24
Sistem Sos Sebagai Acuan untuk mengen p Calvin Soza Jurusan Teknik Fakultas Te Institiu sial Masyarakat Suku nal suatu Sistem sosial dalam Masyarakat, pada Masyarakat NIAS. Oleh : anolo Telaumbanua 14109003 k Perencanaan Wilayah & eknik Sipil & Perencanaan ute Teknologi Medan NIAS , khususnya Kota n

Sistem Sosial Masyarakat Nias

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sistem Sosial Masyarakat Nias

Sistem Sosial Masyarakat Suku NIAS

Sebagai Acuan untuk mengenal suatu Sistem sosial dalam Masyarakat, khususnya

pada Masyarakat NIAS.

Calvin Sozanolo Telaumbanua

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan

Institiute Teknologi Medan

Sistem Sosial Masyarakat Suku NIAS

Sebagai Acuan untuk mengenal suatu Sistem sosial dalam Masyarakat, khususnya

pada Masyarakat NIAS.

Oleh :

Calvin Sozanolo Telaumbanua 14109003

san Teknik Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan

Institiute Teknologi Medan

Sistem Sosial Masyarakat Suku NIAS

Sebagai Acuan untuk mengenal suatu Sistem sosial dalam Masyarakat, khususnya

san Teknik Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan

Page 2: Sistem Sosial Masyarakat Nias

i

http://calvintel.blogspot.co.id/

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatnya yang

telah Ia berikan Kepada kita. Sehingga Makalah ini dapat terselesaikan tanpa ada hambatan dan

masalah yang berarti. Dan juga saya ucapkan terimakasih kepada teman-teman blogger, yang

telah memposting artikel tentang Suku dan Kebudayaan Nias. Sehingga memudahkan saya

untuk menyusun makalah ini.

Dengan berbagi dan Memposting aritikel tentang Sistem Sosial dan Kebudayaan Nias, saya

brharap selurah masyarakat Nias dapat mengenal kembali bagaimana Kebudayaan, Sistem

Sosial Suku Nias. Dengan Makalah ini, saya berharap teman-teman baik itu Masyarakat Nias

maupun teman-teman se Bangasa dan Setanah Air dapat mengenal Sistem sosial Masyarakat

Nias.

Dalam pembuatan makalah ini, tidak semuanya adalah hasil dari pemikiran dari Penulis, tapi

dari teman-teman blogger yang telah memposting yang telah langsung turun kelapangan untuk

melihat sistem sosial budaya Suku Nias. Perlu diketahui juga, Dewasa ini sistem sosial dan

budaya Nias sudah mulai memudar. Dan bahkan ada kebudayaan yang telah memudar dan

menghilang. Tidak semua yang dipaparkan ini, Dewasa ini masih di dijalani oleh masyarakt Nias

baik itu hukum dan Adat istiadat.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi

kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang berkompeten. Amin.

Medan, 30 April 2013

Penyusun

Page 3: Sistem Sosial Masyarakat Nias

ii

http://calvintel.blogspot.co.id/

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi ................................................................................................. ii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

1.3. Tujuan ................................................................................................. 1

BAB II : ISI

2.1 Pengertian Sistem Sosial .................................................................... 2

2.2 Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS .................................................................... 3

A. Beberapa kebiasaan mendasar .................................................................... 3

B. Interkasi Sosial Masyarakat NIAS .................................................................... 5

C. Tradisi Masayarakat Nias .................................................................... 9

D. Pertarungan Identitas di Balik .................................................................... 11

Batu

2.3 Hirearki & Sistem Kekerabatan .................................................................... 13

Masayarakat NIAS

2.4 Peraturan dan Hukum (Fondrakö) .................................................................... 16

Adat Nias yang Mengutuk (tidak mengenal Tuhan )

BAB III: Sistem Sosial Masyarakat NIAS Dan Perencanaan Wilayah dan Kota

3.1 Perencanaan Kawasan Wisata .................................................................... 18

3.2 Kawasan Lindung .................................................................... 19

3.3 Pembangunan Daerah Tertinggal .................................................................... 19

BAB IV: PENUTUP

3.4 Kesimpulan ................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21

Page 4: Sistem Sosial Masyarakat Nias

1

http://calvintel.blogspot.co.id/

Bab 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan Sistem Sosial Budaya dengan Perencaan Wilayah dan Kota

Sistem sosial dan budaya ini merupakan sebuah kegiatan kehidupan bermasyarakat yang

terdiri dari individu-individu yang melakukan kebiasaan, kegiatan, dan tata cara sehingga

timbul sebuah kesatuan atau komunitas (Emile Durkheim). Dan Perencanaan Wilayah dan

Kota (PWK) merupakan disiplin ilmu yang terlahir karena adanya sebuah cita-cita yang sama

dalam meningkatkan kehidupan yang seimbang antara SDA dan SDM di wilayah dan kota tersebut. Sebuah wilayah dan kota pasti terdapat kehidupan masyarakat yang saling

melakukan interaksi sosial dan budaya di dalamnya. Maka dari itu sebuah perencanaan wilayah dan kota tidak akan berjalan dengan baik jika perencana itu tidak mengenal sistem

sosial dan budaya yang terdapat di daerah tersebut. Budaya juga mempunyai hubungan dalam perencanaan. Karena setiap daerah yang akan dibuat rencana itu pasti mempunyai budaya dan

adat istiadat yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Jadi, seorang perencana harus bisa

memahami budaya yang terdapat dalam daerah tersebut agar rencana yang dibuat

terrealisasikan dengan lancar.

Untuk itu, sangat dianjurkan untuk Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota untuk

mempelajari Sistem Sosial lebih lanjut. Sebagai bahan acuan, Setiap Mahasiswa di tuntut untuk dapat mengenali sistem sosial yang ada pada masayarakat. Sebagai awal mahasiswa harus

dapat mengenali sistem sosial yang ada di daerah Asal Mahasiswa/ suku Mahasiswa. Agar memudahkan mahasiswa untuk mengenali sistem sosial yang ada pada masyarakat.

Dalam hal ini, Penulis sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah & Kota yang berasal dari suku

Nias, akan memaparkan dalam Makalah ini bagaimana “Sistem Sosial yang ada pada

Masyarakat/Suku Nias).

1.2 Rumusan Masalah

• Mengenal apa itu sistem sosial

• Mengenal Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS

• Hirearki dan Sistem Kekerabata Masyarakat NIAS

• Peraturan dan Hukum Adat NIAS

1.3 Tujuan Pembahasan

Mahasiswa/i lebih mengenal bagaimana sistem Sosial yang ada pada masyarakat, yang pada umunya Sistem Sosialnya berbeda-beda yang sangat dipengaruhi oleh budya. Yang

kedepannya saat melakukan Perencanaan Wilayah & Kota yang berkaitan dengan sistem

Sosial Masyarakat, seorang Planner tidak kesulitan lagi mengenai sistem sosial yang ada pada masyarakat.

Page 5: Sistem Sosial Masyarakat Nias

2

http://calvintel.blogspot.co.id/

Bab 2

ISI

2.1. Pengertian Sistem Sosial

Menurut Sosiologi "Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem

sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat

manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena : "

Istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani "Systema" yang mempunyai pengertian :

a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.

b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.

Jadi, dengan kata lain istilah "systema" itu mengandung arti sehimpunan bagian atau

komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan.

(Sumber: Tatang M. Amirin, Drs.).

Sedangkan pengertian "sistem sosial", menurut Jabal Tarik Ibrahim dalam bukunya

Sosiologi Pedesaan, adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang mempunyai hubungan

timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan kegiatannya itu berlangsung terus

menerus. Dari tiga hal di atas terdapat tiga hal pokok, yaitu :

a. Dalam setiap "sistem sosial" ada sejumlah orang dan kegiatannya.

b. Dalam sustu "sistem sosial", orang-orang dan atau kegiatan-kegiatan itu berhubungan

secara timbal-balik.

c. Hubungan yang bersifat timbal-balik dalam suatu "sistem sosial" bersifat konstan.

Dari uraian tadi menunjukkan bahwa "sistem sosial" merupakan kesatuan yang terdiri dari

bagian-bagian (elemen atau komponen), yaitu :

a. Orang dan atau kelompok beserta kegiatannya.

b. Hubungan sosial, termasuk di dalamnya norma-norma, dan nilai-nilai yang mengatur

hubungan antar orang atau kelompok tersebut.

Page 6: Sistem Sosial Masyarakat Nias

3

http://calvintel.blogspot.co.id/

2.2 Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS

Pemberian salam kepada sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila

seseorang tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah

pihak sudah terjadi disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan,

tutur bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh

kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih akrab

sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan

“Ya’ahowu” (salam khas Nias), yang dilanjutkan dengan kata

“Yae nafoda” atau “Bol6g6 d6d6u l6 Afoda” (ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih).

Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri

dengan salam kembali dan kata

“ya’ami ba lala” (selamat jalan) sebagai kata perpisahan.

A. Beberapa kebiasaan mendasar :

1) Persiapan Orang yang hendak bertamu

Sebelum berangkat dari rumah, bila seorang bapak yang pergi ke suatu tempat (teman

atau pertemuan) selalu mempersiapkan Sirih, yang di persiapkan oleh Istrinya kemudian

menyimpannya di tempat Sirih.

Dalam perjalanan, setiap orang yang bertemu kepadanya selalu memberi salam

“Ya’ahowu” dan mengambil sirih yang telah dipersiapkan dari rumah dan diberikan

kepada orang yang bertemu dengan dia mengatakan “Yae nafoda ” (ini sirih kita). Setelah

selesai baru melanjutkan perjalanan di mana tujuan pertamanya.

Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak bertamu baik pergi kepada “Sitenga b6’6”

(kerabat) maupun kepada orang lain, terlebih dahulu mempersiapkan sirih yang

ditempatkan di “Naha Nafo” (kempit sirih), dan setiap orang yang hendak bertemu selalu

memberi salam “Ya’ahowu” terus bersalaman dan baru menyungguhkan sirih satu dengan

yang lain.

2) Kebiasaan bila tamu datang di rumah

Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai dengan kata salam

“Ya’ahowu” dan dilanjutkan sikap bersalaman. Kemudian disambung dengan kata “ Yae

nafoda” (ini sirih kita) atau bolog6 d6d6u L6’afoda (ma’af tidak ada sirih kita). Baru ibu

rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para tamu. Pada saat saling mungunyah sirih

yang disuguhkan timbal balik,

Ibu rumah tangga berkata: “Hadia g6da Ga’a atau Baya?” (apa makanan kita?) dan

sebagainya, “Hana wamikaoniga?” (Kenapa kalian mengundang kami?).

Page 7: Sistem Sosial Masyarakat Nias

4

http://calvintel.blogspot.co.id/

Tamu yang datang menjawab: “L6 had6i, m6iga man6r6-n6r6 man6” (tidak ada, hanya

sekedar jalan-jalan saja).”

Dari kata seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki supaya ada makanan dengan

bertanya “apa makanan kita.” Tetapi sapaan untuk menindak lanjuti kata seterusnya

supaya ada keakraban dan nampak lebih dekat. Begitu sebaliknya dengan jawaban dari

tamu yang mengatakan “hanya jalan-jalan saja’ atau “meminta makanan kami”. Itu semua

kedua belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga tidak dikatakan

kepada orang yang tidak dikenal sama sekali. Kedua hal ini baik sebagai tamu atau tuan

rumah mempunyai tujuan yang berbeda dari pada ungkapan pertama tadi.

Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan yang sebenarnya dan tuan

rumah baru berbicara yang sebenarnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh tamu.

Setelah selesai pembicaraan baru dilanjutkan dengan kata “mofan6ga” (permisi, kami

pergi). Tuan rumah tidak terus mengizinkan pergi tetapi harus “Lasaisi” artinya kita tahan

mereka untuk menunggu makan. Dengan kata “Tabase’6 6da idan6 ua” (mari kita minum

dulu) atau tabase’6 6da wakhe safusi ua hana wa a6s6-a6s6 sibaik6” (mari kita tunggu

makanan kita nasi putih dulu, kenapa tergesa-gesa sekali) “Ha wal6 diwo-diwoda” (hanya

saja, tidak ada lauk pauk kita).

Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak. Karena hanya merupakan basa

basi. Dilanjutkan dengan kata maaf tidak ada lauk pauk kita. Itu hanya menunjukkan

kerendahan hati walaupun kenyataannya lauk-pauk mereka anak babi yang tambun, ayam

atau “Ni’owuru” (daging babi yang sudah digarami).

3) Kebiasaan waktu makan

Pada hari biasa masyarakat Nias makan tiga kali sehari. Pagi hari masyarakat Nias, makan

“Sinan6” (umbi-umbian), siang hari mereka makan “umbi-umbian” dan nasi sebagai

“Fangaz6khi d6d6” (makanan yang menyenangkan). Pada malam harinya mereka makan

seperti makan siang. Sehingga setiap hari mereka rutin makan nasi dua kali sehari. Pada

hari minggu mereka makan dua kali sehari makan sebelum pergi ke gereja dan pada

malam harinya.

Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh ngomong-ngomong karena marah

“Sobawi” (yang selalu menegur anggota keluarga bila melalaikan ketertiban di rumah).

Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang lain. Bila makan, tidak boleh

tersisa dan dibuang begitu saja. Kemudian kalau dimasak harus pakai ukuran apakah

Tumba (jumba), Hinaoya (liter), kata (tekong) dan lain-lain serta tidak boleh “Lafas6s6”

(dipadatkan) dalam periuk, tidak boleh dipukul-pukul pinggir periuk dengan sendok.

Semua pantangan ini apabila tidak ditaati maka bisa berakibat marah “Sibaya Wache”

(pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah akibatnya bila menanam padi tidak

subur dan tidak menghasilkan banyak buah serta banyak mendatangkan berbagai wabah

penyakit dan bila dimasak “L6 mo’6si” (artinya walaupun satu jumba dimasak tetapi hasil

masakan nampak seperti satu liter).

Page 8: Sistem Sosial Masyarakat Nias

5

http://calvintel.blogspot.co.id/

4) Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama

Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi bersama mempunyai norma

adat tertentu yang mana bila pergi bersama kemana saja baik ke ladang, ke sawah, pergi

kepada paman atau pergi pada pesta-pesta selalu laki-laki di belakang dan perempuan di

depan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu adalah istrinya, yang wajar mendapat

perlindungan dari berbagai gangguan, yang dicintai, yang dikasihani, serta menunjukkan

rasa tanggung jawab sebagai suami.

Bila seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya perempuan atau temannya

perempuan yang lain, haruslah berjalan bersam secara beriringan. Tetapi jika berjalan

bersama laki-laki berada di belakang dan perempuan di depan, itu merupakan ejekan

kepada orang yang melihat. Mereka mengatakan apakah mereka itu suami-istri? Atau

kenapa orang itu pergi seperti suami istri? Ini juga suatu tanda kepada publik bahwa dari

letak jalan seseorang mereka bisa mengetahui bahwa itu adalah suami-istri.

Penghormatan dengan kata “Ya’ahowu” dan “pemberian sirih” dalam porsi adat.

Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara “Fanika Era-era

mb6w6” (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan dari pada pihak

penganten perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak penganten laki-laki

mulai dari famili terdekat sampai kepada yang terjauh serta beban-beban yang harus

ditanggung dalam hidupnya sesuai dengan hubungan kekerabatan). “H6n6 mb6w6 no

awai, H6n6 mb6w6 no tosai” (ribuan jujuran sudah selesai, ribuan jujuran masih tersisa),

artinya tanggung jawab terhadap mertua dan sanak famili dalam bentuk beban-beban

tidak pernah putus sampai seumur hidup. Karena itu kemampuan penghormatan dengan

harta benda sangat terbatas dalam bentuk “B6w6”, maka diberi kelonggaran untuk

mengatasi hal tersebut, yaitu jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi

penghormatan dengan kata-kata sapaan “Ya’ahowu” dan “Fame’e afo” (pemberian sirih)

kepada “Sitenga b6,6” dan lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara nilainya dengan

empat alisi babi, dan dianggap sudah lunas utangnya yang telah dituturkan dalam acara

“Fanika era-era mb6w6”.

Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa harta materi

maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi. Kita tidak tau

bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari “b6w6” atau makanan.

Inilah yang dikatakan “Ho maig6 ami li moroi ba g6” artinya dengan penghormatan kata-

kata itu sudah cukup senang dan berharga.

Page 9: Sistem Sosial Masyarakat Nias

6

http://calvintel.blogspot.co.id/

B. Interkasi Sosial Masyarakat NIAS

1) Bahasa Masyarakat nias

Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh

penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih

belum diketahui persis dari mana asalnya.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang

dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan

sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap

akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu

a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” ).

Penulisan

Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan

1. Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (‘)

contoh kata : Ga’a ( abang.) 2. Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf

vokal. CONTOH KALIMAT DALAM BAHASA NIAS “omasido khömö soroi ba dödö gu” yang

artinya “Aku menyukaimu dengan sunguh-sunguh”. “io tarai ia da’a irugi wa’ara waomasi

gu khömö” yang artinya “Mulai saat ini hingga selama-lamanya sayang ku pada

mu”. “Ha’wa lö’ö tema li gu” yang artinya “Kenapa kamu ngak menjawab ucapanku”.

Setiap kosa kata bahasa nias pasti memiliki huruf “ö” memiliki bunyi /e/ dan “ŵ” memiliki

bunyi /w/

Ya’ahowu = Biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan salam

Tanö Niha = Pulau Nias

Li Niha = Bahasa Nias

Kosakata

A

• Abeto = Hamil

• Abila =

Bengkok

• Aböu = Bau

• Abua / Awua =

Berat

• Adogo = Pendek

• Aetu = Putus • Afeto = Pahit

• Afökhö = Perih • Afuo = Kurus

• Ahakhö =

Terkikis • Ahe = Kaki

• Ahono = Tenang, Diam

• Ahori = Habis • Aine = Mari

• Akho = Arang

• Akhi = Adik • Alawa = Tinggi

• Aleu = Layu • Alifa = Lipan

(Kelabang) • Alio = Cepat

• Alisi = Pundak

• Alösö = Licin • Alögö = Gelap

• Ama = Bapak • Ana’a = Emas

• Anau = Panjang • Asio = Garam

• Asolo = Gemuk

• Asu = Anjing • Atarö = Tajam

• Ate = Hati • Atulö = Benar,

Betul • Aukhu = Panas

• Auri = Hidup

• Awena = Barusan

B

• Ba’i = Jenis

Kelamin Pria • Baero = Luar

• Bakha = Dalam

• Bakhu = Ikan

Lele

• Bana = Benang

Page 10: Sistem Sosial Masyarakat Nias

7

http://calvintel.blogspot.co.id/

• Banio / Sekhula = Buah Kelapa

• Banua = Kampung

• Baru = Baju

• Baso = Baca

• Baloi = Tunggu

• Baẃa = Bawang

• Baẃa = Bulan

• Bawa = Muka /

Mulut

• Be’e = Beri

• Bekhu = Hantu

• Belewa =

Parang • Betua = Perut

• Bongi = Malam

• Bowoa = Periuk

• Bu = Rambut

• Bu’ulölö =

“Marga

Bu’ulölö”

• Bua = Buah

• Buku = Buku

C

D

• Dadaoma =

Tempat Duduk • Dalinga =

Telinga • Dalu-dalu =

Obat-obatan

• Dania = Nanti

• Daro-daro =

Tempat Duduk • Darua = Berdua

• Duria = Kabar • Teu = Hujan

E

• Ebua = Besar

• Efaö = Lepaskan

• Emali = Maling

• Enaö = Supaya

F

• Fa’udu = Berantem

• Fabali = Pisah • Fagamöi /

Fazökhi =

Memperbaiki

• Fagölö = Sama,

Mirip

• Fahöna =

Berbekal

• Faigi = Lihat

• Fakhili = Mirip

• Fakhili – khili =

Mirip

• Falakhi / Falukha =

Jumpa /

Ketemu /

Bertemu

• Fama’ala =

Jebakan

• Famakao =

Penyiksaan

• Famakhai =

Hubungan

• Famati = Iman • Fao = Ikut

• Faoma = Sama • Faomasi =

Kasih • Felai = Jilad

• Fena = Pulpen

• Fera’ö = Peras

• Fili = Pilih

• Fofo = Burung • Fuli = Kembali

G

• Ga’a = Abang

• Gae = Pisang

• Gambara =

Gambar • Garawa =

Baskom

• Gaso = Kasur

• Gasa-gasa =

Sementara

• Ga’wu = Pasir

• Ga’we = Nenek

• Gawökhu /

Afökhu =

Empedu

• Gefe = Duit • Gefe Gu = Duit

Ku • Gelera =

Kelereng

• Gowi = Ubi

• Gowasa = Pesta

• Gowasa =

“Marga

Gowasa”

• Gulö = “Marga

Gulö”

• Gulö = Ular

• Gulo = Gula

• Guti = Gunting • Göna (Bua

Göna) = Kenak

(Buah Nenas)

H

• Hadia Duria? =

Apa Kabar? • Halawa =

“Marga Halawa”

• Halawa = Hanya

Diatas

• Halö = Ambil • Hamega =

Kapan • Hana = Kenapa

• Haniha Manö Nawö Mö? =

Siapa Aja Teman Mu?

• Haniha Nawö

Mö? = Siapa

Teman Mu?

• Hanu-hanu =

Nafas

• Harefa =

“Marga Harefa”

• Harita = “Marga Harita”

• Harita = Kacang

• Hauga Bözi? =

Jam Berapa?

• Hawa’ara =

Berapa Lama

• Hezo möi’ö? =

Mau kemana?

• Hezo So’ö? = Kamu Lagi

dimana? • Hondrö =

“Marga

Hondrö”

• Horö = Dosa

• Hörö = Mata

• Hötu = Kentut

• Huku = Hukum

• I

• Ia da’a = Sekarang Ini

• Idanö = Air

• Ikhu = Hidung

• Ina = Mamak

• J • Jaji = Janji

K

• Kaliru = Ribut

• Koda, Foto = Gambar

• Kurusi =

Bangku/Kursi

L

• Lafulö = Diperas Sambil

Diputar • Lala = Cara,

Jalan • Laluo = Siang

• Langu = Racun

• Lakha = Janda

• Lawe = Wanita

• Li = Suara / Bahasa

• Li = Suara • Lö Nasa =

Belum • Lölö = Ampas

• Lö’i = Marga Lö’i

• Löfi-löfi / Löwi-

löwi = Pinggang

M

Page 11: Sistem Sosial Masyarakat Nias

8

http://calvintel.blogspot.co.id/

• Mabu = Mabuk • Maifu = Sedikit

• Ma’igi = Tertawa/Ketaw

a

• Mako = Cangkir

, Galasi = Gelas

• Managö =

Mencuri

• Manere =

Miring

• Manga = Makan

• Manifi = Mimpi

• Manörö-nörö =

Jalan-jalan • Manu = Ayam

• Maoso =

Bangun

• Maena = Tari

• Mba’a = Bak

• Me’e =

Menangis

• Mendrefa =

Marga

Mendrefa

• Mofökhö = Sakit • Mozizio /

Mosindro = Berdiri

• Mörö = Tidur

N

• Nawö = Teman • Nawö

Bawa’auri =

Teman Hidup

• Nomo = Rumah

bisa juga “Omo”

• Nukha = Kain

O

• Ofulo =

Ngumpul

• Omasi do = aku

suka / aku mau

• Omasi’ö = disayangi

• Omasi = suka / mau

• Ono = Anak • Ono Alawe =

Anak

Perempuan

• Ono Matua =

Anak Laki-laki

• Orahu = Rapat

• Orifi =

Hidupkan

• Oroma =

Kelihatan /

Terlihat

• Owulo = Bulat

P

• Pade = Hebat

Q

• – – – –

R

• Rabuta = Buah

Rambutan

• Raga-Raga =

Tempat Ayam

Dari Bambu

(Kandang Ayam)

• Rasoi = Rasakan

• Raso = Rasa • Ratigae =

Pisang Goreng

• Resileti =

Resleting

• Rigi-rigi = Jagung

• Röfa (tadra röfa) = Salib

(tanda salib) • Roko = Rokok

• Rorogö = Jaga • Roti = Roti

• Rugi = Rugi

• S • Salidi =

Kangkung • Sami = Yang

Enak

• Safeto = Yang

Pahit

• Silö mudöna-

döna = Tidak

disangka-

sangka

• Sanagö =

Pencuri

• Saraewa =

Celana • Saohagölö =

Terimakasih

• Sökhi / Baga =

Bagus/Baik/Ca

ntik

• Sukhu = Sisir

T

• Te’u = Tikus

• Tako = Peluk

• Tabaloi = Kita Tunggu

• Talifusö = Saudara

• Tanga = Tangan • Tanö Owi =

Sore

• Tebai = Tidak

Boleh/Bisa

• Tenga = Bukan • Tesendra =

Ketemu (Sesuatu benda

yang dicari = Ketemu)

• Tola = Boleh/Bisa

• Tötö`a = Dada

• Tundraha =

Sampan/Perah

u

• Tuo Nifarö = Tuak Suling

U

• Uma = Cium

• Umbu = Sumber

• Undre = Kunyit

V

W

• Wa’auri =

Kehidupan • Waruwu =

“Marga

Waruwu”

X

Y

• Ya`ugö = Anda,

Kamu • Ya’o = Aku, Saya

• Yawa = Diatas • Yawa ba Zorugo

= Diatas Surga

Z

• Zagötö =

“Marga Zagötö”

• Zai = “Marga

Zai”

• Zebua = “Marga

Zebua” artinya

“paling besar”

• Zendratö =

“Marga

Zendratö”

• Zorugo = Surga

Page 12: Sistem Sosial Masyarakat Nias

9

http://calvintel.blogspot.co.id/

2) Sopan Santun Kekerabatan

Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara

menyapa di bedakan kepada yang lebih tua, daripada yang lebih muda. Kepada yang

lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih muda umurnya. Antara mertua

dengan menantunya perempuan dan antara mertua dengan menantunya laki-laki

mempunyai hubungan yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak

kandungnya. Demikian juga diantara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara

laki-laki istrinya atau istri dengan saudara perempuan suaminya dianggap seperti

saudara kandung. Tidak ada garis pemisah antara mereka, boleh bebas berbicara,

hanya saja yang muda harus menghormati yang lebih tua. Kelakar diantara kedua

kelompok di atas boleh tapi harus dalam batas-batas kesopanan. Yang tidak bebas

berkelakar ialah antara suami dengan saudara perempuan istrinya.

Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara laki-laki istri

mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya. Kalau

mereka baru pertama kali datang/berkunjung kerumah saudara perempuannya,

mereka harus memotong seekor anak babi minimal satu alisi. Tidak ada alasan tidak

ada persediaan, harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya

pemilik rumah tersebut haruslah memberikan oleh-oleh/bawaan berupa satu ekor

anak babi. Jika tidak dia akan merasa malu terhadap tetangga dan orang

sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui kepergiannya itu. Itu sebabnya

pihak keluarga istri jarang datang kerumah anak perempuan, jika dilihatnya

anaknya itu masih diperkirakan belum baik jalan hidupnya/sengsara.

Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk, tidaklah dipotong

secara sembarangan, karena yang disuguhkan dari babi itu adalah rahangnya

beserta daging yang senyawa dengan rahang tersebut, jerohan atau alakhaö dan

beberapa potong daging pahanya serta rusuknya. Inilah makanan penghormatan

yang paling tertinggi, karena rahang atau simbi merupakan lambang sangkutan atau

tempat bergantung. Cara memasak daging babi itu menurut adat hanya direbus saja

bersama garam sedikit.

Jika fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali datang atau jika dia

telah panen maka ia akan membawa olöwöta/molöwö atau membawa bingkisan

makanan) berupa daging anak babi yang sudah direbus, nasi dan afoatau sirih

kemudian ia akan dijamu dengan memotong seekor anak babi, tetapi yang lebih

ditonjolkan untuk disuguhkan yakni kaki babi depan atau tangan babi

bersama simbi. Tangan melambangkan kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Jika

mereka pulang harus diserahkan manu atau ayam dan satu ekor anak babi bersama

bingkisan makanan.

Penghormatan diantara anggota kerabat, orang lain atau tamu haruslah memberi

salam yakni ya’ahowu disusul dengan penyuguhan afo disusul dengan menyediakan

minuman dan makanan. Kata ya’ahowu di pergunakan saat bertemu dengan siapa

saja yang berasal dari Nias.

Page 13: Sistem Sosial Masyarakat Nias

10

http://calvintel.blogspot.co.id/

C. Tradisi Masayarakat Nias

Tradisi Lompat Batu Nias

Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo

batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan

bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik.

Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga

mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu

artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i

mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.

Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di

semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja

seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh

kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk

mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya

bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk

menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain.

Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda

yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi

kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda

yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan

menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan

anaknya.

Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain.

Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-

anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua

tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang

rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang

memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir.

Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan.

Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda akhirnya berhasil

melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak jarang dari mereka ada yang

sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut.

Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung

mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi

oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat

batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau

ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya

pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya

mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan

pemanasan tubuh.

Page 14: Sistem Sosial Masyarakat Nias

11

http://calvintel.blogspot.co.id/

Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan

kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu

memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia

musti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu

tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat

ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga

pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.

Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi

ksatria dikampungnya? Itu lantaran ketika terjadi peperangan antar kampung maka

para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk

menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata

dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala

orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala

manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar

atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari

pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-

desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk

dan tidak cepat melarikan diri.

Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian

akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai

pahlawan.

D. Pertarungan Identitas di Balik Batu

Dalam konteks kebudayaan Nusantara, Nias adalah representasi dari kejayaan

zaman megalitikum atau zaman batu besar. Tradisi pembuatan benda-benda

kebudayaan yang terbuat dari batu sangat massif di pulau ini--dan mungkin tidak

dapat dicari bandingannya di kawasan-kawasan Nusantara lainnya. Hampir setiap

jengkal di daerah Nias tersebar batu-batu besar dengan berbagai bentuk, seperti

menhir, dolmen, peti kubur, tugu, arca megalitik, tangga rumah, dan tempat duduk.

Bagi penduduk Nias, batu telah menjadi penanda bagi identitas seseorang dan tertib

sosial. Orang Nias secara turun-temurun mewarisi ritual dan tradisi yang kompleks,

di mana hampir di setiap momen tradisi tersebut selalu melibatkan unsur batu di

dalamnya. Batu digunakan sebagai alat untuk mengabadikan momen-momen

penting, seperti upacara kelahiran, perkawinan, peneguhan status seseorang (owasa), pemujaan roh leluhur, hingga kematian. Di balik batu tersebut terpahat

berbagai makna, seperti makna religi, status sosial, keabadian, pengabdian (terhadap leluhur), dan pengetahuan.

Menurut kepercayaan orang Nias, pada hakikatnya sejak manusia dilahirkan ke

bumi ia harus berjuang untuk mendapat gelar setinggi-tingginya dengan menyelenggarakan beragam ritus (tata cara dl upacara keagamaan) secara

bertahap. Posisi ritus sangat penting dalam kebudayaan Nias, karena di balik semua ritus tersimpan semangat untuk menyemaikan harga diri dan identitas.

Page 15: Sistem Sosial Masyarakat Nias

12

http://calvintel.blogspot.co.id/

Kewajiban menyelenggarakan ritus bermula dari perkawinan. Setelah pasangan suami-istri dikaruniai anak, mereka wajib melaksanakan mamatoro toi nono atau

ritus memberi nama kepada bayi yang baru lahir dengan memotong beberapa ekor babi sesuai kesanggupan. Setelah anak menginjak masa kanak-kanak, orang tua si

anak wajib menyelenggarakan pesta dengan memotong satu hingga empat ekor babi

yang dibagikan kepada keluarga dan tetangga. Pesta ini bertujuan untuk

menanamkan perasaan harga diri pada anak melalui perhatian dari keluarga dan

tetangga sekeliling (hlm. 89).

Orang tua juga wajib memotong 6-12 ekor babi setelah anak menginjak dewasa.

Setelah itu, pesta yang lebih besar masih harus diselenggarakan. Dengan disaksikan seluruh anggota keluarga dan orang kampung, harga diri anak kembali dimuliakan

dengan 24 ekor babi sebagai ongkosnya.

Budaya patriarki Nias membuat semua pesta yang dilaksanakan selalu dalam

konteks kebutuhan kaum laki-laki. Puncak dari semua pesta yang harus ditunaikan

oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta terbesarnya. Kala itu ratusan ekor babi dipotong, puluhan gram emas dibagikan, dan ribuan tamu dijamu makanan selama

tiga hari tiga malam. Meskipun pelakunya harus menanggung risiko ekonomi yang serius, demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial Owasa sungguh

luar biasa. Jika seseorang telah menunaikan Owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum adat.

"Semua perjuangan sudah gagal karena tradisi. Namun, yang namanya adat sudah

mendarah daging sehingga akan menjadi beban jika tidak dilaksanakan." Demikian

kesaksian salah seorang responden dalam buku (Bahan Referensi) ini tentang Owasa

yang dilaksanakannya. Pundi-pundi kekayaan yang dikumpulkannya selama

puluhan tahun ludes atas nama tradisi ini. Bahkan, dia masih harus menanggung

sejumlah utang meskipun Owasa sudah ditunaikan puluhan tahun yang lalu.

Berbicara tentang identitas dan harga diri, orang Nias juga mewarisi sebuah tradisi

yang bernama Mangani binu, yang oleh banyak pengamat luar dianggap biadab.

Mangani binu adalah tradisi berburu kepala manusia untuk keperluan memuliakan

harga diri. Dulu, sebelum Kristen datang, simbol kejayaan laki-laki Nias ditentukan

oleh seberapa banyak kepala manusia yang telah dipenggalnya. Semakin banyak

kepalanya, semakin diseganilah dia.

Waktu itu, tradisi Mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang

calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon

mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan

calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut.

Meskipun tradisi Mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, namun pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga

sekarang. Menurut kesaksian penulis (yg menjadi sumber referensi) selama meneliti di sana, bayang-bayang pemburu kepala di masa lalu masih menghantui

kehidupan kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam agar terhindar dari petaka itu. Kebiasaan para

lelaki dewasa Nias yang selalu membawa senjata tajam ketika berpergian malam

hari juga menunjukkan betapa bayang-bayang Mangani binu masih kuat

pengaruhnya di Nias (hlm. 72).

Page 16: Sistem Sosial Masyarakat Nias

13

http://calvintel.blogspot.co.id/

Johannes Hammerle dalam Asal-Usul Masyarakat Nias (2001) mengajukan sebuah jawaban. Menurut dia, orang Nias mendiami kawasan yang secara topografis

membuat mereka harus tetap selamat. Hidup di kawasan terpencil dengan sumber daya alam yang terbatas membuat persaingan antarsesama orang Nias menjadi kuat.

Karena telah menjelma mejadi pola perilaku, suasana persaingan itu menjalar

hingga ke semua lini kehidupan orang Nias, yang selanjutnya berujung pada

persaingan memperebutkan prestise di ruang sosial.

Setelah ajaran Kristen mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke-19, ritual-ritual adat yang tidak sesuai dengan iman Kristen mulai ditinggalkan.

Kristen melarang pembunuhan antarsesama manusia, mengutuk tradisi pemujaan roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang

leluhur yang sudah meninggal, dan melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros.

Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam pengabaran Injil

terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa Sebua (Pengampunan Besar) atau Fangesa

Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patung-patung

perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai.

Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik

dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser.

Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai

ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).

Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Tradisi ini berkembang

bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja

diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada

awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal

berusaha diganti dengan kemampuan menaklukkan tumpukan batu yang menjulang.

Namun, resistensi terhadap agama baru juga muncul. Hal ini disebabkan oleh ketidaksetujuan sebagian orang Nias terhadap agama Kristen yang cenderung

membenci adat. Gerakan resistensi di Nias lazim disebut sebagai Fa'awosa. Gerakan ini telah melahirkan sekte-sekte yang memadukan berbagai unsur kepercayaan,

seperti ajaran Kristen, Islam, dan unsur-unsur budaya megalitik. Menurut catatan Kantor Urusan Agama Nias, sampai tahun 2006, sedikitnya telah berkembang 58

sekte di Nias. Hal ini menunjukkan bahwa orang Nias belum mengikhlaskan adat

yang mereka warisi dari leluhurnya lenyap ditelan kehadiran agama baru.

Kehadiran buku ini menurut saya tepat waktu, karena setelah gempa besar dan

tsunami melanda Nias pada 2004, perhatian masyarakat luar tersedot pada fenomena tersebut, sehingga kekayaan tradisi yang berkembang di Nias luput dari

perhatian. Buku ini adalah semacam reportase etnografis penulisnya yang berusaha menampilkan identitas kebudayaan orang lain dengan derajat analisis dan empati

yang tinggi.

Latar belakang penulisnya yang berasal dari budaya Sunda-Jawa sepertinya tidak

menjadi kendala dalam mengakrabi budaya lain. Ini terbukti dengan kelincahannya

dalam mengisahkan budaya Nias secara cair dengan bahasa sehari-hari yang nyaris tanpa pretensi ilmiah. Yang jelas, buku ini akan membawa pembaca memasuki

Page 17: Sistem Sosial Masyarakat Nias

14

http://calvintel.blogspot.co.id/

relung-relung sejarah kebudayaan Nias yang terentang dari zaman prasejarah hingga masa kini.

2.3. Hirearki & Sistem Kekerabatan Masyarakat NIAS

Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah

(patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari

seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.

Hirearki Masyarakat Nias

Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem

kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan

untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan

mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-

hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :

1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa)

yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-

temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta

kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya

melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö

Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;

2. Ere

yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang

dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang

yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis

besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;

3. Si’ila

yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka

yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah

yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;

4. Sato

yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua

atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;

5. Sawuyu (Harakana)

perang, kemudian mereka menjadi budak.

Page 18: Sistem Sosial Masyarakat Nias

15

http://calvintel.blogspot.co.id/

Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias

a. Garis Keturunan

Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti

hitungan hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun

perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Apabila anak laki-laki kawin,

biasanya tinggal dirumah orangtuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai

lahir anak pertama. Tapi, anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari

rumah orangtuanya mengikuti suaminya.

Suku bangsa Nias yang berasal dari satu satu garis keturunan disebut sisambua

mado. Mereka diikat oleh pertalian darah yang dihitung melalui laki-laki. Setiap

nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu. Sampai generasi

yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk generasi

selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak menjadi masalah lagi.

Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni; memisahkan atia nadu keturunan

tersebut dari kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu

dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-

laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin dalam lingkungan

marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai

suami/istri yang marganya sama.

b. Kelompok Kekerabatan

Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambatö yaitu keluarga

batih, tetapi kelompok yang penting adalah sangambatö sebua, yakni keluarga

besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah lagi dengan

keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa sebuah

rumah tangga dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan

dari sangambatö sebua dari satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan

Barat) atau Gana (di Nias Tenggara di Nias Selatan).

Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling menonjol dalam

upacara peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat hidup berkeluarga. Jadi,

apabila anak sangambatö tadi terutama anak perempuan kawin maka yang

banyak memegang peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal

upacara sampai berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-

laki dan orangtua perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang

berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok

kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi.

Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan sepupu

dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa.

Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara tingkat

seterusnya disebut banua. Dari kelompok kekerabatan banua yang menerima

hak dalam upacara-upacara adat ialah Salawa dan stafnya. Selain dari kelompok

kekerabatan diatas, masih ada satu kelompok kekerabatan dari pihak suami

yaitu kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah kawin beserta

keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono atau ono alawe, termasuk

keluarga yang mengawini anaknya perempuan.

Page 19: Sistem Sosial Masyarakat Nias

16

http://calvintel.blogspot.co.id/

Fungsi dari fadono berbeda dengan Iwa, Huwa dan Banua. Kelompok

kekerabatan ini merupakan pekerja dalam upacara yang dilaksanakan

olehsangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam pembagian urakha yang menjadi

bagian mereka adalah tangan/kedua kaki sebelah muka sebagai lambang

kecekatan.

Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang

disebutuwu. Jadi dari merekalah sumber hidup anak-anak sangambatö itu, hal

inilah yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua

kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat penghormatan yang tertinggi

dari ngambatö tersebut. Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak laki-

laki sangambatömerupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö.

Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya,

mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.

2.4. Peraturan dan Hukum (Fondrakö) Adat Nias yang Mengutuk

(tidak mengenal Tuhan )

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan

kebudayaan yang masih tinggi. Hukum Adat Nias ini terkenal dengan sebutan Fondrakö,

yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias dengan sanksi berupa

kutuk bagi yang melanggarnya. Menurut Viktor Zebua, istilah Fondrakö berasal dari

kata rakö,artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan

forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang

mematuhifondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan

dan sanksi.

Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon diturunkan

“nidada” dari langit “Tetehöli Ana’a”, maka Fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia

Walangi Sinada di daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya

jumlah penduduk Nias maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui

peraturan yang ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.

Proses pengesahan Fondrakö ini terkesan mistis dan mengerikan (menurut

penulis), karena melibatkan binatang atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan

atau kutuk yang akan dialami oleh para pelanggarnya. Fondrakö ini dilaksanakan di

“Arö Gosali” (Rumah musyawarah) yang dihadiri oleh raja dan para tetua adat. Mereka

menetapkan Fondrakö dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang

tetua adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan

timah panas ke dalam mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia akan

mengucapkan kutuk “Barangsiapa yang melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan

dalam Mondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah seperti lidi), atau disiksa seperti

ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang dimakannya akan terasa panas

seperti timah panas yang dimasukkan ke mulut ayam”. Terkadang, mereka juga

menggunakan kucing atau anjing dengan kutuk “Lö mowa’a ba danö ba lö molehe ba

mbanua” yang artinya tidak bakalan memiliki keturunan.

Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau

Nias), Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan banyak yang mengalami

Page 20: Sistem Sosial Masyarakat Nias

17

http://calvintel.blogspot.co.id/

kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua tersebut. Selain Fondrakö, adapula

hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan, mulai dari denda emas dan

babi, hingga hukuman pancung (leher dipenggal). Proses memancung leher adalah

dengan menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya diletakkan di

atas batang pisang, barulah eksekusi dilakukan.

Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrakö juga dilakukan di Talu Nidanoi dan

Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi dan Gunungsitoli Selatan) oleh dua raja besar di

masa itu yakni Balugu Samönö Ba’uwudanö (Mado Harefa) dan Balugu Tuha Badanö

(Mado Zebua). Seiring dengan perkembangan zaman dan pengenalan masyarakat akan

agama maka kepercayaan akan kutuk tersebut sudah mulai berkurang (sekalipun masih

ada yang hingga saat ini masih mempercayainya, terutama para tetua-tetua adat di

Pulau Nias). Sementara hukuman pancung sudah mulai berkurang di Nias sejak

kedatangan para misionaris yang menyebarkan agama kristen sejak tahun 1830.

Cerita dari para orang tua di masa kecil, bahwa apabila kedapatan orang

yang berbuat zina maka akan dikenakan hukuman pancung baik pria maupun

wanitanya. Dahulu, komunikasi antara pria dan wanita yang tidak memiliki

hubungan saudara sangatlah dibatasi, apalagi bila sampai ketahuan pacaran.

Dilarang mengganggu atau melirik anak gadis orang bahkan mengerlingkan mata

sekalipun, apabila ketahuan maka bersiap-siaplah untuk digebuki oleh saudara-

saudara si cewek. Pertengakaran antar kampung seringkali diawali oleh masalah

“melirik atau mengganggu cewek” di masa lampau. Bahkan sekalipun sudah

bertunangan, pria dan wanita tidak boleh bertemu. Mereka baru bisa bersama

setelah menikah. Sistem perjodohan berlaku pada masa itu, seringkali pengantin

perempuan baru mengenal wajah pengantin prianya setelah acara pernikahan.

Sehingga apapun dan bagaimanapun kondisi yang menjadi pendampingnya harus

diterima, sekalipun dia cacat ataupun sudah tua. Terima saja apa adanya.

Page 21: Sistem Sosial Masyarakat Nias

18

http://calvintel.blogspot.co.id/

BAB III

Sistem Sosial Masyarakat NIAS

Dan Perencanaan Wilayah dan Kota

3.1. Perencanaan Kawasan Wisata

PANTAI

Secara Gegrafis Suku Nias Berada di sebuah Pulau yang memilik Pesisir pantai yang

sunggug sangat Luas (belum di paparkan di atas). Nias Memiliki pantai yang sangat

Indah dan masih belum terjamah oleh aktifitas manusia yang merusak. Tidak hanya 1

atau 2 Pantai saja, tetapi ada puluhan Pantai yang berpotensi sebagai kawasan Wisata.

Di lihat dari sudut pandang Perencanaan Wilayah dan Kota, ini sangat berpotensi untuk

dijadikan sebagai kawasan Wisata. Kenapa tidak, lautnya masih bersih belum tersentuh

oleh aktifitas manusia. Degan ditetapkannya sebagai kawasan wisata wisata dapat

membantu perekonomian Masayarakat Nias, serta hubungan Sosial dengan masyarakat

Luar Nias dapat terjalin.

Tentu saja Pemerintah yang berperan aktif untuk mengembangkannya dan dibantu oleh

masyarakat setempat.

Bekas Kerajaan

Bawamataluo merupakan salah kerajaan yang ada yang pada zaman dulu. Dimana

peninggalan sejarahnya masih dapat dilihat hingga saat ini. Rumah Adat yang dulu

dijadikan sebagai tempat tinggal Raja dan rumah-rumah adata jaman dulu hingga kini

masih berdiri kokoh. Ditambah dengan peninggalan sejarah lompat batu yang khas dari

daerah Nias. Ini membuat parawisatawan Mancanegara hingga Internasional ingin

menyaksikan nya secara langsung.

Hingga kini bawamataluo masih merupakan tempat yang eksis untuk dikunjungi, selain

rumah adat yang masih berdiri Kokoh, hingga lompat batu dan tarian perang yang khas

dari Nias. Pantainya juga sering dikunjungi oleh Turis luar Negeri, yang sering dijadikan

sebagai tempat untuk Berselancar.

Page 22: Sistem Sosial Masyarakat Nias

19

http://calvintel.blogspot.co.id/

3.2. Kawasan Lindung

Beberapa daerah di Nias, hingga kini masih terdapat peninggalan sejarah yang sangat

tak terhitung jumlahnya. Mulai dari batu-batu prasejarah hingga rumah-rumah adat

yang masih berdiri kokoh.

Untuk melindungi itu semua agar tidak dirusak dan hilang, pemerintah dapat

menetapkan nya sebagai kawasan lindung. Untuk menjaga peninggalan sejarah yang

kelak nantinya masih dapat dilihat oleh anak cucu kita.

3.3. Kawasan budidaya

Ini merupakan potensi yang sangat besar pada Masyarakat Nias, mengingat masih

beluma adanya kawasan budidaya. Kelak apabila beberapa wilayah di jadikan sebagai

kawasan budidaya, dapat membantu perekonomian masyarakat yang ada di Nias.

Sehingga dapat merubah Mindset (pola pikir) masyarakat nias yang berpikir “Lebih

mudah mencari pekerjaan di Negeri Orang dari pada di Negeri Sendiri”.

3.4. Pembangunan Daerah Tertinggal

Merupakan Salah satu tugas pemerintah dalam mengembankan daerah-daerah

tertinggal yang ada di Pelosok. Tidak sedikit daerah-daerah yang masih belum terjamah

oleh pembangunan Pemerintah, muali dari Struktur hingga Infrastruktur.

Tidak heran beberapa masyarakat Nias yang berada di pelosok-pelosok masih berpikir

ke belakang. Yah, itu salah satu faktor yang membuat pola pikir, dan sistem sosial

masyarakat tertinggal.

Sebagai seorang Perencanaan wilayah dan Kota, ini perlu diperhatikan. Memperhatikan

daerah-daerah yang masih tertinggal baik dalam segi pembangunan, pendidikan dan

Sistm sosial. Dan merencanakan sebuah perencanaan yang dapat membangun daerah-

derah tertinggal yang berada di pelosok. Sehingga seluruh daerah-daerah tertinggal

yang berada di pelosok-pelosok dapat terjamah dan diperhatikan oleh pemerintah.

Sehingga masyarakat dapat hidup Nyaman, aman dan tentram.

Page 23: Sistem Sosial Masyarakat Nias

20

http://calvintel.blogspot.co.id/

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Sistem sosial pada masyarakat Nias sangatlah Unik. Di mana dipengaruhi oleh beberapa aspek-

aspek kehidupan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat itu sendiri, baik itu dari Adat

istiadat, kepercayaan, tradisi, Peraturan hingga kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Lambat laun, setelah perkembangan zaman dan masuknya pengaruh budaya luar ke Pulau Nias,

Kebiasaan, hukum, dan adat yang ada pada masyarakat dalam konteks yang tidak baik

perlahan-lahan mulai hilang dan ditinggalkan. Sehingga Dewasa ini, sistem sosial yang ada pada

masayarakat Nias sekarang berbeda dengan sistem sosial yang ada pada masa dulu.

Page 24: Sistem Sosial Masyarakat Nias

21

http://calvintel.blogspot.co.id/

DAFTAR PUSTAKA

Widjajati, Laely (2010). Pengertian Sistem Sosial (Menurut Sosiologi). [online].

Tersedia: http://laely-widjajati.blogspot.com/2010/01/pengertian-sistem-sosial-menurut.html

(April 2015)

Halawa, Ernimawati (2014). Ingedible Atau Karya Sastra Yang Tidak Berwujud Benda

Masyarakat Nias. [online].

Tersedia : http://ernihalawa.blogspot.com/2014/10/sastra-ingedible-masyarakat-nias.html

(Mei 2015)

Ruang Baca|Koran Tempo (2008). Pertarungan Identitias di Balik Batu. [online]. Tersedia :

http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwOA==&dokm=MDg=&dokd=MzE=&dig=Y

XJjaGl2ZXM=&on=VUxT&uniq=NzI2 (April 2015)

Hulu, Dominiria (2010). Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias. [online].

Tersedia : https://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/sistem-kekerabatan-

masyarakat-nias/ (April 2015)

Hondro, Rivalry (2014). Bahasa Nias. [online].

Tersedia : https://rivalryhondro.wordpress.com/httpniasonline-net/bahasa-nias/ (Mei 2015)