Upload
tri-cahyono
View
540
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN PERILAKU MENGEMIS
(Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura)
SKRIPSI
Disusun oleh :
Tri Cahyono 0610210124
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2010
KATA-KATA INSPIRASI
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alam Nasrah ayat 4)
“Jika terangnya sinar matahari itu terus kita nikmati... Maka tidak akan ada hal yang menarik... Kita juga butuh datangnya mendung menurunkan
rintik hujan dan tekombinasikan dengan sinar matahari agar tercipta sebuah pelangi yang indah”
(Yusuf Mansyur)
“Kegagalan adalah kesempatan untuk memulai lagi dengan lebih baik” (Henry Ford)
“Semangat itu tidak akan hilang pada saat kita
dikalahkan, tetapi semangat itu akan hilang saat kita menyerah” (Ben Stein)
“Ditengah kesukaran pasti terdapat kesempatan”
(Einstein)
“Jika kejayaan hari ini milikmu... Maka besok kan kuraih... Lusa kan ku genggam... Walaupun hanya dengan sebatang tongkat pensil yang rapuh” (M.
Emka)
“Didalam setiap cerita sukses... Anda akan menemukan sosok yang mengambil keputusan yang
berani” (Peter F. Drucker)
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Dzat yang telah melimpahkan
segala nikmat dan karunianya, khususnya kepada penulis, sehingga skripsi yang
berjudul “Studi Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis (Studi
Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan
Madura)” dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula shalawat dan salam
teruntuk Rasulullah, keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti jejaknya.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan dan penelitian lapangan,
telah banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Joko Wahono dan Ibu Sumariyah selaku Bapak dan Ibu tercinta yang
telah memberikan segala pengorbanan dalam hidupnya demi keberhasilan
putra-putrinya. Semoga Allah SWT senantiasa mengasihi mereka berdua
sebagaimana sayangnya mereka kepada anak-anaknya sewaktu masih kecil.
2. Ibu Dr. Asfi Manzilati, SE., ME. selaku dosen pembimbing utama yang telah
memberikan banyak ilmu dan Inspirasi kepada penulis sehingga tulisan ini
segera terselesaikan.
3. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
4. Ibu Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME. dan Ibu Farah Wulandari Pengestuty,
SE., ME. selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif.
5. Bapak Prof. Agus Suman, SE., DEA., Ph.D. selaku dosen yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten dosen
ii
Ekonomi Mikro, dan memberikan banyak inspirasi kepada penulis dalam
penulisan beberapa karya ilmiah.
6. Para bapak dan ibu guru serta para dosen yang telah mendidik penulis dari
TK hingga sekarang.
7. Bapak Mahrus Ali, Bapak Rahman, Bapak Razak, dan Bapak Junaidy selaku
informan dari desa Branta Tinggi yang telah bersedia meluangkan waktu dan
memberikan informasinya kepada penulis.
8. Pengurus FORSTILLING 2006-2007, 2007-2008 dan 2008-2009, atas
kerjasama selama ini mulai dari urusan organisasi hingga hubungan
kekerabatan yang terjalin seperti keluarga.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh jua, seperti itulah tulisan dalam
sekripsi ini. Sehingga penilis berharap kepada pembaca untuk memberikan
penilaian dan masukan bagi perbaikan skripsi ini ke depan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Malang, Desember 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
ABSTRAKSI ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... 5
1.4 Batasan Masalah ......................................................................... 5
1.5 Manfaat ........................................................................................ 6
1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................................. 6
1.5.2 Manfaat Praktis.................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Pengemis ; Latar Belakang
dan Perilaku yang Disebabkan oleh Kemiskinan....................... 7
2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan
oleh Sumber Pustaka ................................................................. 9
2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental .................... 12
2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan ..... 12
2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi
yang Terjadi di Pedesaan ................................................. 14
2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis
yang Terpolakan ............................................................... 16
2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan ......................................... 17
2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram
Pertumbuhan Pembangunan ............................................ 17
2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran
Kelembagaan .................................................................... 21
2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam................ 23
2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam 24
2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan
iv
Kemiskinan ........................................................................ 26
2.6 Hubungan antara Budya dengan Eksistensi Kemiskinan
di berbagai daerah ...................................................................... 28
2.7 Penelitian Terdahulu.................................................................... 31
2.8 Kerangka Pemikiran .................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 38
3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................ 38
3.2 Lokasi Penelitian ......................................................................... 39
3.3 Penentuan Informan .................................................................... 39
3.4 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 40
3.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 42
3.6 Teknik Analisis Data .................................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 45
4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi
Ekonomi yang Belum Optimal .................................................... 45
4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Terkait dengan
Perilaku Mengemis ..................................................................... 51
4.3 Topeng Budaya dan Tradisi ; Mengemis Merupakan Kebutuhan
yang Harus Dilakukan ................................................................ 56
4.4 Sektor Pertanian dan Perikanan ; Kontradiksi antara Potensi
dan Eksplorasi ............................................................................ 59
4.4.1 Sektor Pertanian ................................................................ 60
4.4.2 Sektor Perikanan ............................................................... 66
4.5 Dilema Kyai dalam Berdakwah ; antara Nilai Agama dan Budaya
Atau Tradisi ................................................................................. 77
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 81
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 81
5.2 Rekomendasi ............................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 01. Interaksi antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan ..... 36
Gambar 02. Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan
Mental Lokal yang Mengarah Pada Penentuan
Pola Konsumsi dan Produksi ............................................................... 37
Gambar 03. Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi ...... 47
Gambar 04. Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi .................................... 48
Gambar 05. Ketergantungan Air Bersih untuk Minum ............................... 50
Gambar 06. Rutinitas Kegiatan Keagamaan .............................................. 53
Gambar 07. Pola Pemasaran Tembakau ................................................... 61
Gambar 08. Kelembagaan Sektor Pertanian ............................................. 63
Gambar 09. Mekanisme Pemberian Bantuan Pertanian ........................... 64
Gambar 10. Jalur Pemberian Penyuluhan Pertanian................................. 64
Gambar 11. Sebuah Potensi Sektor Perikanan yang Terbuang ................ 67
Gambar 12. Kegiatan Pengeringan Ikan .................................................... 69
Gambar 13. Kepiting Bakau ; Makanan Konsusmsi Bernilai
Ekonomi Tinggi .................................................................................... 72
Gambar 14. Sosialisasi Desa dari Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi . 75
Gambar 15. Kyai Ma’imun Zubair ; Tokoh Agama Desa Branta Tinggi ..... 79
vi
ABSTRAKSI
Cahyono, Tri. 2010. STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN PERILAKU MENGEMIS (Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura). Skripsi, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Dr. Asfi Manzilati, SE., ME.
Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi pola perilaku dari tiap-tiap
individu dalam lingkup suatu daerah yang sering kali terabaikan dalam bahasan ilmu ekonomi. Padahal, mental lokal sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tiap-tiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidup (keputusan konsumsi maupun produksi). Biasanya, mental lokal ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya ; kelembagaan lokal, budaya, dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.
Aplikasi mental lokal yang diwujudkan dalam bentuk keputusan konsumsi
dan produksi sering kali menimbulkan polemik tersendiri. Jika keputusan berproduksi yang lebih dominan, maka kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita makro ekonomi (pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas perekonomian) melalui kedaerahan bisa terwujud. Namun, jika keputusan konsumsi yang lebih dominan, ini justru memeperparah kekacauan perekonomian lantaran tidak adanya keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan masyarakat.
Tak jarang, tingginya konsumsi tanpa diimbangi pola produksi yang
mumpuni akan menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan yang ujung-ujungnya mengarah pada pola perilaku menggelandang atau mengemis.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan
hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap
perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu, dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah memperoleh kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk itulah, mental lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam menanggulangi perilaku mengemis tersebut.
Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi poin penting bagi
pemerintah dalam meningkatkan proses pembangunan. Ketidakmerataan
distribusi kebijakan, pembangunan (fisik maupun nonfisik), dan pendapatan
daerah disinyalir sebagai pokok permasalahan yang mempengaruhi angka
kemiskinan di berbagai daerah. Ketidakmerataan tersebut secara tidak langsung
berpengaruh terhadap pola migrasi penduduk dari berbagai daerah.
Data makro yang dipaparkan oleh BPS (2008), berkaitan dengan jumlah
orang yang bekerja dan angkatan kerja yang tidak bekerja (pengangguran
terbuka) menunjukkan angka yang lumayan mencengangkan. Pada tahun 2008,
jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja sebanyak 102.049.857 jiwa dan
jumlah pengangguran sebanyak 9.427.590 jiwa.
Melihat data tersebut tentunya menimbulkan ironi tersendiri dan harus
ada evaluasi lebih lanjut (tindakan nyata) dari pemerintah. Apa lagi untuk saat ini
sektor-sektor basis (utamanya pertanian) yang memiliki sumbangsih paling besar
dalam penyerapan tenaga kerja tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Padahal, jika dilihat dari data makro yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2007,
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 42,61 juta jiwa. Sedangkan
sektor industri pada tahun yang sama menurut BPS hanya mampu menyerap
tenaga kerja sebesar 12,09 juta jiwa.
Sektor pertanian yang menjadi acuan penyerapan tenaga kerja semakin
terdesak lantaran degradasi lahan dan adanya paradigma yang berkembang
dimasyarakat berkaitan dengan profesi sebagai petani. Suman (2010)
menyebutkan, selama periode tahun 1999 – 2002 sawah irigasi yang telah
2
dilahap untuk konversi adalah sebesar 423.857 hektare dan itu merupakan
lahan-lahan produktif yang ada di pulau Jawa dan Bali
Sebagai contoh lain yang dikeluarkan World Bank (2006), di pertengahan
tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari
semua lahan pertanian ditanami padi, sementara tahun 2006 hanya 38%. Fakta
tersebut nampak jelas bahwasannya untuk saat ini sektor pertanian yang menjadi
andalan pembagunan perekonomian tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja
yang ada di pedesaan secara maksimal (khususnya angkatan kerja).
Upaya-upaya revitalisasi pertanian khususnya dipedesaan sebenarnya
telah dicanangkan untuk peningkatan perekonomian secara bottom-up yang
salah satunya dimulai dari desa. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk
pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas
hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Sehingga
pelaku-pelaku ekonomi desa mulai meninggalkan sektor pertanian dengan
berharap memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Bagi masyarakat yang tidak mampu menghadapi persaingan, hal ini justru
menimbulkan paradoks baru apalagi sampai mengarah pada migrasi kerja
(urbanisasi). Sektor-sektor formal daerah tujuan yang mampu menyerap tenaga
kerja jumlahnya terbatas. Walaupun ada, persyaratan-persyaratan yang diajukan
sering kali tidak bisa dipenuhi oleh kaum urban. Maka dari itulah, masyarakat
yang tidak kompeten tersebut akan bekerja secara serabutan hingga merelakan
diri hidup sebagai gelandangan ataupun pengemis.
Di Jawa Timur, hasil pendataan kemiskinan yang dilakukan oleh BPS
Jawa Timur pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah kemiskinan
masyarakat kota sebesar 2.148.500, dan penduduk desa 3.874.100 dengan total
keseluruhan 6.022.600 jiwa. Sedangkan di kabupaten Pamekasan sendiri, angka
kemiskinan 2007 mencapai 384.522 atau setara dengan 35,75 persen dari angka
3
penduduk yang mencapai 818.604 jiwa. Pada tahun 2008, mengalami penurunan
menjadi 234.09 atau 35,73 dari total penduduk 835.101 jiwa. Angka ini cukup
mencengangkan mengingat potensi daerah di wilayah ini sangat besar terutama
sektor pertanian dan kelautan.
Mengingat masih tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur utamanya
wilayah Pamekasan, maka diperlukan identifikasi secara mendalam guna
menemukan solusi dalam merumuskan kebijakan secara tepat dan terarah.
Kebijakan yang dimaksud tidak sebatas hanya memberikan obat penenang
(penyuluhan dan bantuan dana) saja, tetapi lebih diarahkan pada aspek-aspek
kemasyarakatan yang didapat dari identifikasi mengenai kondisi sosial
masyarakat. Identifikasi dirasa sangat penting mengingat kondisi sosial ekonomi
setiap daerah berbeda-beda.
Seperti kasus yang terjadi di salah satu daerah di desa Branta Tinggi
kabupaten Pamekasan. Kasus di daerah ini sangatlah unik, dimana sebagian
besar masyarakatnya menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pengemis. Sangat
mengejutkan ketika memperoleh informasi ada komunitas pengemis di Madura.
Daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran islam dengan karakter
masyarakat pekerja keras ternyata ada sebagian masyarakatnya yang
berperilaku mengemis khusunya yang ada di desa Branta Tinggi.
Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwasannya masyarakat Madura
sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan
ekonomi.
Berdasar informasi dari kepala desa terkait, perilaku mengemis di desa
ini dari tahun ke tahun menjadi sorotan berbagai pihak. Baik dari civitas
4
akademika (universitas Madura, STAIN Pamekasan, universitas Brawijaya, UPN
Veteran Surabaya dan IAIN sunan Ampel Surabaya), pemerintah lokal, daerah
maupun dari provinsi.
Berbagai macam upaya penanggulangan telah dilakukan, tetapi
eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi dari tahun ke tahun tak kunjung bisa
di tanggulangi. Perilaku mengemis ditularkan secara internal melalui keluarga
dan didukung oleh lingkungan sekitar. Penularan perilaku mengemis ini telah
berlangsung dari generasi ke generasi sehingga, sampai saat ini keberadaan
pengemis di desa ini menjadi salah satu fenomena menarik yang perlu dipelajari
(diteliti).
5
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang dapat
diidentifikasi dan diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan yaitu :
Bagaimana hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku
mengemis di desa Branta Tinggi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini akan mencoba untuk
mempelajari dan mengidentifikasikan :
Hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis di
desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun
keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal,
sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di
junjung tinggi.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah berguna untuk mengarahkan penelitian agar tidak
melebar dan tetap fokus pada permasalahan yang dikemukakan. Batasan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi diri setiap individu
komunitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Mental lokal (shared
value) tiap daerah berbeda-beda, sehingga timbul heterogenitas pencitraan
jati diri wilayah.
6
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi peneliti, penelitian ini harapannya mampu menambah wawasan dari
studi hubungan mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis.
2. Selain itu, penelitian ini nantinya bisa dijadikan bahan rujukan bagi
penelitian-penelitian yang mengambil topik sejenis.
1.5.2 Manfaat Praktis
1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi masing-masing pemegang kebijakan yang berpengaruh
terhadap penanggulangan eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi.
Sebab, dari penelitian yang telah dilakukan, sebagian kebijakan hanya
menganggap pengemis sebagai objek bukan sebagai subjek. Objek disini
yaitu masyarakat peminta-minta (pengemis) hanya dijadikan sebagai target
kebijakan dimana pemerintah terkait tanpa mengidentifikasi terlebih dahulu
permasalahan sosial ekonomi yang ada secara mendalam.
2 Mempermudah dalam mengidentifikasi tantangan dan hambatan serta
peluang dalam penerapan kebijakan yang dirasa perlu dilakukan untuk
mencapai tujuan inti tiap-tiap kebijakan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengemis ; Latar Belakang dan Perilaku yang Disebabkan oleh
Kemiskinan
Dari tahun ke tahun, angka kemiskinan di Indonesia selalu menjadi
sorotan dari pemerintah. Sachs (2005), memaparkan bahwasannya dari
keseluruhan negara berkembang, lebih dari delapan juta orang meninggal setiap
tahunnya karena jeratan kemiskinan. Untuk Indonesia sendiri, selama periode
1970 – 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat, dari
70 juta orang menjadi 22,5 juta orang dimana angka kemiskinan terbesar tinggal
di pulau Jawa yaitu sebesar 55 persen dari total kemiskinan yang ada (Urip,
2007).
Menurut Hadiyanti (2006), munculnya kemiskinan di berbagai daerah
secara teoritis dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan dalam
dua kategori :
Pertama Kemiskinan natural atau alamiah.Yakni kemiskinan yang timbul
sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau tingkat perkembagan
teknologi yang sangat rendah. Artinya, faktor-faktor yang menyebabkan
kemiskinan ini secara alamiah memang ada, sehingga masyarakat menjadi
miskin lebih diakibatkan karena keterbatasan baik dari sumber daya alam,
sumber daya manusia maupun perkembangan teknologi. Kemiskinan natural ini
nampak jelas pada masyarakat pedesaan dengan sumber daya alam dan
manusia terbatas untuk dikelola dan jauh dari pusat pembangunan wilayah.
Keterbatasan tersebut memaksa masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan
lantaran tidak punya modal (fisik maupun non fisik) untuk dikembangkan.
8
Kedua Kemiskinan struktural. Yakni kemiskinan yang terjadi karena
struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak
menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Kemiskinan
secara struktural ini sangat nampak pada masyarakat yang menganut sistem
kasta. Dimana kalangan yang memiliki kasta terendah, akses untuk
beraktualisasi diri dibatasi. Sehingga masyarakat dalam kasta terendah tidak
berdaya untuk mengubah nasibnya dan ini berjalan secara turun-temurun
lantaran sistem kasta selalu diwariskan dari generasi ke generasi.
Breman dalam Iqbali (2006) mengelompokkan pekerja berdasarkan kelas
sosial menjadi tiga bagian :
1. Kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan.
2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri
dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal.
3. Kelompok miskin (sering diidentikkan dengan gelandangan dan pengemis).
Pengemis dalam perspektif awam selalu disamaartikan dengan
gelandangan. Padahal dalam pendefinisiannya, jelas berbeda antara
gelandangan dan pengemis. Berdasar perda kota Batam nomor 6 tahun 2002,
gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta
tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan pengemis adalah setiap orang
yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan
berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Berdasar definisi diatas, nampak jelas bahwa kedudukan gelandangan masih
lebih tinggi dibanding pengemis. Walaupun sama-sama dianggap tidak sesuai
dengan norma bangsa (berdasar pertimbangan peraturan pemerintah nomor 31
9
tahun 1980 utamanya poin “a”), gelandangan masih mau berusaha mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Timbulnya gelandangan dan pengemis diakibatkan oleh tekanan
ekonomi, dengan latar belakang permasalahan yang berbeda-beda di antara
yang satu dengan daerah yang lain, sehingga mereka jadi gelandangan dan
pengemis itu dilakukan dalam keadaan terpaksa satu dan lainnya untuk
mempertahankan hidupnya (Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1980).
Secara keilmuan, profesi sebagai gelandangan dan pengemis
dikategorikan dalam kegiatan sektor informal. Kegiatan ekonomi sektor informal
begitu mudah untuk dimasuki karena tanpa modal pun seseorang bisa masuk
didalamnya. Dalam praktek, bidang pekerjaan ini adalah sangat menjadi
perhatian dan orientasi dari kebanyakan masyarakat yang tidak berpenghasilan
tetap, yang tidak dapat masuk dalam sektor ekonomi formal dan yang tidak
mampu memiliki modal besar dalam berusaha (Effendi, 2006). Namun, karena
pengetahuan, pengalaman dan skill individu pelakunya yang kurang memadai
mengakibatkan pekerjaan ini begitu berisiko tinggi.
2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan oleh Sumber
Pustaka
Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang terkenal sebagai
penduduk perantau dan pekerja keras. Tanah di Madura kurang subur sebagai
lahan pertanian (Hakim, tanpa tahun). Keterbatasan lahan tersebut
mengakibatkan tingginya angka kemiskinan hingga mengakibatkan masyarakat
bermigrasi dalam jangka panjang. Sampai saat ini, banyak masyarakat suku
Madura tidak tinggal di Madura, dan penduduk Madura termasuk peserta
program transmigrasi terbanyak (Hakim, tanpa tahun). Ikatan kekeluargaan
10
sesama etnis sangat kuat. Orang Madura berpikir bahwa di mana ada orang
Madura itulah saudara, apalagi dari daerah yang sama dan memang ada ikatan
keluarga (Humaidy, 2002).
Sistem kekerabatan individu dalam kelompok tertentu di Madura biasanya
memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing. Tak jarang seseorang
dapat mempunyai lebih dari satu kedudukan dan peranannya dalam kelompok
kekerabatan (Wibowo dkk, 2002). Masih menurut Wibowo (2002), peranan dan
kedudukan dari setiap individu di Madura dapat diklasifikasi menjadi dua jenis
yaitu lapisan bangsawan (lapisan atas) dan lapisan bukan bangsawan atau
sering disebut lapisan bawah (kabula). Golongan atas dibedakan dalam
beberapa kelas-kelas tertentu tergantung peranannya dalam status sosial yang
ada.
Adapun kelas sosial dalam golongan atas atau golongan bangsawan ini
diantaranya : pangeran, arya, panjhi, raden (bagus), dan mas. Menurut Wibowo
dkk (2002), golongan pangeran dan arya merupakan golongan tertinggi yang
masih memiliki hubungan darah (garis keturunan langsung) dengan “sultan” di
Madura. Sedangkan dibawah pangeran dan arya ada golongan panjhi, Raden,
dan mas. Sedangkan golongan bawah (kabula atau sering juga disebut kawula)
merupakan golongan rakyat biasa. Mereka tidak memiliki hak untuk memakai
atau mengenakan gelar yang biasa dikenakan oleh golongan atas (Wibowo dkk,
2002).
Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten diantaranya : Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumeneb. Sebagian besar penduduk pulau Madura
tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan
tradisional, petani garam dan petani tembakau. Namun, ada juga yang berprofesi
lain tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk potensi sosial budaya, Madura
mempunyai beberapa hal yang unik yaitu antara lain karapan sapi, batik Madura,
11
semangat kesetiakawanan yang tinggi, terbuka dan ulet (Sativa dan Utami,
2010).
Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwsannya masyarakat Madura
sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan
ekonomi. Sehingga, tak jarang mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke
berbagai negara untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Namun, hal tersebut tidaklah seimbang dengan tingkat pendidikan yang
mereka kenyam. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu,
mereka terutama yang berdiam di remote area sampai derajat tertentu kurang
memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak
berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan
mereka (A’la, 2010). Padahal, jika disimak secara baik-baik bahwasannya
masyarakat madura lebih suka menyekolahkan anaknya dalam tataran
pendidikan yang basisnya pondok pesantren. Dalam hal pendidikan, Sujito
(2007) mengungkapkan, orang tua lebih memilih pondok karena disamping
biayanya yang tidak mahal juga mendapatkan pendidikan agama.
Pendidikan yang berbasis pesantren ini sengaja dipilih dikarenakan
masyarakat madura begitu mengagungung-agungkan sosok seorang kyai.
Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai "otoritas
kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap sebagai
orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirodj, 2009).
Alasan lain mengapa masyarakat Madura memilih pondok pesantren
untuk menyekolahkan anaknya karena disamping biayanya yang tidak mahal
juga mendapatkan pendidikan agama (Sujito, 2007).
12
2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental
Seringkali polemik kemiskinan yang ada di Indonesia selau dikaitkan
dengan ketidak berdayaan dan kepasrahan dalam menghadapi goncangan
ekonomi yang ada. Padahal, jika dilihat dari kaca mata ilmu sosial dan diteliti
secara kualitatif, banyak hal yang memberikan efek terhadap naik atau turunnya
angka kemiskinan yang terjadi. Salah satunya bisa ditinjau dari sikap mental
secara individu kemasyarakatan.
2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan
Sikap mental sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang mana nilai tersebut
menjadi landasan dalam etos kerja. Sikap mulai menjadi pokok bahasan dalam
ilmu sosial sejak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner
Dictionary dalam Ramdhani (tanpa tahun) mencantumkan bahwa sikap (attitude),
berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu yaitu “Manner of placing or holding the
body, dan Way of feeling, thinking or behaving” atau dalam bahasa Indonesianya
yaitu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran,
dan perilaku.
Sedangkan mental sendiri menurut Abidin (2009), diartikan sebagai
kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang
yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dari
papaaran tersebut sangat jelas bahwa sikap dan mental selalu berhungan.
Kartono dalam Abidin (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental
yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai
kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,
memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan
memiliki batin yang tenang.
13
Memahami kemiskinan sering kali dikaitkan secara sempit dengan
ketidakmampuan secara ekonomi saja. Sebenarnya banyak hal yang
mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Kemiskinan bisa terkait dengan
ketidakmampuan memenuhi standar hidup pada hampir semua aspek
kehidupan, baik yang bersifat material (pendapatan, pangan, air, pakaian, rumah,
sumber energi, keadaan sanitasi, aset lain seperti tanah, ternak, tanaman),
termasuk pendidikan dan kesehatan, maupun non material (pengetahuan kurang,
partisipasi dalam masyarakat terbatas, tidak percaya diri di depan umum,
pendapatnya tidak dihargai, tersisih dalam pergaulan, dan sebagainya) (Ranimpi,
2009).
Implikasi dari polemik kemiskinan yang terjadi untuk saat ini nampak jelas
ketika di lihat dari sudut pandang ekonomi secara mendasar yaitu pola konsumsi
dan produksi. Ditinjau dari pola konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat marginal tidaklah seimbang. Pola konsumsi sendiri
sebenarnya untuk saat ini lebih mengarah kepada konsumsi yang berlebihan dan
mencolok. Dimana konsumsi yang berlebihan dan mencolok tersebut tidak lepas
karena adanya pengaruh-pengaruh dari berbagai media utamanya televisi.
Yang saat ini terjadi di masyarakat, orang-orang di negara berkembang
tidak membelanjakan uangnya yang “pas-pasan” untuk memenuhi kebutuhan
hidup dasar, melainkan untuk membeli “life style” (Dewi, 2007). Masyarakat di
negara-negara berkembang yang belum memiliki kemampuan menyaring
informasi, menganggap gaya hidup kelas atas adalah gaya hidup yang ada di
televisi. Selain itu, konsumsi berlebihan juga diimplementasikan kepada barang
yang mubadzir. Seperti yang di infokan oleh Suprapto (2009), yaitu 70 persen
dari 19 juta penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah
dipakai untuk konsumsi rokok.
14
Ini artinya BLT yang diberikan kepada masyarakat miskin bukan untuk
mengatasi kemiskinan tetapi lebih membantu industri rokok yang ada di
Indonesia. Bukan hanya sekedar mengkonsumsi rokok saja, dengan adanya BLT
masyarakat cenderung menggantungkan bantuan dari pemerintah. Seperti yang
di sampaikan oleh menteri sosial Chamsyah dalam RRI pro3 yaitu, beliau
menghimbau agar pola pikir dan pola hidup masyarakat yang menetapkan
pencaharian hari ini hanya dikonsumsi untuk hari ini harus dirubah dengan pola
pikir hasil hari ini dapat untuk konsumsi hari berikutnya. Dengan berubahnya pola
fikir tersebut, pola konsumsi dan produksi masyarakat marginal menjadi
seimbang. Seimbang disini maksudnya masih ada selisih uang yang disisakan
untuk kebutuhan lain (misalnya tabungan dan modal usaha) dan di sisakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup esok hari.
2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi yang Terjadi di
Pedesaan
Data dari BPS menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia pada bulan
maret 2009 berjumlah 32,53 juta jiwa, dimana 20,62 juta diantaranya tinggal di
pedesaan dan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Alasan kenapa
sebagian besar masyarakat miskin tinggal dipedesaan, menurut Yustika (2008)
yaitu, wilayah pedesaan karena lokasinya jauh dari pusat kota/pembangunan,
dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja
diluar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar.
Masalah lain yang dijumpai dalam pemasaran hasil pertanian adalah
masih lemahnya posisi tawar petani dalam pembentukan harga (Hermantyo,
2006). Lemahnya posisi tawar ini sering kali diakibatkan oleh tingginya
ketergantungan masyarakat petani terhadap pendapatan dari hasil pertanian
lantaran tidak ada pekerjaaan sampingan yang memberikan pendapatan cukup
15
tinggi selain disektor pertanian, terbatasnya pengelolaan lahan pasca panen,
tidak adanya inisiatif untuk menabung (tidak mau menunda kenikmatan hasil
panen), tidak adanya inisiatif untuk mengolah produk pertanian menjadi produk
bernilai jual tinggi dan terbatasnya akses informasi pasar lantaran kinerja
kelembagaan pertanian kurang dioptimalkan.
Damsar (1995), menyatakan bahwa sebagian besar petani hidup begitu
dekat dengan batas-batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan-
permainan alam serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar maka mereka meletakkan
landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip safety first
(mendahulukan selamat). Maksud dari Damsar tersebut, yaitu sebagian besar
petani selalu berusaha menghindari kegagalan panen yang dirasa akan
menghancurkan kehidupan mereka. Oleh sebab itulah, dalam memilih bibit, cara
tanam, dan cara-cara memperlakukan lahan secara teknis mereka lebih suka
meminimumkan kemungkinan terjadi kegagalan dengan meminimalisasi biaya-
biaya dan berharap memperoleh hasil yang maksimal. Dari tahun ke tahun moral
ekonomi dalam kelompok masyarakat petani sebagai sesuatu yang statis (Scott
dalam Damsar 1995). Sehingga moral petani tersebut sulit untuk lapuk oleh
adanya pengaruh-pengaruh perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial
kemasyarakatan yang berkembang.
Kondisi ini selain disebabkan oleh faktor penduduk desa terpuruk ke
lembah kemiskinan akibat dampak ketidakmerataan pendistribusian hasil-hasil
pembangunan juga oleh sikap mental penduduknya yang mengalami kemiskinan
secara alamiah dan kultural, ini ditunjukkan oleh situasi lingkaran
ketidakberdayaan mereka yang bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan,
pendapatan, kesehatan dan gizi, produktivitas, penguasaan modal, keterampilan
dan teknologi serta hambatan infrastruktur maupun etnis sosial lainnya
(Hadiyanti, 2006). Kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam
16
ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran-ukuran
kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada
kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya sehingga terciptalah budaya kemiskinan (Humaidy, 2002).
2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis yang Terpolakan
Kemiskinan lainnya yang sering menjadi buah bibir di kalangan
masyarakat yaitu adanya fenomena mengemis. Perilaku mengemis setiap
individu sebenarnya dipengaruhi berbagai hal mendasar. Hal dasar yang
mempengaruhi perilaku mengemis tersebut bisa bersifat internal maupun
eksternal. Menurut Megasari (2009), faktor penyebab menjadi pengemis jalanan
dari faktor eksternal adalah tidak mempunyai modal untuk membuka usaha
sendiri, susah mencari pekerjaan, tingginya penghasilan dari mengemis,
keturunan dari orang tua yang menjadi pengemis, pasrah menerima nasib,
pengaruh perkawinan dan lingkungan tempat tinggal yang mayoritas menjadi
pengemis. Sedangkan faktor internal adalah karena penyakit malas.
Pernyataan lainnya yang berkaitan dengan faktor internal dan eksternal
ini dikemukakan oleh Artijo dalam Humaidy 2002, faktor internal meliputi sifat-
sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik
ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural,
ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. Sebagian
pengemis, termotivasi menjadi pengemis karena mencari uang dengan cara yang
mudah. Sehingga, karena mudahnya mencari uang dari mengemis tersebut,
inisiatif untuk berusaha mencukupi kebutuhan sendiri menjadi menurun atau
bahkan menghilang.
Untuk itulah, kegiatan mengemis yang terjadi dapat digambarkan menjadi
sebuah pola tersendiri. Dengan alasan keterbatasan sumber daya alam yang ada
17
dan keterbatasan kemampuan untuk berusaha menjadikan kegiatan mengemis
menjadi kambing hitam. Kegiatan mengemis tersebut, sejatinya merupakan
implikasi sikap mental yang arahnya tertuju pada ketidakmauan untuk berperilaku
lebih produktif. Inilah yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup yang
bertumpu pada pola perilaku mengemis dari waktu ke waktu masih menjadi
sebuah potret buram kemiskinan di Indonesia.
2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan
Tantangan kemiskinan yang dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun
semakin kompleks dan rumit. Sinergitas peran kelembagaan baik pusat maupun
daerah sangatlah dibutuhkan. Otoritas kelembagaan daerah dianggap sangat
urgent dalam menanggulangi sendi-sendi vital kemiskinan yang ada sesuai hak
dan wewenangnya yang tertuang dalam otonomi daerah. Momentum otonomi
daerah mulai dijadikan sebuah panorama baru pembangunan perekonomian
bangsa sejak tahun 2001. Untuk itulah, sebagian besar pelayanan publik yang
dulunya di atur oleh pemerintah pusat kini sepenuhnya menjadi kewenangan
daerah.
2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram Pertumbuhan
Pembangunan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, tutuntutan pemerintah daerah
dalam menanggulangi kemiskinan semakin jelas dan lebih terarah mengingat
pemerintah daerah lebih paham dengan kondisi wilayahnya. Kebijakan otonomi
daerah berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi
tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya
pemberdayaan daerah. Sektor-sektor vital yang menunjang pertumbuhan
18
perekonomian daerah diharapkan dapat diekplorasikan secara mantab dan jelas
dengan adanya otonomi daerah ini. Sehingga cita-cita makro negara mampu
diwujudkan secara maksimal.
Otonomi daerah sendiri menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999
dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi,
dengan diberlakukannya otonomi daerah ini, ada beberapa hal yang perlu
ditinjau dan diawasi secara seksama oleh pusat mengingat kapasitas tiap daerah
berbeda-beda. Dewi (2007) menyatakan, masing-masing daerah mempunyai
kapasitas kelembagaan yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan
diakibatkan oleh, antara lain : tingkat keterlibatan organisasi yang ada di daerah
tersebut, kondisi kemiskinan, dan latar belakang geografis daerah. Keterlibatan
organisasi yang dimaksud yaitu sejauh mana peran serta kelembagaan baik
formal maupun informal didaerah guna meningkatkan percepatan pertumbuhan
ekonomi daerah.
Selain itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah yang notabene
memeperjelas arah pembangunan secara bottom-up, namun realitas yang terjadi
kecenderungan dependensi dari berbagai daerah ke pemerintah pusat semakin
tinggi. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi
tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari
pembangunan juga semakin besar (Kuncoro, tanpa tahun).
Kelembagaan yang menanggulangi kemiskinan semakin terdesak ketika
Indonesia dihadapkan pada situasi krisis ekonomi tahun 1997 – 1998. Data dari
BPS menunjukkan angka kemiskinan dari tahun 1996 – 1999 meningkat tajam.
Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta,
yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.
19
Angka kemiskinan tahun 1999 – 2005 berangsur-angsur mengalami penurunan.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin tahun 2002 sebanyak 38,40
juta sedangkan tahun 2005 menjadi 35,10 juta. Walaupun sejak tahun 1999
hingga 2005 angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, tetapi
pemerataan upaya penanggulangan kemiskinan dari pemerintah daerah belum
menjangkau seluruh wilayah yang dipimpinnya.
Sangat ironis memang, hegemoni pembangunan yang dituangkan dalam
bentuk otonomi ternyata semakin menguras income negara. Pembangunan
daerah untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah (PAD) ternyata akan
berjalan jika ada kucuran dana dari pusat. Padahal, ide utama dari otonomi yaitu
untuk meningkatkan kemandirian daerah. Dimana daerah tidak lagi
menggantungkan masalah keuangan kepada pusat tetapi mampu
mengeksplorasi potensi-potensi yang ada secara maksimal.
Walaupun kondisi geografis tiap daerah memunculkan corak dan
karakteristik yang berbeda, tetapi jelaslah kiranya setiap daerah memiliki
keunggulan komparatif (comparative advantage) tersendiri. Tidak adanya inisiatif
ataupun kesadaran dari pemerintah daerah yang menyebabkan kebijakan untuk
mengembangkan daerah secara maksimal (beraktualisasi diri) hanya sebatas
tulisan yang tidak diimplementasikan. Heryawan (2007) menyatakan,
kemunculan inisiatif daerah tergantung pada beberapa hal, seperti komitmen
kepala daerah dan DPRD, serta dukungan para pemangku kepentingan dalam
membangun tata pemerintahan yang berorientasi pada perbaikan pelayanan
publik dan pemberdayaan kaum miskin.
Kontradiksi dari otonomi daerah ini merupakan sebuah catatan tersendiri
yang harus digaris bawahi. Otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika
inisiatif untuk membangun dari masing-masing lembaga daerah hanya angin-
20
anginan. Tidak adanya inisiatif untuk membangun tersebut justru akan
mendorong daerah ke jurang tirani dan cenderung membebani negara.
Aplikasi kebijakan yang dicanangkan oleh kelembagaan dalam
menanggulangi bentuk-bentuk kemarginalan sebenarnya tidaklah lepas dari
peran serta seorang pemimpin. Pemimpin memegang peranan penting dan vital
untuk menyukseskan proses perubahan dan memberikan hasil sesuai yang
diinginkan, dengan menyelesaikan permasalahan yang ada (Indarto, 2008).
melihat fenomena kemiskinan yang ada saat ini, pemimpin di setiap lini harus
berperan lebih aktif dan memiliki inisiatif utuk merencanakan perubahan,
memainkan peran kepemimpinan secara maksimal dan mengontrol
pengaplikasian kebijakan yang dilaksanakan. Untuk memaksimalkan
pembangunan yang ada di desa-desa negara berkembang, yaitu bila mayoritas
penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi
(pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang
telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya
(Yustika, 2008).
Mobilitas sosial ekonomi sebagaimana yang diungkapkan oleh Yustika
diatas, haruslah diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
yang menganggap masyarakat sebagai subjek dan bukan hanya sebagai objek.
Dengan diberlakukannya sebagai subjek, pola kebijakan bottom-up akan terlihat
secara nyata keefektifannya.
Sebagaimana kasus riil saat ini, kebanyakan negara berkembang
mengandalkan pendekatan growth center dan industri sebagai leading sector
dalam strategi pembangunannya (tanpa memberdayakan masyarakat secara
merata). Karena secara teoritik, daerah pinggiran (periphery) akan berkembang
melalui efek penyebaran (spread effects) dan efek tetesan ke bawah (trickle
down effect). Tetapi pada kenyataannya stategi ini tidak berhasil dalam
21
menyebarkan dan merembeskan efek dari pusat pertumbuhan dan percepatan
transformasi daerah (Fitanto, 2003).
Peran kelembagaan yang memberdayakan masyarakat sangat diperlukan
mengingat fungsi utama dari pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat
yang tertuang dalam tiga bentuk yaitu : alokasi, distribusi dan stabilisasi. Menurut
Suryono (tanpa tahun), klasifikasi dari fungsi pemerintah tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan
dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal
dan tidak dapat dimiliki secara perorangan.
2. Fungsi distribusi memiliki keterkaitan erat dengan perataan kesejahteraan
masyarakat dalam arti proporsional tetap menjadi perhatian dalam rangka
mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal.
3. Fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel
ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara
nasional.
2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran Kelembagaan
Dalam kasus kemiskinan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidaklah
lepas dari adanya ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan keluarga
miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan
seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang
sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin (Hidayanti, 2006).
Masyarakat miskin tidak berdaya menghadapi biasnya perilaku elite desa
karena sering kali terjadi asymmetric information antara lembaga desa dengan
masyarakatnya. Biasnya perilaku elite desa ini dari waktu ke waktu tetap
konsisten dan eksis dikalangan masyarakat desa. Masyarakat tidak berdaya
22
menanggulangi hal tersebut mengingat adanya keterbatasan akses kelembagaan
dan informasi yang tidak sempurna. Keluarga miskin umumnya selalu lemah
dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi,
sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki
potensi lebih tinggi (Hidayanti, 2006).
Untuk itulah, dalam memajukan perekonomian pedesaan, setidaknya
harus ada peran dari kelembagaan setempat dengan melibatkan
(pemberdayaan) masyarakat, yang mana masyarakat bukan dijadikan objek
tetapi harus terlibat melaksanakan pembangunan dalam hal ini sebagai subjek.
Menurut W.J.S. Poerwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
mengartikan peranan adalah, sesuatu yang menjadi bagian atau yang
memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa).
Sedangkan pemberdayaan, secara definitif yaitu suatu proses tindakan
sosial dimana masyarakat mengatur diri mereka sendiri untuk suatu perencanaan
dan penerapan, mendefinisikan kebutuhan dan masalah individu dan kolektif
mereka, membuat rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan memecahkan masalah mereka, melengkapi sumber daya yang
dimiliki bila diperlukan dengan jasa dan material yang diperoleh dari pemerintah
dan agen non pemerintah (LSM) di luar komuniti (Effendi, 2006).
Sebelum mengimplementasikan kebijakan lembaga daerah dalam
memberdayakan masyarakat, setidaknya harus ada identifikasi terlebih dahulu
terhadap permasalahan sosial-ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Identifikasi ini sangat diperlukan mengingat permasalahan sosial-ekonomi di
setiap daerah berbeda-beda. Setelah dilakukan identifikasi dan ditemukan solusi,
selanjutnya diperlukan adanya rangsangan agar masyarakat mau terlibat dalam
pembangunan derah. Rangsangan untuk memulai proses pembangaunan ini,
23
Sayogyo dalam Hidayanti 2006 mengemukakan beberapa syarat yang harus
dipenuhi diantaranya :
1. Restrukturisasi kelembagaan komunitas.
Maksudnya yaitu tatanan dasar yang mengatur komunitas perlu
direorientasi, dari yang berpola feodalistik dan kolonial ke pola pemerintahan
yang profesional dengan mempertimbangkan adanya pola perilaku
masyarakat yang dinamis.
2. Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan
masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada
upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki
nasibnya sendiri.
3. Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan
bottom-up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan
penyelenggaraan program. Strategi pembangunan model top-down
(sentralistik) yang selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti
masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari
sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka
(Elizabeth, 2004). Adanya kebijakan secara top-down, ruang gerak
masyarakat untuk berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi semakin
sempit dan terbatas. Maka dari itu, perubahan pendekatan dari top-down ke
bottom-up diharapkan mampu menstimuli masyarakt untuk lebih kreatif
berekspresi dan lebih bebas dalam beraktualisasi diri.
2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam
Dalam islam, kemiskinan yang terjadi merupakan suatu masalah yang
perlu segera diatasi. Perhatian islam tentang kemiskinan begitu besar, sampai-
sampai dalam al-Qur'an kata miskin dan masakin disebut hingga 25 kali dan
24
tersebar dalam 19 surat, sementara faqir dan fuqoro disebut-sebut hingga 13 kali
yang tersebar di 10 surat (Ibrahim, 2007). Sangat berbeda jika memandang
kemiskinan dari pendekatan kontemporer (pendekatan umum) dan pendekatan
islam. Dalam pendekatan-pendekatan kontemporer, kemiskinan dipahami
sebagai fenomena sosial yang disebabkan oleh tiga kategori sebagai mana yang
di ungkapkan oleh Darusman (tanpa tahun) :
1. Teori yang menekankan pada nilai-nilai. Dimana mereka miskin lebih
desebabkan karena bodoh, tidak punya prestasi, malas dan tidak ulet.
2. Teori yang menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Dalam teori
ini, orang miskin lebih desebabkan oleh kurangnya peluang dan kesempatan
untuk memperbaiki hidup mereka.
3. Teori yang menekankan pada pembagian kekuasaan dalam struktur sosial
dan tatanan masyarakat. Teori ini mengemukakan bahwa penyebab
kemiskinan utamanya lebih mengarah pada ketidakberesan tatanan sosial
kemasyarakatan. Misalnya dalam struktur sosial kemasyarakatan, ada
sekelompok orang penguasa yang dengan seenaknya menyalahgunakan
kekuasaannya sehingga menyebabkan orang-orang disekitarnya menjadi
miskin (tertindas).
2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam
Sebagaimana yang di terapkan dalam nilai-nilai ajaran islam, sebenarnya
untuk rizki setiap individu manusia telah diatur, tinggal manusianya saja yang
harus berusaha untuk mencarinya. Ini tertuang dalam Al-qur’an surat Al-Ra’d
ayat 26 dan surat Al-Jatsiyyah ayat 13 yaitu :
“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendak”i (QS. Al-Ra’d :26).
25
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari padanya” (QS. Al-Jatsiyyah :13).
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa semua riski setiap manusia telah diatur
oleh Allah, sehingga manusia tinggal berusaha untuk mencarinya. Apa lagi dalam
ayat lainnya dikatakan bahwasannya alam semesta ini merupakan sumberdaya
yang siap digunakan untuk kepentingan manusia. Sehingga, manusia jangan
hanya pasrah dan meratapi nasib, tetapi harus berusaha untuk keluar dari jeratan
kesengsaraan.
Islam menolak pandangan bahwa kemiskinan merupakan sebuah
keterpaksaan dan tidak perlu ada upaya perubahan nasib karena pandangan
seperti itu merupakan sandungan bagi upaya perbaikan harta yang rusak,
kecurangan timbangan, penegakan keadilan dan solidaritas kemanusiaan
(Qardhawi dalam Soekarni, 2004). Artinya setiap kaum muslim haruslah
berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya guna terlepas dari jeratan rantai
kemiskinan. Kemiskinan yang terus membelenggu masyarakat tidaklah baik. Jika
ini terus menerus terjadi, akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi
(pendapatan rendah, tingkat konsumsi menurun dan tabungan ataupun investasi
ikut menurun).
Jika kita hubungkan nilai-nilai ajaran islam ini dengan kasus pengemis
yang saat ini marak diberbagai daerah, beberapa literatur mengatakan
bahwasannya mengemis itu diperbolehkan bagi orang yang benar-benar tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilarang bagi orang yang masih
mempunyai kekuatan untuk berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Tarmizi dalam Qardhawi (1993) :
“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna”.
26
Sebebnarnya, perilaku mengemis yang sering kita jumpai baik bentuk dan
karakternya bermacam-macam. Ada yang membawa atau menggendong anak
kecil, ada yang anggota tubuhnya luka-luka, ada pula yang anggota tubuhnya
cacat dan lain sebagainya. Disampaikan oleh Yusuf Qardhawi 1993, bahwa tidak
halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah
orang, padahal dia masih mampu berusaha memenuhi kepentingan dirinya
sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Nas’i yaitu :
“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain”.
2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan
Untuk menyiasati agar kemiskinan yang ada tidak berlangsung secara
terus-menerus, sebenarnya telah islam memberikan beberapa rekomendasi.
Rekomendasi yang sering ditekankan yaitu : bekerja, zakat, hukum waris,
berhemat dan shadaqoh.
1. Bekerja : setiap umat islam diwajibkan untuk bekerja selama masih memiliki
kemampuan. Bekerja merupakan salah satu aktivitas utama dalam
menanggulangi kemiskinan. Sumberdaya alam yang diciptakan di dunia ini
adalah untuk dikelola (diambil manfaatnya) secara bijak oleh manusia. Maka,
tidak etis rasanya jika manusia yang masih memiliki kemampuan secara
sempurna tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan pada nasib.
Dalam surat Al-Taubah ayat 105 dikatakan :
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”.
27
2. Zakat : mengenai adanya zakat, sebenarnya islam tidak menghendaki
adanya suatu kekayaan yang terkumpul (dikuasai) pada salah satu tempat
dalam masyarakat. Islam menginginkan adanya suatu pemerataan riski dan
menghilangkan jurang pemisah antara golongan kaya dengan golongan
marginal. Maka, bagi kaum yang di nilai memiliki kecukupan harta diwajibkan
untuk membelanjakan hartanya di jalan kebaikan salah satunya berupa
zakat. Kata zakat itu menunjukkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan
manusia itu mengandung najis dan kotor, tidak mungkin ia menjadi suci
sebelum dikeluarkan 2,5 % dalam setiap tahunnya (Darusman, tanpa tahun).
Siapa saja yang layak memperoleh zakat, dalam Al-Qur’an surat al-taubah
ayat 60 disebutkan :
"sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fkir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang sedang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan"
3. Hukum waris : yang dikehendaki islam mengenai hukum ini adalah, manusia
tidaklah hanya bekerja mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri dan
setelah itu (setelah meninggal) kekayaan tersebut dibiarkan begitu saja.
Tetapi, haruslah ada sistem pembagian harta kekayaan kepada keturunan
atau kerabat atau bisa juga kepada orang lain (hibah). Dengan adanya
sistem dari hukum waris ini, harapannya roda perekonomian keluarga
ataupun orang yang di beri warisan bisa terus berjalan dengan baik. Atau
setidaknya, harta yang diwariskan bisa dinikmati oleh orang lain.
4. Berhemat : dalam hal ini, islam tidak menghendaki seseorang
membelanjakan hartanya melebihi batas kemampuan financialnya.
Berhemat disini harapannya umat islam bisa menggunakan hartanya untuk
menabung (nantinya digunakan sebagai modal usaha, memenuhi kebutuhan
28
esok hari, untuk berjaga-jaga guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya
mendadak dan lain sebagainya).
5. Shadaqoh : pandangan islam mengenai sedekah ini sebenarnya sangatlah
luhur. Dimana orang yang bersedekah dilatih untuk saling perduli terhadap
orang lain.
2.6 Hubungan antara Budaya dengan Eksistensi Kemiskinan di Berbagai
Daerah
Kemajemukan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke
menunjukkan bahwasannya Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya.
Kemajemukan bukan tercermin dari banyaknya budaya saja tetapi kemajemukan
bangsa semakin kompleks mengingat keanekaragaman etnis yang mendiami
negeri ini sejak dahulu telah ada. Yaitu melayu (pribumi), kemudian ada etnis
minoritas seperti Cina, India dan Arab, serta lebih dari 300 etnis dimana setiap
etnis mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri (Yustika, 2009).
Keragaman budaya dalam pembangunan ekonomi jika ditinjau dari
beberapa sudut pandang akan menemukan dua hal yang berbeda. Pertama,
nilai-nilai budaya tersebut mampu menjadi motor (penggerak) laju perekonomian
pasca otonomi dengan menginternalkan nilai-nilai budaya lokal pada tiap-tiap
individu serta mengaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal (local wishdom).
Kedua, nilai-nilai budaya justru akan menjadi boomerang yang menghancurkan
laju pertumbuhan ekonomi jika identitas utama dari budaya tersebut mengalami
pergeseran (degradasi). Pergeseran yang dimaksud seperti halnya jika tiap-tiap
individu mulai meninggalkan warisan kebudayaan lokal dan tidak lagi mampu
menyaring nilai-nilai kebudayaan baru yang diterimanya. Dan lebih parahnya lagi
jika kebudayaan baru tersebut diadopsi dan diterjemahkan dalam bentuk
29
kebijakan oleh masing-masing pemegang kekuasaan tanpa ada proses
internalisasi nilai kepada masyarakat.
Padahal dalam kenyataannya, keberhasilan suatu kebijakan atau
pertukaran ekonomi sangat ditentukan oleh kepercayaan yang saling
menguntungkan (mutual trust) yang bersumber dari norma-norma, baik eksplisit
maupun implisit (Sen dalam Yustika, 2009).
Nilai-nilai yang diwariskan oleh budaya bangsa ini sangatlah banyak dan
memiliki arti yang luhur. Beberapa contoh keluhuran nilai budaya dapat dilihat
dari pesan-pesan moral kekayaan budaya bangsa. Misalnya saja warisan budaya
masyarakat Sumbawa, Rote dan Kalimantan Tengah. Bagi orang Sumbawa, etos
kerja masyarakat sangat terkait dengan ajaran Marapu atau hal-hal yang
berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan Marapu. Ada kalimat yang
menjelaskan etos kerja orang Sumbawa:
"ka ningu palumungu wangu palumungu ka ningu panggumangu wangu panggumangu" (supaya ada untuk melayani yang dilayani dan supaya ada untuk membakti yang dibakti (Mubyarto dkk, 1996)).
Jadi dengan kata lain, etos kerja orang Sumbawa memfokuskan pada
kegiatan saling melayani dan saling berbakti terhadap satu dengan yang lainnya
Gambaran umum dari maksud kalimat di atas adalah, bahwa segala sesuatu
yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa, semua dipersembahkan bagi
Marapu. Karena pada ajaran Marapu ini, orang Sumbawa dituntut untuk bekerja
keras dan yang terpenting berbakti pada leluhur, maka dari itu orang Sumbawa
tidak sepenuhnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga
untuk Marapu.
Bagi orang Rote etos kerja mereka sangat berkaitan erat terhadap
semangat yang terdapat didalam diri mereka masing-masing. misalkan saja etos
kerja dalam bidang pertanian, untuk menunjukannya dapat dilihat dari sangsi-
30
sangsi “lalaa” yang mana diperuntukan untuk menghukum kemalasan seseorang
(Mubyarto dkk, 1996). Sedangkan untuk masyarakat Kalimantan Tengah, ada
istilah budaya Betang (rumah panjang) yaitu sistem nilai-nilai atau norma
kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan
dalam masyarakat terbuka yang Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan
subkultur dari Pancasila (Mubyarto dkk, 1996). Adapun yang menjadi alasan
mengapa disebut sebagai budaya betang karena dalam satu rumah betang
biasanya diisi oleh beberapa keluarga. Keluarga yang satu dengan yang lain
harus saling mempunyai toleransi yang besar untuk dapat hidup tenang dan
tentram.
Internalisasi nilai-nilai budaya lokal sangatlah penting dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai budaya secara normatif sebenarnya
membentuk pola perilaku masyarakat baik secara disadari maupun tidak
disadari. Hal ini berarti, bahwa perilaku masyarakat Indonesia (yang meliputi
masyarakat daerah di wilayah Indonesia) itu diatur oleh norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan yang terdapat dalam kebudayaan nasional Indonesia
(Rahman dan Yuswadi, 2005).
Terdegradasinya nilai-nilai kearifan bangsa menjadikan masyarakat hidup
dalam keadaan individualis. Berbagai macam upaya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan (kenikmatan) pribadi tanpa memandang hak-hak untuk orang lain.
Seperti salah satu kasus korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak Gayus TH
Tambunan yang dilangsir oleh Republika Online 27 maret 2010. Fakta tersebut
memberikan gambaran bahwa terdegradasnya nilai-nilai kearifan bangsa
memeberikan implikasi secara langsung pada perekonomian.
31
2.7 Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti sosial pernah melakukan penelitian terhadap fenomena
mengemis. Fenomena ini setiap hari masih saja eksis ditengah-tengah dinamika
masyarakat Indonesia. Salah satu peneliti yang mendalami tentang perilaku
pengemis ini yaitu Sonhaji. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 bertempat di
Surakarta. Penelitian yang dilakukan Sonhaji yaitu mencoba mengamati dan
memetakan kegiatan mengemis mingguan (mengemis pada hari kamis dan
jum’at) yang yang bertempat di kelurahan Porwosari, Lawean, Kauman dan
pasar kliwon. Sifat penelitiannya yaitu kualitatif deskriptis dengan menggunakan
data primer dan sekunder. Dimana data primer diperoleh langsung melalui
wawancara dengan pengemis yang diambil dengan metode sampling (jumlah
sampel 19 orang pengemis).
Sedangkan data skunder diperoleh secara tidak langsung baik melalui
catatan dokumen, maupun observasi terhadap objek. Hasil yang didapat,
kegiatan mengemis di Surakarta dari tahun ke tahun tidak ada perubahan secara
signifikan, mulai sebelum dan sesudah krisis jumlah pengemis berkisar antara
100 – 150 orang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pendapatan yang
diperoleh dari mengemis ini berkisar antara Rp 5.000 – Rp 20.000 setiap kali
mengemis. Sebagian pengemis ada yang berdomisili di Surakarta dan sebagian
berasal dari daerah lain. Kegiatan mengemis di Surakarta ini bukan bersifat
terorganisir tetapi murni karena inisiatif sendiri. Para responden yang berhasil
diwawancarai pada umumnya mengatakan bahwa mereka mau melakukan
kegiatan meminta-minta ini karena keadaan, dalam pengertian ini mereka
kebanyakan adalah orang-orang dari golongan miskin dimana mereka rata-rata
tidak memiliki pekerjaan tetap.
Peneliti lainnya yaitu Iqbali, dimana penelitiannya mengambil tempat di
kecamatan Kubu kabupaten Karangasem Bali. Analisis terhadap data penelitian
32
dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terutama untuk
data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung. Analisis
kuantitatif terutama untuk data yang diperoleh dari wawancara dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Penelitian yang dilakukan Iqbali ini mencoba
memetakan tempat tinggal pengemis, daerah operasi, dan meneliti kemunculan
pengemis ditinjau dari sejarahnya.
Ada dua desa dimana pengemis ini berdomisili yaitu di desa Tianyar
Tengah dan Tianyar Barat. Masyarakat Tianyar dulunya bukanlah pengemis.
Mereka terbiasa melakukan sistem barter dengan penduduk daerah lain untuk
memperoleh barang yang mereka inginkan. Sistem barter ini dilakukan karena
terbatasnya sumberdaya alam yang ada. Kondisi alam di desa Tianyar sangat
kering jika musim kemarau dan tidak memungkinkan digunakan sebagai tempat
untuk bercocok tanam. Walaupun ada itupun luasnya terbatas. Setelah gunung
Agung meletus, pola hidup masyarakat mulai berubah. Yang dulunya sistem
barter berjalan dengan baik, saat ini mulai ditinggalkan dan beralih menjadi
pengemis. Perilaku mengemis ini dilakukan lantaran daerah yang dulunya
dijadikan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat sekitar (walaupun luasnya
terbatas), kini menjadi tandus dan berpasir lantaran terkena imbas dari letusan
gunung Agung.
Ditinggalkannya sistem barter ini lantaran adanya faktor pendorong dan
penarik. Faktor pendorongnya yaitu : kondisi sumberdaya alam yang tidak
mendukung untuk bercocok tanam dan adanya kalangan tertentu dari
masyarakat yang mengajak mengmis. Sedangkan faktor penariknya yaitu,
perilaku masyarakat kota yang selalu memberi uang jika ada pengemis
menyambangi rumahnya. Karena adanya faktor pendorong dan penarik tersebut,
hingga kini eksistensi pengemis di desa Tiayar ini tak kunjung berkurang bahkan
terus bertambah. Daerah yang sering dijadikan target operasi dari para pengemis
33
ini diantaranya Denpasar, Badung, Singaraja, Banyuatis dan Munduk. Melihat
keberhasilan dari pengemis ini, masyarakat di daerah sekitar mulai tertular untuk
mengemis. Mereka yang mengemis sebagian bisa membeli sepeda motor,
membeli sapi, membeli babi dan bisa membangun rumah.
Untuk kasus pengemis di Madura, sebenarnya pernah diteliti oleh
beberapa peneliti sosial salah satunya Humaidy (2002). Tipe penelitian yang
digunakan adalah deskriptif analitis dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam (indepth interview) kepada para tokoh masyarakat
setempat, pejabat pemerintah mulai dari level aparat desa sampai kabupaten,
para pemerhati sosial khususnya yang pernah melakukan penelitian sejenis, dan
pengemis sebagai objek. Penelitian tersebut membahas kontradiksi pengemis di
desa Peragaan Daya kabupaten Sumenep. Beberapa hasil penelitiannya berupa
adanya paradigma budaya mengemis yang disangkutkan dengan hukum-hukum
yang berlaku. Hasilnya yaitu, pengemis disana beranggapan bahwa mengemis
tidak berlawanan dengan ajaran Islam dan hukum-hukum lainnya. Karena
masyarakat Peragaan beranggapan bahwa mengemis merupakan kegiatan yang
mulia karena mereka terkendala sulitnya mencari kerja (Humaidy, 2002).
Aktivitas ini oleh Humaidy diklasifikasin menjadi dua jenis yaitu dilakukan
secara tradisional (menggendong barang, bayi, berpakaian compang-camping
dan ekspresi melas) dan modern (terorganisir, menggunakan amplop dan stiker)
umumnya mereka bekerja sama dengan beberapa lembaga tertentu (pondok
pesantren, masjid dan madrasah). Kondisi wilayah di desa Peragaan ini tandus
dan berbatu sehingga masyarakat cukup kesulitan untuk memanfaatkannya
untuk bercocok tanam. Dulunya masyarakat Peragaan biasa mencari kayu dan
mengumpulkan batu-batu dari gunung untuk dijual. Karena pendapatan yang
mereka peroleh dari menjual kayu dan batu kurang mencukupi, sehingga mereka
mulai menjalani aktivitas sebagai pengemis. Bagi pengemis yang sudah berumur
34
50 tahun ke atas, orientasi hidupnya diarahkan untuk pemenuhan biaya hidup
dasar, sedangkan bagi kaum muda, orientasinya tertuju ke barang-barang seperti
sepeda motor dan alat rumah tangga lainnya.
Masyarakat Peragaan memegang filsafat hidup yang di tularkan secara
turun-temurun oleh leluhur mereka yaitu sebuah pernyataan “kalau ingin kaya
harus miskin dahulu”. Adanya filsafah inilah yang menyebabkan keberadaan
pengemis terus eksis ditengah-tengan masyarakat Sumeneb. Dari wawancara
yang dilakukan oleh Humaidy, didapat bahwa pekerjaan mengemis dirasa sangat
menjanjikan mengingat mudahnya mencari uang ditengah-tengah sulitnya
lapangan pekerjaan. Aktivitas mengemis bagi masyarakat Peragaan bukanlah
mereupakan pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan pokok
(profesi harian). Hasil yang di dapat selain untuk membeli kebutuhan harian,
sebagian disimpan terlebih dahulu dan nantinya digunakan untuk membeli sapi,
membeli sepeda motor, membangun rumah dan membeli perhiasan.
Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, sebagian besar mempelajari
pengemis dari segi historis, daerah operasi, daerah asal dan kondisi wilayah
dimana pengemis tersebut tinggal. Sangat jarang referensi (penelitian terdahulu)
yang membahas mengenai pengemis dari segi mental lokal. Kesehatan mental
hendaknya dipahami sebagai isu yang bersifat multidisipliner, sehingga ilmu
psikologi (psikiatri) tidak menjadi penguasa tunggal dalam mengkaji soal ini
(Ranimpi, 2009).
Memperkaya pengkajian mengenai hubungan mental lokal dengan
kemiskinan sangatlah membantu peneliti-peneliti lain yang mengambil topik
sejenis. Pengaruh mental lokal masyarakat sangat besar terhadap keputusan
berproduksi atau bekerja. Atau kata lainnya mental lokal memiliki hubungan
resiprokal dengan perilaku seseorang. Dengan meningkatnya masyarakat yang
35
bekerja, fokus utama dari tiga final goal makroekonomi (peningkatan
pendapatan, pemerataan, stabilitas) akan tercapai.
2.8 Kerangka Pemikiran
Perubahan sosial tiap individu sering kali dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan dari luar maupun dari dalam. Hal inilah yang sangat erat kaitannya
dengan produktivitas ataupun proses penerimaan pengaruh-pengaruh hal baru
dari eksternal individu. Konsep mental lokal biasanya sangat melekat (mengakar
kuat) dalam pembentukan karakter individu dalam suatu komuitas atau komunal.
Mental lokal dalam ranah pengkajian biasanya tidaklah lepas dari pengaruh-
pengaruh kelokalan yang sifatnya selalu dinamis. Pengaruh tersebut bisa dari
kondisi kelembagaan maupun budaya lokal.
Seperti yang dikemukakan oleh Kunio dalam Yustika (2009), dalam
lintasan sejarah terbukti bahwa antara pendapatan, budaya dan kelembagaan
(pranata) telah melakukan interaksi yang saling menguntungkan. Dimana faktor
pendorong individu untuk melakukan kinerja ekonomi adalah karena adanya
faktor budaya dan kelembagaan. Maksudnya budaya dan kelembagaan disini
berpengaruh terhadap individu dalam berproduksi ataupun bekerja melalui
pembentukan pola fikir. Keputusan individu untuk bekerja atau ber produksi
sangat menentukan kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi tersebut dalam kurun
waktu tertentu akan memberikan efek pembentukan polafikir individu tetapi sekali
lagi ini tidak terjadi sekaligus (memerlukan proses). Adapun bagan interaksi
pendapatan, budaya dan kelembagaan yang dikemukakan oleh Kunio adalah
sebagai berikut :
36
Gambar 01 : Interaksi Antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan
Budaya memiliki hubungan resiprokal dengan individu karena budaya sendiri
merupakan hasil karya dari manusia. Budaya adalah ekspresi yang
menggambarkan eksistensi manusia di dunia (Mubyarto, 1996).
Menurut Ismani 2001, sikap mental selalu dikaitkan dengan nilai-nilai
yang dijadikan sebagai landasan dalam etos kerja. Nilai-nilai sendiri berasal dari
berbagai sumber antara lain : agama, filsafat dan kebudayaan yang dianut oleh
suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Berdasar pada penjelasan beberapa
teori tersebut, sebenarnya antara kelembagaan dan nilai-nilai lokal
mempengaruhi pola fikir (mind set) individu. Pola fikir tersebut berkorelasi
dengan pengambilan keputusan individu untuk bekerja atau berproduksi. Dalam
jangka panjang, keseimbangan antara produksi dan konsumsi sangat
menentukan pola perilaku masyarakat. Tak heran, jika mengalami kegagalan
dalam berproduksi (konsumsi lebih dominan), keputusan mengemis akan
menjadi sebuah keniscayaan untuk dijalani.
Dari penjelasan beberapa teori mengenai hubungan nilai-nilai lokal,
mental individu maupun perilaku individu dapat digambarkan dalam bentuk
bagan (kerangka pemikiran) sebagai berikut :
Kelembagaan
Keputusan Produksi
Kinerja Ekonomi
Individu Budaya
37
Gambar 02 : Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan Mental Lokal yang Mengarah Pada Penentuan Pola Konsumsi dan Produksi.
Keputusan Konsumsi Lebih Dominan dari
pada Produksi
Keputusan
Mengemis
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Karena objek yang diteliti tidak sebatas pada pemahaman, pencarian dan
pendeskripsian data semata, maka diperlukan sebuah pendekatan analisis
secara mendalam guna diperoleh hasil yang lebih kompleks. Untuk itulah, maka
jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kulitatif dimana
penelitian deskriptif ini mencoba mendeskripsikan suatu fenomena yang
berlangsung ketika penelitian dilakukan. Dalam artian penelitian deskriptif
tersebut mencoba memaparkan kekinian fenomena-fenomena yang diteliti
(fenomena yang terjadi pada saat ini).
Penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami
masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic),
dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah (Tambunan,
2010). Maksud dari Tambunan tersebut yaitu, penelitian kualitatif diharapakan
mampu memperoleh data secara lebih dalam dan lebih kompleks karena data
yang di cari sebagian diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.
Pendekatan kualitatif digunakan bila peneliti ingin memahami sudut
pandang partisipan secara lebih mendalam, dinamis dan menggali berbagai
macam faktor sekaligus (Cresswell, 1994 : dalam Tambunan, 2010 ). Dinamika
sosial yang terjadi dimasyarakat haruslah diteliti secara mendalam agar berbagai
faktor yang mempengaruhi fokus penelitian dapat diungkap secara kompleks dan
lebih mendalam.
39
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan berupa penelitian studi kasus dimana penelitian
ini lebih spesifik mencoba untuk mempelajari dan mengamati fenomena yang
ada di suatu daerah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun tempat atau lokasi
penelitiannya yaitu dilakukan di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan
kabupaten Pamekasan pulau Madura. Dari pemilihan tempat tersebut,
harapannya mampu menjawab permasalahan penelitian.
3.3 Penentuan Informan
Untuk mengetahui keakuratan dan keaktualan informasi, maka kehadiran
informan sangat diperlukan. Informan-informan tersebut oleh peneliti digunakan
sebagai basis akurasi dan aktualisasi data yang berkaitan dengan isu-isu sosial
yang diteliti. Selain itu, dengan hadirnya informan, fokus utama penelitian
mengenai hubungan mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta
Tinggi tidak lagi menjadi sebuah isu yang mengambang, tetapi lebih mengarah
pada isu-su sosial yang bisa dibuktikan keberadaannya.
Informasi yang di peroleh nantinya di analisis dan di bandingkan antara
data dari informan satu dengan informan lainnya untuk melihat cocok atau
tidaknya persepsi antara informan yang satu dengan informan yang lain
berkaitan dengan isu yang diteliti. Untuk itulah, beberapa informan yang sengaja
ditunjuk diantaranya : pertama, masyarakat lokal yang terlibat dalam lingkup
penelitian (pengemis). Dimana masyarakat ini secara langsung terlibat dalam
satu kesatuan sistem interaksi sosial suatu komunitas. Adapun maksud dan
tujuan peneliti memilih masyarakat pengemis adalah untuk mengetahui sejauh
mana paradigma yang berkembang sehingga berpengaruh pada perilaku
mengemis mereka.
40
Selanjutnya informan non-pengemis sengaja dipilih guna menjabarkan
bagaimana interaksi atau hubungan sosial pengemis dikalangan masyarakat
umum (pengemis dengan non-pengemis) dan sejauh mana pengaruh interaksi
hubungan sosial tersebut dalam pembentukan paradigma (pola fikir) bagi
pengemis maupun non-pengemis. Kedua, kepala desa yang secara langsung
terlibat dan berpengaruh terhadap mobilitas sosial-ekonomi kemasyarakatan di
desa Branta Tinggi. Dari kepala desa ini harapannya peneliti mampu
memperoleh informasi mengenai bagaimana peran kelembagaan dalam
mempengaruhi mobilitas sosial-ekonomi (utamanya yang berkaitan dengan isu-
isu perilaku mengemis masyarakatnya) di desa terkait melalui kebijakan-
kebijakan yang diterapkan ataupun yang masih direncanakan.
Ketiga, kyai dan tokoh masyarakat setempat yang secara struktur
kemasyarakatan informan tersebut memiliki pengaruh terhadap tindakan sosial
masyarakat. Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini
mempunyai "otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia
dianggap sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Chufron, 2009). Kyai
dan tokoh masyarakat tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran
secara umum mengenai hubungan antara masyarakat dengan sosok pemimpin
informal dan sejauh mana pengaruh keduanya (kyai dan tokoh masyarakat)
terhadap tindakan (perilaku) masyarkat desa Branta Tinggi.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Dalam setiap penelitian, peneliti tidaklah lepas dari data-data yang
menunjang ke kebakuan informasi yang dipaparkan. Data adalah fakta empirik
yang dikumpulkan oleh peneliti untuk kepentingan memecahkan masalah atau
menjawab pertanyaan penelitian (Dharma, 2008). Data dalam penelitian dipilah-
41
pilah berdasarkan jenis dan sumbernya. Adapun jenis data yang dimaksud
meliputi : data subyek, data fisik dan data dokumenter.
a. Data Subyek : Data subyek adalah jenis data penelitian yang berupa opini,
sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok
orang yang menjadi subyek penelitian (responden). Data subjek ini sengaja
dipilih karena peneliti ingin menggali informasi yang ada dimasyarakat
utamanya yang berkaitan dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi.
b. Data Fisik : Data fisik merupakan data penelitian yang berupa objek atau
benda-benda fisik, antara lain dalam bentuk: bangunan atau bagian dari
bangunan, pakaian, buku, dan senjata. Dengan memilih data fisik ini,
harapannya peneliti mampu menggambarkan secara umum kondisi wilayah
dari objek yang diteliti.
c. Data Dokumenter : Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang
antara lain berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo,
atau dalam bentuk laporan program. Data dokumenter tersebut
harapannya mampu memberi tambahan informasi kepada peneliti dengan
dasar adanya data-data terdahulu yang tersimpan dalam bentuk laporan,
jurnal, dan lain sebagainya.
Sedangkan berdasarkan sumbernya, data dalam penelitian
diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu : data primer dan data skunder.
a. Data Primer (primary data) : yaitu data yang diperoleh secara langsung
oleh peneliti dari sumber datanya. Untuk mendapatkan datanya, peneliti
harus mengumpulkan secara langsung dengan beberapa teknik
diantaranya : observasi, wawancara, diskusi, dan penyebaran kuesioner.
b. Data Sekunder (scondary data) : yaitu data yang diperoleh peneliti dari
sumber-sumber yang telah ada (peliti tangan ke dua) atau bisa juga disebut
42
data diperoleh secara tidak langsung yang menunjang keabsahan
informasi penelitian.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, ada beberapa teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Adapun teknik yang digunakan pengumpulan data
berdasarkan Afriyani, 2009 yaitu : observasi, dokumentasi dan wawancara.
a. Obsevasi : observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik
perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu
mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan
pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap
pengukuran. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi
adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, kejadian atau peristiwa,
waktu, dan perasaan.
b. Dokumentasi : Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh
dari bahan-bahan yang berbentuk dokumen. Sebagian besar data yang
tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata,
laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Implikasi utama dari data ini tak
terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam
c. Wawancara : Wawancara merupakan suatu kegiatan tanya jawab antara
pewawancara dan yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan. Atau bisa juga teknik wawancara ini dipakai sebagai alat re-
cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah
diperoleh sebelumnya.
43
3.6 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dilakukan analisis dan diolah sesuai dengan
sifat dan kategori karakteristik data, yaitu pendeskripsian. Pendeskripsian disini
meliputi upaya-upaya untuk mempelajari dan menjelaskan mengenai hubungan
mental lokal dengan perilaku mengemis. Sebenarnya analisis data merupakan
upaya mencari data secara sistematis yang didasarkan atas catatan wawancara,
observasi, dokumentasi dan lain sebagainya untuk meningkatkan pemahaman
penelitian atas obyek dan subyek yang diteliti.
Menurut Maryaeni (2005), analisis merupakan kegiatan :
(1) pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan
pemahaman yang ingin diperoleh; (2) pengorganisasian data dalam formasi,
kategori, ataupun unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti; (3)
interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikansi butir-butir ataupun satuan
data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh; (4) penilaian atas
butir ataupun satuan data sehingga membuahkan kesimpulan: baik atau
buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.
Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terdapat empat tahapan yang
digunakan untuk menganalisis data yaitu :
1. Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil dari wawancara, observasi,
Dokumentasi dan lain sebagainya. Data-data yang terkumpul ini masih berupa
data mentah dan perlu dilakukan pemilahan untuk menemukan isu-isu utama
penelitian yang lebih fokus.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu data yang dihasilkan melalui proses reduksi data
akan langsung disajikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
44
memberikan kemungkinan adanya penerikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
3. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat diambil (Miles dan Huberman, 1992). Maksud utama dari reduksi ini yaitu
untuk memeperoleh data yang lebih tajam dan lebih fokus terhadap penelitian
sehingga dapat mempermudah dalam penarikan kesimpulan.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus-menerus selama peneliti
melakukan penelitian. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai objek yang diteliti. Sehingga, mempermudah dalam
mengetahui isu-isu utama dari penelitian.
45
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi Ekonomi
yang Belum Optimal
Dilihat dari bentang alamnya, kondisi tanah di Madura sebagian besar
berupa tanah grumusol. Menurut Karjadi (2000), umumnya tanah grumusol yaitu
berupa batu-batuan endapan yang berkapur biasanya berada di daerah bukit
maupun gunung, sifat tanah seperti ini biasanya basah (becek berlumpur) jika
musim hujan dan sangat kering jika musim kemarau. Bukan hanya itu saja,
sebagian besar wilayah Madura beriklim C (iklim hujan sedang), D (iklim agak
kering), dan E (iklim kering) dengan 8 – 10 bulan kering (Schmidt dan Ferguson
dalam Swarso, 2007). Karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung
untuk dikembangkannya tanaman yang mengandalkan kesuburan tanah,
sehingga sebagian besar masyarakat Madura terpaksa menanam tanaman
seperti ketela pohon, jagung, dan tembakau.
Tak ubahnya daerah Madura lainnya, desa Branta Tinggi juga mengalami
kondisi yang serupa. Kontur tanahnya yang kurang subur dan berpapasan
langsung dengan laut, menjadikan ketela pohon, jagung dan tembakau sebagai
tanamam favorit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Junaidy :
“Sebenyak oreng-oreng kadintoh nggi namen pohong, jegung, bekoh....ye...kadeng-kadeng e..tanemin padih mon mosem ojen...ye...gunak ruah se bisah e tanem...mon e tanemin selain ye tak odik....” (kebanyakan orang-orang disini ya menanam ketela pohon, jagung, tembakau, ya...kadang-kadang juga menanam padi kalau musim penghujan...yah...mungkin hanya itu yang bisa ditanam...kalau tanaman lainnya kadang tidak hidup)
Beberapa sumber pustaka sering kali memaparkan bahwasannya
tembakau Madura memiliki cita rasa yang unik dan berkualitas tinggi. Tembakau
Madura mempunyai mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok
46
sebagai bahan baku utama (Istiana, 2003). Untuk itulah, tembakau-tembakau
yang ada di Madura banyak dibudidayakan diberbagai tempat di Madura mulai
pegunungan hingga pesisir. Namun, kualitas tembakau tiap-tiap daerah berbeda-
beda sehingga muculah ketimpangan harga komoditas.
Kualitas tembakau yang dihasilkan desa Branta Tinggi tidaklah sebaik
tembakau didaerah Madura lainnya. Karena lokasinya berpapasan dengan laut
tersebut yang menjadi corak tersendiri sehingga kualitas tembakau di desa
Branta Tinggi ini kurang bagus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala
desa terkait :
”Dulu pernah dilakukan penelitian oleh orang-orang Universitas Madura mengenai tembakau yang ada di daerah sini, katanya kualitas tembakau yang berada di pinggir pantai mutunya memang tidak sebagus tembakau yang ada di daerah pegunungan maupun daerah yang jauh dari pantai lainnya”.
Tanah-tanah yang ada sebagian dibiarkan kering lantaran jika ditanami
tembakau hasil yang diperoleh tidak maksimal. Daun tembakau yang tipis
menjadikan bobot panen kurang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para
petani. Bukan hanya itu, cita rasa dari tembakau yang dihasilkanpun kurang
diminati oleh konsumen. Sebagaimana yang paparkan oleh H. Hamin :
“Bekoh kadintoh bek jubek, amargeh semak ambi tasek...dedih ye...aselah gunak skonik...deunah tepes apa pole rasanah korang nyaman...mon oreng-oreng kadintoh juelah paleng larang ye....lemabeles ebuh...tapeh jarang dek...sebenyak pemborong melenah sepolo sampe dubeles ebuh sekilonah...tak engak e Sumeneb...se ejuel sampe pa’lekor ebuh sekilonah.” (Tembakau disini agak jelek, lantaran dekat dengan pantai..jadi ya...hasilnya cuma sedikit...daunnya tipis-tipis apa lagi rasanya kurang enak...kalau orang-orang disini jualnya paling mahal ya...Rp. 15.000...tapi jarang dek...kebanyakan pemborong membelinya Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per kilogramnya...tidak seperti di Sumeneb...yang bisa dihargai hingga Rp 24.000 per kilogramnya)
47
Walaupun karakteristik wilayahnya sebagian besar memiliki corak yang
kering dan kurang subur, tetapi potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh
desa Branta Tinggi ini sangatlah melimpah. Wilayahnya yang dekat dengan
pantai dan jalur transportasi utama antar wilayah di Madura merupakan salah
satu aset berharga yang perlu di tinjau lebih lanjut. Wilayah Branta Tinggi bagian
selatan, memiliki pantai dengan pasir putih yang luas dengan keanekaragaman
hayati yang terkandung didalamnya seperti kepiting, tiram, ikan, tanaman bakau,
karang yang kondisinya masih utuh dan aneka flora dan fauna lainnya yang
dijadikan sebagai salah satu faktor penting penggerak perekonomian desa.
Keindahan pantai hingga saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian untuk
dikembangkan lebih lanjut (misalnya sebagai objek wisata atau untuk tambak
ikan).
Gambar 03 : Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009.
48
Bentang alam di bagian tengah desa Branta Tinggi sebagian besar
berupa tegalan dan kebetulan dilalui oleh jalur transportasi utama pulau Madura.
Hal inilah yang menjadikan wilayah ini semakin potensial untuk dikembangkan
lebih jauh. Pengembangan potensi yang ada berkaitan dengan adanya faktor
pendukung berupa sarana transportasi yang memadai yaitu berupa
pengembangan industri olahan. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan
tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit
industri pengolahan (Nursyadin dkk, 2007).
Industri pengolahan sangatlah potensial dikembangkan lantaran sumber
daya (alam dan manusia) di daerah Branta Tinggi sangatlah melimpah
jumlahnya. Sumber daya alam potensial dari hasil laut dan pertanian hingga saat
ini dalam pemasarannya hanya sebatas pada keprimeran produk semata. Selain
terdapat sarana transportasi yang memadai, tata letak dari desa Branta Tinggi ini
sangatlah strategis. Ini dikarenakan desa Branta Tinggi berdampingan langsung
dengan pusat perekonomian yang ada di kabupaten Pamekasan yaitu pasar
besar kabupaten. Jarak dari desa ke pusat perekonomian + 7 Km. Untuk itulah,
Gambar 04 : Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009.
49
jika pengembangan industri olahan benar-benar dilaksanakan, maka hasil-hasil
produksi yang ada sangatlah mudah dipasarkan.
Tidak berhenti pada dukungan dari adanya sarana transportasi saja,
bagian desa Branta Tinggi sebelah utara, untuk saat ini telah memiliki sumur bor.
Dimana sumur bor yang ada digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih
beberapa desa di Pamekasan. Selain itu, sumur bor yang ada oleh sebagian
masyarakat digunakan untuk mengairi ladang-ladang tembakau. Aset berharga
seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber devisa desa.
Pemaparan tersebut diatas merupakan beberapa potensi yang hingga saat ini
belum terekplorasi secara maksimal. Bahkkan, walaupun desa ini memiliki akses
air bersih yang sangat lancar, namun melimpahnya air bersih yang dimiliki
sebagian besar dikuasai oleh PDAM Pamekasan. Sehingga, setiap hari
masyarakat harus mengeluarkan + Rp 2.000 untuk memenuhi bak mandi yang
dimilikinya.
Lebih parahnya lagi, air yang diperoleh dari PDAM tersebut tidak bisa
digunakan untuk kebutuhan konsumsi lantaran rasanya agak asin. Dan itupun
sebagian masyarakat Branta Tinggi ada yang tidak memperoleh bagian jatah air
dari sumur bor lantaran sebagian air yang ada disalurkan ke beberapa desa lain.
Untuk kebutuhan air konsumsi, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan
+ Rp 4.000 demi membeli air bersih yang digunakan sebagai air konsumsi
selama dua hari. Dengan uang Rp 4.000 air yang diperoleh sebanyak 10 jirigen
berukuran 5 liter per jirigennya. Pembelian air konsumsi ini biasanya dilakukan di
salah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk oleh PDAM sebagai agen
penyuplai air konsumsi. Kondisi ini memperparah kehidupan masyarakat desa
lantaran biaya-biaya kebutuhan harian cukup tinggi.
50
Tawaran pasokan air bersih dengan harga cukup terjangkau hingga saat
ini masih belum ada. Teknologi tepat guna yang dicanangkan sebagai salah satu
alternatif untuk mengurangi biaya konsumsi air bersih hanya sebatas wacana
yang belum terealisasiikan. Sebagaimana dipaparkan oleh Faishal :
“Saben pernah bedhe sosialisasi deri pemerintah, se ca’en ngebangunah detilator tenaga surya....anoh...alat se ndediagih aing acen dedih aing taber se ngandalagih tenaga matahari...tapeh tak taoh poleh...sampe setiah adek kaberah poleh....” (Dulu pernah ada sosialisasi dari pemerintah, yang katanya mau membangun destilator tenaga surya...itu...alat yang mengubah air asin menjadi air tawar dengan bantuan sinar matahari...tapi tak tahu lagi...sampai sekarang tidak ada kabarnya)
Memang, jika diilihat dari sketsa riil kondisi wilayah, sebenarnya pengembangan
destilator tenaga surya yang dimaksud benar-benar membantu masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan air konsumsi.
Melihat melimpahnya pasokan air dari laut yang bisa dijadikan air tawar
menggunakan teknologi tepat guna tersebut, sebenarnya kebijakan ini mampu
Gambar 05 : Ketergantungan Air Bersih untuk Minum
Sumber : Survey Lapang, 2009.
51
mengurangi beban masyarakat jika benar-benar direalisasikan. Namun, itu
semua masih berupa wacana dari pemerintah setempat dan tidak tahu kapan
realisasinya.
4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Berkaitan dengan
Perilaku Mengemis
Tak ubahnya didaerah Madura lainnya, hubungan kekerabatan yang
terjadi di desa Branta Tinggi ini sangatlah erat. Hampir seluruh masyarakat di
Madura dari kampung yang berbeda saling mengenal satu sama lainnya
(Citrayati dkk, 2008).
Ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Madura bahwa kalau
mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut
saudara (Humaidy, 2002).
Bahasa Madura penduduk desa Branta Tinggi sangatlah berbeda dengan
penduduk di beberapa desa seperti Bangkalan dan Sampang. Bahasa yang
digunakan di desa ini sangat halus dan santun walaupun percakapan dilakukan
pada teman sebaya. Penggunaan bahasa Madura yang halus hanya dilakukan
oleh beberapa desa di dua kabupaten yaitu Pamekasan dan Sumeneb.
Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Sura’i :
“Bahasanah oreng-oreng neng Pamekasan nggi padhe ambi’ oreng-oreng neng Sumeneb. Kadintoh nganggui bahasa Medureh alos...tak padhe ambi’ oreng-oreng Sampang ambi’ Bankalan se bahasanan beg kasar”. (Bahasa orang-orang pamekasan identik dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang Sumeneb. Disini menggunakan bahasa Madura yang halus...tidak sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Sampang atau Bangkalan...bahasa mereka agak kasar)
Tata bahasa yang halus oleh sebagian besar masyarakat diikuti dengan
tingkah laku yang halus dan santun. Ada beberapa hal menarik ketika bertamu di
rumah penduduk di desa ini. Setiap tamu yang datang, selalu diwajibkan untuk
makan dirumah orang yang didatangi. Walaupun makanan yang disajikan
52
alakadarnya, tetapi untuk mencicipinya hukumnya wajib bagi seorang tamu.
Secara luas dijelaskan oleh bapak Junaidy :
“Ben tamoh se deteng kadintoh mesteh e beri’in ngakan...hukumah wajib nekah...dedih tamoh se detang nggi wajib ngakan....e beri’in ngakan amargeh oreng kadintoh mesteh ngormateh tamoh...mangkanah mon tak e kakan nase’en ambik tamonah...nggi engak tak ngormaten neng tuan rumah..” (setiap tamu yang datang disini selalu diberi makan...hukumnya wajib...jadi tamu yang datang pun juga wajib untuk memakannya...maksud pemberian makan disini yaitu untuk menghormati tamu...jadi..apabila makanan yang disajikan tidak di makan, ya...seperti tidak menghormati tuan rumah lah...)
Untuk menghargai tuan rumah, setiap tamu wajib hukumnya menikmati
makanan yang disajikan. Ini dikarenakan setiap tamu yang dihormati hukumnya
wajib untuk menghargai yang menghormati tuan rumah (yang menghormati).
Selain itu, sebagaimana orang Madura lainnya, mereka selalu menonjolkan
sebuah perilaku untuk menjaga harga diri. Harga diri dan penggunaan kekuatan
fisik mempunyai relasi yang sangat erat dalam masyarakat Madura, karena
penampilan fisik diyakini sebagai penjelmaan dari harga diri (Wiyata, 2002).
Memang sedikit aneh melihat fenomena ini, tetapi, itulah budaya. Ibarat pepatah
“lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Dimana budaya sosial
kemasyarakatan setiap daerah tidaklah selalu sama.
Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di desa ini beraneka ragam
bentuknya. Mulai selamatan setelah panen tembakau, pengajian bulanan, hingga
pengajian bersama setiap hari kamis (malam jum’at). Setiap panen tembakau,
acara selamatan selalu diadakan. Acara ini merupakan salah satu wujud syukur
atas riski yang diperoleh. Biasanya, acara selamatan pasca panen diadakan
disalah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk dan disepakati oleh
masyarakat.
Acara lainnya, yaitu berupa pengajian bulanan yang diadakan untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat terhadap kepercayaan yang
dianut. Sebenarnya, acara ini bertujuan untuk meningkatkat tali silaturahmi antar
53
warga. Penempatan dan penyelenggaraan acara biasanya ditentukan dengan
sistem random. Bagi warga yang memperoleh giliran, biasanya dibantu
pendanaan untuk kebutuhan konsumsi oleh warga lain yang aktif sebagai
peserta pengajian tersebut. Pengajian ini diisi oleh ustadz dan kyai yang ada di
desa bersangkutan maupun dari daerah lain diluar Branta Tinggi.
Isi dari kajian setiap acara bermacam-macam tergantung tema yang
ditentukan oleh masyarakat. Namun, tema yang sering dibahas yaitu mengenai
akidah dan akhlaq. Selain itu, terkadang pengajiannya diisi istighosah yang
bertujuan untuk kirim do’a kepada para leluhur yang telah tiada.
Untuk kajian yang terakhir yaitu berupa kajian mingguan yang umumnya
diadaikan setiap hari kamis. Kajian ini umumnya diisi dengan pembacaan surat
yaasin dan tahlil bersama. Kegiatannya pun tidak hanya terpaku pada suatu
tempat tetapi bergantian di beberapa rumah penduduk yang telah ditentukan
sebelumnya. Kajian mingguan umumnya tidak diisi dengan ceramah-ceramah
kegamaan lantaran sebatas untuk kirim do’a kepada leluhur. Peserta dari kajian
Gambar 06 : Rutinitas Kegiatan Keagamaan
Sumber : Survey Lapang, 2009.
54
mingguan pun juga lumayan banyak. Umumnya mereka berasal dari ke tiga
dusun yang ada di desa ini (Pelanggaran, Tengah dan Gedongan).
Karena begitu banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkan
interaksi sosial, tak jarang interaksi tersebut menimbulkan efek resiprokal kepada
warga yang lain. Pengaruh yang sangat nampak yaitu pada penularan perilaku
mengemis yang merupakan tradisi turun-temurun di desa ini. Pasalnya,
masyarakat Branta Tinggi yang menjalankan tradisi untuk mengemis terbatas
untuk masyarakat di dusun Pelanggaran semata. Namun, karena adanya
hubungan sosial yang begitu kuat, perilaku ini berpengaruh dan menular pada
masyarakat di dusun lain bahkan masyarakat di luar desa Branta Tinggi ikut
melakukan kegiatan ini.
Dilihat dari sistem pemerintahan desa, desa Branta Tinggi ini memiliki tiga
dusun utama yaitu, dusun Pelanggaran yang diidentikkan dengan kampung
(dusun) pengemis, dusun Tengah dan dusun Gedongan yang diidentikkan
dengan kampung (dusun) nelayan. Walaupun dengan corak dan latarbelakang
pekerjaan yang berbeda, namun ada sebuah kesamaan dalam pola konsumsi.
Pola konsumsi yang tinggi seringkali tanpa diimbangi dengan pola produksi yang
memadai. Inilah yang menjadi salah satu corak yang tak terpisahkan lagi bagi
masyarakat di desa Branta Tinggi utamanya pasca panen (khususnya bagi
petani) atau hasil tangkapan ikan sedang melimpah.
Pola konsumsi tinggi ini dijelaskan secara tegas oleh salah satu
perangkat desa yaitu pak Kholis:
“Biasanya setelah panen atau tangkapan ikan sedang melimpah, masyarakat desa ini selalu memenuhi rumahnya dengan barang-barang yang agak mewah. Misalnya membeli TV yang bagus, membeli sepeda motor walaupun sebenarnya sudah punya, dan membeli barang-barang lain agar kelihatan seperti seorang jutawan. Namun pada saat tertentu barang-barang tersebut dijual kembali. Ini biasanya terjadi saat musim tanam dimana untuk memperoleh modal yang cukup, barang-barang rumah tangga terpaksa dijual”.
55
Pola konsumsi tinggi diwilayah ini merupakan aplikasi dari mental lokal
(shared value) yang dalam jangka panjang seringkali mengarah pada perilaku
mengemis lantaran tidak dibutuhkan perjuangan ekstra untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Jaringan sosial memainkan peran yang penting dalam alokasi pekerjaan
dalam pasar tenaga kerja (Damsar, 1995). Hubungan sosial kemasyarakatan
antara pengemis dan masyarakat bukan pengemis membawa dampak negatif.
Munculnya pengemis-pengemis baru dari luar dusun Pelanggaran merupakan
salah satu bukti betapa pengaruh itu benar adanya. Diungkapkan oleh bapak
Sugianto selaku camat setempat :
“Bahwasannya munculnya pengemis-pengemis baru dari luar daerah dusun Pelanggaran lebih disebabkan oleh pandangan masyarakat yang melihat pengemis begitu mudahnya memperoleh kepingan rupiah tanpa mengeluarkan modal yang besar”.
Dengan jumlah penduduk 2.210 jiwa, di desa ini diperkirakan ada sekitar
250 jiwa atau 70 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengemis (data
kelurahan, 2006 diolah). Kegiatan mengemis bukan hanya dilakukan oleh orang
dewasa semata, namun anak-anak juga terlibat dalam kegiatan ini. Jumlah 250
jiwa yang dipaparkan dalam data kelurahan tersebut hanya perkiraan saja
lantaran ada sebagian masyarakat yang menjadi pengemis kambuhan seperti
yang diungkapkan oleh kepala desa terkait (bapak Mahrus) :
“Sensus dinas sosial untuk mengetahui jumlah pengemis di desa ini tidaklah begitu akurat. So’alnya ada sebagian masyarakat yang pada saat-saat tertentu mengemis, kadang tiba-tiba berhenti....dan terkadang mengemis lagi....untuk pengemis kambuhan, biasanya mereka mengemis pada saat-saat tertentu....seperti pas musim hujan dan bulan Ramadhan...”
Pada musim hujan, petani tembakau yang ada di desa ini tidak lagi bekerja.
Tanaman tembakau akan rusak jika ditanam pada musim hujan. Untuk itulah,
guna mencukupi kebutuhan harian, mereka beralih profesi menjadi pengemis
56
untuk sementara waktu. Pengemis kambuhan inilah yang sebenarnya sulit
teridentifikasi.
Sektor-sektor pertanian dan perikanan yang menjadi mata pencaharian
masyarakat Branta Tinggi memang selalu menimbulkan beberapa risiko. Disektor
pertanian misalnya, biaya-biaya yang cukup tinggi untuk investasi dengan risiko
gagal panen telah menyempitkan dan mengubah mind set masyarakat. Sektor
pertanian yang menjadi prioritas utaman dalam memenuhi kebutuhan hidup
petani mulai terdesak oleh tingginya himpitan ekonomi. Tak jarang, pada saat-
saat tertentu petani menjalni profesi ganda (sebagai petani dan pengemis).
Sektor perikanan juga mengalami nasib yang sama tak ubahnya apa yang
terjadi di sektor pertanian. Hasil tangkapan yang tidak menentu dengan risiko
dilaut yang dirasa cukup tinggi mengubah pola fikir dan pola kerja dari
masyarakat. Sehingga, mental yang tidak kuat menanggung risiko kerja itulah
yang menjadikan kegiatan mengemis sengaja dijalani. Nelayan-nelayan yang
ada pun dapat dikategorikan sebagai pengemis musiman lantaran ketika musim
hujan mereka berhenti melaut. Untuk itulah tak segan-segan kegiatan mengemis
dilakukan.
4.3 Topeng Budaya dan tradisi ; Mengemis Merupakan Kebutuhan yang
Harus Dilakukan
Berdasar informasi dari masyarakat setempat, yang melatarbelakangi
masyarakat Branta Tinggi untuk melakukan kegiatan mengemis yaitu adanya
paradigma bahwasannya masyarakat Branta Tinggi (khususnya dusun
Pelanggaran) akan tertimpa musibah jika tidak melakukan kegiatan mengemis.
Paradigma ini selalu di pegang teguh bahkan sampai ditularkan dari generasi ke
generasi melaui pranata sosial kekeluargaan maupun kemasyarakatan. Asal
mula pertama kali munculnya paradigma ini diperkirakan pada tahun 1920an
57
akhir. Sebagaimana yang paparkan oleh salah satu sesepuh desa setempat
(bapak Razak) :
“Mon deri oreng toah cong....oreng-orang kadintoh ngemis kera-kerah mulai taon 1920an...saben bedhe oreng nyamanah Ki Moko...se asapdhe ka oreng Brenta Tenggih nekah adediah pengemis amargeh oreng-oreng kadintoh padhe brikeng (cerek)....makamah Ki Moko setiah bedhe neng dusun Planggeren.....mangkanah sampe’ setiah oreng-oreng gik bedhe se ngemis...” (informasi dari leluhur...orang-orang disini diperkirakan mulai mengemis sejak tahun 1920an...dulu ada orang namanya Ki Moko...yang mengutuk masyarakat Branta Tinggi menjadi pengemis lantaran orang-orang disini kebnyakan pelit...makam Ki Moko sekarang ada di dusun Pelanggaran...mangkanya hingga saat ini orang-orang masih ada yang mengemis...)
Karena begitu percayanya terhadap paradigma tersebut, hingga saat ini
sebagian dari mereka tidak mau meninggalkan profesinya sebagai pengemis.
Bahkan, begitu kuatnya paradigma ini, hampir setiap hari masyarakat desa yang
akan melaut selalu menyempatkan diri memasang sesaji pada sebuah batu
besar dipinggir pantai yang dipercaya sebagi tempat bertapanya Ki Moko. Sesaji
yang sering dipasang pada batu besar ini umumnya berupa bunga-bungaan,
rokok, telur dan sabut kelapa yang dibakar dicampur kemenyan. Perilaku ini telah
membudaya dan menjadi tradisi tersendiri dari waktu ke waktu dan dari generasi
ke gnerasi.
Jika diteliti lebih jauh, sebenarnya masyarakat dusun Pelanggaran ini
kesehariannya bekerja sebagai petani tembakau dan peternak sapi. Hasil dari
penen tembakau pun tak tanggung-tanggung, nilainya bisa mencapai puluhan
juta. Ini dipaparkan secara gamblang oleh bapak Musyafak yang kesehariannya
bekerja sebagai petani sekaligus pengemis :
“Maseah argenah bekoh kadintoh bek jube’ dek...tapeh mon la panen aselah bisah poloan juta...tergantung benyak-sekonik’en tananah...ye...biasanah paleng sekonik lema beles jutaan lah...” (Walaupun harga tembakau disini agak jelek dek...tetapi kalau sudah panen hasilnya bisa puluhan juta...tergantung banyak sedikitnya tanah...ya..biasanya paling sedikit lima belas jutaan lah..)
58
Aplikasi dari mental lokal (pola konsumsi yang lebih dominan dibanding
produksi) memang memainkan peran yang sangat menonjol di daerah ini. Pola
konsumsi yang tidak sesuai dengan pendapatan sehari-hari menjadikan
masyarakat sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Ketidakseimbangan pola
konsumsi dan produksi yang mengarah pada perilaku mengemis seringkali
mengakibatkan budaya sebagai salah satu kambing hitam (topeng) dibalik
perbuatan ini. Data riil dilapangan menyebutkan bahwasannya perilaku
mengemis yang disebabkan oleh budaya hanya berlaku di salah satu dusun saja.
Namun, perilaku mengemis justru dijalani oleh beberapa dusun lainnya bahkan
sampai menular di desa lain di sekitar Branta Tinggi.
Informasi yang lumayan mengejutkan mengenai kegiatan mengemis ini
yaitu adanya perilaku mengemis yang terorganisir. Perilaku mengemis yang
terorganisir dilakukan oleh masyarakat Branta Tinggi yang beraktivitas di daerah
lain khususnya di Surabaya. Mereka di Surabaya umumnya menetap selama
satu minggu. Untuk tempat tinggal, umumnya telah disediakan oleh teman-teman
se-profesi yang telah lama beraktivitas disana. Sekali lagi bukan hanya warga
dusun Pelanggaran yang beraktivitas disana. Orang-orang dari ketiga dusun
yang ada di Branta Tinggi juga tergabung didalamnya. Bahkan tak jarang orang
dari desa sekitar juga ikut beraktivitas disana.
Adanya perilaku terorganisir ini secara gamblang di paparkan oleh bapak
Rifa’i yang kesehariannya juga berprofesi sebagai pengemis :
“Ngemis ka Serbejeh nekah nggi bedhe se ngorosen....Benyak tretan guleh se bedhe kasak....mangkanah oreng-oreng kadintoh tak posang nyeper ka’emah beih neng Serbejeh. Se ngemis kasak mon deri dinak sebenyak oreng deri Planggeren...tepeh ye...bedhe oreng-oreng deri Larangan Tokol ambik Brenta Peseser...aselah ngemis nggi lumayan...mon sepeh bisa nyampe Rp 50.000 nekah pon berseh...e potong ngakan ambi’ rokok..”
(untuk mengemis ke Surabaya sebenarnya sudah ada yang mengurus...banyak saudara saya yang ada disana... sehingga orang-orang disini tidak kebingungan mencari tempat tinggal di Surabaya. Kebanyakan orang sini yang mengemis disana dari dusun Pelanggaran....tetapi juga ada orang-orang dari desa Larangan Tokol dan desa Branta Pesisir...pendapatan
59
dari mengemis juga lumayan...jika sepi hasilnya bisa mencapai Rp 50.000 ini sudah bersih...maksudnya sudah dipotong untuk makan dan membeli rokok)
Dari keterangan tersebut, perilaku mengemis sebenarnya bukanlah sebuah
keniscayaan karena tuntutan budaya semata. Tetapi ini merupakan sebuah
kegiatan yang mengarah pada profesi sehari-hari lantaran dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan secara profesional.
Mental lokal memang sangat berpengaruh terhadap sebuah perubahan
dalam pembangunan. Mental lokal yang terus dipertahankan oleh masyarakat
ditengah-tengah dinamika modernisasi, membawa kerumitan tersendiri bagi
pemerintah setempat menanggulangi besaran jumlah pengemis. Aplikasi mental
lokal ini selalu dipegang teguh lantaran budaya dan tradisi dijadikan topeng yang
menutupi biasnya perilaku masyarakat Branta Tinggi ini. Jika ditelaah secara
nalar, hal tersebut terasa bersimpangan dengan apa yang telah dipelajari oleh
kaum intelektual selama melakukan studi.
Tetapi, itulah realita, dimana kerumitan fenomena kemasyarakatan yang
ada tidaklah bisa terpecahkan hanya dengan metode kuantitatif belaka. Hal ini
perlu dipelajari secara mendalam dan menyeluruh untuk menemukan titik terang
dalam merumuskan sebuah kebijakan yang tepat dan terarah. Sebagaimana
yang diungkapkan Kunio (1983), sebuah perubahan akan tercapai jika dalam
kebijakan yang dicanangkan masih mempertahankan nilai-nilai ketradisionalan.
4.4 Sektor Pertanian dan Perikanan ; Kontradiksi antara Potensi dan
Eksplorasi
Potensi pertanian dan perikanan yang ada di desa Branta Tinggi
sangatlah melimpah. Namun, dibalik melimpahnya potensi yang ada untuk saat
ini menimbulkan beberapa masalah tersendiri lantaran tidak mampu dikelola
secara maksimal. Permasalahan utama yang ada disektor pertanian dan
60
perikanan sangat kompleks. Padahal kedua sektor ini memainkan peranan yang
sangat penting dalam mewujudkan pertumbuhan perekonomian desa. Beberapa
permasalahan yang timbul di sektor pertanian dan perikanan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut
4.4.1 Sektor Pertanian
Disektor ini, perjuangan untuk memperoleh hasil yang maksimal benar-
benar terasa. Dimulai dari pembelian bibit yang tidak murah, perawatan yang
membutuhkan tenaga kerja, pengairan ladang yang membutuhkan biaya harian,
dan biaya-biaya lain yang tentunya tidak murah.
Untuk bibit tembakau sendiri, tiap paket (isi 1.000 bibit) oleh pedagang
biasanya dibandrol Rp. 50.000 hingga Rp 60.000. Biaya pekerja biasanya
berkisar Rp 17.000 hingga 24.000 perharinya. Bahkan, angka kematian bibit pun
menjadi bahan pertimbangan untuk selalu menyiapkan modal ekstra agar hasil
panen yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan. Diungkapkan oleh
bapak Rahman salah satu petani tembakau yang ada di desa ini :
“sebenyak padangang kadintoh juel bibit bekoh paketan. Per paket esenah sebuh bekoh... biasanah per paket e juel Rp 50.000 sampe Rp 60.000. Mon biaya perawatan nggi benyak, molaeh oreng se megebei beih per arenah Rp 17.000, laen poleh pas penen biasana e bejer sampe Rp 24.000 per arenah”. (kebanyakan penjual bibit disini menjual bibit tembakau secara paketan. Per paket isinya seribu tembakau...tiap paketnya dijual Rp 50.000 hingga Rp 60.000. kalau biaya perawatan ya banyak, mulai pekerjanya saja digaji Rp 17.000, lain lagi ketika panen biasanya digaji hingga Rp 24.000 per harinya.)
Mengenai detail biaya secara keseluruhan dalam pertanian tembakau,
sebagian besar petani tidak memberitahukan (sengaja ditutup-tutupi). Namun,
demi menjaga kelangsungan pola tanam tembakau, biasanya petani ada ikatan
kontrak secara informal dengan tengkulak. Tengkulak disini umumnya berperan
ganda dimana selain berprofesi sebagai tengkulak disisi lain juga berperan
sebagai rentenir. Pemaparan mengenai profesi ganda ini sebagian besar tidak
61
diungkapkan oleh petani. Namun yang memaparkan secara detail mengenai
profesi ini salah satunya adalah perangkat desa terkait yaitu pak Kholis.
“Permodalan untuk usaha pertanian tembakau biasanya diperoleh dari rentenir. Rentenir ini juga bekerja sebagai tengkulak ketika tembakau memasuki masa-masa panen. Mangkanya, bisa atau tidak petani harus menjual hasil penennya ke tengkulak tersebut”.
Cukup kompleks permasalahan di sektor pertanian ini jika diamati secara
mendalam. Terjadinya asymmetric information antara petani dan tengkulak
menjadikan bergaining position petani untuk menentukan harga tembakau sangat
lemah. Tengkulak memainkan peran sebagai monopsoni lantaran petani tidak
bisa melakukan negosiasi harga dengan mereka. Apa lagi, satu-satunya yang
mengetahui harga dari industri pengolahan tembakau adalah tengkulak dan
petani mengetahui harga sebatas di tengkulak semata. Pola pemasaran
tembakau ini dapat diketahui secara jelas dalam gambar berikut :
Ketidakjelasan rantai distribusi pemasaran dalam menentukan harga dari
petani ke industri tersebut, dirasa menjadikan tengkulak semakin berjaya. Tak
heran, risiko dibidang pertanian tembakau tersebut sebagian besar ditanggung
oleh petani. Realita inilah yang menimbulkan kesengsaraan bagi petani. Karena
menanggung risiko yang cukup tinggi tersebut dalam jangka panjang
berpengaruh pada kondisi perekonomian masyarakat (petani) dan menyeret
mereka kepada pola perilaku mengemis.
PETANI TENGKULAK INDUSTRI
Terjadi Asymmetric Information
Harga Sebatas dari Tengkulak Penentu Harga adalah Industri
Gambar 07 : Pola Pemasaran Tembakau
62
Potensi luar biasa yang ada disektor pertanian hingga saat ini masih
belum termanfaatkan dengan baik. Contoh riilnya yaitu tidak adanya
pemanfaatan residu pertanian tambakau. Padahal, residu dari tanaman
tembakau (batang tembakau) menurut beberapa peneliti dapat digunakan
sebagai pestisida dan kompos alami. Belum banyak yang mengetahui bahwa
batang tembakau dapat dimanfaatkan sebagai pestisida dan bahan kompos
(Deptan, 2010). Kompos dan pestisida alami dari residu tembakau jika
dimanfaatkan dengan baik bisa meningkatkan produksi pertanian. Apalagi untuk
pertanian di daerah ini sebagian besar didominasi oleh tembakau, ketela pohon
dan jagung.
Residu dari tembakau bisa digunakan untuk memupuk ketela pohon,
jagung maupun tembakau sendiri. Meningkatnya produksi pertanian sangat
ditunjang dengan kemudahan akses transportasi yang memadai yaitu jalur utama
pulau Madura. Selain itu wilayah Branta Tinggi sangat dekat dengan pusat
pemerintahan kabupaten Pamekasan. Jaraknya kurang lebih sekitar 5 km atau
sekitar 10 hingga 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.
Kemudahan akses transportasi dan lokasi tersebut memang belum memperoleh
respon yang cukup meyakinkan untuk meningkatkan produksi pertanian.
Memang, untuk meningkatkan produksi pertanian membutuhkan sebuah inisiatif
tersendiri baik dari petani maupun lembaga pertanian terkait.
Kelembagaan yang ada disektor pertanian pun dirasa tidak mendukung
dalam perningkatan produksi. Tak ubahnya kelembagaan formal yang ada di
desa, kelembagaan disektor pertanianpun sebenarnya sangatlah dibutuhkan
peranannya. Kelembagaan yang dimaksud yaitu untuk meningkatkan produksi
pertanian melalui penyuluhan, dan pengadaan bibit yang berkualitas serta
bantuan lainnya, mempermudah pemasaran produk dan meningkatkan
63
bergaining position petani. Kelembagaan pertanian sangatlah beragam
bentuknya mulai dari yang formal hingga yang informal.
Kelembagaan baik formal maupun informal seringkali memiliki korelasi
yang tak terpisahkan dengan petani. Pemerintah formal berperan dalam
memberikan bantuan berupa input pertanian (benih, pupuk, modal maupun alat-
alat pertanian). Selain itu dengan adanya lembaga formal ini petani mampu
memperoleh pengetahuan baru khususnya berkaitan dengan produktivitas
pertanian yang biasa disampaikan dalam bentuk penyuluhan dan pendampingan
pemasaran produk.
Secara umum, kelembagaan sektor pertanian dapat digambarkan dalam
bagan berikut :
Bagan tersebut menggambarkan bagaimana mekanisme pemberian bantuan dari
dinas pertanian, penyuluhan hingga pemasaran produk hasil pertanian.
Sedangkan mekanisme pemberian bantuan pertanian biasanya dapat
digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini :
Dinas Pertanian
Gapoktan
PPK dan Mantri Tani
BPP
Pemborong / Tengkulak
BKP3 / BKPPP
Kelompok Tani
Petani
PPL
Industri
Toko
Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.
Gambar 08 : Kelembagaan Sektor Pertanian
64
Secara umum Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) mengajukan
proposal kepada Pusat Pertanian Kecamatan (PPK) berdasar kebutuhan tiap-tiap
anggota kelompok yang telah diwakili oleh Gapoktan. Proposal yang ada
dikecamatan ini nantinya didiskusikan dengan mantri tani selanjutnya diproses
untuk diajukan ke dinas pertanian. Dari dinas pertanian bantuan di berikan
kepada Gapoktan melalui Mantri tani yang selanjutnya mantri tani dengan PPK
menyalurkan bantuan tersebut langsung ke Gapoktan.
Jalur bantuan dari pemerintah kepada petani dalam bentuk penyuluhan
pertanian dapat digambarkan dalam bentuk diagram berikut :
Dinas Pertanian
Gapoktan
PPK dan Mantri Tani
Kelompok Tani
Petani
Dinas Pertanian BKPPP / BKP3
BPP
Gapoktan
PPL
Kelompok Petani
Petani
Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.
Gambar 09 : Mekanisme Pemberian Bantuan Pertanian
Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Malang, 2010.
Gambar 10 : Jalur Pemberian Penyuluhan Pertanian
65
Bantuan dari dinas pertanian melalui penyuluhan tersebut harapannya mampu
meningkatkan produktivitas pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan dan
Pelaksana Penyuluhan (BKP3). BKP3 merumuskan teknis penyuluhan yang
intensif untuk disampaikan kepetani dengan mengerahkan Badan Penelitian
Pertanian (BPP). BPP umumnya membawahi 2 hingga 4 kecamatan, kemudian
teknis penyuluhan secara langsung disampaikan oleh Petugas Penyuluh
Lapangan (PPL) langsung ke Gapoktan maupun petani dimana PPL merupakan
anak cabang dari BPP.
Pemaparan kelembagaan hingga pemberian bantuan dari dinas pertanian
diatas hanyalah sebuah gambaran umum semata. Hingga saat ini kelembagaan
sektor pertanian untuk desa Branta Tinggi dari dinas terkait tidak jelas
juntrungannya. Kelembagaan yang ada hanyalah dikuasai oleh kelembagaan
informal yaitu kelompok tengkulak dan rentenir (penyedia modal andalan
masyarakat). Sendi-sendi vital perekonomian desa yang salah satunya
digerakkan oleh sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami stagnasi.
Stagnasi pembagunan dari sektor pertanian ini lantaran masyarakat desa
terjerat kontrak informal dari tengkulak yang memaksa mereka terus-menerus
terjerembab dalam kemiskinan. Selain itu, dominasi mental lokal sangat
menentukan bagaimana himpitan ekonomi terus-menerus menyengsarakan
lantara pola konsumsi dan produksi tidak seimbang (imbalance).
Ketidakmaksimalan kinerja lembaga formal (dinas pertanian terkait) dan informal
(Poktan maupun Gapoktan) secara tegas dipaparkan oleh bapak Rahman :
“Mon pengarahan deri dinas pertanian e kadintoh nggi sobung deri saben...se mbegi pengarahan gunak oreng-oreng deri Universitas Madureh...nekah beih nggi jarang tak mesteh se taoh sekaleh bedhe....napa poleh...kelompok tani...nggi sobung kadintoh nekah...”
(kalau pengerahan dari dinas pertanian untuk desa ini dari dulu memang tidak ada..kebanyakan yang ngasih pengarahan dari orang-orang Universitas Madura...itupun jarang dan belum tentu setahun sekali ada... apa lagi kelompok tani...ya..tidak ada disini ini...)
66
Kurang maksimalnya kinerja dari lembaga formal dan informal
(khususnya Poktan dan Gapoktan) pertanian inilah yang seharusnya menjadi
koreksi bagi pemerintah setempat. Selain itu, peran stake holder dalam
memberikan permodalan dan perluasan jaringan pemasaran merupakan salah
satu modal penting lainnya yang memperoleh perhatian khusus. Potensi sumber
daya dibidang pertanian yang melimpah patutlah kiranya diimbangi dengan
pengelolaan secara optimal. Pengoptimalan pengelolaan sumber daya dibidang
pertanian tersebut, dalam jangka panjang diharapkan mampu mengubah pola
fikir masyarakat. Sehingga, perilaku mengemis di desa ini bisa ditanggulangi
secara tepat dan terarah.
4.4.2 Sektor Perikanan
Tak beda jauh dengan apa yang dialami oleh sektor pertanian, sektor
perikanan juga mengalami nasib yang serupa. Potensi sektor perikanan yang
sangat melimpah tidaklah diimbangi dengan inisiatif untuk lebih produktif. Hutan
bakau yang tumbuh lebat dibibir-bibir pantai dengan keanekaragaman fauna
yang berdomisili didalamnya hingga saat ini masih belum terekplorasi dengan
baik.
Ada beberapa hal menarik jika menilik aktivitas di sektor perikanan di
Branta Tinggi. Nelayan yang ada di desa ini umumnya hanya mengambil jenis
ikan tertentu saja. Sehingga, ikan-ikan jenis lain yang ikut tersangkut di jaring
dibagikan secara cuma-cuma kepada penduduk sekitar.
67
Ikan yang diberikan secara cuma-cuma tersebut sebenarnya sebuah
potensi yang bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mengangkat perekonomian
masyarakat. Ikan-ikan tersebut ibarat sebuah potensi yang terbuang lantaran
ketidaktahuan masyarakat untuk mengelolanya secara maksimal.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh salah satu warga untuk mengembangkan
peluang yang ada. Ikan-ikan yang terbuang sia-sia dimanfaatkan sebagai sebuah
usaha baru yaitu pengeringan ikan. Sebut saja pak Junaidy, salah satu warga
desa Branta Tinggi yang mengembangkan usaha ini. Penjualan ikan keringpun
bervariasi. Mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per kilo gramnya. Ikan-ikan
kering tersebut nantinya dikirim ke Surabaya setiap seminggu sekali. Sebagai
mana yang dituturkan oleh pak Junaidy :
“jukok nekah argenah mancem-macem dek. Mon se bek celeng argenah sepolo ebu sekilonah. Tapeh mon se potean (jukok lejileh) argenah larang...ejuel telopoloh ebuh sekilonah. Nekah juelah neng Serbejeh. Biasanah areh senin gule ngeremah”. (ikan-ikan ini harganya bermacam-macam dek...kalau yang agak hitam harganya sepuluh ribuan. Tetapi, ikan yang warnanya putih (Ikan lejileh)
harganya mahal...harga jualnya hingga tiga puluh ribua. Penjualannya biasanya ke Surabaya. Saya menjualnya setiap hari senin)
Gambar 11 : Sebuah Potensi Sektor Perikanan yang Terbuang
Sumber : Survey Lapang, 2009.
68
Hingga saat ini, usaha pengeringan ikan di desa Branta Tinggi hanya di
geluti oleh beberapa orang saja. Hasil pendataan dilapangan menunjukkan
bahwasannya yang berprofesi sebagi pembuat ikan kering ini hanyalah 4 orang.
Adapun beberapa orang tersebut diantaranya : pak Junaidy, ibu Anis, ibu
Qudsiyah dan ibu Maryam. Usaha pengeringan ikan yang dilakukan pun
umumnya sekala rumah tangga. Namun yang lumayan maju adalah usaha yang
di geluti pak Junaidy. Pasalnya usaha yang digelutinya melibatkan + 5 orang
pekerja dengan upah Rp 20.000 per harinya. untuk ketiga pengusaha lain hanya
melibatkan anggota keluarga dan ikan yang telah dikeringkan dijual pada pak
Junaidy. Ini secara jelas dipaparkan oleh ibu Qudsiyah :
”jukok nekah setiap 10 kelo nah mon la e kerengagih dedi 5 keloan. Se mengebei kadinto nggi sobung gunak anak-en guleh kedibik. Degik mon la benyak se kereng langsung e konik’in ambik pak Junaidy. Bisa...gule ngejuelah ka sak... mon argenah nggi macem-macem, bedhe se..Rp 10.000, Rp 15.000 paleng larang Rp 25.000..jarang kadintoh se juel jokok kereng...sebenyak e kakan dhibi’ bi’ oreng-oreng” (ikan-ikan ini setiap 10 kg menghasilkan 5 kg ikan kering. Yang bekerja disini ya...tidak ada hanya anak saya sendiri. Nanti kalau sudah banyak yang kering langsung di ambil oleh pak Junaidy. Biasanya saya menjualnya kesana. Harganyapun bervariasi ada yang Rp 10.000, Rp 15.000 paling mahal harganya Rp 25.000. Jarang sekali orang-orang disini yang menggeluti usaha pengeringan ikan. Kebanyakan ikan yang mereka dapat untuk konsumsi pribadi)
69
Variasi (diversifikasi) pengolahan ikan di desa ini sangat kurang dan
bahkan hanya sebatas pengeringan ikan saja. Pengeringan ikan pun masih
dikeola secara tradisional yang hanya menggantungkan pada cuaca (panas sinar
matahari). Diferensiasi (diversifikasi) produk perikanan sebenarnya sangat
menguntungkan jika benar-benar bisa diwujudkan. Misalnya saja diolah menjadi
krupuk ikan. Dimana kerupuk merupakan salah satu makanan pendamping
makanan pokok yang hampir selalu ada.
Harga rata-rata kerupuk ikan kualitas medium di tingkat produsen pada
tahun 2004 di Sidoarjo mencapai Rp30.000,- sampai Rp32.500,- per bal isi 5 kg
kerupuk siap goreng atau Rp6.000,- sampai Rp6.500,- tiap kg (Direktorat Kredit,
BPR dan UMKM, 2007).
Pada tahun 2004 harga kerupuk yang kualitas mediun saja menunjukkan
harga yang lumayan tinggi. Untuk saat ini, dimana harga kebutuhan pokok telah
mengalami lonjakan harga, maka jelas sudah harga kerupuk ikan juga
mengalami korelasi yang positif degan peningkatan kebutuhan pokok tersebut.
Gambar 12 : Kegiatan Pengeringan Ikan
Sumber : Survey Lapang, 2009.
70
Tingginya biaya untuk modal melaut mengakibatkan nelayan di Branta
Tinggi mengalami nasib yang memprihatinkan. Bagi pemilik kapal misalnya,
biaya operasional dan gaji ABK (anak buah kapal) hingga mencapai Rp 300.000
per harinya dan itu berlaku untuk satu kapal. Keterangan mengenai biaya-biaya
tersebut dipaparkan oleh seorang pengusaha pembuatan dan reparasi kapal
yaitu pak Munasib :
“juregen kapal kadintoh sebenyak nganggui dubeles oreng per kapalah gebei nyareh jukok neng tasek. Ye...biasanah ngabik Rp 300.000 per arenah mon gebei kapal setong...nekah tergantung jeu pa sema’en nyarenah ke tengah tasek. Mon oreng-orengah...ambi’ juregen kapal e bejer Rp 29.000 per arenah...tapeh ye...mon aselah benyak e tambein biasanah. Argenah kapalah nggi macem-macem mon se kenik argenah 5 sampe sepolo juta, se sedengan argenah sampe telopolo juta...mon se rajeh sampe seket jutaan. Nekah gik tak e tambein peralatan laen, engek jering lampu ambik alat-alat laenah...mon e tambeih ye...kera-kerah sampe satos juataan gebei kapal rajenah” (juragan kapal disini kebanyakan menggunakan jasa 12 orang pekerja untuk setiap kapalnya yang akan mencari ikan ke laut. Ya..biasanya biaya per kapalnya mencapai Rp 300.000 setiap harinya...ini tergantung jauh apa dekatnya jarak yang ditempuh untuk ketengah laut. Gaji dari juragan kapal untuk ABK biasanya sebesar Rp 29.000 per hari. Tapi jika hasil tangkapan meningkat ya...ditambahi biasanya....harga kapalnyapun bervariasi mulai 5 jutaan hingga 10 jutaan untuk kapal kecil, kapal sedang harganya sampai 30an juta, dan kapal besar harganya 50an juta...ini masih belum ditambah peralatan lain seperti jaring, lampu dan alat alat lainnya...kalu ditambahi ya...sampai seratus jutaan untuk kapal besarnya)
Kapal yang digunakan bervariasi mulai dari kapal kecil (eder), kapal
sedang (pakesan rajeh), dan kapal besar (seret). Untuk kapal kecil biasanya
beranggotakan 2 hingga 5 orang. Kapal sedang beranggotakan antara 10 hingga
15 orang dan kapal besar (kapal seret) beranggotakan hingga 30an orang. Ikan-
ikan hasil tangkapan bervariasi mulai dari ikan Tongkol, ikan lemuru, dan ikan-
ikan lainnya. Harga ikan di tempat pelelangan bervariasi. Biasanya untuk tongkol
di bandrol Rp 25.000 hingga Rp 35.000 per kilogramnya. Untuk ikan lemuru
harganya agak mahal yaitu harga terendah berkisar Rp 30.000 per kilogramnya.
Jika ikan tangkapan dirasa mulai berkurang, para nelayan tak ragu-ragu
memacu kapalnya hingga mendekati pulau Jawa. Jauhnya jarak tempuh inilah
yang membawa kaum nelayan untuk menyiapkan dana lebih agar hasil
71
tangkapan sesui apa yang diharapkan. Aktivitas melaut ini umumnya dilakukan
pada waktu musim kemarau (mosem nemor). Jika musim hujan, para nelayan
menghentikan aktivitas melautnya. Moment musim hujan ini dimanfaatkan untuk
memperbaiki kapal, memperbaiki jaring, dan bahkan ada juga yang beraktivitas
menjadi pengemis lantaran untuk menyambung biaya hidup sehari-hari.
Potensi laut yang luar biasa seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai lahan
bisnis yang lumayan menjanjikan. Misalnya saja dimanfaatkan untuk jaring apung
dan lain sebagainya. Selain itu, potensi hutan bakau yang cukup besar bisa
dimanfaatkan sebagai objek wisata, wanamina (perpaduan pemanfaatan hutan
mangrove sebagai pencegah abrasi dengan budidaya perikanan), dan lain
sebagainya. Namun, hutan bakau yang melimpahruah jumlahnya, hingga saat ini
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduk Branta Tinggi. Hewan-
hewan endemik hutan bakau seperti kepiting bakau yang bernilai ekonomi tinggi
hanya digunakan sebagai makanan pokok sehari-hari saja.
Kepiting bakau yang ada di desa ini jumlahnya sangat banyak dan
tersebar disepanjang pantai. Harganyapun sebenarnya cukup mahal jika dijual
yaitu kisaran Rp 50.000 hingga Rp 75.000. Sebagaimana dipaparkan oleh Didik :
“kadeng mon bedhe se meleh ye larang argenah kepeteng nekah...per kilonah bisah Rp 75.000. kadeng ye mon ngode...Rp 50.000 per kilonah. Tepeh oreng-oreng dinak males juelah...biasanah nyareh gunak e kakan kedhibik..padahal mon la nyareh bisa ole se tembeh...kira-kerah ye...5 keloan lah mon etembeng...” (terkadang jika ada yang membeli ya..mahal harga kepiting bakau ini...per kilogramnya bisa mencapai Rp 75.000. Tetapi jika harganya turun ya kira-kira perkilogramnya hanya Rp 50.000. tetapi orang-orang disini cenderung malang untuk menjualnya...biasanya hasil tangkapan hanya untuk konsumsi pribadi..padahal hasil tangkapan bisa satu timba...jika ditimbang kira-kira beratnya mencapai 5 kg lah...)
Kepiting bakau yang begitu mahalnya masih dijadikan sebagai makanan sehari-
hari. Kepiting-kepiting yang melimpah ruah jumlahnya seharusnya bisa dijadikan
salah satu mata pencaharian baru yang mampu mengubah pola hidup
masyarakat pesisir.
72
Selain itu, dari pohon bakaunya sendiri sebenarnya mampu dijadikan
salah satu peluang usaha. Dimana biji yang dihasilkan oleh pohon bakau bisa
dimanfaatkan sebagai hiasan rumah. Sebagaimana yang diungkapkan Wahyu
(2009), biji bakau yang panjang seperti pedang, buah ini hanya bisa
dimanfaatkan kulitnya untuk hiasan rumah atau sovenir-sovenir. Untuk penjualan
souvenirpun dirasa sangat mudah lantaran dearah branta tinggi berdekatan
dengan salah satu objek wisata api tak kunjung padam. Souvenir-souvenir yang
ada di objekwisata ini selalu diburu oleh para wisatawan. Umumnya wisatawan
datang dari berbagai daerah di pulau Jawa bahkan tak sedikit pula yang datang
dari manca negara.
Potensi-potensi yang luar biasa ini lagi-lagi terkendala oleh tidak adanya
inisiatif dari masyarakat maupun lembaga terkait. Kelembagaan disektor
perikanan yang dikelola secara profesional merupakan modal besar dalam
meningkatkan pertumbuhan perekonomian desa. Pengelolaan yang profesional
dimungkinkan adanya peran serta masyarakat untuk memaksimalkan potensi-
Gambar 13 : Kepiting Bakau ; Makanan Konsusmsi Bernilai Ekonomi Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009
73
potensi sektor perikanan yang selama ini terbuang. Pengolahan hasil laut tanpa
menyia-nyiakan hasil tangkapan dalam janga waktu tertentu akan
menggairahkan pola produksi masyarakat. Tingginya pola konsumsi yang
diimbangi dengan pola produksi yang tinggi pula akan meringankan beban
masyarakat dalam menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluaran yang
dilakukan sehari-hari.
Namun, itu hanyalah sebuah gambaran umum mengenai bagaimana
kebijakan dalam pengelolaan kelembagaan perikanan. Untuk saat ini, tak
ubahnya kondisi kelembagaan disektor pertanian, kelembagaan sektor perikanan
di desa Branta Tinggi menunjukkan situasi yang memprihatinkan. padahal,
comparative advantage in the long run yang di unggulkan untuk meningkatkan
perekonomian haruslah bertumpu pada sektor-sektor yang selama ini terabaikan
seperti: industri kecil dan menengah, pertanian serta perikanan (Syaukani, 2004).
Sektor perikanan yang ada di desa ini secara riil kurang termanfaatkan
secara baik. Kelembagaan yang ada hanya sebatas pada lembaga pemberi
pinjaman modal dan itupun tidak diimbangi dengan munculnya kelembagaan lain
yang mampu memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kualitas produk
perikanan yang bernilai jual tinggi. Bahkan untuk Indonesia saja, potensi lestari
perikanan tangkap untuk saat ini berjumlah 4,9 juta ton dengan tingkat
pemanfaatan baru mencapai 64 % (Syaukani, 2004).
Tidak adanya kelembagaan perikanan yang benar-benar dibutuhkan desa
ini merupakan problematika tersendiri yang menghambat pertumbuhan
perkonomian desa. Tak heran, kasus di sektor perikanan ini berpengaruh pada
mental masyarakat untuk berperilaku mengemis. Sebagaimana diungkapkan
oleh salah satu juragan kapal (kyai Ma’imun) :
“deri saben sampe’ setiyah perkumpulan nelayan kadintoh nggi sobung...oreng-oreng gunak agebei rencana tapeh sampe’ setiyah tak dedih....mangkanah mon pas moseh ojen nelayan se prei benyak se ngemis..”
74
(dari dulu hingga sekarang perkumpulan nelayan di desa ini tidak pernah ada...orang-orang hanya berencana tetapi hingga saat ini tidak ada realisasi...tak heran...jika musih penghujan nelayan yang lagi libur banyak yang mengemis..)
Oleh sebab itu, diperlukan suatu penyelenggaraan penyuluhan yang
mempunyai tujuan langsung di berbagai tingkatan lapangan, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat yaitu untuk menolong petani, nelayan dan
pembudidaya dalam mengidentifikasi dan memecahkan berbagai masalah yang
menyangkut usahanya, baik dari aspek budidaya (teknis) maupun aspek bisnis
(agribisnis), sehingga menghasilkan prilaku profesional (Mursyiduddin dan
Syukur, 2010). Penyuluhan akan tercapai jika lembaga-lembaga formal maupun
informal perikanan mampu bersinergi dengan baik. Untuk itulah, lembaga
disektor perikanan sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pertumbuhan
perekonomian desa.
Kelembagaan penunjang pertumbuhan ekonomi desa memang sangat
dibutuhkan. Mengingat potensi yang sangat luar biasa ini patutlah kiranya
dikelola secara profesional. Lembaga yang dimaksud bukan hanya lembaga
pertanian maupun lembaga perikanan semata, tetapi yang paling utama adalah
lembaga desa terkait.
Desa merupakan salah satu komponen dalam sistem kelembagaan yang
mengetahui bagaimana permasalahan utama yang terjadi di desa Branta Tinggi
ini dan berhak mengupayakan untuk melakukan penanggulangan. Sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa
merupakan bagian pemerintahan terendah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Sesuai dengan apa yang tertuang dalam undang-undang tersebut, maka
patutlah kiranya kelembagaan desa berperan aktif melakukan beberapa tindakan
75
penanggulangan. Sampai saat ini, penanggulangan pengentasan kemiskinan
dan pembentukan paradigma perubahan guna menanggulangi mental mengemis
hanya sebatas sosialisasi dan pemberian bantuan (uang suka rela dan hewan
ternak). Bapak Hariri selaku perangkat desa mengungkapkan :
“Selama ini tindakan yang dilakukan oleh pemerintah desa yaitu menjalin kerjasama dengan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk memberikan sosialisasi. Beberapa bantuan dari PEMPROV yang telah di salurkan ke masyarakat yaitu hewan-hewan ternak seperti kambing dan sapi. Untuk mengundang masyarakat agar mau mengikuti sosialisasi, biasanya di berikan pesangon Rp 30.000 per orang yang hadir”.
Sosialisasi-sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat ini tidaklah
efektif lantaran tidak diimbangi dengan sebuah perencanaan program strategis
yang mampu memberdayakan masyarakat (kebijakan yang menjadikan
masyarakat sebagai subjek bukan sebagai objek kebijakan). Pengelolaan
pemerintahan secara profesional dengan menanamkan nilai-nilai kelokalan
haruslah benar-benar bisa diwujudkan. Sesuai dengan visi desa terkait yaitu :
Mampu mewujudkan kondisi yang aman, tertib, makmur dan sejahtera yang
didasari semangat religius, kegotong-royongan dan profesionalisme
Gambar 14 : Sosialisasi Desa dari Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi
Sumber : Survey Lapang, 2009
76
pemerintahan desa dengan tidak meninggalkan adat-istiadat dan budaya yang
ada (Data Kelurahan, 2006).
Memang, hingga saat ini belum ditemukan sebuah formula kebijakan
yang efektif guna menanggulangi mental masyarakat pengemis tersebut.
Sosialisasi dan pemberian bantuan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten telah menimbulkan beberapa permasalahan baru yaitu kecemburuan
sosial. Kepala desa Branta Tinggi (Mahrus Ali) secara tegas memaparkan realita
ini :
“Masyarakat desa lain menjadi iri lantaran pengemis disini selalu diberi bantuan. Padahal, pengemis tidak bekerja terlalu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi mereka selalu dapat bantuan secara cuma-cuma dari pemerintah. Biasanya setelah memperoleh bantuan, dalam waktu 3 hingga 5 hari mereka tidak mengemis karena merawat hewan-hewan ternak yang mereka peroleh. Setelah itu, hewan ternak tersebut dijual dan masyarakat kembali menjalankan aktivitasnya sebagai pengemis”.
Sangat kompleks memang permasalahan yang terjadi di desa ini jika di pandang
dari sudut kelembagaan. Tidak bersinerginya kebijakan dengan realita sosial
ekonomi yang ada, seringkali menimbulkan sebuah kecemburuan sosial antar
daerah.
Guna menemukan sebuah formula kebijakan yang tepat untuk
diimplementasikan agar perilaku mengemis bisa ditanggulangi dan tidak menular
ke daerah lain, maka diperlukan sebuah analisis yang lebih mendalam. Kebijakan
tidak sebatas pada sosialisasi semata tetapi lebih diarahkan untuk
menggerakkan kinerja masyarakat agar sendi-sendi vital perekonomian mampu
dioptimalkan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Pale dalam Darmawangsa (2008), tidak akan ada sebuah
perubahan besar jika sesuatu yang luar biasa itu hanya diperlakukan dan disikapi
dengan cara yang biasa-biasa saja.
77
Untuk itulah, kebijakan-kebijakan yang diformulaiskan nantinya
diharapkan benar-benar menimbulkan sebuah kesan yang luar biasa. Agar,
dengan luar biasanya kebijakan yang diimplementasikan mampu melahirkan
sebuah pencapaian yang luar biasa pula. Kebijakan yang dimaksud memang
membutuhkan sebuah kinerja yang ekstra dari aparatur pemerintah terkait agar
bisa diterima oleh masyarakat. Namun, jika itu bisa diwujudkan, maka sebuah
perubahan yang diharapkan dan dicita-citakan bisa tercapai dengan maksimal
Kondisi geografis wilayah yang sangat mendukung inilah yang
seharusnya lebih di ekplorasi secara bijak. Dengan dikembangkannya sektor-
sektor potensial (pertanian dan perikanan), desa Branta Tinggi tidak akan
menjadi salah satu desa pengemis tetapi menjadi desa mandiri yang patut di
jadikan teladan bagi desa-desa lain disekitarnya.
4.5 Dilema Kyai dalam Berdakwah ; antara Nilai Agama dan Budaya atau
Tradisi
Mendengar pulau Madura, oleh sebagian besar masyarakat seringkali
diidentikkan dengan struktur masyarakat yang cenderung terpaku pada sosok
kyai. Patut diakui, salah satu tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di pulau
Madura yaitu sosok kyai. Karena begitu kagum dengan sosok kyai, sebagian
besar masyarakat Madura menyekolahkan anaknya di madrasah-madrasah yang
umunya gabung dengan pondok pesantren. Kultur yang berkembang di pondok
pesantren menjadikan kyai sebagai patron sehingga makin memperkokoh
budaya patriarki yang ada di masyarakat (Sujito, 2007).
Sebagai pemimpin informal, Kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai
"otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap
sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirojd, 2009).
78
Karena sosok kyai begitu diagungkan, tak heran jika apa yang dilakukan
oleh kyai selalu dianggap benar. Pola patron inilah yang seharusnya lebih
difahami lebih jauh lantaran sebagai sosok manusia biasa kyai juga bisa berbuat
khilaf dan salah. Kekhilafan kyai jarang sekali dilakukan koreksi secara
mendalam oleh masyarakat Madura. Tak heran, apa yang dianggap benar oleh
kyai selalu dibenarkan oleh masyarakat.
Namun, kejadian unik berkaitan dengan sosok pemimpin informal (kyai)
ini terjadi di desa Branta Tinggi. Sosok kyai di desa ini hanya dijadikan sebagai
simbol sosok pemimpin yang mana petuah yang diberikan terkadang diikuti dan
terkadang tidak diikuti sama sekali. Petuah kyai yang tidak pernah diikuti yaitu
berkaitan dengan larangan untuk mengemis. Masyarakat masih menjalankan
aktivitas mengemis lantaran mengikuti budaya dan paradigma yang berkembang
secara turun-temurun. Sosok kyai yang ada di desa ini sebenarnya telah
melarang masyarakat setempat untuk beraktivitas sebagai pengemis. larangan
itupun selalu dibantah dan tidak pernah diikuti oleh masyarakat.
Permasalahan menarik mengenai perilaku masyarakat yang seringkali
bertentangan dengan sosok kyai ini secara tegas dipaparkan oleh kyai Ma’imun :
“deri guleh gik kenik saben jed deiyeh kelakoanah oreng-oreng kadintoh dek...angil mon e soroh ambu ngemis...repot kiyah mon e soroh ambu, masak mon e sindir...anak-anak’en se ngaji kadintoh e soroh ambu...waduh...posang dedinah guleh...” (dari saya masih kecil dulu memang beginilah tingkah laku orang-orang disini...sulit sekali jika disuruh berhenti mengemis...repot juga jika menyuruh mereka berhenti, masak...jika pereka kita sindir...anak-anak mereka yang mengaji disini disuruh berhenti...waduh...jadi bingung sendiri saya..)
79
Kyai yang kesehariannya mengasuh pondok pesantren Darul Falah ini
merupakan satu-satunya kyai yang ada di desa Branta Tinggi. Melarang
masyarakat untuk berhenti mengemis memang menimbulkan kesulitan tersendiri.
Kentalnya nilai-nilai kelokalan yang dipegang teguh membawa pengaruh yang
cukup signifikan terhadap perilaku masyarakat.
Yang menjadi perso’alan utama sebenarnya bukanlah karena pengaruh
budaya yang ada. Ini seringkali berkaitan dengan mental masyarakat setempat
yang notabene memiliki hubungan secara langsung dengan perilaku mengemis.
Bisa dilihat, yang di jabarkan oleh beberapa narasumber berkaitan dengan
budaya mengemis hanyalah terpusat di salah satu dusun saja (dusun
Pelanggaran). Tetapi, data riil dilapangan berkata lain. Masyarakat yang
berperilaku mengemis telah meluas hingga dusun lain yang sebenarnya tidak
berhubungan dengan budaya yang ada. Bahkan, perilaku ini lebih luas lagi
menular kepada masyarakat di beberapa desa diluar Branta tinggi.
Jika dianalisis lebih jauh, perilaku mengemis sebenarnya berhubungan
dengan mental lokal (shared value) yang menyebabkan tidak seimbangnya pola
Gambar 15 : Kyai Ma’imun Zubair ; Tokoh Agama Desa Branta Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009.
80
konsumsi dan produksi masyarakat. Selain itu, jeratan kontrak informal dengan
rentenir dan tengkulak semakin mendera perekonomian masyarakat. Kepala
desa terkait secara gamblang memaparkan mengenai hal ini :
“ Tidak seimbangnya pola konsumsi dengan pendapatan masyarakat sering kali mempersulit pemimpin desa (formal maupun informal) untuk melarang masyarkat beraktivitas sebagai pengemis. Mereka yang kesehariannya sebagai petani banyak yang meminjam modal ke rentenir. Padahal, kyai didesa ini seringkali melarang tindakan seperti itu baik saat khutbah jum’at maupun pada acara-acara pengajian”.
Mental lokal memang berhubungan sangat kuat dengan perilaku masyarakat.
Mental lokal inilahyang mampu meruntuhkan persepsi yang ada di masyarakat
bahwasannya penduduk Madura selalu patuh terhadap sosok kyai.
Beberapa larangan dalam islam berkaitan dengan perilaku mengemis
yang telah dikhutbahkan oleh kyai setempat ditolak mentah-mentah oleh
msyarakat dengan alasan ingin mempertahankan kebudayaan lokal. Disinilah
kerumitan itu terjadi. Budaya lokal seringkali dijadikan sebagai tameng untuk
menolak fatwa-fatwa yang dilontarkan kyai. Tetapi, kenyataannya adalah perilaku
masyarakatnya sendiri yang sebenarnya masih mempertahankan pola konsumsi
yang tidak seimbang dengan pola produksi.
81
BAB V
PENUTUP
Pada bagian bab penutup ini memuat bagian-bagian inti dari hasil
pendeskripsian penelitian yang telah dilakukan. Dimana setelah diketahui
bagaimana hubungan mental lokal dengan perilaku mengemis yang ada di Desa
Branta Tinggi. Sehingga, penulis juga memberikan saran (rekomendasi)
berkaitan dengan fenomena yang diteliti atas dasar data-data yang telah
diperoleh dari hasil penelitian.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi selama penelitian maka
dapat ditarik kesimpulan :
1. Bahwasannya ketidakmaksimalan pengelolaan sumber daya alam yang ada
sangat mempengaruhi pola fikir masyarakat Branta Tinggi. Masyarakat
hanya mengandalkan sektor basis (pertanian dan perikanan) untuk ber
produksi. Namun, sektor basis hanya sebatas dikelola secara biasa tanpa
melihat potensi lain yang terdapat didalamnya. Tak heran, risiko-risiko yang
lumayan tinggi yang terdapat pada sektor basis mengubah pola fikir
masyarakat untuk berperilaku mengemis.
2. Hubungan sosial yang kuat antara masyarakat bukan pengemis dan
pengemis menjadi poin penting dalam pembentukan mental lokal. Pola
perilaku konsumtif tanpa diimbangi pola produksi yang memadai menjadikan
aktivitas mengemis terpaksa dijalani oleh orang-orang yang sejatinya bukan
pengemis. Sebenarnya, perilaku mengemis yang merupakan tradisi
(membudaya) secara turun-temurun hanya berlaku pada mayarakat di salah
satu dusun di Branta Tinggi yaitu dusun Pelanggaran. Namun, kenyataan
82
dilapangan berkata lain. Perilaku ini telah menular pada masyarakt dusun
lain bahkan di desa lain lantaran adanya kecenderungan sosial
bahwasannya mengemis begitu mudahnya mendapatkan kepingan rupiah.
Selain itu adanya kesamaan pola kunsumtif (konsumsi tinggi) pada
masyarakat daerah setempat semakin memperkuat kegiatan mengemis sulit
ditinggalkan.
3. Kegiatan mengemis memang telah menjadi tradisi di Branta Tinggi lantaran
adanya mitos yang beredar di masyarakat. Tradisi kelokalan yang sangat
kuat menjadikan perilaku mengemis ini sulit untuk ditinggalkan. Bahkan dari
waktu ke waktu kegiatan ini menimbulkan dilema lantaran memunculkan
sosok pengemis-pengemis musiman dari daerah lain.
4. Sosok kyai sebagai pemimpin informal di Madura sebenarnya memiliki peran
penting dalam menanggulangi perilaku mengemis ini. Namun, alasan klasik
dari masyarakat (adanya kutukan dari leluhur) yang sejatinya tidak
berhubungan degan kegiatan mengemis menjadikan prosesi dakwah
menjadi terhambat. Munculnya kecenderungan sosial karena risiko-risiko
yang sering dihadapi pada sektor basis menjadi dilematika tersendiri bagi
kyai dalam berdakwah.
83
5.2 Rekomendasi
Menanggulangi kemiskinan yang mengarah pada perilaku mengemis
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan analisis yang
lebih mendalam guna menemukan formula kebijakan yang lebih tepat dan
terarah. Adapun rekomendasi yang bisa diberikan oleh peneliti atas hasil
penelitian yang dilakukan yaitu :
1. Ada pepatah Cina yang mengatakan “untuk bisa menikmati bubur panas
yang begitu lezat, maka makanlah dari pinggir”. Seperti itulah sebuah
kebijakan. Dimana agar kebijakan bisa tercapai secara maksimal dimulailah
dari hal kecil yang berpotensi menimbulkan efek yang luar biasa dalam
jangka panjang. Ini bisa diimplementasikan melalui penanggulangan
internalisasi perilaku mengemis yang ditularkan dari orang tua ke anak.
Lembaga pendidikan terkait (formal maupun informal) haruslah membuat
sebuah model pengajaran yang lebih inovatif (mengajarkan pola produktif
pada anak). Sehingga, mind-set mengemis yang ditularkan dari keluarga
kepada anak mampu diubah dengan mind-set produktif yang diajarkan di
sekolah. Pemutusan rantai generasi mengemis ini memberikan dampak
yang sangat luar biasa dimasa depan. Karena generasi penerus yang
menjalankan aktivitas mengemis dari waktu ke waktu tereduksi lantaran
adanya program pemutusan rantai generasi tersebut.
2. Penguatan kaidah-kaidah Islamiah dengan penyampaian yang lebih bagus
haruslah terus digalakkan oleh tokoh masyarakat setempat (pemimpin formal
dan informal). Ini dikarenakan nilai-nilai agama Islam selalu dijunjung tinggi
di wilayah ini. Penyampaian tersebut bisa melalui pemberian pelatihan-
pelatihan membuat kerajianan tangan atau membuat sebuah usaha baru
bagi anak-anak yang notabene banyak melakukan kegiatan keagamaan di
pesantren. Kegiatan kewirausahaan sejatinya juga merupakan wujud
84
apresiasi seseorang dalam menegakkan kaidah-kaidah keislaman. Dimana
dalam nilai-nilai ajaran Islam juga ada anjuran-anjuran untuk berusaha
sendiri melalui berwirausaha. Model pendekatan ini tentunya dimaksudkan
untuk mengubah mind-set masyarakat menjadi orang yang lebih produktif.
Sebagaimana diajarkan dalam Islam, bahwasannya mengemis sangatlah
dilarang bagi orang-orang yang masih memiliki kemampuan dengan
sempurna. Tentunya rekomendasi ini haruslah memperoleh apresiasi yang
mumpuni dari stakeholder terkait baik dari pemerintah maupun jaringan
kerjasama dengan lembaga lainnya. Untuk itulah, unit-unit yang dimaksud
(kelembagaan dan stakeholder) mampu bersinergi dengan baik agar
rekomendasi yang dicanangkan mampu merasuk pada sendi-sendi vital
permasalahan sosial-ekonomi masyarakat desa Branta Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abdul. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Madura Pasca Suramadu Melalui
Agama, Budaya dan Tradisi. http://blog.sunan-
ampel.ac.id/abdala/2010/03/01/pemberdayaan-masyarakat-madura-pasca-
suramadu-melalui-agama-budaya-dan-tradisi/
Abidin, Muhammad Zainal. 2009. Pengertian Pembinaan Mental.
http://meetabied.wordpress.com/2009/12/24/pengertian-pembinaan-mental
Afriyani, Ryan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. http://www.penalaran-
unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-
kualitatif.pdf
BPS. 2008. Data Angkatan Kerja Nasional. Jakarta.
BPS. 2007. Data Penyerapan Tenaga Kerja. Jakarta.
BPS. 2009. Data Angka Kemiskinan Jawa Timur 2007, 2008 dan 2009. BPS
Jawa Timur. Surabaya.
Citrayati, Noviana dkk. 2008. Permukiman Masyarakat Petani Garam di Desa
Pinggir Papas Kabupaten Sumeneb. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Malang.
Damsar. 1995. Sosiologi Ekonomi. PT Rajawali Pers. Jakarta.
Darmawangsa, Darmadi. 2008. Champion : 101 Tips Motivasi dan Inspirasi
Sukses Menjadi Juara Sejati. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Darusman. Tanpa Tahun. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan.
Dewi, Ratna Dwi Liza. 2007. Media Massa dan Konsumsi dari Sudut Pandang
Pengembangan Manusia. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi
Luhur.
Dharma, Surya. 2008. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syari’ah.
Bank Indonesia. Jakarta.
Effendi, Nursyirwan. 2006. Keberadaan dan Fungsi Pasar Tradisional. Jurnal
Antropologi.
Elizabeth, Roosgandha. 2004. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal Untuk
Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian
Bogor. Bogor.
Fitanto, Bahtiar. 2003. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Lokal. (et al.). (Eds), Emansipasi Nilai Lokal dan Ekonomi Bisnis
Pascasentralisasi Pembangunan. Dalam Triyuwono (halaman 51-65).
Malang: Bayumedia Publishing.
Hadiyanti, Puji. 2006. Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta. Jakarta.
Hakim, Andri M. Tanpa Tahun. Social and Economic Mapping Sisi Madura dan
Sisi Surabaya dalam Mendukung Tata Ruang Suramadu.
http://www.sumenep.go.id
Hermantyo, A. Irawati. 2006. Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin di Sektor
Pertanian. PT Bina Swadaya Konsultan. Jakarta.
Heryawan, Wawan. 2007. Kapasitas Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan
di Daerah. Lembaga Penelitian Semeru. Jakarta.
Humaidy, M Ali. 2002. Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa
Pragaan Daya Sumenep Madura. STAIN Pamekasan. Pamekasan.
Indarto, Agus. 2008. Peran Pemimpin Menyukseskan Proyek Perubahan.
Iqbali, Saptono. (tanpa tahun). Studi Kasus Gelandangan-Pengemis (Gepeng) di
Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. (Online), (http:/unud.ac.id,
diakses tanggal 1 Maret 2010).
Ismani. 2001. Etika Birokrasi. Jurnal Administrasi Negara Vol II No. 1, September
2001: 31 -41.
Istiana, Heri. 2003. Teknik Pemetikan Daun Tembakau Madura. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 8. Malang.
Karjadi, Ahmad. 2000. Grumusol (Vertisol).
Kuncoro, Mudrajad. Tanpa tahun. Otonomi Daerah Siapa Punya?. Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UGM. Yogyakarta.
Kunio,Yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi Jepang ; Sebuah Pengantar.
PT Gramedia. Jakarta.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Megasari, Intan Wahyu. 2009. Karakteristik Pengemis Jalanan di Kota Malang.
Fakultas Ilmu Pendididkan UM. Malang. http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/PPKN/article/view/1297
Miles, M. B dan A. M Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook
of New Methods. SAGE. Beverly Hills.
Mubyarto. 1996. Strategi Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media.
Mursiduddin dan Elly Martati Syukur. 2010. Perlukah Kelembagaan Penyuluh
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan?.
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/14702-perlukah-
kelembagaan-penyuluh-pertanian-perikanan-dan-kehutanan.html
Nuryadin, Didi dkk. 2007. Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi ; Peran
Karakteristik Regional di Indonesia. Fakultas Ekonomi UPN Veteran
Yogyakarta. Yogyakarta.
Peraturan Daerah Kota Batam nomor 6 Tahun 2002. Ketertiban Sosial di Kota
Batam. Batam.
Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu. Jakarta.
Rachmad, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Rahman, Bustami dan Yuswadi Hari. 2005. Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur. Jember.
Ramdhani, Neila. Tanpa Tahun. Sikap dan Beberapa Definisi untuk
Memahaminya. Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Ranimpi, Yulius Yusak. 2009. Kemiskinan dan Kesehatan Mental di Nusa
Tenggara Timur. Program Profesional Universitas Kristen Satya Wacana.
Republik Indonesia. 1992. Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan. Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.
Sachs, Jeffrey D. 2005. The end of Poverty ; Economic Possibilities for Our Time.
The Penguin Press. New York.
Sativa, Khoridah dan Juliatin Putri Utami. 2010. Pencegahan Dampak
Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Ekologi Dengan Metode
Master Plan Madura Terpadu. Program Kreativitas Mahasiswa Universitas
Negeri Malang. Malang.
Sirodj, Chufron. 2009. Peran dan Posisi Kyai di Tengah Masyarakat Pamekasan
Madura. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Soekarni, M. 2004. Kebijakan Penanganan Kemiskinan dalam Islam.
http://www.undp.or.id./mdg/index.asp
Sonhaji. 2006. Budaya Kemiskinan : Studi Penjajagan Atas Kegiatan Meminta-
Minta Kelompok Pengemis Mingguan di Surakarta. Jurusan Ilmu
Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Surakarta.
Sujito. 2007. Laporan MDGs Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Bangkalan.
Suman, Agus. 2010. Sketsa-sketsa Ekonomi. Putra Media Nusantara. Surabaya.
Suprapto, Hadi. 70% BLT Digunakan untuk Konsumsi Rokok.
http://bisnis.vivanews.com/news/read/62219-
70__blt_digunakan_untuk_konsumsi_rokok
Syaukani, Marwan. 2004. Konsepsi Kelembagaan dalam Mewujudkan Sektor
Perikanan Sebagai Prime Mover Perekonomian Nasional. Falsafah Sains
Program Doktor Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tambunan, Raymond. 2010. Kualitatif Data. http://rumahbelajarpsikologi.com
Urip, Sonaryo. 2007. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor
Penyebabnya.
Wahyu, Ari. 2009. Pemanfaatan Biji Bakau. http://pilaxz-
gokil.blog.friendster.com/2009/01/pemanfaatan-biji-bakau/
Wibowo, H. J Dkk. 2002. Tatakrama Suku Bangsa Madura. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Paiwisata. Yogayakarta.
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Universitas Negeri Malang. Malang.
World Bank. 2006. Suara Masyarakat Miskin ; Mengefektifkan Pelayanan bagi
Masyarakat Miskin di Indonesia. The World Bank Office. Jakarta.
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan ; Definisi, Teori dan
Strategi. Bayumedia Publishing. Malang.
Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan KajianEmpiris.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.