Interaksi etnis Jawa dan Golongan Tionghoa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

interaksi etnis di Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS)

Citation preview

1. BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Keragaman yang ada pada bangsa Indonesia, di satu pihak merupakan modal dasar sumber daya manusia. Di lain pihak dapat pula menimbulkan kerawanan sosial. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi merupakan suatu tragedi yang timbul karena kemajemukan yang tidak disikapi secara arif, sehingga menimbulkan jarak sosial yang menjadi potensi konflik serta dapat menimbulkan perpecahan. Kerusuhan-kerusuhan tersebut sebagian besar korbannya adalah etnis keturunan Cina. Bahkan dalam berbagai kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat, etnis keturunan Cina selalu menjadi sasaran amuk massa, sebagaimana terjadi di Surakarta pada tanggal 14 15 Mei 1998. Interaksi sosial antara etnis Jawa dan Tionghoa sangat menarik untuk dicermati, karena walaupun telah hidup berdampingan dalam waktu yang lama, warga keturunan Tionghoa (etnis Cina) belum diterima secara penuh sebagai orang kita. Di Indonesia, orientasi multi kulturalisme sebagai konsep ideal yang telah jelas digambarkan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ternyata belum mampu mengakomodasikan warga etnis keturunan Tionghoa sebagai 1 2. bagian integral. Multikulturalisme yang berasal dari kata multi yang berarti Plural dan kulturalisme yang berarti kultur atau budaya, dengan kata lain multikulturlisme berarti pengakuan adanya berjenis-jenis budaya (Tilaar, 2004:82). Etnis Tionghoa sering disebut sebagai etnis pendatang yang mengalami interaksi etnisitas paling problematik dibandingkan etnis India, Arab, dan beberapa etnis kecil pendatang lainnya. Pencarian jati diri orang Tionghoa di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan menjadi Indonesia, tetap Tionghoa, atau mengadopsi identitas lain. Ketika terjadi kerusuhan bulan Mei 1998, tidak hanya Jakarta sebagai ibukota negara saja yang luluh lantak karena konflik rasial, kota-kota besar lainnya tidak luput dari tragedi itu. Misalnya saja Kota Surakarta, seperti halnya kota-kota lainnya, kerusuhan di Surakarta pun etnis Tionghoa juga yang menjadi sasaran amuk massa. Brata (2006: 91) mengemukakan bahwa amuk massa selama dua hari di Jakarta pada 13 Mei 1998 atau sehari setelah tragedi tewasnya enam mahasiswa Universitas Trisakti, dan tanggal 14 Mei 1998, ternyata disusul oleh peristiwa amuk massa di Surakarta. Surakarta yang jaraknya sekitar 62 Km ke arah timur Jogjakarta dan bisa dianggap sebagai saudara kembar Jogjakarta_ karena di sana terdapat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa seperti halnya di Jogjakarta_ juga dilanda amuk massa yang menelan korban jiwa dan korban harta benda. Amuk massa di Surakarta atau Solo ini terjadi pada hari Kamis 14 Mei 1998. 2 3. Sebenarnya konflik rasial (antara etnis Jawa dan Tionghoa) di Surakarta tidak terjadi pada tahun 1998 saja. Sejarah mencatat, konflik antara etnis Jawa dan Tionghoa di Surakarta sudah terjadi sejak tahun 1911 pada saat Belanda berkuasa di bumi Jawa sampai yang terbesar terjadi di bulan Mei 1998. Surakarta bahkan dijadikan barometer politik kedua setelah Jakarta. Konflik dimulai antara Sarekat Islam (SI) dengan Kong Sing Tionghoa, organisasi ini sama-sama bergerak dalam bidang batik, yaitu ketika banyak terjadi pencurian batik di Surakarta. Konflik ini dipicu oleh kecemburuan orang-orang Jawa yang menjadi pengusaha batk. Masalahnya adalah jaringan distribusi bahan baku dalam pembuatan batik, seperti malam, canting, dan kain mori yang ditengarai dimonopoli oleh orang-orang Tionghoa. Kerusuhan anti Tionghoa juga terjadi di tahun 1963, kerusuhan ini dipicu oleh kebijakan yang mengharuskan orang-orang asing (termasuk orang Tionghoa) untuk meninggalkan desa. Kebijakan tersebut dibuat pada masa presiden Soekarno berkuasa yang bertujuan membatasi aktivitas ekonomi kelompok-kelompok asing di pedesaan. Sedangkan kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1988 dipicu oleh perkelahian antara tiga siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) dengan siswa Tionghoa bernama Ompong alias Kicak. Namun perkelahian ini berbuntut kerusuhan ketika para siswa se-Surakarta digerakan oleh mahasiswa UNS melakukan long march keesokan harinya. Kegiatan tersebut diakhiri dengan penjarahan. Kerusuhan yang melibatkan etnis Jawa dan Tionghoa terjadi pada tanggal 14 sampai 15 Mei 1998. kerusuhan ini bermula dari kondisi ekonomi 3 4. politik nasional yang tidak stabil. Jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar memporak-porandakan tata ekonomi di Asia tidak terkecuali di Indonesia. Jutaan mahasiswa dan massa berdemonstrasi menuntut mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan selama 32 tahun. Hal ini kemudian merembet menjadi peristiwa anarkis dan penjarahan besar-besaran. Kerusuhan ini berubah menjadi kerusuhan bernuansa sentimen etnis dengan objek adalah etnis Tionghoa. Masyarakat etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa karena mereka dianggap sebagai rekanan bisnis bagi birokrat dengan menjalin kerjasama saling menguntungkan. Antagonisme etnis dalam hal ini konflik antar etnis, oleh Percell dalam Habib, dihipotesikan akan terjadi apabila ada sejumlah prasyarat, yaitu : (1) adanya dua kelompok etnis yang berbeda, (2) adanya perbedaan praktek budaya dan ciri-ciri fisik kelompok yang bisa dikenali, (3) adanya persaingan antar kedua kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas, dan (4) adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dn sumbernya pada kedua kelompok yang bersaing (Habib, 2004: 2). Terlepas apakah keempat kondisi prasyarat tersebut terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnis terutama terhadap etnis Tionghoa di Indonesia seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah Indonesia. Pemerintah telah berupaya mempersatukan antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa, diantaranya adalah dengan peraturan pemerintah tentang SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Warga negara keturunan Tionghoa diwajibkan memiliki surat ini, dan banyak dari etnis Tionghoa 4 5. berganti nama untuk memudahkan mereka mengurus SBKRI. Tetapi pada akhirnya keputusan pemerintah mengenai kebijakan surat ini justru menimbulkan masalah baru bagi terciptanya pembauran dan asimilasi antara etnis Jawa dan Tionghoa. Upaya pemerintah untuk integrasi etnis juga dilakukan dengan cara menyeragaman, lebih dari 32 tahun pemerintah melarang budaya Tionghoa beraksi di masyarakat umum. Etnis ini hanya diperbolehkan melakukan aktivitas keagamaan dan kesenian didalam tembok Kelenteng. Pada masa kekuasaan Orde Baru dan Orde Lama, Barongsay seolah-olah terkubur dalam Kelenteng. Pemerintah juga melakukan usaha pembauran lewat TP4C (Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim Cina). Permohonan surat ini melibatkan unsur Camat, Kepolisian, Kantor Imograsi, Kejaksaan dan Kantor Sospol. Kota Surakarta sering disebut sebagai daerah yang rawan konflik, terutama antara etnis Jawa dan Tionghoa. Banyak dari buku-buku yang menyebutkan bahwa orang Solo bersumbu pendek, gampang disulut agar timbul kerusuhan. Konflik yang telah terjadi disebut bagai api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan meledak lagi. Sebenarnya ini hanya stigma, pandangan, yang dibuat oleh masyarakat sendiri. Pandangan ini selalu dihembuskan, agar Surakarta bergejolak lagi. Maka dari itu, ketika menganalisis mengenai kerusuhan Jawa dengan Tionghoa Kota Surakarta lah yang menjadi acuannya. Tidak heran mengapa kota kecil di pedalaman selatan Jawa Tengah ini disebut sebagai barometer politik kedua setelah Jakarta. 5 6. Berangkat dari sejarah kerusuhan yang pernah ada, di Surakarta dibentuk sebuah organisasi sosial yaitu Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Anggotanya masyarakat dari berbagai golongan membentuk suatu organisasi sosial yang membawahi berbagai macam kegiatan seni dan budaya termasuk olehraga. Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai visi menyatukan, integrasi, dan peleburan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam hal ini Jawa. Semua golongan masyarakat bisa melibatkan diri dalam kegiatan seni budaya dan olahraga tanpa membedakan suku, agama dan ras. Walaupun pada awalnya, PMS adalah organisasi Tionghoa yang merupakan gabungan dari enam organisasi Tionghoa. Waktu itu bernama Chuan Min Kung Hui, kegiatan organisasi ini melayani dan mengurusi kebutuhan warga Tionghoa di Kota Surakarta. Namun sejak 1 Oktober 1959, dengan tujuan integrasi, serta agar dapat lebih membaur antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi (Jawa), maka nama Chuan Min Kung Hui diubah menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Manusia merupakan mahkluk sosial di samping sebagai makhluk individu yang mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. PMS menjadi satu-satunya perkumpulan atau wadah organisasi yang melayani masyarakat dari semua golongan di Surakarta.Diharapkan dengan adanya organisasi tersebut, akan tercipta masyarakat Surakarta yang damai, tidak ada lagi konflik antar etnis yang terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. 6 7. Bagaimana interaksi antara etnis Jawa dan Tionghoa sendiri dalam PMS? Dan bagaimana peranan PMS dalam pengembangan interaksi antara etnis Jawa dan Tionghoa di Surakarta? Apakah dengan didirikannya PMS dapat menyatukan antara etnis Jawa dan Tionghoa secara umum di Surakarta?. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan peneltian mengenai interaksi antara etnis Jawa dan Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di Kota Surakarta. B Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka ada permasalahan yang dapat diidentifikasikan diantaranya adalah : 1 Bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa yang ada di Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? 2 Bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Jawa yang ada di Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? 3 Apa yang menjadi latar belakang terbentuknya Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? 4 Apa saja kegiatan yang ada di Perkumpulan Masyarakat Surakarta? 5 Bagaimana Interaksi etnis Tionghoa dan Jawa dalam Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? 6 Bagaimana partisipasi masyarakat Tionghoa dan masyarakat Jawa dalam kegiatan Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? C Rumusan Masalah 7 8. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1 Bagaimana interaksi antara etnis Tionghoa dan Jawa dalam organisasi kemasyarakatan Perkumpulan Masyarakat Surakarta ? 2 Bagaimana peranan Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) dalam pengembangan interaksi antara masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta. D Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 Untuk mengetahui interaksi antara masyarakat Jawa dan Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). 2 Untuk mengetahui peranan Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) dalam pengembangan interaksi antara masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta . E Manfaat Penelitian 1 Secara Teoritis Diharapkan dapat memperkuat pengetahuan, khususnya di bidang sosial kebudayaan dan dapat dijadikan informasi awal guna pengetahuan lebih lanjut. 2 Secara Praktis Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang interaksi antara masyarakat Jawa dan Tionghoa di Perkumpulan Masyarakat Surakarta ( PMS ) dan peranan Perkumpulan Masyarakat 8 9. Surakarta (PMS) dalam pengembangan interaksi antara masyarakat Tionghoa dan Jawa di Kota Surakarta. F Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dipaparkan penegasan istilah atau batasan operasional sebagai berikut : 1 Interaksi Sosial Interaksi sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan sosial. Susanto (1983: 32), interaksi ada akibat dari adanya proses komunikasi yang saling mempengaruhi antara individu satu dengan individu yang lain didalam masyarakat yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam masyarakat ataupun proses sosial. Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah interaksi sosial antara etnis Jawa dan Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). 2 Masyarakat Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu, yang bersifat tertentu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama (Koentjaraningrat, 1994 : 46). Menurut Ralp Linton (dalam Abdulsyani, 2002 : 21) mengatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan 9 10. dirinya dan berfikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Tionghoa dan Jawa yang ada di Organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). 3 Etnis Menurut Barth (1998:1) kelompok etnis adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai- nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri kelompoknya, yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Sebagai pembeda satu sama lain, lazimnya suatu etnik mempunyai tanah leluhur (home-land). Adanya kebudayaan dan tanah leluhur sendiri merupakan ciri khas etnik yang membedakannya dengan ras. Erikson (1993: 12) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis adalah bahwa kelompok etnis tersebut paling tidak telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain, dan masing-masing harus menerima gagasan ide-ide dan perbedaan di antara mereka. 4 Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Perkumpulan Masyarakat Surakarta adalah sebuah Organisasi Sosial yang antara lain bergerak dalam bidang sosial, kematian, usaha, pendidikan, kepercayaan, kebudayaan dan olahraga. Organisassi ini sudah 10 11. berdiri sejak tahun 1 Oktober 1959 sebagai pengganti dari Chuan Min Kung Hui. Organisasi ini mempunyai tujuan agar masyarakat Tionghoa dapat membaur, berintegrasi dan hidup rukun berdampingan dengan masyarakat pribumi dalam hal ini adalah masyarakat Jawa. G Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memperoleh gambaran dan untuk memudahkan pembahasan, maka dalam rencana skripsi ini dikelompokkan dalam V bab dengan sistematika sebagai berikut : Bagian awal skripsi berisi tentang: halaman sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, sari, daftar isi, daftar tabel (bila ada), daftar gambar (bila ada), daftar lampiran. Bagian pokok terdiri atas : BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Berisi tentang konsep-konsep teori yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian serta kerangka teoritiknya. BAB III METODE PENELITIAN Menguraikan tentang dasar penelitian, lokasi penelitian, tahap- tahap penelitian, fokus penelitian, sumber data penelitian, validitas 11 12. data, teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur kegiatan penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. BAB V PENUTUP Berisi simpulan dan saran 12 13. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A Kajian Pustaka 1 Interaksi Sosial Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Manusia adalah mahkluk individu dan makhluk sosial, mahkluk yang berpikir, mahkluk yang instabiliti. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lain. Sebagai mahkluk yang senantiasa berpikir untuk melakukan sesuatu (sosialisasi). Dari proses berpikir muncul perilaku ataupun tindakan sosial, kalau perilaku dan tindakan sosial tersebut dilakukan berhubungan dengan orang lain maka terjadilah interaksi sosial (Ibrahim, 2003 : 10). Bonner dalam (Gerungan, 2005 : 57) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu yang saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan antara individu yang satu dengan yang lain. Dalam kehidupan bersama, antara individu yang satu dengan yang lainnya terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan batinnya. Melalui interaksi sosial individu sebenarnya mempunyai maksud, tujuan dan keinginan. Interaksi sosial terjadi apabila seseorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu lain, karena hal itu terjadi dalam kehidupan sosial. 13 14. Interkasi sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan sosial. Perubahan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola interaksi sosial yang berbeda-beda menurut situasi dan kepentingan. Dalam interaksi sosial, individu dimungkinkan akan menyesuaikan dengan individu atau kelompok yang lainnya. Penyesuaian disini dapat diartikan luas, yakni bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan dalam diri individu, sehingga individu dapat menyatu dengan lingkungan yang dikehendaki. Weber dalam Ritzer (1992 : 45) mengemukakan bahwa setiap tindakan sosial dan hubungan sosial yang terjadi mempunyai lima pokok sasaran, yaitu : a Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif yang meliputi tindakan nyata. b Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. c Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. d Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. e Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. 14 15. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. a). Kontak Sosial Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), jadi arti secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Sebagai sebuah gejala sosial kontak sosial tidak perlu berarti berhubungan dengan badaniah, namun suatu hubungan dengan orang lain tanpa menyentuhnya secara fisik, misalnya cara bicara dengan orang lain. Namun perkembangan teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainnya tanpa memerlukan suatu hubungan badaniah, misalnya menggunakan Handphone, telepon, surat elektronik dan sebagainya. Sehingga hubungan badaniah bisa dikatakan tidak lagi menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, misalnya berjabat tangan, saling senyum dan sebagainya. Sedangkan kontak sosial sekunder memerlukan suatu perantara. (Liliweri, 2004 : 4). b). Komunikasi Komunikasi dapat diartikan sebagai transmisi informasi dari seorang individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain. Komunikasi merupakan dasar semua bentuk interaksi sosial yang 15 16. disosialiasikan secara langsung atau tatap muka melalui penggunaan bahasa dan tanda-tanda atau gerak tubuh yang merupakan interpretasi tentang apa yang dikatakan dan dibuat oleh orang lain. Dengan berkembangnya media teknologi, seperti radio, televisi, komputer, atau surat elektronik komunikasi mengubah relasi tatap muka dengan cepat (Liliweri, 2004 : 4). Komunikasi dapat berlangsung searah dan berlangsung dua arah. Komunikasi berlangsung searah bila dalam proses komunikasi tidak ada umpan balik (feedback) dari komunikan kepada komunikator. Yaitu komunikator memberikan pesan kepada komunikan tetapi komunikan menerima apa saja yang dikatakan komunikator tanpa memberikan respon balik terhadap pesan yang diterimanya (komunikan bersifat pasif). Sedang komunikasi berlangsung dua arah merupakan komunikasi yang menempatkan komunikasi lebih bersifat aktif dalam menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Sehingga komunikasi dua arah lebih baik dari komunikasi searah. Dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikan informasi, ide atau pemikiran, pengetahuan, konsep dan lain-lain kepada orang lain secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun sebagai penerima komunikasi. Dengan komunikasi manusia dapat berkembang dan dapat melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Walgito, 2002 : 65). 16 17. Interaksi sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis yakni interaksi individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok (Sitorus, 1996 : 15-16). 1 Interaksi sosial antara individu dengan individu Interaksi ini terjadi dengan sendirinya, walaupun antara individu ini tidak melakukan kegiatan apapun. Dengan kata lain, pada saat individu bertemu, interaksi sosial pun sudah dimulai. 2 Interaksi sosial antara individu dengan kelompok Bentuk interaksi ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Interaksi ini akan lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara kepentingan orang perorangan dengan kepentingan kelompok. 3 Intaraksi sosial yang terjadi antara kelompok dengan kelompok Interaksi sosial ini terjadi pada kelompok sebagai suatu kesatuan bukan sebagai pribadi anggota kelompok yang bersangkutan. 2 Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa Sebagai Bentuk keragaman Masyarakat Indonesia. Masyarakat menurut Shadily (1993 : 47) adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Soekanto (dalam Abdulsyani, 2002 : 22) menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarakat mempunyai ciri-ciri pokok yaitu : a. Manusia yang hidup bersama 17 18. b Bercampur untuk waktu yang cukup lama c Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan d Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama Dalam suatu masyarakat itu terdapat suatu ikatan yang membuat satu kesatuan manusia itu menjadi ikatan, dan pola ikatan itu bersifat mantap dan kontinyu yang lambat laun menjadi adat istiadat. Dalam masyarakat terdapat nilai sistem budaya yang terdiri dari konsepsi- konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai hal-hal yang mereka anggap sebagai amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem kelakuan manusia lain yang tingkatannya lebih konkrit seperti aturan khusus, hukum, norma- norma semuanya juga berpedoman pada sistem nilai budaya. Ada dasarnya setiap kebudayaan hampir selalu memiliki sifat ethnosentris, tidak terkecuali budaya Jawa dan Tionghoa. Ungkapan ora Jowo (tidak Jawa) yang sering disamakan dengan tidak berpengertian dalam masyarakat Jawa misalnya, mencerminkan ethnosentrisme budaya Jawa. Demikian pula dengan kebudayaan Tionghoa. Menurut Isaacs (1993:76), kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan pandangan mereka yang menganggap orang-orang non-Cina sebagai orang biadab merupakan ciri-ciri terkenal dan dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri. 18 19. Secara sosio-ekonomi, posisi ekonomi yang kuat dari warga Indonesia keturunan Tinghoa telah berhadapan dengan ketertinggalan warga negara Indonesia asli. Secara historis, posisi tersebut berawal dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan orang Tionghoa sebagai kelas perantara ataupun kelas menengah. 1 Masyarakat Jawa Menurut Suseno (2001 : 11) orang Jawa adalah orang yang berbahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian Tengah dan Timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Orang-orang Jawa ini membentuk suatu komunitas masyarakat yang berbeda satu sama lain, semua mempunyai individualitasnya yang kuat, tidak ada yang khas tipe Jawa : ada yang polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan ada yang kasar, ada yang berterus terang dan ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya dan ada yang bekerja fanatik, ada yang tak berani bertindak sendirian, dan ada yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2001 : 3) Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial yaitu : a Wong cilik (orang kecil) terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. b Kaum priyayi, termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual (Suseno, 2001 : 3). 19 20. Kebanyakan dari orang Jawa tinggal di pedesaan yang hubungan sosialnya masih berdasarkan sistem gotong-royong yang mengenal pelbagai bentuk tradisional. Walaupun gotong-royong tidak terbatas pada hubungan keluarga, namun sistem ini dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat atas seluruh kompleks hubungan interpersonal di seluruh desa. Tradisi dan tindakan orang Jawa, menurut Satoto, selalu berpegang kepada dua hal. Pertama kepada filsafat hidupnya yang religius dan mistis. Kedua pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis dan magis, dengan menghormati nenek moyang, leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia. Orang Jawa mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan orang lain. Mulder dalam Rahmi (2006), menyatakan bahwa masyarakat Jawa selalu beraggapan bahwa dalam hidup, manusia tidaklah sendiri melainkan terus bergerak kedalam maupun keluar dari ruang hidupnya dan akan dianggap bijaksana bila kontak- kontak sosial terjadi tanpa adanya percekcokan dan menyenangkan dengan cara mengakui secara spontan terhadap kehadiran orang lain. Cara yang ditunjukkan adalah melalui pemberian salam, mengganggukkan kepala atau membungkukkan badan ketika berjalan melewati orang lain. 20 21. Didalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Ada dua macam bahasa Jawa ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa ngoko dan krama. Kelompok etnis Jawa yang disebut dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang terlahir dan merasa sebagai orang Jawa. Secara empirik, kelompok etnis ini mencakup mayoritas keturunan Jawa di kantor PMS dan di kota Surakarta. 1 Masyarakat Tionghoa Secara historis, orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Di dalamnya terdapat empat bahasa yaitu Hokkien, Teochiu, Hakka, dan Kanton yang memiliki perbedaan yang tinggi. Para imigran Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia sejak abad ke 16 sampai ke 19 (Ayu Windi: 83) Menurut Puspa Vasanti (1999 : 354) masyarakat Tionghoa di Indonesia umumnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama disebut dengan golongan Peranakan dan yang ke dua disebut golongan Totok. Golongan peranakan yaitu generasi imigran Tionghoa yang hidup turun temurun di Indonesia yang sudah tidak lagi condong ke negeri Cina dan telah menganggap Indonesia 21 22. sebagai bangsa asli meraka. Golongan Totok yaitu mereka yang telah hidup turun temurun namun pada umumnya masih fanatik menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negeri Cina. Menurut Noerdjanah, yang disebut peranakan adalah : a; Mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari Cina dan lahir di Hindia Belanda (Indonesia) b; Mereka yang lahir dari perkawinan campuran yaitu laki-laki Tionghoa dan wanita pribumi dan di sahkan serta di daftarkan sebagai anak sahnya. c; Mereka yang dilahirkan dengan perkawinan campuran antara ayah pribumi dan ibu Tionghoa dan mendapatkan pendidikan di dalam lingkungan Tionghoa (2004 : 74). Kehidupan kaum peranakan lebih terbuka dan lebih beradaptasi dengan masyarakat setempat. Mereka lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan, agama dan kepercayaan setempat. Golongan peranakan sebenarnya bukan merupakan golongan ras seperti orang Tionghoa totok, maka jelas bahwa golongan Tionghoa peranakan merupakan golongan tersendiri yang didasarkan atas penggunaan nama keluarga, kebudayaan khas yang mereka wujudkan dan atas identitas diri. Sedangkan orang totok masih sangat memegang tradisi dan adat kehidupan Cina, ini terlibat pada agama dan kepercayaan, gaya hidup, kebudayaan dan orientasi hidup. Keluarga Tionghoa Totok 22 23. sangat memperhatikan pendidikan budaya leluhur dan mereka mengutamakan kedekatan dengan sesama golongan puritan, sebab mereka merasa aman jika tetap berada dalam kelompok yang sama. Sebagian besar orang Tionghoa menganut agama Budha, Taoisme dan Konghucu. Ketiga ajaran ini berkembang pada awal abad Masehi, pada saat yang bersamaan ketiga ajaran itu memungkinkan saling mempengaruhi dan dipengaruhi, sehingga para penganutnya cenderung saling bertoleransi terhadap ketiga agama itu. Mungkin karena itu pula, di Indonesia ketiga kepercayaan itu ada kalanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee (perkumpulan tiga agama atau Budha Tri Dharma). Biasanya dalam kepercayaan itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci yang dianggap sebagai dewa atau dewi. Dalam bidang ekonomi, orang Tionghoa banyak yang kaya tetapi juga yang miskin. Namun sebagai minoritas diperkotaan, orang Tionghoa tergolong kelas menengah di Indonesia. Secara ekonomis etnis Tionghoa lebih kuat karena pada umumnya memiliki etos kerja dan pendidikan yang lebih tinggi dari orang Jawa serta karena adanya jaringan bisnis yang kuat. Stereotip manusia Tionghoa biasa disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, superior, dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, 23 24. ulet, memiliki spekulasi yang tinggi, namun dengan mudah menghambur-hamburkan materi, suka berpesta pora (Hariyono, 2006 : 241). 3.Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Sebagai Organisasi Sosial Kemasyarakatan. Manusia modern adalah manusia organisasi. Manusia organisasi adalah manusia yang mempunyai kemauan, kemampuan untuk bekerjasama dalam suatu wadah yang disebut organisasi . Manusia mulai sadar, hanya melalui kerjasama dalam organisasi, dia akan memperoleh hasil karya yang efektif dan efisien, karena itu manusia sangat membutuhkan organisasi. Tuntutan akan kehadiran organisasi bukan sekedar merupakan tuntutan sekelompok orang yang kebetulan bersedia diakomodasi dalam suatu wadah, tetapi tuntutan atas kehadiran organisasi itu datang dari masyarakat umum juga. Menurut Etzioni (1985), dalam Jabal Tarik, organisasi adalah unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya Etzioni menjelaskan bahwa pada umumnya organisasi ditandai oleh ciriciri sebagai berikut; (1) adanya pembagian kerja, kekuasaan, dan tanggungjawab komunikasi; (2) ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi usahausaha organisasi serta mengarahkan organisasi dalam mencapai tujuan; (3) ada pergantian tenaga 24 25. (kaderisasi) bila ada individu yang tidak mampu menjalankan tugas tugas organisasi. Warna organisasi Tionghoa di Surakarta biasanya adalah organisasi sosial budaya. Paguyuban Masyarakat Surakarta pada awalnya adalah organisasi kematian (Song Su). Anggota PMS pada awalnya adalah etnis Tionghoa berbagai suku yang tinggal di Solo dengan jumlah terbanyak adalah golongan peranakan atau dari suku Hokkian, dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi diantara mereka dan mengurus kepentingan Tionghoa di Solo. 4. Hubungan Masyarakat Jawa dan Tionghoa : Antara Rukun dan Renggang Etnis Tionghoa di Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya telah lama usianya. Sejak zaman Indonesia klasik, hubungan dagang antara negeri Cina dengan nusantara telah terjalin. Pada masa nusantara memasuki zaman kurun niaga abad ke- 15 sampai dengan abad ke-17 makin besar volume hubungan dagang antara negeri Cina dengan negeri-negeri di wilayah nusantara termasuk negeri-negeri di tanah Jawa. Disukai atau tidak, realitas etnis ada dalam sebagian besar negara nasional. Menurut Koentjaraningrat (1993: 3), dari 175 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya 12 negara yang penduduknya relatif homogen. Karena itu, pengabaian terhadap masalah etnis dapat menyebabkan terjadinya gejolak sosial politik. Karena itu, secara praktis pun kajian mendalam terhadap relasi antaretnis amat perlu dilakukan sebagai landasan pemikiran kebijakan integrasi sosial. 25 26. Wasino (2006: 21) menerangkan hubungan orang Tionghoa di tanah Jawa dan interaksi sosialnya dengan etnis lain dalam bidang ekonomi, politik dan budaya serta benturan-benturan social yang muncul. Sejarah orang Tionghoa di Jawa di bagi dalam dua periode, sebagai berikut : a: Periode Pra Kemerdekaan Hubungan orang-orang Tionghoa dan orang Jawa, terutama dalam perdagangan sudah berlangsung cukup lama, dan mungkin sekali bermula sebelum Tarikh Masehi (Kartidirdjo, dkk.. 1976:11). Pada saat puncak kejayaan Majapahit, pada abad XIV. Orang-orang Jawa dari golongan atas telah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimpor dari negeri Cina, seperti sutera, porselin dan sebagainya. Di sepanjang Pantai utara Pulau Jawa, telah banyak perkampungan Cina. Dalam waktu yang bersamaan berlangsung perkawinan antara orang-orang Cina dengan penduduk Indonesia setempat. Hubungan antara orang Cina dan Jawa sangat baik. Tidak ada konflik-konflik yang berbau rasial sebagaimana abad-abad selanjutnya. Kenyataan ini disebabkan struktur yang berlaku dalam masyarakat Jawa pada saat itu. Pada abad itu, sistem masyarakat Jawa adalah masyarakat feodal, sehingga kekuasaan raja begitu kuat yang didukung aparat birokrasi kerajaan hingga tatanan kabupaten. Hubungan harmonis antara orang Cina dan Jawa mulai terganggu setelah tanah Jawa di bawah kekuasaan Belanda, terutama sejak akhir abad XVIII. Orang-orang Cina keturunan mulai menikah di antara 26 27. mereka sendiri. Bahkan para pendatang baru yang tidak banyak itu berusaha mencari pasangan hidupnya di antara wanita-wanita Cina peranakan. Singkatnya masyarakat Cina mulai tumbuh dan mengisolasikan diri. Kebijakan Pemerintah Belanda tentang tanam paksa berpengaruh pula terhadap eksklusivisme minoritas Cina. Sejak tahun 1740, orang-orang cina secara resmi dipaksa untuk tinggal di lingkungan terpisah dalam setiap kota yang diawasi Belanda Pacinan (Chinese Wijk). Setelah dijalankan kebijakan system tempat tinggal kepada orang-orang Cina. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan system pembatasan ruang gerak etnis Cina dengan surat jalan. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut menimbulkan benih-benih jarak social antara orang Jawa dan cina. Hal ini membawa implikasi terhadap hak-hak mereka yang menduduki lapisan tertentu berbeda dengan lapisan lainnya. Adapun strata social berdasarkan Ras itu adalah : 1: Pegawai Kompeni 2: Penduduk yang merdeka (orang-orang Kristen) 3: Orang-orang Timur Asing (Cina, India, arab) 4: Inlander (Pribumi) (Wertheim, 1956 : 123) Pembagian masyarakat dalam strata sosial demikian telah mealahirkan hubungan yang renggang antar etnis dalam masyarakat Jawa. Orang Belanda menganggap lebih tinggi kedudukannya 27 28. dibandingkan dengan etnis Cina dan Jawa. Sementara itu etnis Cina merasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan penduduk dari etnis Jawa, meskipun berada dibawah kedudukannya dibandingkan dengan orang-orang Barat. b: Periode Pasca Kemerdekaan Pada masa perang kemerdekaan,kebanyakan etnis cina kurang aktif ikut berjuang atau simpati terhadap kalangan pejuang kemerdekaan.sehubungan dengan hal ini,sebagian kaum pejuang kemerdekaan memandang etnis cina ketika itu lebih simpatik kepada orang-orang belanda.Akibatnya pada masa tersebut banyak orang-orang cina yang menjadi korban revolusi.keadaan ini membawa dampak makin takutnya orang-orang cina terhadap orang-orang jawa dari kalangan pejuang kemerdekaan. Pada tahun 1950 orang-orang cina sangat memainkan peran penting dalam dunia usaha karena sikap oportunis, kemampuan modal dan dukungan solideritas diantara mereka. Tekanan-tekanan terhadap orang- orang Cina meningkat pada akhir tahun 1950-an yang datang dari beberapa pihak. Menurut Skinner (1981:21) pada tahun 1957 Departemen Perdagangan dan Perindustrian secara terang-terangan mengubah secara sedikit demi sedikit kearah pengeluaran orang-orang asing dari semua rangka usaha. Pada tahun yang sama pemerintah mulai mengenakan pajak kepala bagi orang-orang asing di Indonesia. Dalam ranah politik, gejolak Anti Cina muncul sekitar dua tahun menjelang 28 29. munculnya gerakan G 30 S/PKI, tepatnya tanggal 27 Maret 1963. Pada waktu itu terjadi peristiwa di Cirebon yang mengejutkan pemerintah dan alat-alat kekuasaan Negara setempat. B: Landasan Teori Dalam menganalisis Interaksi Sosial Antara Masyarakat Jawa dan Tionghoa Dalam Organisasi Sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di kota Surakarta maka peneliti mengunakan teori interaksionisme simbolik. Istilah interaksionisme simbolik menjadi sebuah metode untuk pendekatan yang relative khusus pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia. Teori interaksionisme simbolik dimunculkan oleh George Herbert Mead, Charles Horton Cooley, teori ini memiliki substansi yaitu kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan symbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar dan memberikan tanggapan terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya dan dari luar dirinya (Ritzer, 2003: 54). Masyarakat merupakan bentukan dari interaksi antar individu. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antar pelaku, dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Teori interaksionisme simbolik melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab ekspresi tingkah laku manusia. Mead 29 30. (1986) memandang interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, yaitu Percakapan Isyarat (Interaksi non simbolik) dan Penggunaan Simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Teori interaksionisme simbolik memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang mendalam, yakni suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Craib (1986:112) merumuskan asumsi-asumsi interaksionis simbolik berdasarkan karya Herbert Blumer sebagai berikut : 1: Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar asumsi internilai simbolik yang dimiliki sesuatu itu (kata benda atau isyarat) dan bermakna bagi mereka. 2: Makna-makna itu merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat manusia. 3: Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi dan ditangani melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan benda-benda dan tanda-tanda yang dipergunakan. C: Kerangka Teoritik Kerangka berfikir merupakan dimensi-dimensi kajian utama, faktor- faktor kunci, varibel-variabel dan hubungan antara dimensi-dimensi yang disusun dalam bentuk narasi atau grafis. Dalam penelitian ini kerangka berfikirnya adalah sebagai berikut : 30 31. Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Masyarakat Tionghoa Peranan Dalam Organisasi PMS Kegiatan Di PMS - Social budaya - Seni & Olahraga - Kemasyarakatan - Dll Masyarakat Jawa Peranan Dalam Organisasi PMS Interaksi Penelitian tentang interaksi masyarakat Tionghoa dan masyarakat Jawa dalam satu organisasi sosial adalah sebagai berikut : Perkumpulan Masyarakat Surakarta adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang 31 32. sosial dan melayani masyarakat dari etnis apapun tanpa membeda-bedakan golongan. Di dalam organisasi tersebut terdapat dua etnis yang pernah dan sering bertikai di Kota Surakarta yaitu Tionghoa dan Jawa, bahkan di kota lain di Indonesia dua etnis itupun sering bertikai. Perkumpulan Masyarakat Surakarta yang mempunyai tujuan Integrasi, pembauran dan persatuan dapat menjembatani antara etnis Tionghoa dan Jawa sehingga dapat saling berkomunikasi, berinteraksi di bawah naungan organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta. BAB III METODE PENELITIAN A: Dasar Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Bungin (2001: 30), metode kualitatif adalah satu-satunya cara andal dan relevan untuk bisa memahami fenomena social (tindakan manusia). Pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis tetapi perlu juga memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. 32 33. Burhan Bungin (2001: 49) ada tiga format desain penelitian kualitatif yang umum digunakan, yaitu desain deskriptif, verifikatif, dan grounded research. 1: Desain Deskriptif kualitatif : desain ini belum benar-benar kualitatif karena konstruksinya masih dipengaruhi oleh tradisi kuantitatif, terutama dalam menempatkan teori pada data yang diperolehnya. 2: Desain Kualitatif Verifikatif : merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan dilakukan, karena itu format desain penelitiannya secara total berbeda dengan format penelitian kuantitatif. Format ini lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan strategi memperoleh data dilapangan. 3: Desain Grounded Research : dipengaruhi oleh pandangan bahwa peneliti kualitatif tidak membutuhkan pengetahuan dan teori tentang objek penelitian untuk mensteril subjektivitas peneliti, maka format desain ini dikonstruksi agar peneliti dapat mengembangkan semua pengetahuan dan teorinya setelah mengatahui permasalahan di lapangan. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian di PMS untuk mendapatkan data sebanyak mungkin mengenai pola interaksi antara masyarakat Tionghoa dan Jawa dalam satu organisasi sosial. Selain melakukan wawancara di kantor sekretariat PMS, peneliti juga melakukan observasi di lingkungan sekitar kantor. Dengan demikian seorang peneliti kualitatif dalam memperoleh data yang diperlukan harus turun ke lapangan dan berada di lokasi penelitian 33 34. dalam kurun waktu lama sehingga akan memperoleh data yang banyak dan lengkap. Tidak jarang pula peneliti dalam mencari data menemukan hambatan seperti orang yang diwawancara tidak bersedia diwawancarai. Maka dari itu, peneliti berusaha bagaimana caranya bisa mendapatkan data yang diperlukan untuk mendukung penelitian. Metode kualitatif dirasa sangat tepat untuk mengkaji penelitian ini, peneliti menceritakan secara deskriptif apa yang didapat dari pengamatan dan wawancara mengenai interaksi etnis Jawa dan Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) yang berada di kota Surakarta. B: Lokasi Penelitian Lokasi penelitian menunjukkan tempat dimana penelitian dilakukan. Penelitian ini dilakukan di kantor sekretariat Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di Jl. Ir Juanda No. 47 kotamadya Surakarta. Termasuk kelurahan Purwodiningratan Kecamatan Jebres. Berada di tengah perkotaan yang tidak jauh dari keraton Kasunanan, pasar Klewer, Masjid Agung, dan jalan protokol Slamet Riyadi. Jalan yang menjadi salah satu sasaran ketika terjadi kerusuhan Mei 1998. Penentuan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah dan memperjelas objek yang menjadi sasaran penelitian, sehingga permasalahan tidak terlalu luas. Tidak hanya melakukan penelitian di lokasi kantor saja, peneliti juga keliling kota Surakarta, ikut menikmati makan malam 34 35. di angkringan atau yang biasa disebut hik (Hidangan Istimewa Keliling). Ketika duduk lesehan sambil menikmati makanan, peneliti mencuri-curi berbincang dengan pembeli lain. Angkringan atau hik di jalan Honggowongso kebanyakan pembelinya etnis Tionghoa, mengendarai mobil mewah, dan mereka makan malam sambil membicarakan bisnis. C: Fokus Penelitian Adanya fokus penelitian membatasi studi yang berarti bahwa dengan adanya fokus yang diteliti akan memunculkan suatu perubahan atau subjek penelitian menjadi lebih terpusat dan terarah. Kemudian penentuan fokus penelitian akan dapat menetapkan kriteria-kriteria untuk menjaring informasi yang diperoleh. Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah pola interaksi masyarakat Jawa dan Tionghoa dalam satu organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di kota Surakarta. Peneliti tertarik kepada tema tersebut karena etnis Jawa dan Tionghoa mempunyai sejarah interaksi yang paling problematik dibandingkan dengan etnis lain di Indonesia. Kota Solo dipilih dengan alasan di kota budaya ini pernah terjadi kerusuhan dengan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa, dan kerusuhan yang pernah terjadi merupakan kerusuhan yang paling besar dan paling sering terjadi di Indonesia. D: Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2002 : 107), sumber data penelitian ini adalah : 1: Subjek Penelitian 35 36. Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Subjek analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian peneliti (Arikunto, 2002: 122). Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Tionghoa dan Jawa dalam organisasi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). 2: Informan Informan adalah individu-individu tertentu yang diwawancarai untuk keperluan informasi atau keterangan atau data yang diperlukan oleh peneliti. Informan ini dipilih dari orang-orang yang betul-betul dapat dipercaya dan mengetahui objek yang diteliti (Koentjaraningrat, 1993 : 130). Dalam penelitian ini informannya adalah masyarakat Tionghoa dan Jawa yang ada di organisasi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). 3: Dokumen Dalam penelitian dokumen yang digunakan adalah foto-foto, data monografi serta data-data lain sebagai tambahan yang diperoleh dari buku- buku arsip, dan dokumen yang terkait dalam penelitian ini. E: Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi. 1: Observasi Observasi atau pengamatan adalah cara pengambilan data menggunakan mata tanpa pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir, 1983 : 212). Sedangkan menurut Rahman (1999 : 77) 36 37. observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang Nampak pada objek penelitian. Observasi merupakan pengamatan atau memperhatikan perilaku individu dalam situasi atau selang waktu tanpa memanipulasi, mengontrol dimana perilalku ini ditampilkan. Dalam metode ini juga tidak mengabaikan kemungkinan menggunakan sumber-sumber non manusia, seperti dokumen dan catatan-catatan. Hal-hal yang akan diobservasi antara lain kegiatan dan interaksi masyarakat Tionghoa dan Jawa di PMS. 2: Wawancara Wawancara dalam penelitian kualitatif merupakan syarat utama untuk menyimpulkan data. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan, memperoleh tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara (Nazir, 1983 : 234). Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (deep interview) sehingga mampu mengorek informasi dari informan dari informan sebanyak mungkin dan memuaskan. Para subjek dan informan dipilih dengan mengikuti sampel bola salju (snow-ball sampling). Ketika interaksi peneliti dengan para subjek dan informan berhasil memberikan data yang relevan, maka peneliti menanyakan kepada yang bersangkutan tentang siapa-siapa lagi yang 37 38. dikenal atau disebut secara langsung atau tidak langsung olehnya. Penambahan dan wawancara dengan subjek dan informan dilakukan hingga mencapai kejenuhan teoritik (theoritical saturation), yaitu ketika penambahan data dan anlisis tidak lagi memberikan sumbangan untuk menemukan sesuatu yang baru (Strauss, 1990:21). Dengan demikian, penambahan subjek dan informan dalam penelitian ini tidak dilakukan lagi apabila penambahan tersebut ternyata tidak bisa memberikan informasi yang baru. Pada prinsipnya, peneliti berpendapat bahwa jumlah sumber data bukanlah segala-galanya. Sebab kepedulian utama adalah ketuntasan perolehan informasi yang mencakup seluruh keragaman yang ada untuk menjelaskan fakta di lapangan. Pada awalnya peneliti menghubungi ketua Humas Perkumpulan Masyarakat Surakarta dan beberapa karyawan di organisasi sosial tersebut, merujuk saran yang mereka berikan, peneliti dapat bertemu tokoh-tokoh masyarakat dalam hal ini budayawan baik dari etnis Jawa maupun Tionghoa di kota Surakarta. Peneliti sangat berterimakasih dan merasa beruntung mengingat tidak mudah menemui bahkan mewawancarai etnis Tionghoa untuk keperluan penelitian, pengalaman konflik telah membuat mereka trauma berhubungan dengan orang Jawa. Ada dua bentuk wawancara yang dilakukan yaitu wawancara terstruktur yang dilakukan dengan pedoman wawancara dan wawancara tak berstruktur yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, 38 39. dan pandangan-pandangan mereka tentang interaksi dan pembauran dlam satu oraganiasi social. Wawancara dilakukan untuk mengetahui partisipasi, interaksi antara masyarakat Tionghoa dan Jawa dalam PMS. 3: Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1983 : 202). Studi dokumentasi dimaksudkan untuk melengkapi data dari wawancaradan observasi yang berupa catatan-catatan tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan serta menjadi bukti yang resmi. F: Validitas Data Validitas atau keabsahan data sangat mendukung dan menentukan hasil akhir suatu penelitian. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan data. Untuk menjalin validitas data temuan yang diperoleh, peneliti melakukan beberapa upaya yaitu menggunakan teknik trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan data. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2005 : 330). Untuk mengecek tentang dapat tidaknya ditransfer ke latar lain keterlibatan dilakukan dengan menguraikan secara rinci data yang masuk. Sedangkan ketergantungan atas kepastian data bisa dikonfirmasikan dengan 39 40. sumbernya yang dilakukan dengan teknik audit trail yakni mengenal lebih dalam situasi lokasi penelitian. G: Analisis Data. Analisis yang digunakan terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, seperti yang dipaparkan Miles dan Huberman, yaitu: 1: Reduksi Data Reduksi data merupakan proses pemilihan atau pemusatan perhatian pada penyederhanaan pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Pada tahap ini peneliti memilih data yang relevan dan yang kurang relevan dengan tujuan penelitian, kemudian mengelompokkan dengan aspek yang diteliti (Miles, 1992 : 16). 2: Penyajian Data Penyajian data yaitu sekumpulan informasi yang tersusun dan member kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data yang dipilih dalam penelitian ini adalah bentuk naratif dengan tujuan setiap data tidak lepas dari latarnya. Menarik kesimpulan penelitian selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dalam penelitian. Dengan kata lain, penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data, bukan atas angan-angan atau keinginan peneliti. 40 41. Penyajian data merupakan analisis ,merancang deretan dan kolom- kolom dalam sebuah matrik kualitatif dan menentukan jenis dan bentuk data yang dimasukkan dalam kotak-kotak (Miles, 1992 : 17-18). 3: Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan adalah suatu tinjauan ulang pada catatan dari lapangan atau kesimpulan ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya dan kecocokannya yaitu merupakan validitasnya (Miles, 1992 : 19). Penarikan kesimpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan dan konfigurasi yang utuh, sesuai tujuan yang ingin dicapai dari latar belakang diatas maka analisis dari penarikan kesimpulan atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Ketiga komponen tersebut adalah suatu siklus, jika terdapat kekurangan data dalam penarikan kesimpulan maka peneltiti dapat menggali dari catatan lapangan. Jika masih tidak ditemukan, maka peneliti mengumpulkan kembali. Adapun proses analisis datanya dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data 41 42. Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi (Miles, 1992 : 20) 42 43. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A: Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kenyataan Pluralitas di surakarta menjadi latar belakang bagi peneliti untuk memilih Surakarta sebagai fokus penelitian. Dalam keseharian, Surakarta memiliki keunikan. Sebuah Kota di Jawa Tengah yang sangat dinamis, menjadi potret kecil kemajemukan Indonesia. Surakarta menyimpan rekaman sejarah pergerakan, dan sekaligus juga sederet peristiwa kerusuhan serta radikalisasi massa yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari realitas Surakarta. Surakarta bahkan menjadi barometer politik setelah Jakarta. 1: Sekilas Wajah Kota Surakarta a: Letak dan wilayah. Surakarta atau Solo menunjuk pada sebuah kota di pedalaman Jawa Tengah yang telah tua usianya. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Jawa yang mengendalikan hamper seluruh wilayah Jawa, yakni Mataram. Dengan demikian kota ini dapat dikatakan sebagai sebuah kota yang telah tua usianya. Selain itu data dari historis dapat diketahui bahwa memang manusia Jawa berasal dari wilayah geografis ini yang puing-puingnya masih dapat disaksikan di Museum Sangiran yang terletak di sebelah utara kota Surakarta. Manusia cerdas yang dikenal dengan nama Homo Soloensis ditemukan di lembah 43 44. Bengawan Solo, sebuah hamparan sungai yang pernah menjadi urat nadi orang Solo hingga saat ini (Poesponegoro dan Notosoesanto, 1993). Wilayah geografi kota Surakarta semuanya terdiri dari dataran rendah. Tanahnya sangat subur karena banyak menerima abu vulkanik dari dua gunung berapi yang mengitarinya. Gunung Merapi disebelah barat laut dan Gunung Lawu di sebelah timur. Selain itu, dataran Surakarta juga diapit oleh sumber air beupa sungai Pepe, Jenes, dan yang paling besar yaitu Bengawan Solo. Udara di wilayah surakarta tidak terlalu panas dan berada pada ketinggian 92 meter dari permukaan laut. Suhu udara maksimum 32,5 derajat celcius dan suhu minimum 21,9 derajat celcius ( Kotamadya Surakarta dalam Angka, 1997: 2). Sama dengan wilayah lain di Jawa Tengah wilayah Surakarta juga beriklim tropis. Secara astronomis wilayah ini berada pada posisi 1100 45 15 1100 43 35 bujur timur dan 70 36 00 70 56 00 lintang selatan. Secara administratif Surakarta berbatasan dengan sejumlah wilayah Kabupaten di Jawa Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Dati II Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupeten Karanganyar (Peta Kota surakarta). 44 45. Wilayah ini terbagi menjadi lima kecamatan yang memiliki karakteristik kemajemukan tersendiri, yakni Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Setiap kecamatan terdiri atas sejumlah kelurahan yang rata-rata terdiri atas 7-13 kelurahan. Sejalan dengan pengembangan Surakarta menjadi kota wisata di kota ini terdapat sejumlah tempat penginapan mulai dari hotel-hotel berbintang sampai hotel kelas teri. Hotel-hotel berbintang itu antara lain Kusuma Sahid, Sahid Raya, Lor Inn (dulu Seraton), Novotel, hotel Cakra, dan Quality Hotel. Sementara itu hotel-hotel menengah ke bawah sangat mencolok sekali menawarkan jasanya disepanjang jalan Slamet Riyadi dan itu antara lain ditunjukkan dengan persaingan harga. b: Penduduk Penduduk Surakarta menurut catatan kantor statistik tahun 1997 sebanyak 539.387 jiwa. Mereka tersebar dalam lima kecamatan , yakni : Banjar Sari 160.081 jiwa, Jebres 131.071 jiwa, Laweyan 103.098 jiwa, Pasar Kliwon 83.261 jiwa dan Serengan 61.776 jiwa. Pada siang hari jumlah penduduk Surakarta bias meningkat menjadi tiga kali lipat. Ini terjadi karena munculnya tenaga kerja Lajon dari daerah sekitar seperti Wonogiri, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Grobogan, dan Klaten. Mereka bekerja sebagai pedagang di pasar-pasar tradisional, penarik becak, sopir angkot, buruh pabrik, pramuniaga, bahkan pegawai negeri dan angkatan bersenjata. Selain itu banyak pula anak-anak sekolah dan mahasiswa diluar kota Surakarta yang menempuh pendidikan di kota 45 46. tersebut. Sejalan dengan pengembangan Surakarta sebagai kota turis, maka kehadiran wisatawan baik mancanegara maupun domestic juga telah menambah besarnya jumlah penduduk Surakarta di luar catatan kantor statistik. Dilihat dari kewarganegaraannya, penduduk surakarta dapat dibagi menjadi penduduk warga negara dan bukan warga negara (warga negara asing). Menurut catatan Kantor Statistik tahun 1997, penduduk warga negara asing terdiri dari warga negara Tionghoa dan warga negara lainnya. Meraka terbagi di seluruh kecamatan di wilayah kota Surakarta. Tabel dibawah ini menggambarkan jumlah dan persebaran mereka. Tabel 1 Penduduk Warga Negara Asing di Surakarta Kecamatan Jumlah KK Tionghoa Lainnya Jumlah Laweyan 29 85 1 86 Serengan 80 152 1 116 Pasar Kliwon 40 61 31 92 Jebres 151 443 - 443 Banjar Sari 223 866 5 841 Jumlah 523 1577 38 1615 46 47. Tabel 1. menggambarkan aspek kewarganegaraan dan etnisitasnya. di Surakarta banyak orang asing yang masih berkewarganegaraan cina, yakni sebanyak 1577 jiwa. Mereka tersebar hampir di seluruh kecamatan, namun yang paling besar terdapat di kecamatan Banjarsari (866 jiwa), kemudian secara berturut-turut Jebres (443 jiwa), Serengan (152 jiwa), Laweyan (85 jiwa) dan Pasar Kliwon (61 jiwa). Warga Negara asing lainnya mengacu pada orang-orang Arab. Ini terlihat dari lokasi pemukimannya yang sebagian besar terdapat di kecamatan Pasar Kliwon, dan terutama kampong Baru dan Pasar Kliwon. Berdasarkan statistic Surakarta tahun 1997, agama yang dianut penduduk Surakarta adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu. Adapun jumlah pemeluk agama masing-masing adalah Islam (394.184 orang : 73,88%), Kristen Katolik (71.858 orang: 13,32%), Protestan ( 65.931 orang: 12.22%), Hindu (4.771 orang: 0,89%), dan Budha (2643 orang: 0,49%). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sebagian penduduk Surakarta beragama Islam. Akan tetapi jumlahnya hanya 73,88%. Ini berarti di bawah rata-rata penduduk Islam di Indonesia yang lebih dari 90%. c: Geoekonomi Surakarta 47 48. Keberadaan Surakarta tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembagian wilayah kekuasaan Mataram Islam. Pada abad XIX dan XX pemerintah Belanda membagi kerajaan Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Karena terjadi kekacauan di kerajaan Mataram, Belanda mengangkat Pakubuwono II menjadi raja, ia memindahkan kerajaan dari Kartasura ke Sala pada tahun 1746. Pada masa ini, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya. Setiap patih yang bekerja di kerajaan otomatis bekerja pada Belanda. Kota Surakarta menjadi kedudukan bagi Kasunanan dan Mangkunegaran serta kantor Residen Belanda terletak di tengah kota Solo (Shiraishi, 1997: 3). Nama Solo sampai sekarang lebih akrab di telinga kita daripada menyebutnya Surakarta. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, melalui Undang-Undang No. 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965 dan ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 nama Solo diubah menjadi Surakarta. Surakarta merupakan kota kunci di Propinsi Jawa Tengah. Lahan yang digunakan untuk pemukiman mencapai 61% dari luas lahan di Surakarta. Sebagai kota pedagangan yang semakin berkembang, kawasan perdagangan dan industri, dan jasa selalu tumbuh semakin meluas disbanding kawasan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Akibatnya lahan untuk pertanian semakin menurun, hanya 18% dari total tanah di Surakarta. 48 49. Surakarta mengalami modernisasi dan pembangunan terus- menerus sebagai kawasan yang menggoda para pemodal. Oleh karena itu, Surakarta pun ikut terjangkit gejala kosmopolitanisme. Di Surakarta banyak di bangun pusat-pusat perdagangan, seperti Beteng Trade Center, pertokoan, dan mall-mall baru yang lebih besar dari sebelumnya. d Geopolitik Surakarta Dari komposisi etnis dapat dilihat bahwa secara keseluruhan komposisi penduduk Surakarta dapat dikatakan heterogen. Komunitas selain pribumi, yakni Arab dan Tionghoa tumbuh dalam jumlah yang besar. Komunitas India juga tumbuh dalam prosentase kecil di Surakarta. Etnis lain selain pribumi Jawa juga dapat di jumpai dalam komunitas- komunitas kecil di Surakarta diantaranya adalah etnis Sunda, Bali, Batak, Madura, Betawi, Melayu, dan lainnya. Berdasarkan data sensus penduduk pertama tahun 1920, jumlah penduduk di Kota Surakarta mencapai 134.000 orang termasuk penduduk Eropa, dan Indo sebanyak 5.000 orang dan separonya tinggal di kota. Orang Tionghoa berjumlah 14.000 jiwa dan 8.000 diantaranya tinggal di kota. Orang Arab berjumlah 800 jiwa dan semuanya tinggal di Kota (Shiraishi, 1997: 3). Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk Arab, Indo, Eropa, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya berjumlah 10% dari total 49 50. penduduk yang mayoritasnya adalah pribumi. Hal ini merupakan gambaran bahwa Surakarta telah memiliki heterogenitas etnis sejak dulu. Bersamaan dengan masuknya kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi Belanda di kota Surakarta maka pola homogenitas pemukiman merusak tatanan ekologi sosialnya. Belanda menganggap penting untuk mengakses kepentingan Cina-Arab sebagai kelas perantara antara elit Belanda dengan pribumi untuk kepentingan perkebunan. Kawasan Balong dan sekitar Pasar Gede ditetapkan sebagai kampung Pecinan, dan kampung Pasar Kliwon dijadikan kawasan pemukiman Arab dibawah kepemimpinan Kapiten Arab. Bersamaan dengan potret semacam ini, muncullah kehidupan pasar dikota yang diakses oleh pedagang yang sifatnya heterogen. Setelah itu muncullah kampung Sampangan dan Kampung Baru (etnis Madura), Kampung Jayengan (etnis Banjar), dan Kampung Nusukan dan Singosaren (Etnis Minang). Namun seiring berakhirnya kekuasaan Kolonial, tempat tinggal mereka mulai tersebar diwilayah-wilayah lain di kota Surakarta. Daerah Coyudan misalnya, merupakan daerah yang berkembang setelah penjajahan Belanda berakhir. Kawasan ini berkembang menjadi kawasan perbelanjaan yang kebanyakan pedagangnya adalah etnis Tionghoa. Namun demikian, sampai sekarang penduduk Surakarta selalu menyebut Pasar Gede sebagai Pecinan di kota Surakarta. 50 51. 2 Keadaan Alam Atau Lingkungan Tempat Kantor Sekretariat Perkumpulan Masyarakat Surakarta Kelurahan Purwodiningratan, kecamatan Jebres, itulah tempat dimana kantor sekretariat Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) berada. Terletak di tengah kota, berdekatan dengan Keraton Kasunanan, Pasar Klewer dan Jalan Slamet Riyadi. Juga terletak dekat dengan aliran sungai Bengawan Solo. Di sebelah Utara terdapat kampus Universitas Sebelas Maret yang sekarang lebih dikenal dengan nama UNS. a Penduduk Menurut laporan monografi Kelurahan Purwodoningratan bulan Mei tahun 2009, penduduk kelurahan ini berjumlah 4794 jiwa. Terdiri dari 1307 Kepala Keluarga, laki-laki 2333 jiwa dan perempuan 2461 jiwa. b Mata Pencaharian (bagi Umur 10 tahun keatas) Sebagian besar penduduk yaitu 438 orang bekerja sebagai buruh industri. Di kawasan ini banyak terdapat pabrik atau peusahaan yang pemiliknya pengusaha Tionghoa, dan banyak memperkerjakan penduduk sekitar. Mata pencaharian terbesar kedua adalah pedagang yaitu sekitar 430 orang, baik masyarakat Jawa ataupun Tionghoa. Karena letaknya di tengah kota di pinggir jalan banyak Ruko (rumah yang juga merangkap sebagai toko) sebagian besar pemiliknya orang Tionghoa. Pengusaha sendiri di dominasi oleh orang Tionghoa, salah satu pemiliknya adalah seorang Ketua Humas Perkumpulan 51 52. Masyarakat Surakarta yaitu Bapak Sumartono Hadinoto, beliau bergerak dalam bidang perusahaan Gypsum dan Plafon, dan merupakan informan kunci bagi peneliti. c Pendidikan Tamat Akdm/Perg. T Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Sekolah Jumlah 59 618 996 1414 232 451 134 3898 Data Monografi Dinamis Bulan Mei Th 2009 Dari data diatas, terlihat sesuai dengan mata pencaharian penduduk, yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh industri yang notabene tidak memerlukan keahlian khusus atau pendidikan tinggi. Mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan milik orang Tionghoa. Pada saat terjadi kerusuhan, banyak pabrik atau perusahaan yang selamat dari amukan massa, karena si pemilik yaitu 52 53. orang Tionghoa meminta buruhnya yang sebagian besar warga pribumi (Jawa) untuk menjaga pabriknya. d Pemeluk Agama Kelurahan Purwodiningratan terletak di sebelah utara Kampung Balong dan Pasar Gede, yang merupakan kawasan Pecinan di Surakarta. Terdapat keberagaman agama di kelurahan ini, posisi pertama di duduki oleh agama Islam yang jumlah pemeluknya 2218 jiwa, disusul berikutnya Kristen Katolik sebanyak 1058 jiwa, Kristen Protestan 1310 jiwa, Budha sebanyak 39 orang, dan Hindu 149 orang. e Warga Negara Indonesia (WNI) Keturunan Karena bersebelahan dengan kawasan Pecinan, maka tidak mengherankan juga mengapa di kelurahan ini banyak terdapat etnis keturunan Tionghoa, terdapat 150 orang laki-laki dewasa, perempuan dewasa sebanyak 135 orang. Anak laki-laki sebanyak 55 orang dan perempuan 48 orang. Kebanyakan mereka sudah menggunakan nama Indonesia atau kombinasi dengan nama-nama Jawa, tetapi orangtua tetap memberi nama Tionghoa dengan cirri khas tiga suku kata. Untuk keperluan formal seperti sekolah, mereka menggunakan nama Indonesia, dan untuk urusan kepercayaan atau peringatan lainnya nama Tionghoa lah yang digunakan. 53 54. Sebagian masyarakat tionghoa berpendapat bahwa apalah arti sebuah nama, nama Jawa, Tionghoa, atau Barat tidak ada pengaruhnya, seperti pada wawancara yang peneliti lakukan dengan pengurus Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) yang mempunyai nama Jawa Bapak Sumartono Hadinoto(Khoe Liong Hauw) . Seperti berikut ini : Apa artinya sebuah nama, saya cenderung melihat seseorang secara pribadi bukan karena dia Jawa, Tionghoa, Medan, Arab. Apa gunanya ganti nama Sumartono, kalau ternyata Nyopet, Ngrampok, Korupsi, membunuh, apa artinya? Lebih baik Kwa Tong Hai, Soe Hok Gie, Than Jing Ing, tapi baik, berbakti pada nusa dan bangsa, tidak merugikan orang lain, jadiapalah arti sebuah nama?... ( hasil wawancara 17 Juli 2009) Banyak dari warga keturunan (terutama Tionghoa) yang belum memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Sebenarnya mengurus surat ini tidak sulit, tetapi banyak warga keturunan yang tidak mengetahui prosedurnya. Ketika sampai di kelurahan untuk mengurus surat, banyak pegawai kelurahan yang mengeluh karena nama Tionghoa sulit dilafalkan, diucapkan, susah di ingat, maka mereka diminta untuk ganti nama yang mudah diucapkan oleh lidah Jawa, misalnya Hartono, Gunawan, dan yang lainnya. Itulah mengapa banyak orang Tionghoa memiliki nama Indonesia, sudah jarang yang menggunakan nama dengan cirri khas tiga suku kata. 54 55. 3 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Jawa di Surakarta Secara tradisional, masyarakat Surakarta terstratifikasi berdasarkan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan. Sebelum kemerdekaan pengelompokkan masyarakat seperti ini sangat kuat. Namun, pada masa kini telah mengalami proses pemudaran akan tetapi, sisa-sisa pemikiran yang feodalistik seperti ini masih tersisi di masyarakat. Masyarakat Jawa seperti Surakarta tidak mengenal Marga sebagaimana suku Batak, tetapi dikalangan priyayi dikenal adanya keluarga besar yang disebut Trah. Trah mengacu pada hubungan darah atau keturunan. Tradisi paguyuban trah ini semula hanya terjadi pada lingkungan Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Akan tetapi kemudian berkembang luas di kalangan keluarga pejabat kerajaan lainnya mulai patih sampai dengan Demang. Di Surakarta kebanggaan sebagai anggota trah merupakan cirri tersendiri dari masyarakat Solo asli. Wasino (2006: 44) menegemukakan bahwa Trah Kasunanan merupakan trah terbesar, yang melingkupi sejumlah keturunan sejak Pakubuwono I hingga Pakubuwono X. Tiap-tiap keluarga raja yang memerintah bias membentuk trahnya sendiri sebagai bagian dari trah Kasunanan. Sementara itu trah dari keluarga raja yang lebih dulu, misalnya trah Pakubuwono IX merasa lebih unggul dibanding trah dari 55 56. kelurga lain karena nenek moyangnya sangat legendaris dan mendukung Pergerakan Nasional dan sebaginya. Selain paguyuban trah bekas keturunan kerajaan terdapat pula puluhan paguyuban trah pada keluarga priyayi dimasa lampau. Di Surakarta terdapat paguyuban trah Kepatihan (keturunan dari patih Surakarta), trah Sumodilagan (keturunan dari keluarga Kusumadilaga) dan lainnnya. Rakyat kebanyakan di luar lingkungan feodal tampaknya juga mengikuti tradisi paguyuban trah itu. Berkaitan dengan itu maka di Surakarta dikenal adanya trah non priyayi seperti paguyuban trah Imam Rozi (keturunan dari keluarga Kyai Imam Rozi), paguyuban trah Tinalan (keturunan pedagang Emas bernama Tinalan) dan masih banyak lagi yang lainnya. Diluar kelompok priyayi itu dalam khasanah kebudayaan Jawa dinamakan Wong Cilik. Atau dalam terminologi kebudayaan Jawa disebut Kawula. Konsep ini mengandung pengertian yang merendahkan martabat, karena itu berarti abdi. Seorang abdi berarti Batur yang harus melayani kepentingan kelas priyayi. Mereka terdiri dari petani, tukang becak, pengrajin, seniman dan sebaginya. Sampai peneliti melakukan pencarian data, suasana seperti itu masih terlihat. Serasa berada pada zaman feodal. Namun, untuk saat ini telah berganti dari priyayi menjadi orang kaya. Pembeli yang 56 57. bermobil, akan dilayani dengan baik dan ramah bila berbelanja, misalnya saja di Pasar Klewer, membeli batik. Suatu fenomena yang tidak akan atau jarang kita temui di kota lain. 4 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tionghoa di Surakarta Masyarakat Tionghoa di Indonesia secara antropologi budaya terbagi dalam tiga golongan besar, yakni golongan Babah (peranakan), Totok, dan golongan angkatan muda (generasi muda). Menurut Liem, Etnis Tionghoa di Indonesia adalah : orang Indonesia yang berasal dari Cina dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia (Liem, 2000: 65). Setelah lama bermukim di Indonesia banyak dari mereka yang mempunyai kedudukan yang jauh lebih baik. Mereka kemudian mendatangkan familinya, sehingga tidak terjadi kawin lokal. Namun fenomena kawin lokal tetap banyak terjadi. Anak hasil kawin lokal melahirkan budaya baru yaitu budaya campuran. Kalau di Jawa contohnya adalah kebaya encim-encim itu. Kebayanya adalah ciri khas Jawa, tetapi ornamennya adalah ornamen Tionghoa. Kalau makanan, di Surakarta ada makanan Bakmi Ketoprak (Ustman Arif, budayawan Tionghoa Surakarta, wawancara tanggal 20 Juli 2009). Perasaan menjadi anggota suatu komunitas dan perasaan berbeda dengan komunitas lain merupakan gejala sosial yang wajar dalam 57 58. masyarakat. Perasaan demikian akan membuat seseorang mengidentifikasikan dirinya sama dengan anggota kelompok tertentu dan merasa berbeda dengan kelompok lain. Masyarakat Jawa dan Tionghoa sebagai kesatuan etnis juga tidak dapat melepaskan identitas dan perasaan itu. Dapat terlihat dari penggunaan bahasa, pemilihan lokasi pemukiman, lembaga pendidikan, dan kepercayaan. Etnis Tionghoa yang masih feodal tetap memandang bahwa etnisnya paling unggul, etnis lain meupakan kelompok bar-bar. Menurut Wasino (2006: 55) eksklusivitas etnis tionghoa juga tercermin dalam pemukiman. Sejak zaman Belanda, pemukiman di Surakarta telah terbagi secara segregatis. Segregatis itu berdasarkan pada beberapa hal, yakni: etnisitas, status sosial dan trah, serta jenis pekejaan. Pada saat sekarang, segregasi model itu telah luntur, namun segregasi baru muncul kembali sebagai dampak sampingan dari kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah. Pada zaman Belanda, etnis Tionghoa menempati Kampung Pacinan yang lokasinya di Balong dan Loji Wetan, Pasar Legi, Pasar Gede dan daerah Cotudan. Penempatan mereka dalam daerah-daerah seperti itu, selain karena factor sejarah juga diperkuat dengan kebijakan Pemerintah Belanda untuk melokalisasi orang-orang Tionghoa dalam pemukiman- pemukiman tertentu dikota-kota besar, termasuk di Surakarta. 58 59. Sekarang,selain pecinan-pecinan model lama seperti peninggalan Belanda, juga muncul Pecinan-pecinan Baru. Munculnya pecinan ini sebagai akibat tidak disengaja dari kebijakan pemerintah yang menekankan pada aspek pertumbuhan dan pembangunan fisik. Di sepanjang jalan utama di Surakarta seperti jalan Slamet Riyadi, jalan Honggowongso, jalan Veteran, jalan Urip Sumoharjo, jalan Siongosaren, dan sebagainya terdapat tempat-tempat usaha dan pemukiman milik etnis Tionghoa. Tempat usaha itu umumnya beupa toko-toko, hotel, rumah makan, biro jasa, dan sebagainya. Munculnya pecinan baru di sepanjang jalan utama ini sejalan dengan makin meningkatnya harga tanah sehingga menggiurkan pemilik tanah untuk melepaskan tanahnya kepada pembeli. Oleh karena di pinggir jalan raya sangat tepat untuk kegiatan perekonomian, maka orang-orang Tionghoa lah yang tertarik membelinya. Kondisi ini semakin mencolok, demi keamanan rumah, orang Tionghoa umumnya menutup rapat dengan pagar tembok atau pagar besi. Akibatnya masyarakat dilingkungannya tidak dapat berkomunikasi dengan penghuni rumah secara langsung, kecuali untuk kepentingan transaksi pedagangan. Komunikasi dengan etnis Tionghoa tidak terjadi karena bidang usaha tidak terkait dengan kebutuhan orang kampung. B Interaksi Etnis Jawa dan Tionghoa Dalam Organisasi Sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta 1 Sejarah Berdirinya Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) 59 60. Sejarah mencatat semenjak pertengahan abad ke-19, orang Tionghoa di Jawa telah berakulturasi dan terasimilasi ke dalam masyarakat setempat. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai kaum Tionghoa peranakan, dengan ciri kaum lelakinya memakai thang- sha (baju panjang Tiongkok), sedangkan kaum wanitanya memakai kebaya dan dibesarkan seperti layaknya wanita Jawa. Kaum peranakan Tionghoa ini umumnya tidak bicara dalam bahasa Mandarin tetapi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa setempat. Belakangan, masyarakat itu berdiri sendiri dalam arti kaum peranakan itu kawin antar sesama mereka. Namun, meski kaum peranakan Tionghoa telah terasimilasi dengan masyarakat setempat, namun akibat dari struktur masyarakat kolonial dan politik devide et impera (politik pecah belah) Belanda maka mereka masih ada sebagian kecil tetap terpisah dari golongan-golongan ras lain. Seiring perjalanan waktu, politik itu juga telah menciptakan pengelompokkan dan termanifestasikan dengan munculnya organisasi- organisasi social dan politik. Orang Belanda, Arab, India mempunyai perkumpulan social sendiri. Tidak ketinggalan pula warga Tionghoa. Pada hakekatnya perkumpulan-perkumpulan tersebut bersifat eksklusif atau tertutup bagi mereka yang bukan golongannya. Kendati demikian, eksklusifitas organisasi tersebut justru memperoleh pasar yang jelas. Sehingga, pada decade pertama tahun 1900-an, tercatat 60 61. dihampir seluruh kota-kota besar di Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa, telah tumbuh perkumpulan social semacam. Aliran pertama yang dipelopori oleh kelompok Sin Po, memiliki pandangan untuk mempertahankan dan memelihara nasionalisme serta kebudayaan negeri Tiongkok. Pandangan itu didasarkan pada kedudukan mereka sebagai perantau dan banyak dipengaruhi oleh adanya kelompok pembaru di Tiongkok yang telah gagal dalam usahanya menjadikan negeri itu suatu kerajaan konstitusional, para eksponen pembaruan itu telah mencari perlindungan diberbagai negeri Asia Tenggara dan menggunakan Singapura sebagai pangkalan baru bagi kegiatannya.Aliran kedua yang juga berkembang pada saat itu, adalah aliran yang dimilki oleh kelompok dengan ideologi yang berorientasi ke Hindia Belanda dan lebih bersifat kompromis terhadap penguasa kolonial Belanda. Aliran ini dianut kuat oleh kelompok Chung Hua Hui (CHH). Sedangkan aliran yang ketiga lebih menghendaki adanya integrasi atau penyatuan dengan masyarakat pribumi, seperti yang dianut oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Pandangan ini didasarkan bahwa mereka merupakan bagian dari warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, kelompok ini lebih berorientasi ke Indonesia dan turut memberikan kontribusi bagi perjuangan kemerdekaan. Di Surakarta, pada masa-masa tersebut ada sejumlah organisasi social kemasyarakatan yang berdiri sejak tahun 1920-an. Hubungan 61 62. komunikasi antar perkumpulan tetap terbangun secara konstruktif, khususnya dalam hal menyikapi setiap persoalan social atau ekonomi. Pada beberapa kasus, sempat terjadi perbedaan pandang antar organisasi Tionghoa,namun relative tidak sempat berkepanjangan. Komunikasi yang terjalin intensif diantara sejumlah organisasi Tionghoa itu dalam menatap suatu masalah pada gilirannya menumbuhkan inisiatif penyatuan diantara mereka. Perkumpulan tersebut antara lain Kong Tong hoo, Hiang Gie Hwee, Hap Gie Hwee, Kong Sing Hwee, Sam Ban Hien, dan Tiong Hoa Poen Sing Hwee. Masing-masing perkumpulan memiliki pandangan berbeda mengenai nama organisasi dan asas yang akan digunakan. Pada tanggal 1 April 1932 tercapai kesepakatan untuk membentuk wadah baru yang diberi nama Chuan Min Kung Hui. Selain menetapkan nama Chuan Min Kung Hui,panitia persiapan juga menyepakati pengangkatan Tan Gwan Soei sebagai ketuanya. Sedangkan mengenai modal awal organisasi, terkumpul uang kontan, perceel-perceel dan perabotan senilai golden f52.600.22. Sebagai pusat kegiatan Chuan Min Kung Hui menempati sebuah gedung di jalan Sorogenen 124 Solo yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Gedung Gajah. Pada periode tahun 1957-1965 kepemimpinan Chuan Min Kung Hui di jabat oleh Liem Thiam Bie. Masa kepemimpinan beliau banyak 62 63. menghasilkan buah karya yang sangat mendasar. Kepengurusan waktu itu menyusun rencana-rencana secara pragmatis dan rapi berkaitan dengan upaya menumbuh kembangkan rasa patriotism dan berkebangsaan Indonesia. Pemantapan adanya kegairahan asimilasi dan peleburan dalam tubuh organisasi itu, antar anggota dan masyarakat keturunan Tionghoa, serta masuknya sejumlah tokoh pribumi kedalam Chuan Min Kung Hui. Ujung dari perubahan itu adalah perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang menyesuaikan dengan lingkungan zaman. Tepatnya tanggal 1 Oktober 1959, nama Chuan Min Kung Hui resmi berganti menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Menyusul pembentukan PMS, mulailah digiatkan dan disebarkan gerakan integrasi dikalangan orang-orang Tionghoa Surakarta. 2 Kegiatan di Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Organisasi sosial ini menampung kegiatan baik kesenian, olahraga, sosial kemasyarakatan dan juga hukum. Di ruang kesenian, di gedung PMS setiap hari secara bergilir digunakan untuk latihan tari anak-anak, remaja maupun karawitan ibu-ibu. Sedangkan dipentas gedung Pertemuan PMS setiap hari (kecuali sabtu dan minggu) digunakan untuk latihan Band Jantung Sehat PMS, Band Remaja PMS, Keroncong asli PMS dan Musik Yang Khiem PMS. 63 64. Pagelaran seni berkiprah untuk memenuhi permintaan/undangan masyarakat umum, juga dari Pemerintah Daerah guna menyambut kedatangan tamu resmi, permintaan Gereja, permintaan badan/lembaga, menyambut malam Old and New, dan sesekali bermain dengan kelompok seni yang lain. Grup Wayang Orang PMS beberapa kali memenuhi undangan untuk tayangan lewat stasiun Televisi TVRI Yogyakarta dan berulangkali pentas di Jakarta. Secara umum beberapa kegiatan olahraga yang menonjol dan yang melibatkan peran PMS adalah sebagai berikut : Wisata sepeda, senam jantung sehat di Manahan, Krida Prana, Jie Kung dan bulutangkis. Pelatihan bulutangkis dilakukan setiap hari di GOR PMS mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB, baik untuk anggota PMS maupun perkumpulan-perkumpulan bulutangkis lainnya. Dalam upaya mengembangkan prestasi dalam olahraga bulutangkis, PMS bekerjasama dengan Pengurus Cabang PBSI Surakarta mengadakan PELATCAB (Pusat Pelatihan Cabang) bulutangkis yang diselenggarakan di GOR Manahan. Diharapkan melalui Pelatcab PMS ini dapat menjadi tumpuan bagi pembinaan sekaligus peningkatan atlit- atlit muda bulutangkis dan klub-klub nulutangkis di kota Surakarta untuk berprestasi di tingkat nasional maupun internasioanal. 64 65. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, secara rutin, setiap menjelang datangnya Idul Fitri, PMS membagi-bagikan bantuan berupa beras, gula dan lain-lain. Rata-rata sebanyak 4000 paket kepada yayasan maupun masyarakat yang membutuhkan. Secara insidentil, PMS juga tidak ketinggalan dalam memberikan bantuan kepada korban bencana alam atau musibah lainnya. PMS juga berpartisipasi aktif menyuplai barang-barang kebutuhan pasar murah yang diselenggarakan oleh Persit Kartika Chandra Kirana Korem 074/Warastratama Surakarta. Dalam rangka mensosialisasikan dan membantu pelaksanaan Program Pendataan Orang Asing Cina atau Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim Cina (TP4C) dan membantu dalam permohonan kewarganegaraan secara kolektif, maka melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait PMS mengambil inisiatif untuk menggunakan Sistem Pelayanan Satu Atap dalam pengurusan administrasi agar lebih cepat, efektif dan efisien. Dengan mengambil lokasi di kantor PMS. Kepengurusan TP4C melibatkan unsur Camat, Kepolisian, Kantor Imigrasi, Kejaksaan dan Kantor Sospol, dapat berjalan dengan lancar dan sukses. PMS juga bergerak dalam kegiatan kematian, yaitu dengan memiliki rumah duka dan tempat pemakaman serta perabuan/kremasi bagi jenazah, semua elemen masyarakat dilayani tanpa membedakan SARA. Letak rumah duka yaitu Thiong Ting terpisah dengan kantor 65 66. sekretariat PMS, jarak keduanya kurang lebih 5 Km, tetapi rumah duka atau rumah persemayaman jenazah Thiong Ting merupakan milik PMS juga. 3 Interaksi Antara Etnis Jawa dan Tionghoa yang Mengarah Pada Kerjasama Interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial. Interaksi mengacu pada hubungan antara individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, atau antara kekompok dengan kelompok (Gilin dan Gilin 1954: 389). Interaksi dapat dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling ditujukan oleh dan diantara dua orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial antar etnik, maka tindakan-tindakan itu dapat dipandang terkait dengan identitas etnik (Suparlan, 1989: 8). Demikian juga yang terjadi antara etnis Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta. Masing-masing etnis memiliki pandangan tersendiri mengenai kelompok atau etnis lain. Tetapi, di Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) etnis Jawa dan Tionghoa bekerjasama dalam kegiatan PMS. Usman Pelly, (1989: 1- 9) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mentukan corak hubungan antar kelompok etnis masyarakat majemukm, yaitu : kekuasaan (Power), persepsi (Perception), dan tujuan (Purpose). Kekuasaan merupakan faktor utama dalam menentukan situasi hubungan antar etnik itu. 66 67. Walaupun antar etnis saling bekerjasama, tetap juga terdapat hierarki atau tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini kekuasaan atau kedudukan. Di Surakarta bahkan di Indonesia etnis Tionghoa merupakan etnis minorotas, namun karena kemampuan dan modal yang mereka miliki, etnis ini dapat menduduki posisi. Di PMS juga demikian, etnis Jawa yang notabene sebagai etnis mayoritas justru menduduki jabatan yang rendah yaitu sebagai karyawan/staf dikantor, karyawan gedung, bagian kebersihan, satpam, sopir, dan karyawan lainnya. Etnis Tionghoa menduduki jabatan sebagai pengurus, ketua bagian, sekretaris, bendahara dan ketua umum, hanya sedikit yang menjadi karyawan/staf. Di luar Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) boleh saja kedua etnis ini bertikai, hingga sering terjadi kerusuhan. Tetapi di dalam organisasi sosial ini, tidak terlihat permusuhan diantara mereka. Mereka saling menyapa, berbincang, bekerjasama dalam kaitannya dengan organisasi. Kedua etnis saling membutuhkan, etnis Tionghoa sangat merasakan dan menghargai keberadaan etnis Jawa sebagai karyawan dan merasa terbantu karena segala pekerjaan dapat selesai sehingga masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan PMS dalam hal apapun Saya merasa senang dan sangat terbantu dengan keberadaan orang Jawa di PMS, pekerjaan dilakukan dengan senang dan giat. Saling bantu membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (wawancara tanggal 3 Juli 2009) 67 68. Wawancara tersebut dilakukan dengan karyawan bagian administrasi Keuangan Rumah Duka Thiong Ting, yaitu bapak Widi Guntoro (48 Tahun), beliau merupakan warga negara keturunan. Lahir dari ibu asli Jawa dan bapak merupakan etnis Tionghoa. Bapak Widi tinggal dikampung, bukan diperkotaan, dan lingkungan tempat tinggal beliau kebanyakan dan hampir sebagian besar orang Jawa. Secara fisik, bapak Widi tidak terlihat seperti WNI (Warga Negara Keturunan), matanya tidak sipit, kulitnya tidak kuning, dan namanya tidak terdiri dari tiga suku kata, sehingga sempat membuat peneliti terkecoh ketika diberitahu bahwa beliau keturunan Tionghoa. Salah satu dari bentuk interaksi adalah kerjasama, seperti yang dilakukan antar etnis Jawa dan Tionghoa di dalam organisasi sosial ini. Media interaksi antara etnis tersebut dalam hal ini adalah melalui organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Tetapi Ayu Windi dalam bukunya (2007: 96) mengemukakan bahwa interaksi Jawa dan Tionghoa secara umum di Surakarta adalah perkawinan. Memang jarang terjadi perkawinan etnis Jawa dan Tionghoa. Alasan yang menghambat terjadinya perkawinan campuran ini antara lain karena perbedaan adat, agama, pendidikan atau ekonomi. Begitu pula yang terjadi dalam PMS. Orang Tionghoa di PMS sebagian besar merupakan peranakan, kebanyakan dari mereka sudah tidak murni berdarah asli Tionghoa. Umumnya garis keturunan Jawa mereka dapat dari pihak ibu, nenek. 68 69. Hampir sebagian besar kegiatan yang dilakukan oleh PMS selalu dilakukan dengan semangat kerjasama antar kedua etnis. Bahkan ketua Humas PMS tidak melihat adanya perbedaan antara etnis Jawa dan Tionghoa dalam PMS, seperti yang dikatakan dalam wawancara seperti berikut ini : saya juga orang Jawa, ibu dan nenek saya asli Jawa. Saya tidak melihat perbedaan diantara kami (karyawan di PMS). Kulit saya coklat seperti mereka (orang Jawa). Tanpa mereka PMS tidak jalan tuh...siapa yang akan nyopir? Siapa yang akan membersihkan gedung? Siapa yang akan melatih para atlit latihan? Ya orang Jawa to, mereka sangat berjasa sekali.. (wawancara tanggal 17 Juli 2009) Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwa dalam bekerjasama, mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai orang Surakarta, bukan Jawa, Tionghoa ataupun etnis yang lainnya. Semua kegiatan yang dilakukan PMS tidak memandang perbedaan SARA. Misalnya saat Natal, PMS membuat acara dengan tema pohon Natal tertinggi dan mendapatkan Rekor MURI (museum rekor Indonesia), pada saat Puasa PMS juga memecahkan Rekor MURI dengan acaranya buka bersama massal terbesar dengan diikuti 2000 warga lebih. Dan pada waktu perayaan Cap Go Meh, yaitu hari raya yang dilaksanakan 14 hari setelah Imlek, PMS kembali membuat acara yang lagi-lagi mendapat Rekor Muri dengan membuat lontong Cap Go Meh terpanjang. Simbol lain dari adanya interaksi adalah saling mengingatkan ketika waktunya sholat, seringkali karyawan yang non muslim 69 70. memberitahu kepada karyawan yang lain yang beragama muslim untuk segera melaksanakan kewajibannya. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Mead dalam Soeprapto (2002:115) dalam kajian teori interaksionisme simbolik mengenai dialektika hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam bahwa semua interaksi antara individu kemudian melibatkan suatu pertukaran simbol, manusia secara konteks itu dan bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksud oleh orang lain. Pengurus PMS yang sebagian besar etnis Tionghoa Surakarta strata atas, yaitu sebagai pengusaha, sudah terbiasa berkomunikasi dengan etnis Jawa. Sebagai pengusaha, kebanyakan dari mereka memiliki karyawan atau buruh di perusahannya yang sebagian besar etnis Jawa. Sehingga mau tidak mau mereka mengakui sangat membutuhkan etnis Jawa baik sebagai karyawan di perusahaan maupun sebagai karyawan di PMS. Pengurus PMS tidak menerima gaji atau upah, yang mendapat upah adalah karyawan/staf, baik satpam, sopir, ataupun petugas kebersihan gedung. Uang untuk gaji atau upah didapat dari iuran rutin anggota, dan donatur tetap PMS. Semua kegiatan di PMS selalu melibatkan kerjasama antar karyawan, misalnya pembagian bantuan untuk korban bencana alam. Baik etnis tionghoa dan Jawa sama-sama turun kelapangan dan ikut membagikan bantuan secara langsung untuk korban bencana alam 70 71. tersebut. Pengurus yang merupakan pengusaha kaya dari etnis Tionghoa bersedia turun kelapangan bergotong-royong membagikan bantuan. Kerjasama yang lain dapat dilihat dalam perayaan hari besar agama, misalnya saja dalam rangka acara memecahkan rekor MURI, membuat pohon Natal tertinggi. Semua karyawan walaupun dia beragama Muslim tetap membantu pembuatan dan pendirian pohon Natal tersebut, begitu juga ketika mengadakan buka puasa massal, semua karyawan dan anggota PMS dari lintas agama ikut memeriahkan acara dan ikut menikmati hidangan dalam acara buka puasa tersebut, walaupun mereka tidak menjalankan ibadah puasa. Kesadaran bahwa perbedaan tidak harus menjadi alasan untuk saling memusuhi agaknya telah tetanam dan dihayati oleh semua elemen PMS, baik dari pengurus, karyawan dan staf lainnya. Cooley dalam Soekanto (2004:72-73) mengemukakan kerjasama timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan- kepentingan yang sama pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhada