Upload
ikafia-maulidia
View
193
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
PERNIKAHAN DAN WALIMATUL URSYDisusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqh II
Dosen Pengampu : Abdul Kholid Ma’rufi, M.Pd.I
Disusun oleh:
1. Cory Andini Putry (2021112082)
2. Nur hamidah ( 2021114017)
3. Ika Fia Maulidia (2021114018)
Kelas : G
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara
laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram. Rasulullah SAW
mewajibkan umatnya agar tidak menunda-nunda perkawinan. Apalagi jika
laki-laki dan perempuan tersebut telah memiliki kemampuan secara
ekonomi maupun secara biologis , kemantapan lahiriah dan batiniah.
Lalu, ketika seseorang berniat membangun rumah tangga, dengan
menikahi seorang wanita idaman, apakah setelah menikah, kehidupannya
akan berjalan lancar ? pada kenyataannya tidak demikian. Untuk
membangun rumah tangga diperlukan ilmu yang mumpuni tentang
pernikahan, sehingga rumah tangganya tidak mudah goyah. Maka dari itu
kami disini ingin memaparkan tentang pernikahan dalam islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pernikahan dan bagaimana hukumnya dalam islam ?
2. Apa itu walimatul usry dan bagaimana hukumnya dalam islam ?
C. METODE PENULISAN
Metode pemecahan masalah yang dilakukaan melalui studi literatur
atau metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapaa
referensi buku atau dengan referensi lainnya yang merujuk pada
permasalahan yang dibahaas. Langkah- langkah pemecahan masalahnya
dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahs dengan melakukan
perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengajian masalah,
penetuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari
berbagai sumber dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban
permasalahan.
1
D. SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I, bagian
pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah, perumusan
masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II, adalah pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari
simpulah dan saran-saran.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( ح Nikah .( زواج) dan zawaj ( نكا
artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan anatara seorang laki-laki
dan pe
rempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban
diantara keduanya.
Dalam pengertian luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin
antara dua orang laki-laki dan perrempuan, untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga untuk mendapatkan keturunan yang dilaksanakan
menurut ketentuan syariat islam.
Pengertian perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Abidin
dan Aminudin (1999:10) terdiri atas beberapa definisi, yaitu sebagai
berikut:
a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai
suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja.
Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapat kesenangan dan kepuasan.
b. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz “nikah” atau “zauj”, yang menyimpan
arti memiliki. Artinya, dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki
atau mendapatkan kesenangan dari passangannya.
c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
3
d. Ulama Hanabillah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan
menggunakan lafadz “nikah” atau “tazwij”untuk mendapatkan
kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari
seorang perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian diatas terdapat
kata-kata milik yang mengandung pengertian hak untuk memiiki
melalui kad nikah. Oleh karena itu, suami-istri dapat saling
mengambil manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah
tangganya yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah
mawaddah warahmah didunia.1
2. Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan yang sejati dalam islam adalah pembinaan
akhlak yang manusia dan memanusiakan manusia sehingga hubungan
yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan
baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam pembangunan tersebut
adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan
manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat
dan negara.
a. Pernikahan adalah menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki
dan perempuan. Tujuan ini berkaitan dengan pembersihan moralitas
manusia. Akhlak manusia sebelum peradabanya mencapai puncak
kemanusiaan hidup bagaikan binatang. Pergaulan bebas antara sesama
jenis bukan masalah yang tabu, ,elainkan merupakan tontonan sehari-
hari. Anehnya lagi, pada zaman modern sekarang ini, ergaulan bebas
dan seks tana ikatan pernikahan telah dibel mati-matian oleh kaum
liberalis dan sekuler yang mengukur perbuatan mereka dengan ukuran
seni yang semata-mata kebudayaan yang sarat dengan nafsu dan
syahwat.
b. Mengangkat harkat dan martabat perempuan.
1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, ( Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 9-17.
4
Karena dalam sejarah kemanusiaan, terutama zaman Jahiliyah ketika
kedudukan perempuan tidak lebih dari barang dagangan yang setiap
saat dapat diperjualbelikan, bahkan anak-anak perempuan dibunuh
hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara ekonomi.
c. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi yang akan datang.
d. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketena ngan hidup
dan rasa kasih sayang2
3. Macam-macam Pernikahan
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap perempuan dengan memakai lafazh “tamattu, istimta” atau
sejenisnya. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut
juga nikah sementara atau kawin terputus, karena laki-laki yang
mengawini perempuannya itu menentukan waktu, sehari, atau
seminggu, atau sebulan.
Hikmah pengharaman nikah mut’ah adalaah tidak terealisasinya
tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, sertatidak
bertujuan membentuk keluarga yang langgeng, sehinnga diharamkan,
tidak akan lahir anak-anak hasil zina dan lelaki yang memanfaatkan
nikah mut’ah untuk berzina.
b. Muhallil atau kawin cinta buta
Muhallil yaitu seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah
ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan
maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan
dia kembali. Mantan suaminya menyuruh orang lain menikahi bekas
istrinya yang sudah ditalak tiga, kemudian berdasarkan perjanjian,
istri tersebut diceraikan sehinnga mantan suaminya dapat menikahinya
kembali (rujuk).
2
5
Kawin cinta buta atau muhallil hukumya haram, bahkan termasuk
dosa besar dan munkar yang diharamkan dan pelakunya dilaknat oleh
Allah. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasullah SAW bersabda:
حسن ( ) بسند أحمد رواه له والمحلل المحلل الله لعنArtinya :
“ Allah melaknat muhallil (yang kawi cinta buta) dan muhallalnya
(bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil).”
c. Kawin gadai
Kawin gadai atau kawin pinjam merupakan kebiasaan orang Arab
sebelum Islam, yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan
istrinya untuk bergaul dengan orang-orang yang terpandang
(bangsawan). Tujuannya adalah mencari bibit unggul dari
hasilhubungan tersebut.
Kawin gadai hukumnya haram, jika isrti yang dimaksudkan benar-
benar digaikan oleh suaminya kepada laki-laki lain dengan maksud
apa pun. Apabila seorang suami menggadaikan istrinya, otomatis
perkawinan keduanya terputus. Perbuatan nikah gadai adalah seperti
suami yang menyuruh istrinya untuk menjadi pelacur, ada yang
bertujuan mendapatkan uang, ada pula yang ingin memperoleh
keturunan dari laki-laki yang statusnya terpandang, seorang
bangsawan, dan sebaginya.
d. Nikah syighar
Nikah syighar ialah apabila seorang lelaki menikahkan seorang
perempuan dibawah kekuasaanya dengan lelaki lain, dengan syarat
bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar.
Hukum nikah syighar menurut kesepakan para ulama adalah haram.
Akan tetapi, mereka berselisih paham apabila terjadi pernikahan
semacam itu.
Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan semacam itu tidak dapat
disahkan, dan selamanya harus di-fasakh (dibatalkan), baik sesudah
6
atau sebelum terjadi pergaulan (hubungan kelamin). Pendapat ini juga
dikemukakan oleh imam Syafi’i. Hanya saja, ia berpendapat bahwa
jika untuk salah satu pengantin atau keduanya bersama disebutkan
suatu mahar, pernikahan menjadi sah dengan mahar misil, sedangkan
mahar yang telah disebutkan menjadi rusak.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah syighar itu sah dengan
memberikan mahar missil. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-
Lais, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur, Ath-Thabari.
e. Nikah kontrak
Ada yang menyamakan nikah kontrak dengan nikah mut’ah, karena
dalam pernikahannya digunakan lafazh yang sama, yaitu ada
pembatasan waktu. Hukum nikah kontrak adalah haram dan akadnya
batal.
f. Poliandri
Poliandri adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan
kepada lebih dari seorang laki-laki.
g. Poligami
Poligami adalah seorang suami beristri lebih dari satu. Hukumnya
boleh dengan syarat menegakkan keadilan .
h. Isogami
Isogami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang bertempat tinggal diwilayah yang
sama, etnis dan kesukuan yang sama. Isogami adalah bentuk larangan
bagi laki-laki atau perempuan menikah dengan orang yang berbeda
suku etnis , seperti orang kalimantan menikah dengan orang Sumatra,
atau orang Dayak hanya boleh menikah dengan orang Dayak.
i. Esogami
Esogami adalah kebalikan dari isogami. Esogami adalah perkawinan
yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki yang memiliki
perbedaan suku, etnis, dan tempat tinggal. Jika pada isogami orang
7
Dayak hanya boleh menikah dengan orang Dayak, dalam esogami
justru orang Dayak harus menikah dengan orang luar Dayak.
j. Kawin paksa
Kawin paksa adalah menikahkan seorang perempuan atau laki-laki
dengan cara dipaksa oleh orang tuanya atau walinya dengan pasangan
pilihan walinya.
k. Kawin gantung
Kawin gantung adalah perkawinana yang dilakukan oleh pasangan
suami istri yang usianya masih dibawah umur dan belum saatnya
melakukan hubungan suami istri, atau salah seorang pasangannya,
yakni istri, masih dibawah umur, sehingga suaminya harus menunggu
umur istriny cukup untuk digauli.
Kawin gantung dapat pula diartikan sebagai perkawinan yang
dilakukan oleh suami istri yang sudah aqil baligh, tetapi mereka
bersepakat untuk menunda hubungan suami istri dengan alasan
tertentu. Jadi, alasannya bukan masalah usia yang masih mudah,
melainkan alasan lain, misalnya dengan alasan masih kuliah, dan
sebagainya.
l. Nikah sirri
Nikah sirih adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan tanpa memberitahukan kepada orang tuanya yang berhak
menjadi wali. Nikah sirih dilakukan dengan syarat-syarat yang benar
menurut hukum Islam. Hanya saja dalam nikah sirih, pihak orang tua
kedua belah pihak tidak diberi tau dan keduanya tidak meminta izin
atau meminta restu orang tua. Biasanya nikah sirri dilakukan untuk
menghindarkan dari perbuatan zina.3
4. Kedudukan Hukum
Perkawinan merupakan perbuatan yang lebih disenangi Allah dan
Nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut
3 Beni Ahmad Saebeni, Op Cit, hal 55-84
8
asalnya adalah sunnat menurut pandangan jumhur ulamad dan berlaku
secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari
perkawinan itu dan perbedaan situasi kondisi suasana perkawinan, maka
secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan
melihat keadaan orang-orang tertentu segabai berikut:
a. Sunnat, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah
antas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk
melangsungkan perkawinan.
b. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan
juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten,
berpenyakitan tetap, tua Bangka dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkenginan
untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia khawatir
akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.
d. Haram, bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan
syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu
tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini
perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan
untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan
kemudharatan apa-apa kepada siapapun.4
5. Hikmah Pernikahan
Hikmah utama yang dapat ditemukan adalah menghalangi mata
dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga
kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual.5
Selain itu hikmah dari pernikahan yang lainnya yaitu:
a. Menyambung Silaturahmi
4 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 79-805 Ibid, hlm. 81
9
b. Mengendalikan nafsu syahwat yang liar
c. Menghindari diri dari perzinaan
d. Estafeta amal manusia
e. Estetika kehidupan
f. Mengisi dan menyemarakkan dunia
g. Menjaga kemurnian nasab
B. Walimatul ‘Ursy
1. Pengertian Walimatul ‘Ursy
Walimatul Ursy ialah “perhelatan” atau “kenduri” yang
dilaksanakan dalam rangka perkawinan. Menurut istilah dalam literature
arab artinya jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan
untuk perhelatan di luar perkawinan.
Menurut definisi yang terkenal dikalangan ulama, walimatul ursy
diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas
terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan.6
2. Kedudukan Hukum
Ahli Dhahir berpendapat bahwa hukum mengadakan walimah
adalah wajib atas setiap orang yang melangsungkan perkawinan, baik
secara kecil-kecilan maupun secara besar-besaran sesuai dengan keadaan
yang mengadakan perkawinan. sesuai dengan perintah Rasulullah SAW.
Dasarnya ialah pada sabda Rasulullah SAW:
ولوبشاة ) . أولم ومسلم( رى البخا رواه
“Laksanakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing” (H.R.
Bukhari dan Muslim) 7
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 155-1567 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), hlm. 108
10
Namun menurut paham Jumhur Ulama dalam hadits di atas adalah
sunnah. Perintah Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadits tersebut
tidak mengandung arti wajib, tetapi hanya sunnah menurut jumhur ulama
karena yang demikian hanya merupakan tradisi yang berlaku di kalangan
Arab sebelum Islam datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui
oleh Nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan
menyesuaikannya dengan tuntutan Islam.8
Mengenai hukum menghadiri walimah, menurut Syafi’i, Hambali
dan Maliki adalah wajib, berdasarkan hadits:
وتترك األغنياء لها تدعى الوليمة طعام الطعام شر
الله عصى فقد الدعوة يجب لم ومن الفقراء)ورسوله ومسلم. ( رى البخا رواه
“Seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang hanya dipanggil
orang-orang kaya saja dan meninggalkan orang-orang fakir. Barang
siapa yang tidak memperkenankan undangan (wallimah), maka
sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R.
Bukhari dan Muslim)9
3. Hikmah Walimatul ‘Ursy
Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah
dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah
terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan di
kemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahukan
terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari
menghadirkan dua orang saksi dalam akad pernikahan.10
8 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 1569 Kamal Muchtar, Op.Cit, hlm. 10810 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 157
11
Islam memerintahkan supaya pernikahan diumumkan dan
disebarluaskan kepada publik dengan tujuan sebagai berikut:
a. Membedakan pernikahan tersebut dengan pernikahan sir (pernikahan
tanpa dihadiri saksi) yang dilarang Islam
b. Menunjukkan luapan kegembiraan bahwa Allah telah membolehkan
pemenuhan nafsu syahwat dan segala hal yang baik bagi orang
mukmin.
c. Menghindari gossip murahan dan kecurigaan orang.
d. Memberi dorongan dan rangsangan bagi kawula muda agar berani
menikah.11
11 Muhammad ‘Ali al-shabuni, Kawinlah Selagi Muda, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 142-143
12
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat kami simpulkan bahwa kita
sebagai umat muslim sudah sepatutnya mengikuti perintah Rasulullah
SAW, salah satunya dengan menjalankan pernikahan yang sesuai dengan
ajaran agama islam.
B. SARAN
Kita sebagai mahasiswa terutama umat muslim sudah sepatutnya kita memahami tentan pernikahan dan walimatul usry dan tata caranya yang sesuai dengan ajaran islam
13
DAFTAR PUSTAKA
Saebeni Beni Ahmad, M.Si, 2013, Fiqih Munakahat 1, Pustaka Setia,
Bandung
Syarifuddin Amin, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Inonesia Antara
fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan, kencana, Jakarta
‘Ali al shabuni Muhammad, 2002, kawinlah Selagi Muda, PT Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta
Muctar Kamal, 1993, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, PT
Bulan Bintang, Jakarta
14