Upload
aidatul-fitri
View
1.243
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Definisi belajar
Kalau ditanyakan apakah belajar itu?, maka jawaban yang kita dapatkan akan
bermacam-macam. Hal yang demikian ini terutama berakar pada kenyataan bahwa apa
yang disebut perbuatan belajar itu adalah bermacam-macam . banyak aktivitas-aktivitas
yang oleh hampir setiap orang dapat disetujui sebagai perbuatan belajar, seperti misalnya
mendapat perbendaharaan kata-kata baru menghafal syair, menghafal lagu, dan
sebagainya. Ada beberapa aktivitas yang tak begitu jelas apakah itu tergolong sebagai
perbuatan (hal) belajar; seperti; mendapatkan bermacam-macam sikap social (misalnya
prasangka), kegemaran pilihan, dan lain-lainnya. Selanjutnya ada beberapa hal yang
kurang berguna yang juga terbentuk pada individu, seperti gejala-gejala autistic, dan
sebagainya apakah hal-hal yang dikemukakan paling akhir itu tergolong pada hal belajar,
sukar dikatakan.
Cronbarch di dalam bukunya Educational Psychology menyatakan bahwa
“Learning is shown by a change in behavior as a result of experience (Cronbach, 1954;
47.)”
Jadi menurut Cronbach belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan
dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya. Sesuai dengan pendapat
ini adalah pendapatnya Harold Spears Spears (1955; 94) menyatakan bahwa “Learning is
to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction”.
Selanjutnya definisi yang lebih eksplisit lagi yaitu dengan menunujuk yang bukan
belajar adalah definisi yang dikemukakan oleh Hilgard dia memberikan definisi sebagai
berikut “Learning is the process by which an an activity originates or is changed
throught training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment)
as distinguished from change by factors not attributable to training” (Hilgard, 1948:4).
Good dan Brophy dalam bukunya Educational Psychology “A realistic Approach
menegemukakan arti belajar dengan kata-kata yang singkat, yaitu Learning is the
development of new associations as a result of experience”s. Beranjak dari definisi yang
dikemukakannya itu selanjutnya menjelaskan bahwa belajar itu benar-benar suatu proses
1
yang internal (a purely internal event). Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat
dilihat dengan nyata; proses itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang mengalami
belajar. Jadi yang dimaksud dengan belajar menurut Good dan Brophy bukan tingkah
laku yang nampak, tetapi adalah prosesnya yang secara internal di dalam diri individu
dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru. Faktor-faktor penting yang
sangat erat hubungannya dengan proses belajar adalah kematangan, penyesuaian diri,
menghafal/mengingat, pemgertian, berfikir, dan latihan.
Definisi-definisi yang telah dikemukakan itu diberikan oleh ahli-ahli yang berbeda-
beda pendiriannya, jika kita simpulkan definisi-definisi tersebut maka kita dapatkan hal-
hal pokok sebagai berikut :
a. Bahwa belajar itu membawa arti perubahan (dalam arti behavioral changes, actual
maupun potensial)
b. Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru
c. Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha dengan sengaja.
2.2 Tori Kognitif
Teori psikokologi kognitif adalah bagian terpenting sains kognitifyg telah memberi
kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Sains
kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas pisikologi kognitif, ilmu-ilmu
komputer, linguistic, intelijensi buatan, matematika, epistemology, dan
neuropsychological (pisikologi syaraf).
Pendekatan pisikologi kognitif lebih menekankan arti penting peroses internal, yaitu
mental manusia. Dalam pandangn para ahli kognetif ,tingkah laku manausia yang
tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti
motivasi kesengajaan, keyakinan, dan, sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berarti pisikologi kognitif anti terhadap aliran anti behsviorisme.
Hanya, menurut para ahli kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah
teori pisikologi, sebab tidak memperhatikan peroses kejiwaan yang berdimensi ranah
cipta seperti berfikir, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil keputusan. Selain ini,
aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
2
Dalam persepektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa
mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersipat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya,
tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk
mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respon atas sitimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
Sehubung dengan hal ini, Piaget (Barlow , 1985) seorang pakar pisikologi
terkemuka menyimpulkan bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam
dirinya sendiri untuk belajar.
Sementara itu , teori filsafat pragamatisme yang dipelopori Wiliem James (1842-
1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen Pavlov, Thorndike, dan
Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran bihaviorisme dibawah
kepemimpinan Johan Brodues Watson (1878-1958). Aliran behaviorisme terkenal
radikal dan menantang itu kini sedang mengalami fase keruntuhannya. Karena kini
semakin banyak pakar psikologi kelas dunia yang tidak puas terhadap teori-teori
behavioristik, apalagi setalah dibandingkan dengan hasil-hasil risert para pakar
psikologi (Reber,11988).
Di antara keyakinan perinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik ialah setiap
anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan ,dan
warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru
timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam
pendidikan. Artinya ,seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan
hanya tergantung pada bagaimana individu itu dididik.
Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan
‘’refleks’’ ,yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan kesadaran mental.
Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks
belaka, yaitu reaksi manusia terhadap rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks
ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang
dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah
3
peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kebiasaan
yang dikuasai siswa tersebut .
Dalam perspektif spikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan seperti
tadi adalah naif (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit dipertanggungjawabkan
secara psikologis. Sebagai bukti dan bahan perbandingan, berikut ini dua contoh kritik
terhadap kepercayaan behavioristik tadi.
Pertama, memang tak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya
berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa .seorang siswa lazimnya menyalin
pelajaran ,juga dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan
siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak tahun pertama
masuk sekolah
Akan tetapi ,perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyain pelajaan dengan cara
yang biasa ia lakukan, tertentu terlebih dahulu ia membuat keputusan apakah ia akan
menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali tidak. Jadi, kebiasaan dapat
berfungsi sebagai pelaksanaan aktivitas menyalin pelajaran dari awal hingga akhir,
sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan dimulainya aktivitas menyalin
pelajaran oleh siswa itu tadi dengan kebiasaan yang dikuasai. Keputusan tersebut tentu
bukan peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri.
Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan siswa itu
sendiri. Contohnya menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian di perpustakaan
sambil mengunyah permen. Tetapi, ketika tiba saat berpuasa pada bulan ramadhan ia
hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen. Dalam hal ini,
pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan mengunyah permen
merupakan kemauan siswa tersebut karena sedang menunaikan ibadah puasa. Kemauan
siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan peristiwa mental (konatif) ,
meskipun secara lahiriah yang menerima akibat kemauan tersebut adalah prilaku
behavioral.
Dari uraian contoh-contoh diatas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu,dalam
hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekedar pristiwa S-R bond (ikatan
antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif. Hanya
dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya (umpamanya
4
belajar meniru sopan santun di meja makan dan tegur sapa) peranan ranah cipta tidak
menonjol.
2.2.1 Konsep dasar pikologi kognitif
a. Persepsi dan action
dipelajari bagaimana seseorang mengartikan inf rmasi dari
inderanya untuk membuat dunianya berarti. Perolehan informasi
didapatkan karena seseorang beraksi dan tentunya aksinya tersebut akan
memengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya.
b. Belajar dan ingatan
Bagi psikologi belajar tidak terbatas pada ruang kelas, namun berkaitan
dengan perolehan pengetahuan baru, mengembangkan perilaku baru
maupun beradaptasi terhadap tantangan yang dihadapinya. Belajar
berkaitan erat dengan ingatan atau memori karena hasil belajar harus
disimpan dalam ingatan atau dalam proses belajar menggunakan ingatan
hasil belajar sebelumnya.
Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia, berarti ada
suatu indikasi bahwa manuia mampu untuk menyimpan dan
menimbulkan kembali sesuatu yang telah dialami.
c. Berfikir dan penalaran
Berfikir merupakan aktivitas psikis yang intensional, dan terjadi apabila
seseorang menjumpai problema yang harus dipecahkan.
Berpikir melibatkan manipulasi mental terhadap informasi dengan
tujuan menalar, memecahkan masalah, membuat keputusan dan penilaian
atau hanya membayangkan. Disini dilibatkan proses penalaran deduktif
maupun induktif. Manusia membuat suatu dugaan (hipotesa) berdasarkan
kemampuan berpikirnya.
d. Bahasa
Bahasa yang dimaksudkan disini adalah bahasa yang memiliki
kelengkapan fonem, fonetik, sintaks dan semantik.
5
Merupakan kemampuan yang rumit dan hanya dimiliki oleh manusia,
sehingga interaksi yang dilakukan oleh manusia mencirikan bahwa
manusia adalah mahluk sosial. Melalui bahasa manusia memiliki konsep-
konsep yang abstrak seperti moral, agama, peradaban, keindahan,
penghianatan dan sebagainya. Oleh karena itu perolehan bahasa maupun
proses berbahasa dianggap dapat memberikan pemahaman pada
proses kognisi manusia.
2.2.2 Tokoh-tokoh Psikologi Kognitif
a. Jean Piaget
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari
perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian.
Untuk membuat dunia kita diterima oleh pikiran, kita melakukan
pengorganisasian pengalaman-pengalaman yang telah terjadi.
Menurut Piaget proses belajar sebenarnya terdiri atas tiga tahapan yaitu :
1. Asimilasi : proses pengintegrasian informasi baru ke strukur kognitif yang
sudah ada. Proses asimilasi yang berlaku membolehkan manusia
mengikuti sesuatu modifikasi skema hasil daripada pengalaman yang baru
diperolehi. Contohnya, seorang kanak-kanak yang baru pertama kali
melihat sebiji epal. Oleh itu, kanak-kanak tersebut akan menggunakan
skema memegang (skema yang sedia ada) dan sekaligus
merasanya. Melaluinya, kanak-kanak tersebut akan mendapat pengetahuan
yang baru baginya berkenaan "sebiji epal".
2. Akomodasi : proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
Contohnya, kanak-kanak yang berumur dua tahun yang tidak ditunjukkan
magnet akan menyatukan objek baru ke dalam skemanya dan mewujudkan
penyesuaian konsep terhadap magnet itu.
3. Equilibrasi : penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Keadaan keseimbangan akan wujud apabila kanak-kanak
mempunyai kecenderungan sejadi untuk mencipta hubungan apa yang
dipelajari dengan kehendak persekitaran.
6
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa.
Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap satu debfab
tahap lainnya yang secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang
maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh
karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif
anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang
sesuai dengan tahapannya.
b. Albert Bruner (discovery Learning)
Sementara Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery
learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu aturan termasuk konsep, teori, ide, definisi dan sebagainya
melalui contoh-contoh yang menggambarkan atau mewakili aturan yang
menjadi sumbernya.
Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi
yang diberikan kepada dirinya.
Agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual
anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep
matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan
tahap perkembangan kognitif/ pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat
diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses
internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar
terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam
tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap
simbolik.
1) Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak
secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik)
7
objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2) Model Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan
di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam
bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram,
yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret
yang terdapat pada tahap enaktif.
3) Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak
memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang objek
tertentu. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan
dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu
simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan
orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol
verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat),
lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak
yang lain.
2.3 Strategi belajar efektif
Menentukan bagaimana cara-cara belajar yang baik bukanlah soal yang mudah.
Banyak hal yang mempengaruhi belajar seseorang , disamping factor yang ada di dalam
diri seseorang banyak pula factor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Banyak
eksperimen yang telah dilakukan oleh para ahli psikologi. Dari sekian banyak penelitian
dan percobaan yang dilakuka, sekian banyak pula jawaban yang dikemukakan. Namun,
diantara jawaban-jawaban yang heterogen itu terdapat pula beberapa yang bersifat umum
yang dapat kita pergunakan sebagai pegangan. Dr. Rudolf Pintner mengemukakan
sepuluh macam metode di dalam belajar, seperti berikut :
a. Metode keseluruhan kepada bagian
8
Di dalam mempelajari sesuatu kita harus memulai dahulu dari keseluruhan,
kemudian baru mendetail kepada bagian-bagiannya. Misalnya kita akan
mempelakari sebuah buku. Mula-mula kita perhatikan lebih dulu isi buku tersebut,
urutan bab-banya dan subbab masing-masing. Dari gambaran keseluruhan isi
buku tersebut barulah kita mengarah kebagian-bagian atau bab-bab tertentu yang
kita anggap penting atau yang merupakan inti pokok buku tersebut. Metode ini
berasal dari pendapat psikologi Gestalt
b. Metode keseluruhan lawan bagian
Untuk bahan-bahan pelajaran yang skopnya tidak terlalu luas, tepat dipergunakan
metode keseluruhan seperti menghafal syair, membaca buku cerita
pendek,mempelajari unit-unit pelajaran tertentu, dan sebagainya. Untuk bahan-
bahan yang bersifat nonverbal seperti keterampilan, mengetik, menulis dan
sebagainya lebih tepat menggunakan metode bagian
c. Metode campuran antara keseluruhan dan bagian
Metode ini baik digunakan untuk bahan-bahan pelajaran yang skopnya sangat luas
atau sukar, misalnya tata buku akunting, dan bahan kuliah lain pada umumnya.
d. Metode resitasi
Resitasi dalam hal ini berarti mengulangi atau mengucapkan kembali (sesuatu)
yang telah dipelajari. Metode ini dapat digunakan untuk semua bahan pelajaran
yang bersifat verbal maupun nonverbal.
e. Jangka waktu belajar
Dari hasil-hasil eksperimen ternyata jangka waktu belajar produktif seperti
menghafal mengetik, mengerjakan soal hitungan, dan sebagainya. Adalah antara
20-30 menit. Jangka waktu yang lebih dari 30 menit untuk belajar yang benar-
benar memerlukan konsentrasi perhatian relative kurang atau tidak produktif.
Jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi mata pelajaran yang memerlukan
pemanasan pada permulaan belajarnya seperti untuk belajar sejarah, geografi,
ilmu filsafat, dsb. Disamping itu kita harus mengingat bahwa besarnya minat
belajar pada seseorang terhadap suatu peljaran dapat memperpanjang jangka
waktu belajarnya sehingga mungkin lebih dari 30 menit. Bahkan pada orang
dewaa dapat lebih lama lagi.
9
f. Pembagian waktu belajar
Dari berbagai percobaan dibuktikan bahwa belajar yang terus menerus dalam
jangka waktu yang lama tanpa istirahat tidak efisien dan tidak efektif oleh karena
itu untuk belajar yang produktif diperlukan adanya pembagian waktu belajar.
Dalam hal ini hukum Jost masih tetap diakui keberadaannya. Menurut hukum jost
tentang belajar, 30 menit x 2 x sehari selama 6 hari lebih baik dan produktif
daripada sekali belajar selama 6 jam tanpa berhenti.
g. Membatasi kelupaan
Bahan pelajaran yang telah kita pelajari sering kali mudah dan lekas dilupakan.
Maka, solusinya adalah dalam belajar perlu adanya ulangan tu review pada waktu-
waktu tertentu atau setelah atau pada akhir suatu tahap pelajaran diselesaikan.
Guna review atau ulangan ini adalah untuk meninjau kembali atau mengingatkan
kembali bahan yangpernh dipelajari. Adanya review ini sangat penting, terutama
bagi bahan pelajaran yang sangat luas dan memakan waktu beberapa semester
untuk mempelajarinya.
h. Menghafal
Metode ini berguna terutama jika tujuannya untuk dapat menguasai serta
memproduksi kembali dengan cepat bahan-bahan bacaan yang luas atau banyak
dalam waktu yang relative singkat seperti halnya belajar untuk menghadapi ujian-
ujian semester atau ujian akhir. Namun metode ini kurang baik karena hasilnya
lekas dilupakan lagi setelah ujian selesai.
i. Kecepatan belajar dalam hubungannya dengan ingatan
Kita mengenal ungkapan quick learning means quick learning mans quick for
getting. Di dalamnya terdapat korelasi negative antara kecepatan-kecepatan
memproleh suatu pengetahuan dengan daya ingatan terhadap pengetahuan itu.
Hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan tidak memiliki cukup bukti untuk
menolak ataupun membenarkan generalisasi tersebut, untuk bahan pelajaran yang
kurang mempunyai arti mungkin generalisasi itu tepat dan benar, akan tetapi
untuk bahan-bahan pelajaran lain belum dipastikan kebenarannya.
j. Retroactive inhibition
10
Kita telah mengetahui dari beberapa teori belajar ynag telah dibicarakan bahwa
belajar merupakan suatu proses yang di dalamnya terdapat asosiasi dan interrlasi
antara berbagai pengalaman yang kemudianmembentuk pola-pola pengertian atau
pengetahuan yang terorganisasi di dalam diri kita. Asosiasi dan interrelasi itu
terjadi karena hasil pengulangan-pengulangan yang teratur, karena adanya
hubungan-hubungan yang berlanjut didalam waktu dan ruang, karena intensitas
stimulasi, karena mempunyaihubungan struktural yang logis, dan sebagaiya.
Berbagai pengetahuan yang telah kita miliki itu, didalam diri kita seolah-olah
merupakan unit-unit yang selalu berkaitan satu sama lain, bahkan sering pula yang
satu mendesakatau menghambat yang lain. Proses seperti ini di dalam psikologi
disebut retroactive inhibition. Inhibition berarti larangan atau penolakan. Jadi
pada waktu terjadi proses reproduksi di dalam jiwa kita, atau dengan kata lain
pada waktu terjadi proses berfikir, terjadi adanya penolakan atau penahanan dari
suatu unit pengetahuan tertentu terhdap unit yang lain sehingga terjadi kesalahan
dalam berfikir.
Retroactive inhibition ini dapat terjadi baik pada pelajaran-pelajaran yang bersifat
verbal seperti sejarah bahasa, ilmu ekonomi dan sebagainya. Dan dapat pula
terjadi pada pelajaran non verbal seperti mengeti, bermain piano, menjahit dan
sebagainya.
Untuk menghindari agar jangan sampai terjadi retroactive inhibition itu,
disarankan agar dalam belajar jangan mencampur aduk, dalam arti beberapa mata
pelajaran dipelajari dalam suatu waktu sekaligus. Untuk itu diperlukan adanya
jadwal atau time reinforcement dalam belajar yang harus ditaati secara teratur.
Jika Pintner telah mengemukakan beberapa metode dalam belajar seperti telah
dikemukakan di atas, berikut ini adalah saran-saran yang dikemukakan Crow and Crow
dengan singkat dan terinci untuk mencapai hasil belajar yang lebih efisien.
a. Miliki dahulu tujuan belajar yang pasti
b. Usahakan adanya tempat belajar yang memadai
c. Jaga kondisi fisik jangan sampai mengganggu konsentrasi dan keaktifan mental
d. Rencanakan dan ikutilah jadwal waktu untuk belajar
11
e. Selingilah belajar itu dengan waktu-waktu istirahat yang teratur
f. Carilah kalimat-kalimat topic atau inti pengertian dari tiap paragraph
g. Selama belajar gunakanlah metode pengulangan dalam hati (silent recitation)
h. Lakukan metode keseluruhan (whole method) jika bisa
i. Usahakan agar dapat membaca cepat tetapi cermat
j. Buatlah catatan-catatan atau rangkuman yang tersusun rapi
k. Adakan penilaian terhadap kesulitan bahan untuk dielajari lebih lanjut
l. Susunlah dan buatlah pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan usahakan/cobalah
untuk menemukan jawabannya.
m. Pusat perhatian dengan sungguh-sungguh pada waktu belajar
n. Pelajari dengan teliti table-tabel, grafik-grafik, dan bahan ilustrasi lainnya.
o. Biasakanlah membuat rangkuman dan kesimpulan
p. Buatlah kepastian untuk melengkapi tugas-tugas belajar itu
q. Pelajari baik-baik pernyataan (statement) yang dikemukakan oleh pengarang, dan
tentanglah jika diragukan kebenarannya.
r. Telitilah pendapat beberapa pengarang
s. Analisislah kebiasaan belajar yang dilakukan , dan cobalah untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahannya.
Pada intinya Strategi belajar bersifat individual, artinya strategi belajar yang efektif
bagi diri seseorang belum tentu efektif bagi orang lain. Untuk memperoleh strategi
belajar efektif, seseorang perlu mengetahui serangkaian konsep yang akan membawanya
menemukan strategi belajar yang paling efektif bagi dirinya.
2.4 Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap
lingkungan. Pengalaman danpemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis,menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,
12
mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya
perilaku yangdiinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya
bahwa tingkah lakumanusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau
reinforcement darilingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat
jalinan yang erat antarareaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang
menganut pandangan iniberpandapat bahwatingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dantingkahl laku adalah hasil belajar.
Teori belajar behaviorisme sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku hasil dari pengalaman Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan
guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement)
maka respon juga semakin kuat.
Adapun menurut tokoh-tokoh teori Behaviorisme, teori belajar itu adalah sebagai
berikut :
13
2.4.1 Teori Connectisme (Edward Lee Thorndike (1874-1949))
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang
telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya
dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar
tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau
“selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-
coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut
cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil.
Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini
akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan,
maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian
kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah
pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini
diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali,
kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar
diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai
berikut :
a. Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik
pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya.
Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme
adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara
14
kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak
merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan
cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan
bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya,
ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak
melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan
melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal
ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan
melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
b. Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-
latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan
semakin dikuasai.
c. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau
makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan
diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
15
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat
menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang
pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan
muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum.
Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada
dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan
antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian.
Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan
terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu
kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada
percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
2.4.2 Teori Classical Conditioning
Pelopor dari conditioning adalah Ivan Pavlov (1849-1936) seorang
psikologis refleks dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing.
Secara ringkas percobaan-percobaan Pavlov dapat kita uraikan sebagai berikut :
Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehinnga kelenjar
ludahnya berada di luar pipinya, dimasukkan ke kamar yang gelap. Dikamar itu
hanya ada sebuah lubang yang terletak didepan moncongnya, tempat
menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan
percobaan-percobaan, pada waktu diadakan percobaan-percobaan. Pada
moncongnya yang telah dibedah itu dipasang sebuah pipa (selang) yang
dihubungkan dengan sebuah tabung di luar kamar dengan demikian dapat
diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing itu alat-alat yang
dipergunakan dalam percobaan-percobaan itu adalah makanan, lampu senter
untuk menyorotkan bermacam-macam warna, dan sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan-percobaan pavlop mendapatkan kesimpulan bahwa
gerakan-gerakan reflex dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan.
16
Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam reflex yaitu,
(Unconditioned Stimulus-UCS) adalah sebuah rangsangan yang dikeluarkan tanpa
pembelajaran sebelumnya. Sebuah response yang tidak dikondisikan
(Unconditioned Response- UCR), merupakan response yang tidak dipelajari yang
dihasilkan secara otomatis oleh UCS, dalam eksperimen Pavlov, air liur yang
keluar dari mulut anjing sebagai response terhadap makanan, merupakan UCR.
Dalam pengondisian klasik, rangsangan yang dikondisikan (Conditioned
Stimulus-CS) adalah rangsangan yang sebenarnya netral, yang kemudian
menghasilkan response yang dihasilkan setelah dipasangkan (asosiasi) dengan
UCS. Response yang dikondisikan (conditioned response-CR) ini adalah response
yang dipelajari, yang muncul dari response CS, saat sebelumnya tejadi asosiasi
CS-UCS (Pavlop, 1927).
Watson mengadakan eksperimen-eksperimen tentang perasaan takut pada
anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya dapat
ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih.
Anak percobaaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada kelinci dibuat
menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga
tidak menjadi takut lagi kepada kelinci.
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang
kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu
belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam
belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinu.
Yang diutamakan dalam teori ini adalah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga
tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan
atau kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat perangsang-perangsang tertentu
yang dialaminya di dalam kehidupanannya.
Kelemahan dari teori ini adalah, teori ini menganggap bahwa, belajar itu
hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak
dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjiolkan. Sedangkan dalam
17
bertindak atau berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada
pengaruh luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih
dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori
conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan binatang. Pada
manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja;
umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu
dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.
2.4.3 Operant Conditioning (teori Skinner)
Seperti Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai
hubungan antara peransang dan respons, tetapi berbeda dengan kedua tokoh
yang terdahulu itu, Skinner membuat perincian lebih jauh. Skinner membedakan
adanya dua macam respons, yaitu :
a. Respondent response (reflexive response), yaitu respons yang ditimbulkan
oleh peransang-peransang tertentu.peransang-peransang yang demikian
itu,yang disebut eliciting stimuli,menimbulkan respons-respons yang
secara relatif tetap,misalnya makanan yang menimbulkan keluarnya air
liur.pada umumnya,perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului
respons yang ditimbulkanya.
b. Operant response (instrumental response) yaitu respons yang
timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang
tertentu.peransang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau
reinforcer,karena perangsang-perangsang teraebut memperkuat respons
yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu
mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang
telah dilakukan. Jika seorang anak belajar (telah melakukan perbuatan),
lalu mendapat hadiah,maka dia akan menjadi giat belajar (responsnya
menjadi lebih intensif/kuat).
Di dalam kenyataanya, respons jenis pertama itu (respondent response
atau respondent bebavior) sangat terbatas adanya pada manusia dan karena
adanya hubungan yang pasti antara stimulus dan respons kemungkinan untuk
memodifikasikannya adalah kecil. Sebaliknya, operant reponse atau instrumental
18
bebavior merupakan bagian terbesar daripada tingkah-laku manusia,dan
kemungkinannya untuk memodifikasi boleh dikatakan tak terbatas. Fokus teori
Skinner adalah pada respons atau jenis tingkah-laku yang kedua ini; soalnya
ialah bagaimana menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasikan tingkah-
laku-tingkah-laku tersebut.
Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor
terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikolgi
adalah meramal dan mengontrol tingkah laku.
Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni :
a. Respondent: respon yang terjadi karena stimulus khusus
b. Operant: respon yang etrjadi karena stiuasi random
Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat
lebih kuat akibat reinforcement langsung.
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon
terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap
stimulus, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya terhadap arah
tujuan behavior. Jenis-jenis stimulus :
a. positive reinforcement: penyajian stimulus yang meningkatkan
probabilitas suatu respon.
b. Negative reinforcement: pembatasan stimulus yang tidak
menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas
respon.
c. Hukuman: pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya
“contradiction or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa
penangguhan stimulus yang menyenangkan.
d. Primary reinforcement: stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
fisiologis.
e. Secondary or learned reinforcement.
f. Modifikasi tingkah lakuguru: perlakuan guru terhadap murid-murid
berdasarkan minat kesenangan mereka.
19
Penjadwalan reinforcement:
Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu
respon diperbuat. Ada empat cara penjadwalan reinforcement :
a. Continuous reinforcement (penguatan berkesinambungan), dimana
sebuah prilaku dikuatkan setiap kali prilaku itu muncul. Letika
penguatan berkesinambungan ini muncul, organism akan belajar
dengan cepat. Namun, ketika penguatan dihentikan , maka
pelenyapan juga akan terjadi cukup cepat
b. Fixed ratio schedule (jadwal rasio tetap), menguatkan prilaku setelah
terdapat beberapa perangkat prilaku.
c. Variable ratio schedule (jadwal rasio bervariasi) yang didasarkan
atas penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah sejumlah rata-
rata respon.
d. Fixed internal schedule (jadwal interval tetap) yang didasarkan atas
satuan waktu tetep diantara “reifforcements”.
e. Variable interval schedule (jadwal interval bervariasi) pemberian
reinforcement menurut respon betul yang pertama setelah terjadi
kesalahan-kesalahan respon.
Prosedur pembentukan tingkah-laku :
Jika disederhanakan, prosedur pembentukan tingkah-laku dalam operant
conditioning itu adalah sebagai berikut :
a. Dilakukan identifikasi mengenai hal apa yang merupakan reinforcer
(hadiah) bagi tingkah-laku yang akan dibentuk itu.
b. Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil
yang membentuk tingkah-laku yang dimaksud. Komponen-komponen
itu lalu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada
terbentuknya tingkah-laku yang dimaksud.
c. Dengan mempergunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai
tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk
masing-masing komponen itu.
20
d. Melakukan pembentukan tingkah-laku, dengan menggunakan urutan
komponen-komponen yang telah tersusun itu.kalau komponen pertama
telah dilakukan maka hadiahnya diberikan; hal ini akan mengakibatkan
komponen itu makin cenderung untuk sering dilakukan. Kalau ini sudah
terbentuk, dilakukannya komponen kedua yang diberi hadiah (komponen
pertama tidak lagi memerlukan hadiah); demikian berulang-ulang,
sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan
komponen ketiga, keempat dan selanjutnya, sampai seluruh tingkah-laku
yang diharapkan terbentuk.
Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar sejumlah mahasiswa
mempunyai kebiasaan membaca jurnal profesional yang terdapat di
perpustakaan fakultas pada waktu sore hari. Untuk membaca jurnal profesional
seperti dimaksudkan di atas itu, maka para mahasiswa tersebut harus :
a. Sore hari datang ke fakultas,
b. Masuk ruang perpustakaan,
c. Pergi ke tempat penyimpanan jurnal,
d. Berhenti di tempat penyimpanan jurnal,
e. Memilih jurnal profesional yang dimaksud,
f. Membawa jurnal itu ke ruang baca, dan
g. Membaca jurnal tersebut.
Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak harus berupa barang) bagi
masing-masing komponen tingkah-laku tersebut, yaitu komponen 1 sampai
dengan 7, maka akan dapat dilakukan pembentukan kebiasaan tersebut.Apa yang
dikemukakan di atas itu adalah suatu penyeder-hanaan mengenai prosedur
pembentukan tingkah-laku melalui operant-conditioning.Di dalam kenyataanya,
prosedur itu banyak sekali variasinya dan lebih kompleks daripada apa
yangdikemukakan di atas.
Teori Skinner tersebut dewasa ini sangat besar pengaruhnya, terutama di
Amerika Serikat dan negara-negara pengaruhnya. konsep-konsep bebavior
control dan bebavior modification yang sangat populer di kalangan-kalangan
tertentu, bersumber pada teori ini.
21
Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut:
a. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
b. Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan
dan jika benar diperkuat.
c. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran
digunakan sistem modul.
d. Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
e. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
f. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
g. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari
pelanggaran agar tidak menghukum.
h. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
i. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
j. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat
mencapai tujuan.
k. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan pembentukan (shaping).
l. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
m. Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
n. Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas
menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya.
Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas
guru berat, administrasi kompleks.
2.5 Teori sosial kognitif
Teori kognitif sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari teori
Bblajar sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura.
Penamaan baru dengan nama teori kognitif sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an
dan1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan
pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning).
Pada beberapa publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan
22
faktor-faktor kognitif dan behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses belajar
sosial. Teori ini sangat berperan dalam mempelajari efek dari isi media massa pada
khalayak media di level individu.
Teori kognitif menempatkan secara khusus proses-proses berfikir dan bagaimana
orang-orang dalam memahami (mengerti) dan mempresentasikan dunia.
Pandangan dasar Psikologi Gestalt menyatakan bahwa gejala psikologi terjadi
pada suatu medan/lapangan (field) yang merupakan suatu sistem yang saling tergantung
(interpendent) yang meliputi persepsi dan pengalaman masa lampau. Dalam hal ini unsur-
unsur individu dari medan (field) ini tidak dapat dipahami tanpa mengetahui medan
tersebut sebagai suatu keseluruhan. Pendakatan Gestalt tidak hanya terfokus pada
masalah persepsi, tetapi juga pada masalah kognisi (proses berfikir) secara umum.
Sedangkan teori Kognitif menekankan bahwa pendekatan yang sesuai terhadap gejala
psikologi adalah dengan mempelajari proses kognitif dan bagaimana orang memahami
dan mempresentasikan dunianya. Sebagai contoh aplikasi langsung dari teori ini berupa
riset tentang bagaimana orang-orang membentuk kesan atas orang lain. Para ahli
Psikologi Sosial yang mengikuti tradisi Gestalt telah menyelidiki tentang bagaimana
pemahaman seseorang atas sifat-sifat individu yang digabungkan untuk memberntuk
kesan atas seseorang secara keseluruhan (Burstain & Skul, 1982).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teori kognitif
mempunyai tekanan yang berbeda dalam dua hal dengan teori belajar :
a. Lebih memusatkan perhatian pada interpretasi dan organisasi perceptual mengenai
keadaan sekarang, bukan keadaan masa lalu;
b. Mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi atau interpretasi individu terhadap
situasi, dan tidak pada realitas situasinya.
Keterbatasan dari teori kognitif adalah menyederhanakan atau bahkan kadang-
kadang terlalu menyederhanakan dalam memandang cara-cara dimana seseorang
memproses informasi sosial yang sebenarnya sebagai fenomena yang kompleks. Selain
itu, fenomena kognitif adalah tidak secara langsung dapat diamati, yang semestinya
disimpulkan dari apa yang dilakukan dan dikatakan orang. Hal ini berarti untuk
memaksakan dan memastikan menguji prediksi teoritik dari teori kognitif kadang-kadang
sulit dilakukan. Meskipun demikina, secara keseluruhan diantara teori-teori yang lain
23
teori kognitif ini adalah teori yang lebih popular dan produktif dalam psikologi sosial
(Michener & Delamater, 1999).
2.6 Modelling
Dalam teorinya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi
perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal
dengan teori pembelajaran sosial dan regulasi diri. Beberapa tahapan yang terjadi dalam
proses modeling:
a. Atensi (perhatian)
b. Retensi (ingatan)
c. Reproduksi
d. Motivasi
Regulasi diri (kemampuan mengontrol perilaku sendiri) ialah salah satu dari
sekian penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap yang terjadi dalam proses
regulasi diri yakni:
a. Pengamatan diri yakni melihat diri sendiri beserta perilakunya serta terus
mengawasi
b. Penilaian yakni membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan
standar ukuran tertentu
c. Respon diri yakni proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah berhasil
melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri
2.6.1 Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan.
Ketika guru ingin mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti mengejek,
mengganggu diskusi kelas, atau sok pintar) yang harus dilakukan berdasarkan analisis
perilaku terapan adalah :
a. Menggunakan penguatan diferensial.
b. Menghentikan penguatan (pelenyapan)
c. Menghilangkan stimuli yang diinginkan.
d. Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman)
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perunbahan itu
dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan
mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk. Tingkah laku yang mengalami perubahan
karena belajarmenyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti
perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berfikir, ketrampilan,
kecakapan, kebiasaan ataupun sikap.
3.2 Saran
Setelah kita memahami uraian tentang belajar, dapat kiranya kita meneliti
kekurangan-kekurangan dan hambatan-hambatan apa yang merintangi belajar, dan
berusaha bagaimana cara belajar-mengajar yang baik bagi dirinya sendirimaupun bagi
orang lain/anak didiknya nanti.
25
DAFTAR PUSTAKA
Hudaniah & Tri Dayakisni. 2012. Psikologi Sosial. Malang; Umm Press
Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung; Remaja Rosdakarya
Rahmat, Cece dkk. 2009. Psikologi Pendidikan. Upi Press
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta; Rajawali Press
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
http://id.wikipedia.org/wiki/Albert_Bandura
http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/13/teori-bf-skinner-340649.html
26