Upload
ria-widia
View
1.402
Download
26
Embed Size (px)
DESCRIPTION
8 Oktober 2014
Citation preview
Morfem dan Proses Morfemis dalam Bahasa Indonesia
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu :
Imam Mustofa, M. SI
Disusun oleh :
Nama : Ria Widianti
NPM : 14119214
Kelas E
Program Studi Ekonomi Syari’ah
Jurusan Syari’ah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) Jurai Siwo Metro
Tahun Pelajaran 2014/2015
1. Pengertian Morfologi
Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk
bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kata; atau: morfologi mempelajari seluk-beluk kata serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi
sematik.1
Morfologi atau morfemik adalah telaah morfem. Morfologi dapat dibagi
menjadi dua tipe analisis, yaitu :
a. Morfologi sinkronik
b. Morfologi diakronik
Morfologi sinkronik menelaah morfem-morfem dalam satu cakupan waktu
tertentu, baik waktu lalu maupun waktu kini. Pada hakikatnya, morfologi sinkronik
adalah suatu analisis linear, yang mempertanyakan apa-apa yang merupakan
komponen leksikal dan komponen sintaktik kata-kata, dan bagaimana cara
komponen-komponen tersebut menambahkan, mengurangi atau mengatur
kembali dirinya di dalam berbagai ragam konteks. Morfologi sinkronik tidak ada
sangkut-pautnya atau tidak menaruh perhatian pada sejarah atau asal-usul kata
dalam bahasa kita.
Morfologi diakronik menelaah sejarah atau-asal usul kata dan
mempermasalahkan mengapa misalnya pemakaian kata ini berbeda dengan
pemakaian kata pada masa lalu.
Secara singkat yang menjadi garapan mirfologi sinkronik adalah :
a. Morfem leksikal dan morfem sintaktik
b. Morfem bebas dan morfem terikat
c. Morfem dasar dan morfem imbuhan
Dan yang menjadi garapan morfologi diakronik adalah :
a. Aneka proses etimologis
a) Analogi
b) Permajemukan
c) Reduplikasi
d) Derivasi
e) Formasi surut
1 Prof. DR. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Morfologi (Bandung : Angkasa, 1985) ha l. 4
f) Kreasi dasar
g) Penyingkatan
b. Aneka arah perubahan etimologis, yang mencakup :
a) Deteriorasi
b) Elevasi
c) Spesialisasi
d) Kongkretisasi
e) Ekstensi
f) Metaforisasi
g) Radiasi2
2. Morfem dan Kata
Mengenai morfem dan kata ini, seorang ahli bahasa Indonesia
mengatakan bahwa “morfem ialah satuan gramatik yang paling kecil; satuan
gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya” dan kata ialah
satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain setiap satuan bebas
merupakan kata”. Kata merupakan dua macam satuan, yaitu satuan fonologik
dan satuan gramatik. Sebagai satuan gramatik, kata terdiri dari satu atau
beberapa morfem.3
3. Jenis-jenis Morfem
Morfem-morfem dapat diklasifikasikan berdasarkan :
(a) kemungkinannya sebagai kata,
(b) kedudukannya dalam pembentukan kata,
(c) banyaknya alomorf,
(d) proses morfemis,
(e) jenis fonem yang menyusunnya, dan
(f) macam maknanya.
2 Heatherington; Madelon E, How Language Works (Cambridge, Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc. 1980) ha l . 52-60. 3 Ramlan, Morfologi, Sauatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta : CV. Karyono, 1983) hal. 26-28.
Berikut ini hasil klasifikasi tersebut masing-masing dipaparkan.
a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Menurut kemungkinannya sebagai kata, morfem-morfem dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu morfem bebas (free morpheme) dan morfem terikat
(bound morpheme). Morfem bebas ialah morfem yang dapat berdiri sendiri
sebagai kata, sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri
sendiri sebagai kata, tetapi selalu dirangkaikan dengan satu morfem atau lebih
yang lain menjadi satu kata. Yang termasuk morfem bebas misalnya {orang},
{mata}, {datang}, dan {tidur}, sedangkan yang termasuk morfem terikat misalnya
{ber-}, {meng-}, {di-}, {temu}, {juang}, dan {ajar}.
b. Morfem Dasar dan Morfem Imbuhan
Menurut kedudukannya dalam pembentukan kata, morfem-morfem
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu morfem dasar dan morfem imbuhan.
Morfem dasar adalah morfem yang dileburi morfem lain dalam pembentukan
kata. Menurut Verhaar (1996:99), morfem dasar ini terdiri atas tiga jenis, yaitu :
a) Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya
adalah {do} dalam undo dan {hak} dalam berhak;
b) Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar
menjadi bentuk bebas, morfem ini akan harus mengalami
pengimbuhan. Misalnya infinitif verbal Latin amare ‘mencintai’
memiliki akar {am-} dan akar {am-} itu selamanya membutuhkan
imbuhan (misalnya imbuhan “infinitif aktif” {-are} dalam kata
amare) untuk menjadi bentuk bebas, artinya, {am-} plus klitik
tidak akan menghasilkan bentuk bebas, dan pemajemukan
dengan {am-} juga tidak mungkin.
c) Morfem pradasar ialah bentuk yang membutuhkan peng-
imbuhan, pengklitikan, atau pemajemukan untuk menjadi bentuk
bebas. Misalnya, morfem {:ajar} berupa pradasar (yang dalam
hal ini pradasar itu dilambangkan titik dua (:) di depan bentuk
yang bersangkutan). Morfem itu dapat menjadi bebas melalui
pengimbuhan (misalnya dalam mengajar, belajar, dan
sebagainya), dapat juga melalui pengklitikan (misalnya dalam
kami ajar, saya ajar, dan lain-lain yang serupa), dan dapat juga
dengan pemajemukan (misalnya dalam kurang ajar).
Morfem imbuhan adalah morfem yang dalam pembentukan kata berfungsi
sebagai imbuhan. Yang perlu diketahui adalah semua morfem imbuhan
merupakan morfem terikat (Verhaar, 1981:53). Morfem imbuhan itu tidak dapat
menjadi dasar atau asal dalam pembentukan kata. Misalnya, morfem {ber-} dan
{ke-an} dalam kata berkesudahan merupakan morfem imbuhan.
Morfem imbuhan dapat berupa afiks dan klitik. Afiks adalah morfem
imbuhan yang dapat diimbuhkan di awal (yang disebut prefiks atau awalan),
tengah (yang dinamai infiks atau sisipan), akhir (yang dinamai sufiks atau
akhiran), serta awal dan akhir (yang dinamai konfiks atau imbuhan gabung) mor-
fem dasar. Dalam kata membeli, gerigi, mainan, dan keadaan, misalnya, morfem
{meN-}, {-er}, {-an}, dan {ke-an} merupakan morfem imbuhan yang berupa afiks.
Klitik adalah morfem imbuhan yang diimbuhkan di awal atau akhir morfem
dasar. Klitik yang diimbuhkan di awal morfem dasar disebut proklitik, sedangkan
yang diimbuhkan di akhir morfem dasar dinamai enklitik. Dalam kata kubawa dan
bukuku, misalnya, morfem {ku-} dan {-ku} merupakan imbuhan yang berupa klitik.
c. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Khusus dalam hal morfem terikat, entah imbuhan, akar, atau pradasar,
dapat berupa morfem utuh (continous morpheme) dan morfem terbagi (dis-
continous morpheme). Morfem utuh terdapat bila bentuknya tidak diantarai oleh
unsur lain, dan morfem terbagi terdapat apabila bentuknya dibagi menjadi dua
atau lebih bagian yang berjauhan (Verhaar, 1981:53). Morfem {ber-}, {memper-},
dan {diper-}, misalnya, merupakan morfem utuh, sedangkan morfem {ke-an},
{ber-an}, dan {ber-kan}, misalnya, merupakan morfem terbagi.
d. Morfem Segmental dan Morfem Suprasegmental
Morfem dapat dibedakan menjadi morfem segmental dan morfem
suprasegmental. Morfem segmental adalah morfem yang terjadi dari fonem
segmental. Morfem segmental itu misalnya morfem {ke-an}, {-in-}, dan {sambung}
dalam kata kesinambungan. Morfem suprasegmental adalah morfem yang terjadi
dari fonem suprasegmental. Morfem suprasegmental itu dapat disebut pula
dengan istilah morfem nonsegmental. Morfem suprasegmental itu dapat dijumpai
dalam bahasa-bahasa nada, misalnya bahasa Ngbaka, bahasa Sudan di Congo
Utara. Menurut Nida (yang dikutip Kentjono, 2005:147), verba dalam bahasa
Ngbaka selalu disertai penunjuk kala yang berupa morfem suprasegmental:
No. Kala kini Kala lampau Kala nanti Imperatif makna
1 À Ä â Á menaruh
2 wà Wä wâ wÁ membersihkan
3 sà Sä sâ sÁ memanggil
e. Morfem Leksikal dan Morfem Gramatikal
Morfem dapat pula dibedakan menjadi morfem leksikal dan morfem
gramatikal. Morfem leksikal adalah morfem yang memiliki makna leksikal, seperti
misalnya {meja}, {kursi}, {jalan}, dan sebagainya. Morfem yang memiliki makna
gramatikal disebut morfem gramatikal, misalnya {ber-}, {-i}, dan sebagainya.
f. Morfem Zero
Selain jenis-jenis morfem yang dipaparkan di atas, masih ada satu
jenis morfem lagi, yaitu morfem zero. Morfem zero itu dapat disebut pula
morfem nol. Simbol morfemis morfem zero atau nol itu adalah {ø}. Morfem zero
adalah morfem yang tidak diwujudkan dengan fonem. Contohnya adalah
pemluralan dalam bahasa Inggris sheep [tunggal]: sheep [plural]. Struktur
morfemis bentuk tunggalnya adalah monomorfemis sheep dan bentuk pluralnya
adalah {sheep} + {[morfem plural] ø} (Verhaar, 1996:102).
4. Morfem, Morf, dan Alomorf
Morfem berwujud abstrak (Verhaar, 1981:57). Keabstrakan morfem itu,
misalnya, kelihatan jelas dalam pranalisasi (yang dilambangkan dengan N
kapital) dalam prefiks {meN-}. Dalam pemakaian, lambang N kapital itu berubah
menjadi /mәŋ-/ (misalnya dalam kata menggunakan /mәŋgunakan/), /mәm-/
(misalnya dalam kata membeli /mәmbәli/), /mәŋә-/ (misalnya dalam kata
mengecat /mœNœcat/), /mәñ-/ (misalnya dalam kata mencari /mәñcari/), /mәn-/
(misalnya dalam kata menangis /mәnaNis/), dan /mә-/ (misalnya dalam kata
melarang /mœlaraN/). Dari pemakaian morfem {meN-} itu dapat diketahui bahwa
morfem bersifat abstrak. Morfem harus dikenali lewat realisasi (atau pemakaian)
konkretnya. Realisasi konkret itu disebut alomorf. Misalnya realisasi konkret
morfem {meN-} adalah /mәŋ-/, /mәm-/, /mәŋә-/, /mәñ-/, /mәn-/, dan /mә-/.
Morf adalah salah satu bentuk alomorfemis dari suatu morfem yang dipilih
untuk mewakili bentuk konkret morfem. Hanya, bentuk yang dipilih itu dianggap
mewakili secara konkret morfem yang bersangkutan (lih. Verhaar, 1981:57).
Contoh : 1) Jual (morfem) menjual (n = alomorf) menjual (morf)
2) Garuk (morfem) menggaruk (ng = alomorf) menggaruk (morf)
5. Proses Morfemis
Proses morfemis adalah proses pembentukan kata dengan pengubahan
morfem dasar tertentu yang berstatus morfem leksikal dengan alat pembentuk
yang juga berstatus morfem, tetapi dengan kecenderungan bermakna gramatikal
dan bersifat terikat. Morfem-morfem yang dipakai untuk proses itu adalah afiks
(affix), klitik (clitic), modifikasi internal (internal modification), reduplikasi
(reduplication), dan komposisi (compound).
a. Afiks
Afiks adalah morfem terikat yang apabila ditambahkan atau dilekatkan
pada morfem dasar akan mengubah makna gramatikal morfem dasar (lih.
Kridalaksana, 2001:3). Berdasarkan letaknya dalam kata, afiks dapat dibedakan
menjadi enam jenis, yaitu :
a) Prefiks (prefix) adalah afiks yang diletakkan di awal morfem dasar,
misalnya ber-, me-, di-, ter-, se-, dan sebagainya;
b) Infiks (infix) adalah afiks yang ditempatkan di tengah morfem
dasar, misalnya -in-, -em-, dan sebagainya;
c) Interfiks (interfix) adalah afiks yang muncul di antara dua morfem
dasar, misalnya -o- dalam jawanologi, galvologi, dan tipologi;
d) Sufiks (suffix) adalah afiks yang diletakkan di akhir morfem dasar,
misalnya -s, -al, -an, dan sebagainya;
e) Konfiks (confix) atau sirkumfiks (circumfix) adalah gabungan dua
afiks yang sebagian diletakkan di awal dan sebagian yang lain di
akhir morfem dasar, misalnya ke-an, ber-kan, per-an, dan
sebagainya; dan
f) Transfiks (transfix) adalah afiks terbagi yang muncul tersebar di
dalam morfem dasar, misalnya dalam bahasa Arab, a-a-a, a-i-a, a-
u-a ‘persona ketiga, jantan, perfektum’ muncul dalam morfem
dasar k-t-b, sy-r-b, h-s-n menjadi kataba ia menulis’, syariba ‘ia
minum’, hasuna ‘ia bagus’ (Kridalaksana, 2001:218; Bauer,
1988:24).
b. Klitik
Klitik tidak sama dengan afiks. Klitik juga merupakan morfem terikat,
tetapi tidak memiliki perilaku seperti afiks. Perilaku klitik adalah:
a) Dapat dilekatkan pada bermacam-macam jenis kata (lih. Verhaar,
1981:62), tetapi tidak menjadi penentu ciri khas dari jenis kata
tertentu;
b) Memilik makna leksikal4;
c) Apabila dilekatkan pada morfem dasar, tidak pernah mengalami
perubahan bentuk;
d) Dapat menduduki fungsi sintaktis tertentu di dalam frasa atau
kalimat;
e) Tidak mengubah golongan kata yang dilekati;
Berdasarkan letaknya di dalam kata, klitik dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu proklitik (proclitic) dan enklitik (enclitic). Proklitik adalah klitik yang
ditambahkan pada awal kata, misalnya ku- dan kau- pada kuambil dan kauambil,
sedangkan enklitik adalah klitik yang diletakkan di akhir kata, misalnya -mu dan -
ku dalam bukumu dan bukuku.
4 Ramlan, Morfologi, Suatu Tujuan Deskriptif (Yogyakarta: CV. Karyono , 2001) hal. 57
c. Modifikasi Internal
Modifikasi internal menyangkut perubahan internal di dalam kata.
Perubahan internal itu biasanya berupa perubahan vokal sehingga modifikasi
internal biasa pula disebut modifikasi vokal (vowel modification). Perubahan
vokal yang dimaksud tentu saja yang mengubah makna kata. Bandingkanlah
perubahan vokal dalam kata mondar-mandir dan sing – sang – sung. Perubahan
vokal dalam mondar-mandir tidak mengubah apa-apa karena dalam bahasa
Indonesia tidak dijumpai mondar atau mandir sehingga perubahan vokal dalam
mondar-mandir itu bukanlah morfem, tetapi dalam sing – sang – sung, per-
ubahan vokal itu mengubah makna sehingga perubahan vokal dalam sing – sang
– sung itu dapat disebut morfem, ialah morfem terikat.
d. Reduplikasi
Reduplikasi, yang biasanya dilambangkan dengan {R}, juga
merupakan morfem, yaitu morfem terikat, karena mengubah makna gramatikal
kata. Menurut Ramlan, reduplikasi dapat dibedakan menjadi empat golongan,
yaitu:
a) Reduplikasi seluruh ialah reduplikasi seluruh morfem dasar, tanpa
perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses
pembubuhan afiks, misalnya sepeda dalam sepeda-sepeda dan
buku dalam buku-buku;
b) Reduplikasi sebagian ialah reduplikasi sebagian dari morfem
dasarnya, misalnya pertama menjadi pertama-tama dan berapa
menjadi beberapa;
c) Reduplikasi yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks
ialah reduplikasi yang terjadi bersama-sama dengan proses
pembubuhan afiks dan bersama-sama pula mendukung satu
fungsi, misalnya anak menjadi anak-anakan, hitam menjadi
kehitam-hitaman; dan
d) Reduplikasi dengan perubahan fonem misalnya gerak menjadi
gerak-gerik, serba menjadi serba-serbi,dan sebagainya.5
5 Ramlan, Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta: CV. Karyono, 2001) hal. 69-76.
e. Komposisi
Komposisi adalah perangkaian bersama-sama dua morfem untuk
menghasilkan satu kata. Kata yang dihasilkan lewat proses komposisi disebut
kompositum atau kata majemuk. Menurut Kridalaksana (1989:109-110),
kompositum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Ketaktersisipan; artinya di antara komponen-komponen
kompositum tidak dapat disisipi apa pun. Bulan warna adalah
kompositum karena tidak dapat disisipi apa pun, sedangkan alat
negara merupakan frasa karena dapat disisipi partikel dari menjadi
alat dari negara.
b) Ketakterluasan; artinya, komponen kompositum itu masing-masing
tidak dapat diafiksasikan atau dimodifikasikan. Perluasan bagi
kompositum hanya mungkin untuk semua komponennya
sekaligus. Misalnya kompositum kereta api dapat dimodifikasikan
menjadi perkeretaapian.
c) Ketakterbalikan; artinya, komponen kompositum tidak dapat di-
pertukarkan. Gabungan seperti bapak ibu, pulang pergi, dan lebih
kurang bukanlah kompositum, melainkan frasa koordinatif karena
dapat dibalikkan (gabungan kata semacam itu memberi
kesempatan kepada penutur untuk memilih mana yang akan
didahulukan). Konstruksi seperti arif bijaksana, hutan belantara,
bujuk rayu bukanlah frasa, melainkan kompositum.
f. Derivasi dan Infleksi
Derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan
identitas morfemis yang lain, sedangkan infleksi adalah perubahan morfemis
dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan. Contoh
untuk infleksi adalah perubahan morfemis dari pemuda menjadi pemuda-pemuda
dan untuk derivasi misalnya perubahan gunting menjadi menggunting.
Perubahan dari pemuda menjadi pemuda-pemuda tidak mengubah identitas
leksikal morfem dasar pemuda. Artinya, baik pemuda maupun pemuda-pemuda
sama-sama merupakan nomina dan perbedaan antarkeduanya hanyalah pada
maknanya: pemuda bermakna ’tunggal’, sedangkan pemuda-pemuda bermakna
’jamak’.
Berbeda halnya dengan perubahan morfem dasar gunting menjadi
menggunting. Ternyata, penambahan {meN-} pada gunting menjadi menggunting
mengubah identitas gunting yang semula nomina menjadi verba.
g. Produktivitas
Morfem ada yang produktif dan tidak produktif. Morfem dikatakan
produktif apabila dapat diterapkan pada konstituen yang tidak lazim, atau belum
pernah, mengalaminya dan dikatakan tidak produktif apabila tidak dapat
diterapkan pada konstituen yang belum pernah mengalaminya. Misalnya, morfem
{meN-} merupakan morfem imbuhan yang produktif karena dapat melekat pada
morfem dasar yang belum pernah dilekati seperti dunia menjadi mendunia.
6. Deretan Morfologik
Suatu daftar atau deretan yang memuat kata-kata yang berhubungan baik
dalam bentuk maupun makna disebut deretan morfologik. Agar kita mengetahui
apakah suatu kata terdiri dari satu morfem atau lebih, maka kita harus
memperbandingkan kata-kata tersebut dengan kata-kata lain dalam deretan
morfologik. Perhatikan contoh berikut!
Berdatangan
Kedatangan
Pendatang
Mendatangkan
Didatangkan
Mendatangi
Didatangi
Datangkan
Datang
Berdasarkan perbandingan kata-kata yang tertera dalam deretan
morfologik di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa morfem datang merupakan
unsur yang terdapat pada setiap anggota deretan morfologik itu, sehingga dapat
dipastikan bahwa :
Kata berdatangan terdiri dari morfem datang dan morfem ber – an
Kata kedatangan terdiri dari morfem datang dan morfem ke – an
Kata pendatang terdiri dari morfem datang dan morfem peN-
Kata mendatangkan terdiri dari morfem-morfem meN-, datang, dan –kan
Kata didatangkan terdiri dari morfem-morfem di-, datang, dan –kan
Kata mendatangi terdiri dari morfem-morfem meN-, datang, dan –i
Kata didatangi terdiri dari morfem-morfem di-, datang, dan –i
Kata datangkan terdiri dari morfem-morfem datang dan -kan
Dengan adanya deretan morfologik ini kita bisa menemukan unsur pokok
(contoh: morfem datang) sekaligus dapat kita lihat dengan jelas kata-kata
(berimbuhan) yang dapat diturunkan dari morfem (datang) tersebut.
7. Pengenalan Morfem
Bagaimana cara mengenal morfem dengan mudah? Prof. Ramlan telah
memberikan jawaban yang sangat baik dan terperinci atas pertanyaan yang
dikemukakan di atas. Beliau telah mengemukakan enam prinsip yang saling
melengkapi untuk memudahkan pengenalan morfem itu.6
Adapun keenam prinsip pengenalan morfem yang beliau kemukakan
adalah :
1) Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik dan arti leksikal
atau arti gramatik yang sama merupakan satu morfem.
Contoh : tertulis, terbuat, terambil, termakan, terminum, terbawa,
terbeli, dan teringat.
Dari contoh-contoh di atas terlihat dengan jelas bahwa satuan ter-
merupakan satu morfem kerena memiliki struktur fonologik dan arti
leksikal yang sama.
2) Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda
merupakan satu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai arti
leksikal atau arti gramatik yang sama asal perbedaan itu dapat
dijelaskan secara fonologik.
Contoh : menjahit, membeli, menyalin, menggendong, mengecat, dan
melamar.
6 Ramlan, Morfologi, Sauatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta : CV. Karyono, 1983) hal. 30-38
Dari contoh-contoh tersebut dapat kita ketahuin bahwa satuan-satuan
men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan me- mempunyai arti
gramatik yang sama yaitu menyatakan tindakan aktif, tertapi struktur
fonologiknya berbeda.
Satuan-satuan men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan me- adalah
alomorf dari morfem meN-, oleh karena itu semua satuan itu
merupakan satu morfem.
3) Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda,
sekalipun perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologik,
masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunyai arti
leksikal yang sama, dan mempunyai distribusi komplementer.
Contoh : beralih, berbaring, bersua, belajar, bersandar, bekerja, dan
berjuang.
Dari contoh-conth di atas dapat kita ketahui bahwa terdapat satuan-
satuan ber-, be-, dan bel-.
Berdasarkan prinsip 2, jelas bahwa ber- dan be- merupakan satu
morfem, karena perbedaan struktuk fonologiknya dapat dijelaskan
secara fonologik. Tetapi bagaimana dengan bel- yang (hanya)
terdapat pada belajar? Walaupun bel- mempunyai struktur fonologik
yang berbeda, dan perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara
fonologik, tetapi mempunyai arti gramatik juga distribusi
komplementer yang sama dengan morfem ber-.
Dengak kata lain, bel- merupakan alomorf morfem ber-. Oleh karena
itu maka satuan satuan bel- dapat dianggap sebagai satu morfem.
Perlu dicatat bahwa morfem bel- ini termasuk morfem yang
improduktif dalam bahasa Indonesia.
4) Apabila dalam deretan struktur suatu satuan berparalel dengan suatu
kekosongan, maka kekosongan itu merupakan morfem, disebut
morfem zero.
Contoh : (1) Ibu menggoreng ikan.
(2) Ibu menyapu halaman.
(3) Ibu minum teh.
(4) Ibu makan nasi.
(5) Ibu masak rendang.
Kelima kalimat di atas berstruktur S(ubyek), P(redikat), dan O(byek).
Predikatnya berupa kata verbal yang transitif, yang pada kalimat (1)
dan (2) ditandai oleh adanya meN-, sedangkan pada kalimat (3), (4),
dan (5) kata verbal transitif itu ditandai oleh kekosongan atau tidak
adanya meN-. Kekosongan itu merupakan morfem, yang disebut
morfem zero.
5) Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama
mungkin merupakan satu morfem, mungkin pula merupakan morfem
yang berbeda.
Contoh : (1) Widi menanam kembang.
(2) Bunga itu telah kembang.
Pada kalimat (1) kembang berarti bunga dan pada kalimat (2)
kembang berarti mekar. Oleh karena itu kedua kata kembang itu
merupakan morfem yang berbeda walaupun memiliki struktur
fonologik yang sama. Mengapa? Karena arti leksikalnya berbeda.
6) Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem.
Contoh :
a) Berharap : terdiri dari morfem ber- dan harap.
b) Harapan : terdiri dari mofem harap dan –an.
c) Simpang siur dan gelap gulita
Satuan gulita hanya terdapat pada gelap gulita, dan satuan
siur hanya terdapat pada simpang siur.
Satuan gelap dan satuan simpang masing-masing merupakan
morfem tersendiri. Satuan gulita dan satuan siur pun
merupakan morfem tersendiri.
Satuan morfem yang hanya dapat berkombinasi dengan satu
morfem saja kita sebut morfem unik, morfem yang tidak ada
duanya, hanya satu-satunya, yang tidak ada bandingannya.
Daftar Pustaka
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Morfologi (Bandung : Angkasa,
1985)
Heatherington, Madelon E, 1980, How Language Works
(Cambridge, Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc.)
Ramlan, 1983, Morfologi, Sauatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta:
CV. Karyono)
Ramlan, 2001, Morfologi, Suatu Tujuan Deskriptif (Yogyakarta: CV. Karyono)