11
BAB 6 Riba, Bank dan Asuransi

Fiqh Kelas X

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BABVI - Riba, Bank, dan Asuransi

Citation preview

Page 1: Fiqh Kelas X

BAB 6

Riba, Bank dan Asuransi

Page 2: Fiqh Kelas X

RibaAsal kata “riba” menurut bahasa Arab adalah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud di sini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.

Page 3: Fiqh Kelas X

Macam-macam Riba :Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam :1) Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis

dengan tidak sama)2) Riba Qardhi (hutang dengan syarat ada

keuntungan bagi yang memberi hutang)3) Riba Yad (berpisah dari tempat akad sebelum

timbang terima)4) Riba Nasa’i (disyaratkan salah satu dari kedua

barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya)

Page 4: Fiqh Kelas X

BankMenurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Bank memperedarkan uang untuk kepentingan umum, tidak membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan dalam satu tangan. Bank merupakan tempat penyimpanan yang terbaik dan aman, serta tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh karena itu, bank menolong manusia dalam menghadapi esulitan keuangan pada umumnya.

Page 5: Fiqh Kelas X

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai berikut:a. Menyimpan dana masyarakat.b. Menyalurkan dana masyarakat ke publik.c. Memperdagangkan utang piutang.d. Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran

uang.e. Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan

surat berharga) yang terbaik dan aman.f. Menolong manusia dalam mengatasi

kesulitan ekonomi keuangan.

Page 6: Fiqh Kelas X

Kelompok yang mengharamkan

Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sisitem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.Keharaman bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga bank dalam pandangan para ulama ini adalah riba nasi’ah, sedangkan riba nasi’ah terlarang dalam hukum Islam. Maka dari itu, hukum bank adalah haram.

Page 7: Fiqh Kelas X

Kelompok yang tidak mengharamkan

Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.

Page 8: Fiqh Kelas X

Kelompok yang menganggap syubhat (samar)

Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kadah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.

Page 9: Fiqh Kelas X

Asuransi

Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak.

Page 10: Fiqh Kelas X

Istilah asuransi seringkali dasamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.

Page 11: Fiqh Kelas X

Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut:a) Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau

perlindungan atas musbah yang akan datang.b) Dana yang terkumpul menjadi amanah pengeloladana. Dana tersebut diinvestasikan

sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.

c) Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).d) Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran

30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.

e) Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.

f) Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.

g) . Keuntngan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.

h) Mempunyai misi akidah, sosia serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.