15
PENDIDIKAN SOPAN SANTUN DAN KAITANNYA DENGAN PERILAKU BERBAHASA JAWA MAHASISWA oleh Suharti FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstract The application of Javanese etiquette as the realization of the behavioural education practised in the family setting can contribute to students' success while speaking Javanese pragmatically in taking the Oral Expression course. This implies that every family member has to be well-behaved and respect one another. Making it a habit to speak Javanese accompanied by the appropriate etiquette and good behaviour may encourage students to feel confident and comfortable when they speak Javanese with anyone in any situation. Being self-confident, thoughtful, comfortable, and respectful with one another are essential factors enabling one to live happily in society. Key Words: etiquette, behavioural education, Javanese A. Pendahuluan Bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar selanjutnya PBM pada Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan pada mata kuliah nonketerampilan dan bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantar mata kuliah keterampilan sekaligus sebagai materi latihannya. Mata kuliah keterampilan terdiri atas keterampilan membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara dengan masing-masing penyebutan komprehensi tulis, komprehensi lisan, ekspresi tulis, dan ekspresi lisan. Dari keempat keterampilan tersebut ekspresi lisan merupakan keterampilan yang memerlukan banyak persiapan. Persiapan diperlukan karena dalam praktik berbicara tersebut mahasiswa dituntut untuk berbahasa Jawa secara pragmatik, lancar, serta 57 ---- -----

Pendidikan sopan santun

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pendidikan sopan santun

PENDIDIKAN SOPAN SANTUN DAN KAITANNYA DENGANPERILAKU BERBAHASA JAWA MAHASISWA

oleh Suharti

FBS Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract

The application of Javanese etiquette as the realization ofthe behavioural education practised in the family setting cancontribute to students' success while speaking Javanesepragmatically in taking the Oral Expression course. This impliesthat every family member has to be well-behaved and respect oneanother. Making it a habit to speak Javanese accompanied by theappropriate etiquette and good behaviour may encourage studentsto feel confident and comfortable when they speak Javanese withanyone in any situation. Being self-confident, thoughtful,comfortable, and respectful with one another are essential factorsenabling one to livehappily in society.

Key Words: etiquette, behavioural education, Javanese

A. Pendahuluan

Bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar selanjutnyaPBM pada Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa adalah bahasaIndonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan pada matakuliah nonketerampilan dan bahasa Jawa digunakan sebagai bahasapengantar mata kuliah keterampilan sekaligussebagaimateri latihannya.Mata kuliah keterampilan terdiri atas keterampilan membaca,mendengarkan, menulis, dan berbicara dengan masing-masingpenyebutan komprehensi tulis, komprehensi lisan, ekspresi tulis, danekspresi lisan. Dari keempat keterampilan tersebut ekspresi lisanmerupakan keterampilan yang memerlukan banyak persiapan.Persiapan diperlukan karena dalam praktik berbicara tersebutmahasiswa dituntut untukberbahasaJawa secara pragmatik, lancar, serta

57

---- -----

Page 2: Pendidikan sopan santun

58

penyampaian pesan secara jelas sesuai dengan perannya. Selain itumahasiswa juga hams mengingat pada sikap berbicara, sikap anggotabadannya, dan sebagainya. Peran pada latihan keterampilan berbicaraditentukan oleh dosen pengajamya. Peran yang dilatihkan sebagaipemakalah - peserta seminar, pembawa acara, panyandra, danpamedharsabda, dengan materi berkisar pada masalah bahasa, sastra,danbudaya.

Berbahasa Jawa sesuai dengan perannya atau dapat disebutberbahasa Jawa sesuai dengan situasi dan konteksnya, baik berupapercakapan ataupun pidato adalah tujuan mata kuliah Ekspresi Lisan.Mahasiswa yang telah menguasai dan terampil berbahasa Jawa secarapragmatik berarti telah menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa. Namunkenyataannya tidak semua mahasiswa telah menguasai penggunaanbahasa secara pragmatik tersebut. Kenyataan ini dapat dilihat padawaktu mahasiswa berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya.Mahasiswa lebih banyak memilih berbahasa Indonesia, walaupun dosentelah membuka pembicaraan dengan berbahasa Jawa. Kenyataan lainyang terlihat di kelas keterampilan pada waktu terjadi proses belajarmengajar mahasiswa lebih banyak diam daripada yang meresponpembicaraan dosen. Kenyataan mahasiswa lebih banyak diam inidipengaruhi oleh sikap pesimisme dan kurang percaya diri mahasiswaberbahasa Jawa di dalam kelas (Suharti, 1992: 65) dan rasa takutmembuat kesalahan yang berlebihan dalam berbahasa Jawa (Suharti,1991:97). Mengapa terjadi hal demikian? Hal inilahyang menarik minatuntuk dikaji, yakni hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa Jawasecara pragmatikmahasiswa dalamPBM Ekspresi Lisan.

B. Perilaku Berbahasa J awa Mahasiswa secara PragmatikPerilaku berbahasaJawa secara pragmatik adalahberkomunikasi

dengan menggunakan alat bahasa Jawa sesuai dengan situasi dankonteksnya, atau yang dibatasi oleh faktor-faktor pragmatik, juga sikapsantun yang ada pada diri pembicara dan lawan bicaranya, yang disebut

DIKSI Vo/.ll. No.1. Januari 2004

Page 3: Pendidikan sopan santun

59

unggah-ungguh berbahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa di dalamkelas juga dapat disebut perilaku berbahasa Jawa karena merupakanreaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badanatau ucapan (KUBI, 1990:671-672).Perilaku berbahasa Jawa tidak sajamenggunakan bentuk ungkapan verbal bahasa Jawa, tetapijuga disertaibentuk ungkapan nonverbal. Bentuk ungkapan verbal bahasa Jawaadalah ucapan atau yang menggunakan lambang-lambang berartikulasibahasa Jawa, sedangkan ungkapan nonverbal adalah bentuk ungkapanyang sering didefinisikan sebagai pertukaran informasi melalui tanda-tanda nonlinguistik ((Lincoln dan Egon G. Guba, 1985: 276) ataunonbahasa yang dapat berupa gerakan badan (kinesik), bunyi nonbahasa(paralinguistik), jarak (proksemik) (Subiyakto, N, 1988: 12). Adapunpesan nonverbal adalah (1) kinesik disampaikan menggunakan gerakantubuh, (2) proksemik melalui pengauran jarak dan ruang, denganmengatur jarak pembicara dengan yang lain; (3) artifaktual melaluipenampilan tubuh, pakaian dan kosmetik; (4) paralinguistik adalahpenyampaian pesan berhubungan dengan nada, kualitas suara, volume,kecepatan, dan ritme (Jalaludin, 1986: 305-310). Jadi yang dimaksudperilaku berbahasa Jawa secara pragmatik di dalam PBM Ekspresi Lisanadalah berbahasa Jawa sesuai dengan aturan-aturan berbahasa Jawa dansikap santun pembicara terhadap lawan bicaranya, serta menyampaikanisi pidato dengan jelas dan lengkap sesuai dengan peran yangdisampaikan. Dengan demikian, di dalam berbahasa Jawa tidak hanyadiperlukan aturan-aturan berbahasa Jawa, tetapi diperlukan jugapengetahuan sopan santun.

c. Pendidikan Sopan SantunPendidikan menurut Ki Hadjar Dewantoro (1977: 20-21)

secara umum diartikan sebagai tuntunan ':i dalam hidup tumbuhnyaanak-anak. Dikatakan menuntun karena masing-masing anak memilikikodrat dan keadaannya masing-masing.Pendidikan di sini dimaksudkanmenuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

-- --

Page 4: Pendidikan sopan santun

60

mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Menumt Supadjar (1985:198-201) kodrat manusia hidup dari lahirsampai akhir hayatnya dibagi menjadi empat tingkatan masa, ialah masamuda, masa dewasa, masa tua/ masa merenung, dan masamengesampingkan keduniaan. Tingkatan-tingkatan tersebut masing-masing memiliki tugas dan kewajiban yang hams dilaksanakansebaik-baiknya.

Pada masa muda antara umur 0 24 tahun mereka yang tergolongdalam rentangan umur tersebut memililiki tugas dan kewajiban untukmencari pengetahuan, baik yang bersifat umum maupun khusus yangberguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan pengabdiannyakepada Tuhan Yang Mahaesa. Pengetahuan yang bersifat umum dapatdigunakan sebagaibahan untuk menangkap dan menanggapi ilmu-ilmupengetahuan lainnya, sedangkan yang bersifat khusus atau yangmenjums padajurusan tertentu sesuaidenganpanggilan hidupnya.

Selain mempelajari pengetahuan yang bersifat umum maupunkhusus tersebut manusia muda juga hams berlatih diri untuk menjadimanusia Tri-H-Laras, yakni HI, hutamangganya berisikan segalamacam pengetahuan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga sendiri,dan bagi masyarakat serta negaranya; H2, .hatinya berisikan budipekerti, akhlak, watak yang baik bagi diri sendiri, bagi umum, dan bagipengabdian kepada Tuhan YME; dan H3, hawaknya kuat, sehat, danprigel yang diperlukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Segala yangdimiliki dari masa muda ini berguna untuk melanjutkan tugas dankewajibannya di masa dewasa yangjuga terdiri atas empat, yakni oranghidup di masyarakat hams memiliki pangkat, harta benda, kepandaian,dan kesusilaan. Orang hidup di masyarakat hams memilikijabatan ataupekerjaan yang layak, memiliki harta benda untuk menyelenggarakankehidupannya sehari-hari, memiliki kepandaian untuk melakukanpekerjaan tertentu, dan hams memiliki akhlak yang baik, budi pekertiyang terpuji, kelakukan yang tulus atau watak yangjujur.

DIKSI Vol.l1. No.1. Januari 2004

Page 5: Pendidikan sopan santun

61

Dari keempat tugas kewajiban tersebut bila salah satu tidak adaatau tidak dimiliki oleh seseorang anggota masyarakat, maka ia tidakakan dihargai oleh masyarakatnya. Misalnya, seseorang tidak memilikipekerjaan, otomatis ia tidak memiliki harta benda yang diperlukan untukmencukupi kebutuhan sehari-harinya. Demikian pula bila seseorangtidak memiliki kepandaian, tentunya ia juga akan kesulitan untukmendapatkan pekerjaan guna mendapatkan harta benda sebagai saranadapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Untuk itu tugas dankewajiban ini mutlak harus dimiliki oleh anggota masyarakat untukkelangsungan hidupnya. Selain itu keberhasilan seseorang pada masadewasa ini digunakan sebagai bekal memasuki masa tua atau masamerenung, dan seterusnya untuk memasuki masa keempat yakni masamengesampingkan keduniaan.

Pendidikan yang diartikan untuk menuntun anak pada kodratnyamasing-masing untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yangsetinggi-tingginya adalah sesuatu perjalanan yang panjang, sejalandengan perjalanan kodrat manusia dari lahir sampai akhir hayatnya yangterdiri atas empat masa yakni, masa muda, masa dewasa, masa tual masamerenung, dan masa mengesampingkan keduniaan. Pencapaiankeselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya tersebut dapatdisejajarkan dengan tugas dan kewajiban manusia sebagai makhlukmoral, makhluk sosial, dan makhluk individual (Soepadjar, 1985: 196).Manusia dalam kehidupannya tidak dapat memilih salah satu tugas ituuntuk diprioritaskan, misalnya tugas sebagai makhluk individual yanakan dilaksanakan pada saat ini. Dari ketiga tugas manusia ini dapatdiketahui bahwa manusia tidak dapat hidup menyendiri tetapi selalumembutuhkan kehadiran manusia lainnya. Untuk dapat mencukupikebutuhan bergaul dengan manusia lain, antara lain diperlukan sopansantun sebagai sarananya.

Sopan santun atau tata krama menurut Taryati, dkk. (1995:71)adalah suatu tata cara atau aturan yang turun-temurun dan berkembangdalam suatu budaya masyarakat, yang bermanfaat dalam pergaulan

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

--

Page 6: Pendidikan sopan santun

62

dengan orang lain, agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian,hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan. Banyak yangdiharapkan lingkungan dari tata krama atau sopan santun karena orangtua diwajibkan untuk mengajarkannya. Ada yang berpendapat bahwabaik buruknya tingkah laku anak merupakan cermin tingkah laku orangtua sendiri. Oleh karena itu bagi anak, tidak ada pemberian yang lebihbaik dari pada orang tua kecuali dengan pemberian pendidikan yanglebih baik, menanamkan budi pekerti yang luhur, belajar mengucapkankata-kata yang baik, dan sekaligus diajarkan untuk belajar menghormatiorang lain.

Penjelasan tentang sopan santun tersebut sejalan denganpernyataan Suwadji (1985: 12) bahwa sopan santun atau unggah-ungguh berbahasa dalam bahasa Jawa mencakup dua hal, yaitu tingkahlaku atau sikap berbahasa penutur dan wujud tuturannya, atau dapatdisebut sebagai patrap dan pangucap (Dwirahatjo, 1999:3) yangkeduanya tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, orang yangmenghormat orang lain dengan tuturan halus dengan bahasa Jawa kramaa/us, tentu diungkapkan dengan tingkah laku atau patrap yang hormat,begitu pula sebaliknya orang yang bertingkah laku hormat pada oranglain tidak akan disertai tuturan atau pocapan yang kurang hormatmisalnya dengan bahasa Jawa ngoko santai. Sebagai ilustrasi dapatdikemukakan contoh percakapan mahasiswa dengan dosennya, sepertiberikut.

Dosen : Mas iki ibu nyuwun titip serat iki diaturake ibuLarasati.

MHS : fa bu mengko dakterake nyang ibu Larasati. (diucapkandengan santun)

'Dosen: Mas ini ibu minta tolong surat ini diberikan ibuLarasati.'

'Mhs : Yabunanti saya antarkanke ibuLarasati.'Percakapan di atas mengunjukkan bahwa dosen sebagai orang

yang lebih tua menggunakan pilihan tingkat tutur ngoko a/us, dan

DIKSI Vol.H, No.1, Januari 2004

Page 7: Pendidikan sopan santun

63

mahasiswa menggunakan pilihan tingkat tutur ngoko /ugu. Dari pilihantingkat tutur ngoko yang digunakan mahasiswa untuk menjawabpercakapan dosen iniberdasarkan keumuman yang terjadi di masyarakatJawa kurang berterima. Yangumum terjadi adalahmahasiswa menjawabpercakapan dosen yang berwujud tingkat tutur ngoko a/us dengantingkat tutur krama a/us. Dosen sebagai orang yang dituakan memilihngoko a/us untuk menghormat si mahasiswa dengan menggunakanpilihan leksikon krama inggil "nyuwun", dan sebagai adat kebiasaanyang berlaku mahasiswa akan menjawab dengan leramaa/us, sepertiberikut.

Dosen: Mas iki ibu nyuwun titip serat iki diaturake ibuLarasati.

Mhs : Inggih bu,mangke ku/aaturakendhateng ibu LarasatiPenentuan penggunaan bahasa Jawa dengan didasarkan pada

pembedaan sikap santun ini disebut tingkat tutur yang dapat dibedakanmenjadi tingkat tutur ngoko, madya, dan krama (Poedjosoedarmo, 1979:3). Untuk memiliki sopan santun yang baik ini tidak dapat diperolehsecara tiba-tiba, tentunya melalui proses tuntunan atau pendidikanseperti disebut di atas.

Tuntunan bersopan santun dapat dilakukan secara langsungataupun tidak langsung. Tempat terjadinya pendidikan dapat di dalamkeluarga, sekolah ataupun masyarakat. Pelaku pendidikan dapatdilaksanakan oleh orangtua, orang yang lebih tua, sesamanya ataupunoleh pengajar di sekolah. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikansopan santun ini sangatlah kompleks, dan hasilnyapun tidak mudahdiramalkan.

Keberhasilan pendidikan sopan santun ditentukan oleh berbagaifaktor lingkungan yang mengelilinginya, baik faktor intern maupunekstern. Dikatakan demikian karena pendidikan sopan santun tidakdapat berdiri sendiri dan selalu kait mengait dengan hal lainnya.Kemungkinan kait-mengaitnya sopan santun dalam keluarga akankelihatan dalam perilaku di masyarakat, dan pendidikan di masyarakat

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

- - ----

Page 8: Pendidikan sopan santun

64

akan berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Hal ini sudah diakui olehbanyak orang. Berikut akan disampaikan pembahasan tentangketerkaitan pendidikan sopan santun dengan perilaku berbahasa Jawamahasiswa.

D. Kaitan Pendidikan Sopan Santun dengan Perilaku BerbahasaJawa Mahasiswa

Perilaku berbahasa Jawa pada praktik ekspresi lisan dapatdibedakan menjadi tiga hal, yaitu praktik sebagai pembawa acara,panyandra, dan pidato. Pada tulisan ini difokuskanpada praktik ekspresilisanpidato karena pidato lebih variatif, dan temyata pada proses praktikpidato tersebut terbentuk suatu pola perilaku seperti berikut ini.

Dari pola di atas dapat diketahui bahwa tampilan pidato mahasiswaberwujud perilaku berbahasa Jawa secara pragmatik teIjadi karenabersatunya bentuk ungkapan verbal bahasa Jawa disertai unsurnonverbal, tradisi budaya sebagai materi pidato, dan usaha mahasiswa.Selain ketiga pembentuk berbahasa Jawa mahasiswa terdapat satu unsur

DIKSI Vol.lI. No.1.Januari 2004

Bentukungkapan

verbal

Bentuk BerbahasaNilai-nilai - Usaha ungkapan JawaBudaya Mahasiswa nonverbal secara

pragmatik

TradisiBudaya

Page 9: Pendidikan sopan santun

65

lain, yakni nilai-nilai budaya yang temyata menjadi penentukeberhasilan mahasiswa dalam berpraktik pidato. Salah satunya adalahpendidikan sopan santun sebagaibagian unsur nilai-nilai budayaJawa.

Perilaku berbahasa Jawa mahasiswa sebagai hasil dari PBMEkspresi Lisan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu perilaku berbahasaJawa baik, sedang, dan kurang. Perilaku berbahasa Jawa mahasiswayang tergolong baik adalah tampilan pidato di dalam pelaksanaanpraktik pidato pada unsur bentuk ungkapan verbal yang digunakanbahasa Jawa ataupun bahasa Jawa diseling bahasa Indonesia denganketepatan pada pilihan tingkat tutur, dan penggunaan pilihan tingkattutumya. Yangdiikuti dengan penggunaan bentuk ungkapan nonverbalyakni mengucapkan bahasanya lancar, tenang dalam pengucapan,volume suara keras dengan lagu dinamis, pandangan mata ke depan, dancepat pengucapannya. Isi pidato yang disampaikan jelas, lengkap dansesuai dengan peran yang dibawakannya. Sebaliknya mahasiswa yangtergolong pada perilaku berbahasa Jawa kurang, kekurangannya adayang terdapat pada unsur ungkapan verbal- nonverbalnya yang akhimyamesti mempengaruhi unsur yang lainnya. Keberhasilan dankekurangberhasilan dalam praktik berpidato ini didasarkan pada usahamahasiswa dalam melaksanakan langkah-Iangkah pidato yang hamsdilaksanakannya. Tidak kalah pentingnya adalah kemampuan danpengetahuan mereka tentang bentuk ungkapan verbal-nonverbal yangtelah dimiliki sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan cuplikanpidato mahasiswa sepertiberikut.

"... Wondene upacara tedhaksiten utawi tata urutanipuntedhaksiten inggih menika: ingkang sepisan, lare dipuntetahmlampah wonten sanginggiling jadah. Menika nggadhahi teges,bilih ing mangkenipun lare badhegesang wonten ing ngalam donyamenika, badhe manggih maneka warni lelampahan. lngkang angkakalih inggih menika sasampunipun lare dipuntetah, laredipunpenekaken wonten andha. Anggenipun menek menika, menikamengku teges bilih ngalam donya menika boten abadhi utawi boten

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

Page 10: Pendidikan sopan santun

66

ajeg. Dados inggih mangkenipun sedaya tiyang menika badhenglampahi. Ingkang salajengipun sasampunipun laredipunpenekaken andha, lare badhe dipunlebetaken dhatengkurungan ingkangsampun punrengga. Lare dipunlebetaken wontenkurungan inggih menika mengu teges, ing mangkenipun tiyangsepuh nggadhahi pangajab, lare wau badhe gesang wonten ingmadyaning bebaryan agung utawi ing masyarakat, sasaged-sagedlare ingkang kedah nurutipranatan utawi nurutipaugeran ingkangwonten ingmasarakat. ... "

'... Upacara turun tanah (tedhaksiten) atau tata urutan upacara turuntanah adalah sebagaiberikut: pertama, anak dituntun berjalan di atasjadah. Makna tata cara ini adalah anak tersebut di masa mendatangakan menghadapi berbagai macam corak kehidupan. Kedua, setelahanak dituntun berjalan di atasjadah, anak dinaikkan ke tangga. tatacara ini menggambarkan bahwa di alam kehidupan ini serba tidakabadi atau tidak tetap. Jadi nantinya semua orang akanmengalaminya. Acara selanjutnya setelah anak dinaikkan di atastangga, anak dimasukkan ke dalam sangkar, sangkar yang telahdihias. Anak dimasukkan ke dalam sangkar, orang tuaberpengharapan di kelak kemudian hari anak dapat terjun dimasyarakat, dapat. mentaati peraturan-peraturan yang ada dimasyarakat. ...'

Petikan pidato di atas adalah bentuk keberhasilan mahasiswa dalamberusaha dengan melaksanakan langkah-langkah praktik pidato denganmemanfaatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, yaknikemampuan berbahasa Jawa ditambah materi pidato tentang upacaraadat tedhaksiten.

Dari hasil wawancara berdasarkan pengamatan terhadapmahasiswa yang berperilaku berbahasa baik dan yang kurang baiktemyata selain usaha mereka dengan memperbanyak latihan sendiri danmembaca buku, ada hallain yang sangatmenentukan, yakni pendidikansopan santundari orang tuanya. Pendidikan sopan santun ini diwujudkan

DIKSI Vol.ll, No.1, Januari 2004

Page 11: Pendidikan sopan santun

67

dalam bentuk penggunaan bahasa Jawa krama untuk menghormatkepada orang tua atau orangyang lebih tua. Hal ini terungkap pada waktumahasiswa menceriterakan bagaimana proses belajar berbahasa Jawakrama di dalam keluarganya.

Selama berceritera tentang pengalamannya tersebut penelitisering menyelingi dengan pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Jawangoko yang sekaligus untuk mengetahui seberapa jauh kebenaran yangdiceriterakan tentang pengalamannya belajar berbahasa Jawa krama didalam keluarganya dan ketahanan mereka memegang konsep sopansantun dan rasa hormatnya kepada orang tua dengan menggunakanbahasa Jawa krama yang diajarkan oleh keluarganya. Selain itu, merekamenjelaskan bahwa penerapan sopan santun dan rasa hormat kepadaorang tua atau orang yang lebih tua lewat penggunaan bahasa Jawakrama telah biasa dilakukan sejak masih kecil karena mempakankeharusan yang ditanamkan oleh orang tuanya. Pemyataan ini sesuaidengan hasil penelitian yang diadakan di Yogyakarta (Taryati, 1995:73)yang menyatakan bahwa pendidikan sopan santun yang dilakukan sejakanak-anak dapat berbicara atau berkomunikasi, dengan menirukanucapan-ucapan halus seperti matur nuwun 'terima kasih' bila menerimasesuatu, dan sampun 'sudah' bila bermaksud mohon pamit. Pada usiayang lebih tinggi lebih banyak lagi latihan dan nasihat yang diberikanorang tua, yaitu dengan tata krama yang sederhana dari bahasa Jawakrama, seperti dhahar (makan), tindak (pergi),kondur (pulang).

Selain ucapan-ucapan halus tersebut juga disertai dengan sikaptangan yang hams menggunakan tangan kanan bila menerima sesuatu,dan sikap membungkukkan badan dengan maksud untuk menghormat.Adapun bagi mereka yang tergolong pada kelompok kurang, memang didalam keluarganya kurang mendapatkan tuntunan tentang bagaimanahams mengungkan rasa hormat kepada orang tuanya atau kepada orangyang lebih tua. Di masyarakat pun mereka kurang mendapatkankesempatan untuk belajar berbahasa Jawa krama. Ungkapan merekayang tergolong berbahasa Jawa kurang ini juga dapat dilihat sewaktu

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

- -

Page 12: Pendidikan sopan santun

68

perbincangan dengan peneliti, mereka lebih banyak menjawab denganjawaban pendek-pendek inggih, boten, sampun, atau mereka menjadipendengar dandisertai banyak tersenyum.

Pendidikan sopan santun yang termasuk dalam adat Jawaberorientasi kepada atasan, yaitu kepada yang berpangkat tinggi, yangsenior, dan orang-orang tua atau yang dituakan atau berdasarkan silsilahkeluarga (awu). Sopan santun ini hams disertai saling menghargai sesuaidengan statusnya dan rasa tenggang rasa (tepa sUra) agar adakeseimbangan antara yang tua --muda, yang atas -- bawah (Kartadirdjo,dkk., 1988: 79). Pendidikan sopan santun yang berorientasi kepadaatasan yang hams disertai saling menghargai dan tenggang rasa ini jugadapat diterima dan dilaksanakan mahasiswa. Penerimaan ini dapatdilihat pada sikap dan respon mahasiswajika sedang berkonsultasi padadosen, dan terlihat pada saat berbincang-bincang dengan penulis,mereka tetap pada sikap santun dan berbahasa Jawa krama walaupundalam suasana santai sambil bersendau gurau.

Hasil pendidikan sopan santun untuk menghormati orang lainlewat penggunaan bahasa Jawa inilah yang menyebabkan mereka tidakmerasa canggunguntuk berbahasa Jawa krama dengan siapa saja,dan inisangat mendukung penampilannya pada pelaksanaan praktik pidato didalam PBM. Mereka tampil berpidato dengan berbahasa Jawa kramasecara pragmatik yang mendekati kewajaran berbahasa Jawa dengandisertai bentuk ungkapan nonverbal yang sesuai. Mereka dapat tampilbaik karena telah terbiasa berbahasa Jawa krama sejak kecil kepadaorangyang lebih tua.

Selain mahasiswa mendapat pendidikan sopan santun dari orangtuanya, merekajuga mendapatkan tambahan pengetahuan sopan santundari materi pidato yang mereka pelajari, misalnya dari Serat Wulangreh.Serat tersebut berisi ajaran sopan santunyang menyatakan bahwa oranghidup hams dapat membedakan dan dapat mengetahui yang baik danburuk serta selalu mengikuti tatakrama di manapun dan situasi apa pun.Landasan tatakrama yang tidak dapat ditinggalkan adalah "deduga,

DIKSI Vol.H. No.1. Januari 2004

Page 13: Pendidikan sopan santun

69

prayoga, watara, dan reringa" (Darusuprapta, 1990:52).Deduga adalahlandasan bertingkah laku sopan dengan mempertimbangkan masak-masak sebelum melangkah, prayoga mempertimbangkan baikburuknya, watara adalah memikirkan masak-masak sebelum memberikeputusan, dan reringaberhati-hati sebelum yakin benar akan keputusanitu (Kartadirdjo, dkk.: 1988:80). Penjelasan ini sesuai dengan tulisanSuwajiyang menyatakan bahwa: (I) ajaran sopan santunberbahasaJawamerupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup danbertahan sampai sekarang, (2) sopan santun berbahasa Jawa merupakanbagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, (3) sopan santunberbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur menghormati lawantutumya, dan (4) sopan santun berbahasa Jawa lebih menjaminkelancarankomunikasi dalammasyarakatJawa (1985: 14 15).

Bila direnungkan lebih mendalam tentang pendidikan sopansantun yang diberikan dalam keluarga mendapat perhatian yangsemestinya, seperti halnya mahasiswa-masiswa yang tergolong dalamberbahasa Jawa pragmatik kelompok baik ini tentunya pendidikan yangdimaksudkan Ki Hajar Dewantoro sebagaimenuntun segala kodrat yangada pada anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya akan dapat tercapai, sekaligus untuk membentuk Tri-H-Laraspada masa muda oleh Supajar dapat terlaksana. Dengan tingkah lakuyang berlandaskan pada sopan santun yang mengutamakan adanya rasasaling menghargai dan tepa sUra juga berdasarkan pada deduga,prayoga, watara, dan reringa, kodrat sebagai makhluk moral, makhluksosial, danmakhluk individu akanterpenuhi dengan baik.

E. PenutupMelalui uraian singkat di atas dapat dilihat betapa pentingnya

pendidikan sopan santun bagi perkembangan anak untuk mencapaikeberhasilan belajamya, untuk mengisi masa mudanya, tidak hanyadapat berbahasa Jawa sesuai dengan situasi dan konteksnya (termasukungkapan nonverbal yang menyertainya) temyata juga memberikan

Pendidikan Sopan Santun (Suharti)

- -

Page 14: Pendidikan sopan santun

--

70

dasar kehidupan tentang saling menghargai, tepa slira, dan tidak grusa-grusu dalam bertindak. Pendidikan sopan santun selain terdapat dalamWulangreh,masih banyak ditemui dalam naskah-naskah Jawa lainnya,misalnya Wedhatama,danSasanasunu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1977. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. ProyekPenelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Jakarta.

Darusuprapta. 1990. WulangrehAnggitan Dalem Sri Pakubuwana IV.Cetakan IV.PT Citramurti, Surabaya.

Kartodirdjo, dkk. 1988. Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Anonim. 1991. Kamus bahasa Indonesia - Jawa. DutaWacanaPress,Yogyakarta.

Jalaludin, R. 1986.PsikologiKomunikasi. Remaja Karya CV,Bandung.Lincoln, Y.S. dan Guba, E. G. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage

Publication, London.Suharti. 1991.Bahasa Jawa dalam Interaksi Ajar Belajar Ekspresi Lisan:

Suatu Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS

KIP Yogyakarta. Pasca IKIP Jakarta, Jakarta. (Tesis)1993.Keberanian Berbahasa Jawa Mahasiswa dalam Proses

Belajar Mengajar Ekspresi Lisan. Pusat Penelitian IKIPYogyakarta,Yogyakarta.

Suharti, dkk. 1993. Kajian Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalamKeluarga Jawa di Yogyakarta. Pusat Penelitian IKIPYogyakarta, Yogyakarta.

Supadjar,D. 1985."Etika dan TatakramaJawa Dahulu dan Masa Kini",Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama,dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali dan Sunda, ed. Soedarsono.

DIKSI Vol.JI, No.1, Januari 2004

Page 15: Pendidikan sopan santun

71

Departemen Pendsidikan danKebudayaan,Yogyakarta.Suwaji. 1985. "Sopan Santun Berbahasa dalan Bahasa Jawa",

Widyaparwa.Balai Penelitian Bahasa,Yogyakarta.Taryati, dkk. 1995. Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga

Daerah Istimewa Yogyakarta. Peny. Salamun. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Direktorat lendral KebudayaanDirektorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Pengkajian danPembinaan Budaya.

Trudgil, Peter. 1974. Sociolinguistics: An Introduction. Penguin BooksLtd., Harmondsworth.