18
Pidato Kepustakawanan MASYARAKAT BERPENGETAHUAN dan KEPUSTAKAWANAN: Kepustakawanan Berorientasi Pengetahuan Oleh: Dr. Agus Rusmana, M.A. disampaikan dalam Sidang Perdana dan Terbuka KAPPA SIGMA KAPPA INDONESIA Jakarta, 17 Desember 2015

[Pidato kepustakawanan] masyarakat berpengetahuan dan kepustakawanan: kepustakawanan berorientasi pengetahuan

  • Upload
    dwijo

  • View
    383

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Pidato Kepustakawanan

MASYARAKAT BERPENGETAHUAN

dan

KEPUSTAKAWANAN:

Kepustakawanan Berorientasi Pengetahuan

Oleh: Dr. Agus Rusmana, M.A.

disampaikan dalam

Sidang Perdana dan Terbuka

KAPPA SIGMA KAPPA INDONESIA

Jakarta, 17 Desember 2015

1

MASYARAKAT BERPENGETAHUAN dan

KEPUSTAKAWANAN: Kepustakawanan Berorientasi Pengetahuan

Oleh: Dr. Agus Rusmana, M.A.

Dosen pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Unpad

Rekan-rekan sejawat, Sebelum saya menyampaikan pidato kepustakawanan ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih dan pengharga-an yang sangat besar kepada Bapak Blasius Sudarsono, yang da-lam masa pensiunnya tidak pernah mau berhenti berperhatian pada kepustakaan Indonesia, yang telah memberikan kesempat-an kepada saya untuk menjadi orang pertama yang menyampai-kan pidato kepustakawanan. Kesempatan menyampaikan pidato ini adalah sebuah pengakuan kepada saya dari dunia kepustaka-wanan atas keterlibatan dan sumbangsih saya kepada dunia perpustakaan, baik sebagai dosen maupun sebagai pelaku orga-nisasi profesi pustakawan. Dan sebagai timbal baliknya saya ber-harap pidato ini akan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kepustakawanan Indonesia. Materi yang saya jadikan sumber rujukan dalam menulis pidato kepustakawanan ini berasal dari pengamatan langsung saya pada dunia perpustakaan, hasil bincang-bincang saya dengan "Mas Dar", Mbak Yati Kamil, Mbak Utami, Mas Putu Laxman, "Pak Sulis", Pak "BSU", Mbak Elly Julia Basri, Mbak Welmin, "Bang Zul", yaitu orang-orang yang dipandang sebagai tokoh utama di dunia perpustakaan. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin mengu-capkan terima kasih atas "bincang senang" selama ini yang sangat

2

memperkaya pemikiran saya. Sumber pemikiran lain yang saya gunakan adalah pengamatan saya pada obrolan yang dilakukan oleh para praktisi perpustakaan dalam media sosial, terutama Facebook, baik melalui posting pribadi maupun bincang dalam grup. Selain itu, karena pendidikan doktor saya adalah sosiologi, maka sudut pandang sosiologis banyak mempengaruhi tulisan naskah ini, terutama pada pandangan para sosiolog tentang informasi melalui tulisan-tulisan mereka dalam buku atau jurnal. Rekan-rekan sejawat, Kepustakawanan di Indonesia telah menjalani masa yang sangat panjang dan melakukan begitu banyak penyesuaian de-ngan perubahan dan perkembangan yang terjadi untuk melahir-kan pustakawan yang mampu mengelola perpustakaan agar sela-lu mendukung kehidupan masyarakat, mulai dari tuntutan untuk turut serta menyejahterakan masyarakat agrikultural tradisional, sampai dengan mengadaptasi perkembangan teknologi dalam masyarakat informasi. Kepustakawanan harus mampu menjamin keberadaan pustakawan agar perpustakaan yang dikelolanya dapat berperan seperti yang diamanatkan dalam UU No 43 Tahun 2007, yaitu: "...sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengem-

bangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional;..." (ayat a, amanat UU No 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan)

Untuk mencapai peran ini begitu banyak usaha dan tin-

dakan yang dilakukan oleh pustakawan mulai dari membuat per-pustakaan mampu memiliki koleksi yang lengkap dan berkualitas, sampai pada penciptaan citra positif perpustakaan dalam benak masyarakat. Di antara orang-orang yang terlibat dalam pengem-

3

bangan perpustakaan, yaitu pimpinan lembaga penaung perpus-takaan, pemerintah penentu kebijakan, pustakawan adalah "otak" dan "jantung"nya sebuah perpustakaan. Dialah yang me-nentukan apakah sebuah perpustakaan akan hidup berkualitas, hidup biasa saja, setengah mati, mati suri, atau mati sungguhan. Pustakawanlah yang menentukan laju perkembangan perpus-takaan yang dikelolanya dengan dasar pengetahuan, keilmuan, kemampuan dan keterampilan dalam bidang perpustakaan. Dan pada ujung pangkalnya, kepustakawananlah yang menjamin kela-hiran pustakawan yang berkualitas dan profesional.

Kepustakawanan adalah sebuah landasan pembentuk wujud manusia pustakawan yang melibatkan antara lain, pendi-dikan perpustakaan, pembentukan karakter pustakawan, profesi-onalisme, dan etika profesional. Untuk mewujudkan pustakawan yang akan mampu bekerja dan berkarya sesuai dengan konsep ideal perpustakaan, kepustakawanan di Indonesia harus selalu mengikuti perkembangan dunia keperpustakaanan di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan dan kemajuan yang sedang diikuti atau mempengaruhi kehidupan atau gaya hidup masyarakat Indonesia. Informasi dan Masyarakat yang diciptakan Rekan-rekan sejawat, Kita semua (pustakawan, penyelenggara pendidikan per-pustakaan dan pemerhati perpustakaan) mengetahui bahwa pa-da Desember 2003 di Geneva telah dideklarasikan tentang Ma-syarakat Informasi (World Summit on the Information Society) yang memberikan kebebasan manusia untuk memperoleh infor-masi di manapun informasi tersebut berada. Deklarasi ini meru-pakan sebuah langkah yang sangat besar dalam memberikan penghargaan pada informasi yang sebelumnya hanya disebut-sebut dalam kehidupan manusia sehari-hari namun tidak pernah diberikan perhatian yang tepat. Pada masyarakat informasi,

4

informasi memiliki nilai yang sangat penting, bahkan memiliki harga dan dapat diperjual belikan sebagai sebuah komoditi. Umat manusia hidup bergantung pada ketersediaan informasi. Informasi menjadi tulang punggung pengambilan keputusan dan tindakan. Informasi merupakan satu komponen utama sebuah pemecahan masalah. Selanjutnya bahkan disebutkan bahwa informasi menjadi sumber kekuatan (Information is power) yang mendorong orang untuk berlomba mencari dan mengumpulkan informasi, dan belajar untuk menjadi ahli informasi. Masyarakat informasi adalah masyarakat yang sadar akan pentingnya informasi, tergantung pada informasi dan menjadikannya landas-an untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup. Mulai saat itu semua yang mengandung kata informasi menjadi sangat penting dan bahkan kepemilikan informasi menjadikan manusianya dinilai bermartabat. Salah satu ciri yang dapat dilihat di Indonesia adalah adanya Kementerian Komunikasi dan Informasi, meningkatnya jumlah sekolah yang menawarkan pendidikan informatika pada berbagai jenjang pendidikan.

Mengikuti perkembangan sebagai konsekuensi lahirnya

deklarasi masyarakat informasi, kepustakawanan di Indonesia ikut juga mengubah arah pembentukan pustakawan yang awal-nya mengelola perpustakaan sebagai penyedia layanan bahan pustaka menjadi penyedia layanan informasi. Bahkan Program Studi Ilmu Perpustakaan ditambah (yang awalnya akan diubah menjadi) dengan kata Informasi. Keinginan menambah atau mengubah ini diperkuat dengan melihat contoh peristiwa di beberapa negara, seperti di Inggris, perguruan tinggi yang memi-liki program studi ilmu perpustakaan yang mengganti namanya menjadi program studi (department) ilmu informasi dengan alasan bahwa nama informasi lebih populer dan lebih menarik calon mahasiswa. Selanjutnya mengikuti perubahan nama dan arah, kurikulum pendidikan ilmu perpustakaan di Indonesia juga ikut berubah ke arah ilmu informasi dengan bergantinya mata kuliah kepustakaan menjadi mata kuliah tentang informasi dan teknologi pendukungnya. Terjadi pemisahan garapan perpustaka-an sebagai container (wadah) dan informasi sebagai isi (content).

5

Karena dilakukan secara sporadis dan tanpa kesepakatan, per-ubahan ini sempat menimbulkan sedikit “keributan” di antara pa-ra penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Ilmu Perpustakaan (ASPIKA? - istilah ini juga belum disepakati) tentang penempatan kata informasi, sebelum atau sesudah kata perpustakaan, pada nama program studinya (walaupun Direktorat Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat ijin penyelenggaraan pendidikan dengan satu nama: perpustakaan).

Pemberian perhatian pada informasi yang besar ini mem-

buat kepustakawanan Indonesia ikut diramaikan oleh hadirnya (atau dihadirkannya) para ahli atau praktisi teknologi informasi yang dipercayai dan diyakini oleh pustakawan sebagai orang-orang yang mampu meningkatkan kualitas perpustakaan. Begitu kagumnya dunia kepustakawanan pada teknologi informasi, para pustakawan banyak yang terlihat menempatkan teknolog infor-masi ini pada posisi yang lebih tinggi di dunia perpustakaan yang dipercayai dan diyakini oleh pustakawan sebagai orang-orang yang mampu meningkatkan kualitas perpustakaan. Begitu kagum-nya dunia kepustakawanan pada teknologi informasi, para pusta-kawan banyak yang terlihat menempatkan teknolog informasi ini pada posisi yang lebih tinggi di dunia perpustakaan yang diperca-yai dan diyakini oleh pustakawan sebagai orang-orang yang mampu meningkatkan kualitas perpustakaan. Begitu kagumnya dunia kepustakawanan pada teknologi informasi, para pustaka-wan banyak yang terlihat menempatkan teknolog informasi ini pada posisi yang lebih tinggi daripada pustakawan di dunia perpustakaan.

Penggunaan teknologi informasi kemudian menjadi ukur-

an kemajuan sebuah perpustakaan. Dalam banyak pertemuan, baik forum komunikasi perputakaan, lokakarya atau seminar, pustakawan yang perpustakaannya hanya menerapkan sedikit teknologi informasi merasa minder dan menempatkan diri se-bagai pendengar saja. Suasana ini semakin terlihat ketika sema-ngat “going digital” semakin marak diperbincangkan dan dicoba

6

diterapkan. Perpustakaan yang masih berkutat pada pengolahan bahan pustaka tercetak dianggap ketinggalan kemajuan, apalagi secara keliru masyarakat mempersepsi bahwa perpustakan de-ngan koleksi tercetak sudah harus ditinggalkan dengan semakin banyaknya sumber informasi digital atau e-resources yang ter-sedia di Internet. Seolah sebuah usaha untuk melawan anggapan ini, muncul berbagai diskusi yang mencoba menunjukkan bahwa koleksi tercetak tetap lebih baik dibandingkan koleksi digital atau sumber elektronik. Sampai saat naskah ini ditulis, perpustakaan dengan koleksi tercetak dinyatakan kalah dan pustakawannya akan dipertanyakan jika tidak ikut kegiatan apapun yang bertajuk perpustakaan digital. Literasi Informasi Kemeriahan penggunaan kata informasi semakin bertam-bah dengan dipopulerkannya istilah literasi informasi yang nam-paknya dimulai oleh para ahli komputer. Istilah yang tadinya ber-makna sangat sederhana, yaitu “bisa baca/ melek huruf” (literate), dalam tempo yang cukup singkat, menjadi sangat popu-ler, dan kembali kepustakawanan Indonesia direpotkan untuk mengikuti kecenderungan (trend) ini. Menariknya adalah bahwa kata dari bahasa Inggris literate ini tidak boleh diterjemahkan dengan kata melek, tetapi menjadi literasi atau literet. Lebih luar biasa lagi, tanpa melakukan upacara atau deklarasi atau kesepa-katan tertulis, lahirlah Masyarakat Literasi Indonesia. Kemudian di Bandung terbentuk Komunitas Literer yang terdiri dari para pemilik perpustakaan bercafe atau café yang menghadirkan per-pustakaan di tempat yang sama. Tidak lama setelah itu, ramailah kegiatan yang bertajuk literasi informasi, baik berupa seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan yang diadakan tentang literasi informasi untuk orang pada berbagai level, mulai dari pustakawan perguruan tinggi sampai masyarakat desa yang belum pernah mengenal (apalagi memahami) istilah informasi. Yang cukup menarik juga untuk diamati, bermunculan orang-orang, baik pustakawan maupun orang awam, yang tiba-tiba diakui atau

7

mengakui sebagai pakar literasi informasi tanpa pernah diketahui latar pendidikan formal yang dimilikinya di bidang literasi infor-masi (apalagi lembaga pendidikan yang menghasilkannya). Seper-ti pada masa keemasan masyarakat informasi, pakar literasi infor-masi juga menjadi manusia populer di kalangan pustakawan. Dengan menggunakan bahan rujukan dari tulisan di jurnal-jurnal terbitan luar negeri (terutama adalah konsep The Big Six), para para pakar literasi Indonesia kemudian membuat standar literasi informasi yang secara umum dikatakan sebagai kemampuan me-nentukan kebutuhan informasi, kemampuan mencari dan mene-mukan sumber informasi, kemampuan menggunakan informasi, dan kemampuan mengkomunikasikan hasil pemanfaatan infor-masi. Para pakar juga merumuskan metode untuk menciptakan literasi informasi bagi masyarakat. Namun yang luput dari para pakar ini adalah menentukan kompetensi yang harus dimiliki oleh mereka yang boleh memberikan pendidikan literasi informasi (contohnya, hanya guru bersertifikat yang boleh mengajar, pelatih bersertifikat yang boleh menjadi instruktur). Sampai saat ini literasi informasi masih menjadi “sesuatu” yang tetap diada-kan, diajarkan, dan dilatihkan layaknya sebuah keterampilan, namun tidak pernah ukuran untuk hasil pengajaran atau pela-tihan literasi informasi, sehingga belum ada lulusan pelatihan ini yang dapat diberikan kategori: sangat terliterasi informasi (nilai: A), terliterasi informasi baik (nilai: B), terliterasi informasi sedang (nilai: C), kurang terliterasi informasi (nilai: D), tidak literasi informasi (nilai: E). Belum juga dibuatkan aturan untuk mereka yang ingin meningkatkan nilai dari D ke A. Dari hasil pengamatan terhadap semua peristiwa perlaku-an dan penanganan oleh banyak pihak pada hadirnya ‘istilah’ informasi dalam dunia kepustakawanan di Indonesia selama masa itu, dapat dikatakan bahwa penerapan atau adaptasi istilah infor-masi dalam kepustakawan masih seperti kelatahan, belum benar-benar dilakukan dengan dasar kesepakatan pemahaman bersama tentang definisi dan makna informasi. Hal yang sama juga terjadi pada konsep literasi informasi yang ditangani dengan sangat serius oleh pustakawan dan pakar literasi informasi.

8

Menuju Masyarakat Berpengetahuan (Knowledge Society) Rekan-rekan sejawat Penambahan informasi sebagai sebuah ilmu pada kajian perpustakaan pada program studi ilmu perpustakaan dalam kancah akademik adalah tindakan yang tepat karena secara akademik penambahan informasi pada (setelah atau sebelum) kajian perpustakaan dapat dipertanggungjawabkan. Teori-teori dan filsafat informasi yang ditulis dan dikaji oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa informasi adalah sebuah ilmu (Information Science) yang dapat dipelajari, seperti juga kajian perpustakaan/ kepustakawanan (Library studies/ Librarianship). Ukuran-ukuran yang digunakan sebagai standar kompetensi adalah hasil kesepakatan para penyelenggara pendidikan sejenis, sehingga walaupun tidak seragam seperti ilmu kedokteran atau tehnik misalnya, terdapat kesamaan kompetensi yang dimiliki lulusan dari penyelenggaraan pendidikan sejenis. Perhatian yang masih harus diberikan adalah terhadap kelatahan memperlakukan informasi sebagai sebuah produk akhir dari perpustakaan. Perpustakaan secara latah membuat ukuran keberhasilan misinya dengan menyediakan layanan informasi. Dengan pemikiran latah ini perpustakaan melakukan semua usa-hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi masyarakat. Usaha perpustakaan menyediakan informasi berbarengan dengan pemikiran pada masyarakat informasi bahwa informasi adalah komoditas yang memiliki nilai ekonomis dan informasi adalah modal untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Perpustakaan ikut serta dalam perlombaan mencari, menyimpan dan men”jual” informasi bersama lembaga lain yang menyediakan jasa informasi. Perpustakaan menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi penjualan produk. Tanpa disadari oleh pustakawan dan teman-temannya, peran perpustakaan nyaris (atau ada yang sudah) bergeser dari peran yang sesungguh-

9

nya, yang juga secara jelas diamanatkan oleh UU No 43 Tahun 2007, bahwa perpustakaan bertanggung jawab untuk mencer-daskan bangsa. Dan kecerdasan bangsa bukan diciptakan oleh kecukupan infomasi. Rekan-rekan sejawat Ketika pustakawan menilai informasi sebagai puncak pen-capaian karya perpustakaan, para sosiolog memandang informasi hanya sebagai sebuah data mentah yang memiliki makna berbeda bagi masing-masing orang dengan masing-masing kepentingan-nya, dan berbeda makna juga bagi orang dengan budaya ter-tentu. Selanjutnya kajian sosiologi menyatakan bahwa konteks sosial dan budayalah yang membuat informasi itu memiliki mak-na, yang mengubah informasi menjadi pengetahuan, yang mem-buat seseorang memiliki pemahaman, bukan informasi itu yang secara mandiri berfungsi menjadi pengetahuan. Oleh karena itu masyarakat berpengetahuan merupakan istilah yang lebih tepat digunakan dalam pembangunan manusia di masa depan. (Spangenberg, 2005) Dari pemikiran bahwa masyarakat berpengetahuan lebih tepat daripada masyarakat informasi ini, maka perpustakaan, se-suai dengan peran utamanya mencerdaskan bangsa, berperan mendukung terbentuknya Masyarakat Berpengetahuan, yaitu masyarakat yang memiliki pengetahuan dan dengan pengetahuan itu mereka dapat menyejahterakan diri melalui peningkatan kehi-dupan ekonomi dan sosial berbasis pengetahuan. Seperti disebut-kan oleh UNESCO bahwa terbentuknya masyarakat berpenge-tahuan merupakan sumber pembangunan utama, terutama bagi negara berkembang (seperti Indonesia). UNESCO mendefinisikan masyarakat informasi sebagai kemampuan mengidentifikasi, memproduksi, memproses, mengubah bentuk, menyebarkan dan menggunakan informasi untuk membangun dan menerapkan pengetahuan untuk pembangunan manusia (UNESCO, World Report, 2005: 27). Dinyatakan juga oleh UNESCO bahwa masyarakat informasi yang memiliki arti jika dapat mendukung

10

perkembangan masyarakat berpengetahuan dan menetapkan tujuan untuk mengembangkan umat manusia berbasis pada hak azasi manusia. Begitu pentingnya pengetahuan sebagai dasar un-tuk membuat keputusan dan pengambilan tindakan, hampir semua sektor dalam kehidupan masyarakat menerapkan penge-tahuan di dalamnya. Masyarakat ekonomi menggunakan Ekonomi berbasis Pengetahuan (Knowledge Economy), para ilmuwan melakukan Rekayasa Pengetahuan (Knowledge Engineering), dan pustakawan bersama teknolog informasi diminta untuk melaku-kan Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management). Seperti kita ketahui bersama bahwa pengetahuan yang dimiliki seorang anggota masyararakat terdiri dari dua jenis ben-tuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang sudah terekam dalam bentuk tulisan atau bentuk grafis lain dan dapat dipelajari setiap orang (explicit knowledge) dan pengetahuan yang masih berben-tuk ingatan dan dimiliki seseorang dan tidak dapat dipelajari orang lain (tacit knowledge). Dari hasil beberapa kajian yang dila-kukan, ditemukan bahwa pengetahuan yang masih tersimpan dalam ingatan ini berjumlah lebih banyak daripada pengetahuan yang sudah dituliskan. Adalah peran dan tugas utama pustakawan untuk “membongkar” dan mengeluarkan pengetahuan tacit dari dalam ingatan seseorang, dan menjadikannya pengetahuan yang dapat dipelajari orang lain, dan membaginya agar lebih bayak lagi orang yang memiliki pengetahuan tersebut melalui prinsip Manajemen Pengetahuan. Tentu saja penyebaran dan pembagian pengetahuan ini tetap harus mengikuti hukum yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI - Intellectual Property Law). Pemilikan pengetahuan oleh banyak anggota ma-syarakat akan membentuk masyarakat berpengetahuan yang se-makin besar dan sanggup mendukung program pembangunan negara untuk kesejahteraan orang banyak. Rekan-rekan sejawat Dengan memperhatikan pernyataan bahwa masyarakat berpengetahuan lebih utama dalam meningkatkan kualitas hidup

11

masyarakat, maka perpustakaan harus harus mulai memperla-kukan dan menangani informasi pada tahapan yang lebih ber-makna, yaitu menjadikan (memilih dan mengolah) nya sebagai sebuah atau sekumpulan pengetahuan yang dapat langsung digunakan untuk meningkatkan keterampilan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesempatan memperoleh kesejahteraan hidup. Dengan kata lain, tujuan utama perpustakaan selanjutnya tidak lagi “sekedar” menyajikan informasi, namun lebih jauh lagi adalah memberikan “layanan pengetahuan” bagi masyarakat. Perpustakaan harus kembali pada jalur awalnya yaitu menjadi pusat pengetahuan (knowledge centre) dimana anggota masyara-kat dapat memperoleh sekumpulan informasi yang telah dipilih oleh pustakawan menjadi pengetahuan yang “ready for use” un-tuk meningkatkan kompetensi diri dan meningkatkan kesejah-teraan hidupnya. Dengan membekali anggota masyarakat dengan pengetahuan yang tepat, pustakawan telah membantu masya-rakat menjadi berpengetahuan, pandai, dapat mengerti dan mampu memahami fenomena dan persitiwa yang ada di seke-liling mereka dan bereaksi atau bertindak dengan tepat. Kebera-daan pustakawan akan menjamin terbentuknya masyarakat yang tidak lagi mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan kebia-saan atau keputusan massa (wisdom of crowds) tetapi berdasar-kan pengetahuan yang dimilikinya. Meniru penyataan Putu Pendit bahwa pengetahuan berlanjut pada kebijaksanaan (wisdom), maka dapat dikatakan bahwa masyarakat berpengetahuan akan berlanjut menjadi masyarakat yang bijak, yaitu masyarakat yang dapat hidup berdisiplin, memperhatikan dan menjaga lingkung-annya, berperilaku sopan dan menjaga ketertiban umum, dan banyak sikap dan perilaku positif lainnya. Rekan-rekan sejawat Pembentukan masyarakat berpengetahuan adalah sebu-ah aktivitas kolaboratif di antara anggota masyarakat yang terga-bung dalam sebuah jaringan, seperti yang dikatakan oleh Manuel Castells dalam bukunya The Network Society: From Knowledge to Policy (Castells, 2005) bahwa masyarakat berpengetahuan diben-

12

tuk oleh adanya masyarakat yang tergabung dalam jejaring (Network Society). Masyarakat berjejaring (network society) ada-lah masyarakat yang bersifat mandiri dimana anggotanya saling terhubung secara horizontal. Dalam masyarakat berjejaring tidak ada strata sosial vertikal yang biasanya terdapat dan berlaku da-lam masyarakat yang terkumpulkan oleh batasan geografis dalam sebuah struktur formal dimana terdapat pimpinan dan pegawai, ada atasan dan bawahan, ada pemerintah dan warga masyarakat. Oleh karena itu anggota masyarakat berjejaring memiliki kebe-basan untuk berbagi dan memperoleh informasi yang nantinya akan dijadikan pengetahuan. Kebebasan merupakan salah satu syarat utama dalam membentuk masyarakat berpengetahuan ka-rena memperoleh dan memiliki pengetahuan itu adalah hak masing-masing individu, dan tidak boleh ada larangan atau batasan seseorang untuk memiliki pengetahuan yang akan digu-nakannya untuk menyejahterakan dirinya, baik secara ekonomi maupun sosial (Spangenberg, 2005). Anggota masyarakat secara individu juga memiliki kebebasan untuk memanfaatkan penge-tahuan yang diperolehnya, begitu juga ukuran keberhasilan yang ingin dicapainya secara ekonomi dari pengetahuan tersebut. Walaupun pemerintah menetapkan standar pendidikan dan perolehan pengetahuan, kepandaian dan keberhasilan dalam hidup ditentukan sendiri oleh individu. Melihat bahwa masyarakat berjejaring adalah kunci dari pembentukan masyarakat berpengetahuan, maka kepustakawan-an di Indonesia juga harus memulai orientasinya pada terbentuk-nya jejaring di antara pustakawan dan perpustakaan, baik dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, atau secara manual saling bertemu. Kepustakawanan yang melibatkan semua unsur pendidikan, semangat, prinsip dalam berkarya, kompetensi, dan falsafah profesi (Blasius, 2006. hal. 329) harus mampu menciptakan pustakawan dan perpustakaan yang bersedia untuk berjejaring dan bekerjasama. Walaupun teknologi komputer dan sistem jaringan informasi sudah tersedia dengan memadai untuk dapat menyebar dan berbagi informasi di antara perpustakaan anggota jaringan, pustakawanlah yang menjadikan semua fasilitas

13

pendukung itu menjadi ada gunanya. Mengikuti semangat kebe-basan sebagai basis terbentuknya masyarakat berjejaring, kepus-takawanan harus mampu melahirkan pustakawan yang membe-rikan kebebasan pada pemustaka sebagai angota masyarakat un-tuk memilih pengetahuan yang dibutuhkan dan diinginkannya. Pustakawan juga harus menjadi sosok yang mampu berjejaring secara horizontal dalam berbagi pengetahuan, tidak menempat-kan diri pada strata lebih tinggi atau lebih rendah terhadap pustakawan lain (vertical relationship). Dengan semangat berje-jaring horisontal ini maka setiap pustakawan akan diperlakukan sama seimbang dalam berbagi sehingga penghargaan pada pe-ngetahuan yang dibagikannya juga sama besarnya. Rekan-rekan sejawat Sejajar dengan semangat membentuk masyarakat pem-belajar sepanjang hayat (lifelong learning society), masyarakat berpengetahuan juga harus dipelihara (sustained) agar berusia sepanjang hayat karena pembangunan manusia juga tidak akan pernah berhenti. Untuk itu kepustakawanan Indonesia akan sela-lu bergerak, berubah, berkembang untuk menjamin keberlang-sungan (sustainability) masyarakat berpengetahuan. Salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan tersebut adalah dengan menjaga agar fasilitas pendukung masyarakat berjejaring, yaitu teknologi informasi dan komunikasi, tetap terpelihara dan dikembangkan atau berkembang mengikuti kehidupan masya-rakat yang secara konstan terus bergerak maju. Untuk itu pusta-kawan perlu menyediakan tenaga dan waktunya untuk selalu mengikuti, mempelajari dan terampil menggunakan teknologi informasi untuk tujuan berjejaring. Pustakawan harus membuka wawasan pengetahuannya di bidang teknologi informasi dan komunikasi melalui pergaulan dan kerjasama dengan mereka yang bergerak dalam bidang itu, namun tetap pada peran sebagai pemanfaat teknologi, bukan sebagai produser. Dengan peran ini pustakawan akan dapat menentukan sendiri teknologi yang tepat dan mampu memenuhi kebutuhan berjejaring dan berbagi pe-

14

ngetahuan, dan bukan ditentukan oleh produsen teknologi informasi dan komunikasi tersebut. Rekan-rekan sejawat, Menutup pidato ini, saya mengajak semua pustakawan, yang sudah bersertifikat, berSK Menpan, maupun pustakawan 'biasa', untuk mulai menyatukan diri dalam sebuah jejaring, baik yang berbasis jaringan Internet maupun jejaring melalui per-temuan tatap muka rutin, diadakan atas inisiatif sendiri maupun 'menumpang' pada sebuah kegiatan relevan yang diadakan pihak lain. Saya juga mengajak pustakawan untuk selalu bersatu dan bekerjasama, tidak saling menutup diri sehingga saling berten-tangan karena merasa pihaknya yang saling besar dan paling benar, Saya mengajak agar semua pustakawan untuk saling ber-bagi informasi tentang pengetahuan yang dimiliki, tidak menyim-pan atau menimbun pengetahuan tersebut hanya untuk lem-baganya sendiri, atau bahkan untuk dirinya sendiri. Masyarakat berpengetahuan di Indonesia yang dimulai dari terbentuknya masyarakat berjejaring dimulai dari mapannya jejaring di antara pustakawan dan perpustakaannya. Selanjutnya, agar masyarakat bersedia menggunakan se-mua jasa layanan pengetahuan yang disediakan oleh perpusta-kaan, pustakawan harus memiliki kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat sebagai sosok yang akan mampu menjamin diper-olehnya pengetahuan yang tepat. Untuk itu saya menghimbau agar seluruh pustakawan mulai secara aktif memperkenalkan diri kepada masyarakat, membuat masyarakat mengenal keberadaan mereka, mengenal karya dan tugas mereka, peran mereka di dalam perpustakaan, manfaat keberadaan mereka dalam kehi-dupan masyarakat. Pustakawan sudah harus menunjukkan keber-adaannya, tidak lagi tersembunyi di balik ruang dan meja kerja melainkan harus sering bertemu dengan anggota masyarakat yang datang sebagai pemustaka maupun dengan berbaur (blended) dalam aktivitas kehidupan masyarakat. Dengan demi-kian, nama, sebutan atau kata pustakawan akan menjadi akrab

15

dan biasa terucap dalam bincang anggota masyarakat sehari-hari, terutama sebagai sosok pencari dan penyaji pengetahuan. Akhirnya, kepustakawanan di Indonesia harus dijalankan secara bersama-sama oleh semua pihak yang berkepentingan dengan dunia perpustakaan untuk menciptakan dan memelihara keber-langsungan masyarakat berpengetahuan dan memenuhi tuntutan UU No 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, yaitu: "...perpustakaan sebagai sarana yang paling demokratis untuk belajar sepanjang hayat demi memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi melalui layanan perpustakaan guna men-cerdaskan kehidupan bangsa."

___________________________

DAFTAR PUSTAKA Castells, Manuel, 2000. Toward a Sociology of the Network

Society, Contemporary Sociology, Vol. 29, No. 5. (Sep., 2000), pp. 693-699., American Sociological Association. Melalui: http://www.jstor.org/ journals/asa.html.

_______, Manuel, 2005. The Network Society: From Knowledge to Policy, Washington, DC. Center for Transatlantic Relations.

Faragó, Péter, 2002. Relativism In The Sociology Of Knowledge, Periodica Polytechnica Ser. Soc. Man. Sci. Vol. 10, No. 1, Pp. 177–188 (2002)

Fuchs, Christian, 2007. Transnational space and the ‘network society’, 21st Century Society, Vol. 2, No. 1, February 2007, pp.49–78, Salzburg, Academy of Social Sciences

Hayek, F.A., 2003. The Use of Knowledge in Society, American Economic Review, XXXV, No. 4; September, 1945, pp. 519-30.

16

Gerrans, Philip, 2005. Tacit knowledge, rule following and Pierre Bourdieu’s philosophy of social science, Anthropological Theory, Vol 5(1): 53–74, London, SAGE Publications (www.sagepublications.com)

Mauthner, Natasha S. And Andrea Doucet, 2008. Knowledge

Once Divided Can Be Hard To Put Together Again': An Epistemological Critique Of Collaborative And Team-Based Research Practice, Sociology 2008; 42; 971, Http://Soc.Sagepub.Com/Cgi/Content/Abstract/42/5/971

Spangenberg, J.H, 2005. ‘Will the information society be

sustainable? Towards criteria and indicators for a sustainable knowledge society’, Int. J. Innovation and Sustainable Development, Vol. 1, Nos. 1/2, pp.85–102.

Sudarsono, Blasius, 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia

(editor: Joko Santoso), Jakarta, Sagung Seto Swidler, Ann, and Jorge Arditi, 1994. The New Sociology of

Kowledge, Annu Rev. Sociol, 1994, 20: 305-29 Undang-undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan

---------------------------------------------

19

KAPPA SIGMA KAPPA INDONESIA

Bersaudara Untuk Menumbuh-kembangkan Kepustakawanan Indonesia

Kelompok studi yang dibentuk pada 15 Juni 2012, oleh dan bagi pribadi yang sadar tangung jawab melakukan upaya pembelajaran berkesinambungan dan untuk mengembangkan kepustakawanan Indonesia. Dimaksudkan sebagai komunitas pemelihara semangat belajar berkesinambungan dan penumbuh rasa bangga setiap anggota, sehingga dapat menghasilkan pemikiran mendalam maupun konsep pengembangan kepustakawanan Indonesia. Disebut dengan Kappa Sigma Kappa Indonesia, agar setiap anggota sadar dan berupaya menjadikan kelompok ini pada suatu saat nanti sebagai kelompok pemikir kepustakawanan yang terdepan. Persaudaraan dan gotong royong menjadi nilai utama yang dipilih untuk mengatur hubungan antar anggota. Semboyan: Bersaudara Untuk Menumbuh-kembangkan Kepustakawanan Indonesia. Kode etika Kappa Sigma Kappa Indonesia dirumuskan secara bertahap dan yang disepakati oleh semua anggota. Alamat kontak: Jalan Raya Tengah Nomor 3 RT 001 RW 09, Kalurahan Tengah, Kramatjati, Jakarta 13540 Telepon: 021 8408659 Telepon Selular: 0818122554 Pos elektronik: [email protected]