21
Tarumanagara Knowledge Centre bergaya dengan karya Mei 2014 grogol 11440

Buklet g11440

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Catatan pendek yang berisi berbagai karya dan kegiatan dadalam Program Grogol 11440, sampai Juni 2014.

Citation preview

Page 1: Buklet g11440

TarumanagaraKnowledge Centre

bergaya dengan karya

Mei 2014

grogol 11440

Page 2: Buklet g11440

2 3

2014

Nafas Kedua oleh Nina Masjhur 19 MaretLomba Bergaya dengan Karya 7 April 2014 – 20 MeiVertikultur 18 AprilPeta Grogol 20 AprilBecak Lukis Indramayu 31 AprilSi Maneki ‘monggo’ Neko 7 Mei Panen Raya Hasil Berkebun dalam Gedung 23 Mei

Rak 800 (Kesusasteraan) TKCGania, Gina (2010) Rahasia Inovasi Steve Jobs, Prinsip Berbeda untuk Melakukan Terobosan. Penerbit Erlangga

Jangan buat rencana kecil;rencana kecil tidak punya sihir

untuk menggolakkan darah manusia.

Daniel Hudson BurnhamArsitek

Page 3: Buklet g11440

4 5

Sejak pertengahan 2013 program aktivasi Tarumanaga Knowledge Centre diper-siapkan. Sedikit soal pemetaan masalah, agak panjang berdiskusi soal berbagai kemungkinan kegiatan dan pihak yang akan dilibatkan, sampai beberapa uji coba mekanisme kerja dilakukan.

pada akhirnya, di Februari 2014, Program Injeksi Visual dimulai. Program ini bertujuan untuk mendorong munculnya enerji baru, segar, dan bermanfaat melalui berbagai visual yang ditampilkan dalam ruang-ruang TKC. Di samping menghadirkan berbagai karya visual, kegiatan-kegiatan yang memberi konteks, cerita, bagi karya - merupakan suprastruktur yang wajib ada, dianggap penting untuk dilakukan.

Proses instalasi 319 bangau origami karya Nina Masjhur ‘menghangatkan’ ru-ang perpustakaan di gedung utama Tarumanagara yang dingin dan biasa senyap itu. Banyak pihak hadir dan menyaksikan. Akademisi dan publik yang diundang merasakan gairah yang sederhana dan jarang ada. Karya berjudul Nafas Kedua itu tergantung di void setinggi empat lantai, seakan memberi tanda bahwa TKC serius untuk hadir dan menjadi berguna bagi akademisi Universitas Tarumanaga-ra dan publik.

Kemudian empat instalasi cocok tanam tanpa tanah, hidroponik, dibangun di empat titik di lantai enam dan tujuh Gedung Utama Tarumanagara. Selain ber-tujuan untuk menyatakan otentisitas ilmu pengetahuan yang disodorkan oleh sebuah perpustakaan, instalasi ini dapat menggantikan ornamen ruang berupa tanaman plastik yang sebelumnya ada. Dengan menghadirkan metode cocok tanam sederhana di dalam gedung ini, diharapkan banyak pihak mulai berpikir untuk memproduksi bahan makanannya sendiri. Wadah dan pipa instalasi dib-ungkus oleh mantel -mantel yang dirajut dengan tangan dari benang warna-war-ni, demi menghadirkan suasana hangat dan manusiawi.

Banyak lagi karya visual yang hadir di ruang-ruang TKC. Gagasannya sederhana saja. Mengaktifkan perpustakaan di gedung utama Tarumanagara, yang memi-liki berbagai fasilitas itu, menjadi ruang yang membolehkan hal-hal sederhana menjadi luar biasa. Seperti yang banyak dari kita percaya, bahwa kita hanya bisa bergaya dengan karya.

sedikit latar belakang

Page 4: Buklet g11440

6 7

Bangau OrigamiNina Masjhur: Nafas Kedua319 bangau kertas tergantung di dela-pan utas benang di void perpustakaan Tarumanaga Knowledge Centre.

Bangau-bangau yang dilipat dari ker-tas bekas itu merupakan karya ori-gami Nina Masjhur yang berjudul Nafas Kedua. Digantung daru satu titik, menjulur setinggi lima lantai. Kadang-kadang, bangau-bangau itu bergerak sedikit, berputar bebas di delapan ujung dari empat bilah kayu yang diikat pada satu poros, menga-nalogikan delapan arah mata angin.

Kertas-kertas bekas yang digunakan, masing-masing memiliki pesan di da-lamnya. Ada berita selebritis, agenda

acara, sampai aktifitas akhir minggu khas kegiatan kaum urban. Berbagai konteks, lingkup kehidupan, terlipat secara berulang di dalam bangau-ban-gau itu. Kehidupan adalah pengulan-gan. Kita dapat belajar dari apa yang pernah terjadi dan dari apapun yang ada di sekitar kita. Ini adalah karya se-derhana yang akan memantik inspirasi saudara-saudari.

Lulusan dalam bidang studi arkeolo-gi yang lalu bekerja di bidang-bidang yang sama sekali berbeda. Begitu lulus kuliah, ia bergabung dengan sebuah ekspedisi asal Inggris di Pulau Seram. Disusul dengan bekerja sebagai periset mengenai bahan-bahan pewarna alami di sebuah butik sutra.

Selanjutnya, ia menjadi penulis lepas dengan fokus utama fotografi, dan sedikit-sedikit terlibat dalam penye-lenggaraan pameran senirupa dan fotografi. Bidang lain yang kemudian ditekuninya adalah dunia produksi film termasuk untuk iklan. Berkem-bang menjadi fixer (koordinator lokal/produser pelaksana) dan/atau periset untuk para film-maker dokumenter asing dan dan wartawan televisi asing.

Kini, penyuka kucing ini, masih suka menulis tentang hal-hal yang menjadi minat pribadinya. Dan asyik berkec-impung dalam dunia penerbitan buku-buku coffee-table tentang kebudayaan Indonesia. Sambil mengembangkan hobi lamanya dalam dunia kekriyaan yang menjadi nafas ke-duanya.

Foto: Reda Gaudiamo

Page 5: Buklet g11440

8 9

Instalasi HidroponikEmpat instalasi hidroponik di lan-tai enam dan tujuh Tarumanagara Knowledge Centre menjadi elemen visual yang mengugah rasa. Lam-pu-lampu LED berwarna ungu, yang selain berguna bagi proses fotosintesa tanaman yang tumbuh di bawahnya, mereka diharapkan dapat membangun suasana nyaman, romantis, memantik inspirasi bagi para pengunjung per-pustakaan demi menghasilkan karya-karya bermutu.

Hidroponik adalah teknik bercocok tanam yang hanya menggunakan un-sur air. Metode tanam tanpa tanah ini perlu didorong khususnya di kota-ko-ta besar seperti Jakarta, di mana ruang tanam makin sempit.

Adalah Agus, Roni, dan Iyeng tiga pemeran utama dalam pembangunan kebun hidroponik di dalam Gedung Utama Tarumanagara. Mereka ter-gabung dalam Kebun Sayur, sebuah usaha yang bergerak di bidang horti-kultura, yang memproduksi berbagai jenis sayur-mayur dengan metode hi-droponik.

Sayuran yang dihasilkan dapat ditemu-kan dalam menu sallad dan lalapan, di banyak restoran terkemuka di Jakar-ta. Selada kubis (butterhead), selada Cos Romaine, yang biasa berada da-lam menu Caesar Sallad, selada kepala (iceberg), daun selada (leaf letuce), oakleaf lettuce, dan endive, yang biasa ada pada pizza).

Page 6: Buklet g11440

10 11

Kamu di manaa?Potongan peta Jakarta Barat seukuran hampir 19 meter persegi disandarkan pada sebidang tembok dalam per-pustakaan Tarumanagara Knowledge Centre lantai 8. Karya visual Robowo ini menampilkan ekspresi urban se-cara tradisional. Ia menampilkan peta Grogol, yang di zaman sekarang dapat dengan segera dilihat di media dijital, dengan menggunakan media cat dan papan berurat kayu. Metode meng-gambar secara manual menitipkan rasa manusia dalam karya ini. Ketidak sem-purnaan garis yang ditarik, menyodor-kan suasana hangat, tidak mekanik yang dingin.

Sebagai lokasi yang dikenal strategis di Jakarta Barat dan memiliki fasilitas lengkap (rumah sakit jiwa, terminal bus, kampus, sampi supermall yang terang benderang jadi landmark daer-ah ini), Grogol juga dikenal sebagai daerah yang cukup padat baik dari segi kemacetan dan penduduk.

Berandai-andai saja kalau kita bisa menandai daerah mana saja yang per-nah kita singgahi, sebagai sebuah pen-anda memori visual tentang kejadian yang pernah kita alami di sekitar gro-gol sebagai interaksi positif menang-gapi tentang kondisi lingkungan seki-tar kita”, ujar Robowobo.

Robowobo adalah nama ‘gaul’ RM. Herwibowo. Kelahiran Jakarta, 1982, lulusan seni rupa Universitas Negeri Jakarta ini adalah seorang urban art-ist yang banyak ‘mengintervensi’ ru-ang-ruang publik Jakarta.

Di 2006, bersama teman-temannya, Robowo mendirikan Komunitas Ser-rum (share-room). Kini ia adalah ma-najer program seni publik Serrum. Karya Robowobo banyak muncul melalui di tembok-tembok di ber-bagai sudut Kota Jakarta, merefleksi pengalaman warga. Dalam berkarya Robowobo banyak bereksperimentasi dengan berbagai medium, antara lain: seni grafis dan air-brush.

Page 7: Buklet g11440

12 13

Verikultur Ketika banyak hal yang kita lihat memanjang secara horizontal, perlu adanya benda yang tegak berdiri se-cara vertikal. Secara visual, ini menjaga keharmonisan sebuah komposisi.

Dua buah instalasi vertikultur ditem-patkan di Executive Lounge Taru-managara Knowledge Centre.

Yeye dan Alan adalah dua pemeran utama dalam pembangunan kebun hidroponik sistem vertikal, biasanya disebut sebagai sistem vertikultur. Metode Vertikultur merupakan cara bertanam yang dilakukan dengan me-nempatkan media tanam dalam wa-dah-wadah yang disusun secara verti-kal, dan mengaliri setiap wadah yang

diisi benih itu dengan larutan nutrisi. Penanaman dengan metode vertikul-tur ini merupakan alternatif bagi mas-yarakat yang tinggal di kota, di mana lahan kian menyempit.

Jenis-jenis tanaman yang dibudiday-akan biasanya adalah tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, berumur pendek, dan/atau tanaman tanpa ter-gantung pada musim. Sayuran seperti seledri, caisim, pack-choy, baby-kailan, dan selada adalah jenis sayuran yang tepat ditanam dengan metode ini.

Page 8: Buklet g11440

14 15

Beca BacaKarya lukis pak Suminta setia meng-hias becak-becak yang aktif lalu lalang di kawasan Jakarta Utara. Warna-war-ni yang meriah dalam berbagai bentuk abstrak yang organik yang khas Dae-rah Indramayu, memberi karakter pada alat transportasi yang konon su-dah dihapuskan sejak terbitnya Pera-turan Daerah Nomor 11 tahun 1998.

Isu transportasi kota tak pernah tert-inggal untuk dibahas. Apalagi di Kota Jakarta yang kondisi jalannya macet secara berkelanjutan. Persoalan moda dan para pihak yang hidup di dalam isu transportasi itu yang sering ter-lupakan. Berbagai moda baru ber-munculan - konon untuk perbaikan. Warga kota dibiasakan dengan benda

baru yang kelimis untuk jangka waktu relatif pendek. Oleh pemerintah kota, masyarakat (dan juga pengelola jasa transportasi kota) tidak dibiasakan un-tuk memelihara, apalagi bangga den-gan apa yang dimiliki. Alhasil, moda transportasi ‘lawas’ dianggap tidak lagi berguna, dan perlu dicarikan peng-ganti. Hal ini seakan menjadi metode praktis dan sistematis yang men-dorong proses pelupaan, menghapus cerita, menghilangkan akar budaya kota.

Jhons Patriatik Karlah, warga Jakarta asal Bumi Ayu, Jawa tengah, mengajak Suminta, asal Cirebon, untuk bergaya dengan karya dalam lukisan becak. Tepatnya dua becak, ditempatkan di

tengah ruang-ruang Tarumanagara Knowledge Centre. Satu becak yang dulu berfungsi untuk mengantar pen-umpang, dilengkapi meja belajar beru-pa papan kayu yang dilukis ornamen berwarna merah khas Indramayu. Meja itu ditopang oleh dua besi behel, dibuat sesuai dengan rangka becak dan dapat dibuka-tutup, agar penggu-na barunya dapat mudah mengakses kursi. Satunya lagi becak gerobak yang sebelumnya mengantar barang-barang dari Pasar Teluk Gong ke toko-toko di sekitarnya, maupun ke tempat-tempat sejauh Tangerang. Becak gerobak ini dilengkapi kasur kuning menyala dan bantal, membuat pengguna barunya dapat membaca di dalamnya dengan santai

Page 9: Buklet g11440

16 17

Mantel Rajut HidroponikWarna-warni benang yang dirajut den-gan tangan memeluk setiap wadah dan pipa instalasi hidroponik dalam perpustakaan Tarumanagara Knowl-edge Centre. Ekspresi dari warna yang dihasilkan meneriakkan pesan-pesan yang hangat dan menarik perhatian.

Adalah Ati, Puja, Chandan, Nyoman, Tata, dan Lisa, enam pemeran penting dalam hal rajut-merajut mantel yang dipasangkan pada instalasi hidropon-ik dan vertikultur di Tarumanagara Knowledge Centre.

Di zaman yang semakin canggih dan serba cepat ini, orang kota pada um-umnya, dan banyak anak-anak seko-lah, telah meninggalkan kesenangan dan kecanggihan mengerjakan kera-jinan tangan. Ratusan meter benang berwarna warni digunakan untuk ma-tel hidroponik dengan harapan banyak yang terusik untuk mulai juga untuk berkarya, seperti halnya nam orang ini yang berkarya, merajut dengan hati.

Page 10: Buklet g11440

18 19

Kolaborasi Tiga Fakultas Universitas TarumanagaraGula aren ini adalah produk kolabora-si yang difasilitasi oleh Lembaga Peng-abdian kepada Masyarakat dan Ventu-ra Universitas Tarumanagara. Fakultas Teknik Mesin mefasilitasi dengan per-ancangan dan pembuatan mesin peng-giling dan tungku, Fakultas Ekonomi dengan pembentukan koperasi petani, dan Faultas Senirupa dan Desain mer-ancang kemasan produk handal ini.

Bintang Tamu Bintang Tamu

Pengembangan Produk Gula Aren pada Petani Gula Aren di Kopera-si Arridho di Kanagarian Simpang Tonang Jorong Air Dingin, Kabupat-en Pasaman Timur, Padang.

Kegiatan PKM Untar ini memberikan manfaat kepada petani gula aren Pas-aman berupa ketrampilan dan penge-tahuan dalam mengolah kemasan gula aren secara professional.

Keterampilan tersebut sangat berguna dalam menunjang kegiatan produksi gula aren di daerah Jorong Air Dingin. Kapasitas produksi saat ini 10 kilo-gram per hari gula aren. Selanjutnya jika produksi gula aren ini terus-me-nerus meningkat dan ditunjang oleh

promosi yang baik maka tidak berlebi-han jika suatu saat nanti Gula Aren Pasaman akan menjadi produk ciri khas Jorong Air Dingin dan menjadi komoditas andalan kecamatan Duo Koto khususnya, dan Pasaman Timur pada umumnya.

Page 11: Buklet g11440

20 21

SaladaHidroponikaSetelah memperkenalkan cara berco-cok tanam hidroponik yang mudah dilakukan, selanjutnya dibutuhkan cara membuat sajian yang mudah dib-uat. Itu sebab ada Kiki di sini.

Kiki, begitulah panggilan akrab Yehezkiel Christandy adalah koki muda Tarumanagara Knowledge Cen-tre (TKC). Ia menyajikan Salad Cup, Canape, dan Egg Roll yang sedap un-tuk disantap dan menarik pula untuk dilihat. Kiki adalah mahasiswa perho-telan yang pernah ikut acara Cooking Demo dari Kraft Singles dan magang di Club Med Bintan Island.

Video: Antara dokumen-tasi dan publikasiDokumentasi menjadi aspek penting dalam publikasi. Konon tidak ada publikasi yang baik tanpa materi refe-rensi yang bergizi.

Ratusan jam rekaman video oleh Yo-vista Ahtajida dan Dyantini Adeline membantu Program G11440 untuk belajar dari apa yang terekam, dan mudah menyampaikan pesan dalam format audio-visual. Karya kelompok the Youngrrr telah berkelana jauh sampai ke serbia, India, Portugal, dan Spanyol.

Kopi TeladanUntuk menemani hidangan berserat ‘tingkat tinggi’, per-lu adanya minuman khas Nusantara. Kopi Teladan nama kopi yang dibangun atas kerjasama penuh tantangan oleh tim Grogol 11440 dan dua Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanagara yang mempelajari kopi secara otodidak.

Nama Kopi Teladan dipilih untuk lebih mengedepankan Bahasa Indonesia, sambil memperkenalkan berbagai kopi asal Nusantara

Sebuah frase sederhana: “ Yang tidak cerdas pun dapat menjadi teladan”, dijadikan moto Kopi Teladan. Ketelad-anan yang mengutamakan rasa dan etika, tidak semata-mata kecerdasan. Toh, ada yang bilang: Kecerdasan tanpa etika tidaklah elok, bukan?

Kanal Publikasi DijitalBanyak saluran publikasi yang digu-nakan oleh G11440. Mulai dari situs internet, facebook, twitter, sampai pengiriman newsletter minggu secara dijital. Tampilan ‘bersih’ (straight-for-ward) cenderung ‘sederhana’ (simple) mendorong penyampaian pesan lebih mudah, efisien, dan efektif.

Fauzi Raisyuli dan Arisyi Zimah ada-lah perancang grafis dan programmer situs G11440 di internet. Berbagai informasi dikelompokkan untuk kemudian komponen-komponen grafis dirancang dan diprogram sedemikian rupa untuk memudahkan penyampaian dan penyerapan.

Page 12: Buklet g11440

22 23

Grogol: 1980, 11440 dan Paranoia Masa Depan

Yuka Dian Narendra

Pertanian Dalam Memori

Cita-cita menjadi seorang insinyur pertanian pernah sekali hinggap di benak

saya. Pada saat itu mungkin saya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.

Entah apa yang membuat saya membayangkan masa depan saya seperti itu saya

tidak tahu. Pengaruh televisi? Pastinya. Tidakkah di masa itu semua anak seusia

saya mengalami paparan media televisi satu-satunya di Indonesia, yaitu Televisi

Republik Indonesia (TVRI)? Oleh karena tidak adanya pilihan, maka acara sep-

erti”Ria Jenaka,” “Dari Desa ke Desa” hingga siaran berita menjadi konsumsi

media sehari-hari setelah film-film kartun jam empat sore. Sekadar nostalgia,

“Dari Desa ke Desa” adalah program televisi tentang pertanian dengan segala

seluk-beluknya. Dari program inilah saya mengenal istilah Koperasi Unit Desa

(KUD), intensifikasi pertanian, padi Gogo dan banyak lagi. Dalam acara ini

jugalah Suharto – presiden Republik Indonesia pada saat itu – tampil dengan

penuh percaya diri sebagai “selebriti pertanian.” Sejalan dengan strategi politik

swasembada pangan ala rezim Orde Baru itulah narasi pertanian, harus diakui,

menjadikan profesi petani terlihat “seksi” bagi anak-anak seusia saya. Masih ter-

ekam dalam ingatan ada beberapa teman sekelas yang juga bercita-cita menjadi

insinyur pertanian, “petani” dalam narasi modernisme. Waktu itu adalah masa

awal dekade delapanpuluhan.

Page 13: Buklet g11440

24 25

Di masa itu pula narasi “desa” dan “kota” diposisikan sedemikian rupa dalam kontrasitas yang tinggi. Desa dieksotisasi sedemikian rupa sebagai representasi dari tradisionalitas, asal-usul bangsa dan juga masa lalu. Seo-lah seluruh warga bangsa ini memang berasal dari desa, gambaran tentang desa indah permai terkonstruksi se-bagai imaji kolektif generasi saya ten-tang zona nyaman tanpa perubahan. Representasi ini di lain pihak juga menarasikan geografi kultural Indo-nesia tentang ketahanan pangan. Desa diposisikan sebagai tulang punggung pertanian dan sumber pangan bangsa Indonesia. Dalam narasi seperti ini, meski terglorifikasi sebagai pengger-ak ketahanan pangan nasional, petani terlokasikan di desa. Sadar atau tidak, disengaja atau tidak, narasi versi Orde Baru tentang desa kemudian memb-ingkai petani sebagai sosok yang tra-disional dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. Orde Baru sendiri telah mengondisikan ima-ji petani sebagai sosok yang “kalah” bertarung melawan perubahan jaman. Setidaknya, petani terkondisikan un-tuk gagal sejak awal ketika program “glorifikasi” petani di televisi nasion-al – satu-satunya di masa itu – sebagai bentuk kontrol sekaligus represi neg-ara terhadap isu pangan. Saya terin-gat akan tuturan seorang teman yang aktif bergerak di lembaga swadaya masyarakat dalam bidang pertanian.

Menurutnya, seberapapun hebat ino-vasi yang berhasil diupayakan petani, bibit tanaman produktif pokok – seperti padi – tetap menjadi domain negara. Tidak diperkenankan inovasi apapun terkait dengan bibit. Menga-pa harus dikontrol seketat itu, tanya saya. Kemandirian pangan, memang isu sensitif yang berkaitan dengan ke-bijakan negara, karena jika rakyat lapar maka singa-singa di dalam perut mere-ka akan mengaum keras dan berujung pada revolusi. Bibit menjadi satu-sat-unya senjata negara untuk mengontrol singa-singa lapar tadi, itu asumsi saya.

Sewaktu masih duduk di kelas satu sekolah dasar, masih ingat betul, saya membaca tajuk utama sebuah harian sore, berbunyi “Tahun 2000 Sudah Tidak Ada Lahan Laik Tani.” Saya bertanya pada ibu apa maksudnya. Ibu menjelaskan sekenanya bahwa di ta-hun 2000 semua telah berubah menja-di kota dan tidak ada lagi sawah. Selang lebih tiga puluh tahun “ramalan” tajuk tersebut seakan terbukti. ketika pem-bantu rumah tangga saya tahun lalu mengundurkan diri setelah mendapa-tkan warisan dua petak sawah di kam-pung halamannya. Namun ia tidak berencana menjadi petani. Sawahnya yang terletak di tepi jalan utama desa hendak ia uruk, kemudian memba-ngun kompleks ruko di atas bekas sawah tersebut. “Sudah ada rekanan yang menawarkan kerjasama, demiki-

an menurutnya. Bila perlu, ia dan rekan bisnisnya ingin membuka bisnis waralaba mini market yang marak di ibukota. Belajar dari Jakarta, ia mera-sa menemukan jalan untuk mengubah nasibnya dengan meminjam metode ekonomi kota. Masa depan justru menantang kita dengan berbagai per-soalan konkret yang sejak lama kita tanam benihnya. Ketahanan pangan, perubahan iklim dan kerusakan alam adalah tema-tema besar yang mengh-adang siapapun kita. Tiba-tiba dikoto-mi “desa – kota” yang dahulu terasa memuakkan kini berbuah penyesalan, ketika pertentangan tersebut runtuh bukan karena lahan pertanian habis tergerus oleh arus kapital ekonomi dari kota. Modernisasi yang berupaya mengubah pola pikir tradisional – yang dituding terbelakang itu – ber-hasil mengubah warga desa berpikir layaknya orang kota dan mengubah desanya menjadi kota. Dalam kasus seperti inilah petani meniadakan ket-erpinggirannya.

Negara Indonesia adalah negara agrar-is yang masyarakatnya dahulu hidup dari pertanian, adalah salah satu narasi yang disuntikkan melalui pelajaran se-kolah, terutama sekolah dasar. Diko-tomi “desa” dan “kota” dipertajam dengan tema bacaan “Berlibur ke ru-mah nenek di desa” dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Saya ingat sewak-tu masih di sekolah dasar, saya ber-

sitegang dengan guru yang memaksa membuat karangan bertema seperti itu. Nenek tinggal di desa, demikian pula petani. Maka menjadi masuk akal bila dalam tataran pemaknaan, nenek dan petani berada dalam posisi yang setara. Posisi yang melambangkan tra-disionalitas dalam perangkap masa lalu yang jauh dari kemutakiran peradaban. Lebih jauh lagi, “kampungan.” Lalu bagaimana mungkin kita melancarkan strategi menghadapi ketahanan pan-gan di masa depan, jika garda depan-nya ditempatkan dalam oposisi biner terhadap generasi muda? Saya ingat, semenjak bermain dengan stereo-set, memutar vinyl dan kaset menjadi kegemaran saya setiap hari sepulang sekolah, imaji petani perlahan memu-dar dari benak saya. Pertanian menja-di dunia yang tampak membosankan. Sawah dan padi, apalagi sapi, menjadi narasi yang justru saya lawan karena bertentangan dengan imaji dunia baru, yaitu dunia yang saya temukan melalui budaya populer. Mendengarkan musik Rush sambil menikmati novel-novel fiksi ilmiah karya Victor Appleton atau Isaac Asimov mengonstruksi narasi baru bagi saya dunia masa depan. Bah-kan film Star Wars seperti memberi gambaran konkret akan dunia seperti apa kelak di masa depan. Dunia yang dipenuhi dengan narasi teknologi, pet-ualangan inter-galaktik dan dinami-ka jagad raya. Sejak itu, saya menjadi terobsesi dengan masa depan: gamba-

Page 14: Buklet g11440

26

ran tentang dunia ultra-modern yang cerah dan penuh tantangan. Tidak pernah terbesit sekalipun dalam benak saya untuk menjadi orang sukses, kaya ataupun tenar. Berada di masa depan dalam narasi inter-galaktik bagi saya sudah cukup. Namun gambaran masa depan seperti itu tidak saya temukan dalam keseharian kini. Sebaliknya, da-lam model narasi yang sama, kini saya justru menemukan betapa mengeri-kannya masa depan saya dan seluruh umat manusia kelak.

“Revolt Through Sudden Respati-alization”

Jika terasa sulit untuk membayangkan “seluruh umat manusia,” maka perke-cil saja skalanya menjadi “Jakarta,” ibukota Indonesia. Pada masa akhir dekade tujuhpuluhan dan awal delapa-npuluhan, setiap tanggal 1 Suro (tahun baru Jawa) saya selalu ikut ibu saya pergi ke Grogol, Jakarta Barat, untuk memandikan keris warisan eyang putri dan eyang kakung saya. Ibu saya tetap melakukan hal ini, bukan karena ia seorang penganut Kejawen, melainkan semata-mata untuk merawat pening-galan orangtuanya. Setidaknya, itulah yang ibu katakan pada saya yang ma-sih berusia tujuh tahunan saat itu. Saya sendiri selalu menikmati perjalanan ke Grogol karena di masa itu, pohon-po-hon besar rimbun tumbuh berjejer sepanjang jalan dari Semanggi, Slipi

hingga perempatan Grogol – Univer-sitas Trisakti. Pohon-pohon sepanjang tepi jalan itu demikian rimbunnya hingga cahaya matahari seakan sulit menembus. Setiap kali memasuki ka-wasan tersebut, saya selalu berkhayal berada dalam ekspedisi menembus hutan belantara di sebuah planet as-ing. Khayalan itu sontak bubar ketika jalan tol dalam kota dibangun sepan-jang kawasan tersebut dan mewariskan kegersangan di bawah teriknya ma-tahari, hiruk-pikuk kota dan kepadatan lalu lintas. Kontras dengan kenangan masa kecil saya tentang Grogol tem-pat di mana cahaya matahari sulit ma-suk. Jangankan pohon, tanaman pun sulit. Kini Grogol menjadi salah satu area di kawasan ibukota yang – seo-lah – tidak dirancang untuk kehidupan apapun selain kehidupan bisnis. Inter-aksi manusia digantikan oleh transak-si perdagangan semata. Jika hendak bepergian menuju Grogol dari arah Semanggi – entah disengaja atau tidak – tampak empat pusat perbelanjaan hiper-modern berjejer di sisi kiri jalan: Slipi Jaya (Slipi), Mall Taman Anggrek (perempatan Slipi – Tomang), Central Park (persis bersebelahan dengan Mall Taman Anggrek), Citraland (bersebe-lahan dengan Universitas Tarumaneg-ara dan Trisakti) hingga Season’s City (dekat Jelambar). Superblok, aparte-men, gedung perkantoran dan bangu-nan universitas tumbuh saling-silang disisipi oleh lapak dan gerobak peda-

gang kaki lima. Grogol kini hanyalah urban-after-all.

Lengkaplah sudah, hilangnya imaji tentang pertanian dalam narasi budaya populer serta “rimba belantara plan-et alien” di Grogol. Pudarnya fantasi masa depan inter-galaktik dalam benak saya oleh kemajuan pembangunan di satu sisi tampak paradoksal. Secara pragmatik bukankah kondisi konk-ret Grogol yang saya “gerundelkan” itu merupakan konsekuensi logis dari kemajuan peradaban? Grogol sebe-narnya telah berhasil menjadi kawasan hiper-modern seperti di film-film fiksi ilmiah. Area urban yang kontras an-tara hiruk-pikuk manusia di “bawah” terik matahari maupun di luar gedung, dengan mereka yang berada di dalam batas kenyamanan semu (gedung ber-AC). Mungkin saja. Akan tetapi sang-gahan saya, perubahan drastis dari lansekap Grogol itu hanyalah efek dari pertumbuhan ekonomi, bukan karena perkembangan ilmu pengeta-huan dan teknologi seperti yang saya bayangkan. Atau, perkembangan ilmu pengetahuan ternyata bergerak mengi-kuti vektor yang berbeda, yaitu vektor kapital ekonomi yang terakumulasi (kapitalisme). Ternyata hanya benak kanak-kanak sayalah yang hingga kini masih belum dapat menerima peruba-

han itu – tentu saja – tidak memper-hitungkan faktor kapitalisme. “Jangan kapitalismenya terus dong yang dis-alahkan…” Demikian komentar seo-rang teman pada saya dalam sebuah obrolan – yang berubah menjadi de-bat – beberapa tahun lalu, ketika kami sedang membahas bagaimana peruba-han makna yang diberikan oleh mas-yarakat Jakarta terhadap kehidupannya sendiri. Bagi saya pernyataan tersebut – meski terdengar bodoh dan tidak intelek – harus diakui, jujur. Jika kita kembali kepada persoalan perubahan lansekap Grogol yang telah menjadi urban-after-all tadi, maka pertanyaan besar yang seharusnya dikedepankan adalah, bagaimana menyiasati urbani-tas Grogol agar masyarakat yang ting-gal ataupun beraktivitas dalam ruang urban tersebut dapat menyadari bah-wa realitas sehari-hari mereka yang ba-nal itu sebenarnya dapat diubah secara radikal. Dalam konteks inilah, kata kunci “pertanian” yang saya uraikan sebelumnya pada bagian awal tulisan ini menjadi penting. Mari kita per-temukan narasi kontemporer Grogol urban itu dengan “pertanian,” melalui gagasan “Revolt Through Sudden Respatialization” (Levebfre 1991) se-bagai metodenya.

Page 15: Buklet g11440

29

Menurut sosiolog Prancis Henri Le-febvre, setiap warga berhak atas kota yang menjadi ruang tinggalnya.1 Spa-sialisasi dominan yang terjadi di ru-ang kota akibat runtuhnya kota ke dalam abstraksi ekonomi yang terlalu dominan berdampak pada peming-giran warga kota itu sendiri. Padahal warga kota adalah motor penggerak abstraksi ekonomi tersebut ke dalam putaran ekonomi yang paling konkret. Peminggiran warga kota menjelaskan kondisi ketika manusia tergerus oleh wacana yang dikonstruksinya sendiri dan termakan oleh gagasan besar ten-tang kesejahteraan. Kota dalam hal ini menjadi representasi dari kesejahter-aan itu. Dalam narasi kebudayaan (karya sastra maupun film, misalnya) kota kerap menjadi representasi dari kemakmuran dan kesejahteraan ala ka-pitalisme. “Kejamnya ibu tiri tak seke-jam ibukota” adalah sebuah judul film karya sutradara Imam Tantowi tahun 1981,2 bercerita tentang kisah seorang pemuda (diperankan oleh Ateng, idola saya waktu kecil) yang mengadu nasib ke Jakarta. Tidak tahan hidup sengsara dengan ibu tirinya yang kejam di kam-pung, ia berangkat ke kota, tanpa ket-rampilan dan juga pengalaman. Sing-katnya film tersebut menggambarkan

bahwa hidup di ibukota jauh lebih menderita.

Film tersebut merupakan kritik subtil terhadap gemuruh kota sebagai rep-resentasi dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang masif dan sentralistik dengan sendirinya menjadikan segala aspek kehidupan di Jakarta runtuh ke dalam nara-si ekonomi: yang kuat bertahan dan yang kalah terpinggirkan. Ateng ada-lah contoh kelompok yang terping-girkan karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan deru perubahan Jakarta, seperti jutaan orang lainnya kini. Meski demikian, Jakarta hingga kini tetap menarik bagi banyak orang karena sebagai ibukota, Jakarta menja-di pusat dari segala wacana ekonomi dan politik negeri ini. Jakarta adalah representasi dari Indonesia, baik di mata warga negaranya sendiri mau-pun masyarakat internasional. Sebagai bagian dari Jakarta, Grogol menja-di salah satu dari arena pertarungan nasib tersebut. Entah berapa banyak “Ateng lain” terperangkap dalam be-lantara beton Grogol dan terpaksa bertarung hidup di situ. Persoalannya, Grogol tidak seinternasional itu untuk dapat diapresiasi. Ia tidak gemerlap

seperti Sudirman – Thamrin tempat berpusarnya arus invetasi internasi-onal. Tidak juga dipenuhi superblok cantik seperti kawasan Kasablanka yang hendak disulap sedemikian rupa agar setara dengan kawasan Orchard, Singapura. Apalagi mewah seperti Menteng dan Kebayoran Baru. Dalam situasi tersebut, peluang hidup lebih baik macam apa yang dapat diraih oleh warga Grogol? Sebelum menjawab itu, saya ingin menempatkan warga Gro-gol dalam narasi seperti berikut ini.

Ruang Kota dan MimpiKemandirian

Enambelas tahun lalu Jakarta lumpuh akibat kerusuhan sosial dan Grogol adalah kawasan yang mengalami ker-usakan cukup parah. Sehari sebelum-nya, peristiwa penembakan terhadap mahasiswa terjadi di kawasan ini. Toko dan pusat perbelanjaan yang sebelumnya menopang kenyamanan hidup warga kota habis dijarah dan dibakar. Jangankan arus uang dan ba-

rang, mobilitas manusia pun terhenti sejenak selama beberapa hari. Dapat kita bayangkan apabila keterputusan tersebut – oleh alasan apapun – ber-langsung lebih dari satu bulan, atau bahkan satu tahun lamanya. Bayang-kan sekitar dua belas juta warga Jakar-ta yang tidak dapat mengakses sumber makanan karena mesin besar kapital-isme gagal menyediakannya. Bayang-kan jutaan manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan sendiri karena terbiasa disediakan oleh sistem ekonomi kapitalistik. Bukan lantaran tidak mampu secara finansial melaink-an karena kota tidak lagi memiliki daya dukung yang cukup untuk menopang kelangsungan hidup warga, terlebih urusan bahan pangan. Menyalahkan spasialisasi dominan yang terlanjur terjadi sudah percuma karena tidak mungkin kita mengembalikan Jakarta (Grogol, dalam konteks ini) kembali rimbun oleh pepohonan dan setiap jengkal menjadi area hijau. Dalam ab-straksi ekonomi, pepohonan di ruang kota tidak dapat dikonversi ke dalam narasi kuantitatif ekonometri.

3 “… the right to the city revolves so strongly around the production of urban space, the sca-lar arrangement of participation it implies would be profoundly more complex, overlapping, and malleable than the current structure. Lefebvre argues that inhabitants have the right to partici-pate centrally in the decisions that produce urban space. Those decisions operate at a range of different scales in a range of different territories.” (Purcell 2002, dalam GeoJournal 58: 99–108.

4 Ungkapan Lefebvre tentang “The Everyday Man (orang awam di kota) “…circumscribed by his possessions and his needs.” Dalam “The Everyday Life in the Modern World” (2000)

1. “The Right to the City,” dalam “The Urban Revolution” (1971).

2. Lihat tautan Perfilman Nasional Republik Indonesia (PNRI). Diakses tanggal 25 Oktober 2013, pukul 17:29 (http://perfilman.pnri.go.id/filmografi/detail/2455).

28

Page 16: Buklet g11440

30

Ruang hidup yang telah berubah men-jadi urban-after-all meminggirkan segala akses terhadap kemandirian. Padahal kemandirian ini menjadi “senjata” am-puh warga melawan penindasan spa-sial – yang berwujud peminggiran dan penggusuran. Ruang hidup kota men-gondisikan manusia yang menghunin-ya menjadi manusia sehari-hari, yang bergantung pada matarantai ekonomi kapitalistik sehingga kehilangan posi-si tawarnya (Purcell 2002).3 Akibatn-ya, keterputusan matarantai ekonomi yang terjadi dapat mendatangkan ben-cana besar secara perlahan bagi warga kota, yaitu terputusnya akses terhadap kebutuhan sehari-hari. Kondisi terse-but membatasi warga kota melalui pemilikan dan kebutuhannya (Lefe-bvre 2000: 17-18).4 Dalam situasi ka-cau akibat keterputusan matarantai ekonomi kota, keterbatasan tersebut dapat mengisolasi warga kota. Con-toh sederhananya adalah, ketika tidak ada supermarket yang buka maka air minum, popok bayi hingga sayur-ma-yur. Akumulasi kapital yang terjadi di kota tidak hanya berdampak pada

relasi kepemilikan asset antara warga kota dengan kapitalis besar. Akumu-lasi tersebut juga dengan sendirinya mengakumulasi arus ketersediaan ba-rang kebutuhan sehari-hari, dan men-yandera warga kota dalam pemenuhan kebutuhannya. Persoalannya, kebu-tuhan manusia urban bagaikan ban-dul yang terus bergerak antara kutub “keterbatasan” dengan kutub “ketida-kterbatasan.” Keterbatasan di sini ber-korelasi dengan ketersediaan barang kebutuhan hidup sehari-hari, sementa-ra ketidaterbatasan berkorelasi dengan kebutuhan hidup dalam narasi kon-sumerisme. Sebagai contoh, kondisi transportasi umum Jakarta yang tidak nyaman dan tidak dapat diandalkan ketepatan waktunya membuat semua orang ingin memiliki kendaraan prib-adi, baik itu sepeda motor ataupun mobil. Maka bertambahlah daftar ke-butuhan sehari-hari berupa belanja transportasi.

Hidup di ruang kota yang serba ter-gantung dan serba bayar memicu im-pian warganya untuk dapat mandiri.

Sesederhana keinginan untuk memi-liki kendaraan pribadi dan tidak lagi tergantung pada transportasi umum. Dalam konteks ini mimpi kemandirian tersebutlah yang memberi kekuatan pada warga untuk bertahan di tengah kemacetan daripada harus tergantung pada matarantai ekonomi kapitalistik. Artinya, kita dapat membaca determi-nasi semangat mandiri itu dari peris-tiwa kemacetan. Yang penting adalah bagaimana caranya memicu mimpi kemandirian tersebut menjadi hasrat untuk menciptakan atau memproduk-si sendiri kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dapat berdampak pada up-aya membebaskan diri dari sandera matarantai ekonomi kota. Oleh kare-nanya, praktik-praktik kultural seperti bercocoktanam di ruang kota dapat dijadikan strategi perlawanan, selama yang ditanam adalah tanaman-tana-man produktif. Lahan bercocoktanam menjadi persoalan tersendiri. Padatnya ruang kota seperti di Grogol menjelas-kan bagaimana paradox kota berop-erasi: Menjauhkan dari yang rural (melalui praktik ekonomi kota) namun pada saat yang sama memberi imaji (dan mimpi) rural tentang kepemilikan tanah dan segala hal yang harus dibeli. Lahan produktif hilang berganti men-jadi halaman yang sempit, dialihkan ke kawasan sub-urban mewah seperti Kebayoran Baru. Lahan garapan men-jadi milik kaum elit kota. Persoalann-ya, konsep lahan garapan bagi kaum

elit kota dimaknai sebagai halaman atau pekarangan yang tidak bermak-na produktif. Di lahan seperti ini, ta-naman produktif – seperti sayuran – digantikan oleh tanaman hias semata untuk kosmetika arsitektural.

Saya sendiri bukanlah penggemar tana-man. Seperti yang telah saya ungkap-kan sebelumnya, hasrat saya terhadap tanaman telah hilang bersama dengan konsumsi budaya populer. Saya pikir sebagian besar orang segenerasi saya mengalami hal yang sama. Saya juga bukanlah seorang pecinta lingkungan, apalagi pecinta alam. Oleh sebab itu ketika bertemu dengan proyek Gro-gol 11440, saya merasa tidak dapat menemukan apapun selain keteras-ingan saya dengan wacana tanaman, penghijauan, lingkungan dan alam. Ketertarikan saya terhadap proyek ini sederhana, karena kehadiran tanaman dalam gedung di tengah belantara bet-on Grogol ini seperti mengingatkan pada paranoia saya akan imaji masa depan yang mengerikan seperti rent-annya ketahanan pangan. Narasi film-film fiksi ilmiah dengan setting pascap-erang nuklir di masa depan, seringkali menggambarkan perjuangan manusia untuk dapat hidup normal. Ketika me-lihat taman hidroponik dalam gedung yang digarap oleh Grogol 11440, saya merasa seperti di dalam sebuah kolo-ni di Mars. Para astronot menanam tanaman di lingkungan yang ekstrem

5 Dalam “Like/Share/Comment” (Narendra 2014) saya melakukan kritik terhadap praktik aktiv-isme akhir pekan warga Jakarta. Lihat jurnal “Berkas” edisi Oktober 2014.

6 Ibu saya pernah bercerita ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar pada masa pendudu-kan Jepang, warga kota diwajibkan untuk menanam tanaman “Jarak Pagar” (Jatropha curcas L., dari famili Euphorbiaceae, sumber Wikipedia). Biji Jarak ini dapat diolah menjadi bahan biodiesel dan minyak pelumas untuk mesin-mesin perang Jepang.

31

Page 17: Buklet g11440

32 33

sekadar untuk memberi kehidupan pada dunia alien tersebut, sekaligus pula untuk menciptakan sumber pe-menuhan kebutuhan mereka sendiri, seperti sayur-mayur. Gagasan ini sebe-narnya dapat diubah menjadi sebuah proyek besar radikal, ketika tanaman yang dikembangtumbuhkan adalah ta-naman produktif seperti sayur-mayur untuk kebutuhan pangan sehari-hari.

Dengan demikian proyek hidroponik dalam gedung ini dapat berbuat lebih banyak dari sekadar perayaan hobby ke-las menengah kota yang seringkali ter-libat dalam berbagai aktivisme urban (Narendra 2014)5 tanpa pernah men-coba mengubah (atau menghancurkan tatanan). Kampus dapat menjadi are-na persemaian gagasan tersebut kare-na sejatinya mahasiswa selalu tertarik dengan gagasan-gagasan radikal yang diberi label “pembebasan.” Untuk memenuhi dialog ekonomi yang ter-lanjur mendominasi paradigma warga kota, proyek ini seharusnya memberi tawaran penghematan. Hemat, adalah kata kunci dalam topik kemandirian warga kota. Bayangkan berapa ban-yak uang yang dapat ditabung ketika sebagian besar kebutuhan pangan di-hasilkan dari kebun sendiri? Toh, per-soalan sempitnya lahan dapat terjawab dengan metode hidroponik. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mem-bingkai praktik berkebun urban ini dengan bingkai yang lebih besar, yaitu

kemandirian bagi warga kota. Satu-sa-tunya cara untuk membingkai proyek ini dengan bingkai kemandirian menurut hemat saya adalah dengan menyuntikkan semangat perlawanan terhadap narasi dominan kapitalisme, yang beroperasi melalui bujuk rayu konsumerisme. Tidak perlu membeli sayuran di supermarket karena tinggal memetik di kebun hidroponik milik sendiri, adalah semangat perlawanan urban tersebut. Pada skala tertentu, praktik ini dapat berkembang menja-di sebuah strategi perlawanan semes-ta – di ruang kota – ketika semangat swadaya ini diduplikasi ke dalam prak-tik-praktik lainnya. Misalnya saja, ger-akan kolektif untuk menyediakan ke-butuhan listrik sendiri. Atau lebih jauh lagi membuat bahan bakar sendiri.6

Menghidupkan Kembali Petani

Agar dapat menjadi agenda perla-wanan kolektif warga kota terhadap narasi dominan ekonomi kota, proyek hidroponik urban ini perlu menjadi se-buah gerakan sosial. Persoalan selan-jutnya adalah bagaimana menjadikan praktik berkebun dalam gedung ini sebagai sebuah gerakan sosial? Ker-aguan terhadap berhasilnya “gerakan sosial” di Jakarta masuk akal mengin-gat sikap pragmatis warga kota akibat terus-menerus digerus oleh kenyataan bahwa memang mereka tidak memiliki posisi tawar. Dengan demikian sekali

lagi, penghematan menjadi isu pent-ing dalam proyek ini. Perlu dilakukan studi secara ekonomi, berapa besar penghematan anggaran per bulan (untuk setiap tingkat pendapatan ru-mah tangga) jika setiap rumah tangga melakukan praktik ini. Penghematan ini perlu disinkronisasi dengan peng-etahuan akan tanaman apa saja yang sebaiknya ditanam (termasuk juga proses penanamannya). Lebih jauh lagi bila perlu, studi mengenai resep masakan apa saja yang dapat dihasil-kan melalui praktik berkebun seperti ini. Dengan melalui tahapan ini seti-daknya gagasan memberi posisi tawar bagi warga kota (dalam hal ini warga Grogol) dapat mewujud secara konk-ret, sekonkret makanan yang tersaji di atas meja makan.

Dalam skala yang lebih radikal, proyek ini mungkin saja bereksperimen den-gan bahan pangan pokok seperti padi. Bayangkan, ketika setiap rumah tangga di Grogol (dalam konteks ini) ataupun Jakarta (dalam konteks yang lebih luas) mampu memenuhi kebu-tuhan mendasarnya sendiri. Sebagian persoalan ketergantungan matarantai ekonomi yang saya uraikan sebelumn-ya setidaknya, teratasi. Jika upaya sep-erti ini berhasil, bukannya tidak mun-gkin kita mencapai masyarakat kota yang mandiri dan berdaulat secara ekonomi. Hal tersebut tentu tidak mu-dah. Bagaimanapun, kapitalisme selalu

menemukan cara untuk memutarba-likkan perlawanan terhadapnya men-jadi senjata baru yang dapat mereka gunakan untuk merebut kembali hege-moninya. Menghadapi persoalan ini, kita dapat masuk melalui satu pintu: pelaku kapitalisme adalah warga kota itu sendiri. Setidaknya, jika mereka turut runtuh ke dalam praktik berke-bun urban secara kolektif ini, mereka juga dapat merasakan manfaat dari kemandirian tersebut. Mereka kelak dapat memahami bahwa kemandirian yang ditawarkan di sini merupakan sebuah metode – meski tidak dalam artian pembebasan spiritual – pembe-basan ekonomi (baca: penghematan). Ah sudahlah, mungkin saya terlalu muluk berpikir. Terlalu terbius oleh narasi fiksi ilmiah.

Mungkin persoalan mendasar dari hilangnya imaji petani adalah karena sosoknya diposisikan pada persimpan-gan besar antara modernitas dan tra-disionalitas, antara kemajuan dan ket-ertinggalan. Petani ditempatkan pada geografi kultural “desa” yang harus melayani kebutuhan kota, sementara perlahan dalam keseharian desa-desa menjadi kota-kota yang baru. Seperti yang saya uraikan pada bagian awal tulisan ini, runtuhnya narasi pertanian seringkali dipercepat oleh agen-agen ekonomi kota yang justru berasal dari desa dan ingin mengubah hidupnya dalam narasi kehidupan kota. Kisah

Page 18: Buklet g11440

34 35

tentang pembantu rumah tangga saya yang mengundurkan diri men-jelaskan hal tersebut. Beralihnya desa menjadi kota di lain pihak seperti menghapus desa dari memori kultural yang kolektif. Bersamaan dengan itu memudar pula sawah-sawah dan lah-an-lahan produktif menjadi ruang-ru-ang ekonomi khas kota, seperti ruko tempat mini market. Hal tersebut dapat saja kita anggap sebagai konsekuensi kultural yang logis dari kapitalisme, dan mungkin saja kita tidak memiliki posisi tawar untuk menegosiasinya. Di tengah derasnya arus perubahan peradaban, petani dalam konteks ini hanyalah satu variabel ekonomi yang mungkin harus hilang suatu hari. Na-mun kita tidak dapat membiarkan praktik produksi pertanian hilang ber-sama dengan hilangnya para petani dari narasi peradaban manusia. Profe-si tukang pos ataupun desainer grafis dapat saja hilang oleh perubahan te-knologi. Akan tetapi jika praktik ber-tani hilang, lalu para penggiat peruba-han jaman mau makan apa?

Proyek hidroponik urban atau ber-cocotanam di dalam gedung yang dilakukan Grogol 11440 dapat men-jadi percontohan antisipasi terhadap hilangnya para petani dari peradaban manusia. Atas azas “bertahan hidup,” proyek ini berpeluang untuk mengu-bah warga kota biasa menjadi petani-petani jaman baru. Para petani ini ti-

dak lagi bercocoktanam di lahan yang luas ataupun sawah hijau menghampar di antara kaki bukit. Mereka bercocok-tanam di tengah kepadatan kota, di an-tara lorong-lorong gedung dan di lah-an yang menjulang ke atas. Para petani indoor macam ini tidak perlu kuatir dengan perubahan iklim. Toh, lahan berada di dalam ruangan yang dapat diatur temperatur dan kondisi cuacan-ya. Mereka tidak perlu menunggu saat datangnya panen raya karena panen raya telah berganti menjadi tanggal gajian. Cukup mengambil seperlunya untuk dimasak di dapur sendiri. Tidak perlu takut menghadapi serangan balik kapitalisme. Saya membayangkan, jika semua orang menghasilkan padi dan sayur-mayurnya sendiri di rumah mereka, maka silakan saja kapitalisme menciptakan mesin pengolah padi mini otomatis, seperti oven microwave. Tinggal masukkan padi yang baru saja dipetik dari pot ke dalam mesin terse-but, pencet tombol dan dalam beber-apa menit padi telah berubah menjadi beras siap masak. Dalam tataran inilah kita masih memerlukan narasi domi-nan kapitalisme, karena memang sulit bagi kita untuk menciptakan sendiri mesin macam itu. Mungkin narasinya perlu dibalik, kapitalisme tidak perlu kuatir akan gagasan kemandirian ma-cam ini karena masih ada wilayah pro-duksi yang tidak dapat dilakukan oleh warga kota.

Daftar PustakaHarvey, David (2008). The right to the city. Dalam New Left Review, volume 53: 23, 2008.Lefebvre, Henri (1991). The production of space. Oxford: BlackwellLefebvre, Henri (1996). Writings on cities. Cambridge, MA: BlackwellLefebvre, Henri (2000). Everyday live in the modern world. New York: ContinuumPucell, Mark (2002). Excavating Lefebvre: The right to the city and its urban politics of the inhabitant. Dalam GeoJournal volume 58: halaman 99–108, 2002. Amsterdam, The Netherlands: Kluwer Publishing.Purcell, Mark (2003). Citizenship and the right to the global city: Reimagining the capitalist world order. Dalam International Journal of Urban and Regional Research. volume 27 (3): halaman 564–90, 2004.Soja, Edward (1996). Thirdspace: Journeys to Los Angeles and other real-and- imagined places. Cam-bridge, MA: Blackwell

Yuka Dian Narendra lahir di Jakarta, 1972. Sekarang ia mengepalai De-partemen Kajian Kebudayaan Pop-uler Indonesia di C4Ad (Center for Arts & Design) Surya Research and Education Center di Serpong, Jawa Barat. Minat penelitiannya adalah hal remeh-temeh dalam kebudayaan pop-uler Indonesia, terutama kajian ten-tang subkultur musik Metal.

Kegemarannya terhadap musik Metal itulah yang membuat Kandidat doktor

bidang Cultural Studies dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini memutuskan untuk menulis diser-tasi subkultur Metal Indonesia. Selain menjadi peneliti, Yuka menghabiskan waktu senggangnya dengan berbu-ru makanan enak, terutama Chinese Food yang otentik bersama istrinya. Cara lain bersenang-senang, ia lakukan dengan merekam dan memproduksi sejumlah album kelompok musik un-derground di studio rekaman kecil di rumahnya.

Page 19: Buklet g11440

36 37

Tarumanagara Knowledge Centre (TKC) merupakan satu dari banyak unit yang bernaung di bawah Yayasan Tarumanagara. TKC didirikan sebagai sarana untuk menunjang kegiatan aka-demik Universitas Tarumanagara pada khususnya, dan untuk melayani mas-yarakat luas pada umumnya.

Visi perpustakaan ini adalah menjadi pusat informasi yang menunjang pen-didikan, penelitian, dan rekreasi terde-pan, teraktual, dan berteknologi ting-gi, serta handal bagi civitas akademika Tarumanagara dan masyarakat umum.

TKC memiliki koleksi ribuan buku, majalah, koran, dan media dijital, serta fasilitas-fasilitas seperti ruang baca, ruang audio visual, ruang diskusi, ru-ang seminar, galeri, executive lounge serta mini theatre 1 dan 2.

Perpustakaan modern ini setiapHari Senin sampai dengan Jumat Pukul 09.00 – 16.00 WIB.

Gedung UtamaKampus 1Universitas TarumanagaraLantai 6-9Jl. Letjen S. Parman No. 1Jakarta Barat 11440Telepon: 021 5695 8760Twitter.com/tkcuntarFacebook.com/Tarumanagara Knowledge Centre

Kode pos untuk Kampus satu Univer-sitas Tarumanagara ini dijadikan untuk nama program aktifasi Tarumanagara Knowledge Centre (TKC). TKC ada-lah perpustakaan yang menempati lan-tai enam sampai dengan sembilan di Gedung Utama Kampus1 Universitas Tarumanagara. Lembaga yang berada di bawah Yayasan Tarumanagara ini dibuka untuk publik sejak 2007 untuk melayani akademika Universitas Ta-rumanagara, di samping publik yang ingin membuka wawasan.

Kawasan Jakarta Barat, memiliki banyak tempat ‘wisata’ urban yang mendorong konsumtivisme. Mall, pla-za, besar, kecil, menyediakan begitu banyak pilihan yang siap dikonsumsi. Umumnya masyarakat kota, termasuk mahasiswa menjadi terlena, bila tidak terpaksa, menikmati kehadirannya yang hampir selalu diusahakan dalam kondisi gegap gempita dengan berb-agai tawaran yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Kondisi itu yang kemu-dian mendorong banyak pihak, untuk mengusahakan adanya penyeimbang. Grogol 11440 adalah nama dari pro-gram aktivasi tersebut. Ia bertujuan untuk mendorong munculnya hara-pan-harapan, pertemuan-pertemuan sederhana, namun esensial bagi ke-hidupan manusia.

Gedung UtamaKampus 1Universitas Tarumanagara Lantai 8Jl. Letjen S. Parman No. 1Jakarta Barat [email protected]/G11440Facebook.com/Grogol 11440

Page 20: Buklet g11440

38 39

Dra. Natanelya Anindita. Nanin adalah Kepala Perpustakaan Tarumanagara Knowl-edge Centre (TKC). Ibu penyuka warna ungu ini dengan giat mendorong TKC untuk dapat menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa/i Universitas Tarumanagara.

Vania Natalia. Vania adalah manajer proyek Grogol 11440. Setiap hari mengatur berbagai pekerjaan tim G11440. Perempuan penyuka batik ini sering didaulat menjadi MC dalam berbagai acara di lingkungan Taru-managara. Ia ini yang bertugas untuk selalu bersemangat mendorong Program Grogol 11440 menjadi asik.

Ivander Elffindy. Vander lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ta-rumanagara di 2013. Ia bertugas menangani berbagai pekerjaan terkait Hubungan Mas-yarakat untuk Program Grogol 11440. Ke-mampuan berbicara dan menangani hal-hal operasional, membuatnya menjadi ‘handy-man’ bagi berbagai kegiatan.

Aldo Muharamarizka. Aldo adalah per-sonel yang kalem sekaligus moddy. Lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Taru-managara ini merancang berbagai materi vi-sual menarik dan tepat untuk menyampaikan pesan program dengan medium visual yang komunikatif.

GROGOL 11440

*

*

*

* Sejak Februari 2014, Tim G11440 dibentuk dan dibawahi oleh Biro Desain Visualiteit. Biro desain yang menggagas, merancang, dan mendorong Proyek Injeksi Visual demi mengaktivasi Tarumanagara Knowledge Centre sebagai ruang publik yang dapat membuat hal-hal sederhana menjadi luar biasa.

Page 21: Buklet g11440

GRO

GO

L 11

440

bergaya dengan karya