Click here to load reader
Upload
arif08
View
2.095
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA MEMPRIHATINKAN
Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak
perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan
tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport
yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya
dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil
dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa
guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah
guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki
kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia
mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi
yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi
untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.
Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia,
sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang
studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa
tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran,
mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan
baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa
mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa
terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang
kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut
PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi
untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa
tidak dapat distandardisasi.
Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat
mengetahui kecenderungan kompetensi mereka, dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau
tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka.
Menurut saya mendidik adalah mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupan
nyata, kehidupan nyata adalah kehidupan dimana mereka sudah tidak lagi bergantung pada
orang tua, kehidupan dimana mereka dapat menyelesaikan sendiri segala masalah yang
mereka hadapi dengan bijaksana.
Saya jadi ingat petikan tulisan pada buku "Sekolah itu Candu": Pendidikan harus berorientsi
kepada pengenalan realitas, yang obyektif maupun subyektif karena kesadaran subyektif dan
kemampuan obyektif adalah fungsi dialektis dalam diri manusia sehubungan dengan
kenyataan yang sering bertentangan yang harus dipahami dan dihadapinya. Proses pendidikan
adalah memanusiakan manusia.
Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di
rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada
standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standardisasi
dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil.
Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal
ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-
buku pendidikan, namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka.
Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan
sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh
pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal
mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri.
Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-
anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14
tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang
dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik
tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua
yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya.
Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan
untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya
dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di
depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh.
Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih
pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang".
Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua
bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan
yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi,
bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah,
bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih
umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan
pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk
mencari gelar??.
Pada siswa, pertama kali yang saya tanyakan ketika masuk kelas adalah apa kesukaan mereka
dan apa keinginan mereka, berbagai macam jawaban terlontar disana, dan sebagian besar dari
mereka memiliki keinginan yang ditentang oleh orang tua. Memprihatinkan bukan? Ada
seorang siswa saya yang suka kebut-kebutan di jalan, dimarahilah dia habis-habisan?
Pernahkan orang tua menanyakan mengapa mereka melakukan itu? Siswa saya ini
sebenarnya sangat mahir memodifikasi motor. Sesungguhnya bisa khan orang tua berdiskusi
mencari solusi terbaik, tanpa memarahinya habis-habisan.
Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan
seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa,
kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa, bidang studi yang
diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan
perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan
guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan
dana dan lain-lain dihapuskan.
Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang
menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja
sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan
jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa
keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan
robot sistem pendidikan Indonesia.