Upload
musa-sangquite
View
1.253
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan praktikum ekologi hewan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa hewan berbeda dengan tumbuhan,
kemampuan iritabilitas hewan jauh lebih kompleks. Hewan dapat menunjukkan
suatu respon positif maupun negative dari sebuah stimulus. Kemampuan ini
disebut behavior. Behavior atau perilaku hewan adalah suatu respon dari organism
terhadap stimulus yang datang dari dalam ataupun dari luar. Respon ini ada dua
macam yaitu innate daninnate.innate muncul secara spontan dan konsisten
terhadap suatu rangsangan, sedangkan leraned response adalah respon yang
berubah dengan adanya pengalaman dari organism tersebut. Seperti halnya hewan
lainnya, lalat buah (Drosophilla melanogaster) juga dapat melakukan suatu
behavior. Perilaku yang ditunjukkan merupakan perilaku orientasi yang jenisnya
dapat berupa fototaksis, geotaksis dan kemotaksis (Suyitno, 2006).
Pada setiap kehidupan makhluk hidup, pasti akan ada banyak interaksi yang
terjadi di antara mereka, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu
interaksi ini nantinya akan menimbulkan suatu keadaan timbal balik yang lama,
maupun interaksi yang nantinya tidak akan bertahan lama. Namun intinya tetap
sama, bahwa suatu stimulus atau rangsangan nantinya akan menimbulkan suatu
tanggapan yang dapat menimbulkan timbulnya perilaku (Suyitno, 2006).
Stimulus atau rangsangan dapat berupa stimulus yang berasal dari dalam
maupun dari luar diri kita. Setiap individu mampu untuk merespons beberapa
stimulus yang nantinya akan mengenai diri mereka, seperti yang telah disebutka
sebelumnya, bahwa respons itu dapat berasal dari luar maupun dari dalam
(Suyitno, 2006).
Maka dari itu, untuk merespons rangsang, dibutuhkan adanya reseptor.
Makhluk hidup mampu melakukan tanggapan ataupun respon terhadap berbagai
stimulus, baik yang berasal dari lingkungan luar maupun dari dalam tubuh sendiri.
Apabila contoh tanggapan dikaitkan dengan mekanisme terjadinya perilaku pada
makhluk hidup, maka fungsi reseptor sangat berperanan dalam mendeteksi
stimulus dan system saraf akan mengoordinasikan respon sehingga timbul suatu
aksi terpola yang dapat diamati sebagai perilaku (Suyitno, 2006).
Setiap hewan tidak memiliki perilaku yang sama, tentunya ada perbedaan-
perbedaan. Untuk mengetahui perilaku hewan kita harus melakukan pengamatan
secara langsung agar perilaku itu dapat diketahui dan dapat dilakuakn analisis.
1.2 Tujuan
A. Watching Bird
1. Melihat kepadatan populasi burung pada area perkebunan karet dan
sawit
2. Identifikasi morfologi jenis-jenis burung
B. Perilaku Primata
1. Melihat perilaku makan dan menyusui
2. Identifikasi morfologi jenis primata arboreal
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Ethologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan (animal
behavior) di lingkungan alami dan di lingkungan lain di mana hewan tersebut bisa
hidup. Hewan merupakan makhluk hidup yang selalu berinteraksi secara dinamis
dengan lingkungannya. Interaksi tersebut ditunjukkan perilaku yang terlihat dan
saling berkaitan secara individual maupun kolektif (Sukarsono, 2003).
Perilaku adalah aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus.
Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada
organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi
melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos =
manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia.
Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan
perilaku tersebut secara antropomorfik (Sukarsono, 2003).
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku
bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau
pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi
perilaku terjadi perdebatan antara pendapat yang menyatakan bahwa perilaku
yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh alami atau karena akibat
hasil asuhan atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus
berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku
disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga
terjadi suatu perkembangan sifat (Sukarsono, 2003).
2.2 JENIS-JENIS PERILAKU
Menurut Suin (2003), jenis - jenis perilaku dapat dibagi menjadi yaitu
perilaku tanpa mencakup susunan saraf dan perilaku yang mencakup susunan
saraf yaitu mencakup Perilaku bawaan, perilaku yang diperoleh dari belajar,
perilaku dengan menggunakan akal.
2.2. 1. Perilaku tanpa mencakup susunan saraf
Perilaku tanpa mencakup susunan saraf menurut sukarsono (2003),
yaitu sebagai berikut, Kinesis yaitu gerak pindah yang diinduksi oleh
stimulus, tetapi tidak diarahkan dalam tujuan tertentu. Meskipun demikian,
perilaku ini masih terkontrol. Tropisme yaitu orientasi dalam suatu arah
yang ditentukan oleh arah datangnya rangsangan yang mengenai
organisme, pada umumnya terjadi pada tumbuhan. Meskipun tropisme
menunjukan suatu perilaku yang agak tetap, tetapi tidak mutlak. Tetapi
tanggapan yang terjadi dapat berbeda terhadap intensitas rangsang yang
tidak sama. Misalnya : pada cahaya lemah terjadi fototropisme (+), tetapi
pada cahaya kuat yang terjadi fototropisme (-). Taksis yaitu gerak pindah
secara otomatis oleh suatu organisme motil (mempunyai kemampuan
untuk bergerak), akibat adanya suatu rangsangan. Perbedaan antara
tropisme dengan taksis adalah pada taksis seluruh organisme bergerak
menuju atau menjauhi suatu sumber rangsang, tetapi pada tropisme hanya
bagian organisme yang bergerak.
2.2.2. Perilaku yang mencakup susunan saraf.
Sedangkan perilaku yang mencakup susunan saraf menurut
Sukarsono (2003) yaitu sebagai berikut :
a.Perilaku bawaan atau naluri atau insting (instinct)
Perilaku terhadap suatu stimulus (rangsangan) tertentu pada suatu
spesies, biarpun perilaku tersebut tidak didasari pengalaman lebih dahulu,
dan perilaku ini bersifat menurun.
Hal ini dapat diuji dengan menetaskan hewan ditempat terpencil,
sehingga apapun yang dilakukan hewan-hewan tersebut berlangsung tanpa
mengikuti contoh dari hewan-hewan yang lain. Tetapi hal tersebut tidak
dapat terjadi pada hewan-hewan menyusui, karena pada hewan-hewan
menyusui selalu ada kesempatan pada anaknya untuk belajar dari
induknya.
Contoh:
1. Pada pembuatan sarang laba-laba diperlukan serangkaian aksi yang
kompleks, tetapi bentuk akhir sarangnya seluruhnya bergantung pada
nalurinya. Dan bentuk sarang ini adalah khas untuk setiap spesies,
walaupun sebelumnya tidak pernah dihadapkan pada pola khusus
tersebut.
2. Pada pembuatan sarang burung, misalnya sarang burung manyar
(Ploceus manyar). Meskipun burung tersebut belum pernah melihat
model sarangnya, burung manyar secara naluriah akan membuat sarang
yang sama.
Menurut Sukarsono (2003), untuk melakukan perilaku bawaan
kadang-kadang diperlukan suatu isyarat tertentu, isyarat tersebut disebut
release atau pelepas. Release (pelepas) ini dapat berupa warna, zat kimia
dll.
a) Release berupa warna, misalnya pada ikan berduri punggung tiga.
Selama musim berbiak biasanya ikan betina akan mengikuti ikan
jantan yang perutnya berwarna merah ke sarang yang telah
disiapkannya. Tetapi ternyata ikan betina akan mengikuti setiap
benda yang berwarna merah yang diberikan kepadanya. Dan benda
apapun yang menyentuh dasar ekornya, akan menyebabkan ikan
betina tersebut bertelur.
b) Release berupa zat kimia misalnya feromon. Feromon berfungsi
sebagai release pada berbagai serangga sosial seperti semut, lebah
dan rayap. Hewan-hewan tersebut mempunyai berbagai feromon
untuk setiap tingkah laku, misalnya untuk perilaku kawin, perilaku
mencari makan, perilaku adanya bahaya dll.
c) Release berupa bintang, Sauer seorang ornitolog dari Jerman
mencoba sejenis burung di Eropa (burung siul). Burung tersebut
yang masih muda pada musim gugur akan bermigrasi ke Afrika
terpisah dari induknya. Migrasi tersebut dilakukan pada malam hari
dengan bantuan navigasi bintang-bintang. Sauer memelihara
burung siul yang masih muda, pemeliharaannya tidak mudah
karena burung tersebut hanya memakan serangga yang masih hidup
dalam jumlah banyak. Bila musim gugur tiba, burung-burung
tersebut menjadi tidak tenang. Bila burung tersebut dibawa ke
dalam planetarium, melihat bintang-bintang maka burung tersebut
akan terbang ke arah tenggara, sepertinya bila di alam benas
burung tersebut menuju ke Afrika.
Dorongan berpindah pada musim gugur merupakan contoh perilaku
bawaan pada burung burung yang berulang-ulang pada interval tertentu.
Perilaku demikian disebut ritme atau periode, dan dapat berlangsung setiap
2 jam, 24 jam atau bahkan satu tahun. Banyak hewan yang mempunyai
ritme harian, seperti hewan nocturnal yang aktif setiap 12 jam sekali. Ritme
tersebut tidak akan persis sama, dapat bergeser satu jam kedepan atau satu
jam mundur. ritme yang demikian disebut circadian. Perilaku yang dapat
membedakan panjang relatif siang dan malam diatur oleh perubahan dalam
fotoperiode. Kemampuan bereaksi terhadap fotoperiode menunjukkan
bahwa hewan mempunyai mekanisme mengukur jumlah jam siang dan
jumlah jam malam atau salah satu diantaranya. Atau dengan perkataan lain
hewan tersebut mempunyai jam biologis (Sulin, 2003).
b. Perilaku Yang Diperoleh Dengan Belajar (Animal reasoning and
learning)
Perilaku yang diperoleh dengan belajar adalah perilaku yang diperoleh
atau sudah dimodifikasi karena pengalaman hewan yang bersangkutan yang
mengakibatkan suatu perubahan yang tahan lama dan dapat juga bersifat
permanen. Menurut Tinbergen (1983) Perilaku yang diperoleh dari belajar
yaitu sebagai berikut:
1) Kebiasaan (habituation)
Hampir semua hewan mampu belajar untuk tidak bereaksi terhadap
stimulus berulang yang yang telah dibuktikan tidak merugikan.
Fenomena ini dikenal sebagai kebiasaan (habituasi) dan merupakan
suatu contoh belajar sejati. Misal: membuat suara aneh dekat anjing,
pertama-tama hewan tersebut akan terkejut dan mungkin juga takut,
tetapi setelah lama dan merasa bahwa suara tersebut tidak berbahaya,
maka bila ada suara tersebut hewan tersebut tidak akan berreaksi lagi.
2) Perekaman (imprinting)
Lorenz (1930) menemukan semacam cara belajar pada burung
yang bergantung pada satu pengalaman saja. Hanya pengalaman ini harus
berlangsung tepat setelah telur burung tersebut menetas. Misal: Angsa
akan mengikuti benda bergerak pertama yang dilihatnya dan benda
tersebut dianggap sebagai induknya. Karena yang pertama dilihat adalah
Lorenz, maka dia dianggap sebagai induknya.
3) Reflex bersyarat
Pavlov (seorang ahli fisiologi) mempelajari sistem syaraf hewan
menyusui. Yaitu mempelajari reflex yang menyebabkan anjing
memproduksi air liur, dan menemukan bahwa melihat atau mencium bau
daging saja sudah menyebabkan anjing mengeluarkan air liur. Pavlov
mencoba rangsangan lain yang dapat menghasilkan tanggapan
mengeluarkan air liur, yaitu dengan bunyi bel. Pavlov menemukan bahwa
rangsangan pengganti harus datang sebelum rangsangan asli, supaya
tanggapannya berhasil dipindahkan. Juga semakin pendek jangka waktu
antara kedua rangsangan, semakin cepat reaksi itu melekat pada
rangsangan pengganti. Hal tersebut dapat juga terjadi pada ayam atau
merpati dengan tanda bunyi kentongan (kul-kul).
4) Metode coba-coba (trial & error learning)
Pada reflex bersyarat hewan belajar secara pasif, tetapi pada belajar
dengan mencoba-coba hewanlah yang lebih aktif. Hal tersebut terjadi
berdasarkan hasil percobaan karena mendapat upah atau hukuman atau
keduanya. Misalnya yang dilakukan Skinner dengan membuat sekat dalam
kotak yang akan mengeluarkan makanan bila ditekan. Tikus yang lapar
dimasukan ke dalam kotak. Dalam waktu singkat tikus dapat mengetahui
cara mendapatkan makanan tersebut. Dalam suatu kotak ada dua titik
cahaya, yang satu lebih terang dari yang lain. Bila yang terang dipatuk
pada bagian bawahnya akan keluar makanan. Merpati dengan cepat akan
mematuk cahaya yang lebih terang (Tinbergen, 1983).
c. Perilaku dengan menggunakan akal
Pada umumnya hewan mencoba memecahkan suatu masalah dengan
mencoba-coba. Selama ada motivasi yang memadai hewan itu mencoba
setiap alternatif dan secara bertahap, yaitu melalui kegagalan dan
keberhasilan yang berulang untuk belajar memecahkan masalahnya.
Pengujian perilaku dengan menggunakan akal tidak bergantung pada
cepatnya hewan belajar, tetapi bergantung pula pada tindakan hewan itu pada
waktu pertama menghadapi masalah. Misalnya kera mengambil ubi
(singkong) dengan dikencingi, burung gereja mencari minum dari kran air.
Pada umumnya dianggap bahwa suatu ciri yang membedakan hewan
dengan manusia adalah dari bahasanya. Banyak hewan yang memiliki
mekanisme pemberian isyarat yang mendekati ciri bahasa, misalnya pada
lebah dengan tariannya. Sedangkan Ann dan David meneliti simpanse betina
bernama Sarah dengan menggunakan simbol-simbol dari plastik sebagai
bahasa. Setelah 6 tahun, Sarah mempunyai perbendaharaan kata sekitar 130
buah. Penggunaan simbol-simbol yang dapat dimanipulasi sebagai pengganti
bahasa lisan itu, merupakan bukti kecakapan simpanse tetapi tidak mampu
mengeluarkannya. Sedangkan Garner menyelidiki kemampuan simpanse
betina bernama Washoe dengan menggunakan bahasa isyarat orang tuli di
Amerika Utara. Setelah 22 bulan, Washoe sudah memahami lebih dari 30
bahasa isyarat tersebut.(Tinbergen, 1983).
Walaupun kemampuan Sarah dan Washoe belum sempurna, tetapi
kemampuannya sama baiknya dengan kemampuan seorang anak berumur 2
tahun. (Tinbergen, 1983).
2.2.3. Perilaku Menghindari Predator
1. Perilaku Altruistik
Perilaku ini lebih mementingkan keselamatan kelompok daripada
dirinya sendiri. Misalnya Rusa (Muskoxen) di daerah tundra di Antartika,
bila tidak bisa melarikan diri dari predator (serigala) akan mengirimkan
bau dari jari kakinya yang disebut karre. Kera (Baboon) di Afrika bila ada
bahaya misalnya dengan datangnya singa atau leopard, maka akan
membentuk formasi kera yang yang tua, betina dan anak-anak ditengah
dikelilingi oleh kera-kera muda jantan. Sedangkan kera jantan yang
menjadi raja akan berusaha mengusir atau menyerang predator tersebut.
Induk ayam akan bersuara ribut sebagai tanda bahaya bila dilihat ada
burung elang yang datang, anaknya dipanggil untuk disembunyikan.
Semut yang sarangnya terganggu akan mengeluarkan feromon (asam
formiat) dari taringnya, untuk memberi tanda kepada semut-semut yang
lain, bila keadaan sudah reda asam formiat tidak dikeluarkan lagi dan
kembali lagi ke sarang (Rivas, 2005).
2. Kamuflase (penyamaran)
Yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Misalnya pada Burung Ptarmigan pada musim dingin berbulu putih,
dan pada musim panas bulunya berbintik membuat tidak menarik
perhatian karena warnanya sangat sesuai dengan lingkungan. Kupu-kupu
daun mati (Kallima) dari Amerika Selatan sayapnya sangat mirip dengan
daun yang dihinggapi sehingga dapat terhindar dari burung pemangsanya,
tetapi karena sangat mirip dengan daun maka kadang-kadang ada insekta
lain yang bertelur di atas sayapnya (Rivas, 2005).
3. Mimikri
Yaitu menyerupai hewan yang lain, dapat dibagi menjadi mimikri
Miller, mimikri Bates dan mimikri agresif (Rivas, 2005).
Mimikri Miller adalah hewan yang dapat dimakan sangat mirip dengan
hewan yang tidak dapat dimakan. Misalnya kupu-kupu pangeran tidak
mengandung racun dalam tubuhnya dan enak dimakan seperti roti bakar,
sangat mirip dengan kupu-kupu raja yang mempunyai racun dalam
tubuhnya (Rivas, 2005).
Mimikri Bates adalah hewan yang tidak berbahaya menyerupai hewan
lain yang berbahaya. Misalnya sejumlah ular di AS yang tidak berbahaya
memiliki warna seperti ular tanah yang sangat berbisa. Mimikri agresif
adalah mengembangkan alat untuk mengelabui mangsanya. Misalnya Ikan
anglerfish (Antennarius) dari Filipina mempunyai satu pemikat yang mirip
ikan kecil untuk memikat mangsanya, pemikat tersebut adalah
perkembangan dari duri pada sirip punggung pertama. Kunang-kunang
jantan dan betina saling tertarik dengan cahaya kelap-kelipnya, pola kelap-
kelip ini berbeda untuk setiap spesies. Tetapi ada suatu spesies kunang-
kunang betina yang dapat meniru kelap-kelip spesies yang lain, bila jantan
spesies yang lain itu datang akan dimakan (Rivas, 2005).
2.2.4 Perilaku sosial
Menurut Rivas (2005), perilaku yang dilakukan oleh satu individu atau
lebih yang menyebabkan terjadinya interaksi antar individu dan antar kelompok.
Perilaku Sosial bisa dibagi menjadi :
1. Perilaku Affiliative.
Adalah perilaku yang dilakukan bertujuan untuk mempererat ikatan
social, koordinasi antar individu dan kebersamaan antar atau di dalam
kelompok.
2. Perilaku Agonistic
Perilaku agonisnic yaitu terdiri dari Perilaku aggressive: Perilaku
yang bersifat mengancam atau menyeran dan Perilaku submissive:
Perilaku yang menunjukkan ketakutan atau kalah.
3. Vokalisasi
Adalah suara yang dikeluarkan oleh satu atau lebih individu untuk
berkomunikasi dan koordinasi diantara anggota kelompoknya.
4. Perilaku maternal / mothering
Perilaku induk yang bertujuan melindungi dan memelihara anaknya.
2.4.5 Perilaku Mempertahankan Wilayah
Menurut Rivas (2005), Perilaku mempertahankan wilayah ini terdiri dari
beberapa jenis yaitu sebagai berikut :
1. Home range. Merupakan suatu daerah bagi hewan-hewan pengembara,
tetapi bagi hewan tersebut daerah ini merupakan tempat yang tidak
dipertahankan.
2. Teritorial. Merupakan suatu daerah yang akan dipertahankan oleh hewan-
hewan dari serangan hewan-hewan lain dari spesies dan jenis kelamin
yang sama yang melintasi daerah tersebut.
3. Daerah pribadi (personal space). Seekor hewan juga menjaga daerah
sekitarnya yang disebut dengan daerah pribadi. Jika daerah ini dilanggar,
hewan tersebut akan memperlihatkan perilaku agresifnya atau menyerang
atau paling tidak memperlihatkan perilaku menyerang secara submisif
(bersikap tunduk), bergantung pada tingkat dominansinya dalam kelompok
tersebut. Daerah ini tidak perlu sama jauh dari seluruh tubuh, tetapi
biasanya dimulai dari kepala. Daerah pribadi ini bisa dianggap sebagai
sejenis daerah perjalanan yang bergerak bersama hewannya.
2.3 Perilaku Primata
Primata mempunyai tingkah laku makan yang khas, yaitu dapat
menggenggam makanan yang akan dimakan dan perkembangan sekum yang baik
sehingga meningkatkan kemampuan sistem digesti dalam mencerna makanan.
Primata memiliki naluri terhadap makanan yang perlu dimakan, dan hal ini
mempengaruhi tingkah laku makan mereka. Pada umumnya hewan primata adalah
omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan). Monyet Colobus di Afrika dan
monyet pemakan daun di Asia makanan pokoknya daun dan pucuk daun, tidak
menyukai serangga dan tak mau menjadi pemangsa. Jenis hewan primata yang
hidup di tanah seperti ‘Gelada’ makanan utamanya pucuk rumput dengan
suplemen daun, biji, dan umbiumbian. Makanan utama ‘Baboon’ mirip dengan
makanan ‘Gelada’, bedanya Baboon menyukai buah dan daging hewan(Napier,
1976).
Monyet cenderung suka memilih makanannya dan tidak tergantung secara
khusus pada bahan makanan tertentu. Gorila yang hidup di alam bebas sangat
vegetarian, tersedia 180 jenis tumbuhan yang dapat dijadikan makanan gorila[2].
Pada keadaan dikandangkan (dipelihara oleh manusia) gorilla dengan senang hati
memakan buah dan daging sapi yang dicincang. Meskipun demikian, tidak semua
hewan primata mampu beradaptasi dengan perubahan bahan makanan, terdapat
beberapa monyet yang sangat spesifik dalam diet dan tidak dapat dirubah dari
kebiasaan dietnya (Napier, 1976).
Makanan adalah sumber energi untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan
reproduksi hewan primata. Makanan yang tersedia di sekitar lingkungan hidup
primata tidak begitu saja dapat langsung digunakan untuk keperluan hidupnya.
Makanan tersebut harus diolah melalui serangkaian proses fisiologi, mulai dari
menelan (ingesti), mencerna (digesti), menyerap sari makanan (absorpsi), dan
pengeluaran sisa-sisa makanan (defekasi). Tingkah laku makan hewan primate
merupakan bagian dari proses ingesti atau proses memasukkan makanan dari
lingkungan luar ke dalam tubuh primata. Tingkah laku makan tersebut
dipengaruhi oleh ukuran tubuh, kondisi gigi, kondisi organ pencernaan,
ketersediaan sumber makanan, penggunaan indera penglihatan, pengetahuan
tentang bahan makanan, perubahan musim, sistem hierarki dan struktur social,
serta kepadatan populasi dan persaingan untuk memperoleh makanan (Tortora,
1987).
2.4 Perilaku Aves
Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap
lingkungannya dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti
terbentuknya struktur fisik. Setiap hewan akan belajar tingkah lakunya sendiri
untuk beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Satwa liar yang didomestikasi akan
mengalami perubahan tingkah laku yaitu berkurangnya sifat liar, sifat mengeram,
sifat terbang dan agresif, musim kawin yang lebih panjang dan kehilangan sifat
berpasangan (Tinbergen, 1983).
Tingkah laku pada tingkat adaptasi ditentukan oleh kemampuan belajar
hewan untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru.
Menurut Stanley dan Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan
belajar hewan ditentukan oleh sepasang atau lebih gen sehingga terdapat variasi
tingkah laku individu dalam satu spesies meskipun secara umum relatif sama dan
tingkah laku tersebut dapat diwariskan pada turunannya yaitu berupa tingkah laku
dasar.
Tingkah laku dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir
(innate behavior), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus,
perubahan pola tingkah laku dengan adanya kondisi lingkungan yang berubah dan
tingkah laku akibat mekanisme fisiologis seperti tingkah laku jantan dan betina
saat estrus (Tinbergen, 1983).
2.4.1 Tingkah laku Reproduksi Aves
Aves tergolong hewan diurnal yaitu melakukan aktivitas disiang
hari. Di alam bebas Aves menjelajahi hutan sendiri-sendiri (soliter) atau
bersama anaknya atau berpasangan pada saat musim kawin. Pada saat
musim kawin satwa ini bersifat nervous dan siap menyerang siapa saja yang
berada disekitarnya. Menjelang dan awal musim kawin, jantan mulai
mendekati betina dan pada saat ini sering terjadi perkelahian antar Aves
jantan dalam memperebutkan betina. Pertemuan jantan dan betina saat
musim kawin, umumnya di daerah teritori atau di areal tempat makan Aves
betina. Bila Aves betina telah menerima pejantan maka Aves jantan akan
mengikuti betina terus sehingga terlihat berpasangan, tetapi sebaliknya bila
betina menolak maka jantan akan diusir. Pengusiran ini lebih sering terjadi
pada saat diluar musim kawin. Aves betina umumnya lebih besar dari jantan
(Tinbergen, 1983).
Aves betina akan kawin dengan lebih dari satu kasuari jantan. Setelah
satu clatch peneluran, Aves betina akan meninggalkan pasangannya dan
akan mencari dan akan bercumbu dengan jantan lain sampai dibuahi pada
clutch peneluran berikutnya. Semakin tua Aves betina semakin luas
teritorinya, lebih banyak pasangannya dan lebih agresif saat bercumbu
sehingga turunannya lebih banyak (Tinbergen, 1983).
Aves jantan dan betina menduduki teritori tertentu pada saat bertelur.
Betina meletakkan 3-6 telur berwarna kehijauan dalam sarang yang terbuat
dari daun-daunan pada pangkal sebatang pohon, kemudian betina pergi ke
hutan meninggalkan sang jantan yang akan mengerami, menjaga dan
mempertahankan anak-anaknya dari predator. Selama kurang lebih 7
minggu jantan sibuk mengerami telur dan menjaga anaknya setelah
menetas. Jika pada waktu pengeraman ini terdapat gangguan atau ancaman
dari luar maka sang jantan akan segera lari ke hutan, berusaha mengalihkan
perhatian predator terhadap telur atau anak-anaknya yang berharga. Bagi
pejantan sendiri merupakan sasaran yang penampilannya menyolok karena
warnanya yang hitam kelam, sedangkan telur berwarna hijau dan anak Aves
bergaris garis coklat sehingga kemungkinan besar tidak akan terlihat oleh
predator. Anak akan tinggal bersama kedua induknya sampai umur sembilan
bulan sebelum mereka menjalani pola hidup soliter dan menduduki teritori
atauhome range sendiri (Tinbergen, 1983).
2.4.2 Tingkah Laku Makan.
Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh
makanan, yaitu (1) tetap berada ditempat dan makanan datang sendiri, (2)
berjalan untuk mencari makan dan (3) menjadi parasit pada organisme lain
(Arms dan Camp, 1979). Tingkah laku makan Aves seperti halnya tingkah
laku lainnya, dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis
makanan yang tersedia dan habitat. Faktor genetik seperti telah diuraikan
diatas. Faktor suhu lingkungan dapat mempengaruhi jumlah makanan yang
dikonsumsi. Pada suhu rendah, Aves akan menkonsumsi makanan lebih
banyak dari pada saat suhu lingkungan tinggi. Faktor jenis makanan yang
tersedia berpengaruh terhadap tingkah laku makan, terutama dalam
menggunakan anggota tubuhnya untuk mendapatkan, mengambil dan
memakan. Faktor habitat, baik insitu (alami) maupun eksitu (penangkaran)
mempengaruhi tingkah laku makan yang berbeda (Tinbergen, 1983).
Aves dalam mengkonsumsi makanan, mengambil makanan dengan
paruh, menjepitnya dan langsung menelannya tanpa mengalami
pengunyahan dalam mulut. Menurut Tinbergen, (1983) makanan Aves di
habitat alaminya berupa buah-buahan dan biji-bijian, serangga dan jaringan
tumbuh-tumbuhan serta hewan kecil seperti udang dan ikan yang diperoleh
dipinggiran sungai atau kali yang terdapat di hutan.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari bertempat di Taman Wisata Alam
Punti Kayu Palembang, Sumatera Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan saat praktikum adalah sebagai berikut :
3.2.1 Alat
1. Teropong
2. Kamera Digital
3. JPS
4. Peta
5. Camera Trap
6. Alat Tulis
3.2.2 Bahan
1. Kacang
3.3 Cara Kerja
1. Tentukan titik pengamatan dalam lajur transek
2. Dari lajur transek berjalan terus 1 Km ke arah timur ataupun barat.
3. Pengamatan dilakukan pada waktu pagi yaitu 07.00 sampai dengan 08.00
dan sore hari jam 16.00 sampai jam 17.00
4. Tentukan satu titik pohon sebagai patokan pengamatan dan gunakan
teropong dengan cara tiduran atau berdiri untuk melihat objek.
5. Pengamatan dilakukan yaitu dengan mengamati primata dan aves yang
meliputi interaksi sesama atupun interaksi terhadap organisme lainnya.
6. Objek yang diamati difoto dengan menggunakan camera digital.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1. Pengamatan Aves
No Jenis Jum
-lah
Warna
Utama
Bentuk Paruh Bentuk Kaki
1 Burung Gereja 11 Abu-abu Pemakan biji Bertengger
2 Burung
Kutilang
2 Abu-abu Pemakan biji Bertengger
3 Burung Striti 3 Hitam Pemakan biji Bertengger
4 Burung
Perkutut
2 Putih,
hitam
Pemakan biji Bertengger
2. Pengamatan Primata
No Jenis
Jum-
lah
Jenis
Makanan
Bentuk
Interaksi
Tipe
Pergera
kan
Warna
Tubuh
1 Monyet
Jantan
10 Kacang-
kacangan
dan roti
Mendekati
ketika ada
makanan,
marah
ketika
diganggu
dan
interaksi
kawin
Pergerak
an bebas,
berkelom
pok
Abu-
abu dan
putih
didada.
2 Monyet
Betina
6 Kacang-
kacangan
dan roti
Mendekati
ketika ada
makanan,
marah
ketika
diganggu,
Pergerak
kan
berkelom
pok dan
bebas
Abu-
abu dan
putih
pada
dada
menggendo
ng anak,
interaksi
kawin dan
berebut
Makanan
3. Monyet
Anakan
3 Masih
menyusu
pada
induknya
Memeluk
indknya dan
menyusu
pada
induknya.
Analisis data
Untuk jumlah unit perangkap yaitu ada 2 karena pada pengamatan dibagi
menjadi dua team yang mengamati sehingga itu kami anggap sebagai
perangkap.
1. Analisis Data Aves
(K) = Jumlah Individu Suatu Burung gereja
Jumlah Unit Perangkap
= 112
= 5,5
(K) = Jumlah Individu Suatu Burung kutilang
JumlahUnit Perangkap
= 22
= 1
(K) = Jumlah Individu Suatu Burung striti
JumlahUnit Perangkap
= 32
= 1,5
(K) = Jumlah Individu Suatu Burung perkutut
JumlahUnit Perangkap
= 22
= 1
4.2 Pembahasan
Pengamatan tingkah laku hewan dilakukan dengan cara pengamatan
langsung yaitu dihabitat aslinya, hewan yang diamati yaitu Primata dan Aves,
dengan hasil sebagai berikut :
a. Primata
pada pengamatan primata sampel yang diambil yaitu monyet, monyet yang
diamati ada tiga jenis yaitu monyet jantan, monyet betina dan monyet anakan.
Hal-hal yang berhasil diamati yaitu sebagai berikut :
1.Ciri Morfologi
Morfologi primata pada umumnya sama yaitu terdiri dari caput, cervix,
truncus dan caudal. Memiliki kelenjar susu dan daun telinga yang
merupakan ciri khas dari mamalia. Namun ada beberapa hal yang
membedakan pada setiap individunya yaitu seperti ukuran tubuh monyet
jantan lebih kecil daripada monyet betina. Warna monyet dewasa dan
anakan juga berbeda, pada monyet dewasa warna rambut pada tubuh yaitu
abu-abu dan putih pada dada, sedangkan warna rambut pada monyet anakan
yaitu hitam. Selain itu juga ada perbedaaan banyaknya rambut yang tumbuh
pada wajah, pada monyet betina lebih banyak rambut yang tumbuh pada
wajah jika dibandingkan dengan monyet jantan.
2. Makanan dan Cara Makan
Cara makan hewan ini yaitu dengan mencari dari pohon kepohon, namun
karena monyet yang kami amati tempat tinggalnya taman wisata jadi
monyet-monyet ini mendekati pengunjung yang membawa makanan.
Monyet ini akan terus mengikuti pengunjung yang membawa makanan.
Jenis makanan yang diberikan pada saat pengamatan yaitu kacang
dan roti, seluruh jenis monyet menyukai jenis makanan yang diberikan.
Menurut (Chivers, 1992), ketersediaan sumber makanan primate di
alam berbeda-beda, tergantung dari tempat tinggalnya. Primata harus
memilih makanan sesuai dengan bahan makanan yang tersedia. Pemilihan
makanan ini bertujuan untuk memperoleh makanan yang diperlukan oleh
tubuh primata, yaitu makanan yang mengandung karbohidrat, protein,
lemak, mineral, vitamin dan asam amino. Pada dasarnya primata itu
pemakan buah (frugivora), tetapi dalam memilih makanan dia harus
kompromi karena buah-buahan tersedia dalam jumlah terbatas dan tidak
selalu ada sepanjang tahun. Pada musim berbuah, buah tersedia melimpah,
tetapi pada musim tak berbuah hanya terdapat sedikit buah, bahkan ada
yang hanya berbuah pada musim berbuah saja. Pada musim tak berbuah
hewan primata mau tak mau harus makan daun, pucuk daun, bunga, dan
lain-lain.
Selain itu tingkah laku makan menurut Mills (2007) perilaku
makan juga dipengaruhi oleh aktivitas reproduksi. Betina yang sedang
hamil atau menyusui akan memakan lebih banyak makanan dan kadang-
kadang memakan tumbuhan yang tidak biasa dimakan. Betina sifaka
(Propithecus verreauxi ) yang sedang hamil atau menyusui memakan
tumbuhan yang banyak mengandung tannin seperti asam (Tamarindus
indica), Foetidia retusa, dan Cordyla dengan peningkatan berat badan dan
merangsang sekresi air susu. Peningkatan konsumsi tannin juga
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit bagi betina selama
masa kehamilan atau sehabis melahirkan. Pemberian makanan yang
mengandung vitamin A dosis tinggi kepada monyet betina yang sedang
hamil menyebabkan cacad pada janin (teratogenik). Vitamin A dosis tinggi
menyebabkan betina hypervitaminosis A sehingga kadar retynil asetatnya
yang tinggi disalurkan terhadap janin. Akumulasi retynil asetat pada hati
janin menyebabkan teratogenik (cacad pada janin).
3. Penggunaan indera penglihatan, penciuman dan indera peraba
Berdasarkan pengamatan alat indra yaitu berupa penciuman,
penglihatan, perabaan terlihat saat proses pengamatan. Pada saat
pemberian kacang, hewan ini meraba adan mencium dulu makanan yang
diberikan. Selain itu juga melihat kearah pemberi makanan seoalah-olah
ingin meminta makanan.
Menurut Napier (1976), Penggunaan indera penglihatan,
penciuman dan indera peraba dalam memilih makanan mempengaruhi
tingkah laku makan hewan primata. Penglihatan tidak terlalu berpengaruh
pada prosimian yang aktif di malam hari, mereka mencari makanan
dengan indera penciuman dan pendengaran yang tajam.
Anthropoidea, menggunakan penglihatan untuk memilih buah yang
matang dan daun yang muda. Penciuman anthropoidea tidak setajam
prosimian tetapi dapat mengetahui buah yang matang. Indera peraba
digunakan untuk membedakan tekstur buah. Sensor tingkah laku makan
primata datang dari dalam dan dari luar. Sensor dari dalam misalnya
kondisi sistem digesti primata, sedangkan sensor dari luar misalnya
pengaruh penglihatan warna, pengaruh bau dan bentuk fisik dari makanan.
Pengaruh sensori dari dalam dan dari luar menimbulkan rangsangan pada
primata untuk memakan makanan tersebut. Contoh pengaruh dari luar
yang datang pada indera penciuman yaitu buah yang matang dan harum
baunya. Bau harum dari buah adalah hasil fermentasi fruktosa yang
mengandung sedikit alkohol dan sangat merangsang primata friguvora
untuk memakan buah tersebut (Dominy, 2001).
4. Perilaku Kawin atau Reproduksi
Pada saat pengamatan kami berhasil mengamati hewan ini sedang
kawin, hal ini disuga memang masa-masa kawin. Proses perkawinan
hewan primata terjadi fertilisasi secara internal yaitu dengan organ
reproduksi yang terpisah antara betina dan jantan, jantan dan betina
memiliki alat kopulasi. Jantan memiliki penis dan betina memiliki vagina.
Pada saat kawin, primata jantan menaiki primata betina untuk
memasukkan sperma kedalam vagina primata betina. Proses ini hanya
terjadi beberapa detik saja.
b. Pengamatan Aves
untuk pengamatan aves berbeda dengan pengamatan primata dikarenakan,
kondisi habitat Aves ini sendiri yang tinggi, sehingga tidak bisa terlihat secara
kasat mata, jadi harus memerlukan alat bantuan yaitu berupa teropong.
Pengamatan ini dilakukan dua kali yaitu dipagi hari dan sore hari. Aktivitas Pagi
hari Aves yang berhasil kami amati yaitu pergi terbang meninggalkan sarangnya.
Namun ada pula beberapa jenis Aves yang kami jumpai sedang bertengger diatas
pohon yaitu jenis burung gereja dan perkutut. Sedangkan pada burung kutilang
dijumpai sedang bertengger dipohon yang sangat tinggi dan tidak lama kemudian
burung ini terbang. Begitu juga dengan burung sriti atau burng wallet.
Berdasarkan hasil pengamatandapat diketahui secara morfologinya yaitu Aves
yang diamati memiliki ciri paruh yaitu paruh pemakan biji, warna bulu yang
bervariasi dan bentuk kaki jenis bertengger.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
Perilaku adalah aktivitas suatu organisme akibat adanya stimulus. Ada
beberapa perilaku yang bisa diamati yaitu, perilaku makan, berinteraksi dengan
hewan lain atau bisa dikatakan perilaku sosial, perilaku kawin, perilaku
mempertahankan tempat tinggal dan lain-lain.
Dengan mengamati perilaku hewan kita bisa mengetahui kelimpahan dan
jenis pada suatu populasi tersebut yaitu dengan cara membagi antara jumlah
individu suatu spesies dan jumlah unit perangkap. Selanjutnya kelimpahan relatif
yaitun dengan cara membagi jumlah individu suatu jenis dengan jumlah individu
seluruh jenis dan di kali dengan 100 %. Dan dapat juga mengetahui frekuensi
relatif suatu populasi hewan-hewan tersebut.
5.2 Saran
Untuk pengamatan praktikum lapangan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar praktikum dapat berjalan dengan baik, terutama memperhatikan
alat dan bahan yang akan digunakan selain itu juga melakukan sesuai tujuan
praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Dominy, N.J., P.W.Lucas, D. Osorio, and N. Yamashita, 2001, The Sensory Ecology of Primate Food Perception, Evolutionary Anthropology, 116:337-386.
Chivers, D.J., 1992, Diet and Guts, pp.60-64, Cambridge University Press, Cambridge.
Hill, W.C.O., 1958, Pharynx, Oesophagus, Stomach, Small Intestine and Large Intestine, Part III, pp.139-207, Basel Publishers, New York.
Lambert, J.E., 1998, Primate Digestion, Evolutionary Anthropology, 7(1):8-20.
Napier, J.R., and P.H. Napier, 1976, Functionaln Morphology of Primates, Fifth Printing, Part I, Page 3-46.
Rice, Dan. 2009. The Complete Book Of Dog Breeding. Barronn’s Educational Series Inc. New York
Rivas, J. Snake Mating Systems, Behavior, and Evolution: The Revisionary Implications of Recent Findings. Journal of Comparative Psychology Copyright 2005 by the American Psychological Association 2005, Vol. 119, No. 4, 447–454. University of Tennessee, Knoxville.
Sukarsono. 2003. Pengantar Ekologi Hewan: Konesp Perilaku, Psikologi dan koman. UMM Press, Universitas Muhammadiyah Malang : Malang
Sulin, Nurdin Muhammad. 2003. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Bumi aksara : Jakarta.
Tinbergen. 1983. Perilaku Hewan. Life Inc. Jakarta.
Tortora, G.J., and N.P. Anagnostakos, 1987, Principles of Physiology, Harper and Row, Cambridge