23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah, sangat berkaitan erat dengan asas desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, asas desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, agar setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, maka di daerah telah dibangkitkan oleh euforia otonomi daerah karena adanya perubahan-perubahan hampir keseluruh tatanan pemerintahan baik di tingkat pemerintah pusat maupun didaerah itu sendiri. Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, menurut pandangan masyarakat dan para pejabat pemerintahan di tingkat daerah, merupakan arus balik kekuasaan dan kewenangan yang selama ini bersifat sentralisasi yang hanya memikirkan kepentingan pemerintah pusat saja, sedangkan daerah merasa kurang diperhatikan. David Osborne dalam bukunya, Reinventing Government, menyatakan bahwa dalam pembaharuan pemerintahan maka tujuan daripada terbentuknya pemerintahan adalah untuk mempercepat tercapainya tujuan masyarakat 1 . Masyarakat yang bebas dari rasa takut, komunitas yang sejahtera dan terhindarkan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup, masyarakat yang mampu mengakses pada berbagai fasilitas yang tersedia, serta berbagai keinginan lain yang merupakan tuntutan hidup manusia dalam suatu komunitas. 1 D avid Osborne, Hasil terjemahan dalam bukunya “Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government”, East Lansing, Michigan, 1996, hal : 56.

Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah, sangat

berkaitan erat dengan asas desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, asas desentralisasi

maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek

penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan

masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, agar setiap orang bisa hidup tenang,

nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang

pelayanan masyarakat.

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah, maka di daerah telah dibangkitkan oleh euforia otonomi daerah

karena adanya perubahan-perubahan hampir keseluruh tatanan pemerintahan baik di

tingkat pemerintah pusat maupun didaerah itu sendiri.

Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, menurut pandangan

masyarakat dan para pejabat pemerintahan di tingkat daerah, merupakan arus balik

kekuasaan dan kewenangan yang selama ini bersifat sentralisasi yang hanya

memikirkan kepentingan pemerintah pusat saja, sedangkan daerah merasa kurang

diperhatikan.

David Osborne dalam bukunya, Reinventing Government, menyatakan bahwa

dalam pembaharuan pemerintahan maka tujuan daripada terbentuknya pemerintahan

adalah untuk mempercepat tercapainya tujuan masyarakat 1 . Masyarakat yang bebas

dari rasa takut, komunitas yang sejahtera dan terhindarkan dari ancaman kerusakan

lingkungan hidup, masyarakat yang mampu mengakses pada berbagai fasilitas yang

tersedia, serta berbagai keinginan lain yang merupakan tuntutan hidup manusia dalam

suatu komunitas.

1D avid Osborne, Hasil terjemahan dalam bukunya “Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for

Reinventing Government”, East Lansing, Michigan, 1996, hal : 56.

Page 2: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

2

Di Indonesia upaya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera masih terus

dihadapkan kepada berbagai kendala dengan segala aspeknya yang sangat menghambat

laju pertumbuhan ekonomi, sosial dan proses perubahan sistem sentralisasi kearah

desentralisasi berbagai kewenangan dari Pusat ke Daerah.

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan

berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis

pada filosofi Keanekaragaman Dalam Kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara

lain:

a. Kedaulatan Rakyat,

b. Demokratisasi,

c. Pemberdayaan Masyarakat,

d. Pemerataan dan Keadilan.2

Selain perubahan sosial terjadi pula perubahan dimensi struktural yang

mencakup hubungan antara pemerintahan daerah, hubungan antara masyarakat dengan

pemerintah, hubungan antara eksekutif dan legeslatif serta perubahan pada struktur

organisasinya.

Perubahan dimensi fungsional dalam lembaga pemerintahan daerah dan lembaga

masyarakat terjadi sejalan dengan perubahan pada dimensi kultural sebagai dampak

otonomi daerah yang meliputi faktor kreativitas, inovatif dan berani mengambil resiko,

mengandalkan keahlian, bukan pada jabatan atau kepentingan saja tetapi lebih jauh lagi

adalah untuk mewujudkan sistem pelayanan masyarakat dan membangun kepercayaan

masyarakat (trust) sebagai dasar bagi terselenggaranya upaya pelaksanaan otonomi

daerah diseluruh pelosok tanah air Indonesia.

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah

berlangsung sekitar 4 (empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah

terjadi perubahan yang mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah

2 Saddu Waristono, “Kapita Selekta Manajemen Pemeerintahan Daerah”, Alqaprint, Jatinangor-

Sumedang, 2001, hal : 6.

Page 3: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

3

dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Jika sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan

secara sentralistik, melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan

makna otonomi yang sesungguhnya.

Namun demikian, ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak

berumur lama. Hanya berjalan sekitar 5 (lima) tahun, Undang-undang ini harus diganti

dengan Undang- undang yang baru. Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan

besar menyangkut perubahan paradigma dan substansi materi mengenai otonomi daerah

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah

dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan

Otonomi Daerah di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan maka beberapa masalah

yang dapat dirumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1) Pengertian dan Tujuan Otonomi Daerah ?

2) Apa perbedaan defenisi Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun

1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 ?

3) Apa pengaruhnya dalam implementasi Otonomi Daerah ?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah

Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan judul IMPLEMENTASI UNDANG -

UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2004 DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH .

Tujuan umum dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui perbedaan defenisi

dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 serta mengetahui

pengaruh yang terjadi dalam implementasi Otonomi Daerah ketika adanya pergantian

peraturan perundang-undangan.

Page 4: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Tujuan Otonomi Daerah

Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia adalah

Negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan

pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk

mengurus rumah tangga daerahnya sendiri.

Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang

sangat sesuai dengan asas desentalisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas desentralisasi

dalam pemerintahan di Indonesia.

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan definisi daerah otonom adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

ikatan Negara Kesatuan Repubik Indonesia.

Otonomi Daerah menurut Ateng Safrudin memiliki beberapa pengertian sebagai

berikut:

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah

dengan keuangan sendiri dan pemerintah daerah.

2. Pendewasaan politik rakyat lokal an proses penyejahteraan rakyat.

3. Adanya pemerintahan yang lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian

urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahnya.Sebaliknya pemerintah

bawahnya yang menerima urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan

tersebut.

Page 5: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

5

4. Pemberian hak,wewenang,dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan

daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam

rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah

meletakkan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan prinsip

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan

keanekaragaman daerah.Otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah serta proporsional yang

diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional

yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah berdasarkan asas

desentralisasi.

Otonomi luas berarti daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan

semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang

lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Otonomi luas berarti juga

sebagai keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintah secara utuh dan bulat mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi.

Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

wewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta

tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab

berarti perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan

kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh

daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,

keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan

daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Page 6: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

6

Otonomi untuk daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi

kewenangan lintas Kabupaten dan Kota kewenangan yang tidak atau belum

dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah Kota, serta kewenangan bidang

pemerintahan tertentu lainnya.

Tujuan adanya Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:

1. Mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tatanan masyarakat

daerah.

2. Mendorong efisiensi alokasi pengguna dana pemerintah melalui desentralisasi

kewenangan dan pemberdayaan daerah.

3. Memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpaada

pertentangan,sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional

secara menyeluruh.

Tujuan utama dari kebijakan Otonomi Daerah yang dikeluarkan tahun 1999

adalah di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu

dalam menangani urusan domestik sehingga ia berkesempatan

mempelajari,memahami,dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil

manfaat daripadanya.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah digunakan asas otonomi dan

tugas pembantuan.Dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut,berpedoman pada

asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas asas:

1. Kepastian hukum

2. Tertib penyelenggara negara

3. Kepentingan umum

4. Keterbukaaan

5. Proporsionalitas

6. Orofesionalitas

7. Akuntabilitas

8. Efisiensi

9. Efektivitas

Page 7: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

7

Mengacu kepada asas dan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi

daerah,maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut :

Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik

Pengembangan kehidupan demokrasi

Keadilan

Pemerataan

Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar

daerah dalam rangka keutuhan NKRI

Mendorong untuk memberdayakan masyarakat

Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,meningkatkan peran serta

masyarakat,mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

2.2 Perbedaan Defenisi Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun

1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik

Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 15 Oktober 2004.

Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian

kalangan dianggap sebagai kemunduran konseptual dan kontekstual bagi pelaksanaan

otonomi daerah yang sesungguhnya. Undang-undang yang telah disahkan pada akhir

september 2004 tersebut sebenarnya bukan hanya revisi atas Undang-undang

sebelumnya. Lebih tepat jika kemunculan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

nyata-nyata sebagai pengganti bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah

dianggap tidak relevan lagi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang

sebelumnya hanya terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah

Page 8: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

8

perbedaan demi perbedaan apat ditemui dari kedua Undang-undang tentang

pemerintahan daerah tersebut.

Pergeseran demi pergeseran pemaknaan tentang konsep otonomi daerah yang

fundamental dapat ditemukan dari pergantian Undang-undang tersebut. Makna

desentralisasi misalnya, dari penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan

kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem

Pemerintahan Republik Indonesia.

Perubahan kalimat “Untuk mengatur dan mengurus rumah pemerintahan dalam

sistem Pemerintahan Republik Indonesia” dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 tersebut sebenarnya telah digariskan dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999.

Penambahan kalimat tersebut hanya akan menyempitkan makna otonomi

(khususnya yang bersifat politis) di daerah. Pemahaman sempit yang muncul dari

adanya kalimat tersebut menimbulkan pengertian yang membatasi otonomi daerah

menjadi hanya pada kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan

Daerah. Kalimat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan akan semakin sempit

dipahami hanya sebagai penyerahan kewenangan secara birokratis bukan penyerahan

kewenangan yang seutuhnya sesuai dengan kehendak otonomi oleh sebagian besar

masyarakat. Selain pergeseran makna desentralisasi, makna otonomi daerah juga

bergeser. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan Peraturan Perundang-undangan.

Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan kedua

Undang-undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi

Daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Penghapusan kalimat tersebut akan memberikan implikasi atas kewenangan yang

diserahkan kepala daerah otonom.

Page 9: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

9

Daerah otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku dan bukan pada adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat

setempat. Padahal, secara nyata Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah

tidak lain Peraturan Perundang-undangan diatas Peraturan Daerah yang kewenangan

pembuatannya berada pada kekuasaan Pemerintahan Pusat. Dari sinilah, terkesan bahwa

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah akan

mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah

menjadi sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna otonomi itu sendiri.

UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999

dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi

tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih

demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.

UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai

mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan

yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua

Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih

tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I,

Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.

Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan

melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan

semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan

puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain.

(Pasal 114 ayat 1).

Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:

1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai

rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.

2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan

kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.

3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang

menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan

Page 10: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

10

dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan

keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.

4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat

yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang

tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.

5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh

harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses

rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.

Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena

keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas

pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan

kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,

kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan

daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan,

desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan

daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk

pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-

provinsi di Papua.

Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-

daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut,

dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah

yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan

Page 11: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

11

dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai

mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala

daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan

keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa

yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya

menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan

Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak

seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di

perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan

lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan

pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.Dalam penjelasan UU Nomor 32

Tahun 2004 ditegaskan bahwa prinsip-prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip

otonomi seluas-luasnya,nyata,dan bertanggung jawab.Otonomi seluas-luasnya adalah

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan

kecuali: kewenangan dibidak politik luar negeri,pertahanan,keamanan,yustisi,moneter

dan fiskal nasional,serta agama masih tetap dipegang oleh pusat.

Page 12: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

12

Berikut ini adalah tabel perbedaan UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32

Tahun 2004 yaitu:

Istilah UU No.22/1999 UU No.32/2004

Pemerintah

Pusat

Perangkat NKRI yang terdiri dari

presiden beserta para menteri menurut

asas desentralisasi

Presiden Republik Indonesia yang

memegang kekuasaan pemerintahan

negara Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam UUD 1945

Desentralisasi Penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah kepada daerah otonom

dalam kerangka NKRI

Penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah kepada daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem NKRI

Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada gubernur sebagai wakil

pemerintah dan/atau perangkat pusat di

daerah

Pelimpahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah dan/atau

kepada instansi vertikal wilayah tertentu

Tugas

pembantuan

Penugasan dari pemerintah kepada

daerah dan desa, dari daerah ke desa

untuk melaksanakan tugas tertentu

yang disertai pembiayaan, sarana, dan

prasarana serta SDM dengan kewajiban

melaporkan pelaksanaannya dan

mempertanggungjawabkan kepada

yang menugaskan

Penugasan dari pemerintah kepada

daerah dan/atau desa dari pemerintah

provinsi kepada kabupatean/kota

dan/atau desa serta dari pemerintah

kabupatean/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu

Otonomi daerah Kewenangan daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasar aspirasi masyarakat

sesuai dengan peraturan perundang-

undangan

Hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan

Daerah otonom Keaatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas wilayah tertentu,

berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam NKRI

Keaatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintaha dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam NKRI

Wilayah

admininstrasi

Wilayah kerja Gubernur selaku wakil

pemerintah

Kelurahan Wilayah kerja lurah sebagai perangkat

daerah kabupaten dan/atau daerah kota

di bawah kecamatan

Page 13: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

13

Pemerintah

daerah

Kepala daerah beserta perangkat

daerah otonom yang lain sebagai badan

eksekutif daerah

Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan

perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemda

Pemerintahan

daerah

Penyelenggaraan Pemda otonom oleh

Pemda dan DPRD dan/ atau daerah

kota di bawah kecamatan

Penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi dan

tugas pembantuan dengan prinsip

otonomi seluas-luasnya dalam sistem

prinsip NKRI

Desa Kesatuan wilayah masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk

mengatur menurut asas desentralisasi

Kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat

istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.3 Pengaruh Perubahan UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32

Tahun 2004 dalam Implementasi Otonomi Daerah

Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra.

Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang

terkandung didalamnya.Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik

oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang dinilai banyak kalangan memiliki berbagai kelemahan. Beberapa catatan

yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan

daerah ini antara lain:

Implementasi otonomi daerah memiliki dampak positif dan negatif,antara lain

sebagai berikut:

Dampak positif

Dengan adanya otonomi daerah pemerintah mendapatkan kesempatan untuk

menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat.

Page 14: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

14

Kurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapat respon tinggi dari

pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerah sendiri.

Dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang di dapat melalui jalur birokrasi

dari pemerintah pusat.

Dampak negatif

Adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan

tindakan yang dapat merugikan negara dan rakyat seperti Korupsi,Kolusi,dan

Nepotisme.

Adanya kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara

yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah yang

lain atau bahkan daerah dengan negara.

Contoh :

Pelaksanaan UU anti pornografi ditingkat daerah yang tidak efektif.Hal tersebut

dikarenakan dengan sistem otonomi daerah maka pemerintah pusat lebih sulit untuk

mengawasi jalannya pemerintahan di daerah.Selain itu, dengan sistem otonomi daerah

membuat peranan pemerintah pusat tidak maksimal disetiap daerah.

Implementasi otonomi daerah menurut UU No. 32/2004

Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang

memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan.

Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya,

menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan

disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa

dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada

pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :

1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta

aparatur pemerintah di daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-

PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.

3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan

masyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

Page 15: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

15

Implikasi positif UU No.32 tahun 2004

UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)

menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui

otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU

No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan

oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-

undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal

yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak

dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.

Dibidang politik,karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan

dekonsentrasi,maka ia harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi

lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,memungkinkan

berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan

masyarakat luas,dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat

pada asas pertanggungjawaban publik.Fenomena yang muncul dewasa ini,khususnya

dalam pemilihan Kepala Daerah,baik Provinsi,Kabupaten,maupun Kota.

Dibidang ekonomi,otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya

pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah,dan di pihak lain terbukanya peluang

bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk

mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.Dalam konteks

ini,otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah

untuk menawarkan fasilitas,investasi,memudahkan proses perizinan usaha,dan

membangun barbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di

daerahnya.Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat

kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

Dibidang Sosial Budaya,otonomi daerah dikelola sebaik mungkin demi

menciptakan harmoni sosial,dan pada saat yang sama juga memelihara nilai-nilai lokal

yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika

kehidupan sekitarnya.

Semakin terbukanya peluang bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan

memberdayakan segala potensi yang ada. Beberapa hal lain yang niscaya merupakan

Page 16: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

16

implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah “menyempurnakan” ini.

Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme pengawasan

kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD

dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan

tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap

DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan

mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula

menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan

tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktu-waktu apabila melanggar larangan

atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).

Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap

anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi

sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan

bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota

DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus

membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol

yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi

gabungan tidak.

Implikasi negatif UU No.32 Tahun 2004

Dengan adanya perubahan dalam UU No.32 Tahun 2004 maka dalam

implementasinya memiliki sisi negatif yaitu :Semakin maraknya tuntutan pemekaran

daerah yang tidak didasarkan pada persyaratan dan kriteria yang rasio.

Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan

keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari

suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan

keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan

yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acap kali aturan main yang dibentuk ini

mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala

daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.

Problem Pemilihan Kepala Daerah dalam UU No.32 tahun 2004.Reaksi

masyarakat terhadap sosialisasi UU No.32 tahun 2004 ternyata beragam. Tidak kurang

Page 17: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

17

dari lima belas (15) KPUD antara lain KPUD DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa

Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Gorontalo, Jambi,

Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Timur,

bersama organisasi non pemerintah seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) dan

beberapa ornop lainnya mengajukan permohonan uji materril UU No. 32 ke Mahkamah

Konstitusi. Para pemohon menganggap UU No 32 tahun 2004 ini bertentangan dengan

UUD 1945, sehingga pasal-pasal tentang penyelenggaraan pilkada langsung, antara lain

pasal 1, pasal 57, pasal 65 pasal 89, pasal 94 dan pasal 114, harus dibatalkan.

Argumentasi yang dibangun dalam rangka ketidak setujuan beberapa kalangan

terhadap UU ini adalah pemilihan kepala daerah langsung. Memang bukan substansi

yang disesalkan, sebab semua elemen bangsa, intelektual, ormas dan organisasi-

organisasi profesional beserta sebagian besar masyarakat daerah sepakat tentang urgensi

pemilihan kepala daerah secara langsung demi demokrasi. Yang menjadi masalah,

banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang ngotot memasukkan instrumen

pilkadal kedalam UU tentang Pemerintahan Daerah, bukan UU Pemilu, ataupun UU

tersendiri. Beberapa pakar seperti Ryaas Rasyid, J. Kristiadi, dan Ramlan Surbakti

dalam pernyataannya melihat bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan

bagian dari Pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, sebagian

pasal dalam UU No. 32/2004 bertentangan dengan UUD karena menyerahkan

kewenangan penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD, bukannya kepada KPU.

Konsekuensi dari UU ini ditambah lagi oleh dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2005 yang

mengatur tentang teknis pelaksanaan Pilkada sebagai upaya operasionalisasi UU No

32/2004 tersebut oleh pemerintahan Presiden Soesilo B. Yudhoyono.

Gugatan uji materil terhadap UU Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons

positif oleh Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya,

meskipun masih ada ketidakpuasan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian

tuntutan mereka. Adapun pasal-pasal yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat

(1), pasal 66 ayat (3) huruf e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal

59 ayat (1) hanya menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut

Smita Notosusanto dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha

menyenangkan semua pihak, apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab

kepada siapa setelah KPUD diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.

Page 18: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

18

Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun

kekecewaan beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat dalam

Berita Negara paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun yang terjadi,

kita akhirnya harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena pelaksanaan pilkada kini

tinggal menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat bekerja keras dan penuh

komitmen untuk menjamin pilkada secara adil, demokratis, meskipun peraturannya,

seperti kata Sarundajang (2001) bahwa karena posisinya yang strategis, kepala daerah

tidak pernah luput dari pengaruh politik. Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan

begitu banyak kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi

dengan pelaksanaan yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini.

Demikian pula Riewanto (2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan

menunjuk bahwa walaupun pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan

tidak jelas bertanggung jawab kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah

bertanggung jawab kepada “publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi tuntutan

demokratisasi.

Menurut pernyataan resmi dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh

Indonesia (APKASI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PP No.6 yang

dikeluarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung

mulai Juni 2005, dapat menimbulkan persepsi mengenai upaya pemerintah untuk

mengintervensi proses pilkadal tersebut.Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam

UU Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturan pemerintah (PP), tetapi

setelah putusan final dari Mahkamah Konstitusi, maka hendaknya berbagai elemen

masyarakat dan pemerintahan juga menyiapkan diri untuk menyongsong era pemilihan

kepala daerah model baru ini, terlepas dari kekecewaan maupun kelegaan berbagai

pihak yang berkepentingan dalam pesta demokrasi ini. Bagaimanapun, pemilhan kepala

daerah –secara langsung- merupakan bagian dari demokratisasi di tingkat lokal, dan

konsekuensi logis dari amanat amendemen UUD 1945.

Membangun Hukum dan Demokrasi Lokal.Menelaah UU No 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah, terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di

satu sisi, keterlibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal

mengalami peningkatan dengan diaturnya pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal).

Namun disisi lain terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik; yang diwakili

Page 19: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

19

LSM, KPUD, dan tokoh-tokoh yang menolak ihwal pilkadal dimasukan dalam UU

No.32 tahun 2004 ini karena dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Mengenai demokrasi lokal, dalam sebuah artikelnya Prihatmoko (2004)

menyebutkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi lokal dipengaruhi oleh sejumlah

faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal. Prakondisi demokrasi tersebut

mencakup: (1) kualitas DPRD yang baik; (2) sistem rekrutmen DPRD yang kompetitif,

selektif dan akuntabel; (3) partai yang berfungsi; (4) pemilih yang kritis dan rasional;

(5) kebebasan dan konsistensi pers; dan (6) LSM yang solid dan konsisten; dan (7)

keberdayaan masyarakat madani (civil society). Walaupun dalam konteks pilkadal pada

saat sekarang ini penulis sendiri tidak yakin –terutama poin (1)-akan tetapi kondisi

diatas akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi lokal dimasa datang.

Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang melaksanakan

proses Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD digugat. Akhirnya

putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung jawab kepada

“publik”. Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol

jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi

DPRD bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang kekuasaan yang dominan di

bidang legislatif itu tetap gubernur atau bupati/walikota. Bahkan dalam UU No.32

Tahun 2004 gubernur dan bupati/walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan

Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal

25). Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol

yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan

perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri

mengajukan rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat

melakukan “intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum

terpilih, DPRD tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol yang

dapat dilakukan terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian yang

diharapkan para pemohon judicial review pada saat itu.

Page 20: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

20

Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah Konstitusi.

Kerelaan semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut merupakan suatu

keharusan. Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh salah satu hakim

Mahkamah Konsitusi, putusan tersebut tetap menunjukkan keputusan kolektif lembaga

tinggi ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu menjadi sasaran kritik di era

reformasi ini. Budiman (2000) mencatat bahwa selain kodifikasi yang buruk, sistem

hukum itu juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan

kerapkali menjadi subyek suap atau intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum

menjadi negara hukum jika tidak konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar

hukum. Ditegaskan olehnya bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar

dari setiap demokrasi.”

Page 21: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perubahan suatu peraturan perundang-undangan akan memberikan berbagai

macam dampak bagi seluruh pelaksananya dan lingkungannya.Perubahan tersebut akan

memberikan suatu perubahan dalam implementasinya.Perbedaan yang terdapat di dalam

UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan dampak

yang sangat mempengaruhi implementasi otonomi daerah.

Revisi terhadap UU No. 22/1999, dengan demikian jelas dimaksudkan untuk

menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan

otonomi daerah. Memang, sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak

kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan

good governance, paling tidak di tataran konseptual akan sangat berarti. Selain beberapa

implikasi positif yang dapat diambil dari UU No. 32 tahun 2004 ini, perdebatan tentang

pilkadal hanya bagian kecil dibanding usaha idealisasi kehidupan bernegara dalam

konteks demokrasi dan otonomi daerah masa sekarang ini. Diskursus demikian tentunya

diharapkan berakhir dengan keputusan final Mahkamah Konstitusi, dan pembangunan

demokrasi akan terus berjalan di negeri ini.

Pemilihan kepala daerah secara langsung pada saat sekarang ini masih

merupakan tahap awal. Semoga sistem ketatanegaraan Indonesia yang carut marut ini

segera dapat dibenahi, sehingga hukum; sebuah permasalahan utama yang menuntut

solusi keadilan bagi negara yang demokratis dalam menjalankan pemerintahannya; akan

menjadi panglima.

Page 22: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

22

3.2 Saran

Sebagai saran pertimbangan demi perbaikan kesempurnaan konsep

perbandingan kedua Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah sesuai materi

pembahasan tulisan ini menurut pandangan penulis, dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Adanya evaluasi terhadap implementasi pemerintah daerah dalam menjalankan

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

2) Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

3) Mengembangkan kehidupan demokrasi.

4) Menciptakan keadilan dan pemerataan ,menumbuhkan hubungan yang serasi

antara pemerintah pusat dan daerah.

5) Adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam

menjalankan otonomi daerah.

6) Mendorong pemberdayaan masyarakat.

7) Mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini dengan penuh tanggung jawab dan

pertimbangan yang baik.

8) Memperbaiki segala pelanggaran yang telah dilakukan oleh setiap daerah.

Page 23: Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang

23

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Budiman, Arif, Harapan dan Kecemasan Menatap arah Reformasi Indonesia, Jakarta:

BIGRAF Publishing, 2000.

Deddy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Kaho, Josef Rihu, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di

Indonesia, Bhineka Cipta, Jakarta, 1990.

Marbun, B.N., Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 2005.

Ryaas Rasyid, Muhammad, Kajian Awal Birokrasi Pemerintah dan Orde Baru, Yarsip

Watampone, Jakarta, 1998.

Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan

Sumber Daya, Jambatan, Jakarta, 2002.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

1999.

Syaukani, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cetakan kesatu,Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah, Pustaka Harapan, Jakarta, 2002.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemeerintah Daerah.