Upload
asyiaah-valdesyiah
View
2.005
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
askep menjelang kematian
Citation preview
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam merawat lanjut usia yang tidak ada harapan untuk sembuh, seorang
perawat profesional harus mempunyai keterampilan yang multi-kompleks. Sesuai
dengan peran yang dimiliki, perawat harus mampu memberi pelayanan
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Perawat juga dituntut untuk membantu anggota keluarganya dalam memenuhi
kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan hidup dan mati.
Pemberian asuhan keperawatan pada lanjut usia yang sedang menghadapi
sakaratul maut tidak selamanya mudah. Klien lanjut usia akan memberi reaksi
yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan cara klien lanjut usia
menghadapi hidup. Bagaimanapun keadaannya, perawat harus dapat menguasai
situasi, terutama terhadap keluarga klien lanjut usia. Biasanya, anggota keluarga
yang dalam keadaan krisis ini memerlukan perhatian perawat karena kematian
seseorang dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula berlangsung berhari-hari.
Kadang-kadang sebelum ajal tiba, klien lanjut usia kehilangan kesadarannya
terlebih dahulu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pengertian kematian ?
2. Apa ciri/tanda klien lanjut usia menjelang kematian ?
3. Apa Penyebab kematian ?
4. Apa teori-teori kematian dan menjelang ajal?
5. Bagaimana tahap kematian?
6. Bagaimana normalitas kematian dan menjelang ajal ?
7. Bagaimana lingkungan menjelang ajal ?
8. Apa pengaruh kematian ?
2
9. Apa hak asasi pasien menjelang ajal ?
10. Bagaimana asuhan dan dukungan keperawatan ?
11. Bagaimana perawatan paliatif pada lanjut usia menjelang ajal ?
12. Bagaimana asuhan keperawatan lanjut usia menjelang ajal ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian kematian.
2. Mengetahui ciri/tanda klien lanjut usia menjelang kematian.
3. Mengetahui penyebab kematian.
4. Mengetahui teori-teori kematian dan menjelang ajal.
5. Mengetahui tahap kematian.
6. Mengetahui normalitas kematian dan menjelang ajal.
7. Mengetahui lingkungan menjelang ajal.
8. Mengetahui pengaruh kematian.
9. Mengetahui hak asasi pasien menjelang ajal.
10. Mengetahui asuhan dan dukungan keperawatan.
11. Mengetahui perawatan paliatif pada lanjut usia menjelang ajal.
12. Mengetahui asuhan keperawatan lanjut usia menjelang ajal.
3
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Kematian
Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lanjut usia tidak
dapat lagi atau tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pengertian kematian/mati
adalah apabila seseorang tidak lagi teraba denyut nadinya, tidak bernapas
selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan segala refleks, serta tidak ada
kegiatan otak (Nugroho, 2008).
B. Ciri/Tanda Klien Lanjut Usia Menjelang Kematian
Menurut Nugroho (2008), ciri klien lanjut usia yang menjelang kematian,
antara lain :
1. Gerakan dan pengindraan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya
dimulai pada anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
2. Gerakan peristaltik usus menurun.
3. Tubuh klien lanjut usia tampak menggembung.
4. Badan dingin dan lembab, terutama pada kaki, tangan, dan ujung hidungnya.
5. Kulit tampak pucat, berwarna kebiruan/kelabu.
6. Denyut nadi mulai tidak teratur.
7. Napas mendengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya
lendir pada saluran pernapasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh klien lanjut
usia.
8. Tekanan darah menurun.
9. Terjadi gangguan kesadaran (ingatan menjadi kabur).
Tanda tanda kematian
1. Pupil mata tetap membesar atau melebar
2. Hilangnya semua refleks dan ketiadaan kegiatan otak yang tampak jelas
dalam hasil pemeriksaan EEG dalam waktu 24 jam.
4
C. Penyebab kematian:
Menurut Nugroho (2008), penyebab kematian, antara lain :
1. Penyakit
a. Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae).
b. Penyakit kronis, misalnya:
1) CVD (cerebrovascular diseases)
2) CRF (chronic renal failure [gagal ginjal])
3) Diabetes melitus (gangguan endokrin)
4) MCI (myocard infarct [gangguan kardiovaskular])
5) COPD (chronic obstruction pulmonary diseases)
2. Kecelakaan (hematoma epidural)
D. Teori-Teori Kematian dan Menjelang Ajal
Penulis yang paling dikenal dalam bidang kematian dan menjelang ajal
adalah Elizabeth Kubler-Ross. Hasil kerjanya membuat peka perawat ,
professional layanan kesehatan dan konsumen terhadap proses menjelang ajal dan
kebutuhan-kebutuhan yang melekat pada orang yang menjelang ajal. Teorinya
mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami lima tahap, dimulai
dengan penyingkapan awal terminalitas dan berakhir dengan momeng akhir
kehidupan.
a. Tahap I : penyangkalan dan isolasi
Tahap ini biasanya mewakili pertahanan temporer yang digantikan dengan
penerimaan parsial. Penyangkalan ini tidak boleh diinterpretasikan sebagai
adaptasi yang negatif atau merendahkan. Sebagai pertahanan awal,
penyangkalan membantu seseorang dengan melindunginya dari ansietas dan
ketakutan.
b. Tahap II : Kemarahan dan penyangkalan
Tahap ini digantikan dengan perasaan marah, gusar, iri dan kebencian.
Kemarahan terjadi karena seseorang merasa rencana dan kegiatannya
5
terganggu oleh kematian. Merasa iri pada orang lain yang masih dapat
menikmati kehidupan.
c. Tahap III: tawar menawar
Pada ini seseorang percaya bahwa kematiannya masih dapat ditunda dengan
berdoa. Mencoba untuk menunda kematian dan masih ada waktu untuk
berdoa, melengkapi tujuan hidupnya yang penting. Pada tahap ini dia akan
berjanji untuk memperbaiki cara hidupnya dan akan lebih sering berdoa.
d. Tahap IV : depresi
Menyadari bahwa kematian sudah semakin dekat. Depresi meliputi dua jenis
kehilangan yaitu : kehilangan yang terjadi dimasa lalu dan kehilangan hidup
yang akan terjadi.
e. Tahap V : penerimaan
Seseorang telah dapat menerima nasibnya. Apabila telah mendapat cukup
waktu dan dibantu dalam menjalani tahap-tahap sebelumnya, maka ia tidak
merasa depresi maupun marah terhadap nasibnya.
Amberton mengisolasi empat strategi koping utama yang digunakan oleh
orang yang menjelang ajal.: penyangkalan , ketergantungan , pemindahan , dan
regresi. Teorinya menekankan pada suatu pendekatan tim dalam merawat orang
yang menjelang ajal, dengan focus pada pendekatan asuhan paliatif daripada
pendekatan kuratif. Dukungan yang konsisten oleh pemberi perawatan diperlukan
pada saat pasien yang menjelang ajal terombang-ambing diantara berbagai
bentuk ketergantungan dan kecukupan diri. Orang yang menjelang ajal perlu
mengetahui bahwa mereka tidak akan diabaikan atau ditinggal sendiri (Stanley,
2006).
Pattison tidak menyetujui pembagian proses menjelang ajal menjadi tahapan-
tahapan kronologis yang tersusun. Ia mengindentifikasi berbagai mekanisme
koping ego yang digunakan oeh orang yang menjelang ajal pada berbagai titik
yang berbeda selama siklus hidup. Lansia menggunakan altruism, humor ,
6
supresi, pikiran , antisipasi, dan sublimasi untuk menghadapi kebutuhan-
kebutuhan terminal. Patrison merujuk pada fase-fase proses menjelang ajal : fase
akut, fase kehidupan kronis , fase menjelang ajal, fase akhir. Ia mengatakan
bahwa persiapan reaksi psikologis muncul selama interval hidup-mati.
Pendekatan individual diperlukan untuk menghadapi stress dan krisis yang dapat
muncul kapan saja dalam proses menjelang ajal (Stanley, 2006).
Wiesman mengemukakan adanya kemungkinan fase-fase pada ekspresi
respons emosional yang continue dan berubah-ubah selama proses menjelang ajal.
Ia menekankan pada individualitas seseorang daripada member label berdasarkan
urutan munculnya reaksi emosional (Stanley, 2006).
Kastenbaum melakukan analisis retrospektif yang disebut autopsy psikologis.
Ia memeriksa reaksi orang yang menjelang ajal untuk menentukan intervensi yang
tepat dan memutuskan bahwa konsep-konsep kematian mengubah seluruh hidup
bersamaan dengan tingkat perkembangan seseorang. Ia membagi kehidupan dan
menjelang ajal menjadi dua fase proses psikobiologis yang sama, yang
berkembang sampai akhir kehidupan (Stanley, 2006).
Giacquinta mendiskusikan tahapan-tahapan dan fase-fase yang dialami
keluarga setelah didiagnosis kanker dinyatakan. Keempat tahap tersebut antara
lain adalah hidup dengan kanker, restrukturisasi selama interval hidup dan mati,
kehilangan dan pembentukan kembali. Setiap tahap terdiri dari fase-fase dan
halangan spesifik seperti kepuasan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.
Mengembangkan harapan, rasa aman dan keberanian merupakan sebagian tujuan
yang membimbing tindakan keperawatan. Seluruh anggota keluarga selain
penderita kanker itu sendiri dianggap sebagai pasien, dan prinsipprinsip tersebut
dapat diterapkan pada unit keluarga yang menghadapi penyakit yang mengancam
kehidupan (Stanley, 2006).
7
E. Tahap Kematian
Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap, tetapi dapat saling
tindih. Kadang-kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk
kemudian kembali ke tahap itu. Lama setiap tahap dapat bervariasi, mulai dari
beberapa jam sampai beberapa bulan. Apabila tahap tertentu berlangsung sangat
singkat, bisa timbul kesan seolah-olah klien lanjut usia melompati satu tahap,
kecuali jika perawat memperhatikan secara saksama dan cermat. Menurut
Nugroho (2008), tahap kematian antara lain :
1. Tahap Pertama (Penolakan)
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya, sikap itu ditandai
dengan komentar, "Saya? Tidak, itu tak mungkin." Selama tahap ini, klien
lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa maut menimpa semua orang,
kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya terpengaruh oleh sikap
penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang mungkin sedang
dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan menekan apa yang telah ia
dengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai macam sumber
profesional dan non-profesional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan
bahwa maut sudah berada di ambang pintu.
2. Tahap Kedua (Marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Klien
lanjut usia itu berkata, "Mengapa saya?" Sering kali klien lanjut usia akan
selalu mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah terhadap
perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang mereka lakukan.
Pada tahap ini, klien lanjut usia lebih menganggap hal ini merupakan hikmah,
daripada kutukan. Kemarahan di sini merupakan mekanisme pertahanan diri
klien lanjut usia. Akan tetapi, kemarahan yang sesungguhnya tertuju kepada
kesehatan dan kehidupan. Pada saat ini, perawat kesehatan harus hati-hati
8
dalam memberi penilaian sebagai reaksi yang normal terhadap kematian yang
perlu diungkapkan.
3. Tahap Ketiga (Tawar-Menawar)
Pada tahap ini, klien lanjut usia pada hakikatnya berkata, "Ya, benar aku,
tetapi...." Kemarahan biasanya mereda dan klien lanjut usia dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang sedang terjadi dengan
dirinya. Akan tetapi, pada tahap tawar-menawar ini banyak orang cenderung
untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mereka sebelum maut tiba, dan
akan menyiapkan beberapa hal, misalnya membuat surat dan mempersiapkan
jaminan hidup bagi orang tercinta yang ditinggalkan.
Selama tawar-menawar, permohonan yang dikemukakan hendaknya dapat
dipenuhi karena merupakan urusan yang belum selesai dan harus diselesaikan
sebelum mati. Misalnya, klien lanjut usia mempunyai permintaan terakhir
untuk melihat pertandingan olahraga, mengunjungi kerabat, melihat cucu
terkecil, atau makan di restoran. Perawat dianjurkan memenuhi permohonan
itu karena membantu klien lanjut usia memasuki tahap berikutnya.
4. Tahap Keempat (Sedih/Depresi)
Pada tahap ini, klien lanjut usia pada hakikatnya berkata, "Ya, benar aku."
Hal ini biasanya merupakan saat yang menyedihkan karena klien lanjut usia
sedang dalam suasana berkabung. Di masa lampau, ia sudah kehilangan orang
yang dicintai dan sekarang ia akan kehilangan nyawanya sendiri. Bersamaan
dengan itu, ia harus meninggalkan semua hal menyenangkan yang telah
dinikmatinya. Selama tahap ini, klien lanjut usia cenderung tidak banyak
bicara dan sering menangis. Saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang
di samping klien lanjut usia yang sedang melalui masa sedihnya sebelum
meninggal.
9
5. Tahap Kelima (Menerima/Asertif)
Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian. Menjelang saat ini,
klien lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai dan
mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah menyatakan segala
sesuatunya. Tawar-menawar sudah lewat dan tibalah saat kedamaian dan
ketenangan. Seseorang mungkin saja lama ada dalam tahap menerima, tetapi
bukan tahap pasrah yang berarti kekalahan. Dengan kata lain, pasrah pada
maut tidak berarti menerima maut.
F. Normalitas Kematian dan Menjelang Ajal
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju
akhir. Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital,
akhir dari kehidupan manusia. Lahir, menjelang ajal dan kematian bersifat
universal. Meskipun unik bagi setiap individu, kejadiankejadian tersebut bersifat
normal dan merupakan proses hidup yang diperlukan (Stanley, 2006).
Sikap terhadap kematian dan menjelang ajal telah berubah. Dulu, orang-orang
tidak takut terhadap kematian. Kmatian diterima sebagai perkembangan hidup
yang alami. Proses menjelang ajal terjadi dengan kehadiran keluarga, teman dan
anak-anak (Stanley, 2006).
Pada peralihan abad, sebagian besar kematian terjadi pada usia kurang dari 50
tahun. Saat ini, sebagian besar kematian terjadi pada populasi lansia. Delapan
puluh persen kematian terjadi di lingkungan institusi. Oleh karena itu, anak-anak
tidak terpajan kematian selama betahun-tahun pembentukannya, pada saat
dukungan dan rasa aman dari keluarganya dapat membantu mereka menghadapi
proses kehidupan akhir ini. Perawat berbeda di berbagai tempat saat proses
menjelang ajal itu terjadi. Perawat harus merasa nyaman terhadap kekhawatiran
dan perasaan mereka sendiri tentang proses ini. Dukungan kolega sebagaimana
perawat yang mengasuh orang menjelang ajal merupakan hal pnting agar pada
10
masa-masa tersebut menjadi pengalaman yang normal dan meningkatkan
pertumbuhan (Stanley, 2006).
G. Lingkungan Menjelang Ajal
1. Rumah Sakit Perawatan Akut
Meskipun sebagian besar kematian terjadi di institusi layanan kesehatan,
rumah sakit perawatan akut atau rumah sakit pendidikan dapat menjadi tempat
terakhir yang cocok bagi lansia yang menjelang ajal. Di lingkungan rumah
sakit, proses penyakit dan organ yang sakit merupakan focus dari layanan,
dengan kesembuhan sebagai tujuannya. Melalui program pendidikan, dokter
dan perawat sering merasa menunjukkan rasa tidak nyaman dan rasa bersalah
ketika berhadapan dengan mereka yang menjelang ajal walaupun mereka
telah mengupayakannya. Banyak professional layanan kesehatan yang belum
dididik dalam hal perawatan terkini menjelang ajal. Melalui program
pendidikan ini, dokter dan perawat belajar bagaimana melakukan perawatan
untuk lansia yang menjelang ajal. Penekanan pada pendidikan ini adalah
untuk membantu profesional layanan kesehatan menghadapi isu-isu
menjelang ajal dan kematian. Banyak yang dapat dilakukan terhadap orang
yang menjelang ajal di luar pengobatan medis. Proses mnjelang ajal
merupakan saat sangat memerlukan dukungan emosional (Stanley, 2006).
2. Perawatan Jangka Panjang
Institusi perawatan jangka panjang memberikan layanan kesehatan untuk
lebih 1 juta lansia di Amerika Serikat. Keputusan di panti jompo antara lain
mencakup apakah akan menahan akan dilakukannya evaluasi atau pengobatan
masalah medis terhadap pasien yang menghadapi kematian. Keputusan lain
yang biasa dihadapi pada saat kehidupan berakhir meliputi pendekatan yang
melibatkan program resusitasi dan petimbangan untuk pemindahan ke fasilitas
perawatan akut. Meskipun semakin banyak literatur yang memberikan
panduang untuk keputusan dalam kedokteran klinis, panduan-panduan
11
semacam itu belum ada di fasilitas perawatan jangka panjang. Banyak
penghuni panti jompo yang tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam
membuat kputusan tentang perawatan kesehatannya sendiri. Ansietas dapat
terjadi di antara keluarga dan pemberi layanan kesehatan selama berupaya
untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan pengobatan yang tepat bagi
pasien yang mendekati kematian (Stanley, 2006).
Institusi perawatan jangka panjang melayani lansia yang memerlukan
pengobatan untuk penyakit kronis dan disabilitas yang tidak memugkinkan
pemberian perawatan ini atau tidak praktis bila dilakukan di rumah atau
tempat lainnya. Institusi ini menjadi rumah bagi kebanyakan lansia, meskipun
penekanan utama adalah pada penyakit kronis dan disabilitas daripada
dukungan gaya hidup. Atmosfir di perawatan jangka panjang kurang kritis
jika dibandingkan dengan di perawatan akut. Seringkali, disebabkan
perbedaan ini, lansia dan keluarganya atau pemberi perawatan dapat
mengekspresikan dan melakukan keinginan mereka yang berkaitan dengan
meninggal dalam lingkungan yang tenang dan empatik. Jika keptusan tentang
menjelang ajal sudah ditentukan sebelumnya, kematian di lingkungan
perawatan jangka panjang dapat terjadi dengan suasana tenang dan
mendukung (Stanley, 2006).
3. Hospice
Hospice adalah “tempat singgah atau pondok bagi pelancong, anak-anak
atau kaum miskin, yang sering dibiayai oleh program monastik. Peggunaan
kata tersebut secara kontemporer mengidentifikasi sebuah program atau
institusi yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan orang yang
menjelang ajal. Penekanan diletakkan pada pengurangan penderitaan
psikologis dan fisik, yang termasuk di dalamnya adalah pengurangan nyeri
(Stanley, 2006).
12
Pendekatan kerja kelompok dalam hospice merupakan focus yang utama.
Inti program ini adalah bahwa anggotanya bertemu setiap minggu untuk
mengembangkan komunikasi dan diskusi tentang kebutuhan pasien masing-
masing. Tim perawatan Hospice interdisipliner yang biasanya terdiri dari
dokter, perawat, pekerja sosial, psikiater, pemuka agama, dan sukarelawan,
merupakan hubungan yang mendukung antara pasien dan
pelayanan.pendekatan multidisipliner ini memberikan kerangka kerja untuk
kordinasi asuhan, menekankan pada kepimimpinan dan keahlian para
anggotanya. Meskipu setiap anggota memiliki fokus yang berbeda, tim
tersebut disatukan dalam pelayanan sebagai komponen asuhan emosional bagi
orang yang menjelang ajal. Unit pelayanan primer adalah pasien dan keluarga.
Layanan tersebut tersedia 24 jam. Program-programnya bervariasi tetapi dapat
mencekaup layanan pasien rawat inap atau rawat jalan. Tindak lanjut terhadap
kehilangan juga dilakukan terhadap anggota keluarga setelah kematian pasien
(Stanley, 2006).
Hospice di Amerika Serikat mengikuti berbagai bentuk protocol. Terdapat
fasilitas hospice rawat inap di rumah sakit., di situ pasien-pasien diarahkan
pada unit spesifik atau dirawat dengan cara “tempat tidur tersebar”, dengan
pasien hospice menempati tempat tidur di berbagai unit. Layanan hospice
rawat jalan dan hospice di rumah sering dilakukan oleh asosiasi perawat
kunjungan. Tanpa memperhatikan lingkungan, asuhan hospice dianggap tepat
jika pasien tidak lagi berespon terhadap pengobatan, intervensi-intervensi
untuk penyembuhan sudah habis, dan kematian suda mengancam (Stanley,
2006).
Dalam banyak cara, hospice lebih dipahami sebagai sikap bukan sebagai
tempat, progam atau unit. Pendekatan terhadap orang yang menjelang ajal di
lingkungan hospice dilakukan dengan cara yang positif dan menghasilkan
pertumbuhan. Tujuannya adalah untuk berfokus terhadap keberanian dan
13
martabat pasien daripada ketergantungan. Lahirnya perawatan hospice ini
telah menyentuh kemanusiaan dengan asuhan paliatif yang terkoordinasi dan
penuh cinta terhadap orang yang menjelang ajal dan keluarganya. Nilai yang
dapat diukur berkaitan dengan pengayaan hidup dan kehidupan pada saat
menjelang ajal (Stanley, 2006).
4. Perawatan Di Rumah
Alternatif lainnya adalah meninggal di rumah. Untuk alternatif ini,
beberapa faktor harus dipertimbangkan karena perawatan teradap orang yang
menjelang ajal di rumah menciptakan ketegangan lebih bagi pemberi
perawatan. Jika kebutuhan pasien lebih besar dari sumber-sumber yang ada,
maka pasien dan pemberi perawatan dapat merasakan pengalaman sebagai
sesuatu yang negatif. Banyak pertanyaan yang harus dijawab : Siapa yang
akan memberikan perawatan? Apakah orang tersebut mampu
mempertahankan kontinuitas asuhan? Adakah sumber pendukung yang lain,
seperti teman-teman, layanan sosial, rumah sakit terdekat, layanan hospice
dan bantuan medis serta finansial? Kemanan dan keselamatan pasien serta
dukungan pemberi perawatan harus mendapat perawat yang seimbang
(Stanley, 2006).
Perawatan di rumah sangat bergantung kepada besarnya komitmen dan
kekuatan beberapa orang mengkoordinasikan dan memberikan perawatan.
Sebelum menjadi pemberi perawatan, refleksi pribadi perlu dilakukan.
Keyakinan dan kesungguhan yang baik bukan satu-satunya sifat karakter yang
diperlukan untuk memikul untuk tanggung jawab ini. Pemberi asuhan yang
berpotensi perlu mengkaji kekuatan pribadinya, kemampuan dan keterbatasan
yang berkaitan dengan peran baru tersebut. Inventaris pribadi meliputi survei
introspektif yang jujur terhadap keterampilan organisasional seseorang, umor,
kesehatan, tingkat energi, fleksibilitas, dan kemampuan menyelesaikan
masalah. Jenis pemeriksaan diri ini akan membantu orang tersebut
14
mengidentifikasi sikap dan perspektif yang akan dibawa dalam situasi ketika
memberikan perawatan (Stanley, 2006).
Pemberi perawatan yang potensial dapat merasa siap untuk menerima
tanggung jawab tersebut. Namun, setelah ia dilibatkan dalam proses, dapat
muncul berbagai kesulitan dalam memberikan perawatan fisik dan emosional
yang tepat. Kesulitan ini sudah diperkirakan sebelumnya dan bersifat normal,
dan dapat memerlukan rujukan kepada sistem pendukung tambahan.
Perawatan terhadap orang-orang yang menjelang ajal merupakan pengalaman
yang berharga, memuaskan dan melelahkan. Refleksi yang jujur yang kontinu
terhadap keterbatasan, kekuatan dan kebuthan pemberi perawatan diperlukan
untuk mempertahankan hubungan yang kohesif dan saling mengormati
dengan pasien yang menjelang ajal (Stanley, 2006).
H. Pengaruh Kematian
Menurut Nugroho (2008), pengaruh kematian terhadap keluarga klien lanjut
usia:
1. Bersikap kritis terhadap cara perawatan
2. Keluarga dapat menerima kondisinya
3. Terputusnya komunikasi dengan orang yang menjelang maut
4. Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak
dapat mengatasi rasa sedih
5. Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi
6. Keluarga menolak diagnosis. Penolakan tersebut dapat memperbesar beban
emosi keluarga.
7. Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan.
Pengaruh kematian terhadap tetangga/teman:
1. Simpati dan dukungan moril
2. Meremehkan/mencela kemampuan tim kesehatan.
15
Saat kematian merupakan suatu proses berlangsungnya kematian, yang
meliputi 5 tahap (lihat tahap kematian sebelumnya) Pemenuhan kebutuhan klien
menjelang kematian:
1. Kebutuhan jasmaniah. Kemampuan toleransi terhadap rasa sakit berbeda pada
setiap orang. Tindakan yang memungkinkan rasa nyaman bagi klien lanjut
usia (misalnya, sering mengubah posisi tidur, perawatan fisik, dan
sebagainya).
2. Kebutuhan emosi. Untuk menggambarkan ungkapan sikap dan perasaan klien
lanjut usia dalam menghadapi kematian.
a. Mungkin klien lanjut usia mengalami ketakutan yang hebat (ketakutan
yang timbul akibat menyadari bahwa dirinya tidak mampu mencegah
kematian).
b. Mengkaji hal yang diinginkan penderita selama mendampinginya.
Misalnya, lanjut usia ingin memperbincangkan tentang kehidupan di masa
lalu dan kemudian hari. Bila pembicaraan tersebut berkenan, luangkan
waktu sejenak. Ingat, tidak semua orang senang membicarakan kematian.
c. Mengkaji pengaruh kebudayaan atau agama terhadap klien.
Pertimbangan khusus dalam perawatan:
1) Tahap I (penolakan dan rasa kesendirian), mengenal atau mengetahui
bahwa proses ini umumnya terjadi karena menyadari akan datangnya
kematian atau ancaman maut.
a. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mempergunakan
caranya sendiri dalam menghadapi kematian sejauh tidak merusak.
b. Memfasilitasi klien lanjut usia dalam menghadapi kematian.
Luangkan waktu 10 menit sehari, baik dengan bercakap cakap
maupun sekadar bersamanya.
16
2) Tahap II (marah), mengenal atau memahami tingkah laku serta tanda-
tandanya.
a. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengungkapkan
kemarahannya dengan kata-kata.
b. Ingat, bahwa dalam :benaknya bergejolak pertanyaan, “Mengapa hal
ini terjadi pada diriku?”
c. Sering kali perasaan ini dialihkan kepada orang lain atau anda sebagai
cara klien lanjut usia bertingkah laku.
3) Tahap III (tawar-menawar), menggambarkan proses seseorang yang
berusaha menawar waktu.
a. Klien lanjut usia akan mempergunakan ungkapan, seperti seandainya
“Saya…”
b. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk menghadapi kematian
dengan tawar-menawar.
c. Tanyakan kepentingan yang masih ia inginkan. Cara demikian dapat
menunjukkan kemampuan perawat untuk mendengarkan ungkapan
perasaannya.
4) Tahap IV (depresi), lanjut usia memahami bahwa tidak mungkin menolak
lagi kematian yang tidak dapat dihindarkan itu, dan kini kesedihan akan
kematian itu sudah membayanginya.
a. Jangan mencoba menyenangkan klien lanjut usia Ingat bahwa
tindakan ini sebenarnya hanya memenuhi kebutuhan petugas. Jangan
takut menyaksikan klien lanjut usia atau keluarganya menangis. Hal
ini merupakan ungkapan pengekspresian kesedihannya. Anda boleh
saja ikut berduka cita.
b. “Apakah saya akan mati?” Sebab sebetulnya pertanyaan klien lanjut
usia tersebut hanya sekadar mengisi dan menghabiskan waktu untuk
memperbincangkan perasaannya, bukannya mencari jawaban.
17
Biasanya klien lanjut usia menanyakan sesuatu, ia sebenarnya sudah
tahu jawabannya. Apakah anda merasa akan meninggal dunia?
5) Tahap V, membedakan antara sikap menerima kematian dan penyerahan
terhadap kematian yang akan terjadi. Sikap menerima: klien lanjut usia
telah menerima, dapat mengatakan bahwa kematian akan tiba dan ia tak
boleh menolak. Sikap menyerah: sebenarnya klien lanjut usia tidak
menghendaki kematian ini terjadi, tetapi ia tahu bahwa hal itu akan
terjadi. Klien lanjut usia tidak merasa tenang dan damai.
a. Luangkan waktu untuk klien lanjut usia (mungkin beberapa kali dalam
sehari). Sikap keluarga akan berbeda dengan sikap klien lanjut usia.
Oleh karena itu, sediakan waktu untuk mendiskusikan perasaan
mereka.
b. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengarahkan
perhatiannya sebanyak mungkin. Tindakan ini akan 17ember
ketenangan dan perasaan aman.
I. Hak Asasi Pasien Menjelang Ajal
Menurut Nugroho (2008), lanjut usia berhak untuk diperlakukan sebagai
manusia yang hidup sampai ia mati. Adapun hak-haknya antara lain :
1. Berhak untuk tetap merasa mempunyai harapan, meskipun fokusnya dapat
saja berubah.
2. Berhak untuk dirawat oleh mereka yang dapat menghidupkan terus harapan,
walaupun dapat berubah.
3. Berhak untuk merasakan perasaan dan emosi mengenai kematian yang sudah
mendekat dengan caranya sendiri.
4. Berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai
perawatannya.
18
5. Berhak untuk mengharapkan terus mendapat perhatian medis dan perawatan,
walaupun tujuan penyembuhan harus diubah menjadi tujuan memberi rasa
nyaman.
6. Berhak untuk tidak mati dalam kesepian.
7. Berhak untuk bebas dalam rasa nyeri.
8. Berhak untuk memperoleh jawaban yang jujur atas pertanyaan.
9. Berhak untuk tidak ditipu.
10. Berhak untuk mendapat bantuan dari dan untuk keluarganya dalam menerima
kematian.
11. Berhak untuk mati dengan tenang dan terhormat.
12. Berhak untuk mempertahankan individualitas dan tidak di-hakimi atas
keputusan yang mungkin saja bertentangan dengan orang lain.
13. Membicarakan dan memperluas pengalaman keagamaan dan kerohanian.
14. Berhak untuk mengharapkan bahwa kesucian tubuh manusia akan dihormati
sesudah mati.
J. Asuhan dan Dukungan Keperawatan
Merawat pasien yang menjelang ajal menekankan pada pandangan holistik
terhadap seseorang dan mencakup lingkungan sosial, fisik dan emosional. Hal
tersebut akan meningkatkan asuhan yang diberikan kepada seseorang secara
mnyeluruh, dengan pengendalian pembuatan keputusan tetap berada pada pasien
yang menjelang ajal. Sebuah model yang mneggambarkan hubungan antara
perawat dan pasien serta pemberi perawatan ditampilkan pada gambar dibawah
ini.
19
berdukakoping
warisankesepiannilai-nilai budaya
ketakutannyeri dan penderitaan
ansietaspenentuan diri
kehilanganharapan
penutupancinta
kebenaranDukungan kolega
rasa nyamancaring
pemberian perawatan/tindakan
pendidikandukungan
pasien/pemberi perawatan
komunikasi verbal -nonverbal
hubungan saling percaya
martabat
kualitas hidup/matisentuhan
status fungsi wasiat
spiritualitas
Model ini dapat digunakan untuk membimbing tindakan perawat dari sudut
pandang perhatian : perawat, pasien dan pemberi perawatan, dan keduanya
(Stanley, 2006).
Model ini dibuat berdasarkan konsep bahwa aura keterbukaan, rasa saling
percaya dan kejujuran menguasai suatu hubungan. Intervensi tidak menekankan
kepada apakah pasien harus diberitahu atau tidak. Kerangka kerja untuk model ini
adalah jujur, terbuka yang berasal dari teori pembukaan kesadaran. Pembukaan
kesadaran, tidak seperti penutupan kesadaran, adalah komunikasi yang jujur dan
bermakna dengan pasien lansia yang berpenyakit terminal. Hal tersebut
menciptakan suatu suasana yang kontinu yang menganggap kematian sebagai
20
proses kehidupan yang alami dan penting dan pada saat itu perasaan harus dibagi
bersama pemberi perawatan dan orang-orang yang dicintai. Pembukaan kesadaran
membantu membongkar “konspirasi ketenangan” yang dapat menyebabkan
dilakukannya pendekatan yang tidak sehat terhadap asuhan orang yang menjelang
ajal (Stanley, 2006).
1. Perhatian Perawat
Pada saat perawat bkerja dengan pasien lansia yang menghadapi kematian,
akan muncul banyak isu yang memengaruhi perawat untuk merawat pasien
lansia yang menjelang ajal tersebut secara kompeten.
a. Dukungan Kolega
Dukungan kolega merupakan hal yang sangat penting bagi
kesejahteraan perawat dalam sistem pemberian layanan kesehatan yang
kompleks saat ini. Perhatian perawat ini ditunjukkan dengan mampu
mengurangi tugas-tugas kolega saat diperlukan waktu bersama pasien
yang menjelang ajal atau keluarga yang mengalami distress; meluangkan
waktu untuk mendengarkan rekan kerja tanpa menghakimi; memberikan
saran; memberikan kata-kata yang membesarkan hati atau pujian pada saat
diperlukan; dan memberikan senyuman, sentuhan atau pengahargaan
lainnya (Stanley, 2006).
Dukungan kolega membentuk ikatan yang kuat dan memungkinkan
bertumbuhnya setiap professional yang terlibat. Mutualitas terbentuk
dengan meningkatnya pengetahuan yang bersifat resiprokal dalam
tindakan mereka. Hubungan kolega yang erat ini memungkinkan
didapatkannya dukungan yang efektif dan tingginya kualitas asuhan pada
pasien lansia yang menjelang ajal (Stanley, 2006).
b. Rasa Nyaman
Memberikan rasa nyaman merupakan intervensi asuhan yang
diberikan oleh perawat yang merawat orang yang menjelang ajal.
21
Tindakan menenangkan mengurangi ketidaknyamanan sosial, fisik, dan
psikologis; upaya untuk mengembalikan kesenangan dan perasaan
sejahtera; dan mempertahankan martabat. Tindakan memberikan rasa
nyaman tersebut antara lain adalah duduk bersama pasien yang menjelang
kematian, memberikan obat untuk mengurangi nyeri, atau mengusap
punggung pasien (Stanley, 2006).
c. Caring
Selain keterampilan keperawatan yang bersifat teknis, caring pasien
juga memerlukan keterampilan khusus seperti kesabaran, kejujuran, rasa
percaya, kerendahan hati, harapan dan keberanian. Sikap terpenting dari
caring adalah bahwa setiap masalah lansia dan bahwa penuaan dan
menghadapi kematian adalah bagian yang normal dari kehidupan seperti
halnya tugas perkembangan yang lain (Stanley, 2006).
d. Pemberian Asuhan dan Tindakan
Memberikan tekhnik asuhan yang efisien kepada pasien lansia yang
mejelang ajal merupakan hal yang sangat penting. Pada saat memberikan
asuhan fisik, perawat secara kontinu mengkaji faktor-faktor perspektif
kognitif pasien dan mmbantunya terlibat dalam perilaku yang
meningkatkan pertumbuhan sampai kematian dating (Stanley, 2006).
e. Pendidikan
Tujuan dari mendidik lansia yang menjelang ajal untuk memfasilitasi
koping yang efektif dengan status kesehatan mereka saat ini, memperkuat
fungsi mandiri selama mungkin, dan membantu mempertahankan tingkat
kesehatan yang optimal pada saat orang tersebut mendekati tahap akhir
kehidupan ini (Stanley, 2006).
2. Dukungan Pasien dan Pemberi Perawatan
Pemberi perawatan yang berasal dari keluarga yang melaorkan ketegangan
lebih banyak ketika member perawatan kepada pasien menunjukkan bahwa ia
22
mengalami kesulitan yang lebih besar dalam menyesuaikan diri terhadap
kematian kerabat mereka. Lansia yang menghadapai ajal dan kemati diyakini
merasa takut terhadap pengalaman-pengalaman seputar kematian seperti
penolakan, kesepian, kehilangan ketetapan hati, dan isolasi daripada terhadap
kematian itu sendiri. Sering kali, pengasuh enggan membicarakan tentang ajal
atau kematian dengan lansia karena takut akan membuatnya terganggua.
Namun, biasanya diskusi-diskusi seperti ini tidak membuat lansia merasa
terganggu. Perawat perlu mengadakan konferensi keluarga. Perawat harus
memiliki keberanian dan ketrbukaan serta rasa nyaman dengan perasaan
mereka sendiri agar mampu duduk dengan orang-orang tersebut dan
membiarkan mreka berbicara. Setiap pasien dan pemberi perawatannya
mendekati pengalaman ini harapan yang unik. Dengan dukungan
keperawatan, semua yang terlibat dapat tumbuh untuk meningkatkan
kehidupan sampai terjadi kematian (Stanley, 2006).
a. Komunikasi : Verbal dan Nonverbal
Komunikasi efektif memerlukan latihan atau teknik dan keterampilan.
Komunikasi di antara pasien, pemberi perawatan dan perawat merupakan
hal yang kritis untuk membentuk hubungan saling percaya. Teknik
komunikasi verbal seperti refleksi, pertanyaan sensitive, dan menjawab
pertanyaan langsung dan tidak langsung dengan informasi yang tepat dan
jujur memungkinkan perawat untuk meningkatkan hubungan perawat-
pasien-pemberi perawatan (Stanley, 2006).
Komunikasi nonverbal juga esensial. Senyuman, sentuhan, melakukan
kontak mata, mendengarkan, dan semua teknik nonverbal yang
mengomunikasikan perhatian dan kepedulian dan membantu dalam
pembentukan hubungan. Komunikasi nonverbal dapat menjadi bntuk
komunikasi yang paling efektif jika perubahan fisik menyebabkan
23
hilangnya pendengaran, penglihatan atau perubahan neurologis seperti
konfusi (Stanley, 2006).
3. Perhatian Pasien dan Pemberi Perawatan
Untuk pasien lansia dan pemberi perawatannya, proses menjelang ajal
bersifat unik dan merupakan pengalaman individual yang melibatkan banyak
masalah. Setelah masalah ini diatasi, pasien dapat menjalankan tugas-tugas
hidupnya sampai ke titik kematian.
a. Berduka
Meskipun tidak ada dua orang yang bereaksi sama terhadap kematian
dan ajal, namun respons fisiologis dan psikologis terhadap kematian, yang
dikenal sebagai berduka, telah digambarkan dalam tahapan-tahapan oleh
orang-orang terkenal seperti Engel, Linderman, Parkes, Bolbey, dan
Kubler-Ross.
Berduka merupakan respons yang normal dan universal terhadap
kehilangan yang dialami melalui perasaan, perilaku dan penderitaan
emosional. Berduka adalah proses pergeseran melewati nyeri akibat
kehilangan. Kehilangan kesehatan, teman, kerabat, pekerjaan dan
keamanan finansial merupakan sebagian dari kehilangan kumulatif yang
menyebabkan berduka pada lansia. Periode berduka adalah waktu
penyembuhan, adaptasi dan pertumbuhan (Stanley, 2006).
Meskipun banyak orang yang setuju dengan kesamaan proses berduka,
namun ada juga yang menyetujui bahwa setiap orang melewati proses
berduka secara berbeda. Namun, menggambarkan seragkaian fase yang
mencirikan reaksi berduka merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan.
Fase-fase ini mencakup syok awal dan rasa tidak percaya, yang
menyebabkan kesadaran, dan kemungkinan protes, yang akhirnya
menyebabkan reorganisasi dan restitusi (Stanley, 2006).
24
Asuhan keperawatan untuk pasien dan pemberi perawatan yang
berduka memerlukan rasa saling member yang sensitif, peduli dan empati.
Berbagai pendapat, perasaan, dan ketenangan merupakan intervensi
keperawatan yang tepat. Bimbinganf dapat membant keperawatan adaptif
dapat membantu mempersiapkan orang yang menjelang kematian untuk
menghadapi nyeri dan perasaan alamiah mereka yang berhubungan
dengan proses berduka (Stanley, 2006).
b. Koping
Koping berarti berhasil menghadapi stressor. Keterampilan koping
yang digunakan oleh setiap orang bersifat unik bagi orang tersebut dan
bervariasi dalam hal keefektivitasnya. Intervensi keperawatan yang
digunakan untuk membantu koping mencakup dukungan sosial, konseling
dan penerimaan. Konseling memungkinkan dilakukannya pembahasan
yang teratur untuk membantu pasien lansia dan pemberi perawatannya
untuk menyesuaikan diri. Menerima pasien dan mengakui perasaannya
akan meningkatkan harga diri dan memungkinkan pasien lansia untuk
mempertahankan konsep dirinya sebagai individu yang unik (Stanley,
2006).
c. Warisan
Warisan adalah sekumpulan asset nyata dan tidak nyata yang ia
pindahkan kepada orang lain untuk disimpan sebagai simbol imortalitas
pewaris. Proses ini menyiapkan pasien lansia untuk meninggalkan dunia
dengan penuh makna. Warisan dapat dilimpahkan dengan berbagai cara
yang memungkinkan orang yang menjelang ajal memiliki perasaan yang
berkesinambungan dan terikat dengan orang-orang yang ia tinggalkan
(Stanley, 2006).
25
d. Kesepian
Kesepian memiliki komponen fisik dan emosional. Lansia mengalami
berbagai kehilangan yang jumlah dan signifikansinya meningkat pada saat
mendekati kematian. Kehilangan-kehilangan ini mengirimkan sinyal
meningkatnya ketergantungan. Mereka yang merawat lansia menjelang
ajal harus menyadari adanya isolasi dan kesepian yang disebabkan oleh
proses menjelang ajal (Stanley, 2006).
Perawat mengurangi kesepian yang menyertai proses menjelang ajal
dengan meluangkan waktu bersama pasien yang akan meninggal. Asuhan
harus berfokus pada memenuhi kebutuhan fisik pasien seperti mengurangi
nyeri dan kebersihan serta kebutuhan psikososialnya seperti berbicara,
berbagi dan sebanyak mungkin terlibat dalam kehidupan. Mempercerah
lingkungan dapat menurunkan rasa kesepian seseorang. Objek yang
dikenalnya (mis.radio, bunga, kartu) membantu lansia tetap berhubungan
dengan kehidupan sampai akhir hayatnya. Intervensi yang digunakan di
beberapa tempat adalah terapi dengan hewan peliharaan. Studi telah
menunjukkan bahwa hewan peliharaan dapat memiliki efek positif pada
kesehatan lansia (Stanley, 2006).
e. Nilai-Nilai
Nilai adalah kualitas yang diinginkan secara sengaja. Manusia
memiliki nilai-nilai ideologi, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai budaya.
Telah terbukti bahwa terdapat perbedaan nilai generasional dan bahwa
nilai-nilai tersebut bergeser sepanjang rentang kehidupan. Komitmen
seseorang terhadap nilai-nilai tampaknya menguat sejalan dengan usia
(Stanley, 2006).
Perawat harus sensitif terhadap keyakinan-keyakinan lansia yang
mendekati kematian. Sensitivitas ini, yang digabung dengan sikap peduli,
membantu menunjukkan penerimaan terhadap nilai-nilai pasien lansia,
26
sekalipun nilai-nilai tersebut bertentangan dengan yang dimiliki perawat
(Stanley, 2006).
f. Budaya
Budaya memberikan identitas kepada seseorang. Budaya telah
didefinisikan sebagai pengetahuan tentang koping manusia yang dapat
dikomunikasikan dalam lingkungan tertentu dan diturunkan untuk
generasi berikutnya (Stanley, 2006).
Budaya memberikan rasa diri sendiri, bahasa dan komunikasi,
pakaian, makanan, waktu dan waktu kesadaran, hubungan, nilai-nilai,
keyakinan dan sikap, ketergantungan dan praktik mental, kebiasaan dan
praktik kerja, sistem politik, dan keyakinan tentang rekreasi dan ekonomi.
Keyakinan budaya juga menentukan bagaimana lansia mendefinisikan
sehat dan sakit dan memengaruhi pendekatan mereka pada kematian.
Kurang pengetahuan tentang perbedaan dan variasi budaya dapat
menyebabkan pemahaman dan persepsi yang salah. Menyadari dan
memahami faktor-faktor budaya yang memengaruhi perilaku dan sikap
pasien terhadap ajal dan kematian merupakan hal yang penting bagi
perawat. Perawat perlu melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang budaya dan dampaknya
pada proses kematian. Melalui proses mendapatkan pengetahuan dan
pemahaman ini, perawat dapat tumbuh sebagai individu dan memberikan
lebih banyak asuhan individual bagi pasien lansia. Perawat harus dapat
membantu pasien lansia dengan pedoman budaya untuk menerima realita
kematian dan melanjutkan rencana asuhan yang meningkatkan
pertumbuhan sampai akhir hidupnya (Stanley, 2006).
g. Ketakutan dan Kecemasan
Berbagai rasa takut yang dialami oleh lansia menjelang ajal bermula
dari awal diagnosis sampai kematian. Rasa takut terhadap nyeri
27
merupakan rasa takut yang paling banyak terjadi diantara orang tersebut.
Ketakutan yang lainnya adalah ktakutan akan diabaikan, kehilangan
kemandirian, dan yang tidak diketahui. Ketakutan akan diabaikan berakar
dari gambaran sosial orang yang akan menjelang ajal, yaitu sendiri,
miskin, dan ditinggalkan. Kontak kemanusiaan yang konsisten baik oleh
pemberi perawatan dan keluarga merupakan hal yang paling penting saat
berusaha meredakan ketakutan akan diabaikan. Kehadiran emosional dan
fisik membantu membentuk rasa saling percaya yang diperlukan untuk
mengurangi ketakutan-ketakutan semacam itu. Lansia perlu diberitahu
bahwa aka nada seseorang bersama mereka pada saat mereka
membutukannya. Jika tidak diketahui adanya orang dekat atau keluarga,
perawat perlu mejadi pengasuh dan sistem pendukung yang konsisten
(Stanley, 2006).
Sejalan dengan semakin lemhanya pasien menjelang ajal dan lebih
tergantungnya ia kepada pemberi perawatan dan keluarganya, kehilangan
fungsi, dan kemadirian menjadi masalah yang utama. Untuk
meningkatkan kecukupan diri sebanyak mungkin, perawat perlu
mengintegrasikan tim pasien dan keluarga ke dalam rutinitas perawatan
sehari-hari. Hal ini dapat berupa toileting, hygiene, dan nutrisi, dan juga
masalah-masalah bisnis dan keuangan pribadi. Menjaga sistem keluarga
agar tetap berada dalam pengendalian selama mungkin akan mampu
membentuk harga diridan mengurangi perasaan ketidakadekuatan
(Stanley, 2006).
Ansietas serig berhubungan dengan rasa takut, khawatir, sulit, dan
ketakutan. Distress ini sering berkaitan dengan rasa takut menjadi beban
orang lain, terpisah dari orang yang dicintai, dan menjalani kematian yang
menyakitkan (Stanley, 2006).
28
Perawat perlu mengidentifikasi jenis ini dan derajat ketakutan serta
ansietas yang dialami orang menjelang ajal. Perawatan yang empatik
merupakan landasan untuk memperbaiki respons melemahkan dari pasien
yang menjelang ajal (Stanley, 2006).
h. Nyeri dan Penderitaan
Diperlukan pengkajian yang menyeluruh tentang nyeri. Untuk lansia
yang menjelang ajal, nyeri dapat juga disertai dengan distress penyakit
kronis tambahan seperti osteoporosis dan arthritis. Perlu diingat bahwa
ketergantungan terhadap analgesic narkotik tidak boleh menjadi masalah
bagi orang yang akan meninggal. Tujuan penatalaksanaan nyeri adalah
keseimbangan antara mempertahankan keadaaan bebas nyeri dan
mengendalikan rasa kantuknya untuk memungkinkan partisipasi dalam
aktivitas hidup sehari-hari (Stanley, 2006).
Penderitaan dapat melibatkan banyak sekali masalah fisik yang
membutuhkan intervensi keperawatan. Diperlukan tindakan asuhan dasar
penunjang seperti latihan rentang gerak, memiringkan atau mengatur
posoisi pada pasien, perawatan kulit, perawatan oral, dan terapi diet
merupakan hal yang kritis pada saat ini. Masalah lain yang dapat
menimbulkan penderitaan adalah mual, haus, dispnea, disfagia,
inkontinensia, perubahan fungsi mental dan perubahan sensorik (Stanley,
2006).
i. Kehilangan
Kehilangan merupakan tema dominan yang dicerita dengan berbagai
aspek kehidupan bagi lansia. Kehilangan dapat dialami melalui berbagai
tahap kehidupan, tetapi efek kumulatifnya dirasakan secara akut oleh
lansia. Beberapa lansia mengalami kehilangan tersebut secara lebih baik
dibanndingkan yang lain. Sedangkan bagi yang lainnya, setiap kehilangan
menandakan kematian kecil, membawanya lebih dekat pada kematiannya
29
sendiri. Kehilangan biologis, psikologis, pribadi, sosial, fungsional, dan
filosofi dapat menimbulkan kehampaan pada kehidupan seseorang.
Perawat tidak selalu menyadari signifikansi dari kehilangan yang
terjadi pada lansia. Berduka sering mengikuti kehilangan. Mampu
berdiskusi dengan pasien lansia dan pengasuhnya tentang signifikansin
yang akan terjadi, baik kehilangan sesuatu peristiwa atau seseorang, atau
bahkan judul atau ide sekalipun merupakan hal yang penting bagi perawat.
Penerimaan terhadap yang tidak terhindarkan dan berhubungan dengan
kematian dapat menyebabkan penerimaan terhadap proses akhir
kehidupan (Stanley, 2006).
j. Harapan
Harapan, rasa percaya, dan kualitas merupakan unsur-unsur koping
produktif yang saling terkait. Harapan adalah sikap yang tidak dapat
diraba yang dirancang untuk seseorang melewati kemalangan.
Kesungguhan dari harapan biasanya mengubah fokus penyakit terminal.
Pada awalnya, pada saat diagnosis pertama kali diberitahukan, harapan
berfokus pada pengobatan dan keberhasilan perawat. Pada saat pilihan
pengobatan menjadi semakin terbatas atau tidak berhasil, pasien mulai
berharap pada paliasi dan rasa nyaman. Harapan selalu teraga pada
berbagai kesempatan. Penopananya adalah sifat dan permukaan spiritual
dari hubungan seseorang dengan dunia, keluarga, dan teman-teman, juga
perasaan berharga, dan perasaan bahwa ada sesuatu di dunia ini yang
harus dicapai. Pengharapan adalah emosi aktif yang diperlukan untuk
membuat setiap hari dan menjadi situasi sebaik mungkin (Stanley, 2006).
Peran perawat dalam menginspirasi harapan pada lansia yang akan
meniggal bersifat multidimensi. Harapan harus jujur, nyata, dan praktis
pada kebutuhan pasien. Contoh dari harapan yang realistis bagi lansia
yang akan meninggal antara lain adalah harapan untuk hidup lebih
30
nyaman satu minggu lagi, rindu melihat tumbuhnya taman, atau harapan
untuk menimang cucu. Harapan tertentu yang diekspresikan pasien
memberikan petunjuk-petunjuk esensial bagi perawat tentang derajat
pengharapan pasien. Menurut Hickey, pendekatan perawat yang dapat
digunakan untuk memperoleh harapan adalah membantu pasien dan
keluarga membentuk kesadaran apresiasi terhadap kehidupan,
mengidentifikasi alasan-alasan untuk hidup, dan membentuk sistem
pendukung. Penggunaan agama, humor, dan penetapan tujuan yang
realistis juga menjadi komponen arahan keperawatan. Perawat perlu
meneruskan keterampilan komunikasi terapeutik dan mendengarkan
secara aktif. Disposisi harapan yang tidak realistis dapat dipertahankan
dengan asuhan keperawatan yang baik, yang memungkinkan hasil yang
diinginkan pasien dan oleh karena itu, membantu penutupan yang berarti
dan penuh makna (Stanley, 2006).
k. Penutupan
Penutupan menekankan pada berbagai tugas yang berhubungan
dengan suatu rasa sampai di akhir dengan cara yang positif dan
meningkatkan kesehatan. Hal tersebut mencakup kebutuhan untuk
berpamitan dengan tetangga, keluarga, dan teman-teman dan untuk
membuat pengaturan legal dan financial atau keagamaan yang diinginkan.
Penutupan sering memerlukan tinjauan hidup sehingga memungkinkan
pasien lansia dan pemberi perawatan merasa bahwa kematian dan ajal
mereka tidak akan menyebabkan perasaan yang tidak diinginkan terhadap
diri mereka dan kehidupannya. Lansia sering berdamai dengan kerabat
atau teman jauh pada saat mereka mendekati ajal. Tugas-tugas penutupan
ini membantu pasien lansia dan pemberi perawatannya mengalami akhir
dan akhrnya meneriman kematian yang tidak dapat dihindari (Stanley,
2006).
31
Perawat dapat menjadi advokat pasien lansia dan pemberi perawatan
dalam mendekati tugas perkembangan akhir. Perawat dapat mendukung
keputusan yang dibuat, mempertahankan komunikasi yang terbuka
sehingga pasien dan pemberi perawatannya dapat melakukan tinjauan
hidup dan mengatur kunjungan keluarga jika perlu (Stanley, 2006).
l. Cinta
Cinta harus mencakup perasaan memiliki. Proses menjelang ajal dapat
menciptakan perasaan tidak diinginkan atau dipedulikan. Melalui cinta,
pasien dan pemberi perawatannya dapat tumbuh dan membentuk harga
diri (Stanley, 2006).
Perawat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan cinta.
Kemampuan professional dan perhatian perawat untuk memberikan
perasaan nyaman pada pasien yang menjelang ajal dapat memenuhi
kebutuhan cinta akan disayang, memiliki, dan pertalian. Sikap peduli
perawat juga memperkuat perasaan cinta. Kabutuhan akan cinta dipenuhi
dengan kompetensi professional perawat, menyerahkan diri mereka,
memenuhi kebutuhan pasien (Stanley, 2006).
m. Kejujuran
Tingkat kejujuran berkaitan dengan penyakit, menjelang ajal, dan
kematian harus disesuaikan dengan keinginan pasien. Pasien yang
menjelang ajal sering memiliki kesadaran akan kondisinya dan diperlukan
hanya konfirmasi. Terkadang pemberi perawatan tidak ingin pasien
diberitahu yang sebenarnya karena mereka takut hal ini membuat pasien
menyerah. Konseling dan pemahaman dapat diperlukan untuk membantu
pasien mengekspresikan keinginannya sendiri (Stanley, 2006).
4. Berbagi perhatian
Saling berbag perhatian dapat memenuhi kebutuhan perawat dan tim
pasien – pemberi perawatan.
32
a. Hubungan saling percaya
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk semua intervensi
bagi lansia menjelang ajal. Hubungan semacam ini dicapai melaui sikap,
perilaku, serta sistem nilai perawat dan pasien. Rasa percaya adalah
kekuatan yang mengikat anggota tim: ”rasa percaya adalah keyakinan
bahwa seseorang akan mengerti kebutuhan dan keinginan orang lain dan
akan berperilaku ke arah tersebut dengan cara y6ang bertanggung jawab
dan dapat diperkirakan”. Membina hubungan saling percaya
membutuhkan sifat mutualitas dan kerahasiaan pada orang lain; hal
tersebut tidak dapat dipertahankan kecuali kedua pihak saling
mempercayai. Seseorang yang dapat mempercayai orang lain yang dapat
“menerima dirinya sendiri dan orang lain, dan pengalaman-pengalaman
baru, yang mampu bersikap konsisten dan menunda kepuasan, dapat
berpartisipasi dalam hubungan yang interdependen”. Hubungan saling
percaya dengan pasien yang menjelang ajal merupakan hal yang esensial
untuk menciptakan komunikasi yang terbuka yang meningkatkan
keefektifan (Stanley, 2006).
b. Martabat
Martabat adalah hak setiap orang yang menjelang ajal, berdasarkan
fakta bahwa setiap orang adalah anggota komunitas manusia. Martabat
memerlukan pemahaman bahwa orang yang akan meninggal akan
memerlukan perawatan yang bersifat pribadi, yang mencakup aktivitas
pembuatan keputusan dan pengendalian sosial selam proses menjelang
ajal. Inti dari meningkatkan martabat adalah kemampuan perawat untuk
meningkatkan nilai moral dan penentuan diri pasien. Benoliel menjelaskan
tiga tujuan yang berhubungan dengan pemeliharaan martabat orang yang
menjelang ajal : diberi informasi tentang apa yang terjadi padannya, dan
kemudian mendapat orang yang peduli untuk mendengarkan dan
33
mendiskusikan masalah tersebut, menjadi bagian dari proses pembuatan
keputusan, dan mengalami berbagai respons dan konflik untuk meninggal
di lingkungan yang terbuka dan peduli (Stanley, 2006).
c. Kualitas Hidup dan Kematian
Kualitas hidup merupakan konsep yang tidak jelas yang sulit untuk
didefinisikan. Weisman mengklasifikasikan kualitas hidup menjadi dua
kategori utama : faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan lingkungan
dan masyarakat secara luas (mis; kemiskinan, pengabaian, ketakutan), dan
fakto-faktor individual yang berkaitan dengan nilai dan kesejahteraan
seseorang. Hal tersebut menekankan pada “pilihan-pilihan, rasa hormat,
rasa amn yang beralasan, serta perasaan hidup secara potensial”. Peran
perawat dalam meningkatkan kualitas hidup meliputi mempertahankan
individualitas lansia, seperti yang tercermin pada apa yang disukai dan
yang tidak disukainya, nilai-nilai serta filosofi hidup (Stanley, 2006).
d. Sentuhan
Sentuhan, merupakan salah satu alat komunikasi nonverbal yang
terpenting, menunjukkan kepedulian, kehangatan, kepekaan perawat.
Selain itu, manfaat emosional dan psikologis dari sentuhan juga tampak
nyata, studi telah mengidentifikasi respon psikologi yang positif terhadap
sentuhan : “tujuan dan hasil darin berbagai penyakit pada orang tua sangat
dipengaruhi oleh kualitas penunjang taktil yang diterima individu tersebut
sebelum dan selama sakit”. Memegang tangan pasien dengan lembut,
memeluk pasien dengan hangat, dan member usapan punggung
merupakan cara meningkatkan rasa nyaman dengan sentuhan dan
dukungan sosial yang dapat mengurangi ansietas.
Perawat perlu mengetahui perasaan sendiri tentang penggunaan
sentuhan yang tepat sebagai alat untuk membantu pasien yang akan
meninggal. Professional harus menggunakan teknik ini berdasarkan
34
penilaian klinis dan petunjuk keluarga dan pasien. Pasien dan perawat
perlu mengidentifikasi sentuhan sebagai intervensi yang positif daripada
sebagai invasi privasi. Seperti halnya bentuk kommunikasi lainnya,
sentuhan member kesan bahwa perawat sensitive terhadap reaksi pasien
akan sentuhan (Stanley, 2006).
e. Status Fungsional
Tujuan mempertahankan fungsi merupakan tindakan berbagai
perhatian lainnya. Pasien harus dianjurkan untuk melakukan sebanyak
mungkin hal dengan waktu yang selama mungkin. Anggota keluarga dapat
membantu pasien pada saat fungsi berubah atau menghilang. Melibatkan
orang dekat dalam memberikan perawatan, seperti memandikan, memberi
makan, dan mengubah posisi pasien mempermudah pemberian rasa
nyaman pada pasien, harga diri bagi pemberi perawatan, dan intervensi
yang bermakna secara keseluruhan (Stanley, 2006).
f. Wasiat
Pasien yang akan meninggal dunia memilki banyak hal. Isu-isu
advance directive meliputi hak-hak seseorang untuk menentukan diri
sendiri, dengan wasiat merupakan instrument yang utama. Dengan
menggunakan instrument ini, pasien, pemberi perawatan, dan tim layanan
kesehatan dapat meningkatkan rasa hormat terhadap diri sendiri, rasa
percaya, dan kualitas hidup, yang akan meniggal dunia (Stanley, 2006).
g. Spiritualitas
Memenuhi kebutuhan spiritual pasien yang akan meninggal harus
menjadi perhatian utama bagi perawat, pasien dan keluarga. Membantu
pasien mengenali dan mengungkapkan kebutuhan spiritualnya dapat
membantu meningkatkan kualitas dan makna hidup (Stanley, 2006).
Menurut Koezier & Wikinson, 1993 cit Hamid, 2000, dimensi spiritual
adalah upaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
35
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapat kekuatan
ketika menghadapi stress emosional, penyakit fisik, penyakit terminal
sampai dengan kematian. Kekuatan yang timbul di luar kekuatan
manusia.dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan
atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau
mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional,
penyakit fisik, atau menjelang kematian (Padila, 2013).
Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul di
luar kekuatan manusia (Kozier, 2004). Spritualitas sebagai suatu yang
multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi
eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, dan dimensi agama
lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha
Penguasa. Spritualitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal
adalah hubungan dengan tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntunj
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan lingkungan
(Padila, 2013).
Kebutuhan spiritual (keagamaan) dapat memberikan ketenangan
batiniah. Rasulullah bersabda : “semua penyakit ada obatnya kecuali
penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau penghayatan terhadap keagamaan
besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan
mental, hal ini ditujkan dengan penelitian yang dilakukan oleh hawari
(1997) yang menyimpulkan :
“Bahwa lanjut usia yang non religius angka kematiannya 2 kali lebih
besar dari pada orang yang religius. Lanjut usia yang religius
penyembuhan penyakitnya lebih cepat dibandingkan dengan non-religius.
Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi.
Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stress
36
daripada yang non religius, sehingga gangguan mental yang emosional
jauh lebih kecil”. (Padila, 2013).
Kesimpulannya adalah lanjut usia yang religius akan tabah dan tenang
menghadapi saat-saat terakhir atau menghadapi fase terminal (kematian)
daripada yang non religius (Padila, 2013).
K. Perawatan Paliatif Pada Lanjut Usia Menjelang Ajal
Dalam memberi asuhan keperawat kepada lanjut usia, yang menjadi objek
adalah pasien lanjut usia (core), disusul dengan objek pengobatan medis (cure),
dan yang terahir, perawatan dalam arti yang luas (care). Core, cure, dan care
merupakan tiga aspek yang saling berkaitan dan saling berpengaruh. Kapan pun
ajal menjemput , semua orang harus siap. Namun ternyata, semua orang,
termasuk lanjut usia, akan merasa syok berat saat dokter memvonis bahwa
penyakit yang di deritanya tidak dapat disembuhkan atau tidak adaharapan untuk
sembuh. Pada kondisi ketika lanjut usia menderita sakit yang telah berada apada
stadium lanjut dan “care” sudah tidak menjadi bagian dominan, “care” menjadi
bagian yang paling berperan. Salah satu alternative adalah perawatan paliatif
(Nugroho, 2008).
Perawatan paliataif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita, terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud dengan
tindakan aktif antara lain mengurangi/ menghilangjan rasa nyeri dan keluhan lain
serta memperbaiki aspek psikologis, social, dan spiritual (Nugroho, 2008).
1. Tujuan Perawatan Paliatif
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi
si sakit (lanjut usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan
kepada lanjut usia yang menjelang akhir hayatnya, tetapi deberikan segera
setelah didiagnosis oleh dokter bahwa lanjut usia tersebut menderita penyakit
yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis, menderita kanker). Sebagian
besar pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang
37
disebut “stadium paliatif”, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat
menghasilkan kesembuhan. Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia
mederita penyakit yang mematikan (mis, kanker, stoke, AIDS) juga
mengalami penderitaan fisik , pisikologis sosial, kultural, dan spiritual
(Nugroho, 2008).
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan
keperawatan, memungkinkan diupayakan berbgai tindakan dan pelayanan
yang dapat mengurangi penderitaan pasien lanjut usia, sehinga kualitas hidup
di akhir kehidupannya tetap baik, tenang dan mengakhiri hayatnya dengan
keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan pendekatan holistik
yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan
parasaan takut sehingga lebih menekankan rehabilitasi daripada pengobatan
agar dapat menikmati kesenangan selama akhir hidupnya. Sesuai arti
harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan. Jadi
perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kulaitas hidup dengan
menumbuhkan semangat dan motovasi. Perawatan ini merupakan pelayanan
yang aktif dan menyeluruh yang dilakkan oleh satu tim dari berbagai disiplin
ilmu (Nugroho, 2008).
Dalam memberikan perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada
pola dasar yang digariskan oleh WHO, yaitu:
a. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses
yang normal.
b. Tidak mempercepat dan menunda kematian lanjut usia.
c. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menggangu.
d. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
e. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap aktif sampai akhir hayatnya.
38
f. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut
usia.
Pola dasar tersebut harus diterapakan langkah demi llangkah dengan
mengikutsertakan keluargga pasien, pemuka agama 9sesuai agama klien),
relawan, pekerja sosial, dokter, psikolog, ahli gizi, ahli psioterapi, ahli terapi
okupasi, dan perawat. Prinsip pemberian perawatan paliatif adalah memberin
perawatan paripurna kepada klien lanjut usia dengan pengawasan dari tim
profersional (Nugroho, 2008).
2. Tim Perawatan Paliatif
Tim perawatan paliatif tertidiri atas tim terintegrasi, antara lain dokter,
perawat, psikolog, ahli fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan,
dan relawan (Nugroho, 2008).
Perlu diingat bahwa tujuanperawatan paliatif adalah mengurangi beban
penderitaan lanjut usia. Penderitaan terjadi bila ada salaah satu aspek yang
tidak selaras, baik aspek fisik maupun psifik, peran dalam keluarga, masa
depan yang tidak jelas, ganguan kemampuan untuk menolong diri, dan
sebagainya. Untuk memahami dan mengatasi hal tersebut, peran tim
interdisplin menjadi sangat penting/ dominan. DR. Siti Annisa Nuhoni, Sp,
RM dalam makalanya, Konsep Perawatan Paliatif pada Pasien Kanker,
mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai gambaran klinis pasien tidak
hanya gambaran seseorang yang sakit terbaring di tempat tidur, tetapi
merupakan cerminan pasien sebagai individu dengan lingkngannya, keadaan
rumah/ tempat tinggalnya, pekerjaannya, teman, hobi, kesedihan, harapan, dan
ketakutannya (Nugroho, 2008).
Keberhasilan keperawatan paliatif bergantung pada kerja sama yang
efektif dan pendekatan interdisiplin antara dokter, perawat , pekerja sosial
medis, rohaniawan/ pemuka agama, relawan, dan anggota pelayanan lain
sesuai dengan kebutuhan. Setiap anggota tim harus memahami dan
39
menguasai prinsip perawatan paliatif yang selama ini belum dapat dipelajari
dengan seksama. Tim harus mampu mengupayakan dana menjamin agar
pasien lanjut usia mendapat pelayanan perawatan seutuhnya yang
mencangkup bio-psioko-sosial-kultural dan spiritual. Artinya tidak ada
anggota tim yang menjamin primadona. Pemimpin tim dibantu anggotanya
harus berusaha keras untuk mencapai tujuan perawatan (Nugroho, 2008).
Tentu saja kerja tim ini tidak mudah tanpa adanya semangat kebersamaan
dalam member bantuan kepada pasien lanjut usia. Pemberian asuhan
keperawatan pada pasien harus bekerja sama secara professional, ikhlas, dan
dengan hati yang bersiah. Perawatan paliatif untuk lanjut usia bukan suatu
intervensi yang bersifat kritis. Perawatna paliatif adalah perawatan yang
terencana. Walaupun dapat terjadi kondisi kritis dana kedaruratan medis yang
terduga, hal ini dapat diantisispasi, dapat dicegah melalui ikatan kerja tim
yang solid dan kuat (Nugroho, 2008).
Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak berbentuk kerucut,
melainkan lebih berbentuk lingkaran denga pasien sebagai titik sentral. Kunci
keberhasilan kerja inter disiplin bergantung pada tanggung jawab setiap
anggota tim, sesuai dengan kemahiran dan spesialisasinya, sehingga setiap
kali pimpinan berganti, tugas profesi masing-masing tidak akan terganggu.
Keberhasilan keperawatan pada pasien lanjut usia yang satu akan menjadi
pengalaman dan akan meningkatkan kekuatan tim untuk upaya
penaggulangan gejala yang sama pada pasien yang lain (Nugroho, 2008).
No. Kekhususan tim paliatif
1. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cangkupan dan lingkup kerjanya.
2. Para profsional ini bergabung dalam satu kelompok kerja
3. Secara bersama, mereka menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan,
melakukan langkah tujuan pendek
4. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi diantara anggota tim, bergantung
40
pada kondisi yang paling dibutuhkan pada pasien lanjut usia
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien
6. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.
3. Pengalaman dilapangan
Bersumber dari catatan keperawatan pasiean lanjut usia di sasana tresna
werdh yayasan karya bakti RIA pembangunan , diperoleh gambaran bahwa
usia pasien lanjut usia yang dirawat disana antara 60-100 satu tahun. Pada
tahun 2004, mereka berjumlah 90 orang, dengan rincian wanita 71 orang
(78,9%) dan jumlah laki-laki 19 orang (21,1%). Keluhan yang sering
ditemukan adalah kanker payudara 2 orang( 2,2%), kanker digestifus
(karsinoma reaktif) 1 orang (1,1%) dan pria yang menderita kanker paru 1
orang(1,1%) (Nugroho, 2008).
Keluhan dan penderitaan paseian terutama adalah rasa nyeri(4,4%), sesak
nafas dan batuk (3,3%), ganguan pencernaan (1,1%) , ganguan pda kulit atau
luka (2,2%). Dari keseluruhan gejala, petugas, keluarga, dan pasien
menganggap bahwa masalah yang berat untuk dihadapi adalah masalah
perawatan, nyeri, nutrisi, dan masalah rehabilitasi medis. Data tersebut
memperjelas dan mempertajam arah dan sikap yang perlu dilakukan oleh tim
perwatwan paliatif. Kerja sama yang erat antara anggota ti perawatan paliatif
dengan keluarga pasien dirasakan sebagai kebutuhan utama yang paling
mendukungperawatan paliatif (Nugroho, 2008).
Pasien anjut usia dengan penyakit berat,akan mengalami kesulitan
menyesuaikan kondisinya. Masalah berpangkal dari psiko-dinamis pasien dan
gangguan kapasitas dalam bentuk ekspresi kejiwaan. Beberapa kekhususan
pasien usia dalam stadium paliatif :
41
a. Lanjut usia menghadapi kondisi yang penyakitnya tidak dapat
disembuhkan, artinya, terapi yang diberikan hanya bersifat simtomatis
atau paliatif (bukan kuratif).
b. Lanjut usia cenderung mengalami kelemahan dan kerapuhan, baik fisik
maupun mental.
c. Dengan demikian kemungkinan pasien lanjut usia tidak mampu
menghadapi stress fisik dan mental yang timbul dari luar atau dari
lingkungannya.
d. Lanjut usia berada di ambang kematian, yang terutama akan menimbulkan
ketakutan dan kegelisahan, yang sudah tentu perlu mendapat simpati dan
dukungan mental atau spiritual.
e. Bila proses kematian berlangsung lama (memakan waktu panjang), factor
etika dapat menjadi masalah yang harus diatasi.
Dalam uraian tersebut, factor non medis yang menjadi masalah terbesar
petugas/perawat, keluarga, dan kerabat terdekat yang diharapkan dapat
meringankan beban penderitaan lanjut usia. Untuk mewujudkannya, tempat
yang paling tepat bila lanjut usia berada di lingkungan keluarga di rumah.
Namun berdasarkan pengalaman, lajut usia yang mengalamu terminal atau
menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, sering memilih
tempat tinggal di sasana tresna werdh samapai meninggal (Nugroho, 2008).
Pada kondisi tersebut sudah menjadi tugas tim perawatan paliatif untuk
membawa pasien lanjut usia dan keluarga ke realita tentang yang sedang
terjadi pada lanjut usia (penderita kanker). Hal ini memang sulit
membutuhkan waktu dan toleransi yang besar, baik kesabaran maupun
keuletan. Beruntung bahwa pasien paliatif yang dirawat si sanana tresna
werdh mengerti tentang penyakitnya dan mampu menjelaskan kepada
keluarganya tentang kepasrahannya serta mampu member pertimbangan
42
positif dan konstruktif tentang apa yang harus dilakukan oleh keluarga
(Nugroho, 2008).
Ada 4 orag lanjut usia yang di rawat di sasana tresda werdh, dimulai
denga membuat pernyataan tidak keberatan di rawat sasana tresda werdh (stw)
sampai akhir hayatnya. Salah seorang pasien dengan karsinoma reaktif, yang
merupakan keluarga seorang professor doctor konsultan griatri dan
spesialisasi penyakit dalam yang menghendaki untuk merawatnya, tetapi
pasien tetap ingin di STW sampaiakhir hanyatnya. Pasien ini mungkin merasa
aman, nyaman, dan terhubur dengan suasana asuhan yang dilaksanakan oeleh
tim perawatan yang ada. Misalnya, setiap selesai pengajian, semua peserta
pengajian bersama-sama mengadakan doa bersama dihadapan pasien
dipimpin oleh pemuka agama yang diikuti oleh para perawat, pekerja sosiel,
warga lanjut usia, dan anggota lainnya. Pasien akan lebih baik jika dirawat
dilingkungan keluarga dan dirawat oleh tim perawatan paliatif yang
berlangsung teratur dan saling proaktif, terutama melalui komunikasi dengan
telpon, konsultasi keluarga ke rumah sakit, dan kunjungan rumah tim
perawatan (Nugroho, 2008).
Kekhawatiran keluarga umumnya teratasi setelah mereka berkominikasi
dengan dokter, perawat, atau anggota tim lainnya. Ternyata, kepuasana rohani
yang terpelihara dengan baik merupakan perekat dan pemacu untuk mencapai
target kualitas hidup lanjut usia dan anggota keluarga yang dicintainya. Peran
serta keluarga sanagt luas dan menyeluruh, mulai dari perhatian, sapaan,
mengajak bicara menjadi pendengar yang baik merawat bahkan mendukung
pendanaan serta kemungkinan dapat bersosilisasi kembali. Lanjut usia
penderita kanker secara nyata mengalami penderitaan, tetapi keluarga ternyata
dapat lebih menderita dan mengalami kesulitan (Nugroho, 2008).
Tugas tim perawatan tim paliatif sebagai penyeimbang diantara keduanya.
Keluarga pasien ( lanjut usia yang menderita kanker) adalah subjek suasana
43
tegang dan stress, baik fisik maupun secara psikologis, disertai ketakutan dan
kekhawatiran kehilangan orang yang dicintainya. Dari pengamatan yang
dilakukan, diperoleh hasil bahwa sikap/ kebutuhan keluarga adalah:
a. Ingin membantu lanjut usia sepenuhnya.
b. Ingin mendapat informasi tentang kematian.
c. Ingin selaku bersama lanjut usia
d. Ingin mendapat kepastian bahwa pasien tetap nyaman
e. Ingin mendapat informasi tentang perkembangan lanjut usia
f. Ingin melepaskan/ mencurahkan isi hati
g. Ingin medapat dukungan dan pendampingan anggota keluarga/ kerabat
lain
h. Ingin diterima, mendapat bimbingan, dan dukungan dari para petugas
medis/ perawat.
Pengamatan tersebut didukung oleh beberapa pernyataan, meyakinkan
bahwa keluarga menempatkan diri dalam posisi segalanya bagi lanjut usia.
Yang juga perlu diselengarakan adalah menejemen dalam keluarga, untuk
mengatur giliran jaga, dan mengatur pendanaan, memenuhi kebutuhan
fasilitas lanjut usia, dan lain-lain. Pada kenyataannya, lanjut usia dapat diajak
diskusi untuk diminta pertimbangannya dapak positifnya adalah lanjut usia
merasa” dianggap” dan dihargai walaupun fisiknya tidak berdaya (Nugroho,
2008).
Kelelahan fisik dan pisikis pada naggota keluarga sering mengakibatkan
penurunan kualitas pelayanan perawatan di rumah. Bila hal ini terjadi,
sebaiknya untuk sementara waktu lanjut usia “dititipkan” dirumah sakit,
member kesempatan pada keluarga untuk beristirahat. Dukungan pada
keluarga saat masa sulit sangat penting, yaitu:
a. Pada saat perawatan
b. Pada saat menghadapi kematian
44
c. Pada saat kematian
d. Pada saat masa duka
Beban kesulitan dirasa berat bila lanjut usia dirawat. Namun, hal tersebut
akan menimbulkan keseimbangan bila lanjut usia telah meninggal dan adanya
rasa puas karena keluarga telah memberi sesuatu yang paling berharga bagi
lanjut usia, termasuk kehangatan keluarga. Kedekatan dengan lanjut usia akan
tetap berkesan bagi keluarga yang ditinggalkan (Nugroho, 2008).
Hal yang terahir ini terungkap pada saat kunjungan masa duka oleh
anggota tim perawatan paliatif. Silaturahmi dapat berlanjut dalam bentuk
kesediaan keluarga lanjut usia sebagai relawan. Dapat disimpulkan bahwa
perawatan tim paliatif merupakan suatu proses perawatan yang cukup
kompleks. Pendekatan holistik (menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan
mengikutsertakan keluarga lanjut usia akan menyentuh faktor fisik, psikis,
sosial, spiritual, dan budaya pasien. Keberhasilan program tidak dapat dijamin
tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas karya,
dan kualitas perilaku, serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawat/tim perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu
kutipan Dame Cecely Saunders “ You matter because are you, you metter to
the last moment of your life, and we will do all we can, not only to help you
die peacefully, but to live until you die” (Nugroho, 2008).
45
BAB III
Asuhan Keperawatan
Menurut Nugroho (2008), proses asuhan keperawatan pada orang lanjut usia yang
menjelang kematian, antara lain :
A. Pengkajian
Pengkajian ialah tahap pertama proses keperawatan. Sebelum perawat dapat
merencanakan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak ada harapan sembuh,
perawat harus mengindentifikasi dan menetapkan masalah pasien terlebih dahulu.
Oleh karena itu, tahap ini meliputi pengumpulan data, analisis data mengenai
status kesehatan, dan berakhir dengan penegakan diagnosis keperawatan, yaitu
pernyataan tentang masalah pasien yang dapat diintervensi. Tujuan pengkajian
adalah memberi gambaran yang terus-menerus mengenai kesehatan pasien yang
memungkinkan tim perawatan untuk merencanakan asuhan keperawatannya
secara perseorangan.
Pengumpulan data dimulai dengan upaya untuk mengenai pasien dan
keluarganya. Siapa pasien itu dan bagaimana kondisinya akan membahayakan
jiwanya. Rencana pengobatan apa yang telah dilaksanakan? Tindakan apa saja
yang telah diberikan? Adakah bukti mengenai pengetahuannya, prognosisnya, dan
pada tahap proses kematian yang mana pasien berada? Apakah ia menderita rasa
nyeri? Apakah anggota keluarganya mengetahui prognosisnya dan bagaimana
reaksi mereka? Filsafat apa yang dianut oleh pasien dan keluarganya mengenai
hidup dan mati. Pengkajian keadaan, kebutuhan, dan masalah
kesehatan/keperawatan pasien khususnya. Sikap pasien terhadap penyakitnya,
antara lain apakah Pasien tabah terhadap penyakitnya, apakah pasien menyadari
tentang penyakitnya?
1. Perasaan takut. Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang
tidak terkendalikan yang begitu sering diasosiasikan dengan keadaan sakiit
46
terminal, terutama apabila keadaan itu disebabkan oleh penyakit yang ganas.
Perawat harus menggunakan pertimbanggan yang sehat apabila sedang
merawat orang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasien
dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takuut terhadap rasa nyeri,
walaupun secara teori, nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang
rasa nyeri, seperti aspirin, dehidrokodein, dan dektromoramid. Apabila orang
berbicara tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respons mereka
secara tipikal mencangkup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas, takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum
selesai, dan sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan
mengalami kematian tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada
umumnya orang merasa takut dan cemas. Ketakutan dan kecemasan terhadap
kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.
2. Emosi. Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian, antara lain
mencela dan mudah marah.
3. Tanda vital. Perubahan fungsi tubuhh sering kali tercermin pada suhu badan,
denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang
mengaturnya berkaitan satu sama lain. Srtiap perubahan yang berlainan
drngan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi yang penting untuk
mengenali keadaan kesehatan eseorang.
4. Kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal dengan awas waspada,
yang merupakan ekspresi terhadap apa yang dilihat, didengar, dialami, dan
perasaan keseimbanagn, nyeri, suhu, raba, getar, grek, gerak tekan dan sikap,
bersifat adekuat, yaitu tepat dan sesuai ( Mahar Mardjono dan P.Sidharta,
1981).
47
5. Fungsi tubuh. Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ
mempunyai fungsi khusus.
Tingkat kesadaran
1. Komposmentis Sadar sempurna
2. Apatis Tidak ada perasaan/ kesadaran menurun
(masa bodoh)
3. Somnolen Kelelahan (mengentuk berat)
4. Soporus Tidur lelep patologis (tidur pulas)
5. Subkoma Keadaan tidak sadar/hamper koma
6. Koma Keadaan pingsan lama disertai dengan
penurunan daya reaksi (keadaan tidak sadar
walaupun dirangsang dengan apa pun/ tidak
dapatdisadarkan)
B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah masalah aktual/ potensial yang dimiliki
seseorag dalam memenuhi tuntutan atau kegiatan hidup sehari-hari dan yang
berhubungan dengan kesehatan
Table 2 Diagnosis Keperawatan
Data Diagnosis Keperawatan
Status sistem pernapasan
1. Sesak napas
2. Batuk
3. slem
Ganguan pemenuhan kebutahan oksigen
yang berhubungan dengan adanya
penyubatan slem yang ditandai sesak nafas
sistem pembuluh darah
1. Tekanan darah
2. Denyut tubuh
3. Suhu tubuh
Ganguan kenyamana yang berhubungan
dengan batuk, panas tinggi yang ditandai
pasien gelisah.
48
4. Pernapasan
5. Warna wajah
6. kesadaran
Ganguan kesadaran yang berhubungan
dengan dampak patologis dengan
manifestasi apatis/ koma.
Sistem pencernaan
1. Susah menelan
2. Mual, muntah
3. Perih, tidak nafsu makan
4. Diare/ obstipasi
5. Kembung, melena
6. Mules
Perubahan nutrisi sebagai dampak
patologis dengan menampakkan makan
yang disajikan sering tidak habis.
Gangguana keseimbanga cairan dan
elektrolit yang berhubungan dengan
muntah dan diare yang ditandai dengan
turgor jelek, mata cekung, suhu naik.
Gangguan eleminasi alvi yang
berhubungan dengan obstipasi yang
ditandai beberapa hari pasien defekasi.
Sistem perkemihan
1. Bagaimana produksi
urinenya?
2. Beberapa jumlahnya?
Gangguan eliminasi urine yang
berhubungan dengan produksi urinenya,
yang ditandai dengan jumlah urine berapa
cc.
Persendihan dan otot
(pergerakan)
1. Kekakuan sendi dan otot
Keterbatasan pergerakkan yang
berhubungan dengan tirah baring lama
yang ditandai dengan kaku sendi/otot.
Kegiatan sehari-hari
1. Mandi, gosok gigi
2. Ganti pakaian
3. Defekasi dan berkemih
Perubahan dalam merawat diri sendiri
sebagai dampak patologis.
49
mandiri atau bergantung
penuh kepada orang lain
Pola tidur dan istirahat
1. Bagaimna istirahatnya?
2. Tidur malam?
3. Hal-hal yang dirasa
menggangu tidur?
Gangguan psikologis yang berhubungan
dengan perubahan pola seksualaitas yang
ditandai: susah tidur, pucat, murung.
Cemas memikirkan penyakit dan
keluarga yang ada di rumah
Cemas yang berhubungan dengan
mamikirkan penyakitnya dan keluarga.
C. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah langkah kedua dalam proses keperawatan. Termasuk
pentuan apa yang dapat dilakukan perawat terhadap pasien dan pemilihan
intervensi keperawatan yang tepat.
Table 2 Rencana Keperawatan.
DK Tujuan Rencana Intervensi Evaluasi
Gangguan
kebetuhan
oksigen
Kebutuhan
oksigen
terpenuhi
Menciptakan
lingkungan yang
sehat
Menikmati dan
mengkaji keadaan
pernafasan pasien
Membersihkan
slem
Melatih pasien
Kebutuhan oksigen
dapat terpenuhi
50
untuk pernapasan
Gangguan
kenyamanan
Rasa nyaman
terpenuhi
Mengupayakan
penurunan suhu
tubuh
Member obat
sesuai dengan
program
Rasa nyaman
terpenuhi
Perubahan
nutrisi
Kebutuhan
nutrisi terpenuhi
Mempertahankan
pemasukan
makanan yang
cukup
Kebutuhn nutrisi
terpenuhi
Ganguan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
Keseimbangan
cairan dan
elektrolit
terpenuhi
Mempertahankan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
Kebutuhan cairan
dan elektrolit dapat
terpenuhi
Gangguan
eliminasi alvi
Keseimbangan
eliminasi
(defekasi)
terpenuhi
Mempertahankan
kelancaran
defekasi
Kebutuhan
eliminasi (defekasi)
dapat terpenuhi
Gangguan
eliminasi urine
Kebutuhan
eliminasi
(berkemih)
terpenuhi
Mempertahankan
kelancaran
berkemih
Kebutuhan
eliminasi
(berkemih) dapat
terpenuhi
Keterbatasan
pergerakan
Keterbatasan
pergerakan
(sendi dan otot)
terpenuhi
Memenuhi
kebutuhan gerak
(mobilisasi)
Kebutuhan
pergerakan dapat
terpenuhi
51
Perubahan
perawatan diri
Kebutuhan
merawat diri
terpenuhi
Membantu
memenuhi
kebutuhan
merawat diri
Perawaan diri dapat
terpenuhi
Gangguan pola
tidur
Kebutuhan
istirah dan tidur
terpenuhi
Ciptakan interaksi
yang terapeutik,
dengan member
penjelasan kepada
pasien tentang
pentingnya
istirahat terhadap
tubuh
Kebutuhan istirahat
dan tidur dapat
terpenuhi:
Tidak ada
keluhan,
dapat tidur
Ekspresi
bangun tidur
ceria, segar
bugar.
Kecemasan Rasa cemas
hilang/
berkurang
Menciptakan
lingkungan yang
terapeutik
Rasa cemas dapat
hilang/ berkurang
52
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yag tidak bisa disembuhkan lagi.
Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa
peringatan atau mengikuti priode sakit yang panjang . Terkadang kematian
menyerang usia muda tetapi selalu menunggu yang tua.
Perawatan pasien yang akan meninggal tetap harus dilakukan. Perawatan yang
komprehensif tentang orang yang menjelang ajal sangat jarang menuntut lebih
dari manajemen symptom yang hati-hati dan – perhatian terhadap kebutuhan
dasar fisik pasien – secara perorangan – sebagai pribadi — dan keluarganya. Di
samping menangani manajemen symptom, intervensi perawatan paliatif dan
hospis dapat ditujukan untuk menolong seseorang untuk mencapai perasaan beres
dalam dimensi social dan relas antar pribadi, untuk membangun atau
memperdalam perasaan bermakna dan menemukan perasaan keunikan mereka
sendiri dalam makna hidup.
Yang paling mendasar adalah, perawat dapat melayani dengan cara
menghadirkan diri secara penuh. Mungkin kita tidak memiliki jawaban untuk
pertanyaan eksistensial tentang hidup dan kematian lebih daripada orang yang
sedang meninggal. Mungkin kita tidak dapat mengurangi semua perasaan
menyesal dan takut menghadapi ketidaktahuan. Namun, bukan tugas kita untuk
menjawab semua masalah itu. Tugas utama seorang perawat adalah berdiri di
samping pasien, terus menerus menyediakan perawatan fisik dan psikososial yang
diperlukan, sementara itu pasien sendiri berjuang untuk mencari jawabannya.
B. Saran
Hal yang paling diperlukan dalam penanganan pasien dalam fese terminal
adalah pendekatan secara moral, social dan spiritual. Peran utama perawat dalam
53
keadaan ini ditekankan pada kemampuan untuk mempersiapkan pasien secara
utuh dalam menerima keadaanya dan mempersiapkan diri dalam menghadapi
kematian secara damai.
54
Daftar Pustaka
Nugroho, Wahyudi. 2008. Keperwatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC
Padila, 2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jogjakarta : Nuha Medika
Stanley, Mickey dkk. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi II. Jakarta : EGC