10
Pengantar Antropologi “Korupsi, Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa” Disusun oleh: Istiqomah Aisyiyah Program Studi Sosiologi 2 B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Pengantar Antropologi

“Korupsi, Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa”

Disusun oleh:

Istiqomah Aisyiyah

Program Studi Sosiologi 2 B

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Page 2: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Pendahuluan

Korupsi seperti yang telah kita ketahui mempunyai arti yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan demikian korupsi adalah suatu tindakan yang tidak terpuji dan sangat merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang dilanda maraknya kasus korupsi di beberapa daerah yang terbilang cukup banyak dan sampai sekarang belum tuntas permasalahannya. Sangat disayangkan adapun pelaku korupsi ini kebanyakan adalah pegawai negeri yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini. Sebagian orang berpendapat bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa namun benarkah demikian?.

Melihat kondisi masyarakat saat ini, banyak yang memandang korupsi telah menjadi bagian dari kebudayaan di bangsa ini. Dalam konteks ini mereka memahami budaya sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, arti budaya sendiri berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia yang berarti bersifat positif sedangkan tidak dapat dikatakan apabila korupsi sebagai budaya tentu itu bersifat negatif.

Bersamaan dengan kebudayaan, korupsi juga dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sebab semua individu masyarakat mengalami perngaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama pertumbuhan mereka. Maka dari itu pembahasan di sini akan lebih spesifik mengenai korupsi kebudayaan dan kerpibadian bangsa melalui cara pandang dalam antropologi khususnya.

Page 3: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Pembahasan

Korupsi sepertinya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Korupsi telah mewabah dan ada di mana-mana. Sehingga kasus-kasus korupsi seperti ini terbiasa dikatakan dengan kata “budaya korupsi” , seolah-olah kata budaya di artikan sebagai suatu kebiasaan banyak orang yang kemudian tidak perlu lagi dipersoalkan atau di anggap sepele apalagi terdapat pula anggapan bahwa mustahil untuk dihentikan.

Menurut Franz Magnis-Suseno, kebudayaan adalah seluruh hamparan alam semesta sejauh telah ditandai oleh eksistensi manusia (Budiman: 2002). Sehingga kebudayaan adalah sebuah konsep yang sangat abstrak tapi sekaligus juga sangat familiar. Sangat sering diucapkan tapi tidak terdapat bukti signifikan bahwa karena itu ia juga sangat dipahami oleh si pengucapnya sendiri. Sedangkan dalam ilmu antropologi kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”.

Kembali kepada topik korupsi yang dianggap sebagai bagian dari budaya, di sini terdapat salah satu kesimpulan yang diberikan untuk menjawab pandangan yang mengatakan korupsi adalah bagian dari kebudayaan adalah sebagai berikut: “Para pejabat publik yang menjadi kaya raya dengan mendadak bukanlah ahli waris dari tradisi menyimpan uang di bank dan tanggung jawab sosial; mereka adalah orang kaya baru dalam administrasi pemerintahan... Orang-orang yang kebetulan berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat.” (Jeremy Pope: 2003).

Dalam diskusi JKAI (Jaringan Kekeluargaan Indonesia) yang di laksanakan di Bale Sawala Gedung Rektorat Universitas Padjajaran Jatinangor, Sumedang (10/10) Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto mengungkapakan bahwa kondisi rakyat dan bangsa sangat memprihatinkan, korupsi menjadi salah satu penyebab utama. Keluarga dan lingkungan menjadi kontributor utama atas pembentukan sikap, perilaku dan karakter koruptif yang akhirnya menjadi budaya yang koruptif.

Bambang menjelaskan ada tiga jenis korupsi yang biasa dilakukan oleh koruptor (1) Korupsi Terpaksa, dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang tidak tercukupi oleh gajinya yang rendah. (2) Korupsi Memaksa, dilakukan karena adanya sifat keserakahan untuk bisa hidup secara berlebihan. (3) Korupsi Dipaksa, dilakukan karena adanya pertemuan antara niat dan kesempatan dan tercipta karena kelemahan sistem dan peraturan.

Kebanyakan korupsi menjadi topik yang menarik diulas tetapi dalam korupsi skala besar, seolah-olah korupsi dengan keuntungan yang kecil menjadi suatu yang lumrah, bahkan bebas dari konsekuensi hukum dan moral yang signifikan. Sebabnya yaitu peran aparat penegak hukum masih lemah dalam peraturan, lemahnya manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), terdapat kelemahan Kepemimpinan serta lemahnya sistem penangan perkara.

Page 4: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Jika perilaku korupsi ini dikaitkan dengan konteks kebudayaan, maka sangat jelas bahwa kegiatan korupsi tersebut nyaris menjadi kesepakatan tidak tertulis yang kemudian diikuti oleh perilaku masyarakat luas. Hal ini berdasarkan dari kebiasaan maupun orientasi gaya hidup masyarakat yang telah terbentuk sejak dini.

Pertumbuhan gaya pemikiran manusia senantiasa di pengaruhi oleh konsepsi interaksi yang berkembang, baik secara fungsional maupun secara struktural. Perkembangan interaksi tersebut melebur menjadi kebiasaan menampilkan kemilau materi adalah salah satu stimulus seseorang untuk memperoleh pencitraan diri, walau dalam batas kemampuannya sekalipun.

Analoginya bisa kita lihat dari contoh kasus sehari-hari di kehidupan masyarakat yaitu pelanggaran lalu lintas yang dilakukan berkali-kali sama halnya dengan korupsi yang apabila di lakukan berkali-kali oleh seseorang atau suatu kelompok untuk memperkaya diri dan memperkuat posisi berhadapan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok lain tanpa dihukum, maka laku korupsi itu akan segera ditiru beramai-ramai tanpa harus berarti bahwa korupsi sudah menjadi laku budaya, apalagi dari kebudayaan bangsa. (Saldi: 2009)

Seperti analog di atas, maka laku korupsi tidak bisa disebut sebagai “laku budaya”. Untuk itu diperlukan keseriusan dalam menyikapi “pembudayaan korupsi”. Mengapa demikian? Karena pernyataan bahwa korupsi sebagai bagian dari kebudayaan bisa membawakan tiga resiko politik besar yang akan terjadi. Pertama, menempatkan laku korupsi sebagai laku budaya mengimplikasikan bahwa laku korupsi sudah terjadi di mana-mana dan karena itu dengan sendirinya membuat kita tidak bisa lagi menentukan dari mana atau pada titik-titik strategis apa saja yang harus dimulai untuk memberantasnya.

Kedua, jika hal itu masih dipandang demikian maka sikap yang cenderung memberinya pengertian atau pemaafan gampang meluas. Bertambah menggilanya laku korupsi sepanjang sepuluh tahun terakhir sehingga bisa dimaklumi karena ia memang dipandang sebagai bagain ari kebudayaan kita. Ketiga, bukan hanya dampak hiperbolik yang tercapai melainkan juga dampak desperasi, pegakuan keputusasaan secara tak langsung. Korupsi serta merta dibuat tampil dalam skala yang terlalu besar dan terlalu luas untuk bisa di atasi. Oleh sebab itu penjelasan disini sengaja mengangkat korupsi di Tanah Air tidak dalam konteks budaya, melainkan dalam konteks perkembangan dan laku politik konkret. (Saldi: 2009)

Korupsi bukan saja menjadi masalah politik, tetapi juga permasalahan sosial. Antropologi memandang masalah korupsi melalui tiga prespektif , yaitu pertama prespektif negara patrimonial, dalam situasi suatu negara korupsi muncul karen para pemimpin dan elit penguasa mengendalikan sumber daya ekonomi-politik. Dalam perspektif ini terdapat hubungan patron-klien yang tidak setara antara birokrat, lembaga legislatif, dan pengusaha. Relasi kuasa patron-klien inilah yang terjadi di Indonesia. DPR berperan sebagai patron bagi pengusaha dan birokrat yang menjadi klien mereka. Relasi yang terbangun di antara mereka adalah relasi kepentingan masing-masing yang saling menguntungkan.

Kedua, perspektif teori Gift Exchange, pandangan ini merujuka pada masyarakat primitif di mana relasi sosial antar individu sangat dekat. Interaksi dalam masyarakat terjadi secar alangsung (face to face) yang tercermin melalui kebiasaan bertukar hadiah. Teori ini dikemukakan oleh ahli antropologi Prancis Marces Mauss dalam The Gift (1954). Sebenarnya kebiasaan bertukar hadiah merupakan bentuk relasi sosial yang harmonis di masyarakat. Pemberian hadiah merupakan bentuk penghormatan antara warga satu dengan yang lain.

Page 5: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Namun, pada praktik korupsi di Indonesia, praktik saling bertukar hadiah menjadi alat untuk memperlancar kepentingan, misalnya untuk memperlancar proyek tertentu. Sehingga dalam kaitan dengan yang telah disebutkan diatas, jelas masyarakat modern telah menyelewengkan makna sosial bertukar hadiah yang merupakan kearifan masyarakat primitif.

Ketiga, persepktif relativisme kultural. Teori ini yang menyebutkan bahwa praktik korupsi kembali pada nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Mengacu pada perspektif ini, korupsi ini merupakan konsep modern dan muncul dalam wacana modernitas. Sehingga, pengertian korupsi akan berbeda menurut konteks budaya setiap masyarakat. Wacana modernitas memberikan pengertian pada korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau keuntungan ekonomis.

Mengenai kebudayaan tidak akan lepas dengan yang namanya kerpibadian, sebab budaya mempunyai peran penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan setiap individu di dalam lingkungan masyarakat. Seperti mencakup segala perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukannya akan membentuk kepribadian. Tetapi tentu saja antar kebudayaan mereka pastilah terdapat perbedaannya. Kalau dalam bahasa sehari-hari kita mengatakan kepribadian adalah ciri watak yang diperlihatkan secara konsisten dan konsekuen, yang menyebabkan bahwa ia memiliki identitas yang berbeda dari individu-individu lainnya.

Kepribadian seorang individu terbentuk oleh pengetahuan yang dimilikinya yaitu khususnya persepsi, penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, serta fantasi mengenai berbagai macam hal yang ada dalam lingkungannya, maupun berbagai perasaan emosi, kehendak, dan keinginan yang ditujukan kepada berbagai macam hal dalam lingkungannya tersebut. (Koentjaraningrat: Cet.4 2011)

Dalam antropologi ketika membahas kepribadian lebih cenderung mempelajari kepribadian yang dimiliki sebagian besar warga suatu masyarakat yaitu “kepribadian umum”. Dari kebudayaan umum ini akan dipertajam sehingga terjadi konsep “kepribadian dasar”, yaitu semua unsur yang dimiliki sebagian besar warga suatu masyarakat. Sebab semua individu masyarakat mengalami perngaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama pertumbuhan mereka. (Koentjaraningrat: Cet.4 2011)

Dari kepribadian individual ataupun kepribadian umum maka dapat dibentuk yang disebut dengan kerpibadian nasional atau juga berarti kepribadian bangsa. Dimanakah letak keperibadian bangsa? Dengan kata lain, bangsa sebagai kepribadian apakah itu? Bangsa sebagai kepribadian adalah bangsa dipandang menurut caranya yang khusus dalam kehidupan dan pembangunan dirinya, suatu cara berdasarkan pandangan tentang dan pendirian terhadap alam semesta. Dari lukisan ini tampak bahwa apa yang disebut kepribadian Bangsa itu tidak sama dengan jumlah tokoh-tokoh didalamnya yang berupa kepribadian sebab jumlah itu hanya merupakan sebagian saja dari seluruh bangsa. (Sudiarja: 2006)

Manusia dengan perbuatannya membangun kebangsaan (termasuk kebudayaan). Sebaliknya, bentuk-bentuk yang objektif itu juga mendeterminasikan manusia. Yang dideterminasikan itu bukan saja generasi yang menerima, melainkan juga yang menciptakan. Dengan kata lain, tentang bangsa dan kebudayaanya dapat dikatakan bahwa bangsa menentukan kebudayaan, tetapi juga bahwa kebudayaan menentukan bangsa yang membudaya. (Sudiarja: 2006)

Page 6: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Kepribadian bangsa sebagai keseluruhan ditentukan oleh kepribadian nasional dari warga juga ditentukan oleh kepribadian bangsa. Jadi ketika suatu kasus korupsi dikaitkan dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa haruslah dilihat terlebih dahulu dalam konteks apa. Mungkin arti korupsi menjadi suatu kepribadian bangsa ketika dari individu suatu masyarakat tersebut yang telah mendapat dorongan naluri, yatitu dalam ilmu psikologi artinya kesadaran manusia yang tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuannya, tetapi karena memang sudah terkandung di dalam organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Kemauan dari naluri tersebut disebutlah “dorongan”.

Kesimpulan

Korupsi memang telah menjadi persoalan yang rumit di Indonesia. Dilihat dari masa ke masa korupsi bukan malah menghilang tetapi semakin merajalela yaitu dengan adanya berbagai berita-berita tentang korupsi. Sehingga tidak heran ketika masyarakat mempunyai anggapan bahwa korupsi itu sebagai bagian dari kebudayaan yang dilakukan oleh si pelaku korupsi secara terus-menerus dan maka dari itu bersamaan pula anggapan tersebut adalah kepribadian bangsa. Padahal seperti yang telah dijelaskan di pembahasan, korupsi memiliki tiga hal resiko kalau ia dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan. Pribadi-pribadi yang tindak korupsinya membawa dampak paling negatif pada suatu negara tidak besar jumlahnya dan perilaku mereka mungkin nampak, atau mungkin juga tidak, tampak oleh warga biasa. Namun, korupsi kecil-kecilan yang ditemukan orang setiap hari dalam kehidupan masing-masing sering disebabkan oleh kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Salah satu upaya pemberantasan korupsi sendiri yaitu dengan membuang jauh-jauh pemikiran mengenai anggapan bahwa korupsi adalah kebudayaan. Namun, meberantas korupsi bukanlah tujuan akhir. Memberantas korupsi adalah perjuangan melawan perilaku culas dalam pemerintahan, dan merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien. Oleh karena itu tujuan gerakan anti-korupsi bukanlah mewujudkan pemerintah yang jujur tanpa cacat melainkan mengusahakan agar pemerintah lebih jujur dan dengan demikian lebih efisien dan lebih adil.

Page 7: Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa

Daftar Pustaka

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit KANISIUS.

Faisal, Muh. Ical. “Pemberantasan Korupsi Dalam Kajian Antropologi”. Artikel diakses pada

Isra, Salid. 2009. Kekuasaan dan Perilaku Korupsi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Keatt, Joan. “Korupsi, Prespektif Antropologi”. Artikel diakses pada 5 Mei 2014 dari

http://id.shvoong.com/society-and-news/politic/2225103-korupsi-perspektif-antropologi/

#ixzz30pAPxe8i

Koentjaraningrat. Cetakan ke-4. 2011. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta.

Novie. “Antropologi Bicara Budaya dan Korupsi”. Artikel ini diakses pada 3 Mei 2014 dari

www.maklumat-independen.com/nasional/hukum/781-antropologi-bicara-budaya-dan-

korupsi.html

Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

3 Mei 2014 dari m.kompasiana.com/post/read/487093/1/pemberantasan-korupsi-dalam-

kajian-antropologi.htm

Sudiarja, dkk. 2006. KARYA LENGKAP DRIYAKRYA: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang

Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.