Dibandingkan dengan PDB, pembayaran bunga utang mencapai 3 persen pada tahun 2004 dan direncanakan 2,9 persen pada tahun 2005. Kedua angka ini lebih besar daripada kebutuhan belanja pegawai dua tahun tersebut yang jumlahnya cukup besar. Dapat disimpulkan, bahwa kewajiban utang merupakan beban anggaran pemerintah yang paling utama.

Menurut Departemen Keuangan, pembiayaan pembayaran bunga tersebut berasal dari pinjaman multilateral sebesar 38,5 persen, bilateral sebesar 24,7, fasilitas kredit ekspor sebesar 21,9 ekspor dan pinjaman lain 14,9 persen. Struktur ini menunjukkan bahwa ketergantungan anggaran pemerintah terhadap pinjaman masih sangat besar. Oleh karena itu, beban pembayaran bunga perlu dikurangi dengan cara menurunkan stok utang yang masih beredar. Hal ini dilakukan dengan cara membeli kembali (buyback) obligasi jangka pendek yang masih beredar. Pada intinya, beban yang ditanggung harus diperpanjang periodenya, agar sesuai dengan kapasitas pembayaran pemerintah dan absorpsi pasar.

Tabel 7.6 Skedul Pembayaran Bunga Utang

(dalam Rp triliun) Pembayaran Bunga Utang

APBN 2004 RAPBN 2005 Persentase dari Anggaran 2005

(%)

Persentase Perubahan 2005 (%)

Dalam Negeri 41,3 38,8 60,6 - a. Fixed-rate - - 57,6 - b. Variable rate 4 - 36,9 - c. Hedge Bonds dan surat utang kepada BI

- - 1,3

Luar Negeri 24,4 25,1 39,4 2,9 Total Bunga Utang 65,7 64 - -2,6

Sumber: Departemen Keuangan, 2004.

Menurut Departemen Keuangan RI, beban bunga utang pemerintah tahun 2005 mendatang diperkirakan akan menurun. Namun persentasenya dari total anggaran tetap tinggi, yaitu mencapai 60 persen (Tabel 7.6). Bila reprofiling terus diupayakan secara efektif, maka beban bunga akan terus dapat ditekan secara bertahap. Secara umum, penurunan ini mengindikasikan kemampuan pemerintah menata kembali struktur jatuh tempo utang publik.

Page 203: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

191

8.1 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah

Bab

8 KESIMPULAN

KESIMPULAN - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Bab ini menyimpulkan studi yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM. Penjabaran kesimpulan studi dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, efisiensi utang dalam negeri dan luar negeri Indonesia dan upaya reprofiling utang komersial pemerintah.

Studi ini mengadaptasi metode Natural Debt Limit (NDL) yang dikemukakan oleh Mendoza dan Oviedo (2004). Nilai NDL dipengaruhi oleh rasio minimal penerimaan terhadap PDB, rasio minimal pengeluaran terhadap PDB, suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Tim PPE FE UGM telah melakukan simulasi untuk mengetahui tingkat NDL Indonesia. Dalam simulasi yang telah dilakukan tersebut, ada empat asumsi yang diterapkan, yaitu: (1) apabila utang pemerintah semuanya merupakan utang dalam negeri (dengan asumsi biaya utang dalam negeri sebesar 9,81 persen), (2) apabila utang pemerintah semuanya merupakan utang luar negeri (dengan asumsi biaya utang luar negeri sebesar 3,43 persen), (3) apabila utang pemerintah semuanya merupakan utang luar negeri (dengan asumsi biaya utang luar negeri dan forward discount sebesar 9,16 persen), dan (4) apabila utang pemerintah berupa utang dalam negeri dan utang luar negeri (dengan asumsi rata-rata biaya utang dalam negeri dan luar negeri sebesar 9,4 persen). Untuk skenario apabila semua utang pemerintah merupakan utang dalam negeri, maka tingkat NDL Indonesia berkisar antara 672,46 persen (dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen) dan 389,91 persen (dengan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi 6 persen). Apabila semua utang pemerintah merupakan utang luar negeri, maka NDL Indonesia berkisar antara 70,62 persen (dengan asumsi laju pertumbuhan ekonomi 5 persen) dan 61,29 persen (dengan asumsi laju pertumbuhan ekonomi 6 persen). Namun apabila semua utang pemerintah merupakan utang luar negeri dan dalam perhitungannya menggunakan forward discount, maka NDL Indonesia antara 552,38 (untuk pertumbuhan ekonomi 5 persen) dan 252,17 (untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen). Sedangkan apabila utang pemerintah berjenis utang dalam negeri dan utang luar negeri, maka NDL Indonesia berkisar antara

Page 204: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

192

773,33 persen (pertumbuhan ekonomi 5 persen) dan 290,00 persen (dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6 persen). Rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini adalah 52,20 persen (dengan menggunakan data terbaru PDB dari BPS). Jika rasio utang saat ini dibandingkan dengan tingkat NDL Indonesia, maka kondisi utang Indonesia saat ini merupakan kondisi yang cukup aman dari risiko gagal bayar.

Setelah dapat diketahui tingkat NDL Indonesia, selanjutnya dilakukan estimasi fungsi reaksi dan simulasi untuk mengetahui kesinambungan dari dua indikator utama dalam kesinambungan utang, yaitu rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB. Dalam estimasi dan simulasi dua indikator ini, selain untuk Indonesia, dilakukan juga estimasi dan simulasi untuk berbagai kelompok negara. Kelompok-kelompok negara tersebut adalah negara-negara anggota OECD, negara-negara HIPC, negara-negara Emerging Market, negara-negara di kawasan Asia, dan negara-negara anggota ASEAN.

Dari hasil estimasi fungsi reaksi rasio keseimbangan primer terhadap PDB, dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki perilaku fungsi reaksi yang mirip dengan negara-negara anggota OECD, baik untuk seluruh negara anggota OECD maupun hanya negara-negara OECD yang tergolong negara maju. Jika rasio utang terhadap PDB Indonesia mengalami peningkatan, maka rasio keseimbangan primer terhadap PDB pun akan bereaksi meningkat. Hal yang membedakan antara Indonesia dan OECD adalah pada koefisien variabel ini adalah Indonesia memiliki koefisien yang lebih besar dibandingkan dengan koefisien negara-negara OECD. Koefisien yang lebih besar ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih responsif dalam menyediakan surplus primer dibanding OECD. Sedangkan hasil dari estimasi fungsi reaksi rasio utang terhadap PDB menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia stasioner apabila dalam model estimasinya memasukan variabel inflasi. Hasil untuk Indonesia ini mirip dengan hasil estimasi terhadap negara-negara OECD.

Saat ini pemerintah menetapkan nilai rasio keseimbangan primer rata-rata sebesar 2 persen dari PDB. Namun rasio ini tidak reaktif terhadap perubahan-perubahan variabel makorekonomi lainnya. Di masa depan diharapkan agar rasio ini lebih dapat reaktif terhadap berbagai variabel makroekonomi.

PPE FE UGM telah melakukan simulasi untuk berbagai skenario rasio utang terhadap PDB untuk prediksi tahun 2005-2010. Pada simulasi ini diasumsikan bahwa besarnya rasio total utang terhadap PDB dipengaruhi oleh suku bunga rata-rata yang dibayarkan untuk utang pemerintah, pertumbuhan PDB riil, rasio kesimbangan primer, penerimaan pemerintah dari penjualan aset serta tambahan kenaikan utang dari off-budget losses. Pada simulasi tersebut pertumbuhan PDB riil dan keseimbangan primer menjadi faktor utama dalam penurunan rasio utang terhadap PDB.

Semakin besar keseimbangan primer yang disediakan oleh pemerintah, maka akan semakin besar pula penurunan rasio utang terhadap PDB Indonesia. Demikian pula apabila pertumbuhan PDB Indonesia mengalami peningkatan, maka besarnya rasio utang terhadap PDB Indonesia akan mengalami penurunan. Di samping kedua variabel makroekonomi tersebut, inflasi juga mempengaruhi besarnya rasio penurunan utang terhadap PDB. Besarnya inflasi tersebut akan mempengaruhi besarnya PDB riil dan besarnya suku bunga riil yang dibayarkan untuk utang pemerintah. Dengan penetapan bunga yang tinggi justru akan memperkecil penurunan rasio utang terhadap PDB. Di samping suku bunga, off-budget loss yang terlalu besar juga akan menghambat penurunan rasio utang terhadap PDB.

Dengan mengasumsikan bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia berdasarkan pada perhitungan terbaru BPS tentang data PDB dengan tahun dasar 2000, maka dengan menyediakan keseimbangan primer sebesar 1,5 persen, Indonesia akan mencapai rasio utang sebesar 40 persen pada tahun 2010. Bahkan dengan rasio

Page 205: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

193

8.2 Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri

keseimbangan primer sebesar 2 persen, target rasio total utang terhadap PDB sebesar 35,26 persen akan dapat tercapai pada tahun 2010.

Namun hasil simulasi dengan memisahkan antara utang luar negeri dan utang dalam negeri menunjukkan bahwa rasio utang luar negeri terhadap PDB yang ideal untuk menghindari krisis utang luar negeri, seperti yang disarankan oleh Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003), sebesar 15-20 persen tidak dapat dicapai. Rasio ini tidak dapat dicapai walupun dalam simulasi ditetapkan rasio keseimbangan primer terhadap PDB sebesar 2 persen. Oleh karena itu, untuk mecapai kesinambungan fiskal, Indonesia perlu untuk mengubah portofolio sebagian utang luar negerinya menjadi utang dalam negeri, agar rasio total utang luar negeri terhadap PDB dapat mencapai 15-20 persen. Saran Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003) berimplikasi bahwa pengendalian utang luar negeri tidak hanya untuk utang luar negeri pemerintah, tetapi juga untuk utang luar negeri swasta. Kegagalan utang luar negeri swasta pada akhirnya juga akan menjadi beban bagi pemerintah.

Suatu pinjaman dianggap relatif lebih efisien dibandingkan pinjaman lain apabila biaya pinjaman tersebut lebih kecil dibandingkan biaya pinjaman lainnya. Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan bahwa biaya utang dalam negeri Indonesia sebesar 9,812 persen. Sedangkan rata-rata tertimbang bunga pinjaman luar negeri cukup kecil, yaitu sebesar 3,433 persen, namun dengan forward discount yang cukup besar (5,732 persen) menyebabkan biaya utang luar negeri menjadi cukup tinggi pula, yaitu sebesar 9,165 persen.

Dapat disimpulkan bahwa biaya pinjaman luar negeri lebih kecil dibandingkan biaya pinjaman dalam negeri. Namun, pinjaman luar negeri menimbulkan biaya oportunitas yang tidak dapat diukur secara kuantitatif. Hal ini disebabkan adanya biaya kondisional (conditionalities) yang ditimbulkan oleh pinjaman luar negeri. Biaya kondisional ini berupa prasyarat tertentu yang ditetapkan oleh negara atau institusi kreditur yang harus dilakukan oleh negara kreditur agar memperoleh pinjaman. Biaya kondisional ini menyebabkan biaya oportunitas yang lebih besar dibanding dengan pinjaman dalam negeri. Salah satu bentuk biaya kondisional yang harus ditanggung oleh Indonesia karena menerima pinjaman dari IMF adalah butir-butir kesepakatan yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI).

Selain menganalisis efisiensi utang dalam negeri dan luar negeri, studi yang dilakukan Tim PPE FE UGM ini juga bertujuan untuk mengetahui portofolio utang yang optimal bagi Indonesia. Menurut Dennis (2004), penentuan portofolio yang optimal dapat dilakukan berdasarkan expected cost of borrowing dan risiko pinjaman. Portofolio utang yang optimal merupakan portofolio yang memberikan expected cost of borrowing dan risiko yang paling kecil.

Tim PPE FE UGM melakukan simulasi untuk menentukan portofolio utang yang optimal dan menemukan hasil yang sama dengan Dennis (2004), yaitu bahwa portofolio utang yang optimal adalah portofolio utang yang terdiri dari utang luar negeri 100 persen. Namun, kembali harus dipertimbangkan bahwa biaya kondisionalitas yang ditimbulkan oleh pinjaman luar negeri cukup besar. Selain itu, pinjaman utang luar negeri yang cukup besar dapat menimbulkan kesulitan di masa yang akan datang jika nilai tukar Rupiah mengalami fluktuasi yang besar karena akan meningkatkan risiko default Indonesia, sebagaimana telah diteliti oleh Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003).

Page 206: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

194

8.3 Reprofiling Obligasi Pemerintah Indonesia

Kenyataannya rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB Indonesia saat ini sebesar 24,58 persen. Apabila angka ini dibandingkan dengan batas aman rasio utang terhadap PDB menurut Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003), maka angka 24,58 persen ini pun masih cukup berisiko. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengkonversi utang luar negeri ke dalam utang dalam negeri untuk menghindari terjadinya risiko krisis utang luar negeri.

Pengamatan yang dilakukan terhadap RAPBN 2005 menunjukkan bahwa beban bunga masih merupakan agenda pengeluaran yang terbesar. Oleh karena itu, upaya pengurangan risiko utang dapat dilakukan dengan mengurangi beban bunga secara bertahap dan melalui reprofiling. Reprofiling memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Memperpanjang jatuh tempo (maturitas) 2. Mengurangi beban bunga pemerintah 3. Meningkatkan likuiditas pasar sekunder

Tim PPE FE UGM mengusulkan dua metode reprofiling obligasi pemerintah yang dapat ditempuh, yaitu:

1. Metode rata-rata 2. Metode rasio tetap beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap PDB

Pada metode rata-rata, pertama dihitung rata-rata beban tahunan obligasi pemerintah yang jatuh tempo. Dalam studi ini, diobservasi data beban dari tahun 2004 sampai dengan 2020. Penghitungan yang dilakukan oleh Tim PPE FE UGM menghasilkan angka rata-rata beban jatuh tempo sebesar Rp24 triliun. Rata-rata beban ini kemudian dibandingkan dengan kondisi riil beban tahunan yang terjadi, untuk mengidentifikasi tahun-tahun dimana beban jatuh tempo obligasi pemerintah berada di atas rata-rata.

Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan tahun 2007, 2008 dan 2009 merupakan periode dimana beban jatuh tempo cukup tinggi selisihnya dari rata-ratanya, yaitu masing-masing sebesar Rp34,84 triliun, Rp40,07 triliun dan Rp33,75 triliun. Konsentrasi beban ini cukup tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya dimana kewajiban pemerintah berada di bawah rata-rata. Oleh karena itu, beban ini harus dipindahkan (digeser) ke arah periode dimana beban kewajiban berada di bawah rata-rata.

Hasil dari reprofiling dengan metode rata-rata ini menunjukkan bahwa beban jatuh tempo dibawah rata-rata akan terjadi pada tahun 2015 sampai dengan 2018. Oleh karena itu, beban selama 2007, 2008 dan 2009 direkomendasikan untuk dipindahkan pada keempat periode tersebut.

Hasil estimasi Tim PPE FE UGM menunjukkan besarnya nilai yang dipindahkan berbeda-beda untuk setiap tahun mulai dari 2007, 2008 dan 2009. Beban ketiga tahun tersebut masing-masing dimoderasi dengan mengurangi kewajiban aktual hingga mencapai nilai rata-ratanya, yaitu sebesar Rp24 triliun. Jumlah yang dikurangkan (di-reprofile) ini kemudian dibebankan pada tahun 2015-2018, sesuai persentase pembobotan masing-masing jenis obligasi.

Metode kedua adalah metode rasio tetap beban utang obligasi pemerintah jatuh tempo terhadap PDB. Dalam metode ini, pertumbuhan PDB dinilai sebagai faktor utama yang dapat mengkompensasi besarnya kewajiban utang jatuh tempo. Dengan

Page 207: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

195

adanya pertumbuhan ekonomi, maka besarnya beban utang jatuh tempo dapat bertambah namun merupakan rasio yang konstan terhadap PDB. Dalam simulasi yang dilakukan, diasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4 persen, 4,5 persen, 5 persen, 5,5 persen dan 6 persen.

Profil beban utang jatuh tempo sebagai rasio tetap terhadap PDB menunjukkan bahwa skenario pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menyelesaikan beban utang lebih cepat. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen, beban utang obligasi pemerintah saat ini akan selesai pada tahun 2018. Sedangkan dengan skenario pertumbuhan yang tinggi sebesar 6 persen, reprofiling utang dapat menyelesaikan beban utang pada tahun 2016 (dua tahun lebih awal). Dengan demikian, perlu diupayakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar kesinambungan fiskal dapat tercapai.

Selain itu, beberapa agenda alternatif penyelesaian beban utang juga dipikirkan. Selain reprofiling dengan kedua metode di atas, buyback dapat dilakukan sebagai upaya pengurangan stok utang beredar. Melalui buyback, pemerintah akan mampu untuk:

1. Menurunkan beban bunga secara bertahap 2. Meningkatkan kepercayaan investor (pasar) 3. Menghindarkan berbagai risiko termasuk volatilitas harga

Sedangkan untuk utang luar negeri, upaya penyelesaian dapat dilakukan dengan mengusahakan persetujuan debt swap. Bila hal ini berhasil dilakukan, maka beban utang akan berkurang secara sinergis dan pemerintah dapat menerima manfaat pada berbagai bidang. Sebagai contoh adalah debt swaps yang selama ini telah dilakukan dengan Jerman dan Inggris di bidang pendidikan dan transportasi. Pada masa mendatang, juga perlu diusahakan persetujuan debt-to-poverty swap sebagai langkah simultan untuk mengurangi kemiskinan. Upaya ini telah mulai dilaksanakan oleh pemerintah, namun dalam prakteknya jumlah yang dapat diselesaikan dengan skema ini cukup kecil.

Di masa depan, Departemen Keuangan RI dapat mengembangkan varian obligasi pemerintah berupa exchangeable bond. Obligasi jenis ini akan menempatkan aset pemerintah sebagai jaminan pinjaman yang konvertibel terhadap kewajiban utang. Aset back-up ini dapat berupa pemilikan saham pemerintah pada sejumlah BUMN tertentu, serta aset-aset lainnya yang termasuk dalam aktiva milik pemerintah. Dalam skema ini, pemerintah mengkonversikan aset negara dengan nilai tertentu ke dalam bentuk obligasi tanpa memindahkan pemilikannya. Keuntungannya adalah, pemerintah dapat melakukan pembiayaan eksternal tanpa kehilangan kepemilikannya atas aset negara. Hal ini dapat dijadikan argumentasi bagi pemerintah dalam menghadapi pendapat-pendapat publik yang menentang penjualan aset negara karena alasan nasionalisme.

Selain itu dapat diupayakan pula usaha-usaha financial engineering (dalam arti positif) lainnya seperti diusahakannya agar utang baru yang diterima dari lembaga multirateral dalam denominasi rupiah untuk mengurangi adanya risiko mata uang. Dengan skema ini dampak resiko perubahan kurs dapat diminimalkan.

Pemerintah dapat pula mengembangkan pasar derivatif untuk Surat Utang Negara (SUN). Instrumen ini dapat menciptakan pasar yang luas dan likuid, sekaligus meningkatkan manajemen risiko agar lebih efektif. Keberadaan instrumen derivatif akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi investor untuk berinteraksi dalam pasar obligasi pemerintah, melalui banyak pilihan dan natur risiko.

Upaya pemerintah untuk mengembangkan retail market bagi obligasi pemerintah perlu didahului dengan studi dan riset pasar yang mendalam untuk melihat kemungkinan prospek pengembangan pasar jenis ini. Di Amerika Serikat, retail

Page 208: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

196

market untuk T-Bills dan T-Bond telah sejak lama dapat dinikmati secara luas. Di negara tersebut, penjualan obligasi negara di pasar retail telah dilakukan sejak lama.

Studi manajemen utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah dan assessment terhadap optimal borrowing perlu ditindaklanjuti dengan studi-studi relevan lainnya untuk lebih memahami permasalahan dan natur yang lebih tepat, mempelajari praktek terbaik dari negara lain, mencari alternatif solusi terbaik serta mengevaluasi ketepatannya untuk diimplementasikan dalam perekonomian Indonesia. Semua upaya-upaya ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya besar untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Page 209: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

197

LAMPIRAN 1

DAFTAR PUSTAKA - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Abimanyu, A., 2004, “Exit Strategy dan Kemandirian Kebijakan Fiskal Indonesia,” dalam Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (Editor), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Kompas.

Aizenman, J., 2003, “On The Hidden Links between Financial And Trade Opening,” NBER.

Alesina, A. dan G. Tabellini, 1987, “External Debts, Capital Flight, and Political Risk,” (Tidak Dipublikasikan).

Aloy, M., B. Moreno-Dodson, dan G. Nancy, 2003, “Fiscal Policy and Growth: An Application to Sub Saharan Economies,” World Bank.

Bank Dunia, 2000, “Indonesia: Managing Government Debt and Its Risks.”

Barnhill, T. M. dan G. Kopits, 2003, “Assessing Fiscal Sustainability Under Uncertainty,” IMF.

Barro, R., 1979, “On the Determination of the Public Debt.” Journal of Political Economy, Vol. 87, No. 5, Hal. 940-971.

Barro, R., 1997, “Optimal Management of Indexed and Nominal Debt,” NBER, No. w6197.

Basu, K., 1997, “Analytical Development Economics: The Less-Developed Economy Revisited.” MIT Press, Cambridge, USA.

Beck,T., Demirguc-Kunt dan Levine, 2002, “Why Does Legal Origin Matter?” NBER, No. 9397.

Belloc, M. dan P. Vertova, 2001, “On Foreign Debt Sustainability of Developing Countries: Towards a Long Run Approach for Development,” Journal Economic of Literature (JEL).

Berg, A. dan J. Sachs, 1988, “The Debt Crisis: Structural Explanations of Country Performance,” NBER.

Berger, H., B. Kopits, dan I. Szekely, (2004), “Fiscal Indulgence in Central Europe: Loss of the External Anchor?” IMF, No. 04/62.

Page 210: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

198

Bird, G., 2001, “Should the IMF Abandon Conditionality?” dalam External Comments and Contributions on IMF Conditionality, IMF.

Blanchard, O. H. Chouraqoui dan N. Sartor, 1990, “The Sustainability of Fiscal Policy: New Answers to an Old Question, Analytical, and Methodological Questions,” OECD Economic Studies, Vol. 15, Hal. 7-36.

Bloomberg Online.

Boediono, 2004, “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya,” dalam Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (Editor), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Kompas.

Bohn, H., 1995, “Budget Balance Through Revenue or Spending Adjustments? Some Historical Evidence for the United States,” Rodney L. White Center for Financial Research, Wharton School, University of Pennsylvania.

Bohn, H., “The Behaviour of U.S Public Debt and Deficits,” Quarterly Journal of Economics, Vol. 113, No. 3, Hal. 949-963.

Brandon dan Marquez, 1988, “The Behavior of Monetary Sectors and Monetary Policy,” Paper, dipresentasikan dalam Federal Reserve Board Conference tentang Monetary Aggregates and Financial Sector Behavior on Interdependent Economies, Washington D.C.

Branson, William H., Jacob A. Frenkel dan Morris Goldstein, 1990, “International Policy Coordination and Exchange Rate Fluctuations,” NBER Conference Report, No. 392, Hal. 47.

Brigham, E. F. dan J. F. Houston, 2002, Fundamentals of Financial Management, Edisi Kesembilan, Hartcourt Brace College Publishers, USA.

Broner, F. A., G. Lorenzoni dan S. L. Schmukler, 2003, “Why Do Emerging Markets Borrow Short-Term?” NBER.

Buiter, W. H., 1983, “The Theory of Optimum Deficits and Debt,” NBER.

Buiter, W. H., 1995, “Measuring Fiscal Sustainability,” IMF.

Buiter, W. H., 1997, “Aspects of Fiscal Performance in some Transition Economies Under Fund – Supported Programs,” IMF.

Buiter, W. H., 1997, “Notes on a Code for Fiscal Sustainability,” Bank of England, University of Cambridge and Monetary Policy Committee.

Buiter, W.H., 2003, “Fiscal Sustainability,” European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).

Buiter, W. H., 2003, “Ten Commandements for Fiscal Rule in the EU,” European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).

Buiter, W. H. dan C. Graf, 2002, “Reforming EU’s Fiscal Policy Rules: Some Suggestions For Enhancing Fiscal Sustainability and Macroeconomic Stability in an Enlarged European Union,” NBER.

Buiter, W. H. dan R. P. Urjit, 1990, “Debt, Deficits, and Inflation: An Application to the Public Finance in India,” NBER.

Buiter, W., 1990, Principles of Budgetary and Financial Policy, Harvester Wheatsheaf, London.

Buiter, W. H., 1993, “Saving and Endogenous Growth: A Survey on Theory and Policy” dalam A. Heertje (ed.), World Savings, Theory and Policy, Blackwell Publishers, Oxford, Hal. 64-99.

Page 211: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

199

Buiter, W. H., 1993, "Public Debt in the USA: How Much, How Bad and Who Pays?" NBER, No. 4362.

Buiter, W. H., 2002, "The Fiscal Theory Of The Price Level: A Critique," Economic Journal, Royal Economic Society, Vol. 112, No. 127, Hal. 459-480.

Bulow, J. dan K. Rogoff, 1989, "A Constant Recontracting Model of Sovereign Debt,” Journal of Political Economy, Vol. 97, No. 1, Hal. 155-78.

Bulow, J. dan K. Rogoff, 1990, “Cleaning Up Third World Debt Without Getting Taken to The Cleaners,” Journal of Economic Perspective.

Calderon, C., A. Chong dan N. Loayza, 2002, “Determinants of Current Account Deficits in Developing Countries,” Journal Economic of Literature (JEL).

Callier, P., 1985, “Further Results on Countries’ Debt Service Performance: the Relevance of Structural Factors,” Weltwirtschaftliches Archives, No. 121.

Calvo-Gonzales, 2001, Surat Elektronik dalam External Comments and Contributions on IMF Conditionality, IMF.

Calvo, G., A. Izquierdo dan L. F. Mejia, 2004, “On the Empirics of Sudden Stops: the Relevance of Balance-Sheet Effects,” NBER.

Calvo, G. et.al., 2003, “Sudden Stops, The Real Exchange Rate, and Fiscal Sustainability: Argentina’s Lessons,” NBER.

Caprio, G. dan Vittas, 1997, “Reforming Financial Systems: Historical Implications for Policy,” World Bank.

Chabchitrchaidol, A. dan Orawan Prempoon, “Development of the Thai Bond Market,” Bank for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland.

Cheung, Y. C. dan F. de Jong, 2003, “Trading European Sovereign Bonds: The Microstructure of MTS Trading Platforms,” Center for Economic and Policy Research (CEPR) Discussion Paper, No. 4285.

Chouraqui, J.C., R. P. Hagemann dan N. Sartor, 1990, “Indicators of Fiscal Policy: A Re-examination,” OECD Working Paper, No. 78.

Chouraqui, J. C., 1986, The Formulation of Monetary Policy - A Reassessment in the Light of Recent Experience, OECD Working Paper, No. 32, Paris, France.

Clark, C., 1945, "Public Finance and Changes in the Value of Money", Economic Journal, Vol. 55, No. 4, Hal 371-89.

Cline, W., 1984, “International Debt: Systemic Risk and Policy Response,” Institute of International Economics, Washington D.C., USA.

Cohen, D., 2000, “The HIPC Initiative: True and False Promises,” OECD Development Center.

Christoff, J. A., 2002, “Switching Some Multilateral Loans to Grants Would Lessen Poor Country Debt Burden,” United States General Accounting Office.

Cuddington, J. T., 1996, “Analyzing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries,” University of George Washington, Washington D.C., USA.

de La O, Rogerio R., 1993, Laporan Privatisasi di Meksiko dalam Latin America’s Turnarround: Privatization, Foreign Investment and Growth, International Center for Economic Growth (ICEG), San Fransisco, California.

de la Torre, Augusto et.al., 2002, “Argentina’s Financial Crisis: Floating Money, Sinking Banking,” World Bank.

Dekle, R., 2002, “The Deteriorating Fiscal Situation and an Aging Population,” NBER.

Page 212: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

200

Dennis, B., 2004, Debt Management Recommendations for the Medium Term, BIDE/GIAT – USAID.

Departemen Keuangan R.I., 2004, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.

Dinh, H. T., 1999, Fiscal Solvency and Sustainability in Economic Management, World Bank.

Dornbusch, R., 1987, “Debt Problems and the World Macro Economy,” NBER, No. 2379.

Dornbusch, R., 1993, Stabilization, Debt, and Reform, Harvester Wheatsheaf.

Eaton, J. dan R. Fernandez, 1995, “Sovereign Debt,” NBER, No. 5131.

Eaton, J. dan M. Gersovitz, 1984, “A Theory of Expropriation and Deviations from Perfect Capital Mobility,” Economic Journal, Vol. 94, No. 6.

Edwards, S., 2002, “Debt Relief and Fiscal Sustainability,” NBER.

Edwards, S., 1985, “Country Risk, Foreign Borrowing and the Social Discount Rate in an Open Developing Economy,” NBER, No. 1651.

Eichengreen, B. dan Luengnaruemitchai, 2004, “Why Doesn’t Asia Have Bigger Bond Market?” NBER, No.10576.

Epstein, G. dan H. Gintis, 1989, “International Capital Market and The Limit of Economic Policy,” World Institute of Economic Research, No. WP73. United Nations University, Helsinki, Finlandia.

European Network on Debt and Development (Eurodad), 2002, ”Towards a Sustainable Debt Workout for Indonesia, Brussels”, Belgium.

Feder dan Just, 1984, “Debt Crisis in an Increasingly Pessimistic International Market: The Case of Egyptian Credit,” Economic Journal, Vol. 94, No. 374, Hal. 340-56.

Federal Public Service Finance, 2003, “Belgium’s Stability Programme,” Brussels, Belgium.

Federico, G., 2001, ”IMF Conditionality” dalam External Comments and Contributions on IMF Conditionality, IMF.

Feldstein, 2002, Argentina's Fall: Lessons From the Latest Financial Crisis, NBER.

Friedman, B. M., 1981, “Debt Management Policy, Interest Rates, and Economic Activity,” NBER, No. 830.

Friedman, B. M., 1987, “New Direction in the Relationship Between Public and Private Debt,” NBER.

Geithner, T., 2003, “Sustainability Assessments–Review of Application and Methodological Refinements,” IMF.

Ghosh, S. dan M. Pangestu, 1999, “Indonesia: Macro-financial Linkages and Build Up of Vulnerabilities,” ADB-World Bank.

Harberger, A. C., 1980, “Vignettes on the World Capital Market,” American Economic Review, Hal. 331-37.

Harinowo, C., 2004, “The Making of a Comprehensive Government Finance and Debt Management,” The United Nations Support Facility for the Indonesian Recovery (UNSFIR).

Page 213: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

201

Harris, R. D. F. dan E. Travalis, 1999, “Inference for Unit Roots in Dynamic Panels where the Time Dimensions is Fixed,” Journal of Econometrics, Vol. 91, Hal. 201-226.

Hasan, R., D. Mitra dan K. V. Ramaswamy, 2003, “Trade Reforms, Labor Regulations and Labor-Demand Elasticities: Empirical Evidence From India,” NBER, No. 9879.

Hill, H., 1996, “The Indonesian Economy,” Cambridge University Press, United Kingdom.

Hoogendoorn, J. S., 1996, Economic Development, Edisi Ketiga, Harper Collins College Publishers, Inc., USA.

Hoshi, T., D. Scharfstein dan A. Kashyap, 1993, “The Choice Between Public and Private Debt: An Analysis of Post-Deregulation Corporate Financing in Japan,” NBER.

Hoti, S,. 2002, ”Snapshot of Country Risk Rating: An International Comparison,” International Environmental Modelling and Software Society (IEMSS).

Im, K. S., M. H. Pesaran dan Y. Shin, 1997, “Testing Unit Roots in Heterogeneous Panels,” Trinity College, University of Cambridge.

International Monetary Fund (IMF), 2001, “Conditionality in Fund-Supported Program: Policy Issues,” Washington D.C., USA.

International Monetary Fund (IMF) dan International Development Association (IDA), 2001, “The Impact of Debt Reduction Under HIPC Initiative on External debt Service and Social Expenditures”.

International Monetary Fund (IMF), 2004, “Cameroon: Poverty Reduction Strategy Paper Implementation Progress Report,” IMF Country Report, No. 4, Hal. 334.

International Monetary Fund (IMF) dan International Development Association (IDA), 2002, “The Enhanced HIPC Initiative and the Achievement of Long-Term External Debt Sustainability”.

International Monetary Fund (IMF), 2002, “Sovereign Debt Restructurings and the Domestic Economy Experience in Four Recent Cases.”

International Monetary Fund (IMF), 2003, “Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative – Status of Implementation.”

International Monetary Fund (IMF), 2003, “World Economic Outlook 2003: Managing Public Debt in Emerging Market.”

International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, 2003, Guidelines for Public Debt Management, Washington, D. C., USA.

International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, 2002, “Zambia: Poverty Reduction Strategy Paper.”

International Monetary Fund (IMF), 2004, “Fourth Roundtable with Local and International NGOs: Conditionality, Pnom Penh, Cambodia.”

International Monetary Fund (IMF), 2004, “Cameroon: Poverty Reduction Strategy paper Implementation Progress Report,” IMF Country Report, No. 4, Hal. 334

International Monetary Fund (IMF), 2004, International Financial Statistic (IFS) CD-Rom.

International Monetary Fund (IMF), 2003, World Economic Outlook: Public Debt in Emerging Market.

International Monetary Fund (IMF), Government Financial Statistic (GFS) CD-Rom.

Jones, C. P., 2000, Investment: Analysis and Management, Edisi Ketujuh, John Wiley and Sons, Inc., USA.

Page 214: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

202

Keynes, J. M., 1923, Tract on Monetary Reform (diterbitkan kembali oleh Prometheus Books, 2000).

Keynes, J. M., 1936, The General Theory of Employment, Interest, and Money, Prometheus Books.

Kompas, Edisi Rabu, 30 Oktober 2002, “Komisi IX DPR Menolak Reprofiling Obligasi Jika Bunga Bertambah Rp823,67 Miliar.”

Kompas, Edisi 9 Agustus 2004, “Tahun Ini Pemerintah Tidak Lagi Buyback Obligasi.”

Kompas, Edisi Sabtu, 6 November 2004, “Jerman Beri Lagi Debt Swap 60 Juta Dollar AS.”

Kraay, A. dan V. Nehru, 2004, “When is External Debt Sustainable?” World Bank Working Paper, No. 3200.

Kremer, M. dan S. Jayachandran, 2002, “Odious Debt,” NBER, No. 8953.

Kremer, M. dan E. Miguel, 2004, “The Illusion of Sustainability,” NBER, No. 10324.

Krugman, 1985, "Increasing Returns and the Theory of International Trade," NBER, No. 1752.

Kuncoro, M., 2001, Manajemen Keuangan Internasional: Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta.

Kusumaningtuti, S. S., 2004, “Indonesia’s External Debt Management on Private Debt,” Dipresentasikan dalam Thematic Workshop on Foreign Aid: “From Foreign Aid to A Comprehensive Borrowing Strategy,” (tidak dipublikasikan), Bank Indonesia, Jakarta.

Kuznets, S., 1955, “Economic Growth and Income Inequality,” American Economic Review, Vol. 45, No. 1, Hal. 1-28.

Lian, T., 2002, “Debt Market Development in Singapore,” Bank for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland.

Lucas, R. E. Jr., 1988, “On the Mechanics of Development Planning,” JME, Vol. 22.

Manasse, Roubini N. dan Schimmelpfenig, 2003, “Predicting Sovereign Debt Crises,” IMF.

Mankiw, N. G., 2003, Macroeconomics, Edisi Kelima, Worth Publishers, USA.

Marks, S. V., 2003, “Fiscal Sustainability and Fiscal Solvency: Theory and Recent Experience in Indonesia,” disiapkan untuk Bappenas, Pegasus Consulting.

McCauley, R., 2003, “Unifying Government Bond Markets in East Asia,” BIS Quarterly Review, Basel, Switzerland.

McDermott, C. J. dan R. Wescott, 1997, “Fiscal Reforms That Work,” IMF.

McKinnon, R. I., 1991, “Stabilizing the Ruble: The Problem of Internal Currency Convertibility,” United Nations.

Mendoza, Enrique dan P. Marcelo Oviedo, 2004, “Public Debt, Fiscal Solvency and Macroeconomic Uncertainty in Latin America: The Cases of Brazil, Columbia, Costa Rica and Mexico,” NBER, No. 10637.

Mihaljek, D., M. Scatigna dan A. Villar, 2002, “Recent Trends in Bond Markets,” BIS Papers, No. 11, Basel, Switzerland.

Moore, J., 1906, “Digest of International Law,” Washington: Government offprint.

Morella, C., 2004, “Economic Death in Two Years Without New Taxes: Arroyo,” The Jakarta Post, 22 September 2004.

Page 215: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

203

Mussa, M., 2002, “Argentina and The Fund: From Triumph to Tragedy, Policy Analyses in International Economics,” Institute for International Economics.

Mylonas, P., 2000, “News Issues in Public Debt Management: Government Surpluses in Several OECD Countries, The Common Currency in Europe and Rapidly Rising Debt in Japan,” OECD.

Nasution, A., 2003, “Fiscal Issues and Central Bank: Indonesia’s Experience,” BIS, No. 20.

Ntamatungiro, J., 2004, “Fiscal Sustainability in Heavily Indebted Countries Dependent on Non Renewable Resources: The Case of Gabon,” IMF.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), 2002, “OECD Economic Outlook 2002.”

Ozler, S. dan G. Tabellini, 1991, “External Debts and Political Instability,” NBER, No. 3772.

Panday, D. R., 2004, “Can Aid Conditionality Help Governance Reform in Needy Countries?” Tranparency International.

Perry dan Serven, 2002, ”The Anatomy of a Multiple Crisis: Why was Argentina special and what can we learn from it?” World Bank.

Polackova, H., 1998, “Government Contingent Liabilities: A Hidden Risk to Fiscal Stability,” World Bank Policy Research Working Papers, No. 1989.

Pyo, H. K., 1987, “External Dependence and Economic Growth: An Empirical Inquiry,” dalam K. D. Kim (ed.), Dependency Issues in Korean Development, Seoul National University, South Korea.

Rahmany, A. Fuad, 2004, “Profil Surat Utang Negara dan Kebijakan Pengelolaan (material tidak dipublikasikan),” Departemen Keuangan R. I.

Rahmany, A. Fuad, 2004, “Ketahanan Fiskal dan Manajemen Utang dalam Negeri Pemerintah,” dalam Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (Editor), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Kompas.

Rajan, R., 1998, “Do We Still Need Commercial Banks?” NBER.

Rajan, R. dan D. Diamond, 2000, ”Liquidity Risk, Liquidity Creation and Financial Fragility: A Theory of Banking,” NBER, No. w7430.

Razin, A. dan E. Sadka, 2002, “A Brazilian Debt-Crisis,” NBER, No. 9160.

Reinhart, C. M., K. Rogoff dan M. Savastano, 2003,” Debt Intolerance,” NBER, No. w9908.

Ricardo, D., 1817, The Principles of Political Economy and Taxation (diterbitkan kembali oleh Prometheus Book, 1996).

Rose, A., 2004, “Macroeconomic Determinants of International Trade,” NBER.

Rose, A., 2002, “One Reason Countries Pay Their Debts: Renegotiation and International Trade,” NBER, No. 8853.

Roubini, N., 2001,” Why Should the Foreign Creditors of Argentina Take a Greater Hit/Hair Cut Than the Domestic Ones,” NBER.

Saaty, Thomas L., 1991, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Analisis Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks, IPPM.

Sachs, J., 1988, “Conditionality, Debt Relief, and Developing Country Debt Crisis,” NBER, No. 2644.

Page 216: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

204

Sachs, J., “Macroeconomic Adjustment and the Current Account during the 1970s,” Brookings Papers on Economic Activity, Washington D.C.

Santoso, Bagus, 1995, “Penyusunan Sistem Perencanaan Alokasi Bantuan kepada Pemerintah Daerah,” Laporan Studi Hasil Kerjasama Antara Biro Keuangan Daerah Tingkat II dan Perdesaan, Deputi Bidang Regional, Bappenas dengan PPE FE UGM.

Santoso, Bagus, 2001, “Panel Unit Root and Cointegration Tests on Purchasing Power Parity: Sequential Tests on Poolable Unit Root Tests,” Working Paper.

Sargent–Wallace, 1986, Rational Expectations and Inflation.

Solow, R. M., 1956, “A Contribution to the Theory of Economic Growth,” The Quarterly Journal of Economics (QJE), Vol. 70.

Steneri, C., 2003, “Voluntary Debt Reprofiling: The Case of Uruguay,” dipaparkan dalam UNCTAD Conference on Debt Management, Geneve, 11-14 November 2003.

Stiglitz, J., 1986, "Economics of Information and the Theory of Economic Development," NBER, No. 1566.

Summers, L., 1986, “Debt Problems and Macroeconomic Policies,” NBER, No. 2061.

Todaro, M. P., 2000, Economic Development, Edisi Ketujuh, Addison-Wesley Longman.

Tornell, A. dan G. Esquivel, 1995, “The Political Economy of Mexico’s Entry to NAFTA,” NBER.

Turner, P., 2002, “Bond Markets in Emerging Economies: an Overview of Policy Issues,” Bank for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland.

Van Trostenburg, A. dan A. McArthur, 1999, “The HIPC Initiative: Delivering Debt Relief to Poor Countries,” World Bank.

Yamauchi, A., 2004, “Fiscal Sustainability – The Case of Eritrea,” IMF.

www.depkeu.go.id.

http://forecasts.org/interest-rate/10-year-treasury-bond-yield.html.

http://fx.sauder.ubc.ca/forward.html.

www.bi.go.id.

www.imf.org.

www.investorwords.com.

www.asianbondsonline.adb.org.

www.fitchratings.com.

www.eng.ratings.co.kr.

Page 217: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

205

LAMPIRAN 2 DAFTAR PERTANYAAN IN-DEPTH INTERVIEW - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Lampiran 2 ini memuat daftar pertanyaan yang digunakan sebagai acuan pengumpulan data, serta jenis data dan struktur data yang dikumpulkan. Daftar pertanyaan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu perihal pengelolaan fiskal, manajemen utang dan ketersediaan data.

Perihal Pengelolaan Fiskal 1. Bagaimana proses pengelolaan fiskal selama ini?

a. Apakah perencanaan fiskal sudah dilakukan secara optimal?

b. Bagaimana pengelolaan fiskal selama ini? Apakah telah memenuhi aturan yang

berlaku?

c. Adakah audit yang dilakukan untuk memeriksa seluruh transaksi fiskal yang

dijalankan? Apakah pelaksanaannya selama ini telah bersifat accountable

(bertanggungjawab secara akuntansi) dan responsible (legal) ?

d. Apakah kelebihan dan kekurangan proses pengelolaan fiskal saat ini?

2. Efisiensi kebijakan pembiayaan APBN.

a. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang efisiensi fiskal selama ini?

b. Bagaimana sebaiknya cara mengukur efisiensi fiskal?

c. Manakah yang lebih efisien dalam melakukan pinjaman untuk pembiayaan fiskal,

apakah dari official borrowing (dari lembaga donor internasional) atau market

borrowing (pasar komersial)?

d. Adakah upaya yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi fiskal?

3. Bagaimana pemerintah mengantisipasi pembiayaan tekanan pengeluaran yang

semakin meningkat di masa depan?

4. Apakah pola penetapan target fiskal selama ini sudah tepat? Sejauh mana target

tersebut sudah tercapai?

Page 218: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

206

5. Dalam keadaan perekonomian saat ini, manakah orientasi fiskal yang lebih relevan

diterapkan, apakah fiscal stimulus atau fiscal sustainability?

Perihal Manajemen Utang

1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang portofolio utang dalam negeri dan luar

negeri selama ini? Apakah portofolio tersebut telah optimal?

2. Bagaimana usaha reprofiling utang selama ini? Bagaimana prospeknya di masa

depan?

3. Adakah ide-ide untuk diterapkan di masa depan tentang pengelolaan utang

pemerintah yang lebih optimal? Mohon jelaskan.

4. Faktor-faktor apa yang paling dikhawatirkan oleh Departemen Keuangan yang

berkontribusi kepada terjadinya contingent liabilities dan akan menyebabkan fiskal

berada pada posisi sangat kritis?

5. Untuk kasus Indonesia, dalam rangka pencapaian optimal borrowing dan ketahanan

fiskal, manakah yang lebih baik diterapkan saat ini:

a) mengurangi pengeluaran,

b) menambah penerimaan, atau

c) menerapkan keduanya?

6. Apakah yang mendasari pilihan Bapak/Ibu pada butir di atas? Apakah yang menjadi

kelebihan dan kekurangan dari penerapan pilihan tersebut?

Perihal Ketersediaan Data

Kami akan sangat berterimakasih sekiranya Bapak/Ibu memiliki informasi/data berikut ini:

1. Data produk hukum (Undang-Undang) dan kebijakan yang berkaitan dengan utang

pemerintah (dalam dan luar negeri).

2. Data runtut waktu tentang nilai rencana dan realisasi APBN, masing-masing pos.

3. Data runtut waktu tentang defisit, stok utang, struktur dan portofolio utang pemerintah

termasuk utang komersial.

4. Data besarnya tingkat bunga dan biaya bunga masing-masing portofolio utang.

5. Data runtut waktu primary balance dan data makro ekonomi (misalnya laju

pertumbuhan, inflasi, suku bunga umum, nilai tukar dan neraca perdagangan).

6. Adakah perbedaan versi-versi data antara Departemen Keuangan, Bank Indonesia

dan IMF? Jika ada, sejauh mana dapat dipertanggungjawabkan validitasnya?

a. Sumber dan sistem pengolahan data di Departemen Keuangan

b. Sejauh mana perbedaan versi tersebut dapat dijelaskan

7. Ke depan, adakah rencana pembaruan sistem penyusunan dan pengolahan data di

Departemen Keuangan? Mohon jelaskan.

Page 219: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

207

LAMPIRAN 3 IN-DEPTH INTERVIEW DENGAN NARASUMBER - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Dalam rangka studi yang dilakukan terhadap manajemen utang dalam dan luar negeri pemerintah dan pinjaman yang optimal, PPE FE UGM melakukan wawancara dengan sejumlah staf Departemen Keuangan RI pada tanggal 12 Oktober 2004.

Pertemuan ini dihadiri oleh tim peneliti dari Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (PPE) dan tim dari Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan (BAF Depkeu). Staf Departemen Keuangan yang hadir antara lain Bapak Dr. Andin Hardiyanto, Bapak Drs. Kunta Wibawa D.N, MSc (Badan Analisa Fiskal/BAF), Bapak Dr. Fuad Rahmany, Bapak Dr. Rahmat Waluyanto, Ibu Ayu Sukorini dan Bapak Agung Galih Satwiko (Penerbitan Obligasi dan Surat Utang Negara). Pertemuan ini bertujuan untuk melakukan wawancara seputar manajemen utang. Tim Depkeu memberikan penjelasan atas beberapa pertanyaan dalam kuesioner yang disajikan oleh PPE. Selain itu, dilakukan diskusi antara PPE dan BAF Depkeu sehubungan dengan perkembangan studi dan masukan-masukan oleh tim BAF Depkeu.

Dr. Andin Hardiyanto menjelaskan, pengeluaran pemerintah (G) merupakan fungsi dari pajak (T). Untuk saat ini, kebutuhan pembiayaan fiskal masih difokuskan pada dua pos yaitu:

1. Pembiayaan defisit 2. Pokok utang jatuh tempo dan bunga

Sumber pendanaan dapat diambil dari pinjaman program atau pinjaman proyek. Untuk menjaga stabilitas, perlu pengamatan terhadap kondisi makroekonomi dan siklus bisnis. Bila business cycle sedang lesu, maka pengeluaran harus dikendalikan untuk menjaga stabilitas primary balance. Sebenarnya istilah pemotongan pengeluaran tidak tepat, karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Yang dapat dilakukan adalah mengendalikan pengeluaran agar tetap efisien dan optimal. Sekalipun demikian, primary balance bukan satu-satunya ukuran. Bagi tim, yang harus diperhitungkan adalah keseimbangan total. Overall balance lebih penting daripada primary balance.

Merespon pertanyaan seputar efisiensi fiskal, tim Depkeu menilai bahwa fiskal saat ini belum efisien. Pengelolaan harus dibenahi. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu:

1. Regulasi yang tumpang tindih. Aturan-aturan lama dinilai tidak relevan lagi. Tanpa menjabarkan secara praksis, tim Depkeu mencontohkan praktek-praktek lama yang bertentangan dengan undang-undang.

Page 220: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

208

2. Perihal audit, selama ini dilakukan oleh BPK. Setelah diaudit, produk APBN akan menjadi APBN-P dan selanjutnya Perhitungan Anggaran Negara (PAN). Tim Depkeu menilai sering terjadi perbedaan persepsi antara Depkeu dengan BPK sebagai auditor.

Untuk mengukur efisiensi, tim Depkeu tidak menyebutkan secara langsung parameter apa yang dipakai. Namun pada prinsipnya, Dr. Andin menjelaskan bahwa tingkat konsumsi utang luar negeri harus dibandingkan dengan batasan biaya yang timbul dalam pasar dana. Artinya, tingkat penggunaan utang luar negeri harus disesuaikan pada tingkat risiko yang paling minim. Oleh karena itu harus dibandingkan mana yang paling ‘murah’ antara pinjaman dalam dan luar negeri. Pertimbangan cost of capital ini didasarkan atas penilaian pada biaya penerbitan/eksekusi pinjaman dan suku bunga yang dikenakan.

Efisiensi juga dapat dilihat dari tingkat kebocoran pajak. Hubungan antara fiskus dan wajib pajak (WP) harus dipantau secara transparan. Selain itu, inefisiensi juga dapat terjadi dalam proses alokasi fiskal. Double-counting dan ketidakjelasan definisi sering terjadi. Oleh karena itu, perlu regulasi, pencatatan akurat dan definisi ulang terhadap pos-pos tertentu. Perihal regulasi ini, setidaknya perlu ada tiga produk undang-undang yang memadai, antara lain:

1. UU tentang Perbendaharaan Negara 2. UU tentang Keuangan Negara 3. UU tentang Audit/Pemeriksaan Keuangan Negara

Tim Depkeu juga berpendapat, perencana dan pelaksana kebijakan secara ideal dipisahkan.

Tim PPE FE UGM juga menanyakan apakah fiskal saat ini dipersepsikan lebih bersifat stimulus atau sustainability. Tim Depkeu merespon dengan menjelaskan bahwa stimuli fiskal bukan hanya bersifat operasi ekspansif (pengeluaran) semata, tetapi juga dengan skema lain. Setidaknya ada tiga cara pemerintah dapat menjalankan fiscal stimulus yaitu:

1. Menambah pengeluaran untuk merangsang perekonomian 2. Menghapus/mengurangi pajak 3. Mengurangi premi risiko

Mengurangi premi risiko dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kepercayaan pasar. Bila kepercayaan besar, maka biaya ekonomi akan rendah. Biaya pinjaman modal di pasar uang dan pasar modal misalnya, juga akan rendah. Sektor swasta akan banyak merasakan manfaatnya. Inilah yang dimaksud dengan stimuli tidak langsung. Maka, jangan disalahartikan bahwa melakukan fiscal stimulus hanya bersifat meningkatkan pengeluaran. Saat ini pun pemerintah melakukannya secara tidak langsung.

Bagi Depkeu, yang jauh lebih penting adalah solvabilitas pemerintah itu sendiri. Kesinambungan fiskal akan percuma tanpa solvabilitas jangka panjang. Untuk mengukurnya, digunakan rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa. Tim Depkeu melihat, perubahan kurs masih menjadi ancaman yang harus diwaspadai.

Selama ini, defisit yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya pembayaran bunga utang. Oleh karena itu, anggaran perlu diamankan. Langkah yang ditempuh adalah setidaknya menjaga agar tekanan utang tidak bertambah dan mencari penerimaan yang progresif sampai seluruh kewajiban tertutup. Dr. Andin berpendapat, defisit tidak menjadi masalah sejauh magnitude nya sesuai dengan business cycle. Defisit yang besar pada situasi lifecycle yang tinggi akan mudah ditutup. Sebaliknya jika terjadi saat konjungtur perekonomian berada di bawah, maka ini akan menjadi ancaman bagi fiskal. Dicontohkan Argentina yang utang luar negerinya mencapai 50 persen PDB sudah menyatakan default, sementara Jepang yang mencapai 120 persen PDB fiskalnya masih aman. Artinya, utang tidak secara inheren buruk dan mengancam, sejauh dikelola dengan benar.

Page 221: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

209

Mengenai pencapaian target fiskal, yang dijadikan sebagai acuan adalah Propenas. Tim Depkeu menilai, masih banyak target-target yang belum terpenuhi. Asumsi-asumsi makro belum tercapai. Ukuran-ukuran biasanya menyangkut laju inflasi, suku bunga, pertumbuhan PDB dan harga minyak. Tim BAF menyayangkan kinerja tax-ratio yang masih rendah. Direktorat Pajak dinilai masih berbangga dengan pencapaian target PPN (Value-Added Tax/VAT). Padahal, prestasinya dicapai lewat pertambahan inflasi.

Manajemen obligasi pemerintah harus didasarkan pada prinsip efisiensi utang dan pembentukan portofolio yang optimal. Bila surplus primer terancam, maka efisiensi harus dilakukan. Muncul perdebatan antara meminjam lewat pasar atau official. Tim Depkeu menjelaskan, serangkaian persyaratan yang diajukan oleh lembaga-lembaga peminjam resmi akan membuat aktivitas pinjaman berbiaya tinggi. Misalnya, keharusan mengimpor barang dari negara donor, fee yang dikenakan, risiko mark up dalam tender dan lain sebagainya. Meminjam dari pasar (market) akan lebih efisien karena sifatnya yang independen. Maka, obligasi menjadi pilihan yang efisien. Yang terutama, harus diperhatikan dengan seksama perihal yield, suku bunga (coupon) dan grace period-nya bila dilakukan restrukturisasi. Adapun suku bunga efektif adalah besarnya pembayaran bunga dibagi dengan stok utang.

Namun demikian ada beberapa keuntungan dalam meminjam dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Bantuan dari Bank Dunia umumnya bersifat strict, sehingga unsur kehati-hatian (prudence) lebih terjaga. Selain itu, pinjaman memiliki kualitas yang bagus. Ada perhitungan terhadap aspek risiko dan manajemen yang akurat. Namun suku bunga sebagai cost of capital tetap akan mencerminkan persepsi (informasi) yang ditangkap oleh donor. Bila suku bunga tinggi, hal ini menandakan persepsi pasar yang buruk terhadap kredibilitas pemerintah.

Contingent liabilities yang selama ini dialami misalnya penjaminan simpanan dana pihak ketiga (blanket-guarantee) oleh pemerintah, pembagian anggaran dana pensiun TASPEN yang bermasalah (pemerintah harus memenuhi Rp300 triliun) dan rasio modal BI terhadap kewajiban moneter yang harus ditanggung pemerintah. Tim Depkeu membeberkan adanya contingent liabilities terdekat yang akan dihadapi oleh pemerintah RI pada tahun 2008. Perlu pembiayaan ekstra. Pada saat itu akan terjadi potensi jatuh tempo senilai Rp40 triliun. Pemerintah harus melakukan restrukturisasi agar kesinambungan fiskal tetap terjaga. Alternatif kebijakan yang diambil ialah melakukan buyback dan penjadualan kembali. Tenor diusahakan akan diperpanjang tanpa mengubah nilai sekarang dari obligasi tersebut.

Pembayaran utang jatuh tempo ini mengharuskan pemerintah melakukan refinancing. Diperkirakan, biaya refinancing mencapai Rp50 triliun/tahun. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi yang tepat untuk mengurangi tekanan fiskal. Setidaknya, utang diusahakan tidak bertambah sementara PDB harus naik. Maka, dalam jangka panjang rate pertumbuhan utang akan turun.

Dalam menerbitkan Surat Utang Negara (SUN), pemerintah perlu mempertimbangkan tiga hal, yaitu:

1. Daya serap masyarakat 2. Uang beredar 3. Dana yang tersimpan di bank

Hal tersebut akan menunjukkan seberapa besar dana potensial yang masih beredar dan dapat diserap. Bila uang beredar banyak yang terserap di sektor perbankan, maka prospek obligasi (SUN) menjadi kurang menjanjikan. Oleh karena itu Dr. Andin Hardiyanto menekankan perlunya kerjasama fiskal (Depkeu) dan moneter (BI) agar keseimbangan pasar dapat terjaga. Sebab bila suku bunga menjadi tinggi misalnya, masyarakat menjadi kurang tertarik memegang obligasi.

Page 222: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

210

Sebagai alternatif kebijakan pembiayaan fiskal, obligasi negara menjadi pilihan dengan risiko optimal. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengeluarkan obligasi internasional senilai US$400 ribu. Dr. Fuad Rahmany meyakinkan bahwa hingga saat ini obligasi negara masih menjadi instrumen investasi paling likuid dan diminati di Indonesia. Hal ini menandakan absorpsi yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Ada dua hal yang harus diukur dalam menilai efektivitas dan efisiensi pasar obligasi pemerintah, yaitu:

1. Volume transaksi 2. Frekuensi transaksi Data menunjukkan, bahwa volume transaksi obligasi negara saat ini mencapai Rp2 triliun/hari, dua kali lebih besar daripada pasar saham yang rata-rata sehari hanya mencapai Rp1 triliun. Frekuensi transaksi juga sangat tinggi, karena pasar sekunder obligasi telah dibuka pemerintah. Hal ini mencerminkan likuiditas pasar yang tinggi. Bagi Depkeu, volume transaksi yang menurun tidak menjadi masalah sejauh pasar tetap likuid. Hal ini menunjukkan, obligasi sangat diminati masyarakat dan menjadi prospek yang menjanjikan bagi pemerintah. Bahkan Depkeu optimis, obligasi negara (SUN) akan mampu menggantikan SBI di masa mendatang.

Agenda-agenda obligasi pemerintah meliputi perluasan pasar dan antisipasi risiko. Dr. Rahmat Waluyanto memaparkan kajian akan rencana pembukaan retail market untuk SUN ini. Semua orang diusahakan dapat membeli SUN secara terbuka. Sedangkan untuk menghadapi risiko dapat dilakukan estimasi yield di masa mendatang. Sedangkan pengawasan dan regulasi telah dilakukan dengan UU No. 24/2002 pasal 16 sebagai payung hukumnya.

Mengenai optimal borrowing, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan yaitu:

1. Fiscal dependent, yang harus melihat kondisi makroekonomi 2. Agar defisit stabil, maka pengeluaran pemerintah (G) harus turun 3. Menilai besarnya output gap, yaitu selisih antara PDB potensial yang diperkirakan

dengan PDB riil yang terjadi.

Tiga hal tersebut menunjukkan besarnya risiko yang harus dinilai untuk mendapatkan besaran pinjaman yang optimal. Risiko ini dapat berasal dari pengeluaran pemerintah, ketergantungan makroekonomi pada fiskal dan kemungkinan besaran PDB riil meleset dari estimasi fiskal. Oleh karena itu, pinjaman yang optimal adalah manfaat (utilitas) yang maksimal dari ketiga batasan risiko di atas. Adapun batasan-batasan tersebut dapat berasal dari:

1. Nilai tukar – berkaitan dengan utang dalam bentuk mata uang asing atau domestik. 2. Suku bunga pinjaman – berkaitan dengan suku bunga utang (fixed atau variable

rate) 3. Tenor – berkaitan dengan periode pinjaman (jangka panjang atau pendek)

Selain itu juga time constraint, sehingga diperlukan benchmarking.

Dalam penyusunan APBN tahun 2005 mendatang Departemen Keuangan meminta fleksibilitas dalam manajemen portofolio. Tim meminta, agar independensi Depkeu dalam manajemen pinjaman tidak banyak dicampuri berbagai pihak. Diprediksikan oleh tim, ada rencana surplus namun fiskal masih defisit. Drs. Kunta Wibisana D.N, MSc menambahkan, untuk mempertahankan defisit fiskal tetap 3 persen sesuai UU No. 17/2003 rasanya masih sulit. Dibutuhkan dana untuk mempartahankan batas minimum tersebut.

Kendala lain yang dihadapi ialah adanya perbedaan data keuangan antara Depkeu, BI dan lembaga keuangan internasional misalnya IMF. Depkeu menilai, hal ini disebabkan karena ketidakjelasan definisi pos-pos yang dimasukkan. Catatan kaki dari Departemen Keuangan misalnya, seringkali tidak dicantumkan dalam laporan IMF.

Page 223: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

211

LAMPIRAN 4 HASIL SIMULASI RASIO KESEIMBANGAN PRIMER (PRIMARY BALANCE) TERHADAP PDB DAN RASIO UTANG TERHADAP PDB UNTUK INDONESIA -STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Lampiran 4 merupakan hasil simulasi rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB untuk kasus Indonesia yang dilakukan oleh Tim PPE UGM. Beberapa simulasi telah dipaparkan pada Bab 4. Secara umum, pada Lampiran 4 ini berisi 13 simulasi, yaitu: 1. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer

Tahun Dasar PDB 2000. 2. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0 persen Tahun

Dasar PDB 1993. 3. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0,5 persen

Tahun Dasar PDB 1993. 4. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1 persen Tahun

Dasar PDB 1993. 5. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 persen

Tahun Dasar PDB 1993. 6. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 2 persen Tahun

Dasar PDB 1993. 7. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0 persen Tahun

Dasar PDB 2000. 8. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0,5 persen

Tahun Dasar PDB 2000. 9. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1 persen Tahun

Dasar PDB 2000. 10. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 persen

Tahun Dasar PDB 2000. 11. Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 2 persen Tahun

Dasar PDB 2000. 12. Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat

Keseimbangan Primer (PDB tahun dasar 1993). 13. Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat

Keseimbangan Primer (PDB tahun dasar 2000).

Page 224: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Keseimbangan Primer 2 %Tahun Utang g i OffBudgetLoss CapRev PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 48.96 5.5 3.90 0.5 0.1 2 -3.242006 46.22 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.742007 43.51 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.712008 40.72 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.802009 37.96 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.752010 35.26 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.71Keseimbangan Primer 1,5 %Tahun Utang g i OffBudgetLoss CapRev PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 49.46 5.5 3.90 0.5 0.1 1.5 -2.742006 47.22 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.252007 45.00 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.222008 42.68 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.322009 40.39 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.282010 38.15 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.25Keseimbangan Primer 1 %Tahun Utang g i OffBudgetLoss CapRev PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 49.96 5.5 3.90 0.5 0.1 1 -2.242006 48.21 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.752007 46.48 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.732008 44.64 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.842009 42.82 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.822010 41.03 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.79Keseimbangan Primer 0,5 %Tahun Utang g i OffBudgetLoss CapRev PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 50.46 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.742006 49.21 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.262007 47.96 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.242008 46.60 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.372009 45.25 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.352010 43.92 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.33Keseimbangan Primer 0 %Tahun Utang g i OffBudgetLoss CapRev PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 50.96 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.242006 50.20 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.762007 49.45 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.752008 48.56 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.892009 47.68 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.882010 46.81 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.86

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBOffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

rasio total utang terhadap PDBg: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

Lampiran 4.1Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Keterangan:

Page 225: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 58.74 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.362006 57.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.852007 57.05 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.842008 56.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.012009 55.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.002010 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9432 -0.04

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 58.74 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.362006 57.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.852007 57.05 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.842008 56.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.012009 55.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.002010 54.06 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.98

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 58.74 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.362006 57.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.852007 57.05 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.842008 56.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.012009 55.04 6 4.40 0.2 0.1 0 -1.002010 54.06 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.98

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 60,10% -55%

Utang/PDB 60,10%-50%

Utang/PDB 60,10%-40%

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

Lampiran 4.2Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0 Persen

Tahun Dasar PDB 1993 (%)

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBOffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

Page 226: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 50.96 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.242006 50.20 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.762007 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.5519 -0.202008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.00 4.8 2.40 1.2 0.2 02005 50.77 5.5 3.90 0.5 0.1 0 -1.232006 50.01 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.762007 49.26 5.5 4.40 0.3 0.1 0 -0.752008 48.37 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.892009 47.49 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.882010 46.63 6 4.40 0.2 0.1 0 -0.86

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 52,20% -50%

Utang/PDB 52,20%-40%

Lampiran 4.3Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0 Persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintahCapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Perubahan Utang:

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB

Page 227: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 58.24 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.862006 56.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.342007 55.57 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.332008 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.4229 -0.572009 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.002010 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 58.24 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.862006 56.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.342007 55.57 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.332008 54.08 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.492009 52.61 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.472010 51.17 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.44

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 58.24 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.862006 56.89 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.342007 55.57 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.332008 54.08 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.492009 52.61 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.472010 51.17 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.44

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Lampiran 4.4

Keterangan:

i:

rasio total utang terhadap PDBpertumbuhan PDB riilg:biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0,5 PersenTahun Dasar PDB 1993 (%)

Utang/PDB 60,10% -55%

Utang/PDB 60,10%-50%

Utang/PDB 60,10%-40%

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

Page 228: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 50.46 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.742006 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.29288 -0.462007 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.75126 0.002008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.90126 0.002009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.90126 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.90126 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.00 4.8 2.40 1.2 0.2 0.52005 50.27 5.5 3.90 0.5 0.1 0.5 -1.732006 49.01 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.252007 47.77 5.5 4.40 0.3 0.1 0.5 -1.242008 46.41 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.372009 45.06 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.342010 43.74 6 4.40 0.2 0.1 0.5 -1.32

Utang:

biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 52,20% -50%

Utang/PDB 52,20%-40%

Lampiran 4.5Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 0,5 Persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

i:CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riil

Perubahan Utang:

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB

Page 229: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 57.74 5.5 3.90 0.5 0.1 1 -2.362006 55.90 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.842007 55.00 5.5 4.40 0.3 0.1 0.0840 -0.902008 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.002009 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.002010 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 57.74 5.5 3.90 0.5 0.1 1 -2.362006 55.90 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.842007 54.08 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.822008 52.12 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.972009 50.18 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.942010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.7220 -0.18

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 57.74 5.5 3.90 0.5 0.1 1 -2.362006 55.90 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.842007 54.08 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.822008 52.12 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.972009 50.18 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.942010 48.28 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.90

Utang:

biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 60,10% -40%

Lampiran 4.6

Keterangan:

Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1 PersenTahun Dasar PDB 1993 (%)

Utang/PDB 60,10% -55%

Utang/PDB 60,10% -50%

rasio total utang terhadap PDBg: pertumbuhan PDB riili:

PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBOffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

Page 230: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 50.00 5.5 3.90 0.5 0.1 0.9635 -2.202006 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002007 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 12005 49.96 5.5 3.90 0.5 0.1 1 -2.242006 48.21 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.752007 46.48 5.5 4.40 0.3 0.1 1 -1.732008 44.64 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.842009 42.82 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.822010 41.03 6 4.40 0.2 0.1 1 -1.79

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 52,20% -50%

Utang/PDB 52,20% -40%

Lampiran 4.7Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1 Persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintahCapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Perubahan Utang:

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB

Page 231: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 57.24 5.5 3.90 0.5 0.1 1.5 -2.862006 55.00 5.5 4.40 0.3 0.1 1.4058 -2.242007 55.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.8064 02008 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 02009 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 02010 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 57.24 5.5 3.90 0.5 0.1 1.5 -2.862006 54.91 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.332007 52.60 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.312008 50.16 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.442009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.7462 -0.162010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 57.24 5.5 3.90 0.5 0.1 1.5 -2.862006 54.91 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.332007 52.60 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.312008 50.16 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.442009 47.75 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.402010 45.39 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.37

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

rasio total utang terhadap PDBg: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

Lampiran 4.8Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 Persen

Keterangan:

Tahun Dasar PDB 1993 (%)Utang/PDB 60,10%-55%

tang/PDB 60,10%- 50

Utang/PDB 60,10%-40%

PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBOffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

Page 232: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Utang/PDB 52,20%-50%Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 50.00 5.5 3.90 0.5 0.1 0.9635 -2.202006 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002007 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 1.52005 49.46 5.5 3.90 0.5 0.1 1.5 -2.742006 47.22 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.252007 45.00 5.5 4.40 0.3 0.1 1.5 -2.222008 42.68 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.322009 40.39 6 4.40 0.2 0.1 1.5 -2.282010 40.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.3547 -0.39

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 52,20%-40%

Lampiran 4.9Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 Persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintahCapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Perubahan Utang:

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB

Page 233: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 56.74 5.5 3.90 0.5 0.1 2 -3.362006 55.00 5.5 4.40 0.3 0.1 0.9114 -1.742007 55.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.8064 0.002008 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.002009 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.002010 55.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9814 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 56.74 5.5 3.90 0.5 0.1 2 -3.362006 53.91 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.832007 51.12 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.792008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 0.1978 -1.122009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 60.10 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 56.74 5.5 3.90 0.5 0.1 2 -3.362006 53.91 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.832007 51.12 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.792008 48.20 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.922009 45.33 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.872010 42.50 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.83

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 60,10% -40%

Lampiran 4.10

Keterangan:

Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 2 PersenTahun Dasar PDB 1993 (%)

Utang/PDB 60,10% -55%

Utang/PDB 60,10-50%

rasio total utang terhadap PDBg: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintah

PB: rasio keseimbangan primer terhadap PDBPerubahan Utang:

CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBOffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDB

Page 234: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 50.00 5.5 3.90 0.5 0.1 0.1805 -2.202006 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002007 50.00 5.5 4.40 0.3 0.1 -0.7513 0.002008 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002009 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.002010 50.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.9013 0.00

Tahun Utang g i CapRev OffBudgetLoss PB Perubahan Utang2004 52.20 4.8 2.40 1.2 0.2 22005 48.96 5.5 3.90 0.5 0.1 2 -3.242006 46.22 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.742007 43.51 5.5 4.40 0.3 0.1 2 -2.712008 40.72 6 4.40 0.2 0.1 2 -2.802009 40.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.0358 -0.722010 40.00 6 4.40 0.2 0.1 -0.741 0.00

Utang:

perubahan kenaikan atau penurunan rasio utang terhadap PDB

Utang/PDB 52,20% -50%

Utang/PDB 52,20% -40%

Lampiran 4.11Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 2 Persen

Tahun Dasar PDB 2000 (%)

Keterangan:rasio total utang terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riili: biaya pinjaman rata-rata yang dibayarkan untuk total utang pemerintahCapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDB

Perubahan Utang:

OffBudgetLoss : rasio off-budget losses terhadap PDBPB: rasio keseimbangan primer terhadap PDB

Page 235: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 60.10 28.30 31.80 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 58.80 27.78 31.02 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.00 0.00 -0.52 -0.782006 58.02 27.41 30.61 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.00 0.00 -0.37 -0.412007 57.24 27.04 30.20 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.00 0.00 -0.37 -0.412008 56.29 26.55 29.74 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.00 0.00 -0.50 -0.462009 55.35 26.06 29.29 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.00 0.00 -0.49 -0.452010 54.42 25.58 28.84 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.00 0.00 -0.48 -0.45

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 60.10 28.30 31.80 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 58.30 27.55 30.76 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.24 0.26 -0.75 -1.042006 57.02 26.94 30.08 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.24 0.26 -0.60 -0.682007 55.76 26.35 29.41 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.24 0.26 -0.60 -0.672008 54.32 25.63 28.70 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.72 -0.712009 52.91 24.92 28.00 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.71 -0.702010 51.52 24.22 27.30 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.70 -0.69

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 60.10 28.30 31.80 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 57.80 27.31 30.49 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.47 0.53 -0.99 -1.312006 56.03 26.47 29.55 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.47 0.53 -0.84 -0.942007 54.27 25.65 28.62 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.47 0.53 -0.82 -0.932008 52.36 24.71 27.65 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.94 -0.972009 50.48 23.78 26.70 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.92 -0.962010 48.63 22.88 25.75 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.91 -0.95

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 60.10 28.30 31.80 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 57.30 27.07 30.23 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.71 0.79 -1.23 -1.572006 55.03 26.01 29.03 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.71 0.79 -1.07 -1.202007 52.79 24.95 27.83 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.71 0.79 -1.05 -1.192008 50.40 23.79 26.61 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.16 -1.222009 48.05 22.65 25.40 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.14 -1.212010 45.73 21.52 24.20 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.12 -1.20

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 60.10 28.30 31.80 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 56.80 26.84 29.96 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.94 1.06 -1.46 -1.842006 54.04 25.54 28.50 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.94 1.06 -1.30 -1.462007 51.30 24.26 27.05 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.94 1.06 -1.28 -1.452008 48.44 22.87 25.57 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.39 -1.482009 45.61 21.51 24.10 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.36 -1.462010 42.83 20.17 22.66 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.34 -1.44

rasio total utang pemerintah terhadap PDB CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBrasio off-budget losses terhadap PDB

PB(LN): rasio keseimbangan primer untuk utang luar negeriPB(DN): rasio keseimbangan primer untuk utang dalam negeri

biaya pinjaman untuk utang luar negeri pemerintah perubahan penurunan rasio utang luar negeri terhadap PDBbiaya pinjaman untuk utang dalam negeri pemerintah perubahan penurunan rasio utang dalam negeri terhadap PDB

g: pertumbuhan PDB riil

Keseimbangan Primer 2%

Keterangan :Utang:Utang LN: rasio utang luar negeri terhadap PDB OffBudgetLoss :

Lampiran 4.12Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (PDB tahun dasar 1993) (%)

Utang DN: rasio utang dalam negeri terhadap PDB

Keseimbangan Primer 0%

Keseimbangan Primer 0.5%

Keseimbangan Primer 1%

Keseimbangan Primer 1.5%

Perubahan Utang(LN):Perubahan Utang(DN):

i (LN):i (DN):

Page 236: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 52.20 24.58 27.62 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 51.02 24.13 26.89 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0 0 -0.45 -0.732006 50.31 23.81 26.51 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0 0 -0.32 -0.382007 49.61 23.49 26.12 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0 0 -0.32 -0.382008 48.77 23.06 25.71 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0 0 -0.43 -0.412009 47.94 22.64 25.31 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0 0 -0.42 -0.412010 47.13 22.22 24.91 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0 0 -0.42 -0.40

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 52.20 24.58 27.62 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 50.52 23.89 26.63 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.24 0.26 -0.69 -0.992006 49.32 23.34 25.98 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.24 0.26 -0.56 -0.652007 48.13 22.79 25.34 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.24 0.26 -0.55 -0.642008 46.81 22.14 24.67 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.65 -0.662009 45.51 21.49 24.02 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.64 -0.652010 44.23 20.86 23.37 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.24 0.26 -0.63 -0.65

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 52.20 24.58 27.62 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 50.02 23.66 26.36 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.47 0.53 -0.92 -1.262006 48.32 22.87 25.45 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.47 0.53 -0.79 -0.912007 46.64 22.10 24.55 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.47 0.53 -0.78 -0.902008 44.85 21.22 23.63 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.88 -0.922009 43.08 20.36 22.72 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.86 -0.912010 41.33 19.51 21.82 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.47 0.53 -0.84 -0.90

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 52.20 24.58 27.62 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 49.52 23.42 26.10 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.71 0.79 -1.16 -1.522006 47.33 22.40 24.93 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.71 0.79 -1.02 -1.172007 45.16 21.40 23.76 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.71 0.79 -1.01 -1.172008 42.88 20.30 22.58 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.10 -1.182009 40.64 19.22 21.42 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.08 -1.162010 38.44 18.16 20.27 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.71 0.79 -1.06 -1.15

Tahun Utang Utang LN Utang DN g i (DN) i (LN) CapRev OffBudgetLoss PB(LN) PB(DN) Perubahan Utang(LN) Perubahan Utang (DN)2004 52.20 24.58 27.62 4.8 2.81 2.17 1.2 0.22005 49.02 23.19 25.83 5.5 4.31 3.67 0.5 0.1 0.94 1.06 -1.39 -1.792006 46.33 21.94 24.40 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.94 1.06 -1.25 -1.442007 43.67 20.70 22.97 5.5 4.81 4.17 0.3 0.1 0.94 1.06 -1.23 -1.432008 40.92 19.38 21.54 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.32 -1.432009 38.21 18.08 20.13 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.30 -1.412010 35.54 16.81 18.73 6 4.81 4.17 0.2 0.1 0.94 1.06 -1.27 -1.40

rasio total utang pemerintah terhadap PDB CapRev : rasio pendapatan kapital terhadap PDBrasio off-budget losses terhadap PDB

PB(LN): rasio keseimbangan primer untuk utang luar negeriPB(DN): rasio keseimbangan primer untuk utang dalam negeri

biaya pinjaman untuk utang luar negeri pemerintah perubahan penurunan rasio utang luar negeri terhadap PDBbiaya pinjaman untuk utang dalam negeri pemerintah perubahan penurunan rasio utang dalam negeri terhadap PDB

Lampiran 4.13

Utang:Utang LN:Utang DN:g:i (LN):i (DN):

rasio utang dalam negeri terhadap PDBpertumbuhan PDB riil

Keseimbangan Primer 1,5%

rasio utang luar negeri terhadap PDB

Keseimbangan Primer 2%

Keterangan :

Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (PDB tahun dasar 2000) (%) Keseimbangan Primer 0%

Keseimbangan Primer 0,5%

Keseimbangan Primer 1%

OffBudgetLos s:

Perubahan Utang(LN):Perubahan Utang(DN):

Page 237: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

225

LAMPIRAN 5 RINGKASAN BUTIR-BUTIR KESEPAKATAN DALAM LETTER OF INTENT (LOI) ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DENGAN IMF - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

Lampiran 5 ini memuat ringkasan butir-butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Dalam LoI ini, terangkum kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang terlebih dahulu harus disetujui oleh IMF. Butir-butir kesepakatan yang yang menjadi dasar komitmen pemerintah Indonesia kepada IMF ini, pertama kali dilaksanakan pada bulan Oktober 1997. Sedangkan LoI terakhir yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah LoI bulan Desember 2003. Selama periode Oktober 1997 hingga Desember 2003, tercatat 24 LoI yang telah disetujui oleh IMF untuk dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Secara singkat LoI ini mencakup 10 bidang yaitu:

1. Bidang Fiskal 2. Bidang Moneter dan Perbankan 3. Bidang Restrukturisasi Perbankan 4. Bidang Restrukturisasi dan Reformasi Aturan Kepailitan Perusahaan 5. Bidang Investasi dan Deregulasi 6. Bidang Privatisasi Perusahaan Negara 7. Bidang Perdagangan Internasional 8. Bidang Jaring Pengaman Sosial 9. Bidang Lingkungan 10. Bidang Lainnya

Page 238: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

226

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Fiskal

1 Mengurangi distorsi pemerintah terhadap ekonomi, dengan cara menurunkan nilai subsidi listrik dan minyak. x x

2 Kenaikan VAT (Value Added Tax) untuk barang-barang yang masuk melalui Batam dan sekitarnya.

3 Membuat cetak biru (blue print) rencana untuk memperkuat fungsi anggaran pemerintah. x

4 Meningkatkan penerimaan pajak. x

5 Menetapkan kenaikan pajak berjenjang berdasarkan perubahan nilai tukar dan kenaikan harga terhadap alkohol dan tembakau. x x x x x

6 Menaikkan harga bahan bakar, hingga mendekati harga internasional. x

7 Menghapus subsidi impor atas harga komoditas gula, tepung terigu, jagung, kacang kedelai dan tepung ikan. x x x

8 Menghapus peraturan mengenai kandungan lokal pada kendaraan bermotor. x x x 9 Penghapusan subsidi atas bahan bakar pesawat terbang. x 10 Mengurangi target subsidi. 11 Penerapan sistem informasi keuangan berdasarkan panduan standar

internasional. 12 Penerapan pajak barang mewah.

Page 239: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

227

Oktober

1997 Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Moneter dan Perbankan 1 Restrukturisasi perbankan nasional. x x x x x 2 Restrukturisasi beberapa bank pemerintah dengan melakukan merger

(Bapindo, bank Bumi Daya, BDN dan Bank Exim). x

3 Restrukturisasi dan rekapitalisasi bank-bank pemerintah, serta perbankan secara keseluruhan. x

4 Privatisasi bank-bank milik pemerintah. 5 Privatisasi Bank BCA dan Niaga. 6 Melibatkan tim ahli internasional untuk memberikan rekomendasi tentang

BLBI.

7 Mengaudit cadangan devisa Bank Indonesia oleh auditor internasional.

8 Penguatan nilai tukar melalui kebijakan moneter. Bank menyimpan cadangan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi kerentanan nilai tukar rupiah. x

9 Kepemilikan sektor swasta dalam salah satu bank pemerintah minimal 20 persen. x

10 Menyiapkan bank pemerintah untuk program privatisasi. x 11 Mempersiapkan skema penjaminan tabungan dan dana masyarakat.

12 Meningkatkan kemampuan lender of the last resort dan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. x x

13 Divestasi bank-bank rekap. 14 Menjaga agar nilai rupiah tetap dalam kisaran Rp10.000/US$. x 15 Mempersiapkan rencana independensi bank sentral. x

Page 240: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

228

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

16 Memberikan tambahan modal bagi bank berkondisi sehat.

17 Restrukturisasi perbankan harus dengan konsultasi IMF dan Bank Dunia.

18 Pengeluaran yang cukup besar untuk membiayai restrukturisasi perbankan (7 bank diambil alih oleh BPPN dan dikoordinasikan bersama IMF, World Bank dan ADB).

x

19 Adanya kebebasan pihak asing/investor untuk turut memberikan campur tangan terhadap sistem perbankan Indonesia. x

20 Menyiapkan amandemen atas UU Perbankan yang menghapus pembatasan atas investasi luar negeri pada bank tertentu. x x

21 Melakukan amandemen atas UU Kerahasiaan Perbankan yang berhubungan dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan), serta memperbolehkan merger dan privatisasi atas empat bank negara.

22 Tidak memperbolehkan penyaluran kredit dari bank sentral terhadap perusahaan dan badan usaha milik negara. x x x

23 Menjaga tingkat inflasi di bawah level 10 persen oleh bank sentral dengan cara mengurangi jumlah uang beredar. x

24 Restrukturisasi bank-bank bermasalah, diukur dari nilai NPL-nya. x

Page 241: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

229

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Restrukturisasi Perbankan

1 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari bank-bank yang ada dalam pengawasan BPPN oleh auditor internasional. x x x

2 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari seluruh bank nasional oleh auditor internasional. x x x

3 Melakukan rekapitalisasi atas grup pertama dari bank-bank swasta yang memenuhi syarat program rekapitalisasi. x x

4 Mempersiapkan program rekapitalisasi pada bank-bank milik pemerintah. x x x x

5 Menyelesaikan syarat dan kondisi atas penerbitan obligasi rekapitalisasi. x x x

6 Mentransfer aset bermasalah dari bank-bank beku operasi kepada asset management unit BPPN pada bulan April dan Agustus. x x x

7 Mengeluarkan peraturan baru yang berpijak pada prinsip kehati-hatian terhadap klasifikasi pinjaman, penetapan kerugian atas pinjaman dan operasional restrukturisasi utang.

x x x

8 Memperkenalkan skema asuransi deposito. x x x 9 Mempersiapkan rencana final mengenai restrukturisasi Bank Danamon,

PDFCI dan Bank Tiara. x 10 Melakukan penggabungan Bapindo dan Bank Bumi Daya. x 11 Menyelesaikan persyaratan penggabungan empat bank swasta. x

12 Mempersiapkan rencana operasional penggabungan dan restrukturisasi empat bank negara. x x x

Page 242: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

230

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Restrukturisasi dan Reformasi Aturan Kepailitan Perusahaan 1 Membentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA). x x x x 2 Mengesahkan aturan arbitrasi yang sesuai dengan standar internasional. x x x x

3 Menyelesaikan tinjauan mengenai standar audit dan akuntansi yang sesuai dengan standar internasional. x x x x

4 Pembebasan pajak atas pelaksanaan merger dan kegiatan reorganisasi lainnya. x x x

5 Mempersiapkan mekanisme pengadilan komersial (dagang). x x

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Investasi dan Deregulasi 1 Mempersiapkan persaingan bebas dalam bidang: x a) Impor komoditas tepung terigu, kacang kedelai dan bawang putih. b) Penjualan dan distribusi tepung terigu. c) Impor dan pemasaran gula.

Page 243: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

231

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Privatisasi Perusahaan Negara 1 Menetapkan kerangka kerja atas privatisasi dan restrukturisasi perusahaan

negara. x x

2 Menambahkan faktor transparansi dan efisiensi pada reformasi BUMN. x

3 Penjualan aset-aset BUMN kepada pihak swasta demi pencapaian target anggaran. x x

4 Mempersiapkan penjualan 164 perusahaan negara. x x 5 Privatisasi BUMN khususnya BULOG, Pertamina dan PLN karena selama ini

menunjukan ketidakefisienan. x x

6 Melakukan audit terhadap Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi dengan standar internasional. x x x

7 Melakukan divestasi untuk tujuan privatisasi atas 12 perusahaan terpilih. x x x

8 Menyiapkan rencana pelelangan untuk semua perusahaan negara. x x x

9 Melakukan audit atas perusahaan milik negara yang tidak sehat termasuk Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi. x x x x

Page 244: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

232

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Perdagangan Internasional 1 Membuka kembali pintu investasi asing. x 2 Secara bertahap mengurangi tarif atas produk agrikultural bukan makanan ke

tingkat maksimum 10 persen. x x x x

3 Mengurangi tarif atas produk kimia, besi baja dan produk perikanan ke tingkat 5-10 persen. x x x x x

4 Menghilangkan batasan impor secara kuantitatif dan halangan non-tarif lainnya. x x x x

5 Menghilangkan semua pembatasan ekspor. x x x x

6

Mengurangi pajak ekspor atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral maksimum 30 persen pada 15 April 1998, 20 persen pada akhir Desember 1998, 15 persen pada akhir Desember 1999 dan 10 persen pada akhir Desember 2000.

x x x x

7 Mengenakan pajak pengelolaan sumberdaya atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral. x x x

8

Mengganti hambatan ekspor minyak kelapa sawit dengan pengenaan pajak sebesar 40 persen. Besarnya pajak akan ditinjau secara reguler untuk kemungkinan dilakukannya pengurangan berdasarkan harga pasar dan nilai tukar. Besarnya pajak akan turun hinnga 10 persen pada akhir Desember 1999.

x x x x

Page 245: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

233

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Jaring Pengaman Sosial 1 Kenaikkan harga minyak sebesar 30 persen untuk kebutuhan non-industri. 2 Kenaikkan tarif dasar listrik sebesar 17,5 persen dalam dua tahap. 3 Pemberian beasiswa untuk siswa SD dan SMP yang datang dari keluarga

miskin. x 4 Pemberian kredit mikro untuk membantu usaha kecil. x

5 Memperbaiki sistem distribusi dan menjamin kecukupan ketersediaan pangan dan kebutuhan dasar lainnya di semua daerah.

6 Memperkuat jaring pengaman sosial untuk mengurangi efek pengangguran dan kemiskinan. x

7 Meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. x x

8 Mengurangi subsidi pupuk, beras, tarif listrik dan bahan bakar untuk kemudian mengalihkan subsidi produk tersebut kepada masyarakat miskin. x x

9 Memperkenalkan program kerja berbasis komunitas untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin baik di perkotaan maupun di desa. x x x

10 Memberikan subsidi beras pada 7,5 juta keluarga miskin masing-masing 20 kg per bulan. x x x x

11 Menghilangkan subsidi nilai tukar untuk beras yang diimpor oleh BULOG dan menggantinya dengan subsidi nominal. x x

12 Memperkenalkan skema kredit kecil untuk membantu usaha kecil. x x x

13 Menaikkan harga beras subsidi pemerintah mendekati harga beras di pasaran. x

Page 246: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

234

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Lingkungan 1 Pemerintah harus menyiapkan dana reboisasi hutan. x 2 Mempercepat program langit biru dengan memperkenalkan bahan bakar

ramah lingkungan. x x x x

3 Mengaudit dana reboisasi dengan melibatkan auditor internasional.

4 Melakukan tinjauan atas pajak sewa sumber daya hutan yang diperkenalkan sejak 1998, dan jika perlu melakukan konsultasi dengan Bank Dunia. x

5 Bekerja sama dengan Bank Dunia melakukan program proteksi lingkungan.

6 Melakukan lelang atas hak pengelolaan hutan dan memperpanjang masa konsesi. x x x

Oktober 1997

Januari 1998

April1998

Juni1998

Juli1998

September 1998

Oktober1998

November 1998

Bidang Lainnya 1 Membentuk komite anti korupsi. 2 Mengaudit TNI dan lembaga pemerintah lainnya yang menerima dana dari

negara.

3 Tetap menjalin komunikasi dengan IMF, Bank Dunia dan masyarakat internasional atas semua kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah.

Page 247: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

235

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Fiskal

1 Mengurangi distorsi pemerintah terhadap ekonomi dengan cara menurunkan subsidi untuk listrik dan minyak. x x

2 Kenaikan VAT (Value Added Tax) untuk barang-barang yang masuk melalui Batam dan sekitarnya. x x x x

3 Membuat cetak biru (blue print) rencana untuk memperkuat fungsi anggaran pemerintah.

4 Meningkatkan penerimaan pajak. x x x x x 5 Menetapkan kenaikan pajak berjenjang berdasarkan perubahan nilai tukar

dan kenaikan harga terhadap alkohol dan tembakau x x

6 Menaikkan harga bahan bakar, sehingga mendekati harga internasional

7 Menghapus subsidi impor atas harga komoditas gula, tepung terigu, jagung, kacang kedelai dan tepung ikan.

8 Menghapus peraturan mengenai kandungan lokal pada kendaraan bermotor. 9 Penghapusan subsidi atas bahan bakar pesawat terbang. 10 Mengurangi target subsidi. x 11 Penerapan sistem informasi keuangan berdasarkan panduan standar

internasional. x 12 Penerapan pajak barang mewah.

Page 248: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

236

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Moneter dan Perbankan 1 Restrukturisasi perbankan nasional. x x x x x x 2 Restrukturisasi beberapa bank pemerintah dengan melakukan merger

(Bapindo, bank Bumi Daya, BDN dan Bank Exim). x

3 Restrukturisasi dan rekapitalisasi bank-bank pemerintah, serta perbankan secara keseluruhan. x x x

4 Privatisasi bank-bank milik pemerintah. x 5 Privatisasi Bank BCA dan Niaga. x x x x 6 Melibatkan tim ahli internasional untuk memberikan rekomendasi tentang

BLBI.

7 Mengaudit cadangan devisa Bank Indonesia oleh auditor internasional. x

8 Penguatan nilai tukar melalui kebijakan moneter. Bank menyimpan cadangan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi kerentanan nilai tukar rupiah.

9 Kepemilikan sektor swasta dalam salah satu bank pemerintah minimal 20 persen.

10 Menyiapkan bank pemerintah untuk program privatisasi. x x x 11 Mempersiapkan skema penjaminan tabungan dan dana masyarakat.

12 Meningkatkan kemampuan lender of the last resort dan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. x x x

13 Divestasi bank-bank rekap. x 14 Menjaga agar nilai rupiah tetap dalam kisaran Rp10.000/US$. 15 Mempersiapkan rencana independensi bank sentral.

Page 249: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

237

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

16 Memberikan tambahan modal bagi bank berkondisi sehat.

17 Restrukturisasi perbankan harus dengan konsultasi IMF dan Bank Dunia. x

18 Pengeluaran yang cukup besar untuk membiayai restrukturisasi perbankan (7 bank diambil alih oleh BPPN dan dikoordinasikan bersama IMF, Bank Dunia dan ADB).

x

19 Adanya kebebasan pihak asing/investor untuk turut memberikan campur tangan terhadap sistem perbankan Indonesia.

20 Menyiapkan amandemen atas UU Perbankan yang menghapus pembatasan atas investasi luar negeri pada bank tertentu.

21 Melakukan amandemen atas UU Kerahasiaan Perbankan yang berhubungan dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan), serta memperbolehkan merger dan privatisasi atas empat bank negara.

22 Tidak memperbolehkan penyaluran kredit dari bank sentral terhadap perusahaan dan badan usaha milik negara.

23 Menjaga tingkat inflasi di bawah level 10 persen oleh bank sentral dengan cara mengurangi jumlah uang beredar. x x

24 Restrukturisasi bank-bank bermasalah, diukur dari nilai NPL-nya. x

Page 250: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

238

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Restrukturisasi Perbankan

1 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari bank-bank yang ada dalam pengawasan BPPN oleh auditor internasional.

2 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari seluruh bank nasional oleh auditor internasional.

3 Melakukan rekapitalisasi atas grup pertama dari bank-bank swasta yang memenuhi syarat program rekapitalisasi.

4 Mempersiapkan program rekapitalisasi pada bank-bank milik pemerintah. x x x

5 Menyelesaikan syarat dan kondisi atas penerbitan obligasi rekapitalisasi.

6 Mentransfer aset bermasalah dari bank-bank beku operasi kepada asset management unit BPPN pada bulan April dan Agustus.

7 Mengeluarkan peraturan baru yang berpijak pada prinsip kehati-hatian terhadap klasifikasi pinjaman, penetapan kerugian atas pinjaman dan operasional restrukturisasi utang.

8 Memperkenalkan skema asuransi deposito. 9 Mempersiapkan rencana final mengenai restrukturisasi Bank Danamon,

PDFCI dan Bank Tiara. x 10 Melakukan penggabungan Bapindo dan Bank Bumi Daya. 11 Menyelesaikan persyaratan penggabungan empat bank swasta. 12 Mempersiapkan rencana operasional penggabungan dan restrukturisasi

empat bank negara. x

Page 251: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

239

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Restrukturisasi dan Reformasi Aturan Kepailitan Perusahaan 1 Membentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA). x 2 Mengesahkan aturan arbitrasi yang sesuai dengan standar internasional.

3 Menyelesaikan tinjauan mengenai standar audit dan akuntansi yang sesuai dengan standar internasional. x

4 Pembebasan pajak atas pelaksanaan merger dan kegiatan reorganisasi lainnya.

5 Mempersiapkan mekanisme pengadilan komersial (dagang). x

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Investasi dan Deregulasi 1 Mempersiapkan persaingan bebas dalam bidang: a) Impor komoditas tepung terigu, kacang kedelai dan bawang putih. b) Penjualan dan distribusi tepung terigu. c) Impor dan pemasaran gula.

Page 252: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

240

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Privatisasi Perusahaan Negara 1 Menetapkan kerangka kerja atas privatisasi dan restrukturisasi perusahaan

negara. x

2 Menambahkan faktor transparansi dan efisiensi pada reformasi BUMN.

3 Penjualan aset-aset BUMN kepada pihak swasta demi pencapaian target anggaran. x

4 Mempersiapkan penjualan 164 perusahaan negara. 5 Privatisasi BUMN khususnya BULOG, Pertamina dan PLN karena selama ini

menunjukan ketidakefisienan. x x x x x

6 Melakukan audit terhadap Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi dengan standar internasional. x

7 Melakukan divestasi untuk tujuan privatisasi atas 12 perusahaan terpilih.

8 Menyiapkan rencana pelelangan untuk semua perusahaan negara.

9 Melakukan audit atas perusahaan milik negara yang tidak sehat termasuk Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi. x

Page 253: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

241

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Perdagangan Internasional 1 Membuka kembali pintu investasi asing. x 2 Secara bertahap mengurangi tarif atas produk agrikultural bukan makanan ke

tingkat maksimum 10 persen.

3 Mengurangi tarif atas produk kimia, besi baja dan produk perikanan ke tingkat 5-10 persen.

4 Menghilangkan batasan impor secara kuantitatif dan halangan non-tarif lainnya. x

5 Menghilangkan semua pembatasan ekspor.

6

Mengurangi pajak ekspor atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral maksimum 30 persen pada 15 April 1998, 20 persen pada akhir Desember 1998, 15 persen pada akhir Desember 1999 dan 10 persen pada akhir Desember 2000.

x x

7 Mengenakan pajak pengelolaan sumberdaya atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral. x

8

Mengganti hambatan ekspor minyak kelapa sawit denganpengenaan pajak sebesar 40 persen. Besarnya pajak akan ditinjau secara reguler untuk kemungkinan dilakukannya pengurangan berdasarkan harga pasar dan nilai tukar. Besarnya pajak akan turun hingga 10 persen pada akhir Desember 1999.

x

Page 254: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

242

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Jaring Pengaman Sosial 1 Kenaikkan harga minyak sebesar 30 persen untuk kebutuhan non-industri. x 2 Kenaikkan tarif dasar listrik sebesar 17,5 persen dalam dua tahap. x x x 3 Pemberian beasiswa untuk siswa SD dan SMP yang datang dari keluarga

miskin. x 4 Pemberian kredit mikro untuk membantu usaha kecil.

5 Memperbaiki sistem distribusi dan menjamin kecukupan ketersediaan pangan dan kebutuhan dasar lainnya di semua daerah.

6 Memperkuat jaring pengaman sosial untuk mengurangi efek pengangguran dan kemiskinan. x

7 Meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. x

8 Mengurangi subsidi pupuk, beras, tarif listrik dan bahan bakar untuk kemudian mengalihkan subsidi produk tersebut kepada masyarakat miskin. x

9 Memperkenalkan program kerja berbasis komunitas untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin baik di perkotaan maupun di desa. x

10 Memberikan subsidi beras pada 7,5 juta keluarga miskin masing-masing 20 kg per bulan. x

11 Menghilangkan subsidi nilai tukar untuk beras yang diimpor oleh BULOG dan menggantinya dengan subsidi nominal.

12 Memperkenalkan skema kredit kecil untuk membantu usaha kecil.

13 Menaikkan harga beras subsidi pemerintah mendekati harga beras di pasaran.

Page 255: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

243

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Lingkungan 1 Pemerintah harus menyiapkan dana reboisasi hutan. x 2 Mempercepat program langit biru dengan memperkenalkan bahan bakar

ramah lingkungan. x x

3 Mengaudit dana reboisasi dengan melibatkan auditor internasional. x

4 Melakukan tinjauan atas pajak sewa sumber daya hutan yang diperkenalkan sejak 1998 dan jika perlu melakukan konsultasi dengan Bank Dunia. x x x

5 Bekerja sama dengan Bank Dunia melakukan program proteksi lingkungan x

6 Melakukan lelang atas hak pengelolaan hutan dan memperpanjang masa konsesi.

Maret 1999

Mei 1999

Juli 1999

Januari 2000

Mei 2000

Juli 2000

September 2000

Bidang Lainnya 1 Membentuk komite anti korupsi. 2 Mengaudit TNI dan lembaga pemerintah lainnya yang menerima dana dari

negara. x

3 Tetap menjalin komunikasi dengan IMF, Bank Dunia dan masyarakat internasional atas semua kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah.

Page 256: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

244

Agustus 2001

Desember 2001

April2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Fiskal

1 Mengurangi distorsi pemerintah terhadap ekonomi dengan cara menurunkan subsidi untuk listrik dan minyak. x x x

2 Kenaikan VAT (Value Added Tax) untuk barang-barang yang masuk melalui Batam dan sekitarnya. x

3 Membuat cetak biru (blue print) rencana untuk memperkuat fungsi anggaran pemerintah.

4 Meningkatkan penerimaan pajak. x x x

5 Menetapkan kenaikan pajak berjenjang berdasarkan perubahan nilai tukar dan kenaikan harga terhadap alkohol dan tembakau

6 Menaikkan harga bahan bakar, sehingga mendekati harga internasional.

7 Menghapus subsidi impor atas harga komoditas gula, tepung terigu, jagung, kacang kedelai dan tepung ikan.

8 Menghapus peraturan mengenai kandungan lokal pada kendaraan bermotor.

9 Penghapusan subsidi atas bahan bakar pesawat terbang. 10 Mengurangi target subsidi. x x 11 Penerapan sistem informasi keuangan berdasarkan panduan

standar internasional. 12 Penerapan pajak barang mewah. x

Page 257: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

245

Agustus 2001

Desember 2001

April2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Moneter dan Perbankan 1 Restrukturisasi perbankan nasional. x x x x x

2 Restrukturisasi beberapa bank pemerintah dengan melakukan merger (Bapindo, bank Bumi Daya, BDN dan Bank Exim).

3 Restrukturisasi dan rekapitalisasi bank-bank pemerintah, serta perbankan secara keseluruhan. x

4 Privatisasi bank-bank milik pemerintah. x x 5 Privatisasi Bank BCA dan Niaga. x x x 6 Melibatkan tim ahli internasional untuk memberikan

rekomendasi tentang BLBI. x

7 Mengaudit cadangan devisa Bank Indonesia oleh auditor internasional. x

8 Penguatan nilai tukar melalui kebijakan moneter. Bank menyimpan cadangan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi kerentanan nilai tukar rupiah.

x x

9 Kepemilikan sektor swasta dalam salah satu bank pemerintah minimal 20 persen.

10 Menyiapkan bank pemerintah untuk program privatisasi. 11 Mempersiapkan skema penjaminan tabungan dan dana

masyarakat. x

12 Meningkatkan kemampuan lender of the last resort dan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. x

13 Divestasi bank-bank rekap. x x x x x 14 Menjaga agar nilai rupiah tetap dalam kisaran Rp10.000/US$. 15 Mempersiapkan rencana independensi bank sentral. x

Page 258: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

246

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

16 Memberikan tambahan modal bagi bank berkondisi sehat.

17 Restrukturisasi perbankan harus dengan konsultasi IMF dan Bank Dunia.

18 Pengeluaran yang cukup besar untuk membiayai restrukturisasi perbankan (7 bank diambil alih oleh BPPN dan dikoordinasikan bersama IMF, Bank Dunia dan ADB).

19 Adanya kebebasan pihak asing/investor untuk turut memberikan campur tangan terhadap sistem perbankan Indonesia.

20 Menyiapkan amandemen atas UU Perbankan yang menghapus pembatasan atas investasi luar negeri pada bank tertentu. x x

21

Melakukan amandemen atas UU Kerahasiaan Perbankan yang berhubungan dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan), serta memperbolehkan merger dan privatisasi atas empat bank negara.

x

22 Tidak memperbolehkan penyaluran kredit dari bank sentral terhadap perusahaan dan badan usaha milik negara.

23 Menjaga tingkat inflasi di bawah level 10 persen oleh bank sentral dengan cara mengurangi jumlah uang beredar. x

24 Restrukturisasi bank-bank bermasalah, diukur dari nilai NPL-nya.

Page 259: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

247

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Restrukturisasi Perbankan

1 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari bank-bank yang ada dalam pengawasan BPPN oleh auditor internasional.

2 Melakukan tinjauan atas portofolio, sistem dan kemampuan keuangan dari seluruh bank nasional oleh auditor internasional.

3 Melakukan rekapitalisasi atas grup pertama dari bank-bank swasta yang memenuhi syarat program rekapitalisasi.

4 Mempersiapkan program rekapitalisasi pada bank-bank milik pemerintah. x

5 Menyelesaikan syarat dan kondisi atas penerbitan obligasi rekapitalisasi.

6 Mentransfer aset bermasalah dari bank-bank beku operasi kepada asset management unit BPPN pada bulan April dan Agustus.

7 Mengeluarkan peraturan baru yang berpijak pada prinsip kehati-hatian terhadap klasifikasi pinjaman, penetapan kerugian atas pinjaman dan operasional restrukturisasi utang.

8 Memperkenalkan skema asuransi deposito. 9 Mempersiapkan rencana final mengenai restrukturisasi Bank

Danamon, PDFCI dan Bank Tiara. 10 Melakukan penggabungan Bapindo dan Bank Bumi Daya. 11 Menyelesaikan persyaratan penggabungan empat bank swasta.

12 Mempersiapkan rencana operasional penggabungan dan restrukturisasi empat bank negara.

Page 260: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

248

Agustus 2001

Desember 2001

April2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Restrukturisasi dan Reformasi Aturan Kepailitan Perusahaan

1 Membentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA). 2 Mengesahkan aturan arbitrasi yang sesuai dengan standar

internasional.

3 Menyelesaikan tinjauan mengenai standar audit dan akuntansi yang sesuai dengan standar internasional. x

4 Pembebasan pajak atas pelaksanaan merger dan kegiatan reorganisasi lainnya.

5 Mempersiapkan mekanisme pengadilan komersial (dagang). x

Agustus 2001

Desember 2001

April2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Investasi dan Deregulasi 1 Mempersiapkan persaingan bebas dalam bidang; a) Impor komoditas tepung terigu, kacang kedelai dan bawang

putih. b) Penjualan dan distribusi tepung terigu. c) Impor dan pemasaran gula.

Page 261: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

249

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Privatisasi Perusahaan Negara 1 Menetapkan kerangka kerja atas privatisasi dan restrukturisasi

perusahaan negara. x

2 Menambahkan faktor transparansi dan efisiensi pada reformasi BUMN. x

3 Penjualan aset-aset BUMN kepada pihak swasta demi pencapaian target anggaran. x x x x

4 Mempersiapkan penjualan 164 perusahaan negara. 5 Privatisasi BUMN khususnya BULOG, Pertamina dan PLN

karena selama ini menunjukan ketidakefisienan. x x

6 Melakukan audit terhadap Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi dengan standar internasional. x

7 Melakukan divestasi untuk tujuan privatisasi atas 12 perusahaan terpilih.

8 Menyiapkan rencana pelelangan untuk semua perusahaan negara.

9 Melakukan audit atas perusahaan milik negara yang tidak sehat termasuk Pertamina, PLN, BULOG dan dana reboisasi. x x x

Page 262: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

250

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Perdagangan Internasional 1 Membuka kembali pintu investasi asing. 2 Secara bertahap mengurangi tarif atas produk agrikultural bukan

makanan ke tingkat maksimum 10 persen.

3 Mengurangi tarif atas produk kimia, besi baja dan produk perikanan ke tingkat 5-10 persen.

4 Menghilangkan batasan impor secara kuantitatif dan halangan non-tarif lainnya.

5 Menghilangkan semua pembatasan ekspor.

6

Mengurangi pajak ekspor atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral maksimum 30 persen pada 15 April 1998, 20 persen pada akhir Desember 1998, 15 persen pada akhir Desember 1999 dan 10 persen pada akhir Desember 2000.

7 Mengenakan pajak pengelolaan sumberdaya atas produk kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral.

8

Mengganti hambatan ekspor minyak kelapa sawit dengan pengenaan pajak sebesar 40 persen. Besarnya pajak akan ditinjau secara reguler untuk kemungkinan dilakukannya pengurangan berdasarkan harga pasar dan nilai tukar. Besarnya pajak akan turun hinnga 10 persen pada akhir Desember 1999.

Page 263: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

251

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Jaring Pengaman Sosial 1 Kenaikkan harga minyak sebesar 30 persen untuk kebutuhan

non-industri. x x

2 Kenaikkan tarif dasar listrik sebesar 17,5 persen dalam dua tahap.

3 Pemberian beasiswa untuk siswa SD dan SMP yang datang dari keluarga miskin.

4 Pemberian kredit mikro untuk membantu usaha kecil.

5 Memperbaiki sistem distribusi dan menjamin kecukupan ketersediaan pangan dan kebutuhan dasar lainnya di semua daerah.

x

6 Memperkuat jaring pengaman sosial untuk mengurangi efek pengangguran dan kemiskinan. x

7 Meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin.

8 Mengurangi subsidi pupuk, beras, tarif listrik dan bahan bakar untuk kemudian mengalihkan subsidi produk tersebut kepada masyarakat miskin.

x

9 Memperkenalkan program kerja berbasis komunitas untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin baik di perkotaan maupun di desa.

10 Memberikan subsidi beras pada 7,5 juta keluarga miskin masing-masing 20 kg per bulan.

11 Menghilangkan subsidi nilai tukar untuk beras yang diimpor oleh BULOG dan menggantinya dengan subsidi nominal.

12 Memperkenalkan skema kredit kecil untuk membantu usaha kecil.

13 Menaikkan harga beras subsidi pemerintah mendekati harga beras di pasaran.

Page 264: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

252

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Lingkungan 1 Pemerintah harus menyiapkan dana reboisasi hutan. x 2 Mempercepat program langit biru dengan memperkenalkan

bahan bakar ramah lingkungan.

3 Mengaudit dana reboisasi dengan melibatkan auditor internasional.

4 Melakukan tinjauan atas pajak sewa sumber daya hutan yang diperkenalkan sejak 1998 dan jika perlu melakukan konsultasi dengan Bank Dunia.

5 Bekerja sama dengan Bank Dunia melakukan program proteksi lingkungan

6 Melakukan lelang atas hak pengelolaan hutan dan memperpanjang masa konsesi.

Agustus 2001

Desember 2001

April 2002

Juni2002

November2002

Maret2003

Juni 2003

September2003

Desember 2003

Bidang Lainnya 1 Membentuk komite anti korupsi. x x x x 2 Mengaudit TNI dan lembaga pemerintah lainnya yang menerima

dana dari negara. x x x

3 Tetap menjalin komunikasi dengan IMF, Bank Dunia dan masyarakat internasional atas semua kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah.

x

Page 265: Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Diajukan Kepada

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIABADAN ANALISA FISKAL

PUSAT STATISTIK DAN PENELITIAN KEUANGAN

2004