138
Ensiklopedi DHAKON Bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka, terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman. Walaupun begitu, bukan berarti alat dhakon sudah tidak ada di masa kini. Masih banyak dijumpai dhakon di masyarakat Jawa saat ini. Namun fungsi utamanya sudah berubah. Sangat jarang anak perempuan sekarang bermain dhakon. Jika ada dhakon di masyarakat, lebih berfungsi untuk hiasan, asesoris rumah agar tampak njawani atau bisa jadi sudah masuk koleksi museum. Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika dhakon menunjuk ke alatnya, maka dhakonan lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah. Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.

Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Ensiklopedi

DHAKON

Bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka,

terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman.

Walaupun begitu, bukan berarti alat dhakon sudah tidak ada di masa kini. Masih banyak dijumpai dhakon di masyarakat Jawa saat ini. Namun fungsi utamanya sudah berubah. Sangat jarang anak perempuan sekarang bermain dhakon. Jika ada dhakon di masyarakat, lebih berfungsi untuk hiasan, asesoris rumah agar tampak njawani atau bisa jadi sudah masuk koleksi museum.

Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika dhakon menunjuk ke alatnya, maka dhakonan lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah.

Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.

Page 2: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Bahan lain yang sekarang banyak dipergunakan untuk pembuatan dhakon adalah dari plastik. Dhakon plastik banyak dijumpai di toko-toko mainan, di swalayan, di pasar tradisional, atau di pasar-pasar malam. Dhakon plastik lebih enteng atau ringan jika dibandingkan dengan dhakon kayu.

Sementara alat lain yang dipakai adalah kecik atau biji buah sawo, sawo manila, srikaya, tanjung, dan sejenisnya. Bisa juga memakai butiran batu krikil yang berukuran kecil, sebesar kecik.

Dhakon biasa dipakai oleh anak perempuan. Sebelum bermain, maka setiap lubang dhakon yang berukuran kecil awalnya harus diberi kecik dengan jumlah yang sama, misalnya 6 buah. Maka untuk 5 lubang dikalikan 2 sisi dikalikan 6 kecik, dibutuhkan 60 kecik. Untuk banyaknya kecil setiap lubang bisa menjadi kesepakatan anak yang akan bermain dhakon. Kemudian anak yang akan bermain dhakon mengawali dengan sut untuk mencari pemenang. Pemenang akan mengawali untuk bermain duluan. Ia bebas untuk memilih lubang awal untuk kemudian diambil keciknya, kemudian dibagi ke lubang di sisi kanannya. Setiap lubang diberi satu, termasuk lumbungnya yang berada di sebelah kanan. Lalu setiap lubang milik lawan juga diberi jatah satu. Ketika kecik terakhir dijatuhkan pada lubang yang masih berisi kecik lainnya, maka ia akan terus memainkan permainan. Begitu seterusnya kembali ke lubang yang ada di sisi pemain. Lubang lumbung milik lawan tidak diberi kecik. Jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir pada lubang yang tidak ada keciknya, maka ia dianggap berhenti bermain dan dilanjutkan ke lawan bermain. Demikian selanjutnya, hingga lubang-lubang kecil kosong keciknya. Permainan dhakon juga mengenal nembak dan mikul. Nembak berlaku jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir di lubangnya sendiri, sementara lubang di hadapan sisi lawan ada keciknya, maka dikatakan nembak. Dikatakan mikul, jika saat menjatuhkan kecik terakhir di sisi lawan, di kanan kiri ada keciknya.

Jika seseorang mengungguli lawannya dalam perolehan kecik, maka ia dianggap menang. Kemudian permainan bisa dilanjutkan lagi hingga beberapa kali putaran atau sampai titik jenuh.

Ada pelajaran berharga dari bermain dhakon, di antaranya adalah rasa jujur dan melatih kecerdasan berhitung. Kejujuran permainan ini adalah mutlak. Sebab tanpa didasari rasa jujur, seseorang yang bermain dhakon akan curang sehingga merugikan orang lain. Ketika tidak didasari rasa jujur, maka saat kecik terakhir hendak jatuh pada lubang kosong tanpa kecik, ia pasti akan menjatuhkan kecik itu pada lubang sebelumnya yang ada

Page 3: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

keciknya. Atau bisa jadi, lumbungnya sendiri akan lebih diisi satu kecik dalam satu putaran. Banyak cara untuk berbuat curang jika tidak dijiwai dengan rasa jujur. Maka ketika rasa curang sering muncul, biasanya seseorang itu akan dijauhi oleh temannya bermain.

Selain itu tentu saja permainan dhakon juga membutuhkan kecerdasan berhitung, seperti di saat memasukkan kecik di setiap lubang maupun saat menghitung biji kecik di saat permainan satu babak usai. Jika tidak pandai berhitung, tentu akan membuat lawan bermain mengakalinya. Maka kecerdasan berhitung memang diperlukan dalam permainan dhakon.

Memang pada umumnya permainan tradisional lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, seperti rasa kejujuran pada permainan dhakon atau nilai-nilai lain yang tentu akan dimunculkan pada permainan- permainan tradisional lainnya. Selain itu, pada permainan tradisional pada umumnya juga melibatkan rasa sosial yang tinggi, melibatkan dua orang lebih, dan bukan bersifat individual. Juga biasanya permainan anak tradisional, bahan baku alat langsung diperoleh dari lingkungan alam sekitarnya tanpa melalui proses pengolahan pabrik. Kreativitas anak biasanya lebih dominan dalam permainan tradisional, karena anak dilatih untuk membuat sendiri alat-alat permainan tersebut.

Teks dan foto : Suwandi

EGRANG

Alat permainan tradisional satu ini sudah tidak asing lagi bagi anak-anak di lingkungan masyarakat Jawa, karena hampir pasti bisa ditemui dengan mudah di berbagai tempat di pelosok pedesaan dan perkotaan, pada masa lalu. Egrang termasuk dolanan anak, karena permainan ini sudah muncul sejak dulu paling tidak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, semasa

penjajahan Belanda. Hal itu seperti terekam di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan 1939 halaman 113, disebutkan kata egrang-egrangan diartikan dolanan dengan menggunakan alat yang dinamakan egrang. Sementara egrang sendiri diberi makna bambu atau kayu yang diberi pijakan (untuk kaki) agar kaki leluasa bergerak berjalan.

Egrang dibuat secara sederhana dengan menggunakan dua batang bambu (lebih sering memakai bahan ini daripada kayu) yang panjangnya masing- masing sekitar 2 meter. Kemudian sekitar 50 cm dari alas bambu tersebut, bambu dilubangi lalu dimasuki bambu dengan ukuran sekitar 20-30 cm yang

Page 4: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

berfungsi sebagai pijakan kaki. Maka jadilah sebuah alat permainan yang dinamakan egrang. Boleh jadi, anak-anak di lingkungan masyarakat Jawa membuat permainan egrang dengan memakai bahan dari bambu, karena bahan ini banyak dijumpai di alam sekitarnya. Bambu banyak tumbuh di pekarangan rumah atau di pinggir-pinggir sungai. Selain itu bambu juga merupakan bahan yang cukup kuat untuk permainan ini. Bambu yang biasa dipakai adalah bambu apus atau wulung, dan sangat jarang memakai bambu petung atau ori yang lebih besar dan mudah patah.

Alat egrang lebih terbatas pada sebuah permainan individu atau rombongan. Artinya permainan ini bisa dipakai bermain oleh anak secara individu atau beberapa anak secara berombongan. Permainan egrang biasa dipakai untuk bermain santai dan sangat jarang dipakai untuk permainan perlombaan. Anak yang bermain egrang, menginjakkan kaki pada alat pijakan yang tingginya sekitar 50 cm dari tanah. Kedua kaki dipijakkan pada kedua pijakan dan anak mencoba berjalan di atas egrang. Dalam permainan ini, anak harus bisa menjaga keseimbangan badan. Itu yang paling utama. Tanpa bisa menjaga keseimbangan, anak akan sering jatuh. Namun jika anak sudah terlatih, maka ia akan terampil menggunakan permainan egrang. Anak biasanya akan bangga bisa bermain egrang, karena selain bisa menjaga keseimbangan, juga merasa lebih tinggi dengan berpijak di atas pijakan bambu egrang.

Sayang, permainan tradisional egrang –seperti juga alat-alat permainan tradisional lainnya-- di masa sekarang sudah tidak lagi dikenal oleh anak- anak sekarang yang lebih banyak mengenal permainan modern (playstation) atau permainan impor dari plastik. Permainan egrang dan sejenisnya sudah lebih banyak mengisi lembaga museum atau lembaga penelitian yang berkaitan dengan nilai budaya dan sejarah. Di sudut Taman Pintar Yogyakarta juga ditemukan dolanan egrang ini walau keadaannya cukup memprihatinkan. Egrang tinggal menjadi kenangan di masa sekarang dan sekali-sekali masih dipertontonkan dalam acara workshop maupun seminar.

Teks dan foto : Suwandi

BENTHIK

Anak laki-laki di lingkungan masyarakat Jawa yang lahir sebelum tahun 1970-an, tentu sudah tidak asing lagi dengan sebuah permainan yang dinamakan benthik. Mereka tentu akan teringat

Page 5: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

sekali jenis alat permainannya maupun cara bermain. Memang, permainan satu ini juga merupakan salah satu jenis permainan tradisional yang sering dipermainkan oleh anak laki-laki di lingkungan masyarakat tempo dulu. Mungkin bagi anak kelahiran tahun 2000 ke atas, terutama di kalangan perkotaan, permainan ini sudah tidak dikenal lagi, karena memang bukan zamannya lagi.

Pada 70 tahun yang lalu, permainan tradisional ini pun sudah dikenal oleh masyarakat Jawa. Terbukti, istilah permainan ini sudah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karya W.J.S. Poerwadarminta terbitan tahun 1939 di Weltevreden Batavia (Jakarta). Pada halaman 41 kolom 1 disebutkan bahwa makna benthik, salah satunya adalah nama permainan. Memang tidak dijelaskan mendetail, namun permainan ini terus hidup di masyarakat Jawa dengan pola dan peralatan seperti yang sudah disebutkan di atas.

Benthik, begitulah sebutannya, dibuat dari 2 potong stik atau kayu bentuk silinder dengan panjang berbeda. Satu potong kayu dengan panjang sekitar 30 cm, yang satunya sekitar 10 cm. Kedua potongan stik tersebut biasanya berdiameter sama, sekitar 2-3 cm. Biasanya potongan kayu tersebut diperoleh dari ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar halaman, seperti pohon asem, pohon mlandhing (petai Cina), pohon jambu biji, pohon mangga, dan sejenisnya. Ranting pohon yang diambil biasanya dari kayu yang ulet dan tidak mudah patah. Bisa jadi, alat benthik dibuat dari potongan bambu yang dibuat silinder dengan ukuran yang sama seperti di atas.

Cara bermainnya pun bisa dianggap mudah. Bisa dilakukan dengan cara beregu atau individu. Jika dilakukan beregu, bisa jadi satu regu (kelompok) terdiri dari 3 atau 4 anak. Ketika satu regu bermain, maka regu yang lain mendapat giliran jaga. Setiap regu secara bergantian memainkan benthik hingga semua mendapat giliran. Setelah selesai, bergantian yang jaga mendapat giliran bermain. Jika dilakukan individu, misalnya 5 anak, maka satu anak mendapat giliran bermain, maka 4 anak lainnya mendapat giliran jaga. Jika anak yang bermain sudah kalah, maka digantikan temannya secara bergantian. Regu atau anak yang mendapatkan angka terbanyak biasanya dianggap sebagai pemenang.

Sebelum permainan dimulai, anak-anak membuat sebuah lubang di tanah dengan ukuran memanjang sekitar 7-10 cm, lebar 2-3 cm, Lubang itu digunakan sebagai tolakan melemparkan stik pendek. Setelah itu anak-anak melakukan

Page 6: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

hompimpah atau sut. Permainan benthik biasanya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, anak yang mendapat giliran bermain, meletakkan stik pendek di atas lubang, lalu dengan bantuan stik panjang, stik pendek dilempar sekuat dan sejauh mungkin. Jika benthik pendek tertangkap tangan, maka anak yang bermain dianggap kalah, sementara yang menangkap stik pendek mendapat nilai, umpamanya dengan dua tangan 10 poin, satu tangan kanan 25 poin, satu tangan kiri 50 poin, dan sebagainya. Jika tidak tertangkap, salah satu anak yang jadi melemparkan stik pendek ke arah stik panjang yang telah ditaruh di atas lubang dengan posisi melintang. Jika stik panjang terkena, maka anak yang bermain kalah.

Jika stik pendek tidak mengenai stik panjang, anak yang bermain dapat meneruskan permainan ke tahap kedua. Pada tahap ini, anak yang bermain lalu melemparkan stik pendek ke udara lalu dipukul sekuat tenaga dengan stik panjang agar terlempar sejauh mungkin. Jika stik pendek yang dilempar tertangkap oleh lawan, maka anak yang bermain dianggap kalah. Ia harus menghentikan permainan. Jika tidak tertangkap tangan, maka anak yang jaga harus melemparkan stik pendek ke arah lubang yang telah dibuat. Jika saat dilempar ke arah lubang, stik pendek terpukul oleh anak yang bermain dan terlempar jauh kembali ke arah sebaliknya, maka perolehan poin yang didapat akan semakin banyak. Sebab cara penghitungan poin dengan menggunakan stik panjang, diawali dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek. Jika stik pendek yang dilempar ke arah lubang dan tidak terpukul oleh si pemain, maka penghitungan juga dilakukan mulai dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek yang lolos dari pukulan kedua. Jika lemparan stik pendek dari lawan masuk ke arah lubang, maka poin yang dikumpulkan oleh anak yang bermain dianggap hangus.

Apabila pada tahap kedua, anak yang bermain mendapatkan poin, maka bisa dilanjutkan ke tahap ketiga. Pada tahap ini, anak yang bermain harus meletakkan stik pendek ke dalam lubang. Satu uju ng stik dimasukkan ke dalam lubang, sementara ujung stik lainnya timbul di permukaan tanah. Anak yang bermain harus bisa memukul ujung stik yang timbul agar mengudara lalu dipukul sejauh mungkin. Jika tidak dapat memukul kedua

kali, maka ia dianggap kalah atau mati dan harus digantikan dengan pemain lainnya. Namun jika berhasil memukul lagi satu kali, dua kali atau seterusnya, maka pemain berhak untuk mengalikan hasil tersebut. Jika terlempar sejauh 20 kali stik panjang dan terpukul 1 kali lagi, maka ia mendapatkan poin 20. Jika ia mampu memukul 2 kali sebelum terlempar jauh, maka ia berhak melipatkan menjadi dua kali. Bisa jadi, ukuran

untuk yang berhasil memukul dua kali atau seterusnya, memakai alat ukur

Page 7: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

benda lain, misalnya peniti, gabah, dan sebagainya. Semakin ia memukul berulang kali sebelum terlempar jauh, memungkinkan ia akan finish lebih dulu. Begitu seterusnya dalam permainan benthik. Ia akan mengulangi dari awal, apabila tidak mati dalam permainan.

Ada sisi positif dari permainan tradisional benthik ini. Anak akan diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman bermain. Jika ia tidak dapat bersosialisasi dengan baik, pasti teman bermain akan menjauhinya. Begitu pula sportivitas akan diuji dalam permainan ini. Setiap anak yang tidak berjiwa sportif pasti lama-kelamaan juga akan ditinggalkan oleh rekan bermain.

Sayang, permainan itu pada saat ini hanya tinggal kenangan. Paling hanya tinggal didokumentasi lewat tulisan-tulisan, VCD, maupun film-film dokumenter, maupun dikoleksi oleh museum-museum.

Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

EGRANG BATHOK

Selain mengenal egrang dari bambu, anak-anak masyarakat Jawa masa lalu juga mengenal egrang bathok. Egrang jenis terakhir ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa yang dipadu dengan tali plastik atau dadung. Fungsi utama sama, seperti alat dolanan lain, yakni diciptakan dan dibuat untuk bermain bagi dunia anak. Dolanan egrang bathok tidak terbatas untuk dimainkan oleh anak

laki-laki, tetapi juga kadang dipakai untuk bermain anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan ke atas masing- masing tempurung, kemudian kaki satu diangkat, sementara kaki lainnya tetap bertumpu pada batok lain di tanah seperti layaknya berjalan.

Permainan tradisional yang menggunakan alat seperti permainan egrang bathok ini, pada umumnya bahan dasarnya banyak diperoleh di sekitar lingkungan anak. Bathok dalam bahasa Indonesia disebut tempurung. Tempurung yang dipakai biasanya berasal dari buah kelapa tua yang telah dibersihkan dari sabutnya. Kemudian tempurung itu dibelah menjadi dua bagian. Isi kelapa dikeluarkan dari tempurung. Tempurung yang terbelah menjadi dua bagian ini kemudian dihaluskan bagian luarnya agar kaki yang berpijak di atasnya bisa merasa nyaman. Masing-masing belahan tempurung kemudian diberi lubang di bagian tengah. Masing-masing lubang tempurung dimasuki tali sepanjang sekitar 2 meter dan diberi pengait. Tali yang

Page 8: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

digunakan biasanya tali lembut dan kuat, bisa berupa tali plastik atau dadung yang terbuat dari untaian serat. Jadilah sebuah perm ainan tradisional yang disebut egrang bathok.

Permainan egrang bathok bisa dimainkan secara individu maupun kelompok. Kadang-kadang, permainan ini di masa-masa lalu, biasa pula dipakai untuk perlombaan. Tentu di sini anak diuji ketangkasan dan kecepatan berjalan di atas egrang bathok. Anak yang paling cepat berjalan tanpa harus jatuh dianggap sebagai pemenang. Namun sering pula secara individu anak bermain egrang bathok dalam situasi santai. Pada saat ini, permainan jenis ini sudah sangat jarang dijumpai di lingkungan masyarakat Jawa. Tidak mesti setiap anak terbiasa lagi membuat alat permainan ini. Begitu pula belum tentu pasar tradisional menjual alat permainan ini. Memang saat ini sangat sulit mencari alat permainan ini di pasaran. Paling-paling, hanya ada satu dua koleksi yang diproduksi atau kebetulan disimpan oleh instansi yang peduli, seperti museum dolanan anak, balai penelitian atau orang yang peduli terhadap permainan tradisional.

Anak-anak sekarang memang tidak harus memainkan kembali permainan- permainan tradisional, termasuk dolanan egrang bathok. Namun paling tidak generasi tua saat ini bisa mengenalkan kepada generasi muda sekarang. Tentu dengan harapan agar generasi muda sekarang bisa mengenal sejarah kebudayaan nenek moyangnya, termasuk dalam lingkup permainan tradisional dan akhirnya bisa menghargai karya dan identitas bangsanya sendiri walaupun teknologi yang diterapkan kala itu sangat sederhana.

Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

BEDHIL-BEDHILAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-5)

Entahlah, mungkin karena terinspirasi oleh senjata yang pernah dibawa oleh penjajah di kala itu, anak-anak masyarakat Jawa dua generasi dari sekarang atau yang lebih tua, mengenal permainan anak yang disebut dengan istilah Jawa bedhil- bedhilan. Dalam bahasa Indonesia artinya sama

Page 9: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dengan permainan yang menyerupai pistol-pistolan. Walaupun sebenarnya kalau dilihat sepintas tidak mirip sama sekali. Namun bisa jadi penamaan itu diambil dari suara yang dihasilkan dari permainan bedhil-bedhilan yang bersuara mirip pistol dor-dor-dor .

Itulah sekelumit penamaan permainan bedhil-bedhilan yang dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa tempo dulu. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, walaupun kadang ada pula anak perempuan yang bermain bedhil-bedhilan. Bahan yang sering dipakai diambil dari sekitar lingkungan alam di sekitar rumah. Biasanya anak-anak membuat bedhil- bedhilan dari bahan bambu yang berukuran kecil. Bahan tersebut biasanya diambil dari ranting bambu apus atau beberapa jenis bambu lainnya. Bambu kecil tersebut berdiameter sekitar 1-2 cm dan diambil setiap 1 ruas. Kemudian ruas tersebut dipotong menjadi dua bagian. Bagian bawah dengan ruas tertutup lebih pendek, sementara ruas atas lebih panjang dan dua ujung berlubang. Biasanya dengan perbandingan panjang 1:3. Bambu ruas pendek kemudian dimasuki potongan stik yang berasal dari bambu pula, tetapi biasanya yang sudah kering, agar lebih kuat. Sisa potongan stik kayu dikerut hingga kecil, sehingga bisa masuk pada potongan bambu yang berukuran panjang. Sisa potongan stik kemudian dipotong satu cm lebih pendek dari panjang bambu yang berukuran panjang. Maka jadilah permainan tradisional bedhil-bedhilan.

Sementara peluru yang dipakai biasanya bunga jambu air yang sudah rontok. Bisa yang masih kuncup atau yang sudah mekar. Bunga jambu air itu biasa disebut cengkaruk. Bisa juga peluru berasal dari bunga pohon mlandhing (lamtoro gung yang berukuran kecil) yang masih kecil, belum mekar putiknya. Pohon-pohon tersebut biasanya tumbuh di halaman atau pagar pembatas pekarangan rumah, sehingga ketika zaman itu mudah mencarinya. Dan yang jelas semua bahan gratis tidak usah membeli, tinggal mencari. Jika tidak ada bunga-bunga di atas, bisa pula memakai kertas koran yang sudah dibasahi air. Tetapi untuk peluru yang terakhir ini, sering ngadat (macet) di dalam lubang bedhil-bedhilan, sehingga susah dikeluarkan jika terlalu padat atau kebesaran.

Peluru-peluru yang berasal dari bunga-bunga di atas dimasukkan satu bersatu ke bedhil-bedhilan. Peluru pertama dipukul-pukul hingga masuk dan dibiarkan hingga ujung lubang. Lalu peluru kedua dimasukkan lagi dengan cara sama hingga masuk di pangkal bedhil-bedhilan. Dari pangkal inilah kemudian disodokkan dengan keras sehingga terdengar bunyi dor seiring dengan peluru yang

Page 10: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

pertama terlempar jauh ke depan. Begitu seterusnya hingga bunga-bunga cengkaruk yang dikumpulkan habis, kemudian mencari lagi.

Permainan bedhil-bedhilan biasa dibuat oleh anak-anak sendiri. Anak-anak yang membuat permainan ini biasanya berumur 9-12 tahun. Tetapi kadang- kadang dibuatkan oleh orang dewasa, bisa orang tua maupun saudara- saudaranya yang lebih tua.

Permainan ini cukup awet, apalagi jika bahan yang dibuat sudah kering, bisa bertahan sebulan atau lebih, asalkan tidak pecah terbanting atau keliru memasukkan peluru yang terlalu besar. Tetapi bedhil-bedhilan yang terbuat dari bahan yang masih basah biasanya tidak awet, kecuali sering direndam dalam air. Jika tidak direndam, biasanya berkerut (kusut), sehingga stik sulit dimasukkan.

Permainan bedhil-bedhilan biasa dimainkan saat anak-anak sedang senggang, waktunya bermain. Bisa setelah pulang sekolah atau liburan. Dimainkan secara individu atau kelompok. Kadang-kadang dibuat dua regu yang saling berhadapan, seolah-olah bermain tembak-tembakan beneran. Satu kelompok menyerang kelompok lainnya, saling berkejaran. Begitulah dunia anak di masa lalu sangat senang memanfaatkan bahan dari alam sekitar. Bagaimana dengan anak sekarang? Pasti sudah banyak perubahan.

Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

REBANA-REBANAAN

Bentuknya memang mirip dengan alat musik tradisional rebana yang terbuat dari kulit. Namun untuk rebana yang satu ini ukurannya lebih kecil dan bahannya pun berbeda, sehingga namanya pun rebana-rebanaan karena menyerupai rebana. Sebagian anak lain menyebut mainan ketipung- ketipungan. Bisa jadi anak-anak di lokasi lain menyebutnya dengan nama lain pula. Mainan

tradisional satu ini terbuat dari gerabah berlubang tengah yang diberi kertas semen. Sementara pemukulnya terbuat dari potongan lidi, bilahan bambu atau kayu yang diberi tanah liat atau karet di salah satu sisi ujungnya. Bisa jadi dipukul dengan jari-jari tangan. Jenis mainan ini pernah dipakai bermain oleh anak-anak kecil di masyarakat Jawa lebih dari 30 tahun lalu. Bahkan sekarang pun masih ada sebagian kecil anak-anak yang memainkan alat ini, walaupun sudah dikatakan sudah jarang.

Page 11: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Anak-anak biasanya tidak membuat sendiri dolanan tradisional jenis satu ini, melainkan membeli di pasar tradisional atau pedagang mainan keliling. Namun begitu saat ini sudah tidak banyak pasar-pasar tradisional maupun pedagang mainan keliling yang menjual jenis mainan ini karena terdesak oleh mainan jenis modern yang lebih awet. Tentu selain itu pembuat mainan ini juga sudah langka mengingat prospek penjualannya yang agak seret. Tetapi kadang-kadang, tidak disangka kita masih bisa menjumpai seorang pedagang mainan tradisional menjajakan dolanan ini.

Memang jenis mainan satu ini jika dibandingkan dengan jenis dolanan yang lebih modern kalah jauh. Dari bahannya saja, sudah berbeda. Dolanan rebana-rebanaan tradisional ini terbuat dari gerabah dan kertas semen yang tentu mudah rusak, walaupun harganya masih sangat terjangkau untuk ukuran sekarang. Sementara mainan modern lebih awet dan praktis. Selain itu, produksi dolanan tradisional tadi sudah sangat langka, berbeda dengan dolanan modern yang banyak diproduksi oleh pabrik. Di samping itu suara yang ditimbulkan dari mainan tradisional hanya monoton tung tung saja sehingga anak-anak di zaman sekarang kurang tertarik dengan jenis mainan tradisional tersebut.

Namun begitu, tidak berarti mainan tradisional ini sudah tidak bisa ditemui di masyarakat sekarang. Selain masih ditemukan di sekeliling kita, walaupun sudah jarang, mainan tradisional rebana-rebanaan ini juga kadang masih dikoleksi oleh museum atau institusi lain yang peduli terhadap mainan tradisional, khususnya di masyarakat Jawa. Tentu selain bentuk benda aslinya, bisa ditemukan dalam bentuk dokumentasi lain, seperti foto atau berupa audio visual.

Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

GOBAG SODOR (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-7)

Dolanan tradisional gobag sodor ini tentu sudah tidak asing lagi bagi anak-anak masyarakat Jawa yang sekarang berumur 30 tahun ke atas. Permainan yang akrab di kalangan anak-anak di

Page 12: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

tahun 1970-an ini sering dimainkan oleh anak laki-laki maupun kadang- kadang orang dewasa oleh kalangan masyarakat Jawa di kala waktu senggang, apalagi ketika malam bulan purnama. Salah satu kegiatan mengisi bulan purnama biasanya dengan memainkan dolanan tradisional berupa dolanan gobag sodor. Permainan ini ternyata juga sudah terekam dalam Baoesastra (kamus) Djawa tahun 1939 karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan J.B. Wolters‘ Uitgevers Maatschappij, N.V. Groningen, Batavia. Di kamus itu tercatat di halaman 158, disebutkan hanya dengan istilah gobag, yang menerangkan sebagai sebuah jenis permainan anak. Di masyarakat Jawa seringkali pula disebut dengan permainan gobag sodor.

Permainan gobag sodor membutuhkan tempat yang agak luas, paling tidak untuk bermain gobag sodor ini membutuhkan luas lapangan sekitar 6 meter x 15 meter. Padahal rumah sekarang sudah jarang yang mempunyai luas halaman tersebut. Maka tidak aneh jika permainan gobag sodor ini semakin hari jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang karena keterbatasan lahan. Selain itu, permainan ini membutuhkan jumlah anak yang cukup untuk bermain, paling tidak 8—10 anak. Ketika masa lalu, anak-anak masih banyak punya waktu luang sehingga bisa bermain bersama-sama. Namun sekarang, anak- anak sudah banyak pilihan mainan, sehingga sulit untuk diajak bermain kelompok. Walaupun sebenarnya permainan ini mempunyai kelebihan dalam sikap bersosialisasi. Anak diajak bisa bekerjasama dengan teman bermain. Selain itu, permainan ini juga menuntut pelaku bermain untuk bersikap sportif dalam permainan dan tidak boleh curang atau egois. Anak-anak juga dituntut untuk bermain energik karena memang sifat permainan ini cepat.

Page 13: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Cara bermain gobag sodor termasuk cukup mudah. Sebelum bermain, biasanya anak-anak yang hendak bermain mencari lahan bermain yang cukup luas dan rata. Di atas lahan tersebut kemudian digambari garis persegi empat dengan lebar 6 meter dan panjang 15 meter. Kotak persegi panjang itu kemudian dibelah menjadi 2 bagian sama panjang dengan ukuran masing-masing 3 meter. Kemudian panjangnya juga dibagi-bagi lagi menjadi 4 bagian, setiap bagian dengan lebar 3 meter juga. Selain itu, di bagian tengah juga ditarik garis ke depan dan ke belakang masing-masing sekitar 2-3 meter. Maka jadilah lapangan untuk bermain gobag sodor. Biasanya jaman dulu anak-anak membuat garis-garis gobag sodor ini dengan air kendi agar lebih awet dan tidak mudah terhapus. Namun bisa

pula dengan menaburkan batu kapur yang sudah lembut atau digaris dengan tongkat kayu atau bambu.

Setelah itu, anak-anak yang bermain, misalnya 10 anak harus dibagi 2 regu. Masing-masing regu beranggotakan 5 anak. Ketua regu melakukan sut untuk menentukan pemenang. Setelah dilakukan sut , maka regu pemenang akan main duluan dengan menempatkan diri di kedua garis

depan di kanan kiri maupun di ujung garis sodor. Sementara yang kalah menempatkan diri di masing-masing garis melintang untuk menjaga anak- anak yang akan ke belakang. Satu pemain yang kalah harus bertugas menjaga garis sodor (garis tengah yang membagi dua bagian kanan dan kiri). Setelah semua siap, anak-anak yang bertugas sebagai sodor dan penjaga garis depan berusaha menyentuh anak-anak yang telah melakukan start. Setelah itu anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha keras melewati setiap garis yang dijaga lawan. Anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha sampai garis paling belakang dan kembali ke garis depan. Anak-anak ini juga harus berusaha menghindari sentuhan pemain penjaga yang menjaga setiap garis. Jika ada 2 anak yang mendapat giliran main berada di dalam satu kotak, maka pemain lawan boleh mengunci. Sementara anak-anak lain yang bermain tidak boleh sampai finish terlebih dahulu, sebelum anak-anak yang terkunci bisa meloloskan diri. Jika anak yang bermain tadi bisa meloloskan diri dari jebakan, maka anak yang lain bisa menuju finish dan dianggap sebagai pemenang. Namun jika ada anak yang mendapat giliran main tersentuh oleh lawan sebelum anak lain mencapai finish, maka dianggap kalah dan harus bergantian main. Begitu seterusnya. Jika ada regu yang menang, biasanya

Page 14: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

mendapat hadiah gendongan dari lawan bermain. Jarak gendongan ditentukan oleh kedua regu yang bermain.

Permainan tradisional gobag sodor memang salah satu permainan yang murah meriah tanpa harus mengeluarkan uang. Namun sayang, permainan ini sudah dianggap kuno dan jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang. Walaupun tidak menutup kemungkinan, kadang-kadang masih dijumpai di sekitar kita, tetapi biasanya dalam rangka perayaan tujuh belasan atau festival dolanan anak.

Suwandi

Ensiklopedi

JARANAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-

8)

Mungkin terinspirasi terhadap hewan kuda (bahasa Jawa: jaran) sebagai binatang tunggangan, maka anak-anak di masyarakat Jawa menciptakan sebuah dolanan anak yang disebut jaranan =kuda-kudaan‘. Bentuk, gambar, dan hiasan-hiasannya memang dibuat menyerupai hewan kuda. Akhirnya mainan itu biasa disebut jaranan. Hampir di setiap daerah di wilayah Jawa mengenal dolanan khas ini. Hingga sekarang masih banyak dijumpai dolanan model ini di berbagai pelosok wilayah Jawa, khususnya apabila ada pasar malam, pertunjukan

wayang kulit, pasar-pasar tradisional, cembengan, sekaten, atau pertunjukan tradisional lain saat perayaan merti dhusun (nyadran). Seni tradisional Jawa bahkan ada pula yang memakai jaranan sebagai salah satu alat untuk pertunjukannya, misalnya Jathilan. Hanya saja, bentuk dan ukurannya lebih besar, sesuai dengan postur orang dewasa.

Kamus (Baoesastra) Jawa karya W.J.S. Poerwadarminto terbitan Groningen Batavia tahun 1939 halaman 82 pun telah mencatat istilah jaranan sebagai salah satu bentuk dolanan anak di masyarakat Jawa. Dalam kamus itu diterangkan bahwa jaranan adalah bentuk suatu dolanan =permainan‘ yang menyerupai jaran =kuda‘. Berarti memang sebelum tahun 1939, jaranan sudah menyebar di masyarakat Jawa

Page 15: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

sebagai salah satu bentuk permainan yang sering digunakan oleh anak- anak.

Jaranan biasanya dibuat dari bahan gedheg =dinding bambu‘ yang dibentuk menyerupai jaran =kuda‘. Selesai dibentuk menyerupai kuda, dibingkai dengan belahan bambu di semua pinggirnya. Juga digambari dengan cat atau sejenisnya sehingga terlihat gambar kuda. Tidak lupa dihiasi dengan rumbai-rumbai di sekitar leher dengan rafia. Ukuran untuk anak-anak

biasanya tidak lebih dari 40 cm (tinggi) dan 100 cm (panjang). Namun begitu, untuk bahan yang lebih sederhana, biasanya jaranan dibuat dari pelepah daun pisang. Setelah daunnya dibuang, pelepah dierati beberapa bagian lalu dibentuklah menyerupai jaranan. Lalu diberi tali di bagian kepala dan ekor. Tali tersebut dikalungkan di leher anak yang bermain jaranan ini. Di beberapa daerah, seperti di Kulon Progo, seperti yang

pernah dijumpai oleh Tembi, jaranan dibuat dari bahan =bonggol‘ bambu. Bonggol bambu ini dibuat menyerupai kuda dan dimodifikasikan dengan kayu lain yang digunakan sebagai tubuh kuda-kudaan. Jadilah dolanan yang disebut jaranan. Ada pula yag dibuat dari kayu dengan kepala mirip kuda dan bagian tubuh dibuat bergoyang, sehingga anak-anak bisa duduk dan bermain di atasnya. Kiranya yang disebut terakhir ini adalah mainan inovasi baru, yang dulu belum dikenal.

Bahkan hingga saat ini masih banyak pula di masyarakat Jawa yang melestarikan seni tradisi Jathilan. Seni tradisi ini sering pula disebut kuda lumping karena menggunakan media utama berupa jaranan. Hanya ukuran jaranan ini lebih besar sesuai dengan postur orang dewasa yang memainkan. Dalam seni tradisi Jathilan biasanya sudah dilengkapi dengan tabuhan musik tradisional dan seringkali dipertontonkan dalam berbagai acara, seperti festival, pasar malam, penyambutan tamu, upacara tradisi, dan sebagainya.

Anak-anak yang bermain jaranan bisa sendirian atau bisa pula berkelompok dengan teman-temannya. Saat ini, dalam bermain jaranan, biasanya anak- anak tampil dalam acara festival. Bahkan dolanan ini juga dilengkapi dengan syair yang berjudul Jaranan . Teks lengkapnya demikian: //Jaranan, jaranan, jarane, jaran teji/ sing nunggang dara Bei/ sing ngiring para mantri/ jret-jret nong/ jret-jret gung/ srek-srek turut lurung/ gedebug krincing, gedebug krincing/ prok, prok, gedebug jedher//.

Page 16: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi

Ensiklopedi

JAMURAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-9)

Bagi anak-anak perempuan masyarakat Jawa yang hidup di sekitar tahun 1960-hingga 1970-an tentu tidak asing lagi dengan dolanan anak yang disebut Jamuran. Ketika televisi belum menjamur seperti sekarang, hiburan mereka kebanyakan adalah bermain di lapangan terbuka. Beraneka ragam dolanan anak mereka mainkan, salah satunya adalah jamuran. Seiring dengan merebaknya hiburan televisi dan lainnya, permainan tradisional jamuran ini sudah jarang lagi dimainkan oleh anak-anak perempuan. Jika masih ada pun hanya sebatas dalam kegiatan festival, workshop, seminar, atau sejenisnya.

Dari segi istilah, kiranya nama jamuran diambil dari nama tumbuhan jamur. Jamur yang berbentuk seperti payung bulat itulah yang menjadi inspirasi nama dolanan jamuran. Berarti jamuran adalah sebuah nama dolanan, yang permainannya membentuk lingkaran seperti jamur. Maka anak-anak menyebutnya dengan dolanan jamuran.

Biasanya yang memainkan dolanan jamuran ini adalah anak-anak perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan juga dimainkan oleh anak- anak laki-laki atau campuran. Sementara umur anak-anak yang bermain dolanan ini setingkat usia TK sampai SD, sekitar 6-13 tahun. Jika ada anak di bawah usia 6 tahun ikut, biasanya dianggap pupuk bawang atau bawang kothong alias dianggap cuma ikut-ikutan, karena dianggap belum paham tentang cara bermain yang sesungguhnya. Dolanan jamuran ini, dulu sering dimainkan di saat waktu senggang di hari libur di saat pagi, sore, atau malam hari ketika bulan purnama.

Dolanan jamuran tidak membutuhkan peralatan bantu kecuali hanya tanah lapang atau halaman yang cukup luas. Biasanya memakai halaman rumah, halaman sekolah, halaman balai desa, atau di lapangan. Sebelum anak-anak melakukan permainan ini, mereka melakukan =hompipah‘ untuk menentukan pemenang dan yang =dadi‘. Anak yang bermain umumnya lebih dari 4 anak. Idealnya sekitar 10 anak. Setelah dilakukan =hompipah‘, anak yang kalah akan menjadi pemain =dadi‘. Ia berposisi di tengah, sementara anak lain mengelilinginya sambil melingkar dan bergandengan tangan.

Page 17: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Anak-anak yang mengelilinginya sambil menyanyikan sebuah tembang jamuran, yaitu: //jamuran, ya ge ge thok/ jamur apa ya ge ge thok/ jamur gajih mbejijih saara-ara/ semprat-semprit jamur apa?// Setelah nyanyian selesai, maka anak yang =dadi‘ segera mengucapkan sebuah jamur, misalnya =jamur lot kayu‘. Maka seketika pemain yang mengelilinginya harus segera mencari pohon atau benda-benda yang berasal dari kayu untuk dipeluknya. Jika ada anak yang kesulitan mencarinya maka bisa segera ditangkap oleh anak yang dadi. Jadilah anak yang ditangkap itu menjadi anak yang =dadi‘. Ia harus berada di tengah, semantara anak lain termasuk yang menangkapnya kembali mengelilingi anak yang baru =dadi‘ tadi. Begitulah seterusnya, ketika permainan kembali mulai, anak-anak mengawali dengan tembang jamuran seperti di atas.

Berbagai jenis jamur yang biasanya diucapkan oleh anak yang =dadi‘. Hal itu biasanya tergantung dari wawasan anak yang =dadi‘. Macam-macam jenis jamur yang sering diucapkan anak saat bermain jamuran, seperti jamur kethek menek, jamur kendhil borot, jamur gagak, jamur kendhil, dan sebagainya. Saat anak yang =dadi‘ mengucapkan =jamur kethek menek‘, maka pemain lain harus segera mencari tempat yang bisa dipanjat. Yang penting mereka tidak menginjak tanah. Ketika ada anak yang kesulitan mencari tempat panjatan dan segera ditangkap oleh anak yang =dadi‘, maka anak yang ditangkap akan berubah menjadi anak yang =dadi‘. Jika ada anak yang =dadi‘ sampai berulangkali, dinamakan =dikungkung‘.

Tentu anak yang bermain jamuran harus bisa bersosialisi dengan teman, tidak boleh egois, harus cekatan, banyak akal, dan tidak boleh cengeng. Jika anak tidak bisa memenuhi kriteria itu tentu akan mudah ditinggalkan teman- teman bermain lainnya. Itulah pendidikan yang diajarkan dalam permainan tradisional jamuran.

Suwandi

Ensiklopedi

JEG-JEGAN (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-10)

Untuk permainan anak yang satu ini lebih sering dimainkan oleh anak laki-laki daripada anak perempuan. Namun begitu, kadang pula dimainkan oleh anak perempuan saja atau campuran, yakni anak laki-laki dan perempuan. Permainan jeg-

Page 18: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

jegan membutuhkan kecepatan berlari dan kekuatan fisik, sehingga lebih banyak dimainkan oleh anak laki-laki daripada perempuan. Di tempat lain, permainan ini juga disebut betengan, karena memang memerlukan tempat bersinggah atau markas bagi kedua kubu pemain.

Istilah jeg-jegan berasal dari kata jeg yang artinya menduduki. Jadi jeg- jegan adalah suatu permainan, di mana pemain yang kalah harus meninggalkan tempat markasnya dan harus berpindah ke markas lain setelah diduduki oleh pemain lawan. Demikian pula dengan istilah betengan yang sering dipakai di tempat lain. Betengan berasal dari kata beteng. Beteng adalah satu tempat yang biasanya menjadi pertahanan suatu pasukan. Jika suatu kelompok pasukan kalah maka ia harus meninggalkan betengnya.

Permainan jeg-jegan atau betengan sering dimainkan oleh dua regu yang saling berhadapan, misalnya regu I (anggota A,B,C,D,E) berhadapan dengan regu II (anggota F,G,H,I, dan J). Setiap regu atau kelompok idealnya dimainkan lebih dari 4 orang agar permainan bisa berjalan seru. Namun bisa juga dimainkan kurang dari 4 orang untuk setiap regu. Masing-masing regu diwakili oleh seorang anggotanya, sebelum bermain melakukan sut untuk menentukan kalah menang. Misalkan, regu I kalah dan regu II menang. Selain itu keduanya juga harus menentukan markas, bisa berujud pohon, tiang, dan sebagainya. Sebisa mungkin, kedua markas itu berjarak sekitar 10-20 meter. Selain itu juga sudah harus ditentukan tempat penjara (berupa garis melingkar) yang biasanya dibuat sejajar dengan masing-masing beteng yang jaraknya sekitar 3-5 meter. Bagi regu yang kalah biasanya harus memancing diri untuk keluar dari markas/beteng, yang sebelumnya harus memegang beteng.

Pemain kalah, misalnya A, yang keluar dari markas. Maka ia bisa dikejar oleh pemain lawan, misalnya F. Sebelumnya, pemain F juga harus sudah memegang beteng. Jika pemain A tadi bisa terkejar dan tertangkap pemain F, maka pemain A harus menjadi tahanan regu II. Ia harus dipenjara di tempat yang sudah disediakan di dekat beteng regu II dengan cara berdiri. Anggota regu I, misalkan B, berusaha untuk membantu meloloskan temannya yang tertangkap. Sebelumnya pemain B juga sudah harus memegang beteng. Saat akan meloloskan A, ia juga bisa menangkap pemain F yang belum kembali ke markas. Begitu seterusnya saling mengejar dan meloloskan kawan yang tertangkap lawan. Setiap pemain yang telah kembali ke markasnya dianggap lebih kuat daripada pemain lawan yang tidak kembali ke markasnya.

Bisa jadi saat berkejar-kejaran, anggota regu I ada yang menyelinap dan memegang beteng lawan. Maka regu I dianggap menang. Tetapi saat ia

Page 19: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

akan memegang beteng lawan, keburu ditangkap regu II, maka ia juga ikut tertangkap dan menjadi tahanan. Begitulah seterusnya, regu yang pertama kali dapat menduduki atau memegang beteng lawan dianggap menjadi pemenang. Jika regu I dapat menduduki markas lawan, maka regunya mendapat nilai 1. Permainan bisa diulangi kembali seperti semula.

Tentu permainan ini membutuhkan sportivitas dari setiap pemain. Jika ada yang bermain curang, tentu ia akan selalu diancam oleh teman lainnya dan tidak akan dipercaya lagi untuk ikut bermain. Selain itu permainan ini juga membutuhkan kerjasama yang baik di antara anggota dalam satu tim atau regu. Setiap pemain harus bisa mengetahui posisinya sebagai penunggu markas atau pecundang. Tidak boleh saling egois. Jika larinya tidak bisa kencang, maka lebih baik berposisi penunggu markas. Begitulah permainan ini yang masih sering dimainkan oleh anak-anak di masyarakat Jawa di era tahun 1980-an. Tentu berbeda dengan situasi sekarang.

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

SOBYUNG (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-11)

Bagi anak-anak sekarang yang belum pernah mendengar nama permainan tradisional ini tentu merasa aneh dan asing. Namun tidak demikian bagi anak-anak masyarakat Jawa yang pernah mendengar atau bahkan memainkannya. Begitulah nama permainannya cukup sederhana. Sering dimainkan oleh anak-anak perempuan di kalangan

masyarakat Jawa tempo dulu yang sekarang sudah agak jarang dimainkan lagi. Walaupun kadang dilakukan oleh anak-anak laki-laki atau campuran laki-laki dan perempuan.

Permainan sobyung menurut Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 halaman 578 berarti jenis permainan anak yang dimainkan dengan cara menunjukkan jari-jari tangan kemudian dihitung dengan nama janak, deng (bandeng), urang, dan k鑵er . Kalau sumber lain, hitungan janak merupakan hitungan terdiri dari jan dan nak . Sehingga menurut sumber lain itu, yakni buku Permainan Rakyat DIY

Page 20: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

karangan Ahmad Yunus (editor) terbitan Departemen P & K, menyebutkan hitungannya adalah jan, nak, deng, urang, dan k鑵er . Hanya beda pada istilah janak dan jan, nak .

Dolanan anak sobyung ini biasanya dimainkan oleh 5 anak. Namun bisa pula dimainkan oleh 4, 6, atau 7 anak. Pemain umumnya berusia 6 hingga 10 tahun. Namun bisa pula lebih, asalkan anak-anak yang bermain sudah memahami aturan main. Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus mempunyai wawasan luas, cekatan, bandel (tidak cengeng), dan tidak egois. Sebab sifat permainan ini adalah hiburan. Anak yang bermain sobyung tidak membutuhkan tempat yang luas, kecuali hanya sebatas alas tikar saja. Bisa dimainkan di teras rumah, di dalam rumah, di halaman rumah, atau tempat-tempat lain, asalkan nyaman bagi anak-anak yang bermain. Waktu bermain juga bebas, kadangkala dimainkan saat liburan, malam bulan purnama, atau waktu senggang (istirahat sekolah). Namun akhir-akhir ini lebih banyak dimainkan dalam acara festival, workshop, atau acara-acara sejenisnya.

Anak yang akan bermain, biasanya mereka duduk sambil berkeliling, saling berhadapan satu sama lain. Salah satu dapat dijadikan ketua atau pemimpin. Biasanya yang jadi pemimpin permainan dipilih yang tertua, berlaku adil, atau yang cerdas. Setelah itu, anak-anak yang bermain mengucapkan kata so sambil mengangkat kedua tangan ke atas (kira-kira sebatas telinga). Lalu sambil mengucapkan kata byung , anak-anak meletakkan kedua tangan (dengan jari-jari diregangkan) ke atas lantai atau tikar, kecuali pemimpin hanya tangan sebelah karena tangan satunya berfungsi untuk menghitung. Dalam meregangkan jari-jari tangan setiap pemain bebas memilih. Misalkan, anak A menunjukkan tangan kiri dua, tangan kanan tiga. Sementara anak B menunjukkan tangan kiri lima, tangan kanan satu. Begitu pula dengan pemain-pemain lainnya. Setelah itu, pemimpin mulai menghitung. Selanjutnya ada dua versi permainan sobyung yang sempat direkam.

Pertama, anak-anak mulai menghitung jari-jari yang diregangkan tadi dengan menyebut jan, nak, deng, urang, dan k鑵er . Setiap jari yang jatuh pada hitungan kelima, harus ditekuk hingga jari-jari setiap pemain berkurang. Begitu diulang-ulang hingga akhirnya tinggal ada satu anak yang jarinya masih tersisa. Maka anak itulah yang dianggap dadi , misalkan D. Sementara keempat anak, A, B, C, dan E dianggap anak yang menang. Permainan dilanjutkan dengan menghukum D. Misalkan mulai dari anak A. Anak A dan D saling berhadapan. Lalu A bernyanyi are-are bang ji sambil meletakkan salah satu jarinya –misalkan ibu jari, telunjuk, atau kelingking-- di lutut anak yang kalah. Anak D juga harus menirukan sesuai dengan jari anak yang menghukum. Jika tidak sama, dilanjutkan bang ro dan

Page 21: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

seterusnya. Namun jika belum sampai bang sepuluh kebetulan jari yang ditunjukkan disamai oleh jari anak yang dihukum, yakni anak D , maka hukuman dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan hukuman pemain B. Apabila sampai bang sepuluh anak yang dihukum belum bisa menebak atau menyamai jari yang ditunjukkan oleh pemain yang menang, maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya.

Tahap hukuman selanjutnya adalah hukuman wayangan. Anak yang menang pada babak pertama dan tebakannya belum terjawab dapat dilanjutkan pada tahapan ini. Maka sang anak akan menyanyikan lagu gung -gung-gung dang gentak gendhang sambil mengangkat salah satu tangannya. Saat nyanyian jatuh pada kata gendhang maka si anak harus segera menempelkan tangan yang diangkat tadi pada salah satu anggota badan, misalkan telinga, hidung, dan sebagainya. Langkah itu harus cepat dilakukan agar tidak bisa ditirukan oleh pemain kalah. Jika anak yang kalah bisa menirukan dengan tiruan gerak yang sama, maka kesempatan pemain menang telah habis.

Hukuman lain berupa tamparan telapak tangan. Anak yang kalah meletakkan salah satu tangan menyerupai orang hendak bersalaman di hadapan pemain yang menang. Lalu anak pemenang meletakkan kedua tangan di sisi kanan kiri telapak tangan yang kalah dan posisinya sejajar. Lalu anak pemenang segera mangayunkan salah satu atau kedua tangannya menampar tangan anak yang kalah. Jika ayunan tangan mengenai telapak tangan anak yang kalah, maka dilakukan terus hingga tangan anak yang menang tidak mengenai sasarannya. Hukuman ini memang agak menyakitkan bagi anak yang kalah, karena akan terasa panas oleh tamparan tangan lawan. Maka jika ada anak yang merasa kasihan dengan anak yang kalah, maka dapat dilakukan dengan cara agak pelan. Jika hukuman sudah selesai, dilanjutkan dengan permainan dari awal lagi.

Versi kedua, anak-anak yang bermain sama, yakni meletakkan jari-jari tangan di atas lantai atau tikar. Bebas, boleh dua tangan atau satu tangan. Jari yang ditunjukkan juga bebas, boleh satu, dua, atau lima. Namun sebelumnya sudah harus disepakati, akan menyebutkan nama-nama apa, misalnya nama hewan, nama orang, nama PO Bus, dan sebagainya. Jika sudah ada kesepakatan, misalkan nama hewan, maka setiap kali nanti di akhir menyebutkan huruf-huruf, maka harus menyebutkan nama hewan sesuai dengan abjad awalnya.

Lalu pemimpin dolanan sobyung mulai menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan abjad mulai dari /A/ hingga abjad terakhir sesuai dengan jumlah jari yang ditunjukkan oleh semua pemain. Jika dari kelima pemain, si pemimpin terakhir menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan huruf /O/, maka anak- anak yang bermain segera menyebut hewan-hewan yang berawal dengan

Page 22: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

huruf /O/, misalnya onta , orong-orong , dan sebagainya. Jika ada pemain yang belum sempat menyebutkan nama hewan yang berawal dengan huruf /O/ atau terakhir kali menyebutnya, maka dianggap pemain yang dadi . Bisa jadi, sekali menyebut belum semuanya memperoleh nama hewan, maka diulangi lagi hingga ada satu pemain terakhir yang dadi . Pemain yang dadi lalu mendapat hukuman sesuai dengan kesepakatan. Biasanya hukuman dengan cara seperti di atas, yakni menampar telapak tangan. Jika semua sudah menghukumnya, permainan dapat diulangi dari awal.

Begitulah permainan tradisional sobyung yang sering dimainkan oleh anak- anak masyarakat Jawa tempo dulu.

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

GAMPARAN (1) (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-12)

Pernahkah Anda mendengar permainan gamparan? Memang begitu asing di telinga kita jenis permainan anak tradisional satu ini, lebih-lebih

bagi anak-anak sekarang. Namun tidak untuk anak-anak yang hidup di era sebelum tahun 1970-an lalu. Anak-anak masyarakat Jawa terutama yang hidup di kala itu, permainan tradisional gamparan begitu akrab di telinga mereka, karena permainan jenis ini sering dilakukan saat mereka sedang bermain-main di waktu senggang atau liburan. Nama permainannya begitu unik kan?

Istilah gamparan berasal dari bahasa Jawa yang berasal dari kata dasar gampar . Kata nggampar seperti dalam Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939) halaman 130 kolom 1 berarti =menendang, melemparkan batu dengan menggunakan bantuan kaki‘. Sementara istilah gamparan berarti jenis permainan anak dengan alat batu yang dilemparkan‘. Ternyata istilah dolanan gamparan sudah tercantum di dalam kamus yang berusia lebih dari 70 tahun. Dimungkinkan sebelum istilah gamparan ini masuk dalam kamus, kiranya sudah menjadi permainan yang sering dimainkan oleh anak-anak di kalangan masyarakat Jawa.

Page 23: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Sesuai dengan penjelasan di atas, permainan gamparan menggunakan media bermain berupa batu. Namun kadang kala dipadukan dengan media pecahan tegel atau batu bata. Selain media tersebut, anak-anak hanya membutuhkan tanah lapang yang agak luas kira-kira 5 x 10 meter. Semakin banyak pemain, biasanya semakin membutuhkan halaman yang luas. Permainan gamparan biasa dimainkan di halaman depan atau belakang rumah. Biasa juga dimainkan di tanah lapang, yang penting halaman terbebas dari rumput agar mudah terlihat dan bermain. Sangat jarang dimainkan di halaman bersemen, karena dapat memudahkan batu, batu bata, atau pecahan tegel pecah. Lebih baik lagi jika halaman yang dipakai bermain banyak pepohonan untuk menghindari sinar matahari sekaligus untuk berteduh dan terhindar dari panas. Anak-anak yang bermain gamparan biasa mengambil waktu di pagi, siang atau sore hari. Sangat jarang mengambil hari malam biarpun terang bulan, karena permainan ini membutuhkan penerangan cukup.

Permainan gamparan selalu dimainkan oleh anak- anak sebaya secara berpasangan. Minimal dimainkan oleh dua anak. Namun kebanyakan dimainkan lebih dari 4 anak, bisa 6, 8, atau 10 anak. Mereka yang bermain gamparan umumnya anak-anak berumur sekitar 9—14 tahun. Lebih sering dimainkan oleh anak- anak laki-laki. Tetapi kadang juga dimainkan campuran. Asalkan setiap pasangan sebaya, misalnya laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.

Awalnya setiap anak yang akan bermain gamparan telah menyiapkan alat gampar batu yang disebut gacuk dengan diameter sekitar 5—7 cm. Besarnya batu sebaiknya disesuaikan dengan ukuran kaki. Batu yang menjadi gacuk sebaiknya berbentuk pipih dan agak lonjong. Selain itu juga setiap pasangan harus menyiapkan sebuah batu agak besar sebagai gasangan dengan diameter sekitar 10—20 cm. Jika pemain terdiri dari 3 pasang, maka harus menyediakan batu gasangan 3 buah. Batu pasangan juga sebaiknya yang berbentuk pipih dan ada sisi yang datar agar mudah berdiri tegak. Batu gasangan dipilih batu yang keras karena sering terhantam atau terlempari batu gacuk . Kalau tidak ada batu pipih besar, bisa digantikan dengan pecahan tegel atau sejenisnya.

Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus menyiapkan tanah lapang cukup luas, misalnya di halaman depan rumah. Setelah itu, mereka setidaknya membuat dua atau tiga garis di tanah, bisa dengan kayu, air, atau batu kapur yang lembut. Setiap garis dengan panjang antara 2—4 meter, tergantung jumlah pasangan yang bermain. Sementara jarak garis pertama dengan garis kedua kira-kira 2 meter, sementara jarak garis kedua

Page 24: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dengan garis ketiga kira-kira 4—5 meter. Sebenarnya jarak antar garis, seperti garis pertama dan ketiga bisa disepakati oleh anal-anak yang bermain. Garis saku atau garis lempar berfungsi untuk batas melempar

gacuk ke arah batu gasangan. Sementara garis gasangan berfungsi untuk menempatkan batu-batu gasangan setiap pasangan. Setelah garis selesai, setiap pasangan melakukan sut untuk menentukan menang-kalah. Bagi anak-anak yang

kalah berkumpul menjadi satu regu, begitu pula yang menang. Permainan gamparan dilakukan empat tahap.

Tahap pertama, anak yang kalah berdiri di dekat garis gasangan. Jika batu gasangan belum berdiri, maka tugasnya mendirikan batu gasangan. Sementara semua anak yang menang berjajar di belakang garis 1 dengan membawa batu gacuk . Setiap anak menfokuskan pada masing -masing batu gasangan. Setelah itu satu-persatu melemparkan batu gacuk ke arah batu gasangan dengan cara dilempar dengan tangan dan diusahakan mengenai batu gasangan sehingga roboh atau terlempar. Jika ada salah satu anggota yang berhasil merobohkan batu gasangan , otomatis langsung dilanjutkan ke permainan tahap kedua. Namun, jika dalam satu regu tidak ada yang bisa merobohkan batu gasangan , maka, batu -batu gacuk yang telah dilempar mendekati batu gasangan itu harus dilempar lagi ke sasaran batu gasangan . Namun lemparan kedua ini harus dilempar lewat bawah pantat. Pelemparan seperti ini, satu kaki dalam posisi lutut di tanah, sementara posisi kaki lain seperti berjongkok. Selain itu, jika batu gacuk berada kurang dari satu langkah dengan garis maka pelemparan dilakukan dengan tangan kiri, namun jika batu gacuk lebih dari satu langkah dengan garis, maka pelemparan dilakukan dengan tangan kanan.

bersambung

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Buku 撤ermainan Rakyat DIY・ Editor: Ahmad Yunus, Departemen P&K, tahun 1980/1981.

Ensiklopedi

GAMPARAN (2) (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-12)

Masih ada satu lagi aturan dalam tahap pertama dalam permainan gamparan. Jika batu gacuk

Page 25: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

yang dilempar tidak mengenai batu gasangan namun saat jatuhnya berada di garis batu gasangan , maka untuk mengenai sasaran ke batu gasangan harus dengan cara berdiri tempat di atas batu gasangan lalu menjatuhkan batu gacuk lewat atas kepala. Posisi badan saat menjatuhkan batu gacuk dengan membelakangi batu gasangan . Jika si pemain tidak bisa menjatuhkan batu gasangan bisa dibantu oleh teman satu regu. Jika teman satu regu tidak bisa menjatuhkan batu gasangan maka regu tersebut dianggap kalah dan harus digantikan regu yang jaga atau nggasang . Namun jika salah satu pemain bisa menjatuhkan batu gasangan dengan batu gacuk maka dilanjutkan ke permainan kedua.

Tahap kedua, regu yang bermain (menang) berdiri lagi di belakang garis saku atau garis 1. Semua anak meletakkan garis gacuk di atas jari -jari kaki lalu diayun-ayunkan sambil engklek menuju garis gasangan masing- masing hingga melewati garis gasangan atau garis 3. Setel ah melewati lalu membalikkan badan dan melemparkan batu gacuk ke arah batu gasangan lewat kaki yang ada batu gacuknya . Jika batu gasangan roboh, maka ia berhak untuk membantu temannya yang gagal merobohkan batu gasangan . Namun jika ia sendiri gagal merobohkan batu gasangan bisa dibantu temannya. Saat merobohkan batu gasangan harus dengan kekuatan agar batu yang dilempari sasaran bisa roboh. Sebab kadang- kadang walaupun sudah dirobohkan, tetapi jika tidak kuat, maka batu gasangan tidak mau roboh. Jika regu pemenang semua berhasil merobohkan batu gasangan maka bisa melanjutkan pada permainan tahap ketiga. Namun jika tidak berhasil, misalnya ada satu batu gasangan yang gagal dirobohkan, maka regu yang jaga, misalnya regu B, berhak untuk gantian bermain. Namun jika nanti regu B juga telah mati maka regu A yang kembali bermain harus memulai bermain dari tahap kedua ini, dan tidak harus bermain dari awal lagi.

Pada permainan tahap ketiga, regu A yang telah dapat merobohkan semua batu gasangan kembali ke garis 1. Semua anak regu A meletakkan kembali batu gacuk di atas jari-jari kaki. Mereka berusaha untuk mengincar batu gasangannya masing -masing. Setelah meletakkan gatu gacuk di atas jari -jari kaki, maka dengan sekali langkah, batu gacuk dilemparkan ke sasaran batu gasangan dan harus kena. Jika ada pemain dari regu A yang tidak dapat merobohkan batu gasangan maka bisa dibantu teman lain satu regu yang telah berhasil merobohkan batu gasangan . Namun jika ada satu batu gasangan yang tidak dapat dirobohkan, maka regu A tidak dapat meneruskan permainan dan harus diganti regu B. Sebaliknya jika regu A berhasil merobohkan semua batu gasangan maka dapat melanjutkan ke langkah permainan yang keempat.

Page 26: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Semua anak Regu A kembali ke garis 1 untuk memulai permainan tahap keempat (tahap terakhir dari permainan gamparan). Semua anak regu A meletakkan batu gacuk di atas kepala lalu berjalan pelan -pelan menuju

masing-masing batu gasangan . Setelah tiba di garis ketiga dan berdekatan dengan batu gasangan maka segera menundukkan kepala untuk menjatuhkan batu gacuk menuju sasaran batu gasangan . Jika si anak dapat merobohkan batu gasangan maka ia dapat membantu temannya yang gagal merobohkan batu gasangan . Jika regu A dapat merobohkan semua batu gasangan maka mereka mencapai game

dan berhak mendapatkan 1 sawah (nilai 1 point). Namun jika ada satu atau lebih batu gasangan yang belum sempat roboh, maka digantikan regu lawan untuk melanjutkan permainannya. Begitu pun jika regu A dapat game harus digantikan oleh regu B untuk bergantian bermain. Mereka terus berkejar-kejaran mencari sebanyak-banyaknya sawah dari permainan itu hingga merasa lelah, bosan, atau waktunya habis. Regu yang banyak memperoleh sawah atau nilai dianggap regu pemenang.

Permainan gamparan ini memang salah satu permainan anak tradisional karena lebih banyak membutuhkan alat-alat sederhana yang mudah dijumpai di sekitar alam, misalnya batu. Permainan ini juga membutuhkan ketrampilan, ketangkasan, serta kekuatan fisik agar bisa memenangkan permainan. Sayangnya, permainan yang membutuhkan kekompakan ini sekarang sudah sangat jarang dijumpai di masyarakat Jawa saat ini.

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

JETHUNGAN-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-13)

Keceriaan anak-anak kampung dulu juga sering terlihat dari permainan jethungan. Ada banyak tempat di Jawa yang mengenal jenis dolanan anak tradisional masyarakat Jawa ini, walaupun dengan

nama yang agak berbeda, seperti jethungan, jelungan, dhelikan, atau umpetan. Namun prinsip permainan sama, yaitu pemain pemenang

Page 27: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

bersembunyi, sementara pemain kalah atau dadi berusaha mencari pemain lain tanpa harus meninggalkan terlalu jauh pangkalan sebagai tempat bermain.

Istilah jethungan juga telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Porwadarminto terbit tahun 1939. Pada halaman 84, kamus tersebut menyebut bahwa jethungan adalah jenis dolanan anak. Di kamus itu pula, disebutkan bahwa nama lain jethungan adalah jelungan dan jembelungan. Dari istilah di kamus ini menunjukkan bahwa jenis permainan tradisional ini sudah dikenal sebelum tahun 1939 oleh anak-anak masyarakat Jawa.

Istilah jethungan atau jelungan biasa digunakan di suatu daerah karena istilah itu sering diucapkan oleh pemain-pemain yang berhasil tiba di pangkalan tanpa bisa ditebak oleh pemain kalah. Sementara istilah dhelikan dan umpetan yang dipakai di daerah lain, lebih menunjuk ke pemain yang menang ketika sedang bersembunyi. Sementara tidak ada referensi yang jelas terhadap keterangan kata jembelungan.

Seperti umumnya permainan tradisional yang dikenal oleh anak-anak di lingkungan Jawa, dolanan jethungan juga tidak membutuhkan biaya dan perlengkapan yang mahal. Dolanan ini dapat dimainkan oleh anak-anak tanpa harus mengeluarkan biaya, karena hanya membutuhkan tempat yang cukup luas. Dulu, dolanan ini biasa dimainkan di halaman rumah, di dalam rumah, di jalan-jalan kampung, di lapangan, maupun di perkampungan. Anak-anak yang senang bermain jethungan berumur 6—14 tahun. Namun ada kalanya anak-anak yang lebih besar ikut bermain. Permainan dilakukan secara berkelompok, artinya lebih ideal dimainkan antara 4—10 anak. Jethungan sering dimainkan saat-saat waktu senggang, seperti sore hari atau malam hari. Saat liburan kadang juga dimainkan pada pagi hari. Begitu pula ketika di sekolah, bisa dilakukan waktu istirahat.

Anak-anak yang hendak memainkan dolanan jethungan biasanya setelah berkumpul, menyepakati beberapa peraturan sederhana, misalnya, pembatasan wilayah permainan, tidak diperkenankan masuk rumah (jika bermain di luar rumah), harus melihat sungguh-sungguh yang ditunjuk (dithor, disekit) bukan asal spekulasi, waktu menutup mata tidak boleh melirik, tidak boleh terus-menerus menunggu pangkalan (tunggu brok), dan sebagainya. Jika mereka sudah membuat peraturan sederhana, mereka memilih sebuah pangkalan untuk dijadikan pusat permainan, misalnya pohon, sudut tembok, gardu ronda, tembok gapura, sudut pagar, tiang rumah, atau lainnya. Pangkalan sebisa mungkin mudah dijangkau oleh semua pemain.

Page 28: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Semua anak yang akan bermain, misalnya berjumlah tujuh anak (A,B,C,D,E,F, dan G), harus melakukan hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan kalah menang. Saat telah terdapat satu pemain yang dadi , maka anak-anak yang menang sut segera bersembunyi ke tempat -tempat yang tidak mudah terlihat oleh anak yang dadi . Pemain dadi memberi kesempatan ke anak-anak yang akan bersembunyi, biasanya memakai hitungan 1-10 dan jika semua pemain menang telah bersembunyi, lalu mereka meneriakkan kata wis , ndhuuuk atau diam saja. Dengan kode seperti itu, berarti pemain dadi siap untuk mencarinya. Ia harus mencari anak-anak yang bersembunyi satu-persatu. Jika telah menemukan satu anak, misalkan bernama B, maka ia segera menyebut namanya ( sekit B) lalu berlomba berlari kembali ke pangkalan dengan anak yang ditebak atau istilah lainnya telah disekit . Jika B tadi kalah cepat tiba di pangkalan berarti ia yang dadi . Sementara pemain yang kalah menjadi anak ya ng menang, berarti ikut bersembunyi.

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus, 1980/1981.

Ensiklopedi

JETHUNGAN-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-13)

Namun sebaliknya jika yang disekit B larinya lebih cepat daripada pemain yang dadi dan lebih duluan memegang pohon yang menjadi pangkalan, maka pemain B lolos terhindar menjadi pemain

dadi . Kemudian pemain kalah, misalkan G, harus kembali mencari pemain- pemain lain yang masih bersembunyi. Kebetulan jika pemain C misalnya lolos lagi dari tebakan dan segera memegang pohon sambil meneriakkan jethung , maka pemain C pun lolos dari dadi . Demikian seterusnya hingga ada pemain yang ditebak atau disekit dan ia kalah cepat memegang pangkalan daripada pemain dadi .

Jika pemain yang dadi terlalu penakut, biasanya ia lebih banyak tunggu pangkalan atau disebut tunggu brok . Jika ini terjadi, maka pemain yang bersembunyi akan selalu mengejek dengan kata-kata sing dadi tunggu brok, sing dadi tunggu brok begitu seterusnya. Maka pemain kalah akan merasa risih dan muncul keberanian untuk mencari asal suara-suara ejekan tadi. Ia akan berani mulai mencari walaupun dengan risiko jika larinya kalah

Page 29: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

cepat, maka ia akan sering dadi . Bagi anak yang sering dadi biasa sering disebut dikungkung . Jika ia tidak tahan bisa menangis. Tetapi kadang pula ia tetap bandel dan cuek dikatakan tunggu brok jika memang tidak punya keberanian mencari jauh-jauh pemain yang bersembunyi. Jika sudah menghadapi anak yang tunggu brok biasanya pemain yang bersembunyi akan membalasnya dengan bersembunyi semakin jauh dari pangkalan, bisa jadi ditinggal masuk rumah, mencari buah, tiduran, dan sebagainya.

Ada dua versi permainan jethungan untuk menentukan pemain dadi berikutnya. Versi pertama, seperti yang dijelaskan di atas, yakni setiap kali pemain yang disekit duluan kalah lari memegang pangkalan, ia dianggap yang dadi pada tahap berikutnya. Tetapi versi lain anak yang akan dadi baru ditentukan dadi apabila semua pemain yang ikut bermain sudah ditebak semuanya, baik yang bisa menangkap pangkalan duluan atau yang kalah cepat datang ke pangkalan. Misalkan jika dari enam anak yang menang, A,B,C,D,E, dan F, ada tiga anak A,B, dan C yang lolos bisa lebih dulu menangkap pangkalan, maka anak tersebut dianggap menang. Namun ada tiga anak lain misalkan D,E, dan F yang saat disekit saat berlomba menangkap pohon yang menjadi pangkalan, merela kalah duluan menangkapnya daripada pemain dadi . Maka ketiga anak tersebut yang bakal menjadi pemain dadi berikutnya.

Setelah semua pemain berkumpul, maka pemain dadi berada di paling depan dekat pohon pangkalan. Sementara itu semua pemain A,B,C,D,E, dan F berjajar di belakangnya sambil berdiri acak. Misalkan dengan urutan F,D,E,C,A, dan B. Sambil menutup mata, pemain dadi harus menebak salah satu pemain yang berjajar di belakangnya dengan menyebut angka urutan. Misalkan pemain dadi menyebut angka 3, maka pemain yang berjajar di urutan ketiga, yaitu pemain E, menjadi pemain yang dadi berikutnya. Sebab ia saat berlomba menangkap pangkalan kalah duluan dengan pemain G. Namun jika pemain G saat menebak anak yang berjajar menebak urutan ke-6, sementara yang menduduki urutan ke-6 adalah pemain B, maka terpaksa pemain G dadi lagi, karena pemain B termasuk salah satu pemain yang lolos saat beradu kecepatan menangkap pangkalan. Begitulah permainan jethungan berlangsung dari tahap awal ke tahap awal berikutnya.

Permainan jethungan memang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan keberanian bermain. Kecepatan dibutuhkan saat berlomba berlari dengan pemain lawan, ketepatan diperlukan saat menebak pemain lawan harus tepat tidak boleh keliru, dan keberanian diperlukan jika terpaksa harus dikungkung dan tidak boleh tunggu brok . Jika dimainkan pada malam

Page 30: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

hari, anak-anak harus berani menembus gelapnya malam agar tidak mudah ditebak oleh pemain dadi .

Sayang, permainan tradisional jethungan saat ini juga sudah mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sudah sangat jarang anak-anak bermain jethungan, kecuali mungkin di saat-saat ada acara festival dolanan, sarasehan, parade, atau lomba dolanan anak.

Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus, 1980/1981.

Ensiklopedi

GATHENG-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-14)

Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah

tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72).

Bukti lain, kata gatheng juga ditemukan di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto diterbitkan oleh JB. Wolters‘ Uitgevers Maatschappij tahun 1939. Pada halaman 134 kolom 2 diterangkan bahwa gatheng termasuk nama dolanan anak yang menggunakan kerikil berjumlah 5 buah. Kerikil tersebut ada yang dilemparkan ke atas, sebagian lain diambil memakai tangan (diraup). Dari keterangan di atas, jelas bahwa permainan gatheng memang termasuk dolanan anak yang sudah berumur tua. Dolanan

Page 31: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

itu hingga saat ini masik dikenal oleh sebagian masyarakat termasuk anak- anak karena masih dimainkan ketika waktu senggang. Hanya mungkin intensitasnya tidak seperti zaman dulu karena pilihan permainan anak zaman sekarang semakin banyak dan bervariasi. Namun begitu juga sudah banyak anak-anak yang merasa asing dengan permainan ini karena memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi mereka menganggap asing dolanan ini.

Dolanan gatheng termasuk permainan perorangan. Awalnya, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Namun dalam perkembangannya juga sering dimainkan oleh anak laki-laki. Jadi saat ini permainan ini sudah dianggap permainan umum, biasa dimainkan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang bermain gatheng biasanya setingkat SD atau berumur antara 7—14 tahun. Dolanan gatheng dimainkan oleh anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru.

Anak-anak yang akan bermain gatheng, misalkan 4 anak, sebelum bermain biasanya mereka sudah mempersiapkan 5 kerikil sama besar. Setelah itu mereka duduk melingkar di tempat yang rata. Hompipah dilakukan pertama kali untuk mencari pemenang urutan pertama hingga keempat. Misalkan B sebagai pemenang pertama, maka ia mendapatkan giliran bermain pertama kali, kemudian disusul pemenang selanjutnya, misalkan C,D, dan A.

gket satu sama lain. Sebab jika ada yang lengket atau menyatu akan menyulitkan bagi pemain. Setelah itu, pemain B mengambil salah satu kerikil lalu dilemparkan ke atas kira-kira 40-60 cm. Bisa lebih tinggi asalkan masih di sekitar area bermain. Sambil melemparkan sebuah kerikil ke atas, pemain B berusaha mengambil lagi sebuah kerikil lainnya sambil digenggam terus menangkap kerikil yang dilemparkan tadi sebelum kerikil jatuh ke lantai. Jika pemain B tidak berhasil menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas, berarti pemain B dianggap mati dan harus digantikan pemain C. Begitu pula jika ada kerikil yang lengket dan saat diambil pemain B bergerak, maka

Page 32: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

permainan oleh pemain B untuk sementara juga dianggap mati dan harus digantikan pemain lainnya.

bersambung

Teks: Suwandi (Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004)

Ensiklopedi

GATHENG-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-14)

Saat pemain B berhasil mengambil kerikil pertama dan kemudian menangkap kerikil yang dilemparkan, maka ia harus meletakkan sebuah kerikil di sampingnya. Kemudian ia berusaha mengambil kerikil lainnya dan melemparkan kerikil yang masih berada di tangan sambil kemudian menangkapnya lagi. Begitu seterusnya hingga

kerikil yang berada di hadapannya terambil semuanya. Setelah itu semua kerikil disebar lagi di hadapannya. Jika telah menyelesaikan tahap pertama ini, pemain B harus melangkah ke tahapan yang disebut saku garo.

Pemain B di dalam tahapan saku garo harus kembali mengambil sebuah kerikil yang tadi telah disebar. Kerikil itu kembali dilempar ke atas sambil meraup dua kerikil sekaligus yang ada di lantai lalu dilanjutkan menangkap kerikil yang dilemparkan. Jika tidak berhasil harus digantikan oleh pemain giliran selanjutnya. Namun jika berhasil, maka melakukan cara yang sama, setelah dua kerikil yang ada di tangan diletakkan di sebelahnya. Jika pada pengambilan 2 kerikil selanjutnya pun berhasil, maka ia kembali menyebar semua kerikil di hadapannya dan ia telah sampai ke tahapan selanjutnya yang disebut saku galu.

Pada tahapan saku galu, pemain B kembali mengulangi cara sama, yakni mengambil satu kerikil kemudian dilempar ke atas sambil mengambil 3 kerikil sekaligus dilanjutkan menangkap kerikil yang dilempar. Setelah berhasil, ketiga kerikil kembali diletakkan disampingnya. Ia kembali mengambil sisa kerikil dengan cara yang sama. Jika berhasil semuanya, ia melangkah ke tahapan yang disebut saku gapuk.

Page 33: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Pada tahapan saku gapuk, pemain B menata empat kerikil saling berdempetan. Setelah itu ia kembali melemparkan sebuah kerikil lainnya ke atas dan dengan secepatnya mengambil semua kerikil yang berdempetan di hadapannya tadi untuk diraup sambil ndulit atau menempelkan jari telumpuk ke lantai kemudian diakhiri dengan menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas tadi. Jika ia dapat menangkap kerikil tadi berarti pemain B telah berhasil mendapatkan sawah atau nilai satu. Maka pemain giliran berikutnya berhak bermain selanjutnya. Demikian seterusnya hingga setiap pemain mendapatkan sawah yang banyak. Biasanya jumlah maksimal sawah sudah ditentukan, misalnya 5, 8, atau 10 sawah. Anak yang sudah mencapai sawah atau nilai 10 misalnya, maka anak yang paling kalah diukum dengan cara duduk slonjor.

Setelah duduk slonjor posisi duduk dengan kaki lurus ke depan , anak yang menang memukul - mukul kaki kiri yang slonjor secara pelan-pelan, lalu salah satu tangan kanan pemain yang menang mengepalkan tangannya ke atas. Pemain kalah dengan mata tertutup diminta menebak jumlah kerikil yang berada di tangan yang diangkat ke atas. Jumlah kerikil yang berada di genggaman tangan boleh sebagian atau seluruhnya, agar tidak mudah ditebak. Jika tidak semuanya, sebagian kerikil bisa disembunyikan di tempat yang aman, tidak kelihatan oleh pemain kalah. Saat memukul-pukul kaki pemain kalah dengan pelan, para pemain menang menyanyikan lagu Genjeng yang syairnya demikian: Genjeng-genjeng/ debog bosok jambe wangen/ mur murtimur mur murtimur/ walang kadung dening cekung/ rondhe-rondhe/ pira satak pira lawe/ salawa aja na badhe/ picak jengkol pira kiye/ cakuthu cakuthu/ badhoganmu tahu basu/ aku dhewe carang madu//. Setelah tiba syair carang madu pemain kalah diminta membuka mata lalu menebak kerikil yang berada di genggaman tangan yang diangkat ke atas oleh salah satu pemain pemenang. Jika tebakan pemain kalah tepat, maka permainan dapat dilanjutkan. Namun jika tebakannya salah, lagu tadi bisa diulangi lagi hingga tebakannya benar.

Setiap kali pemain yang gagal di tengah permainan, maka ia akan mengulangi pada giliran berikutnya tidak mulai dari awal lagi tetapi dari tahapan yang masih gagal. Misalnya, pemain C pada permainan pertama gagal di tahapan ketiga yakni saku galu, maka setelah mendapat giliran berikutnya, ia berhak memulai di tahapan saku galu.

Dolanan gatheng memberi pelajaran kepada anak-anak untuk bermain sportif. Setiap anak yang belum trampil harus berani menerima kenyataan dan harus berani memberikan kesempatan kepada pemain lain, jika dirinya

Page 34: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

belum bisa menyelesaikan setiap tahapan. Setiap kali gagal harus berani mengatakan kalah atau gagal. Anak juga tidak boleh curang. Walaupun kadang pemain lain terlena, namun jika ia saat bermain melakukan kesalahan harus berani mengatakan salah dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Permainan ini juga mengajarkan kecekatan kepada anak- anak, tepatnya ketika anak-anak melemparkan kerikil ke atas dan harus segera menangkapnya. Begitulah permainan gatheng yang saat ini sudah tergilas oleh permainan modern yang lebih bersifat individualistis.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-15)

Satu lagi permainan tradisional masyarakat Jawa yang sering dimainkan oleh anak-anak tanpa harus membutuhkan peralatan tetap, yaitu ancak-ancak alis. Di zaman dulu, sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, permainan yang diiringi dengan lagu- lagu dolanan ini terkenal di berbagai wilayah pedesaan di masyarakat pertanian Jawa. Dolanan

ini biasa dimainkan oleh anak-anak laki-laki dan perempuan sebaya sekolah dasar. Tetapi kadang pula anak-anak yang lebih besar pada zaman dulu masih suka memainkan dolanan ini. Malam terang bulan menjadi waktu favorit mereka untuk bermain, apalagi jika pas hari libur. Tetapi kadang- kadang pula dimainkan waktu pagi atau sore hari, sesuai dengan kelonggaran waktu yang dimiliki oleh anak-anak. Di sekolah, anak-anak memainkan di waktu jam istirahat.

Permainan ancak-ancak alis memang sulit untuk dirunut sejarahnya, terutama jika dikaitkan dengan asal-usul katanya. Sebab, kata ancak sendiri menurut Baoesastra (Kamus) Jawa berarti sebuah perlengkapan sesaji yang dibuat dari belahan bambu yang dianyam berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran sekitar 25 x 25 cm dan memiliki bingkai dari pelepah pisang. Sementara kata alis, dalam syair lagu ini lebih menunjuk ke seekor kerbau. Makna lain alis adalah rambut yang tumbuh di atas mata. Jadi jika kata-kata itu digabung, sebenarnya tidak bisa mengacu ke jenis permain an tradisional

Page 35: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

di atas. Namun begitulah kadang kala nama dolanan itu tidak mengacu sama sekali dengan makna kata dolanan itu sendiri.

Permainan ancak-ancak alis hanya membutuhkan lahan yang cukup luas. Semakin banyak anak yang ikut maka lahan yang dibutuhkan semakin luas. Paling tidak lahan yang dibutuhkan berukuran 5 x 7 meter. Namun semakin luas, akan semakin membuat leluasa bagi anak-anak yang bermain. Biasanya lahan yang digunakan untuk bermain adalah halaman rumah, lapangan, halaman kebun, halaman sekolah, dan sebagainya. Lebih baik jika halaman yang dipakai rata, berumput, atau bersemen. Di kanan kiri lapangan yang dipakai untuk bermain lebih baik lagi jika ditumbuhi tanaman sehingga tidak kelihatan terlalu gersang dan panas.

Anak-anak yang hendak bermain ancak-ancak alis, baik laki-laki dan perempuan, biasanya berkumpul lebih dulu sebelum bermain. Misalkan ada 12 anak yang hendak bermain, maka 2 di antara mereka harus dipilih untuk menjadi petani (pemain yang bertugas menjadi induk semang atau ketua). Mereka yang dipilih menjadi petani atau induk semang biasanya berusia paling tua dengan memiliki kesamaan tinggi badan, besar tubuh, dan kekuatan. Namun bisa jadi ditentukan sesuai dengan kesepakatan anak- anak yang bermain.

Setelah disepakati, maka kedua pemain menjauh dari kerumunan anak-anak lain yang bermain. Mereka membuat kesepakatan bersama terhadap penggunaan nama-nama pertanian untuk diri mereka dan tidak boleh diketahui oleh pemain- pemain lainnya. Misalkan, petani A sepakat mengambil nama bagi dirinya pacul, dan pemain B menamakan dirinya dengan garu. Sementara pemain-pemain lainnya sudah berjajar membentuk ular. Pemain tertinggi atau terbesar biasanya mengambil posisi di depan. Kemudian pemain lainnya berjajar di belakangnya sambil tangannya memegang pinggang pemain di depannya sehingga membentuk seperti ular.

Kedua petani A dan B berdiri berhadap-hadapan seperti membentuk sebuah gapura dengan tangan diangkat ke atas sehingga telapak tangan saling menempel. Keduanya lalu menyanyikan lagu: /ancak-ancak alis/ si alis kebo janggitan/ anak-anak kebo dhungkul/ si dhungkul bang-bang teyo/ tiga rendheng/ enceng-enceng gogo beluk/ unine pating cerepluk/ ula sawa ula dumung/ gedhene salumbang bandhung/ sawahira lagi apa?//. Ketika keduanya menyanyikan lagu itu, pemain-pemain lain yang bergandengan berputar-putar mengelilingi kedua induk semang, dengan melewati gapura.

Page 36: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Pada permainan versi sederhana, setelah anak melewati gapura, maka untuk pemain yang berada di paling belakang (misalkan pemain C) dihentikan oleh kedua induk semang dengan cara tangan-tangan si petani diturunkan sehingga seolah-olah mengurung pemain C. Sementara pemain- pemain yang masih berbaris menjauhi pemain A dan B. Lalu pemain C yang tertangkap tadi ditanya secara bisik-bisik oleh pemain A dan B. Pemain C disuruh untuk memilih pacul atau garu. Ketika pemain C memilih pacul, maka ia menjadi teman A dan harus berdiri di belakangnya. Kemudian A dan B menyanyikan lagu ancak-ancak alis seperti di atas. Sementara pemain- pemain lain kembali berputar-putar sambil melewati gapura yang dibuat pemain A dan B. Setelah itu pemain paling belakang (misalkan pemain D) dikurung lagi oleh pemain A dan B untuk ditanya lagi secara bisik-bisik. Jika untuk kali ini pemain D memilih garu, maka ia menjadi anak semang pemain B dan harus berdiri di belakangnya. Demikian seterusnya hingga pemain- pemain yang berputar-putar tersebut habis. Jika pemain A mendapatkan anak semang lebih banyak maka kelompoknya dianggap pemenang.

Kadang-kadang untuk merahasiakan nama-nama pertanian yang dikehendaki kedua pemain A dan B, bisa diubah sesuai dengan kesepakatan berdua, dengan cara sama, yaitu menjauh dari anak-anak semang yang sudah diperoleh. Setelah itu keduanya menyepakati nama-nama pertanian baru, misalkan arit dan luku, alu dan lumpang, atau lainnya. Setelah disepakati, mereka berdua kembali ke tempat semula dan menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis. Setelah ada pemain paling belakang ditangkap lalu ditanya memilih alat pertanian apa.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-15)

Kedua induk semang terus berlomba mencari anak semang sebanyak-banyaknya dengan cara menanyai setiap anak semang yang dijaring. Ketika induk semang A, misalkan sudah mendapat anak semang lebih banyak daripada induk semang

Page 37: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

B, tetapi induk semang B merasa belum merasa kalah, maka ia bersama anak semangnya bisa menantang induk semang A dan anak semangnya untuk beradu kekuatan, misalkan lomba tarik tambang. Jika dalam tarik tambang ini, induk semang B dan anak buahnya memang, maka kelompok ini dianggap sebagai pemenang dari permainan ancak-ancak alis. Bentuk tantangan bermacam-macam, bisa tarik tambang seperti di atas, atau bentuk lain, misalnya lomba kecepatan lari, adu panco, dan sebagainya. Namun semua itu harus disepakati terlebih dahulu, sebelum permainan ancak-ancak alis berlangsung.

Pada versi yang lebih lengkap, setelah kedua induk semang A dan B selesai menyanyikan lagu ancak-ancak alis, maka rombongan anak yang membentuk ular-ularan memberi jawaban yang berbeda-beda, misalnya lagi mluku, lagi nandur, lagi nglilir, lagi ijo, dan seterusnya. Setiap jawaban disebutkan setelah kedua induk semang selesai menyanyikan lagu ancak- ancak alis. Sementara itu anak-anak yang bergandengan itu tadi terus berbolak-balik ke kiri ke kanan dengan melewati terowongan yang dibuat oleh kedua induk semang. Setiap jawaban tadi disampaikan setelah keduanya selesai menyanyikan lagi ancak-ancak alis sambil melewati terowongan.

Namun jika jawaban yang disampaikan adalah lagi wiwit, maka anak yang berada di paling belakang segera mengambil dedaunan muda, kemudian bergabung lagi dengan rombongan anak-anak yang membentuk ular-ularan, termasuk kedua induk semang bergabung di barisan paling depan. Semuanya terus berjalan berlika-liku membentuk angka delapan atau berputar-putar sambil menyanyikan lagu selingan, yakni: /menyang pasar Kadipaten/ leh-olehe jadah manten/ menyang pasar Ki Jodhog/ leh-olehe Cina bidhog//. Usai menyanyikan lagu selingan, kedua induk semang A dan B kembali ke posisi semula sambil menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis, sementara rombongan anak lain berputar-putar lagi. Selesai nyanyian kemudian dijawab lagi. Jika jawabannya lagi panen, maka anak yang berada di baringan paling belakang saat ditangkap kedua induk semang, ia disuruh memilih jawaban garu atau pacul. Demikian seterusnya hingga tinggal satu anak yang berbaris tertangkap oleh kedua induk semang.

Setelah pemain terakhir ditangkap, maka sebagian anak lain sudah ikut induk semang A dan sebagian ikut induk semang B. Kemudian induk semang A dan B menyanyikan lagu: dikekuru dilelemu/ dicecenggring digegering//. Sambil menyanyikan lagu itu, posisi tangan pemain A dan B diubah berbentuk lingkaran, sambil menyanyikan lagu lain

Page 38: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

yakni: /kidang lanang apa wadon?/ yen lanang mlumpata/ yen wadon mbrobosa//. Lalu anak yang ditangkap terakhir tadi disuruh melompat atau menerobos. Tetapi kedua pemain A dan B selalu menghalang-halangi. Jika pemain terakhir tadi tidak bisa lolos, maka akan ditanya untuk memilih garu atau pacul seperti pemain lainnya di atas. Jika ia memilih garu, maka ikut induk semang A dan jika memilih pacul, maka ia ikut induk semang B. Jika induk semang B mendapat anak buah lebih banyak maka rombongannya dianggap sebagai pemenang. Namun, seperti penjelasan di atas, bisa jadi rombongan yang kalah, bisa mengajak beradu lomba lain, untuk menentukan kemenangan jika sudah disepakati bersama sebelumnya.

Permainan ancak-ancak alis memang harus membutuhkan kesabaran karena memerlukan waktu yang lama. Selain itu tentu memerlukan pula kekompakan bermain. Yang terpenting setiap mempunyai sportivitas yang tinggi agar permainan berjalan lancar. Jika ada anak yang bermain kurang sportif, biasanya akan dijauhi dari anak-anak lainnya dan tidak diajak lagi bermain bersama-sama. Sayang, permainan ini sudah tidak banyak dikenal oleh anak-anak sekarang, kecuali hanya beberapa kelompok saja yang masih terbiasa main dalam acara festival dan sejenisnya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-15)

Kedua induk semang terus berlomba mencari anak semang sebanyak-banyaknya dengan cara menanyai setiap anak semang yang dijaring. Ketika induk semang A, misalkan sudah mendapat anak semang lebih banyak daripada induk semang B, tetapi induk semang B merasa belum merasa kalah, maka ia bersama anak semangnya bisa

menantang induk semang A dan anak semangnya untuk beradu kekuatan, misalkan lomba tarik tambang. Jika dalam tarik tambang ini, induk semang B dan anak buahnya memang, maka kelompok ini dianggap sebagai pemenang dari permainan ancak-ancak alis. Bentuk tantangan bermacam- macam, bisa tarik tambang seperti di atas, atau bentuk lain, misalnya lomba kecepatan lari, adu panco, dan sebagainya. Namun semua itu harus

Page 39: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

disepakati terlebih dahulu, sebelum permainan ancak-ancak alis berlangsung.

Pada versi yang lebih lengkap, setelah kedua induk semang A dan B selesai menyanyikan lagu ancak-ancak alis, maka rombongan anak yang membentuk ular-ularan memberi jawaban yang berbeda-beda, misalnya lagi mluku, lagi nandur, lagi nglilir, lagi ijo, dan seterusnya. Setiap jawaban disebutkan setelah kedua induk semang selesai menyanyikan lagu ancak- ancak alis. Sementara itu anak-anak yang bergandengan itu tadi terus berbolak-balik ke kiri ke kanan dengan melewati terowongan yang dibuat oleh kedua induk semang. Setiap jawaban tadi disampaikan setelah keduanya selesai menyanyikan lagi ancak-ancak alis sambil melewati terowongan.

Namun jika jawaban yang disampaikan adalah lagi wiwit, maka anak yang berada di paling belakang segera mengambil dedaunan muda, kemudian bergabung lagi dengan rombongan anak-anak yang membentuk ular-ularan, termasuk kedua induk semang bergabung di barisan paling depan. Semuanya terus berjalan berlika-liku membentuk angka delapan atau berputar-putar sambil menyanyikan lagu selingan, yakni: /menyang pasar Kadipaten/ leh-olehe jadah manten/ menyang pasar Ki Jodhog/ leh-olehe Cina bidhog//. Usai menyanyikan lagu selingan, kedua induk semang A dan B kembali ke posisi semula sambil menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis, sementara rombongan anak lain berputar-putar lagi. Selesai nyanyian kemudian dijawab lagi. Jika jawabannya lagi panen, maka anak yang berada di baringan paling belakang saat ditangkap kedua induk semang, ia disuruh memilih jawaban garu atau pacul. Demikian seterusnya hingga tinggal satu anak yang berbaris tertangkap oleh kedua induk semang.

Setelah pemain terakhir ditangkap, maka sebagian anak lain sudah ikut induk semang A dan sebagian ikut induk semang B. Kemudian induk semang A dan B menyanyikan lagu: dikekuru dilelemu/ dicecenggring digegering//. Sambil menyanyikan lagu itu, posisi tangan pemain A dan B diubah berbentuk lingkaran, sambil menyanyikan lagu lain yakni: /kidang lanang apa wadon?/ yen lanang mlumpata/ yen wadon mbrobosa//. Lalu anak yang ditangkap terakhir tadi disuruh melompat atau menerobos. Tetapi kedua pemain A dan B selalu menghalang-halangi. Jika pemain terakhir tadi tidak bisa lolos, maka akan ditanya untuk memilih garu atau pacul seperti pemain lainnya di atas. Jika ia memilih garu, maka ikut induk semang A dan jika memilih pacul, maka ia ikut induk semang B. Jika induk semang B mendapat anak buah lebih banyak maka rombongannya

Page 40: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dianggap sebagai pemenang. Namun, seperti penjelasan di atas, bisa jadi rombongan yang kalah, bisa mengajak beradu lomba lain, untuk menentukan kemenangan jika sudah disepakati bersama sebelumnya.

Permainan ancak-ancak alis memang harus membutuhkan kesabaran karena memerlukan waktu yang lama. Selain itu tentu memerlukan pula kekompakan bermain. Yang terpenting setiap mempunyai sportivitas yang tinggi agar permainan berjalan lancar. Jika ada anak yang bermain kurang sportif, biasanya akan dijauhi dari anak-anak lainnya dan tidak diajak lagi bermain bersama-sama. Sayang, permainan ini sudah tidak banyak dikenal oleh anak-anak sekarang, kecuali hanya beberapa kelompok saja yang masih terbiasa main dalam acara festival dan sejenisnya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

BETHET THING-THONG-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-16)

Lagu Bethet Thing-Thong dinyanyikan terus oleh si embok hingga jari-jemari yang diregangkan oleh setiap pemain satu-persatu ditekuk. Jika ada pemain yang jarinya sudah ditekuk semua, maka ia menang dan berhak menjadi pemain yang mentas. Lalu si embok kembali menyanyikan lagu tersebut hingga tinggal satu pemain yang masih

meregangkan jarinya. Dengan demikian, pemain terakhir yang belum sempat jarinya ditekuk, dialah yang menjadi pemain dadi .

Setelah itu, pemain-pemain yang mentas mulai meninggalkan tempat semula dan berlari ke berbagai arah yang sudah ditentukan, misalnya di sekitar halaman rumah dan tidak boleh keluar area. Jika ada yang nekad keluar berarti mati . Setelah anak-anak yang mentas bertebaran, maka pemain dadi segera mengejar salah satu pemain yang paling dekat dengannya. Bisa jadi pemain yang dikejar duluan adalah pemain yang larinya tidak kencang. Setelah tertangkap, misalnya pemain A, maka pemain A gantian mengejar pemain lainnya.

Page 41: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Dalam peraturan lain, bisa disepakati, pemain yang sudah tertangkap ikut membantu mengejar pemain yang belum pernah tertangkap. Jadi mereka yang sudah tertangkap, bersama-sama dengan pemain dadi mengejar dan menangkap pemain yang belum pernah tertangkap. Dengan cara ini, pemain-pemain yang belum tertangkap dapat dengan mudah segera ditengkap. Kalau tidak, maka cara yang dilakukan adalah setiap pemain yang baru tertangkap, maka bertugas menggantikan pemain dadi . Baru setelah beranting dan semua pemain telah pernah ketangkap, maka permainan bethet thing-thong segera dimulai lagi dari awal.

Permainan ini memang membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa bertahan berlari. Maka para pemain biasanya harus mempunyai umur yang sebaya agar permainan bisa seru. Jika ada yang kecil, dikhawatirkan akan dikungkung atau jadi terus. Selain itu, permainan ini memberi manfaat kepada anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Anak yang sering bersosialisasi lebih mudah menerima teman lain untuk berkomunikasi. Selain itu juga untuk mengurangi sifat egoisme atau menang sendiri pada anak. Sebab jika ada anak yang suka menang sendiri, maka ia biasanya ditinggal bermain oleh temannya. Atau bisa jadi ia akan selalu dikucilkan dan diasingkan oleh teman sepermainan. Jika hal itu terjadi pada diri anak yang hidup di pedesaan, merupakan suatu petaka, karena ia akan merasa tersingkir.

Nah, mungkinkah permainan ini akan tetap bertahan atau justru semakin dijauhi oleh anak-anak di masa sekarang? Tentu waktu yang akan menjawabnya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

CUBLAK-CUBLAK SUWENG (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-17)

Permainan anak tradisional masyarakat Jawa yang satu ini cara bermainnya juga cukup sederhana, yaitu Cublak-Cublak Suweng. Kiranya pemberian nama permainan ini juga terinspirasi dari alat yang

Page 42: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

digunakan untuk bermain yakni sejenis suweng (subang) yang berbuat dari tanduk, biasa disebut uwer. Alat itu biasa digenggam oleh anak-anak yang bermain cublak-cublak suweng. Jika tidak ada benda serupa, maka dapat diganti dengan kerikil atau benda lain sebesar butir mutiara, dan benda tiruan itu dianggap sebagai suweng. Namun, walaupun alat yang digunakan sudah tidak sesuai awal-mulanya, tetapi permainan ini tetap disebut cublak- cublak suweng.

Anak-anak yang sering memainkan dolanan ini biasanya juga anak-anak kecil dengan usia antara 6—14 tahun. Anak-anak yang lebih besar jika bermain cublak-cublak suweng, biasanya lebih fokus mengajari adik-adiknya yang berusia lebih muda. Dapat dimainkan oleh anak perempuan, laki-laki, atau campuran. Namun karena sifat permainan ini tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik dan tidak menguras tenaga, seringkali identik dengan permainan perempuan. Namun adakalanya anak-anak laki-laki juga senang bermain cublak-cublak suweng. Mereka biasa memainkan di waktu senggang, bisa pagi, sore, atau malam hari, lebih-lebih jika waktu liburan dan terang bulan. Dimainkan di halaman rumah, di teras rumah, atau di dalam rumah. Tempat bermain biasanya yang terang dan bersih, sebab anak-anak yang bermain biasanya duduk-duduk dan ada yang harus tengkurab.

Entah mulai kapan permainan ini dikenal dan dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa, tidak begitu jelas. Tetapi setidaknya nama permainan ini telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa yang terbit tahun 1939 lalu. Kamus karangan W.J.S. Poerwadarminto ini pada halaman 641 kolom 2, disebutkan bahwa cublak-cublak suweng termasuk nama dolanan anak. Begitu pula di masyarakat, permainan ini keberadaannya cukup merata. Di wilayah Yogyakarta juga dikenal permainan ini, di wilayah Jawa Tengah juga dikenal. Begitu pula di wilayah-wilayah lain yang termasuk masyarakat Jawa, seperti Jawa Timur, tentunya. Jadi, dolanan ini setidaknya sudah lebih dari 70 tahun dikenal hingga saat ini.

Anak-anak yang hendak bermain cublak-cublak suweng, biasanya berkumpul di suatu tempat yang dianggap nyaman dan cukup terang. Misalkan ada 4 anak hendak bermain, maka setelah berkumpul, mereka menentukan dulu si embok, atau pemimpin dolanan. Setelah disepakati, lalu mereka hompipah untuk menentukan pemain yang menang dan kalah. Jika dari keempatnya, kebetulan pemain B kalah, maka pemain A, C, dan D termasuk pemain yang mentas (tidak jadi).

Page 43: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Pemain dadi atau kalah segera duduk bertimpuh lalu badannya direbahkan ke lantai, sementara pemain lainnya mengelilinginya. Para pemain yang menang, kedua tangannya diletakkan terlentang (terbuka) di punggung pemain kalah. Begitu pula tangan sebelah (biasanya kiri) bagi si embok (pemimpin dolanan). Sementara tangan kanannya memegang kerikil atau sejenisnya yang dianggap sebagai suwengnya. Si pemain kalah, sambil tengkurab juga memejamkan mata, agar tidak tahu gerakan suweng yang diedarkan ke antar tangan. Setelah itu, semua pemain yang menang bersama-sama si embok menyanyikan syair cublak-cublak suweng seperti di

bawah ini.

Ada dua versi syair cublak-cublak suweng, walaupun di awal sama, tetapi yang di belakang agak berbeda. Syair pertama biasa kita jumpai di daerah Yogyakarta dan sekitarnya, lengkapnya demikian: //Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empong orong-orong, pak empong orong-orong, sir-sir plak dhele kaplak ora enak, sir-sir plak dhele kaplak ora

enak//. Sementara syair kedua sering kita jumpai di wilayah Jawa Tengah, dengan syair sebagai berikut: //Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empo lera-lere, sapa guyu ndhelikake, sir-sir pong dhele gosong, sir-sir pong dhele gosong//.

Perbedaan syair pada lagu cublak-cublak suweng –atau juga mugkin muncul di syair lagu dolanan lain-- biasa terjadi antar daerah, karena dulu penyebaran dolanan dari satu daerah ke daerah lain terjadi begitu saja secara lisan. Maka tidak mustahil dalam penyebaran itu terjadi perubahan kata-kata dalam syair.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

CUBLAK-CUBLAK SUWENG - 2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-17)

Page 44: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Setelah si embok sebagai pimpinan dolanan cublak-cublak suweng selesai menyanyikan lagu ini dan ketika pada akhir syair gosong atau ora enak , maka pemain terakhir yang kejatuhan suweng segera menggenggam tangannya hingga suweng tersebut tidak kelihatan. Demikian pula tangan anak-anak lain juga dalam posisi

menggenggam, seolah-olah menggenggam suweng. Cara ini sebagai bentuk kamuflase atau tipuan agar pemain dadi bingung mencari tangan yang benar-benar menggenggam suweng.

Bagi anak yang mentas, semua tangannya sudah dalam posisi menggenggam, namun semua jari telunjuk dijulurkan (atau diluruskan). Kemudian dengan gerakan seolah-olah mengiris atau menggesek-gesekkan antara jari telunjuk, semua kembali menyanyikan bagian akhir syair yaitu sir-sir plak dhele kaplak ora enak atau sir-sir pong dhele gosong berulang kali. Saat para pemain mentas menyanyikan syair bagian akhir, pemain dadi mulai duduk dan menebak tangan pemain mentas yan g berisi suweng secara acak, karena semua tangan menggenggam.

Jika pemain dadi kebetulan tepat menunjuk tangan yang membawa suweng, maka secara otomatis, nyanyian dihentikan dan anak yang tertebak membawa suweng menjadi anak yang dadi . Permainan segera dimulai dari awal. Namun sebaliknya, jika pemain dadi tidak tepat menunjuk tangan yang menggenggam suweng, maka ia kembali menjadi pemain dadi . Dalam permainan ini, jika ada anak yang berulang kali dadi diistilahkan dengan dikungkung. Namun sebelum permainan kembali diulangi dari awal, biasanya ada kesepakatan hukuman bagi pemain dadi yang keliru tebak.

Ada banyak hukuman untuk pemain dadi yang salah tebak, misalnya hukuman pukulan tangan. Caranya, secara bergiliran pemain mentas memukul (istilah Jawa: namplek) salah satu tangan pemain dadi yang direntangkan di hadapan pemain mentas. Lalu kedua tangan pemain mentas diletakkan di kanan kiri tangan yang direntangkan. Setelah itu, secara bergantian tangan kanan kiri pemain mentas diayunkan namplek tangan pemain kalah. Jika tangan pemain kalah dapat menghindar dan tamplekan tidak mengena, maka ia bebas dari hukuman salah satu pemain. Kemudian dilanjutkan hukuman oleh pemain menang lainnya dengan cara yang sama. Jika semua pemain menang telah menghukum, maka pemain dadi kembali duduk bertimpuh dengan membungkukkan badan atau tengkurab, atau seperti posisi awal permainan. Para pemain menang

Page 45: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kembali menyanyikan syair cublak-cublak suweng. Begitu seterusnya hingga semua anak merasa puas atau capek bermain cublak-cublak suweng.

Biar pun saat ini, permainan cubkal-cublak suweng sudah jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang, namun sebenarnya permainan ini memberi manfaat yang besar terhadap pendidikan dan sosialisasi anak, seperti jiwa sportif, keberanian, dan solidaritas. Anak yang bermain cublak-cublak suweng saat menjadi pemain dadi harus konsisten dan tidak boleh curang. Ia harus menjadi pemain yang berani menghadapi kekalahan. Demikian

pula, permainan ini diharapkan mendidik ke anak- anak untuk bisa bersosialisasi dengan teman, berbagi kesenangan dan kesedihan. Juga menghindarkan dari rasa egoisme anak, karena anak mempunyai kedudukan sama dalam permainan, kadang menang kadang kalah.

Akankah permainan ini tertransformasi ke generasi selanjutnya ataukah hanya terhenti di zaman ini? Ataukah hanya terbatas dalam kenangan

dokumentasi belaka? Jawabannya tentu tergantung dari upaya masyarakat sekarang dalam mengembangkan dan melestarikannya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

DHOKTRI-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-18)

Satu lagi permainan anak tradisional dari masyarakat Jawa yang juga sering mengandalkan kekuatan fisik (berlari) adalah Dhoktri. Permainan ini dimainkan sederhana dan sering dilakukan oleh anak-anak di zaman dahulu, paling tidak sebelum tahun-tahun 1980-an, ketika televisi belum

mewabah. Ketika itu andalan permainan anak-anak adalah dolanan berkelompok dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar lingkungan, seperti batang kayu, daun, batu, kerikil, kreweng, biji buah, dan sebagainya. Maka tidak heran, rasa emosional (solidaritas) kekeluargaan mereka sangat

Page 46: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

tinggi ketika telah dewasa dan kenangan dengan teman -teman bermain semasa kecil selalu diingat.

Memang, seperti juga nama dolanan yang lain, pada nama dolanan ini pun untuk setiap daerah kadang mengalami perbedaan. Untuk daerah Yogyakarta, sering disebut dengan nama dhoktri. Sementara di daerah Jawa Tengah dolanan ini disebut gotri. Mungkin untuk daerah lain bisa jadi dengan nama yang lain pula. Nama dhoktri yang lebih familier di wilayah Yogyakarta diduga berasal dari singkatan dhatri. Kata dhatri sendiri berasal dari kata legendha dan utri. Keduanya nama makanan tradisional khas masyarakat Jawa yang terbuat dari tepung beras atau parutan singkong. Memang dalam permainan dhoktri itu juga diiringi dengan lagu. Isi lagu menyebutkan beberapa makanan tradisional seperti legendha, nagasari, jenang katul, dan jadah. Dari kata legendha inilah lalu terinspirasi menamakan dolanannya dengan nama dhatri yang kemudian berubah menjadi dhoktri.

Sumber lain menyebutkan bahwa singkatan kata dhoktri bisa berasal dari dua kata kodhok dan utri. Kodhok berarti katak, sementara utri berarti makanan tradisional berasal dari parutan singkong. Kata kodhok memang ada juga di dalam lagu dolanan itu, tepatnya di akhir syair. Maka nama dolananannya dinamakan dhoktri. Di awal lagu dolanan ini, dimulai dengan kata dhoktri.

Daerah lain ada yang menamakan dolanan ini dengan sebutan gotri. Kata gotri berarti besi bundar kecil yang berfungsi untuk peluru. Bisa berarti pula komponen laker yang sering digunakan untuk sepeda dan motor agar bisa berputar. Dalam permainan ini, bisa jadi alat kericil, pecahan kreweng (genting) atau tembikar (gerabah) diidentikkan dengan gotri yang bulat. Dari situlah maka muncul penamaan dolanan gotri. Maka syair yang berkembang di daerah ini, diawali dengan gotri, bukan dhoktri.

Dolanan ini pun biasanya dimainkan oleh anak-anak kecil di halaman luas di sekitar rumah atau di sekitar lapangan. Anak-anak yang bermain biasanya berumur sekitar 7—14 tahun dan yang sering bermain adalah anak laki-laki, karena mengandalkan kekuatan fisik untuk berlari. Namun kadang juga dimainkan oleh anak perempuan atau campuran. Yang penting dalam satu permainan dilakukan oleh anak-anak sebaya agar permainan bisa seimbang. Sebaiknya satu kelompok permainan dibatasi hingga 8 anak dan paling sedikit 3 anak, agar permainan meriah dan seru. Permainan ini biasa dilakukan pada liburan sekolah atau waktu senggang, baik di pagi hari, sore hari, atau malam hari ketika bulan purnama. Pada zaman dahulu, permainan di waktu bulan purnama sangat favorit, karena alam bisa terang benderang. Maklum ketika zaman dulu, belum banyak dijumpai listrik, sehingga

Page 47: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

penerangan satu-satunya yang alamiah dan tidak panas adalah sinar bulan. Selain menambah keberanian juga menambah serunya permainan, karena bisa bersembunyi di balik rimbunnya pohon yang terhalang sinar bulan.

Anak-anak yang hendak bermain dhoktri biasanya berkumpul dulu di suatu tempat (halaman, pekarangan, kebun, atau lapangan). Setelah berkumpul, mereka mencari pecahan genting atau gerabah (disebut kreweng atau wingka) sejumlah pemain dikurangi satu. Misalkan, jumlah pemain 8 anak, maka membutuhkan kreweng 7 buah. Selain itu mereka juga harus mencari sebuah batu agak besar yang berfungsi sebagai kodhok (penentu pemain yang kalah). Setelah mendapatkan alat bermain, biasanya mereka membuat lingkaran (bisa juga berbentuk bujur sangkar) di tanah atau di lantai, dengan kapur, kreweng, atau kayu. Diusahakan jumlah kotak pada bujur sangkar atau lingkaran sesuai dengan pemain. Karena jumlah pemain 8 anak, maka bujur sangkar atau lingkaran dibuat 8 kotak (ruang).

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

DHOKTRI-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-18)

Ada baiknya setelah peralatan lengkap dan telah disiapkan, semua anak yang akan bermain berkumpul terlebih dahulu. Lalu mereka membuat aturan (biasanya secara lisan saja) mengenai aturan permainan dhoktri. Peraturan ini sangat luwes disesuaikan dengan kondisi waktu atau tempat bermain. Aturan lisan yang sering disepakati antara lain: 1). Setiap anak yang memegang kodhok di akhir setiap lagu, dialah yang akan menjadi pemain kalah (dadi). Kecuali pada awal permainan, bisa dilakukan hompimpah untuk menentukan pemegang kodhok. 2) Pemain yang kalah wajib menyusun kreweng atau tembikar yang diakhiri dengan susunan berupa kodhok. Ketika pemain dadi sedang menyusun, pemain yang menang segera berlari bersembunyi. 3) Selesai menyusun, pemain kalah segera wajib mencari pemain-pemain yang menang satu-persatu hingga semuanya bisa ditebak/dicari sesuai dengan nama-namanya. 4) Lingkungan bersembunyi juga sudah harus ditentukan, misalnya di dalam pekarangan rumah yang dipakai untuk bermain. Setiap pemain yang menang jika ada yang bersembunyi di luar pekarangan dianggap diskualifikasi atau istilahnya

Page 48: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kobong . Masih ada aturan lain, mi salnya tidak boleh bersembunyi di dalam rumah, di dalam kandang, dan sebagainya. Semuanya itu ditentukan oleh para pemain yang bermain dhoktri.

Permainan dhoktri bisa dimulai setelah peralatan disiapkan dan aturan bermain telah disepakati. Anak-anak yang bermain bisa memulai dengan terlebih dahulu melakukan hompimpah. Hompimpah ini dilakukan untuk menentukan pemenang. Pemenang nantinya berhak memegang kodhok. Ini hanya berlaku untuk sekali saja dalam permainan, yaitu untuk mengawali permainan. Setelah itu, setiap pemain yang memegang kodhok di akhir lagu, dialah yang kalah. Bisa jadi, pada awal permainan, untuk menentukan pemegang kodhok, tidak dengan hompimpah, tetapi dengan sukarela, toh pada awal permainan, pemegang kodhok tidak dadi .

Setelah semua memegang kreweng dan salah satunya memegang kodhok, maka permainan dilanjutkan dengan mulai menyanyikan lagu dhoktri, yang syairnya sebagai berikut: //Dhoktri legendha nagasari, ri/ riwul owal-awul jadhah katul, tul/ tolen alen-alen jadah manten, ten/ titenana besuk gedhe dadi apa, pa/ podheng mbako enak mbako sedheng, dheng/dhengkok eyak- eyok kaya kodhok//. Demikian syair lagu dolanan dhoktri dalam versi satu. Sementera syair versi lainnya dengan nama dolanan gotri, hampir mirip dan tertera berikut ini: //gotri legendri nagasari, ri/ riwul owal-awul jadah mentul, tul/ tolen alen-alen jadah manten, ten/ titenana besuk gedhe dadi apa, pa/ padha mbako enak mbako sedheng, dheng/ dhengkok leyak-leyok kaya kodhok//.

Selesai lagu tersebut dan seorang pemain yang kebetulan memegang kodhok saat lagu berakhir, berarti ia menjadi pamain dadi . Saat itulah para pemain lainnya segera berlari dan bersembunyi. Sementara itu pemain dadi segera menyusun kreweng -kreweng dan diakhiri dengan menyusun batu (sebagai kodhoknya). Setelah selesai menyusun dan tidak berjatuhan, maka ia segera menebak (istilahnya: nyekit) pemain-pemain yang bersembunyi satu-persatu. Saat menebak harus disertai dengan menyebut nama kemudian kembali ke pangkalan, yang menandakan bahwa pemain yang ditebak sudah sah dan tidak boleh menendang (istilahnya: nyampar) kreweng-kreweng yang disusun. Namun jika pemain yang bersembunyi lebih cepat tiba di pangkalan, maka ia berhak nyampar kreweng-kreweng itu dan bersembunyi lagi.

Kembali ke pemain menang yang telah disekit dan telah dibrok gacuknya, maka ia tidak berhak menyampar. Ia telah tertebak. Ia harus menunggu giliran teman-teman lainnya dicari oleh pemain yang dadi . Begitu terus- menerus hingga semua pemain yang bersembunyi semua tertebak. Namun demikian jika masih ada satu pemain yang bersembunyi belum ketemu, dan

Page 49: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

ketika dicari, pemain tersebut lebih duluan tiba di pangkalan dan nyampar kreweng-kreweng itu, maka pemain dadi harus segera menyusun kembali kreweng-kreweng dan batu kodhok seperti semula. Sementara pemain- pemain yang telah kesekit (ditebak) bisa kembali bersembunyi bersama- sama dengan pemain terakhir yang telah nyampar kreweng-kreweng tersebut. Dengan demikian pemain dadi jika mengalami hal serupa bisa disebut dikungkung , karena harus berulangkali memulai mencari dari awal semua pemain yang bersembunyi.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

DHOKTRI-3 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-18)

Pada aturan atau versi yang lain, kreweng-kreweng yang ditinggal oleh pemain yang menang tidak disusun oleh pemain yang kalah. Namun setelah dengan hitungan ke-10 misalnya, baru pemain kalah berhak untuk mengejar pemain-pemain yang bersembunyi dan berlari. Jika seorang pemain yang menang kemudian bisa ditangkap oleh pemain kalah, maka ia boleh membantu pemain kalah menangkap pemain lain yang masih bersembunyi. Lalu mereka berusaha bersama-sama menangkap ke semua pemain yang belum tertangkap. Setelah semua pemain yang bersembunyi terkejar dan tertangkap, maka permainan bisa dimulai dari awal.

Bisa jadi, jika ada aturan setiap pemain yang menang setelah tertangkap ganti menjadi pemain kalah dan bertugas mengejar pemain lainnya, maka ia pun (pemain yang tertangkap) harus menggantikan pemain dadi untuk mengejar. Lalu ia berusaha untuk menangkap pemain lain yang belum pernah dadi . Jika kemudian semua pemain yang menang telah pernah menjadi pemain dadi , maka permainan bisa dimulai dari awal. Jika cara ini yang ditempuh, biasanya pemain dadi yang paling awal yang kemudian berhak untuk memegang kodhok. Dengan cara ini, kemungkinan besar pada giliran berikutnya, ia dapat sementara terbebas dari pemain dadi lagi.

Cara atau aturan manapun yang digunakan tidak menjadi masalah, yang penting semua pemain memahami aturan mainnya dan merasa adil dan

Page 50: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

nyaman selama bermain. Tidak ada seorang pemain pun yang merasa dicurangi, adalah sifat permainan tradisional, termasuk dhoktri.

Tentu permainan dhoktri yang banyak menguras tenaga fisik ini cocok jika dimainkan oleh anak-anak yang mempunyai umur sebaya. Ada pelajaran penting yang dapat diperoleh dari permainan ini, antara lain adalah kecepatan dan kekuatan berlari. Setiap anak yang bermain diharapkan mempunyai kekuatan fisik dan kekuatan berlari agar tidak mudah tertangkap pemain dadi . Selain itu tentu saja ia tidak boleh menyuguhkan permainan yang curang. Dengan banyak berlari, tentu akan membuat sehat tubuh anak. Selain itu juga permainan ini mengajarkan sportivitas dan bertanggung jawab. Jika ia menjadi pemain kalah, maka harus berani untuk mengejar pemain-pemain yang menang hingga ada yang tertangkap. Lalu juga mengajarkan rasa solidaritas dan sosial yang tinggi. Dengan permainan ini, anak diajarkan bersosialisasi dengan teman sebaya. Setiap anak harus mempunyai sifat tenggang rasa dan tidak boleh egois, ingin menang sendiri. Itulah beberapa makna positif yang dapat diambil dari permainan dhoktri.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

TIGA JADI (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-19)

Menilik dari namanya, jelas bahwa permainan tradisional ini memang menyerap dari bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa, berarti telu dadi . Artinya, ketika ada tiga gacuk alat bermain yang berjajar tiga (baik horisontal, vertikal, dan diagonal) artinya menang. Permainan ini hampir mirip dengan permainan tradisional Jawa lainnya

seperti mul-mulan dan bas-basan. Melihat nama permainan ini, menurut sebuah sumber, telah dikenal oleh anak-anak di masyarakat Jawa, termasuk pula di daerah Yogyakarta sejak sekitar 1960—1970-an.

Permainan Tiga Satu adalah sebuah permainan ringan, mudah, dan sederhana bagi usia anak-anak SD. Permainan ini tidak perlu membutuhkan lapangan permainan yang luas, cukup 1 meter persegi sudah cukup. Bisa dimainkan di halaman rumah maupun di luar rumah, asalkan tempatnya

Page 51: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

teduh. Lantai biasanya tempat yang paling cocok. Namun jika terpaksa dimainkan di atas tanah juga tidak masalah. Walaupun permainan ini cukup mudah dan tidak menguras tenaga bagi yang bermain, namun membutuhkan konsentrasi dan taktik yang jitu. Dalam permainan ini ada pemain yang kalah dan menang. Satu permainan Tiga Jadi cukup dilakukan oleh dua anak yang saling berhadap-hadapan.

Biasanya anak yang bermain Tiga Jadi mengambil waktu senggang, misalkan istirahat sekolah atau sehabis pulang sekolah. Bisa pula dilakukan sore hari sehabis mandi sore sebelum belajar malam. Di saat terang bulan yang menjadi favorit bermain di masa lalu juga sering dipakai sebagai ajang bermain. Memang yang sering bermain Tiga Satu adalah anak laki-laki. Namun demikian, kadang pula juga Tiga Satu dimainkan oleh anak-anak perempuan atau campuran. Alat yang dibutuhkan untuk bermain ini pun juga cukup sederhana, karena hanya mengambil dari benda-benda alam sekitar, seperti biji buah (kecik), kerikil, kreweng, dan semacamnya. Kadang pula memakain sobekan kertas, kardus, dan semacamnya. Setiap anak yang bermain, sebaiknya mencari tiga buah gacuk (alat bermain yang sama), misalnya kalau krikil, krikil semua. Pemain lain bisa menggunakan kecik semua. Tujuannya agar dalam permainan mudah membedakan gacuk sendiri dengan gacuk lawan.

Sebelum permainan dimulai, biasanya ada aturan tidak tertulis yang harus disepakati bersama untuk menjaga permainan agar berjalan jujur, tidak curang, dan menjunjung sportivitas, misalnya: 1) jika gacuk sudah dipegang

maka harus dijalankan/dipindah ke kotak lain, 2) tidak berlaku istilah nas (artinya maaf keliru). 3) Setiap gacuk hanya boleh melangkah 1 kotak yang paling dekat. 4) pemain dikatakan menang jika tiga gacuk telah membentuk garis lurus (horisontal, vertikal, atau diagonal), 5) ada tidaknya hukuman telah disepakati di awal.

Sebelum dimulai, dua anak yang akan bermain biasanya membuat kotak persegi panjang dengan

digaris-garis membentuk 9 kotak kecil terlebih dahulu. Setelah itu keduanya melakukan sut untuk mencari pemain yang menang. Setelah ada pemain yang menang, maka ia mulai meletakkan sebuah gacuk di sebuah kotak kecil secara bebas.

bersambung

Page 52: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DI. Yogyakarta・, Ahmad Yunus, Dinas P & K, 1980/1981 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

TIGA JADI-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-19)

Selesai membuat kotak persegi empat sama sisi yang telah digaris-garis menjadi kotak lebih kecil berjumlah 9 kotak kecil, anak yang menang segera meletakkan sebuah gacuk yang berbeda dengan gacuk lawannya, misalkan kecil dengan kerikil. Setelah itu, pemain yang kalah segera juga meletakkan sebuah gacuk kerikil di antara gacuk

pemain pemenang. Sebisa mungkin, keduanya membangun strategi untuk saling mengapit. Kemudian pemain yang menang kembali meletakkan sebuah gacuk kecik lagi pada kotak yang masih kosong. Diusahakan kerikil satu dan dua saling berdekatan sehingga mudah untuk dibuat garis lurus.

Demikian pula pemain kalah juga segera meletakkan gacuk kerikil yang kedua di antara gacuk-gacuk yang lain. Kemudian disusul gacuk kecik yang terakhir diletakkan di kotak yang masih kosong. Pemain kalah untuk terakhir pula segera meletakkan gacuk kerikil pada kotak yang masih kosong. Dengan demikian, setelah semua gacuk kecik dan kerikil ditaruh dalam masing-masing kotak, masih ada 3 kotak kosong yang berfungsi untuk memindahkan gacuk-gacuk agar membentuk garis lurus. Sementara gacuk kecik pemain menang berjumlah 3 buah, dan gacuk kerikil pemain kalah juga berjumlah tiga.

Mereka harus bergantian memindahkan sebuah gacuk ke kotak lain agar dapat membentuk garis lurus. Pada permainan tiga jadi ini memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan bermain. Selain itu juga harus membutuhkan strategi bermain. Pemain yang terlena pasti akan mengalami kekalahan. Kedua bermain, selain melangkah untuk menghadang gerak musuh juga sekaligus mencari celah-celah yang jitu untuk mengambil peluang menyejajarkan gacuk-gacuknya. Permainan tiga jadi juga harus menuntut kepada para pemain untuk bersikap sportif dan tidak curang. Sebab jika

Page 53: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

sampai ada yang bermain curang, maka biasanya permainan akan berakhir. Di kemudian hari, pemain curang tidak akan lagi diajak bermain, karena pemain yang bermain sportif akan merasa jera.

Setelah seorang pemain segera bisa menyejajarkan gacuk-gacuknya baik secara horisontal, vertikal, atau diagonal, maka ia akan segera berteriak aku menang atau tiga jadi . Kalau sudah demikian, maka keduanya segera memulai lagi permainan dari awal. Biasanya pemain kalah akan mendapat kesempatan bermain duluan. Sementara pemain yang sudah sukses akan mendapatkan poin, nilai, atau sawah satu. Demikian seterusnya

hingga keduanya berlomba-lomba mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya sesuai dengan aturan yang sudah disepakati, misalnya maksimal 10 nilai atau sawah. Jika sudah ada yang mencapai nilai sepuluh, sesuai dengan kesepakatan, pemain kalah dihukum, misalkan dengan memukul telapak tangan atau menggendong dengan jarak yang sudah ditentukan.

Memang permainan tiga jadi sekarang sudah jarang dimainkan oleh anak-anak generasi sekarang. Walaupun permainan ini cukup mudah dimainkan, namun karena sudah ketinggalan zaman, ti dak menarik lagi bagi anak-anak kecuali pada saat-saat tertentu dan di beberapa tempat saja, dalam acara festival atau acara-acara lainnya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DI. Yogyakarta・, Ahmad Yunus, Dinas P & K, 1980/1981 dan pengalaman pribadi

Ensiklopedi

DHINGKLIK OGLAK-AGLIK

Ada banyak permainan anak tradisional masyarakat Jawa yang dalam bermainnya tidak membutuhkan peralatan, salah satunya adalah Dhingklik Oglak-Aglik. Permainan ini hanya membutuhkan tempat yang agak luas untuk bermain (kira-kira 5x8 m2), misalnya di halaman depan, samping, belakang rumah atau di tanah lapang. Jika untuk bertanding, memang sebaiknya tempat yang diperlukan lebih luas lagi.

Page 54: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Menilik dari nama permainan, yakni dhingklik oglak-aglik, kiranya memang permainan ini ibaratnya menggambarkan sebuah bangku yang kaki-kaki penyangganya tidak seimbang sehingga mudah bergoyang jika diduduki. Kata dhingklik dalam bahasa Indonesia diidentikkan dengan bangku, semacam kursi yang biasa dipakai untuk duduk. Dhingklik biasanya terbuat dari kayu atau bambu memanjang dengan empat kaki. Kata oglak-aglik artinya kaki-kaki meja yang tidak sama panjang (tidak seimbang) dan mudah goyang jika diduduki. Memang permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak kecil dengan mengangkat dan menekuk salah satu kaki dengan kaki lawan sehingga membentuk ikatan yang kuat. Sementara kaki lainnya tetap berdiri untuk menjaga keseimbangan. Mereka kemudian berlompat-lompat kecil dengan satu kaki secara bersama-sama sambil bernyanyi. Jika ada salah satu pemain yang tidak kuat, biasanya terjatuh, sehingga membuat teman lainnya ikut terjatuh. Itulah gambaran sepintas tentang nama dolanan dhingklik oglak-aglik .

Seperti pada jenis dolanan anak tradisional lainnya, permainan dolanan dhingklik oglak-aglik biasanya dimainkan oleh anak-anak kecil sebaya anak SD, kira-kira berumur 7-10 tahun. Walaupun kadang-kadang anak umur lebih tua juga bisa memainkan dolanan ini. Cara memainkannya singkat, kecuali jika memang dilombakan. Waktu yang biasa dipakai bermain biasanya sore hari setelah istirahat siang atau malam hari jika bulan purnama menjelang hari libur. Bisa juga dimainkan pagi hari jika hari libur atau siang hari disela-sela waktu istirahat di sekolah. Jadi, kapanpun dolanan ini bisa berlangsung, karena dalam waktu singkat bisa dimainkan.

Anak-anak yang hendak bermain dhingklik oglak-aglik biasanya mencari teman-teman yang sebaya dan sejenis, agar permainan bisa seimbang. Jika anak-anak yang bermain tidak sama besar, kadang-kadang permainan akan cepat goyah, tercerai-berai sehingga cepat selesai. Begitu pula jika gabungan antara anak laki-laki dan perempuan, biasanya juga cepat tercerai-berai karena kekuatan tumpuan kaki tidak sama. Namun jika keadaan kepepet, bisa saja terjadi permainan gabungan antara laki-laki dan perempuan, asalkan bisa bermain bersama-sama dalam satu kelompok.

Permainan ini untuk satu kelompok idealnya dimainkan oleh 3, 4 atau 5 anak. Jika lebih dari 5 anak sebaiknya membentuk kelompok sendiri, sebab akan berpengaruh pada kekuatan posisi kaki yang saling ditumpangkan. Dolanan ini juga bisa dipakai untuk berlomba. Biasanya ada 2 kelompok dengan jumlah pemain yang sama, misalkan 3 lawan 3 atau 4 lawan empat. Hanya saja, kalau dibuat lomba, maka harus ada ketentuan yang biasanya tidak tertulis, misalkan: 1) kelompok yang jatuh lebih dulu dianggap kalah, 2) bagi kelompok kalah kena hukuman, dengan cara menggendong atau

Page 55: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

lainnya, dan 3) kelompok yang ikatannya terpisah dianggap jatuh atau kalah.

Ketika hendak bermain dhingklik oglak-aglik, misalkan dimainkan oleh satu kelompok saja, maka para pemain segera menuju ke tanah lapang. Setibanya di tempat itu, para pemain bisa memulai bermain, misalkan berjumlah 4 anak, yaitu A, B, C, dan D. Keempat anak ini segera membentuk lingkaran dengan bergandeng tangan. Kemudian pemain A dan B segera menerobos di bawah lengan C dan D, serta seketika C dan D ikut memtuar badan sehingga mereka membentuk lingkaran dengan posisi saling membelakangi dan masih bergandengan.

Bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

DHINGKLIK OGLAK-AGLIK-2

Pada posisi saling membelakangi dan masih dalam keadaan bergandengan tangan seperti itu, maka salah satu pemain, misalnya A segera meletakkan sebuah kakinya di atas kedua tangan pemain B dan C yang bergandengan. Lalu pemain D segera meletakkan sebuah kakinya di lekuk kaki pemain A yang sudah ditumpangkan. Selanjutnya kaki pemain C juga turut diletakkan di lekukan kaki

pemain D. Setelah itu pemain B meletakkan salah satu kakinya di atas lekukan kaki pemain C. Terakhir kaki pemain A yang ditumpangkan di atas tangan-tangan yang bergandengan diletakkan di atas lekukan kaki pemain B. Jadilah keempat kaki yang ditekuk saling bertumpang dan terkait satu sama lain.

Pada posisi seperti itu, keempat pemain segera melepaskan tangan yang saling bergandengan. Mereka mulai berlompat-lompat dan bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu dhingklik oglak-aglik seperti berikut: //Pasng dhingklik oglk-aglik/ yen keceklik adang gogik/ yu yu bakyu mangga/ dhateng pasar blanja, leh-olehe napa/ jenang jagung/ enthok-enthok jenang

Page 56: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

jagung/ enthok-enthok jenang jagung/ enthok-enthok jenang jagung//.

Jika nyanyian itu telah selesai kemudian diulang-ulang lagi. Di tengah menyanyikan lagu, kadang ada salah satu atau dua pemain yang merasa capek atau posisi tidak seimbang, sehingga membuatnya jatuh ke tanah. Jika sudah demikian, biasanya posisi rangkaian kaki yang saling terikat menjadi rusak. Maka dolanan dhingklik oglak-aglik selesai. Jika hendak dimulai lagi, maka harus dimulai dari awal lagi, dengan cara yang sama seperti di atas. Pada dolanan ini tidak pernah sepi dari jeritan anak-anak yang bermain, karena rasa gembira atau kadang sedikit merasa sakit saat jatuh atau tertindih temannya.

Namun ketika dilombakan, maka setiap kelompok harus kompak menjaga keutuhan rangkaian kaki yang saling terikat. Kekompakan permainan ini sangat diprioritaskan agar rangkaian kaki tidak mudah terpisah. Kemenangan kelompok permainan ini biasanya diperoleh kelompok yang paling lama mempertahankan jalinan kaki dan tidak ada yang jatuh. Sesuai dengan kesepakatan, kelompok kalah biasanya dihukum sesuai dengan

kesepakatan, misalnya disuruh menggendong kelompok menang atau berlari sesuai dengan jarak yang telah ditentukan.

Dolanan dhingklik oglak-aglik pada dasarnya memberi rasa senang kepada anak-anak karena bisa bermain bersama tanpa harus merasa takut kalah. Sebab permainan ini pada dasarnya dimainkan tanpa harus dilombakan. Pada permainan ini, memberi nilai positif kepada anak untuk bisa bersosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu dalam permainan ini bisa membuat anak lebih sehat karena banyak menggerakkan badan. Memang kadang ada kelelahan setelah bermain atau bahkan luka kecil akibat jatuh. Namun rasa senang itu biasanya bisa mengalahkan rasa lelah atau luka kecil akibat jatuh.

Hingga saat ini, kadang masih ditemui anak-anak bermain dolanan dhingklik oglak-aglik walaupun intensitasnya tidak sesering zaman dulu ketika televisi masih jarang ditemui. Tentu semoga saja dolanan ini tetap dikenal oleh anak sekarang dan masa datang sebagai salah satu bentuk sosialisasi sekaligus media bermain yang cukup murah meriah.

Page 57: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

CACAH BENCAH-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-21)

Ada banyak permainan tradisional anak di masyarakat Jawa yang dimainkan tanpa bantuan alat permainan, salah satunya adalah Cacah Bencah. Permainan ini hanya membutuhkan tempat yang cukup luas dan setidaknya ada sebuah pohon tempat berpegangan. Seperti pada permainan tradisional yang lain, tidak diketahui

dengan pasti kapan permainan ini muncul. Begitu pula asal-muasalnya juga tidak jelas. Namun begitu biasanya penyebarannya cukup merata, walaupun kadang dengan nama yang agak berbeda. Di daerah DI. Yogyakarta sendiri permainan ini disebut Cacah Bencah.

Dolanan Cacah Bencah dalam bermainnya memang diiringi sebuah lagu yang diawali dengan syair cacah bencah . Kiranya nama permainan Cacah Bencah berawal dari sebuah lagu yang mengiringinya tersebut atau mungkin sebaliknya, dari nama permainan itu kemudian muncul ide lagu untuk mengiringinya. Yang jelas, permainan ini diiringi sebuah lagu yang diawali dengan sebuah syair cacah bencah . Selain itu dalam permainan ini, memang ada unsur gerak-gerik mencacah (istilah Jawa) yaitu mengiris atau memotong dengan tidak beraturan yang dilakukan oleh si embok (yang dituakan dalam permainan). Cacah dalam bahasa Jawa juga berarti hitung, sedangkan nyacah berarti menghitung. Sementara, kata Bencah dalam bahasa Jawa berarti merekah atau robek (untuk luka).

Permainan sederhana ini lebih sering dimainkan oleh anak-anak perempuan daripada anak laki-laki, karena memang tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik. Namun begitu kadang-kadang anak laki-laki ikut nimbrung permainan ini. Selain itu, dolanan ini juga lebih sering dilakukan oleh anak- anak berumur antara 7—14 tahun. Dimainkan saat ada waktu longgar, seperti pulang sekolah atau hari libur. Waktu bermain bisa mengambil pagi, siang, sore, atau malam hari, jika hari libur. Bisa juga siang hari saat istirahat sekolah. Tempat bermain biasanya mencari tempat yang bersih dan kering. Artinya bermain di halaman yang bertegel, berjobin, asalkan kering

Page 58: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

bebas dari air atau berhalaman tanah tetapi yang penting juga kering, tidak becek. Dan lagi, dalam bermain diusahakan ada sebuah pohon yang cukup bisa dipeluk oleh para pemain. Bisa juga jika tidak ada pohon, bi sa digantikan dengan tiang dari besi, kayu, atau bambu.

Permainan Cacah Bencah sudah menyebar di berbagai wilayah di pedesaan dan perkotaan. Dimainkan dengan bebas oleh anak-anak tanpa harus memandang strata sosial atau kedudukannya. Jadi, setiap anak yang ingin bermain Cacah Bencah ini tinggal bergabung dengan teman bermain lainnya. Lalu secara bersama-sama melakukan permainan ini.

Sebelum permainan dimulai, tentu ada aturan tidak tertulis yang harus dipahami oleh semua pemain. Aturan-aturan tidak tertulis itu di antaranya adalah: 1) Harus ada seseorang yang menjadi si embok =ibu‘. Tugasnya memimpin jalannya permainan. Sebisa mungkin yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah yang tertua, dewasa, sabar, atau yang jujur (tidak pilih kasih), 2) Apabila ada pemain yang kedua kakinya sudah tertekuk, segera meninggalkan barisan, kemudian pindah ke pohon yang sudah ditentukan, 3) Pemain yang pertama kali kedua kakinya tertekuk segera mengambil posisi memeluk pohon sambil jongkok, kemudian disusul pemain lainnya, 4) Pemain yang kedua kakinya terlipat paling akhir dinyatakan sebagai pemain dadi atau kalah . Tugas pemain kalah adalah menarik pemain yang saling memeluk pinggang.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

CACAH BENCAH-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-21)

Apabila sudah ada beberapa anak yang siap hendak bermain dolanan cacah bencah misalkan 10 anak (A,B,C,D,E,F,G,H,I, dan J), maka semua anak tersebut segera mencari suatu tempat bermain. Jika sudah menemukan tempat yang nyaman untuk bermain, maka satu anak di antaranya, yakni anak berinisial A sebagai anak

Page 59: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

terbesar untuk mau dijadikan sebagai embok yang berfungsi sebagai penghitung. Identik dengan wasit, jadi tidak ikut main. Setelah itu kesembilan anak lainnya (B,C,D,E,F,G,H,I, dan J) segera duduk berjajar dengan kedua kaki diselonjorkan. Urutan duduk bebas. Maksudnya tidak harus lewat hompipah untuk menentukan urutan-urutannya.

Setelah semua anak yang duduk dengan kaki selonjor telah siap, maka segera pemain yang menjadi induk/embok segera menyanyikan lagu cacah bencah yang syairnya sebagai berikut: //Cacah bencah/ simbok lunga dagang/ dagange serut abang/ dipenthung ula ijo jo jo jo/ emas t ak cindhe arum/ dhasar buntung//. Saat menyanyikan lagu itu, setiap suku kata yang dinyanyikam, dia sambil menghitung atau mencacah kaki pemain yang diselonjorkan dengan tangannya. Selesai sampai pada suku kata terakhir, yakni tung , maka kaki yang ditunjuk bersamaan dengan berakhirnya lagu itu segera ditekuk. Lalu si embok segera menyanyikan lagu itu berulang kali hingga ada anak yang kedua kakinya telah ditekuk.

Jika ada anak yang kedua kakinya sudah ditekuk, misalkan pemain C, maka ia harus segera pindah ke tempat lain yang sudah ditentukan ada sebuah pohon atau tiang. Ia segera duduk atau berjongkok sambil memeluk pohon atau tiang tersebut. Kemudian ia disusul oleh pemain lain yang sudah mentas dengan bergabung di belakangnya. Terakhir diketahui misalnya posisi berjajarnya para pemain mentas adalah mulai dari C, G, I, D, J, E, H, dan B. Terakhir hanya tinggal ada satu pemain yang kakinya belum tertekuk semua, misalkan pemain F. Dialah pemain yang dianggap kalah.

Pemain kalah bertugas untuk melepaskan para pemain yang saling berpegangan pinggang yang sudah berjajar dari depan (pemain yang berpegangan batang pohon atau tiang) hingga paling belakang. Sebelumnya terjadi dialog antara pemain dadi (pemain F) dengan pemain paling depan (memeluk pohon atau tiang), yakni pemain C. Dialognya sebagai berikut:

Pemain F : Kresek-kresek (menirukan bunyi). Pemain C : Sinten niku? Ajeng napa? (Siapa itu? Mau apa?). Pemain F : Nyuwun uwi. (Mau minta ubi). Pemain C : Uwine saweg tumbas (Ubinya baru dibeli).

Demikian percakapan keduanya terus diulang- ulang dari awal hingga jawaban terakhir pemain C itu berbeda, misalkan: Uwine lagi ditandur (Ubinya sedang ditanam) atau Uwine saweg ngembang (Ubinya sedang berbunga). Jawaban pemain C dilanjutkan dengan jawaban Ngg ih

Page 60: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

mang mbedhol (Ya sudah silakan mencabut sendiri). Setelah mendapatkan izin, maka pemain F (sebagai pemain dadi) segera menuju ke belakang dan menarik pemain paling belakang, misalkan dengan menarik baju, bagian perut, bahu, atau tangannya. Saat hendak ditarik, semua pemain mentas harus segera mengencangkan rangkulannya. Demikian pula pemain F sebagai pemain dadi juga harus menarik sekuat tenaga agar para pemain yang mentas terlepas. Saat itulah terjadi dua kekuatan yang bertolak belakang, yang satu berusaha untuk jangan sampai terlepas, sementara kekuatan lain ingin melepaskan. Tidak heran jika saat itulah para pemain (yang kalah dan menang) saling menjerit merasa geli, senang, bercampur tegang. Jika pemain mentas lebih kuat berpegangannya, maka pemain F gagal melepaskannya. Maka pemain F harus memulihkan dulu kekuatannya sambil berjalan-jalan dan mencari kelengahan lawan. Setelah itu dimulai lagi hingga ada pemain mentas yang lepas rangkulannya. Jika misalkan rangkulan pemain H lepas, maka pemain H dan B sudah menjadi milik pemain F, berarti kalah. Lalu pemain F berusaha kembali melepaskan pelukan pemain lain yang belum terlepaskan. Begitu seterusnya hingga semua pemain terlepas dari pelukan pohon. Ada kalanya pemain lain yang sudah menjadi teman pemain F ikut membantu pemain yang belum terlepas dari pohon.

Begitu seterusnya dilakukan berulang-ulang hingga semuanya merasa puas, senang dan capek. Jika dolanan ini dianggap cukup maka permainan bisa dihentikan.

Jelas, permainan ini menanamkan rasa solidaritas dan bersosialisasi untuk saling menjaga sportivitas. Pemain kalah juga harus berani menanggung risiko dan berusaha mengalahkan pemain mentas. Para pemain dilatih untuk tidak mudah menyerah dan tidak cengeng. Sebab dalam permainan ini sering kali anak jatuh saat ditarik dan lepas dari rangkulan. Tapi yang pasti, permainan tradisional selalu memberi warna beda terhadap permainan modern yang lebih individual.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

GENUKAN-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-22)

Page 61: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Anak-anak kecil di masa lalu tidak pernah kehabisan akal untuk berkreasi dalam setiap permainannya. Walaupun boleh dikata ketika itu (sebelum tahun 1970-an) belum banyak hiburan, misalnya televisi, playstation, dan sejenisnya, namun daya kreatifnya selalu muncul. Berbagai permainan tradisional, selalu mereka munculkan dan mereka mainkan. Itulah keunikan daya fantasi

anak-anak di masa lalu. Tidak terkecuali dengan anak-anak dari masyarakat Jawa, khususnya yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Segala bentuk permainan tradisional yang muncul dari wilayah lokal ataupun yang meminjam (sebagai tularan) dari wilayah lain selalu terus bermunculan. Permainan itu biasanya mengandung ciri untuk dimainkan secara berkelompok atau berombongan. Salah satu nama permainan yang juga dikenal oleh anak-anak di lingkungan masyarakat Jawa dan banyak dimainkan di era sebelum tahun 1970-an adalah permainan Genukan.

Nama permainan ini bahkan juga sudah terekam dalam sebuah kamus bahasa Jawa (Baoesastra Djawa, karya WJS. Poerwadarminto, tahun 1939). Dalam kamus lokal disebutkan, bahwa genukan merupakan nama permainan anak, yang biasanya melibatkan anak perempuan. Namun begitu dalam kenyataannya, permainan ini tidak hanya dimainkan oleh anak perempuan saja tetapi juga dimainkan oleh anak laki-laki atau campuran laki-laki dan perempuan. Untuk nama permainan sendiri, di wilayah lain juga ada yang menyebutkan dengan nama Sar-Sur Kulonan atau Butul. Boleh jadi, penamaan boleh berbeda, sesuai dengan kesepakatan di masing-masing daerah. Yang jelas, penamaan biasanya masih berkaitan dengan model permainannya. Misalkan, nama Sar-Sur Kulonan yang dipakai oleh wilayah tertentu. Dalam permainan itu, memang si juri (atau juga sering disebut si embok) ketika memanggil salah satu kelompok yang berposisi di sebelah barat dengan sebutan sar-sur kulonan . Otomatis satu kelompok lainnya berada di sebelah timur. Namun begitu, masyarakat tidak menyebutnya dengan nama permainan Sar-Sur Wetanan .

Begitulah, permainan genukan biasa dimainkan oleh anak-anak usia 8—12 tahun, sebaya usia anak SD. Mereka biasanya memainkan dolanan ini di tanah lapang yang cukup luas, setidaknya mempunyai panjang 10 meter lebih. Bisa juga dimainkan di halaman rumah yang luas atau di kebun belakang rumah yang juga cukup luas. Memang saat ini sudah jarang halaman rumah yang luas, karena sudah dipenuhi oleh rumah-rumah. Untuk itu bisa disiasati dengan bermain di lapangan olahraga, bisa lapangan voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Jika di sekolah bisa dimainkan di halaman sekolah.

Page 62: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Di masa lalu, permainan genukan sering dimainkan saat malam hari ketika bulan purnama. Itulah saat-saat yang indah dan menyenangkan untuk berkumpul antar anggota masyarakat dalam rangka bersosialisasi. Sering pula dimainkan di saat-saat banyak waktu luang. Jika saat ini banyak dilakukan saat-saat liburan sekolah atau hari minggu, dan bisa mengambil pagi, siang, atau sore hari.

Memang idealnya permainan ini harus dilakukan banyak anak, minimal 14 anak ditambah 1 anak sebagai juri, wasit, atau disembut embok . Namun begitu, mungkin untuk saat sekarang sulit untuk mengumpulkan anak sebanyak itu untuk diajak bermain bersama. Tidak apalah, yang jelas, ketika permainan ini masih banyak dilakukan oleh anak-anak, untuk mengumpulkan peserta 14 atau lebih tidak menjadi masalah. Biasanya mereka dibagi ke dalam dua kelompok. Namun sebelumnya setiap anggota mencari pasangan bermain, yang biasanya sebaya. Maksudnya, anak laki- laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Jika terpaksa, bisa laki-laki berpasangan dengan perempuan. Selain itu anak tinggi dengan anak tinggi, rendah dengan rendah, kecil dengan kecil, dan sebagainya. Anak yang berpasangan ini selanjutnya harus dipisah dan menjadi 2 kelompok.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

GENUKAN-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-22)

Begitulah, ketika anak-anak hendak bermain genukan, setelah mereka berkumpul di tanah lapang atau halaman rumah yang cukup luas, segera mencari pasangan bermain dan melakukan sut . Anak-anak yang menang dalam sut berkumpul menjadi satu, sementara yang sama-

sama kalah juga berkumpul menjadi satu. Sementara itu satu anak berposisi sebagai embok . Fungsinya hampir sama dengan wasit dalam pertandingan olahraga. Misalkan, ada 7 anak dari kelompok menang, maka dari kelompok kalah juga berjumlah 7 anak, ditambah 1 anak bertugas sebagai mediator.

Page 63: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Sebelum permainan dimulai, satu wakil dari masing-masing kelompok membuat garis sebagai batas. Kegiatan membuat garis batas ini juga bisa dilakukan sebelum mereka melakukan sut. Jadi sifatnya bebas. Keduanya membuat garis melintang panjang dengan jarak sekitar 10 meter atau lebih. Jadi 2 garis melintang panjang ini berfungsi untuk membatasi gerak masing- masing kelompok supaya tidak mendekat satu sama lain. Selain itu, garis ini pula nanti dijadikan sebagai start dan finish saat anak-anak melakukan hukuman gendong. Lalu posisi si embok berada di tengah-tengah kedua kelompok. Jadi jika jarak kedua kelompok 10 meter, maka jarak antara si embok dengan kelompok menang 5 meter, begitu pula dengan kelompok kalah. Posisi mediator bebas, bisa duduk, berdiri, atau kadang-kadang duduk diselingi berdiri atau sebaliknya. Namun si mediator tidak boleh berpindah-pindah, kecuali izin ke kamar kecil atau ada keperluan lain yang sudah diizinkan oleh kedua kelompok.

Selain membuat garis panjang dua buah, pada versi lain, kedua kelompok juga membuat garis lurus pendek sekitar 2 meter yang berada di sebelah kanan kiri mediator atau si embok . Garis pendek ini berfungsi, jika ada salah satu anggota kelompok yang sudah melewati garis itu, kebetulan namanya yang ditebak, walaupun sebelum di- disk oleh wasit, maka ia tidak boleh kembali. Dan jika kebetulan namanya yang disebut, maka secara otomatis kelompoknya kalah dan harus menerima hukuman lawan, misalnya dengan cara menggendong. Tetapi jika belum melewati garis pendek itu, anak yang maju tadi bisa kembali lagi. Jadi kadang-kadang si anak yang maju itu mencoba mengelabuhi atau menggoda kelompok lawan. Ketika sebelum melewati garis pendek itu, kelompok lawan sudah bersorak-sorai dan mengatakan disk , padahal si anak yang maju t adi belum melewati garis, maka ia bisa segera kembali dan diganti oleh anak yang lain.

Seperti permainan lainnya, permainan genukan ini pun ada aturan tidak tertulis. Misalkan, setiap anak yang telah melewati garis pendek tidak boleh kembali, apalagi namanya yang disebutoleh pihak lawan. Juga, nama pemain yang ditebak yang sah adalah nama yang disebut terakhir. Jadi jika seorang pemain yang membisikkan ke wasit ada tiga nama, maka nama terakhir yang dianggap sah, karena hanya ada satu pemain lawan yang maju. Setiap pihak kalah harus mau menerima hukuman, misalkan dengan menggendong kelompok menang. Terakhir, bisa juga ditambahkan, nama yang boleh disebut adalah nama asli, bukan nama olok-olokan, misalnya si gendut, si cebol, dan sebagainya.

Anggap saja kedua kelompok sudah melakukan sut . Kelompok I yang terdiri dari anak bernama A,B,C,D,E,F, dan G dan kelompok II terdiri dari anak bernama H,I,J,K,L,M, dan N. Kedua kelompok segera menempatkan posisinya masing-masing, misalkan kelompok I mendapat jatah di sebelah

Page 64: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

timur, maka kelompoknya disebut kelompok sar-sur wetanan dan kelompok II otomatis berposisi di sebelah barat, disebut sar-sur kulonan. Jika posisi barat-timur, tidak memungkinkan, maka posisinya juga bisa diubah utara dan selatan. Walaupun posisi letak diubah, bisa jadi namanya tidak diubah, misalkan kelompok utara atau sebelah kanan wasit disebut sar-sur wetanan, sementara kelompok selatan disebut sar-sur kulonan. Kalau terpaksa dengan nama baru juga boleh-boleh saja agar tidak bingung, misalkan posisi selatan dengan nama sar-sur kidulan, dan posisi utara dengan nama sar-sur eloran. Walaupun untuk penyebutan terakhir ini sebenarnya tidak begitu lazim.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

GENUKAN-3 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-22)

Sut yang dilakukan di awal permainan, selain untuk menentukan masing-masing kelompok, bisa juga dipakai untuk memulai awal permainan. Maksudnya, pada kelompok sut menang bisa memulai permainan dengan maju terlebih dahulu, caranya mendekat ke si embok dan membisikkan

seorang nama kelompok lawan. Namun kadang-kadang pula sut yang dilakukan di awal hanya berlaku untuk mencari pengelompokan anggota. Saat permainan akan diawali bisa dimulai lagi dengan sut kedua. Hanya kali ini masing-masing kelompok diwakili oleh salah seorang pemain. Fungsi sut kedua hanya untuk menentukan kelompok mana yang berhak untuk maju lebih dulu. Tentunya semuanya dikembalikan sesuai dengan kesepakatan para pemain dolanan genukan.

Apabila dari salah satu kelompok, misalkan kelompok I dianggap sebagai kelompok yang maju duluan, maka si embok selaku wasit segera memanggil salah satu anggotanya untuk maju dengan cara berteriak sar- sur wetanan . Awal permainan, tentu kelompok I dengan bebas dapat maju sesukanya. Artinya, siapa pun yang akan maju tidak akan tertebak, karena pihak lawan belum ada yang maju. Lalu salah satu kelompok I ada yang

Page 65: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

maju, misalkan B. Kemudian ia segera mendekat ke wasit lalu membisikkan sebuah nama anak dari kelompok II, misalkan anak bernama N. Setelah dirasa wasit paham dan mendengar, dengan cara menganggukkan kepala, maka pemain B segera kembali ke kelompoknya di sebelah timur.

Setibanya ia bergabung kembali dengan kelompoknya dan memberitahukan kepada teman-teman satu kelompok supaya juga tahu yang ditebak, lalu wasit segera memanggil kelompok II dengan berteriak, sar-sur kulonan . Maka kelompok II, setelah melakukan kesepakatan, menyuruh salah satu anggotanya untuk maju secara acak, misalkan M. Ia mencoba maju mendekat ke wasit. Lalu ia telah meninggalkan garis panjang. Setibanya hendak melintasi garis pendek, sepertinya tidak ada reaksi dari kelompok lawan. Maka pemain M segera melanjutkan mendekat ke w asit. Setelah melewati garis pendek pun, ternyata tidak ada reaksi dari wasit atau kelompok lawan, berarti perjalanan pemain M selamat, di luar nama yang disebutkan pihak lawan. Biasanya wasit mengucapkan kalimat slamet sega liwet yang artinya selamat dari tebakan. Selanjutnya pemain M membisikkan sebuah nama lawan. Ia bisa membisikkan nama lebih dari satu, misalkan B, A, dan C. Kemudian jika itu terjadi, maka wasit akan meminta konfirmasi, sebenarnya yang dimaksudkan sebenarnya pemain yang mana. Lalu pemain M memastikan bahwa pemain yang diharapkan maju adalah pemain C. Setelah mendapat persetujuan wasit, maka pemain M segera kembali kelompoknya dan memberitahukan kepada kelompoknya, pemain lawan yang akan dijebak atau ditembak.

Wasit segera memanggil kelompok I lagi dengan teriakan sar-sur wetanan . Maka, sebelum ada salah satu pemain yang akan maju, kelompok berembug dulu siapa yang akan diputuskan untuk maju. Keputusan kelompok sangat penting, agar jika memang yang maju itu yang ditebak, semuanya sudah bisa menerima dan tentu saja mau menanggung risikonya, yaitu menerima hukuman. Setelah disepakati kelompok, ternyata yang maju dari kelompok I adalah C. Maka ia segera maju mendekat ke wasit. Setelah melewati garis panjang dan pendek, tanpa melihat gelagat pemain lawan, otomatis ia kena tebakan kelompok II. Segera wasit memberitahukan bahwa pemain C kobong berarti tertebak. Seketika para pemain kelompok II bersorak bergembira karena merasa menang. Sementara para pemain kelompok I terpaksa harus menanggung kekalahan dan harus mau menerima hukuman. Mereka segera menuju tempat berdirinya kelompok II. Masing-masing orang di kelompok I segera menggendong pasangannya dari kelompok II menggendong dengan start dan finish yang sudah ditentukan, misalnya dengan start dari garis kelompok II dan finish juga di garis tersebut. Kedudukan sementara 1-0 untuk kemenangan kelompok II. Untuk jalannya permainan selanjutnya, tentu dimulai lagi dari kelompok I sebagai pihak yang kalah.

Page 66: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Pada perkembangan selanjutnya, permainan ini diiringi sebuah lagu hasil ciptaan seorang pamong perguruan Tamansiswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta, yakni bernama Hadisukatno. Syair lagunya sebagai berikut: //Sar-sur kulonan/ mak, mak-emake re te te/ tak undange, re te te/ yen kecandhak kanggo gawe/ dadi mesthi mati/ dadi mesthi mati/ tak bedhile mimis wesi/trong trong trong trong bleng//. Hanya saja tidak dketahui, syair lagu tersebut dinyanyikan saat permainan akan dimulai, di tengah permainan atau di akhir permainan. Sepertinya penulis belum pernah mendengar langsung lagu ini dalam mengiringi permainan genukan.

Setidaknya, permainan genukan, sar-sur kulonan, kauman, atau butul ini memberi pendidikan kepada anak untuk dapat bermain secara disiplin, spoftivitas, kompak dan berani.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004, pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

AMBAH-AMBAH LEMAH-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-23)

Permainan satu ini sesuai dengan namanya, memang dalam permainannya tidak bisa terlepas dari lantai atau tanah. Artinya, tanah dan tempat yang agak tinggi, bisa ubin, lincak, amben, lesung, dan sebagainya sebagai media permainan. Menilik dari media bermain yang digunakan dapat dipastikan bahwa permainan Ambah-Ambah

Lemah sudah sangat lama, setidaknya dialami oleh nenek moyang masyarakat Jawa di masa sebelum kemerdekaan. Terbukti beberapa daerah mengenal permainan ini, termasuk di daerah Yogyakarta (Ahmad Yunus, 1980/1981). Hanya kiranya, tidak dapat diketahui secara pasti, daerah atau masyarakat mana yang pertama kali menemukan dan memopulerkan dolanan tradisional ambah-ambah lemah ini. Sebab ketika dirunut pada Kamus Bahasa Jawa (Baoesastra Djawa) karangan W.J.S. Poerwadarminto, tidak diketemukan.

Ambah-Ambah Lemah bisa diartikan dalam bahasa Indonesia menyentuh tanah . Di mana setiap pemain mentas/menang yang berada di atas tempat agak tinggi, seperti lincak (tempat duduk yang lebar dari bambu),

Page 67: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

ubin, atau sejenisnya, akan mati jika turun ke tanah dan tersentuh oleh pemain dadi . Itulah sebabnya, permainan ini disebut ambah -ambah lemah. Dolanan ini pada zaman dulu juga sering disebut dengan nama Jogah. Istilah Jogah ternyata diambil dari Ja ngambah-ngambah lemah, ngambaha sari gadhing yang artinya janganlah menyentuh tanah, menyetuhlah sari gading. Kalimat tersebut sering diucapkan oleh para pemain yang mentas saat berdiri di suatu tempat di atas tanah.

Kiranya, seperti permainan tradisional lainnya, dolanan ambah -ambah lemah ini pun tidak membutuhkan peralatan untuk bermain, kecuali tempat yang cukup luas, baik berupa tempat yang agak tinggi dan rendah. Tempat agak tinggi bisa diisi dengan sarana lincak, ubin, lesung, atau lainnya, seperti telah disebut di atas. Sarana itu biasanya sudah menyatu dengan suatu ruang. Maka tidak mengherankan jika dolanan ini biasanya dilakukan di teras rumah, di halaman depan, atau bahkan di dalam rumah. Ketika di adakan di dalam rumah biasanya hanya untuk kalangan anggota keluarga atau kerabat dekat. Apalagi rumah tradisional dulu, luas-luas dengan perabot rumah yang minim, sehingga memungkinkan bisa melakukan dolanan ambah-ambah lemah di dalam rumah.

Anak-anak yang bermain dolanan ini biasanya seusia anak SD dan sebaya, umur sekitar 7—12 tahun. Jika di anggota keluarga bisa dilakukan anak- anak seusia 5—9 tahun. Untuk bermain ambah-ambah lemah, umumnya dimainkan oleh anak sekitar 7 orang. Paling sedikit dimainkan oleh 3 orang dan maksimal 10 orang. Bisa saja dilakukan oleh lebih dari 10 anak, tetapi biasanya tempatnya yang tidak mencukupi. Kecuali jika tempatnya sangat luas, bisa dilakukan dan yang jelas disepakati oleh semua anak yang bermain. Namun, biasanya jika dilakukan oleh sesama anggota keluarga inti dalam satu rumah, pesertanya tidak banyak, sekitar 3-5 anak. Apalagi zaman dahulu, keluarga masyarakat Jawa biasa memiliki anak lebih dari 3 orang. Jadi, anak-anak dalam satu keluarga inti biasa memainkan dolanan ini.

Bagi peserta dolanan ini bisa diikuti oleh anak laki-laki saja, perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan. Dilakukan oleh anak-anak dalam satu komunitas di kampung atau desa tanpa harus membedakan anak orang kaya dan miskin, atau anak orang yang memiliki kedudukan dan tanpa kedudukan. Jadi, dolanan ambah-ambah lemah dimainkan tanpa perbedaan strata sosial di masyarakat. Selain itu, permainan ini juga berlaku adil tanpa harus mengistimewakan anak-anak dari golongan orang kaya dan mempunyai jabatan.

Waktu yang biasa dipakai untuk bermain ambah-ambah lemah adalah sore hari selepas istirahat. Namun biasa juga dilakukan pagi atau siang hari,

Page 68: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

khususnya pada hari-hari libur. Di jam sekolah biasanya dilakukan saat-saat istirahat sekolah. Namun, kiranya anak-anak zaman sekarang sudah tidak banyak lagi mempraktikkan dolanan tradisional ini. Dulu, di zaman nenek moyang kita, anak-anak waktu itu belum banyak kesibukan. Maka mereka juga terbiasa bermain dolanan ini di malam hari, khususnya saat bulan purnama.

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus (editor), Depdikbud, 1980/1981, serta pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

AMBAH-AMBAH LEMAH-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-23)

Anak-anak yang memainkan dolanan ambah- ambah lemah sebelum memainkan biasanya berkumpul dulu di suatu tempat. Kemudian mereka menyekati wilayah yang dijadikan tempat bermain, termasuk tempat-tempat atas yang bisa dipakai untuk mencok atau bertengger, istilah

seperti pada burung. Tempat mencok tersebut biasa dipakai untuk para pemain yang mentas . Selanjutnya harus disepakati aturan permainan, seperti: 1) setiap pemain ment as yang salah satu kakinya telah menginjak tanah, harus berpindah tempat mencok . Jika ia kembali ke pangkalan sebelumnya dianggap disk atau kobong . Artinya ia yang kemudian jadi pemain dadi . 2) Pemain mentas yang ketika pindah ke tempat pangkalan lain, saat tersentuh pemain dadi, maka pemain yang tersentuh tadi menjadi pemain dadi. 3) Setiap anak mentas harus berkewajiban pindah tempat pangkalan atau pencokan .

Aturan-aturan di atas biasanya hanya diucapkan secara lisan. Ketika semua pemain memahami dan menyepakatinya, maka segera dilakukan hompimpah dan sut. Misalkan dimainkan oleh 8 pemain yaitu A,B,C,D,E,F,G, dan H dan setelah dilakukan hompimpah dan sut, ternyata yang dadi adalah pemain C. Selanjutnya pemain C berdiri di tanah, di antara tempat-tempat pencokan , sementara pemain lainnya menyebar di tempat -tempat pangkalan yang sudah disepakati. Selanjutnya, pemain-pemain mentas mencoba menggoda pemain C, sambil mencari kelengahan pemain C.

Page 69: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Apabila pemain C lengah, maka pemain mentas yang jauh dari jangkauan pemain C bisa berlari dan pindah tempat pangkalan. Namun ketika akan berpindah, ternyata pemain C misalkan dapat mengejar pemain yang sedang berlari (misalkan pemain A) dan dapat menyentuhnya, maka pemain A menggantikan posisi pemain C dan menjadi pemain dadi.

Begitu seterusnya permainan ambah-ambah lemah dilakukan. Adakalanya, ada pemain dadi yang dikungkung karena lama tidak dapat menangkap pemain mentas. Pemain dadi seperti ini biasanya terus digoda oleh para pemain mentas lainnya. Kalau hatinya tidak tabah, maka ia akan mudah sekali malu dan akhirnya menangis. Maka dalam permainan ini, anak-anak yang bermain harus tabah dari godaan dan ejekan.

Namun ada pula aturan lain, jika ada anak yang dadi terlalu lama, maka diatasi dengan aturan renteng pete . Dalam aturan ini, maka pemain dadi terakhir, misalkan pemain A harus segera menghadap bilik atau tembok dan menutup matanya. Kemudian pemain mentas lainnya berjajar di belakang pemain A. Jadi ada 7 pemain berjajar secara acak. Lalu pemain dadi A menyebut nomor urut dari depan, misalkan nomor 3. Maka pemain mentas yang berada di urutan ke-3 dari depan, misalkan pemain G, maka jadilah pemain G sebagai pemain dadi selanjutnya. Aturan renteng pete biasanya dilakukan untuk menghindari kevakuman permainan agar tetap hidup dan meriah.

Permainan ambah-ambah lemah tidak mengenal hukuman gendong atau lainnya. Jadi hukuman biasanya hanya bersifat kungkungan tadi. Namun begitu, sebenarnya permainan ini mengajarkan kepada setiap anak untuk bisa bergaul dengan sesamanya. Anak dilatih untuk mempunyai jiwa besar, tidak mudah cengeng, serta harus cekatan. Permainan akan berakhir apabila sudah dikehendaki oleh semua pemain karena sudah merasa capek, bosan, atau karena ingin berpindah ke jenis permainan lainnya.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus (editor), Depdikbud, 1980/1981, serta pengalaman, dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

SUDHAH MANDHAH-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-24)

Page 70: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Permainan Sudhah-Mandhah tentu tidak asing lagi bagi dunia anak-anak di masyarakat Jawa. Permainan murah meriah ini sudah dikenal beberapa puluh tahun hingga sekarang. Permainannya sangat mudah dan tentu tidak banyak membutuhkan biaya, alias gratis. Namun begitu, ternyata permainan ini sulit dilacak dari unsur sejarahnya. Ketika dicari dalam kamus Jawa,

ternyata nama permainan itu tidak muncul. Ada yang mengatakan, bahwa nama permainan itu berasal dari bahasa Belanda Zondag-Maandag yang artinya hari Senin dan Selasa . Adakah hubungannya? Haruskah permainan itu dimainkan pada hari Senin dan Selasa? Ataukah hari-hari itu muncul dalam unsur permainannya sendiri? Tidaklah mudah menarik kesimpulan. Sebab, dalam permainan Sudhah-Mandhah tidak terikat dimainkan hari Senin dan Selasa atau dalam permainan itu tidak ada unsur hari Senin dan Selasa. Mungkinkah kemunculan nama itu hanya kebetulan saja? Bisa jadi demikian. Yang jelas, masyarakat Jawa dan suku bangsa di nusantara ini pernah dijajah oleh Belanda. Beberapa kata dan istilah Belanda itu digunakan oleh bangsa di nusantara ini. Sepertinya, nama Sudhah- Mandhah bukan asli dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa hanya ditemukan kata Sudha yang berasal dari bahasa Sanskerta dan berarti 1. bersih, tulus, berkurang 2. awan . Kata lainnya yang muncul adalah Sudhah . Kata disudhah artinya dibongkar .

Yang jelas, permainan ini sering sekali dimainkan oleh anak-anak baik perempuan maupun laki-laki di masyarakat Jawa. Namun begitu, umumnya biasa dimainkan oleh anak perempuan, karena jenis permainan ini termasuk yang sedikit tantangan dan rintangan. Anak-anak sudah tidak asing lagi dengan permainan ini. Biasa dimainkan pada waktu pagi, siang, sore, atau malam saat bulan purnama, saat di waktu senggang atau waktu libur. Dolanan ini juga sering dimainkan di sekolah-sekolah waktu istirahat. Begitu pula di kampung-kampung, di desa-desa, atau di perumahan-perumahan, masih sering dijumpai anak-anak bermain Sudhah -Mandhah . Permainan ini juga sering disebut dolanan Angklek, Engklek, atau Ingkling karena memang cara bermainnya dengan engklek yaitu mengangkat satu kaki, sementara kaki lainnya melompat-lompat. Sementara anak-anak yang sering bermain ini di usia antara 6—12 tahun. Kadang ada juga anak usia di bawah 6 tahun ikut bermain, namun karena masih belum paham permainan, sehingga kehadirannya hanya untuk pelengkap saja atau istilah Jawa pupuk bawang . Sementara kehadiran anak-anak di usia lebih 12 tahun, kehadirannya lebih berfungsi sebagai pengarah. Jika ada pemain lain yang belum paham permainan atau suka curang, anak tersebut berhak untuk menegur atau memberitahu jalannya permainan.

Page 71: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Dalam dolanan Sudhah-Mandhah , tidak membutuhkan lahan luas, setidaknya berukuran 3x5 meter. Lebih luas lebih bagus. Biasanya anak- anak bermain Sudhah -Mandhah di emperan atau halaman rumah. Tidak jarang pula dimainkan di halaman kebun yang rindang. Jika di sekolah, biasa dimainkan di halaman atau emperan sekolah pula. Waktu hujan atau terik matahari, permainan ini juga bisa dilakukan di dalam rumah. Lahan-lahan yang sering dipakai biasanya lahan tanah (saat di halaman rumah atau di kebun), lahan ubin, tegel, konblok, cor atau sejenisnya. Yang jelas, lahan - lahan yang digunakan nyaman bagi anak-anak yang bermain, serta terhindar dari kondisi basah, licin, becek, panas, dan hujan. Sangat jarang dimainkan di halaman yang banyak rumputnya, karena medianya sulit untuk dibuat garis-garis.

Sebelumnya, anak-anak yang akan bermain, minimal 2 anak (dan sebaiknya tidak lebih dari 5 anak), terlebih dahulu membuat petak-petak dengan kapur atau media lainnya pada lahan yang akan dipakai untuk bermain. Petakan tersebut jika sudah jadi menyerupai gambar pesawat. Lebih detail cara pembuatan petakan adalah sebagai berikut: Pertama, membuat kotak 2 atau 3 buah memanjang ke atas. Setiap kotak, setidaknya bersisi 40-50 cm. Lalu di atasnya dibuat 2 kotak di sisi kanan dan kiri dengan ukuran sama, menyambung dari 2 atau 3 kotak sebelumnya. Lalu di atasnya dibuat 1 kotak lagi dengan ukuran sama. Di atasnya lagi dibuat 2 kotak dengan ukuran sama, menyambung dari 1 kotak sebelumnya. Maka jadilah tempat bermain Sudhah-Mandhah . Kadang-kadang di atasnya lagi ditambahi setengah lingkaran yang menghubungkan masing-masing ujung kotak.

bersambung

Suwandi Sumber: pengalaman dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

SUDHAH MANDHAH-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-24)

Anak yang akan bermain Sudhah -Mandhah setelah selesai membuat gambar, lalu harus ada kesepakatan bermain. Misalkan, setiap pemain yang menginjak garis mati dan harus digantikan oleh pemain lainnya. Juga, boleh membuat kuping atau telinga di sisi kotakan, apabila dua

Page 72: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kotak tunggal sudah menjadi sawah. Aturan lain, yaitu, apabila seorang pemain sudah menyelesaikan babak pertama (melempar gacuk ) dilanjutkan dengan engklek sambil membawa gacuk di telapak tangan. Jika bisa lolos, serta merta gacuk dilemparkan ke arah kotak yang masih kosong. Apabila ada di dalam kotak, maka si pemain itu mendapatkan satu sawah. Permainan dilanjutkan ke pemain giliran berikutnya. Begitulah beberapa aturan permainan ini.

Setelah anak-anak yang akan bermain menyepakati dan memahami aturan main, seperti biasanya dalam setiap permainan, dimulai dengan sut atau hompimpah . Sebelumnya mereka juga sudah harus membawa sebuah gacuk yang bisa diambil dari sekitar lingkungan. Gacuk yang mere ka pakai biasanya berasal dari pecahan genting, yang mempunyai sifat tipis, tidak mudah pecah (jika dipakai di tanah), cukup rata dan ringan. Dilakukan sut apabila hanya ada dua pemain. Sementara hompimpah dilakukan apabila pemain lebih dari dua. Anak yang menang pertama mendapat giliran main duluan, kemudian disusul pemenang selanjutnya. Usai mengetahui urutan main, pemain urutan kedua dan selanjutnya menunggu giliran. Misalkan ada 4 pemain, setelah diadakan hompimpah , pemain yang menang secara berurutan adalah D, B, A, dan C. Maka pemain D dapat memulai permainan.

Pemain D melemparkan gacuk pertama kali ke kotak tunggal yang paling dekat dengannya. Lalu, pemain D mulai melompat ke kotak kedua sambil engklek begitu seterusnya dilanjutkan ke kotak-kotak paling ujung kemudian berbalik hingga ke kotak kedua. Setelah itu pemain D harus mengambil gacuk dan kemudian melompat ke awal berdiri. Saat melalui kotak ganda kanan kiri, pemain D boleh meletakkan kedua kaki. Namun jika kotak kembar tadi salah satunya sudah ada sawahnya, maka pemain juga harus bertindak engklek . Jika pemain D lolos pada tahap awal, maka ia melanjutkan melemparkan gacuk ke kotak berikutnya. Jalannya permainan sama. Begitu pula ketika ia melemparkan kotak di kotak kembar, maka cara mengambil gacuk setelah ia engklek sampai ujung dan kembali sejajar di kotak kembar itu. Setelah itu, ia boleh mengambil gacuk dan melanjutkan permainan ke tempat awal.

Namun, apabila di saat melemparkan gacuk ke kotak ketiga, misalnya, pemain D kurang tepat memosisikan gacuk (misalkan: keluar/di tengah garis) maka pemain D dianggap mati. Sebelum pemain B memulai giliran, pemain D meletakkan gacuk nya ke kotak ketiga, yang salah lempar tadi. Kemudian pemain B memulai seperti yang dilakukan pemain D pada awal permainan. Begitu seterusnya. Semisal, pemain B bisa lolos sampai ujung, maka ia, sekarang memulai permainan dari arah sebaliknya (arah atas). Ia memulai permainan dengan cara yang sama. Setiap ada gacuk baik miliknya sendiri atau milik lawan, harus dihindari atau dilompati. Ketika ia

Page 73: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

mulus bermain dan sukses sampai ujung, maka pemain B berhak untuk bermain di tahap kedua.

Pada tahap kedua, pemain B memulai bermainan dari tempat bermain awal. Sebelumnya gacuk diletakkan di telapak tangan. Kemudian gacuk itu dilempar ke atas dan diletakkan di sebalik tangannya. Apabila gagal meletakkan, maka pemain ketiga yakni pemain A menggantikkannya. Namun apabila berhasil, maka gacuk yang di sebalik telapak tangan itu terus dibawa sambil engklek dari satu kotak ke kotak lainnya dan kemudian berbalik dengan langkah yang sama. Setelah berhasil, maka ia dari posisi awal dengan serta-merta melemparkan gacuk yang ada di sebalik telapak tangan tadi untuk dilempar ke arah kotak-kotak. Apabila gacuk jatuh di dalam kotak, maka pemain B memperoleh sawah satu, yaitu di kotak tersebut. Lalu pemain lain menggantikan permainan. Jika pemain B sudah mendapat sawah, misalnya di kotak kedua, maka semua pemain lain tidak boleh menginjakkan kaki atau melemparkan gacuk di sawah tersebut. Sebab sawah itu sudah milik pemain B. Dengan perolehan sawah itu, maka jika pemain B mendapat bermain kembali, maka ia berhak menduduki sawah itu dengan kedua kaki, bukan lagi satu kaki engklek . Itulah istimewanya permainan sudhah-mandhah .

Lalu fungsi setengah lingkaran kuping boleh dipakai oleh pemain lain yang merasa kesulitan melompat, karena kotak-kotak sudah menjadi sawah pemain lain. Setengah lingkaran kuping biasanya diletakkan di salah satu sisi garis kotak (di antara tiga kotak di awal). Namun kuping tersebut tidak boleh dibuat besar, setidaknya hanya sedikit melebihi besaran kaki.

Demikianlah anak-anak yang bermain sudhah -mandhah terus berlomba- lomba mencari sawah sebanyak-banyaknya. Sebab dengan banyak sawah, berarti kemenangan dan memudahkan permainan selanjutnya. Jika mereka yang bermain dolanan ini merasa capek, bisa berhenti sewaktu-waktu. Anak yang terbanyak memperoleh sawah dianggap sebagai pemenang. Sementara yang paling sedikit memperoleh sawah, dianggap yang paling kalah. Namun biasanya tidak ada hukuman bagi yang kalah maupun tidak ada hadiah bagi yang menang. Semua hanya dijalankan untuk mengisi hiburan.

Dalam permainan ini ingin mengajarkan kepada anak-anak untuk hidup rukun, tidak boleh saling curang maupun tidak boleh ingin menang sendiri. Jika seorang anak ingin menang sendiri atau selalu bermain curang, akibatnya teman lain akan menghindar dan tidak mau lagi diajak bermain bersama. Itulah ciri permainan tradisional yang selalu dimainkan oleh banyak anak sebagai ajang bersosialisasi.

Page 74: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: pengalaman dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

LURAH-LURAHAN-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-25)

Ada satu permainan anak tradisional dari masyarakat Jawa, terutama di DI. Yogyakarta, yang namanya cukup keren dan unik, yaitu Lurah- Lurahan . Namun dalam permainannya, ternyata seorang pemain tidak berpura-pura menjadi lurah (kepala desa), tetapi itu hanyalah sebuah nama

permainan saja. Memang, biasanya dalam bahasa Jawa, apabila ada kata yang diulang, maka salah satu arti adalah menyerupai bentuk kata dasarnya, misalnya kucing-kucingan, maka dalam permainan itu, ada salah satu anak pemain yang berpura-pura menjadi seekor kucing. Namun begitu, ternyata istilah lurah-lurahan dalam permainan ini lebih untuk menunjuk alat yang dipakai untuk bermain. Alat untuk bermain tersebut terbuat dari lidi. Salah satu bentuk lidi yang ditekuk atau dipatahkan dianggap sebagai lurah, mbok, atau gacuk . Jadi permainan ini tidak ada sangkut -pautnya dengan seorang anak yang seolah-olah menjadi lurah. Di daerah lain seperti di Sleman, ada yang menyebut dolanan ini dengan nama cuthikan. Sebab, memang dalam permainannya ada unsur nyuthik yang artinya mengambil sesuatu dengan bantuan alat yang dicuthikkan . Mungkin penamaan di daerah lainnya juga akan berbeda. Dalam bahasa Jawa, sesuai Baoesastra Jawa (karya W.J.S. Poerwadarminta, 1939, hlm 279) dikenal kata lurah yang berarti penguasa di suatu wilayah pedesaan. Mungkinkah kata turunan lurah -lurahan terinspirasi dari kata itu?

Permainan tradisional ini termasuk salah satu dolanan yang memakai alat, yaitu lidi atau istilah bahasa Jawa, biting. Bisa juga memakai kayu. Namun umumnya memakai lidi karena mudah diperoleh. Selain itu, juga menggunakan bantuan alat kapur atau sejenisnya untuk menggaris kotak sebagai pembatas permainan. Dolanan ini dikenal di berbagai daerah dan cukup merata. Biasanya yang bermain dolanan ini adalah kelompok anak- anak sekolah dasar usia 7-12 tahun, baik laki-laki, perempuan, atau campuran. Jenis dolanan ini tidak banyak menguras tenaga, hanya membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Waktu yang sering dipakai untuk bermain dolanan ini adalah waktu senggang, bisa pagi, siang, atau sore hari.

Page 75: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Seperti dolanan lain yang tidak banyak membutuhkan tempat yang luas, permainan lurah-lurahan juga hanya membutuhkan tempat terbatas, minimal 1 meter persegi. Jika dilakukan berkelompok atau satu kelompok terdiri dari 4-5 orang, setidaknya membutuhkan tempat agak luas sedikit, kira-kira 3-4 meter persegi. Lahan untuk menggambar lurah -lurahan sendiri hanya membutuhkan luas 30 x 30 cm untuk satu kelompok permainan. Tempat yang biasa dipakai adalah tempat-tempat yang rata, seperti lantai tegel, ubin, keramik, atau tanah yang rata. Sebaiknya dimainkan di tempat aman serta teduh (terhindar dari panas dan hujan).

Dolanan ini setidaknya dimainkan minimal 2 anak. Bisa juga dimainkan oleh 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 anak, sebaiknya membentuk kelompok sendiri. Sebelum mereka sut atau hompimpah untuk menentukan urutan bermain, mereka membuat kotak sama sisi kira- kira 30 x 30 cm, satu buah, bisa dengan kapur atau alat lainnya. Setelah itu, anak-anak juga harus mempersiapkan batang lidi sebanyak 9 buah, dengan rincian, 8 buah dengan panjang 10 cm dan 1 buah dengan panjang 12 cm. Panjang lidi 12 cm berfungsi sebagai lurah atau alat untuk mengambil (istilah bahasa Jawa: nyuthik ). Panjang lidi 12 cm harus ditekuk pada ujungnya, kira-kira di antara panjang 10 dan 2 cm.

Selain itu, semua pemain harus menyepakati peraturan bersama, yang biasanya disepakati secara lisan. Di antara kesepakatan lisan adalah: 1) jika ada batang lidi setelah dilempar berada di luar kotak atau di atas garis, tidak diikutkan; 2) saat mengambil sebuah lidi menyebabkan lidi lain bergerak, berarti mati; 3) batang lidi lurah bisa dipakai untu mengambil nyuthik batang lidi lainnya; nilai sebatang lidi, misalkan 10, 20, dan seterusnya; 4) batas nilai finish (mendapat sawah) disekapati bersama, misalkan 500, 1.000, dan sebagainya); bagi yang paling sedikit mendapat nilai, dianggap kalah (boleh dengan hukuman atau tanpa hukuman, sesuai kesepakatan).

Apabila dalam 1 kelompok dimainkan oleh 2 pemain, misal A dan B, maka keduanya bisa bermain saling berhadap-hadapan. Apabila B mendapat giliran pertama bermain, maka ia memegang 9 batang lidi. Dengan jarak sekitar 30 cm di atas lantai, pemain B melemparkan batang-batang lidi tersebut ke dalam kotak yang ada di hadapannya. Maka batang-batang lidi akan terlempar dan bertebaran di dalam kotak. Jika ada lidi yang terlempar di luar kotak atau berada di atas garis kotak, maka batang lidi tersebut dianggap diskualifiasi atau tidak diikutkan dalam penilaian saat itu juga.

Page 76: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus (editor), Depdikbud, 1980/1981, serta pengamatan pribadi

Ensiklopedi

LURAH-LURAHAN-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-25)

Pemain B mulai mengambil satu-persatu lidi-lidi yang berserakan di dalam kotak. Biasanya lidi-lidi yang berada terpisah diambil dulu untuk memudahkan mendapatkan nilai. Misal, pada tahap awal ini ada 3 lidi yang saling terpisah dan dapat diambil semuanya tanpa menyentuh lidi yang lain, maka pemain B sudah dapat mengumpulkan nilai 30. Pada tahap

selanjutnya, pemain B mulai mengambil lidi-lidi yang bertumpang tindih. Bisa menggunakan satu tangan atau dua tangan, tergantung teknik yang akan diambil. Biasanya agar lidi-lidi lain yang tertindih tidak ikut bergerak, maka pemain B harus menggunakan dua jari telunjuk pada masing-masing tangan. Masing-masing jari telunjuk digunakan untuk menjepit ujung sebuah lidi lalu diangkat. Misalkan pemain B dapat mengangkat lidi ke-4 yang berada ditumpukan paling atas tanpa menggerakkan lidi lain yang berada di bawahnya, maka ia dianggap berhasil dan mendapatkan nilai lagi dari lidi ke-4 dengan tambahan nilai 10. Selanjutnya ia mulai mengangkat lidi ke-5. Jika pada kesempatan ini, kebetulan yang mau diangkat adalah lidi lurah menyebabkan lidi lain bergerak, maka ia dianggap mati dan harus digantikan oleh pemain A. Untuk sementara pemain B mendapat nilai 40 dari 4 lidi yang bisa diambil tanpa menggerakkan lidi lainnya.

Pemain A mulai dari permainan awal, dengan memegang semua lidi berjumlah 9 buah, termasuk lidi lurah . Lalu dengan hati -hati semua lidi itu diangkat dan dilempar ke dalam kotak. Maka jika ada lidi yang terlempar di luar kotak atau berada di antara garis, misalkan ada 2 buah lidi, maka pemain B berhak mengambil lidi-lidi itu dan tidak diikutkan untuk bermain. Lalu pemain A mulai mengambil satu-persatu lidi yang berada di dalam kotak. Kebetulan juga, satu lidi yang terpisah itu adalah lidi lurah , maka dengan serta-merta ia berhak mengambil lebih duluan lidi lurah tersebut. Dari permainan awal ini, pemain A sudah mendapatkan nilai 20, karena lidi lurah dihargai nilai 20. Lalu pemain A melanjutkan mengambil lidi lainnya. Kebetulan pula lidi-lidi lainnya saling bertumpukan. Maka pemain A bisa

Page 77: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

menggunakan lidi lurah untuk membantu mengambil lidi-lidi yang bertumpukan agar tidak ikut bergerak. Caranya, lidi lurah dipegang dan diarahkan ke salah satu batang lidi yang tertumpuk di paling atas. Setelah itu dengan perlahan-lahan, lidi ditumpukan paling atas itu dicuthik (istilah Jawa) atau diungkit sehingga terlempar jauh. Jika dari hasil ini, lidi lain tidak tergerak, maka pemain A berhasil mencuthik . Maka ia dapat menambah nilai 10 dari lidi ke-2 yang diambil. Maka pemain A bisa melanjutkan. Jika cara berikutnya, ia menganggap cara yang terbaik dengan kedua ujung jari telunjuk, maka cara inilah yang digunakan untuk mengangkat lidi ke-3. Jika ia berhasil mengangkat lidi ke-3 maka ia kembali mendapatkan nilai 10. Tetapi ketika ia hendak mengambil lidi ke-4 tidak berhasil, karena menyebabkan lidi lainnya tergerak, maka ia dianggap mati dan pemain B kembali bermain. Untuk sementara pemain A mendapatkan nilai 40, berasal dari 2 lidi biasa (masing-masing bernilai 10), dan satu lidi lurah bernilai 20.

Begitu seterusnya pemain B memulai dari awal lagi. Setelah itu dilanjutkan pemain A lagi. Lalu, nilai-nilai dari setiap babak itu dikumpulkan oleh masing-masing pemain. Jika ternyata, semisal pemain B sudah mendapat nilai melebihi ketentuan finish/puncak 1000, maka pemain B dianggap sebagai pemenang. Sementara pemain A yang baru mendapat nilai 680, misalnya, terpaksa dianggap sebagai pemain kalah. Jika di awal mereka sepakat tidak ada hukuman bagi yang kalah, maka permainan bisa dilanjutkan. Jika ada pemain lain, misalkan pemain C ikut bergabung, dipersilakan.

Permainan lurah-lurahan membutuhkan kecermatan dan kejujuran. Setiap anak yang bermain cermat, maka dapat mengumpulkan nilai banyak. Selain itu anak diharapkan dapat bermain jujur. Jika memang ia bermain salah harus segera memberitahukan kepada temannya bahwa dirinya mati walaupun sebenarnya teman lainnya kadang tidak sempat memperhatikan dengan seksama. Sementara itu, pemain lain yang belum mendapat jatah bermain harus sabar menunggu apabila seorang pemain lain sedang mendapat giliran. Kesabaran inilah yang dituntut dalam permainan ini. Setiap anak tidak boleh dengan seenaknya memaksakan kehendak. Karena jika itu terjadi, maka permainan akan kacau dan bubar, sehingga harmoni permainan terganggu. Memang, semua permainan kolektif biasanya membutuhkan kepedulian dari masing-masing peserta untuk mendudukkan dirinya secara proporsional. Tidak boleh ingin mencari menang sendiri atau egois.

Anda ingin mengajarkan permainan ini ke anak-anak atau saudara-saudara Anda? Cobalah untuk mempraktikkannya, pasti akan seru!

Page 78: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Rakyat DIY・, Ahmad Yunus (editor), Depdikbud, 1980/1981, serta pengamatan pribadi

Ensiklopedi

DHUL-DHULAN-1 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-26)

Penamaan permainan anak tradisional Jawa kadang aneh-aneh. Seringkali nama-nama itu muncul secara kebetulan dan tidak mencerminkan pada nama alat permainan yang dipakai. Salah satu nama permainan yang sulit dilacak dalam kamus adalah permainan Dhul -Dhulan . Walaupun

jenis permainan ini sudah lama dikenal oleh masyarakat Yogyakarta (terutama di daerah Imogiri) sekitar 80 tahun yang lalu, namun ternyata nama permainan itu tidak dijumpai di dalam kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminto (1939). Namun begitu, keberadaan jenis dolanan ini justru pernah dibahas dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sukirman Dharmamulya, dkk. (2004).

Kata Dhul-Dhulan yang dipakai dalam permainan ini, sekiranya diambil dari suara yang diucapkan oleh pemain mentas atau pemain menang saat memasuki garis lingkaran tempat bermain. Dari sinilah kemudian muncul permainan dhul-dhulan untuk menyebut nama permainan ini. Namun begitu, permainan ini kadang juga disebut dengan nama gobag gendul atau gendul saja. Penamaan terakhir ini masih bisa dirunut dari tempat bermain yang berbentuk 2 lingkaran yang saling dihubungkan sehingga menyerupai gendul (dalam bahasa Indonesia artinya botol).

Permainan Dhul-Dhulan paling ideal dimainkan oleh 6-10 anak. Namun begitu bisa juga dimainkan kurang atau lebih dari permainan ideal. Dolanan ini bisa dimainkan oleh anak lak-laki, perempuan, atau campuran. Namun, sebaiknya anak-anak yang bermain dalam usia yang sebaya, misalnya umur 9—11 tahun atau 12—13 tahun. Dolanan ini termasuk permainan yang membutuhkan lahan cukup luas, setidaknya dengan ukuran 3x10 meter. Lahan yang biasa digunakan adalah halaman rumah, lapangan, atau halaman kebun. Apalagi zaman dulu, halaman rumah luas-luas, baik halaman depan rumah atau kebun (belakang rumah). Lahan yang digunakan, sebaiknya lahan yang rindang, kering, dan rata. Bisa berupa lahan tanah, tegel, keramik, dan lainnya.

Page 79: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Sementara waktu yang biasanya dipakai untuk bermain adalah waktu senggang, bisa pagi, siang, sore, atau malam hari. Begitu pula di saat-saat terang bulan, adalah waktu yang ideal untuk bermain permainan ini, seperti juga jenis permainan lain. Itu biasa dilakukan pada zaman dulu. Mungkin untuk waktu sekarang, tidak harus menunggu bulan purnama, sebab banyak gedung atau sekitar rumah yang terang benderang oleh cahaya lampu. Bisa juga dimainkan di halaman sekolah saat istirahat. Sayangnya, permainan ini tidak begitu populer bagi anak sekarang.

Selain lahan yang agak luas, dolanan ini tidak memerlukan peralatan lain untuk bermain. Hanya mungkin alat sementara yang digunakan untuk membuat gambar permainan, seperti kapur, batang kayu, air, atau bahkan hanya menggunakan ujung jari.

Anak-anak yang hendak bermain Dhul-Dhulan biasanya berkumpul dulu di halaman yang hendak dipakai untuk bermain. Misalkan ada 6 anak, sebut saja pemain A, B, C, D, E, dan F. Lalu mereka mulai menggambar dua lingkaran yang dihubungkan untuk bermain Dhul- Dhulan pada halaman yang dikehendaki. Setiap lingkaran dengan diameter sekitar 2,5 meter. Sementara jarak satu lingkaran dengan lingkaran lainnya sekitar 4—6 meter. Lalu kedua lingkaran dihubungkan dengan dua garis sejajar. Mereka bisa menggambar dengan kapur, kayu, krew eng, atau ujung jari, tergantung jenis lahannya.

Selesai membuat gambar permainan, mereka biasanya juga menyepakati peraturan secara lisan, di antaranya: 1) Kaki pemain dadi tidak boleh masuk ke dalam lingkaran; 2) Pemain yang mentas akan mati jika saat berada di luar lingkaran tersentuh oleh pemain dadi ; 3) Pemain mentas akan mati atau dadi jika saat berpindah lingkaran lain berada di luar garis penghubung; 4) Jika pemain mentas hendak beristirahat sebentar harus mengucapkan kata nas ; 5) Pemain mentas yang berpindah ke lingkaran lain, sebelum masuk harus mengucapkan kata dhul , jika tidak, maka pemain dadi berhak ngedhul duluan sehingga pemain yang lupa mengucapkan kata dhul tadi menjadi pemain dadi atau mati; 6) Jika ada pemain mentas di sebuah lingkaran, setelah dikelilingi 3 kali tidak pindah lingkaran, maka menjadi pemain dadi .

bersambung

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk., Kepel Pres Yogyakarta, 2004, serta pengamatan pribadi

Page 80: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Ensiklopedi

DHUL-DHULAN-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-26)

Begitulah, setelah menggambar model permainan pada lahan yang telah ditentukan serta menyepakati peraturan secara lisan, anak-anak segera memulai dengan hompimpah. Anak yang terakhir kalah dalam hompimpah menjadi pemain

dadi, misalkan pemain D. Sementara pemain A,B,C,E, dan F sebagai pemain mentas . Semua pemain mentas segera masuk ke salah satu lingkaran. Setelah itu, pemain D berada di luar lingkaran. Sekali-sekali pemain mentas menggoda dari dalam lingkaran, sementara pemain D berusaha meraih tangan, badan, baju, atau kaki pemain mentas, sambil menahan agar pemain mentas tidak bisa pindah ke lingkaran lain.

Namun, saat pemain D lengah, maka dengan serta-merta, pemain mentas yang agak jauh dari jangkauan pemain dadi, misalkan pemain A, segera berlari kencang meninggalkan lingkaran awal menuju ke lingkaran lainnya. Saat berlari ia harus berada di dalam di antara 2 garis penghubung. Jika ia berlari di luar garis itu, dianggap mati. Apabila masih berjarak dekat, bisa jadi pemain D akan mengejar pemain A. Apalagi jika pemain yang berlari tersebut memiliki kecepatan berlari di bawah kecepatan pemain A. Maka sebelum pemain A sampai di lingkaran lainnya dan ternyata dapat tersentuh oleh pemain dadi, tentu pemain A dianggap mati dan harus menggantikan posisi pemain D. Tetapi jika tidak terkejar, maka pemain A setelah masuk lingkaran lainnya harus segera mengatakan dhul sehingga terlepas dari kejaran pemain D.

Saat pemain D tidak bisa mengejar pemain A, maka pemain dadi tersebut bisa kembali ke lingkaran awal untuk kembali mengejar pemain-pemain yang masih terkurung di sana. Dengan cara yang sama, pemain D mulai berusaha kembali menghalang-halangi pemain lainnya yang hendak berpindah tempat. Ia pun harus berusaha sekuat tenaga agar pemain- pemain yang berada di lingkaran awal tidak bisa pindah. Kadang-kadang, untuk memancing, pemain di dalam lingkaran menggoda dan mendekat garis lingkaran. Apabila pemain dadi tergoda, maka pemain dadi ini bisa mencoba menggapainya dengan cara mengelilingi lingkaran dan berusaha menangkapnya. Dengan cara ini, maka pemain di dalam lingkaran segera mencuri kesempatan itu dengan berlari dan perpindah lingkaran.

Page 81: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Jika ternyata di dalam lingkaran awal tinggal satu pemain, misalkan pemain F, maka pemain dadi bisa mematikan pemain F yang berada di dalam lingkaran tersebut dengan mengelilinginya hingga tiga kali. Jika hingga tiga kali tersebut, pemain di dalam lingkaran tidak juga berpindah, otomatis pemain F berubah menjadi pemain dadi. Namun, apabila pemain F kemudian bisa berlari dan lolos hingga ke lingkaran lainnya dan mengatakan dhul maka terpaksa pemain D terus menjadi pemain dadi atau istilah lainnya dikungkung . Tetapi jika saat berlari, pemain F dapat tersentuh pemain D, maka pemain F dianggap mati dan harus menggantikan posisi pemain D. Begitulah seterusnya, permainan ini bisa dilakukan berulang-ulang hingga semua pemain menjadi bosan.

Setidaknya, dalam permainan ini biasanya pemain kalah atau yang dikungkung tidak mendapat hukuman. Namun begitu biasanya anak dadi yang lama tidak tergantikan akan merasa malu, karena merasa lemah. Itulah dunia anak-anak. Tetapi biasanya ejekan itu hanya bersifat sementara dan sesaat saja. Setelah anak-anak berganti permainan, biasanya mereka sudah melupakan kekalahan permainan sebelumnya.

Ada pelajaran menarik dari permainan dhul -dhulan ini. Setidaknya, anak- anak diajak untuk selalu mudah bersosialisasi dengan teman sebaya. Jika mereka terbiasa bersosialisasi, maka tidak akan tumbuh rasa canggung dan minder. Anak juga dididik untuk berjiwa besar dan tidak mudah marah, apalagi saat menjadi pemain kalah. Ia harus berusaha mengalahkan pemain lain sehingga ada kemauan keras untuk berusaha mengalahkan lawan (dalam arti positif). Dari segi fisik, permainan ini juga banyak bermanfaat, karena banyak gerak dengan cara berlari. Itulah sekelumit permainan dhul- dhulan yang sekiranya sudah sulit ditemui untuk saat ini.

Suwandi Sumber: Buku 撤ermainan Tradisional Jawa・, Sukirman Dharmamulya, dkk., Kepel Pres Yogyakarta, 2004, serta pengamatan pribadi

Ensiklopedi

EPEK-EPEK (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-27)

Masyarakat Jawa yang mengenal permainan (dolanan) anak dengan nama Epek-Epek di antaranya adalah masyarakat di wilayah Imogiri, Bantul dan Gunung Kidul. Bisa pula daerah lain di

Page 82: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Jawa juga mengenal jenis permainan ini, namun dengan nama yang berbeda. Merunut dari nama jenis permainan, yakni epek-epek, setidaknya mengacu pada anggota badan yang bernama telapak tangan. Dalam permainan ini, telapak tangan berperanan penting untuk bermain, yakni mematikan pemain yang mentas. Dengan nyablek atau menyentuh pemain mentas dengan telapak tangan atau epek-epek, maka pemain mentas tadi ikut menjadi pemain dadi. Itulah sebabnya, permainan ini disebut dengan nama epek-epek . Jenis permainan ini lebih banyak mengandung unsur lari, seperti permainan jeg-jegan, jethungan, dhul-dhulan, dan sebagainya.

Seperti jenis dolanan lain, permainan ini pun juga sulit untuk dilacak mulai kapan mulai dikenal dan beredar di masyarakat. Memang pada umumnya, jenis permainan yang masuk dalam warisan non-bendawi sulit dilacak keberadaannya, karena jarang diabadikan dalam bentuk tulisan. Ternyata, jenis permainan ini juga tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939). Namun begitu, menurut Sukirman Dharmamulya (2005) permainan ini telah lama dikenal oleh masyarakat di kedua wilayah tersebut.

Waktu yang biasa dipakai untuk bermain juga tidak berbeda dengan jenis dolanan lain. Setidaknya saat-saat waktu longgar sering dipakai oleh anak- anak untuk bermain, baik pagi, siang, sore, atau malam hari. Jika waktu libur biasa dilakukan pagi hingga sore hari. Jika di sekolah, bisa dilakukan waktu jam istirahat. Waktu malam hari, dulu sering dilakukan saat bulan purnama. Sementara lokasi yang diperlukan untuk permainan ini harus luas. Setidaknya halaman rumah yang ada di depan dan belakang, dahulu biasa dipakai untuk arena bermain. Jadi, masalah tempat tergantung kesekapatan anak-anak yang hendak bermain. Begitu pula usia anak-anak yang bermain, memang idealnya sebaya (setidaknya usia SD, 7—12 tahun), agar permainan seimbang. Permainan ini juga tidak membedakan jenis kelamin. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan bisa bersama-sama bermain bareng. Asalkan semua mematuhi aturan permainan dan konsekuen.

Permainan epek-epek termasuk dolanan yang diiringi lagu. Lagu itu biasa dinyanyikan di awal permainan. Syairnya, sebagai berikut: /Epek-epek si kancil mbeleh tekek/ sir gedebug ceklek/ si kancil nyolong timun/ timune ewer-ewer/ jenenge dower//. Lagu itu dinyanyikan sekali dalam setiap permainan. Setiap kali mengucapkan satu suku kata, maka pemimpin permainan terus menunjuk ke sejumlah pemain yang ikut dalam permainan ini secara bergantian searah jarum jam. Maka setelah pada akhir suku kata yaitu /wer/, maka anak yang kena nyanyian terakhir itulah yang menjadi pemain dadi.

Page 83: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Sebelum anak-anak bermain epek-epek biasanya mereka membuat aturan lisan, di antaranya: 1) keluar dari lokasi yang sudah ditentukan, berarti mati atau dis ; 2) pelantun lagu biasanya dinyanyikan dari pemain yang terakhir tersentuh pemain dadi, kecuali awal permainan (berdasarkan kesepakatan bersama); 3) pemain dadi adalah pemain yang ditunjuk bersamaan dengan berakhirnya nyanyian (suku kata terakhir wer pada kata dower ); 4) cara mematikan pemain mentas dengan cara nyablek dengan telapak tangan pada badan pemain lain. Jika hanya menyentuh baju dengan ujung jari tidak sah; 5) setiap pemain mentas yang baru saja dicablek, ia harus membantu pemain dadi sebelumnya untuk mengejar pemain lain yang masih mentas; 6) permainan berakhir apabila semua pemain telah tersentuh (tertangkap). Jika semua anak telah tertangkap, maka permainan dimulai lagi dari awal dengan menyanyikan lagu yang sama seperti di atas. Demikianlah aturan yang biasa disepakati secara lisan oleh anak-anak yang hendak bermain dolanan epek-epek .

bersambung

Suwandi

Ensiklopedi

EPEK-EPEK-2 (DOLANAN ANAK

TRADISIONAL-27)

Anak-anak yang hendak bermain epek-epek berkumpul di halaman, kebun, atau lapangan yang sudah ditentukan. Misalkan ada 7 anak, A, B, C, D, E, F, dan G yang hendak bermain, maka mereka segera berkumpul dan membentuk lingkaran. Salah satu anak misalkan C, sesuai dengan

kesepakatan atau penunjukan dari teman-teman lainnya, ia dijadikan sebagai pemimpin permainan. Lalu setelah semua siap berdiri melingkar, pemain C menyanyikan lagu epek-epek seperti di atas, yaitu /Epek-epek si kancil mbeleh tekek/ sir gedebug ceklek/ si kancil nyolong timun/ timune ewer-ewer/ jenenge dower//. Lalu apabila di akhir nyanyian, pemain B kebetulan pas yang ditunjuk pemain C beriringan habisnya lagu dengan suku kata /wer/, maka pemain B dianggap sebagai pemain dadi.

Kemudian pemain lain segera berlari menyebar ke berbagai sudut lokasi yang sudah ditentukan. Setelah hitungan 10 misalnya, maka pemain B mulai mengejar ke pemain mentas yang paling dekat dengan dirinya atau pemain

Page 84: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

yang dianggap mempunyai kemampuan berlari kurang cepat jika dibandingkan dengan dirinya. Misalkan, pemain yang dikejar pertama adalah pemain F. Maka pemain B segera mengejar pemain F ke manapun pemain F berlari. Mungkin karena sudah lelah dan kehabisan nafas, maka akhirnya pemain F bisa dicablek atau dipegang oleh pemain B. Kemudian mereka berdua segera bersepakat dan mulai mencari sasaran pemain mentas lainnya untuk ditangkap, misalkan pemain A. Karena pemain A mempunyai kecepatan lari di atas rata-rata, maka kedua pemain dadi tersebut mencari akal agar pemain A berlari ke arah sudut. Jika pemain A sudah terpojok tidak bisa bergerak kemudian pemain A dan F segera menangkapnya. Atau bisa jadi, pemain B dan F mengejar masing-masing pemain mentas hingga bisa menangkapnya. Begitu seterusnya. Jika ternyata dalam permainan pertama ini yang terakhir tertangkap adalah pemain E, maka ia berhak untuk menyanyikan tembang epek-epek dalam permainan berikutnya.

Apabila semua pemain mentas telah tertangkap, maka permainan dimulai dari awal lagi. Untuk kesempatan kedua ini, yang berhak menyanyikan lagu adalah pemain E, karena ia yang terakhir kali tertangkap. Lalu pemain lain membentuk lingkaran dan pemain E mulai menyanyikan lagu epek- epek seperti pada permainan awal. Demikian seterusnya, jika sudah ada yang dadi, maka pemain lain segera berlari seperti pada awal permainan. Permainan ini dilakukan berulang-ulang hingga semua pemain merasa puas. Jika sudah ada pemain yang merasa lelah atau bosan, permainan bisa dihentikan setelah ada kesepakatan bersama. Mungkin karena hendak bermain jenis lain, bisa jadi permainan epek-epek berhenti dan dianggap selesai.

Ada sisi positif dari permainan epek-epek ini, setidaknya memberi latihan kepada anak-anak untuk mudah bersosialisasi kepada teman-teman sebaya sehingga mudah saling berbagi dan mempunyai sifat tenggang rasa. Lalu pelajaran lain setidaknya juga melatih kepada anak-anak untuk bisa bersikap sportif dan bisa bekerjasama dalam setiap permainan. Jika harus menjadi pemain dadi, maka semaksimal mungkin harus bertanggung jawab dan mengejar pemain mentas hingga tertangkap. Begitu pula jika sudah ada dua atau lebih pemain dadi, maka diharapkan mereka bisa bekerjasama untuk berusaha menangkap pemain mentas lainnya. Permainan ini juga melatih anak-anak untuk senang berolahraga, setidaknya berlari. Dengan banyak bergerak, akan menyehatkan fisik anak-anak.

Page 85: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Mungkinkah permainan ini hingga saat ini masih dimainkan oleh anak-anak sekarang yang sudah disibukkan dengan pelajaran sekolah? Ataukah hanya tinggal menjadi kenangan masa lalu?

Suwandi Sumber: Sukirman Dharmamulya, dkk. 2004. Permainan Tradisional Jawa. Yogyakarta: Keper Press.

Ensiklopedi

DOLANAN ENDHOG-ENDHOGAN-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-28)

Kata endhog berasal dari bahasa Jawa. Padanannya dalam bahasa Indonesia adalah telur. Kata tersebut jika diulang menjadi endhog- endhogan, bisa berarti menyerupai telur. Begitu pula dalam permainan anak Jawa yang disebut dolanan endhog-endhogan ini bisa berarti suatu permainan yang memakai media alat berupa batu,

dan seolah-olah menganggap batu tersebut diupamakan seperti telur. Jadi, dalam permainan tersebut, batu diandaikan sebagai telur. Maka untuk menamai permainan tersebut, anak-anak Jawa menyebutkannya dolanan endhog-endhogan.

Permainan ini memang tidak terekam di dalam kamus bahasa Jawa (Baoesastra Djawa) karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939). Namun begitu, permainan ini pernah dimainkan pada tahun 1970-an di wilayah di Karesidenan Surakarta, terutama wilayah Kabupaten Sragen, tempat asal penulis. Pengalaman semasa kecil penulis bahkan pernah melakukan permainan ini. Pelacakan beberapa buku referensi permainan tradisional di Yogyakarta hingga saat ini belum pernah dijumpai. Mungkinkah dengan nama yang berbeda? Bisa jadi.

Permainan ini sebenarnya mudah dipraktikkan. Anak-anak yang biasa bermain dolanan ini umumnya campuran, bisa laki-laki dan wanita atau sejenis, perempuan atau laki-laki saja. Usia anak-anak yang bermain, umumnya usia anak sekolah dasar, antara 7—12 tahun. Dolanan endhog- endhogan minimal dimainkan oleh 3 anak, dan lebih ideal jika dimainkan antara 4—8 anak. Jika dimainkan 2 anak tidak ramai, permainan tidak akan berkembang baik, sementara jika dimainkan lebih dari 8 anak, akan membuat kasihan anak yang dadi . Mereka yang bermain bisa dari segala

Page 86: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

golongan, tidak harus dari anak-anak bangsawan atau orang-orang kaya. Apalagi jika di lingkungan masyarakat Jawa, yang biasanya profesi warganya berbeda-beda (buruh, petani, swasta, dsb.), maka sangat biasa memainkan dolanan ini.

Dolanan endhog-endhogan biasa dimainkan di tanah yang cukup lapang, seperti halaman kebun (belakang rumah), plataran (halaman depan rumah), atau lapangan. Namun, yang terpenting tempat bermain halamannya rata, rindang, dan penuh pepohonan. Fungsi rindang dan penuh pepohonan untuk menyembunyikan batu-batu. Permainan ini membutuhkan pencahayaan yang terang, makanya biasanya dimainkan pada waktu pagi, siang, atau sore hari. Sangat jarang dimainkan pada malam hari, untuk menghindari bahaya dari gigitan ular, sengatan kalajengking, dan binatang berbisa lainnya. Bisa juga jika anak-anak sedang beristirahat sekolah, biasanya dimainkan di halaman sekolah.

Permainan ini pun juga hanya membutuhkan alat bantu yang sederhana dan gratis, yaitu batu. Jika terpaksa tidak ada, bisa digantikan pecahan batu- bata atau sejenisnya, sebesar telur. Batu atau pecahan batu-bata mudah sekali diperoleh di sekitar alam tempat tinggal. Apalagi jika dekat sungai, sangat mudah sekali memperolehnya. Selain batu, tidak ada alat bantu lagi. Jumlah batu sesuai kesepakatan anak-anak yang hendak bermain. Semakin banyak pemain, jumlah batu untuk setiap anak semakin sedikit. Misalkan, ada 4 pemain, idealnya setiap anak mencari 4 batu. Jika ada 8 anak, sebaiknya setiap anak mencari 2 batu. Tetapi kesepakatan itu dikembalikan kepada anak-anak yang hendak bermain.

Seperti permainan tradisional yang lain, dalam permainan ini pun biasanya juga dilengkapi dengan peraturan secara lisan dalam bermain. Peraturan- peraturan itu, misalnya: 1) setiap anak harus mencari jumlah batu (dengan besaran hampir sama dengan telur) sesuai dengan ketentuan yang disepakati; 2) anak yang tersentuh oleh pemain dadi di dalam lingkaran akan menggantikan pemain dadi ; 3) batu -batu yang disembunyikan oleh pemain mentas tidak boleh keluar dari area yang ditentukan; 4) pemain mentas yang batunya ditemukan pertama kali menjadi pemain dadi berikutnya, dengan catatan, semua batu bisa ditemukan oleh pemain dadi ; jika pemain dadi menyerah mencari batu -batu yang disembunyikan, berarti ia menjadi pemain dadi lagi dalam permainan berikutnya. Demikian tadi beberapa peraturan lisan dalam permainan endhog-endhogan .

bersambung

Suwandi Sumber: Pengalaman dan pengamatan pribadi

Page 87: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Ensiklopedi

DOLANAN ENDHOG-ENDHOGAN-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-28)

Anak-anak yang hendak bermain dolanan endhog- endhogan, biasanya sudah berkumpul terlebih dahulu di tempat permainan yang biasanya sering dipakai untuk bermain, seperti halaman belakang rumah (kebun), halaman depan, atau di dekat lapangan. Setelah mereka berkumpul, misalkan ada 5 anak yang hendak memainkan dolanan ini,

maka atas kesepakatan bersama, setiap anak harus m encari 3 buah batu bulat berukuran sekitar telur ayam. Jika mereka semua sudah mendapatkannya, salah satu anak membuat lingkaran besar dengan garis diameter sekitar 2-2,5 meter. Cara membuat lingkaran bisa menggunakan kreweng atau patahan kayu, jika media lahan berupa tanah. Jika media lahan berupa ubin, tegel, atau cor, alat membuat lingkaran bisa menggunakan patahan genteng, batu bata, atau kapur. Setelah itu di tengah-tengahnya juga dibuat lingkaran kecil, kira-kira dengan diameter 30—50 cm.

Seorang anak yang telah selesai membuat lingkaran, bisa menyingkirkan alat menggaris tadi agak jauh, agar tidak mengganggu permainan. Kemudian semua anak menaruh batu ke dalam lingkaran kecil. Jika ada 5 pemain (misal: pemain A,B,C,D, dan E), maka akan terkumpul 15 batu. Setelah itu anak-anak melakukan hompimpah. Anak yang paling kalah (misal pemain B) dianggap sebagai pemain dadi. Sementara itu keempat anak lainnya (misal pemain A,C,D, dan E) dianggap sebagai pemain mentas (menang). Anak yang menjadi pemain dadi (pemain B) lalu segera ke dalam lingkaran kecil untuk menunggu batu-batu (yang dianggap seolah-olah sebagai telur) agar tidak diambil oleh para pemain menang. Sementara itu, para pemain yang menang (pemain A,C,D, dan E) berada di luar lingkaran.

Permainan segera dimulai, apabila pemain dadi (pemain B) memberi isyarat permainan bisa dimulai, misalkan dengan mengatakan siap atau lainnya. Para pemain menang sebisa mungkin menyebar ke empat penjuru. Kalau perlu ada yang selalu berada di belakang pemain dadi. Fungsinya, agar mudah mengambil telur-teluran dari arah belakang. Para pemain menang harus kompak menggoda pemain dadi. Misalkan jika pemain E sedang menggoda pemain B dari arah depan, diharapkan pemain B terpancing dan

Page 88: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

akhirnya mengejar pemain E. Saat pemain B mengejar pemain E, maka pemain menang lainnya berusaha untuk dapat mengambil endhog- endhogan baik dengan cara memakai tangan atau dengan cara disampar dengan kaki.

Sementara itu, saat pemain B mengejar pemain E dan bisa menangkapnya di area lingkaran, maka pemain E dianggap mati dan harus menggantikan pemain B. Namun jika saat menangkapnya di luar lingkaran (kebetulan pemain B hingga keluar lingkaran), maka dianggap tidak sah, berarti pemain B masih tetap menjadi pemain dadi. Sementara itu, ketika pemain B gagal dan kembali untuk mengamankan telur-telurnya dari pencurian (pengambilan pemain menang lainnya), bisa menangkap salah satu pemain yang sedang mengambil telur-teluran itu, misal pemain D, maka pemain D dianggap mati dan harus menggantikan pemain dadi. Namun, sebaliknya jika pemain D bisa meloloskan diri dari kejaran pemain B, sambil membawa telur-teluran (misalnya 4 batu), maka pemain D dianggap berhasil. Sisa batu terus diperebutkan oleh para pemain menang. Sementara itu pemain B terus berusaha mempertahankan telur-teluran yang masih tersisa di dalam lingkaran sambil menjaganya. Setiap pemain menang yang hendak mengambilnya, harus dikejar dan ditangkap. Singkat cerita, ketika pemain menang berhasil mengambil semua telur-teluran, maka pemain B harus masih tetap menjadi pemain dadi dan harus terpaksa melampaui tahap kedua, yakni mencari telur-telur.

Pada tahap kedua, anak-anak menang yang telah mendapatkan endhog-endhogan (misal, pemain A dapat 2, pemain C dapat 5, pemain D dapat 4, dan pemain E dapat 4 batu) segera menyembunyikan batu-batu itu ke semak-semak pepohonan atau di sela-sela tumpukan kayu atau bebatuan lainnya (sesuai dengan kesepakatan, misal masih dalam satu area). Sementara itu, pemain B segera menutup mata rapat-rapat sambil berhitung sampai hitungan ke 10 atau 20, sesuai dengan kesepakatan bersama. Hitungan tidak boleh terlalu cepat dan penutupan mata tidak boleh curang. Setelah semua pemain menang menyembunyikan batu-batu itu ke tempat yang mereka anggap aman, maka setelah hitungan ke 10 atau 20, pemain B mulai mencari batu-batu yang disembunyikan. Jika pemain B jeli, maka pasti akan ditemukan batu-batu itu. Namun, jika tidak jeli, maka akan kesulitan mencarinya.

Pemain B harus bisa menemukan semua batu-batu yang tersembunyi dan mengingat-ingat batu-batu yang pertama kali ditemukan. Jika pemain B bisa menemukan semua batu, maka batu-batu pertama yang ditemukan,

Page 89: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

misalkan, batu yang disembunyikan oleh pemain E, maka pemain E, pada giliran berikutnya menjadi pemain dadi. Namun, jika ada salah satu (beberapa) batu yang lama tidak dapat ditemukan oleh pemain B, dan pemain B sudah menyerah, maka pemain B akan menjadi pemain dadi untuk permainan berikutnya. Sementara semua batu yang sudah ditemukan dikumpulkan lagi. Begitu pula batu-batu yang belum sempat ditemukan, ditunjukkan kepada pemain B, dan selanjutnya dikumpulkan kembali ke dalam lingkaran. Setelah itu pemain B kembali menjadi pemain dadi. Begitu seterusnya permaianan endhog-endhogan berlangsung. Permainan akan berhenti apabila anak-anak merasa lelah atau bosan, dan ingin ke jenis permainan lainnya atau berhenti untuk istirahat.

Dolanan ini pun mencoba untuk mengajarkan kepada anak-anak sebuah nilai sportivitas dan kerjasama. Anak yang kalah harus tetap sportif walaupun kadangkala dikungkung hingga berlama-lama. Sikap sportif juga harus ditunjukkan oleh pemain lain. Semua pemain menang harus mengakui kalah atau kena jika memang bisa ditangkap oleh pemain kalah. Begitu pula pemain kalah harus benar-benar memejamkan mata (tidak boleh mengintip), saat semua pemain menang menyembunyikan batu-batu. Jika ada anak yang tidak melakukan sportivitas, maka biasanya akan dijauhi oleh anak-anak yang sportif. Ia tidak akan lagi diajak bermain bersama lagi atau bahkan dikucilkan. Begitu pula, nilai kerjasama sangat dibutuhkan untuk mengambil batu-batu yang dijaga oleh pemain dadi. Tanpa melakukan kerjasama, maka pemain dadi akan mudah menangkap pemain menang yang tidak kompak. Itulah sekelumit permainan endhog-endhogan yang pernah dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa di era tahun 1970-an di sebagian daerah di Jawa.

Suwandi Sumber: Pengalaman dan pengamatan pribadi

Ensiklopedi

DOLANAN ONCIT-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-29)

Apabila pemain dadi (pemain D) sudah limbung atau terhuyung-huyung saat berdiri, maka saat itulah para pemain menang yang bertugas menutup mata (pemain A), serta para pemain pemegang tangan dan kaki (pemain B,C,E, & F) segera berlari menjauh. Setelah beberapa saat

Page 90: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

pemain lain menjauh, maka pemain D segera mencari satu-persatu pemain mentas. Saat itulah, kelihatan sekali bahwa pemain D masih terasa pusing akibat didorong ke kanan ke kiri selama 2-4 menit. Setelah rasa pusing agak hilang, ia akan segera berlari dan mengejar para pemain mentas yang posisinya terdekat. Namun, penangkapan pemain tidak mudah, karena biasanya, para pemain menang sudah dalam posisi jauh dan sehat, sementara pemain dadi masih terpengaruh rasa pusing, sehingga larinya tidak maksimal. Mungkin membutuhkan waktu agak lama untuk dapat bisa mengejar dan menangkap semua pemain mentas. Ketika pemain dadi tidak segera bisa menangkap pemain mentas, maka dengan serta-merta para pemain mentas, biasanya akan terus mengejek (walaupun hanya sifatnya sementara) pemain dadi . Terdorong dari ejekan itulah, den gan sekuat tenaga, ia akan semaksimal mungkin mengejar pemain mentas hingga ada yang tertangkap.

Jika telah ada salah satu pemain mentas yang tertangkap, maka pemain yang baru saja tertangkap itu bisa istirahat atau membantu mengejar pemain mentas lainnya yang belum tertangkap. Namun, ketentuan itu harus disepakati dulu di awal permainan. Jika disepakati, pemain tertangkap ikut membantu mengejar, berarti penangkapan pemain mentas lainnya akan lebih cepat terselesaikan. Namun sebaliknya, jika dalam kesepakatan pemain yang baru saja tertangkap boleh beristirahat, maka permainan lebih lama membutuhkan waktu selesai. Jika akhirnya semua pemain mentas bisa tertangkap, maka permainan dimulai dari awal.

Pada permainan kedua ini, pemain yang tadinya mentas, bisa secara sukarela untuk mencoba menjadi pemain dadi . Atau, bisa jadi setelah dilakukan hompimpah di awal permainan, gantian pemain kalah nomor urutan dua yang harus menggantikan pemain dadi . Selanjutnya tahapan sama dengan permainan awal, pemain dadi ditutup matanya dan dipegang tangan dan kakinya. Setelah itu didorong atau ditarik ke kanan dan ke kiri sambil menyanyikan lagu oncit . Permainan akan berulang begitu terus-menerus, sehingga para pemain merasa lelah atau bosan. Dalam permainan ini tidak ada hukuman bagi pemain kalah apalagi yang dikungkung (pemain dadi secara terus-menerus). Mungkin hukuman hanya sebatas ejekan sesaat. Biasanya setelah usai permainan, ejekan akan berhenti dengan sendirinya.

Dolanan oncit memberi pelajaran kepada anak, bahwa anak harus mempunyai sifat sportif dan bandel, apalagi saat kalah. Sebab jika tidak, maka ia akan mudah menangis, dan berarti menjadi anak cengeng. Anak cengeng biasanya akan dijauhi oleh anak-anak dalam permainan berikutnya.

Page 91: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Apalagi jika saat menjadi pemain dadi si anak berbuat tidak sportif, bisa saja ia lalu melarikan diri, lepas dari tanggung jawab. Jika demikian, jelas ia akan menjadi cercaan anak-anak lainnya. Permainan ini juga mengajarkan anak agar mempunyai katangkasan dan kecepatan berlari. Anak-anak yang sering berlari (dengan cermat, tidak mudah jatuh) akan mempunyai badan sehat. Dan yang jelas, dolanan ini menuntut anak-anak untuk dapat bersosialisasi dan bekerja sama dengan baik. Tanpa keduanya, jelas dolanan ini tidak akan bisa dimainkan bersama.

Begitulah sekelumit kisah permainan oncit yang dulu pernah jaya dimainkan oleh anak-anak di masyarakat Jawa.

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981, Yogyakarta: Depdikbud DIY

Ensiklopedi

DOLANAN LOWOK-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-30)

Dolanan lowok adalah sebuah permainan tradisional yang juga pernah hidup di masyarakat Jawa dan dialami oleh anak-anak di era sebelum tahun 1980-an. Biar pun untuk saat ini, dolanan tersebut sudah asing bagi sebagian besar anak- anak Jawa di masa sekarang, tetapi tidak ada

jeleknya jika kita berusaha mengenal kembali sepintas dolanan lowok. Di daerah DIY, setidaknya dolanan ini pernah dijumpai di daerah Kulon Progo, tepatnya di Kelurahan Jatimulyo dan Giripurwo, Kecamatan Girimulyo (Ahmad Yunus, 1980/1981: hlm. 21-22). Dolanan ini juga sering disebut dengan istilah wok, lowokan, wokan, atau legokan. Istilah -istilah tersebut mengacu pada pengertian lubang. Memang dalam permainan ini, salah satunya adalah menggunakan sebuah media tanah yang digali sehingga terbentuklah lubang atau cekungan kecil. Hampir mirip dalam olahraga golf.

Namun begitu, istilah lowok juga mempunyai arti lain, seperti dalam kamus Bahasa Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939) halaman 283 berarti kosong atau belum terisi penuh. Namun kiranya, keduanya memiliki kemiripan arti, dalam hal suatu tempat atau lubang. Dalam kamus itu, sama sekali tidak menyinggung jenis permainan tradisional. Mungkin sekali,

Page 92: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

masyarakat dua kelurahan itu mengambil nama lowok, dari hasil kesepakatan mereka sendiri.

Berbeda dengan jenis dolanan yang sudah disampaikan terdahulu, dolanan lowok mengandung unsur taruhan. Namun sebenarnya unsur taruhan ini bisa dihilangkan, dengan cara mereka bersama-sama mengumpulkan bendanya lalu dibagi rata. Setelah selesai dikumpulkan kembali untuk permainan berikutnya. Taruhan ini pun sebenarnya juga telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Pada awal dikenalnya, alat taruhan yang digunakan berupa buah jirak atau miri. Namun, setelah dikenalnya gelang karet, alat taruhan berupa gelang karet. Itulah sebabnya, dolanan ini termasuk dolanan yang menggunakan alat. Selain gelang karet, para pemain juga menggunakan pecahan kreweng (genting) sebagai gacuk. Jadi, dolanan lowok membutuhkan alat atau media bermain berupa gacuk dan sejumlah karet untuk setiap pemain.

Dalam sejarahnya, dolanan ini biasa dimainkan dan digemari oleh anak-anak perempuan. Hal ini sesuai dengan sifat permainan yang tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik. Dolanan ini lebih melatih ketenangan dan ketrampilan. Selain itu, dolanan lowok juga lebih mengutamakan sifat kompetitif di antara para pemainnya. Dalam perkembangannya, dolanan lowok bisa juga dimainkan oleh anak laki-laki atau campuran yang usianya sekitar 8—13 tahun. Usia tersebut sudah dianggap memahami aturan permainan. Sebaiknya dalam permainan ini diikuti oleh peserta antara 3-6 anak, agar tidak terlalu melelahkan menunggu giliran berikutnya.

Tidak jauh berbeda dengan jenis dolanan yang sering dilakukan oleh anak-anak kecil, dolanan ini pun seringkali dimainkan di saat waktu senggang, bisa pagi, siang, atau sore hari. Asalkan tidak mengganggu waktu sekolah atau membantu orang tua. Sebaiknya dilakukan di area kebun atau halaman yang masih tanah. Tujuannya untuk memudahkan membu at lubang lowok. Karena membutuhkan waktu terang, maka dolanan ini jarang dilakukan pada malam hari. Biar pun dilaksanakan di siang hari, sebaiknya dimainkan di halaman kebun yang banyak ditumbuhi pohon-pohon perindang, agar dolanan bisa lebih tenang, terhindar dari cuaca panas.

Sebelum anak-anak bermain dolanan lowok, biasanya juga ada kesepakatan lisan di antara mereka yang bermain. Kesepakatan lisan yang biasa disepakati, adalah: 1) waktu melempar gacuk atau karet gelang, kaki tidak boleh melewati garis yang sudah ditentukan; 2) jika ada 2 gacuk atau lebih berjarak sama dengan lubang, harus diulang; 3) jika ada gacuk yang

Page 93: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dikenai, maka gacuk itu harus diulang; 4) taruhan gelang karet disepakati bersama dalam setiap bermain; 5) karet yang dipakai untuk taruhan harus berkualitas baik.

Setelah anak-anak memahami aturan lisan, maka mereka bersiap-siap untuk bermain. Pada tahap awal, ada seorang anak yang membuat lubang tanah, dengan kedalaman sekitar 5 cm dan diameter 5-10 cm. Setelah itu, seorang anak lain membuat garis melintang dengan jarak lubang sekitar 2-3 meter, diberi nama garis x. Lalu membuat sebuah garis melintang lain 1-2 meter di belakang garis X, dan kemudian diberi nama garis Y.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981, Yogyakarta: Depdikbud DIY

Ensiklopedi

DOLANAN LOWOK-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-30)

Dolanan Lowok kali ini misalkan dimainkan oleh 5 anak, masing-masing pemain A,B,C,D, dan pemain E. Mereka masing-masing sudah membawa sebuah kreweng atau pecahan tembikar sebagai gacuk. Lalu, mereka juga harus sudah sepakat untuk masing-masing pemain mengumpulkan 5 gelang karet. Sehingga, dari 5 pemain terkumpul 25

gelang karet. Kemudian, saat memulai bermain, mereka berdiri di belakang garis Y (garis terjauh). Semua pemain melemparkan gacuknya ke arah lubang atau lowokan. Sedapat mungkin, gacuk-gacuk itu dilemparkan sedekat lowokan. Bagi pemain terdekat gacuknya, misalkan pemain B, maka pemain B nantinya berhak untuk mendapat giliran pertama melempar karet. Kemudian gacuk terdekat kedua hingga urutan kelima, misalkan pemain C,E, D, dan A.

Karet gelang berjumlah 25 buah kemudian diserahkan kepada pemain B. Tahap selanjutnya, pemain B melempar semua karet itu dari garis Y ke arah lubang lowokan. Jika ada karet yang masuk ke lubang lowokan (misalkan 3 buah), maka karet gelang yang masuk itu menjadi miliknya. Sementara karet-karet gelang lainnya kembali dikumpulkan. Tahap selanjutnya, pemain

Page 94: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

B mulai melempar lagi karet-karet gelang. Tetapi kali ini, ia melempar dari garis X (garis yang terdekat) karena pada lemparan sebelumnya, ada karet yang masuk dalam lubang. Demikian seterusnya, jika ada karet gelang yang masuk, maka menjadi miliknya. Apabila pada kesempatan ke-4, pemain B sudah tidak dapat memasukkan karet gelang ke lubang lowokan, maka giliran pemain kedua bermain, yaitu pemain C.

Pada permainan awal, pemain C juga melempar karet-karet gelang dari belakang garis Y ke arah lubang lowokan. Jika pemain C pada lemparan pertama bisa memasukkan sejumlah karet gelang ke dalam lowokan, maka bisa diteruskan melempar dari belakang garis X (garis terdekat). Jika ia sudah tidak dapat memasukkan karet gelang, maka diganti pemain giliran ketiga. Demikian seterusnya permainan akan berjalan. Namun seandainya, pada giliran pemain keempat, yakni pemain D, karet gelang sudah habis, maka permainan diawali dari permulaan, yakni melempar gacuk (pecahan tembikar/genting) ke arah lubang lowokan. Dan, sebelumnya setiap pemain sudah kembali mengumpulkan 5 atau 10 karet gelang (sesuai kesepakatan berikutnya).

Dolanan akan berhenti jika sudah ada anak (pemain) yang banyak mendapatkan karet gelang dan sebagian pemain lain sudah kehabisan karet gelang. Atau bisa juga, dolanan akan berhenti jika ada anak yang merasa lelah, bosan, atau capek, sehingga terpaksa dolanan harus berhenti dan mungkin hendak bermain ke jenis dolanan yang lain. Mereka yang banyak mendapatkan karet gelang dianggap sebagai pemenang, sementara yang karet gelangnya habis dianggap sebagai pemain kalah. Bagi pemain kalah tidak ada hukuman, kecuali karet gelang miliknya habis dan berpindah menjadi milik pemenang.

Intinya, dolanan lowok sebenarnya melatih ke setiap anak untuk selalu trampil, sabar, dan mudah bergaul. Jika mereka bisa bersosialisasi dengan teman, maka mereka bisa memahami keinginan teman yang mempunyai beraneka ragam watak. Mereka dilatih untuk bermain sabar, jika belum waktunya mendapat giliran bermain, terpaksa harus mau menunggu hingga saatnya bermain. Sementara melatih ketrampilan, bagi anak agar bisa memenangkan dolanan itu sendiri. Terlepas dari unsur taruhan (bisa disiasati dengan mengumpulkan jadi milik bersama), sebenarnya dolanan ini sebagai ajang bagi anak untuk bersosialisasi kepada teman, agar mereka saling mengenal satu sama lain, sehingga melatih mereka untuk saling memahami dan menghargai perbedaan masing-masing watak.

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981, Yogyakarta: Depdikbud DIY

Page 95: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Ensiklopedi

DOLANAN SLIRING GENDHING-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-31)

Ada banyak dolanan anak masyarakat Jawa yang penamaannya berdasarkan lagu-lagu yang mengiringinya, termasuk dolanan Sliring Gendhing. Menurut Kamus bahasa Jawa (atau Baoesastra Djawa) karangan WJS. Poerwadarminta (1939) halaman 568, kata sliring dengan akhiran /an/ berarti berpapasan atau berselisih sedikit.

Sementara gendhing berarti lagu. Kiranya, dolanan ini memang membutuhkan sebuah lagu dalam mengiringi permainan yang dilakukan dengan cara berputar pada satu titik tumpu. Pada beberapa daerah lain, seperti di sekitar Surakarta Jawa Tengah, dolanan ini dikenal dengan nama permainan Blarak Sempal. Blarak Sempal berarti pelepah daun kelapa yang lepas dari batangnya dan jatuh ke tanah. Kiranya bisa dimaklumi, karena dalam permainan ini, ada sebagian anak yang bergelantungan di antara pemain yang berdiri, dan anak yang bergelantungan itu akhirnya berjatuhan. Proses seperti itu diibaratkan seperti blarak yang sempal. Di daerah lain, juga kadang disebut dengan permainan trim -triman. Trim- triman adalah semacam permainan komedi putar yang sering dijumpai di pasar malam, ketika ada perayaan tertentu, seperti Sekaten atau Cembengan (awal giling tebu). Memang, anak-anak yang bermain sliring gendhing ini nantinya dalam permainan melakukan gerakan-gerakan berputar. Itulah beberapa nama yang sempat berkembang di masyarakat kaitannya dengan dolanan sliring gendhing dan cukup populer di era sebelum perkembangan televisi dan media elektronik lainnya.

Seperti halnya jenis dolanan lain, dolanan Sliring Gendhing ini sebenarnya sebagai media bergaul atau bersosialisasi di antara anak-anak ketika mereka sedang ada waktu senggang, tidak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan lain, seperti membantu pekerjaan orang tua dan bersekolah. Maka waktu untuk bermain pun menyesuaikan, bisa pagi, siang, sore, atau malam terang bulan. Tempat yang dipakai untuk bermain, biasanya cukup datar, terang, dan nyaman. Luas tempat bermain sekitar 4x4 meter atau lebih luas lebih baik. Memang sebaiknya di lahan tanah, agar anak-anak yang berjatuhan tidak mengalami lecet-lecet.

Page 96: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Dolanan Sliring Gendhing biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, perempuan, atau campuran. Minimal dimainkan oleh 4 anak hingga 8 anak. Yang penting dolanan ini dimainkan dalam jumlah genap, tidak boleh ganjil. Jika yang bermain lebih dari 8 anak, sebaiknya dijadikan 2 kelompok. Usia anak-anak yang bermain biasanya usia 8-12 tahun. Namun kadang-kadang juga ada anak-anak usia yang lebih kecil atau lebih besar ikut -ikutan bermain Sliring Gendhing.

Dolanan ini termasuk dolanan yang mudah dilakukan dan dipraktikkan oleh anak-anak. Tidak banyak membutuhkan alat dolanan, kecuali sebuah tabon atau kulit kelapa yang cukup besar dan utuh. Kulit kelapa biasa diperoleh dari orang tua yang mengupas kelapa memakai linggis. Nantinya kulit kelapa ini dipakai oleh anak-anak yang mentas untuk tempat bertumpunya tumit-tumit kaki. Selain kulit kelapa, hanya dibutuhkan sebuah lirik lagu untuk mengiringi dolanan, seperti berikut: //sliring gendhing suling/ rangu- rangu mbang sikatan/ sikatane Jairana/ renteng-renteng kaya kreta/ adhuh biyung tulung/ aja nulung-nulung kembang/ nulungana jadah jenang//.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press; dan pengalaman langsung

Ensiklopedi

DOLANAN SLIRING GENDHING-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-31)

Anak-anak yang hendak bermain dolanan Sliring Gendhing apabila telah sepakat hendak memulai permainan, maka mencari tempat yang teduh, rata, dengan ukuran luas halaman minimal sekitar 3 x 3 meter. Apabila telah menemukan tempat yang cocok, maka semua pemain, misalkan ada 8

anak (A,B,C,D,E,F,G, dan H), segera memulai mencari pasangan bermain. Maka ada 4 pasangan bermain. Masing-masing pasangan melakukan sut . Pemain yang menang bergabung, misalkan terdiri dari pemain A,B,C, dan D. Demikian pula pemain kalah bergabung, misalkan terdiri dari pemain E,F,G, dan H. Kemudian salah satu pemain kalah, menyiapkan tabon atau kulit kelapa dan diletakkan di tengah-tengah halaman yang dipakai untuk bermain.

Page 97: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Anak-anak yang menang sut disebut pemain mentas. Mereka berhak untuk diayun dan menempatkan kaki-kakinya di tabon. Sementara pemain kalah sut bertugas memegang tangan pemain menang dan mengayun-ayun sambil berputar. Keempat anak-anak mentas segera menempatkan tumit- tumit kakinya di tabon. Sementara anak-anak kalah berada di sela-sela mereka sambil memegang tangan-tangannya. Setelah membentuk seperti komedi putar, anak-anak dadi segera berputar-putar ke arah kanan (berkebalikan dengan arah jarum jam) sambil memegang tangan -tangan pemain mentas dan menyanyikan lagu sliring gendhing seperti tercantum di atas. Jika lagu sliring gendhing itu telah selesai dan anak- anak yang bergelantungan tidak ada yang terjatuh, maka lagu sliring gendhing dinyanyikan lagi. Kali ini pemutaran lebih cepat sehingga kemungkinan ada anak mentas yang bergelantungan tadi yang terjatuh, mungkin akibat pusing atau tidak seimbang lagi.

Jika ada salah satu pemain mentas yang akhirnya terjatuh, maka permainan untuk sementara waktu berhenti. Semua pemain mentas segera berdiri untuk menggantikan kedudukan pemain kalah . Begitu pula untuk pemain yang terjatuh segera bangun dan ikut berdiri. Posisi pemain berganti. Sekarang, pemain kalah E,F,G, dan H berhak untuk diayun. Mereka segera menempatkan kaki-kakinya di kulit kelapa dan tangan-tangannya dipegang oleh pemain yang berdiri di sela-selanya. Pemain A,B,C, dan D setelah memegang tangan para pemain E,F,G, dan H, segera mengayun-ayun sambil memutar-mutar seperti pada permainan awal, sambil menyanyikan lagi lagu sliring gendhing . Begitu berulang- ulang. Apabila ada sebuah kelompok yang tangguh sehingga sulit jatuh, itulah menjadi pemain yang menang. Permainan akan berhenti jika ada anak yang merasa capek atau lelah. Bisa jadi beberapa anak lain ingin berpindah ke dolanan lain.

Permainan sliring gendhing mengajarkan kepada anak-anak untuk menjaga kekompakan. Selain itu, dolanan ini juga mengajarkan agar anak- anak dapat bersosialisasi dengan teman lainnya. Mereka diharapkan bisa saling menghargai dalam permainan. Jika ada kelompok yang dadi , maka satu kelompok diharapkan kompak, tidak boleh ada rasa iri di antara satu kelompok. Sebab jika saling menyalahkan, berarti satu kelompok itu tidak kompak. Artinya, untuk mengalahkan kelompok lawan akan semakin sulit. Itulah pentingnya menjaga kekompakan antar pemain dalam kelompok. Selain itu, anak-anak diharapkan mempunyai sifat bandel, tidak cengeng. Sebab permainan ini membutuhkan kekuatan dan ketahanan fisik. Anak yang tidak bandel, jika jatuh pasti akan menangis sehingga merugikan

Page 98: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kelompoknya, apalagi jika terus meminta berhenti. Maka dolanan sliring gendhing membutuhkan kekompakan anggota-anggotanya.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press; dan pengalaman langsung

Ensiklopedi

DOLANAN GAJAH TELENA (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-32)

Jenis permainan yang satu ini juga termasuk dolanan yang tidak menggunakan peralatan bantu untuk bermain, cukup terkenal di beberapa daerah di masyarakat Jawa, dan sering pula dimainkan oleh anak-anak usia SD. Namun begitu, seperti

juga dolanan lainnya, dolanan ini juga diiringi dengan sebuah lagu, yakni: //Gajah-gajah telena/ telenane garunata/ jenang katul sisir gula/ her segara amba/ her segara amba//. Melihat dari namanya, dolanan ini memang terinspirasi dari nama hewan gajah. Dalam peperangan seperti dalam cerita wayang, gajah merupakan salah satu hewan yang dipakai tunggangan untuk bertempur melawan musuh. Dari situlah, kemudian anak-anak masyarakat Jawa membuat permainan yang diberi nama Gajah Telena . Sementara kata telena ada yang menyamakan persepsi dengan tlale atau belalai gajah. Memang gajah mempunyai belalai. Kata telena sendiri sebenarnya setelah dilacak di Kamus Baoesastra Djawa tidak ditemukan.

Dolanan Gajah Telena dimainkan secara berkelompok. Pada umumnya, dolanan ini dimainkan oleh anak laki-laki karena memerlukan kekuatan fisik. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 anak sebaya. Minimal ada dua kelompok, yang nantinya kedua kelompok itu saling berhadapan untuk saling menyerang. Dilakukan di tempat terbuka dan biasanya di tanah lapang atau kebun bertanah, berumput, atau berpasir, agar jika terjatuh, pemain tidak begitu terasa sakit. Maka dolanan ini sangat jarang dimainkan oleh anak perempuan. Waktu yang sering dipakai adalah waktu senggang, baik siang atau sore hari. Bisa pula dimainkan saat terang bulan purnama.

Sebelum anak-anak bermain gajah telena, biasanya ada aturan lisan yang disepakati bersama, kaitannya dengan permainan, seperti: mereka hanya boleh menjatuhkan lawan dengan cara mendesak, menarik, dan mendorong. Sebaliknya, para pemain tidak diperbolehkan menjatuhkan lawan dengan

Page 99: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

cara merenggut (njambak) rambut, menendang, menyepak, mencupit, dan memukul. Bagi kelompok yang terjatuh duluan, itulah kelompok yang dianggap kalah. Bagi kelompok kalah tidak ada hukuman. Hanya biasanya mereka mengganti formasi dan berusaha menantang kembali. Dolanan ini akan berhenti apabila ada anak (kelompok) yang menyerah, telah lelah, capek, atau ingin berpindah ke dolanan lain.

Anak-anak yang hendak bermain gajah telena biasanya sudah berkumpul di tempat bermain. Misalkan ada 8 anak (pemain A,B,C,D,E,F,G, dan H), kemudian mereka dibagi menjadi dua kelompok I dan II. Kelompok I terdiri dari pemain A,B,C, dan D. Sementara kelompok II terdiri dari pemain E,F,G, dan H. Masing-masing kelompok agak saling berjauhan. Masing-masing kelompok kemudian bersepakat untuk menentukan formasinya, siapa yang hendak jadi gajah dan siapa yang hendak jadi penunggang. Setelah disepakati, misalkan kelompok I sebagai formasi gajah adalah pemain A,B, dan C. Sementara pemain D sebagai penunggang gajah. Demikian pula kelompok II sebagai formasi gajah adalah E,F, dan G. Sementara pemain H sebagai penunggang gajah. Masing-masing kelompok yang bertugas menjadi gajah segera membentuk formasi dengan cara tangan-tangan dirangkaikan. Setelah itu pemain yang menunggang gajah segera naik ke bentuk formasi itu. Setelah siap, mereka bersama-sama dengan anak-anak yang menonton menyanyikan lagu gajah telena seperti di atas. Bisa dinyanyikan sekali atau dua kali, tergantung situasinya. Apabila mereka lama saling menjajagi kekuatan lawan dengan berputar-putar lebih dulu, maka nyanyian gajah telena bisa dinyanyikan berulang-ulang. Setelah mereka saling menyerang, maka pemain konsentrasi dalam penyerangan. Sementara para penonton, yang umumnya anak-anak akan saling menjerit, menjagokan idolanya masing-masing.

Mereka, para penonton akan terus bersorak-sorai dan memberi dukungan ke kelompoknya masing-masing. Sementara para pemain masing-masing kelompok dengan sekuat tenaga berusaha menjatuhkan lawannya. Apabila ada kelompok yang terjatuh, misalnya kelompok I, maka mereka dianggap kelompok kalah. Jika sudah ada kelompok yang terjatuh, maka penonton akan tambah seru bersorak-sorai, ada yang kegirangan, sebaliknya ada yang terus mengompori untuk terus kembali menyerang lawan.

Untuk selanjutnya, kelompok I bisa mengubah formasi. Setelah siap, mereka mulai menyerang kembali kelompok II. Jika pada serangan kedua ini, kelompok II bisa menjatuhkan kelompok I, maka dianggap kedudukan

Page 100: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

satu-satu. Demikian seterusnya, hingga keduanya merasa lelah. Jika mereka memutuskan untuk berhenti bermain, maka mereka membubarkan diri.

Itulah sekelumit dolanan gajah telena yang sekarang sudah sangat jarang ditemui di dunia dolanan anak-anak, kecuali mungkin masih tampak dalam festival dolanan anak. Dolanan tersebut sebenarnya sebagai salah satu ajang bersosialisasi bagi anak-anak sebaya di kampung.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN GOWOKAN-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-33)

Jenis permainan yang satu ini juga tidak membutuhkan peralatan bantu dolanan kecuali lagu, yaitu dolanan Gowokan. Ternyata nama dolanan ini sebenarnya perubahan dari nama Kuwukan. Nama Kuwukan sendiri berasal dari kata dasar kuwuk, mendapat akhiran /-an/. Menurut kamus bahasa Jawa karangan W.J.S.

Poerwadarminta halaman 241, arti kuwuk adalah sejenis kucing hutan. Kucing jenis ini lebih liar dan rakus makanannya, seperti suka anak ayam dan ayam. Dari kata kuwuk, ke kuwukan, artinya seolah-olah seperti kuwuk. Dan akhirnya kata itu mengalamai perubahan vokal menjadi kowokan, dan mengalami perubahan konsonan lagi, akhirnya berubah menjadi gowokan. Memang dalam dolanan itu, ada pemain yang seolah-olah menjadi binatang kuwuk, dan ada pula pemain yang seolah-olah menjadi mangsanya, yaitu (anak) ayam. Binatang kuwuk dalam dolanan itu, diibaratkan sedang berusaha menangkap mangsanya (anak ayam) yang sedang berada di kurungan. Sementara pemain lain berperan menjadi kurungan.

Dolanan ini juga sering disebut juga dengan nama wulungan. Wulung berarti burung elang. Permainan tidak jauh berbeda, hanya penyebutan saja yang berbeda. Dalam dolanan wulungan, seorang pemain bermain seolah-olah menjadi wulung (seekor elang), seorang pemain menjadi anak ayam, dan pemain lainnya berperan sebagai kurungan. Permainan lain yang sejenis adalah kucing-kucingan. Dalam dolanan kucing-kucingan, seorang pemain berperan seolah-olah menjadi kucing, seorang pemain lain menjadi tikus,

Page 101: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dan pemain lain berperan sebagai kurungan. Bisa jadi di tempat lain dengan nama lain pula. Yang pasti dolanan ini menyebar di kalangan anak-anak Jawa pada tempo dulu.

Dolanan Gowokan biasa dimainkan oleh anak laki-laki, karena perlu tenaga ekstra untuk berlari. Namun anak perempuan bisa pula ikut, jadi bisa dimainkan campuran, antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka biasanya berumur di antara 9-14 tahun, dan bermain dalam kelompok besar, idealnya antara 6—20 anak. Halaman yang diperlukan harus luas, setidaknya 10 x 20 meter, bisa di halaman kebun, halaman depan rumah, atau tanah lapang. Lebih bagus lagi jika halaman tersebut ditumbuhi pohon- pohon yang rindang, sehingga anak-anak bisa sambil berteduh atau berlari di antara pepohonan.

Misalkan ada 10 anak yang bermain, yaitu A,B,C,D,E,F,G,H,I, dan J. Mereka terlebih dahulu melakukan hompipah. Dua pemain terakhir melakukan sut , misalnya pemain G dan H. Yang kalah, misalkan pemain G berperan menjadi kuwuk, sementara pemain H menang, menjadi ayam. Lalu teman-teman lain berperan menjadi kurungan. Anak-anak yang berperan menjadi kurungan segera membuat lingkaran dengan menggandengkan tangan satu sama lain. Anak yang berperan menjadi ayam berada di tengah lingkaran, sementara yang menjadi kuwuk berada di luar kurungan. Setelah itu para pemain yang berperan menjadi kurungan bersama-sama menyannyikan lagu sambil berputar-putar, seperti berikut: //Gowokan, gowokan/ aja nggowok- nggowok kono/ nggowoka sologotho//.

Berhentinya lagu itu, maka berhenti pula anak-anak berputar. Kemudian terjadi tanya jawab antara G sebagai kuwuk dengan anak-anak yang menjadi kurungan atau sangkar. Dialognya seperti di bawah ini:

G : Apa kene ana pitik? Sangkar : Ora ana! G : Kok ana getih lereh-lereh? Sangkar : Kaki mbeleh kadhal! G : Gene kok ana blekuthuk-blekuthuk? Sangkar : Kaki nggendhong gudheg! G :Kok ana wulu mabul-mabul? Sangkar : Kaki mbeleh manuk drigul! G : Gene kok ana takir mengkureb? Sangkar : Kaki mentas kepungan (bancakan)! G : Gene kok ana cindhe semampir? Sangkar : Kaki mentas tayuban! G : Gene ana jago mlangkring? Sangkar : Jago siji kagungan Dalem!

Page 102: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

G : Dak urupi gedhang sauler? Sangkar : Ora entuk! G : Dak rebut!

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN GOWOKAN-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-33)

Ketika pemain G sudah pada kata-kata terakhir yang terucap, yakni dak rebut , maka seketika para pemain yang bertugas sebagai sangkar, harus siap-siap menghadang gerak G. Sekuat tenaga para pemain yang berfungsi sebagai kurungan itu harus terus-menerus menghalangi pemain G untuk bisa masuk ke dalam kurungan untuk menangkap

pemain H. Pemain G bisa berkeliling, berputar-putar mencari kelengahan pemain yang bergandengan. Sementara itu, pemain H juga harus tetap waspada. Sebisa mungkin ia menjauhi pemain G.

Apabila ternyata pemain G bisa masuk ke dalam kurungan, maka dengan serta merta pemain H keluar kurungan. Keluarnya pemain H ini dapat dengan mudah karena memang dibantu oleh para pemain yang betindak sebagai kurungan (sangkar). Apabila pemain G yang dadi tersebut sudah berada di kurungan, maka para pemain segera mengucapkan kata-kata jago lunga, wulung teka begitu berulang kali, selama pemain G masih berada di dalam kurungan. Pemain G selalu dihalang-halangi apabila hendak keluar. Namun begitu, pemain G tidak boleh menyerah, karena belum bisa menangkap pemain H.

Jika suatu waktu ada pemain yang menjadi kurungan lengah, maka otomatis pemain G bisa lolos dari kurungan. Jika sudah demikian, para pemain yang bergandengan tangan ini segera mengucapkan kata-kata jago ilang, kurungan kothong berulang kali. Selama mereka mengucapkan kata-kata itu, pemain G terus mengejar pemain H. Kedua pemain bisa berkejar- kejaran bebas di halaman yang sudah ditentukan. Apabila di halaman ini

Page 103: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

bisa tertangkap, maka pemain H dianggap kalah, dan permainan bisa dilanjutkan dari awal. Namun apabila ternyata pemain H kembali ke kurungan dan belum tertangkap, maka segera ia bisa masuk dengan leluasa. Di dalam kurungan, pemain H bisa mengatur nafas kembali. Sementara pemain yang membentuk gandengan kembali mengucapkan kata-kata jango teka, wulung lunga berulang kali.

Demikian seterusnya, jika sampai pemain H bisa tertangkap pemain G, maka permainan selesai dan bisa dilanjutkan dari awal lagi atau berganti ke permainan lain.

Dolanan Gowokan ini setidaknya mengandung ajaran kepada anak untuk bisa bersosialisasi antar sesama. Dengan permainan ini, anak-anak bisa bergaul, berkomunikasi, dan mengenal bebas antar sesama. Selain itu, dolanan ini juga bisa membuat anak-anak sehat karena banyak bergerak dan berlari ke sana ke mari. Sayangnya, dolanan itu, sekarang ini sudah tidak banyak dimainkan oleh anak-anak di zaman modern ini.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN SOYANG-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-34)

Sebuah dolanan anak yang hadir berikut ini lebih banyak dinyanyikan dengan tembang, dialog, dan gerak, yaitu dolanan Soyang. Bahkan dolanan ini tidak memerlukan alat permainan sama sekali kecuali lahan tempat bermain yang cukup luas. Mungkin dolanan ini persebarannya tidak begitu luas, sehingga tidak terdapat atau tidak tercatat

dalam kamus Baoesastra Djawa karangan WJS. Poerwadarminto (1939).

Latar belakang dolanan ini berdasar pada kehidupan seorang ibu yang tidak mampu menghidupi anak-anaknya kemudian ingin mengabdikan (b. Jawa: ngengerke) kepada orang lain. Dolanan ini bisa muncul dan dimainkan oleh

Page 104: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

anak-anak karena mayoritas kehidupan masyarakat masa itu memang masih sangat sederhana atau cenderung miskin, sehingga kehidupan ngengerke anak, biasa dilakukan. Lalu dalam dolanan itu terjadi dialog dan diselingi dengan tembang.

Anak-anak yang bermain dolanan Soyang biasanya didominasi oleh anak- anak perempuan. Mereka bermain di halaman rumah depan atau belakang yang cukup luas dan teduh, di saat waktu senggang siang, sore, atau malam hari. Mereka bermain tidak banyak membutuhkan tenaga, karena dolanan tidak membutuhkan gerak fisik ekstra, seperti berlari-lari. Anak-anak perempuan yang bermain, biasanya berumur 6—14 tahun. Anak-anak yang lebih kecil berperan sebagai anak, sementara anak yang besar berperan sebagai ibu dan majikan (lurah). Tugas ibu menyerahkan anak-anaknya ke majikan (lurah).

Semisal, ada 8 anak perempuan yakni pemain A,B,C,D,E,F,G, dan H hendak bermain dolanan Soyung. Setelah mereka berkumpul di pelataran rumah, maka mereka segera menentukan pemain yang berperan sebagai ibu (misalnya pemain A) dan pemain berperan sebagai majikan atau lurah (misalnya pemain H). Setelah itu pemain H berdiri dan berhadap-hadapan dengan pemain A. Sementara pemain lainnya, B,C,D,E,F, dan G berjajar di sebelah kanan atau kiri pemain A.

Setelah semuanya siap, maka pemain A bersama anak-anaknya (B,C,D,E,F, dan G) mulai nembang Jawa (atau menyanyi) sambil menggerakkan kaki maju mundur. Sementara syair tembangnya sebagai berikut: //Soyang, soyang/ mbathik plangi dul Semarang/ ya ya bu, ya ya pak/ manuk Endra, kawan atus kawan dasa/ ee... kawula ngenger/ ngengerake, sandhang pangan luru dhewe//. Usai menyanyikan syair lagu itu, pemain A bersama- sama anaknya duduk bertimpuh di hadapan pemain H. Kemudian dilanjutkan dengan dialog antara pemain A dan H:

A : Kula nuwun! H : Mangga, sinten niku? A : Kula pun A. H : Ajeng napa? A : Badhe ngengeraken anak kula pun G. H : Inggih ta, anggere trima sega sakepel, jangan satetes, sambel sadulit, lan sandhangan sasuwek. A : Inggih, narimah. H : Inggih ta, pun samang tinggal.

Tembang pertama telah selesai, kemudian pemain G sebagai anak A yang duduk di paling ujung berpindah posisi ke dekat pemain H. Sekarang,

Page 105: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

pemain G sudah menjadi anak pemain H yang berperan sebagai majikan atau lurah. Para pemain A,B,C,D,E, dan F kembali berdiri dan menyanyikan tembang yang sama. Kemudian terjadi tanya jawab yang sama pula. Lalu pemain F pindah duduk ke posisi sebelah pemain G. Begitu seterusnya, sehingga anak-anak A habis dan berpindah posisi ke dekat pemain H.

Pada tahap permainan selanjutnya, seolah-olah H mulai mempekerjakan anak-anak A, seperti pemain B,C,D,E,F, dan G. Mereka disuruh bekerja, ada yang mengambil air, menyapu, mencuci, memasak, dan sebagainya. Melihat keadaan itu, emboknya tidak rela, lalu A menyanyikan lagu Soyang lagi tetapi dengan tambahan syair: /ora lega ora trima/ anakku disiya-siya//. Lagu Soyang episode kedua lengkapnya adalah: //Soyang, soyang/ mbathik plangi dul Semarang/ ya ya bu, ya ya pak/ manuk Endra, kawan atus kawan dasa/ ee... kawula ngenger/ ngengerake, sandhang pangan luru dhewe/ ora lega ora trima/ anakku disiya-siya//.

Setelah menyanyikan lagu Soyang terakhir ini, maka A mulai meminta kembali anak-anaknya dengan diawali dengan percakapan sebagai berikut:

H : Boten oleh, kuru-kuru digedhekake, bareng lemu kok dijaluk. A : Nggih yen ngaten kula ajeng nyuwun ujungan kelor sekedhik mawon kangge kelan. H : Nggih samang njupuk dhewe.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN SOYANG-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-34)

Setelah terjadi dialog terakhir, pemain A yang berperan sebagai ibu kandung dari anak-anaknya, kemudian pergi ke belakang posisi pemain H, dan seolah-olah ia pergi ke belakang rumah pemain H untuk mengambil ujung daun kelor yang tertanam di belakang rumah. Ketika hendak mengambil daun kelor itulah, tiba-tiba pemain A dikejar oleh

Page 106: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

anjing-anjing milik pemain H. Anjing-anjing itu pula yang diperankan oleh anak-anak pemain A yang diabdikan tadi. Pemain A kemudian kembali ke tempat semula dan protes kepada pemain H, dengan dialog sebagai berikut:

A : Kepriye, gilo asu samang nyakot kula ngantek pincang. H : Nggih pundi kula tambani, ning samang gek lunga.

Pemain A seolah-olah diobati oleh pemain H. Setelah sembuh, pemain A pergi dari rumah pemain H, dan menandakan permainan Soyang telah usai..

Namun, ada versi lain yang agak berbeda cara permainannya, khususnya pada tahapan awal saat anak-anak pemain A belum ikut ngenger ke pemain H. Versi lain itu begini: Pemain H yang berperan sebagai lurah berhadap- hadapan dengan pemain A yang berperan sebagai ibu dari anak-anak yang akan diserahkan ke pemain H. Sementara anak-anak pemain A, yakni pemain B,C,D,E,F, dan G, berjajar di belakang pemain A sambil memegang baju pemain di depannya.

Sebelum berdialog dengan pemain H (lurah atau majikan), para pemain A sampai dengan G, nembang lagu Soyang sambil berputar-putar kian kemari. Sementara lagu Soyangnya, syairnya sebagai berikut: //Soyang, soyang/ bathik pengidul Semarang/ ya ya bo, ya ya na, manuk Endra, manuk Endra/ kawan atus kawan dasa/ e kawula jenggleng//. Setelah itu, pemain A—G duduk bertimpuh di hadapan pemain H. Lalu pemain H menjawab nyanyian di atas dengan jawaban: //Sinten niku, sinten niku/ dhodhog dhodhog lawang kori/ gembok sanga kunci wesi//. Para pemain A—G kembali menyahut, dengan kata-kata sebagai berikut: //Inggih kula, inggih kula/ kengkenane kanjeng rama/ e kawula jenggleng//.

Kemudian dilanjutkan dengan dialog antara pemain H adan A, seperti di bawah ini:

H : Sampeyan mriki sore-sore ajeng napa? A : Ajeng nggadhekake anak kula. H : Jenenge sinten? A : Si Tompo (terserah pemain A, menamai anaknya). H : Anggere gelem sega sakepel, jangan satetes, sambel sadulit, lan sandhangan sasuwek. A : Inggih. H : Pun mang tinggal riki.

Page 107: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Kemudian pemain paling belakang, yakni pemain G diserahkan ke pemain H. Pemain G lalu berpindah posisi ke belakang atau samping pemain H. Selanjutnya, pemain A—F kembali berputar-putar kian kemari seperti di awal permainan tadi. Begitu seterusnya hingga anak-anak pemain A habis diserahkan ke pemain H. Setelah habis, kembali pemain A bernyanyi Soyang sendirian sambil berputar-putar. Setelah selesai, pemain A melakukan dialog dengan pemain H, seperti pada versi pertama. Langkah selanjutnya sama, terjadi dialog-dialog sama, yang akhirnya, pemain A pulang tanpa berhasil membawa pulang anak-anaknya, karena justru dikejar anjing milik pemain H.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

KOKO-KOKO (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-35)

Bagi anak sekarang, nama dolanan satu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan baru mendengar kali ini. Hal itu bisa terjadi, karena memang permainan satu ini termasuk dolanan tradisional yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai atau dimainkan oleh anak-anak bersama teman-teman sebayanya. Namun sebenarnya, bagi

anak-anak, terutama di Jawa, pada zaman dulu dolanan ini biasa dimainkan. Nah penasaran dengan cara bermainnya? Kita ikuti ulasan di bawah ini.

Melihat dari nama permainan, sebenarnya nama koko identik dengan nama sebuah jenis ular air yang sedang mencari makan di air. Menurut sebuah sumber dari Sukirman Dharmamulya, jenis dolanan ini sudah berumur sangat tua, walaupun tidak ada data akurat mulai kapan, dolanan ini dikenal oleh anak-anak di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Sayang, walaupun jenis dolanan ini pernah hidup di Jawa dan sudah sangat tua, kata koko yang berarti nama dolanan, tidak dijumpai dalam kamus Boesastra Djawa.

Sebenarnya dolanan ini hampir mirip dengan dolanan ancak-ancak alis. Artinya para pemain ada yang membentuk ular-ularan. Hanya cara bermainnya yang agak berbeda. Pada dolanan ini nanti, anak yang berada di

Page 108: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

posisi paling belakang yang membentuk formatur ular-ularan, akan dikejar- kejar oleh si koko.

Dolanan Koko-Koko tidak membutuhkan peralatan, kecuali sarung atau sabuk. Fungsi sarung atau sabuk dipakai oleh masing-masing anak yang membentuk formatur ular-ularan. Sarung/sabuk dipegang oleh pemain yang berada di belakangnya. Sementara pemain paling depan berperan sebagai Kakek/Nenek. Satu pemain lain berperan sebagai koko. Selain peralatan sarung/sabuk, dolanan ini hanya membutuhkan tanah lapang yang luas.

Dolanan Koko-Koko biasa dimainkan oleh anak laki -laki, karena membutuhkan kekuatan fisik untuk berlari. Dalam dolanan ini, anak-anak yang bermain sekitar 10 anak. Lebih banyak lebih baik, karena formasi ular akan semakin panjang, sehingga membuat koko kesulitan mengejar mangsa. Mereka yang bermain dolanan ini rata-rata berumur 8-10 tahun. Seperti pada permainan lain, dolanan ini lebih sering dimainkan saat-saat waktu libur atau senggang, baik pagi, siang, sore, atau malam hari saat terang bulan. Jika dimainkan siang hari, lebih banyak dimainkan di halaman yang teduh. Sementara saat dimainkan malam hari, lebih banyak dimainkan di tanah lapang yang mudah kena sinar bulan.

Anak-anak yang hendak bermain dolanan koko-koko misalnya ada 10 anak, yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J. Setelah mereka bersepakat bermain, lalu terus berkumpul di halaman rumah. Dari mereka, satu orang berperan menjadi koko, satu orang berperan menjadi kakek/nenek, dan pemain lainnya berperan sebagai anak buah kakek/nenek. Mereka bergandengan ke belakang dengan memegang sarung/sabuk yang telah dipakai di pinggang atau dikalungkan di badan. Pegangan pemain anak buah harus kuat, sebab jika sampai terlepas, maka akan menjadi pemain dadi.

Setelah semua siap, pemain yang berperan Koko-Koko (KK) dan Kakek/Nenek (K/N) melakukan dialog sebagai pembuka. Dialog seperti di bawah ini:

K/N : Koko-koko kowe arep njaluk apa? KK : Aku njaluk banyumu. K/N : Wadhahe apa? KK : Godhong lumbu. K/N : Apa gulumu ora gatel? KK : Gatel-gatel dak ulu. K/N : Tambane apa? KK : Gula batu. K/N : Olehmu njupuk ngendi? KK : Grabaganmu. Kelip-kelip ing dhadhamu kuwi apa?

Page 109: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

K/N : Anakku. KK : Dak jaluk oleh apa ora? K/N : Ora oleh. KK : Dak jaluk ora oleh, ya dak rebut!

Setelah percakapan iku, maka koko berusaha menyambar anak kakek yang berada di paling belakang. Jika koko berlari ke arah kanan, maka ekor ular akan mengarah ke kiri. Begitu sebaliknya. Namun jika koko bisa mendekat ke ekor dan berhasil memegang pemain paling belakang, maka pemain belakang dengan sekuat tenaga memegang sarung atau sabuk. Maka terjadilah tarik-menarik yang sangat alot. Anak-anak lain berusaha mempertahankan pemain paling belakang, dan terkadang disertai suara tertawaan dari para pemain atau penonton. Jika pemain belakang bisa dilepaskan oleh si koko, berarti ia menjadi pemain dadi dan menggantikan pemain koko. Sementara pemain koko bisa bergabung ke pemain lain.

Ada cara lain, saat si koko telah bisa mendekat ke ekor ular, maka pemain paling belakang melepaskan sarung atau sabuk dan berlari sekuat tenaga. Maka si koko segera mengejar pemain yang lari. Jika si koko bisa menangkapnya, maka pemain yang lari menjadi pemain dadi. Namun jika pemain lolos dan bergabung lagi ke posisi semula, maka si kakek/nenek berusaha lagi menghalangi-halangi si koko untuk menangkap ekornya. Begitu seterusnya hingga mereka merasa capek.

Dolanan ini mengajarkan kepada anak-anak untuk bisa hidup bersosialisasi dengan teman. Dengan dolanan koko-koko ini, anak juga fisiknya lebih sehat, karena banyak berlari, melatih keberaniannya dan diajak untuk lebih sportif dan menghargai teman-temannya. Jika sedang dadi, maka harus berani menghadapinya dan tidak mudah cengeng.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

ANJLIG (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-36)

Dolanan Anjlig, mungkin terasa aneh di telinga anak-anak sekarang. Tetapi itulah salah satu nama dolanan anak yang berkembang di masyarakat

Page 110: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Jawa tempo dulu. Setidaknya, di tahun 1970-an, dolanan anjlig masih sering dimainkan oleh anak-anak yang hidup di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Sementara daerah lain tidak dijumpai. Namun seiring perkembangan zaman, saat ini dolanan itu sudah tidak disukai oleh anak-anak, tinggal catatan sejarahnya saja.

Menurut sebuah buku berjudul Permainan Rakyat DIY tahun 1981, dolanan anjlig merupakan sebuah mainan tradisional yang awal mulanya mengandung magis. Dolanan dengan memakai alat batang kayu tajam itu ditampilkan untuk adu kekuatan dan kesaktian seseorang. Namun dalam perkembangannya, dolanan itu sudah tidak mengandung magis lagi dan hanya sebagai bentuk permainan belaka. Namun alat tetap sama, masih memakai kayu tajam. Kayu yang dipakai biasanya kayu yang kuat dan ulet, seperti kayu asem, mangga, jambu, dan sebagainya. Salah satu ujung kayu dibuat tajam. Biasanya yang memainkan dolanan ini anak laki-laki yang sudah agak remaja, di atas umur 14 tahun. Dinamakan dolanan anjlig, terinspirasi dari alat yang dilemparkan ke kubangan kemudian berbunyi jlig. Sehingga akhirnya anak-anak setempat dolanan itu dengan nama anjlig.

Pada zaman dahulu, dolanan anjlig sering dimainkan di area sawah. Sehabis panen, anak-anak mengisi hiburan dengan dolanan anjlig ini. Alat yang dibutuhkan hanya sebatang kayu dengan ukuran panjang sekitar 50 cm, diameter kayu sekitar 5 cm yang penting mudah dipegang oleh anak-anak remaja. Pada perkembangan selanjutnya, merambah ke halaman rumah. Jika dilakukan di halaman rumah, biasanya lubang dengan diameter sekitar 50 cm terlebih dahulu digemburkan dan kedalaman sekitar 30 cm. Agar alat anjlig mudah tertancap di tanah kemudian ditambah air, sehingga tanah menjadi agak lembek seperti lumpur.

Dolanan ini sifatnya kompetitif. Barangsiapa yang berhasil menancapkan alat dengan posisi tegak ke lahan hingga terakhir, dianggap sebagai pemenang. Sementara anak yang kalah, diolesi lumpur di bagian wajah. Lengan, atau kaki. Jadi dolanan ini juga mengandung unsur humoris, karena yang kalah akan menjadi bahan tertawaan anak yang lain. Anak-anal remaja biasanya bermain secara bergerombol sekitar 3-5 anak. Dilakukan pada siang hari, saat terang cuaca. Jarang dimainkan malam hari, karena suasana gelap. Dolanan ini termasuk mengandung risiko, bisa melukai kaki atau tubuh lainnya, jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Makanya waktu bermain pada siang hari dan yang bermain biasanya anak menginjak remaja.

Page 111: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Saat anak-anak bermain anjlig tidak memerlukan iringan lagu dolanan. Sorak-sorai paling datang dari para penonton yang umumnya anak-anak yang berada tidak jauh dari lokasi bermain. Jika para pemain sudah siap bermain, biasanya mereka menuju ke lokasi permainan, setelah mempersiapkan peralatan masing-masing. Untuk mengawali permainan, mereka melakukan hompimpah dan sut . Anak yang pertama menang, berhak untuk main duluan. Kemudian disusul pemenang kedua dan seterusnya.

Sementara aturan permainan di antaranya adalah: kesatu, permainan pertama tidak boleh merobohkan; kedua, kalau gacuk tidak menancap di lumpur, maka mendapat hukuman; ketiga, kemenangan dicapai apabila dapat merobohkan gacuk lainnya yang telah menancap di lumpur sementara gacuknya sendiri juga harus menancap; keempat, kalau dirobohkan oleh lawan, maka mendapat hukuman dan yang berhak menghukum adalah yang dapat merobohkan; kelima, pemain kalah jika dilumuri lumpur tidak boleh marah. Permainan akan berakhir apabila tidak ada batang kayu pemain yang menancap di lumpur, maka permainan bisa mulai dari awal.

Jika ada 5 pemain, misalkan pemain A, B, C, D, dan E telah melakukan undian, ternyata urutan pemenang adalah B, D, E, A, dan C. Maka pemain B mengawali menancapkan batang kayunya ke lumpur. Setelah menancap, maka disusul pemain berikutnya. Jika ada yang tidak menancap, pemain dihukum beramai-ramai. Pada tahapan pertama, pemain kedua dan seterusnya tidak boleh merobohkan gacuk yang sudah menancap.

Pada tahapan kedua, pemain B mengambil gacuknya kembali dan melempar ke lumpur. Pada tahapan kedua ini, pemain B mulai mengarahkan gacuknya untuk merobohkan gacuk pemain lain. Jika pada lemparan berikutnya, misalkan gacuk A roboh, maka pemain A dihukum oleh pemain B dengan cara dilumuri lumpur. Setelah dihukum, ganti pemain A yang kalah, lalu melempar dan boleh mengenai sasaran gacuk lainnya. Jika gacuk pemain A tidak bisa merobohkan gacuk lainnya, dapat dilanjutkan giliran berikutnya, yakni pemain D. Begitu seterusnya. Jika tidak ada gacuk yang tertancap, bisa dimulai dari awal lagi.

Dolanan anjlig memang mengajarkan ke anak-anak untuk bermain sportif dan melatih ketangkasan mereka menancapkan batang kayu ke lumpur. Dolanan ini juga mengajarkan kepada anak-anak untuk mudah bergaul dan bersosialisasi dengan teman sebaya, agar terjalin keakraban di antara

Page 112: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

mereka. Selain itu juga diharapkan mereka yang bermain dolanan ini tidak mudah emosi, jika kalah, karena sudah menjadi komitmen bersama. Sayang, seiring perkembangan zaman, dolanan ini tinggal menjadi kenangan belaka.

Suwandi Sumber: PermainanRakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Jakarta: Departemen P dan K

Ensiklopedi

KUCING-KUCINGAN (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-37)

Kucing-kucingan, adalah satu satu jenis permainan tradisional masyarakat Jawa yang juga sudah lama dikenal, setidaknya pada tahun 1913 (menurut sebuah sumber pustaka Serat Karya Saraja). Permainan ini menyebar di berbagai daerah di Jawa, meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI.

Yogyakarta. Dolanan ini juga sering disebut dolanan Kus-Kusan atau Alih Lintang. Kenapa lebih dikenal dengan nama dolanan kucing-kucingan? Pada prinsipnya, pada dolanan ini ada sebuah syair yang sering dilantunkan berirama secara bersama-sama oleh semua pemain, yang bunyinya Dh a mbuwang kucing gering . Selain itu, dalam dolanan ini juga banyak dijumpai anak-anak berlari-lari dalam permainannya. Itulah sebabnya, masyarakat Jawa menamai dolanan ini dengan dolanan kucing-kucingan. Ada kalanya, dolanan lain yang agak berbeda, di daerah lain juga kadang menamai sebuah dolanan itu dengan nama kucing-kucingan.

Dolanan kucing-kucingan yang dimaksud di sini adalah sebuah permainan anak yang melibatkan 5 pemain (bisa laki-laki semua atau perempuan semua). Umumnya yang bermain dolanan kucing-kucingan adalah anak laki- laki, karena membutuhkan kekuatan fisik untuk berlari. Sementara alat yang digunakan untuk dolanan ini, hanya membutuhkan halaman yang luas, bisa halaman rumah, halaman kebun, atau lapangan. Di halaman inilah, anak-anak mulai membuat garis silang tegak lurus dengan panjang garis masing-masing sekitar 2,5 meter. Kemudian, keempat ujung garis dibuat lingkaran kecil dengan

Page 113: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kaki yang melingkar. Sementara tengah garis, nantinya dipakai untuk pemain dadi.

Seperti jenis dolanan lainnya, dolanan kucing-kucingan pun juga dimainkan pada waktu-waktu luang, baik saat liburan atau sehabis membantu orang tua. Biasanya yang bermain dolanan ini adalah anak-anak yang berumur 8- 12 tahun dari semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial.

Misalkan ada lima pemain yakni A, B, C, D, dan E hendak bermain kucing- kucingan. Lalu mereka menuju ke halaman tempat bermain. Setelah itu, salah satu anak membuat garis silang tegak lurus dengan panjang masing- masing garis 2,5 meter. Setelah selesai, ujung-ujung garis dibuat lingkaran kecil dengan memakai tumit kaki yang dibuat melingkar. Kemudian para pemain melakukan hompimpah dan sut. Anak yang paling kalah, misalkan

pemain E, maka ia dianggap sebagai pemain dadi.

Pemain dadi tempatnya di tengah-tengah garis silang. Sementara itu pemain mentas lainnya, yakni pemain A, B, C, dan D, menempati masing- masing lingkaran kecil di ujung garis. Pemain mentas berhak saling berpindah tempat dengan temannya. Misalkan pemain A, bisa berganti tempat dengan pemain B atau C. Begitu pula

pemain lainnya, bisa saling berganti tempat dengan pemain di sebalah kiri atau kanannya. Biasanya perpindahan tempat ini menunggu pemain dadi terlena. Apabila mereka hendak berpindah tempat, maka caranya dengan melangkahkan satu kaki dilangkahkan ke luar dan tangan saling berjabat tangan. Setelah itu mereka saling berpindah tempat. Tetapi, kadang-kadang saat mereka berpindah tempat dan belum sempat menempati tempat baru sudah kepergok pemain dadi, sehingga pemain dadi segera menempati tempat lingkaran yang masih kosong. Jika seperti itu, maka pemain mentas yang tidak mendapatkan tempat baru, maka berubah menjadi pemain dadi. Misalkan, pemain A dan B sedang saling berpindah, tetapi belum sempat menempati lingkaran baru, pemain B didahului pemain E, maka pemain B yang kemudian harus menjadi pemain dadi.

Jika pada tahap selanjutnya, saat pemain B menjadi pemain dadi dikungkung hingga 5 kali perpindahan antar pemain mentas, maka ia menjadi pemain dadi yang berhak dibuang. Caranya, ia dipegang bersama- sama oleh semua pemain mentas ke sebuah tempat (misalkan berjarak 20 meter dari tempat permainan). Saat dibuang, semua pemain mentas menyanyikan sebuah syair yang terdiri dari sebuah kalimat, yakni Dha mbuwang kucing gering . Syair itu dinyanyikan berulang kali hingga si

Page 114: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

pemain dadi sampai di tempat tujuan pembuangan. Setelah itu, dari tempat pembuangan ini, mereka berlomba-lomba berlari secepat-cepatnya untuk mencari lingkaran yang masih kosong. Bagi pemain yang tidak mendapatkan tempat kosong, berarti menjadi pemain dadi dan harus menempati tempat di tengah. Begitu seterusnya permainan ini berlangsung hingga mereka merasa bosan dan hendak berhenti atau bermain dolanan lainnya.

Dolanan kucing-kucingan mengajarkan kepada anak untuk bermain secara sportif. Jika mereka menjadi pemain dadi, juga harus berani menghadapinya, dan tidak boleh cengeng. Sebab jika tidak sportif, tentu akan ditinggal oleh teman bermain lainnya. Selain itu, dolanan ini juga menuntut ke para pemainnya untuk cekatan berlari. Anak yang tidak cepat berlari tentu akan selalu menjadi pemain dadi. Tetapi kadang juga ditemui anak yang justru suka menjadi pemain dadi. Anak seperti itu kadang kebal terhadap ejekan teman lainnya. Jika hal itu terjadi, permainan akan tambah seru.

Sayangnya, jenis dolanan kucing-kucingan ini juga sudah sangat jarang dimainkan oleh anak-anak zaman sekarang.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

KUBUK-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-38)

Kubuk adalah sebuah jenis dolanan anak tradisional masyarakat Jawa yang sering dimainkan oleh anak-anak perempuan pada zaman dulu. Tentunya anak-anak perempuan sekarang sudah tidak mengenal dan merasa asing dengan dolanan ini, karena memang dolanan itu sekarang sudah sangat jarang dimainkan. Setidaknya,

menurut Sukriman (2004) dolanan ini sudah dikenal sejak seabad yang lalu. Namun sayang, ia tidak menjelaskan lebih detail, masyarakat daerah mana saja yang mengenalnya. Namun menurut sebuah sumber lain, Ahmad Yunus (1981), dolanan Kubuk ternyata masih dikenal dan dimainkan oleh masyarakat sekitar tahun 1980-an, terutama di daerah Kecamatan Wonosari Gunung Kidul, Kecamatan Depok Sleman, dan Kecamatan Girimulyo Kulon

Page 115: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Progo. Adakah daerah lain juga mengenal dolanan ini han ya mungkin namanya saja yang berbeda? Bisa jadi demikian, atau mungkin saja memang mengenal, hanya belum dilakukan penelitian lebih lanjut.

Dolanan kubuk termasuk dolanan rekreatif, mengandung unsur kegembiraan sekaligus melatih kedisiplinan, kejujuran, dan berhitung. Anak-anak yang bermain dolanan ini tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik, karena hanya dilakukan pada suatu tempat yang sempit saja. Bisa di halaman rumah, di dalam rumah, di halaman kebun, atau tempat lain. Yang penting tempatnya rindang, bersih, kering, dan nyaman. Biasa dimainkan di sela- sela waktu senggang, baik pagi, siang, sore, atau malam hari, asalkan tidak mengganggu jam sekolah atau mengganggu pekerjaan orang tua. Dolanan ini lebih sering dimainkan oleh anak-anak perempuan, dalam sebuah kelompok antara 4—5 anak. Jika ada anak yang hendak bermain lebih dari jumlah tersebut, biasanya membentuk kelompok baru.

Sementara alat bantu yang digunakan untuk bermain kubuk adalah biji- bijian, seperti biji sawo kecil, biji sawo, biji tanjung, biji asam, biji sirsat, atau jenis biji-bijian lain. Bisa juga menggunakan kerikil-kerikil kecil. Namun, umumnya yang biasa dipakai oleh anak-anak adalah biji-bijian buah. Apalagi biji-bijian buah tersebut dulu banyak terdapat di sekitar lingkungan mereka. Jadi tidak usah membeli. Setiap anak, biasanya membawa sekitar 30—40 biji, sesuai dengan banyaknya persediaan. Selain itu, dolanan ini juga ada iringan lagu sederhana untuk mengiringi dolanan, yang syairnya sebagai berikut: //Kubuk bak-buk/ lara bendrong maju semprong/ bedheken pira?//. Lagu tersebut dilantunkan berulang kali bagi anak yang sedang mendapat giliran bermain.

Jika ada 4 anak hendak bermain kubuk, misalkan pemain A, B, C, dan D, maka setelah mereka masing-masing membawa biji-bijian atau istilah Jawanya kecik, lalu mencari tempat bermain yang nyaman dan teduh. Mereka bisa bermain sambil duduk melingkar saling berhadapan. Sebelum dolanan kubuk dimulai, ada aturan tidak tertulis yang harus disepakati bersama, di antaranya: 1) jumlah udhu/taruhan (berupa biji-bijian untuk bermain) masing-masing pemain harus sama banyak dalam setiap babaknya; 2) jika ada udhu yang tercecer dari genggaman pemain yang sedang main berarti mati; 3) bila jumlah udhu yang ada di tangan kiri anak yang sedang mendapat giliran tertebak, maka udhu tersebut menjadi milik pemain yang bisa menebak sekaligus menghentikan permainannya dan berlanjut ke pemain giliran berikutnya; dan 4) bila tidak tertebak, maka

Page 116: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

udhu di tangan kiri itu menjadi milik pemain yang sedang bermain, sekaligus permainan bisa berlanjut terus.

Setelah mereka mengetahui dan menyepakati aturan lisan itu, lalu para pemain segera menentukan jumlah udhu, misalkan disepakati setiap pemain udhu 5 kecik. Tidak lupa setelah itu mereka melakukan hompimpah dan sut. Maka setelah melakukan undian, didapat urutan bermain, misalkan urutan pertama bermain hingga keempat adalah pemain B, C, A, dan D.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press dan Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Jakarta: Departemen P & K

Ensiklopedi

KUBUK-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-38)

Pemain B mulai menggenggam 20 kecik di tangan kanan sambil menggerak-gerakannya dan menyanyikan lagu kubuk seperti berikut: //Kubuk bak-buk/ lara bendrong maju semprong/ bedheken pira?//. Saat tiba pada syair /pira/ pemain B berhenti menggerak-gerakkan tangan dan secepat kilat memindah beberapa kecik ke tangan kiri

kemudian digenggam rapat. Saat itulah pemain lain, mulai menebak kecik yang berada di tangan kiri pemain B. Tebakan pemain satu tidak boleh sama dengan pemain lain, contohnya pemain C menebak jumlah ada 4 kecik, maka pemain A dan D tidak boleh menebak jumlah 4 tetapi harus berlainan. Misalkan pemain C menebak jumlahnya 5 kecik, pemain A menebak 3 kecik, dan pemain D menebak 6 kecik. Setelah semua menebak, maka pemain B mulai membuka dan menghitung jumlah kecik yang berada di tangan kiri. Kemudian sesudah dihitung, ternyata jumlah kecik ada 6, maka kecik tersebut menjadi milik pemain D, karena ia benar menebak jumlah keciknya. Pemain B menjadi pemain yang kalah dan harus berhenti bermain, sementara pemain D sudah mendapatkan 6 kecik.

Urutan kedua bermain adalah pemain C. Ia mulai seperti apa yang dilakukan oleh pemain B, mulai menggerak-gerakkan tangan kanan yang berisi sisa

Page 117: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

kecik berjumlah 14 sambil menyanyikan lagu kubuk. Di akhir syair, ia mulai menaruh beberapa kecik di sebelah tangan kiri. Kali ini pemain A menebak kecik jumlahnya ada 4, pemain D menebak jumlah kecik ada 2, pemain B menebak jumlah kecik ada 5. Setelah semua menebak, pemain C mulai membuka tangan kiri dan menghitung jumlah kecik. Ternyata ada 3 kecik di tangan kiri. Karena tidak ada yang tepat menebak, maka 3 kecik tersebut milik pemain C. Ia memulai lagi dari awal. Kali ini kecik tinggal 11 buah. Pada permainan kedua ini, pemain A menebak ada 3 kecik, pemain D menebak ada 2 kecik, pemain B menebak ada 4 kecik. Setelah tangan kiri dibuka, ternyata ada 4 kecik, maka 4 kecik itu adalah menjadi milik pemain B. Sementara pemain C tidak boleh melanjutkan permainan karena sudah tertebak dan harus digantikan oleh pemain urutan berikutnya.

Selanjutnya pemain urutan ketiga yakni pemain A mendapat giliran bermain. Kali ini pemain A tinggal menggenggam sisa kecik yang berjumlah 7 buah. Seperti pemain lain, ia mulai dari permainan awal. Setelah beberapa kecik dipindah ke tangan kiri, pemain lain mulai menebak. Misalkan pemain D menebak 3 kecik, pemain B menebak 2 kecik, pemain C menebak 5 kecik. Setelah tangan kiri dibuka dan kecik dihitung, ternyata ada 5 kecik. Maka pemain yang tepat menebak adalah pemain C. Ia berhak mendapatkan 5 kecik tersebut. Karena berhasil menebak, maka pemain A mati dan harus

digantikan oleh pemain urutan keempat, yakni pemain D.

Pemain D tinggal membawa 2 kecik. Ia lalu memainkan seperti teman lainnya dari awal. Setelah itu, kecik ditaruh di tangan kiri. Kali ini pemain B menebak 2 kecik, pemain C menebak 1 kecik, dan pemain A menebak 0. Ternyata setelah dibuka ada 2 kecik di tangan kiri. Maka kecik terakhir tersebut milik pemain B.

Maka pada tahap awal ini, pemain B mendapatkan 6 buah kecik (4+2), pemain C mendapatkan 8 buah kecik (3+5), pemain A tidak memperoleh kecik, dan pemain D mendapatkan 6 kecik. Pada tahapan pertama ini, pemain B untung 1 kecik (dapat 6 modalnya 5), pemain C untung 3 kecik (dapat 8 modalnya 5), pemain A rugi (kalah) 5 kecik (dapat 0 modalnya 5), pemain D untung 1 kecik (dapat 6 modalnya 5).

Permainan bisa dilanjutkan lagi dengan jumlah udhu yang harus disepakati bersama lagi. Misalkan tahap kedua ini, jumlah udhu masing-masing pemain

Page 118: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

6 kecik, maka 4 pemain terkumpul 24 kecik. Maka pemain B memulai permainan lagi karena pemain terakhir, yaitu pemain D sudah mati (kalah) tertebak oleh pemain B. Demikian seterusnya, permainan kubuk berlangsung. Permainan bisa berhenti, jika ada pemain yang kehabisan kecik, atau ada salah satu pemain yang ingin berhenti karena lelah atau dipanggil orang tuanya.

Pemain yang banyak mengumpulkan kecik melebihi awalnya (modalnya) dianggap sebagai pemain menang, sebaliknya bagi pemain yang keciknya tinggal sedikit (lebih sedikit dari modalnya) dianggap pemain kalah. Tergantung kesepakatan awal, kecik mau dikembalikan atau menjadi hak milik pemain yang menang. Jika menjadi hak milik pemain yang menang, berarti pemain kalah tidak boleh protes dan harus mengikhlaskan kecik yang dipakai untuk bermain. Toh, pemain kalah bisa kembali mencari biji-bijian buah yang banyak tersebar di sekitar lingkungan mereka. Namun, jika dari kesepakatan awal, kecik harus dikembalikan ke pemilik semula, ya harus dikembalikan.

Itulah sekelumit dolanan kubuk yang mendidik anak-anak untuk bisa bersosialisasi dengan temannya.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press dan Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Jakarta: Departemen P & K

Ensiklopedi

EMBEK-EMBEKAN (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-39)

Tentunya permainan anak yang satu ini sudah tidak asing lagi bagi anak-anak kampung di Jawa pada zaman dahulu, terutama anak laki-laki. Permainan ini memang lebih kental dimainkan oleh anak laki-laki daripada perempuan, karena

membutuhkan unsur kekuatan fisik. Kekuatan fisik identik dengan anak laki- laki. Sementara anak perempuan biasanya lebih banyak menjadi penonton dan suporter saja. Permainan embek-embekan sebenarnya hampir mirip

Page 119: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dengan permainan gulat. Mereka saling menjatuhkan dan pemain yang berada di bawah, dikatakan pihak yang kalah. Bagi yang kalah tidak akan dilepaskan, sebelum menyerah dan mengatakan embek.

Kata embek-embekan atau mbek-mbekan, sebenarnya berasal dari kata embek. Embek adalah tiruan bunyi kambing yang mengembek. Entah asal- muasalnya dari kapan dan dari mana, akhirnya bunyi tiruan embek digunakan untuk permainan gulat-gulatan tradisional ala anak masyarakat Jawa. Kiranya permainan ini termasuk sangat kuno, di mana manusia zaman dulu lebih mengutamakan kekuatan fisik dan kesaktian. Untuk mengukur kekuatan fisik dan kesaktian, maka mereka lebih banyak adu fisik, salah satunya dengan bergelut atau bergulat. Siapa yang menang dianggap mempunyai kekuatan fisik dan kesaktian yang melebihi manusia lainnya. Kiranya dari sifat manusia itulah yang kemudian menjadi inspirasi anak-anak untuk menjadi sebuah permainan tradisional. Mungkin saat ini, anak-anak sudah sangat jarang melakukan permainan itu, apalagi di perkotaan.

Permainan ini hampir merata di setiap daerah di wilayah Jawa, mungkin hanya namanya yang berbeda. Tetapi yang jelas, nama yang terkenal adalah embek-embekan. Anak laki-laki yang bermain embek-embekan biasanya anak menginjak remaja, berumur sekitar 15-17 tahun. Sementara untuk anak usia di bawah itu, belum begitu menyukainya. Mereka lebih sering hanya menjadi penonton. Begitu pula dengan anak-anak perempuan. Namun kadang-kadang pula, anak-anak kecil ikut-ikutan main embek- embekan. Karena belum bisa mengendalikan amarah, anak yang kalah terus menangis karena mendapat ejekan anak lainnya.

Dolanan embek-embekan melibatkan sedikitnya 2 orang yang saling berhadapan. Umumnya memang dilakukan secara individu, satu lawan satu. Namun kadang-kadang pula secara kolektif, artinya tiga lawan tiga. Tetapi cara menghadapinya tetap satu lawan satu. Hal yang terakhir ini hanya pengembangan dari yang pertama. Dua orang yang hendak bermain embek- embekan biasanya mempunyai usia sebaya atau setidaknya mempunyai besar badan dan kekuatan yang hampir seimbang. Jika ada yang sudah berani bermain, maka setidaknya harus ada satu wasit atau yuri yang umumnya diambilkan orang yang lebih tua. Fungsi wasit sebagai penengah, jika ada pemain yang berbuat curang, maka tugas wasit melerai. Wasit juga tidak boleh berat sebelah.

Sementara, anak-anak kampung dulu ketika bermain embek-embekan mencari tempat yang aman, misalnya halaman kebun bertanah, berpasir, atau tanah lapang yang banyak rumputnya. Sangat dihindari lapangan

Page 120: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

keras, seperti ubin, keramik, beraspal, dan sebagainya. Sebab permainan ini sangat berbahaya dan mudah terluka jika dimainkan di tempat yang keras. Sementara aturan tidak tertulis untuk menentukan pemain kalah antara lain: 1) badannya sudah tertindih dan lehernya terjepit tangan lawan (dipithing); 2) badan dalam posisi telentang dan kedua tangannya terpegang erat oleh tangan lawan; dan 3) badannya tengkurab dan ditindih oleh lawannya (juga tengkurap), tetapi letak badannya melintang, yang disebut dialang.

Jika sudah ada dua pemain, misalkan pemain A dan B hendak bermain embek-embekan, mereka bersama wasit segera bersiap-siap di tanah lapang yang sudah ditentukan. Sementara para suporter bisa menyoraki dan

memberi dukungan di sekeliling mereka bermain. Setelah itu, wasit memberi aba-aba siap atau wis (sudah). Lalu kedua pemain A dan B berusaha untuk saling menjatuhkan lawan, baik dengan cara mendorong, menarik, mithing, menjegal kaki, dan kemudian membantingnya. Misalkan pemain B terjegal, maka pemain A segera menguncinya. Apabila pemain B sudah tidak bisa bergerak karena kehabisan tenaga dan mengatakan embek, maka pemain A harus melepaskannya. Pemain A

dianggap pemenangnya. Namun seringkali pula setelah terjegal, justru pemain B masih bisa memberi perlawanan dan berlangsung sangat sengit.

Apabila pemain B sudah kalah satu, permainan bisa dimulai lagi dari awal, tergantung kesepakatan bersama. Jika hanya sekali main, memang pemain B dianggap kalah. Namun jika menurut kesepakatan permainan bisa 2 atau 3 kali, maka permainan bisa dilanjutkan selanjutnya. Andaikan, pemain A sudah menang, maka permainan bisa dilanjutkan apabila ada musuh lainnya yang ingin maju dan mencoba kekuatan pemain A. Demikian seterusnya. Dalam permainan embek-embekan ini, selalu ada yang menang dan kalah. Namun tidak berarti yang menang boleh sombong, karena semua itu hanyalah permainan, untuk mengisi waktu senggang serta menambah hiburan dan keceriaan anak-anak.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

Ensiklopedi

Page 121: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

LEPETAN-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-40)

Dolanan Lepetan biasa dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa secara berkelompok. Setidaknya, dalam dolanan ini dimainkan oleh tujuh anak atau lebih. Dolanan ini biasa dimainkan oleh anak laki- laki saja atau perempuan saja yang berumur sekitar 10-15 tahun. Sangat jarang, satu kelompok campuran anak laki-laki dan campuran. Lepetan

biasa dimainkan di tanah lapang yang cukup luas, bisa di halaman kebun rumah atau halaman depan rumah. Yang penting di halaman ada sebuah pohon tempat bermain dan halaman cukup rindang.

Mengapa anak-anak menamakan dolanan ini lepatan? Mungkinkah karena dalam dolanan itu salah satu unsur permainan adalah melipat tangan? Bisa jadi. Yang jelas, menurut Sukirman Dharmamulya dalam buku Permainan Tradisional Jawa (2004), menjelaskan bahwa dolanan lepetan kemungkinan berasal dari kata lepet atau lipet yang mendapat akhiran /-an/. Kata lepet sendiri bisa berarti makanan berbentuk lonjong yang terbuat dari beras ketan dengan bungkus daun bambu/janur dan diikat dengan merang (tangkai padi) atau tali bambu. Sementara jika berasal dari kata lipet berarti lipat. Keduanya sama-sama mengandung unsur lipat, yaitu anak-anak melipat tangannya saat bermain. Namun yang jelas, dalam kamus atau Baoesastra Djawa karangan WJS. Poerwadarminta (1939) juga disebutkan bahwa kata lepetan memang bermakna nama dolanan anak. Berarti memang dolanan ini sudah dikenal jauh hari sebelum tahun 1980-an.

Di daerah DIY, pada tahun 1980-an, setidaknya dolanan ini masih dikenal dan dimainkan oleh anak-anak di daerah Dlingo (Bantul), Girimulyo (Kulonprogo), Wonosari (Gunung Kidul), dan Depok (Sleman). Bisa jadi anak-anak di daerah lain juga mengenal dolanan ini, baik dengan nama sama atau nama yang berbeda.

Permainan yang mengandung unsur rekreatif dan tidak ada hubungan dengan sebuah ritual ini biasa dimainkan dengan iringan dua buah lagu. Sebuah lagu dimainkan pada awal permainan, yang syairnya sebagai berikut: //Lepeten, lepetan/ angudhari anguculi/ janur kuning meningseti/ seti bali lunga dalan/ methika kembang sikatan//. Sementara di saat permainan akan selesai, disusul

Page 122: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

nyanyian: //Dha ngobong klasa bangka/ dha ngonong klasa bangka//. Selain itu, dalam dolanan ini juga diselingi oleh dialog-dialog yang diucapkan oleh para pemainnya. Dialog-dialog itu yang muncul tergantung kreativitas anak- anak yang bermain.

Lepetan bisa dimainkan pada waktu-waktu senggang, sehabis pulang sekolah, liburan, atau selesai membantu orang tua. Jam bermain bisa pagi, siang, sore, atau malam hari saat terang bulan tergantung situasi dan kesepakatan anak-anak yang hendak bermain.

Sebelum anak-anak bermain, di antara mereka harus ada yang berperan sebagai si Embok. Bisa dipilih dari anak yang tertua atau terbesar. Bisa juga dengan cara hompimpah. Siapa yang termenang bisa berperan si Embok. Si Embok bertugas memimpin anak buah. Sementara itu satu orang pemain juga harus berperan sebagai pemegang batang pohon. Pemain ini pun juga bisa ditentukan dengan cara hompimpah. Pemain terkalah bisa dianggap sebagai pemain dadi yang tugasnya memeluk pohon lebih dulu.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press dan Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Yogyakarta, Dep P&K

Ensiklopedi

LEPETAN-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-40)

Misalkan ada 8 anak laki-laki (pemain A,B,C,D,E,F,G, dan H) yang hendak bermain Lepetan. Setelah dilakukan hompimpah dan sut, ternyata pemain yang kalah adalah G. Maka G bertugas memegang batang pohon terlebih dahulu. Sementara pemain kalah kedua terakhir, yakni pemain H berada di urutan terbelakang disusul

urutan kalah berikutnya. Pemain terdepan yang menang paling awal, yakni pemain A terpilih sebagai si Embok.

Setelah pemain G memeluk pohon, maka pemain lainnya, mulai dari si Embok (pemain A) yang terdepan kemudian disusul oleh pemain urutan

Page 123: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

menang berikutnya di belakangnya. Dilanjutkan pemain berikutnya hingga yang terakhir kalah, yakni pemain H. Mereka mulai menyanyikan lagu Lepetan yang pertama sambil berjalan berkelak-kelok seperti ular. Lalu mereka menerobos melewati pemain yang merangkul pohon. Setelah sampai pemain terbelakang, pemain G menjaring atau menangkap pemain H. Sementara pemain lainnya kembali berputar-putar. Pada saat itu, pemain H bergantian memeluk pohon, sementara pemain G berdiri di sekitar pohon sambil melipat tangannya, bisa ke depan atau ke belakang. Demikian dilakukan berulang kali hingga semua pemain di belakang pemain A, yang dianggap sebagai anak-anaknya habis.

Setelah semua pemain melipat tangannya, maka pemain A mulai bertindak seolah-olah seorang ibu yang hendak memberi makan kepada anak- anaknya. Lalu pemain A mulai berkomunikasi dengan anak-anaknya yang tangannya terlipat dengan ucapan-ucapan: enya sega, senya sega... (sambil melangkah menghampiri setiap anaknya). Setelah selesai, dilanjutkan dengan membagi-bagikan lauknya mulai dari urutan pertama lagi, sambil berucap, enya iwak, enya iwak.... . hanya saja ketika sampai pada pemain terakhir, misalkan pemain H, si Embok mengatakan, enya balunge.

Tiba di pemain terakhir ini, yakni pemain H, lalu terjadi dialog antara si Embok (pemain A) dengan pemain H, misalkan seperti di bawah ini: Pemain A (si Embok) : Dibanda nyolong apa? Pemain H (anak) : Nyolong keris! Pemain A : Saiki kerise endi? Pemain H : Wis dakgadhekke! Pemain A : Endi dhuwite? Pemain H : Wis tak nggo nempur (tuku beras). Pemain A : Endi berase? Pemain H : Wis dakliwet. Pemain A : Endi segane? Pemain H : Wis dak pangan!

Dialog seperti itu diulang berkali-kali kepada semua anaknya. Jawaban tentang benda yang dicuri boleh bebas, tergantung kreativitas masing- masing anak. Setelah semua anak selesai ditanya oleh si Embok, mereka kemudian berkumpul di tiang atau batang pohon berkerumun seperti gerombolan lebah di sarang. Sambil bergerombol, mereka menyanyikan lagu Lepetan kedua, yakni: //Dha ngobong klasa bangka/ dha ngobong klasa bangka//.

Page 124: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Usai menyanyikan lagu kedua, si Embok segera berlari sekencang- kencangnya menjauhi kerumunan anak-anak yang bergerombol di batang pohon tadi. Karena Embok (indung) lari, maka anak-anaknya mengejar hingga tertangkap. Setelah si Embok tertangkap, maka anak-anaknya segera mencubiti si Embok (biar pun tidak keras), seolah-olah lebah yang sedang menyengat mangsanya. Ini juga bisa sebagai simbol kasih sayang, bahwa anak-anak selalu merindukan ibunya. Ia akan memukuli ibunya (dengan lemah lembut) saat ditinggal oleh ibunya. Demikianlah dolanan Lepetan telah berakhir dan bisa dimulai dari awal lagi.

Yang jelas, dolanan ini memberi nilai positif kepada anak-anak untuk bisa bergaul dengan teman-teman sebayanya. Mereka diharapkan bisa bersosialisasi sehingga tercipta solidaritas yang tinggi dan rasa emosi yang kuat dalam pertemanan. Dengan demikian, jiwa anak-anak tidak akan tertanam rasa egois yang berlebih-lebihan, karena mereka terbiasa bergaul dan memahami sifat masing-masing temannya.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press dan Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Yogyakarta, Dep P&K

Ensiklopedi

DOLANAN OBAR-ABIR-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-41)

Dolanan obar-abir juga merupakan salah satu dolanan anak tradisional masyarakat Jawa yang pernah ada di masa lampau dan sekarang sudah sangat jarang dimainkan di dunia anak-anak. Dolanan ini pada zaman dulu umumnya dimainkan oleh anak perempuan sebagai permainan rekreatif. Pada tahun 1980 atau sebelumnya, dolanan ini

masih dikenal oleh anak-anak, misalkan di daerah Girimulyo, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Sebenarnya istilah obar-abir menurut Baoesastra (kamus) Djawa karangan WJS. Poerwadarminto (1939) bisa berarti: kilat, halilintar, atau bendera yang berwarna merah putih dan biru. Dolanan ini sering pula disebut dolanan slewah atau salewah, yang artinya berlainan warna. Namun sebenarnya dolanan ini tidak berhubungan sama sekali dengan corak warna. Entahlah mengapa anak-anak zaman dulu menamakan dolanan ini dengan nama obar-abir? Apakah karena permainan ini terdiri

Page 125: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

dari beragam jenis gerakan kaki, sehingga dinamakan obar-abir? Entahlah. Yang jelas, warna permainan tidak berhubungan sama sekali dengan namanya.

Anak-anak perempuan yang biasa mendominasi dolanan ini karena memang dolanan ini tidak banyak membutuhkan gerak ekstra, seperti berlari, yang menguras banyak tenaga. Biasa dimainkan di saat senggang dan jam-jam longgar, baik pagi, siang, sore, atau malam terang bulan. Dolanan ini juga tidak diiringi lagu atau nyanyian dan tidak membutuhkan alat permainan. Hanya dibutuhkan tempat bermain yang cukup luas dan bersih. Jika dimainkan di tanah, bisa memakai tikar.

Dolanan obar-abir selalu dimainkan oleh anak-anak secara berpasangan. Mininal dimainkan 2 pasangan atau empat anak dan bisa bertambah hingga 4 pasangan. Jika yang hendak bermain lebih dari 10 anak sebaiknya dijadikan dua kelompok. Anak-anak perempuan yang bermain dolanan obar-abir umumnya berusia di antara 10- 14 tahun, karena dalam dolanan ini diperlukan keseimbangan berdiri, melompat, dan lainnya.

Apabila ada 6 anak (pemain A,B,C,D,E, dan F) yang hendak bermain, maka terlebih dahulu mereka memilih pasangan masing-masing. Misalkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, dan E berpasangan dengan F. Satu orang dari masing-masing pasangan melakukan hompimpah dan sut. Dari ketiganya, misalkan yang paling kalah, pasangan E dan F. Maka keduanya bertugas sebagai pemain dadi, sementara pasangan lainnya disebut pasangan mentas, tugasnya bermain.

Pemain mentas bertugas bermain dengan melakukan gerak lompatan atau loncatan yang beraneka macam. Jadi permainan ini yang pokok adalah permainan gerak kaki. Para pemain mentas dalam melakukan setiap gerakan lompatan harus sama mulai dari pemain A sampai D. Jika pemain A telah sukses melakukan gerakan pertama, maka segera matung atau berdiam diri tidak bergerak. Kemudian saat pemain B setelah melakukan gerakan sama, kemudian njawil pemain A sebelum matung. Maka pemain A sudah terbebas dari matung. Demikian seterusnya disusul pemain selanjutnya. Demikian pula saat melakukan gerakan atau loncat ke tempat semula.

Ada peraturan dalam dolanan ini, bahwa pemain yang gagal melakukan gerakan atau lompatan bisa dibantu oleh teman pasangannya. Misalkan pemain C gagal meloncat, maka pemain D bisa membantu melakukan

Page 126: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

gerakan loncatan untuk pemain C. Jika pemain D berhasil maka pemain C lolos pada gerakan yang gagal tadi dan melanjutkan gerakan berikutnya.

Pada tahap awal, pemain dadi yakni pemain E dan F duduk selonjor berhadapan saling memadukan telapak kakinya dan agak terbuka. Tahap kedua, pemain A mulai melompat dari sisi kanan ke kiri. Gerakan lompatannya biasa, yakni satu kaki

diletakkan di sela-sela kaki pemain dadi dan diakhiri dengan melompat ke sisi kiri. Setelah satu langkah, ia berdiri mematung. Lalu dilanjutkan pemain B dengan gerakan lompatan yang sama terakhir memegang (njawil) pemain A. Kemudian disusul oleh pemain C dan D. Setelah semua berada di sisi kiri dilanjutkan dengan gerakan yang sama melompat ke tempat semula atau ke sisi kanan lagi. Dimulai lagi dari pemain A hingga pemain D.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Yogyakarta, Dep P&K

Ensiklopedi

DOLANAN OBAR-ABIR-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-41)

Usai melakukan gerakan tahap pertama, maka mulai ke tahap kedua, yakni para pemain melanjutkan gerakan kaki lainnya, yaitu dengan cara engklek. Kaki ditekuk satu lalu melompat ke tengah kaki yang diselonjorkan hingga ke sisi sebelah. Kemudian diikuti pemain B hingga D dengan gerakan kaki yang sama. Setelah selesai,

mulai pemain A kembali ke posisi semula diikuti pemain lainnya.

Tahap ketiga, pemain A melompat dengan dua kaki ke ruang tengah kaki yang diselonjorkan, kemudian disusul pemain lainnya. Setelah selesai, kembali ke posisi semula dengan gerakan kaki yang sama (melompat dengan dua kaki bersamaan). Pada tahap keempat, pemain A melangkahkan kaki kanan ke ruang tengah, sedang kaki kiri di tempat. Lalu kedua kaki diangkat bersamaan sambil melompat menukar letak kaki (kaki kiri di tengah dan kaki kanan di luar). Selanjutnya kaki kanan melangkah ke

Page 127: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

sebelah kanan ruang. Dari posisi ini kemudian mengangkat bersamaan kedua kakinya dan sambil melompat/berputar menukar letak kaki. Akhirnya kaki kanan melangkah ke luar ruang. Demikian lalu diikuti pemain lainnya.

Tahap kelima, pemain dadi bisa mengubah posisi kaki yang selonjor. Jika posisi awal dibuka, maka posisi selanjutnya adalah menyusun dua telapak kaki. Lalu pemain mentas mulai A—D mulai melompat dari sisi kiri ke sisi kanan dan sebaliknya. Posisi lompatan harus sama. Tahap keenam, pemain dadi menyusun tiga kaki. Sementara pemain menang mulai melompat seperti pada tahap sebelumnya dan dimulai dari pemain A sampai pemain D. Tahap ketujuh, pemain dadi menyusun keempat telapak kaki dan pemain menang melompat seperti pada tahap sebelumnya.

Tahap kedelapan, pemain kalah kembali ke posisi semula, kaki dipertemukan dan dijulurkan. Demikian pula posisi tangan, dipertemukan antar telapak tangan. Lalu pemain A—D mulai melompati tangan yang direntangkan sambil memperagakan gerakan orang menimba, mencuci, menyapu atau lainnya. Demikian pula saat kembali ke posisi semula (di sebelah kiri). Tahap kesembilan, pemain dadi masih berposisi sama. Sementara pemain A mulai meletakkan pantat ke tengah ruang sementara kakinya masih di luar. Setelah pantat di tanah, maka kaki boleh dipindahkan ke sisi luar lainnya. Selama itu, kaki dan pantat tidak boleh menyentuh kaki dan tangan pemain dadi. Jika ada yang menyentuh berarti mati. Maka boleh ditolong teman pasangannya. Namun jika teman pasangannya juga mati,

berarti pemain dadi berganti.

Tahap kesepuluh, posisi pemain dadi masih sama. Pemain menang mulai A melompat dengan satu kaki, sementara kaki lainnya ditekuk dan dipegang kedua tangannya. Posisi pemain seperti ini disebut ngemban anak (mengasuh anak). Lompatan pemain A dari sisi kiri ke ruang tengah dilanjutkan kembali ke posisi awal. Demikian pula yang dilakukan oleh pemain menang lainnya. Tahap

sebelas, sama dengan tahap kesepuluh, hanya saat di ruang tengah, pemain menang harus memperagakan memandikan anak.

Sementara tahap terakhir, posisi kaki pemain kalah agak dibuat selang- seling. Lalu pemain menang mulai dari A menggeser kaki-kakinya melewati posisi kaki pemain kalah yang dibuat selang-seling. Kaki pemain menang

Page 128: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

yang melewati celah-celah kaki pemain kalah tidak boleh diangkat dan tidak boleh menyentuh kaki atau badan pemain jaga, jadi hanya digeser sedikit demi sedikit hingga mencapai sisi kanan.

Demikianlah tahap-tahap permainan obar-abir yang harus dilalui oleh para pemain dadi dan pemain menang. Dalam kenyataannya, memang untuk mencapai tahap akhir, memerlukan perjuangan dan permainan yang berulang kaki. Belum tentu sekali permainan bisa sampai tahap akhir dan harus diulangi hingga beberapa kali putaran. Sementara untuk setiap tahapan bisa tidak sama antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Itu semua tergantung dari pemahaman dan penguasaan anak yang bermain.

Anak-anak yang kalah hanya berkewajiban menjaga, sementara pemain menang bertugas bermain. Tidak ada hukuman lain bagi pemain kalah. Hanya dolanan ini melatih kesabaran dan kekompakan bagi setiap anak yang bermain. Dan yang terpenting menjadikan wahana bagi anak-anak untuk bersosialisasi dengan mengenal watak anak lainnya. Sayang di saat sekarang sudah sangat jarang dimainkan. Mungkinkah sudah saatnya punah?

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Yogyakarta, Dep P&K

Ensiklopedi

DOLANAN WEDHUS PRUCUL (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-42)

Dolanan wedhus prucul adalah salah satu bentuk permainan anak tradisional masyarakat Jawa yang agak berbeda dengan permainan lainnya. Permainan ini, biasanya membutuhkan anak yang dadi untuk bisa mencapai in trans atau kerasukan. Maka dolanan ini lebih sering dimainkan oleh anak laki-laki daripada anak perempuan. Usia anak yang

bermain pun juga sudah harus tanggung, sekitar 10—14 tahun. Memang tidak semua daerah mengenal permainan ini, namun setidaknya dikenal oleh anak-anak dari sebagian daerah di Gunung Kidul dan Dlingo, Bantul. Permainan ini dikenal oleh anak-anak dari kedua daerah yang masuk daerah

Page 129: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

pegunungan sekitar tahun 1980-an atau sebelumnya. Mungkin anak-anak sekarang sudah jarang mengenalnya karena sudah terpengaruh tontonan televisi. Namun tentu orang tua mereka masih mengenalnya.

Dilihat dari nama dolanannya, wedhus berarti kambing dan prucul berati tanpa tanduk. Memang permainan ini seolah-olah menggambarkan seekor anak kambing (Jawa: cempe) yang berkeliaran ke sana-kemari dengan bebasnya. Jadi, anak yang dadi dalam dolanan ini digambarkan seperti wedhus prucul yang bebas berlari ke sana kemari. Itulah sebabnya, dolanan ini disebut wedhus prucul.

Dolanan ini biasa dilakukan pada waktu pagi atau siang hari di waktu-waktu senggang. Biasanya tempat bermain di lapangan atau di halaman kebun yang cukup luas. Dolanan ini membutuhkan 4 pemain, sementara anak-anak lainnya bisa menjadi penonton. Empat anak yang bermain wedhus prucul, salah satunya bertugas menjadi pemain dadi. Yang menjadi pemain dadi, biasanya dengan cara kesadaran atas kemauan sendiri. Sementara tiga pemain lainnya bertugas memegang kepala, dan kedua tangan pemain dadi. Dolanan ini tidak membutuhkan alat permainan kecuali sebuah lagu dengan syair sederhana, seperti berikut: //Dhus, wedhus prucul/ ja dadi dadi Paino (nama anak yang jadi)/ dadia wedhus prucul//.

Anak-anak yang hendak bermain wedhus prucul, misalkan pemain A,B,C, dan D, setelah menentukan pemain dadi (pemain A), maka ketiga pemain lainnya (pemain B,C, dan D) bertugas memegang pemain A. Namun sebelum bermain, pemain A ditanya lebih dulu, jika sudah kerasukan, obatnya penyembuhan minta apa. Lalu pemain A akan memberi jawaban, misalkan minta ditampar pipinya, dipukul kepalanya, atau permintaan lainnya. Permintaan pemain A harus selalu diingat oleh pemain lainnya. Jika pemain A sudah in trans dan sudah sangat lelah, maka pemain lainnya segera menyembuhkan pemain A dengan menyanggupi permintaannya.

Misalkan pemain B memegang tangan kanan sambil menginjak kaki kanan pemain dadi dengan kuat, pemain C memegang tangan kiri sambil menginjak kaki kiri pemain dadi dengan kuat, dan pemain D menutup mata pemain dadi dari arah belakang. Mereka biasanya memainkan di tanah lapang. Setelah itu, pemain B dan C mulai mengayun tubuh pemain dadi ke kiri dan ke kanan sambil menyanyikan lagu wedhus prucul di atas. Awalnya menyanyikan dan mengayunkan dengan pelan. Lama-kelamaan semakin cepat. Sementara itu pemain D sambil

Page 130: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

menutup mata pemain A, mengikuti gerakan pemain B dan C saat mengayun pemain dadi.

Setelah lama mengayun-ayun dan menyanyikan lagu wedhus prucul, akhirnya pemain A merasa pusing. Jika ia telah merasa pusing lalu dilepaskan. Biasanya saat itulah ia segera in trans. Namun, bisa juga jika tidak sampai in trans, jadi hanya pusing-pusing saja, maka pemain A dengan jalan terhuyung-huyung mulai berlari mengejar anak-anak yang menonton. Maka akan terdengar jeritan anak-anak yang dikejar. Mereka menjadi senang dikejar-kejar pemain dadi yang seolah-olah menjadi wedhus prucul. Namun jika pemain dadi sampai puncak in trans, maka ia akan segera berlari ke sana ke mari, kadang sambil makan rumput dan sebagainya. Setelah lelah, maka pemain lainnya yang tadinya bertugas memegang segera mengobatinya dengan mengabulkan permintaannya. Maka pemain A akan segera sadar kembali. Dengan demikian, permainan wedhus prucul telah selesai. Bisa dimulai dari awal lagi, jika ada yang ingin jadi pemain dadi. Lalu, biasanya anak yang baru saja mengalami in trans akan merasa capek sekali dan kadang merasa sakit-sakit.

Dolanan ini termasuk jenis rekreatif belaka, sehingga bisa sangat menghibur anak-anak yang menontonnya. Walaupun kadang-kadang membuat kasihan bagi orang dewasa yang melihatnya. Namun, mungkin sebaliknya bagi yang dadi, akan merasa bangga dan senang. Sayang, dolanan itu sekarang sudah sangat jarang dikenal oleh anak-anak sekarang.

Suwandi Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Yogyakarta, Dep P&K

Ensiklopedi

DOLANAN DHING-DHINGAN-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-43)

Masih ingat dengan dolanan jethungan? Ternyata dolanan dhing-dhingan hampir mirip dengan dolanan jethungan. Perbedaannya hanya kalau jethungan, dimainkan di daratan, sementara dhing-dhingan di air (bisa sungai, blumbang, atau

kolam renang). Dolanan ini lebih dikenal oleh anak-anak yang di sekitarnya ada sungai atau kolam. Sementara anak-anak yang jauh dari sungai atau kolam, tidak mengenal dolanan ini.

Page 131: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Jika Anda pun hendak mencari sumber di kamus Jawa, seperti Baoesastra Djawa atau lainnya, mungkin akan kesulitan, karena tidak ditemukan istilah ini yang menunjuk ke jenis permainan. Dari nama permainan sendiri, juga sulit untuk menelusurinya. Dalam kamus bahasa Jawa, dhing sendiri bisa berarti 1. yang ; 2. sebenarnya, nyata . Sulit mencari hubungan kata dhing dengan permainan itu sendiri. Entahlah, biar pun sulit, ternyata anak- anak menemukan istilah dhing-dhingan untuk menyebut permainan kejar- kejaran di dalam air.

Inti dolanan dhing-dhingan adalah saling mengejar pemain mentas. Karena dolanan ini membutuhkan kekuatan fisik, maka yang biasa memainkannya adalah anak laki-laki sekitar umur 10-15 tahun dan tidak lazim dimainkan oleh anak-anak perempuan. Anak-anak seumuran tadi dianggap sudah bisa berenang dengan tangkas dan menjaga diri ketika berenang. Apalagi bagi anak-anak yang bermukim di dekat sungai, berenang adalah salah satu ketrampilan yang jarang dimiliki oleh anak-anak lainnya.

Anak-anak yang bermain dhing-dhingan hanya membutuhkan tempat di air, seperti sungai atau kolam. Selain itu tidak ada alat yang digunakan untuk bermain dhing-dhingan. Mereka biasa memainkan di musim kemarau, saat air sungai tidak banjir dan tidak membahayakan. Pada waktu dulu, di musim kemarau, biasanya sungai-sungai atau kolam-kolam tidak kering kerontang seperti di zaman sekarang. Selain itu juga air sungai masih sangat jernih, sehingga sering dipakai untuk bermain di sungai. Sementara kedalaman kolam sekitar 2—3 meter. Syarat utama adalah pandai berenang. Anak yang tidak bisa berenang tidak diizinkan ikut.

Tentu saja dolanan ini dimainkan saat terang hari, bisa pagi, siang atau sore hari. Hanya pada umumnya anak-anak lebih suka bermain di pagi atau sore hari. Alasannya, di pagi hari belum begitu panas menyengat, sementara di sore hari, sinar matahari juga mulai redup. Kecuali jika di sekitar sungai atau kolam banyak ditumbuhi pepohonan yang rindang. Pada umumnya dimainkan saat liburan sekolah. Dolanan ini setidaknya dimainkan oleh 2 anak dan bisa dimainkan hingga 15 anak. Dhing-dhingan juga tidak mengenal hukuman. Paling hukuman jika pemain dadi tidak segera bisa menangkap atau menenggelamkan kepala pemain mentas.

bersambung

Page 132: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukriman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta, Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN DHING-DHINGAN-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-43)

Misalkan ada 6 anak yang hendak bermain dhing- dhingan, maka mereka segera menuju sungai atau kolam yang dijadikan tempat bermain. Mereka segera melepas baju dan celana. Anak zaman dulu masih banyak yang menanggalkan celana saat

bermain di air dan tidak ada rasa malu. Sebab lain, juga anak-anak dulu jarang memiliki celana cadangan, sehingga terpaksa jika bermain di sungai atau kolam harus menanggalkan celananya. Tetapi mungkin bagi anak sekarang, banyak merasa malu, sehingga tetap memakai celana. Atau karena sudah banyak yang memakai celana dalam sehingga tinggal memakai celana dalam.

Setelah itu, anak-anak yang hendak bermain tadi, misalkan pemain A, B, C, D, E, dan F melakukan hompimpah dan pingsut. Anak terkalah menjadi pemain dadi, misalkan pemain C. Lalu pemain mentas lainnya segera menceburkan diri ke dalam sungai atau kolam dan segera mencari posisi yang agak berjauhan sambil melakukan gerakan enggek (mengapung). Setelah itu pemain C berdiri di pinggir kolam sambil memberi hitungan, misalkan hingga sepuluh. Tidak lama kemudian setelah hitungan ke-10, pemain C juga menceburkan diri untuk selanjutnya mengejar pemain mentas yang terdekat dengan dirinya. Bisa juga mengejar pemain mentas yang kecepatan berenangnya terendah.

Seiring dengan penceburan diri pemain C ke sungai atau kolam, maka para pemain mentas segera berenang menjauh yang diselingi dengan gerakan selam di dasar sungai. Tujuannya agar pemain dadi sulit mengejarnya. Apabila pemain C mendapatkan seorang pemain mentas yang tidak lincah berenang, misalkan pemain D, maka ia segera mengejarnya. Apabila pemain C sudah dekat dengan pemain D, maka ia segera meraih kepalanya lalu menenggelamkan ke dalam air. Dengan demikian, matilah pemain D. Ia segera menjadi pemain dadi dan pemain C berubah menjadi pemain mentas.

Page 133: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Demikian seterusnya, setiap ada anak mentas yang bisa dikejar, ditangkap, dan ditenggelamkan kepalanya. Anak-anak akan berhenti bermain jika sudah merasa lelah.

Demikianlah tadi permainan dhing-dhingan oleh anak-anak yang tinggal di dekat sungai atau kolam. Dolanan ini, selain mengajarkan bersosialisasi, juga melatih keberanian dan kecekatan berenang.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukriman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta, Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN BI-BIBI TUMBAS TIMUN (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-44)

Kebanyakan dolanan anak tradisional masyarakat Jawa yang mengandalkan lagu atau tembang, dimainkan oleh anak-anak perempuan. Begitu pula dengan dolanan yang disebut dengan Bi-Bibi Tumbas Timun ini juga banyak berisi tentang tembang yang digerakkan atau didendangkan, selain berisi dialog. Dolanan ini pun termasuk dolanan yang sudah lama dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa termasuk di wilayah Yogyakarta, setidaknya seperti yang diungkapkan oleh Dharmamulya (2004). Sebuah kata dalam syair lagu tersebut, yakni sigar (jenis mata uang kuno) menjadi bukti bahwa dolanan tersebut sebenarnya sudah lama, setidaknya sebelum zaman kemerdekaan. Namun begitu, ternyata jenis dolanan ini tidak terekam dalam kamus Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939). Bisa jadi, jenis dolanan ini ditransformasikan dari generasi tua ke generasi muda secara lisan.

Anak-anak perempuan yang bermain dolanan ini biasanya berjumlah 6-8 pemain dan kebanyakan berumur 6-7 tahun. Satu di antaranya adalah pemain yang lebih tua, berumur kira-kira sekitar 10—12 tahun. Sangat jarang anak laki-laki bermain dolanan ini, kecuali anak kecil yang kebetulan ikut diasuh oleh kakaknya yang sedang bermain dolanan Bi-Bibi Tumbas Timun. Mereka biasa bermain di waktu senggang dan sering dimainkan malam hari sebelum jam 8 malam, saat anak-anak hendak tidur.

Permainan ini tidak membutuhkan alat permainan kecuali tempat bermain yang agak luas dan lagu-lagu dolanan saja. Sementara arti nama dolanan ini kurang lebih seorang wanita yang sedang membeli mentimun. Dolanan ini memakai kata tumbas, bahasa halus (krama) dari kata tuku. Memang dalam dolanan ini bermaksud untuk memberi pelajaran bertata krama (sopan -

Page 134: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

santun) dari anak muda kepada orang tua. Anak muda dilatih untuk berbahasa halus ketika berkomunikasi dengan orang tua. Pelajaran berbahasa halus itu akan terlihat sekali di dalam percakapan-percakapan yang muncul dalam dolanan tersebut.

Penanaman sopan-santun dalam masyarakat Jawa pada zaman dulu, termasuk dalam hal berbahasa krama, sudah dibiasakan sejak anak-anak masih kecil dalam berbagai cara. Salah satunya lewat dolanan anak-anak. Maka banyak sekali, dolanan anak-anak, jika ada percakapan, penggunaan bahasa krama sering muncul. Anak-anak yang lebih besar lebih banyak memberi contoh kepada anak-anak yang lebih kecil.

Awal permainan ini, anak-anak menyanyikan lagu yang syairnya sebagai berikut: //Bi Bibi tumbas timun/ kengkenane Mbok Tandha Tandhureja/ mur mek, mur ma/ untune kaya diprada/ lambene kaya direnda/ Bi Bibi tumbas timun, sigar mawon//. Syair itu dinyanyikan oleh anak-anak setelah mereka memulai permainan. Kata sigar di sini, bukan berarti separo, tetapi jenis satuan mata uang kuno yang sering dipakai untuk bertransaksi oleh masyarakat Jawa kala itu. Mata uang itu kemudian diganti dengan satuan sen, benggol, kelip, kethip, talen, dan sebagainya. Mata uang yang sezaman dengan sigar adalah gobang, teng, dan wang. Sekarang, jenis mata uang yang dipakai adalah rupiah.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukriman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta, Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN BI-BIBI TUMBAS TIMUN (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-44)

Apabila anak-anak yang hendak bermain dolanan ini telah siap, maka mereka segera berkumpul di tempat bermain yang telah disepakati bersama. Misalkan ada 7 anak yang hendak bermain, yaitu pemain A, B, C, D, E, F, dan G. Dari ketujuh anak tersebut, misalkan pemain terbesar adalah pemain G, maka ia bisa berperan sebagai Bibi. Sementara keenam anak lainnya berperan sebagai pemain yang berjajar. Setelah itu pemain G duduk bersimpuh menghadap ke-6 pemain yang berdiri bergandengan di depan pemain G. Jadi posisi mereka berhadap-hadapan. Namun posisi keenam pemain itu berdiri, dengan jarak 1-2 meter.

Page 135: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Permainan bisa dimulai dengan diawali nyanyian Bi -Bibi Tumbas Timun yang syairnya sebagai berikut: //Bi Bibi tumbas timun/ kengkenane Mbok Tandha Tandhureja/ mur mek, mur ma/ untune kaya diprada/ lambene kaya direnda/ Bi Bibi tumbas timun, sigar mawon//. Saat menyanyikan lagu itu, keenam pemain sambil berjoged atau berjalan maju dan mundur dengan teratur sesuai dengan irama lagu. Usai nyanyian itu, keenam pemain itu segera duduk berjongkok di hadapan pemain G. Kemudian terjadi dialog sebagai berikut:

Anak-anak : Kula Nuwun (Permisi)! Bibi : Sapa ya kuwi (Siapa ya itu)? Anak-anak : Kula, kengkenane Mbok Tandhureja (Saya, utusan Mbok Tandurejo)! Bibi : Arep apa (Mau apa)? Anak-anak : Badhe tumbas timun (Hendak membeli mentimun)! Bibi : Ooo, timune lagi ditandur, suk wae balia maneh (Ooo, mentimunnya sedang ditanam, besuk saja kembali lagi)!

Kemudian anak-anak berdiri kembali dan menyanyikan lagi lagu Bi-Bibi Tumbas Timun . Lalu anak-anak berjongkok lagi dan terjadi dialog lagi seperti di atas. Hanya saja jawaban si Bibi pada jawaban terakhir secara berturut-turut, akan berbeda, seperti sebagai berikut:

1. lagi thukul (sedang tumbuh)! 2. lagi godhong siji wis kudu dipangan sapi (baru berdaun satu sudah

keburu dimakan sapi)! 3. lagi godhong dua wis kudu dipangan sapi (baru berdaun dua sudah

keburu dimakan sapi)! 4. lagi godhong telu wis kudu dipangan sapi (baru berdaun tiga sudah

keburu dimakan sapi)! 5. lagi kembang wis pijer diparani kumbang (baru berbunga sudah

keburu didatangi kumbang)! 6. lagi pentil wis pijer prithil (sedang berbuah ranum sudah keburu

jatuh)! 7. saiki wis ana uwohe, olehe akon tuku pira (sekarang sudah berbuah,

disuruh membeli berapa)?

Setelah berulang kali bernyanyi dan berdendang, maka setelah mendengar jawaban dan sekaligus pertanyaan terakhir dari si Bibi, maka anak-anak akan menjawab: namung sigar mawon (Hanya 1 sigar [nama mata uang kuno] saja)! Kemudian si Bibi kembali berkata, Ya, wis goleka dhewe ning ngati-ati lho, akeh asune (Ya, sudah, carilah sendiri tetapi hati-hati lho, banyak anjingnya)!

Page 136: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Anak-anak segera berjalan menuju ke belakang si Bibi. Sesampainya di belakang si Bibi, anak-anak berubah peran menjadi anjing-anjing dan kemudian berlari ke sana kemari mengejar anak-anak yang menonton dolanan ini sambil menirukan suara anjing. Maka permainan akan semakin ramai oleh jeritan anak-anak yang dikejar atau yang berperan sebagai anjing. Dengan demikian berakhirlah dolanan Bi-Bibi Tumbas Timun. Jika anak-anak hendak bermain lagi, maka harus dimulai dari awal lagi.

Dolanan ini sebenarnya memberi pelajaran kepada anak-anak untuk mudah bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Dengan banyak berteman di dalam permainan akan menumbuhkan jiwa saling memahami dan tepa slira.

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukriman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta, Kepel Press

Ensiklopedi

DOLANAN MACANAN-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-45)

Mayoritas anak masyarakat Jawa, setidaknya yang berada di daerah Yogyakarta, yang hidup di era tahun 1970-an mengenal sebuah dolanan tradisional yang bernama Macanan. Dolanan ini banyak digemari oleh anak laki-laki karena

bermasuk dolanan kompetitif, mengasah otak, ada yang kalah dan menang. Walaupun tidak ada larangan bagi anak wanita untuk bermain, namun kebanyakan dimainkan oleh anak laki-laki. Menurut sumber Sukirman (2004), dolanan ini sudah dikenal sejak sebelum Perang Dunia (PD) II. Hanya saja untuk saat sekarang sudah sangat jarang dimainkan karena tergeser dolanan modern lain, seperti halma dan lainnya.

Merujuk namanya, dolanan ini tidak berhubungan langsung dengan hewan macan atau harimau. Namun, sebuah alat yang dipakai untuk bermain, dianggap sebagai sebuah macan, yang memang fungsinya menyerang pihak lawan, yakni alat lain yang dianggap sebagai manusia. Permainan ini cukup sederhana, tidak banyak menggunakan tempat untuk bermain, hanya sekitar 1 meter persegi. Syarat lokasi bermain bersih, bisa menggunakan tempat berlantai tanah, tegel, keramik, atau lainnya, asalkan rata dan nyaman. Alat yang digunakan juga mudah dicari dan sederhana, seperti kerikil atau biji-bijian buah (seperti: sawo, asam, tanjung, dan lainnya).

Page 137: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

Sementara gambar berupa segitiga dan persegi empat bisa digambar dengan kapur, pensil, atau benda lain, menyesuaikan lahannya.

Dolanan Macanan sering dimainkan oleh anak laki-laki berusia di atas 10 tahun. Mereka bermain di waktu senggang, baik pagi, siang, sore, atau malam hari. Setidaknya, dolanan ini harus dimainkan oleh 2 orang. Jika lebih, bisa dimainkan secara beregu, namun syaratnya harus tetap berpasangan. Mereka saling berhadapan untuk saling mengalahkan. Ada empat versi dalam dolanan Macanan, yakni macanan 21 wong (orang) 1 macan, macanan 8 wong 1 macan, macanan 4 wong 1 macan, dan macanan 3 wong 1 macan.

Berikut akan diuraikan satu-persatu. Untuk versi 1, macanan 21 wong 1 macan, kedua pemain berbagi peran. Peran wong harus mencari 21 kecik (biji sawo, dll.), sementara yang berperan macan harus mencari 1 kerikil berfungsi sebagai macanan. Bisa juga menggunakan alat lainnya, yang penting antara dua pemain tidak sama jenis alat yang digunakan. Setelah itu, salah satu pemain yang pandai menggambar petak-petak segitiga dan persegi empat bisa mulai menggambar petak macanan. Gambar persegi panjang dibuat 25 titik yang dihubungkan garis melintang, membujur, dan diagonal. Sementara gambar segitiga diletakkan di kanan dan kiri dengan masing-masing 6 titik, juga dihubungkan dengan garis-garis tegak dan mendatar. Gambar segitiga itu biasa disebut gunung, redi, atau krangkeng.

Apabila gambar sudah selesai, maka satu pemain, misalkan pemain A yang berperan sebagai wong mulai meletakkan 9 kecik di titik-titik persilangan dan diatur berbaris 3x3. Mengenai letak kecik bebas, terserah pemain A. Kemudian, pemain yang berperan mengatur macan, yakni B mulai meletakkan kerikil (berfungsi sebagai macan) di sebuah titik. Pada awal permainan ini, pemain B boleh memakan 3 wong yang diletakkan pemain A secara bebas sesuai pilihannya. Setelah itu, giliran pemain A meletakkan 1 kecik cadangan ke titik yang dikehendaki atau memindah satu kecik dari satu titik ke titik lain. Lalu pemain B mulai menggeserkan kerikil macan 1 langkah, bebas ke kanan, ke kiri, maju, atau mundur.

Macan (kerikil) boleh makan wong (kecik) jika jumlahnya ganjil, bisa 1,3,5, dan seterusnya. Caranya makan, dengan melompati wong (kecik) yang akan dimakannya. Untuk itu, pemain A harus jeli dan pandai menghindar atau penutup gerak pemain B. Jangan sampai pemain B bebas bergerak sehingga bisa melompati kecik yang diletakkan pemain A. Pemain A dan B harus sama-sama jeli menempatkan kecik atau kerikil di setiap titiknya. Bila macan bisa melompati 3 wong, maka wong menjadi milik macan. Sementara pemain A tetap bisa menempatkan kecik satu-persatu ke titik selama masih punya cadangan kecik. Dalam usaha mematikan gerak macan, maka pemain

Page 138: Pembelajaran sd mulok dolanan anak tradisional

A terus membendung serangan pemain B dengan cara mengepungnya. Namun kepungan dengan kecik yang jumlahnya harus genap, sehingga macan mati langkah. Pemain A dinyatakan menang, jika macan sudah tidak bisa bergerak. Pemain B menang apabila jumlah wong (kecik) pemain A habis dan tidak bisa mengepung macan atau jumlah kecik kurang dari 14 biji. Jika sudah ada salah satu pemain yang kalah, maka dolanan dimulai dari awal lagi.

bersambung

Suwandi Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukriman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta, Kepel Press