Upload
irsal-shabirin
View
37.455
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
KONDISI KETAHANAN NASIONAL
INDONESIA BIDANG POLITIK,
EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN
PERTAHANAN KEAMANAN PADA
JANUARI 1945 – DESEMBER 1949
PENDAHULUAN
Ketahanan Nasional (Indonesia) adalah kondisi
dinamis suatu bangsa (Indonesia) yang meliputi
segenap kehidupan nasional yang terintegrasi,
berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,
dalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan ancaman, hambatan dan gangguan, baik
yang datang dari dalam maupun dari luar, untuk
menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan
hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mencapai tujuan nasional .
Pada tulisan ini membahas sekilas tentang Kondisi Ketahanan Nasional Indonesia pada masa Januari 1945 – Desember 1949 dalam berbagai bidang diantaranya, politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Perjalanan sejarah telah menunjukkan sesungguhnya bangsa Indonesia telah berhasil merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah yang telah berkuasa selama tiga setengah abad lamanya berkat kokohnya nilai-nilai persatuan yang telah tertanam dalam sanubari bangsa Indonesia. Hal ini merupakan wujud nyata bahwa Bangsa Indonesia pernah menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan di atas pondasi ketahanan nasional Indonesia yang kokoh. Memperkokoh nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa semestinya sangat dibutuhkan ketika kita ingin meraih suatu kemenangan.
Tujuan kami mengkaji tentang Ketahanan Nasional Indonesia adalah meninjau bagaimana keadaan ketahanan Negara pada tahun 1945-1949 serta menganalisis berbagai kejadian yang memiliki nilai tersendiri untuk dijadikan pelajaran serta dipelajari.
Tujuan lainnya yaitu sebagai pengalaman dan dapat dijadikan contoh serta pertimbangan Negara dalam mengambil segala keputusan dan kebijakan yang akan dilakukan untuk kedepannya. Oleh karena itu, penting sekali kita mengetahui riwayat situasi ketahanan nasional Negara Indonesia. khususnya para pemimpin bangsa yang memegang tali kendali atas pemerintahan Negara Indonesia.
Deskripsi Kondisi Ketahanan
Nasional Indonesia tahun 1945-1949
Kondisi Bidang Politik Pada Januari
1945 - Desember 1949
Kondisi Ketahanan nasional pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan politik bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, gangguan, ancaman dan hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri yang Iangsung maupun tidak Iangsung untuk menjamin kelangsungan hidup politik bangsa dan negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Kondisi Ketahanan Nasional Indonesia Bidang Politik Pada Januari 1945 - Desember 1949 bermula dari munculnya gerakan perjuangan rakyat yang makin luas, semesta, makin terarah dan masif . Di berbagai daerah Indonesia terjadi perlawanan dengan bermacam cara serta intensitas yang berbeda terhadap tentara penjajahan. Walaupun perlawanan dilakukan dengan kekuatan tidak setara dan pada medan yang terpisah‐pisah, akan tetapi rasa kebangsaan serta hasrat untuk merdeka dikalangan rakyat ternyata telah mampu membakar semangat tidak kenal menyerah. Betapapun besarnya pengorbanan yang mesti ditanggung akhirnya perjuangan rakyat ini membuahkan hasilnya, yaitu Kemerdekaan Indonesia.
Hal ini ditandai dengan adanya “Proklamasi” yaitu ikrar bahwa
bangsa Indonesia telah merdeka dan berdiri sendiri. yang
dibacakan oleh Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No. 56 pada
tanggal 17 Agustus 1945. setelah itu tanggal 18 Agustus di adakan
rapat untuk memilih presiden dan wakil presiden Negara Indonesia.
terpilihlah Ir. Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta
sebagai wakil presiden. selain itu di sahkan UUD 1945 sebagai
dasar Negara oleh PPKI. lengkapnya, hasil rapat PPKI menghasilkan
tiga keputusan, yaitu menetapkan dan mengesahkan UUD 1945
setelah mengalami perubahan di sana-sini. Dalam UUD tercantum
dasar negara. Dengan demikian PPKI pun telah menetapkan dasar
negara RI yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya; Memilih
dan mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Muh. Hatta, masing-masing
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;Membentuk
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi membantu
presiden dan wakil presiden sebelum lembaga-lembaga negara
yang diharapkan UUD 1945 terbentuk secara resmi.
Disamping itu, keberhasilan perjuangan dibidang politik (diplomasi) telah semakin mengukuhkan keberadaan negara Indonesia yang baru lahir, yaitu berupa dukungan pengakuan dari berbagai negara atas kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Para tokoh nasional dengan cepat dan tepat memanfaatkan momentum proklamasi kemerdekaan ini dengan bentuk negara, sistem kenegaraan serta menyusun dan meletakkan dasar‐dasar fundamental bagi penyelenggara negara, berikut susunan dan perlengkapannya. Seiring dengan mulai berfungsinya pemerintahan negara, kalangan pejuang bersenjatapun segera mengorganisasikan dirinya ke dalam wujud organisasi ketentaraan maupun kepolisian yang resmi menjadi bagian dari perangkat penyelenggaraan negara.
Walaupun telah berada dalam wadah tersendiri, dan telah
dilatih dan diperlengkapi secara khusus, namun tentara (TNI) dan
Polisi (POLRI) tidak pernah melepaskan identitasnya sebagai
bagian dari keutuhan dan kesemestaan, perjuangan yang lahir
dari rakyat, berjuang bersama dan untuk kepentingan rakyat,
demi tetap tegak‐kokohnya kemerdekaan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal penting yang dapat dilihat
pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut adalah :
Pertama, adanya kesadaran akan pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam kehendak dan tujuan, serta memegang teguh
komitmen bersama seluruh komponen masyarakat melawan musuh,
yaitu kaum penjajah; kedua, kesadaran akan adanya ”berkat
dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa” yang telah memberi
kekuatan spiritual dan keyakinan diri akan kebenaran
perjuangan; ketiga, perlunya membangun dan menjaga hubungan
(diplomasi) dengan bangsa lain yang terbukti telah berhasil
menciptakan situasi yang kondusif serta dukungan bagi
keberhasilan perjuangan kemerdekaan.
Kondisi Bidang Ekonomi pada Januari
1945 - Desember 1949
Ketahanan ekonomi diartikan sebagai kondisi dinamik
kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi
serta mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan yang datang dari Iuar maupun dari dalam negeri
baik yang langsung maupun tidak langsung untuk menjamin
kelangsungan hidup pereokonomian bangsa dan negara
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhir pendudukan Jepang dan pada awal berdirinya
Republik Indonesia (1945 – 1949) keadaan ekonomi
Indonesia sangat kacau. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1. Inflasi yang sangat tinggi (Hiper-Inflasi).
Penyebab terjadinya inflasi ini adalah beredarnya mata uang pendudukan Jepang secara tak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan meguasai bank-bank. Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang Jepang.
Pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri, tidak dapat
menghentikan peredaran mata uang Jepang tersebut, sebab negara
RI belum memiliki mata-uang baru sebagai penggantinya. Maka
dari itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata
uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu :
a. mata-uang De Javasche Bank
b. mata-uang pemerintah Hindia Belanda
c. mata-uang pendudukan Jepang
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal
6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir
Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-
daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai
pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun.
Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses tindakan
tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar
persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada
penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata
uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946
Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu
mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang
Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang
Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam
pengurusan bidang ekonomi dan keuangan,
pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia
pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini
semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan
pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono
Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas
mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
2. Adanya blokade ekonomi, oleh Belanda (NICA)
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah :
Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya
Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
Akibat dari blokade ini barang-barang dagangan milik pemerintah RI tidak dapat diekspor, sehingga banyak barang-barang ekspor yang dibumihanguskan. Selain itu Indonesia menjadi kekurangan barang-barang impor yang sangat dibutuhkan.
Kas negara kosong, pajak dan bea masuk sangat
berkurang, sehingga pendapatan pemeritah
semakin tidak sebanding dengan pengeluarannya.
Penghasilan pemerintah hanya bergantung kepada
produksi pertanian. Karena dukungan petani inilah
pemerintah RI masih bertahan, sekali pun keadaan
ekonomi sangat buruk.
Usaha-usaha untuk menembus blokade ekonomi
yang dilakukan oleh pihak Belanda dilaksanakan
oleh pemerintah dengan berbagai cara,
diantaranya sebagai berikut :
a. Diplomasi Beras ke India
Usaha ini lebih bersifat politis daripada ekonomis. Ketika terdengar berita bahwa rakyat India sedang ditimpa bahaya kelaparan, pemerintah RI segera menyatakan kesediaannya untuk membantu pemerintah India dengan mengirimkan 500.000 ton beras, dengan harga sangat rendah. Pemerintah bersedia melakukan hal ini karena diperkirakan pada musim panen tahun 1946 akan diperoleh surplus sebesar 200.000 sampai 400.000 ton.
Sebagai imbalannya pemerintah India menjanjikan akan mengirimkan bahan pakaian yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Keuntungan politik yang diperoleh oleh pemerintah RI adalah dalam forum internasional India adalah negara Asia yang paling aktif membantu perjuangan kemerdekaan RI.
2. Mengadakan Hubungan Dagang Langsung ke Luar Negeri
Usaha untuk membuka hubungan langsung ke luar negeri, dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta. Diantara usaha-usaha tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mengadakan kontak hubungan dengan perusahaan swasta Amerika (Isbrantsen Inc.). Usaha ini dirintis oleh BTC (Banking and Trading Corporation), suatu badan perdagangan semi-pemerintah yang dipimpin oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Ong Eng Die. Dalam transaksi pertama pihak Amerika Serikat bersedia membeli barang-barang ekspor dari Indonesia seperti gula, karet, teh, dan sebagainya. Kapal Isbrantsen Inc. yang masuk ke pelabuhan Cirebon adalah kapal Martin Behrmann yang mengangkut barang-barang pesanan RI dan akan memuat barang-barang ekspor dari RI. Akan tetapi kapal itu dicegat oleh kapal Angkatan Laut Belanda dan diseret ke pelabuhan Tanjung Priuk dan seluruh muatannya disita.
b. Menembus blokade ekonomi Belanda di Sumatera dengan tujuan Singapura dan Malaysia. Oleh karena jarak perairan yang relatif dekat, maka usaha ini dilakukan dengan perahu layar dan kapal motor cepat. Usaha ini secara sistimatis dilakukan sejak tahun 1946 sampai dengan akhir masa Perang Kemerdekaan. Pelaksanaan penembusan blokade ini dilakukan oleh Angkatan Laut RI dengan dibantu oleh pemerintah daerah penghasil barang-barang ekspor.
Sejak awal tahun 1947 pemerintah RI membentuk perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama Indonesia Office (Indoff). Secara resmi Indoff ini merupakan badan yang memperjuangkan kepentingan politik di luar negeri, namun secara rahasia juga berusaha menembus blokade dan usaha perdagangan barter.
Kementerian Pertahanan juga membentuk perwakilannya di luar negeri yang disebut Kementerian Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPLULN) yang dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokok badan ini adalah membeli senjata dan perlengkapan Angkatan Perang. Sebagai pelaksana upaya menembus blokade ini yang terkenal adalah John Lie, O.P. Koesno, Ibrahim Saleh dan Chris Tampenawas. Selama tahun 1946 pelabuhan di Sumatera hanya Belawan yang berhasil diduduki Belanda. Karena perairan di Sumatera sangatlah luas, maka pihak Belanda tidak mampu melakukan pengawasan secara ketat. Hasil-hasil dari Sumatera terutama karet yang berhasil diselundupkan ke luar negeri, utamanya ke Singapura, mencapai jumlah puluhan ribu ton. Selama tahun 1946 saja barang-barang yang diterima oleh Singapura dari Sumatera seharga Straits $ 20.000.000,-. Sedangkan yang berasal dari Jawa hanya Straits $ 1.000.000,-. Sebaliknya barang-barang yang dikirim ke Sumatera dari Singapura seharga Straits $ 3.000.000,- dan dari Singapura ke Jawa seharga Straits $ 2.000.000,-.
Pada awal kemerdekaan masih belum sempat melakukan perbaikan ekonomi secara baik. Baru mulai Pebruari 1946, pemerintah mulai memprakarsai usaha untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Upaya-upaya itu diantaranya sebagai berikut :
1. Pinjaman Nasional
Program Pinjaman Nasional ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. lr. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP. Pinjaman Nasional akan dibayar kembali selama jangka waktu 40 tahun. Besar pinjaman yang dilakukan pada bulan Juli 1946 sebesar Rp. 1.000.000.000,00. Pada tahun pertama berhasil dikumpulkan uang sejumlah Rp. 500.000.000,00. Sukses yang dicapai ini menunjukkan besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah RI.
2. Konferensi Ekonomi, Februari 1946
Konferensi ini dihadiri oleh para cendekiawan, para gubernur dan para pejabat lainnya yang bertanggungjawab langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa. Konferensi ini dipimpin oleh Menteri Kemakmuran, Ir. Darmawan Mangunkusumo. Tujuan konferensi ini adalah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, seperti :
a. masalah produksi dan distribusi makanan
Dalam masalah produksi dan distribusi bahan makanan disepakati bahwa sistem autarki lokal sebagai kelanjutan dari sistem ekonomi perang Jepang, secara berangsur-angsur akan dihapuskan dan diganti dengan sistem desentralisasi.
b. masalah sandang
Mengenai masalah sandang disepakati bahwa Badan
Pengawasan Makanan Rakyat diganti dengan Badan
Persediaan dan Pembagian Makanan (PPBM) yang dipimpin
oleh dr. Sudarsono dan dibawah pengawasan Kementerian
Kemakmuran. PPBM dapat dianggap sebagai awal dari
terbentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog).
c. status dan administrasi perkebunan-perkebunan
Mengenai masalah penilaian kembali status dan administrasi
perkebunan yang merupakan perusahaan vital bagi RI,
konferensi ini menyumbangkan beberapa pokok pikiran. Pada
masa Kabinet Sjahrir, persoalan status dan administrasi
perkebunan ini dapat diselesaikan. Semua perkebunan
dikuasai oleh negara dengan sistem sentralisasi di bawah
pengawasan Kementerian Kemakmuran.
Konferensi Ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei
1946. Konferensi kedua ini membahas masalah perekonomian
yang lebih luas, seperti program ekonomi pemerintah, masalah
keuangan negara, pengendalian harga, distribusi dan alokasi
tenaga manusia. Dalam konferensi ini Wakil Presiden Drs. Moh.
Hatta memberikan saran-saran yang berkaitan dengan masalah
rehabilitasi pabrik gula. Hal ini disebabkan gula merupakan
bahan ekspor yang penting, oleh karena itu pengusahaannya
harus dikuasai oleh negara. Hasil ekspor ini diharapkan dapat
dibelikan atau ditukar dengan barang-barang lainnya yang
dibutuhkan RI.
Saran yang disampaikan oleh Wakil Presiden ini dapat
direalisasikan pada tanggal 21 Mei 1946 dengan dibentuknya
Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN)
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3/1946. Peraturan
tersebut disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 4 tahun
1946, tanggal 6 Juni 1946 mengenai pembentukan Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN).
3. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi)
pada tanggal 19 Januari 1947
Pembentukan Badan ini atas inisiatif Menteri Kemakmuran, dr. A.K.
Gani. Badan ini merupakan badan tetap yang bertugas membuat
rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu 2 sampai 3
tahun. Sesudah Badan Perancang ini bersidang, A.K. Gani
mengumumkan Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun. Untuk
mendanai Rencana Pembangunan ini terbuka baik bagi pemodal
dalam negeri maupun bagi pemodal asing. Untuk menampung dana
pembangunan tersebut pemerintah akan membentuk Bank
Pembangunan.
Pada bulan April 1947, Badan Perancang ini diperluas menjadi
Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang dipimpin langsung oleh Wakil
Presiden Moh. Hatta, sedangkan A.K. Gani sebagai wakilnya. Panitia
ini bertugas mempelajari, mengumpulkan data dan memberikan
saran kepada pemerintah dalam merencanakan pembangunan
ekonomi dan dalam rangka melakukan perundingan dengan pihak
Belanda.
Semua hasil pemikiran ini belum berhasil
dilaksanakan dengan baik, karena situasi politik
dan militer yang tidak memungkinkan. Agresi Militer
Belanda mengakibatkan sebagian besar daerah RI
yang memiliki potensi ekonomi baik, jatuh ke tangan
Belanda. Wilayah RI tinggal beberapa keresidenan
di Jawa dan Sumatera yang sebagian besar
tergolong sebagai daerah minus dan berpenduduk
padat. Pecahnya Pemberontakan PKI Madiun dan
Agresi Militer Belanda II mengakibatkan kesulitan
ekonomi semakin memuncak.
4. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang
(RERA) pada tahun 1948.
Program yang diprakarsai oleh Wakil Presiden Drs.
Moh. Hatta ini, dimaksudkan untuk mengurangi
beban negara dalam bidang ekonomi, disamping
meningkatkan efesiensi. Rasionalisasi ini meliputi
penyempurnaan administrasi negara, Angkatan
Perang dan aparat ekonomi. Sejumlah satuan
Angkatan Perang dikurangi secara dratis.
Selanjutnya tenaga-tenaga bekas Angkatan Perang
ini disalurkan ke bidang-bidang produktif dan
diurus oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.
5. Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J. Kasimo. Pada dasarnya program ini berupa Rencana Produksi Tiga Tahun, 1948-1950 mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Untuk mningkatkan produksi bahan pangan dalam program ini, Kasimo menyarankan agar :
a. menanami tanah-tanah kosong di Sumatera timur seluas 281.277 ha.;
b. di Jawa dilakkan intensifikasi dengan menanam bibit unggul;
c. pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan;
d. disetiap desa dibentuk kebun-kebun bibit;
e. tranmigrasi.
6. Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE)
Organisasi yang dipimpin B.R. Motik ini, bertujuan untuk menggiatkan kembali partisipasi pengusaha swasta. Dengan dibentuknya PTE juga diharapkan dapat dan melenyapkan individualisasi di kalangan organisasi pedagang sehingga dapat memperkokoh ketahanan ekonomi bangsa Indonesia. Pemerintah menganjurkan agar pemerintah daerah usaha-usaha yang dilakukan oleh PTE. Akan tetapi nampaknya PTE tidak dapat berjalan dengan baik. PTE hanya mampu mendirikan Bank PTE di Yogyakarta dengan modal awal Rp. 5.000.000. Kegiatan PTE semakin mundur akibat dari Agresi Militer Belanda.
Selain PTE perdagangan swasta lainnya yang juga membantu usaha ekonomi pemerintah adalah Banking and Trading Corporation (Perseroan Bank dan Perdagangan). Pada era Januari 1945 sampai Desember 1949, awal berdirinya bangsa Indonesia memiliki kondisi keuangan yang sangat kacau ditambah dengan inflasi nilai mata uang yang tinggi dan blokade ekonomi oleh NICA menambah buruk kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia telah banyak melakukan usaha usaha untuk menstabilkan kondisi ekonomi Indonesia pada era kemerdekaan tersebut.
Kondisi Bidang Sosial Budaya pada Januari
1945 – Desember 1949
Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi perubahan sosial yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya. Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamirkan, didalam kehidupan bangsa Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi kelas-kelas masyarakat. Yang mana masyarakat di Indonesia sebelum kemerdekaan di dominasi oleh warga eropa dan jepang, sehingga warga pribumi hanyalah masyarakat rendahan yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau penguasa.
Tetapi setelah 17 agustus 1945 segala bentuk diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang.
Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang telah dicanangkan sejak awal adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan adanya landasan itulah yang menjadikan misi utama yaitu menitik beratkan pembangunan awal dibidang pendidikan yang mana telah di pelopori oleh Ki Hajar Dewantara yang mana di cetuskan menjadi Bapak pendidikan yang juga menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pasca kemerdekaan 1945.
Kondisi Bidang Pertahanan dan
Keamanan pada Januari 1945 –
1949 Setelah proklamasi kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengadakan sidang sebanyak tiga kali. Pada sidang PPKI yang ketiga salah satunya membahas mengenai Badan Keamanan Rakyat (BKR). Hal itu antara lain merupakan respon atas perkembangan situasi sesudah proklamasi di mana banyak terjadi pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan Republik serta untuk memperoleh senjata. Usaha-usaha yang pada mulanya hanya bersifat perorangan untuk merebut senjata tentara Jepang, kemudian meningkat menjadi gerakan massa yang teratur untuk melucuti kesatuan-kesatuan tentara Jepang setempat. Selanjutnya gerakan itu lebih meningkat dengan pengambilalihan kekuasaan sipil dan militer beserta alat-alat perlengkapannya, yang diikuti dengan gerakan menaikkan Sang Merah Putih dan meneriakkan pekik merdeka, sambil menurunkan bendera Hinomaru.
Pertempuran dengan Jepang juga terjadi di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artilleri Constructie Winkel (ACW). Perebutan pabrik senjata dan mesiu ini dipelopori oleh Angkatan Muda Pos, Telegraf dan Telepon (AMPTT) di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi Alif.
Kekuatan asing berikutnya yang harus dihadapi oleh Republik Indonesia (RI) adalah pasukan-pasukan Sekutu yang telah keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II mereka bertugas untuk kembali menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang, tugas tersebut dilaksanakan oleh Komandan Asia Tenggara atau South tentara Jepang, tugas tersebut dilaksanakan oleh Komando Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Ia kemudian membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI)
Tentara Sekutu mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 di bawah pimpinan Sir Philip Christison. Pendaratan kemudian dilakukan di Padang, Medan, dan Bandung pada tanggal 13 Oktober 1945 serta di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tugas tentara Sekutu di Indonesia, antara lain: (1) Menerima penyerahan resmi dari pihak Jepang, kemudian melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya; (2) Menyelamatkan, memberikan bantuan serta mengevakuasi Allied Prisoners-of-War and Internees (APWI); (3) Mengambil alih wilayah yang diduduki Jepang; (4) Mengusut dan menuntut penjahat-penjahat perang; (5) Menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah yang diambil alih.
Sebelum mendarat di Indonesia, pada tanggal 26 September, Sir
Philip Christison kepada wartawan Reuter di Singapura mengatakan:
“Tugas tentara Inggris di Indonesia hanyalah melucuti senjata tentara
Jepang dan menerima tawanan dan tahanan rakyat Sekutu. Mereka
tidak mempunyai tugas-tugas politik di Indonesia.”
Kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh
pihak Indonesia, akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan
Sekutu datang dengan membawa orang-orang Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) yang hendak menegakkan kembali
kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap Indonesia berubah
menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi dengan cepat
memburuk setelah NICA mempersenjatai kembali bekas Koninklijk
Netherlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru dilepaskan dari tahanan
Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan
Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara mengadakan
provokasi.
Sementara itu, Christison menyadari bahwa usaha pasukan-pasukan sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah RI sehingga Christison bersedia berunding dengan Pemerintah RI dan pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan yang pada hakikatnya mengakui de facto negara RI. Pernyataan tersebut berbunyi:
”The NRI...will be expected to continue civil administration in the area outside those accupied by British forces”. (NRI...diharapkan terus melangsungkan pemerintahan sipilnya di daerah-daerah yang tidak di duduki oleh pasukan-pasukan Inggris).
Sejak adanya pengakuan de facto terhadap Pemerintah RI dari
Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan Sekutu ke wilayah RI diterima
dengan lebih terbuka oleh pejabat-pejabat RI karena menghormati
tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pasukan-pasukan Sekutu.
Christison juga menegaskan bahwa ia tidak akan mencampuri
persoalan yang menyangkut status kenegaraan Indonesia. Namun
kenyataannya adalah lain: di kota-kota yang didatangi oleh
pasukan Sekutu sering terjadi insiden, bahkan pertempuran dengan
pihak RI karena pasukan-pasukan Sekutu itu tidak menghormati
kedaulatan bangsa Indonesia.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 telah dibentuk suatu Badan
Keamanan Rakyat yang bertugas untuk mengamankan negara,
namun dengan adanya pendaratan Sekutu yang diboncengi NICA
maka untuk menghadapinya dirubahlah BKR menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada
tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat (TKR), kemudian 25 Januari 1946 dirubah menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI), terakhir pada tanggal 3 Juni 1947 menjadi
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 15 November 1946 ditandatangani persetujuan
Linggarjati yang berisi 17 pasal. Draft persetujuan tersebut tidak
segera mendapat pengesahan yang mulus, baik di pihak Republik
maupun di pihak Belanda. Pada 20 Desember 1946, Tweede Kamer
di Belanda meratifikasi persetujuan Linggarjati setelah dilakukan
voting dengan suara 65 lawan 30. Tanggal 25 Februari 1947,
Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang
berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-Sementara,
bersidang di Malang guna membahas persetujuan Linggarjati.
Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan
Syahrir, dan terhadap para penentang persetujuan tersebut
dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat pleno Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Wakil Presiden Hatta mengancam,
bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri apabila persetujuan
Linggarjati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan
pengesahan KNIP atas persetujuan Linggarjati. Pada 25 Maret 1947
persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh Pemerintah RI dan
Pemerintah Belanda di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka),
Jakarta.
Pada tanggal 21 Juli 1947 pihak Belanda melancarkan agresi
militer I terhadap daerah RI sebagai pengkhianatan terhadap
perjanjian Linggarjati. Untuk menguasai Jawa Barat, Belanda
mengerahkan dua divisi tentaranya, dengan dugaan bahwa mereka
akan mendapat perlawanan yang cukup gigih dari Siliwangi.
Setelah agresi militer I itu dihentikan kembali diadakan perundingan
di atas kapal laut Renville yang kemudian naskah perjanjian Renville
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada saat itu
masyarakat Jawa Barat, termasuk Purwakarta, kehilangan pelindung
karena dengan adanya perjanjian tersebut maka pasukan Siliwangi
diharuskan untuk hijrah ke wilayah Jawa Tengah.
Stabilitas politik pemerintah Indonesia yang tergoncang karena
adanya peristiwa Madiun dipergunakan oleh Belanda untuk
melancarkan agresi militer II pada tanggal 19 Desember 1948.
Pagi-pagi angkatan perang Belanda menyerbu Yogyakarta sebagai
ibu kota RI yang kemudian jatuh ke tangan mereka. Hal ini terjadi
karena pihak Belanda beranggapan bahwa RI tidak mengakui
adanya gencatan senjata dan persetujuan Renville.
Dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan RI hampir segenap komponen bangsa dari berbagai daerah di Indonesia ikut berpartisipasi secara aktif. Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949.
Kondisi Pertahanan dan ketahanan Indonesia pada Januari 1945 – Desember 1949 belum stabil dan dibutuhkan semangat juang serta nasionalisme yang tinggi untuk memperbaiki kondisi ini. Setelah pembahasan tentang Badan Keamanan Rakyat pada sidang PPKI kemudian datangnya pasukan NICA bersama sekutu serta agresi militer I dan II karena penghianatan perjanjian Linggarjati dan Renville akhirnya Bangsa Indonesia seluruhnya mau aktif untuk mengusir pasukan Belanda sampai akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia.