101

Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

  • Upload
    ekpd

  • View
    2.720

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dokumen Laporan Akhir EKPD 2009 Provinsi DI Yogyakarta oleh Universitas Gadjah Mada

Citation preview

Page 1: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
Page 2: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

i

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Kami Tim EKPD MAP UGM telah dapat menyelesaikan Laporan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009. Evaluasi kinerja pembangunan merupakan instrumen penting di dalam proses pembangunan sebab hanya dengan evaluasi maka kita dapat mengetahui apakah berbagai perencanaan pembangunan tersebut dapat mencapai sasaran dan mampu mewujudkan berbagai tujuan yang telah ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Lebih daripada itu, di dalam konteks kepentingan Nasional yang lebih luas, evaluasi kinerja pembangunan daerah memiliki posisi strategis karena dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol untuk menyakinkan para pemangku kepentingan apakah perencanaan pembangunan pada level nasional menjadi acuan atau dapat diterjemahkan oleh para perencana di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Tim Independen dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Adapun tujuan dari Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Tahun 2009 untuk menilai kinerja pembangunan di daerah dalam rentang waktu 2004-2008. Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah tersebut. Evaluasi ini menggunakan pendekatan relevansi dan efektivitas .

Dalam pelaksanaan evaluasi ini Tim EKPD MAP UGM telah melakukan konsolidasi anggota tim, rapat-rapat pembahasan dan diskusi internal peneliti, koordinasi dengan Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan SKPD lainnya serta melakukan Focussed Group Discussion (FGD). FGD ini melibatkan para pejabat SKPD yang terdiri dari Bappeda, Badan Statistik, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Dinas Lingkungan, serta Dinas Pertanian.

Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, maka Laporan EKPD Tahun 2009 berisikan tentang penjelasan capaian lima indikator besar yaitu tingkat pelayanan publik dan demokrasi, tingkat kualitas sumber daya manusia, tingkat pembangunan ekonomi, kualitas pengelolaan sumber daya alam serta tingkat kesejahteraan rakyat. Laporan EKPD ini memuat antara lain analisis relevansi dan efektivitas capaian indikator, analisis capaian indicator spesifik dan menonjol serta rekomendasi tindak lanjut.

Page 3: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

ii

Dengan selesainya penulisan laporan ini, Tim Independen UGM mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pengumpulan data, analisis hingga penulisannya. Terima kasih secara khusus ingin kami sampaikan kepada: Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan akses terhadap pengumpulan berbagai data yang diperlukan dalam evaluasi ini; PSKK UGM yang memberikan akses terhadap berbagai hasil penelitian mereka, dan BAPPENAS sebagai penyedia dana dan dukungan teknis yang lain sehingga laporan ini dapat diselesaikan. Terima kasih tak lupa juga kami sampaikan kepada para asisten peneliti: Bagus, Purna, Ningsih, Habibi, Indri dan Ade yang telah bekerja keras untuk membantu data colleting.

Akhirnya tidak ada gading yang tak retak, Tim EKPD MAP-UGM berharap mendapatkan masukan, saran dan kritik guna melakukan perbaikan-perbaikan sehingga tugas untuk melakukan evaluasi di masa mendatang dapat dilakukan dengan lebih baik lagi.

Yogyakarta, 9 Desember 2009

Tim Independen EKPD Tahun 2009

Universitas Gadjah Mada

1. Dr. Agus Pramusinto

2. Dr. Erwan Agus Purwanto

3. Dr. Wahyudi Kumorotomo

4. Dr. Nunuk Dwi Retnandari

5. Dr. Ambar Widaningrum, MA.

6. Drs. Setiadi, M.Si.

Page 4: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................... iii

Daftar Grafik .......................................................................................................................... iv

Daftar Tabel ........................................................................................................................... vi

Bab I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang dan Tujuan ............................................................................... 1

1.2 Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 20009 ................................ 1

1.3 Metodologi ......................................................................................................... 2

1.4 Sistematika Penulisan Laporan ......................................................................... 4

Bab II HASIL EVALUASI ....................................................................................................... 7

2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI ......................................... 7

2.1.1 Capaian Indikator ....................................................................................... 8

2.1.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ..................................... 18

2.1.3 Rekomendasi Kebijakan ............................................................................ 21

2.2 TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ............................................ 22

2.2.1 Capaian Indikator ...................................................................................... 23

2.2.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ..................................... 35

2.2.3 Rekomendasi Kebijakan ............................................................................ 37

2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI ............................................................ 38

2.3.1 Capaian Indikator ...................................................................................... 38

2.3.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ..................................... 49

2.3.3 Rekomendasi Kebijakan ............................................................................ 54

2.4 TINGKAT PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ......................................... 55

2.4.1 Capaian Indikator ...................................................................................... 55

Page 5: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

iv

2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ..................................... 59

2.4.3 Rekomendasi Kebijakan ............................................................................ 59

2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT ............................................................ 60

2.5.1 Capaian Indikator ...................................................................................... 60

2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ..................................... 81

2.5.3 Rekomendasi Kebijakan ............................................................................ 87

Bab III KESIMPULAN ............................................................................................................ 89

Lampiran 1 Tabel Indikator Outcomes Evaluasi Kinerja Pembangunan Provinsi DIY

Page 6: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

v

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1. Outcomes dan Trend Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi 2004-2009 ........ 9 

Grafik 2.2. Outcomes dan Trend Tingkat Pelayanan Publik Provinsi DIY .............................. 10 

Grafik 2.3. Persentase Jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan di DIY .................................................................................................................... 11 

Grafik 2.4. Presentase aparat yang berijazah minimal S1 Provinsi DIY ................................. 12 

Grafik 2.5. Persentase jumlah kabupaten/ kota di DIY yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap ............................................................................................................... 13 

Grafik 2.6. Outcomes dan Trend Tingkat Demokrasi DIY ...................................................... 13 

Grafik 2.7. Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Umum di DIY ................. 14 

Grafik 2.8. Gender Development Index (GDI) DIY 2004-2009 ............................................... 19 

Grafik 2.9. Gender Empowerment Meassurment (GEM) DIY 2004-2009 .............................. 20 

Grafik 2.10. Angka Melek Aksara Kelompok Usia 15 Tahun Ke Atas .................................... 26 

Grafik 2.11. Umur harapan hidup ........................................................................................... 27 

Grafik 2.12. Angka Kematian Bayi .......................................................................................... 28 

Grafik 2.13. Angka kematian ibu melahirkan .......................................................................... 29 

Grafik 2.14. Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi DIY ................................................. 32 

Grafik 2.15. Trend Outcome Tingkat Pembangunan Ekonomi 2004-2009 ............................. 39 

Grafik 2.16. Trend Outcome Tingkat Pembangunan Ekonomi 2004-2009 ............................. 40 

Grafik 2.17. Proporsi Ekspor terhadap PDRB ........................................................................ 41 

Grafik 2.18. Proporsi Ekspor terhadap PDRB ........................................................................ 42 

Grafik 2.19. Pertumbuhan Realisasi Investasi Asing (PMA) ................................................... 44 

Grafik 2.20. Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDM ............................................................ 45 

Grafik 2.21. Ketersediaan sarana prasarana untuk pelayanan dalam bidang investasi ......... 46 

Grafik 2.22. Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................................ 49 

Page 7: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

vi

Grafik 2.23. Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah) ......................................................... 52 

Grafik 2.24. Tingkat Inflasi ...................................................................................................... 53 

Grafik 2.25. Proporsi Rehabilitasi Lahan Kritis ....................................................................... 56 

Grafik 2.26. Proporsi Rehabilitasi Lahan Luar Hutan ............................................................. 57 

Grafik 2.27. Luas Lahan Konservasi ....................................................................................... 59 

Grafik 2.28. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY) .............................................................................................................................. 61 

Grafik 2.29 Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY) .............................................................................................................................. 62 

Grafik 2.30. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Bappenas) ................................................................................................................................................ 62 

Grafik 2.31. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Bappenas) ................................................................................................................................................ 63 

Grafik 2.32. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY) .............................................................................................................................. 64 

Grafik 2.33. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY) .............................................................................................................................. 64 

Grafik 2.34. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Bappenas) ................................................................................................................................................ 65 

Grafik 2.35. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi data yang didapatkan dari Bappenas) ................................................................................................................................................ 65 

Grafik 2.36. Persentase Kemiskinan ...................................................................................... 67 

Grafik 2.37. Persentase Kemiskinan ...................................................................................... 67 

Grafik 2.38. Tingkat Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial ....................................... 73 

Page 8: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

vii

Grafik 2.39. Tingkat Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial ........................................ 74 

Grafik 2.40. Tingkat Pengangguran Terbuka Propinsi DIY tahun 2004-2009 ........................ 81 

Page 9: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2.1. Indikator Angka Partisipasi Murni ....................................................................... 24 

Tabel 2.2.2. Angka Putus Sekolah ......................................................................................... 25 

Tabel 2.2.3. Prevalensi Gizi Kurang ....................................................................................... 30 

Tabel 2.2.4. Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi DIY ............................................................ 33 

Tabel 2.2.5. Pencatatan Ketenagakerjaan di Provinsi DIY ( Untuk tenaga-kerja Laki-laki) .... 34 

Tabel 2.5.1.4.3 Pagu Anggaran Kegiatan ............................................................................... 72 

Tabel 2.5.1.5.3 Realisasi Penanganan PMKS Anak Terlantar (anak terlantar, balita terlantar, anak jalanan dan anak nakal) ................................................................................................. 74 

Tabel 2.5.1.5.4 Realisasi Penanganan PMKS Lanjut Usia Terlantar ..................................... 75 

Tabel 5.1.1.5.5. Pembinaan panti asuhan/panti jompo .......................................................... 77 

Tabel 2.5.1.5.6. Realisasi Penanganan PMKS Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tunasosial, Dan Korban Penyalahgunaan Narkoba) ............................................................. 77 

Tabel 2.5.2.2 Peningkatan Kesempatan Kerja ....................................................................... 82 

Page 10: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Kesimpulan

1

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang dan Tujuan

Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pembangunan nasional, pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya

terencana untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan

daerah yang lebih baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.

Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa

Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan dan

program pembangunan di daerah masing-masing.

Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai

relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008.

Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai

tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari

pembangunan daerah tersebut.

Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna

sebagai alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan

pembangunan dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah dilakukan

sebelumnya.

Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal

guna mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah

periode berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan

Dana Dekonsentrasi (DEKON).

1.2. Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:

(1) Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di 33 provinsi

(2) Tersusunnya hasil analisa evaluasi kinerja pembangunan di 33 provinsi sesuai

sistematika buku panduan

Page 11: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD - Pendahuluan

2

1.3. Metodologi

Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil

adalah sebagai berikut:

(1) Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih yang

memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).

(2) Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator

pendukung dengan nilai satuan yang digunakan adalah persentase.

(3) Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase maka tidak dimasukkan dalam rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.

(4) Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna negatif, maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan terlebih

dahulu menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif). Sebagai contoh

adalah nilai indikator pendukung persentase kemiskinan semakin tinggi, maka

kesejahteraan sosialnya semakin rendah.

(5) Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusun indikator hasil dibagi

jumlah dari penyusun indikator hasil (indikator pendukungnya). Contoh untuk

indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial disusun oleh:

• persentase penduduk miskin

• tingkat pengangguran terbuka

• persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak

• presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia

• presentase pelayanan dan rehabilitasi sosial

Semua penyusun komponen indikator hasil ini bermakna negatif (Lihat No.4).

Sehingga Indikator kesejahteraan sosial = {(100% - persentase penduduk miskin) +

(100% - tingkat pengangguran terbuka) + (100% - persentase pelayanan

kesejahteraan sosial bagi anak) + (100%- persentase pelayanan kesejahteraan

sosial bagi lanjut usia) + (100% - persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial}/5

Page 12: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD - Pendahuluan

3

Daftar indikator yang menjadi komponen pendukung untuk masing-masing kategori

indikator outcomes dapat dilihat pada Lampiran 1.

Untuk menilai kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan adalah

Relevansi dan Efektivitas.

Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana tujuan atau sasaran

pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama atau

tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian

pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.

Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara

hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas

pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik

dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan adalah:

a. Pengamatan langsung Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan

di daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, politik,

lingkungan hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di wilayah provinsi terkait.

b. Pengumpulan Data Primer Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan daerah.

Tim Evaluasi Provinsi menjadi fasilitator rapat/diskusi dalam menggali masukan dan

tanggapan peserta diskusi.

c. Pengumpulan Data Sekunder Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti BPS daerah,

Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.

Page 13: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD - Pendahuluan

4

1.4. Sistematika Penulisan Laporan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Tujuan

1.2. Keluaran

1.3. Metodologi

1.4. Sistematika Penulisan Laporan

BAB II HASIL EVALUASI

Deskripsi permasalahan dan tantangan utama pembangunan daerah serta

identifikasi tujuan pembangunan daerah.

2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI

2.1.1 Capaian Indikator

Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan

capaian indikator outcomes nasional dan analisa

Analisa Relevansi

Analisa efektivitas

2.1.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang

outcomes yang spesifik dan menonjol.

2.1.3 Rekomendasi Kebijakan

2.2 TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

2.2.1 Capaian Indikator

Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan

capaian indikator outcomes nasional dan analisa

Page 14: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD - Pendahuluan

5

Analisis Relevansi

Analisis efektivitas

2.2.2 Analisa Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang

spesifik dan menonjol

2.2.3 Rekomendasi Kebijakan

2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI

2.3.1. Capaian Indikator

Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan

capaian indikator outcomes nasional dan analisa

Analisa relevansi

Analisa efektivitas

2.3.2 Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol

Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang

spesifik dan menonjol

2.3.3 Rekomendasi Kebijakan

2.4 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

2.4.1 Capaian Indikator

Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan

capaian indikator outcomes nasional dan analisa

Analisis Relevansi

Analisis Efektivitas

2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Page 15: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD - Pendahuluan

6

Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang

outcomes yang spesifik dan menonjol

2.4.3 Rekomendasi Kebijakan

2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT

2.5.1 Capaian Indikator

Grafik capaian indikator tingkat kesejahteraan sosial provinsi NTB

dibandingkan dengan capaian indikator tingkat kesejahteraan sosial

nasional.

Analisis relevansi

Analisis efektivitas

2.5.2 Analisis Capaian indikator spesifik dan Menonjol

Gambaran dan analisa capaian indikator output penunjang outcomes

yang spesifik dan menonjol

2.5.3 Rekomendasi Kebijakan

BAB III KESIMPULAN

Page 16: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Kesimpulan

7

Bab II Hasil Evaluasi

Bagian ini mendiskusikan berbagai permasalahan dan tantangan utama yang

dihadapi oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai kota kebudayaan dan pendidikan,

filosofi yang mendasari pembangunan daerah Provinsi DIY adalah Hamemayu Hayuning

Bawana. Hal tersebut merupakan cita-cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan

masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya.

Ada 5 (lima) isu yang diangkat dalam evaluasi kinerja pembangunan daerah pada

tahun 2009. Isu-isu tersebut adalah: (a) tingkat pelayanan publik dan demokrasi; (b) tingkat

sumber daya manusia; (c) tingkat pembangunan ekonomi; (d) tingkat sumber daya alam; (e)

tingkat kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan permasalahan pembangunan masa lalu, Provinsi DIY masih

menghadapi sejumlah masalah dan tantangan pembangunan. Pertama, isu yang berkaitan

dengan pelayanan publik yang dihadapi oleh Provinsi DIY adalah menguatnya tuntutan

masyarakat akan peningkatan pelayanan publik. Keunggulan DIY sebagai kota pendidikan

ternyata juga melahirkan kesadaran publik untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga

negara. Seringkali tuntutan yang berkembang dari masyarakat lebih cepat daripada

kemampuan Pemerintah Daerah untuk merespon keadaan. Sementara itu, permasalahan

demokrasi masih merupakan perdebatan yang belum usai. Tarik-menarik kepentingan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum nampak mendekati kesepakatan. Status

Keistimewaan DIY sampai saat ini masih menggantung dan tidak jelas. Di lain pihak,

masyarakat sendiri sudah mendesak kepada berbagai pihak untuk mendapatkan kepastian

hukum mengenai status DIY.

Kedua, isu yang berhubungan dengan sumber daya manusia di Provinsi DIY relatif

tidak serius. Kualitas hidup dan kualitas kesehatan di DIY seperti usia harapan hidup dan

tingkat kematian bayi atau kematian ibu saat melahirkan relatif lebih baik dibandingkan

dengan rata-rata nasional. Namun demikian, masalah SDM yang masih muncul adalah tidak

memadainya sumber daya manusia di dalam birokrasi untuk memenuhi tuntutan global dan

demokratisasi. Kompetisi global telah menuntut kualitas SDM dengan skala global, baik

menyangkut kemampuan mengadaptasi keadaan yang berubah cepat maupun memfasilitasi

Page 17: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

8

tuntutan masyarakat. Walaupun sebagai kota pendidikan, keterbatasan daerah secara

ekonomi untuk mengakomodasi keterampilan orang-orang terdidik menyebabkan braindrain

keluar dari daerah Provinsi DIY.

Ketiga, isu yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi adalah semakin

menurunnya kontribusi sektor pertanian. Hal ini berimplikasi kepada kemampuan daerah

untuk mencapai pemenuhan kebutuhan pangan secara self-reliance. Selain itu, masalah

yang masih belum tuntas adalah dampak gempa bumi tahun 2006 terhadap pertumbuhan

UKM. Kerusakan dahsyat menyebabkan hilangnya investasi peralatan dan sarana usaha.

Sementara itu, untuk memulai lagi usaha, akses mereka terhadap permodalan relatif

terbatas.

Keempat, isu yang berkaitan dengan sumber daya lingkungan adalah kemerosotan

lingkungan hidup. Hal ini terkait erat dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang

tidak berkelanjutan dan mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dampak buruk

yang ditimbulkan antara lain: daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber

daya alam menipis. Misalnya, luas kawasan hutan yang hanya 23,54% tidak mencukupi

sebagai standar lingkungan hidup. Isu-isu yang lain adalah semakin meningkatnya

pencemaran air, udara dan tanah di berbagai daerah.

Kelima isu yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat berkaitan dengan masih

tingginya penduduk miskin. Daerah-daerah yang rawan terhadap peningkatan jumlah orang

miskin adalah Kabupaten Gunung Kidul. Kekeringan dan kelangkaan sumber-sumber

penghidupan menjadi faktor utama kemiskinan di daerah tersebut. Implikasi besar dari

kemiskinan tersebut adalah meningkatnya masalah-masalah sosial seperti gelandangan,

anak-anak jalanan, dan kriminalitas.

2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI

2.1.1. Capaian Indikator Pelayanan publik dan demokrasi merupakan tujuan pembangunan yang

penting. Demokrasi tidak hanya alat, namun juga tujuan bagi pembangunan.

Demokrasi yang menjadi pilihan bangsa sejak era reneformasi menguatkan tuntutan

akan hadirnya pelayanan publik yang memadai. Dalam rezim demokratis, legitimasi

pemerintah tergantung pada pengakuan dan dukungan dari rakyat. Untuk

Page 18: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

9

memperoleh legitimasi rakyat, pemerintah perlu terus responsif terhadap keinginan

rakyat. Salah satu upaya itu adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Pelayanan publik dan demokrasi (partisipasi) adalah penentu legitimasi pemerintahan.

Maka, dalam rangka memperkuat legitimasi pemerintahan, menjadi penting untuk

mengetahui sejauh mana tingkat pelayanan publik dan demokrasi di berbagai daerah

di Indonesia, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Upaya menilai tingkat pelayanan publik dan demokrasi (outcomes) di Provinsi

DIY akan dilakukan dengan melihat jumlah rata-rata beberapa indikator pendukung.

Adapun indikator tersebut meliputi: persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani

dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase aparat yang berijazah minimal S1,

persentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu

atap (UPTSA), tingkat partisipasi politik masyarakat baik dalam Pemilihan Legislatif

maupun Pemilihan Presiden. Sementara indikator spesifik yang tidak digabung dalam

outcomes adalah indikator Gender Development Index (GDI) dan Gender

Empowerment Measurrement (GEM). Berikut ini adalah grafik capaian indikator

outcomes dan trend tingkat pelayanan publik dan demokrasi 2004-2009.

Grafik 2.1. Outcomes dan Trend Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi 2004-2009

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Page 19: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

10

Grafik diatas menunjukkan perkembangan tingkat pelayanan publik dan

demokrasi di DIY dan nasional dari tahun 2004-2009. Secara umum, outcomes di

provinsi DIY memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibanding nilai outcomes

nasional. Selain itu, outcomes provinsi DIY juga memperlihatkan trend yang

meningkat dari tahun ke tahun. Data outcomes nasional untuk tahun 2009 kosong

karena ketiadaan data yang disediakan oleh BAPPENAS. Sehingga, trend outcomes

nasional untuk tahun 2009 juga tidak ditampilkan.

Jika outcomes tingkat pelayanan publik dianalisis secara terpisah dari outcomes

tingkat demokrasi, maka nilai dan trend masing-masing outcomes pun relatif tidak

berbeda. Berikut adalah grafik outcomes dan trend tingkat pelayanan publik Provinsi

DIY dalam lima tahun terakhir.

Grafik 2.2. Outcomes dan Trend Tingkat Pelayanan Publik Provinsi DIY

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Outcomes pelayanan publik DIY menunjukkan kecenderungan meningkat dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2004, nilai outcomes mencapai 70,07. Nilai ini naik

menjadi 70,73 pada tahun 2005. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2006

ketika nilai outcomes menjadi 77,67 atau meningkat 0,1%. Nilai outcomes sempat

Page 20: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

11

menurun 0,002 pada tahun 2008 menjadi 77,73. Namun nilai outcomes kembali naik

sangat signifikan mencapai 100 pada tahun 2009.

Outcomes pelayanan publik ini disusun dari gabungan 3 indikator pendukung.

Adapun indikator tersebut meliputi: persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani

dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase aparat yang berijazah minimal S1,

persentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu

atap (UPTSA). Sejalan dengan nilai outcomes tingkat pelayanan pbulik, masing-

masing indikator pendukung penyusun juga memperlihatkan trend yang meningkat.

Pada penanganan korupsi, DIY memperlihatkan trend positif. Provinsi DIY

merupakan salah satu daerah yang memperoleh indeks korupsi terbaik di Indonesia.

Trend dalam menangani kasus korupsi yang dilaporkan juga terus menunjukkan hasil

optimal. Pada tahun 2004, dari 5 kasus yang dilaporkan, semuanya berhasil ditangani

Kejati DIY. Tahun 2005 juga memperoleh hasil yang sama. Dari 7 kasus yang

dilaporkan, seluruh kasus berhasil ditangani. Kondisi serupa kembali terjadi pada

tahun 2006 hingga 2009. Berturut-turut perbandingan antara kasus terlapor dan

tertangani sebagai berikut: tahun 2007 8:8; tahun 2008 8:8 dan tahun 2009, 11:11.

Grafik 2.3. Persentase Jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan di DIY

Sumber: Kejati DIY

Presentase aparat yang berijazah minimal S1 di Provinsi DIY juga menunjukkan

kecenderungan meningkat. Pada tahun 2004, persentase berjumlah 30,20%. Angka

ini meningkat menjadi 32,20% pada tahun 2005. Terjadi peningkatan 0,8% pada

Page 21: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

12

tahun 2006 menjadi 33%. Pada tahun 2007 angkanya kembali naik menjadi 33,65.

Namun angka ini turun lagi pada tahun 2008 menjadi 33,2%.

Grafik 2.4. Presentase aparat yang berijazah minimal S1 Provinsi DIY

Sumber: DIY dalam Angka 2007/2008

Kecenderungan meningkat juga dapat dilihat pada persentase jumlah

kabupaten/ kota di DIY yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Pada

tahun 2004, empat kabupaten/kota di DIY telah memiliki UPTSA. Masing-masing

kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Kulonprogo, dan kota Yogyakarta.

Kondisi ini bertahan pada tahun 2005. Baru mulai pada tahun 2006. Kabupaten

Gunungkidul yang sebelumnya belum memiliki UPTSA, akhirnya memiliki peraturan

daerah pelayanan satu atap. Dengan demikian, mulai tahun 2006, seluruh

kabupaten/kota di DIY atau 100% telah memiliki UPTSA.

Page 22: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

13

Grafik 2.5. Persentase jumlah kabupaten/ kota di DIY yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap

Sumber: Baseline survey MAP-World Vision 2007

Sebaliknya, nilai outcomes demokrasi DIY cenderung menurun. Nilai outcomes

demokrasi ini ditentukan oleh dua komponen, yaitu partisipasi pemilu legislatifsn dan

partisipasi pemilu presiden. Pada tahun 2004, nilai outcomes mencapai 81. Nilai ini

menurun pada tahun 2009 menjadi 74,45.

Grafik 2.6. Outcomes dan Trend Tingkat Demokrasi DIY

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Page 23: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

14

Menurunnya nilai outcomes demokrasi DIY memperlihatkan turunnya tingkat

partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum di DIY. Pada tahun 2004, tingkat

partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif berjumlah 84%. Angka ini menurun pada

pemilu legislatif tahun 2009 menjadi hanya 76%. Kondisi serupa juga terjadi pada

pemilu presiden. Pada Pilpres tahun 2004, partisipasi pemilih berjumlah 81%. Angka

ini menurun pada Pilpres 2009 menjadi 73%.

Grafik 2.7. Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Umum di DIY

Sumber: KPUD DIY

Analisis Relevansi Analisis relevansi bertujuan untuk melihat sejauh mana tujuan/sasaran

pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan

utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren

capaian pembangunan provinsi DIY sejalan atau lebih baik dari capaian

pembangunan nasional.

Dari grafik 1. dapat dilihat bahwa dari mulai tahun 2004 hingga 2009, nilai

outcomes provinsi DIY selalu lebih tinggi dibanding nilai rata-rata nasional. Tingginya

outcomes DIY ini didorong oleh beberapa hal. Salah satu yang terpenting adalah

upaya pemberantasan korupsi. Pada tahun 2004-2009, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY

selalu berhasil menangani seluruh laporan korupsi dari masyarakat. Pada tahun 2009,

Page 24: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

15

dari 11 kasus yang dilaporkan (hingga agustus 2009), semuanya berhasil ditangani.

Tidak mengejutkan jika kota Yogyakarta sebagai jantung DIY dinobatkan sebagai kota

terbersih pada tahun ini (Kompas, 21/1/2009). Kondisi ini tentu sejalan dengan

semangat pemerintah pusat dalam memberantas korupsi.

Langkah pemberantasan korupsi ini juga bersinggungan dengan upaya

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Mengingat persepsi korupsi terkait dengan

kualitas pelayanan publik. Pemerintah DIY sejak tahun 1999 telah memfasilitasi

pembentukan UPTSA di kabupaten/kota di DIY. Hasilnya, indikator persentase jumlah

kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap merupakan

penyumbang nilai outcomes yang tinggi. Pada tahun 2004-2006, persentase indikator

ini telah mencapai 80%. Hanya ada satu kabupaten yang belum memiliki UPTSA

pada periode 2004-2006, yaitu Gunung Kidul. Namun sejak tahun 2007, seluruh

kabupaten di DIY telah memiliki UPTSA. Transparency International Indonesia pada

tahun ini juga memberi apresiasi terkait keberhasilan DIY dalam meningkatkan

kualitas pelayanan publik (Kompas, 21/1/2009). Meski demikian, fungsi UPTSA yang

belum optimal mendorong tuntutan untuk menjadikan UPTSA sebagai dinas tersendiri

(dinas perijinan). Hingga tahun ini, baru kota Yogyakarta yang telah merubah UPTSA-

nya menjadi dinas perijinan.

Nilai outcomes DIY yang lebih tinggi dibanding outcomes nasional, juga

disumbang oleh indikator persentase aparat yang berijazah minimal S1. Pada rentang

tahun 2004-2008, aparat yang minimal berijazah S1 rata-rata sebesar 32,44%. Angka

ini lebih tinggi jika dibanding rata-rata nasional pada tahun 2008 yang hanya sebesar

30,89%. Angka nasional tersebut hanya mampu mengalahkan persentase DIY pada

tahun 2004 yang berjumlah 30,20%.

Sedangkan meskipun terjadi penurunan partisipasi pemilih pada Pemilu legislatif

dan Presiden 2009, tingkat partisipasi pemilih di DIY masih lebih tinggi dibanding nilai

rata-rata nasional. Pada Pemilu legislatif 2004, partisipasi pemilih di DIY sebesar 84%

untuk Pemilu legislatif dan 81% untuk Pemilu Presiden. Angka ini menurun pada

Pemilu 2009 menjadi 72,94% untuk Pemilu legislatif dan 75,97% dalam pemilu

Presiden. Meski demikian, angka partisipasi di DIY ini masih lebih tinggi dibanding

nilai rata-rata nasional yang sebesar 70,96% dalam Pemilu legislatif dan 72,56%

untuk pemilihan Presiden. Penurunan ini dapat berarti semakin tingginya daya kritis

masyarakat namun bisa pula berarti semakin tingginya apatisme masyarakat. Hal ini

Page 25: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

16

didorong oleh sifat dinamika politik di DIY yang tinggi. Dinamika ini diwarnai oleh daya

kritis dari pelajar dan mahasiswa serta masyarakat yang tercermin dalam banyaknya

ormas/LSM/lembaga-lembaga pemberdayaan politik masyarakat dan cukup tingginya

frekuensi demonstrasi di DIY.

Dengan demikian, pembangunan di DIY khususnya terkait tingkat pelayanan

publik dan demokrasi, memiliki relevansi yang cukup tinggi dengan capaian

pembangunan nasional. Faktor pendorong yang menonjol adalah pemberantasan

korupsi di DIY yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Selain itu, tingginya

persentase kabupaten/kota yang memiliki UPTSA di provinsi ini dibanding rata-rata

nasional juga penyumbang bagi tingginya nilai outcomes DIY. Indikator partisipasi

pemilih juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Tingkat partisipasi pemilih di

DIY pada dua Pemilu 2004 dan 2009 selalu lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

Analisis Efektifitas Sementara analisis efektifitas bertujuan untuk mengukur dan melihat

kesesuaian antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan.

Efektivitas pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan

provinsi DIY membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Tingkat pelayanan publik dan demokrasi (outcomes) provinsi DIY menunjukkan

trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Memang pada tahun 2004 ke 2005 terjadi

penurunan dari 75,53 menjadi 70,73 atau menurun sekitar 0,07%. Namun dari tahun

2005 ke 2006 terjadi peningkatan yang sangat signifikan, yakni dari 70,73 menjadi

77,67 atau naik 0,1%. Peningkatan ini didorong oleh terbentuknya UPTSA di Gunung

Kidul pada tahun 2006. Sehingga indikator terkait persentase UPTSA naik siginifikan

dari sebelumnya 80% menjadi 100%. Terbentuknya UPTSA di seluruh

kabupaten/kota di DIY ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah DIY dalam

meningkatkan pelayanan publik.

Dari tahun 2006-2008 tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap nilai

outcomes DIY. Dari tahun 2006 yang sebesar 77,67 menjadi 77,73 pada tahun 2007,

atau hanya naik 0,003%. Begitu pula pada tahun 2007 ke 2008. Meskipun terjadi

penurunan dari 77,87 menjadi 77,73 atau hanya turun 0,002%. Namun angka

outcomes kembali naik signifikan pada tahun 2009. Jika tahun 2008 nilai outcomes

sebesar 77,73, maka pada tahun 2009 nilainya menjadi 87,23% atau naik 0,1%,

Page 26: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

17

meskipun terjadi penurunan pada salah satu indikator pendukung, yaitu tingkat

partisipasi pemilih pada tahun 2009. Karena itu, dapat dijelaskan bahwa peningkatan

signifikan nilai outcomes pada tahun 2009 tidak lepas dari tidak dimasukkannya salah

satu indikator pendukung yaitu persentase aparat yang berijazah S1. Hal ini

disebabkan ketiadaan data pada tahun 2009. Jika indikator ini dimasukkan dengan

menggunakan angka perkiraan konservatif (seperti pada tiga tahun sebelumnya) yang

besarnya rata-rata 33%, maka nilai outcomes pada tahun 2009 kira-kira akan berada

pada kisaran angka 77. Artinya tidak terjadi perubahan yang signifikan dibanding

tahun 2008.

Trend yang meningkat ini memberi gambaran tentang realisasi program

pembangunan. Dalam kaitan pelayanan publik, misi pemda DIY adalah meningkatkan

pelayanan, konsultasi dan asistensi dalam rangka meningkatkan kemampuan

masyarakat agar mempunyai daya saing yang kuat (Renstra DIY 2004-2008, 2003:

54). Untuk mencapai tujuan tersebut, pemda DIY menjabarkan beberapa program

seperti perlunya pedoman pelayanan prima dan standar pelayanan minimal (SPM),

pembentukan UPTSA, maupun meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pegawai.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, mulai pada tahun 2007, seluruh

kabupaten/kota di DIY telah memiliki UPTSA. Hadirnya UPTSA telah mempermudah

masyarakat dalam memperoleh pelayanan. Dari segi tingkat pendidikan, aparat yang

berijazah minimal S1 dari tahun 2004-2009 berjumlah rata-rata 33% dari seluruh

aparat di DIY. Angka tersebut tentu saja menuntut upaya yang lebih keras guna

meningkatkan kualitas SDM. Pemda DIY juga telah menerapkan kebijakan Zero

Growth pada tahun 2003-2006, dimana penambahan pegawai bukan atas dasar

formasi tetapi dari penggantian pegawai yang telah pensiun (RPJMD DIY 2009-2013,

2009: 36). Upaya righ sizing ini juga dinilai berkontribusi terhadap peningkatan

pelayanan.

Sementara terkait dengan demokrasi, pemda DIY berupaya meningkatkan

kemampuan dan partisipasi masyarkat dalam mendukung penyelenggaraan

pemerintahan. (Renstra, 2003: 55). Sebagai masyarakat di kota pendidikan, tingkat

kesadaran politik dan tingkat partisipasi politik masyarakat DIY cukup tinggi, sehingga

tingkat kepedulian masyarakat terhadap politik dan pemerintahan juga cukup tinggi

(RPJMD DIY 2009-2013, 2009: 37). Tingkat partisipasi pemilih pun di DIY selalu lebih

tinggi dibanding rata-rata nasional. Namun demikian, jika dilihat dari partisipasi

Page 27: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

18

masyarakat dalam pembuatan kebijakan (Perda, Renstra, dst), demokrasi di DIY

masih banyak yang harus ditingkatkan. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan

keputusan yang mempengaruhi dirinya tidak saja merupakan tuntutan good

governance, tapi lebih dari itu, ia merupakan hak asasi manusia. Pemda DIY perlu

mengatur mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan ini

dalam sebuah aturan hukum yang mengikat. Dengan ini, masyarakat memperoleh

jaminan akan haknya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang

mempengaruhi nasibnya.

Dengan demikian, meningkatnya trend nilai outcomes provinsi DIY terkait

dengan pelayanan publik dan demokrasi menunjukkan bahwa capaian pembangunan

provinsi DIY mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dengan kata lain, pemerintah DIY telah cukup efektif dalam mencapai tujuan

pembangunan yang dicanangkan. Meski demikian, terdapat beberapa kondisi yang

perlu terus ditingkatkan. Salah satu yang terpenting adalah mengatur keterlibatan

masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan daerah (Perda). Tingkat partisipasi

pemilih dalam Pemilu yang cukup tinggi, tidak akan berarti banyak, dan justru akan

menimbulkan apatisme, jika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan

keputusan yang mempengaruhi dirinya di tingkat lokal. Selain itu, upaya

meningkatkan kualitas pelayanan juga perlu diakselerasi dengan meningkatkan

kualitas SDM aparat, (diantaranya dengan memperbesar persentase aparat yang

berijazah minimal S1), dan mengoptimalkan fungsi UPTSA, baik dalam bentuknya

yang sekarang maupun ditransformasi menjadi dinas tersendiri.

2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Trend nilai outcomes tingkat pelayanan publik dan demokrasi di DIY juga

ditunjang oleh indikator spesifik yang tidak dimasukkan menjadi komponen penyusun

nilai outcomes, yaitu Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment

Meassurment (GEM). Kedua indikator spesifik, GDI dan GEM menunjukkan

kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun.

Page 28: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

19

Grafik 2.8. Gender Development Index (GDI) DIY 2004-2009

Sumber: Data Olahan Dari Berbagai Sumber

Catatan: Angka GDI tahun 2008 dan 2009 adalah angka estimasi.

GDI merupakan ukuran untuk mengetahui kesenjangan pembangunan antara

laki-laki dan perempuan. Apabila nilai GDI sama dengan HDI, maka dapat dikatakan

bahwa tidak ada kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan

perempuan. Pada tahun 2009, nilai GDI naik menjadi 71,43 dari 71,08 pada tahun

2008. Nilai GDI ini merupakan nilai tertinggi sejak tahun 2004. Dari tahun 2004-2009

terjadi kenaikan rata-rata sebesar % tiap tahun. Pada tahun 2005 dengan nilai 70,2%,

GDI DIY menempati peringkat pertama nasional. Selanjutnya pada tahun 2006 naik

menjadi 70,3% menempati peringkat 2 setelah DKI Jakarta. Dengan demikian,

pembangunan GDI di DIY memiliki relevansi yang tinggi dengan pembangunan

nasional.

Nilai GDI yang mengalami kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu

tersebut belum mencerminkan adanya kesetaraan pembangunan berdasarkan jender,

misalnya pada tahun 2007. Pada tahun 2007, Propinsi DIY masih terjadi sedikit

kesenjangan berdasarkan jender karena memiliki nilai HDI yang lebih tinggi yaitu

sebesar 74,15. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai Gender Development Index (GDI)

yang masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai Human Development Index (HDI).

Page 29: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

20

Kesenjangan yang masih terjadi ini tidak terlepas oleh beberapa aspek berikut ini.

Pertama, Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Propinsi DIY pada tahun 2007 masih

menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Meskipun APS untuk tingkat SLTP,

penduduk perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Akan tetapi APS untuk

tingkat SLTA, penduduk laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, yaitu sebesar

78,40% dan 70, 85%. Kedua, angka melek huruf. Pada tahun 2007, angka melek

huruf di Propinsi DIY penduduk laki-laki sebesar 93,60% sedangkan perempuan

sebesar 80,90%.

Jika angka GDI menunjukkan trend yang terus meningkat, maka pada GEM

terjadi trend yang stabil. Tidak terjadi perubahan yang signifikan dari tahun 2004

hingga 2009. Di tahun 2004 angka GEM sekitar 62,30 sempat naik menjadi 62, 40

pada tahun 2005 dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 dengan nilai 62,7.

Namun GEM kembali turun menjadi 62,52 pada tahun 2008 dan naik sedikit pada

tahun 2009 menjadi 62,57. Perubahan yang terjadi (naik atau turun) dari tahun 2004-

2009 tidak lebih dari 0,004%. Propinsi DIY berada pada peringkat 6 pada tahun 2006,

kemudian mengalami penurunan peringkat pada tahun 2007 yaitu pada peringkat 8.

Pada tahun tersebut nilai GEM Propinsi DIY masih berada pada posisi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan GEM secara nasional. Nilai GEM Indonesia pada tahun

2006 sebesar 61,8 dan tahun 2007 sebesar 62,1.

Grafik 2.9. Gender Empowerment Meassurment (GEM) DIY 2004-2009

Sumber: Data Olahan Dari Berbagai Sumber Catatan: Angka GEM tahun 2008 dan 2009 adalah angka estimasi.

Page 30: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

21

Selain memiliki relevansi dengan capaian pembangunan nasional,

pemberdayaan perempuan di DIY juga cukup efektif. Pada tahun 2009, pemda DIY

menargetkan angka GDI pada 70,6 dan GEM 62,44 (RPJMD 2009-2013, 2009: 85).

Angka ini terlampaui dengan dicapainya GDI pada tingkat 71,43 dan GEM sebesar

62,57. Pemda DIY menjalankan dua program dalam rangka memberdayakan

perempuan, yaitu Program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan

Perempuan, serta Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan

(RPJMD, 75).

Salah satu faktor penunjang yang mengatrol kinerja GDI dan GEM di DIY

adalah banyaknya LSM, pusat studi perguruan tinggi maupun elemen masyarakat lain

yang aktif melakukan advokasi baik pada masyarakat maupun pada kebijakan

pemerintah agar lebih sensitif jender. Beberapa lembaga tersebut antara lain:

Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), Mitra Wacana,

Rifka Annisa, Wanita Tamansiswa, Indriya Nati, Pusat Studi Wanita UGM dan

seterusnya.

Meski pencapaian GDI dan GEM di DIY relatif telah baik, namun persoalan yang

sering mengemuka dalam bidang pemberdayaan perempuan adalah belum

tercapainya kesetaraan jender secara optimal di bidang pendidikan, kesehatan,

ekonomi, dan politik. Karena itu, perlindungan terhadap perempuan, anak-anak, dan

remaja perlu terus ditingkatkan (RPJMD, 26).

2.1.3. Rekomendasi Kebijakan

• Mengatur keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan daerah

(Perda). Mekanisme keterlibatan masyarakat perlu diatur dalam suatu peraturan

hukum yang mengikat.

• Memperbesar persentase aparat yang berijazah minimal S1.

• Mengoptimalkan fungsi UPTSA, baik dalam bentuknya yang sekarang maupun

ditransformasi menjadi dinas tersendiri.

• Upaya kongkrit untuk meningkatkan GDI perlu dilakukan dengan meningkatkan

angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan daya beli

Page 31: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

22

kaum perempuan. Kebijakan-kebijakan yang mendorong kondisi diatas harus

ditunjang oleh prioritas anggaran yang memadai.

• Peningkatan angka GEM dapat dilakukan dengan meningkatkan proporsi

perempuan di sektor publik. Kebijakan pengarusutamaan gender (gender

mainstreaming) perlu diakselerasi efektivitasnya.

2.2 TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

Berdasarkan angka statistik SUPAS, jumlah penduduk provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tahun 2007 tercatat 3.434.534 jiwa. Dari jumlah ini, 50,16 persen

adalah laki-laki dan 49,84 persen perempuan. Tingkat urbanisasi penduduk provinsi ini

cukup tinggi yang terbukti dari besarnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan

(60,57 persen) dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan (39,31 persen).

Dari segi komposisi, penduduk yang termasuk kelompok umur 25-29 tahun

mendominasi penduduk di provinsi DIY. Tetapi besarnya proporsi penduduk yang

termasuk kelompok usia lanjut menunjukkan tingginya usia harapan hidup di provinsi ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kendatipun komposisi penduduk di DIY

belum termasuk ke dalam aging society tetapi usia produktifnya semakin tinggi. Data

yang lebih lengkap mengenai komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur tampak

pada bagan piramida penduduk (Gambar 2.1).

Page 32: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

23

Gambar 2.1. Piramida penduduk

(Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2007)

Sumber: BPS Provinsi DIY, 2008

2.2.1. Capaian Indikator

Pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu aspek yang

sangat penting karena akan mempengaruhi aspek-aspek pembangunan lainnya baik

secara langsung maupun tidak langsung. Jika di dalam RPJPN 2005-2025 dinyatakan

bahwa kebijakan jangka-panjang dimaksudkan untuk “mewujudkan bangsa yang

berdaya saing untuk mencapai masyaraat yang lebih makmur dan sejahtera”, maka

relevansi pembangunan sumberdaya manusia dalam kerangka pembangunan

nasional maupun pembangunan daerah tampak sangat nyata.

Namun sayangnya potret sumberdaya manusia di Indonesia saat ini masih

sangat memprihatinkan. Dari segi pendidikan saja, ternyata lebih dari 50 persen

hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sementara itu, masalah lain yang dihadapi ialah

begitu banyaknya pengangguran terdidik yang pada tahun 2008 secara nasional

mencapai lebih dari 12 juta orang atau sekitar 9,75 persen dari total angka

pengangguran (BPS, seperti dikutip Kompas, 24 Februari 2008). Data dari sumber

lain juga menunjukkan masih lemahnya sumberdaya manusia di Indonesia. Kondisi

daya saing Indonesia masih menempati peringkat ke-69 dari 104 negara (World

Page 33: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

24

Economic Forum, 2004) sedangkan dari segi Indeks Pembangunan Manusia (Human

Development Index), Indonesia menempati peringkat 104 dari 175 negara (UNDP,

2002).

Tabel 2.2.1. Indikator Angka Partisipasi Murni

      2004 2005 2006 2007  2008 SD/MI Nasional 

93 93,3 93,54 93,75

93,98 SD/MI Yogyakarta 

98,77 99,05 99,35 99,29

99,32 SMP/MTs Nasional  4,80 5,42 5,42 5,42 6,05 SMP/MTs Yogyakarta  5,38 5,88 5,88 5,88 6,91 SMA/SMK/MA Nasional  4,77 5,77 5,94 6,28 6,35 SMA/SMK/MA Yogyakarta  5,63 5,56 6,04 6,82 6,86

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2008

Dari indikator pokok berupa Angka Partisipasi Murni (APM), angka pada Tabel

2.2.1 menunjukkan bahwa capaian pembangunan sumberdaya manusia di provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta sudah baik. Angka APM di semua jenjang sekolah (SD,

SMP, SMA) semuanya berada di atas rata-rata angka nasional. Untuk jenjang SD,

selisih APM antara capaian di DIY dengan di tingkat nasional bahkan cukup besar,

pada tahun 2008 selisihnya adalah 5,34. Angka APM yang sebesar 99,32 juga

menunjukkan bahwa hampir semua anak usia sekolah di DIY sudah mengenyam

pendidikan dasar. Masalahnya adalah bahwa seiring dengan meningkatnya jenjang

sekolah, angka APM juga semakin menurun dibanding angka rerata nasional.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa predikat DIY dan terutama kota

Jogjakarta sebagai kota pelajar memang masih layak disandang. Tetapi tampaknya

penurunan kualitas pembangunan sumberdaya manusia justru terjadi pada jenjang

lanjutan. Posisi kompetitif Jogjakarta sebagai kota pelajar rupanya semakin terancam

apabila tidak diadakan terobosan-terobosan baru menyangkut kualitas pendidikan di

tingkat lanjutan. Informasi ini juga dapat ditafsirkan sebagai adanya persaingan yang

sehat diantara daerah-daerah di seluruh Indonesia dan kemungkinan lebih meratanya

pendidikan yang selama ini hanya berpusat di pulau Jawa kini sudah mulai meluas ke

kota-kota lain di luar Jawa.

Page 34: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

25

Data yang tersedia belum menunjukkan tingkat kualitas untuk jenjang

pendidikan tinggi. Namun dari hasil wawancara dan FGD dengan para perumus

kebijakan di daerah terdapat kesan bahwa jenjang pendidikan tinggi di Jogjakarta juga

mulai mendapatkan pesaing dari daerah-daerah lain. Sekarang ini, lulusan SMU atau

SMK dari kota-kota lain di Indonesia tidak lagi memfokuskan diri untuk melanjutkan

studi di Jogjakarta karena semakin banyaknya perguruan tinggi negeri maupun

swasta yang didirikan di kota-kota tersebut.

Tabel 2.2.2. Angka Putus Sekolah

  2004 2005 2006 2007 SD Nasional  2,97 3,17 2,41 1,81 SD Yogyakarta  2,46 1,13 1,21 1,00 SMP/MTs Nasional  2,83 1,97 2,88 3,94 SMP Yogyakarta  2,23 0,62 2,14 1,84 Sekolah Menengah Nasional  3,14 3,08 3,33 2,68 Sekolah Menengah Yogyakarta  3,65 4,23 3,77 2,21

Angka melek aksara 15 tahun keatas Nasional  90,40 90,90 91,50 91,87 Angka melek aksara 15 tahun keatas Yogyakarta  85,78 86,69 85,88 87,11

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta

Data mengenai angka putus sekolah seperti tampak pada Tabel 2.2.2 juga

menunjukkan bahwa kinerja sistem pendidikan di provinsi DIY sudah lebih baik jika

dibanding kinerja di tingkat nasional. Untuk jenjang Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas, angka putus sekolah di

provinsi DIY kesemuanya lebih rendah dibanding data nasional. Seperti yang

ditunjukkan dari data APM, angka putus sekolah bagi jenjang SD juga prosentasenya

relatif paling rendah.

Tetapi yang mengejutkan adalah bahwa angka melek aksara bagi kelompok

usia 15 tahun ke atas di provinsi DIY justru lebih rendah jika dibanding angka

nasional (Bagan 2.2.2). Apabila hasil validasi dari data ini memang betul, maka

kesimpulan yang dapat diambil adalah sejalan dengan kesimpulan tentang komposisi

penduduk di provinsi DIY. Karena angka APM kelompok usia produktif termasuk tinggi

sedangkan kualitas pendidikannya di wilayah ini relatif masih terjaga, data ini

Page 35: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

26

menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang tidak melek aksara ternyata ada

diantara mereka yang telah berusia lebih dari 50 tahun

Grafik 2.10. Angka Melek Aksara Kelompok Usia 15 Tahun Ke Atas

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2008

Jika data tersebut dicocokkan dengan pola migrasi ke provinsi DIY, tampak

bahwa banyak diantara orang-orang yang telah berusia lanjut yang masih belum

tersentuh oleh sistem pendidikan modern. Manajemen pendidikan yang berdasarkan

konsep “pendidikan seumur hidup” kiranya perlu diperkenalkan dalam sistem

pendidikan di provinsi DIY. Dengan demikian sistem pendidikan non-formal yang lebih

menawarkan paket-paket Kelompok Belajar (Kejar) perlu lebih diutamakan.

Page 36: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

27

Analisis Relevansi

Sebagai sarana untuk melihat sejauh mana tujuan dan sasaran pembangunan

yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utamanya, analisis relevansi

dimaksudkan di sini untuk menguraikan indikator-indikator lain yang relevan dengan

pembangunan sumberdaya manusia di provinsi DIY. Bagi pembangunan sumberdaya

manusia, indikator pendidikan memiliki kaitan sangat erat dengan indikator kesehatan

dan keduanya secara keseluruhan menunjukkan kualitas hidup bagi penduduk di

provinsi ini.

Gambaran pada Bagan 2.2.3 menunjukkan bahwa umur harapan hidup (life

expectancy) dari penduduk di provinsi DIY senantiasa lebih tinggi daripada rata-rata

nasional. Pada tahun 2007, misalnya, jika di tingkat nasional umur harapan hidup

angkanya masih sebesar 69,8 tahun, umur harapan hidup di provinsi DIY sudah

mencapai 74 tahun. Sementara itu, melihat trend yang ada dari tahun ke tahun, umur

harapan hidup itu tampaknya terus meningkat lebih cepat jika dibandingkan angka

nasional. Data dari BPS menunjukkan bahwa di Indonesia ada dua provinsi yang

senantiasa berada di peringkat teratas dalam hal umur harapan hidup, yaitu provinsi

Bali dan provinsi DIY.

Grafik 2.11. Umur harapan hidup

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2009

Page 37: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

28

Sejauh ini memang belum ada studi yang komprehensif mengenai faktor-faktor

yang menyebabkan tingginya umur harapan hidup di provinsi DIY. Dari segi medis

dapat dijelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh sudah meratanya fasilitas kesehatan

di provinsi DIY yang terdiri dari satu kota dan empat kabupaten ini. Namun mengingat

bahwa fasilitas yang lebih modern justru terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta,

Surabaya dan Medan, tampaknya penjelasan kultural adalah yang lebih relevan

dengan fenomena umur harapan hidup di provinsi DIY. Kegiatan seni dan budaya,

pendidikan, dan irama penghidupan yang relatif lebih bervariasi dengan tekanan

pekerjaan yang tidak terlalu berat jika dibanding di kota metropolitan tampaknya

menjadi unsur penjelas yang masuk akal mengenai umur harapan hidup tersebut.

Namun sekali lagi kesimpulan final hanya dapat diuraikan jika telah dilakukan studi

yang komprehensif dan mendalam.

Grafik 2.12. Angka Kematian Bayi

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2009

Data statistik yang diperoleh mengenai angka kematian bayi (infant mortality

rate) kurang lengkap sehingga analisis rangkaian-waktu tidak dapat dilakukan dengan

baik. Akan tetapi dari data rangkaian-waktu yang terputus itu dapat dilihat bahwa

angka kematian bayi di provinsi DIY lebih rendah jika dibandingkan angka di tingkat

Page 38: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

29

nasional. Ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu di sektor kesehatan yang

mengakibatkan kemajuan signifikan, terutama menyangkut pelayanan persalinan dan

kesehatan bayi.

Di kalangan penduduk miskin di pedesaan, masih banyak kelahiran bayi yang

dilakukan dengan pertolongan dukun bayi atau bidan desa. Di masa lalu, pendekatan

yang dilakukan oleh pemerintah hanya sekadar kampanye negatif terhadap para

dukun bayi atau bidan desa dan menganjurkan masyarakat supaya menggunakan

jasa dokter kandungan dalam persalinan. Tetapi warga pedesaan yang miskin

betapapun masih mengandalkan jasa dukun bayi atau bidan desa karena disamping

ongkos jasanya murah juga karena memang terbatasnya dokter kandungan di

kawasan pedesaan. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan yang dilakukan

justru membina para dukun bayi dan bidan desa itu sebagai mitra dalam pelayanan

persalinan di pedesaan. Pembinaan yang sistematis mengenai tindakan yang tepat

dalam proses persalinan serta pengutamaan cara-cara yang higienis tampaknya

memberi hasil yang menggembirakan.

Grafik 2.13. Angka kematian ibu melahirkan

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2009

Page 39: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

30

Disamping hasil yang cukup memuaskan dari angka tingkat kematian bayi,

indikator yang lebih jelas tampak pada tingkat kematian ibu melahirkan seperti tampak

pada Bagan 2.2.5. Angka yang dicapai oleh provinsi DIY jauh lebih bagus jika

dibandingkan data pada tingkat nasional. Pada tahun 2007, misalnya, jika angka

kematian bayi pada tingkat nasional masih sebesar 228 per seribu penduduk, angka

di provinsi DIY hanya 34 per seribu penduduk. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa

pendekatan yang sistematis terhadap masalah kesehatan bisa memecahkan masalah

secara tepat. Jika kualitas pelayanan kesehatan sudah dapat diandalkan maka pada

tahap berikutnya tentu akan berpengaruh secara positif terhadap pendidikan dan

aspek-aspek pembangunan sumberdaya manusia secara keseluruhan.

Tabel 2.2.3. Prevalensi Gizi Kurang

Indikator Tingkat 2004 2005 2006 2007 Prevalensi Gizi kurang (%) Nasional 25.8 24.7 23.6 23,3 Prevalensi Gizi kurang (%) Yogyakarta 8,3 5,5 6,2 2.4

Sumber : BPS Provinsi Yogyakarta, 2009

Selanjutnya, seperti tampak pada Tabel 2.2.3, indikator pemenuhan gizi di

provinsi DIY dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik jika

dibandingkan di tingkat nasional. Prevalensi gizi buruk di provinsi ini memang masih

bersifat fluktuatif. Data yang menunjukkan penurunan pada tahun 2005 kemudian

mengalami kenaikan pada tahun 2006 dan penurunan lagi hingga hanya sebesar 2,4

persen pada tahun 2007. Di masa mendatang kiranya pihak pemerintah daerah dapat

memfokuskan kebijakan penanganan gizi yang lebih serius di kantong-kantong

kemiskinan dan gizi buruk seperti di beberapa kecamatan di Gunungkidul dan

kawasan pantai selatan di kabupaten Bantul dan Kulon Progo.

Analisis Efektivitas

Untuk menilai seberapa besar efektivitas kegiatan pembangunan sumberdaya

manusia, analisis yang diperlukan adalah melihat keterkaitan antara struktur

kependudukan, kualitas kesehatan serta kualitas pendidikan dengan pemanfaatannya

sebagai tenaga kerja di sektor publik dan terutama di sektor swasta sebagai

penggerak kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagai provinsi istimewa yang dari segi

Page 40: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

31

wilayah relatif kecil jika dibandingkan provinsi-provinsi lainnya, tenaga-kerja yang

berada di sektor publik tidak terlalu besar. Pegawai negeri sipil yang bekerja dalam

kegiatan pemerintahan, misalnya, pada tahun 2007 tercatat hanya sebanyak 85.978

orang.

Tetapi dari proporsi pegawai yang bekerja untuk sektor publik dan jumlah

penduduk provinsi yang dilayaninya, jumlah tersebut di atas mungkin masih termasuk

kategori overstaffed di beberapa bidang kerja. Sejak berlakunya UU No.22 tahun

1999 yang selanjutnya direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004, gagasan otonomi

daerah antara lain ditindaklanjuti dengan upaya merampingkan struktur organisasi

dan mengendalikan jumlah staff yang tidak diperlukan. Untuk provinsi DIY, jumlah

pegawai yang tadinya berkisar pada angka 11.000 orang telah dapat dikurangi

menjadi hanya sekitar 8.000. Setelah adanya beberapa pemangkasan jabatan yang

tidak diperlukan, ada pegawai kurang produktif yang diberikan status pensiun dini.

Tetapi upaya perampingan itu sebenarnya masih jauh dari sasaran semula yang

sebenarnya hanya membutuhkan pegawai sekitar 5.000.

Persoalan yang harus dihadapi dalam upaya perampingan adalah bahwa tidak

semua satuan itu mengalami overstaffed. Di beberapa SKPD yang strategis seperti

Bappeda, Dinas Pendidikan dan Dinas Pekerjaan Umum, ada banyak pos jabatan

yang justru mengalami understaffed. Pegawai yang ada kurang memenuhi syarat-

syarat pengetahuan, pendidikan dan keterampilan sehingga pelaksanaan pekerjaan

berjalan kurang efisien dan efektif, sedangkan rekrutmen PNS baru belum

dimungkinkan. Namun memang cukup banyak SKPD yang sudah termasuk kategori

overstaffed karena terlalu banyaknya pegawai yang sebenarnya pekerjaannya kurang

jelas ditinjau dari segi Analisis Jabatan yang telah dilakukan.

Dari segi struktur kepangkatan. komposisi pegawai di DIY cenderung

menggelembung di level menengah. Berdasarkan golongannya, PNS di DIY yang

menduduki golongan I sebesar 1,05 persen, golongan II sebesar 19,70 persen,

golongan III sebesar 51,99 persen, dan golongan IV sebesar 27,26 persen. Dengan

demikian, untuk membentuk birokrasi pemerintah daerah yang profesional

sebenarnya komposisi golongannya sudah cukup memenuhi syarat. Persoalannya

ialah bahwa penentuan golongan dalam jabatan struktural seringkali kurang

Page 41: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

32

didasarkan pada kompetensi, pengalaman, dan keterampilan teknis yang benar-benar

objektif.

Di sektor swasta, pemanfaatan sistem pendidikan yang kualitasnya relatif baik

di provinsi DIY tampaknya belum optimal. Meskipun terdapat kecenderungan terus

menurun, hingga tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka di provinsi ini tercatat

masih berada pada angka 8,42 persen. Data selengkapnya mengenai tingkat

pengangguran terbuka dapat dilihat pada Bagan 2.2.6. Angka dari BPS provinsi DIY

ini mengejutkan karena menunjukkan bahwa pengangguran terbuka lebih tinggi dari

angka statistik nasional. Angka pengangguran terbuka di tingkat nasional pada tahun

2008 sebesar 8,39 persen atau 9,39 juta dari total angkatan kerja di Indonesia (BPS,

2009).

Grafik 2.14. Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi DIY

Sumber: BPS Provinsi DIY, 2009

Sementara itu, hasil Sakernas hingga tahun 2008 juga menunjukkan bahwa

pemanfaatan tenaga kerja di provinsi DIY masih menunjukkan masalah kompleks.

Angka angkatan kerja dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan.

Demikian pula proporsi penduduk yang masuk kelompok usia kerja juga meningkat.

Tetapi daya serap sektor-sektor ekonomi potensial yang ada di DIY tampaknya

Page 42: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

33

sangat terbatas sehingga akumulasi pengangguran tentu akan menjadi persoalan

tersendiri.

Tabel 2.2.4. Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi DIY

Uraian Nov 2005 Feb 2006 Agu 2006 Feb 2007 Agu 2007 Feb 2008Angkatan kerja 1.850,84 1.871,97 1.868,52 1.954,42 1.889,44 1.983,53 Bekerja 1.710,39 1.754,95 1.750,58 1.835,54 1.774,24 1.863,75 Pengangguran Terbuka

140,45 117,02 117,95 118,88 115,20 119,78

Bukan Angkatan Kerja

799,51 790,80 831,75 771,87 866,35 852,24

Penduduk Usia Kerja

2.650,35 2.662,78 2.700,27 2.726,29 2.755,80 2.835,77

TPAK 69,83% 70,30% 69,20% 71,69% 68,56% 69,95% TPT 7,59% 6,25% 6,31% 6,08% 6,10% 6,04%

Sumber : Hasil Sakernas Bulan Februari 2008

Perlu diketahui bahwa dari data pada Tabel 2.2.4 diantara penduduk yang

sudah bekerja masih terkandung di dalamnya kategori setengah pengangguran, yaitu

para tenaga kerja yang sudah memiliki pekerjaan tetapi waktu kerjanya kurang dari 35

jam per minggu. Angka setengah pengangguran di provinsi DIY hingga tahun 2008

mencapai 23 persen, atau angkanya sebesar 425.300 orang. Selanjutnya dari jumlah

yang setengah menganggur tersebut, ternyata lebih separuhnya (62,24 persen)

tergolong "setengah pengangguran sukarela". Yang dimaksud dalam hal ini adalah

mereka yang setengah menganggur tetapi tidak berusaha untuk mendapatkan

pekerjaan lain. Selebihnya (37,76 persen) adalah "setengah pengangguran terpaksa"

karena sebenarnya mereka masih menginginkan atau berusaha untuk mendapatkan

pekerjaan lain. Proporsi perempuan di dalam kategori setengah pengangguran juga

cukup besar, yaitu 55,84 persen.

Data lebih lengkap mengenai situasi ketenagakerjaan tercatat dalam

perkembangan periodik para pencari pekerjaan beserta penempatannya seperti

tampak pada Tabel 2.2.5.

Page 43: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

34

Tabel 2.2.5. Pencatatan Ketenagakerjaan di Provinsi DIY ( Untuk tenaga-kerja Laki-laki)

Tahun

Pendaftaran Penempatan/Penghapusan Sisa Pendaf-

taran Akhir Tahun

Ini

Lowongan Tahun Ini

Akhir Tahun Lalu

Tahun Ini

JumlahPenem-patan

Pengha-pusan

Jumlah

1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1995 61.619 19.244 80.863 3.341 23.241 26.582 54.281 3.3881996 54.281 22.156 76.437 2.906 46.383 49.289 27.148 3.2101997 27.148 19.306 46.454 2.892 17.676 20.568 25.886 3.4311998 25.886 19. 117 45.003 2.647 14.245 16.892 28.111 3.7591999 28.111 18.541 46.652 3.493 16.146 19.639 27.013 3.7122000 27.013 13.409 40.422 2.011 7.859 9.870 30.552 2.0832001 30.552 13.732 44.284 1.583 4.915 6.498 37.786 1.7072002 37.786 18.491 56.277 3.497 23.159 26.656 29.621 4.1752003 29.621 19.877 49.498 3.905 11.968 15.873 33.625 4.5712004 33.625 35.868 69.493 7.279 17.802 25.081 44.412 8.1082005 44.412 43.463 87.875 5.632 14.524 20.156 67.719 6.0332006 67.719 17.398 85.117 5.251 17.444 22.695 62.422 6.2542007 62.422 16.201 78.623 4.950 20.962 25.912 52.711 5.926

Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi D.I. Yogyakarta, 2008

Fakta memang menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di provinsi DIY

tidak banyak mengalami perubahan berarti dan cenderung fluktuatif dengan jumlah

pendaftar berkisar pada angka 50.000. Mereka inilah yang mencoba terus

mendaftarkan sebagai pelamar tenaga kerja di berbagai perusahaan, tetapi karena

lowongan yang tersedia terbatas maka mereka harus menciptakan pekerjaan secara

informal atau menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada orang lain.

Ironi yang terdapat di provinsi DIY di mana sektor pendidikan dan pariwisata

menjadi penggerak utama ekonominya ialah bahwa penyerapan tenaga kerja yang

tidak terdidik sangat terbatas. DIY tidak memiliki basis sumberdaya alam yang besar

Page 44: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

35

sedangkan peluang pengembangan industrialisasi terbatas pada industri kecil atau

industri kreatif yang hanya menerima segmen pasar tenaga kerja tertentu. Prasyarat

dan kebutuhan tenaga kerja di provinsi DIY semakin tinggi sehingga tidak dapat

dijangkau oleh para pencari pekerjaan yang kurang memiliki pendidikan dan

keterampilan yang memadai. Akibatnya, mereka harus terlempar ke sektor informal

atau menggantungkan hidup kepada keluarga jika tidak mau bermigrasi ke luar

daerah.

2.2.4. Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Bagian ini dimaksudkan untuk membahas aspek-aspek yang menonjol dari

uraian indikator pembangunan sumberdaya manusia di provinsi DIY. Dari profil

kependudukan, dapat dilihat bahwa penduduk kelompok umur yang produktif (20-54

tahun) masih mendominasi proporsi penduduk di provinsi ini. Kenyataan bahwa

kelompok umur 25-29 tahun adalah yang kelompok yang terbesar sekali lagi

menunjukkan bahwa golongan pelajar dan mahasiswa masih mendominasi struktur

demografis di provinsi DIY.

Namun dari segi kebijakan yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa struktur

demografis tersebut mulai menua karena relatif tingginya harapan hidup. Pada tahun

2007, umur harapan hidup orang Indonesia di tingkat nasional hanya mencapai 69,8

tahun tetapi umur harapan hidup penduduk provinsi DIY sudah mencapai 74 tahun.

Dalam satu dasawarsa terakhir, prestasi provinsi DIY dalam hal umur harapan hidup

memang selalu berada di peringkat atas secara nasional. Ada kemungkinan banyak

faktor yang mempengaruhi umur harapan hidup di provinsi DIY, baik yang bersifat

medis seperti layanan kesehatan atau yang bersifat sosial seperti banyaknya kegiatan

spiritual, seni, budaya dan irama kehidupan yang relatif bervariasi. Penelitian yang

komprehensif mengenai hal ini diperlukan untuk dapat mengambil kesimpulan yang

tepat mengenai faktor apa yang paling berpengaruh dalam indikator ini.

Aspek lain yang menonjol dalam capaian pembangunan sumberdaya manusia

di provinsi DIY ialah tingginya APM (Angka Partisipasi Murni), terutama untuk jenjang

pendidikan dasar. Namun demikian semakin tinggi jenjang pendidikan, tampaknya

Page 45: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

36

capaian APM itu menjadi kurang menonjol. APM untuk jenjang SMP/MTs di

Yogyakarta adalah sebesar 6,91 sedangkan di tingkat nasional adalah sebesar 6,05.

Sedangkan APM untuk jenjang SMU/SMK/MA di Yogyakarta sebesar 6,86 dan di

tingkat nasional adalah sebesar 6,35. Kinerja sektor pendidikan dasar juga masih

cukup menonjol yang terbukti dari rendahnya angka putus sekolah di DIY jika

dibanding dengan angka di tingkat nasional.

Tetapi sebaliknya, data tentang angka melek huruf (literacy rate) bagi

kelompok usia 15 tahun ke atas justru termasuk lebih rendah dibanding angka

nasional. Penjelasan yang dapat dikemukakan dari fenomena ini ialah bahwa

tampaknya migrasi ke dalam provinsi DIY lebih besar daripada migrasi ke luar

provinsi DIY. Juga dapat dijelaskan bahwa orang-orang yang telah pensiun dan

berusia lanjut kini lebih memilih untuk tinggal dan menetap di provinsi ini. Masalahnya

adalah bahwa banyak diantara kalangan tua yang sesungguhnya belum tersentuh

oleh sistem pendidikan modern. Akibatnya, tingkat melek huruf masih lebih rendah

jika dibanding rerata di tingkat nasional.

Dalam jenjang pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi, provinsi DIY

tampaknya semakin banyak mendapat pesaing dari sekolah-sekolah di kota lain di

Jawa maupun luar Jawa. Apabila pihak pemerintah dan masyarakat di provinsi DIY

tidak mampu menemukan terobosan yang cerdas di bidang pendidikan dan tidak

mampu mengembalikan persepsi umum tentang sistem pendidikan yang ditawarkan,

semakin sedikit minat dari calon pelajar dan mahasiswa dari kota lain yang akan

belajar di kota Jogjakarta atau provinsi DIY pada umumnya.

Di sektor kesehatan, hampir semua indikator menunjukkan bahwa kinerja

pembangunan di provinsi DIY relatif lebih tinggi jika dibanding rerata nasional. Angka

kematian bayi yang di tingkat nasional mencapai 34 per seribu penduduk, di provinsi

DIY justru hanya 13 per seribu penduduk. Angka kematian ibu melahirkan yang di

tingkat nasional masih mencapai 228 per seribu penduduk, di provinsi DIY hanya 34

per seribu penduduk. Demikian pula prevalensi gizi buruk dan gizi kurang juga relatif

lebih rendah dengan angka di tahun 2007 hanya 2,4% sedangkan di tingkat nasional

masih terhitung sebesar 23,3%. Yang menjadi persoalan ialah bahwa angka

Page 46: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

37

prevalensi gizi kurang itu dari tahun ke tahun masih mengalami fluktuasi meskipun

angkanya tidak pernah lebih dari 10%.

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya manusia di sektor publik, pada dasarnya

jumlah PNS yang sebesar 85.978 orang di seluruh provinsi belum termasuk terlalu

besar. Argumentasi ini terutama jika dibandingkan di beberapa kabupaten di luar

Jawa hasil pemekaran yang bahkan ada yang memiliki PNS lebih dari 14.000 orang.

Tetapi tampaknya usaha perampingan birokrasi mesti dilanjutkan, terutama di

beberapa SKPD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang telah

mengalami overstaffed dengan pegawai yang kebanyakan tidak produktif.

Angka pengangguran terbuka di provinsi DIY hingga tahun 2008 masih lebih

tinggi daripada angka nasional. Dari analisis tentang struktur ketenagakerjaan bahwa

diantara mereka yang bekerja pun sebenarnya cukup banyak yang masuk kategori

setengah pengangguran, dengan angka secara nominal lebih dari 425.300 orang atau

23 persen. Tampaknya sektor pendidikan dan pariwisata sebagai penggerak utama

ekonomi di provinsi DIY tidak menawarkan cadangan penyerapan tenaga kerja,

terutama bagi kalangan yang kurang terdidik atau kurang memiliki keterampilan. Perlu

diketahui bahwa memang DIY tidak memiliki basis sumberdaya alam yang melimpah

sedangkan potensi pengembangan industri terbatas pada industri kecil atau industri

kreatif yang hanya bisa menerima segmen pasar tenaga kerja yang benar-benar

terdidik dan terampil.

2.2.5. Rekomendasi Kebijakan

• Dengan mempertimbangkan bahwa struktur demografis di provinsi DIY masih

didominasi oleh kelompok umur yang produktif tetapi angka harapan hidupnya

semakin tinggi, diperlukan kebijakan strategis untuk mengantisipasinya berupa

kemungkinan mengakomodasi pencari kerja yang berpendidikan menengah ke

bawah. Selain itu tingginya umur harapan hidup menghendaki perencanaan

pelayanan bagi para Lansia yang lebih baik.

• Pencapaian pembangunan sumberdaya manusia dari segi pendidikan menengah

ke bawah relatif masih baik, tetapi ancaman serius terjadi bagi jenjang pendidikan

Page 47: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

38

menengah atas dan pendidikan tinggi. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk

melakukan revitalisasi citra provinsi DIY dalam hal layanan pendidikan bagi jenjang

pendidikan tinggi. Ini harus segera dilakukan mengingat bahwa sebagian besar

penduduk di provinsi ini masih bergerak di sektor-sektor yang terkait dengan

pendidikan, pariwisata, dan industri kecil.

• Di bidang pendidikan juga diperlukan sistem yang memungkinkan adanya

penyegaran bagi kelompok umur lanjut yang selama ini tidak tersentuh oleh sistem

pendidikan modern. Paket-paket pendidikan non-formal seperti Kelompok Belajar

(Kejar) perlu diteruskan dan ditingkatkan. Masalah krusial yang harus segera

dipecahkan adalah masih rendahnya angka melek aksara bagi kelompok usia 15

tahun ke atas yang di tahun 2007 baru mencapai 87,11 persen sedangkan di

tingkat nasional sudah mencapai 91,87 persen.

• Untuk mengatasi angka pengangguran terbuka dan angka setengah pengangguran

yang tinggi, cara yang terbaik adalah dengan meningkatkan kapasitas penyerapan

tenaga kerja dengan melalui diversifikasi ekonomi bagi kelompok pekerja yang

kurang terampil atau kurang terdidik. Tetapi apabila cara ini tidak cukup efektif

untuk menyerap tenaga kerja yang setiap tahun sebesar 50.000 orang, diperlukan

kebijakan yang bisa menunjang jaringan penyerapan tenaga kerja ke daerah lain

atau ke luar negeri.

2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI

2.3.1. Capaian Indikator

Perekonomian adalah salah satu unsur penting dalam kesejahteraan penduduk.

Perekonomian yang baik dan mengalami pertumbuhan memberikan sumbangan

penting sebab pertumbuhan ekonomi akan berdampak positif pada peningkatan

penghasilan. Artinya bila ekonomi semakin berkembang maka terbuka peluang bagi

masyarakat untuk memperoleh penghasilan melalui peran sertanya dalam aktivitas

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi regional memiliki kaitan erat dengan perkembangan

ekonomi nasional bahkan situasi perkembangan ekonomi dunia. Dalam perspektif ini,

Page 48: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

39

maka pendapatan masyarakat ditingkat regional dapat dipengaruhi ekonomi nasional

atau negara lainnya.

Dibawah ini adalah grafik capaian Indikator Tingkat Pembangunan Ekonomi

Provinsi DIY dibandingkan dengan capaian Indikator Tingkat Pembangunan Ekonomi

Nasional. Dalam grafik ini mengagregasikan empat indikator yaitu : persentase ekspor

terhadan PDRB, persentase output manufaktur terhadap PDRB, persentase

pertumbuhan realisasi investasi PMA dan persentase pertumbuhan realisasi investasi

PMDM. Untuk Indikator persentase output UMKM terhadap PDRB, untuk Provinsi DIY

tidak terdapat datanya. Pun empat indikator yang ada hanya bisa didapatkan datanya

sampai tahun 2008. Selain itu, satu indikator persentase output manufaktur hanya

sampai tahun 2007.

Grafik 2.15. Trend Outcome Tingkat Pembangunan Ekonomi 2004-2009

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Page 49: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

40

Grafik 2.16. Trend Outcome Tingkat Pembangunan Ekonomi 2004-2009

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Analisis Relevansi

Tujuan analisis Relevansi adalah untuk menganalisa sejauh mana

tujuan/sasaran pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan

utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah trend

capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan

nasional.

Dari grafik diatas, terlihat bahwa outcome tingkat pembangunan ekonomi

Provinsi DIY lebih rendah dibandingkan dengan outcome tingkat pembangunan

ekonomi Nasional. Begitu juga trend outcome tingkat pembangunan ekonomi DIY

menunjukkan kecenderungan lebih rendah dari pada Nasional, walaupun untuk tahun

2005 terpaut 0,40 lebih tinggi DIY, dan tahun 2007 terpaut 0,54 juga lebih tinggi DIY.

Rendahnya outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi DIY

terhadap outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi Nasional antara

lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya ditunjukkan dari pengaruh

persentase ekspor terhadap PDRB.

Page 50: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

41

Grafik 2.17. Proporsi Ekspor terhadap PDRB

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Yogyakarta sebagai daerah penyedia jasa pendidikan dan pariwisata juga

memiliki peluang untuk melakukan perdagangan luar negeri. Dibandingkan dengan

capaian ekspor nasional, ekspor D I Yogyakarta sangat kecil. Ekspor dari Yogyakarta

merupakan ekspor nonmigas, dibandingkan dengan ekspor migas nasional tentu saja

nilai ekspor D I Yoyakarta sangat kecil bahkan dalam bandingan dengan PDRB.

Komoditas unggulan ekspor Yogyakarta adalah produk mebel dari berbagai bahan

mulai dari kayu sampai bahan serat alami, berbagai produk dari kulit dan produk

kerajinan. Faktor lain yang menghambat kegiatan ekspor D I Yoyakarta terkait dengan

ketiadaan pelabuhan ekspor. Ketiadaan pelabuhan membuat ekspor Yogyakarta

keluar melalui Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Tanjung Priok Jakarta dan

Bandara Soekarno Hatta. Bandara Adi Sucipto yang berada di wilayah Yogyakarta

hanya sedikit mengantar ekspor produk Yogyakarta. Kondisi ini diduga disebabkan

oleh terbatasnya fasilitas yang dapat diberikan bandara Adi Sucipto atau berbelitnya

prosedur perijinan sehingga eksportir lebih memilih melewati pintu yang lain.

Performa ekspor D I Yogyakarta dari tahun ke tahun terlihat fluktuatif. Hal ini

terkait dengan produk ekspor yang berupa barang kerajinan. Barang kerajinan

merupakan bagian dari barang tersier yang permintaanya tergantung pada trend

pasar, baik itu terkait dengan musim maupun trend selera. Trend mode yang

Proporsi Ekspor terhadap PDRB

17181920212223

2004 2005 2006 2007 2008

Nasiona l D I Yogyakarta

Page 51: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

42

mengikuti musim harus menjadi bagian dari strategi pasar produk kerajinan. Saat ini

dari konsumen juga muncul tuntutan atas barang ekpor yang harus ramah

lingkungan. Disinilah kelemahan utama yang dihadapi oleh produsen produk

kerajinan. Akses informasi oleh produsen mengenai trend yang akan terjadi sangat

lemah. Hal ini berdampak buruk pada kemampuan untuk melakukan ekspor. Pada sisi

lain ketika konsumen menuntut produk ramah lingkungan, belum banyak juga

produsen produk industri yang mampu memenuhinya. Hal ini selain terkait dengan

lemahnya pengetahuan juga terkait dengan ketersediaan bahan baku ramah

lingkungan yang mungkin tidak mudah diperoleh.

Selain itu rendahnya outcome dan trend outcome tingkat pembangunan

ekonomi DIY dibandingkan dengan outcome dan trend outcome tingkat

pembangunan ekonomi Nasional juga bisa dijelaskan dengan melihat kondisi

pencapaian persentase output manufaktur terhadap PDRB DIY.

Grafik 2.18. Proporsi Ekspor terhadap PDRB

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Peranan produk manufaktur D I Yogyakarta dibandingkan dengan angka

nasional rata-rata masih lebih rendah. Sebagai wilayah yang mencanangkan diri

sebagai pusat pendidikan tentu kegiatan manufaktur bukanlah sektor yang

Proporsi Produk Manufaktur

terhadap PDRB

0 5

10 15 20 25 30

2004 2005 2006 2007 2008

Nasional D I yogyakarta

Page 52: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

43

diutamakan. Sebagaimana Visi jangka panjang D I Yogyakarta yang menyatakan:

Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan,

Budaya dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam

lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan Sejahtera. Peran industri

pengolahan terhadap pembentukan PDRB rata-rata hanya 13%, sebuah share yang

relatif kecil dibandingkan dengan jasa dan perdagangan yang mencapai angka sekitar

40%.

Alasan lain mengapa share produk manufaktur DIY relatif rendah

dibandingkan dengan angka nasional adalah karena D I Yogyakarta sebagai wilayah

yang relatif kecil dengan budaya kerajinan yang telah mengakar relatif tidak memiliki

kegiatan indutri besar yang mampu menghasilkan output dalam jumlah besar.

Namun demikian jika dilihat pertumbuhan dari tahun ke tahun pertumbuhan

sektor industri relatif tetap, artinya kemampuan sektor industri D I Yogyakarta dalam

membentuk PDRB dalam keadaan stabil. Perubahan ekternal atau tekanan eksternal

membuat pengaruh yang sama antara total PDRB dengan sektor manufaktur.

Sementara itu UMKM sebagai pelaku utama perekonomian DI Yogyakarta tidak

memiliki data perannya dalam pembentukan PDRB.

Selain dua indikator diatas, investasi juga berperan dalam menjawab

pertanyaan mengapa outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi DIY

lebih rendah daripada outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi

Nasional.

Tinggi rendahnya investasi dapat dilihat dari banyaknya angka penanaman

modal, baik dalam negeri maupun luar negeri (asing). Dibandingkan dengan daerah

lain di pulau Jawa tingkat investasi di Yogyakarta sangatlah rendah. Menurut data

yang tercatat pada Biro Pusat Statistik dari tahun 1967 sampai tahun 2004 akumulasi

penanaman modal dalam negeri yang masuk ke Yogyakarta adalah Rp 2.266.6 milyar

(terendah di pulau Jawa bahkan dibandingkan dengan provinsi Banten) jauh lebih

rendah dari investasi dalam negeri yang masuk ke DKI (angka tertinggi di pulau Jawa)

yang mencapai angka Rp 474.719.3 milyar. Demikian juga dengan investasi asing,

Yogyakarta mencatat angka US $ 366.5, sementara DKI mencatat angka US $

182.072.3.

Page 53: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

44

Dari grafik 5 dan 6 (PMA dan PMDN ) terlihat rendahnya pertumbuhan

investasi di Yogyakarta di bandingkan dengan angka nasional. Tetapi jika dilihat

dinamikanya maka investasi baik asing maupun dalam negeri di Yogyakarta terlihat

relatif mantap dibadingkan dengan angka nasional. Sektor yang menarik bagi

penanaman modal dalam negeri di wilayah Yogyakarta adalah sektor industri

pengolahan, perdagangan hotel dan restoran diikuti oleh sektor jasa-jasa. Sementara

itu penanaman modal asing didominasi oleh sektor jasa, diikuti oleh sektor hotel

perdagangan dan restoran kemudian sektor industri pengolahan. Sementara itu data

nasional menunjukkan juga bahwa sektor yang paling diminati investor adalah sektor

industri pengolahan diikuti oleh sektor pertanian. Besarnya minat investor ke sektor

jasa di wilayah Yogyakarta terkait dengan potensi Yogyakarta yang memang kuat

disektor jasa, baik jasa pendidikan maupun jasa perdagangan dan pariwisata.

Dilihat dari pertumbuhannya, tampak bahwa penanaman modal di wilayah ini

menunjukkan dinamika yang relatif rendah, hanya tahun 2002-2003 perkembangan

penanaman modal menunjukkan peningkatan yang sangat besar baik untuk PMDN

maupun PMA tetapi selebihnya terlihat stagnan. Peningkatan harga BBM tahun 2005

menekan investasi dalam negeri tetapi justru meningkatkan PMDN.

Grafik 2.19. Pertumbuhan Realisasi Investasi Asing (PMA)

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

-60,00-40,00-20,00

0,0020,0040,0060,0080,00

100,00120,00

2004 2005 2006 2007 2008

Pertumbuhan Realisasi Investasi Asing

Nasional

Page 54: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

45

Grafik 2.20. Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDM

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Rendahnya investasi di wilayah Yogyakarta dihadang oleh berbagai persoalan

dasar yang belum juga terpecahkan sebagaimana keadaan di tingkat nasional.

Prosedur birokrasi yang berbelit-belit, ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum,

paket kebijakan investasi dan kebijakan sektoral yang tumpang tindih antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah beberapa hambatan yang

menghadang lancarnya investasi untuk memasuki wilayah Yogyakarta. Sementara itu

dari aspek sarana dan prasarana, wilayah Yogyakarta telah dianggap memiliki

ketersediaan yang cukup, kecuali untuk wilayah Gunung Kidul, yang tidak memiliki

sarana yang memadai untuk menopang kegiatan bisnis karena kasus kekeringan

merupakan masalah besar. Jalan-jalan yang masuk desa kurang memadai untuk

mendorong daya tarik investor datang ke Gunung Kidul. Grafik 7 menyajikan

pendapat pelaku usaha atas ketersediaan sarana dan prasarana yang disediakan

oleh Pemda dalam pelayanan investasi di DIY.

-40,00 -20,00 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

2004

2005

2006

2007

2008

Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN

Na

Page 55: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

46

Grafik 2.21. Ketersediaan sarana prasarana untuk pelayanan dalam bidang investasi

Sumber: Governance Assessment Survey, 2006

Untuk menarik investasi masuk ke Yogyakarta, pemerintah daerah terus

berusaha melakukan berbagai progam. Salah satunya adalah mengadakan kegiatan

“Yogya Invest”. “Yogya Invest” menawarkan berbagai peluang investasi di wilayah

Yogyakarta yang memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan. Beberapa

proyek/komoditas yang ditawarkan oleh “Yogya Invest”, tidak hanya pada sektor

kerajinan tetapi meliputi hampir seluruh sektor usaha dari mulai wisata alam sampai

pada pengadaan sarana pendukung pertumbuhan seperti jalan dan pergudangan.

Dari berbagai uraian diatas, bisa terlihat beberapa alasan mengenai penyebab

rendahnya outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi DIY terhadap

outcome dan trend outcome tingkat pembangunan ekonomi nansional. Dengan

demikian bisa disimpulkan bahawa pembangunan ekonomi DIY belum sejalan

dengan pembangunan ekonomi nasional.

15,05 54,84

15,05 55,91

24,73 35,48

12,90 45,16

31,18 26,88

13,98 46,24

0 10 20 30 40 50 60 70 80

PERSENTASE

JALAN

JEMBATAN

TRANSPORTASI

LISTRIK

AIR BERSIH

TELEKOMUNIKASI

tidak memadai memadai

Page 56: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

47

Analisis Efektivitas

Sedangkan analisis efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat

kesesuaian antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan.

Efektivitas pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan

daerah membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Tingkat pembangunan ekonomi (outcome) Provinsi DIY menunjukkan kondisi

yang fluktuatif. Tahun 2004 tingkat pembangunan ekonomi DIY menunjukkan angka

7,17% naik menjadi 12,37 % ditahun 2005. Kontribusi terbesar untuk peningkatan

tersebut adalah angka presentase pertumbuhan realisasi investasi Penanaman Modal

Asing DIY tahun 2005 yang mencapai angka 29,01%. Tinggi rendahnya presentase

pertumbuhan realisasi investasi Penanaman Modal Asing DIY ternyata berpengaruh

terhadap tingkat pembangunan ekonomi DIY tahun 2006 yang turun menjadi 5,17 %.

Tahun 2006, presentase realisasi investasi Penanaman Modal Asing mengalami

penurunan drastis dari 29,01% menjadi 2,04%. Hal itu disebabkan kondisi

infrastruktur yang memburuk sebagai akibat bencana gempa bumi tahun 2006. Angka

fluktuatif tersebut berlanjut dari tahun 2006-2007. Dari tahun 2006 angka 5,17 %,

tingkat pembangunan ekonomi tahun 2007 naik menjadi 12,6 % dan turun menjadi

1,77 % ditahun 2008. Kondisi turunnya tingkat pembangunan ekonomi karena tidak

adanya kontribusi manufaktur dalam PDRB.

Naiknya tingkat pertumbuhan ekonomi pasca gempa tahun 2007 disebabkan

oleh kegigihan masyarakat DIY dan stakeholder dalam usaha membangun kembali

kehidupannya sehingga berdampak positif bagi kegiatan industri dan sektor riil

lainnya. Setelah proses recovery berjalan lancar serta kemampuan pemerintah dan

masyarakat Yogyakarta yang bekerjasama bahu membahu untuk meyakinkan kepada

khalayak pelaku bisnis bahwa Yogyakarta telah aman dan kondusif, pada akhirnya

mampu mengembalikan geliat kegiatan penanaman modal dan investasi melalui

kegiatan industri dan perdagangan serta pariwisata menjadi kembali berjalan.

Untuk melihat efektivitas tingkat pembangunan ekonomi DIY bisa dilihat

dengan melihat tujuan, sasaran kebijakan dan program yang direncanakan selama

tahun 2004-2009. Misi kedua dari RPJMD yang menyangkut pembangunan ekonomi

daerah di DIY adalah Menguatkan fondasi kelembagaan dan memantapkan

Page 57: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

48

struktur ekonomi daerah berbasis pariwisata yang didukung potensi lokal

dengan semangat kerakyatan menuju masyarakat yang sejahtera. Misi tersebut

dijabarkan dalam strategi pencapaian antara lain :

a. Penciptaan lingkungan yang kondusif bagi kepariwisataan.

b. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

c. Peningkatan iklim usaha bagi sektor-sektor unggulan sebagai faktor penggerak

utama perekonomian.

d. Revitalisasi pertanian.

e. Pengembangan eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan pesisir.

Sedangkan Kebijakan untuk mencapai misi tersebut antara lain :

1. Menyediakan aturan hukum yang mendukung terciptanya iklim usaha

kepariwisataan yang sehat.

2. Memfasilitasi model pelatihan dan dukungan modal kepada masyarakat.

3. Memberdayakan dan meningkatkan industri kecil dan kerajinan rakyat yang

memberi nilai tambah daya tarik wisata.

4. Meningkatkan partisipasi masyarakat/swasta dalam penyediaan dan pengelolaan

infrastruktur ekonomi.

5. Meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi melalui promosi kemudahan

prosedur dan fasilitas pendukung.

6. Menguatkan kapasitas kelembagaan pasar dalam menjamin berkembangnya

aktivitas usaha khususnya industri kreatif.

7. Membangun sistem informasi yang mudah diakses oleh stakeholder

ketenagakerjaan dan masyarakat secara luas.

8. Membangun tata kelola hubungan kerja antara pemerintah, pengusaha dan

pekerja yang lebih saling menguntungkan dan manusiawi.

9. Memperbaiki pola kerjasama dan kemitraan pemerintah, dan antar pemerintah

daerah.

10. Meningkatkan penyelenggaraan transmigrasi yang menjamin keberhasilan usaha

dan perbaikan ekonomi transmigran di daerah penempatan.

11. Menguatkan peranserta pemerintah dalam pengaturan, pembinaan dan

penguatan modal masyarakat dalam industri pengolahan hasil pertanian.

12. Meningkatkan peran masyarakat dalam industri pengolahan hasil pertanian.

Page 58: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

49

13. Mengembangkan ketahanan pangan dan agribisnis pertanian guna mewujudkan

kedaulatan pangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dalam jumlah

yang memadai, tersedia di setiap waktu, beragam, bergizi seimbang, bermutu,

aman, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

14. Meningkatkan kegiatan usaha ekonomi produktif bagi perempuan.

Dari grafik trend dan outcome, memang tingkat pembangunan ekonomi DIY

lebih rendah daripada tingkat pembangunan nasional, namun dilihat dari

efektivitasnya, peningkatan dari tahun 2004 ke 2005 serta kelonjakan pasca gempa

dari tahun 2006 menuju 2007 bisa menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun tingkat

pembangunan ekonomi membaik. Hanya saja untuk tahun 2006 terjadi kondisi tidak

terduga yang menyebabkan pembangunan ekonomi anjlok. Hal itu menunjukkan

program-program yang dijalankan mempengaruhi peningkatan pembangunan

ekonomi DIY walaupun masih banyak kelemahan-kelemahan yang harus

mendapatkan perhatian.

2.3.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Grafik 2.22. Pertumbuhan Ekonomi

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Pertumbuhan Ekonomi

0 1 2 3 4 5 6 7

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nasional D I Yogyakarta

Page 59: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

50

Grafik 7 menunjukan capaian pertumbuhan ekonomi D I Yogyakarta yang

fluktuatif dibandingkan dengan angka nasional. Tahun 2004 pertumbuhan D I

Yogyakarta mampu berada pada level yang lebih tinggi dari angka nasional. Wilayah

dengan tumpuan sektor yang relatif merata mampu mempertahankan keadaan

pertumbuhan yang seimbang. Tahun 2005, naiknya harga minyak membuat

perekonomian Yogyakarta merosot angka pertumbuhannya dibandingkan dengan

angka nasional. Kenaikan harga minyak menekan produsen industri kecil yang

merupakan sebagian besar pelaku ekonomi di Yogyakarta. Naiknya biaya produksi

memaksa harga ikut naik, sementara rumah tangga sebagai pemakai produk juga

mengalami tekanan. Akibatnya produksi melemah dan itu berdampak pada

pertumbuhan ekonomi. Sementara pada sisi permintaan melemahnya pertumbuhan

itu terkait dengan melemahnya pertumbuhan perdagangan antar wilayah akibat dari

tekanan harga minyak.

Perekonomian yang merosot tahun 2005 akibat harga minyak semakin

tertekan ketika Yogyakarta menerima shock gempa yang meluluhlantakan

perekonomian sebagian D I Yogyarakta. Bantul sebagai wilayah paling parah akibat

gempa, mengalami pertumbuhan yang negatif, tetapi secara umum D I Yogyakarta

masih tumbuh positif walaupun menjadi semakin kecil dibandingkan dengan angka

nasional. Setelah gempa Yogyakarta berusaha untuk mengejar ketinggalan, tetapi

rekonstruski yang mendapat banyak bantuan dari luar itupun belum mampu

mengembalikan pertumbuhan Yogyakarta seperti tahun 2004. Namun demikian

dinamika pertumbuhan yang dicapai D I Yogyakarta tetap sejalan dengan

pertumbuhan nasional yang terus mengalami peningkatan.

Persoalan utama ekonomi makro Yogyakarta adalah semakin turunnya

kemampuan sektor pertanian untuk menyediakan pangan dan lapangan kerja bagi

penduduk Yogyakarta. Ini dapat dilihat dari semakin lemahnya peran sektor pertanian

terhadap pembentukan pendapatan regional. Sementara sektor lain seperti

perdagangan dan jasa tetap menunjukkan eksistensinya yang terus tumbuh. Salah

satu sebab menurunnya peran sektor petanian adalah adalah menurunya kualitas

lingkungan akibat dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Persoalan ini

adalah persoalan yang akan berkaitan dengan berbagai sektor yang lain, misalnya

penyediaan pangan yang aman bagi penduduk. Mengatasi persoalan ini diperlukan

Page 60: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

51

gerakan berbagai unsur masyarakat untuk meninggalkan bahan pangan yang

tercemar residu dan mengembalikan produksi pertanian kepada produksi yang ramah

lingkungan misalnya dengan kembali kepada penggunaan saprodi organik. Pihak

yang terkait langsung dengan kebijkan ini adalah Pemerintah terutama pemerintah

daerah dalam hal ini Dinas Pertanian agar mampu mengkampanyekan penggunanan

saprodi ramah lingkungan (berkelanjutan). Untuk mengubah perilaku ini setidaknay

diperlukan waktu 1- 5 tahun.

Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2007

mengalami perbaikan dibanding kondisi tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari laju

pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai riil Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) yang mencapai 4,20%, atau lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan

ekonomi periode sebelumnya sebesar 3,69%. Selain output yang tumbuh lebih cepat,

perkembangan harga barang dan jasa secara umum juga relatif terkendali dengan

tingkat inflasi yang relatif rendah.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi DIY pada tahun laporan didorong

oleh kegiatan investasi dan konsumsi baik konsumsi masyarakat (rumah tangga)

maupun konsumsi pemerintah. Sementara itu dari sisi penawaran, tiga sektor

unggulan menjadi faktor penunjang pertumbuhan ekonomi DIY yaitu: (1) sektor

Perdagangan, Hotel dan Restoran; (2) sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan (3)

sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. Secara umum, membaiknya

kinerja perekonomian DIY tahun 2007 terutama didukung oleh kondisi makroekonomi

nasional yang relatif stabil, tingkat suku bunga yang cenderung menurun dan daya

beli masyarakat yang relatif meningkat serta industri pariwisata dan pendidikan yang

kembali pulih setelah sempat terpuruk sebagai akibat terjadinya Gempa Bumi Mei

2006

Page 61: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

52

Grafik 2.23. Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah)

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Dibandingkan dengan angka nasional, tingkat pendapatan per kapita

penduduk DIY memang sangat rendah, hampir setengahnya. Namun demikian jika

ditarik pada kedaan yang lebih luas mengenai kualitas dsumber daya manusia yang

salah satunya indikatornya adalah daya beli, DI Yogyakarta menempati urutan ke dua

tertinggi setelah D K I Jakarta (UNDP, 2007). Angka ini memberikan makna bahwa

sekalipun pendapatan per kapita penduduk DI Yogyakarta relatif rendah tetapi tingkat

kemakmuran yang dicapai relatif lebih tinggi. Pendapatan per kapita yang rendah

tetapi diikuti dengan inflasi atau harga yang relatif rendah menjadikan penduduk

memiliki daya beli yang baik (tinggi). Dinamika pendapatan per kapita yang dicapai

oleh DI Yogyakarta relatif tidak berbeda dengan angka nasional, terus tumbuh dari

tahun ke tahun. Artinya penduduk Yogyakarta daya belinya juga terus meningkat

sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada tingkat nasional.

0

5

10

15

20

25

2004 2005 2006 2007 2008

Pendapatan per Capita

Nasional D I Yogayakarta

Page 62: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

53

Grafik 2.24. Tingkat Inflasi

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Secara umum laju inflasi di Yogyakarta relatif dari angka inflasi nasional. Pada

tahun 2005 inflasi Yogyakarta adalah 14,98% lebih tinggi dibandingkan angka

nasional yang mencapai angka 10,50%. Inflasi yang tinggi pada periode tahun 2005

dipicu oleh kenaikan harga minyak yang terjadi pada tahun tersebut. Dari sektornya

penyumbang inflasi tertinggi adalah sektor tranportasi, komunikasi dan jasa keuangan

yang menyumbang sebesar 4.46%. Penyumbang terkecil adalah sektor sandang dan

kesehatan. Dari komoditasnya penyumbang terbesar pada kenaikan harga adalah

barang seperti bensin, minyak tanah dan solar. Hal ini terkait dengan kebijakan

pemerintah yang menaikan harga minyak pada saat itu (Bank Indonesia,2006).

Tahun 2006, setelah gempa kondisi inflasi di Yogyakarta menjadi jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia, hal ini tercermin dari angka

inflasi nasional yang hanya 13,10 % dibanding Yogyakarta yang mencapai angka

10,41 %. Inflasi tertinggi tetap pada sektor tranportasi, komunikasi dan jasa

keuangan, diikuti oleh sektor kesehatan dan bahan makanan. Gempa yang melukai

sebagian warga Yogyakarta meningkatkan permintaan akan barang dan jasa

kesehatan, persediaan yang terbatas mendorong harga untuk naik. Pada saat gempa

keberadaan bahan pangan di Yogyakarta menjadi begitu sulit sehingga bahan

pangan harus didatangkan dari wilayah luar Yogyakarta, hal ini tentu mendorong

peningkatan harga sebab selain supply nya yang terbatas datangnya bahan makan

6,1010,50

13,106,00

11,06

6,9514,98

10,418

9,888

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00

2…

2…

2…

Tingkat Inflasi

D I Yogyakarta Nasional

Page 63: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

54

dari luar juga mengharuskan adanya biaya transportasi yang artinya peningkatan

harga. Dinamika inflasi Yogyakarta bersifat fluktuatif, kedaan ini sejalan dengan

fluktuasi yang terjadi di tingkat nasional. Hal ini mencerminkan apa yang dicapai oleh

Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan apa yang dicapai oleh perekonomian

nasional.

Tingkat inflasi Kota Yogyakarta yang dihitung berdasarkan Indeks Harga

Konsumen (IHK) selama tahun 2007 yang tercatat sebesar 7,99%, lebih rendah

dibandingkan inflasi tahun 2005 dan tahun 2006 masing-masing sebesar 14,98% dan

10,40%. Dilihat dari penyebabnya, inflasi Kota Yogyakarta tahun laporan terutama

didorong oleh faktor permintaan yang diindikasikan oleh andil inflasi inti (core inflation)

yang dominan dibandingkan dengan dua komponen inflasi lainnya (volatile foods dan

administered price). Sementara itu, kenaikan harga lima komoditas/jasa yang

memberikan andil terbesar terhadap inflasi Kota Yogyakarta adalah (1) akademi/

perguruan tinggi, (2) minyak goreng, (3) nasi, (4) tukang bukan mandor dan (5)

bawang merah.

2.3.3 Rekomendasi Kebijakan

Persoalan utama ekonomi makro Yogyakarta adalah semakin lamahnya peran

sektor pertanian akibat dari turunnya kualitas lahan dan berkurangnya areeal lahan

pertanian akibat pertambahan penduduk. Pada sisi produksi barang industri yang

terkait dengan ekspor, persoalan ketidakmampuan produsen mengikuti arus pasar

akibat lemahnya informasi yang diperoleh menjadi hambatan besar dalam

pengembangan ekspor Yogyakarta. Disamping itu persolan klasik terkait dengan

birokrasi dan kebijakan yang tumpang tindih serta kurang terarah tetap menjadi

masalah hampir seluruh sektor ekonomi. Untuk itu diusulkan beberapa rekomendasi

kebijakan berikut:

1. Mengatasi persoalan sektor pertanian yang perannya semakin turun, diperlukan

gerakan berbagai unsur masyarakat untuk meninggalkan bahan pangan yang

tercemar residu dan mengembalikan produksi pertanian kepada produksi yang

ramah lingkungan misalnya dengan kembali kepada penggunaan saprodi organik.

Page 64: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

55

Pihak yang terkait langsung dengan kebijakan ini adalah Pemerintah terutama

pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian agar mampu

mengkampanyekan penggunanan saprodi ramah lingkungan (berkelanjutan).

Selain itu tataguna lahan juga harus mendapat prioritas untuk dibenahi, kesalahan

tata guna lahan akan berakibat fatal pada kemampuan penyediaan pangan

dimasa datang

2. Mengatasi persoalan pengembangan UMKM yang menjadi sebagian besar pelaku

usaha sektor manufaktur, kebijakan yang diabil haruslah mendasarkan diri pada

kebutuhan UMKM itu. Selama ini kebijakan UMKM mendasarkan diri pada asumsi

lemahnya permodalan, padahal sesungguhnya perkembangan usaha erat terkait

dengan persoalan kewirausahaa. Untuk itu sudah seharusnya kebijkan bidang ini

diarahkan pada pengembangan UMKM yang benar-benar dikelola dengan jiwa

kewirausahaan yang tinggi sehingga mampu berkembang menjadi usaha besar

dan tangguh. 3. Mengatasi persoalan arus informasi pasar yang tidak simetris, sudah saatnya

pemerintah bertindak atau melakukan tindakan praktis untuk membentuk

kelembagaan yang mampu menjadi ruang pusat informasi bisnis. Dengan pusat

informasi ini maka produsen akan memiliki kemampuan untuk mengetahui produk

apa yang dimaui pasar sehingga pola produksi menjadi terarah oleh pasar dengan

demikian perkembangan usaha dapat diharapkan kelanjutannya. 4. Lebih dari semua itu, tuntutan masyarakat agar sektor pemerintah semakin

transparan, akuntabel dan dapat dipercaya tidak dapat diabaikan. Seluruh layanan

pemerintah hanya akan efektif ketika kebijkan dan implementasinya dilakukan

secara trasparan, akuntabel dan dapat dipercaya.

2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

2.4.1 Capaian Indikator

Kinerja pengelolaan sumber daya alam dilihat dari kinerja sektor kehutanan

dan kelautan. Pada sektor kehutanan indikator yang digunakan sebagai ukuran

kinerja adalah luas lahan rehabilitasi dan luas kawasan konservasi. Sementara dari

Page 65: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

56

sektor kelautan diukur dari jumlah tindak pidana perikanan, persentase terumbu

karang dalam keadaan baik dan luas kawasan konservasi laut. Pada sektor

kehutanan beberapa data masih dapat diperoleh walaupun dalam keadaan tidak

lengkap, tetapi sektor kelautan sebagai sektor yang memang kurang penting dalam

perekonomian Yogyakarta, tidak tersedia data yang dibutuhkan sesuai dengan data

nasional.

Luas lahan rehabilitasi

Gambar 10 dan 11 menyajikan perbadingan tingkat rehabilitasi lahan ktitis

nasional dan D I Yogyakarta. Gambar 10 adalah proporsi luas lahan kritis yang

direhabilitasi terhadap luas lahan kritis. Angka untuk Yogayakarta memang tidak

lengkap tetapi dari data yang ada dapat dilihat bahwa kemampuan Yogyakarta untuk

melakukan rehabilitasi lahan kritis di dalam hutan jauh melebihi kemampuan nasional.

Hal ini terkait dengan kesadaran penduduk akan semakin pentingnya fungsi hutan

sebagai sumber penyangga kehidupan. Gambar 11 menyajikan kemampuan

rehabilitasi lahan kritis diluar hutan terhadap luas hutan. Dari gambar 11 dapat juga

diketahui bahwa kemampuan Yogyakarta dalam melakukan rehabilitasi lebih tinggi

dibandingkan dengan angka nasional. Namun demikian jika dilihat dari dinamika

kemampuan wilayah ini semakin lama kemampuan rehabilitasi yang dilakukan

semakin berkurang.

Grafik 2.25. Proporsi Rehabilitasi Lahan Kritis

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

0,00

5,00

10,00

15,00

2004 2005 2006 2007 2008

Nasional D I Yogyakarta

Page 66: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

57

Grafik 2.26. Proporsi Rehabilitasi Lahan Luar Hutan

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

Luas kawasan konservasi

Proporsi luas lahan konservasi terhadap luas hutan di Provinsi Yogyakarta

secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional (gambar 12).

Sesungguhnya luas lahan konservasi selama 5 tahun belakangan tidak ada

perubahan, hanya karena areal konservasi nasional mengalami penurunan, maka

terlihat areal konservasi di Yogyakrata menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan

angka nasional. Bertahannya luas kawasan konservasi dan rehabilitasi lahan kritis di

Yogyakarta terk ait dengan pelibatan masyarakat yang bersifat terus menerus

dilakukan oleh pemerintah. Dalam laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Propinsi tahun 2009 dilaporkan penggunaan dana APBD untuk kegiatan rehabilitasi

hutan meliputi berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat.

Pelibatan masyarakat dalam pemeliharaan hutan mulai dari pembuatan

tanaman kehutanan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan gerakan rehabilitasi

hutan dan lahan, peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan

lahan, pemeliharaan kebun pangkas, pemberdayaan masyarakat untuk rehabilitasi

hutan dan lahan, rehabilitasi kawasan konservasi, gerakan cinta hutan, optimalisasi

peran masyarakat dan konservasi SDA, pengembangan potensi desa konservasi dan

pengembangan hutan rakyat.

Tidak berkurangnya lahan konservasi dan tingginya tingkat rehabilitasi lahan

bukan berarti sektor kehutanan tanpa masalah. Permasalahan pengembangan sektor

Kehutanan di Yogyakarta antara lain: masih rendahnya daya dukung lahan dan air,

0,0010,0020,0030,0040,00

2004 2005 2006 2007 2008Nasional D I Yogayakarta

Page 67: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

58

kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutanmasih berkurang dan

masih terjadi pencurian kayu hutan serta peredaran kayu ilegal, peredaran benih

hutan yang belum bersertifikat masih tinggi, SDM dan kelembagaan petani hutan

yang rendah, serta status dan fungsi hutan secara keseluruhan belum sesuai

ketentuan.

Upaya untuk menindaklanjuti masalah tersebut antara lain : Pertama,

meningkatkan sosialisasi secara intensif dan berkelanjutan terhadap masyarakat

sekitar di dalam memanfaatkan kawasan hutan, memfasilitasi paket-paket produktif

yang menghasilkan hasil hutan non kayu untuk memberikan nilai tambah/pendapatan

didalam pengelolaan hutan sehingga tanaman pokok hutan tetap lestari serta

meningkatkan pengamanan hutan dan pengendalian peredaran hasil hutan secara

periodik dan berkelanjutan. Kedua, meningkatkan pelatihan, magang petani, studi

orientasi bagi petani/kelembagaan petani sehingga semakin meningkat pengetahuan,

kemampuan dan ketrampilan didalam melaksanakan kegiatan pembangunan

kehutanan dan perkebunan serta memfasilitasi paket-paket produktif dalam rangka

pelestarian hutan serta agribisnis perkebunan. Ketiga, melaksanakan pelatihan teknis

dan pengolahan hasil sehingga produk primer yang dihasilkan meningkat sekaligus

produk olahan yang dihasilkan memenuhi standar mutu sesuai permintaan

konsumen, mendorong kemandirian kelembagaan petani di dalam memperbaiki

teknik-teknik budidaya tanaman sekaligus pengolahan dan pemasaran hasil,

memfasilitasi paket-paket kunci dalam penerapan intensifikasi tanaman dan teknologi

tepat guna sesuai masing-masing komoditas serta mendorong pengutuhan tegakan

tanaman sesuai skala ekonomi. Keempat, melaksanakan pelatihan pengolahan dari

produk pprimer menjadi produk olahan sesuai permintaan konsumen dan mendorong

penerapan sertifikasi sesuai standar mutu bagi produk-produk olahan yang dihasilkan

petani/kelompok tani. Dan kelima, memfasilitasi sarana pengolahan lahan dan air

dalam rangka peningkatan optimalisasi pemanfaatan lahan dan air untuk kepentingan

produktif, melaksanakan penghijauan untuk hutan rakyat, reboisasi dan pengkayaan

untuk kawasan hutan negara serta pengutuhan populasi tanaman perkebunan agar

memenuhi skala ekonomi, meningkatkan pemanfaatan pupuk organik untuk

mendorong pengembalian kesuburan tanah serta meningkatkan deverifikasi baik

tanaman maupun non tanaman dalam rangka mendorong nilai tambah/pendapatan

sekaligus perbaikan kondisi lahan dan air.

Page 68: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

59

Grafik 2.27. Luas Lahan Konservasi

Sumber : Data Indikator Pencapaian 2009 Provinsi DIY

2.4.2 Analisis capaian Indikator Spesifik Untuk indikator spesifik kehutanan sudah dijelaskan diatas, namun indikator

kelautan tidak bisa dijelaskan secara detail karena ketiadaan data dari Dinas Kelautan

dan Perikanan Provinsi DIY.

2.4.3 Rekomendasi kebijakan

1) Program Pengembangan Agribisnis

2) Program Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan

3) Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan

4) Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Hutan.

5) Program Pembinaan dan Penertiban Industri Hasil Hutan.

6) Program Perencanan dan Pengembangan Hutan.

2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT 2.5.1 Capaian Indikator

Masalah kesejahteraan sosial merupakan agenda penting yang selalu menjadi

proritas kebijakan pemerintah. Berkembang atau tidaknya suatu negara dilihat dari

91011

12

13

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Nasional D I Yogayakarta

Page 69: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

60

sektor ekonomi dapat ditentukan oleh persentase masyarakat yang hidup miskin dan

tingkat pengangguran terbuka. Masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan

masalah induk yang dapat menciptakan masalah-masalah kesejahteraan sosial

lainnya seperti keterlantaran yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ekonomi

keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Merebaknya kasus anak terlantar, balita

terlantar, anak jalanan, anak nakal dan lanjut usia terlantar merupakan permasalahan

sosial yang harus ditanggulangi oleh pemerintah. Selain itu, masalah-masalah

kontemporer seperti penyandang cacat, tunasosial dan korban penyalahgunaan

narkoba juga sangat memerlukan perhatian dan penanganan yang serius mengingat

fenomena gunung es yang melingkupi permasalahan ini.

Upaya menilai persentase pelayanan kesejahteraan sosial Provinsi DIY akan

dilakukan dengan melihat persentase realisasi penanganan beberapa indikator

pendukung. Adapun indikator tersebut meliputi: persentase kemiskinan, persentase

kesejahteraan sosial anak terlantar (anak balita terlantar, remaja terlantar, anak

jalanan dan anak nakal), persentase lanjut usia terlantar dan persentase rehabilitasi

sosial (penyandang cacat, tunasosial dan korban penyalahgunaan narkoba).

Sementara indikator spesifik yang adalah indikator tingkat pengangguran terbuka.

Trend kesejahteraan sosial tidak dapat ditampilkan karena data keseluruhan

mengenai persentase pelayanan kesejahteraan sosial anak terlantar, lanjut usia

terlantar dan rehabilitasi sosial dari tahun 2004 hingga tahun 2009 tidak tersedia.

Sedangkan data indikator persentase pelayanan kesejahteraan sosial anak, lanjut

usia terlantar dan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh Bappenas hanya tersedia

untuk tahun 2004 dan 2008 saja. Akhirnya, untuk menganalisa kinerja pemerintah DIY

dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial maka analisa relevansi dan

efektivitas yang dilakukan dalam sub bab selanjutnya akan didasarkan pada data

persentase realisasi penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)

di DIY.

2.5.1.1 Trend Kesejahteraan Sosial

Trend kesejahteraan sosial digunakan untuk melihat kecenderungan

naik turunnya angka kesejahteraan sosial di Propinsi DIY bila dibandingkan

dengan angka trend kesejahteraan sosial nasional. Trend kesejahteraan

Page 70: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

61

sosial terdiri dari dua data yaitu data yang berasal dari Bappenas dan data

yang berasal dari Dinas Sosial Propinsi DIY. Angka yang berasal dari data

Bappenas memiliki perbedaan dengan angka yang didapatkan langsung dari

Dinas Sosial Propinsi DIY. Perbedaan ini dapat dilihat dari grafik dan tabel

trend kesejahteraan sosial yang akan ditunjukkan di bawah ini.

Grafik 2.28. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY)

Sumber: Dinas Sosial DIY

Page 71: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

62

Grafik 2.29 Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY)

Sumber: Dinas Sosial DIY

Grafik 2.30. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Bappenas)

Sumber: Data Bappenas

Page 72: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

63

Grafik 2.31. Trend Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Trend Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Bappenas)

Sumber: Data Bappenas

2.5.1.2 Tingkat Kesejahteraan Sosial

Tingkat kesejahteraan sosial digunakan untuk melihat angka dan

seberapa besar kesejahteraan sosial berhasil dicapai oleh Propinsi DIY.

Grafik dan tabel dibawah ini berguna untuk melihat tingkat kesejahteraan

sosial di Propinsi DIY bila dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan sosial

nasional. Sama seperti trend kesejahteraan sosial, tingkat kesejahteraan

sosial juga terdiri dari dua data yaitu data yang berasal dari Bappenas dan

data yang berasal dari Dinas Sosial Propinsi DIY. Angka yang berasal dari

data Bappenas juga memiliki perbedaan dengan angka yang didapatkan

langsung dari Dinas Sosial Propinsi DIY. Perbedaan ini dapat dilihat dari

grafik dan tabel tingkat kesejahteraan sosial yang akan ditunjukkan di bawah

ini.

Page 73: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

64

Grafik 2.32. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY)

Sumber: Dinas Sosial DIY

Grafik 2.33. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Dinas Sosial DIY)

Sumber: Dinas Sosial DIY

Page 74: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

65

Grafik 2.34. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Bappenas)

Sumber: Data Bappenas

Grafik 2.35. Tingkat Kesejahteraan Sosial di Propinsi DIY dibandingkan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2004-2009 (versi

data yang didapatkan dari Bappenas)

Sumber: Data Bappenas

Page 75: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

66

2.5.1.3 Penjelasan Pengolahan Data

Untuk melihat grafik dan tabel trend kesejahteraan sosial dan tingkat

kesejahteraan sosial pada sub bab 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 maka perlu untuk

mengetahui proses pengolahan data dalam mendapatkan angka-angka

tersebut. Pada data versi Dinas Sosial Propinsi DIY, perhitungan yang

digunakan dalam merumuskan angka-angka berasal dari rumus yang telah

diberikan oleh pihak Bappenas untuk menghitung trend kesejahteraan sosial

dan tingkat kesejahteraan sosial. Sedangkan, angka-angka yang diolah

merupakan angka yang didapatkan dari data primer Dinas Sosial DIY.

Angka-angka olahan tersebut merupakan perhitungan dari dua data primer

yaitu jumlah realisasi penanganan PMKS (Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial) dan jumlah PMKS yang belum berhasil ditangani.

Sedangkan data yang berasal dari Bappenas langsung didapatkan dari pihak

Bappenas. Kedua hasil perhitungan baik trend kesejahteraan sosial dan

tingkat kesejahteraan sosial menggunakan empat indikator penentu yaitu

indikator kemiskinan, indikator pelayanan sosial anak terlantar, indikator

pelayanan sosial lanjut usia terlantar dan indikator pelayanan rehabilitasi

sosial (penyandang cacat, tuna sosial dan korban penyalahgunaan Napza).

Angka-angka yang terlihat pada grafik dan tabel 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 tidak

dapat menunjukkan secara jelas bentuk pelayanan sosial dan tingkat

kesejahteraan sosial yang telah dilakukan oleh pemerintah Propinsi DIY.

Untuk melihat dan menganalisa secara jelas potret sosial dan permasalahan

sosial propinsi DIY maka dibawah akan dijelaskan secara lebih mendalam

melalui data-data yang telah di break-down menjadi data tersendiri

(kemiskinan, anak terlantar, lanjut usia terlantar dan pelayanan rehabilitasi

sosial).

Page 76: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

67

2.5.1.4 Kemiskinan

Grafik 2.36. Persentase Kemiskinan

Sumber: www.bps.go.id

Grafik 2.37. Persentase Kemiskinan

Sumber: www.bps.go.id

Page 77: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

68

Analisis Relevansi Kemiskinan

Analisis relevansi bertujuan untuk melihat sejauh mana tujuan/sasaran

pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan

utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat

apakah trend capaian pembangunan provinsi DIY sejalan atau lebih baik dari

capaian pembangunan nasional.

Dari grafik 5.1 dapat dilihat bahwa angka kemiskinan DIY dari tahun

2004 hingga tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan angka persentase

kemiskinan nasional. Pada tahun 2004 persentase kemiskinan DIY berada

pada angka 19,14 persen, lalu pada tahun 2005 persentase kemiskinan ini

menurun hingga mencapai angka 18,95 persen. Penurunan ini disebabkan

oleh beberapa hal, antara lain program yang terdapat dalam RPJP dan

RPJMD pemerintah DIY. Dalam RPJP (2005-2009), pemerintah DIY

berusaha melakukan misi penguatan upaya pencapaian keunggulan daerah

melalui sarana-sarana pendukung lanjut, penguatan orientasi kompetisi pada

pembangunan SDM unggul, serta ekspansi perekonomian dan industri

berbasis keunggulan daerah yang didukung dengan ketersediaan energi.

Misi tersebut diaktualisasikan dengan program penurunan angka

pengangguran dan kemiskinan, dengan prioritas pada penciptaan

kesempatan kerja bagi kaum perempuan yang berpendidikan dan

berketrampilan. Perempuan menjadi prioritas dalam agenda penurunan

kemiskinan pemerintah karena di Provinsi DIY pada Februari 2008 setengah

pengangguran mencakup 23 persen dari orang yang bekerja (425,3 ribu

orang) dan sekitar 55,84 persen dari setengah pengangguran tersebut

adalah perempuan (www.yogyakarta.bps.go.id, 2008). Pemberdayaan

perempuan yang masih menganggur merupakan faktor penting untuk

menghindari perempuan dari jerat kemiskinan dan ketidakberdayaan secara

ekonomi.

Pemerintah juga telah menetapkan sasaran pembangunan jangka

panjang DIY yang tercantum dalam RPJP (penekanan lima tahun pertama

2005-2009) dengan misi meningkatkan proporsi masyarakat makmur secara

ekonomi. Pemerintah juga telah membuat agenda kebijakan pro-poor yang

Page 78: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

69

lain dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan. Kebijakan tersebut

dibreakdown dengan program operasional yaitu peningkatan pelayanan

kesehatan bagi masyarakat miskin. Program ini terdapat dalam Rencana

Strategis Daerah Yogyakarta (2004-2008). Bagi pemerintah DIY, peningkatan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tidak hanya bertujuan untuk

membuat masyarakat miskin tetap sehat, namun juga membuat masyarakat

miskin secara fisik mampu dan berdaya dalam bekerja dan mencari nafkah

bagi peningkatan kesejahteraan ekonominya. Program-program pemerintah

dalam RPJP dan RPJMD ini ternyata mampu menurunkan angka persentase

kemiskinan DIY dibuktikan dengan data statistik bahwa terjadi penurunan

persentase kemiskinan di tahun 2005.

Namun, semenjak bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada

bulan Mei tahun 2006, maka isu mengenai kemiskinan menjadi agenda yang

mendesak bagi pemerintah. Bencana gempa bumi telah meningkatkan angka

jumlah penduduk miskin di wilayah propinsi DIY secara accidental (Lihat

grafik 5.1). Pada tahun 2005 angka persentase kemiskinan telah menurun

hingga mencapai angka 18,95 persen, namun di tahun 2006 angka

persentase kemiskinan kembali naik hingga berada pada angka 19,15

persen. Gempa bumi juga telah menambah masalah sosial, antara lain,

ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hak-hak anak, menurunnya

daya beli masyarakat karena menurunnya pendapatan dan kerusakan

barang-barang modal. Hilangnya barang modal yang diakibatkan gempa Mei

2006 membuat sebagian pelaku industri tidak bisa berproduksi selama

beberapa bulan. Non-aktifnya kegiatan ekonomi primer bagi masyarakat

yang rentan terhadap kemiskinan dapat berakibat fatal. Ketidakmampuan

dalam menghasilkan pendapatan yang memadai tidak hanya mengancam

namun dapat menjadikan masyarakat ini jatuh miskin. Dampak pasca gempa

ini menciptakan situasi-situasi yang tidak kondusif bagi perekonomian DIY.

Selain gempa bumi, faktor dominan lain yang menyebabkan lambannya

pertumbuhan ekonomi DIY dan meningkatnya angka persentase kemiskinan

adalah kemarau panjang sebagai dampak dari El-Nino sehingga

menyebabkan musim tanam tertunda. Perekonomian DIY pasca gempa juga

belum sepenuhnya dapat menyerap tenaga kerja yang tersedia dan yang

Page 79: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

70

selalu bertambah secara alamiah. Kedua hal ini merupakan faktor pendukung

kembali naiknya angka persentase kemiskinan di tahun 2006.

Tingginya angka persentase kemiskinan menjadikan program kerja yang

berbasis pada penanggulangan kemiskinan (pro poor) diprioritaskan.

Program-program kerja dalam RPJP dan RPJMD tetap berjalan hingga di

tahun 2007 dan 2008 angka persentase kemiskinan menurun dari angka

19,15 persen menjadi angka 18,99 persen (2007) dan 18,32 persen (2008).

Penurunan persentase kemiskinan di tahun 2007 dan 2008 memang tidak

signifikan, maka dari itu pemerintah DIY berusaha menyusun program kerja

pro-poor dalam rencana pembangunan propinsi DIY selanjutnya yakni

RPJMD DIY (2009-2013). Dalam RPJMD (2009-2013), pemerintah DIY tetap

melanjutkan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Program

kesehatan ini juga ditunjang dengan program sosial pemberdayaan fakir

miskin secara ekonomi. Misi pengembangan kualitas sumberdaya manusia

yang sehat, cerdas, profesional, humanis dan beretika dalam mendukung

terwujudnya budaya yang adiluhung dioperasionalkan dalam strategi kerja

antara lain, pertama, menumbuhkembangkan pola dan bentuk jaminan sosial

kepada masyarakat khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Hal ini

dilakukan dengan asumsi bahwa pendidikan merupakan kunci untuk

mengeluarkan diri dari jerat kemiskinan. Kedua, peningkatan peran

pemerintah dan masyarakat dalam penyelesaian masalah sosial di

lingkungannya (termasuk masalah kemiskinan). Sinergi dari program kerja

RPJP (2004-2009), Renstrada (2004-2008) dan RPJMD (2009-2013)

menyebabkan angka kemiskinan di tahun 2009 menurun secara signifikan

hingga mencapai angka 17,32 persen. Penurunan angka kemiskinan di DIY

dimungkinkan juga sebagai akibat mulai munculnya pengaruh program-

program pengentasan kemiskinan seperti PMPN Mandiri, UMKM, pemberian

subsidi dalam bidang pertanian dan peternakan, penguatan kelompok

ekonomi produktif dan adanya dana pinjaman lunak dari pemerintah dan

perbankan. Sebagaimana diketahui, program ini sudah dilaksanakan dalam

beberapa tahun terakhir.

Page 80: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

71

Analisis Efektifitas

Secara keseluruhan angka kemiskinan DIY lebih tinggi bila dibandingkan

dengan angka kemiskinan nasional. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2008

angka persentase kemiskinan DIY berada pada titik yang cukup stabil yakni

berada di kisaran 19 hingga 18 persen. Namun, pada tahun 2009 angka

persentase kemiskinan DIY menurun cukup besar yaitu dari angka 18,32

persen ke 17,23 persen. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor,

antara lain serangkaian program yang terdapat di dalam RPJMD pemerintah

DIY (2009-2013). Strategi menurunkan angka kemiskinan dalam RPJMD

dilakukan dengan cara (1) Menumbuhkembangkan pola dan bentuk jaminan

sosial kepada masyarakat khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan;

(2) Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin; (3)

Meningkatkan pengetahuan dan pengembangan diri perempuan; dan (4)

program pemberdayaan fakir miskin. Serangkaian program ini memang

berhasil menurunkan angka persentase kemiskinan namun tidak mampu

mencapai target persentase kemiskinan yang telah diproyeksi oleh Dinas

Sosial DIY. Dinas Sosial DIY memiliki target proyeksi penduduk miskin DIY di

tahun 2009 sebesar 17,11 persen. Namun pada kenyataannya di tahun 2009

ini, dapat dilihat bahwa angka kemiskinan DIY berada pada angka 17,23

persen. Tidak tercapainya target pemerintah DIY dalam menekan angka

kemiskinan adalah suatu tantangan yang harus dihadapi pemerintah DIY

dalam membuat program dan kebijakan yang lebih efektif dalam menjangkau

masyarakat miskin.

Tidak tercapainya misi pemerintah DIY dalam menurunkan angka

kemiskinan dapat dicermati dari data capaian pemerintah DIY (LAKIP DIY

2008) dalam menurunkan angka kemiskinan. Pemerintah DIY berusaha

memberdayakan fakir miskin dengan rincian program, pagu anggaran dan

realisasi angaran sebagai berikut:

Page 81: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

72

Tabel 2.5.1.4.3 Pagu Anggaran Kegiatan

No Program/kegiatan Pagu (Rp) Realisasi

(Rp) (persen)

1 Pelatihan ketrampilan berusaha bagi keluarga miskin

880.000.000 854.579.225 97,11

Sumber: LAKIP DIY 2008

Dari penjelasan program yang disajikan dalam tabel diatas dapat dilihat

bahwa program pro-poor pemerintah DIY hanya berlandaskan pada upaya

memberikan ketrampilan berusaha bagi masyarakat miskin. Program PNPM

dan P2KP yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin pun

telah dilaksanakan pada tahun 2007. PNPM dan P2KP bertutujuan untuk

menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kemandirian masyarakat

miskin dalam sektor ekonomi. Namun, menyelesaikan permasalahan

kemiskinan tidak lah sesederhana itu. Pemerintah tidak hanya membuka

lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat, memberdayakan

masyarakat miskin dengan cara memberikan ketrampilan berusaha, atau

memberikan masyarakat miskin modal usaha untuk memulai usaha kecil

mandiri. Untuk terjun ke dalam dunia bisnis, masyarakat miskin memerulukan

berbagai macam proteksi untuk melindungi usaha kecilnya. Pemerintah

harus memperhatikan keberlangsungan usaha kecil masyarakat miskin

dalam sistem persaingan usaha yang ada. Beberapa kebijakan yang dapat

disediakan pemerintah untuk melindungi usaha kecil masyarakat miskin

antara lain, proteksi terhadap usaha kecil masyarakat miskin dari lajunya

usaha yang dimiliki pengusaha bermodal besar, kemudahan dalam sistem

perijinan dan insentif-insentif ekonomi untuk merangsang perkembangan

usaha. Dari sisi ketenagakerjaan, masyarakat DIY yang bekerja sebagai

buruh pabrik dengan tingkat UMP yang rendah (yang sebagian besar

termasuk dalam kategori masyarakat miskin) belum berkutik. Sebagian besar

serikat pekerja di Indonesia masih belum memiliki kemampuan dalam

mempengaruhi kebijakan pengusaha atau pemilik modal. Seharusnya

pemerintah dapat menjadi fasilitator serta pengawas dari hubungan antara

Page 82: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

73

pengusaha dan serikat pekerja. Peran serikat pekerja ini dapat menguatkan

posisi dan daya tawar pekerja atau buruh agar tidak diperlakukan sewenang-

wenang dan terkena PHK sepihak oleh pengusaha.

Dalam RPJP pemerintah DIY (2005-2009), pemerintah berupaya

melalakukan penguatan untuk mencapai keunggulan daerah melalui

pembangunan SDM unggul serta ekspansi perekonomian dan industri

berbasis keunggulan daerah. Program yang dilakukan pemerintah dalam

mewujudkan misi ini adalah menciptakan penurunan angka pengangguran

dan kemiskinan, dengan prioritas pada penciptaan kesempatan kerja bagi

kaum perempuan yang berpendidikan dan berketrampilan. Namun, target ini

tidak dapat dicapai oleh pemerintah, walaupun program ini sudah berjalan

sejak tahun 2005. Hal ini terbukti pada tahun 2008 bahwa angka

pengangguran yang tinggi masih berasal dari kaum perempuan.

2.5.1.5 Pelayanan Kesejahteraan sosial Persentase pelayanan kesejahteraan sosial di propinsi DIY dapat dilihat

dari dua data yaitu data yang diberikan oleh Bappenas dan data yang

diberikan oleh Dinas Sosial Propinsi DIY. Data tersebut terdiri dari data

tingkat kesejahteraan sosial dan data trend kesejahteraan sosial.

Grafik 2.38. Tingkat Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Sumber: data Bappenas (Nasional)

Page 83: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

74

Grafik 2.39. Tingkat Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Sumber: data Bappenas (Nasional)

Analisis Relevansi

Angka persentase pelayanan kesejahteraan sosial DIY tidak dapat dicermati tahun per tahun (2005, 2006, 2007, 2008) secara spesifik. Data persentase pelayanan kesejahteraan sosial hanya bisa dilihat pada tahun 2004 hingga tahun 2009. Hal ini dikarenakan tidak memadainya data realisasi penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) serta alokasi anggaran APBN dan APBD untuk menangani masalah PMKS tersebut. Ketidaktersediaan data menyebabkan perhitungan persentase pelayanan kesejahteraan sosial tidak dapat dilakukan. Untuk melihat data capaian kinerja Dinas Sosial DIY dalam menangani masalah PMKS dapat dilihat dari tabel di bawah berikut ini:

Tabel 2.5.1.5.3 Realisasi Penanganan PMKS Anak Terlantar (anak terlantar, balita terlantar, anak jalanan dan anak nakal)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 anak terlantar 12,5% 12,9% 70,5% 12,9% 9,1% 3,7% anak jalanan 252,9% 125,3% 166,3% 170,0% 53,3% 11,7% anak balita terlantar 0 0 0 0,2% 1,9% 0,3% anak nakal 23,0% 9,0% 4,1% 26,7% 25,5% 5,9%

Sumber: Data olahan dari Dinas Sosial DIY

Page 84: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

75

Tabel 2.5.1.5.4 Realisasi Penanganan PMKS Lanjut Usia Terlantar

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Lanjut usia terlantar 1,7% 3,1% 24,9% 16,3% 14,1% 4,7%

Sumber: Data olahan dari Dinas Sosial DIY

Realisasi penanganan anak terlantar di DIY sangat fluktuatif. Namun

tahun 2006 merupakan tahun penanganan tertinggi realisasi penanganan

anak terlantar hingga mencapai angka 70,5 persen. Ini dikarenakan pada

tahun 2006 jumlah anak terlantar menurun yakni hanya berjumlah 6.368

orang dan jumlah yang ditangani sebesar 4.488 orang. Sedangkan, di tahun

2004 dan 2005 jumlah anak terlantar berkisar di angka 14.947 orang,

sedangkan jumlah anak terlantar yang ditangani hanya sebesar 1.870 (tahun

2004) dan 1.935 orang (tahun 2005). Pada tahun 2007 jumlah anak terlantar

kembali meninggi yaitu sebesar 33.565 orang, dengan jumlah anak terlantar

yang ditangani sebesar 4.335 orang. Pada tahun 2008 jumlah anak terlantar

meningkat hingga berada di angka 36.468 orang, dan jumlah yang ditangani

sebesar 3.305. Pada tahun 2009, jumlah anak terlantar bernilai sama dengan

tahun 2008, sedangkan jumlah yang ditangani hanya sebesar 1.345. Hal ini

dimaklumi karena tahun 2009 belum berakhir, sehingga pada bulan-bulan

akhir tahun 2009 ini Dinas Sosial DIY masih bekerja dalam menangani PMKS

anak terlantar tersebut.

Anak terlantar yang berjumlah 36.468 anak (up dating data tahun 2008)

juga telah mendapatkan perhatian Dinas Sosial DIY dengan pemberian

bantuan permakanan. Pada tahun 2008 jumlah anak terlantar sebanyak 250

anak. Di samping itu bagi anak terlantar yang masih sekolah diberi bantuan

beasiswa atau peralatan sekolah baik yang belajar di SD maupun SMP.

Kegiatan ini dimaksudkan agar anak terlantar dapat mengkonsumsi gizi yang

cukup dan dapat mengikuti pendidikan dan pengajaran yang layak.

Disamping itu, bagi anak yang tidak mampu mengikuti jenjang pendidikan

diberikan bekal ketrampilan di BLPT. Anak terlantar juga ditangani melalui

sistem panti dengan diselenggarakannya bimbingan di Panti Sosial Asuhan

Anak Yogyakarta yang berlokasi di Bimomartani Sleman dan Wonosari

Page 85: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

76

Gunungkidul. Melalui sistem panti, anak terlantar diasramakan dan

mendapatkan bimbingan mental, sosial dan fasilitas keseharian. Anak terlatar

juga mendapatkan bantuan untuk sekolah dari SD sampai SLTA dan diberi

kursus-kursus ketrampilan seperti matematika, kesenian, terak serta

computer dan bahasa inggris. Melalui sistem panti, anak terlantar dapat

memiliki prestasi yang baik dengan mendapat ranking I, II, III dan sepuluh

besar di sekolah. Anak yang telah lulus dan lepas dari panti sebagai berikut:

Tahun 2008 lulus SD sampai dengan SLTA sebanyak 18 anak, nilai tertinggi

SD 23,38; nilai tertinggi SLTP 33,95 dan nilai tertinggi SLTA/SMK 30,44.

Namun, sayangnya alokasi anggaran Dinas Sosial melalui sistem panti

asuhan dirasa kurang efektif. Karena dana-dana operasional untuk

mengurangi jumlah anak terlantar dan pemberdayaan anak terlantar hanya

ditujukan untuk cluster-cluster tertentu saja, seperti Panti Sosial Asuhan Anak

Yogyakarta yang berlokasi di Bimomartani Sleman dan Wonosari

Gunungkidul. Pengclusteran dana operasional ini menjadi masalah yang

sangat mengganggu mengingat posisi anak terlantar berada di seluruh

wilayah Yogyakarta, bukan hanya terpusat di wilayah Sleman dan Gunung

Kidul saja.

Disamping itu, permasalahan anak jalanan ditangani Dinas Sosial DIY

melalui Rumah Singgah. Dinas Sosial DIY memberikan bantuan operasional

bagi rumah singgah (change egent system), pemberian beasiswa bagi anak

jalanan yang masih sekolah dan rehabilitasi sosial ketrampilan di BLK.KLK

(client system). Penanganan anak jalanan juga dilakukan melalui bantuan

UEP yang melibatkan orang tua yaitu dengan dilaksanakannya bimbingan

bagi orang tua anak jalanan (target system). Dengan penanganan yang

kompherensif, jumlah anak jalanan diharapkan dapat berkurang dengan

menyentuh langsung terhadap anak jalanan, orang tua anak jalanan dan

lingkungan anak jalanan. Namun, adalah hal yang ironis apabila data capaian

tersebut dikaitkan dengan realisasi anggaran yang digunakan. Data tentang

pembinaan panti asuhan dan panti jompo serta pagu anggaran yang

digunakan menunjukkan realisasi yang mendekati 100%. Sebagaimana

terlihat dalam tabel berikut. Dari deskripsi program tampak bahwa dalam

Page 86: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

77

penanganan penghuni panti jompo dan panti asuhan, program pendidikan

dan pelatihan menempati porsi utama dengan anggaran cukup besar.

Tabel 5.1.1.5.5. Pembinaan panti asuhan/panti jompo

No Program/kegiatan Pagu (Rp) Realisasi

(Rp) (persen)

1 Pendidikan dan pelatihan bagi penghuni panti asuhan/jompo

2.893.040.975 2.763.303.700 95,52

2.893.040.975 2.763.303.700 95,52

Sumber: LAKIP DIY 2008

Tabel 2.5.1.5.6. Realisasi Penanganan PMKS Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tunasosial, Dan Korban Penyalahgunaan Narkoba)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Penyandang cacat, tunasosial, dan korban penyalahgunaan narkoba 32,0% 14,2% 24,9% 34,3% 4,8% 3,0%

Sumber: Data Olahan dari Dinas Sosial DIY

Mencermati data program dan pencapaian penanganan masalah sosial

di DIY serta keterkaitan dengan intensitas permasalahan maka tampak

bahwa penanganan masalah sosial yang dilakukan melalui berbagai pilihan

program masih menunjukkan rendahnya relevansi program terhadap

masalah sosial yang muncul. Sebagai contoh, dari data tampak bahwa

masalah sosial yang cukup tinggi terjadi di DIY adalah masalah Napza

namun dalam pagu anggaran hal ini kurang mendapat perhatian yang

memadai. Jumlah pemakai Napza di DIY yang merupakan nomor dua di

Indonesia kurang memperoleh alokasi anggaran.

Page 87: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

78

Secara umum tampak bahwa penanganan PMKS di DIY masih belum

memadai karena rendahnya pagu anggaran, kurang cermatnya pilihan

kebijakan dan program. Pendekatan yang kurang pas menyebabkan program

kurang mampu menjawab permasalahan. Pada sisi kelembagaan,

ketidakketersediaan data base PMKS yang memadai menyebabkan

penanganan terkesan kurang terencana dengan baik. Data base yang kurang

terintegrasi dan tidak terpublikasi dengan baik merupakan kendala lain bagi

peran serta institusi maupun elemen masyarakat lain apabila ingin terlibat

dalam penanganan masalah sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pencapaian yang rendah dalam penanganan PMKS disebabkan oleh

faktor kelembagaan yang bertumpu pada SDM yang kurang mampu

membuat pilihan-pilihan program yang pas serta rendahnya pagu anggaran.

Kondisi tersebut harus dapat diatasi melalui perbaikan kenerja lembaga.

Apabila kurang mendapat perhatian, maka kedepan masalah sosial di DIY

akan semakin rumit dan berat dan akan mengganggu pencapaian

pembangunan. Pemerintah perlu meningkatkan sinergi program dengan

pemangku kepentingan lain seperti LSM, donor agency, dan organisasi

masyarakat sipil yang lain.

Rendahnya kinerja pemerintah DIY dalam menangani masalah PMKS

juga terkait dengan kualitas SDM yang dimiliki oleh lembaga Dinas Sosial

DIY. Berdasarkan buku profil Dinas Sosial tahun 2008, ditemukan data

bahwa dari 212 orang jumlah total pegawai Dinas Sosial DIY, hanya 63 orang

pegawai yang berijazah S1, sedangkan 84 orang pegawai lainnya hanya

mengenyam pendidikan SMA. Rendahnya kualitas sumber daya manusia

Dinas Sosial DIY juga memiliki pengaruh terhadap kinerja Dinas Sosial DIY

dalam mengatasi masalah kesejahteraan sosial.

Analisis Efektivitas

Untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial, sesuai dengan

fungsi dan tugasnya pemerintah DIY melaksanakan program pemberdayaan

fakir miskin dan penyandang masalah kesejahteraan lainnya (PMKS).

Pemberdayaan PMKS dilakukan dengan cara program pelayanan dan

Page 88: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

79

rehabilitasi kesejahteraan sosial; program pembinaan anak terlantar; program

pembinaan para penyandang cacat dan trauma; program pembinaan panti

asuhan/panti jompo, program pembinaan eks penyandang penyakit sosial

(PSK, narkoba, dan penyakit sosial lainnya) serta program pemberdayaan

kelembagaan kesejahteraan sosial (LAKIP DIY 2008).

Namun program kerja pemerintah DIY tersebut belum sepenuhnya dapat

mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial di DIY. Hal ini dapat terlihat

dari sebagian besar realisasi penanganan PMKS berada di bawah angka 50

persen dan capaian tertinggi pada penanganan anak jalanan. Data dalam

tabel tersebut menunjukkan rincian realisasi penanganan penyandang

masalah kesejahteraan sosial yang menunjukkan capaian rendah. Jika

melihat dari penurunan jumlah balita terlantar di DIY maka hal ini

dikarenakan beberapa balita terlantar berhasil mendapatkan orang tua asuh

melalui kegiatan fasilitas adopsi anak terlantar dan kegiatan rekomendasi

adopsi anak terlantar. Kegiatan ini dilakukan dengan cara bekerjasama

dengan Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta. Pada tahun 2008, jumlah balita

terlantar yang diadopsi sebanyak 10 orang. Kerjasama pemerintah DIY

dengan Yayasan Sayap Ibu memang dapat menurunkan angka balita

terlantar walau upaya ini tidak dapat menurunkan angka balita terlantar

secara signifikan. Lalu, upaya untuk memberdayakan penyandang cacat dan

eks trauma pun dilakukan dengan cara yang kurang efektif. Upaya

pemberdayaan hanya dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan

pelatihan keterampilan sehingga penyandang cacat dan eks trauma dapat

membangun usaha secara mandiri. Jumlah anggaralah n yang dialokasikan

untuk pendidikan dan pelatihan bagi para penyadang cacat dan eks trauma

tergolong masih kecil yaitu sekitar 138.530.000 rupiah saja, coba bandingkan

dengan alokasi anggaran untuk penyusunan kebijakan pelayanan dan

rehabilitasi sosial bagi PMKS yang berjumlah 438.000.000 rupiah.

Pengalokasian anggaran yang begitu besar untuk program kerja yang tidak

secara langsung menyentuh para PMKS menjadi alasan mengapa realisasi

penanganan PMKS di DIY masih sangat kecil. Lagipula, untuk menjadikan

para penyandang cacat dan eks trauma dapat mandiri secara ekonomi, maka

pemerintah tidak hanya sebatas memberikan pendidikan dan pelatihan

Page 89: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

80

ketrampilan bagi para penyandang cacat dan eks trauma tapi dapat

menciptakan lapangan pekerjaan yang luas atau memberikan pinjaman

modal untuk memulai usaha bagi para penyandang cacat dan eks trauma

yang belum memiliki embrio usaha.

Di propinsi Yogyakarta, kenaikan jumlah lansia adalah dampak langsung

dari meningkatnya usia harapan hidup (UHH) di wilayah ini. Namun, peran

pemerintah DIY dalam menangani masalah lanjut usia terlantar sangatlah

rendah. Hal ini dapat dilihat dari realisasi penanganan lanjut usia terlantar

dari tahun 2004 hingga tahun 2009 yang hanya berada di bawah angka 40

persen. Bahkan, untuk tahun 2008 dan 2009 secara berturut-turut persentase

realisasi penanganan lanjut usia terlantar hanya mencapai angka 4,8 persen

dan 3 persen. Rendahnya realisasi penanganan ini tidak sesuai dengan data

capaian indikator kinerja pemerintah DIY yang menjelaskan bahwa

persentase realisasi dari pembinaan pantijompo mencapai angka 100 persen

dan pemerintah DIY telah mengalokasikan anggaran sebesar 2.763.303.700

rupiah (digabung dengan pembinaan panti asuhan) untuk pembinaan panti

jompo ini.

Pendekatan yang dipilih dalam menangani Napza pun terkesan kurang

memadai. Pendekatan penggunaan UPSK menafikan fakta bahwa pengguna

Napza merupakan kelompok yang cukup mobile (mobilitas tinggi) dan tidak

seperti kondisi kemiskinan dimana mereka dapat diidentifikasi secara fisik.

Pendekatan yang kurang tepat ini menyebabkan efektivitas program tidak

dapat dicapai. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya kenaikan penggunaan

Napza yang melebihi 200% serta cakupan wilayah yang sudah merambah ke

pedesaan. Sangat disayangkan bahwa pendekatan UPSK hanya mampu

mencover wilayah yang cukup sempit.

Page 90: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

81

2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol

Grafik 2.40. Tingkat Pengangguran Terbuka Propinsi DIY tahun 2004-2009

Sumber: www.bps.go.id

Analisis Relevansi

Tingkat pengangguran terbuka DIY selalu lebih rendah jika dibandingkan

dengan tingkat pengangguran terbuka nasional yang berkisar di angka 8, 9, 10 hingga

11. Dari tahun 2004 hingga tahun 2008 tingkat pengangguran terbuka DIY selalu

berkisar di angka 6. Hanya pada tahun 2005 saja tingkat pengangguran meninggi

hingga menembus angka 10,36. Kenaikan ini dapat dimengerti karena pada tahun

2005 telah terjadi kenaikan BBM sebesar 30% untuk barang minyak tanah, solar,

premium dan pertamax. Kenaikan BBM ini sangat mempengaruhi usaha kecil yang

berjalan dengan modal yang tidak besar. Sifat rentan yang dimiliki usaha kecil seperti

ini menyebabkan gangguan kecil yang berasal dari luar (mis: kenaikan BBM) dapat

membuat usaha ini gulung tikar. Selain itu, seringkali terjadi pemutusan hubungan

kerja (PHK) sepihak (hanya dari pihak pengusaha) tanpa melakukan konsultasi lebih

dulu dengan pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat (Lakip DIY 2003-

2008). PHK secara sepihak ini tentu saja dapat mengakibatkan bertambahnya angka

pengangguran secara signifikan. Para buruh yang terkena PHK tidak dapat

melakukan tindakan protes apapun karena posisi mereka sangat rendah dalam posisi

Page 91: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

82

tawar menawar dengan pihak pengusaha. Walaupun tingkat pengangguran terbuka

DIY selalu berkisar di angka 6, namun terjadi ketidakstabilan angka (naik-turun)

sepanjang tahun 2004 hingga 2009.

Rendahnya angka pengangguran terbuka DIY dibandingkan dengan tingkat

pengangguran terbuka nasional merupakan dampak positif dari serangkaian upaya

yang telah dilakukan pemerintah DIY dalam mengurangi angka pengangguran. Dalam

RPJMD (2004-2009), pemerintah DIY melaksanakan strategi kebijakan berlandaskan

misi persiapan dasar kompetensi SDM yang berdaya saing unggul serta konsolidasi

potensi-potensi unggulan. Berangkat dari misi tersebut maka tahapan aktual yang

dilakukan pemerintah DIY adalah mengurangi pengangguran melalui penciptaan dan

pertumbuhan wirausaha yang prospektif didukung peningkatan investasi sektor

ekonomi modern dan didukung dengan koordinasi kebijakan bidang kependudukan

yang komprehensif, dengan prioritas: (1) Peningkatan motivasi dan etos masyarakat

berwirausaha dengan dukungan informasi peluang usaha; (2) Peningkatan sarana

permodalan; (3) Peningkatan pelatihan ketrampilan; dan (4) Penciptaan peluang

kesempatan kerja dan berusaha bagi seluruh lapisan masyarakat. Dari data LAKIP

DIY 2008 di bawah ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah DIY telah berusaha

membuka kesempatan kerja bagi para angkatan kerja usia produktif sehingga jumlah

pengangguran di DIY dapat ditekan:

Tabel 2.5.2.2 Peningkatan Kesempatan Kerja

No Program/kegiatan Pagu Realisasi

(Rp) (persen)

1 Pembentukan kelompok usaha elalui perluasan kerja sistem padat karya (PKSPK) dan pendampingan.

825.487.800 803.637.800 97,35

2 Bimbingan usaha bagi pencaker lulusan SMK (sekolah menengah kejuruan)

812.077.200 795.451.900 97,95

Page 92: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

83

3 Pembentukan wirausaha baru melalui pendayagunaan tenaga kerja pemuda mandiri professional dan pendampingan

502.321.300 497.581.500 99,06

4 Pembentukan wirausaha baru melalui pendayagunaan tenaga kerja mandiri terdidik (TKMT) dan pendampingan

650.000.000 640.620.000 98,56

5 Pendayagunaan tenaga kerja sukarela (TKS) dan pendampingan

495.000.000 485.858.000 98,15

6 Pembinaan dan pengembangan tenaga kerja mandiri sector informal (TKMSI)

700.000.000 696.159.000 99,45

7 Perluasan kesempatan kerja sector informal melalui Grameen Bank

270.000.000 264.484.000 97,96

8 Pembinaan usaha mandiri purna magang Jepang

60.000.000 59.463.000 99,11

9 Pengembangan produktivitas melalui pembentukan wira usaha baru (WUB)

360.000.000 359.600.000 99,89

10 Fasilitas KKPBI (Kelompok Kerja Produksi Buruh Informasi)

100.000.000 98.556.000 98,56

11 Penyelenggaraan bursa kerja terbuka

190.000.000 188.240.000 99,07

12 Pembinaan dan fasilitasi UKM binaan untuk perluasan dan pengembangan kesempatan kerja

92.500.000 92.440.000 99,94

Page 93: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

84

13 Bimbingan usaha berbasis tepat guna bagi pencaker (pencari kerja) lulusan SD dan SLTP

200.000.000 199.450.000 99,73

14 Penyebaran informasi pasar kerja

91.128.600 87.367.700 95,87

15 Pembinaan dan fasilitasi penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKAD

225.000.000 220.855.000 98,16

16 Peningkatan produktivitas kawasan sentra usaha

75.000.000 75.000.000 100,00

17 Updating data ketenagakerjaan transmigrasi

107.430.000 107.430.000 100

18 Operasional bursa kerja On-line

26.555.000 26.555.000 100

19 Fasilitas purna tenaga kerja Indonesia wanita (TKI wanita) usaha mandiri

250.000.000 247.126.000 98,85

20 Pemberdayaan tenaga kerja akibat PHK

420.000.000 416.750.000 99,23

21 Pembinaan dan fasilitasi penempatan TKI asal DIY ke luar negeri

40.000.000 39.990.000 99,98

22 Perluasan dan pengembangan kesempatan kerja melalui sistem koperasi simpan pinjam

100.000.000 99.850.000 99,85

23 Pelatihan kewirausahaan dan fasilitas bagi UKM guna mendukung kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi

125.000.000 124.800.000 99,84

24 Penyusunan PTKD 148.441.400 146.621.400 98,77

Page 94: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

85

25 Koordinasi perencanaan pengurangan pengangguran

49.180.000 49.180.000 100

26 Rakomis Pengurangan Pengangguran

50.000.000 50.000.000 100

27 DGS 250.000.000 211.762.500 84,71

28 Bimbingan usaha bagi penyandang cacat

250.000.000 247.819.000 99,13

29 Penyusunan rencana kerja pengentasan pengangguran dan ketransmigrasian

42.250.000 42.250.000 100

30 Monitoring evaluasi dan pelaporan

35.000.000 34.982.000 99,95

7.542.371.300

7.409.879.800

98,24

Sumber: LAKIP DIY 2008

Meski angka tingkat pengangguran terbuka DIY cukup rendah bila dibandingkan

dengan angka tingkat pengangguran terbuka nasional, namun banyak persoalan

mengenai ketenagakaerjaan yang masih menuntut untuk diprioritaskan oleh

pemerintah. Salah satunya adalah, jumlah angkatan kerja pertumbuhannya lebih

cepat dibandingkan dengan kesempatan kerja yang tercipta. Akibatnya jumlah

penganggguran baik yang terbuka maupun yang setengah menganggur jumlahnya

cenderung meningkat. Masalah ketenagakerjaan lain yang sampai saat ini belum

dapat dipecahkan secara tuntas adalah terbatasnya tingkat ketrampilan tenaga kerja,

rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya kesejahteraan buruh/pegawai dan

kurang mantapnya hubungan industrial tenaga kerja.

Analisis Efektifitas

Tingkat pengangguran DIY memang lebih rendah bila dibandingkan dengan

tingkat pengangguran nasional. Namun, dari tahun 2004 hingga tahun 2006 tingkat

penangguran DIY selalu meningkat. Hanya pada tahun 2007 hingga tahun 2009 saja,

Page 95: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

86

tingkat pengangguran DIY menurun walau masih berkisar pada angka 6. Kondisi

ekonomi yang tidak menguntungkan ditandai dengan naiknya BBM di tahun 2005,

tingkat inflasi yang tinggi, resesi global hingga turunnya nilai rupiah terhadap mata

uang asing menyebabkan angka tingkat pengangguran tidak pernah turun secara

signifikan. Pada tahun 2006, bencana gempa bumi telah meningkatkan angka

pengangguran di wilayah propinsi DIY secara accidental. Hal ini dikarenakan bencana

gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan barang-barang modal. Hilangnya barang

modal yang diakibatkan gempa Mei 2006 membuat sebagian pelaku industri tidak

bisa berproduksi selama beberapa bulan.

Dalam RPJP pemerintah DIY (2005-2009), pemerintah berupaya melalakukan

penguatan untuk mencapai keunggulan daerah melalui pembangunan SDM unggul

serta ekspansi perekonomian dan industri berbasis keunggulan daerah. Program

yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan misi ini adalah menciptakan

penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, dengan prioritas pada penciptaan

kesempatan kerja bagi kaum perempuan yang berpendidikan dan berketrampilan.

Namun, target ini tidak dapat dicapai oleh pemerintah, walaupun program ini sudah

berjalan sejak tahun 2005. Hal ini terbukti pada tahun 2008 bahwa angka

pengangguran yang tinggi masih berasal dari kaum perempuan.

Dalam rangka mengatasi pengangguran terbuka yang masih tinggi, pemerintah

DIY meluncurkan program peningkatan kesempatan kerja dan program peningkatan

kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Melalui program peningkatan kesempatan

kerja pada tahun 2007, pemerintah DIY mampu mencapai perluasan kesempatan

kerja sebanyak 3.195 orang dan penempatan tenaga kerja sebanyak 5.780 orang.

Sedangkan pada tahun 2008 jumlah perluasan kerja yang bisa dicapai sebanyak

6.075 orang, dan penempatan tenaga kerja sebanyak 5.536 orang. Sehingga terdapat

peningkatan perluasan dan penempatan tenaga kerja sebesar 2.636 orang. Melalui

program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, jumlah angka

pengangguran, baik pengangguran terbuka maupun pengangguran terdidik dapat

ditekan. Hal ini dilakukan dengan cara melatih dan memberi fasilitasi terhadap para

penganggur melalui kegiatan-kegiatan pelatihan ketrampilan dari berbagai kejuruan

yang ada (terutama BLK Yogyakarta), agar para pencari kerja/penganggur

mempunyai bakat ketampilan sehingga bisa bersaing di pasar kerja (lokal maupun

Page 96: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

87

internasional). Disamping itu diharapkan agar para alumni peserta pelatihan, bisa

mandiri dan membuka usaha dengan bekal ketrampilan tersebut (LAKIP DIY 2008).

Untuk membantu korban PHK, maka pemerintah DIY berusaha memberdayakan

mereka melalui program peningkatan kesempatan kerja dengan kegiatan

pemberdayaan tenaga kerja wanita akibat PHK. Tahun 2008 telah dilaksanakan

dengan membentuk kelompok usaha bagi tenaga kerja wanita ter-PHK dengan

sasaran 300 orang. Untuk tenaga kerja yang belum siap masuk Bursa Kerja telah

diatasi melalui Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Untuk

mengurangi jumlah penganguran terdidik usaha yang telah dilakukan oleh Dinas yaitu

melalui beberapa kegiatan, yaitu: Bimbingan Usaha pencaker lulusan SMK,

Pembentukan wirausaha baru melalui Pendayagunaan Tenaga Kerja Mandiri (TKMP)

dengan sasaran lulusan SLTA, TKS, dan sebagainya (LAKIP DIY 2008).

Serangkaian capaian upaya pemerintah yang dijelaskan dalam LAKIP DIY

menunjukkan bahwa upaya ini berhasil menurunkan angka pengangguran di DIY.

Sejak tahun 2007 angka pengangguran yang berada di angka 6,1 persen turun

menjadi 6,04 persen pada tahun 2008 dan menurun lagi hingga ke angka 6 pada

tahun 2009.

2.5.3 Rekomendasi Kebijakan

Mencermati perkembangan kesejahteraan sosial di DIY, dapat disimpulkan

bahwa secara sosial-ekonomi masyarakat cukup rentan terpengaruh perubahan-

perubahan eksternal. Kajian ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari

permasalahan sosial terutama disebabkan tingginya tingkat pengangguran, tidak

tertanganinya masalah keterlantaran, kecacatan dan ketunaan sosial. Disamping itu,

pengaruh gempa bumi tahun 2006 cukup signifikan dalam menurunkan tingkat

kesejahteraan masyarakat. Secara kelembagaan, tampak bahwa pembangunan

kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga terkait belum memenuhi

harapan disebabkan masih rendahnya tingkat efektivitas program dan kurang

tepatnya pendekatan yang digunakan. Demikian juga terkait dengan relevansi

program terhadap permasalahan.

Page 97: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

88

Berangkat dari beberapa fakta tersebut, rekomendasi yang dapat diberikan

adalah pertama, perlunya penajaman prioritas penanganan kemiskinan melalui

program-program pemberdayaan. Optimalisasi program dapat disinergikan dengan

program nasional seperti PNPM, UKM, KUR, dan pendekatan kelembagaan lainnya.

Hal ini diharapkan dapat mengendalikan trend penurunan kesejahteraan di DIY.

Kedua, perlu dilakukan reorientasi metode dan strategi penanganan PMKS.

Pengembangan baseline data, capaian program, dan kelompok sasaran perlu

diefektifkan. Ketiga, revitalisasi dinas dan lembaga terkait dalam menangani masalah

sosial dan ketenagakerjaan melalui reorientasi penggunaan anggaran. Pengurangan

alokasi anggaran pada kegiatan koordinasi dan rapat dan lebih diupayakan

penambahan anggaran untuk kegiatan pelatihan ekonomi produktif. Keempat,

Optimalisasi dan perluasan cakupan beberapa program yang sudah terbukti berhasil

meningkatkan kualitas kesejahteraan seperti Program Peningkatan Kualitas dan

Produktivitas Tenaga Kerja. Demikian juga dengan upaya mengurangi jumlah

penganguran terdidik melalui melalui beberapa kegiatan, yaitu: Bimbingan Usaha

pencaker lulusan SMK, Pembentukan wirausaha baru melalui Pendayagunaan

Tenaga Kerja Mandiri (TKMP) dengan sasaran lulusan SLTA, TKS, dan sebagainya.

Kelima, mengingat besarnya proporsi tenaga (PNS) berpendidikan SLTA

dibandingkan yang berpendidikan S1 (sarjana) di Dinas Sosial DIY maka diperlukan

adanaya program peningkatan kualitas dan kapabilitas SDM melalui peningkatan

pendidikan dan pelatihan.

Page 98: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Kesimpulan

89

BAB III

KESIMPULAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan evaluasi kegiatan pembangunan daerah

dengan fokus kajian Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada 5 (lima) isu yang menjadi kajian ini:

(1) tingkat pelayanan publik dan demokrasi; (2) tingkat kualitas sumber daya manusia; (3)

tingkat pembangunan ekonomi; (4) tingkat sumber daya alam; (5) tingkat kesejahteraan

sosial.

Berikut ini adalah beberapa kesimpulan penting dari analisis yang dilakukan sebelumnya.

1. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi

Berdasarkan analisis data, tingkat pelayanan publik di DIY lebih baik

dibandingkan dengan rata-rata nasional serta mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Secara rinci, hal tersebut ditunjukkan secara konsisten oleh data yang

menyangkut tingkat pemberantasan korupsi, tingkat pendidikan aparat yang memiliki

pendidikan S-1 serta adanya pelayanan satu atap di masing-masing kabupaten. Kualitas

demokrasi di Yogyakarta juga cukup baik walaupun cenderung mengalami penurunan

dari Pemilu tahun 2004 ke Pemilu tahun 2009. Sementara itu, indikator spesifik lain

seperti Gender Development Index and Gender Empowerment Index juga di atas rata-

rata nasional.

Untuk meningkatkan tingkat pelayanan publik, beberapa rekomendasi kebijakan

yang diusulkan meliputi: (a) Melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan

daerah; (b) Meningkatkan pendidikan aparat untuk jenjang yang lebih tinggi; (c)

Meningkatkan fungsi dan transformasi nilai pelayanan di lembaga UPTSA; (d)

Meningkatan GDI dan GEM di sektor publik.

2. Tingkat Sumber Daya Manusia

Dari hasil analisis data, tingkat sumber daya manusia di DIY cukup baik

dibandingkan dengan rata-rata nasional. Hal tersebut bisa dilihat dari indikator Umur

Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu Melahirkan dan Prevalensi

Page 99: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Kesimpulan

90

Gizi Kurang. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran pemerintah dalam

penyediaan fasilitas kesehatan maupun kesadaran warga akan pentingnya kesehatan.

Berdasarkan analisis data, di bidang pendidikan, angka partisipasi murni (APM)

DIY juga lebih tinggi dari rata-rata nasional. Hanya saja, semakin tinggi tingkat

pendidikan, APM tersebut semakin kurang menonjol. Sebaliknya, data tentang buta huruf

justru lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Karena itu, untuk mempertahankan kondisi sumber daya manusia tersebut,

pemerintah perlu meningkatkan berbagai pelayanan kesehatan seperti revitalisasi

Posyandu, penambahan tenaga bidan desa, dan pelayanan kesehatan keliling.

Sebaliknya, untuk meningkatkan pendidikan perlu kebijakan berupa paket pendidikan

non formal dan informal.

3. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan analisis data, pertumbuhan ekonomi di DIY relatif fluktuatif. Selain

itu, kondisi pertumbuhan perekonomian di DIY tidak sebaik rata-rata nasional. Dalam

berbagai indikator seperti sumbangan sektor industri, pertumbuhan investasi maupun

pertumbuhan ekspor, kondisinya masih rendah

Karena itu, perlu beberapa orientasi kebijakan untuk peningkatan pertumbuhan

ekonomi: (a) meningkatkan sektor pertanian yang perannya semakin turun melalui

gerakan masyarakat; (b) pembenahan tata guna lahan untuk menjaga penyediaan

pangan; Selain itu tataguna lahan juga harus mendapat prioritas untuk dibenahi,

kesalahan tata guna lahan akan berakibat fatal pada kemampuan penyediaan pangan di

masa datang; (c) peningkatan peran UMKM melalui pengembangan kewirausahaan agar

menjadi usaha yang tangguh; (d) peningkatan arus informasi bisnis melalui

pembentukan kelembagaan pusat informasi bisnis; (e) peningkatan implementasi

kebijakan pemerintah secara transparan dan akuntabel.

4. Tingkat Sumber Daya Alam

Berdasarkan analisis data, kemampuan melakukan rehabilitasi lahan kritis di DIY

melebihi kapasitas rata-rata nasional. Akan tetapi, perkembangan data yang ada

menunjukkan bahwa kemampuan secara internal semakin menurun dari tahun ke tahun.

Page 100: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Kesimpulan

91

Kerusakan lingkungan dan pencemaran merupakan isu serius yang dihadapi

secara nasional.

Karena itu, ada beberapa program yang ditawarkan untuk menyelamatkan

sumber daya alam DIY: (a) Program Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan; (b)

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan; (c) Program Perlindungan dan Konservasi

Sumberdaya Hutan; (c) Program Pembinaan dan Penertiban Industri Hasil Hutan; dan

(d) Program Perencanaan dan Pengembangan Hutan.

5. Tingkat Kesejahteraan Sosial

Masalah utama yang masih serius di DIY adalah tingginya angka kemiskinan.

Data yang ada menunjukkan bahwa persentase kemiskinan DIY melebihi tingkat

nasional. Walaupun demikian, persentase kemiskinan di DIY mengalami penurunan dari

tahun 2004 ke 2005. Selain itu, hal yang cukup menggembirakan adalah rendahnya

tingkat pengangguran dibandingkan rata-rata nasional.

Untuk memperbaiki masalah kesejahteran sosial, ada beberapa kebijakan yang

bisa ditawarkan: (a) penajaman prioritas program penanggulangan kemiskinan; (b)

reorientasi strategi penanganan PMKS; (c) revitalisasi kelembagaan yang menangani

program; (d) optimalisasi dan perluasan cakupan program yang sudah terbukti berhasil.

Page 101: Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM

Laporan Akhir EKPD – Hasil Evaluasi

92

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Laporan

Baseline Survey MAP – World Vision, 2007. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka 2008 Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Akhir Masa

Jabatan 2003 – 2008 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008 Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2007, Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan Republik Indonesia Bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2003 tentang

Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004 – 2008

Proposal Baseline Survey Untuk Data Dasar Pelayanan Publik, Program kerjasama Partnership

For Governance Reform in Indonesia bekerjasama Centre For Policy Studies (CPS) Yogyakarta, Magister Administrasi Publik UGM (MAP-UGM)

Rangkuman Rencana Strategi Pemerintah Daerah Propinsi DIY Tahun 2004 – 2008 dan

Rencana Strategis 31 Instansi Rencana Strategi Provinsi DIY Tahun 2003 RPJMD DIY Tahun 2009 – 2013 RPJP DIY Tahun 2005 - 2009 Statistik Indonesia Tahun 2007 Standar Pelayanan Minimal Provinsi DIY

Sumber Internet

KPU DIY Targetkan Partisipasi Pemilih 85%, www.compas.com, 16 Juni 2009

www.bps.go.id

www. Yogyakarta.bps.go.id, 2008