36
TUGAS KELOMPOK KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORALITAS DAN KEAGAMAAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Dosen Pengampu : Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi. Disusun Oleh : Kelompok VIII Bayu Triatmojo ( 14330001 ) Luthfi Khairani ( 14330017 ) Rafita Al Qorny (14330031 ) PRODI : PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO 2015

Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

TUGAS KELOMPOK

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORALITAS DAN

KEAGAMAAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA DALAM

PENDIDIKAN

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas

Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik

Dosen Pengampu : Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi.

Disusun Oleh :

Kelompok VIII

Bayu Triatmojo ( 14330001 )

Luthfi Khairani ( 14330017 )

Rafita Al Qorny (14330031 )

PRODI : PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO

2015

Page 2: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, yang mana telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya, Sehingga saya dapat menyelesaikan

makalah Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik yang berjudul karakteristik

perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam

pendidikan, bisa tepat waktu yang mana teleh ditentukan oleh Siti Nurlaila,

S. Psi., M.Psi dan Arin. N. M. Pd.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas

pada Program Study Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pengetahuan.

Demikian makalah ini kami tunjukan kepada Ibu Dosen Program Study

FKIP Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi. Kami menyadari bahwa kami memiliki

keterbatasan dan kemampuan sehingga bnanyak pihak yang membimbing kami

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari walaupun

berusaha dengan segenap kemempuan kami, Namun Makalah ini masih jauh dari

sempurna, oleh karna itu segala kritik yang sifatnya membangun ataupun

memperbaiki dari kekuragan kami akan kami trima dengan kelapangan dada.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Metro,07 Mei 2015

Page 3: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

Bab I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

C. Batasan Masalah ..................................................................................... 3

D. Tujuan Diskursus ..................................................................................... 3

E. Metode Pemecahan Masalah ................................................................... 4

Bab II PEMBAHASAN.............................................................................. 4

A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan sikap Remaja ........................................... 4

B. Pengertian Nilai, Moral, Dan Sikap ........................................................... 6

C. Perkembangan Moralitas .......................................................................... 9

D. Perkembangan Spiritual ............................................................................. 13

E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama Dan Pendidikan

Keagamaan...................................................................................................15

F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap, Dan Keagamaan ............................ 16

G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama .......................................... 17

H. Konsep Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 21

I. Tahapan Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 22

J. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral,

Sikap, Dan Keagamaan Anak.........................................................................30

K. Proses Pembelajaran Untuk Membantu Perkembangan Nilai,

Moral, Sikap Dan Keagamaan Subjek Didik..................................................31

Bab III PENUTUP ..................................................................................... 34

Kesimpulan .................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35

Page 4: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai persoalan mengenai konsep dan aplikasi tentang nilai, moral,

sikap dan keagamaan anak, merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak

meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan

para orang tua. Terlebih tantangan zaman yang semakin kuat, dengan adanya

globalisasi dan slogan Global Village menjadikan para remaja mudah terbujuk

oleh gemerlapnya dunia hedonis, konsumeris dan dugem yang makin menjauhkan

anak dari nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan. Tidak henti-hentinya kita

mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak,

Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh

akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus

hidup. (Panuju, 1995). Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata

hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma

memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani

ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari

kebaikan moral. Anak yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu lama

dapat mencapai keunggulan moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara

benar.

Kita barang kali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak

kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang

tuanya sendiri. Mungkin pula anak yang tadinya manis dan baik tiba-tiba mencuri

uang dalam jumlah besar, memeras teman sekelas, nyontek, belajar merokok,

memfitnah teman, atau membaca buku porno. Apakah hal demikian normal ?

Meskipun saat ini semakin banyak anak terlibat kasus yang menyangkut

moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral

bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanyalah pelanggaran moral oleh

anak dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja.

Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan anak yang masih

muda memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orang tua dalam

Page 5: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

mendidik anak. Mengapa anak berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya

adalah karena semakin jarangnya kehdirang orang tua di rumah. Jumlah waktu

yang dipakai orang tua untuk mengajar anak-anaknya hidup secara benar juga

semakin berkurang. Akibatnya pengenalan anak terhadap kehidupan orang tuanya

sendiri juga semakin sedikit. Padahal anak perlu menyaksikan orang tuanya secara

langsung untuk memperoleh contoh nyata hidup yang bermoral.

Kesulitan bertambah ketika anak justru memperoleh pengajaran yang

kurang patut, baik melalui televisi, teman sekolah, maupun dari orang dewasa di

sekitarnya. Ketika perilaku butuk anak terbentuk menjadi pola kebiasaan, perilaku

itu sudah semakin sulit dibelokkan lagi. Karena itu, kita perlu memanfaatkan

waktu sebaik-baiknya untuk membentuk perilaku moral anak-anak kita.

Norma-norma lama sudah tidak meyakinkan lagi untuk menjadi pegangan.

Kenyatannya, anak tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak

berdaya menemukan kebenaran, apabila norma-norma yang biasanya dipakai

sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Anak berhadapan

dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gaya hidup, dan tingkah laku

moral.yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat pun semakin cenderung

individualis, dengan kontrol sosial yang relatif longgar. Munculah fenomena baru

sebagai model bagi anak yaitu teman sepermainannya, atau tokoh-tokoh serial

televisi.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan Diskursus

yang kami ajukan “Perkembangan Moral dan Keagamaan (Pembentuk

Kepribadian dan Sikap Insan)” dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa pengertian Nilai, Moral dan Sikap?

2. Apa pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan?

3. Bagaimana hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan?

4. Apa yang dimaksud dengan konsep perkembangan Moral dan Keagamaan

anak?

5. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak ?

6. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap

dan Keagamaan anak?

Page 6: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

7. Bagaimana Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral,

Sikap dan Keagamaan Subjek Didik?

D. Tujuan Diskursus

Tujuan diajukannya diskursus ini ialah untuk mengetahui;

1. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap

2. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

3. Hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan

4. Konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak

5. Tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan

Keagamaan anak

7. Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan

Keagamaan Subjek Didik

Page 7: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha

melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka

masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan nilai

(Harrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja sangat

menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan

pentingnya tata nilai dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan

sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk

menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono,

1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan

imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha

mengembangkannya sendiri.

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah

bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan

berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu

memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja

terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terkait pada waktu, tempat, dan

situasi, tetapi jugapada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,

1988). Perkembanagan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh

kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada

karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu

mempertanggung-jawabkannya secara pribadi (Monks, 1989). Perkembanagan

pemikiran moral remaja yang demikina, jika meminjam teori perkembangan

moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahapan konvensional. Pada akhir

masa remaja seseorang akan memasuki tahapan perkembangan pemikiran moral

yang disebut tahap pascakonvensional ketika orinalitas pemikiran moral remaja

sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian

pribadi yang tidak terganung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat

konvesional.

Page 8: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang

berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup

menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap

menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa,

1989). Apabila kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksa nilai-nilai

yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang

ditumjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk

kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas.

Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah

serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.

B. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap

Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan

panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam

situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu

terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun

menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia,

tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah

”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya

merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan

individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai

budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh

individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu:

1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan

nilai (A)

2. Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial,

kontras dengan nilai (S)

3. Nilai Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan

keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)

4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras

dengan nilai (I)

Page 9: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari

pertimbangan material, kontras dengan nilai (E)

6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok,

kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)

Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos,

Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau

tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai

tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata

yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan

masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan

melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian

yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara

harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 :

132).

Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan

kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Dalam

moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu

perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan

kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang

salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,

memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara

hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum

khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut

sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan

mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau

terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak

boleh disebut moral.

Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari

lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau

persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang

Page 10: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari

perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi

(kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten

terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari,

mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-

kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain

sebagainya.

Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of

Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu

predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus

untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain,

objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk

mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun

negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Sedang Stephen

R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang

menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi,

untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu:

a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu diturunkan oleh

sikap kakek-neneknya

b. Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil

dari perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya

c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn sikap

seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan

bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori,

2008:159-161)

C. Perkembangan Moralitas

Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara. Namun, secara umum

moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan

yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri

Page 11: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar

standar tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak

membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak

mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak

memenudi standar moral. Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka

pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir

untuk menyaksikan atau mendorong mereka.

Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan

perilaku. Komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan

(seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan

sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran

atau tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang

melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang

bagaimana seseorang berperilaku. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana

seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong,

curang, atau melanggar aturan moral lainnya.

Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis

perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan

pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu

yang penting. Hadist menyatakan:

Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Malu itu

pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim)

Malu dikatakan sebagai sebagian dari iman karena rasa malu dapat menjauhkan

diri dari perbuatan yang tidak bermoral.

Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang

ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau

yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa

manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal

untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-quran dinyatakan:

Page 12: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

فن ( س فن ( (7ساهاو سان و رفن سا ه ن ه ا لفسنفن ( (8 اها ا ا وسنفن س)اا (9)اا ا از (10) انا ا

Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah

orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang

mengotorinya. (Q. S. al-Syams [91]: 7-10).

Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik ini menentukan

apakah ia menjadi orang yang baik atau tidak.

Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang

konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus

melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang

benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh

jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11).

Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan pilihan bagi umat Islam,

meskipun sulit.

Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam

dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam

pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman

sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik,

yang boleh dikerjakan dan tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

1. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral

Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan

pembagiaan struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id

adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan

tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis,

yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.

Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social

Page 13: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar

dan salahya sesuatu.

2. Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral

Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas

stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan

digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.

3. Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral

Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-

prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui

dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan

moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan hasil

observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak, piaget

menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan

atas dua tahap, yaitu:

1. Tahap Heterononous Morality

Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga

9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep

bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.

2. Tahap Autonomous Morality

Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga

12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman

merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu

tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.

3. Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral

Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian

perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya

yang sangat monumental yang berjudul The Development of Mades of Moral

Thinking and Choice in the Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University of

Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia

tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal

dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok usia, yaitu

kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan denagn cara

Page 14: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

menghadapkakn para subjek penelitia/responden kepada berbagai dilema moral, di

mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi

kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan beraturan dan selanjutnya

mencatat semua reaksi mereka. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral

merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Hal penting dari

teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan

moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku

moral dalam arti perbuatan nyata.

Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah

kesimpulan sebagai berikut:

a) Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan

moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu

tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi

kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu

sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan

keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya

merupakan tindakan kognitif.

b) Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan

formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk

mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.

c) Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16

tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.

Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama

sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan

hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran

yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah

penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban

(Setiono, 1994).

D. Perkembangan Spiritual

1. Pengertian Spiritualitas

Page 15: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu spirituality, kata

dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (Echols dan Shadily, 1997). Kata

spirit sendiri berasal dari kata latin spiritus yang berarti luas atau dalam (breath),

keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan

kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis

yang berarti of the spirit (kerohanian). Ingersoll (1994) mengartikan spiritualis

sebagai wujud dari karakter spiritual, kualitas, atau sifat dasar.

Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), spiritualitas memiliki ruang

lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti

dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang

menggambarkan arti spiritualis bagi mereka. Dengan mengutip hasil penelitian

Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa kata

kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu:

1) Meaning (makna)

2) Values (nilai-nilai)

3) Transcendence (transendensi)

4) Connecting (bersambung)

5) Becoming (menjadi)

2. Spiritualitas dan Religiusitas

Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena

agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-

bangsa di dunia. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa latin

religio, yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Berbeda dengan

agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati

nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri,

karena intimitas jiwa. Dalam ini, spiritualitas mencakup citra rasa totalitas

kedalam pribadi manusia.

Istilah spiritulitas dan religius sering kali dianggap sama, namun banyak

pakar yang menyatakan keberatannya jika kedus istilah ini dipergunakan saling

silang. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang

asal, tujuan dan nasib. Agama (religius) adalah kebenaran mutlak dari kehidupan

Page 16: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama memiliki kesaksian iman,

komunitas, dan kode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban

siapa dan apa orang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama

memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau

tindakan). Dalam konsep Islam, manusia dipandang sebagai makhluk Allah yang

diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam pembukaan Al-quran, surat

Al-Fatihah, Allah merupakan Tuhan Pengatur seluruh alam semesta:

Segala puji [2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-Fatihah [1]: 2).

Dengan demikian, Allah adalah pencipta alam semesta dan Dian juga

menjaga dan memeliharanya. Implikasinya adalah segala sesuatu bersumber

kepadaNya (baik terlihat atau tidak, diketaui atau tidak) dan segala sesuatu

bergantung kepadaNya dalam hal pemenuhan kebutuhan, pertumbuhan dan

perkembangan. Interpretasi ini juga tercantum dalam Al-quran ayat berikut ini:

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (QS. Az

Zumar [39]: 62).

E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

Agama dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti

tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga

agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari

sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama,

menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang

dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri

mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat:

Page 17: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena

sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena

terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan

terarahkan kepada tujuan tertentu

b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan

bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar”

yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia

dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi

c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya

sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan)

ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain”

yang dimasuki manusia setelah kematian.

Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana-

sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris.

Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan

praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga

menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama

sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi

lainnya gagal tak berdaya.

Sedangkanaspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama

unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur

praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga

aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi

sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35)

Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007

tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat

1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan

membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan

ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan

yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang

Page 18: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu

agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan

Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang

dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai

adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih

mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek

tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu

untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu

lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan

idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan

perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan

bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari

pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan

sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.

Perubahan pengetahuan individu tentang objek/sekumpulan objek

(sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama) akan menimbulkan perubahan

perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek/sekumpulan objek tersebut

dan selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungannya untuk bertindak terhadap

objek/sekumpulan objek tersebut. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan

dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi

nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.

Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa nilai merupakan dasar

pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku

yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan

predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu

objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada

dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral

tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan

objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan

menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus

dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai perwujudan

Page 19: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan

merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan

sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait,

dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162)

G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama

Salisu Shehu (1999) menyusun prinsip dasar psikologis perkembangan diri

Perspektif islam yang tediri dari kehidupan manusia (pertumbuhan dan

perkembangan) merupakan proses kumulatif dan simultan, meliputi keberadaan

fenomenal duniawi, dan melewatu periode kritis dan sensitive tertentu.

Kehidupan Manusia (Pertumbuhan dan Perkembangan) Merupakan Proses Yang

Bertahap dan Berangsu-angsur

Hal ini Merupakan prinsip pertamam dari perkembangan yang dapat

dipahami dari Al-Qur’an, ketika menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta,

Maha Penjaga. Dan Maha Pemelihara segala sesuatu, Al-Qur’an juga menyatakan

bahwa Allah menciptakan manusia dari berbagai tahap progresif pertumbuhan dan

perkembangan. Dengan kata lain, kehidupan manusia memiliki pola dalam

tahapan-tahapan tertentu yang termasuk tahapan dari pembuahan sampai

kematian. Tahapan yang terjadi yang dilewati manusia dalam pertumbuhan dan

perkembangannya bukan terjadi karena factor peluang atau kebetulan, namun ini

merupakan sesuatu yang telah dirancang, ditentukan dan ditetapkan langsung oleh

Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang Menyatakan hal ini. Salah satu

contohnya adalah sebagai berikut:

Artinya:

yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak

mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia

telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan

serapi-rapinya. (QS Al-Furqaan [25] : 2)

Page 20: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Hal ini dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan dari segala sesuatu

telah ditentukan dengan cara demikian rupa sehingga setiap aspek secara

proporsional telah terlengkapi. Dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia,

dan segala tahapan yang dikemukakan di atas telah ditentukan sesuai ukurannya

dan semua manusia harus melewati semua tahapan tersubut. Pertumbuhan dan

perkembangan tidak terjadi serta merta dlam satu waktu, namun melalui tahapan

yang telah ditentukan ukurannyan yang membuatnya berjalan dengan proses yang

berangsur-angur atau gradual. Ayat berikut ini dengan jelas menyatakan bahwa

manusia diciptakan dab ditentukan untuk berkembang dalam tahapan.

Artinya :

Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?. Padahal Dia

sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. ( QS.

Nuh [71] : 13-14)

Ibnu Katsir melaporkan bahwaAbdullah Ibn dan lain-lain menerjemahkan

ayat ini dalam pengertian bahwa manusia diciptakan dari nutfah (tetesan),

kemudian diubah menjadi alaqah (segumpal darah), kemudian menjadi mudhgah

(segumpal daging), dan seterusnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

Page 21: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Artinya :

sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (QS Al-Insyqaq [85] : 19)

Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ‘Ikrimah (salah satu murid Ibn Abbas)

menerjemahkan ayat ini dalam pengertish bahwa manusia tumbuh dari satu

keadaan ke keadaan lain sedemikian rupa, menjadi kanak-kanak setelah bayi,

menjadi tua setelah muda dan kuat.

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang

mengikuti tahapan tertentu. Tahapan ini secara khusus dinyatakan dalam berbagai

ayat Al-Qur;an yang lain dengan cara yang lebih rinci. Selain itu, Nabi

Muhammad Saw, juga menyatakan tahapan ini lebih lanjut dalam beberapa Hadis.

Jika dianalisis Al-Qur’an dan Hadis secara umum membagi kehidupan manusia

(pertumbuhan dan perkembangan) di dunia menjadi dua kategori besar, Pra-

kelahiran dan pasca-kelahiran. Masing-masing tahap ini juga dapat dibagi atas

berbagai bagian lagi dengan istilah dan periode yang berbeda-beda.

Banyak ayat Al-Qur’an yang secara tahapan kehidupan manusia di dunia.

Meski dalam beberapa ayat yang lain, hanya menggambarkan tahap pertama

kehidupan manusia yaitu tahap pra-kelahiran. Salah satu contohnya adalah ayat

Al-Qur’an berikut ini:

Artinya:

Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang

berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan? (QS Al-

Zumar [39] : 6)

Page 22: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Selain ini, berbagai ayat Al-Qur’an juga mengambarkan kedua tahapan (pra-

kelahiran dan pasca-kelahiran) dengan cara yang sangat jelas:

Artinya :

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air

mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai

seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada

masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu

ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai

kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS Al-Mu’min

[40] : 67)

Al-Qur’an juga menyatakan bahwa tahap pertama memiliki aturan dan

waktu yang ditentukan untuk mencapai tugas perkembangannya. Setelah itu,

tahap pertama ini terputus dengan adanya kelahiran (melalui persalinan). Hal ini

dalam petikan ayat Al-Qur’an yang menyatakan:

Page 23: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Artinya:

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),

maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,

kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari

segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar

Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami

kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu

sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada

kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara

kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui

lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini

kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu

dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.

(QS Al-Hajj [22] : 5)

Page 24: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

H. Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak

Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget

dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational

Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget

secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap

“Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral

(Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan

moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap

perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencita-citakan

adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap

perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral

sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati

peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada

peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah

mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan.

Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral

itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2)

Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan,

dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa

yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.

(4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada

peraturan.

Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih

menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu.

Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan

sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh

seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki

pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari

akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya

adalah pelaksanaan autonomi.

I. Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak

Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma- norma

sosial. Dalam pengertin ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang

Page 25: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya

memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai.

Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma.

Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem

hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan

perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi?

John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap, yakni:

1. Tahap Pra-Moral; ini ditandai bahwa anak belum menyadari

keterikatannya pada aturan

2. Tahap Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan

ketaatan pada kekuasaan

3. Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada

aturan yang didasarkan pada resiprositas (imbalbalik yang sama)

(Mohammad Asrori, 2008:156)

Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap perkembangan moral,

yakni:

1. Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.

2. Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada

peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.

3. Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada

peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.

4. Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya

pada peraturan.

Sementara itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga

memperkenalkan teori perkembangn moral. Piaget membagi perkembangan moral

atas 3 tahap yaitu :

1. Pre Moral (0 sampai dengan 5 tahun)

Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.

2. Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun)

Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan- aturan

sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat

dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik- baiknya.

Page 26: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

3. Autonomous Morality atau Morallity of Cooperation (Usia 10 tahun ke

atas)

Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan

yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi

dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan

selanjutunya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara- cara yang paling

menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.

Menurut Piaget, pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat

flexible, merupakan kesepakatan sosial, yang dapat disesuaikan dengan keinginan

mayoritas.

Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori

perkembangan kognitif dari Jean Piaget, sehingga melahirkan teori perkembangan

moral. Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya

dapat menyimpulkan tahap perkembngan moral individu.

Tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam

tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.

Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori

Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-

tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam

tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati

suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan

lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.

Menurut Kohlberg (Crain, 1992: Gunarsa; Miller; papilia, Old dan Feldman,

1998) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya: preconventional

morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy

moral principle.

Tahap 1: Pre Conventional Morality/Pra-Konvensional (Anak usia 4-10 tahun)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi

(imbalbalik/Apa untungnya buat saya?)

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-

anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.

Page 27: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari

suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional

terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri

dalam bentuk egosentris.

Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan menuruti suatu

perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin

memperoleh suatu hadiah (reward)

Fase pertama, individu memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha

menghindari hukuman. Individu harus patuh pada otoritas (orang tua) Agar

menghindari hukuman. Dalam hal ini, seorang individu belum memiliki kesadaran

terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran dan pemahaman, nilai benar- salah, amat

ditentukan oleh evaluasi penilaian orang lain (orang tua/ orang dewasa). Dengan

demikian kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan

patuh kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain.

Dalam fase pertama ini, individu-individu memfokuskan diri pada

konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai

contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang

melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin

salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang

lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis

otoriterisme.

Fase kedua, Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat

pribadi, yakni ada faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip

kesenangan. Anak akan mematuhi suatu aturan, kalau aturan tersebut membuat

dirinya senang atau menguntungkan dirinya.

Pada fase kedua ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku

yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap

dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai

tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti

“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap

dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang

berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-

Page 28: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan

dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,

perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

(Mohammad Asrori, 2008:156-157)

Tahap II: Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional (Usia 10

tahun)

3.Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/kesepakatan

antarpribadi/orientasi ”anak manis” ( Sikap anak baik)

4.Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial/hukum dan ketertiban

(Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang

dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan

membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat

konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Individu sebenarnya telah mnginternalisasikan nilai- nilai dari pihak

otoritas (orang tua, guru). Mereka mulai memperhatikan sifat- sifat yang baik

yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin menjadi goodboy atau

goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu akan melakukan

tindakan- tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuanya, agar dirinya mudah

diterima dalam lingkungan sosial masyarakat.

Fase ketiga, orientasi mngenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak

yang baik, maka sikap dan perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat.

Mau tidak mau, seorang anak harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang

berlaku di masyarakat. Ketidak patuhan hanya akan mendatangkan cemooh atau

caci maki daroi orang lain, sehinggga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan

harga diri.

Dalam fase tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran

sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang

lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran

yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi

harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.

Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi

Page 29: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan

hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk

mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang

stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan

dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik ‘

Fase keempat, mempertahankan norma- norma sosial. Individu menyadari

kewajiban untuk ikut melaksanakan norma yang ada dan mempertahankan

pentingnya norma tersebut. Oleh Karena itu segala sikap dan tindakan dinilai dan

diawasi oleh diri sendiri serta mengontrol tindakan- tindakan orang lain, agar

sesuai dengan norma sosial.

Dalam fase empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan

konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.

Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan

penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus

melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar

dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa

melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban

atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,

maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan

dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. (Mohammad

Asrori, 2008:157)

Tahap III: Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (Minimal

usia 13 tahun ke atas)

5. Orientasi kontrak sosial legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil

konsensus)

6. Prinsip etika universal/hati nurani universalitas (Principled conscience)

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari

tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-

individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.

Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat

diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering

tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

Page 30: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Orang mulai menyadari adanya konflik antara standar nilai moralitas

dengan pertimbangan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah

mampu menilai dan mengevaluasi suatu tindakan / keputusan itu benar atau salah

menurut pertimbangan hati nurani. Ia berani mengambil resiko terhadap

keputusan dan tindakanya secara terbuka. Ia tidak lagi takut terhadap ancaman

atau berkeinginan supaya memperoleh pengakuan social dari orng lain. Ia

berpegang prinsip- prinsip kebenaran manusia secara universal. Umunya mereka

yang telah mencapi golongan dewasa muda (21 tahun keatas) telah mencapai

tahap ini, sedangkan remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena

belum matang secara kapasitas intelektualnya.

Fase kelima, orientasi terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan

social. Individu menmpunyai kesadaran dan keyakinann pribadi bahwa dengan

berbuat baik, maka ia pun akan diperlakukan dengan baik pula oleh orang lain.

Dan keyakinan ini timbul dari hati nurani.

Dalam fase lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-

pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka

dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap

sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.

Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda

siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum

dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang

tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi

terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut

diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,

pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima.

Fase keenam, prinsip universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya

norma- norma etika dalam dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan

tindakanya agar sepadan dengan prinsip- prinsip kebenaran yang diakui secara

global. Jadi melampaui batas- batas suku, bangsa, agama dan jenis kelamin.

Dalam fase enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak

menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada

keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk

Page 31: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan

tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris

dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.

Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan

seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila

berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,

tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak

karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal,

atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia

merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara

konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam

dari model Kohlberg ini. (Mohammad Asrori, 2008:158)

J. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan

Keagamaan Anak.

Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang

berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan

pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-

nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang

dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam

interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek

kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku

keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar

pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan

individu.

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral,

sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial,

budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga,

sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan

beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,

sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap

dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.

Page 32: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga,

sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi

yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius dapat diharapkan berkembang

menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan

perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan

berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang

tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan kurang relegius, maka

harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-

nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi

diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)

K. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap

dan Keagamaan Subjek Didik

Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-

nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai

model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang

dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang

diciptakan sendiri.

Syamsu Yusuf (2007 : 133) menyatakan bahwa : “Perkembangan moral

seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-

nilai dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya”.

Dari pernyataan diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak

sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang

setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan

moral anak tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya.

Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik

sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut

:

1. Konsisten dalam mendidik

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam

melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataanya

masih banyak kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya,

Page 33: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa

ego.

Ketidak kompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang

baik terhadap moral anak, biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik

dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada

aturan bapak atau patuh pada aturan ibu, dan lain

sebagainya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam

memberikan didikan pada anak-anaknya.

2. Sikap orang tua dalam Keluarga

Sikap orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi

perkembangan moral anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka mereka

merekam sikap ayah pada ibu dan sebaliknya, sikap orang tua pada tetangga

tetangga sekitarnya akan dengan mudah ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter

orang tua akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Sebaliknya sikap kasih

saying, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten, juga akan membuahkan sikap

yang sama pada anak.

Menurut penulis, sebaiknya orang tua memberikan contoh (tauladan)

moral yang baik pada anak-anaknya, agar dimasa yang akan datang anak-anaknya

menjadi orang yang berguna.

3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya

kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh implementasinya

dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam menjalankan moral

keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan moral

keagamaan anak.

Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak sudah

barang tentu akan berpengaruh terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada

masa yang akan datang.

Disamping faktor pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan

pergaulan anak juga mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada

perkembangannya terkadang anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada

Page 34: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

orang tuanya, terkadang juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya

seperti ; gurunya, artis favoritnya, dan sebagainya.

Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan lingkungan masyarakat yang

baik, secara teoritis akan berpengaruh positif terhadap perkembangan moral

keagamaan yang baik pada anak.

Page 35: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan, nilai diartikan

sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan

memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral berarti adat

istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan, sedangkan

moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai –

nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa,

baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan

kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik

nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap

dalam ajaran agama. Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan

Perilaku Keagamaan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing-

masing saling melengkapi dan merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang

integral baik yang Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis

(Sikap dan Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian)

seseorang.

Page 36: Karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Ali. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara

Hasan. 2008. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada http://cheshuma.wordpress.com/2009/01/27/perkembangan-moral-dan-

keagamaan/ Mulyani. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka Yusup. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada