26
MAKALAH TA’WIL DAN NASAKH Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ilmu fiqh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dosen : Hariman Surya Siregar, M.Ag Disusun oleh : Faujiah Rahmah (1152100020) Hafidzotul Millah (1152100024) Iis Azzahra (1152100028) Iis Mustika (1152100030) Kamila Nur (1152100031) JURUSAN PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

makalah-Ta'wil dan nasakh

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah-Ta'wil dan nasakh

MAKALAH

TA’WIL DAN NASAKH

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ilmu fiqh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dosen : Hariman Surya Siregar, M.Ag

Disusun oleh :

Faujiah Rahmah (1152100020)

Hafidzotul Millah (1152100024)

Iis Azzahra (1152100028)

Iis Mustika (1152100030)

Kamila Nur (1152100031)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUDUNG DJATI

BANDUNG

2015/2016

Page 2: makalah-Ta'wil dan nasakh

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat

rahmat petunjuk dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan

makalah dengan judul “Ta’wil Dan Nasakh” tepat pada waktunya. Shalawat

beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW

yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya beserta

keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata

kuliah Ilmu Fiqh yang mana merupakan salah satu mata kuliah utama yang sangat

penting untuk disampaikan kepada mahasiswa karena ini merupakan tolak ukur di

fakultas Tarbiyah dan Keguruan khususnya jurusan PGRA khususnya penanaman

norma dan bertujuan agar pesan moral yang ingin di sampaikan guru dapat benar-

benar sampai dan di pahami oleh anak-anak untuk bekal kehidupannya di masa

depan.

Kami menyadari bahwa makalah yang sederhana ini jauh dari

kesempurnaan. Karena itu, dengan segala kerendahan hati kami memohon kritik

dan saran yang membangun dari semua pihak, terutama Bapak Dosen selaku

pembimbing mata kuliah ini. Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kami dan khususnya menambah wawasan bagi para pembaca.

Bandung, 13 April 2016

Penyusun

ii

Page 3: makalah-Ta'wil dan nasakh

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1

B. Rumusan masalah....................................................................................................2

C. Maksud dan tujuan...................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

A. Pengertian Ilmu Hadits.............................................................................................3

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS.....................................................5

C. CABANG-CABANG ILMU HADIS.....................................................................9

BAB III..................................................................................................................10

A. Simpulan................................................................................................................10

B. Saran.......................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

iii

Page 4: makalah-Ta'wil dan nasakh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal

pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya.

Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”.

Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya.

Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.

Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama

tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam

usaha mencari kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi

tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan

ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara

mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”.Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam.Ushul fiqh

dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran

fiqh.Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama

Islam.

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur

bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi

dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang

melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal

"interpretasi historis." Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi

itulah kita membicarakan masalah takwil dan nasakh.

1

Page 5: makalah-Ta'wil dan nasakh

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian ta’wil dan nasakh?

2. Apasaja syarat-syarat ta’wil dan nasakh ?

3. Bagaimana macam-macam ta’wil dan nasakh?

C. Maksud dan tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ilmu hadis.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat ta’wil dan nasakh.

3. Untuk memahami bentuk ta’wil dan nasakh.

2

Page 6: makalah-Ta'wil dan nasakh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’wil dan Nasakh.

Pengertian Ta’wil

Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl ( يؤول– أول ),

artinya kembali. Ta’wil, ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang

tidak terang (lemah) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna yang

kedua tersebut harus dipakai.Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut:

راجحا ره يصي بدليل يحتمله معنى الى ظهره من م الكال صرف اويل التArtinya :

“ta’wil ialah memebelokkan kalimat dari zhahir nya pada arti lain yang lain inilah

yang dianggap lebih sesuai.”(imam ayukhani)

Dengan alasan yang kuat dan syarat-syarat yang lengkap, maka dalil

disebut dapat dita’wilkan. Tujuan dari ta’wil agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Ta’wil tersebut harus dibenarkan oleh ilmu bahasa kesastraan arab agar cara

menta’wilkannya tidak keliru. Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan

bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :

a) Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan

maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu

sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.

b) Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan

itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam).

Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah  perbuatan

yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang

dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan. Sedangkan pengertian

Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain

membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke

makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.

3

Page 7: makalah-Ta'wil dan nasakh

Pengertian Nasakh

Pengertian nasakh ialah:

متواج ابدليل حكماشرعي ارع الش رفع“Membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang

Ada beberapa istilah yang ditemukan dalam nasakh. Yaitu nasikh atau

menghapus (hukum yang datang kemudian) dan mansukh artinya yang dihapus

(hukum lama).

Dalam nasakh sebenarnya hukum lama masih berlaku seandainya tidak

ada hukum baru yang menghapusnya. Dan orang yang pertama kali membahas

masalah nasakh adalah imam syafi’i beliau memasukkan hukum nasakh sebagai

penjelasan hukum bukan mengosongkan atau menghapus nash dari hukum.”

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi kata Naskh ini

dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan

pengubahan.

Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau

pengalihan ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang

ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut

ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah

ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa

pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus

menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu

pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan

(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian

pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.

Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian

tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau

muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk

ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan

berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu,

4

Page 8: makalah-Ta'wil dan nasakh

sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan

terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian

tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di

lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada

satu pengertian.

B. SYARAT-SYARAT TA’WIL DAN NASAKH

Syarat-Syarat Ta’wil

1. Sesuai dengan ilmu bahasa/kesustraan

2. Dapat digunakan sesuai dengan pengertian bahasa

3. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah –istilah syara’ yang

ada.

4. Menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu).

5. Apabila berdasarkan qiyas, haruslah memakai qiyas yang terang dan kuat.

6. Lafal itu dapat menerima ta’wil lafal zahir dan lafal nash serta tidak

berlaku untuk muhkam dan mufassar.

7. Lafal itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafal

tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk

dita’wil,serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut

8. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil

9. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan

dengan dalil yang ada.

Syarat-Syarat Nasakh

Syarat syarat nasakh yang telah disepaki:

1. Nasikh harus berpisah dari mansukh. Jika tidak berpisah, seprti sipat dan

istisna, maka tidak dikatakan nasakh.

2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Karena itu

qur’an bisa dinasakh dengan qur’an dan hadis mutawatir. Demikian pula hadis

mutawatir dinasakh dengan qur’an dan hadis mutawatir pula.

5

Page 9: makalah-Ta'wil dan nasakh

3. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’. Kalau nasikh bukan dalil syara’,

seperti mati, maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hukum terdapat orang yang

sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.

4. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu. Seperti kebolehan makan

dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau sudah

terbit fajar, mkan dan minum tidak dibolehkan lagi. (baca Baqarah: 187)

Meskipun menghapuskan kebolehan makan dan minum, namun tidak disebut

nasakh. Hukum yang pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila yang waktu

disebutkan telah habis.

5. Mansukh harus hukum-hukum syara’. Yang bisa dibatalkan (mansukh)

harushukum-hukum syara’.

Tidak semua nas-nas qur’an dan hadis dapat dinasakh. Ada nas- nas yang

sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali, yaitu:

1) Nas-nas yang bernilai hukum pokok, baik yang berhubungan dengan

kepercayaan dan pokok-pokok ibadah; atau yang ber hubungan dengan

pokok-pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran, dan lain-lain; atau yang

melarang perbuatan yang hina seperti mempersekutukan tuhan,

membunuh, mencuri dan lain-lain.

2) Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi, seperti firman allah;

jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”.

3) Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat ataupun

yang akan datang, seperti pristiwa musa dan fir’aun, akan datangnya

kiamat dan lain-lain.

Syarat nasakh yang belum disepakati :

1. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.

2. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.

3. Hukum pengganti lebih berat dari pada hukum yang dibatalkan.

Penjelasan :

1. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.

2. Qur’an dinasakh dengan hadis.

3. Hadis dinasakh dengan qur’an;

6

Page 10: makalah-Ta'wil dan nasakh

4. Qur’an dinasakh dengan hadis.

Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat imam syafi’i dan pendapat

jumhur ulama.

Pendapat imam syafi’i :

Menurut pendapatnya, Al-qur’an tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-

qur’an pula, hadis tidak lain hanyalah mengikuti apa yang telah ditegaskan Al-

qur’an menjelaskan apa telah disebutkan dalam Al-qur’an secara ijmal (garis

besar). Rasulullah s.a.w. diharuskan mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya

dengan tidak boleh menggantikannya dengan kehendak rasul sendiri (Q.s

yunus:15) sebagaimana Allah menetapkan hukum dalam Al-qur’an,maka Allah

pula yang membatalkannya hadis tidak sama tingkatannyadengan Al- qur’an

apalagi melebihinya.

Menurut pendapatnya pula hadis tidak bisa dinasakhkan dengan Al-qur’an.

Jika dibolehkan, tentulah tiap-tiap hadis yang menurut lahirnya bertentangan

dengan Al-qur’an akan ditinggalkan begitu saja dengan alasan , hadis nabi baik

perkataan maupun perbuatan, adalah sebelum turunnya Qur’an dan barangkali

hadis itu tidak disabdakan Nabi, karena tidak sama dengan yang dalam Qur’an.

Pendapat jumhur ulama :

Hadis nabi adalah syari’at Tuhan sebagaiman Al-qur’an. Apa yang datang

dari nabi. sama dengan apa yang datang dari qur’an, karena apa yang dikatakan

Nabi bukan hawa nafsunya(Q.s. An Najim: 3). Dalam Al-qur’an berkali-kali kita

disuruh mengikuti Nabi (Q.s. Ali imran 31, An-nisa’ 59-69). Dengan perintah

trsebut teranglah bahwa hadis yang sudah jelas dari Nabi sama kuatnya dengan

Al-qur’an dan hukumnyapun sama.

Karena itu hadis nabi menasakhkan Al-qur’an. sebagai contoh ialah ayat

yang mewajibkan wasiat terhadap kedua orang tua dan keluarga (Q.s. Al-baqarah:

180) yang dinasakhkan dengan hadis, tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris”.

7

Page 11: makalah-Ta'wil dan nasakh

Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan :

1. Hukum yang ada pada nas yang dinasakhkan adakalanya :

a. Menuntut perbuatan, atau

b. Melarang perbuatan atau

c. Membolehkan perbuatan.

Dalil yang membaatalkan (nasikh) adakalanya :

a. Membatalkan hukum-hukum tersebut semata-mata, atau

b. Membatalkan hukum-hukum tersebut dan mengadakan hukum lain, tetapi

tidak lepas dari ketiga macam hukum tersebut, kemudian dibolehkan.

2. Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang dibatalkan.

Yang sudah disepakati ulama usul, ialah bahwa pengganti lebih ringan

atau sama beratnya dengan yang dibatalkan. Jika pengganti tersebut lebih berat,

maka terdapat dua pendapat, yaitu yang membolehkannya dan yang tidak

membolehkannya.

Alasan tidak membolehkan;

1) Tuhan menghendaki kemurahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan

(Al-Baqarah: 185).

2) Tuhan berkehendak meringankan kamu (An-nisa: 28).

Memberi beban yang lebih berat sesudah yang ringan, bukan berarti

memudahkan, bahkan berlawanan dengan kedua ayat tersebut.

Alasan yang mebolehkan:

Adanya taklif (beban) dari syara’ kepada umat, adalah untuk menjadi

kepentingan umat itu sendiri. Adakalanya kepentingan-kepentingan umat tidak

dapat terpelihara kecuali, dengan adanya taklif yang lebih berat. Karena itu tidak

ada alasan untuk menolak adannya taklif tersebut.

8

Page 12: makalah-Ta'wil dan nasakh

C. Macam-Macam Ta’wil dan Nasakh

Macam-macam Ta’wil

Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wil :

1. Ta’wil Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk

penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia,

padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-

Nya.Umpamanya men-ta’wil-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan

Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48): 60.Tangan Allah berada

diatas tangan mereka. Atau mengartikan “tangan Allah” dengan “kemurahan

Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah

(5):64 “Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya.”

Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam

lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan

penyamaan dengan makhluk-Nya.Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut

“tafsir” dengan majaz masyhur”.

2. Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong

oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau

hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil

yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda

(bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip:

“mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang

keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wil kan surat al-Baqarah

(2): 240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234, seperti dalam

contoh diatas.

Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir

ayat, namun sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan. Kadang-kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wil, atau ta’wil itu

dianggap salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wil; atau ada

dorongan untuk men-ta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wil

itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i.

9

Page 13: makalah-Ta'wil dan nasakh

Bila diperhatikan persyaratan bagi orang yang boleh berfatwa

sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa orang yang bukan

mujtahid dan bukan pula muqallid yang bermazhab tidak boleh berfatwa.

Adapun seorang ahlim yang mempunyai keahlian untuk mengetahui suatu

pendapat imam mazhab dan mampu membandingkan serta men-tarjih-kan antara

beberapa pendapat imam-imam mujahid yang ada, meskipun belum mencapai

derajat mujathid, maka boleh ia memfatwakan pendapat salah satu imam madzhab

yang ada. Namun dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya itu ia harus

memerhatikan sebagai berikut :

a. Dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya ia harus ikhlas dan

ber-i’tiqad baik untuk mewujudkan kemaslahatan dan sebanyak mungkin

menguntungkan semua pihak serta tidak merugikan siapa pun.

b. Ia memilih pendapat yang menghendaki kehati-hatian dalam beramal,

tidak menyulitkan orang dalam beragama, juga tidak mempermudah

agama.

c. Ia memilih pendapat yang menurut keyakinannya benar dan kuat dalilnya.

Macam-Macam Nasakh

Khalid Ramdhan hasan dalam kitabnya Mu’kjam fi Ushul Fiqih, membagi nasakh

menjadi 4 jika dilihat dari segi nasikh atau yang menghapus ;

1. Al-qur’an di nasakh oleh al-qur’an

Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan

mereka yang mengatakan adanya naskh . misalnya ayat tentang idah empat bulan

sepuluh hari. Allah SWT berfirman

Artinya : ” Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan

meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah

hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan

tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris

dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri

mereka . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)

Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan

10

Page 14: makalah-Ta'wil dan nasakh

sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa

bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut

yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).

Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan

dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan

tidak kawin lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan

demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu.

2. Al-qur’an yang di nasakh oleh As-sunnah

Naskh ini ada dua macam yaitu:

a. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Ahad

Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh

hadits ahad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin ,

sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula

menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun

(diduga)

b. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir

Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad

dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu

sendiri merupakan salah satu penjelasan. Allah berfirman :

Artinya : “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS.

An-Najm/53: 3-4)

Artinya : “ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan

kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang

telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

(QS.an-Nahl/16:44)

3. As-Sunnah di nasakh oleh Al-qur’an

Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . Misalnya masalah menghadap

ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak

11

Page 15: makalah-Ta'wil dan nasakh

terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan

firmannya :

Artinya : “ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka

sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah

mukamu kea rah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada , palingkanlah

mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang

diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil

haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa

yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah/2: 144)

4. As-Sunnah di nasakh oleh As-Sunnah

Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk

a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir

b. Sunnah ahad dengan sunnah ahad

c. Sunnah ahad dengan mutawatir

d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad

Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat

seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh

jumhur ulama .

12

Page 16: makalah-Ta'wil dan nasakh

BAB III

PENUTUP

A. SimpulanBerdasarkan pembahasan tentang kajian pengertian ta’wil dan nasakh,

syarat-syarat ta’wil dan nasakh,dan macam-macam ta’wil dan nasakh di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Ta’wil adalah pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zahir kepada

makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang

menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafal itu.

2) syarart-syarat ta’wil diantaranya adalah sesuai dengan ilmu

bahasa/kesustraan ,dapat digunakan sesuai dengan pengertian

bahasa,sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah –istilah

syara’ yang ada,menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu) dll.

3) macam-macam ta’wil adalah

Ta’wil Al-qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk

penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia,

padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.

Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong

oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-qur’an

atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.

4) Nasakh diartikan pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari

orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.

5) syarat-syarat nasakh diantaranya adalah :

Nasikh harus berpisah dari mansukh.

Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.

Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.

Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.

Mansukh harus hukum-hukum syara’.

13

Page 17: makalah-Ta'wil dan nasakh

6) Macam-macam nasakh diantaranya ialah Al-qur’an di nasakh oleh al-

qur’an,Al-qur’an yang di nasakh oleh As-sunnah,As-Sunnah di nasakh

oleh Al-qur’an,As-Sunnah di nasakh oleh As-Sunnah.

B. SaranKarena ta’wil dan nasakh adalah bagian dari ilmu fiqh, dan merupakan hal

yang penting, maka sudah sepatutnya kita harus mempelajari tentang ta’wil dan nasakh. Apabila kita sudah mengetahuinya, maka kita akan lebih paham hususnya tentang ilmu fiqh ta’wil dan nasakh.

14

Page 18: makalah-Ta'wil dan nasakh

DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Syekh Abdul Wahab.2005.Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta : rineka cipta.

Syafe’i, Rahmat.1999. Ilmu Ushul Fiqh.Bandung : pustaka setia.

Sumaryono, E. Hermeneutika.1993. Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta:

Kanisius.

Wijaya, Aksin.2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an.Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-

istinbathi-dan-ijtihad-tathbiqi/

http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

15