98
STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN PERILAKU MENGEMIS (Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura) SKRIPSI Disusun oleh : Tri Cahyono 0610210124 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

Studi Hubungan Mental Lokal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Studi Hubungan Mental Lokal

STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN PERILAKU MENGEMIS

(Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura)

SKRIPSI

Disusun oleh :

Tri Cahyono 0610210124

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2010

Page 2: Studi Hubungan Mental Lokal

KATA-KATA INSPIRASI

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alam Nasrah ayat 4)

“Jika terangnya sinar matahari itu terus kita nikmati... Maka tidak akan ada hal yang menarik... Kita juga butuh datangnya mendung menurunkan

rintik hujan dan tekombinasikan dengan sinar matahari agar tercipta sebuah pelangi yang indah”

(Yusuf Mansyur)

“Kegagalan adalah kesempatan untuk memulai lagi dengan lebih baik” (Henry Ford)

“Semangat itu tidak akan hilang pada saat kita

dikalahkan, tetapi semangat itu akan hilang saat kita menyerah” (Ben Stein)

“Ditengah kesukaran pasti terdapat kesempatan”

(Einstein)

“Jika kejayaan hari ini milikmu... Maka besok kan kuraih... Lusa kan ku genggam... Walaupun hanya dengan sebatang tongkat pensil yang rapuh” (M.

Emka)

“Didalam setiap cerita sukses... Anda akan menemukan sosok yang mengambil keputusan yang

berani” (Peter F. Drucker)

Page 3: Studi Hubungan Mental Lokal

i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Dzat yang telah melimpahkan

segala nikmat dan karunianya, khususnya kepada penulis, sehingga skripsi yang

berjudul “Studi Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis (Studi

Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan

Madura)” dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula shalawat dan salam

teruntuk Rasulullah, keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti jejaknya.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan dan penelitian lapangan,

telah banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab

itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis ingin mengucapkan banyak

terima kasih kepada:

1. Bapak Joko Wahono dan Ibu Sumariyah selaku Bapak dan Ibu tercinta yang

telah memberikan segala pengorbanan dalam hidupnya demi keberhasilan

putra-putrinya. Semoga Allah SWT senantiasa mengasihi mereka berdua

sebagaimana sayangnya mereka kepada anak-anaknya sewaktu masih kecil.

2. Ibu Dr. Asfi Manzilati, SE., ME. selaku dosen pembimbing utama yang telah

memberikan banyak ilmu dan Inspirasi kepada penulis sehingga tulisan ini

segera terselesaikan.

3. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS selaku Ketua Jurusan Ekonomi

Pembangunan.

4. Ibu Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME. dan Ibu Farah Wulandari Pengestuty,

SE., ME. selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif.

5. Bapak Prof. Agus Suman, SE., DEA., Ph.D. selaku dosen yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten dosen

Page 4: Studi Hubungan Mental Lokal

ii

Ekonomi Mikro, dan memberikan banyak inspirasi kepada penulis dalam

penulisan beberapa karya ilmiah.

6. Para bapak dan ibu guru serta para dosen yang telah mendidik penulis dari

TK hingga sekarang.

7. Bapak Mahrus Ali, Bapak Rahman, Bapak Razak, dan Bapak Junaidy selaku

informan dari desa Branta Tinggi yang telah bersedia meluangkan waktu dan

memberikan informasinya kepada penulis.

8. Pengurus FORSTILLING 2006-2007, 2007-2008 dan 2008-2009, atas

kerjasama selama ini mulai dari urusan organisasi hingga hubungan

kekerabatan yang terjalin seperti keluarga.

9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh jua, seperti itulah tulisan dalam

sekripsi ini. Sehingga penilis berharap kepada pembaca untuk memberikan

penilaian dan masukan bagi perbaikan skripsi ini ke depan. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, Desember 2010

Penulis

Page 5: Studi Hubungan Mental Lokal

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v

ABSTRAKSI ............................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... 5

1.4 Batasan Masalah ......................................................................... 5

1.5 Manfaat ........................................................................................ 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................................. 6

1.5.2 Manfaat Praktis.................................................................. 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 7

2.1 Pengemis ; Latar Belakang

dan Perilaku yang Disebabkan oleh Kemiskinan....................... 7

2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan

oleh Sumber Pustaka ................................................................. 9

2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental .................... 12

2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan ..... 12

2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi

yang Terjadi di Pedesaan ................................................. 14

2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis

yang Terpolakan ............................................................... 16

2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan ......................................... 17

2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram

Pertumbuhan Pembangunan ............................................ 17

2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran

Kelembagaan .................................................................... 21

2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam................ 23

2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam 24

2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan

Page 6: Studi Hubungan Mental Lokal

iv

Kemiskinan ........................................................................ 26

2.6 Hubungan antara Budya dengan Eksistensi Kemiskinan

di berbagai daerah ...................................................................... 28

2.7 Penelitian Terdahulu.................................................................... 31

2.8 Kerangka Pemikiran .................................................................... 35

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 38

3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................ 38

3.2 Lokasi Penelitian ......................................................................... 39

3.3 Penentuan Informan .................................................................... 39

3.4 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 40

3.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 42

3.6 Teknik Analisis Data .................................................................... 43

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 45

4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi

Ekonomi yang Belum Optimal .................................................... 45

4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Terkait dengan

Perilaku Mengemis ..................................................................... 51

4.3 Topeng Budaya dan Tradisi ; Mengemis Merupakan Kebutuhan

yang Harus Dilakukan ................................................................ 56

4.4 Sektor Pertanian dan Perikanan ; Kontradiksi antara Potensi

dan Eksplorasi ............................................................................ 59

4.4.1 Sektor Pertanian ................................................................ 60

4.4.2 Sektor Perikanan ............................................................... 66

4.5 Dilema Kyai dalam Berdakwah ; antara Nilai Agama dan Budaya

Atau Tradisi ................................................................................. 77

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 81

5.1 Kesimpulan .................................................................................. 81

5.2 Rekomendasi ............................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

Page 7: Studi Hubungan Mental Lokal

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 01. Interaksi antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan ..... 36

Gambar 02. Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan

Mental Lokal yang Mengarah Pada Penentuan

Pola Konsumsi dan Produksi ............................................................... 37

Gambar 03. Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi ...... 47

Gambar 04. Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi .................................... 48

Gambar 05. Ketergantungan Air Bersih untuk Minum ............................... 50

Gambar 06. Rutinitas Kegiatan Keagamaan .............................................. 53

Gambar 07. Pola Pemasaran Tembakau ................................................... 61

Gambar 08. Kelembagaan Sektor Pertanian ............................................. 63

Gambar 09. Mekanisme Pemberian Bantuan Pertanian ........................... 64

Gambar 10. Jalur Pemberian Penyuluhan Pertanian................................. 64

Gambar 11. Sebuah Potensi Sektor Perikanan yang Terbuang ................ 67

Gambar 12. Kegiatan Pengeringan Ikan .................................................... 69

Gambar 13. Kepiting Bakau ; Makanan Konsusmsi Bernilai

Ekonomi Tinggi .................................................................................... 72

Gambar 14. Sosialisasi Desa dari Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi . 75

Gambar 15. Kyai Ma’imun Zubair ; Tokoh Agama Desa Branta Tinggi ..... 79

Page 8: Studi Hubungan Mental Lokal

vi

ABSTRAKSI

Cahyono, Tri. 2010. STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN PERILAKU MENGEMIS (Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura). Skripsi, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Dr. Asfi Manzilati, SE., ME.

Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi pola perilaku dari tiap-tiap

individu dalam lingkup suatu daerah yang sering kali terabaikan dalam bahasan ilmu ekonomi. Padahal, mental lokal sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tiap-tiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidup (keputusan konsumsi maupun produksi). Biasanya, mental lokal ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya ; kelembagaan lokal, budaya, dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.

Aplikasi mental lokal yang diwujudkan dalam bentuk keputusan konsumsi

dan produksi sering kali menimbulkan polemik tersendiri. Jika keputusan berproduksi yang lebih dominan, maka kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita makro ekonomi (pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas perekonomian) melalui kedaerahan bisa terwujud. Namun, jika keputusan konsumsi yang lebih dominan, ini justru memeperparah kekacauan perekonomian lantaran tidak adanya keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan masyarakat.

Tak jarang, tingginya konsumsi tanpa diimbangi pola produksi yang

mumpuni akan menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan yang ujung-ujungnya mengarah pada pola perilaku menggelandang atau mengemis.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan

hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap

perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu, dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah memperoleh kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk itulah, mental lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam menanggulangi perilaku mengemis tersebut.

Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis.

Page 9: Studi Hubungan Mental Lokal

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi poin penting bagi

pemerintah dalam meningkatkan proses pembangunan. Ketidakmerataan

distribusi kebijakan, pembangunan (fisik maupun nonfisik), dan pendapatan

daerah disinyalir sebagai pokok permasalahan yang mempengaruhi angka

kemiskinan di berbagai daerah. Ketidakmerataan tersebut secara tidak langsung

berpengaruh terhadap pola migrasi penduduk dari berbagai daerah.

Data makro yang dipaparkan oleh BPS (2008), berkaitan dengan jumlah

orang yang bekerja dan angkatan kerja yang tidak bekerja (pengangguran

terbuka) menunjukkan angka yang lumayan mencengangkan. Pada tahun 2008,

jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja sebanyak 102.049.857 jiwa dan

jumlah pengangguran sebanyak 9.427.590 jiwa.

Melihat data tersebut tentunya menimbulkan ironi tersendiri dan harus

ada evaluasi lebih lanjut (tindakan nyata) dari pemerintah. Apa lagi untuk saat ini

sektor-sektor basis (utamanya pertanian) yang memiliki sumbangsih paling besar

dalam penyerapan tenaga kerja tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

Padahal, jika dilihat dari data makro yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2007,

penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 42,61 juta jiwa. Sedangkan

sektor industri pada tahun yang sama menurut BPS hanya mampu menyerap

tenaga kerja sebesar 12,09 juta jiwa.

Sektor pertanian yang menjadi acuan penyerapan tenaga kerja semakin

terdesak lantaran degradasi lahan dan adanya paradigma yang berkembang

dimasyarakat berkaitan dengan profesi sebagai petani. Suman (2010)

menyebutkan, selama periode tahun 1999 – 2002 sawah irigasi yang telah

Page 10: Studi Hubungan Mental Lokal

2

dilahap untuk konversi adalah sebesar 423.857 hektare dan itu merupakan

lahan-lahan produktif yang ada di pulau Jawa dan Bali

Sebagai contoh lain yang dikeluarkan World Bank (2006), di pertengahan

tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari

semua lahan pertanian ditanami padi, sementara tahun 2006 hanya 38%. Fakta

tersebut nampak jelas bahwasannya untuk saat ini sektor pertanian yang menjadi

andalan pembagunan perekonomian tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja

yang ada di pedesaan secara maksimal (khususnya angkatan kerja).

Upaya-upaya revitalisasi pertanian khususnya dipedesaan sebenarnya

telah dicanangkan untuk peningkatan perekonomian secara bottom-up yang

salah satunya dimulai dari desa. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk

pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas

hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Sehingga

pelaku-pelaku ekonomi desa mulai meninggalkan sektor pertanian dengan

berharap memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.

Bagi masyarakat yang tidak mampu menghadapi persaingan, hal ini justru

menimbulkan paradoks baru apalagi sampai mengarah pada migrasi kerja

(urbanisasi). Sektor-sektor formal daerah tujuan yang mampu menyerap tenaga

kerja jumlahnya terbatas. Walaupun ada, persyaratan-persyaratan yang diajukan

sering kali tidak bisa dipenuhi oleh kaum urban. Maka dari itulah, masyarakat

yang tidak kompeten tersebut akan bekerja secara serabutan hingga merelakan

diri hidup sebagai gelandangan ataupun pengemis.

Di Jawa Timur, hasil pendataan kemiskinan yang dilakukan oleh BPS

Jawa Timur pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah kemiskinan

masyarakat kota sebesar 2.148.500, dan penduduk desa 3.874.100 dengan total

keseluruhan 6.022.600 jiwa. Sedangkan di kabupaten Pamekasan sendiri, angka

kemiskinan 2007 mencapai 384.522 atau setara dengan 35,75 persen dari angka

Page 11: Studi Hubungan Mental Lokal

3

penduduk yang mencapai 818.604 jiwa. Pada tahun 2008, mengalami penurunan

menjadi 234.09 atau 35,73 dari total penduduk 835.101 jiwa. Angka ini cukup

mencengangkan mengingat potensi daerah di wilayah ini sangat besar terutama

sektor pertanian dan kelautan.

Mengingat masih tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur utamanya

wilayah Pamekasan, maka diperlukan identifikasi secara mendalam guna

menemukan solusi dalam merumuskan kebijakan secara tepat dan terarah.

Kebijakan yang dimaksud tidak sebatas hanya memberikan obat penenang

(penyuluhan dan bantuan dana) saja, tetapi lebih diarahkan pada aspek-aspek

kemasyarakatan yang didapat dari identifikasi mengenai kondisi sosial

masyarakat. Identifikasi dirasa sangat penting mengingat kondisi sosial ekonomi

setiap daerah berbeda-beda.

Seperti kasus yang terjadi di salah satu daerah di desa Branta Tinggi

kabupaten Pamekasan. Kasus di daerah ini sangatlah unik, dimana sebagian

besar masyarakatnya menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pengemis. Sangat

mengejutkan ketika memperoleh informasi ada komunitas pengemis di Madura.

Daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran islam dengan karakter

masyarakat pekerja keras ternyata ada sebagian masyarakatnya yang

berperilaku mengemis khusunya yang ada di desa Branta Tinggi.

Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwasannya masyarakat Madura

sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung

diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan

cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.

Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan

ekonomi.

Berdasar informasi dari kepala desa terkait, perilaku mengemis di desa

ini dari tahun ke tahun menjadi sorotan berbagai pihak. Baik dari civitas

Page 12: Studi Hubungan Mental Lokal

4

akademika (universitas Madura, STAIN Pamekasan, universitas Brawijaya, UPN

Veteran Surabaya dan IAIN sunan Ampel Surabaya), pemerintah lokal, daerah

maupun dari provinsi.

Berbagai macam upaya penanggulangan telah dilakukan, tetapi

eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi dari tahun ke tahun tak kunjung bisa

di tanggulangi. Perilaku mengemis ditularkan secara internal melalui keluarga

dan didukung oleh lingkungan sekitar. Penularan perilaku mengemis ini telah

berlangsung dari generasi ke generasi sehingga, sampai saat ini keberadaan

pengemis di desa ini menjadi salah satu fenomena menarik yang perlu dipelajari

(diteliti).

Page 13: Studi Hubungan Mental Lokal

5

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang dapat

diidentifikasi dan diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan yaitu :

Bagaimana hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku

mengemis di desa Branta Tinggi?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini akan mencoba untuk

mempelajari dan mengidentifikasikan :

Hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis di

desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun

keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal,

sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di

junjung tinggi.

1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah berguna untuk mengarahkan penelitian agar tidak

melebar dan tetap fokus pada permasalahan yang dikemukakan. Batasan yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain:

Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi diri setiap individu

komunitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Mental lokal (shared

value) tiap daerah berbeda-beda, sehingga timbul heterogenitas pencitraan

jati diri wilayah.

Page 14: Studi Hubungan Mental Lokal

6

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti, penelitian ini harapannya mampu menambah wawasan dari

studi hubungan mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis.

2. Selain itu, penelitian ini nantinya bisa dijadikan bahan rujukan bagi

penelitian-penelitian yang mengambil topik sejenis.

1.5.2 Manfaat Praktis

1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan bagi masing-masing pemegang kebijakan yang berpengaruh

terhadap penanggulangan eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi.

Sebab, dari penelitian yang telah dilakukan, sebagian kebijakan hanya

menganggap pengemis sebagai objek bukan sebagai subjek. Objek disini

yaitu masyarakat peminta-minta (pengemis) hanya dijadikan sebagai target

kebijakan dimana pemerintah terkait tanpa mengidentifikasi terlebih dahulu

permasalahan sosial ekonomi yang ada secara mendalam.

2 Mempermudah dalam mengidentifikasi tantangan dan hambatan serta

peluang dalam penerapan kebijakan yang dirasa perlu dilakukan untuk

mencapai tujuan inti tiap-tiap kebijakan.

Page 15: Studi Hubungan Mental Lokal

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengemis ; Latar Belakang dan Perilaku yang Disebabkan oleh

Kemiskinan

Dari tahun ke tahun, angka kemiskinan di Indonesia selalu menjadi

sorotan dari pemerintah. Sachs (2005), memaparkan bahwasannya dari

keseluruhan negara berkembang, lebih dari delapan juta orang meninggal setiap

tahunnya karena jeratan kemiskinan. Untuk Indonesia sendiri, selama periode

1970 – 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat, dari

70 juta orang menjadi 22,5 juta orang dimana angka kemiskinan terbesar tinggal

di pulau Jawa yaitu sebesar 55 persen dari total kemiskinan yang ada (Urip,

2007).

Menurut Hadiyanti (2006), munculnya kemiskinan di berbagai daerah

secara teoritis dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan dalam

dua kategori :

Pertama Kemiskinan natural atau alamiah.Yakni kemiskinan yang timbul

sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau tingkat perkembagan

teknologi yang sangat rendah. Artinya, faktor-faktor yang menyebabkan

kemiskinan ini secara alamiah memang ada, sehingga masyarakat menjadi

miskin lebih diakibatkan karena keterbatasan baik dari sumber daya alam,

sumber daya manusia maupun perkembangan teknologi. Kemiskinan natural ini

nampak jelas pada masyarakat pedesaan dengan sumber daya alam dan

manusia terbatas untuk dikelola dan jauh dari pusat pembangunan wilayah.

Keterbatasan tersebut memaksa masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan

lantaran tidak punya modal (fisik maupun non fisik) untuk dikembangkan.

Page 16: Studi Hubungan Mental Lokal

8

Kedua Kemiskinan struktural. Yakni kemiskinan yang terjadi karena

struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak

menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Kemiskinan

secara struktural ini sangat nampak pada masyarakat yang menganut sistem

kasta. Dimana kalangan yang memiliki kasta terendah, akses untuk

beraktualisasi diri dibatasi. Sehingga masyarakat dalam kasta terendah tidak

berdaya untuk mengubah nasibnya dan ini berjalan secara turun-temurun

lantaran sistem kasta selalu diwariskan dari generasi ke generasi.

Breman dalam Iqbali (2006) mengelompokkan pekerja berdasarkan kelas

sosial menjadi tiga bagian :

1. Kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan.

2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri

dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal.

3. Kelompok miskin (sering diidentikkan dengan gelandangan dan pengemis).

Pengemis dalam perspektif awam selalu disamaartikan dengan

gelandangan. Padahal dalam pendefinisiannya, jelas berbeda antara

gelandangan dan pengemis. Berdasar perda kota Batam nomor 6 tahun 2002,

gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta

tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan

hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan pengemis adalah setiap orang

yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan

berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Berdasar definisi diatas, nampak jelas bahwa kedudukan gelandangan masih

lebih tinggi dibanding pengemis. Walaupun sama-sama dianggap tidak sesuai

dengan norma bangsa (berdasar pertimbangan peraturan pemerintah nomor 31

Page 17: Studi Hubungan Mental Lokal

9

tahun 1980 utamanya poin “a”), gelandangan masih mau berusaha mencukupi

kebutuhan hidupnya.

Timbulnya gelandangan dan pengemis diakibatkan oleh tekanan

ekonomi, dengan latar belakang permasalahan yang berbeda-beda di antara

yang satu dengan daerah yang lain, sehingga mereka jadi gelandangan dan

pengemis itu dilakukan dalam keadaan terpaksa satu dan lainnya untuk

mempertahankan hidupnya (Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1980).

Secara keilmuan, profesi sebagai gelandangan dan pengemis

dikategorikan dalam kegiatan sektor informal. Kegiatan ekonomi sektor informal

begitu mudah untuk dimasuki karena tanpa modal pun seseorang bisa masuk

didalamnya. Dalam praktek, bidang pekerjaan ini adalah sangat menjadi

perhatian dan orientasi dari kebanyakan masyarakat yang tidak berpenghasilan

tetap, yang tidak dapat masuk dalam sektor ekonomi formal dan yang tidak

mampu memiliki modal besar dalam berusaha (Effendi, 2006). Namun, karena

pengetahuan, pengalaman dan skill individu pelakunya yang kurang memadai

mengakibatkan pekerjaan ini begitu berisiko tinggi.

2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan oleh Sumber

Pustaka

Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang terkenal sebagai

penduduk perantau dan pekerja keras. Tanah di Madura kurang subur sebagai

lahan pertanian (Hakim, tanpa tahun). Keterbatasan lahan tersebut

mengakibatkan tingginya angka kemiskinan hingga mengakibatkan masyarakat

bermigrasi dalam jangka panjang. Sampai saat ini, banyak masyarakat suku

Madura tidak tinggal di Madura, dan penduduk Madura termasuk peserta

program transmigrasi terbanyak (Hakim, tanpa tahun). Ikatan kekeluargaan

Page 18: Studi Hubungan Mental Lokal

10

sesama etnis sangat kuat. Orang Madura berpikir bahwa di mana ada orang

Madura itulah saudara, apalagi dari daerah yang sama dan memang ada ikatan

keluarga (Humaidy, 2002).

Sistem kekerabatan individu dalam kelompok tertentu di Madura biasanya

memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing. Tak jarang seseorang

dapat mempunyai lebih dari satu kedudukan dan peranannya dalam kelompok

kekerabatan (Wibowo dkk, 2002). Masih menurut Wibowo (2002), peranan dan

kedudukan dari setiap individu di Madura dapat diklasifikasi menjadi dua jenis

yaitu lapisan bangsawan (lapisan atas) dan lapisan bukan bangsawan atau

sering disebut lapisan bawah (kabula). Golongan atas dibedakan dalam

beberapa kelas-kelas tertentu tergantung peranannya dalam status sosial yang

ada.

Adapun kelas sosial dalam golongan atas atau golongan bangsawan ini

diantaranya : pangeran, arya, panjhi, raden (bagus), dan mas. Menurut Wibowo

dkk (2002), golongan pangeran dan arya merupakan golongan tertinggi yang

masih memiliki hubungan darah (garis keturunan langsung) dengan “sultan” di

Madura. Sedangkan dibawah pangeran dan arya ada golongan panjhi, Raden,

dan mas. Sedangkan golongan bawah (kabula atau sering juga disebut kawula)

merupakan golongan rakyat biasa. Mereka tidak memiliki hak untuk memakai

atau mengenakan gelar yang biasa dikenakan oleh golongan atas (Wibowo dkk,

2002).

Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten diantaranya : Bangkalan,

Sampang, Pamekasan dan Sumeneb. Sebagian besar penduduk pulau Madura

tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan

tradisional, petani garam dan petani tembakau. Namun, ada juga yang berprofesi

lain tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk potensi sosial budaya, Madura

mempunyai beberapa hal yang unik yaitu antara lain karapan sapi, batik Madura,

Page 19: Studi Hubungan Mental Lokal

11

semangat kesetiakawanan yang tinggi, terbuka dan ulet (Sativa dan Utami,

2010).

Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwsannya masyarakat Madura

sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung

diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan

cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.

Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan

ekonomi. Sehingga, tak jarang mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke

berbagai negara untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Namun, hal tersebut tidaklah seimbang dengan tingkat pendidikan yang

mereka kenyam. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu,

mereka terutama yang berdiam di remote area sampai derajat tertentu kurang

memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak

berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan

mereka (A’la, 2010). Padahal, jika disimak secara baik-baik bahwasannya

masyarakat madura lebih suka menyekolahkan anaknya dalam tataran

pendidikan yang basisnya pondok pesantren. Dalam hal pendidikan, Sujito

(2007) mengungkapkan, orang tua lebih memilih pondok karena disamping

biayanya yang tidak mahal juga mendapatkan pendidikan agama.

Pendidikan yang berbasis pesantren ini sengaja dipilih dikarenakan

masyarakat madura begitu mengagungung-agungkan sosok seorang kyai.

Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai "otoritas

kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap sebagai

orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirodj, 2009).

Alasan lain mengapa masyarakat Madura memilih pondok pesantren

untuk menyekolahkan anaknya karena disamping biayanya yang tidak mahal

juga mendapatkan pendidikan agama (Sujito, 2007).

Page 20: Studi Hubungan Mental Lokal

12

2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental

Seringkali polemik kemiskinan yang ada di Indonesia selau dikaitkan

dengan ketidak berdayaan dan kepasrahan dalam menghadapi goncangan

ekonomi yang ada. Padahal, jika dilihat dari kaca mata ilmu sosial dan diteliti

secara kualitatif, banyak hal yang memberikan efek terhadap naik atau turunnya

angka kemiskinan yang terjadi. Salah satunya bisa ditinjau dari sikap mental

secara individu kemasyarakatan.

2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan

Sikap mental sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang mana nilai tersebut

menjadi landasan dalam etos kerja. Sikap mulai menjadi pokok bahasan dalam

ilmu sosial sejak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner

Dictionary dalam Ramdhani (tanpa tahun) mencantumkan bahwa sikap (attitude),

berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu yaitu “Manner of placing or holding the

body, dan Way of feeling, thinking or behaving” atau dalam bahasa Indonesianya

yaitu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran,

dan perilaku.

Sedangkan mental sendiri menurut Abidin (2009), diartikan sebagai

kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang

yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dari

papaaran tersebut sangat jelas bahwa sikap dan mental selalu berhungan.

Kartono dalam Abidin (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental

yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai

kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,

memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi

dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan

memiliki batin yang tenang.

Page 21: Studi Hubungan Mental Lokal

13

Memahami kemiskinan sering kali dikaitkan secara sempit dengan

ketidakmampuan secara ekonomi saja. Sebenarnya banyak hal yang

mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Kemiskinan bisa terkait dengan

ketidakmampuan memenuhi standar hidup pada hampir semua aspek

kehidupan, baik yang bersifat material (pendapatan, pangan, air, pakaian, rumah,

sumber energi, keadaan sanitasi, aset lain seperti tanah, ternak, tanaman),

termasuk pendidikan dan kesehatan, maupun non material (pengetahuan kurang,

partisipasi dalam masyarakat terbatas, tidak percaya diri di depan umum,

pendapatnya tidak dihargai, tersisih dalam pergaulan, dan sebagainya) (Ranimpi,

2009).

Implikasi dari polemik kemiskinan yang terjadi untuk saat ini nampak jelas

ketika di lihat dari sudut pandang ekonomi secara mendasar yaitu pola konsumsi

dan produksi. Ditinjau dari pola konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh

kalangan masyarakat marginal tidaklah seimbang. Pola konsumsi sendiri

sebenarnya untuk saat ini lebih mengarah kepada konsumsi yang berlebihan dan

mencolok. Dimana konsumsi yang berlebihan dan mencolok tersebut tidak lepas

karena adanya pengaruh-pengaruh dari berbagai media utamanya televisi.

Yang saat ini terjadi di masyarakat, orang-orang di negara berkembang

tidak membelanjakan uangnya yang “pas-pasan” untuk memenuhi kebutuhan

hidup dasar, melainkan untuk membeli “life style” (Dewi, 2007). Masyarakat di

negara-negara berkembang yang belum memiliki kemampuan menyaring

informasi, menganggap gaya hidup kelas atas adalah gaya hidup yang ada di

televisi. Selain itu, konsumsi berlebihan juga diimplementasikan kepada barang

yang mubadzir. Seperti yang di infokan oleh Suprapto (2009), yaitu 70 persen

dari 19 juta penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah

dipakai untuk konsumsi rokok.

Page 22: Studi Hubungan Mental Lokal

14

Ini artinya BLT yang diberikan kepada masyarakat miskin bukan untuk

mengatasi kemiskinan tetapi lebih membantu industri rokok yang ada di

Indonesia. Bukan hanya sekedar mengkonsumsi rokok saja, dengan adanya BLT

masyarakat cenderung menggantungkan bantuan dari pemerintah. Seperti yang

di sampaikan oleh menteri sosial Chamsyah dalam RRI pro3 yaitu, beliau

menghimbau agar pola pikir dan pola hidup masyarakat yang menetapkan

pencaharian hari ini hanya dikonsumsi untuk hari ini harus dirubah dengan pola

pikir hasil hari ini dapat untuk konsumsi hari berikutnya. Dengan berubahnya pola

fikir tersebut, pola konsumsi dan produksi masyarakat marginal menjadi

seimbang. Seimbang disini maksudnya masih ada selisih uang yang disisakan

untuk kebutuhan lain (misalnya tabungan dan modal usaha) dan di sisakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup esok hari.

2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi yang Terjadi di

Pedesaan

Data dari BPS menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia pada bulan

maret 2009 berjumlah 32,53 juta jiwa, dimana 20,62 juta diantaranya tinggal di

pedesaan dan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Alasan kenapa

sebagian besar masyarakat miskin tinggal dipedesaan, menurut Yustika (2008)

yaitu, wilayah pedesaan karena lokasinya jauh dari pusat kota/pembangunan,

dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja

diluar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar.

Masalah lain yang dijumpai dalam pemasaran hasil pertanian adalah

masih lemahnya posisi tawar petani dalam pembentukan harga (Hermantyo,

2006). Lemahnya posisi tawar ini sering kali diakibatkan oleh tingginya

ketergantungan masyarakat petani terhadap pendapatan dari hasil pertanian

lantaran tidak ada pekerjaaan sampingan yang memberikan pendapatan cukup

Page 23: Studi Hubungan Mental Lokal

15

tinggi selain disektor pertanian, terbatasnya pengelolaan lahan pasca panen,

tidak adanya inisiatif untuk menabung (tidak mau menunda kenikmatan hasil

panen), tidak adanya inisiatif untuk mengolah produk pertanian menjadi produk

bernilai jual tinggi dan terbatasnya akses informasi pasar lantaran kinerja

kelembagaan pertanian kurang dioptimalkan.

Damsar (1995), menyatakan bahwa sebagian besar petani hidup begitu

dekat dengan batas-batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan-

permainan alam serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar maka mereka meletakkan

landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip safety first

(mendahulukan selamat). Maksud dari Damsar tersebut, yaitu sebagian besar

petani selalu berusaha menghindari kegagalan panen yang dirasa akan

menghancurkan kehidupan mereka. Oleh sebab itulah, dalam memilih bibit, cara

tanam, dan cara-cara memperlakukan lahan secara teknis mereka lebih suka

meminimumkan kemungkinan terjadi kegagalan dengan meminimalisasi biaya-

biaya dan berharap memperoleh hasil yang maksimal. Dari tahun ke tahun moral

ekonomi dalam kelompok masyarakat petani sebagai sesuatu yang statis (Scott

dalam Damsar 1995). Sehingga moral petani tersebut sulit untuk lapuk oleh

adanya pengaruh-pengaruh perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial

kemasyarakatan yang berkembang.

Kondisi ini selain disebabkan oleh faktor penduduk desa terpuruk ke

lembah kemiskinan akibat dampak ketidakmerataan pendistribusian hasil-hasil

pembangunan juga oleh sikap mental penduduknya yang mengalami kemiskinan

secara alamiah dan kultural, ini ditunjukkan oleh situasi lingkaran

ketidakberdayaan mereka yang bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan,

pendapatan, kesehatan dan gizi, produktivitas, penguasaan modal, keterampilan

dan teknologi serta hambatan infrastruktur maupun etnis sosial lainnya

(Hadiyanti, 2006). Kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam

Page 24: Studi Hubungan Mental Lokal

16

ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran-ukuran

kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada

kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi

berikutnya sehingga terciptalah budaya kemiskinan (Humaidy, 2002).

2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis yang Terpolakan

Kemiskinan lainnya yang sering menjadi buah bibir di kalangan

masyarakat yaitu adanya fenomena mengemis. Perilaku mengemis setiap

individu sebenarnya dipengaruhi berbagai hal mendasar. Hal dasar yang

mempengaruhi perilaku mengemis tersebut bisa bersifat internal maupun

eksternal. Menurut Megasari (2009), faktor penyebab menjadi pengemis jalanan

dari faktor eksternal adalah tidak mempunyai modal untuk membuka usaha

sendiri, susah mencari pekerjaan, tingginya penghasilan dari mengemis,

keturunan dari orang tua yang menjadi pengemis, pasrah menerima nasib,

pengaruh perkawinan dan lingkungan tempat tinggal yang mayoritas menjadi

pengemis. Sedangkan faktor internal adalah karena penyakit malas.

Pernyataan lainnya yang berkaitan dengan faktor internal dan eksternal

ini dikemukakan oleh Artijo dalam Humaidy 2002, faktor internal meliputi sifat-

sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik

ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural,

ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. Sebagian

pengemis, termotivasi menjadi pengemis karena mencari uang dengan cara yang

mudah. Sehingga, karena mudahnya mencari uang dari mengemis tersebut,

inisiatif untuk berusaha mencukupi kebutuhan sendiri menjadi menurun atau

bahkan menghilang.

Untuk itulah, kegiatan mengemis yang terjadi dapat digambarkan menjadi

sebuah pola tersendiri. Dengan alasan keterbatasan sumber daya alam yang ada

Page 25: Studi Hubungan Mental Lokal

17

dan keterbatasan kemampuan untuk berusaha menjadikan kegiatan mengemis

menjadi kambing hitam. Kegiatan mengemis tersebut, sejatinya merupakan

implikasi sikap mental yang arahnya tertuju pada ketidakmauan untuk berperilaku

lebih produktif. Inilah yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup yang

bertumpu pada pola perilaku mengemis dari waktu ke waktu masih menjadi

sebuah potret buram kemiskinan di Indonesia.

2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan

Tantangan kemiskinan yang dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun

semakin kompleks dan rumit. Sinergitas peran kelembagaan baik pusat maupun

daerah sangatlah dibutuhkan. Otoritas kelembagaan daerah dianggap sangat

urgent dalam menanggulangi sendi-sendi vital kemiskinan yang ada sesuai hak

dan wewenangnya yang tertuang dalam otonomi daerah. Momentum otonomi

daerah mulai dijadikan sebuah panorama baru pembangunan perekonomian

bangsa sejak tahun 2001. Untuk itulah, sebagian besar pelayanan publik yang

dulunya di atur oleh pemerintah pusat kini sepenuhnya menjadi kewenangan

daerah.

2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram Pertumbuhan

Pembangunan

Dengan diberlakukannya otonomi daerah, tutuntutan pemerintah daerah

dalam menanggulangi kemiskinan semakin jelas dan lebih terarah mengingat

pemerintah daerah lebih paham dengan kondisi wilayahnya. Kebijakan otonomi

daerah berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan

daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi

tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya

pemberdayaan daerah. Sektor-sektor vital yang menunjang pertumbuhan

Page 26: Studi Hubungan Mental Lokal

18

perekonomian daerah diharapkan dapat diekplorasikan secara mantab dan jelas

dengan adanya otonomi daerah ini. Sehingga cita-cita makro negara mampu

diwujudkan secara maksimal.

Otonomi daerah sendiri menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999

dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi,

dengan diberlakukannya otonomi daerah ini, ada beberapa hal yang perlu

ditinjau dan diawasi secara seksama oleh pusat mengingat kapasitas tiap daerah

berbeda-beda. Dewi (2007) menyatakan, masing-masing daerah mempunyai

kapasitas kelembagaan yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan

diakibatkan oleh, antara lain : tingkat keterlibatan organisasi yang ada di daerah

tersebut, kondisi kemiskinan, dan latar belakang geografis daerah. Keterlibatan

organisasi yang dimaksud yaitu sejauh mana peran serta kelembagaan baik

formal maupun informal didaerah guna meningkatkan percepatan pertumbuhan

ekonomi daerah.

Selain itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah yang notabene

memeperjelas arah pembangunan secara bottom-up, namun realitas yang terjadi

kecenderungan dependensi dari berbagai daerah ke pemerintah pusat semakin

tinggi. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi

tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari

pembangunan juga semakin besar (Kuncoro, tanpa tahun).

Kelembagaan yang menanggulangi kemiskinan semakin terdesak ketika

Indonesia dihadapkan pada situasi krisis ekonomi tahun 1997 – 1998. Data dari

BPS menunjukkan angka kemiskinan dari tahun 1996 – 1999 meningkat tajam.

Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta,

yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.

Page 27: Studi Hubungan Mental Lokal

19

Angka kemiskinan tahun 1999 – 2005 berangsur-angsur mengalami penurunan.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin tahun 2002 sebanyak 38,40

juta sedangkan tahun 2005 menjadi 35,10 juta. Walaupun sejak tahun 1999

hingga 2005 angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, tetapi

pemerataan upaya penanggulangan kemiskinan dari pemerintah daerah belum

menjangkau seluruh wilayah yang dipimpinnya.

Sangat ironis memang, hegemoni pembangunan yang dituangkan dalam

bentuk otonomi ternyata semakin menguras income negara. Pembangunan

daerah untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah (PAD) ternyata akan

berjalan jika ada kucuran dana dari pusat. Padahal, ide utama dari otonomi yaitu

untuk meningkatkan kemandirian daerah. Dimana daerah tidak lagi

menggantungkan masalah keuangan kepada pusat tetapi mampu

mengeksplorasi potensi-potensi yang ada secara maksimal.

Walaupun kondisi geografis tiap daerah memunculkan corak dan

karakteristik yang berbeda, tetapi jelaslah kiranya setiap daerah memiliki

keunggulan komparatif (comparative advantage) tersendiri. Tidak adanya inisiatif

ataupun kesadaran dari pemerintah daerah yang menyebabkan kebijakan untuk

mengembangkan daerah secara maksimal (beraktualisasi diri) hanya sebatas

tulisan yang tidak diimplementasikan. Heryawan (2007) menyatakan,

kemunculan inisiatif daerah tergantung pada beberapa hal, seperti komitmen

kepala daerah dan DPRD, serta dukungan para pemangku kepentingan dalam

membangun tata pemerintahan yang berorientasi pada perbaikan pelayanan

publik dan pemberdayaan kaum miskin.

Kontradiksi dari otonomi daerah ini merupakan sebuah catatan tersendiri

yang harus digaris bawahi. Otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika

inisiatif untuk membangun dari masing-masing lembaga daerah hanya angin-

Page 28: Studi Hubungan Mental Lokal

20

anginan. Tidak adanya inisiatif untuk membangun tersebut justru akan

mendorong daerah ke jurang tirani dan cenderung membebani negara.

Aplikasi kebijakan yang dicanangkan oleh kelembagaan dalam

menanggulangi bentuk-bentuk kemarginalan sebenarnya tidaklah lepas dari

peran serta seorang pemimpin. Pemimpin memegang peranan penting dan vital

untuk menyukseskan proses perubahan dan memberikan hasil sesuai yang

diinginkan, dengan menyelesaikan permasalahan yang ada (Indarto, 2008).

melihat fenomena kemiskinan yang ada saat ini, pemimpin di setiap lini harus

berperan lebih aktif dan memiliki inisiatif utuk merencanakan perubahan,

memainkan peran kepemimpinan secara maksimal dan mengontrol

pengaplikasian kebijakan yang dilaksanakan. Untuk memaksimalkan

pembangunan yang ada di desa-desa negara berkembang, yaitu bila mayoritas

penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi

(pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang

telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya

(Yustika, 2008).

Mobilitas sosial ekonomi sebagaimana yang diungkapkan oleh Yustika

diatas, haruslah diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan

yang menganggap masyarakat sebagai subjek dan bukan hanya sebagai objek.

Dengan diberlakukannya sebagai subjek, pola kebijakan bottom-up akan terlihat

secara nyata keefektifannya.

Sebagaimana kasus riil saat ini, kebanyakan negara berkembang

mengandalkan pendekatan growth center dan industri sebagai leading sector

dalam strategi pembangunannya (tanpa memberdayakan masyarakat secara

merata). Karena secara teoritik, daerah pinggiran (periphery) akan berkembang

melalui efek penyebaran (spread effects) dan efek tetesan ke bawah (trickle

down effect). Tetapi pada kenyataannya stategi ini tidak berhasil dalam

Page 29: Studi Hubungan Mental Lokal

21

menyebarkan dan merembeskan efek dari pusat pertumbuhan dan percepatan

transformasi daerah (Fitanto, 2003).

Peran kelembagaan yang memberdayakan masyarakat sangat diperlukan

mengingat fungsi utama dari pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat

yang tertuang dalam tiga bentuk yaitu : alokasi, distribusi dan stabilisasi. Menurut

Suryono (tanpa tahun), klasifikasi dari fungsi pemerintah tersebut adalah sebagai

berikut :

1. Fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan

dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal

dan tidak dapat dimiliki secara perorangan.

2. Fungsi distribusi memiliki keterkaitan erat dengan perataan kesejahteraan

masyarakat dalam arti proporsional tetap menjadi perhatian dalam rangka

mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal.

3. Fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel

ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara

nasional.

2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran Kelembagaan

Dalam kasus kemiskinan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidaklah

lepas dari adanya ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan keluarga

miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan

seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang

sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin (Hidayanti, 2006).

Masyarakat miskin tidak berdaya menghadapi biasnya perilaku elite desa

karena sering kali terjadi asymmetric information antara lembaga desa dengan

masyarakatnya. Biasnya perilaku elite desa ini dari waktu ke waktu tetap

konsisten dan eksis dikalangan masyarakat desa. Masyarakat tidak berdaya

Page 30: Studi Hubungan Mental Lokal

22

menanggulangi hal tersebut mengingat adanya keterbatasan akses kelembagaan

dan informasi yang tidak sempurna. Keluarga miskin umumnya selalu lemah

dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi,

sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki

potensi lebih tinggi (Hidayanti, 2006).

Untuk itulah, dalam memajukan perekonomian pedesaan, setidaknya

harus ada peran dari kelembagaan setempat dengan melibatkan

(pemberdayaan) masyarakat, yang mana masyarakat bukan dijadikan objek

tetapi harus terlibat melaksanakan pembangunan dalam hal ini sebagai subjek.

Menurut W.J.S. Poerwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

mengartikan peranan adalah, sesuatu yang menjadi bagian atau yang

memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa).

Sedangkan pemberdayaan, secara definitif yaitu suatu proses tindakan

sosial dimana masyarakat mengatur diri mereka sendiri untuk suatu perencanaan

dan penerapan, mendefinisikan kebutuhan dan masalah individu dan kolektif

mereka, membuat rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan

mereka dan memecahkan masalah mereka, melengkapi sumber daya yang

dimiliki bila diperlukan dengan jasa dan material yang diperoleh dari pemerintah

dan agen non pemerintah (LSM) di luar komuniti (Effendi, 2006).

Sebelum mengimplementasikan kebijakan lembaga daerah dalam

memberdayakan masyarakat, setidaknya harus ada identifikasi terlebih dahulu

terhadap permasalahan sosial-ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Identifikasi ini sangat diperlukan mengingat permasalahan sosial-ekonomi di

setiap daerah berbeda-beda. Setelah dilakukan identifikasi dan ditemukan solusi,

selanjutnya diperlukan adanya rangsangan agar masyarakat mau terlibat dalam

pembangunan derah. Rangsangan untuk memulai proses pembangaunan ini,

Page 31: Studi Hubungan Mental Lokal

23

Sayogyo dalam Hidayanti 2006 mengemukakan beberapa syarat yang harus

dipenuhi diantaranya :

1. Restrukturisasi kelembagaan komunitas.

Maksudnya yaitu tatanan dasar yang mengatur komunitas perlu

direorientasi, dari yang berpola feodalistik dan kolonial ke pola pemerintahan

yang profesional dengan mempertimbangkan adanya pola perilaku

masyarakat yang dinamis.

2. Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan

masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada

upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki

nasibnya sendiri.

3. Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan

bottom-up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan

penyelenggaraan program. Strategi pembangunan model top-down

(sentralistik) yang selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti

masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari

sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka

(Elizabeth, 2004). Adanya kebijakan secara top-down, ruang gerak

masyarakat untuk berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi semakin

sempit dan terbatas. Maka dari itu, perubahan pendekatan dari top-down ke

bottom-up diharapkan mampu menstimuli masyarakt untuk lebih kreatif

berekspresi dan lebih bebas dalam beraktualisasi diri.

2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam

Dalam islam, kemiskinan yang terjadi merupakan suatu masalah yang

perlu segera diatasi. Perhatian islam tentang kemiskinan begitu besar, sampai-

sampai dalam al-Qur'an kata miskin dan masakin disebut hingga 25 kali dan

Page 32: Studi Hubungan Mental Lokal

24

tersebar dalam 19 surat, sementara faqir dan fuqoro disebut-sebut hingga 13 kali

yang tersebar di 10 surat (Ibrahim, 2007). Sangat berbeda jika memandang

kemiskinan dari pendekatan kontemporer (pendekatan umum) dan pendekatan

islam. Dalam pendekatan-pendekatan kontemporer, kemiskinan dipahami

sebagai fenomena sosial yang disebabkan oleh tiga kategori sebagai mana yang

di ungkapkan oleh Darusman (tanpa tahun) :

1. Teori yang menekankan pada nilai-nilai. Dimana mereka miskin lebih

desebabkan karena bodoh, tidak punya prestasi, malas dan tidak ulet.

2. Teori yang menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Dalam teori

ini, orang miskin lebih desebabkan oleh kurangnya peluang dan kesempatan

untuk memperbaiki hidup mereka.

3. Teori yang menekankan pada pembagian kekuasaan dalam struktur sosial

dan tatanan masyarakat. Teori ini mengemukakan bahwa penyebab

kemiskinan utamanya lebih mengarah pada ketidakberesan tatanan sosial

kemasyarakatan. Misalnya dalam struktur sosial kemasyarakatan, ada

sekelompok orang penguasa yang dengan seenaknya menyalahgunakan

kekuasaannya sehingga menyebabkan orang-orang disekitarnya menjadi

miskin (tertindas).

2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam

Sebagaimana yang di terapkan dalam nilai-nilai ajaran islam, sebenarnya

untuk rizki setiap individu manusia telah diatur, tinggal manusianya saja yang

harus berusaha untuk mencarinya. Ini tertuang dalam Al-qur’an surat Al-Ra’d

ayat 26 dan surat Al-Jatsiyyah ayat 13 yaitu :

“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendak”i (QS. Al-Ra’d :26).

Page 33: Studi Hubungan Mental Lokal

25

“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari padanya” (QS. Al-Jatsiyyah :13).

Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa semua riski setiap manusia telah diatur

oleh Allah, sehingga manusia tinggal berusaha untuk mencarinya. Apa lagi dalam

ayat lainnya dikatakan bahwasannya alam semesta ini merupakan sumberdaya

yang siap digunakan untuk kepentingan manusia. Sehingga, manusia jangan

hanya pasrah dan meratapi nasib, tetapi harus berusaha untuk keluar dari jeratan

kesengsaraan.

Islam menolak pandangan bahwa kemiskinan merupakan sebuah

keterpaksaan dan tidak perlu ada upaya perubahan nasib karena pandangan

seperti itu merupakan sandungan bagi upaya perbaikan harta yang rusak,

kecurangan timbangan, penegakan keadilan dan solidaritas kemanusiaan

(Qardhawi dalam Soekarni, 2004). Artinya setiap kaum muslim haruslah

berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya guna terlepas dari jeratan rantai

kemiskinan. Kemiskinan yang terus membelenggu masyarakat tidaklah baik. Jika

ini terus menerus terjadi, akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi

(pendapatan rendah, tingkat konsumsi menurun dan tabungan ataupun investasi

ikut menurun).

Jika kita hubungkan nilai-nilai ajaran islam ini dengan kasus pengemis

yang saat ini marak diberbagai daerah, beberapa literatur mengatakan

bahwasannya mengemis itu diperbolehkan bagi orang yang benar-benar tidak

mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilarang bagi orang yang masih

mempunyai kekuatan untuk berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah yang

diriwayatkan oleh Tarmizi dalam Qardhawi (1993) :

“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna”.

Page 34: Studi Hubungan Mental Lokal

26

Sebebnarnya, perilaku mengemis yang sering kita jumpai baik bentuk dan

karakternya bermacam-macam. Ada yang membawa atau menggendong anak

kecil, ada yang anggota tubuhnya luka-luka, ada pula yang anggota tubuhnya

cacat dan lain sebagainya. Disampaikan oleh Yusuf Qardhawi 1993, bahwa tidak

halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah

orang, padahal dia masih mampu berusaha memenuhi kepentingan dirinya

sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan

oleh Abu Daud dan Nas’i yaitu :

“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain”.

2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan

Untuk menyiasati agar kemiskinan yang ada tidak berlangsung secara

terus-menerus, sebenarnya telah islam memberikan beberapa rekomendasi.

Rekomendasi yang sering ditekankan yaitu : bekerja, zakat, hukum waris,

berhemat dan shadaqoh.

1. Bekerja : setiap umat islam diwajibkan untuk bekerja selama masih memiliki

kemampuan. Bekerja merupakan salah satu aktivitas utama dalam

menanggulangi kemiskinan. Sumberdaya alam yang diciptakan di dunia ini

adalah untuk dikelola (diambil manfaatnya) secara bijak oleh manusia. Maka,

tidak etis rasanya jika manusia yang masih memiliki kemampuan secara

sempurna tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan pada nasib.

Dalam surat Al-Taubah ayat 105 dikatakan :

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”.

Page 35: Studi Hubungan Mental Lokal

27

2. Zakat : mengenai adanya zakat, sebenarnya islam tidak menghendaki

adanya suatu kekayaan yang terkumpul (dikuasai) pada salah satu tempat

dalam masyarakat. Islam menginginkan adanya suatu pemerataan riski dan

menghilangkan jurang pemisah antara golongan kaya dengan golongan

marginal. Maka, bagi kaum yang di nilai memiliki kecukupan harta diwajibkan

untuk membelanjakan hartanya di jalan kebaikan salah satunya berupa

zakat. Kata zakat itu menunjukkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan

manusia itu mengandung najis dan kotor, tidak mungkin ia menjadi suci

sebelum dikeluarkan 2,5 % dalam setiap tahunnya (Darusman, tanpa tahun).

Siapa saja yang layak memperoleh zakat, dalam Al-Qur’an surat al-taubah

ayat 60 disebutkan :

"sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fkir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang sedang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan"

3. Hukum waris : yang dikehendaki islam mengenai hukum ini adalah, manusia

tidaklah hanya bekerja mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri dan

setelah itu (setelah meninggal) kekayaan tersebut dibiarkan begitu saja.

Tetapi, haruslah ada sistem pembagian harta kekayaan kepada keturunan

atau kerabat atau bisa juga kepada orang lain (hibah). Dengan adanya

sistem dari hukum waris ini, harapannya roda perekonomian keluarga

ataupun orang yang di beri warisan bisa terus berjalan dengan baik. Atau

setidaknya, harta yang diwariskan bisa dinikmati oleh orang lain.

4. Berhemat : dalam hal ini, islam tidak menghendaki seseorang

membelanjakan hartanya melebihi batas kemampuan financialnya.

Berhemat disini harapannya umat islam bisa menggunakan hartanya untuk

menabung (nantinya digunakan sebagai modal usaha, memenuhi kebutuhan

Page 36: Studi Hubungan Mental Lokal

28

esok hari, untuk berjaga-jaga guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya

mendadak dan lain sebagainya).

5. Shadaqoh : pandangan islam mengenai sedekah ini sebenarnya sangatlah

luhur. Dimana orang yang bersedekah dilatih untuk saling perduli terhadap

orang lain.

2.6 Hubungan antara Budaya dengan Eksistensi Kemiskinan di Berbagai

Daerah

Kemajemukan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke

menunjukkan bahwasannya Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya.

Kemajemukan bukan tercermin dari banyaknya budaya saja tetapi kemajemukan

bangsa semakin kompleks mengingat keanekaragaman etnis yang mendiami

negeri ini sejak dahulu telah ada. Yaitu melayu (pribumi), kemudian ada etnis

minoritas seperti Cina, India dan Arab, serta lebih dari 300 etnis dimana setiap

etnis mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri (Yustika, 2009).

Keragaman budaya dalam pembangunan ekonomi jika ditinjau dari

beberapa sudut pandang akan menemukan dua hal yang berbeda. Pertama,

nilai-nilai budaya tersebut mampu menjadi motor (penggerak) laju perekonomian

pasca otonomi dengan menginternalkan nilai-nilai budaya lokal pada tiap-tiap

individu serta mengaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal (local wishdom).

Kedua, nilai-nilai budaya justru akan menjadi boomerang yang menghancurkan

laju pertumbuhan ekonomi jika identitas utama dari budaya tersebut mengalami

pergeseran (degradasi). Pergeseran yang dimaksud seperti halnya jika tiap-tiap

individu mulai meninggalkan warisan kebudayaan lokal dan tidak lagi mampu

menyaring nilai-nilai kebudayaan baru yang diterimanya. Dan lebih parahnya lagi

jika kebudayaan baru tersebut diadopsi dan diterjemahkan dalam bentuk

Page 37: Studi Hubungan Mental Lokal

29

kebijakan oleh masing-masing pemegang kekuasaan tanpa ada proses

internalisasi nilai kepada masyarakat.

Padahal dalam kenyataannya, keberhasilan suatu kebijakan atau

pertukaran ekonomi sangat ditentukan oleh kepercayaan yang saling

menguntungkan (mutual trust) yang bersumber dari norma-norma, baik eksplisit

maupun implisit (Sen dalam Yustika, 2009).

Nilai-nilai yang diwariskan oleh budaya bangsa ini sangatlah banyak dan

memiliki arti yang luhur. Beberapa contoh keluhuran nilai budaya dapat dilihat

dari pesan-pesan moral kekayaan budaya bangsa. Misalnya saja warisan budaya

masyarakat Sumbawa, Rote dan Kalimantan Tengah. Bagi orang Sumbawa, etos

kerja masyarakat sangat terkait dengan ajaran Marapu atau hal-hal yang

berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan Marapu. Ada kalimat yang

menjelaskan etos kerja orang Sumbawa:

"ka ningu palumungu wangu palumungu ka ningu panggumangu wangu panggumangu" (supaya ada untuk melayani yang dilayani dan supaya ada untuk membakti yang dibakti (Mubyarto dkk, 1996)).

Jadi dengan kata lain, etos kerja orang Sumbawa memfokuskan pada

kegiatan saling melayani dan saling berbakti terhadap satu dengan yang lainnya

Gambaran umum dari maksud kalimat di atas adalah, bahwa segala sesuatu

yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa, semua dipersembahkan bagi

Marapu. Karena pada ajaran Marapu ini, orang Sumbawa dituntut untuk bekerja

keras dan yang terpenting berbakti pada leluhur, maka dari itu orang Sumbawa

tidak sepenuhnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga

untuk Marapu.

Bagi orang Rote etos kerja mereka sangat berkaitan erat terhadap

semangat yang terdapat didalam diri mereka masing-masing. misalkan saja etos

kerja dalam bidang pertanian, untuk menunjukannya dapat dilihat dari sangsi-

Page 38: Studi Hubungan Mental Lokal

30

sangsi “lalaa” yang mana diperuntukan untuk menghukum kemalasan seseorang

(Mubyarto dkk, 1996). Sedangkan untuk masyarakat Kalimantan Tengah, ada

istilah budaya Betang (rumah panjang) yaitu sistem nilai-nilai atau norma

kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan

dalam masyarakat terbuka yang Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan

subkultur dari Pancasila (Mubyarto dkk, 1996). Adapun yang menjadi alasan

mengapa disebut sebagai budaya betang karena dalam satu rumah betang

biasanya diisi oleh beberapa keluarga. Keluarga yang satu dengan yang lain

harus saling mempunyai toleransi yang besar untuk dapat hidup tenang dan

tentram.

Internalisasi nilai-nilai budaya lokal sangatlah penting dalam menunjang

pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai budaya secara normatif sebenarnya

membentuk pola perilaku masyarakat baik secara disadari maupun tidak

disadari. Hal ini berarti, bahwa perilaku masyarakat Indonesia (yang meliputi

masyarakat daerah di wilayah Indonesia) itu diatur oleh norma-norma dan

kepercayaan-kepercayaan yang terdapat dalam kebudayaan nasional Indonesia

(Rahman dan Yuswadi, 2005).

Terdegradasinya nilai-nilai kearifan bangsa menjadikan masyarakat hidup

dalam keadaan individualis. Berbagai macam upaya dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan (kenikmatan) pribadi tanpa memandang hak-hak untuk orang lain.

Seperti salah satu kasus korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak Gayus TH

Tambunan yang dilangsir oleh Republika Online 27 maret 2010. Fakta tersebut

memberikan gambaran bahwa terdegradasnya nilai-nilai kearifan bangsa

memeberikan implikasi secara langsung pada perekonomian.

Page 39: Studi Hubungan Mental Lokal

31

2.7 Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti sosial pernah melakukan penelitian terhadap fenomena

mengemis. Fenomena ini setiap hari masih saja eksis ditengah-tengah dinamika

masyarakat Indonesia. Salah satu peneliti yang mendalami tentang perilaku

pengemis ini yaitu Sonhaji. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 bertempat di

Surakarta. Penelitian yang dilakukan Sonhaji yaitu mencoba mengamati dan

memetakan kegiatan mengemis mingguan (mengemis pada hari kamis dan

jum’at) yang yang bertempat di kelurahan Porwosari, Lawean, Kauman dan

pasar kliwon. Sifat penelitiannya yaitu kualitatif deskriptis dengan menggunakan

data primer dan sekunder. Dimana data primer diperoleh langsung melalui

wawancara dengan pengemis yang diambil dengan metode sampling (jumlah

sampel 19 orang pengemis).

Sedangkan data skunder diperoleh secara tidak langsung baik melalui

catatan dokumen, maupun observasi terhadap objek. Hasil yang didapat,

kegiatan mengemis di Surakarta dari tahun ke tahun tidak ada perubahan secara

signifikan, mulai sebelum dan sesudah krisis jumlah pengemis berkisar antara

100 – 150 orang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pendapatan yang

diperoleh dari mengemis ini berkisar antara Rp 5.000 – Rp 20.000 setiap kali

mengemis. Sebagian pengemis ada yang berdomisili di Surakarta dan sebagian

berasal dari daerah lain. Kegiatan mengemis di Surakarta ini bukan bersifat

terorganisir tetapi murni karena inisiatif sendiri. Para responden yang berhasil

diwawancarai pada umumnya mengatakan bahwa mereka mau melakukan

kegiatan meminta-minta ini karena keadaan, dalam pengertian ini mereka

kebanyakan adalah orang-orang dari golongan miskin dimana mereka rata-rata

tidak memiliki pekerjaan tetap.

Peneliti lainnya yaitu Iqbali, dimana penelitiannya mengambil tempat di

kecamatan Kubu kabupaten Karangasem Bali. Analisis terhadap data penelitian

Page 40: Studi Hubungan Mental Lokal

32

dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terutama untuk

data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung. Analisis

kuantitatif terutama untuk data yang diperoleh dari wawancara dengan

menggunakan kuesioner terstruktur. Penelitian yang dilakukan Iqbali ini mencoba

memetakan tempat tinggal pengemis, daerah operasi, dan meneliti kemunculan

pengemis ditinjau dari sejarahnya.

Ada dua desa dimana pengemis ini berdomisili yaitu di desa Tianyar

Tengah dan Tianyar Barat. Masyarakat Tianyar dulunya bukanlah pengemis.

Mereka terbiasa melakukan sistem barter dengan penduduk daerah lain untuk

memperoleh barang yang mereka inginkan. Sistem barter ini dilakukan karena

terbatasnya sumberdaya alam yang ada. Kondisi alam di desa Tianyar sangat

kering jika musim kemarau dan tidak memungkinkan digunakan sebagai tempat

untuk bercocok tanam. Walaupun ada itupun luasnya terbatas. Setelah gunung

Agung meletus, pola hidup masyarakat mulai berubah. Yang dulunya sistem

barter berjalan dengan baik, saat ini mulai ditinggalkan dan beralih menjadi

pengemis. Perilaku mengemis ini dilakukan lantaran daerah yang dulunya

dijadikan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat sekitar (walaupun luasnya

terbatas), kini menjadi tandus dan berpasir lantaran terkena imbas dari letusan

gunung Agung.

Ditinggalkannya sistem barter ini lantaran adanya faktor pendorong dan

penarik. Faktor pendorongnya yaitu : kondisi sumberdaya alam yang tidak

mendukung untuk bercocok tanam dan adanya kalangan tertentu dari

masyarakat yang mengajak mengmis. Sedangkan faktor penariknya yaitu,

perilaku masyarakat kota yang selalu memberi uang jika ada pengemis

menyambangi rumahnya. Karena adanya faktor pendorong dan penarik tersebut,

hingga kini eksistensi pengemis di desa Tiayar ini tak kunjung berkurang bahkan

terus bertambah. Daerah yang sering dijadikan target operasi dari para pengemis

Page 41: Studi Hubungan Mental Lokal

33

ini diantaranya Denpasar, Badung, Singaraja, Banyuatis dan Munduk. Melihat

keberhasilan dari pengemis ini, masyarakat di daerah sekitar mulai tertular untuk

mengemis. Mereka yang mengemis sebagian bisa membeli sepeda motor,

membeli sapi, membeli babi dan bisa membangun rumah.

Untuk kasus pengemis di Madura, sebenarnya pernah diteliti oleh

beberapa peneliti sosial salah satunya Humaidy (2002). Tipe penelitian yang

digunakan adalah deskriptif analitis dengan teknik pengumpulan data melalui

wawancara mendalam (indepth interview) kepada para tokoh masyarakat

setempat, pejabat pemerintah mulai dari level aparat desa sampai kabupaten,

para pemerhati sosial khususnya yang pernah melakukan penelitian sejenis, dan

pengemis sebagai objek. Penelitian tersebut membahas kontradiksi pengemis di

desa Peragaan Daya kabupaten Sumenep. Beberapa hasil penelitiannya berupa

adanya paradigma budaya mengemis yang disangkutkan dengan hukum-hukum

yang berlaku. Hasilnya yaitu, pengemis disana beranggapan bahwa mengemis

tidak berlawanan dengan ajaran Islam dan hukum-hukum lainnya. Karena

masyarakat Peragaan beranggapan bahwa mengemis merupakan kegiatan yang

mulia karena mereka terkendala sulitnya mencari kerja (Humaidy, 2002).

Aktivitas ini oleh Humaidy diklasifikasin menjadi dua jenis yaitu dilakukan

secara tradisional (menggendong barang, bayi, berpakaian compang-camping

dan ekspresi melas) dan modern (terorganisir, menggunakan amplop dan stiker)

umumnya mereka bekerja sama dengan beberapa lembaga tertentu (pondok

pesantren, masjid dan madrasah). Kondisi wilayah di desa Peragaan ini tandus

dan berbatu sehingga masyarakat cukup kesulitan untuk memanfaatkannya

untuk bercocok tanam. Dulunya masyarakat Peragaan biasa mencari kayu dan

mengumpulkan batu-batu dari gunung untuk dijual. Karena pendapatan yang

mereka peroleh dari menjual kayu dan batu kurang mencukupi, sehingga mereka

mulai menjalani aktivitas sebagai pengemis. Bagi pengemis yang sudah berumur

Page 42: Studi Hubungan Mental Lokal

34

50 tahun ke atas, orientasi hidupnya diarahkan untuk pemenuhan biaya hidup

dasar, sedangkan bagi kaum muda, orientasinya tertuju ke barang-barang seperti

sepeda motor dan alat rumah tangga lainnya.

Masyarakat Peragaan memegang filsafat hidup yang di tularkan secara

turun-temurun oleh leluhur mereka yaitu sebuah pernyataan “kalau ingin kaya

harus miskin dahulu”. Adanya filsafah inilah yang menyebabkan keberadaan

pengemis terus eksis ditengah-tengan masyarakat Sumeneb. Dari wawancara

yang dilakukan oleh Humaidy, didapat bahwa pekerjaan mengemis dirasa sangat

menjanjikan mengingat mudahnya mencari uang ditengah-tengah sulitnya

lapangan pekerjaan. Aktivitas mengemis bagi masyarakat Peragaan bukanlah

mereupakan pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan pokok

(profesi harian). Hasil yang di dapat selain untuk membeli kebutuhan harian,

sebagian disimpan terlebih dahulu dan nantinya digunakan untuk membeli sapi,

membeli sepeda motor, membangun rumah dan membeli perhiasan.

Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, sebagian besar mempelajari

pengemis dari segi historis, daerah operasi, daerah asal dan kondisi wilayah

dimana pengemis tersebut tinggal. Sangat jarang referensi (penelitian terdahulu)

yang membahas mengenai pengemis dari segi mental lokal. Kesehatan mental

hendaknya dipahami sebagai isu yang bersifat multidisipliner, sehingga ilmu

psikologi (psikiatri) tidak menjadi penguasa tunggal dalam mengkaji soal ini

(Ranimpi, 2009).

Memperkaya pengkajian mengenai hubungan mental lokal dengan

kemiskinan sangatlah membantu peneliti-peneliti lain yang mengambil topik

sejenis. Pengaruh mental lokal masyarakat sangat besar terhadap keputusan

berproduksi atau bekerja. Atau kata lainnya mental lokal memiliki hubungan

resiprokal dengan perilaku seseorang. Dengan meningkatnya masyarakat yang

Page 43: Studi Hubungan Mental Lokal

35

bekerja, fokus utama dari tiga final goal makroekonomi (peningkatan

pendapatan, pemerataan, stabilitas) akan tercapai.

2.8 Kerangka Pemikiran

Perubahan sosial tiap individu sering kali dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan dari luar maupun dari dalam. Hal inilah yang sangat erat kaitannya

dengan produktivitas ataupun proses penerimaan pengaruh-pengaruh hal baru

dari eksternal individu. Konsep mental lokal biasanya sangat melekat (mengakar

kuat) dalam pembentukan karakter individu dalam suatu komuitas atau komunal.

Mental lokal dalam ranah pengkajian biasanya tidaklah lepas dari pengaruh-

pengaruh kelokalan yang sifatnya selalu dinamis. Pengaruh tersebut bisa dari

kondisi kelembagaan maupun budaya lokal.

Seperti yang dikemukakan oleh Kunio dalam Yustika (2009), dalam

lintasan sejarah terbukti bahwa antara pendapatan, budaya dan kelembagaan

(pranata) telah melakukan interaksi yang saling menguntungkan. Dimana faktor

pendorong individu untuk melakukan kinerja ekonomi adalah karena adanya

faktor budaya dan kelembagaan. Maksudnya budaya dan kelembagaan disini

berpengaruh terhadap individu dalam berproduksi ataupun bekerja melalui

pembentukan pola fikir. Keputusan individu untuk bekerja atau ber produksi

sangat menentukan kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi tersebut dalam kurun

waktu tertentu akan memberikan efek pembentukan polafikir individu tetapi sekali

lagi ini tidak terjadi sekaligus (memerlukan proses). Adapun bagan interaksi

pendapatan, budaya dan kelembagaan yang dikemukakan oleh Kunio adalah

sebagai berikut :

Page 44: Studi Hubungan Mental Lokal

36

Gambar 01 : Interaksi Antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan

Budaya memiliki hubungan resiprokal dengan individu karena budaya sendiri

merupakan hasil karya dari manusia. Budaya adalah ekspresi yang

menggambarkan eksistensi manusia di dunia (Mubyarto, 1996).

Menurut Ismani 2001, sikap mental selalu dikaitkan dengan nilai-nilai

yang dijadikan sebagai landasan dalam etos kerja. Nilai-nilai sendiri berasal dari

berbagai sumber antara lain : agama, filsafat dan kebudayaan yang dianut oleh

suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Berdasar pada penjelasan beberapa

teori tersebut, sebenarnya antara kelembagaan dan nilai-nilai lokal

mempengaruhi pola fikir (mind set) individu. Pola fikir tersebut berkorelasi

dengan pengambilan keputusan individu untuk bekerja atau berproduksi. Dalam

jangka panjang, keseimbangan antara produksi dan konsumsi sangat

menentukan pola perilaku masyarakat. Tak heran, jika mengalami kegagalan

dalam berproduksi (konsumsi lebih dominan), keputusan mengemis akan

menjadi sebuah keniscayaan untuk dijalani.

Dari penjelasan beberapa teori mengenai hubungan nilai-nilai lokal,

mental individu maupun perilaku individu dapat digambarkan dalam bentuk

bagan (kerangka pemikiran) sebagai berikut :

Kelembagaan

Keputusan Produksi

Kinerja Ekonomi

Individu Budaya

Page 45: Studi Hubungan Mental Lokal

37

Gambar 02 : Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan Mental Lokal yang Mengarah Pada Penentuan Pola Konsumsi dan Produksi.

Keputusan Konsumsi Lebih Dominan dari

pada Produksi

Keputusan

Mengemis

Page 46: Studi Hubungan Mental Lokal

38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Karena objek yang diteliti tidak sebatas pada pemahaman, pencarian dan

pendeskripsian data semata, maka diperlukan sebuah pendekatan analisis

secara mendalam guna diperoleh hasil yang lebih kompleks. Untuk itulah, maka

jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kulitatif dimana

penelitian deskriptif ini mencoba mendeskripsikan suatu fenomena yang

berlangsung ketika penelitian dilakukan. Dalam artian penelitian deskriptif

tersebut mencoba memaparkan kekinian fenomena-fenomena yang diteliti

(fenomena yang terjadi pada saat ini).

Penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami

masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic),

dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah (Tambunan,

2010). Maksud dari Tambunan tersebut yaitu, penelitian kualitatif diharapakan

mampu memperoleh data secara lebih dalam dan lebih kompleks karena data

yang di cari sebagian diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.

Pendekatan kualitatif digunakan bila peneliti ingin memahami sudut

pandang partisipan secara lebih mendalam, dinamis dan menggali berbagai

macam faktor sekaligus (Cresswell, 1994 : dalam Tambunan, 2010 ). Dinamika

sosial yang terjadi dimasyarakat haruslah diteliti secara mendalam agar berbagai

faktor yang mempengaruhi fokus penelitian dapat diungkap secara kompleks dan

lebih mendalam.

Page 47: Studi Hubungan Mental Lokal

39

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian studi kasus dimana penelitian

ini lebih spesifik mencoba untuk mempelajari dan mengamati fenomena yang

ada di suatu daerah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun tempat atau lokasi

penelitiannya yaitu dilakukan di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan

kabupaten Pamekasan pulau Madura. Dari pemilihan tempat tersebut,

harapannya mampu menjawab permasalahan penelitian.

3.3 Penentuan Informan

Untuk mengetahui keakuratan dan keaktualan informasi, maka kehadiran

informan sangat diperlukan. Informan-informan tersebut oleh peneliti digunakan

sebagai basis akurasi dan aktualisasi data yang berkaitan dengan isu-isu sosial

yang diteliti. Selain itu, dengan hadirnya informan, fokus utama penelitian

mengenai hubungan mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta

Tinggi tidak lagi menjadi sebuah isu yang mengambang, tetapi lebih mengarah

pada isu-su sosial yang bisa dibuktikan keberadaannya.

Informasi yang di peroleh nantinya di analisis dan di bandingkan antara

data dari informan satu dengan informan lainnya untuk melihat cocok atau

tidaknya persepsi antara informan yang satu dengan informan yang lain

berkaitan dengan isu yang diteliti. Untuk itulah, beberapa informan yang sengaja

ditunjuk diantaranya : pertama, masyarakat lokal yang terlibat dalam lingkup

penelitian (pengemis). Dimana masyarakat ini secara langsung terlibat dalam

satu kesatuan sistem interaksi sosial suatu komunitas. Adapun maksud dan

tujuan peneliti memilih masyarakat pengemis adalah untuk mengetahui sejauh

mana paradigma yang berkembang sehingga berpengaruh pada perilaku

mengemis mereka.

Page 48: Studi Hubungan Mental Lokal

40

Selanjutnya informan non-pengemis sengaja dipilih guna menjabarkan

bagaimana interaksi atau hubungan sosial pengemis dikalangan masyarakat

umum (pengemis dengan non-pengemis) dan sejauh mana pengaruh interaksi

hubungan sosial tersebut dalam pembentukan paradigma (pola fikir) bagi

pengemis maupun non-pengemis. Kedua, kepala desa yang secara langsung

terlibat dan berpengaruh terhadap mobilitas sosial-ekonomi kemasyarakatan di

desa Branta Tinggi. Dari kepala desa ini harapannya peneliti mampu

memperoleh informasi mengenai bagaimana peran kelembagaan dalam

mempengaruhi mobilitas sosial-ekonomi (utamanya yang berkaitan dengan isu-

isu perilaku mengemis masyarakatnya) di desa terkait melalui kebijakan-

kebijakan yang diterapkan ataupun yang masih direncanakan.

Ketiga, kyai dan tokoh masyarakat setempat yang secara struktur

kemasyarakatan informan tersebut memiliki pengaruh terhadap tindakan sosial

masyarakat. Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini

mempunyai "otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia

dianggap sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Chufron, 2009). Kyai

dan tokoh masyarakat tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran

secara umum mengenai hubungan antara masyarakat dengan sosok pemimpin

informal dan sejauh mana pengaruh keduanya (kyai dan tokoh masyarakat)

terhadap tindakan (perilaku) masyarkat desa Branta Tinggi.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Dalam setiap penelitian, peneliti tidaklah lepas dari data-data yang

menunjang ke kebakuan informasi yang dipaparkan. Data adalah fakta empirik

yang dikumpulkan oleh peneliti untuk kepentingan memecahkan masalah atau

menjawab pertanyaan penelitian (Dharma, 2008). Data dalam penelitian dipilah-

Page 49: Studi Hubungan Mental Lokal

41

pilah berdasarkan jenis dan sumbernya. Adapun jenis data yang dimaksud

meliputi : data subyek, data fisik dan data dokumenter.

a. Data Subyek : Data subyek adalah jenis data penelitian yang berupa opini,

sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok

orang yang menjadi subyek penelitian (responden). Data subjek ini sengaja

dipilih karena peneliti ingin menggali informasi yang ada dimasyarakat

utamanya yang berkaitan dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi.

b. Data Fisik : Data fisik merupakan data penelitian yang berupa objek atau

benda-benda fisik, antara lain dalam bentuk: bangunan atau bagian dari

bangunan, pakaian, buku, dan senjata. Dengan memilih data fisik ini,

harapannya peneliti mampu menggambarkan secara umum kondisi wilayah

dari objek yang diteliti.

c. Data Dokumenter : Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang

antara lain berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo,

atau dalam bentuk laporan program. Data dokumenter tersebut

harapannya mampu memberi tambahan informasi kepada peneliti dengan

dasar adanya data-data terdahulu yang tersimpan dalam bentuk laporan,

jurnal, dan lain sebagainya.

Sedangkan berdasarkan sumbernya, data dalam penelitian

diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu : data primer dan data skunder.

a. Data Primer (primary data) : yaitu data yang diperoleh secara langsung

oleh peneliti dari sumber datanya. Untuk mendapatkan datanya, peneliti

harus mengumpulkan secara langsung dengan beberapa teknik

diantaranya : observasi, wawancara, diskusi, dan penyebaran kuesioner.

b. Data Sekunder (scondary data) : yaitu data yang diperoleh peneliti dari

sumber-sumber yang telah ada (peliti tangan ke dua) atau bisa juga disebut

Page 50: Studi Hubungan Mental Lokal

42

data diperoleh secara tidak langsung yang menunjang keabsahan

informasi penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, ada beberapa teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan data. Adapun teknik yang digunakan pengumpulan data

berdasarkan Afriyani, 2009 yaitu : observasi, dokumentasi dan wawancara.

a. Obsevasi : observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik

perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu

mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan

pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap

pengukuran. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi

adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, kejadian atau peristiwa,

waktu, dan perasaan.

b. Dokumentasi : Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh

dari bahan-bahan yang berbentuk dokumen. Sebagian besar data yang

tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata,

laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Implikasi utama dari data ini tak

terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada

peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam

c. Wawancara : Wawancara merupakan suatu kegiatan tanya jawab antara

pewawancara dan yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang

dibutuhkan. Atau bisa juga teknik wawancara ini dipakai sebagai alat re-

cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah

diperoleh sebelumnya.

Page 51: Studi Hubungan Mental Lokal

43

3.6 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dilakukan analisis dan diolah sesuai dengan

sifat dan kategori karakteristik data, yaitu pendeskripsian. Pendeskripsian disini

meliputi upaya-upaya untuk mempelajari dan menjelaskan mengenai hubungan

mental lokal dengan perilaku mengemis. Sebenarnya analisis data merupakan

upaya mencari data secara sistematis yang didasarkan atas catatan wawancara,

observasi, dokumentasi dan lain sebagainya untuk meningkatkan pemahaman

penelitian atas obyek dan subyek yang diteliti.

Menurut Maryaeni (2005), analisis merupakan kegiatan :

(1) pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan

pemahaman yang ingin diperoleh; (2) pengorganisasian data dalam formasi,

kategori, ataupun unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti; (3)

interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikansi butir-butir ataupun satuan

data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh; (4) penilaian atas

butir ataupun satuan data sehingga membuahkan kesimpulan: baik atau

buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.

Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terdapat empat tahapan yang

digunakan untuk menganalisis data yaitu :

1. Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil dari wawancara, observasi,

Dokumentasi dan lain sebagainya. Data-data yang terkumpul ini masih berupa

data mentah dan perlu dilakukan pemilahan untuk menemukan isu-isu utama

penelitian yang lebih fokus.

2. Penyajian Data

Penyajian data yaitu data yang dihasilkan melalui proses reduksi data

akan langsung disajikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang

Page 52: Studi Hubungan Mental Lokal

44

memberikan kemungkinan adanya penerikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.

3. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir

dapat diambil (Miles dan Huberman, 1992). Maksud utama dari reduksi ini yaitu

untuk memeperoleh data yang lebih tajam dan lebih fokus terhadap penelitian

sehingga dapat mempermudah dalam penarikan kesimpulan.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus-menerus selama peneliti

melakukan penelitian. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk mengetahui

secara mendalam mengenai objek yang diteliti. Sehingga, mempermudah dalam

mengetahui isu-isu utama dari penelitian.

Page 53: Studi Hubungan Mental Lokal

45

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi Ekonomi

yang Belum Optimal

Dilihat dari bentang alamnya, kondisi tanah di Madura sebagian besar

berupa tanah grumusol. Menurut Karjadi (2000), umumnya tanah grumusol yaitu

berupa batu-batuan endapan yang berkapur biasanya berada di daerah bukit

maupun gunung, sifat tanah seperti ini biasanya basah (becek berlumpur) jika

musim hujan dan sangat kering jika musim kemarau. Bukan hanya itu saja,

sebagian besar wilayah Madura beriklim C (iklim hujan sedang), D (iklim agak

kering), dan E (iklim kering) dengan 8 – 10 bulan kering (Schmidt dan Ferguson

dalam Swarso, 2007). Karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung

untuk dikembangkannya tanaman yang mengandalkan kesuburan tanah,

sehingga sebagian besar masyarakat Madura terpaksa menanam tanaman

seperti ketela pohon, jagung, dan tembakau.

Tak ubahnya daerah Madura lainnya, desa Branta Tinggi juga mengalami

kondisi yang serupa. Kontur tanahnya yang kurang subur dan berpapasan

langsung dengan laut, menjadikan ketela pohon, jagung dan tembakau sebagai

tanamam favorit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Junaidy :

“Sebenyak oreng-oreng kadintoh nggi namen pohong, jegung, bekoh....ye...kadeng-kadeng e..tanemin padih mon mosem ojen...ye...gunak ruah se bisah e tanem...mon e tanemin selain ye tak odik....” (kebanyakan orang-orang disini ya menanam ketela pohon, jagung, tembakau, ya...kadang-kadang juga menanam padi kalau musim penghujan...yah...mungkin hanya itu yang bisa ditanam...kalau tanaman lainnya kadang tidak hidup)

Beberapa sumber pustaka sering kali memaparkan bahwasannya

tembakau Madura memiliki cita rasa yang unik dan berkualitas tinggi. Tembakau

Madura mempunyai mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok

Page 54: Studi Hubungan Mental Lokal

46

sebagai bahan baku utama (Istiana, 2003). Untuk itulah, tembakau-tembakau

yang ada di Madura banyak dibudidayakan diberbagai tempat di Madura mulai

pegunungan hingga pesisir. Namun, kualitas tembakau tiap-tiap daerah berbeda-

beda sehingga muculah ketimpangan harga komoditas.

Kualitas tembakau yang dihasilkan desa Branta Tinggi tidaklah sebaik

tembakau didaerah Madura lainnya. Karena lokasinya berpapasan dengan laut

tersebut yang menjadi corak tersendiri sehingga kualitas tembakau di desa

Branta Tinggi ini kurang bagus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala

desa terkait :

”Dulu pernah dilakukan penelitian oleh orang-orang Universitas Madura mengenai tembakau yang ada di daerah sini, katanya kualitas tembakau yang berada di pinggir pantai mutunya memang tidak sebagus tembakau yang ada di daerah pegunungan maupun daerah yang jauh dari pantai lainnya”.

Tanah-tanah yang ada sebagian dibiarkan kering lantaran jika ditanami

tembakau hasil yang diperoleh tidak maksimal. Daun tembakau yang tipis

menjadikan bobot panen kurang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para

petani. Bukan hanya itu, cita rasa dari tembakau yang dihasilkanpun kurang

diminati oleh konsumen. Sebagaimana yang paparkan oleh H. Hamin :

“Bekoh kadintoh bek jubek, amargeh semak ambi tasek...dedih ye...aselah gunak skonik...deunah tepes apa pole rasanah korang nyaman...mon oreng-oreng kadintoh juelah paleng larang ye....lemabeles ebuh...tapeh jarang dek...sebenyak pemborong melenah sepolo sampe dubeles ebuh sekilonah...tak engak e Sumeneb...se ejuel sampe pa’lekor ebuh sekilonah.” (Tembakau disini agak jelek, lantaran dekat dengan pantai..jadi ya...hasilnya cuma sedikit...daunnya tipis-tipis apa lagi rasanya kurang enak...kalau orang-orang disini jualnya paling mahal ya...Rp. 15.000...tapi jarang dek...kebanyakan pemborong membelinya Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per kilogramnya...tidak seperti di Sumeneb...yang bisa dihargai hingga Rp 24.000 per kilogramnya)

Page 55: Studi Hubungan Mental Lokal

47

Walaupun karakteristik wilayahnya sebagian besar memiliki corak yang

kering dan kurang subur, tetapi potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh

desa Branta Tinggi ini sangatlah melimpah. Wilayahnya yang dekat dengan

pantai dan jalur transportasi utama antar wilayah di Madura merupakan salah

satu aset berharga yang perlu di tinjau lebih lanjut. Wilayah Branta Tinggi bagian

selatan, memiliki pantai dengan pasir putih yang luas dengan keanekaragaman

hayati yang terkandung didalamnya seperti kepiting, tiram, ikan, tanaman bakau,

karang yang kondisinya masih utuh dan aneka flora dan fauna lainnya yang

dijadikan sebagai salah satu faktor penting penggerak perekonomian desa.

Keindahan pantai hingga saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian untuk

dikembangkan lebih lanjut (misalnya sebagai objek wisata atau untuk tambak

ikan).

Gambar 03 : Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 56: Studi Hubungan Mental Lokal

48

Bentang alam di bagian tengah desa Branta Tinggi sebagian besar

berupa tegalan dan kebetulan dilalui oleh jalur transportasi utama pulau Madura.

Hal inilah yang menjadikan wilayah ini semakin potensial untuk dikembangkan

lebih jauh. Pengembangan potensi yang ada berkaitan dengan adanya faktor

pendukung berupa sarana transportasi yang memadai yaitu berupa

pengembangan industri olahan. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan

tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit

industri pengolahan (Nursyadin dkk, 2007).

Industri pengolahan sangatlah potensial dikembangkan lantaran sumber

daya (alam dan manusia) di daerah Branta Tinggi sangatlah melimpah

jumlahnya. Sumber daya alam potensial dari hasil laut dan pertanian hingga saat

ini dalam pemasarannya hanya sebatas pada keprimeran produk semata. Selain

terdapat sarana transportasi yang memadai, tata letak dari desa Branta Tinggi ini

sangatlah strategis. Ini dikarenakan desa Branta Tinggi berdampingan langsung

dengan pusat perekonomian yang ada di kabupaten Pamekasan yaitu pasar

besar kabupaten. Jarak dari desa ke pusat perekonomian + 7 Km. Untuk itulah,

Gambar 04 : Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 57: Studi Hubungan Mental Lokal

49

jika pengembangan industri olahan benar-benar dilaksanakan, maka hasil-hasil

produksi yang ada sangatlah mudah dipasarkan.

Tidak berhenti pada dukungan dari adanya sarana transportasi saja,

bagian desa Branta Tinggi sebelah utara, untuk saat ini telah memiliki sumur bor.

Dimana sumur bor yang ada digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih

beberapa desa di Pamekasan. Selain itu, sumur bor yang ada oleh sebagian

masyarakat digunakan untuk mengairi ladang-ladang tembakau. Aset berharga

seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber devisa desa.

Pemaparan tersebut diatas merupakan beberapa potensi yang hingga saat ini

belum terekplorasi secara maksimal. Bahkkan, walaupun desa ini memiliki akses

air bersih yang sangat lancar, namun melimpahnya air bersih yang dimiliki

sebagian besar dikuasai oleh PDAM Pamekasan. Sehingga, setiap hari

masyarakat harus mengeluarkan + Rp 2.000 untuk memenuhi bak mandi yang

dimilikinya.

Lebih parahnya lagi, air yang diperoleh dari PDAM tersebut tidak bisa

digunakan untuk kebutuhan konsumsi lantaran rasanya agak asin. Dan itupun

sebagian masyarakat Branta Tinggi ada yang tidak memperoleh bagian jatah air

dari sumur bor lantaran sebagian air yang ada disalurkan ke beberapa desa lain.

Untuk kebutuhan air konsumsi, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan

+ Rp 4.000 demi membeli air bersih yang digunakan sebagai air konsumsi

selama dua hari. Dengan uang Rp 4.000 air yang diperoleh sebanyak 10 jirigen

berukuran 5 liter per jirigennya. Pembelian air konsumsi ini biasanya dilakukan di

salah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk oleh PDAM sebagai agen

penyuplai air konsumsi. Kondisi ini memperparah kehidupan masyarakat desa

lantaran biaya-biaya kebutuhan harian cukup tinggi.

Page 58: Studi Hubungan Mental Lokal

50

Tawaran pasokan air bersih dengan harga cukup terjangkau hingga saat

ini masih belum ada. Teknologi tepat guna yang dicanangkan sebagai salah satu

alternatif untuk mengurangi biaya konsumsi air bersih hanya sebatas wacana

yang belum terealisasiikan. Sebagaimana dipaparkan oleh Faishal :

“Saben pernah bedhe sosialisasi deri pemerintah, se ca’en ngebangunah detilator tenaga surya....anoh...alat se ndediagih aing acen dedih aing taber se ngandalagih tenaga matahari...tapeh tak taoh poleh...sampe setiah adek kaberah poleh....” (Dulu pernah ada sosialisasi dari pemerintah, yang katanya mau membangun destilator tenaga surya...itu...alat yang mengubah air asin menjadi air tawar dengan bantuan sinar matahari...tapi tak tahu lagi...sampai sekarang tidak ada kabarnya)

Memang, jika diilihat dari sketsa riil kondisi wilayah, sebenarnya pengembangan

destilator tenaga surya yang dimaksud benar-benar membantu masyarakat

dalam memenuhi kebutuhan air konsumsi.

Melihat melimpahnya pasokan air dari laut yang bisa dijadikan air tawar

menggunakan teknologi tepat guna tersebut, sebenarnya kebijakan ini mampu

Gambar 05 : Ketergantungan Air Bersih untuk Minum

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 59: Studi Hubungan Mental Lokal

51

mengurangi beban masyarakat jika benar-benar direalisasikan. Namun, itu

semua masih berupa wacana dari pemerintah setempat dan tidak tahu kapan

realisasinya.

4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Berkaitan dengan

Perilaku Mengemis

Tak ubahnya didaerah Madura lainnya, hubungan kekerabatan yang

terjadi di desa Branta Tinggi ini sangatlah erat. Hampir seluruh masyarakat di

Madura dari kampung yang berbeda saling mengenal satu sama lainnya

(Citrayati dkk, 2008).

Ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Madura bahwa kalau

mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut

saudara (Humaidy, 2002).

Bahasa Madura penduduk desa Branta Tinggi sangatlah berbeda dengan

penduduk di beberapa desa seperti Bangkalan dan Sampang. Bahasa yang

digunakan di desa ini sangat halus dan santun walaupun percakapan dilakukan

pada teman sebaya. Penggunaan bahasa Madura yang halus hanya dilakukan

oleh beberapa desa di dua kabupaten yaitu Pamekasan dan Sumeneb.

Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Sura’i :

“Bahasanah oreng-oreng neng Pamekasan nggi padhe ambi’ oreng-oreng neng Sumeneb. Kadintoh nganggui bahasa Medureh alos...tak padhe ambi’ oreng-oreng Sampang ambi’ Bankalan se bahasanan beg kasar”. (Bahasa orang-orang pamekasan identik dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang Sumeneb. Disini menggunakan bahasa Madura yang halus...tidak sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Sampang atau Bangkalan...bahasa mereka agak kasar)

Tata bahasa yang halus oleh sebagian besar masyarakat diikuti dengan

tingkah laku yang halus dan santun. Ada beberapa hal menarik ketika bertamu di

rumah penduduk di desa ini. Setiap tamu yang datang, selalu diwajibkan untuk

makan dirumah orang yang didatangi. Walaupun makanan yang disajikan

Page 60: Studi Hubungan Mental Lokal

52

alakadarnya, tetapi untuk mencicipinya hukumnya wajib bagi seorang tamu.

Secara luas dijelaskan oleh bapak Junaidy :

“Ben tamoh se deteng kadintoh mesteh e beri’in ngakan...hukumah wajib nekah...dedih tamoh se detang nggi wajib ngakan....e beri’in ngakan amargeh oreng kadintoh mesteh ngormateh tamoh...mangkanah mon tak e kakan nase’en ambik tamonah...nggi engak tak ngormaten neng tuan rumah..” (setiap tamu yang datang disini selalu diberi makan...hukumnya wajib...jadi tamu yang datang pun juga wajib untuk memakannya...maksud pemberian makan disini yaitu untuk menghormati tamu...jadi..apabila makanan yang disajikan tidak di makan, ya...seperti tidak menghormati tuan rumah lah...)

Untuk menghargai tuan rumah, setiap tamu wajib hukumnya menikmati

makanan yang disajikan. Ini dikarenakan setiap tamu yang dihormati hukumnya

wajib untuk menghargai yang menghormati tuan rumah (yang menghormati).

Selain itu, sebagaimana orang Madura lainnya, mereka selalu menonjolkan

sebuah perilaku untuk menjaga harga diri. Harga diri dan penggunaan kekuatan

fisik mempunyai relasi yang sangat erat dalam masyarakat Madura, karena

penampilan fisik diyakini sebagai penjelmaan dari harga diri (Wiyata, 2002).

Memang sedikit aneh melihat fenomena ini, tetapi, itulah budaya. Ibarat pepatah

“lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Dimana budaya sosial

kemasyarakatan setiap daerah tidaklah selalu sama.

Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di desa ini beraneka ragam

bentuknya. Mulai selamatan setelah panen tembakau, pengajian bulanan, hingga

pengajian bersama setiap hari kamis (malam jum’at). Setiap panen tembakau,

acara selamatan selalu diadakan. Acara ini merupakan salah satu wujud syukur

atas riski yang diperoleh. Biasanya, acara selamatan pasca panen diadakan

disalah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk dan disepakati oleh

masyarakat.

Acara lainnya, yaitu berupa pengajian bulanan yang diadakan untuk

meningkatkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat terhadap kepercayaan yang

dianut. Sebenarnya, acara ini bertujuan untuk meningkatkat tali silaturahmi antar

Page 61: Studi Hubungan Mental Lokal

53

warga. Penempatan dan penyelenggaraan acara biasanya ditentukan dengan

sistem random. Bagi warga yang memperoleh giliran, biasanya dibantu

pendanaan untuk kebutuhan konsumsi oleh warga lain yang aktif sebagai

peserta pengajian tersebut. Pengajian ini diisi oleh ustadz dan kyai yang ada di

desa bersangkutan maupun dari daerah lain diluar Branta Tinggi.

Isi dari kajian setiap acara bermacam-macam tergantung tema yang

ditentukan oleh masyarakat. Namun, tema yang sering dibahas yaitu mengenai

akidah dan akhlaq. Selain itu, terkadang pengajiannya diisi istighosah yang

bertujuan untuk kirim do’a kepada para leluhur yang telah tiada.

Untuk kajian yang terakhir yaitu berupa kajian mingguan yang umumnya

diadaikan setiap hari kamis. Kajian ini umumnya diisi dengan pembacaan surat

yaasin dan tahlil bersama. Kegiatannya pun tidak hanya terpaku pada suatu

tempat tetapi bergantian di beberapa rumah penduduk yang telah ditentukan

sebelumnya. Kajian mingguan umumnya tidak diisi dengan ceramah-ceramah

kegamaan lantaran sebatas untuk kirim do’a kepada leluhur. Peserta dari kajian

Gambar 06 : Rutinitas Kegiatan Keagamaan

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 62: Studi Hubungan Mental Lokal

54

mingguan pun juga lumayan banyak. Umumnya mereka berasal dari ke tiga

dusun yang ada di desa ini (Pelanggaran, Tengah dan Gedongan).

Karena begitu banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkan

interaksi sosial, tak jarang interaksi tersebut menimbulkan efek resiprokal kepada

warga yang lain. Pengaruh yang sangat nampak yaitu pada penularan perilaku

mengemis yang merupakan tradisi turun-temurun di desa ini. Pasalnya,

masyarakat Branta Tinggi yang menjalankan tradisi untuk mengemis terbatas

untuk masyarakat di dusun Pelanggaran semata. Namun, karena adanya

hubungan sosial yang begitu kuat, perilaku ini berpengaruh dan menular pada

masyarakat di dusun lain bahkan masyarakat di luar desa Branta Tinggi ikut

melakukan kegiatan ini.

Dilihat dari sistem pemerintahan desa, desa Branta Tinggi ini memiliki tiga

dusun utama yaitu, dusun Pelanggaran yang diidentikkan dengan kampung

(dusun) pengemis, dusun Tengah dan dusun Gedongan yang diidentikkan

dengan kampung (dusun) nelayan. Walaupun dengan corak dan latarbelakang

pekerjaan yang berbeda, namun ada sebuah kesamaan dalam pola konsumsi.

Pola konsumsi yang tinggi seringkali tanpa diimbangi dengan pola produksi yang

memadai. Inilah yang menjadi salah satu corak yang tak terpisahkan lagi bagi

masyarakat di desa Branta Tinggi utamanya pasca panen (khususnya bagi

petani) atau hasil tangkapan ikan sedang melimpah.

Pola konsumsi tinggi ini dijelaskan secara tegas oleh salah satu

perangkat desa yaitu pak Kholis:

“Biasanya setelah panen atau tangkapan ikan sedang melimpah, masyarakat desa ini selalu memenuhi rumahnya dengan barang-barang yang agak mewah. Misalnya membeli TV yang bagus, membeli sepeda motor walaupun sebenarnya sudah punya, dan membeli barang-barang lain agar kelihatan seperti seorang jutawan. Namun pada saat tertentu barang-barang tersebut dijual kembali. Ini biasanya terjadi saat musim tanam dimana untuk memperoleh modal yang cukup, barang-barang rumah tangga terpaksa dijual”.

Page 63: Studi Hubungan Mental Lokal

55

Pola konsumsi tinggi diwilayah ini merupakan aplikasi dari mental lokal

(shared value) yang dalam jangka panjang seringkali mengarah pada perilaku

mengemis lantaran tidak dibutuhkan perjuangan ekstra untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

Jaringan sosial memainkan peran yang penting dalam alokasi pekerjaan

dalam pasar tenaga kerja (Damsar, 1995). Hubungan sosial kemasyarakatan

antara pengemis dan masyarakat bukan pengemis membawa dampak negatif.

Munculnya pengemis-pengemis baru dari luar dusun Pelanggaran merupakan

salah satu bukti betapa pengaruh itu benar adanya. Diungkapkan oleh bapak

Sugianto selaku camat setempat :

“Bahwasannya munculnya pengemis-pengemis baru dari luar daerah dusun Pelanggaran lebih disebabkan oleh pandangan masyarakat yang melihat pengemis begitu mudahnya memperoleh kepingan rupiah tanpa mengeluarkan modal yang besar”.

Dengan jumlah penduduk 2.210 jiwa, di desa ini diperkirakan ada sekitar

250 jiwa atau 70 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengemis (data

kelurahan, 2006 diolah). Kegiatan mengemis bukan hanya dilakukan oleh orang

dewasa semata, namun anak-anak juga terlibat dalam kegiatan ini. Jumlah 250

jiwa yang dipaparkan dalam data kelurahan tersebut hanya perkiraan saja

lantaran ada sebagian masyarakat yang menjadi pengemis kambuhan seperti

yang diungkapkan oleh kepala desa terkait (bapak Mahrus) :

“Sensus dinas sosial untuk mengetahui jumlah pengemis di desa ini tidaklah begitu akurat. So’alnya ada sebagian masyarakat yang pada saat-saat tertentu mengemis, kadang tiba-tiba berhenti....dan terkadang mengemis lagi....untuk pengemis kambuhan, biasanya mereka mengemis pada saat-saat tertentu....seperti pas musim hujan dan bulan Ramadhan...”

Pada musim hujan, petani tembakau yang ada di desa ini tidak lagi bekerja.

Tanaman tembakau akan rusak jika ditanam pada musim hujan. Untuk itulah,

guna mencukupi kebutuhan harian, mereka beralih profesi menjadi pengemis

Page 64: Studi Hubungan Mental Lokal

56

untuk sementara waktu. Pengemis kambuhan inilah yang sebenarnya sulit

teridentifikasi.

Sektor-sektor pertanian dan perikanan yang menjadi mata pencaharian

masyarakat Branta Tinggi memang selalu menimbulkan beberapa risiko. Disektor

pertanian misalnya, biaya-biaya yang cukup tinggi untuk investasi dengan risiko

gagal panen telah menyempitkan dan mengubah mind set masyarakat. Sektor

pertanian yang menjadi prioritas utaman dalam memenuhi kebutuhan hidup

petani mulai terdesak oleh tingginya himpitan ekonomi. Tak jarang, pada saat-

saat tertentu petani menjalni profesi ganda (sebagai petani dan pengemis).

Sektor perikanan juga mengalami nasib yang sama tak ubahnya apa yang

terjadi di sektor pertanian. Hasil tangkapan yang tidak menentu dengan risiko

dilaut yang dirasa cukup tinggi mengubah pola fikir dan pola kerja dari

masyarakat. Sehingga, mental yang tidak kuat menanggung risiko kerja itulah

yang menjadikan kegiatan mengemis sengaja dijalani. Nelayan-nelayan yang

ada pun dapat dikategorikan sebagai pengemis musiman lantaran ketika musim

hujan mereka berhenti melaut. Untuk itulah tak segan-segan kegiatan mengemis

dilakukan.

4.3 Topeng Budaya dan tradisi ; Mengemis Merupakan Kebutuhan yang

Harus Dilakukan

Berdasar informasi dari masyarakat setempat, yang melatarbelakangi

masyarakat Branta Tinggi untuk melakukan kegiatan mengemis yaitu adanya

paradigma bahwasannya masyarakat Branta Tinggi (khususnya dusun

Pelanggaran) akan tertimpa musibah jika tidak melakukan kegiatan mengemis.

Paradigma ini selalu di pegang teguh bahkan sampai ditularkan dari generasi ke

generasi melaui pranata sosial kekeluargaan maupun kemasyarakatan. Asal

mula pertama kali munculnya paradigma ini diperkirakan pada tahun 1920an

Page 65: Studi Hubungan Mental Lokal

57

akhir. Sebagaimana yang paparkan oleh salah satu sesepuh desa setempat

(bapak Razak) :

“Mon deri oreng toah cong....oreng-orang kadintoh ngemis kera-kerah mulai taon 1920an...saben bedhe oreng nyamanah Ki Moko...se asapdhe ka oreng Brenta Tenggih nekah adediah pengemis amargeh oreng-oreng kadintoh padhe brikeng (cerek)....makamah Ki Moko setiah bedhe neng dusun Planggeren.....mangkanah sampe’ setiah oreng-oreng gik bedhe se ngemis...” (informasi dari leluhur...orang-orang disini diperkirakan mulai mengemis sejak tahun 1920an...dulu ada orang namanya Ki Moko...yang mengutuk masyarakat Branta Tinggi menjadi pengemis lantaran orang-orang disini kebnyakan pelit...makam Ki Moko sekarang ada di dusun Pelanggaran...mangkanya hingga saat ini orang-orang masih ada yang mengemis...)

Karena begitu percayanya terhadap paradigma tersebut, hingga saat ini

sebagian dari mereka tidak mau meninggalkan profesinya sebagai pengemis.

Bahkan, begitu kuatnya paradigma ini, hampir setiap hari masyarakat desa yang

akan melaut selalu menyempatkan diri memasang sesaji pada sebuah batu

besar dipinggir pantai yang dipercaya sebagi tempat bertapanya Ki Moko. Sesaji

yang sering dipasang pada batu besar ini umumnya berupa bunga-bungaan,

rokok, telur dan sabut kelapa yang dibakar dicampur kemenyan. Perilaku ini telah

membudaya dan menjadi tradisi tersendiri dari waktu ke waktu dan dari generasi

ke gnerasi.

Jika diteliti lebih jauh, sebenarnya masyarakat dusun Pelanggaran ini

kesehariannya bekerja sebagai petani tembakau dan peternak sapi. Hasil dari

penen tembakau pun tak tanggung-tanggung, nilainya bisa mencapai puluhan

juta. Ini dipaparkan secara gamblang oleh bapak Musyafak yang kesehariannya

bekerja sebagai petani sekaligus pengemis :

“Maseah argenah bekoh kadintoh bek jube’ dek...tapeh mon la panen aselah bisah poloan juta...tergantung benyak-sekonik’en tananah...ye...biasanah paleng sekonik lema beles jutaan lah...” (Walaupun harga tembakau disini agak jelek dek...tetapi kalau sudah panen hasilnya bisa puluhan juta...tergantung banyak sedikitnya tanah...ya..biasanya paling sedikit lima belas jutaan lah..)

Page 66: Studi Hubungan Mental Lokal

58

Aplikasi dari mental lokal (pola konsumsi yang lebih dominan dibanding

produksi) memang memainkan peran yang sangat menonjol di daerah ini. Pola

konsumsi yang tidak sesuai dengan pendapatan sehari-hari menjadikan

masyarakat sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Ketidakseimbangan pola

konsumsi dan produksi yang mengarah pada perilaku mengemis seringkali

mengakibatkan budaya sebagai salah satu kambing hitam (topeng) dibalik

perbuatan ini. Data riil dilapangan menyebutkan bahwasannya perilaku

mengemis yang disebabkan oleh budaya hanya berlaku di salah satu dusun saja.

Namun, perilaku mengemis justru dijalani oleh beberapa dusun lainnya bahkan

sampai menular di desa lain di sekitar Branta Tinggi.

Informasi yang lumayan mengejutkan mengenai kegiatan mengemis ini

yaitu adanya perilaku mengemis yang terorganisir. Perilaku mengemis yang

terorganisir dilakukan oleh masyarakat Branta Tinggi yang beraktivitas di daerah

lain khususnya di Surabaya. Mereka di Surabaya umumnya menetap selama

satu minggu. Untuk tempat tinggal, umumnya telah disediakan oleh teman-teman

se-profesi yang telah lama beraktivitas disana. Sekali lagi bukan hanya warga

dusun Pelanggaran yang beraktivitas disana. Orang-orang dari ketiga dusun

yang ada di Branta Tinggi juga tergabung didalamnya. Bahkan tak jarang orang

dari desa sekitar juga ikut beraktivitas disana.

Adanya perilaku terorganisir ini secara gamblang di paparkan oleh bapak

Rifa’i yang kesehariannya juga berprofesi sebagai pengemis :

“Ngemis ka Serbejeh nekah nggi bedhe se ngorosen....Benyak tretan guleh se bedhe kasak....mangkanah oreng-oreng kadintoh tak posang nyeper ka’emah beih neng Serbejeh. Se ngemis kasak mon deri dinak sebenyak oreng deri Planggeren...tepeh ye...bedhe oreng-oreng deri Larangan Tokol ambik Brenta Peseser...aselah ngemis nggi lumayan...mon sepeh bisa nyampe Rp 50.000 nekah pon berseh...e potong ngakan ambi’ rokok..”

(untuk mengemis ke Surabaya sebenarnya sudah ada yang mengurus...banyak saudara saya yang ada disana... sehingga orang-orang disini tidak kebingungan mencari tempat tinggal di Surabaya. Kebanyakan orang sini yang mengemis disana dari dusun Pelanggaran....tetapi juga ada orang-orang dari desa Larangan Tokol dan desa Branta Pesisir...pendapatan

Page 67: Studi Hubungan Mental Lokal

59

dari mengemis juga lumayan...jika sepi hasilnya bisa mencapai Rp 50.000 ini sudah bersih...maksudnya sudah dipotong untuk makan dan membeli rokok)

Dari keterangan tersebut, perilaku mengemis sebenarnya bukanlah sebuah

keniscayaan karena tuntutan budaya semata. Tetapi ini merupakan sebuah

kegiatan yang mengarah pada profesi sehari-hari lantaran dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan secara profesional.

Mental lokal memang sangat berpengaruh terhadap sebuah perubahan

dalam pembangunan. Mental lokal yang terus dipertahankan oleh masyarakat

ditengah-tengah dinamika modernisasi, membawa kerumitan tersendiri bagi

pemerintah setempat menanggulangi besaran jumlah pengemis. Aplikasi mental

lokal ini selalu dipegang teguh lantaran budaya dan tradisi dijadikan topeng yang

menutupi biasnya perilaku masyarakat Branta Tinggi ini. Jika ditelaah secara

nalar, hal tersebut terasa bersimpangan dengan apa yang telah dipelajari oleh

kaum intelektual selama melakukan studi.

Tetapi, itulah realita, dimana kerumitan fenomena kemasyarakatan yang

ada tidaklah bisa terpecahkan hanya dengan metode kuantitatif belaka. Hal ini

perlu dipelajari secara mendalam dan menyeluruh untuk menemukan titik terang

dalam merumuskan sebuah kebijakan yang tepat dan terarah. Sebagaimana

yang diungkapkan Kunio (1983), sebuah perubahan akan tercapai jika dalam

kebijakan yang dicanangkan masih mempertahankan nilai-nilai ketradisionalan.

4.4 Sektor Pertanian dan Perikanan ; Kontradiksi antara Potensi dan

Eksplorasi

Potensi pertanian dan perikanan yang ada di desa Branta Tinggi

sangatlah melimpah. Namun, dibalik melimpahnya potensi yang ada untuk saat

ini menimbulkan beberapa masalah tersendiri lantaran tidak mampu dikelola

secara maksimal. Permasalahan utama yang ada disektor pertanian dan

Page 68: Studi Hubungan Mental Lokal

60

perikanan sangat kompleks. Padahal kedua sektor ini memainkan peranan yang

sangat penting dalam mewujudkan pertumbuhan perekonomian desa. Beberapa

permasalahan yang timbul di sektor pertanian dan perikanan tersebut dapat

diidentifikasi sebagai berikut

4.4.1 Sektor Pertanian

Disektor ini, perjuangan untuk memperoleh hasil yang maksimal benar-

benar terasa. Dimulai dari pembelian bibit yang tidak murah, perawatan yang

membutuhkan tenaga kerja, pengairan ladang yang membutuhkan biaya harian,

dan biaya-biaya lain yang tentunya tidak murah.

Untuk bibit tembakau sendiri, tiap paket (isi 1.000 bibit) oleh pedagang

biasanya dibandrol Rp. 50.000 hingga Rp 60.000. Biaya pekerja biasanya

berkisar Rp 17.000 hingga 24.000 perharinya. Bahkan, angka kematian bibit pun

menjadi bahan pertimbangan untuk selalu menyiapkan modal ekstra agar hasil

panen yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan. Diungkapkan oleh

bapak Rahman salah satu petani tembakau yang ada di desa ini :

“sebenyak padangang kadintoh juel bibit bekoh paketan. Per paket esenah sebuh bekoh... biasanah per paket e juel Rp 50.000 sampe Rp 60.000. Mon biaya perawatan nggi benyak, molaeh oreng se megebei beih per arenah Rp 17.000, laen poleh pas penen biasana e bejer sampe Rp 24.000 per arenah”. (kebanyakan penjual bibit disini menjual bibit tembakau secara paketan. Per paket isinya seribu tembakau...tiap paketnya dijual Rp 50.000 hingga Rp 60.000. kalau biaya perawatan ya banyak, mulai pekerjanya saja digaji Rp 17.000, lain lagi ketika panen biasanya digaji hingga Rp 24.000 per harinya.)

Mengenai detail biaya secara keseluruhan dalam pertanian tembakau,

sebagian besar petani tidak memberitahukan (sengaja ditutup-tutupi). Namun,

demi menjaga kelangsungan pola tanam tembakau, biasanya petani ada ikatan

kontrak secara informal dengan tengkulak. Tengkulak disini umumnya berperan

ganda dimana selain berprofesi sebagai tengkulak disisi lain juga berperan

sebagai rentenir. Pemaparan mengenai profesi ganda ini sebagian besar tidak

Page 69: Studi Hubungan Mental Lokal

61

diungkapkan oleh petani. Namun yang memaparkan secara detail mengenai

profesi ini salah satunya adalah perangkat desa terkait yaitu pak Kholis.

“Permodalan untuk usaha pertanian tembakau biasanya diperoleh dari rentenir. Rentenir ini juga bekerja sebagai tengkulak ketika tembakau memasuki masa-masa panen. Mangkanya, bisa atau tidak petani harus menjual hasil penennya ke tengkulak tersebut”.

Cukup kompleks permasalahan di sektor pertanian ini jika diamati secara

mendalam. Terjadinya asymmetric information antara petani dan tengkulak

menjadikan bergaining position petani untuk menentukan harga tembakau sangat

lemah. Tengkulak memainkan peran sebagai monopsoni lantaran petani tidak

bisa melakukan negosiasi harga dengan mereka. Apa lagi, satu-satunya yang

mengetahui harga dari industri pengolahan tembakau adalah tengkulak dan

petani mengetahui harga sebatas di tengkulak semata. Pola pemasaran

tembakau ini dapat diketahui secara jelas dalam gambar berikut :

Ketidakjelasan rantai distribusi pemasaran dalam menentukan harga dari

petani ke industri tersebut, dirasa menjadikan tengkulak semakin berjaya. Tak

heran, risiko dibidang pertanian tembakau tersebut sebagian besar ditanggung

oleh petani. Realita inilah yang menimbulkan kesengsaraan bagi petani. Karena

menanggung risiko yang cukup tinggi tersebut dalam jangka panjang

berpengaruh pada kondisi perekonomian masyarakat (petani) dan menyeret

mereka kepada pola perilaku mengemis.

PETANI TENGKULAK INDUSTRI

Terjadi Asymmetric Information

Harga Sebatas dari Tengkulak Penentu Harga adalah Industri

Gambar 07 : Pola Pemasaran Tembakau

Page 70: Studi Hubungan Mental Lokal

62

Potensi luar biasa yang ada disektor pertanian hingga saat ini masih

belum termanfaatkan dengan baik. Contoh riilnya yaitu tidak adanya

pemanfaatan residu pertanian tambakau. Padahal, residu dari tanaman

tembakau (batang tembakau) menurut beberapa peneliti dapat digunakan

sebagai pestisida dan kompos alami. Belum banyak yang mengetahui bahwa

batang tembakau dapat dimanfaatkan sebagai pestisida dan bahan kompos

(Deptan, 2010). Kompos dan pestisida alami dari residu tembakau jika

dimanfaatkan dengan baik bisa meningkatkan produksi pertanian. Apalagi untuk

pertanian di daerah ini sebagian besar didominasi oleh tembakau, ketela pohon

dan jagung.

Residu dari tembakau bisa digunakan untuk memupuk ketela pohon,

jagung maupun tembakau sendiri. Meningkatnya produksi pertanian sangat

ditunjang dengan kemudahan akses transportasi yang memadai yaitu jalur utama

pulau Madura. Selain itu wilayah Branta Tinggi sangat dekat dengan pusat

pemerintahan kabupaten Pamekasan. Jaraknya kurang lebih sekitar 5 km atau

sekitar 10 hingga 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.

Kemudahan akses transportasi dan lokasi tersebut memang belum memperoleh

respon yang cukup meyakinkan untuk meningkatkan produksi pertanian.

Memang, untuk meningkatkan produksi pertanian membutuhkan sebuah inisiatif

tersendiri baik dari petani maupun lembaga pertanian terkait.

Kelembagaan yang ada disektor pertanian pun dirasa tidak mendukung

dalam perningkatan produksi. Tak ubahnya kelembagaan formal yang ada di

desa, kelembagaan disektor pertanianpun sebenarnya sangatlah dibutuhkan

peranannya. Kelembagaan yang dimaksud yaitu untuk meningkatkan produksi

pertanian melalui penyuluhan, dan pengadaan bibit yang berkualitas serta

bantuan lainnya, mempermudah pemasaran produk dan meningkatkan

Page 71: Studi Hubungan Mental Lokal

63

bergaining position petani. Kelembagaan pertanian sangatlah beragam

bentuknya mulai dari yang formal hingga yang informal.

Kelembagaan baik formal maupun informal seringkali memiliki korelasi

yang tak terpisahkan dengan petani. Pemerintah formal berperan dalam

memberikan bantuan berupa input pertanian (benih, pupuk, modal maupun alat-

alat pertanian). Selain itu dengan adanya lembaga formal ini petani mampu

memperoleh pengetahuan baru khususnya berkaitan dengan produktivitas

pertanian yang biasa disampaikan dalam bentuk penyuluhan dan pendampingan

pemasaran produk.

Secara umum, kelembagaan sektor pertanian dapat digambarkan dalam

bagan berikut :

Bagan tersebut menggambarkan bagaimana mekanisme pemberian bantuan dari

dinas pertanian, penyuluhan hingga pemasaran produk hasil pertanian.

Sedangkan mekanisme pemberian bantuan pertanian biasanya dapat

digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini :

Dinas Pertanian

Gapoktan

PPK dan Mantri Tani

BPP

Pemborong / Tengkulak

BKP3 / BKPPP

Kelompok Tani

Petani

PPL

Industri

Toko

Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.

Gambar 08 : Kelembagaan Sektor Pertanian

Page 72: Studi Hubungan Mental Lokal

64

Secara umum Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) mengajukan

proposal kepada Pusat Pertanian Kecamatan (PPK) berdasar kebutuhan tiap-tiap

anggota kelompok yang telah diwakili oleh Gapoktan. Proposal yang ada

dikecamatan ini nantinya didiskusikan dengan mantri tani selanjutnya diproses

untuk diajukan ke dinas pertanian. Dari dinas pertanian bantuan di berikan

kepada Gapoktan melalui Mantri tani yang selanjutnya mantri tani dengan PPK

menyalurkan bantuan tersebut langsung ke Gapoktan.

Jalur bantuan dari pemerintah kepada petani dalam bentuk penyuluhan

pertanian dapat digambarkan dalam bentuk diagram berikut :

Dinas Pertanian

Gapoktan

PPK dan Mantri Tani

Kelompok Tani

Petani

Dinas Pertanian BKPPP / BKP3

BPP

Gapoktan

PPL

Kelompok Petani

Petani

Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.

Gambar 09 : Mekanisme Pemberian Bantuan Pertanian

Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.

Gambar 10 : Jalur Pemberian Penyuluhan Pertanian

Page 73: Studi Hubungan Mental Lokal

65

Bantuan dari dinas pertanian melalui penyuluhan tersebut harapannya mampu

meningkatkan produktivitas pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan dan

Pelaksana Penyuluhan (BKP3). BKP3 merumuskan teknis penyuluhan yang

intensif untuk disampaikan kepetani dengan mengerahkan Badan Penelitian

Pertanian (BPP). BPP umumnya membawahi 2 hingga 4 kecamatan, kemudian

teknis penyuluhan secara langsung disampaikan oleh Petugas Penyuluh

Lapangan (PPL) langsung ke Gapoktan maupun petani dimana PPL merupakan

anak cabang dari BPP.

Pemaparan kelembagaan hingga pemberian bantuan dari dinas pertanian

diatas hanyalah sebuah gambaran umum semata. Hingga saat ini kelembagaan

sektor pertanian untuk desa Branta Tinggi dari dinas terkait tidak jelas

juntrungannya. Kelembagaan yang ada hanyalah dikuasai oleh kelembagaan

informal yaitu kelompok tengkulak dan rentenir (penyedia modal andalan

masyarakat). Sendi-sendi vital perekonomian desa yang salah satunya

digerakkan oleh sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami stagnasi.

Stagnasi pembagunan dari sektor pertanian ini lantaran masyarakat desa

terjerat kontrak informal dari tengkulak yang memaksa mereka terus-menerus

terjerembab dalam kemiskinan. Selain itu, dominasi mental lokal sangat

menentukan bagaimana himpitan ekonomi terus-menerus menyengsarakan

lantara pola konsumsi dan produksi tidak seimbang (imbalance).

Ketidakmaksimalan kinerja lembaga formal (dinas pertanian terkait) dan informal

(Poktan maupun Gapoktan) secara tegas dipaparkan oleh bapak Rahman :

“Mon pengarahan deri dinas pertanian e kadintoh nggi sobung deri saben...se mbegi pengarahan gunak oreng-oreng deri Universitas Madureh...nekah beih nggi jarang tak mesteh se taoh sekaleh bedhe....napa poleh...kelompok tani...nggi sobung kadintoh nekah...”

(kalau pengerahan dari dinas pertanian untuk desa ini dari dulu memang tidak ada..kebanyakan yang ngasih pengarahan dari orang-orang Universitas Madura...itupun jarang dan belum tentu setahun sekali ada... apa lagi kelompok tani...ya..tidak ada disini ini...)

Page 74: Studi Hubungan Mental Lokal

66

Kurang maksimalnya kinerja dari lembaga formal dan informal

(khususnya Poktan dan Gapoktan) pertanian inilah yang seharusnya menjadi

koreksi bagi pemerintah setempat. Selain itu, peran stake holder dalam

memberikan permodalan dan perluasan jaringan pemasaran merupakan salah

satu modal penting lainnya yang memperoleh perhatian khusus. Potensi sumber

daya dibidang pertanian yang melimpah patutlah kiranya diimbangi dengan

pengelolaan secara optimal. Pengoptimalan pengelolaan sumber daya dibidang

pertanian tersebut, dalam jangka panjang diharapkan mampu mengubah pola

fikir masyarakat. Sehingga, perilaku mengemis di desa ini bisa ditanggulangi

secara tepat dan terarah.

4.4.2 Sektor Perikanan

Tak beda jauh dengan apa yang dialami oleh sektor pertanian, sektor

perikanan juga mengalami nasib yang serupa. Potensi sektor perikanan yang

sangat melimpah tidaklah diimbangi dengan inisiatif untuk lebih produktif. Hutan

bakau yang tumbuh lebat dibibir-bibir pantai dengan keanekaragaman fauna

yang berdomisili didalamnya hingga saat ini masih belum terekplorasi dengan

baik.

Ada beberapa hal menarik jika menilik aktivitas di sektor perikanan di

Branta Tinggi. Nelayan yang ada di desa ini umumnya hanya mengambil jenis

ikan tertentu saja. Sehingga, ikan-ikan jenis lain yang ikut tersangkut di jaring

dibagikan secara cuma-cuma kepada penduduk sekitar.

Page 75: Studi Hubungan Mental Lokal

67

Ikan yang diberikan secara cuma-cuma tersebut sebenarnya sebuah

potensi yang bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mengangkat perekonomian

masyarakat. Ikan-ikan tersebut ibarat sebuah potensi yang terbuang lantaran

ketidaktahuan masyarakat untuk mengelolanya secara maksimal.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh salah satu warga untuk mengembangkan

peluang yang ada. Ikan-ikan yang terbuang sia-sia dimanfaatkan sebagai sebuah

usaha baru yaitu pengeringan ikan. Sebut saja pak Junaidy, salah satu warga

desa Branta Tinggi yang mengembangkan usaha ini. Penjualan ikan keringpun

bervariasi. Mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per kilo gramnya. Ikan-ikan

kering tersebut nantinya dikirim ke Surabaya setiap seminggu sekali. Sebagai

mana yang dituturkan oleh pak Junaidy :

“jukok nekah argenah mancem-macem dek. Mon se bek celeng argenah sepolo ebu sekilonah. Tapeh mon se potean (jukok lejileh) argenah larang...ejuel telopoloh ebuh sekilonah. Nekah juelah neng Serbejeh. Biasanah areh senin gule ngeremah”. (ikan-ikan ini harganya bermacam-macam dek...kalau yang agak hitam harganya sepuluh ribuan. Tetapi, ikan yang warnanya putih (Ikan lejileh)

harganya mahal...harga jualnya hingga tiga puluh ribua. Penjualannya biasanya ke Surabaya. Saya menjualnya setiap hari senin)

Gambar 11 : Sebuah Potensi Sektor Perikanan yang Terbuang

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 76: Studi Hubungan Mental Lokal

68

Hingga saat ini, usaha pengeringan ikan di desa Branta Tinggi hanya di

geluti oleh beberapa orang saja. Hasil pendataan dilapangan menunjukkan

bahwasannya yang berprofesi sebagi pembuat ikan kering ini hanyalah 4 orang.

Adapun beberapa orang tersebut diantaranya : pak Junaidy, ibu Anis, ibu

Qudsiyah dan ibu Maryam. Usaha pengeringan ikan yang dilakukan pun

umumnya sekala rumah tangga. Namun yang lumayan maju adalah usaha yang

di geluti pak Junaidy. Pasalnya usaha yang digelutinya melibatkan + 5 orang

pekerja dengan upah Rp 20.000 per harinya. untuk ketiga pengusaha lain hanya

melibatkan anggota keluarga dan ikan yang telah dikeringkan dijual pada pak

Junaidy. Ini secara jelas dipaparkan oleh ibu Qudsiyah :

”jukok nekah setiap 10 kelo nah mon la e kerengagih dedi 5 keloan. Se mengebei kadinto nggi sobung gunak anak-en guleh kedibik. Degik mon la benyak se kereng langsung e konik’in ambik pak Junaidy. Bisa...gule ngejuelah ka sak... mon argenah nggi macem-macem, bedhe se..Rp 10.000, Rp 15.000 paleng larang Rp 25.000..jarang kadintoh se juel jokok kereng...sebenyak e kakan dhibi’ bi’ oreng-oreng” (ikan-ikan ini setiap 10 kg menghasilkan 5 kg ikan kering. Yang bekerja disini ya...tidak ada hanya anak saya sendiri. Nanti kalau sudah banyak yang kering langsung di ambil oleh pak Junaidy. Biasanya saya menjualnya kesana. Harganyapun bervariasi ada yang Rp 10.000, Rp 15.000 paling mahal harganya Rp 25.000. Jarang sekali orang-orang disini yang menggeluti usaha pengeringan ikan. Kebanyakan ikan yang mereka dapat untuk konsumsi pribadi)

Page 77: Studi Hubungan Mental Lokal

69

Variasi (diversifikasi) pengolahan ikan di desa ini sangat kurang dan

bahkan hanya sebatas pengeringan ikan saja. Pengeringan ikan pun masih

dikeola secara tradisional yang hanya menggantungkan pada cuaca (panas sinar

matahari). Diferensiasi (diversifikasi) produk perikanan sebenarnya sangat

menguntungkan jika benar-benar bisa diwujudkan. Misalnya saja diolah menjadi

krupuk ikan. Dimana kerupuk merupakan salah satu makanan pendamping

makanan pokok yang hampir selalu ada.

Harga rata-rata kerupuk ikan kualitas medium di tingkat produsen pada

tahun 2004 di Sidoarjo mencapai Rp30.000,- sampai Rp32.500,- per bal isi 5 kg

kerupuk siap goreng atau Rp6.000,- sampai Rp6.500,- tiap kg (Direktorat Kredit,

BPR dan UMKM, 2007).

Pada tahun 2004 harga kerupuk yang kualitas mediun saja menunjukkan

harga yang lumayan tinggi. Untuk saat ini, dimana harga kebutuhan pokok telah

mengalami lonjakan harga, maka jelas sudah harga kerupuk ikan juga

mengalami korelasi yang positif degan peningkatan kebutuhan pokok tersebut.

Gambar 12 : Kegiatan Pengeringan Ikan

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 78: Studi Hubungan Mental Lokal

70

Tingginya biaya untuk modal melaut mengakibatkan nelayan di Branta

Tinggi mengalami nasib yang memprihatinkan. Bagi pemilik kapal misalnya,

biaya operasional dan gaji ABK (anak buah kapal) hingga mencapai Rp 300.000

per harinya dan itu berlaku untuk satu kapal. Keterangan mengenai biaya-biaya

tersebut dipaparkan oleh seorang pengusaha pembuatan dan reparasi kapal

yaitu pak Munasib :

“juregen kapal kadintoh sebenyak nganggui dubeles oreng per kapalah gebei nyareh jukok neng tasek. Ye...biasanah ngabik Rp 300.000 per arenah mon gebei kapal setong...nekah tergantung jeu pa sema’en nyarenah ke tengah tasek. Mon oreng-orengah...ambi’ juregen kapal e bejer Rp 29.000 per arenah...tapeh ye...mon aselah benyak e tambein biasanah. Argenah kapalah nggi macem-macem mon se kenik argenah 5 sampe sepolo juta, se sedengan argenah sampe telopolo juta...mon se rajeh sampe seket jutaan. Nekah gik tak e tambein peralatan laen, engek jering lampu ambik alat-alat laenah...mon e tambeih ye...kera-kerah sampe satos juataan gebei kapal rajenah” (juragan kapal disini kebanyakan menggunakan jasa 12 orang pekerja untuk setiap kapalnya yang akan mencari ikan ke laut. Ya..biasanya biaya per kapalnya mencapai Rp 300.000 setiap harinya...ini tergantung jauh apa dekatnya jarak yang ditempuh untuk ketengah laut. Gaji dari juragan kapal untuk ABK biasanya sebesar Rp 29.000 per hari. Tapi jika hasil tangkapan meningkat ya...ditambahi biasanya....harga kapalnyapun bervariasi mulai 5 jutaan hingga 10 jutaan untuk kapal kecil, kapal sedang harganya sampai 30an juta, dan kapal besar harganya 50an juta...ini masih belum ditambah peralatan lain seperti jaring, lampu dan alat alat lainnya...kalu ditambahi ya...sampai seratus jutaan untuk kapal besarnya)

Kapal yang digunakan bervariasi mulai dari kapal kecil (eder), kapal

sedang (pakesan rajeh), dan kapal besar (seret). Untuk kapal kecil biasanya

beranggotakan 2 hingga 5 orang. Kapal sedang beranggotakan antara 10 hingga

15 orang dan kapal besar (kapal seret) beranggotakan hingga 30an orang. Ikan-

ikan hasil tangkapan bervariasi mulai dari ikan Tongkol, ikan lemuru, dan ikan-

ikan lainnya. Harga ikan di tempat pelelangan bervariasi. Biasanya untuk tongkol

di bandrol Rp 25.000 hingga Rp 35.000 per kilogramnya. Untuk ikan lemuru

harganya agak mahal yaitu harga terendah berkisar Rp 30.000 per kilogramnya.

Jika ikan tangkapan dirasa mulai berkurang, para nelayan tak ragu-ragu

memacu kapalnya hingga mendekati pulau Jawa. Jauhnya jarak tempuh inilah

yang membawa kaum nelayan untuk menyiapkan dana lebih agar hasil

Page 79: Studi Hubungan Mental Lokal

71

tangkapan sesui apa yang diharapkan. Aktivitas melaut ini umumnya dilakukan

pada waktu musim kemarau (mosem nemor). Jika musim hujan, para nelayan

menghentikan aktivitas melautnya. Moment musim hujan ini dimanfaatkan untuk

memperbaiki kapal, memperbaiki jaring, dan bahkan ada juga yang beraktivitas

menjadi pengemis lantaran untuk menyambung biaya hidup sehari-hari.

Potensi laut yang luar biasa seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai lahan

bisnis yang lumayan menjanjikan. Misalnya saja dimanfaatkan untuk jaring apung

dan lain sebagainya. Selain itu, potensi hutan bakau yang cukup besar bisa

dimanfaatkan sebagai objek wisata, wanamina (perpaduan pemanfaatan hutan

mangrove sebagai pencegah abrasi dengan budidaya perikanan), dan lain

sebagainya. Namun, hutan bakau yang melimpahruah jumlahnya, hingga saat ini

belum dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduk Branta Tinggi. Hewan-

hewan endemik hutan bakau seperti kepiting bakau yang bernilai ekonomi tinggi

hanya digunakan sebagai makanan pokok sehari-hari saja.

Kepiting bakau yang ada di desa ini jumlahnya sangat banyak dan

tersebar disepanjang pantai. Harganyapun sebenarnya cukup mahal jika dijual

yaitu kisaran Rp 50.000 hingga Rp 75.000. Sebagaimana dipaparkan oleh Didik :

“kadeng mon bedhe se meleh ye larang argenah kepeteng nekah...per kilonah bisah Rp 75.000. kadeng ye mon ngode...Rp 50.000 per kilonah. Tepeh oreng-oreng dinak males juelah...biasanah nyareh gunak e kakan kedhibik..padahal mon la nyareh bisa ole se tembeh...kira-kerah ye...5 keloan lah mon etembeng...” (terkadang jika ada yang membeli ya..mahal harga kepiting bakau ini...per kilogramnya bisa mencapai Rp 75.000. Tetapi jika harganya turun ya kira-kira perkilogramnya hanya Rp 50.000. tetapi orang-orang disini cenderung malang untuk menjualnya...biasanya hasil tangkapan hanya untuk konsumsi pribadi..padahal hasil tangkapan bisa satu timba...jika ditimbang kira-kira beratnya mencapai 5 kg lah...)

Kepiting bakau yang begitu mahalnya masih dijadikan sebagai makanan sehari-

hari. Kepiting-kepiting yang melimpah ruah jumlahnya seharusnya bisa dijadikan

salah satu mata pencaharian baru yang mampu mengubah pola hidup

masyarakat pesisir.

Page 80: Studi Hubungan Mental Lokal

72

Selain itu, dari pohon bakaunya sendiri sebenarnya mampu dijadikan

salah satu peluang usaha. Dimana biji yang dihasilkan oleh pohon bakau bisa

dimanfaatkan sebagai hiasan rumah. Sebagaimana yang diungkapkan Wahyu

(2009), biji bakau yang panjang seperti pedang, buah ini hanya bisa

dimanfaatkan kulitnya untuk hiasan rumah atau sovenir-sovenir. Untuk penjualan

souvenirpun dirasa sangat mudah lantaran dearah branta tinggi berdekatan

dengan salah satu objek wisata api tak kunjung padam. Souvenir-souvenir yang

ada di objekwisata ini selalu diburu oleh para wisatawan. Umumnya wisatawan

datang dari berbagai daerah di pulau Jawa bahkan tak sedikit pula yang datang

dari manca negara.

Potensi-potensi yang luar biasa ini lagi-lagi terkendala oleh tidak adanya

inisiatif dari masyarakat maupun lembaga terkait. Kelembagaan disektor

perikanan yang dikelola secara profesional merupakan modal besar dalam

meningkatkan pertumbuhan perekonomian desa. Pengelolaan yang profesional

dimungkinkan adanya peran serta masyarakat untuk memaksimalkan potensi-

Gambar 13 : Kepiting Bakau ; Makanan Konsusmsi Bernilai Ekonomi Tinggi

Sumber : Survey Lapang, 2009

Page 81: Studi Hubungan Mental Lokal

73

potensi sektor perikanan yang selama ini terbuang. Pengolahan hasil laut tanpa

menyia-nyiakan hasil tangkapan dalam janga waktu tertentu akan

menggairahkan pola produksi masyarakat. Tingginya pola konsumsi yang

diimbangi dengan pola produksi yang tinggi pula akan meringankan beban

masyarakat dalam menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluaran yang

dilakukan sehari-hari.

Namun, itu hanyalah sebuah gambaran umum mengenai bagaimana

kebijakan dalam pengelolaan kelembagaan perikanan. Untuk saat ini, tak

ubahnya kondisi kelembagaan disektor pertanian, kelembagaan sektor perikanan

di desa Branta Tinggi menunjukkan situasi yang memprihatinkan. padahal,

comparative advantage in the long run yang di unggulkan untuk meningkatkan

perekonomian haruslah bertumpu pada sektor-sektor yang selama ini terabaikan

seperti: industri kecil dan menengah, pertanian serta perikanan (Syaukani, 2004).

Sektor perikanan yang ada di desa ini secara riil kurang termanfaatkan

secara baik. Kelembagaan yang ada hanya sebatas pada lembaga pemberi

pinjaman modal dan itupun tidak diimbangi dengan munculnya kelembagaan lain

yang mampu memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kualitas produk

perikanan yang bernilai jual tinggi. Bahkan untuk Indonesia saja, potensi lestari

perikanan tangkap untuk saat ini berjumlah 4,9 juta ton dengan tingkat

pemanfaatan baru mencapai 64 % (Syaukani, 2004).

Tidak adanya kelembagaan perikanan yang benar-benar dibutuhkan desa

ini merupakan problematika tersendiri yang menghambat pertumbuhan

perkonomian desa. Tak heran, kasus di sektor perikanan ini berpengaruh pada

mental masyarakat untuk berperilaku mengemis. Sebagaimana diungkapkan

oleh salah satu juragan kapal (kyai Ma’imun) :

“deri saben sampe’ setiyah perkumpulan nelayan kadintoh nggi sobung...oreng-oreng gunak agebei rencana tapeh sampe’ setiyah tak dedih....mangkanah mon pas moseh ojen nelayan se prei benyak se ngemis..”

Page 82: Studi Hubungan Mental Lokal

74

(dari dulu hingga sekarang perkumpulan nelayan di desa ini tidak pernah ada...orang-orang hanya berencana tetapi hingga saat ini tidak ada realisasi...tak heran...jika musih penghujan nelayan yang lagi libur banyak yang mengemis..)

Oleh sebab itu, diperlukan suatu penyelenggaraan penyuluhan yang

mempunyai tujuan langsung di berbagai tingkatan lapangan, kecamatan,

kabupaten/kota, provinsi dan pusat yaitu untuk menolong petani, nelayan dan

pembudidaya dalam mengidentifikasi dan memecahkan berbagai masalah yang

menyangkut usahanya, baik dari aspek budidaya (teknis) maupun aspek bisnis

(agribisnis), sehingga menghasilkan prilaku profesional (Mursyiduddin dan

Syukur, 2010). Penyuluhan akan tercapai jika lembaga-lembaga formal maupun

informal perikanan mampu bersinergi dengan baik. Untuk itulah, lembaga

disektor perikanan sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pertumbuhan

perekonomian desa.

Kelembagaan penunjang pertumbuhan ekonomi desa memang sangat

dibutuhkan. Mengingat potensi yang sangat luar biasa ini patutlah kiranya

dikelola secara profesional. Lembaga yang dimaksud bukan hanya lembaga

pertanian maupun lembaga perikanan semata, tetapi yang paling utama adalah

lembaga desa terkait.

Desa merupakan salah satu komponen dalam sistem kelembagaan yang

mengetahui bagaimana permasalahan utama yang terjadi di desa Branta Tinggi

ini dan berhak mengupayakan untuk melakukan penanggulangan. Sebagaimana

diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa

merupakan bagian pemerintahan terendah yang berhak mengurus rumah

tangganya sendiri.

Sesuai dengan apa yang tertuang dalam undang-undang tersebut, maka

patutlah kiranya kelembagaan desa berperan aktif melakukan beberapa tindakan

Page 83: Studi Hubungan Mental Lokal

75

penanggulangan. Sampai saat ini, penanggulangan pengentasan kemiskinan

dan pembentukan paradigma perubahan guna menanggulangi mental mengemis

hanya sebatas sosialisasi dan pemberian bantuan (uang suka rela dan hewan

ternak). Bapak Hariri selaku perangkat desa mengungkapkan :

“Selama ini tindakan yang dilakukan oleh pemerintah desa yaitu menjalin kerjasama dengan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk memberikan sosialisasi. Beberapa bantuan dari PEMPROV yang telah di salurkan ke masyarakat yaitu hewan-hewan ternak seperti kambing dan sapi. Untuk mengundang masyarakat agar mau mengikuti sosialisasi, biasanya di berikan pesangon Rp 30.000 per orang yang hadir”.

Sosialisasi-sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat ini tidaklah

efektif lantaran tidak diimbangi dengan sebuah perencanaan program strategis

yang mampu memberdayakan masyarakat (kebijakan yang menjadikan

masyarakat sebagai subjek bukan sebagai objek kebijakan). Pengelolaan

pemerintahan secara profesional dengan menanamkan nilai-nilai kelokalan

haruslah benar-benar bisa diwujudkan. Sesuai dengan visi desa terkait yaitu :

Mampu mewujudkan kondisi yang aman, tertib, makmur dan sejahtera yang

didasari semangat religius, kegotong-royongan dan profesionalisme

Gambar 14 : Sosialisasi Desa dari Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi

Sumber : Survey Lapang, 2009

Page 84: Studi Hubungan Mental Lokal

76

pemerintahan desa dengan tidak meninggalkan adat-istiadat dan budaya yang

ada (Data Kelurahan, 2006).

Memang, hingga saat ini belum ditemukan sebuah formula kebijakan

yang efektif guna menanggulangi mental masyarakat pengemis tersebut.

Sosialisasi dan pemberian bantuan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan

kabupaten telah menimbulkan beberapa permasalahan baru yaitu kecemburuan

sosial. Kepala desa Branta Tinggi (Mahrus Ali) secara tegas memaparkan realita

ini :

“Masyarakat desa lain menjadi iri lantaran pengemis disini selalu diberi bantuan. Padahal, pengemis tidak bekerja terlalu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi mereka selalu dapat bantuan secara cuma-cuma dari pemerintah. Biasanya setelah memperoleh bantuan, dalam waktu 3 hingga 5 hari mereka tidak mengemis karena merawat hewan-hewan ternak yang mereka peroleh. Setelah itu, hewan ternak tersebut dijual dan masyarakat kembali menjalankan aktivitasnya sebagai pengemis”.

Sangat kompleks memang permasalahan yang terjadi di desa ini jika di pandang

dari sudut kelembagaan. Tidak bersinerginya kebijakan dengan realita sosial

ekonomi yang ada, seringkali menimbulkan sebuah kecemburuan sosial antar

daerah.

Guna menemukan sebuah formula kebijakan yang tepat untuk

diimplementasikan agar perilaku mengemis bisa ditanggulangi dan tidak menular

ke daerah lain, maka diperlukan sebuah analisis yang lebih mendalam. Kebijakan

tidak sebatas pada sosialisasi semata tetapi lebih diarahkan untuk

menggerakkan kinerja masyarakat agar sendi-sendi vital perekonomian mampu

dioptimalkan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Pale dalam Darmawangsa (2008), tidak akan ada sebuah

perubahan besar jika sesuatu yang luar biasa itu hanya diperlakukan dan disikapi

dengan cara yang biasa-biasa saja.

Page 85: Studi Hubungan Mental Lokal

77

Untuk itulah, kebijakan-kebijakan yang diformulaiskan nantinya

diharapkan benar-benar menimbulkan sebuah kesan yang luar biasa. Agar,

dengan luar biasanya kebijakan yang diimplementasikan mampu melahirkan

sebuah pencapaian yang luar biasa pula. Kebijakan yang dimaksud memang

membutuhkan sebuah kinerja yang ekstra dari aparatur pemerintah terkait agar

bisa diterima oleh masyarakat. Namun, jika itu bisa diwujudkan, maka sebuah

perubahan yang diharapkan dan dicita-citakan bisa tercapai dengan maksimal

Kondisi geografis wilayah yang sangat mendukung inilah yang

seharusnya lebih di ekplorasi secara bijak. Dengan dikembangkannya sektor-

sektor potensial (pertanian dan perikanan), desa Branta Tinggi tidak akan

menjadi salah satu desa pengemis tetapi menjadi desa mandiri yang patut di

jadikan teladan bagi desa-desa lain disekitarnya.

4.5 Dilema Kyai dalam Berdakwah ; antara Nilai Agama dan Budaya atau

Tradisi

Mendengar pulau Madura, oleh sebagian besar masyarakat seringkali

diidentikkan dengan struktur masyarakat yang cenderung terpaku pada sosok

kyai. Patut diakui, salah satu tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di pulau

Madura yaitu sosok kyai. Karena begitu kagum dengan sosok kyai, sebagian

besar masyarakat Madura menyekolahkan anaknya di madrasah-madrasah yang

umunya gabung dengan pondok pesantren. Kultur yang berkembang di pondok

pesantren menjadikan kyai sebagai patron sehingga makin memperkokoh

budaya patriarki yang ada di masyarakat (Sujito, 2007).

Sebagai pemimpin informal, Kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai

"otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap

sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirojd, 2009).

Page 86: Studi Hubungan Mental Lokal

78

Karena sosok kyai begitu diagungkan, tak heran jika apa yang dilakukan

oleh kyai selalu dianggap benar. Pola patron inilah yang seharusnya lebih

difahami lebih jauh lantaran sebagai sosok manusia biasa kyai juga bisa berbuat

khilaf dan salah. Kekhilafan kyai jarang sekali dilakukan koreksi secara

mendalam oleh masyarakat Madura. Tak heran, apa yang dianggap benar oleh

kyai selalu dibenarkan oleh masyarakat.

Namun, kejadian unik berkaitan dengan sosok pemimpin informal (kyai)

ini terjadi di desa Branta Tinggi. Sosok kyai di desa ini hanya dijadikan sebagai

simbol sosok pemimpin yang mana petuah yang diberikan terkadang diikuti dan

terkadang tidak diikuti sama sekali. Petuah kyai yang tidak pernah diikuti yaitu

berkaitan dengan larangan untuk mengemis. Masyarakat masih menjalankan

aktivitas mengemis lantaran mengikuti budaya dan paradigma yang berkembang

secara turun-temurun. Sosok kyai yang ada di desa ini sebenarnya telah

melarang masyarakat setempat untuk beraktivitas sebagai pengemis. larangan

itupun selalu dibantah dan tidak pernah diikuti oleh masyarakat.

Permasalahan menarik mengenai perilaku masyarakat yang seringkali

bertentangan dengan sosok kyai ini secara tegas dipaparkan oleh kyai Ma’imun :

“deri guleh gik kenik saben jed deiyeh kelakoanah oreng-oreng kadintoh dek...angil mon e soroh ambu ngemis...repot kiyah mon e soroh ambu, masak mon e sindir...anak-anak’en se ngaji kadintoh e soroh ambu...waduh...posang dedinah guleh...” (dari saya masih kecil dulu memang beginilah tingkah laku orang-orang disini...sulit sekali jika disuruh berhenti mengemis...repot juga jika menyuruh mereka berhenti, masak...jika pereka kita sindir...anak-anak mereka yang mengaji disini disuruh berhenti...waduh...jadi bingung sendiri saya..)

Page 87: Studi Hubungan Mental Lokal

79

Kyai yang kesehariannya mengasuh pondok pesantren Darul Falah ini

merupakan satu-satunya kyai yang ada di desa Branta Tinggi. Melarang

masyarakat untuk berhenti mengemis memang menimbulkan kesulitan tersendiri.

Kentalnya nilai-nilai kelokalan yang dipegang teguh membawa pengaruh yang

cukup signifikan terhadap perilaku masyarakat.

Yang menjadi perso’alan utama sebenarnya bukanlah karena pengaruh

budaya yang ada. Ini seringkali berkaitan dengan mental masyarakat setempat

yang notabene memiliki hubungan secara langsung dengan perilaku mengemis.

Bisa dilihat, yang di jabarkan oleh beberapa narasumber berkaitan dengan

budaya mengemis hanyalah terpusat di salah satu dusun saja (dusun

Pelanggaran). Tetapi, data riil dilapangan berkata lain. Masyarakat yang

berperilaku mengemis telah meluas hingga dusun lain yang sebenarnya tidak

berhubungan dengan budaya yang ada. Bahkan, perilaku ini lebih luas lagi

menular kepada masyarakat di beberapa desa diluar Branta tinggi.

Jika dianalisis lebih jauh, perilaku mengemis sebenarnya berhubungan

dengan mental lokal (shared value) yang menyebabkan tidak seimbangnya pola

Gambar 15 : Kyai Ma’imun Zubair ; Tokoh Agama Desa Branta Tinggi

Sumber : Survey Lapang, 2009.

Page 88: Studi Hubungan Mental Lokal

80

konsumsi dan produksi masyarakat. Selain itu, jeratan kontrak informal dengan

rentenir dan tengkulak semakin mendera perekonomian masyarakat. Kepala

desa terkait secara gamblang memaparkan mengenai hal ini :

“ Tidak seimbangnya pola konsumsi dengan pendapatan masyarakat sering kali mempersulit pemimpin desa (formal maupun informal) untuk melarang masyarkat beraktivitas sebagai pengemis. Mereka yang kesehariannya sebagai petani banyak yang meminjam modal ke rentenir. Padahal, kyai didesa ini seringkali melarang tindakan seperti itu baik saat khutbah jum’at maupun pada acara-acara pengajian”.

Mental lokal memang berhubungan sangat kuat dengan perilaku masyarakat.

Mental lokal inilahyang mampu meruntuhkan persepsi yang ada di masyarakat

bahwasannya penduduk Madura selalu patuh terhadap sosok kyai.

Beberapa larangan dalam islam berkaitan dengan perilaku mengemis

yang telah dikhutbahkan oleh kyai setempat ditolak mentah-mentah oleh

msyarakat dengan alasan ingin mempertahankan kebudayaan lokal. Disinilah

kerumitan itu terjadi. Budaya lokal seringkali dijadikan sebagai tameng untuk

menolak fatwa-fatwa yang dilontarkan kyai. Tetapi, kenyataannya adalah perilaku

masyarakatnya sendiri yang sebenarnya masih mempertahankan pola konsumsi

yang tidak seimbang dengan pola produksi.

Page 89: Studi Hubungan Mental Lokal

81

BAB V

PENUTUP

Pada bagian bab penutup ini memuat bagian-bagian inti dari hasil

pendeskripsian penelitian yang telah dilakukan. Dimana setelah diketahui

bagaimana hubungan mental lokal dengan perilaku mengemis yang ada di Desa

Branta Tinggi. Sehingga, penulis juga memberikan saran (rekomendasi)

berkaitan dengan fenomena yang diteliti atas dasar data-data yang telah

diperoleh dari hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi selama penelitian maka

dapat ditarik kesimpulan :

1. Bahwasannya ketidakmaksimalan pengelolaan sumber daya alam yang ada

sangat mempengaruhi pola fikir masyarakat Branta Tinggi. Masyarakat

hanya mengandalkan sektor basis (pertanian dan perikanan) untuk ber

produksi. Namun, sektor basis hanya sebatas dikelola secara biasa tanpa

melihat potensi lain yang terdapat didalamnya. Tak heran, risiko-risiko yang

lumayan tinggi yang terdapat pada sektor basis mengubah pola fikir

masyarakat untuk berperilaku mengemis.

2. Hubungan sosial yang kuat antara masyarakat bukan pengemis dan

pengemis menjadi poin penting dalam pembentukan mental lokal. Pola

perilaku konsumtif tanpa diimbangi pola produksi yang memadai menjadikan

aktivitas mengemis terpaksa dijalani oleh orang-orang yang sejatinya bukan

pengemis. Sebenarnya, perilaku mengemis yang merupakan tradisi

(membudaya) secara turun-temurun hanya berlaku pada mayarakat di salah

satu dusun di Branta Tinggi yaitu dusun Pelanggaran. Namun, kenyataan

Page 90: Studi Hubungan Mental Lokal

82

dilapangan berkata lain. Perilaku ini telah menular pada masyarakt dusun

lain bahkan di desa lain lantaran adanya kecenderungan sosial

bahwasannya mengemis begitu mudahnya mendapatkan kepingan rupiah.

Selain itu adanya kesamaan pola kunsumtif (konsumsi tinggi) pada

masyarakat daerah setempat semakin memperkuat kegiatan mengemis sulit

ditinggalkan.

3. Kegiatan mengemis memang telah menjadi tradisi di Branta Tinggi lantaran

adanya mitos yang beredar di masyarakat. Tradisi kelokalan yang sangat

kuat menjadikan perilaku mengemis ini sulit untuk ditinggalkan. Bahkan dari

waktu ke waktu kegiatan ini menimbulkan dilema lantaran memunculkan

sosok pengemis-pengemis musiman dari daerah lain.

4. Sosok kyai sebagai pemimpin informal di Madura sebenarnya memiliki peran

penting dalam menanggulangi perilaku mengemis ini. Namun, alasan klasik

dari masyarakat (adanya kutukan dari leluhur) yang sejatinya tidak

berhubungan degan kegiatan mengemis menjadikan prosesi dakwah

menjadi terhambat. Munculnya kecenderungan sosial karena risiko-risiko

yang sering dihadapi pada sektor basis menjadi dilematika tersendiri bagi

kyai dalam berdakwah.

Page 91: Studi Hubungan Mental Lokal

83

5.2 Rekomendasi

Menanggulangi kemiskinan yang mengarah pada perilaku mengemis

memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan analisis yang

lebih mendalam guna menemukan formula kebijakan yang lebih tepat dan

terarah. Adapun rekomendasi yang bisa diberikan oleh peneliti atas hasil

penelitian yang dilakukan yaitu :

1. Ada pepatah Cina yang mengatakan “untuk bisa menikmati bubur panas

yang begitu lezat, maka makanlah dari pinggir”. Seperti itulah sebuah

kebijakan. Dimana agar kebijakan bisa tercapai secara maksimal dimulailah

dari hal kecil yang berpotensi menimbulkan efek yang luar biasa dalam

jangka panjang. Ini bisa diimplementasikan melalui penanggulangan

internalisasi perilaku mengemis yang ditularkan dari orang tua ke anak.

Lembaga pendidikan terkait (formal maupun informal) haruslah membuat

sebuah model pengajaran yang lebih inovatif (mengajarkan pola produktif

pada anak). Sehingga, mind-set mengemis yang ditularkan dari keluarga

kepada anak mampu diubah dengan mind-set produktif yang diajarkan di

sekolah. Pemutusan rantai generasi mengemis ini memberikan dampak

yang sangat luar biasa dimasa depan. Karena generasi penerus yang

menjalankan aktivitas mengemis dari waktu ke waktu tereduksi lantaran

adanya program pemutusan rantai generasi tersebut.

2. Penguatan kaidah-kaidah Islamiah dengan penyampaian yang lebih bagus

haruslah terus digalakkan oleh tokoh masyarakat setempat (pemimpin formal

dan informal). Ini dikarenakan nilai-nilai agama Islam selalu dijunjung tinggi

di wilayah ini. Penyampaian tersebut bisa melalui pemberian pelatihan-

pelatihan membuat kerajianan tangan atau membuat sebuah usaha baru

bagi anak-anak yang notabene banyak melakukan kegiatan keagamaan di

pesantren. Kegiatan kewirausahaan sejatinya juga merupakan wujud

Page 92: Studi Hubungan Mental Lokal

84

apresiasi seseorang dalam menegakkan kaidah-kaidah keislaman. Dimana

dalam nilai-nilai ajaran Islam juga ada anjuran-anjuran untuk berusaha

sendiri melalui berwirausaha. Model pendekatan ini tentunya dimaksudkan

untuk mengubah mind-set masyarakat menjadi orang yang lebih produktif.

Sebagaimana diajarkan dalam Islam, bahwasannya mengemis sangatlah

dilarang bagi orang-orang yang masih memiliki kemampuan dengan

sempurna. Tentunya rekomendasi ini haruslah memperoleh apresiasi yang

mumpuni dari stakeholder terkait baik dari pemerintah maupun jaringan

kerjasama dengan lembaga lainnya. Untuk itulah, unit-unit yang dimaksud

(kelembagaan dan stakeholder) mampu bersinergi dengan baik agar

rekomendasi yang dicanangkan mampu merasuk pada sendi-sendi vital

permasalahan sosial-ekonomi masyarakat desa Branta Tinggi.

Page 93: Studi Hubungan Mental Lokal

DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abdul. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Madura Pasca Suramadu Melalui

Agama, Budaya dan Tradisi. http://blog.sunan-

ampel.ac.id/abdala/2010/03/01/pemberdayaan-masyarakat-madura-pasca-

suramadu-melalui-agama-budaya-dan-tradisi/

Abidin, Muhammad Zainal. 2009. Pengertian Pembinaan Mental.

http://meetabied.wordpress.com/2009/12/24/pengertian-pembinaan-mental

Afriyani, Ryan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. http://www.penalaran-

unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-

kualitatif.pdf

BPS. 2008. Data Angkatan Kerja Nasional. Jakarta.

BPS. 2007. Data Penyerapan Tenaga Kerja. Jakarta.

BPS. 2009. Data Angka Kemiskinan Jawa Timur 2007, 2008 dan 2009. BPS

Jawa Timur. Surabaya.

Citrayati, Noviana dkk. 2008. Permukiman Masyarakat Petani Garam di Desa

Pinggir Papas Kabupaten Sumeneb. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Brawijaya. Malang.

Damsar. 1995. Sosiologi Ekonomi. PT Rajawali Pers. Jakarta.

Darmawangsa, Darmadi. 2008. Champion : 101 Tips Motivasi dan Inspirasi

Sukses Menjadi Juara Sejati. PT Elex Media Komputindo. Jakarta

Darusman. Tanpa Tahun. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan.

Dewi, Ratna Dwi Liza. 2007. Media Massa dan Konsumsi dari Sudut Pandang

Pengembangan Manusia. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi

Luhur.

Page 94: Studi Hubungan Mental Lokal

Dharma, Surya. 2008. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Direktorat

Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan

Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syari’ah.

Bank Indonesia. Jakarta.

Effendi, Nursyirwan. 2006. Keberadaan dan Fungsi Pasar Tradisional. Jurnal

Antropologi.

Elizabeth, Roosgandha. 2004. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal Untuk

Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian

Bogor. Bogor.

Fitanto, Bahtiar. 2003. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Lokal. (et al.). (Eds), Emansipasi Nilai Lokal dan Ekonomi Bisnis

Pascasentralisasi Pembangunan. Dalam Triyuwono (halaman 51-65).

Malang: Bayumedia Publishing.

Hadiyanti, Puji. 2006. Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal

Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Negeri Jakarta. Jakarta.

Hakim, Andri M. Tanpa Tahun. Social and Economic Mapping Sisi Madura dan

Sisi Surabaya dalam Mendukung Tata Ruang Suramadu.

http://www.sumenep.go.id

Hermantyo, A. Irawati. 2006. Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin di Sektor

Pertanian. PT Bina Swadaya Konsultan. Jakarta.

Heryawan, Wawan. 2007. Kapasitas Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan

di Daerah. Lembaga Penelitian Semeru. Jakarta.

Page 95: Studi Hubungan Mental Lokal

Humaidy, M Ali. 2002. Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa

Pragaan Daya Sumenep Madura. STAIN Pamekasan. Pamekasan.

Indarto, Agus. 2008. Peran Pemimpin Menyukseskan Proyek Perubahan.

Iqbali, Saptono. (tanpa tahun). Studi Kasus Gelandangan-Pengemis (Gepeng) di

Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. (Online), (http:/unud.ac.id,

diakses tanggal 1 Maret 2010).

Ismani. 2001. Etika Birokrasi. Jurnal Administrasi Negara Vol II No. 1, September

2001: 31 -41.

Istiana, Heri. 2003. Teknik Pemetikan Daun Tembakau Madura. Buletin Teknik

Pertanian Vol. 8. Malang.

Karjadi, Ahmad. 2000. Grumusol (Vertisol).

Kuncoro, Mudrajad. Tanpa tahun. Otonomi Daerah Siapa Punya?. Fakultas

Ekonomi dan Bisnis UGM. Yogyakarta.

Kunio,Yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi Jepang ; Sebuah Pengantar.

PT Gramedia. Jakarta.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Megasari, Intan Wahyu. 2009. Karakteristik Pengemis Jalanan di Kota Malang.

Fakultas Ilmu Pendididkan UM. Malang. http://karya-

ilmiah.um.ac.id/index.php/PPKN/article/view/1297

Miles, M. B dan A. M Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook

of New Methods. SAGE. Beverly Hills.

Mubyarto. 1996. Strategi Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia.

Yogyakarta: Aditya Media.

Page 96: Studi Hubungan Mental Lokal

Mursiduddin dan Elly Martati Syukur. 2010. Perlukah Kelembagaan Penyuluh

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan?.

http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/14702-perlukah-

kelembagaan-penyuluh-pertanian-perikanan-dan-kehutanan.html

Nuryadin, Didi dkk. 2007. Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi ; Peran

Karakteristik Regional di Indonesia. Fakultas Ekonomi UPN Veteran

Yogyakarta. Yogyakarta.

Peraturan Daerah Kota Batam nomor 6 Tahun 2002. Ketertiban Sosial di Kota

Batam. Batam.

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu. Jakarta.

Rachmad, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya.

Bandung.

Rahman, Bustami dan Yuswadi Hari. 2005. Sistem Sosial Budaya Indonesia.

Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur. Jember.

Ramdhani, Neila. Tanpa Tahun. Sikap dan Beberapa Definisi untuk

Memahaminya. Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.

Ranimpi, Yulius Yusak. 2009. Kemiskinan dan Kesehatan Mental di Nusa

Tenggara Timur. Program Profesional Universitas Kristen Satya Wacana.

Republik Indonesia. 1992. Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan

Perundang-undangan. Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.

Sachs, Jeffrey D. 2005. The end of Poverty ; Economic Possibilities for Our Time.

The Penguin Press. New York.

Sativa, Khoridah dan Juliatin Putri Utami. 2010. Pencegahan Dampak

Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Ekologi Dengan Metode

Page 97: Studi Hubungan Mental Lokal

Master Plan Madura Terpadu. Program Kreativitas Mahasiswa Universitas

Negeri Malang. Malang.

Sirodj, Chufron. 2009. Peran dan Posisi Kyai di Tengah Masyarakat Pamekasan

Madura. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Soekarni, M. 2004. Kebijakan Penanganan Kemiskinan dalam Islam.

http://www.undp.or.id./mdg/index.asp

Sonhaji. 2006. Budaya Kemiskinan : Studi Penjajagan Atas Kegiatan Meminta-

Minta Kelompok Pengemis Mingguan di Surakarta. Jurusan Ilmu

Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Surakarta.

Sujito. 2007. Laporan MDGs Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Bangkalan.

Suman, Agus. 2010. Sketsa-sketsa Ekonomi. Putra Media Nusantara. Surabaya.

Suprapto, Hadi. 70% BLT Digunakan untuk Konsumsi Rokok.

http://bisnis.vivanews.com/news/read/62219-

70__blt_digunakan_untuk_konsumsi_rokok

Syaukani, Marwan. 2004. Konsepsi Kelembagaan dalam Mewujudkan Sektor

Perikanan Sebagai Prime Mover Perekonomian Nasional. Falsafah Sains

Program Doktor Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tambunan, Raymond. 2010. Kualitatif Data. http://rumahbelajarpsikologi.com

Urip, Sonaryo. 2007. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

Penyebabnya.

Wahyu, Ari. 2009. Pemanfaatan Biji Bakau. http://pilaxz-

gokil.blog.friendster.com/2009/01/pemanfaatan-biji-bakau/

Wibowo, H. J Dkk. 2002. Tatakrama Suku Bangsa Madura. Badan

Pengembangan Kebudayaan dan Paiwisata. Yogayakarta.

Page 98: Studi Hubungan Mental Lokal

Wiyata, A. Latief. 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Universitas Negeri Malang. Malang.

World Bank. 2006. Suara Masyarakat Miskin ; Mengefektifkan Pelayanan bagi

Masyarakat Miskin di Indonesia. The World Bank Office. Jakarta.

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan ; Definisi, Teori dan

Strategi. Bayumedia Publishing. Malang.

Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan KajianEmpiris.

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.