Upload
dhosma-rainsiwon
View
13.058
Download
30
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan terjemahan dari Tissue culture. Tissue dalam
bahasa Indonesia adalah jaringan yaitu sekelompok sel yang yang mempunyai
fungsi dan bentuk yang sama, culture diterjemahkan sebagai kultur atau
pembudidayaan. Sehingga kultur jaringan diartikan sebagai budidaya jaringan/sel
tanaman menjadi tanaman utuh yang kecil yang mempunyai sifat yang sama
dengan induknya.
Street (1977) mengemukakan terminologi, plant tissue culture is generally
used for the aseptic culture of cells, tissues, organs, and their components under
defined physical and condition in vitro. Atau: Kultur Jaringan adala kultur aseptik
dari sel, jaringan, organ, atau bagian lain yang kompeten untuk dikulturkan dalam
komposisi kimia tertentu dan keadaan lingkungan terkendali.
Thorpe (1990) melanjutkan defenisi tersebut, plant culture/tissue
culture,also referred to as in vitro, aseptik, or sterile culture is an important tool
in both basic and applied studies as well as in commercial application. Artinya,
kultur jaringan dapat didefenisikan sebagai metode untuk mengisolasi bagian
tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ dan
menumbuhkannya dalam media yang tepat dan kondisi aseptik, sehingga bagian-
bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
lengkap.
Salah satu teknik bioteknologi yang sering digunakan adalah kultur sel dan
jaringan. Menurut Suryowinoto (1991) kultur jaringan dalam bahasa asing disebut
sebagai tissue culture, weefsel cultuus, atau gewebe kultur. Kultur adalah
budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi
yang sama.
Kultur jaringan digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur
organ ataupun kultur sel. Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang
berasal dari sel-sel yang terdispersi yang diambil dari jaringan asalnya, dari kultur
primer, atau dari cell line atau cell strain secara enzimatik, mekanik, atau
1
disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic akan diterapkan untuk jenis
kultur jaringan yang menggabungkan kembali sel-sel yang telah terdispersi
sedemikian rupa untuk membentuk kultur jaringan.
Kultur sel dan jaringan dapat digunakan pada hewan dan tumbuhan. Kultur
jaringan hewan merupakan suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan sel di
luar tubuh organisme. Lingkungan sel dibuat sedimikian rupa, sehingga
menyerupai lingkungan asal dari sel yang bersangkutan. Sel yang dipelihara bisa
berupa sel tunggal (kultur sel), sel di dalam jaringan (kultur jaringan), maupun sel
di dalam organ (kultur organ) (Listyorini, 2001). Teknik pembuatan kultur primer
pada kultur sel, jaringan, dan organ hewan pada dasarnya sama. Sel, jaringan, atau
organ hewan diambil dari tubuh hewan dan mulai dipelihara di dalam kondisi in-
vitro. Selama di dalam kultur primer semua kebutuhan sel baik sebagai sel tunggal
(kultur sel), sebagai bagian dari jaringan (kutur jaringan), maupun sebagai bagian
organ (kultur organ) harus dipenuhi agar sel dapat hidup dan menjalankan fungsi
normalnya.
Kultur jaringan pada tumbuhan merupakan salah satu teknik perbanyakan
tumbuhan yang menggunakan sel atau organ atau jaringan tumbuhan Kultur
jaringan pada suatu tumbuhan merupakan suatu cara membudidayakan suatu
jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya (Hendaryono, 1994).
2.2 Tujuan dan Manfaat Kultur Jaringan
a. Pengadaan bibit
Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang
menentukankeberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa
mendatang.Pengadaan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi secara
besar-besaran dalam waktu yang akancepat akan sulit dicapai dengan perbanyakan
melalui teknik konvensional. Pengadaanbibitmembantumemperbanyak tanaman
(menyediakan bibit), khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan
secara generatif.Keunggulan bibit hasil kultur jaringan, antara lain:
- identik dengan induknya
- massal & hemat tempat
2
- waktuyangrelatifsingkat
- lebih seragam
- mutu bibit lebih terjamin
- kecepatan tumbuh bibit lebih cepat
Gambar 2.1 Bibit Jati Hasil dari Kultur Jaringan
b. Menyediakan bibit bebas virus/penyakit
Banyak virus yang tak menampakkan gejalanya, namun bersifat laten, dan
akan dapat mengurangi vigor, kualitas dan kuantitas produksi. Virus dalam
tanaman induk merupakanmasalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman
hortikultura secara konvensional. Morrel &Martin (1952) menemukan bahwa
pada daerah meristem Martin (1952) menemukan bahwa pada daerah meristem
apikal, ternyata kandungan virusnya paling rendah bahkan tidak ada. Hal ini
mungkin karena virus bergerak melalui sistem pembuluh, sedang daerah tersebut
belum ada sistem pembuluhnya, selain itu aktivitas metabolisme tinggi pada
daerah tersebut tidak mendukung replikasi virus, juga konsentrasi auksin yang
tinggi menghambat multiplikasi.
c. Membantu program pemuliaan tanaman
Dengan kultur jaringan dapat membantu program pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik melalui :
Keragaman Somaklonal, Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro,
Fusiprotoplas, Transformasi Gen /Rekayasa Genetika Tanaman dll.
3
d. Membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah
Dilakukandengan konservasi in vivo dalam bentuk penyimpanan biji dan
tanaman hidup (Kebun Raya), preservasi in vivo dengan cara menyimpan biji.
Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
pertumbuhan minimal (minimal growth) dan kriopreservasi.Untuk biji ortodoks
dalam ruang dengan temperatur dan kelembaban yang terkendali. Masalahnya
pada biji rekalsitran (apalagi yang ukuran bijinya besar); perlu secara kultur
karingan, yaitu sel-sel kompeten (mampu beregenerasi) disimpan dalam
temperatur rendah dan dibekukan dalam cairan nitrogen (Kriopreservasi). Adapun
penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan suatu lembaga
(BSJ) terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam.
Gambar 2.2 Kebun Raya Bogor
e. Memproduksi senyawa kimia untuk farmasi, industri makan dan
industri kosmetik
Sel-sel tanaman yang dapat memproduksi senyawa tertentu, ditumbuhkan
dalam bioreaktor besar. Misalnya untuk produksi senyawa antibiotik dari suatu
jenis fungi. Senyawa hasil tersebut bisa didapatkan dari hasil sintesis lengkap;
juga dapat merupakan hasil transformasi oleh enzim dalam sel tanaman. Misalnya
pewarna merah untuk lipstik dari tanaman, yang disebut dengan biolips (prod.
Kosmetik Kanebo).
2.3 TahapanPerbanyakanTanamandenganKulturJaringan
Secara umum, tahapan yang dilakukandalam perbanyakan tanaman
denganteknik kultur jaringan adalah:
4
1. Pembuatan Media
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakandengan kultur
jaringan. Komposisi media yangdigunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akandiperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri darigaram mineral,
vitamin, dan hormon. Selain itu,diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, danlain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yangditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupunjumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur
jaringanyang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkanpada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yangdigunakan juga harus disterilkan dengan
caramemanaskannya dengan autoklaf.
Macam media:
Ada dua penggolongan media tumbuh: mediapadat dan media cair.Media
padat pada umumnya berupa padatangel, seperti agar. Nutrisi dicampurkan pada
agar.Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air.Media cair dapat bersifat
tenang atau dalamkondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan.
2. Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan/inokulum dari bagian tanaman yang
akandikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untukkegiatan kultur
jaringan adalah tunas.Inokulum dapat diambil dari potongan yangberasal dari
kecambah atau jaringan tanaman dewasa yang mengandung jaringan meristem.
Gambar 2.3 Tahap Inisiasi
5
3. Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatandalam kultur jaringan harus
dilakukan ditempatyang steril, yaitu di laminar flowdan menggunakan alat-alat
yang jugasteril. Sterilisasi juga dilakukan terhadapperalatan, yaitu menggunakan
etanol yangdisemprotkan secara merata padaperalatan yang digunakan. Teknisi
yangmelakukan kultur jaringan juga harussteril.
4. Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatanmemperbanyak calon tanaman
denganmenanam eksplan padamedia. Kegiatanini dilakukan di laminar flow
untukmenghindari adanya kontaminasi yangmenyebabkan gagalnya
pertumbuhaneksplan. Tabung reaksi yang telahditanami ekplan diletakkan pada
rak-rakdan ditempatkan di tempat yang sterildengan suhu kamar.
Gambar 2.4 Tahap Multipikasi
5. Pengakaran
Fase dimana eksplan akanmenunjukkan adanya pertumbuhan akar
yangmenandai bahwaproses kultur jaringan yangdilakukan mulai berjalan
denganbaik. Pengamatan dilakukansetiap hari untukmelihat pertumbuhan dan
perkembangan akarserta untuk melihat adanya kontaminasi olehbakteri ataupun
jamur. Eksplan yangterkontaminasi akan menunjukkan gejala sepertiberwarna
putih atau biru (disebabkan jamur)atau busuk (disebabkan bakteri).
6
Gambar 2.5 Pengakaran Kultur Jaringan
6. Aklimatisasi
Kegiatan memindahkaneksplan keluar dari ruangan aseptic ke kultur
potatau bedeng. Pemindahan dilakukan secarahati-hati dan bertahap, yaitu
denganmemberikan sungkup. Sungkup digunakanuntuk melindungi bibit dari
udara luar danserangan hamapenyakit karena bibit hasil kulturjaringan sangat
rentan terhadap serangan hamapenyakit dan udara luar. Setelah bibit
mampuberadaptasi dengan lingkungan barunya makasecara bertahap sungkup
dilepaskan danpemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yangsama dengan
pemeliharaan bibit generatif.
Gambar 2.6 Aklimatisasi jati muna hasil kultur jaringan
7
2.4 Laboratorium Kultur Jaringan
Pertumbuhan eksplan dalam kultur jaringan diusahakan dalam
lingkungan yang aseptik danterkendali. Laboratorium yang efektif
merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keberhasilan
pekerjaan, baik untuk penelitian, mau-pun produksi. Laboratorium sebaiknya
dibangun di daerah yang udaranya bersih, tidak banyak debu dan polutan.
Bangunan laboratorium kultur jaringan sebaiknya mempunyai pembagian ruangan
yang diatur sedemikian rupa sehinggatiap kegiatan terpisah satu dengan yang
lainnya, tetapi mudah saling berhubungan dan mudah dicapai.
Pembagian ruangan laboratorium kultur jaringan berdasarkan kegiatan-
kegiatannya adalah sebagai berikut :
a. Ruang Analisa
b. Ruang persiapan/preparasi
c. Ruang transfer/tanam
d. Ruang kultur/inkubasi
e. Ruang stok/media jadi
f. Ruang timbang/bahan kimia
a. Ruang Analisa
Ruangan ini biasanya digunakan untuk tempat menganalisis, mengamati
dan mendiskusikan hasil perlakuan terhadap eksplan yang telah ditanam
terdahulu. Hasil perlakuan yang telah dilakukan terhadap eksplan tertentu
perlu diamati untuk melihat perbedaannya dan untuk membandingkannya
dengan keadaan awal eksplan sewaktu ditanam. Oleh sebab itu dibutuhkan
alat-alat dan ruangan untuk analisa lebih lanjut.
Alat-alat dan bahan yang diruangan analisa, antara lain adalah 1) Gambar
– gambar informasi tentang kultur jaringan, 2) Bahan – bahan media (di dalan
lemari), 3) Alat – alat yang dibutuhkan untuk pengamatan hasil kultur jaringan
(milimeter blok, jangka sorong, mistar) biasanya disimpan di lemari. Di dalam
ruangan ini umumnya terdapat :
- Mikroskop
- Objek glass dan cover glass
8
- Mikrotom dan perlengkapannya
- Loupe
Gambar 1.1 Mikrotom
Untuk kebutuhan yang lebih tinggia atau canggih, alat-alat yang
berhubungan dengan pengamtan DNA juga dperlukan sperti : inkubator atau
water bath , lemari es, sentrifuge, elektroforesisi, pipetmikro dengan berbagai
ukuran, eppendorf 1,5 ml dan 25µl,ujung tip dengan berbagai ukuran dan
perlengkapan pengamatan (larutan etidium bromide), kamera foto folaroid tipe
tertentu atau komputer yang dilengkapi dengan kamera khusus untuk pengamatan
DNA (Harahap,2013).
b. Ruang Persiapan
Ruangan sterilisasi adalah ruangan tempat dimana seluruh alat kultur
jaringan dibersihkan. Sebalikya rungan sterilisasi dibagi menjadi dua bagian, yaitu
ruangan pertama untuk mensterilkan alat-alat yang tidak terkontaminasi dan ruang
kedua digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang terkontaminasi. Untuk
mensterilkan alat yang tidak terkontaminasi alat yang dibutuhkan dalam ruangan
ini adalah westafel dan autoklaf.
Untuk mensterilkan alat-alat atau botol yang terkontaminasi haruslah
dipisahkan ruangan dan peralatan yang digunakan. Pada laboratorium berskala
besar, ruanagn ini dilemgkapi denngan autoklaf yangn khusus digunakan unutk
9
mensterilkan botol yang terkontaminasi, jadi botol-botol yang berisi tanaman yang
terkontaminasi terlebih dahulu di autoklaf sebelum dicuci secara bersih di
westafel.
Jika kita tidak memiliki autoklaf dalam jumlah banyak, kondisi ini dapat
diatasi dengan cara memisahkan tempat dan alat pencucian botol terkontaminasi
denngan botol yang tidak terkontaminasi. Pengalaman menunjukkan botol
terkontaminasi harus dicuci 2 kali untuk memastikan botol benar-benar bersih
sbelum dilanjutkan dengan mengautoklafnya.
Pembagian ruangan sterilisasi dapat juga dengan cara sebagai berikut :
- Kamar mandi, digunakan untuk tempat pencucian botol yang
terkontaminasi.
- Ruangan yang memiliki westafel, tempat pencucian alat-alat yang
bersih.
Ruang ini dipergunakan untuk mempersiapkan media kultur dan
bahan tanaman yang akan dipergunakan, sebagai tempat mencuci alat-alat
laboratorium, dan tempat untuk menyimpan alat-alat gelas. Sesuai dengan
fungsinya, maka di-ruangan ini terdiri dari :
Hot plate dengan magnetic stirer
Oven
Pengukur pH, dapat berupa pH meter, atau kertas pH indikator
Autoklaf
Kompor gas
Tempat cuci
Labu takar, gelas piala, erlenmeyer, pengaduk gelas, spatula,
petridish, pipet, botol kultur, pisau scapel.
10
Gambar 2.7 Autoklaf
c. Ruang Transfer/Tanam
Ruang transfer merupakan ruang di mana pekerjaan aseptik dilakukan.
Dalamruangan ini dilakukan kegiatan isolasi tanaman, sterilisasi dan penanaman
eksplandalam media. Ruangan ini sedapat mungkin bebas dari debu dan hewan
kecil, sertaterpisah dan tersekat dengan ruangan lain. Penggunaan AC
sangat dianjurkan dalamruangan ini. Ruang transfer dilengkapi peralatan sebagai
berikut :
Laminar air flow cabinet, bisa juga enkas
Alat-alat diseksi; pisau bedah/scapel, pinset, spatula, dan
gunting.
Hand sprayer yang berisi alkohol 70 %
Lampu bunsen
Gambar 2.8 Laminar Air Flow
11
Ruangan ini harus berhubungan dengan ruangan kultur, karena setelah
penanaman, maka botol berisi tanaman dibawa ke ruang kultur. Juga harus
berhubungan dengan ruang preparasi, untuk kemudahan pengangkatan botol berisi
media, alar tanam dan yang lainnya. Ruangan ini juga harus verhubungan dengan
ruanga analisa, untuk keperluan pengamatan mikroskopis. Ruanngan ini
senantiasa dibersihkan dengan dengan desinfektan seperti karbol. Idealya
ruangan-ruangan di dalam laboratorium hendaknya saling berhubungan
(Harahap,2013).
d. Ruang Kultur/Inkubasi
Merupakan ruang yang paling besar dibanding dengan ruangan yang
lain. Ruangan ini harus dijaga kebersihannya dan sedapat mungkin dihindari
terlalu banyak keluar masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan.
Ruangan ini berisi rak-rak kultur yang berfungsi untuk menampung botol-
botol kultur yang berisi tanaman. Rak ini juga dilengkapi dengan lampu-
lampu sebagai sumber cahaya bagi tanaman kultur. Selain rak kultur, ruang
kultur juga harus dilengkapi dengan AC, pengukur suhu dan kelembapan,
serta timer yang digunakan untuk menghidup-kan dan mematikan lampu
secara otomatis.
12
Gambar 2.9 Ruang Kultur
Cahaya yang digunakan sebagai penerangan, sebaiknya cahaya
putih yang dihasilkan dari lampu flourescent. Lampu flourescent dipakai
karena sangat baik dan sangat efisien dalam penggunaan energi bila
dibanding dengan lampu pijar. Karena pada lampu pijar, hampir 90 %
merupakan energi panas, sehingga mem-pengaruhi ruangan.
Intensitas cahaya yang baikdarilampuflourescentadalah antara 100
– 400 ftc (1000 – 4000 lux). Intensitas cahaya dapat diatur dengan
menempatkan jumlah lampu dengan kekuatan tertentu.
Lampu yang digunakan bisa berupa lampu TL dengan daya 15 watt
atau 40 watt,tergantung panjang rak yang dibuat. Jarak antar rak 30 – 35
cm. Sebaiknya travo pada lampu TL dipasang terpisah dari box, (lebih
baik kalau dipasang di luar ruangkultur), karena dapat membakar tanaman
kultur dan membuat suhu ruang menjadipanas.
Selain lampu TL, lampu SL juga dapat dipakai. Pemakaian lampu
ini dapat meng-hemat biaya listrik, juga lebih terang. Tinggi rak yang
dibuat antara 50 – 60 cm. Dalam satu bidang rak dapat memakai 2 atau 3
lampu SL daya 5 – 10 watt tergantung ukuran panjang rak.
Panjang penyinaran/lama penyinaran yang dibutuhkan oleh tiap
tanaman berbeda-beda. Berapa lama penyinaran harus diberikan,
tergantung pada jenis tanaman dan respon yang diinginkan. Ada
kultur yang membutuhkan waktu pe-nyinaran yang terusmenerus, ada
yang 14 – 16 jam/hari, ada yang 10 – 12 jam/hari. Rata-rata waktu
penyinaran yang efektif adalah 12 – 16 jam/hari.
13
Suhu ruang kultur diatur pada suhu 25 – 28o C. Pada suhu yang
terlalu dingin, kulturkadang tidak berkembang dengan baik, begitu juga
jika suhu ruang kultur terlalupanas, maka jamur dan bakteri akan
berkembang biak dengan cepat dan tanaman menjadi layu.
Gambar 2.10 Penampang rak kultur bila memakai lampu SL
Gambar 2.11 Penampang rak kultur bila memakai lampu TL
Ruang stok/media jadiRuangan ini berfungsi sebagai ruang untuk menyimpan media tanam
yang sudah di autoklaf. Ruang stok sebaiknya dingin dan gelap, serta
kebersihannya harus dijaga. Media tanam akan diinkubasi pada ruang ini selama 3
hari sebelum digunakan. Hal ini untuk mengetahui kondisi media tanam apakah
steril atau ter-kontaminasi jamur/bakteri. Apabila media terkontaminasi,
sebaiknya segera dikeluar-kan dan diautoklaf selama 1 jam pada tekanan 0.14
Mpa.
14
Gambar 2.12 Denah lengkap ruangan laboratorium kultur jaringan
e. Ruang Timbang/Bahan KimiaRuang ini berisi stok bahan-bahan kimia, timbangan analitik,
magnetik stirer dan lemari es. Semua kegiatan penimbangan bahan kimia
dan pembuatan larutan stok dilakukan di ruangan ini.
15
Gambar 2.13 Ruang Timbangan
Berikut skema laboratorium kultur jaringan yang mempunyai 5
ruang sesuai dengan tahapan dan fungsinya masing-masing :
Sedangkan pada laboratorium sederhana, ruang tanam, ruang
kultur dan ruang stok media dapat digabung menjadi satu ruangan.
Sedangkan ruang preparasi /per-siapan dapat digabung dengan ruang
bahan kimia (seperti dalam gambar di bawah). Dari 2 ruangan ini, ruang
tanam + kultur harus memakai AC. Untuk daerah yang bersuhu dingin,
tanpa memakai AC tidak ada masalah.
16
Gambar 2.14 Denah sederhana ruangan laboratorium kultur jaringan
2.5 Proses Sterilisasi Alat
Sterilisasi adalah segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di
tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga
steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol
yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang
melakukan kultur jaringan juga harus steril. Peralatan yang kami gunakan yaitu
petridish yang berfungsi untuk media pemotongan hasilnya steril karena dalam
17
mensterilisasi sesuai petunjuk. Alat yang kedua yaitu botol kultur yang berfungsi
untuk menaruh penanaman eksplan hasilnya juga steril karena sangat hati-hati
dalam melakukan sterilisasi. Peralatan yang ketiga yaitu Erlenmeyer yang
berfungsi untuk pencucian,hasilnya juga steril karena dalam melakukan
pensterilan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menjaga kondisi lingkungan
tetap steril. Peralatan yang keempat yaitu scalpel yang berfungsi untuk memotong
eksplan,hasil alat tersebut juga steril karena praktikan dalam melakukan sterilisasi
selalu dalam keadaan steril dan berhati-hati. Peralatan yang ke lima yaitu pinset
yang berfungsi untuk mengambil eksplan,hasil alatnya juga steril karena dalam
melakukan pensterilan dilakukan sesuai petunjuk dan keadaan lingkungan serta
praktikan steril sehingga tidak ada bakteri yang masuk. Peralatan yang ke enam
yaitu aluminium foil yang berfungsi untuk membungkus botol kultur,hasilnya alat
tersebut juga steril karena praktikan menggunakan dengan hati-hati dan cermat.
Salah satu faktor penentu keberhasilan kultur jaringan adalah tahap
sterilisasi. Kegiatan sterilisasi ini meliputi pada:
a. Sterilisasi pada lingkungan kerja.
b. Sterilisasi pada alat-alat dan media tanam.
c. Sterilisasi bahan tanaman (eksplan).
Kegiatan sterilisasi ini sangat penting untuk dilakukan, karena kontaminasi
pada kultur jaringan dapat berasal dari:
Eksplan, baik kontaminasi eksternal maupun internal.
Organisme kecil yang masuk ke dalam media, seperti semut.
Botol kultur atau alat-alat yang kurang steril.
Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor.
Kecerobohan dalam bekerja.
Dalam sterilisasi bahan tanaman, hal yang penting yang harus mendapat
perhatian adalah; bahwa sel tanaman dan kontaminan adalah sama-sama benda
hidup. Kontaminan harus dihilangkan tanpa mematikan sel tanaman.
Beberapa jenis bahan disenfektan yang dapat digunakan untuk sterilisasi
bahan tanaman :
18
No Bahan Konsentrasi Lama perendaman
1 Kalsium hipoklorit 1 – 10 % 5 – 30 menit
2 Natrium hipoklorit 1 – 2 % 7 – 15 menit
3 Hidrogen peroksida 3 – 10 % 5 – 15 menit
4 Perak nitrat 1 % 5 – 30 menit
5 Merkuri klorit (HgCl2) 0.1 – 0.2 % 10 – 20 menit
6 Bethadine 2.5 – 10 % 5 – 10 menit
7 Fungisida 2 g/l 20 – 30 menit
8 Antibiotik 50 – 100 mg/l ½ - 1 jam
9 Alkohol 70 % 1 – 10 menit
10 Bayclin/sunclin 5 – 30 % 5 – 25 menit
Bahan-bahan sterilisasi ini pada umumnya bersifat toxic/racun terhadap
jaringan tanaman. Pembilasan yang berkali-kali sesudah perendaman eksplan di
dalam larutan bahan streilisasi, sangat diperlukan untuk menghilangkan sisa-sisa
bahan aktif yang masih menempel dipermukaan bahan tanaman.
Dalam sterilisasi, kadang-kadang digunakan dua atau lebih bahan
sterilisasi. Misalnya; perendaman dalam alkohol dulu, kemudian dalam bayclin,
setelah itu bilas dengan air steril. Dapat juga perendaman di mulai dengan larutan
fungisida atau antibiotik, kemudian baru HgCl2dan dibilas dengan air steril.
Prosedur mana yang efektif, harus ditentukan melalui percobaan pendahuluan.
Sterilisasi bahan tanaman dimulai dengan pencucian dan pembuangan
bagian-bagian yang kotor dan mati di bawah pancuran air bersih. Pencucian dapat
dilakukan dengan penyikatan menggunakan detergent halus. Kadang-kadang
bahan yang sudah bersih dibiarkan dibawah pancuran air selama 30 menit. Hal ini
dilakukan untuk memecah koloni kontaminan yang masih menempel dipermukaan
agar koloni tersebut lebih peka terhadap bahan-bahan sterilisasi. Juga untuk
mengurangi dan menghilangkan senyawa fenol, terutama pada tanaman yang
kandungan fenoliknya tinggi.
19
Bahan yang sudah bersih dikecilkan sampai ukuran tertentu. Ukuran ini
harus lebih besar dari ukuran eksplan yang direncanakan. Bahan kemudian
direndam dalam larutan fungisida/antibiotik. Setelah waktu perendaman tercapai,
bahan dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian bawa masuk ke dalam laminar. Di
dalam laminar eksplan direndam dalam alkohol 70 % selama 1 – 2 menit, dan
dibilas dengan air steril sekali. Kemudian rendam eksplan dalam larutan bayclin
20 % + tween-20 2 tetes selama 10 menit. Tween-20 ini berfungsi sebagai
perekat. Setelah waktu pe-rendaman tercapai, eksplan dibilas dengan air steril 3 –
5 kali selama 5 menit untuk tiap-tiap pembilasan dan letakkan di dalam petridish
yang dialasi tissue steril. Bila semua prosedur sudah dilakukan, berarti bahan
tanaman sudah siap di tanam pada media kultur.
Prosedur sterilisasi dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, seperti :
1. Fungisida – alkohol – bayclin – bayclin – aquades steril
2. Alkohol – bayclin – bayclin – aquades steril
3. HgCl2 – alkohol – aquades steril
4. Fungisida – bayclin – bayclin – bayclin – aquades steril
1. Sterilisasi alat – alat gelas
Botol kultur biasanya kecil potensinya sebagai penyebab kontaminasi,
karena selalu diautoklaf dengan media. Alat gelas lain dapat disterilisasi dengan
beberapa cara, misalnya ekspos ke radiasi UV, penggunaan larutan desinfestasi
atau lebih mudah dengan mengautoklaf atu dengan pemanasan dalam oven pada
180oC selama minimal 3 jam. Alat – alat plastik seperti polypropylene atau
polycarbonate mesti disterilisasi dengan autoklaf karena mereka tidak tahan panas
kering pada 180oC. Wadah plastic dapat digunakan berulangkali; karena mereka
tahan diautoklaf berulangkali tapi akhirnya menjadi sedikit mengkerut (brittle).
Untuk sterilisasi panas kering (dalam oven), peralatan seperti scalpel,
gunting dan forsep, petri dish, beaker dll, dapat dibungkus dengan kertas atau
aluminium foil terlebih dahulu sebelum diautoklaf. Kertas yang diautoklaf
kemudian dikeringkann dengan cara meletakkan pada oven dengan suhu 60 –
70oC atau di dalam laminar air flow cabinet sebelum digunakan.
20
2. Teknik Sterilisasi – manipulasi bahan tanaman
Sumber utama kontaminan adalah spora jamur dan bakteri yang
membentuk bagian alami dari atmosfer. Dapat diasumsikan bahwa agen
kontaminasi ada dimana – mana, misalnya pakaian, kulti, rambut dan nafas si
operator, jaringan tanaman, peralatan, bagian luar wadah kultur, permukaan
tempat kerja, dan banyak lagi. Udara steril di dalam laminar air flow cabinet
memungkinkan kita untuk dengan mudah membuka wadah kultur dan bekerja
secara steril.
Peralatan dapat disterilisasi dengan mencelupkan pada alcohol 70 – 80%
yang diikuti dengan pembakaran (flaming) menggunakan Bunsen burner atau
lampu spiritus. Bleach dapat juga digunakan sebagai alternatif untuk
mensterilisasi peralatan dengan alcohol. Larutan klorin encer (0.1 – 0.25% klorin)
dapat digunakan. Peralatan harus stainless steel, karena bahan lain akan berkarat
dengan cepat jika direndam dalam bleach.
Secara ringkas langkah berikut mesti dilakukan jika melakukan kegiatan
kultur jaringan:
1. Semprot atau usap baigan dalam laminar flow cabinet dengan 70% etil
atau isopropyl alcohol sebelum menghidupkan cabinet. Alcohol 70%
penting dinguankan, absolute alcohol (95%) tidak membunuh mikroba)
2. Hidupkan cabinet. Jika anda menggunakan lampu UV pastikan anda
sudah mematikannya sebelum meletakkan bahan tanaman di dalam
cabinet.
3. Semprot semua wadah dan bahan dengan ethanol 70% sebelum
meletakkannya dalam cabinet.
4. Cuci tangan dan lengan dengan sabun dan air dan usap dengan 70%
ethanol sebelum mengambil tanaman. Penting dicatat bahwa ethanol
memiliki efek residual; karenanya sebaiknya menggunakan Hexifoam
(desinfektan untuk kulit).
5. Jika menggunakan api, berhati-hatilah
6. Atur ruang kerja dalam cabinet sehingga tidak banyak gerakan tangan
menyilang di dalam cabinet.
21
7. Jika bahan tanaman jatuh ke permukaan cabinet, anggap terkontaminasi
dan buang
8. Setelah selesai mentransfer kultur, matikan cabinet, semprot atau usap
dengan 70% ethanol dan tutup cabinet.
Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara:
1) Sterilisasi dengan pembakaran
Alat-alat yang terbuat dari logam dapat disterilkan dengan cara
memanaskan atau membakar di atas lampu spirtus.
2) Sterilisasi dengan udara panas/kering
Alat-alat dari gelas seperti cawan petri, erlenmeyer, tabung piala, botol
eksplan, tabung reaksi dan sebagainya dapat disterilkan dengan udara panas
(oven) pada suhu 130 – 160o C selama 1 – 2 jam. Alat alat ditata tidak terlalu
rapat agar sirkulasi udara antar tumpukan alat dapat berjalan lancar, sehingga
semua alat dapat disterilkan dan dapat dengan mudah dijaga kesterilannya
saat dikeluarkan dari alat sterilisasi.
3) Sterilisasi dengan uap panas (basah)
Bahan atau alat dapat disterilkan dengan uap panas atau secara basah pada
uap panas biasa atau uap panas dengan tekanan tinggi, secara terus menerus
(kontinyu) atau secara terputus putus (diskontinyu), khususnya medium pada
suhu atau tekanan yang rendah. Untuk sterilisasi dengan cara ini sering kali
menggunakan otoklaf. Sterilisasi medium biasanya dilakukan pada suhu
121oC dengan tekanan 1 atm selama 15-30 menit, namun untuk medium yang
tidak mudah rusak dapat dilakukan pada suhu atau tekanan yang sedikit lebih
tinggi.
4) Sterilisasi dengan bahan kimia
Bahan kimia tertentu sering digunakan untuk sterilisasi alat maupun
bahan. Etanol 70% sering digunakan untuk sterilisasi permukaan pada alat
yang sering dikombinasi dengan pembakaran pada api. NOCl (natrium
hipoklorit) dan formalin juga sering digunakan untuk sterilisasi permukaan
atau disinfestasi permukaan atau disinfeksi permukaan.
5) Sterilisasi lingkungan kerja
22
Lingkungan kerja untuk teknik kultur jaringan dapat dibagi atas
lingkungan umum dan lingkungan spesifik. Lingkungan umum adalah
ruangan transfer secara keseluruhan, sedangkan lingkungan spesifik adalah
lingkungan didalam laminar air flow cabinet dimana proses penanaman
eksplan dan prosedur lain seperti isolasi protoplasma dilakukan.
6) Sterilisasi alat-alat dan media
Alat-alat yang perlu disterilkan sebelum penanaman adalah: pinset,
gunting, gagang scalpel, petridisk, botol-botol kosong, jarum suntik untuk
isolasi meristem dan pipet untuk memindahkan suspensi sel.
Media dan aquades juga disterilkan dalam autoclave.Untuk aquades
sebaiknya dimasukkan dalam wadah kecil misalnya elemeyer 250 ml dengan
isi maksimum 100 ml, agar sterilisasi lebih efektif. Untuk media kultur yang
tidak mengandung bahan-bahan yang heat-labile, sterilisasi dilakukan dengan
autoclave pada suhu 1210C.
7) Sterilisasi bahan tanaman
Pada setiap jenis tanaman, ditemukan juga kontaminan yang berasal
dari dalam jaringan tanaman, terutama bakteri.Bakteri-bakteri ini sampai
sekarang belum diidentifikasi.Kontaminan internal ini sangat sulit diatasi,
karena sterilisasi permukaan tidak menyelesaikan masalah.Pada bahan
tanaman yang mengandung kontaminan internal, harus diberi perlakuan
antibiotik atau fungisida yang sistemik.
Setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi yang berbeda
tergantung dari :
Jenis tanaman
Bagian tanaman yang diperlukan
Morfologi permukaan
Lingkungan tumbuhnya
Umur tanaman
Kondisi tanaman
Musim waktu mengambil
Sumber kontaminasi dapat barasal dari :
23
a) Eksplan, baik kontaminasi eksternal maupun internal
b) Organisme kecil yang masuk ke dalam media. Dengan keadaan di
Indonesia, yang pling sering menyebabkan kontaminasi adalah semut.
c) Botol kultur atau alat-alat yang kurang steril.
d) Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor (spora di udara)
e) Kecerobohan dalam pelaksanaan.
Seperti yang dijelaskan diatas, alat-alat yang perlu disterilkan sebelum
penanaman adalah : pinset, gunting, gagang scalpel, kertas saring, petri dish,
botol-botol kosong, jarum suntik untuk isolasi meristem dan pipet untuk
memindahkan suspensi sel. Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi dengan
kertas tebal atau ditaruh dalam baki stainless steel dan bakinya dibungkus dengan
kain tebal sebelum dimasukkan ke dalam autoclave. Alumunium foil tidak
direkomendasikan sebagai pembungkus, karena uap tidak dapat masuk ke dalam
bungkusan. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210 C pada tekanan
17,5 psi (pounds per squareinch) selama 1 jam. Perhitungan waktu sterilisasi
dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.
Alat-alat yang dipakai ketika penanaman harus dalam keadaan steril.Alat-
alat logam dan dapat disterilisasikan dalam autoclave. Alat tanam seperti : pinset
dan gunting dapat juga disterilkan dengan pembakaran atau dengan pemanasan,
namun pisaunya (blade) dapat menjadi tumpul bila dipanaskan dalam suhu tinggi,
oleh karena itu untuk bladenya dianjurkan cara sterilisasi dengan pencelupan
dalam alkohol atau larutan kaporit (Syahmi edi, 2007)
Dalam sterilisasi alat, ada 2 macam Sterilisasi, yaitu :
1. Sterilisasi luar
Sterilisasi luar merupakan sterilisasi alat-alat dengan menggunakan
deterjen/sabun dan air yang mengalir. Botol-botol kultur dicuci
dengan cara menggosok seluruh bagian botol (dalam dan luar)
dengan menggunakan deterjen/sabun.
Kemudian membilas botol-botol kultur tersebut dengan air yang
mengalir sampai air mengenai seluruh bagian botol dan
membersihkan bekas-bekas deterjen/sabun.
24
Setelah dibilas dengan air mengalir, botol diletakkan ditempat yang
sudah disemprot dengan alkohol
2. Sterilisasi dalam
Sterilisasi dalam dilakukan dengan cara memasukkan botol-botol
kultur ke dalam autoclave. Alat-alat yang disterilisasi dengan
autoclave adalah alat yang berupa logam dan gelas.
Botol-botol kultur dan alat-alat tanam yang dibungkus dengan
kertas dimasukkan kedalam autoclave selama 1 jam. Suhu yang
digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C karena pada suhu tinggi
tersebut mikroba akan mati pada tekanan 17,5 psi (pounds per
squareinch).
Perhitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang
diinginkan tercapai.
Pada prinsipnya, peralatan yang digunakan dalam praktikum ini haruslah
steril. Karena peralatan yang tidak steril akan dapat menjadi sumber kontaminan
sehingga menggagalkan percobaan kultur jaringan yang dilakukan.
Selain peralatan seperti : pinset, gunting, gagang scalpel, petridisk, botol-
botol kosong, jarum suntik untuk isolasi meristem dan pipet untuk memindahkan
suspensi sel, media dan aquades yang digunakan juga harus disterilisasi. Namun
terkadang hal itu saja tidaklah cukup karena sterilisitas dari praktikan juga sangat
mempengaruhi. Jadi apabila praktikan akan melakukan percobaan, maka
praktikan harus membersihkan dirinya terlebih dahulu. Diantaranya praktikan
dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : mandi, mencuci tangan dan kaki dengan
sabun, mengganti pakaian yang bersih atau pakaian khusus praktik, dan usaha-
usaha lain yang dapat menghindarkan kontaminasi.
2.6 Metode dalam Kultur Jaringan
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan
25
tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu
yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit
lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan
secara vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional,
teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur
dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali disebut
kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena
jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi
tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi. Teori ini
mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh
bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua
organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis
dengan induknya.
Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga
cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal, melalui
pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik secara langsung
maupun melalui tahap pembentukan kalus. Ada beberapa tipe jaringan yang
digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan. Pertama adalah
jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah
(meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Jaringan
tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas aksiler, bagian tepi
daun, ujung akar, maupun kambium batang. Tipe jaringan yang kedua adalah
jaringan parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami
diferensiasi dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan
daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi
sebagai tempat cadangan makanan.
Jenis Tanaman dalam Kultur Jaringan
Kultur jaringan sudah diakui sebagai metode baru dalam perbanyakan
tanaman. Tanaman yang pertama berhasil diperbanyak secara besar-besaran
26
melalui kultur jaringan adalah tanaman anggrek, menyusul berbagai tanaman hias,
sayuran, buah-buahan, pangan dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu juga
saat ini telah dikembangkan tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan melalui
teknik kultur jaringan. Terutama untuk tanaman yang secara ekonomi
menguntungkan untuk diperbanyak melalui kultur jaringan, sudah banyak
dilakukan secara industrial. Namun ada beberapa tanaman yang tidak
menguntungkan bila dikembangkan dengan kultur jaringan, misalnya: kecepatan
multiplikasinya terlalu rendah, terlalu banyak langkah untuk mencapai tanaman
sempurna atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan genetik.
Dalam bidang hortikultura, kultur jaringan sangat penting untuk dilakukan
terutama pada tanaman-tanaman yang:
1). Prosentase perkecambahan biji rendah.
2). Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang tidak menunjukkan male
sterility.
3). Tanaman hibrida yang mempunyai keunikan di salah satu organnya
(bentuk atau warna bunga, buah, daun, batang dll).
4). Perbanyakan pohon-pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah.
5). Tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif, seperti: kentang,
pisang, stroberry dll.
2.7 Kelebihan Dan Kekurangan Kultur Jaringan
Kultur jaringan mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam
pelaksanaannya, yaitu:
2.7.1. Kelebihan:
Sifat identik dengan induknya;
Perbanyakan dalam waktu singkat;
Tidak perlu areal pembibitan yang luas;
Tidak dipengaruhi oleh musim;
Tanaman bebas jamur dan bakteri.
Pengadaan bibit tidak tergantung musim
27
Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif
lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudahrespon dalam 1 tahun dapat
dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
Bibit yang dihasilkan seragam
Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan
lingkungan lainnya
Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki
Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu
tanaman dewasa
2.7.2. Kekurangan:
Bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap hama penyakit dan udara
luar;
Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit;
Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan
(laboratorium khusus), peralatan dan perlengkapan;
Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan
kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yg memuaskan;
Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan
(laboratorium khusus), peralatan dan perlengkapan.
Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan
kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan
Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh
2.8 Teori Totipotensi Sel
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tumbuhan seperti protoplasma, sekelompok sel, jaringan atau organ serta
28
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Teori yang mendasari tehnik kultur jaringan adalah teori sel oleh
Schawann dan Scheleiden (1838) yang menyatakan sifat totipotensi ( total genetic
potential) sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan
informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai .
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan, secara spesifik terdapat
beberapa tipe kultur yaitu kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur akar, kultur
ovul, kultur anter, kultur kuncup bunga, kultur kalus dan kultur suspensi.
Biondi and Thorpe (Thorpe, 1981) menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip utama
yang terlibat dalam tehnik kultur jaringan yaitu:
Isolasi bagian tanaman dari tanaman utuh seperti organ, jaringan, dan sel
secara aseptik.
Memelihara bagian tanaman tadi dalam lingkungan yang sesuai dan kondisi
kultur yang tepat
Pemeliharaan dalam kondisi aseptik
Kultur jaringan tanaman bermula dari pembuktian teori totipotensi sel yang
dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden (1838). Menurut teori ini, setiap sel
tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis yang
lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika
kondisinya sesuai.
2.9 Percobaan Kultur Jaringan
Sejarah kultur jaringan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan
botani. Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan kultur
jaringan dapat dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli
yan mendahului mereka serta penemuan mereka sendiri. (Katuuk, 1989).
Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke telah menemukan sel.
Ia mengatakan bahwa sel-sel dapat disamakan denan batu-batu bangunan alamiah.
Kemudian pada tahun 1838 -1839, seorang ahli Biologi M. V. Schleiden dan
Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya pada kehidupan sel,
29
menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun
telah terpisah dari tanaman induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala
peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh organisme selama hidup, bersumber
pada sel. Dari konep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai
kemampuan untuk berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga
pada satu saat akan terbentuk satu tanaman sempurna. Kemampuan regenerasi ini
disebut “totipotency”. (Katuuk, 1989).
Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan Botani
abad 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan Knopp,
dan Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”,
menemukan hormon pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur
yan menentang aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya
sterilisasi. Pada akhir abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur
hara yan penting bagi pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal
dengan “Knop’s Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah
mencoba mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian
memelihara bahan-bahan ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia
menemukan pertumbuhan kalus. Denan mengurangi ukuran potongan tanaman
akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ukuran yan paling baik adalah ukuran
kecil namun tidak kurang dari 1,5 cm. (Katuuk, 1989).
Kira-kira pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan
suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara
terpisah dalam suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini
memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam
upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi
tanaman yang utuh. (Whaterel, 1982).
Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman mungkin
mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu
membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai.
Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. (Whaterel, 1982).
Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus dikembangkan. Gottlieb
Hamberlant seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan
30
konsep totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio
tanaman dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel veetatif. Walaupun
percobaannya gagal namun ia memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki
oleh sel menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh.
Bila medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan
berkembang menjadi satu tanaman baru (Kyte 1987, dalam Katuuk, 1989).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini.
Namun pada saat itu belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti,
khususnya dalam hal kebutuhan nutrisi dan hormone untuk pertumbuhan. Baru
beberapa waktu kemudian, yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon
tanaman, yaitu asam indol asetat dan asam naftalenasetat, telah mulai berhasil
dilakukan kultur organ (1920). kultur jaringan (1939). Hingga sekarang kedua
hormon tanaman tersebut diyakini memiliki peranan sangat penting artinya dalam
kultur jaringan modern. Pada masa-masa tersebut, yaitu masa-masa awal dimana
era kultur jaringan baru mulai dikenal, jarang sekali orang dapat berhasil
melakukan regenerasi akar, pucuk tanaman, dan organ tanaman lain secara kultur
jaringan, sehingga pada saat itu orangpun mulai mempertanyakan kebenaran teori
totipotensi tersebut. (Whaterel, 1982).
Sesudah Hamberlant, menjalani tahun-tahun pada abad 20, penelitian
tentang kultur jaringan tanaman berkembang pesat. Berikut ini adalah rentetan
peristiwa penting yan mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sesudah
Hamberlant, dirangkum dari Pierik, (1987), Gautherett (1982), dan Butenko
(1968). Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan1922
Knudson menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek secara in vitro.
Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh dua oran
saintis yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka adalah
White P., dan Gautheret R.1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada
tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat.
Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan
kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra.
Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun
oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan
31
terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media
ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel. 1939
P. R. White seorang peneliti dari Amerika (yang sekarang dianggap sebagai
Bapak Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah hasil penelitiannya tentang
keberhasilan ia menumbuhkan sejumlah tunas dari potongan-potongan kalus
tembakau yan ditanam dalam medium cair. (Whaterel, 1982).
Walaupun sampai saat itu ia belum berhasil menumbuhkan akar dari tunas-
tunas yang diteliti, suatu lankah maju di bidang perbanyakan kultur jaringan telah
berhasil dicapai dalam upaya untuk membuktikan sebagian kebenaran dari teori
totipotensi. (Whaterel, 1982).
1940 Seorang ahli yang lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari
Universitas Winconsin pada tahun melanjutkan penelitian-penelitian yang
dilakukan White dan telah berhasil membuktikan, bahwa hormon-hormon
auksin, yaitu IAA dan NAA (yang pada waktu itu dikenal sebagai pemacu
pertumbuhan akar dari potongan-potongan dahan), ternyata mampu
menghambat awal pertumbuhan tunas. Selanjutnya dengan percobaan-
percobaannya menggunakan kultur jaringan tembakau, dia mulai mencari
senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi dengan senyawa-senyawa
auksin serta senyawa-senyawa yang memacu pertumbuhan tunas.
(Whaterel, 1982).
1941 Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang
mengandung faktor perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan
embrio Datura.
1943 White menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture”
yang memuat pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu.
1944 Skoog mula-mula mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur
jaringan.
1945-1946 Loo Shi Wei, pertama-tama mengkulturkan apex batang.1949
Vaccin dan Went menciptakan medium Vacin dan Went.1950 Folke
Skoog bersama-sama dengan muridnya berhasil menemukan adanya efek
pemacu pembentukan tunas yang disebabkan oleh senyawa-senyawa fosfat
32
anorganik maupun senyawa-senyawa organic, yaitu adenine dan adenosin.
(Whaterel, 1982).
1952 Morel dan Martin pertama-tama menemukan dahlia yan bebas virus
dari hasil kultur meristem.
1954 Muir et al pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel.
Wetmore, R. H., dan Sorkin S., mengembangkan teori Hamberlant tentang
organogenesis yan sekarang dikenal dengan mikropropagasi.
1955, kelompok Skoog menemukan kinetin, yaitu hormone golongan
sitokinin yang pertama kali ditemukan. (Whaterel, 1982).
1957 Skoog dan Miller melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang
telah dianggap klasik,yaitu mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk
mengatur pembentukkan organ. Mereka menulis satu artikel tentan
“Chemical Regulation of Growth and Organ Formulation in Plant Tissue
Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua golongan hormone, auksin
dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan tunas. Penelitian ini
selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan secara kultur
jaringan. (Whaterel, 1982). Skoog menyadari besarnya potensi ekonomi
dari hasil penelitian-penelitiannya, selanjutnya semakin menekuni bidang
kultur jaringan bersama-sama murud-murid dan teman-temannya.
(Whaterel, 1982).
Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang diisolasikan.
1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari suspensi
sel Daucus carota.K. V. Thimann dari Universitas Harvard melaporkan
penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai
tahun 1958, bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek
pertumbuhan tunas apical. Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa
kinetin bersifat memacu pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak
terlihat nyata akibat penaruh dari tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah
yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis dalam upaya meningkatkan
jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui sangat penting
artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun
berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan
33
yang menunjang keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan
tersebut.
1960 Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan
degradasi dinding sel menggunakan enzyme.Morel mempropagasikan
tanaman angrek melalui kultur meristem.
1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media
kultur yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia
internasional, yaitu media Murashige-Skoog. (Whaterel, 1982). Di sini
peranan Murashige sangat penting artinya, karena selain telah memberi
sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan jaringan, usahanya telah
mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara kultur jaringan dalam
skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di Universitas
California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan dari
sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi.
Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan
industri-industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat.
(Whaterel, 1982).
1964 Guha S., dan Maheshwari S. C., mendapatkan embrio haploid yan
berkembang dari sel polen tanaman Datura.
1965 Vasil dan Hamberlant, berhasil mendapatkan differensiasi sel
tembakau yang diisolasikan.
1967 Bourin J. P., dan Nitch J. P., mendapat tanaman haploid dari kultur
serbuk tembakau.
1969 Erickson & Jonassen melakukan isolasi protoplas dari suspensi sel
Hapopappus.
1970 Power melakukan fusi protoplas.
1971 Takebe et al mula-mula mendapatkan tanaman hasil regenerasi
protoplast.
1977 Chilton, et al berhasil mengintegrasikan DNA T-plasmid dari
Agribacterium tumefaciens pada tanaman.
1981 Larkins dan Skowcroft, pertama-tama memperkenalkan variasi
somaklonal.(Katuuk, 1989).
34
1985 Perkembangan transfer gen pada tanaman berkembang cepat, seperti
penggunaan Agrobacterium, particle bombardment (gen gun),
electroporasi, mikroinjeksi.
1990 Perkembangan rekayasa genetik dan metabolic pada tananaman
berkembang dengan pesat. Pemasaran produk-produk rekayasa genet
2.9. Masalah-masalah Dalam Kultur Jaringan
Dalam kegiatan kultur jaringan, tidak sedikit masalah-masalah yang
muncul sebagai pengganggu dan bahkan menjadi penyebab tidak tercapainya
tujuan kegiatan kultur yang dilakukan. Gangguan kultur secara umum dapat
muncul dari bahan yang ditanam, dari lingkungan kultur, maupun dari
manusianya.
Permasalahan dalam kultur ada yang dapat diprediksi sebelumnya dan ada
pula yang sulit diprediksi kejadiannya. Untuk yang tidak dapat diprediksi, cara
mengatasinya tidak dapat secara preventif tetapi diselesaikan setelah kasus itu
muncul.
Adapun masalah-masalah yang terjadi dalam kultur jaringan yaitu:
1. Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan
kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah
merupakan sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang
diperkaya.Fenomena kontaminasi sangat beragam, keragaman tersebut dapat
dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll).
Upaya mencegah terjadinya kontaminsi:
Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur
jaringan.
Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar.
Lakukan proses penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari
waktu yang longgar.
2. Pencoklatan/browning
35
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam
yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Peristiwa pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa
yang sering terjadi.
Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi
eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.
3. Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal.
Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil.
Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter
Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade
4. Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang
seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman
maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in
vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur
berulang yang tidak terkontrol
Penggunaan teknik yang tidak sesuai.
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -
suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas
kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon.
Cara mengatasi masalah variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus
memperhatikan aspek yang dikulturkan.
5. Pertumbuhan dan Perkembangan
Masalah utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan
yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu
tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan
36
preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik.
Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif
membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali. Media juag dapat menjadi
sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel
dapat atau tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik
dari sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.
6. Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja,
pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa
dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan
muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan
umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka
menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan kemikalis, fisik,
biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai dari
pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.
7. Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga
sering menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi
pertumbuhan eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda,
namunddemikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan
inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi
antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur
yang lain.
37
2.10 Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro
Pemuliaan secara in vitro adalah salah satu bentuk bioteknologi yang
berupa budidaya di atas media dengan nutrsi dalam kondisi steril
(Suryowinoto,1996). Pemuliaan in- vitro adalah bagian dari kegiatan pemuliaan
tanaman yang dilakukan dengan menggunakan wadah tabung/gelas yang berisi
media buatan (bukan tanah) sebagai media tanam. Mengapa alternatif yang harus
dipilih dalam rangka menjawab tantangan krisis pangan adalah pemuliaan
tanaman secara in vitro ? Hal ini karena tanaman merupakan sumber pangan
terbesar yang ada. Selain itu keunggulan proses ini meliputi kemampuan
menghasilkan tanaman unggul dalam waktu yang relatif singkat, kemampuan
menghasilkan tanaman yang toleran terhadap stress, bebas virus, dan berbagai
macam keunggulan lainnya. Teknik pemuliaan tanaman secara in vitro merupakan
salah satu upaya untuk melakukan penghematan biaya,waktu,tempat, dan tenaga
sehingga diprediksi mampu mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi
Indonesia . Jika dilihat dari sudut pandang tempat dan waktu, sistem ini mampu
menjawab salah satu masalah panyebab penurunan produksi pangan di suatu
negara yaitu mengenai menyempitan lahan untuk pertanian yang dari tahun ke
tahun semakin menyempit.
Dengan menggunakan sistem pemuliaan tanaman secara in vitro masalah
ini dapat teratasi, karena hasil pemuliaan tidak harus ditanam langsung dilahan
pertanian. Produk pertanian yang dihasilkan melalui proses ini dapat dipanen
dalam waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan produk pertanian yang
dihasilkan secara konvensional. Sehingga tenaga yang diperlukan pun relatif lebih
kecil , tidak diperlukan adanya tenaga untuk mengolah tanah , menyiangi ,
mengairi dan sebagainya karena semua telah dilakukan dengan konsep-konsep
pertanian modern. Apabila melihat dampak jangka panjang, proses peningkatan
hasil produksi pertanian melalui sistem pemuliaan tanaman secara in vitro dapat
menghemat anggaran pemerintah sebesar jutaan dolar. Itu sebabnya banyak
negara yang tidak memiliki basic agraris tetapi produksi pangan mereka bahkan
lebih tinggi dari negara yang memiliki latar belakang sebagai negara agraris.
38
Program ini akan mampu membawa Indonesia menuju kemandirian
pangan serta terhindar dari krisis pangan global yang sekarang ini masih menjadi
trending topic diberbagai kalangan masyarakat. Mungkin pelaksanaan alternatif
tersebut tidak akan semudah yang dibayangkan, karena untuk mendapatkan
varietas-varietas unggul dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat diperlukan proses yang cukup rumit. Selain itu pengetahuan
masyarakat pada umumnya mengenai hal ini masih sangat minim dan cenderung
tidak peduli . Masyarakat Indonesia seolah-olah bertahan dengan ketradisionalan
yang ada. Oleh karena itu peran pemerintah sangat diperlukan . Melalui kebijakan
yang jelas, maka para pemulia tidak akan ragu-ragu dalam mengambil berbagai
keputusan berkaitan dengan penciptaan berbagai macam varietas unggul yang
akan mampu mereduksi ancaman krisis pangan di Indonesia.
Tindakan pemuliaan tanaman ini seharusnya lebih ditekankan kepada
tanaman serealia seperti padi,jagung ,dan tanaman penghasil bulir lainnya karena
banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Rencana
yang besar tanpa didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang profesional
tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, kerjasama antara pemulia
dengan para petani serta masyarakat harus dilaksanakan secara harmonis . Sebab
tanpa adanya mereka yang mendukung program pemuliaan tersebut maka hal itu
tidak dapat dilakukan secara maksimal.
Jadi, untuk terhindar dari krisis pangan, Indonesia perlu melakukan suatu
tindakan nyata berupa menggencarkan gerakan pemuliaan tanaman secara in
vitro sehingga melalui program tersebut, Indonesia mampu memproduksi pangan
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.
Sudah saatnya Indonesia bangkit dari keterpurukan menuju kebangkitan , dari
kesederhanaan menuju kemodernan yang positif , dari pertanian konvensional
menuju pertanian berbasis teknologi.
Hal-hal perlu diperhatikan dalam pemuliaan in vitro adalah 1) eksplan, 2)
media yang digunakan, 3) steril condition, dan 4) hormon. Pemuliaan in-vitro
dapat dilakukan dengan beberapa teknik sebagai berikut :
39
a. Fusi protoplas
Protoplas adalah sel yang telah dihilangkan dinding selnya. Protoplas
dapat diperoleh dengan memberikan enzim penghilang dinding sel misalnya
selulase, pektinase dan protease. Fusi protoplas dapat dimanfaatkan untuk
melakukan persilangan antar spesies atau galur tanaman yang tidak
memungkinkaan untuk dilakukan dengan persilangan biasa karena adanya
masalah kompatibilitas fisik. Dua buah protoplas dapat difusikan (digabungkan)
dengan menggunakan aliran listrik ataupun zat kimia seperti PEG (Poly Ethylen
Glicol). Dengan perlakuan fusi protoplas ini dapat diperoleh hybrid yang somatik
(hybrid parasexual) jika nukleus dari kedua species mengalami penyatuan (fusi).
Selain itu dapat diperoleh juga cybrid (sitoplasmic hybrid), jika yang mengalami
fusi hanya sitoplasmanya saja. Hasil fusi yang diperoleh selanjutnya dapat
ditumbuhkan dalam medium untuk menghasilkan kalus yang kemudian diinduksi
untuk menghasilkan tanaman baru.
b. Embryo resque
Embrio yang berasal dari hasil persilangan seringkali tidak dapat
bertumbuh atau mati karena adanya hambatan dalam penyerbukan dan pembuahan
atau pembuahannya terjadi secara normal tetapi embrio mati pada awal tingkat
perkembangannya. Keadaan embrio seperti ini dapat diselamatkan dengan teknik
embryo resque yaitu pengambilan embrio yang belum matang dari biji dan
menumbuhkannya dalam medium buatan untuk menghasilkan plantlet.
c. Kultur haploid (haploid culture)
Kultur haploid adalah mengkultur tanaman yang eksplannya mempunyai
komposisi gamet haploid. Eksplan yang dimaksud dapat diperoleh dari anther.
Sehingga teknik untuk menghasilkan tanaman haploid dengan eksplan anther
disebut kultur anther. Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai satu set
kromosom dan memiliki kegunaan untuk menghasilkan tanaman homozigot
sehingga mempermudah proses seleksi. Melalui tanaman haploid dapat diperoleh
tanaman dihaploid yaitu dengan cara merangkapkan kromosom menjadi 2n
dengan perlakuan kolkhisin.
d. Variasi somaklonal
40
Variasi somaklonal adalah variasi yang timbul karena perbanyakan
tanaman melalui kultur in-vitro. Variasi somaklonal dapat disebabkan oleh
beberapa factor, yaitu:
Organisasi sel yang digunakan sebagai eksplan.
Organisasi sel mempunyai peranan penting dalam hal pemunculan variasi
somaklonal. Perbanyakan dengan lewat kultur meristem yang dapat menghasilkan
plantlet yang stabil secara genetis sedangkan perbanyakan melalui kalus
meningkatkan kemungkinan terjadinya variasi somaklonal.
Variasi pada jaringan sebagai sumber eksplan.
Eksplan yang berasal dari sumber yang berbeda mempunyai variasi
inheren sehingga dapat muncul sebagai variasi somaklonal.
Abnormalitas pembelahan sel secara in-vitro.
Kombinasi yang tidak tepat dalam penggunaan zat pengatur pertumbuhan
dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas dalam pembelahan sel yang dapat
muncul dalam bentuk perubahan jumlah dan struktur kromosom. Variasi
somaklonal yang yang terjadi pada kultur in- vitro tanaman dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu alternatif pemuliaan tanaman karena dapat menghasilkan
varietas-varietas baru, misalnya varietas yang memiliki ketahanan terhadap hama
dan penyakit.
1. Perbanyakan Tanaman
a. Perbanyakan dengan okulasi/penempelan.
Sebagai entres dipilih tunas yang mempunyai mata-mata yang besar dan
sehat dari cabang berumur kira-kira satu tahun. Pengambilan mata tempel
dilakukan dengan membuat irisan agak lengkung horizontal diatas mata sepanjang
1 cm dan pada kedua ujung irisan tersebut dibuat irisan vertikal kebawah
sepanjang kira-kira 2,5 cm, lalu dikelupas hingga diperoleh kulit dengan satu
mata yang baik dalam bentuk segi empat berukuran 1 x 2,5 cm. Pada batang
bawah dikupas kulit kayunya sesuai bentuk dan ukuran mata tempel. Kemudian
mata tempel segera ditempelkan. Selanjutnya tempat tempelan dibalut dengan pita
plastik dan bagian mata tidak tertutup.
41
b. Penyambungan/grafting
Batang bawah dipotong sekitar 10 cm dari pangkal batang dan pada bagian
atas dibuat keratan bebentuk huruf V sepanjang 2-3 cm. Selanjutnya dipotong
batang atas sepanjang 8-10 cm yang memiliki minimal 2 mata tunas. Pangkal
tunas dibuat runcing, agar bisa masuk keujung batang bawah, ikat sambungan
tersebut dengan tali plastik. Calon benih ini kemudian diberi sungkup plastik,
yang sebelumnya disiram dahulu. Sekitar 21 hari kemudian sungkup dibuka.
c. Cangkok
Perbanyak vegetatif dengan cara cangkok sebenarnya dapat dilakukan
pada tanaman durian, tetapi benih yang dapat diperoleh sedikit dan dapat merusak
bentuk pohon induknya sendiri serta sistem perakarannya tidak kuat karena tidak
mempunyai akar tunggang.
2. Kultur Pucuk
Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang
dilakukan dengan cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk
(apikal dan lateral) dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan
tunas-tunas/cabang-cabang aksilar. Tunas-tunas aksilar tersebut selanjutnya
diperbanyak melalui prosedur yang sama seperti eksplan awalnya dan selanjutnya
diakarkan dan ditumbuhkan dalam kondisi in vivo.
Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari
eksplan yang digunakan. Jika eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk-pucuk
apikal (panjang ± 20 mm) saja maka tekniknya disebut sebagai “Shoot-tip
Culture”, namun bila eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta
bagian tunas lain dibawahnya disebut sebagai “Shoot Culture”. Besar kecilnya
eksplan yang digunakan mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Semakin kecil
eksplan, semakin kecil kemungkinannya untuk terkontaminasi oleh
mikroorganisme namun semakin kecil juga kemampuannya untuk beregenerasi
dan memperbanyak diri. Sebaliknya, semakin besar eksplan yang digunakan maka
semakin besar kemampuannya untuk beradaptasi dalam kondisi in-vitro, namun
makin besar juga kemungkinannya untuk terkontaminasi, makin banyak
kebutuhannya akan media dan makin besar wadah/botol kultur yang diperlukan.
42
Oleh karena itu perlu diketahui ukuran eksplan yang sesuai untuk masing-masing
varietas dan spesies tanaman.
Tujuan praktis kultur pucuk adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman,
yang mendasari produksi bibit secara komersial. Pucuk awal ini dalam media
yang tepat, membentuk pucuk-pucuk baru yang jumlahnya tergantung dari jenis,
berkisar dari 4-20 an tunas. Setelah di induksi pembentukan akar pada pucuk,
maka akan tumbuh tanaman yang sempurna yang identik dengan induknya atau
merupakan fotokopi dari induknya. Kultur pucuk merupakan dasar dari kegiatan
perbanyakan dalam laboratorium komersial. Pertumbuhan pucuk, pada umumnya
memerlukan zat pengatur tumbuh dalam media. Tahapan pertumbuhan dan tipe
pertumbuhan, menentukan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
dibutuhkan. Auksin yang biasanya dipergunakan dalam kultur pucuk, adalah IAA,
NAA dan IBA. Priyono (2004) melaporkan bahwa IAA sangat berperan dalam
memperbaiki tingkat pembentukan tunas mikro pada kultur in vitro ruas T
trianggulare. Penggunaan 2,4-D biasanya dihindarkan, karena 2,4 D cenderung
menginduksi kalus. Dalam kultur pucuk, kalus tidak diinginkan.
Sitokinin merupakan bahan yang selalu ditambahkan. Jenis sitokinin yang
biasa dipergunakan adalah BAP, 2iP atau kinetin. Dibandingkan jenis sitokinin
yang lain, BAP merupakan jenis sitokinin yang lebih umum digunakan dalam in
vitro, karena lebih efektif dan stabil (Bhojwani dan Razdam, 1983). Dalam kultur
pucuk sangat umum digunakan konsentrasi sitokinin yang relatif lebih tinggi dari
auksin. Pada beberapa jenis tanaman berkayu tertentu, diperlukan masa
pemantapan kultur dengan memberikan sitokinin dan auksin dalam konsentrasi
rendah. Pada jenis tanaman yang demikian, proliferasi pucuk terjadi setelah
dipindahkan ke media kedua dengan hanya berisi sitokinin.
Manfaat perbanyakan in-vitro (kultur pucuk) dalam industri bibit
1) Dapat digunakan untuk memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan waktu
yang relatif singkat. Salah satu keunggulan mikropropagasi adalah
perbanyakan organ tanaman yang dihasilkannya. Penggunaan hormon
43
pertumbuhan sintetis memungkinkan perbanyakan eksplan dalam jumlah
banyak dan waktu singkat. Perbanyakan di dalam wadah kecil
memungkinkan dilakukan perbanyakan cepat ini. Dewasa ini telah dilakukan
automatisasi dalam mikropropagasi menggunakan mesin pembuat media dan
sterilisasi media, pemotongan dan sterilisasi eksplan yang dikendalikan
dengan komputer sehingga dapat dilakukan perbanyakan secara lebih cepat
dan lebih efisien.
2) Dapat menghasilkan bibit dengan ukuran seragam. Produksi klon secara in
vitro dapat dikontrol lebih mudah dbandingkan produksinya dilapangan
karena perbanyakan dilakukan dalam wadah kecil. Oleh karena itu bisa
dihasilkan klon dengan ukuran yang seragam dalam saat yang bersamaan.
Penanaman bibit yang seragam mempermudah pemeliharaan tanaman di
lapangan dan panen dapat dilakukan secara serempak.
3) Tidak membutuhkan eksplan dalam jumlah banyak sehingga menghindari
kerusakan tanaman induk. Sebaliknya stek, cangkok,
penyambungan/penempelan yang intensif dari satu pohon induk dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman induk bahkan dapat merusaknya.
4) Dapat digunakan untuk perbanyakan cepat tanaman langka, tanaman dengan
nilai ekonomis tinggi, atau varietas unggul hasil pemuliaan tanaman.
Tahapan Pelaksanaan Mikropropagasi Kultur Pucuk
Tahap 0 : Tahap persiapan, seleksi, dan persiapan bahan induk
Tahapan ini dilakukan sebelum eksplan diambil untuk perbanyakan.
Pohon induk yang akan digunakan sebagai sumber eksplan harus dipilih secara
hati-hati. Pohon ini adalah pohon dari spesies atau verietas yang akan
diperbanyak, mempunyai vigor yang sehat dan bebas dari gejala serangan hama
atau penyakit. Kadang-kadang pohon induk atau bagian tanaman yang akan
44
diambil sebagai eksplan perlu diperlakukan khusus agar mikropropagasi berhasil.
Perlakuan-perlakuan tersebut antara lain :
a. Penaman di green house atau pot untuk mengurangi sumber kontaminan,
b. Pemberian lingkungan yang sesuai atau perlakuan kimia untuk meningkatkan
kecepatan multiplikasi dalam kondisi in-vitro,
c. Indexing atau prosedur lain untuk mengetahui adanya penyakit sistemik oleh
virus atau bakteri,
d. Perangsangan pertumbuhan tunas-tunas dorman, dll.
Tahap 1 : Tahap awal atau induksi (inisiasi)
Tahap awal ini amat sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan
mikropropagasi. Keberhasilan tahap ini pertama kali terlihat dari keberhasilan
penanaman eksplan pada kondisi aseptis (bebas dari segala kontaminan) dan harus
diikuti dengan pertumbuhan awal eksplan sesuai tujuan penanamannya (misalnya:
perpanjangan pucuk, pertumbuhan awal tunas, atau pertumbuhan kalus pada
eksplan). Setelah 1 – 2 minggu inkubasi, kultur yang terkontaminasi oleh bakteri
atau jamur (baik pada media maupun eksplannya) dibuang. Tahap ini selesai dan
kultur bisa dipindahkan ke tahap berikutnya bila eksplan yang tidak
terkontaminasi telah tumbuh sesuai dengan harapan (misalnya tunas lateral atau
tunas adventif tumbuh). Untuk eksplan yang mengalami kontaminasi berat atau
yang sulit untuk disterilisasi maka eksplan terlebih dahulu dapat ditanam pada
media inkubasi atau establishment yaitu media yang hanya mengandung gula dan
agar saja dengan tujuan untuk isolasi eskplan yang tidak terkontaminasi sebelum
diinisiasi pada tahap 1 mikropropagasi.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keberhasilan pada tahap ini adalah:
· Umur tanaman induk
45
· Umur fisiologis dari eksplan
· Tahap perkembangan dari eksplan
· Ukuran dari eksplan.
Tahap 2 : Tahap perbanyakan (Multiplikasi)
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak
tunas. Kultur axenik yang telah dihasilkan pada tahap I dipindahkan pada media
yang kaya akan cytokinin agar eksplan dapat menghasilkan tunas yang banyak
yang selanjutnya pada tahap III nanti tunas-tunas tersebut dipindahkan pada media
pengakaran untuk memacu pertumbuhan akar.
Tunas yang diperoleh pada tahapan ini digunakan sebagai bahan
perbanyakan berikutnya, oleh karena itu pada tahapan ini dilakukan banyak sub
kultur untuk melipatgandakan jumlah plantlet yang dihasilkan. Pada tahap ini
tunas yang dihasilkan dibagi-bagi atau dipotong-potong untuk selanjutnya
ditanam pada media baru yang umumnya mengandung sitokinin pada konsentrasi
yang lebih tinggi dari auksin. Pada tahap ini dapat digunakan media cair (media
tanpa agar), semi padat maupun media padat. Dengan modifikasi media yang
sesuai, tunas-tunas baru akan tumbuh dari potongan eksplan. Tahapan ini
umumnya dilakukan sebanyak 8 – 10 kali sehingga akan dapat dihasilkan
sejumlah besar tunas (ribuan tunas) dari satu eksplan pada tahapan inisiasi. Tunas
tersebut selanjutnya dibesarkan atau diakarkan pada tahap mikropropagasi
berikutnya.
Tahap 3: Persiapan planlet sebelum aklimatisasi (pengakaran)
Tunas atau plantlet yang dihasilkan dari tahapan ke 2 tersebut umumnya
masih sangat kecil atau tunas yang belum dilengkapi dengan akar sehingga belum
mampu untuk mendukung pertumbuhannya dalam kondisi in-vivo. Oleh karena
itu, dalam tahap ini masing-masing plantlet yang dihasilkan ditumbuhkan untuk
pembesaran, pengakaran dan perangsangan aktifitas fotosintesisnya. Teknik untuk
mendapatkan plantula yang siap untuk di pindahkan ke media terrestrial pada
tahap IV antara lain, adalah:
46
a) Media untuk pengakaran dan perpanjangan tunas. Media perakaran yang
digunakan tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Kluster tunas yang
dihasilkan pada tahap II disimpan pada media tanpa ZPT dengan
kelembaban yang sangat tinggi.
b) Individu tunas (propagul) disubkultur ke media dengan mengurangi
konsentrasi atau tanpa penambahan sitokinin dan menambah konsentrasi
auxin serta kadang dengan mengurangi konsentrasi senyawa anorganik.
Pada beberapa jenis tanaman pengakaran dapat dilakukan dengan cara
menempakan tunas hasil tahap II (propagul) diletakan pada aerasi media cair
lebih baik dari pada pada media padat. Atau dengan cara memindahkan
propagul ke media yang berisi auxin selama 1-2 hari, kemudian disubkultur
lagi ke media tanpa auxin (induksi akar dipacu oleh adanya auxin, tetapi
pertumbuhan akar dapat dihambat oleh keberadaan auxin dalam media).
Atau propagul dicelupkan dalam larutan pangakaran (auxin) sebentar dan
selanjutnya ditanam dalam medium tanpa auxin.
c) Tahapan pemanjangan ini dapat ditempuh dengan cara meletakan propagul
medium agar tanpa atau dengan konsentrasi yang sangat rendah sitokinin
selamas 2-4 minggu. Pada beberapa tanaman menggunakan penambahan
GA3 dalam medium. Selanjutnya propagul dipindahkan ke media lainnya
seperti teknik sebelumnya.
d) Penggunaan media praaklimatisasi dan lingkungan kultur dengan
penyinaran yang lebih intensitas cahayanya untuk perangsangan aktifitas
fotosintesis misalnya penggunaan media dengan konsentrasi gula
rendah/tanpa gula, penambahan intensitas cahaya, perlakuan dengan carbon
dioksida, dll.
Tahap 4: Aklimatisasi
Tahapan aklimatisasi ini adalah tahap pemindahan plantet dari kondisi in-
vitro ke kondisi in-vivo. Tahap ini sangat penting dan harus dilakukan secara hati-
hati, karena jika tidak dilakukan dengan baik maka sebagian besar plantet yang
dihasilkan dapat mati/musnah. Plantlet dikeluarkan dari botol dan agar yang
melekat pada akarnya dibersihkan, direndam dalam larutan fungisida, lalu ditanam
dalam kompos atau medium porous yang bersih untuk merangsang pembentukan
47
akar-akar serabutnya. Untuk mencegah kematian plantlet akibat transpirasi,
plantlet disungkup dengan plastik atau ditempatkan pada ruangan dengan
kelembaban tinggi, dengan suhu ruangan dan diletakkan ditempat yang ternaungi
dengan intensitas cahaya 30 %. Pada kasus tertentu, daun tanaman disemprot
dengan anti transpirant (misalnya Abscicic acid) untuk mencegah penguapan yang
terlalu besar dari daun. Secara perlahan, kelembaban dikurangi dan intensitas
cahaya ditambah untuk merangsang fotosintesis. (Taji, 2002)
Kultur Pucuk untuk Perbanyakan Vegetatif
Anyelir
Mikropropagasi Dianthus caryophyllus L, cv. Orange Triumph dapat
dilakukan melalui sistem multiplikasi pucuk dan multiplikasi buku tunggal.
Medium yang dipakai adalah MS-1 dengan penambahan zat pengatur tumbuh
benzilaminopurin (BAP)-asam naftalenasetat (NAA) dan kinetin-NAA. Dalam
sistem multiplikasi pucuk, eksplan yang digunakan adalah potongan pucuk apikal.
Dalam sistem multiplikasi buku tunggal, eksplan yang digunakan adalah potongan
buku batang. Masing-masing eksplan ini dirangsang untuk menghasilkan pucuk
pada tahap induksi. Pucuk yang dihasilkan dapat dimultiplikasi pada medium
dengan kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan jumlah
pucuk tertinggi selama tahap induksi. Pucuk apikal dimultiplikasi pada medium
MS-1 dengan 5 pM BAP-0,1 pM NAA dan 10 pM kinetin-0,01 pM NAA. Sanjaya
(2004), menyatakan bahwa kemampuan regenerasi dari eksplan tunas apikal
berbeda nyata antara klon anyelir.
Laju multiplikasi yang dihasilkan dalam 3 kali subkultur adalah masing-
masing sebanyak 8-21 pucuk dan 7-19 pucuk per siklus kultur. Buku batang
dimultiplikasi pada medium MS-1 dengan 4 pM BAP-0,25 pM NAA. Laju
multiplikasi yang dihasilkan dalam 3 kali subkultur adalah sebanyak 6-20 pucuk
per siklus kultur. Perakaran semua pucuk hasil multiplikasi ini dapat diinduksi
pada medium MS-1 dengan penambahan asam indolbutirat (IBA). Aklimatisasi
planlet memberi keberhasilan sebesar 70 persen. Ternyata penanaman satu
potongan jaringan pucuk apikal dan buku batang dalam waktu 18 minggu mampu
menghasilkan jumlah bibit siap lapang, masing-masing sebanyak sekitar 22.550
48
dan 12.600 plantlet. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa aklimatisasi planlet
dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir.
Pada media pasir, system perakaran planlet tidak dapat berkembang optimal
akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. ( Fayakun, 2002)
Tebu
Dari penelitian yang dilakukan oleh Baksha et al (2002) mengenai kultur
pucuk pada tebu varietas Isd 28, untuk mengetahui effek perbedaan penggunaan
jenis dan konsentrasi auksin dan sitokinin pada regenerasi tunas yang
ditumbuhkan secara in vitro. Eksplan tanaman adalah bagian tunas pucuk dari
tanaman tebu pada fase juvenile (3-4 bulan). Sterilisasi eksplan menggunakan
0.1% HgCl2 setelah dicuci dengan air yang mengalir selama 7-10 menit.
Kemudian eksplan dicuci dengan DDH2O (double distilled water) steril pada
kondisi aseptic di dalam laminar flow. Eksplan kemudian ditumbuhkan dalam
media MS dengan perbedaan kombinasi auksin dan sitokinin untuk
mengidentifikasi ketepatan kombinasi media untuk regenerasi tebu melalui kultur
pucuk. Media terdiri dari 3% sukrosa, 0.6% agar, dengan pH 5.7 sebelum
penambahan agar dan di autoclave pada suhu 1200 selama 15 menit. Eksplant
diinkubasi pada 25±20C di bawah fotoperiode 16 jam.
Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa, untuk penggandaan
regenerasi pucuk, pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi
auksin dan sitokinin yang digunakan. Sitokinin BAP lebih efektif daripada Kn dan
IBA untuk pembentukan tunas. Rendahnya auksin dan tingginya sitokinin pada
medium menginduksi penggandaan regenerasi tunas. Respon maksimum untuk
penggandaan inisiasi tunas ditemukan saat eksplan dikultur pada media MS yang
ditambah dengan 2.0 mgl-1 BAP + 0.5 mgl-1 IBA, 1.0 mgl-1 BAP + 0.5 mgl-1
IBA dan 1.0 mgl-1 + 0.5 mgl-1 Kn. Pada media ini 70-75% eksplan menghasilkan
2-6 tunas dari pucuk tunggal selama 2-3 minggu. Pertumbuhan tunas pada
awalnya tanpa akar, untuk menumbuhkan akar, tunas dipotong terpisah dan
diletakkan pada media pengakaran. Konsentrasi yang sama dari IAA (5 mgl-1),
NAA atau IBA digunakan tersendiri pada setengah media MS untuk induksi akar
yang sebanyak-sebanyaknya. Pertumbuhan akar tunas mungkin dipengaruhi pH,
49
tingkat auksin dan konsentrasi nutrisi pada media induksi akar. Respon terbaik
diamati pada 5 mgl-1 NAA yang digunakan pada setengah media MS. Hal
tersebut juga telah dikemukakan oleh Heinz ( 1977), yang menyatakan bahwa
auksin yang paling bagus digunakan untuk inisiasi akar adalah NAA
Perkembangan akar pada media yang mengandung IAA atau IBA memiliki
kualitas yang kurang bagus di bandingkan media yang mengandung NAA. Media
yang paling efektif untuk penggandaan tunas adalah media MS yang mengandung
2.0 mgl-1 BAP +0.5 mgl-1 IBA, 1.0 mgl-1BAP+0.5mgl-1 IBA dan 1.0 mgl-1
BAP + 0.5 mgl-1 Kn.
Lebih jauh penelitian ini menunjukkan bahwa untuk regenerasi tunas
kombinasi auksin dan sitokinin penting. Penelitian mengenai mikro propagasi
telah memberikan teknologi yang cepat dibandingkan dengan teknik konvensional
untuk penggandaan dan preservasi plasma nutfah varietas tebu pilihan.
Salah satu kendala dalam kultur pucuk adalah timbulnya pencoklatan
(browning) pada pucuk maupun pangkal eksplan. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Winarsih (2006) pada eksplan tanaman tebu, menunjukkan bahwa
penggunaan kloroks dengan konsentrasi 4% paling baik untuk sterilisasi eksplan.
3. Embriogenesis
Embriogenesis adalah proses pembentukan dan perkembangan embrio.
Proses ini merupakan tahapan perkembangan sel setelah mengalami pembuahan
atau fertilisasi. Embriogenesis meliputi pembelahan sel dan pengaturan di tingkat
sel. Sel pada embriogenesis disebut sebagai sel embriogenik.
Secara umum, sel embriogenik tumbuh dan berkembang melalui beberapa
fase, antara lain:
1. Sel tunggal (yang telah dibuahi)
2. Blastomer
3. Blastula
4. Gastrula
5. Neurula
50
6. Embrio / Janin
Gambar Proses Embriogenesis
4. Kultur Embrio
Kultur Embrio adalah memisahkan embrio yang belum dewasa dan
menumbuhkan secara kultur jaringan untuk menghasilkan tanaman viable.
Tujuan kultur embrio:
1. memperpendek siklus permuliaan : mempercepat perkecambahan bijiyang
umur kecambah lama
2. menguji kecepatan viabilitas biji : lebih efektif dari pada tes pewarnaan
3. memperbanyak tanaman langka : kelapa kopyor
4. memperoleh hybrid langka : mengatasi kegagalan persilangan karena
poliferasi terhalang/fertilisasi normal tetapi embrio pada perkembangnnya
mati. Kematian karena sedikitnya endosperm sbg cadangan
makanan/endosperm tidak berkembang
51
Fungsi Kultur Embrio
1. kultur anther : pembentukan tanaman haploid yang beragam untuk doubling
mendapatkan genotip homozigot secara cepat
2. pembentukan genotip transgenic dengan bantuan gen carrier berupa plasmoid
3. meningkatkan ragam genetic berasal dari somaclonal variability dan cellular
variant
4. rekombinan genom berasal dari sua spesies atay sub spesies dengan cara
hibridisasi somatic/fusi protoplas
5. pemetaan gen pada genom untuk memudahkan usaha transfer gen atau
memisahkan blok linkage
6. pemindahan gen berasal dari berbagai donor
7. sintesa spesies tanaman baru, berasal dari wide crossing antara dua spesies
atau sub spesies dengan genom yang tidak homolog
Faktor penentu keberhasilan kultur embrio
1. factor grnotip : beberapa jenis tanaman mudah di tumbuhkan dan yang sulit
ditumbuhkan
2. tingkat perkembangan embrio pada waktu dipisahkan semakin kecil embrio
semakin sulit tumbuh
3. kecepatan pertumbuhan tanaman induk : tanaman dari rumah kaca lebih
terkontrol sehingga menghasilkan endosperma yang lebih baik daripada
tanaman dari luar
4. komposisi media tumbuh : unsure makro, mikro dan gula, ion ammonium dan
potassium (penting)
5. oksigen
6. cahaya : perlakuan awal pada tempat gelap 7-14hari, tanaman di pindah ke
tempat terang untuk pembentukan klorofil
7. temperature : optimum tergantung jenis (22-28 C)
5. Kultur Meristem
52
Meristem merupakan kumpulan sel-sel yang aktif membelah pada tempat
tertentu pada tanaman, dimana sel-sel tersebut akan membentuk sistem jaringan
secara permanen seperti akar, tunas, daun, bunga dan lain-lain. Sel-sel jaringan
meristem mempunyai kemampuan embrionik yang dapat membelah tanpa batas
untuk membentuk jaringan dewasa untuk kemudian menjadi organ-organ
tanaman.
Bentuk dan ukuran titik tumbuh meristem berbeda antara tanaman yang
satu dengan lainnya tergantung kelompok tanaman secara taksonomik. Meristem
pada tunas tanaman yang tergolong dikotil mempunyai lapisan sel-sel yang
membentuk kubah yang sel-selnya aktif membelah berukuran diameter sekitar
0.1-0.2 mm dan panjang 0.2-0.3 mm. Meristem tidak mempunyai vaskuler yang
terhubung dengan jaringan phloem dan xylem pada batang. Dibawah sel meristem
terdapat sel-sel yang membelah dan memanjang yang berkembang menjadi
primordia daun.
Kultur meristem merupakan salah satu metoda dalam teknik kultur
jaringan dengan menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik baik
meristem pucuk terminal atau meristem dari tunas aksilar. Tujuan utama aplikasi
kultur meristem adalah mendapatkan dan memperbanyak tanaman yang bebas
virus (eliminasi virus dari bahan tanaman). Kultur meristem sebagai metoda untuk
perbanyakan tanaman yang bebas virus sudah secara luas diaplikasikan terutama
pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis
pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan pembelahan sel yang
berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini
menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya
(Gunawan, 1988). Jaringan meristem merupakan jaringan vegetatif sehingga
plantlet yang dihasilkannyapun merupakan suatu klon. Oleh karena itu kelompok
tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem sering disebut mericlone.
Morel dan Martin (1952) merupakan orang pertama yang berhasil
menumbuhkan meristem tanaman dahlia yang terserang virus dan memperoleh
tanaman yang bebas virus. Setelah itu penggunaan kultur meristem terhadap
berbagai jenis tanaman banyak dikembangkan. Pada tahun 1960 Morel berhasil
53
memperbanyak tanaman Cymbidium yang bebas virus. Dari hasil perbanyakan
kultur meristem anggrek tersebut, Morel menemukan pembentukan kalus terlebih
dahulu. Dan dari kalus tersebut kemudian membentuk struktur yang serupa
dengan perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek sebelum menjadi
tanaman. Struktur tersebut disebut dengan protocorm. Protocorm akan
memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru apabila ditumbuhkan
pada media tumbuh yang sama dan akan tumbuh menjadi tanaman lengkap
(plantlet) apabila dipindahkan ke media pendewasaan dan perakaran.
Berbeda dengan Morel yang telah berhasil mengklonkan tanaman anggrek
melalui protocorm, Hussey dan Stacey (1960) memperbanyak tanaman kentang
secara massal yang bebas virus melalui subkultur tunas aksiler secara berulang.
Eksplan tunas kentang yang sudah bebas virus dijadikan eksplan awal
ditumbuhkan pada media perbanyakan yang menghasilkan tunas dengan buku-
buku yang mengandung tunas ketiak disetiap bukunya. Tiap bulan dapat
dihasilkan rata-rata 3-5 buku. Setiap empat minggu buku-buku tersebut dipotong
untuk dikulturkan ke media baru. Setelah empat minggu dipotong-potong lagi.
Demikian seterusnya sehingga dalam satu tahun dapat dihasilkan jutaan tanaman.
Keberhasilan kultur meristem tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya media kultur, keadaan fisiologis eksplan dan lingkungan fisik
tumbuh. Sering terjadi bahwa jaringan meristem yang ditanam tidak menunjukkan
proses morfogenesis, hal ini disebabkan sel-sel dari eksplan tidak mengadakan
pembelahan dan berdiferensiasi. Jaringan meristem merupakan jaringan yang sel-
selnya aktif membelah, biasanya jaringan ini akan mempunyai daya hidup yang
lebih besar dan dapat beregenerasi dengan baik apabila ditanam bersama dengan
daun primordianya. Akan tetapi lebih disarankan apabila tujuannya untuk
mendapatkan tanaman bebas virus sebaiknya meristem ditanam tanpa disertakan
daun primordia.
6. Kultur Kalus Dan Kultur Suspensi Sel
Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam
lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang terkontrol (Pauls, 1995 dalam
Kulkarni, 2000). Kalus adalah jaringan yang berproliferasi secara terus menerus
54
dan tidak terorganisasi sehingga memberikan penampilan sebagai massa sel yang
bentuknya tidak teratur. Proliferasi jaringan ini dapat dilakukan secara tidak
terbatas dengan cara melakukan subkultur sepotong kecil jaringan kalus pada
medium yang segar dengan interval waktu yang teratur (George & Sherrington,
1984). Kalus diinduksi dengan melukai jaringan tanaman. Menurut George &
Sherrington (1984), pemotongan atau pelukaan jaringan tanaman dapat
merangsang pembelahan sel yang berperan dalam inisiasi pembentukan kalus.
Kultur kalus ini merupakan materi penting dalam kultur suspensi sel tanaman
(Allan 1996 dalam Gürel, 2002).
Kultur suspensi sel adalah pemeliharaan sel, tunggal maupun gabungan
beberapa sel, dalam medium cair dan lingkungan buatan yang steril. Kultur
suspensi sel terdiri atas populasi sel dengan laju pertumbuhan yang cepat karena
seluruh permukaan sel dapat kontak langsung dengan medium nutrisi. Hal ini
menyebabkan metabolisme sel lebih tinggi jika dibandingkan dengan kultur kalus
(George & Sherrington, 1984).
Metode kultur suspensi sel dapat digunakan sebagai sarana untuk produksi
metabolit sekunder. Hal ini dapat terjadi karena setiap sel tumbuhan yang diisolasi
dari tumbuhan induknya mempunyai potensi genetik dan fisiologi yang sama
dengan induknya, atau yang dikenal dengan nama sifat totipotensi. Sifat ini
menyebabkan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman induk dapat pula
dihasilkan pada sel yang dikultur secara in vitro (Fowler, 1981 dalam Mantell &
Smith, 1983). Potensi kultur sel untuk memproduksi metabolit telah dibuktikan
pertama kali oleh perusahaan farmasi Amerika Pfizer Inc pada tahun 1956.
Sedangkan potensi kultur sel untuk memproduksi senyawa bermanfaat terutama
untuk obat-obatan, telah dimulai pada akhir tahun 1960 (Pétiard & Bariaud-
Fontanel, 1987 dalam Sasson, 1991).
Kultur suspensi sel dapat diperoleh dengan cara memindahkan kalus dari
medium padat ke medium cair dalam kondisi agitasi selama periode kultur dalam
waktu tertentu. George & Sherrington (1984) menyatakan bahwa dalam kondisi
agitasi, kalus meremah akan terpisah membentuk kelompok sel dan sel-sel
tunggal. Sel-sel tunggal akan mengadakan pembelahan membentuk kelompok-
55
kelompok sel yang kemudian terpisah lagi membentuk sel-sel tunggal dan
kelompok-keompok sel yang lebih kecil. Menurut Lim-Ho (1982 dalam George &
Sherrington 1984), agitasi dalam kultur suspensi sel dapat meningkatkan aerasi,
reduksi polaritas tanaman dan dapat mempertahankan keseragaman distribusi sel-
sel dan kelompok sel di dalam medium. Dijelaskan oleh Endress (1994) bahwa
agitasi atau pengocokan pada kultur suspensi sel dapat mempengaruhi ukuran
agregat, viabilitas dan pertumbuhan sel. Selain itu pengocokan berfungsi untuk
meningkatkan oksigen.
Diameter sel pada kultur suspensi sel pada umumnya berkisar antara 20-
150 µm dan panjang 100-200 µm. Ukuran ini setara dengan 10-100 kali bakteri
atau fungi dan mempunyai panjang maksimal 2 mm serta mengandung 2-200 sel
(Endress, 1994). Pada fase pertumbuhan logaritmik pada masa awal kultur sel,
sel-sel berbentuk kecil dan dipenuhi dengan sitoplasma. Namun pada fase
stasioner, sel-sel ini memiliki ukuran tertentu, sel lebih tua dan memiliki vakuola
besar di pusat sel (Endress, 1994).
7. Kultur Anther
Anther atau tepung sari secara alamiah berfungsi menyerbuki maupun
membuahi. Teknik kultur Anther relative sederhana dan efisien, yang paling
penting dalam metode ini adalah penentuan tingkat perkembangan yang paling
tepat untuk dijadikan sebagai eksplan sehingga androgenesis dapat terjadi. Anther
angiospermae secara skematis dan pembentukan tanaman haploid melalui kultur
anther sbb:
Kultur anther mempunyai kegunaan sebagai berikut:
Mampu menghasilkan tan. haploid (hanya mempunyai satu genom saja
(monohaploid)). Tanaman haploid dapat digunakan untuk pemuliaan
tanaman selanjutnya, dari tanaman monohaploid diperkirakan dapat
menghilangkan sifat resesif.
Dari monohaploid dapat dihasilkan derivate yang dihaploid (diploid)
dengan cara : Merangkap kromosom dengan perlakuan colchicin.
Mengadakan silangan tanaman monohaploid.
Membuat tanaman homozygote.
56
Faktor-faktor yg mempengaruhi keberhasilan produksi haploid melalui
kultur In Vitro adalah :
Tingkat perkembangan polen → paling baik digunakan polen pada tingkat
pembelahan mitosis pertama (Uninucleat).
Pre-treatmen → beberapa jenis tanaman memerlukan perlakuan
pendahuluan berupa temperatur rendah (3 – 10oC) selama 4 hari (bunga
padi), merendam dalam air yang ada butir-butir arangnya atau mengurangi
tekanan atm 12 mg/hg.
Media tumbuh → terdiri dari media dasar, gula, hormone, penambah
bahan organik (ekstrak pisang, air kelapa, endosperm serealia, ekstrak ragi,
alanin dan Co-enzym A, merangsang pertumbuhan Anther.
Kondisi tanaman donor → bunga dari tanaman muda pada saat permulaan
pembungaan, lebih baik dari pada bunga yang keluar kemudian.
Stadium perkembangan mikrospora dapat dibedakan menjadi beberapa
fase, yaitu:
Uni-nukleat sangat awal, dicirikan oleh inti mikrospora di tengah, dinding
mikrospora sangat tipis dan tanpa vakuola
Uni-nukleat awal, dicirikan oleh inti mikrospora di tengah, dinding sudah
semakin kuat dan vakuola kecil bentuk sferik.
Uni-nukleat tengah awal, dicirikan oleh sebagian besar inti mikrospora di
tengah sedangkan sebagian kecil inti mikrospora di tepi, vakuola besar.
Uni-nukleat tengah, hampir sama dengan uninukleat tengah awal tetapi
ukuran vakuola dua kali ukuran vakuola pada stadium sebelumnya.
Uni-nukleat akhir, dicirikan oleh hampir semua mikrospora mempunyai
inti di tepi, pada beberapa jenis sudah berkembang menjadi stadium 2 inti,
vakuola besar berbentuk bulat telur.
2.11. Media Kultur Jaringan
57
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan
metode kultur jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media
tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-
macam media kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak.
Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya sesuai dengan nama
penemunya.
Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang
hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap
persenyawaan. Media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan
Anthurium sendiri adalah media MS dan modifikasinya ( Pierik et al.,1974; Pierik
dan Steegmans, 1976;Kunisaki, 1980; Kuenhle et al., 1992; Chen et al; Hamidah
et al., 1997; Teng, 1997;2 ; Rachmawati, 2005), media Nitsch dan modifikasinya
(Geir, 1986, 1987, 1988).
A. Komposisi Media Tanam Kultur Jaringan
Pada umumnya komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari
hormon (zat pengatur tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di
dalam tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang
lebih baik akan dapat kita peroleh bila, kedalam media tersebut, ditambahkan
vitamin, asam amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar), glukosa dalam
bentuk gula maupun sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan organik tambahan
(Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik selain dari nutrient
yang dalam jumlah yang sedikit (1mM) dapat merangsang, menghambat, atau
mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979 dalam
Gunawan, 1992). Zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan
untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan
organ. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan.
58
Secara umum, zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga
kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin.
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang
pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1992) Contoh
hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid
Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA).
Golongan sitokinin berperan untuk menstimulus pembelahan sel dan merangsang
pertumbuhan tunas pucuk. Menurut Gunawan (1992), golongan ini sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa
digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP).
Dan giberelin untuk diferensiasi atau perbanyakan fungsi sel, terutama
pembentukan kalus. Hormon kelompok giberelin adalah GA3, GA2, dan GA1.
Penggunaan hormon tersebut harus tepat dalam perhitungan dosis
pemakaian, karena jika terlalu banyak maupun terlalu sedikit dari dosis yang
diperlukan justru akan menghambat bahkan berdampak negatif terhadap tanaman
kultur. Karena interaksi antar hormon dalam suatu media sangat berpengaruh
dalam diferensiasi sel.
Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in-vitro
pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhakan di tanah.
Unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman di lapangan merupakan kebutuhan
pokok yang harus tersedia dalam media kultur jaringan. Antara lain adalah unsur
hara makro dan unsur hara mikro. Unsur-unsur hara tersebut diberikan dalam
bentuk garam-garam mineral. Komposisi media dan perkembangannya didasarkan
pada pendekatan masing-masing peneliti (Gunawan, 1992).
1. Unsur Hara Makro
Adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak. Hara
makro tersebut meliputi, Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca),
Sulfur (S), Magnesium (Mg), dan Besi (Fe). Kegunaan unsur hara makro tersebut
dalam kultur jaringan menurut Qosim, 2006 dalam Sukarasa, 2007 adalah sebagai
berikut:
59
Nitrogen (N)
Diberikan dalam bentuk NH4NO3, NH2PO4,NH2SO4.Berfungsi untuk
membentuk protein, lemak, dan berbagai senyawa organik lain, morfogenesis
(pertumbuhan akar dan tunas), pertumbuhan dan pembentukan embrio,
pembentukan embrio zigotik dan pertumbuhan vegetatif.
Fosfor (P)
Diberikan dalam bentuk KH2PO4.Berfungsi untuk metabolisme energi, sebagai
stabilitor membran sel, pengaturan metabolisme tanaman, pengaturan produksi
pati/amilum, pembentukan karbohidrat, sangat penting dalam transfer energi,
protein, dan sintesis asam amino serta konstribusi terhadap struktur dan asam
nukleat.
Kalium (K)
Diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O.Berfungsi untuk pemanjangan sel tanaman,
memperkuat tubuh tanaman, memperlancar metabolisme dan penyerapan
makanan, ion kalsium ditransfer secara cepat menyebrangi membran sel dan
mengatur pH dan tekanan osmotik.
Kalsium (Ca)
Diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O.Berfungsi untuk merangsang bulu-bulu
akar, penggandaan atau perbanyakan sel dan akar, pembentukan tabung polen,
dinding dan membran sel lebih kuat, tahan terhadap serangan patogen,
mengeraskan batang, memproduksi cadangan makanan.
Sulfur (S)
Unsur S merupakan unsur yang penting untuk pembentukan beberapa jenis
protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Unsur S juga berperan penting dalam
pembentukan bitil-bintil akar.
Magnesium (Mg)
Diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O.Berfungsi untuk meningkatkan kandungan
fosfat, pembentukan protein.
60
Besi (Fe)
Diberikan dalam bentuk Fe2(SO4)3;FeSO4.7H2O.Berfungsi sebagai penyangga
(chelatin agent) yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH media
selama digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman.Pada tanaman, Fe
berfungsi untuk pernapasan dan pembentukan hijau daun.
2. Unsur Hara Mikro
Adalah hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur hara
mikro ini merupakan komponen sel tanaman yang penting dalam proses
metabolisme dan proses fisioligi lainnya (Gunawan, 1992). Unsur hara mikro
tersebut diantaranya adalah :
a. Klor (Cl), diberikan dalam bentu KI.
b. Mangan (Mn), diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O.
c. Tembaga (Cu), diberikan dalam bentuk CuSO4.5H2O.
d. Kobal (CO), diberikan dalam bentuk CoCl2.6H2O.
e. Molibdenun (Mo), diberikan dalam bentuk NaMoO4.2H2O.
f. Seng (Zn), diberikan dalam bentuk ZnSO4.4H2O.
g. Boron (B), diberikan dalam bentuk H3BO3.
3. Usur Tambahan Lainya
Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan
tanaman adalah thiamine (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine
(vitamin B6). Thiamine merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan
tanaman karena thiamine mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel.
Vitamin C, seperti asam sitrat dan asam askorbat, kadang-kadang digunakan
sebagai antioksidan untuk mencegah atau mengurangi pencoklatan atau
penghitaman eksplan.
Mio-Inositol atau meso-insitol sering digunakan sebagai salah satu
komponen media yang penting, karena terbukti bersinergis dengan zat
pengaturtumbuh merangsang pertumbuhan jaringan yang dikulturkan (Yusnita,
2004).
61
Dalam media kultur jaringan, asam amino merupakan sumber nitrogen
organik. Namun sumber N organik ini jarang ditambahkan dalam media kultur
jaringan, karena sumber sumber nitrogen utamanya sudah tersedia dari NO3- dan
NH4+. Asam amino yang sering digunakan adalah glisin, lysin dan threonine.
Penambahan glisin dalam media dengan konsentrasi tertentu dapat melengkapi
vitamin sebagai sumber bahan organik (Yusnita, 2004).
Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena
umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan
mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan
membutuhkan karbohidart yang cukup sebagai sumber energi. Menurut Gautheret
dalam Gunawan (1992), sukrosa adalah sumber karbohidrat penghasil energi yang
terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak terdapat sukrosa,
sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir. Gula pasir cukup
memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain sebagai sumber
energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.
Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan atau terkena dengan
medianya. Bahan pemadat media yang paling banyak digunakan adalah agar-agar.
Agar-agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies
algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit
unsur Ca, Mg, K, dan Na (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992).
Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah :
1. Agar-agar membeku pada suhu 45° C dan mencair pada suhu 100° sehingga
dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan berada dalam keadaan beku yang
stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaa penyusun media.
Selain agar-agar, bahan pemadat media yang semakin banyak disukai adalah
Gelrite TM (buatan Kelco). Gelrite adalah gellam gum, suatu hetero-polisakarida
yang dihasilkan bakteri Pseudomonas elodea, terdiri dari molekul-molekul K-
glukuronat, rhamnosa, dan selobiosa.
Sebagai bahan pemadat media gelrite memiliki sifat-sifat yang menguntungkan
sebagai berikut :
62
Gelnya lebih jernih.
Untuk memadatkan media dibutuhkan lebih sedikit daripada agar, sekitar
1,5 -3g/l
Lebih murni dan konsisten dalam kualitas.
Untuk mencapai kekerasan gel tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah
dari agar-agar, pada umumnya 2gr/l media. Namun kekerasan gel dari gelrite
sangat dipengaruhi oleh kehadiran garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2.6H2O
dan CaCl2. Garam NaCl dan KCl menurunkan kekerasan gel, tetapi MgCl2 dan
CaCl2 meningkatkan kekerasan gel (Gunawan, 1992; 57 ).
Salah satu kelemahan Gelrite adalah cenderung menaikkan kelembaban
nisbi (RH) dalam kultur, sehingga sering menyebabkan terjadinya verifikasi.
Gelrite jarang digunakan untuk produksi planlet secara komersial terutama di
Indonesia karena harganya mahal (Yusnita, 2003).
Kultur yang kurang berhasil, kadang-kadang disebabkan oleh pemakaian
air yang kurang murni (Wetherel, 1976). Tidak boleh sembarang air dapat
digunakan untuk membuat media kultur. Contohnya air sumur atau air ledeng,
dalam air tersebut mengandung banyak kontaminan, bahan inorganik, organik,
atau mikroorganisme. Air yang digunakan untuk membuat media harus benar-
benar berkualitas tinggi, karena air maliputi lebih adari 95% komponen media.
Terhambatnya pertumbuhan tanaman yang dikulturkan dapat disebabkan oleh
rendahnya kualitas air yang digunakan. Untuk menghindari hal tersebut, maka
sebaiknya digunakan air yang telah dimurnikan atau yang sering kita sebut air
destilata (akuades) atau air destilata ganda (akuabides). Dengan alasan ini,
sebaiknya sebuah laboratorium kultur jaringan layaknya mempunyai alat
penyulingan air (water destilator) atau setidaknya alat pembuat air bebas ion
(deionizer). Cara kerja destilator dalam menghasilkan air destilata adalah dengan
cara mengubah air menjadi uap air, kemudian mengkondensasikan uap air
tersebut. Maka, jadilah air destilata yang tidak lagi berisi mineral atau senyawa
organik (Yusnita, 2004).
Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau
kebasaan larutan dalam air. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik
kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal
63
antara pH 5,0 – 6,0 (Daisy, 1994). Faktor pH dalam media juga perlu mendapat
perhatian khusus. pH tesebut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma.
Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan beberapa fisiologi sel,
juga harus mempertimbangkan faktor-faktor:
1) Kelarutan dari garam-garam penyusun media.
2) Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam – garam lain.
3) Efisiensi pembekuan agar-agar.
Menurut Gamborg dan Shyluk, 1981 dalam Gunawan, 1992, sel-sel
tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8. Pengaturan
pH, biasa dilakukan dengan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang
KOH) atau HCL pada waktu semua komponen sudah dicampurkan (Gunawan,
1992).
Beberapa formulasi media yang sudah umum digunakan dalam banyak
pekerjaan kultur jaringan antara lain adalah media White, Murashige & Skoog
(MS), Gamborg et al. (B5), Gautheret, Schenk & Hilderbrandt (SH), Nitch &
Nitch, Lloyd & McCown (WPM) dll. Media MS, SH dan B5 merupakan media
yang kaya garam-garam makro.
Berikut penjelasan dari masing-masing komposisi media tersebut :
1. Hara Makro
Unsur hara makro. terdiri dari enam unsur utama yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan sel dan jaringan tanaman, yaitu: nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K),
kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Konsentrasi optimum yang
dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan maksimum bervariasi diantara jenis
tanaman.
Media kultur harus mengandung sedikitnya 25-60 mM nitrogen anorganik
untuk pertumbuhan sel tanaman. Sel-sel tanaman mungkin dapat tumbuh pada
sumber N dari nitrat saja, tetapi diketahui bahwa pertumbuhan yang lebih baik
adalah apabila mengandung nitrat dan amonium. Nitrat yang disediakan umumnya
berkisar 25-40 mM, konsentrasi amonium berkisar antara 2-20 mM. Akan tetapi
untuk beberapa spesies tanaman konsentrasi amonium > 8 mM akan menghambat
64
pertumbuhan sel. Sel-sel dapat tumbuh dalam media kultur yang hanya
mengandung amonium sebagai sumber nitrogen jika satu atau lebih terdapat
asam-asam yang terlibat dalam siklus TCA (seperti sitrat, suksinat, atau malat)
juga terdapat dalam media pada konsentrasi sekitar 10 mM. Apabila nitrat dan
amonium sebagai sumber nitrogen digunakan bersama dalam media maka ion-ion
amonium akan digunakan lebih cepat dibandingkan dengan ion-ion nitrat. Kalium
dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bagi sebagian besar spesies tanaman.
Umumnya media mengandung kalium (dalam bentuk nitrat atau klorida)
pada konsentrasi 20-30 mM. Konsentrasi optimum untuk unsur P, Mg, S dan Ca
berkisar antara 1-3 mM. Konsentasi yang lebih tinggi dari hara-hara tersebut
mungkin diperlukan jika terjadi defisiensi dari hara yang lain.
2. Hara Mikro
Unsur hara mikro yang paling dibutuhkan untuk petumbuhan sel dan
jaringan tanaman mencakup besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), boron (B), terusi
(Cu) dan molibdenum (Mo). Besi dan seng yang digunakan dalam pembuatan
media harus dalam bentuk yang ter ”chelate”. Besi adalah yang paling kritis
diantara semua hara mikro. Besi sitrat dan tartrat dapat digunakan untuk media
kultur, tetapi senyawa ini sulit untuk larutdan biasanya akan terpresipitasi setelah
media dibuat. Masalah ini dipecahkan oleh Murashige & Skoog dengan men
”chelate” besi dengan menggunakan asam etilen diamintetraasetik (EDTA).
Kobal (Co) dan iodin (I) juga dapat ditambahkan dalam media tetapi
kebutuhan yang jelas untuk pertumbuhan sel belum diketahui. Natrium (Na) dan
klorida (Cl) juga digunakan pada beberapa media tetapi tidak begitu penting untuk
pertumbuhan sel. Konsentrasi Cu dan Co yang biasanya ditambahkan pada media
sekitar 0.1 µM, Fe dan Mo 1 µM, I 5µM, Zn 5-30 µM, Mn 20-90 µM, dan B 25-
100 µM.
3. Karbon dan Sumber Energi
Sumber karbohidrat yang biasanya digunakan dalam media kultur adalah
sukrosa. Glukosa dan fruktosa dalam beberapa hal dapat digunakan sebagai
pengganti sukrosa, dimana glukosa mempunyai efektivitas yang sama dengan
65
sukrosa dibanding dengan fruktosa. Karbohidrat lain yang pernah dicobakan
adalah laktosa, galaktosa, rafinosa, maltosa dan pati, tetapi semua karbohidrat
tersebut umumnya mempunyai hasil yang kurang baik dibandingkan sukrosa atau
fruktosa. Konsentrasi sukrosa normal dalam media kultur berkisar antara 2 dan
3%.
Karbohidrat harus tersedia dalam media kultur karena sangat sedikit sel
dari jenis tanaman yang diisolasi dapat bersifat autotropik, yaitu kemampuan
menyediakan kebutuhan karbohidrat sendiri melalui asimilasi CO2 selama proses
fotosintesa. Sukrosa dalam media kultur secara cepat akan diurai menjadi fruktosa
dan glukosa. Glukosa adalah yang pertama digunakan oleh sel, diikuti oleh
fruktosa. Saat media disterilisasi dengan autoclave, sebagian sukrosa akan
mengalami hidrolisa. Apabila sukrosa yang diautoklap ada bersama komponen
media lain maka proses hidrolisa akan lebih besar. Kultur dari beberapa spesies
tanaman akan tumbuh baik pada media yang sukrosanya diautoklap dibandingkan
dengan media yang sukrosanya disterilisasi dengan filter. Hal ini dimungkinkan
akan menguntungkan sel-sel karena tersedianya glukosa dan fruktosa.
4. Vitamin
Pada beberapa media kultur juga sering ditambahkan vitamin-vitamin
seperti biotin, asam folat, asam askorbat, asam panthotenat, vitamin E (tokoperol),
riboflavin, dan asam p-aminobenzoik. Meskipun vitamin-vitamin tersebut bukan
merupakan faktor pembatas pertumbuhan, tetapi sering memberikan keberhasilan
dalam kultur sel dan jaringan tanaman. Biasanya penambahan vitamin-vitamin
tersebut ke dalam media dilakukan apabila konsentrasi thiamin dianggap dibawah
taraf yang diinginkan atau apabila jumlah populasi sel-sel yang tumbuh masih
rendah.
5. Asam Amino dan Sumber Nitrogen Lainnya
Sumber nitrogen organik yang paling banyak digunakan dalam media
kultur adalah asam amino campuran (casein hidrolisat), L-glutamin, L-asparagin,
dan adenin. Casein hidrolisat umumnya digunakan pada konsentrasi antara 0.05-
0.1%. Asam amino biasanya ditambahkan pada media terdiri dari beberapa
66
macam, karena sering diperoleh bahwa penambahan satu jenis asam amino saja
justru dapat menghambat pertumbuhan sel. Contoh penambahan asam amino
dalam media untuk meningkatkan pertumbuhan sel adalah glisin 2 mg/L, glutamin
hingga 8mM, asparagin 100 mg/L, arginin dan sistein 10 mg/L, dan tirosin 100
mg/L. Adenin sulfat juga sering ditambahkan pada media kultur yang fungsinya
dapat menstimulir pertumbuhan sel dan meningkatkan pembentukan tunas.
6. Bahan Organik Komplek
Arang aktif (activated charcoal) juga sering digunakan pada media kultur.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang menguntungkan dan juiga
dapat merugikan. Pada kultur beberapa tanaman seperti anggrek, bawang, wortel
dan tomat dapat menstimulir pertumbuhan dan diferensiasi, tetapi pada kultur
tanaman tembakau, kedelai dan teh justru akan menghambat pertumbuhan.
Pengaruh arang aktif umumnya diarahkan pada salah satu dari tiga hal berikut:
penyerapan senyawa-senyawa penghambat, penyerapan zat pengatur tumbuh atau
menggelapkan warna media. Penghambatan pumbuhan karena kehadiran arang
aktif umumnya karena arang aktif dapat menyerap ZPT. NAA, kinetin, BAP, IAA
dan 2iP semuanya dapat terikat oleh artang aktif.
IAA dan 2iP merupakan ZPT yang paling cepat terikat oleh arang aktif.
Arang aktif dapat menstimulasi pertumbuhan sel umumnya karena kemampuan
arang aktif mengikat senyawa fenol yang bersifat toksik yang diproduksi biakan
selama dalam kultur. Konswentrasi aArang aktif yang ditambahkan kedalam
media kultur umumnya sebanyak 0.5-3%.
7. Bahan Pemadat dan Penyangga Biakan
Media kultur jaringan tanaman dapat dibuat padat atau semi padat, yaitu
dengan penambahan bahan pemadat berupa agar. Dibandingkan bahan pemadat
lain, agar mempunyai beberapa keuntungan, yaitu (i) saat dicampur dengan air,
agar akan terbentuk bila dilelehkan pada suhu 60o-100oC dan memadat pada suhu
45oC; (ii) gel agar bersifat stabil pada suhu inkubasi; (iii) agar gel tidak bereaksi
dengan komponen dalam media dan tidak dicerna oleh ensim tanaman. Kualitas
fisik agar dalam media kultur tergantung pada konsentrasi dan merek agar yang
67
diguinakan serta pH media. Konsentrasi agar yang digunakan dalam media kultur
berkisar antara 0.5-1%, dengan catatan pH media sesuai dengan aturan.
Penggunaan arang aktif (0.8-1%) dapat mempengaruhi kepadatan agar yang
terbentuk.
Kemurnian agar yang digunakan dalam media kultur juga merupakan
faktor yang penting. Agar yang mengandung garam-garam Ca, Mg, K dan Na
dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam media. Oleh karena itu penggunaan
agar yang murni sangat diperlukan terutama untuk tujuan percobaan. Untuk
memurnikan agar dapat dilakukan dengan cara mencuci dengan air destilasi
selama 24 jam kemudian dibilas dengan ethanol dan dikeringkan pada suhu 60oC
selama 24 jam.
Bahan pemadat lain yang pernah dicobakan adalah gelatin pada
konsentrasi 10%, akan tetapi terdapat kesulitan karen gelatin meleleh pada suhu
25oC. Methosel dan alginat juga pernah dicobakan sebagai bahan pemadat media,
tetapi kedua bahan tersebut sulit penanganannya serta harganya cukup mahal.
Bahan lain yang dapat digunakan adalah agarose (konsentrasi 0.35-0.7%), dimana
jenis agar ini banyak digunakan pada pekerjaan teknik kultur protoplas. Saat ini
bahan pemadat yang banyak digunakan adalah agar sintetik yaitu Phytagel
(produk Sigma Chemical) dan Gelrite (produk Kelco Corp.). Agar jenis ini hanya
digunakan 2-2.5 g/L dan menghasilkan gel yang bening yang cocok untuk
mendeteksi ada tidaknya kontaminan.
Gel agar juga berfungsi sebagai penopang agar biakan atau eksplan yang
ditanam dalam media tetap pada tempatnya (tidak bergerak atau berpindah).
Metoda lain yang dapat digunakan untuk penopang atau penyangga biakan adalah
jembatan kerta filter (filter paper bridges), sumbu kertas filter (filter paper wick),
busa poliuretran, celophane berlubang dan poliester. Apakah eksplan akan
tumbuih lebih baik pada media agar atau dengan penyangga, tergantung dari
spesies tanaman yang dikulturkan.
8. Zat Pengatur Tumbuh
Terdapat empat klas zat pengatur tumbuh (ZPT) yang penting dalam kultur
jaringan tanaman, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisik. Skoog dan
68
Miller adalah yang pertama melaporkan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin
menentukan jenis dan berapa besar proses organogenesis dalam kultur jaringan
tanaman. Auksin dan sitokinin yang ditambahkan kedalam media kultur
mempunyai tujuan untuk mendapatkan morfogenesis, meskipun perbandingannya
untuk mendapatkan induksi akar dan tunas bervariasi baik ditingkat genus, spesies
bahkan kultivar.
Sitokinin yang ditrambahkan dalam media kultur umumnya ditujukan
untuk menstimulasi pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas dan
proliferasi tunas aksiler, dan untuk menghambat pembentukan akar. Mekanisme
kerja sitokinin tidak secara pasti diketahui, namun demikian beberapa senyawa
yang mempunyai aktivitas mirip sitokinin diketahui terlibat dalam transfer-RNA
(t-RNA). Sitokinin juga menunjukkan dapat mengaktivasi sintesa RNA dan
menstimulasi aktivitas protein dan enzim pada jaringan tertentu.
B. Nama- Nama Media Dasar Kultur Jaringan
Menurut George dan Sherington (1984) ada media dasar yang pada
umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain:
1. Medium dasar Murashige dan Skoog (MS), digunakan hamper pada semua
macam tanaman terutama herbaceous. Media ini memiliki konsentrasi garam-
garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.
2. Medium dasar B5 atau Gamborg, digunakan untuk kultur suspense sel kedelai,
alfafa dan legume lain.
3. Medium dasar white, digunakan untuk kultur akar. Medium ini merupakan
medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah.
4. Medium Vacint Went (VW), digunakan khusus untuk medium anggrek.
5. Medium dasar Nitsch dan Nitsch, digunakn untuk kultur tepung sari (Pollen)
dan kultur sel.
6. Medium dasar schenk dan Hildebrandt, digunakan untuk tanaman yang
berkayu.
7. Medium dasar Woody Plant Medium (WMP), digunakan untuk tanamn yang
berkayu.
69
8. Medium dasar N6, digunakan untuk tanaman serealia terutama padi, dan lain-
lain.
C. Perbandingan Komposisi Media Kultur Jaringan
Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media kultur
jaringan, yaitu diantaranya:
1. Media Murashige & Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur,
merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro
dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini
sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain Media MS
mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+.
Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media
Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih
tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P,
1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-
tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan
media MS tersebut, antara lain media : 1. Lin & Staba, menggunakan media
dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM
ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi
menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin &
Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur
jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan
1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur
anther.
Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam
Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi
konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya. 3. Chaturvedi et
al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+,
Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
2. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
70
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman
monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam
komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan
perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk &
Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media
SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan
sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk
pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis
tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama
untuk tanaman legume.
3. Media WPM (Woody Plant Medium)
Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan
media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media
diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi
sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM
banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan
pohon-pohon.
4. Media Nitsch & Nitsch
Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk
mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium
khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun.
Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan
kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).
5. Media Knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus,
biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah
seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine,
thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983)
71
6. Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor
bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut,
lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan
S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan
normal yang dikembangkan kemudian.
Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media
white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum
digunakan sekarang.
7. Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di
kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N
dari Nitrat. S Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+
disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan
biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan
protocorm
8. Media B5(Gamborg)
Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar
diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Gamborg (B5). Media B5
dikembangkan oleh Gamborg et al. pada tahun 1968 untuk kultur suspensi
kedelai. Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan
konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk
selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat
baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman. Pada masa
ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain.
Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, menggunakan konsentrasi
NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat
pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti lain melaporkan bahwa konsentrasi
NH4+ yang tinggi sampai 20 mM berpengaruh baik dalam kultur jaringan seperti
pada kultur kalus tembakau Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut
72
adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM lebih mengutamakan
kandungan ammonium dibandingkan media MS.
Meskipun media B5 pada awalnya digunakan untuk menginduksi kalus atau
diutamakan sebagai kultur suspensi, tetapi dapat digunakan pula sebagai media
dasar bagi perbanyakan tanaman pada umumnya. Gamborg (1991) menyatakan
bahwa kadar hara anorganik yang dikandung media dasar Gamborg (B5)
umumnya lebih rendah dari pada media dasar MS. Hal tersebut sering kali lebih
baik bagi sel spesies tertentu. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk
kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk
meregenerasi seluruh bagian tanaman.
d. Teknik Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan dapat dilaksanakan dengan dua metode yaitu:
Metode Padat (Solid Method)
Metode pada dilakukan dengan tujuan mendapatkan kalus dan kemudian
dengan medium diferensiasi yang berguna untuk menumbuhkan akar dan tunas
sehingga kalus dapat tumbuh menjadi planlet. Media padat adalah media yang
mengandung semua komponen kimia yang dibutuhkan oleh tanaman dan
kemudian dipadatkan dengan menambahkan zat pemadat. Zat pemadat tersebut
dapat berupa agar-agar batangan, agar-agar bubuk, atau agar-agar kemasan kaleng
yang yang memang khusus digunakan untuk media padat untuk kultur jaringan.
Media yang terlalu padat akan mengakibatkan akar sukar tumbuh, sebab
akar sulit untuk menembus ke dalam media. Sedangkan media yang terlalu
lembek akan menyebabkan kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan dapat berupa
tenggelamnya eksplan yang ditanam. Eksplan yang tenggelam tidak akan dapat
tumbuh menjadi kalus, karena tempat area kalus yaitu pada irisan (jaringan yang
luka) tertutup oleh medium.
Metode padat dapat digunakan untuk metode kloning, untuk menumbuhkan
protoplas stelah diisolasikan, untuk menumbuhkan planlet dari protokormus stelah
dipindahkan dari suspensi sel, dan untuk menumbuhkan planlet dari prtoplas yang
sudah difusikan (digabungkan).
73
Metode Cair(Liquid Method)
Penggunaan metode cair ini kurang praktis dibandingkan dengan metode
padat, karena untuk menumbuhkan kalus langsung dari ekspaln sangat sulit
sehingga keberhasilannya sangat kecil dan hana tanaman-tanaman tertentu yang
dapat berhasil. Oleh karena itu, penggunaan media cair lebih ditekankan untuk
suspensi sel, yaitu untuk menumbuhkan plb (prtocorm like bodies). Dari
protokormus ini nantinya dapat tumbuh menjadi planlet apabila dipindahkan
kedalam media padat yang sesuai.
Pembuatan media cair jauh lebih cepat daripada media padat, karena kita
tidak perlu memanaskannya untuk melarutkan agar-agar. Media cair juga tidak
memerlukan zat pemadat sehingga keadaannya tetap berupa larutan nutrein.
e. Pembuatan Media Kultur Jaringan
Tahun 1962 Murashige dan Skoog memperkenalkan hasil temuannya
berupa komposisi media kultur yang terdiri dari unsur makro, unsur mikro,
vitamin dan asam amino pada konsentrasi tertentu. Temuan ini dikenal dengan
nama media Murashige dan Skoog (MS). Media MS (Murashige dan Skoog)
merupakan media universal yang paling umum digunakan pada kegiatan kultur
jaringan tanaman.
Media MS yang dibuat mengandung nutrisi makro anorganik, nutrisi
mikro anorganik, nutrisi Fe, vitamin, organik dan zat pengatur tumbuh tanaman
(phytohormon). Komposisi nutrisi makro yang digunakan adalah: KNO3,
NH4NO3, CaCl2.H2O, MgSO4.7H2O, KH2PO4
Komposisi ini mengandung : N (KNO3 dan NH4NO3); K (KNO3 dan
KH2PO4); P ( KH2PO4), Ca (CaCl2.H2O); Mg (MgSO4.7H2O) dan S
( MgSO4.7H2O) unsur kimia ke dalam pertumbuhan tanaman. Unsur nitrogen
ditambahkan dalam jumlah besar dibandingkan dengan unsur yang lain karena
tanaman membutuhkan nutrisi tersebut dalam jumlah besar untuk pertumbuhan
vegetatif (Prakash et al, 2004).
Nutrisi mikro yang digunakan dalam praktikum kali ini dalam bentuk
nutrisi stok B yaitu MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3 and KI. Nutrisi mikro
dalam kultur jaringan tanaman menggunakan konsentrasi molar yaitu Fe, Mn, Zn,
74
B, Cu dan Mo. Fe dapat diperoleh dari larutan stok C karena unsur ini sangat
reaktif dengan unsur lain dan cahaya.
Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pengembangan untuk
tanaman sintesis seperti karbohidrat dan asam nukleat. Thiamin semestinya harus
digunakan dalam pembuatan stok vitamin atau disebut juga larutan stok D.
Komponen ini diperlukan pada konsentrasi yang sangat rendah.
Phytohormon yang digunakan adalah kinetin dengan rasio 1: 1. Rasio pada
phytohormon determinen untuk divisi sel dan formasi kulit yang tebal dan keras.
Membuat larutan stok harus dilarutkan kinetin dengan NaOH (untuk IAA) dan
HCl (untuk kinetin).
Agar dan gula diperlukan untuk pembuatan media. Bubuk agar perlu untuk
media pembuatan menjadi semi padat. Diperlukan pemanas untuk mencairkan
bubuk agar dan media MS cair sampai mendidih. Gula berfungsi ganda di dalam
media yaitu berfungsi sebagai sumber energi dan sebagai penyeimbang tekanan
osmotik media. Menurut George & Sherrington (1984) dalam Anonim (2009), 4/5
bagian dari potensial osmotik dalam media White disebabkan oleh gula,
sedangkan dalam media MS hanya 1/2 dari potensial osmotiknya disebabkan
adanya gula.
Sebelum media dipanaskan harus diperiksa pH nya terlebih dahulu. Media
sangat baik pada pH 5,8 jika pH kurang dari 5 media agar akan terlalu lemah,
tetapi jika pH di atas 7 media agar terlalu padat dan tidak bisa penanaman eksplan
dengan baik. Faktor penting adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma.
Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor (Anonim, 2009):
4. Kelarutan dari garam-garam penyusun media
5. Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain
6. Efisiensi pembekuan agar.
Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan
Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan
memanaskan media di dalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan
penetapan media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media
75
disterilkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang
diinginkan. Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah
dipersiapkan di dalam Laminar Air Flow cabinet.
Keuntungan dari pemakaian agar adalah (Anonim, 2009):
1. Agar membeku pada temperatur ≤ 45o C dan mencair pada temperatur 100o C,
sehingga dalam kisaran temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku
yang stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.
Setiap jenis vitamin mempunyai fungsi yang berbeda-beda di dalam tubuh
tanaman antara lain:
1. Inositol (vit. B) bagian dari berbagai macam membran (kloroplas).
2. Thyamin (vit. B1) berperan sebagai ko-enzim dari siklus krebs.
3. Nicotinic acid (niacin) berperan dalam fotosintesa.
4. Pyridoxine (vit. B6) berperan sebagai ko-enzim pada beberapa enzim.
5. Pantothenic acid (a vit. B) berperan sebagai ko-enzim dalam metabolisme
lemak.
6. Riboflavin (vit. B12) berperan sebagai ko-enzim reseptor sinar biru.
7. Biotin (vit. H) berperan sebagai ko-enzim dalam metabolisme lemak.
Hormon yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah kinetin golongan
dari sitokinin. Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini
sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Kinetin
merupakan sitokinin yang pertama ditemukan dan diisolasi oleh Skoog dalam
laboratorium Botani di University of Wisconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan
Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam. Persenyawaan dari DNA
tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau, ternyata
merangsang pembelahan sel dan differensiasi sel. Persenyawaan tersebut
kemudian dinamakan kinetin.
76
Fungsi sitokinin terhadap tanaman antara lain:
1. Memacu terbentuknya organogenesis dan morfogenesis.
2. Memacu terjadinya pembelahan sel.
3. Kombinasi antara auksin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.
Penyesuaian tanaman pada media kultur diharapkan mampu
mempertahankan pertumbuhan sel tanaman dan mendorong pembelahan sel.
Tanaman dapat bertahan hidup dan melanjutkan perkembangannya harus dipenuhi
dengan media yang tepat serta media yang bebas dari penyakit. Media dapat bebas
dari penyakit dan kontaminasi mikroba perlu disterilisasi terlebih dahulu. Alat
sterilisasi yang biasa digunakan dalam kultur jaringan yaitu autoklaf. Berikut
adalah langkah-langkah sterilisasi media.
1. Mengisi panci luar autoklaf dengan air, kalau dapat dengan aquadest untuk
menghindarkan pengendapan Ca yang biasa terdapat pada air ledeng sebanyak 1
liter untuk autoklaf kecil dan 1.5 liter untuk autoklaf besar.
2. Botol-botol yang telah diisi media yang akan disterilisasi di masukkan ke
dalam panel dalam. Susun botol-botol tersebut hingga mencapai permukaan panel.
3. Atur posisi panci dengan memperhatikan alur tempat saluran uap yang terdapat
pada tutup dan lingkaran permukaan panci luar
4. Tutup dengan erat. (kencangkan pengunci tanpa menggunakan alat)
5. Biarkan salah satu katup pengeluaran uap dalam keadaan terbuka.
6. Letakkan autoklaf di atas kompor gas atau pembakar Bunsen.
7. Panaskan sampai air dalam autoklaf mendidih dan uap mulai keluar dari katup
pengeluaran uap.
8. Biarkan uap keluar selama 5 menit (minimum), untuk mengeluarkan udara
mengeluarkan udara yang terperangkap dalam autoclave.
9. Tutup katup pengeluaran uap.
10. Amati kenaikan temperature dan tekanan.
11. Setelah tekanan mencapai 15 psi dengan suhu 121oC, api kompor dikecilkan.
12. Jaga keadaan tekanan 15 psi ini dengan mengatur besar kecilnya api kompor
secara manual. Sampai pada suhu 126 oC matikan api kompor. Selama sterilisasi
jangan meninggalkan autoklaf dan mengerjakan hal lain diruang lain karena
77
tekanan dapat meningkat sampai melewati batas. Keadaan ini berbahaya dan dapat
menyebabkan kerusakan alat.
13. Uap dikeluarkan sedikit-sedikit dengan mengatur katup pengeluaran uap
(buka sedikit-sedikit). Jangan sekali-kali membuka katup dan membiarkan uap
keluar sekaligus. Keadaan ini menyebabkan media atau air bubble up
14. Setelah tekanan turun sampai 0, buka pengunci dan keluarkan panci yang
berisi media.
2.12. Contoh Penerapan Kultur Jaringan
Contoh pembuatan perbanyakan tanaman Pulai Pandak
(Rauwolfia serpentina L.) dengan teknik kultur jaringan:
Rauwolfia serpentina, salah satu anggota famili
Apocynaceae yang merupakan tumbuhan obat potensial untuk
dikembangkan, karena disamping dibutuhkan sebagai bahan
baku obat tradisional juga digunakan sebagai bahan untuk
fitofarmaka. Tumbuhan ini banyak diminati oleh negara-negara
industri farmasi dan merupakan spesies tumbuhan yang
mempunyai pasaran baik di Amerika Sertikat, Jepang, Jerman,
Prancis, Swiss dan Inggris, karena R. serpentina mengandung
beberapa senyawa diantaranya reserpin, rescinamine dan
ajmalin yang digunakan sebagai obat penurun tekanan darah
tinggi, tranquilizer (penenang) dan gangguan pada sistem
sirkulator. Senyawa-senyawa ini belum dapat dibuat sintetisnya
meskipun struktur kimianya telah diketahui (Prasetyorini 2000).
R serpentina merupakan salah satu jenis tanaman yang sudah
dinyatakan langka dan sudah terancam punah. Simplisianya
diperoleh dengan cara pengumpulan langsung dari alam (hutan)
oleh karena permintaan yang cukup tinggi mengakibatkan
pemanenan berlebihan, sehingga mengancam kelestariannya
(Zuhud et al. 1994 dalam Yahya 2001).
78
Faktor lain penyebab kelangkaan R serpentina adalah
bagian yang di manfaatkan sebagai bahan obat adalah akar,
tanaman ini sulit di perbanyak secara konvensional dan
penyebarannya terbatas. Oleh karena itu perlu segera dilakukan
upaya pengembangannya. Salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pengembangan suatu jenis tanaman adalah
ketersediaan bibit bermutu. Penyediaan bibit melalui
perbanyakan tanaman secara konvensional kurang memadai,
seperti yang dilaporkan oleh Sudiarto et al. (1985), perbanyakan
R serpentina secara konvensional menunjukkan bahwa
pertumbuhan biji dan stek batang kurang dari 15%. Persentase
tumbuh yang rendah di sebabkan biji bertempurung keras,
sehingga daya kecambah juga sangat rendah. Salah satu
teknologi yang biasa digunakan dan memberikan harapan dalam
penyediaan bibit dalam jumlah besar dan waktu relatif lebih
singkat adalah teknik kultur in vitro. Telah banyak tanaman yang
berhasil di perbanyak dengan teknik kultur jaringan ini (in vitro)
di antaranya yaitu Tebu (Saccharum officinarumL.) (Behera et al.
2009), Pisang (Lee 2010), dan phalenopsis (Kosir et al. 2004)
Perbanyakan secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara
yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan
embriogenesis somatik. Penelitian perbanyakan tanaman R
serpentina melalui proliferasi tunas telah dilakukan oleh Lestari
dan Mariska (2011), dimana tunas apikal dan internodus yang
dikulturkan pada media
MS+BAP 0,8mg/l memberikan nilai multiplikasi tunas yang lebih
tinggi media terbaik untuk induksi perakaran adalah MS+IBA 0,8
mg/l. Perbanyakan R serpentina melalui embriogenesis somatik
juga mampu memperbanyak bibit dalam jumalah yang relatif
besar (Singh et al. 2009). Akan tetapi dengan cara ini
kemungkinan akan terjadi variasi somaklonal sehingga bibit yang
dihasilkan tidak sama dengan induknya ( Hutami et al. 2006).
79
Pada penelitian ini dilakukan induksi tunas langsung dari
daun atau ruas batang untuk mendapatkan tunas yang banyak
akan tetapi tidak mengalami perubahan pada sifat genetiknya
sehingga bibit yang di hasilkan sama dengan induknya. Induksi
tunas adventif dari eksplan ruas batang dan daun secara in vitro,
sejauh ini belum banyak dilaporkan. Pada penelitian ini telah
lakukan induksi dan multiplikasi tunas ruas batang dan daun
serta induksi perakarannya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1)
Untuk mendapatkan jenis eksplan dan formulasi media yang
temapat untuk induksi tunas (2) Mendapatkan formulasi media
yang tepat untuk multiplikasi tunas (3) Mendapatkan Formulasi
media yang tepat untuk induksi perakaran secara in vitro dan (4)
mendapatkan media tanam yang tepat untuk aklimatisasi.
Bahan dan Metode:
Bahan tanaman yang digunakan adalah biakan in vitro R
serpentina (L.) koleksi BB-Biogen Tahapan penelitian ini terdiri
atas empat kegiatan yaitu (1) penyedian bahan eksplant (2)
regenerasi tunas (3) Multiplikasi tunas (4) Induksi perakaran dan
(5) aklimatisasi plantlet
(1) Penyediaan bahan eksplant. Biakan in vitro R
serpentina (L.) koleksi BB-biogen, disubkultur pada media dasar
MS dengan penambahan ZPT BAP 0,1mg/l untuk penyediaan
eksplan. Media dasar yang digunakan adalah MS (Murashige &
Skoog 1962), yang diperkaya dengan vitamin dan dilengkapi
dengan sukrosa 3% (w/v), serta dibuat padat dengan
menambahkan agar 0,2% (phytagel/Gelrate). Selanjutnya pH
media dibuat 5,8 dengan menambahkan 1N NaOH atau 1N HCl
sebelum di autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Biakan di
letakkan pada ruang kultur pada suhu 25 ± 20C dengan
intensitas penyinaran sebesar 1.000–2.000lux selama 16 jam.
80
Setelah biakan berumur 2 bulan, setinggi ±5cm dan
menghasilkan daun yang memiliki ukuran yang memadai sebagai
eksplan (Gambar 1a), maka biakan siap dijadikan eksplan untuk
regenerasi tunas. Bagian tanaman yang digunakan sebagai
eksplan untuk regenerasi tunas adalah daun dan batang. Daun
dipotong segi empat dengan ukuran ± 0,7cm x 0,7 cm (Gambar
1 b) dan batang yang digunakan ialah internodul panjang ± 0,7
cm dan bagian nodul dibuang (Gambar 1c).
(2) Induksi tunas tunas. Pada kegiatan induksi tunas ini
mengunakan eksplan daun dan ruas batang dari hasil kegitan 1.
media yang di gunakan adalah media dasar MS yang diperkaya
dengan ZPT yaitu BAP pada konsentrasi 0,0; 0,1; 0,3, mg/l
dikombinasikan dengan 2ip pada konsentrasi 0, 1, 2 mg/l. Masing
perlakuan terdiri atas 30 ulangan. Peubah yang diamati adalah
persentase eksplan membentuk tunas, jumlah dan tinggi tunas
yang terbentuk.
(3) Multiplikasi tunas. Tunas yang dihasilkan pada kegiatan
2 dipindahkan ke media multiplikasi. Media untuk multuplikasi
adalah media dasar MS yang diperkaya dengan BAP pada
tingkatan konsentrasi 0,0; 0,5; 1mg/l dan di kombinasikan
dengan Thidiazuron pada beberapa konsntrasi yaitu 0,0; 0,1; 0,2
dan 0,3 mg/l. Masing-masing perlakuan terdiri atas 30 ulangan.
Peubah yang diamati meliputi jumlah tunas dan penampakan
visualnya.
81
(a) (b)
Gambar 2 (a) Tunas yang terbentuk dari ekplan batang (b) Tunas yang terbentuk dari eksplan daun.
(a) (b)
(c)
Gambar 1 (a) biakan R serpentina in vitro yang digunakan sebagai eksplan untuk induksi kalus, (b) batang dan (c) daun
(4) Induksi perakaran. Tunas yang tingginya ± 5 cm, dipindahkan pada
media perakaran. Percobaan perakaran menggunakan media MS yang diperkaya
dengan auksin IBA pada beberapa tingkatan konsentarasi yaitu 0,0; 0,5; 1,0; 1,5;
82
2,0; 2,5; 3,0 mg/l. Masing–masing perlakuan terdiri atas 30 ulangan. Peubah yang
diamati adalah jumlah akar dan panjang akar setelah berumur 8 minggu.
(5) Aklimatisasi plantlet. Planlet yang memiliki akar yang telah terbentuk
sempurna selanjutnya diaklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan dengan cara biakan
dikeluarkan dari botol. Biakan selanjutnya ditanam pada media yang telah
disiapkan. Media tanam yang digunakan sebagai perlakuan adalah adalah (1)
Kompos, (2) tanah, (3) Kompos+pasir (perbandingan 1:1) (4) Tanah+pasir
(perbandingan 1:1) (5) Tanah+kompos (6) Tanah+kompos+pasir (perbandingan 1:
1: 1). Masing-masing perlakuan terdiri atas 20 ulangan. Parameter yang diamati
adalah persentase tanaman yang hidup setelah diaklimatisasi.
Hasil:
a. Induksi tunas.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada umumnya eksplan yang berasal
dari batang mampu membentuk tunas kecuali pada perlakuan 0,1 mg/l BAP+1
mg/l 2ip eksplan yang menghasilkan tunas hanya 60%. Untuk eksplan yang
berasal dari daun, persentase eksplan yang terbentuk relatif rebih rendah. Bahkan
untuk perlakuan 1 mg/l 2ip, 2 mg/l 2ip dan 0,1 mg/l BAP+2 mg/l 2iP tidak
mampu memacu terbentuknya tunas. Pemberian 0,1 mg/l BAP dan 0,3 mg/l BA
pada eksplan daun mampu menginduksi terbentuknya tunas hingga 80%
sedangkan pada perlakuan 0,3 mg/l BAP + 1 mg/l 2iP dan 0,3 mg/l BAP + 2 mg/l
2iP persentase eksplan daun yang menghasilkan tunas adalah 100% (Tabel 1).
Jika dilihat pada Tabel 2, penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) 0,1
mg/l BAP pada media, mampu menginduksi terbentuknya tunas dari ekplan
batang rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan sebanyak 1,4 dan ekplan daun rata-
rata jumlah tunas yang dihasilkan sebanyak 1,2. Bila konsentrasi BAP
ditingkatkan hingga 0,3 mg/l, maka rataan jumlah tunas yang dihasikan oleh
ekplan batang maupun daun juga meningkat yaitu menjadi 1,6 dan 3,6 tunas. Hal
yang sama juga terjadi pada tanaman melon (Cucumis melo) peningkatan
konsentrasi BAP yang diberikan mampu meningkatkan kemampuan ekplan
bertunas (Rohayati 2003). Begitu pula dengan rataan tinggi tanaman, peningkatan
konsentrasi BAP yang diberikan hingga 0,3 mg/l cenderung meningkatkan tinggi
83
tanaman. Pemberian 1 mg/l dan 2mg /l 2ip pada eksplan daun mampu
menginduksi terbentuknya tunas 1,2 dan 1,4, sedangkan pada eksplan batang tidak
mampu menginduksi terbentuknya tunas. 2ip merupakan ZPT yang tergolong
kedalam sitokinin yang berperan sebagai promotor dalam pembentukan jaringan.
Eksplan daun dan batang yang di tumbuhkan pada media MS yang
dikombinasikan dengan 0,3 mg/l BAP dari 2 mg/l 2iP memberikan rataan jumlah
tunas yang lebih tinggi dari pada perlakaun lainnya yaitu 2,4 dan 7 (Tabel 2).
Biakan yang di kulturkan pada media kombinasi BAP dan 2ip cendrung
menghasilkan tunas yang lebih tinggi daripada perlakuan tunggal. Hal ini karena
ada sifat sinergis dari kedua jenis sitokin tersebut dalam proses pembelahan dan
pembesaran sel.
b. Multiplikasi tunas
Tunas yang terbentuk disubkultur kemedia multiplikasi yaitu media
MS+0,1 mg/l BA. Tunas yang disubkultur berukuran + 1 cm yang mengandung 2
nodus.
Tabel 1 Persentase Pembentukan tunas pada formulasi media dan jenis
eksplan yang beda pada minggu ke-10 setelah masa tanam
84
Tabel 2 Pengaruh formulasi media terhadap pertumbuhan biakan minggu ke – 8
Pada Tabel 3, terlihat bahwa pemberian Thidiazuron secara tunggal mampu
meningkatkan kemampuan tunas untuk bermultiplikasi. Peningkatan konsentrasi
Thidiazuron hingga 0,3 mg/l mampu meningkatkan jumlah tunas hingga 4,6
Tunas. Penggunaan BAP secara tunggal pada konsentrasi 0,5 dan 1 mg/l belum
mampu meningkatkan kemampuan tunas bermultiplikasi seperti pada pemberian
Thidiazuron secara tunggal. Keadaan yang sama juga terjadi pada taman melinjo
(Gnetum gnemon) dimana pemberian Thidiazuron hingga 0,3 mg/l mampu
meningkatkan kemampuan tunas untuk bermultiplikasi (Yunita 2004). Hal yang
sama juga di temui pada tanaman Plumbago zeylanica L bahwa pemberian
Thidiazuron hingga 0,05 mg/l mampu meningkatkan kempuan tunas untuk
bermultiplikasi. Hal ini karena Thidiazuron memiliki kempuan untuk
menginduksi terjadinya proses pembelahan sel (Syahid & Kristina 2008).
Penggunan BAP dan thidiazuron secara bersamaan mampu menigkatkan
kemampuan tunas bermultiplikasi daripada pemberian BAP atau Thidiazuron
secara tunggal. Pada percobaan ini pemberian BAP dan thidiazuron yang
optimum adalah pada konsentrasi 0,5 mg/l BAP dan 0,2 mg/l Thidiazuron dimana
rerata tunas yang dihasilkan adalah 7,7 tunas. Pengunaan thidiazuron pada
konsentrasi rendah akan lebih efektif apabila dikombinasi dengan BA, akan tetapi
peningkatan konsentrasi BAP dan Thidiazuron cenderung menurunkan
kemampuan tunas untuk bermultiplikasi, hal ini juga terjadi pada tanaman Kigelia
pinnata dimana kemampuan multiplikasinya meningkat bila diberi Thidiazuron
hinga 0,5 μM dan bila kosentrasi terus ditingkatkan maka kemampuan tunas untuk
bermultiplikasi menjadi menurun (Thomas & Puthur 2004).
85
Tabel 3 Pengaruh formulasi media multiplikasi terhadap rerata jumlahtunas pada
umur biakan minggu ke – 8
Tabel 4 Pengaruh konsentrasi IBA terhadap rerata jumlah akar danrerata panjang
akar umur biakan minggu ke – 8
Gambar 3 Tunas yang di multiplikasi pada media MS + 0,5 mg/l BAP
+ 0,2 mg/l Thi
86
Gambar 4 Akar yang dihasilkan pada media MS + 1 mg/l IBA
c. Induksi perakaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian IBA secara umum
mampu menginduksi pembentukan akar pada tunas in vitro. Dari Tabel 4, terlihat
bahwa pemberian IBA yang terbaik untuk induksi perakaran adalah pada
konsentrasi 1,0 mg/l. Pada konsentrasi tersebut mampu menghasilkan akar lebih
banyak dengan nilai rataan 4,8 dan rataan panjang akar 2,6 cm. Peningkatan
konsentrasi IBA lebih dari 1mg/l menurunkan kemampun tunas untuk membentuk
akar di samping itu akar yang dihasilkan lebih pendek. Menurut Davies (1993),
Penambahan auksin pada konsentrasi tertentu pada media biakan mampu
menginduksi pembentukan akar, Tetapi bila konsentrasi yang diberikan terlalu
tinggi akan menghambat pembentukan akar tersebut. Penambahan auksin eksogen
dalam konsentrasi tinggi pada media biakan akan menstimulasi diferensiasi
jaringan pembuluh yang cepat, sehingga akan meningkatkan jumlah dan ukuran
jaringan tersebut. IBA merupakan ZPT jenis auksin yang umum digunakan untuk
menginduksi perakaran tanaman secara in vitro.
Pada tanaman sukun dalam waktu dua bulan eksplan yang ditanam pada
WPM+3 mg/l IBA mampu membentuk akar dengan persentase perakaran 60%
dan panjang akar 4,5 cm (Mariska et al. 2004). Pada tanaman Belimbing dewi
tunas in vitro yang ditanam pada media ½ WPM+3 mg/l IBA persentase tunas
87
yang berakar 80% dengan rata rata jumlah akar 7,0 buah dan rerata panjang akar
4,2 cm (Suryati et al. 2004).
Tabel 5 Persentase tanaman yang hidup setelah berumur 7 minggusetelah
aklimatisasi
d. Aklimatisasi tunas
Aklimatisasi adalah suatu aktifitas atau kegiatan pemindahan tanaman dari
lingkungan yang terkendali (in vitro) ke lingkungan mandiri (eks vitro). Planlet
yang pertumbuhannya telah optimal dan memiliki perakaran sempurna dilakuan
uji aklimatisasi pada berbagai media tumbuh. Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa
kemampuan planlet untuk tumbuh berkisar dari 25-80%, kemampuan tumbuh
tertinggi yaitu 80%, Pada perlakuan kompos+tanah (perbandingan 1:1). Dengan
mengunakan media kompos saja dan tanah saja kemampuan tumbuh tanaman
sangat rendah yaitu 25%. Media aklimatisasi yang tepat untuk masing-masing
tanaman hasil kultur jaringan berbeda-beda. Semua planlet yang diaklimatisasi
disungkup dengan gelas aqua plastik dengan tujuan untuk menciptakan tingkat
kelembaban yang diinginkan. Kelembaban yang tinggi umumnya diperlukan bagi
hampir semua tanaman yang berasal dari kultur jaringan karena lapisan kultikula
pada daun masih tipis. Stomata belum berfungsi secara normal, serta hubungan
jaringan pembuluh akar dan batang belum sempurna.
Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa eksplan
terbaik untuk induksi kalus adalah ruas batang in vitro yang dikulturkan pada
media dasar MS + 0,3 mg/l BAP+1 mg/l 2iP. Formulasi media terbaik untuk
multiplikasi tunas adalah MS + 0,5 mg/l BAP + 0,1 mg/l Thidiazuron. Sedangkan
untuk induksi perakaran formulasi media terbaik adalah MS+1 mg/l IBA. Pada
tahap aklimatisasi, media tanaman optimum yang di gunakan untuk proses ini
88
adalah campuran Kompos + tanah dengan perbandingan 1:1. Tabel 5 Persentase
tanaman yang hidup setelah berumur 7 minggu setelah aklimatisasi.
2.13. Kultur Jaringan pada Hewan
Kultur jaringan pada hewan jarang dilakukan karena adanya pro-kontra
dalam masyarakat.
1. Pengertian Kloning
Kloning berasal dari kata ‘Clone” yang diturunkan dari bahasa Yunani
“Klon” yang artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman.
Kloning adalah langkah penggandaan (pembuatan tiruan yang sama persis) dari
suatu makhluk hidup dengan menggunakan kode DNA makhluk
tersebut. Kloning dalam biologi adalah proses menghasilkan individu-individu
dari jenisyang sama (populasi) yang identik secara genetik
2. Sejarah Kloning.
Kloning sebagai prosedur perbanyakan non-seksual telah sukses dilakukan
sejak tahun 1952 oleh Briggs dan King, dan disempurnakan di Oxford oleh Sir
John Gurdontahun 1962-1966.
Kloning dapat berupa klon sel, yaitu sekelompok sel yang identik sifat-
sifat genetiknya, semua berasal dari satu sel, dan klon gen atau molecular, yaitu
sekelompok salinan gen yang bersifat identik yang direplikasi dari satu gen yang
dimasukkan ke dalam sel inang.
Kloning sel
Kloning sel adalah teknik untuk menghasilkan salinan makhluk hidup
dengan menggunakan bahan genetis dari sel makhluk itu sendiri.
1997 Dr Ian Wilmut dan rekannya dari Institute Roslin di Edinburgh, Inggris,
mengklon domba dari sel epitel ambing (sel payudara) seekor domba
lainnya.Wilmut pertama mengambil sel epitel ambing seekor domba jenis Finn
Dorset berumur enam tahun yang sedang hamil. Kemudian sel ambing itu
dikultur dalam cawan petri dengan sumber makanan yang terbatas. Karena
89
kelaparan sel itu berhenti berkembang atau mematikan aktivitas
gennya.Sementara itu mereka juga mengambil sel telur yang belum dibuahi dari
seekor domba betina jenis Blackface. Inti sel telur yang bisa membelah menjadi
domba dewasa setelah dibuahi itu kemudian diambil, sekarang sel telur itu
kosong, hanya berisi organela dan plasma sel saja.
Selanjutnya dua sel itu didekatkan satu dengan lainya. Kejutan aliran
listrik membuat kedua sel itu bergabung seperti dua gelembung sabun. Kejutan
aliran listrik kedua meniru energi alami yang muncul ketika telur dibuahi oleh
sperma, sehingga sel telur dengan inti baru itu merasa telah dibuahi. Kejutan
aliran listrik itu telah mengubah sel telur dengan inti baru itu seakan-akan menjadi
sel embrio. Kurang lebih enam hari kemudian, sel embrio bohongan itu
disuntikkan ke dalam rahim seekor domba betina Blackface lainnya yang
kemudian mengandung. Setelah mengandung selama 148 hari induk domba
titipan ini melahirkan Dolly, seekor domba lucu seberat 6,6 kilogram yang secara
genetis persis dengan domba jenis Finn Dorset pemilik inti sel ambing.
Sel Eukariotik
Secara taksonomi eukariotik dikelompokkan menjadi empat kingdom,
masing-masing hewan (animalia), tumbuhan (plantae), jamur (fungi), dan protista,
yang terdiri atas alga dan protozoa. Salah satu ciri sel eukariotik adalah adanya
organel-organel subseluler dengan fungsi-fungsi metabolisme yang telah
terspesialisasi. Tiap organel ini terbungkus dalam suatu membran. Sel eukariotik
pada umumnya lebih besar daripada sel prokariotik. Diameternya berkisar dari 10
hingga 100 µm. Seperti halnya sel prokariotik, sel eukariotik diselimuti oleh
membran plasma. Pada tumbuhan dan kebanyakan fungi serta protista terdapat
juga dinding sel yang kuat di sebelah luar membran plasma. Di dalam sitoplasma
sel eukariotik selain terdapat organel dan ribosom, juga dijumpai adanya serabut-
serabut protein yang disebut sitoskeleton. Serabut-serabut yang terutama
berfungsi untuk mengatur bentuk dan pergerakan sel ini terdiri
atas mikrotubul (tersusun dari tubulin) dan mikrofilamen (tersusun dari aktin).
90
3. Jenis-Jenis Kloning
Dikenal 3 jenis kloning biologi :
1. Kloning tingkat DNA
Kloning dilakukan terhadap untaian DNA untuk mendapatkan untaian
DNA yang identik, yang kemudian menggunakan plasmid bakteri menghasilkan
molekul dengan sifat genetik yang sama untuk kepentingan pembuatan
monoklonal, antibody untuk keperluan diagnostik,pembuatan vaksin dsb.
2. Kloning untuk upaya terapi
Kloning ditujukan untuk menghasilkan sitem cell (sel punca).Sitem cell ini
di”panen” dari kloning yang menghasilkan embrio manusia, namun tidak
dikembangkan menjadi mahluk baru.
3. Kloning untuk Reproduksi
Merupakan hal yang sangat menggelitik bagipara ilmuwan untuk
“menciptakan” machluk menggunakan teknologi kloning.Sel telur matang yang
dibuang inti selnya, ke dalamnya kemudian disuntikkan inti sel somatik,sehingga
sel yang kemudian terbentuk diupayakan untuk tumbuh kembang menghasilkan
mahluk baru. Hal ini serupa dengan reproduksi vegetatif, tanpa melalui proses
pembuahan sel telur oleh benih laki-laki
4. Macam-Macam Kloning
Kloning Pada Tumbuhan
Nama lain dari kloning pada tumbuhan adalah kultur jaringan, yaitu suatu
teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan
menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur
tumbuh tanaman pada kondisi aseptik,sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali.
Ada dua teori dasar yang berpengaruh dalam kultur jaringan. Yang
pertama adalah teori bahwa sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun
91
letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut.
Yang kedua adalah teori totipotensi sel atau Total Genetic Potential. Artinya,
setiap sel yang memiliki potensi genetik mampu memperbanyak diri dan
berdiferensiasi menjadi suatu tanaman lengkap.
Dalam kultur jaringan ada beberapa factor yang mempengaruhi regenerasi
tumbuhannya, yaitu :
Bentuk regenerasi dalam kultur in vitro, seperti pucuk adventif atau
embrio somatiknya
Eksplan, yaitu bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan awal untuk
perbanyakan tanaman. Yang penting dalam eksplan ini adalah factor
varietas, umur, dan jenis kelaminnya. Bagian yang sering menjadi ekspan
adalah pucuk muda, kotiledon, embrio, dan sebagainya.
Media tumbuh, karena di dalam media tumbuh terkandung komposisi
garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media.
Zat pengatur tumbuh tanaman. Faktor yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan zat ini adalah konsentrasi, urutan penggunaan dan periode
masa induksi dalam kultur tertentu.
Lingkungan Tumbuh yang dapat mempengruhi regenerasi tanaman
meliputi temperatur, panjang penyinaran, intensitas penyinaran, kualitas sinar, dan
ukuran.
Kloning Pada hewan
Kloning hewan adalah suatu proses dimana keseluruhan organisme hewan
dibentuk dari satu sel yang diambil dari organisme induknya dan secara genetika
membentuk individu baru yang identik sama. Artinya, hewan kloning ini adalah
duplikat yang persis sama baik dari segi sifat dan penampilannya seperti
induknya, dikarenakan adanya kesamaan DNA.
Di alam, sebenernya kloning bisa saja terjadi. Reproduksi aseksual pada beberapa
jenis organisme dan penemuan mengenai munculnya sel kembar dalam satu telur
juga merupakan apa yang disebut dengan kloning. Dengan kemajuan bioteknologi
sekarang ini, bukan mustahil untuk menciptakan lebih lanjut mengenai kloning
pada hewan.
92
Pertama kali para ilmuwan berusaha membentuk sel kloning pada hewan
tidak berhasil selama bertahun-tahun lamanya. Kesuksesan pertama yang diraih
oleh ilmuwan pada saat mereka berhasil mengkloning seekor kecebong dari sel
embrio di tubuh katak dewasa. Namun demikian, kecebong tersebut tidak pernah
berhasil tumbuh menjadi katak dewasa. Kemudian, dengan menggunakan nuclear
trasnfer di sel embrio, para ilmuwan mulai melakukan penelitian terhadap kloning
hewan mamalia. Tapi sekali lagi, hewan-hewan tersebut tidak pernah mencapai
hidup yang panjang.
Kloning pertama yang berhasil diujicobakan dan bisa bereproduksi adalah
seekor domba yang dinamakan Dolly. Dolly ditemukan oleh Ian Wilmut dan
kawan-kawanya di Skotlandia pada tahun 1997. Tapi tidak sama dengan uji coba
kloning sebelumnya yang menggunakan sel embrio, kloning dolly menggunakan
sel dari domba dewasa. Karena sel domba dewasa ini dianggap sudah tua, maka,
dolly pun jadi berumur pendek, walau tidak sependek hewan lain hasil kloningan
dengan menggunakan sel embrio.
Sekarang ini, para ilmuwan sudah sukses mengkloning banyak hewan
seperti tikus, kucing, kuda, babi, anjing, rusa, dan sebagainya dari sel embrio
maupun sel non-embrio, tergantung dari tujuan pengkloningan tersebut. Jika,
diharapkan hewan hasil kloning yang bisa bereproduksi, maka digunakanlah sel
non-embrio, sedangkan jika diharapkan hewan kloning yang tidak harus bisa
bereproduksi, maka digunakan sel embrio.
Proses kloning hewan melalui tahap berikut, yaitu mengekstrak nukleus
DNA dari suatu sel embrio kemudian ditanamkan dalam sel telur yang
sebelumnya intinya sudah dihilangkan. Kadang-kadang proses ini distimulasi oleh
manusia menggunakan alat dan bahan-bahan kimia. Sel telur yang sudah dibuahi
ini kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh sel hewan inangnya dan
membentuk sifat yang identik.
Beberapa ilmuwan menjadikan hewan hasil kloningan yang tidak bisa
bereproduksi sebagai bahan pangan. Namun baru-baru ini, diberitakan bahwa
hewan hasil kloning, tidak layak untuk dikonsumsi sebagai makanan manusia
walau belum ada bukti pasti mengenai hal tersebut. Penelitian lebih lanjut
mengenai hal ini masih terus dilakukan.
93
Kloning Pada Manusia
Setelah sukses dengan teknologi kloning hewan menyusui, sekarang hanya
tinggal menunggu waktu, timbulnya kabar yang melaporkan lahirnya manusia
hasil kloning. Contohnya saja pada ”Eve”, yang dikabarkan adalah bayi
perempuan pertama hasil kloning, namun kebenaran beritanya masih belum bisa
dipastikan. Ada lagi berita mengenai hasil kloning permintaan dari pasangan
homoseksual dari Belanda. Namun, bukti-bukti konkrit mengenai manusia hasil
kloningannya sama sekali tidak ada.
Beberapa sumber menyebutkan, para peneliti tersebut beralasan bahwa hal
ini menyangkut pribadi sekaligus melanggar privasi dari pendonor gen jika
diberitakan secara luas. Mungkin saja, penyembunyian berita-berita seperti ini
dilakukan, karena masih banyaknya kontroversi serta pro dan kontra yang terjadi
di masyarakat mengenai pengkloningan manusia yang dianggap melanggar kodrat
alam dan tidak sesuai dengan etika yang dianut dari agama.
Proses kloning pada manusia, sebenarnya tidak memiliki banyak
perbedaan dengan bayi tabung atau in vitro fertilization. Dalam proses ini, sperma
sang suami dicampur ke dalam telur sang istri dengan proses in vitro di dalam
tabung kaca.
Setelah sperma tumbuh menjadi embrio, embrio tersebut ditanamkan
kembali ke dalam tubuh si ibu, atau perempuan lain yang menjadi ’ibu tumpang’.
Bayi yang lahir secara biologis merupakan anak suami-istri tadi, walaupun
dilahirkan dari rahim perempuan lain.
Proses kloning manusia dapat dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:
Mempersiapkan sel stem : suatu sel awal yang akan tumbuh menjadi
berbagai sel tubuh. Sel ini diambil dari manusia yang hendak dikloning.
Sel stem diambil inti sel yang mengandung informasi genetic kemudian
dipisahkan dari sel.
Mempersiapkan sel telur : suatu sel yang diambil dari sukarelawan
perempuan kemudian intinya dipisahkan.
Inti sel dari sel stem diimplantasikan ke sel telur
Sel telur dipicu supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan. Setelah
membelah (hari kedua) menjadi sel embrio.
94
Sel embrio yang terus membelah (disebut blastosis) mulai memisahkan
diri (hari ke lima) dan siap diimplantasikan ke dalam rahim.
Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis
sama dengan sel stem donor.
5. Manfaat Kloning
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan
Manfaat kloning terutama dalam rangka pengembangan biologi, khususnya
reproduksi-embriologi dan diferensiasi.
Untuk mengembangkan dan memperbanyak bibit unggul
Seperti telah kita ketahui, pada sapi telah dilakukan embrio transfer. Hal
yang serupa tentu saja dapat juga dilakukan pada hewan ternak lain, seperti pada
domba, kambing dan lain-lain. Dalam hal ini jika nukleus sel donornya diambil
dari bibit unggul, maka anggota klonnya pun akan mempunyai sifat-sifat unggul
tersebut. Sifat unggul tersebut dapat lebih meningkat lagi, jika dikombinasikan
dengan teknik transgenik. Dalam hal ini ke dalam nukleus zigot dimasukkan gen
yang dikehendaki, sehingga anggota klonnya akan mempunyai gen tambahan
yang lebih unggul.
Untuk tujuan diagnostik dan terapi
Sebagai contoh jika sepasang suami isteri diduga akan menurunkan
penyakit genetika thalasemia mayor. Dahulu pasangan tersebut dianjurkan untuk
tidak mempunyai anak. Sekarang mereka dapat dianjurkan menjalani terapi gen
dengan terlebih dahulu dibuat klon pada tingkat blastomer. Jika ternyata salah satu
klon blastomer tersebut mengandung kelainan gen yang menjurus ke thalasemia
mayor, maka dianjurkan untuk melakukan terapi gen pada blastomer yang lain,
sebelum dikembangkan menjadi blastosit.
Contoh lain adalah mengkultur sel pokok (stem cells) in vitro, membentuk
organ atau jaringan untuk menggantikan organ atau jaringan yang rusak.
95
Menolong atau menyembuhkan pasangan infertil mempunyai turunan
Manfaat yang tidak kalah penting adalah bahwa kloning manusia dapat
membantu/menyembuhkan pasangan infertil mempunyai turunan. Secara medis
infertilitas dapat digolongkan sebagai penyakit, sedangkan secara psikologis ia
merupakan kondisis yang menghancurkan, atau membuat frustasi. Salah satu
bantuan ialah menggunakan teknik fertilisasi in vitro. (in vitro fertilization = IVF).
Namun IVF tidak dapat menolong semua pasangan infertil. Misalnya bagi seorang
ibu yang tidak dapat memproduksi sel telur atau seorang pria yang tidak dapat
menghasilkan sperma, IVF tidak akan membantu.
Dalam hubungan ini, maka teknik kloning merupakan hal yang
revolusioner sebagai pengobatan infertilitas, karena penderita tidak perlu
menghasilkan sperma atau telur. Mereka hanya memerlukan sejumlah sel somatik
dari manapun diambil, sudah memungkinkan mereka punya turunan yang
mengandung gen dari suami atau istrinya.
5. Kerugian Kloning
1) Kloning pada manusia akan menghilangkan nasab.
2) Kloning pada perempuan saja tidak akan mempunyai ayah.
3) Menyulitkan pelaksanaan hokum-hukum syara’. Seperti, hokum
pernikahan, nasab, nafkah, waris, hubungan kemahraman, hubungan
‘ashabah, dan lain-lain.
4) Memperlakukan manusia sebagai objek.
6. Pandangan Terhadap Kloning
Kloning Gen Ditinjau Dari Hukum Agama
Prestasi ilmu pengetahuan yang sampai pada penemuan proses
kloning,sesungguhnya telah menyingkapkan sebuah hukum alam yang ditetapkan
ALLAH SWT pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, karena proses kloning telah
menyikap fakta bahwa pada sel tubuh manusia dan hewan terdapat potensi
menghasilkan keturunan, jika intisel tubuh tersebut ditanamkan pada sel telur
perempuan yang telah dihilangkan inti selnya. Jadi sifat inti sel tubuh itu tak
ubahnya seperti sel sperma laki-laki yang dapat membuahi sel telur peermpuan.
96
Pada hakikatnya islam sangat menghargai iptek. Oleh sebab itu islam terhadap
kloning tersebut tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat internasional.
Didalam islam berbeda antara hukum kloning binatang dan manusia.
Pada hukum kloning pada manusia. Menurut buku fatawa mu’ashiroh karangan
Yusuf Qurdhowy bahwa tidak diperbolehkanya kloning terhadap manusia. Atas
beberapa pertimbangan diantaranya :
Dengan kloning akan meniadakan keanekaragaman. (varietas).
ALLAH SWT telah menciptakan alam ini dengan kaedah
keanekaragaman. Hal tersebut tertuang dalam Al-Qur’an surat fathir ayat
26 dan 27. Sedangkan dengan kloning akan meniadakan keanekaragaman
tersebut. Karena dengan kloning secara tidak langsung menciptakan
duplikat dari satu orang. Dan dengan ini akan dapat merusak kehidupan
manusia dan tatanan sosial dalam masyarakat, efeknya sebagian telah kita
ketahui dan sebagian lainnya kita ketahui di kemudian hari.
Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan).
Bagaimana dengan hubungan orang ang mengkloning dan hasil kloningan
tersebut, apakah dihukumi sebagai duplikatnya atau bapaknya ataupun
kembarannya, dan ini adalah permasalahan yang kompleks. Kita akan
kesulitan dalam menentukan nasab hasil kloningan tersebut. Dan tidak
menutup kemungkinan kloning dapat digunakan untuk kejahatan, Siapa
yang bisa menjamin jikalau diperbolehkan kloning tidak akan ada satu
negara yang mencetak ribuan orang yang digunakan sebagai prajurit
militer yang berfungsi menumpas negara lain.
Dengan kloning akan mengilangkan Sunatullah (nikah).
ALLAH SWT telah menciptakan manusia, tamanan, binatang dengan
berpaang-pasangan. Surat Addariyat 46.. Anak-anak produk kloning
tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara
alami itulah yang telah ditetapkan ALLAH SWT untuk manusia dan
dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan
keturunannya. ALLAH SWT berfirman: ” dan Bawasannya Dialah yang
menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani
apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46).
97
Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan
banyak hukum-hukum syara’. Seperti hukum tentang perkawinan, nasab,
nafkah, hak, dan kewajiban antar bapak dan anak, waris, perawatan anak,
hubungan kemahraman, hubungan ’ashabah dan lain-lain. Disamping itu
koning akan mencampur adukkan dam menghilangkan nasab serta
menyalahi fitra yang telah diciptakan ALLAH SWT untuk manusia dalam
masalah kelahiran anak. Kloning manusia sesungguhnya merupakan
perbuatan keji yang akan dapat menjungkir balikkan struktur kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia diharamkan menurut
hukum islam dan tidak boleh dilahsanakan. ALLAH SWT berfirman mengenai
perkataan iblis terkutuk, yang mengatakan : ”...dan akan aku (iblis) suruh mereka
(mengubah ciptaan ALLAH), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS.An
Nisaa’ : 119).
Kloning Ditinjau Dari Hukum Indonesia
Ketentuan pidana. :
Ketentuan pidana untuk pelaku upaya kehamilan diluar cara alami diatur dalam
pasal 82 ayat (2) a yang berbunyi : Melakukan upaya kehamilan diluar cara alami
yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pandangan Etika Terhadap kloning
Setelah dilaporkan tentang Dolly, seekor anak domba yang berhasil di klon dari
sel domba dewasa. Segera timbul pertanyaan di masyarakat terutama para ahli,
apakah nantinya manusia juga akan di klon? Sebab, teknologi ini dapat diterapkan
pada semua mamalia termasuk juga manusia. Tetapi dengan demikian munculah
masalah etika, yang didasari berbagai pertanyaan seperti apakah yang telah
dilakukan dengan hewan ini boleh dilakukan pada manusia? Sejauh manakah
manusia dapat dan boleh malangkah ke depan tanpa kehilangan kemanusiaanya?
98
Para ilmuwan berpendapat dan memiliki keyakinan yang besar akan hal ini
dapat membantu pasangan yang infertil yang tidak bisa dibantu dengan metode
lain untuk bisa mendapatkan keturunan. Dilihat dari tujuan kloning reproduktif
yaitu penciptaan manusia baru maka kloning manusia dapat dikatakan tidak etis
karena tentu saja hal ini melampaui kekuasaan Tuhan.
Dilihat dari tujuan kloning dikatakan etis apabila digunakan untuk tujuan
kesehatan atau tujuan klinik. Penelitian yang berlangsung menyangkut diri
manusia harus bertujuan untuk menyempurnakan tata cara diagnostic, terapeutik
dan pencegahan serta pengetahuan tentang etiologi dan tatogenesis. Dan juga
kloning tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang dari
pengembangannya untuk tujuan ekonomi, militerisme dan tindakan-tindakan
kriminal.
99