Upload
anggita-dwi-lestari-lestari
View
15.726
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
TAUBAT DAN ROJA’
PERBUATAN TERPUJI
Makalah Ini Kami Susun Guna Untuk
Memenuhi Tugas Pertama
Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Guru Pembimbing:
Ibu Hj. Mardhiyati, S.Pd.
SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
Jln. Nyi Pembayun No. 41, Kotagedhe, Yogyakarta
Tahun Pelajaran
2010/2011
TAUBAT DAN ROJA’
PERBUATAN TERPUJI
Guru Pembimbing:
Ibu Hj. Mardhiyati, S.Pd.
Disusun Oleh:
1.Anggita Dwi Lestari (XI IPA 3/O3)
2.Nadhil Afiq (XI IPA 3/ )
3.Annisa Titias H. (XI IPA 3/ )
4.Febriawan Ramadhan (XI IPA 3/28)
Tahun Pelajaran
2010/2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT
karena atas rahmat, serta hidayahnya sehingga kita selalu diberi
kesehatan hingga saat ini. Ucapan terima kasih juga kita persembahkan
untuk Ibu Hj. Mardiyah selaku guru pembimbing kami karena atas
bimbingannya kami dapat mengerjakan tugas ini dengan baik.
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pertama dari
pelajaran Pendidikan Agama Islam, bila ada salah penulisan kata dalam
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Yogyakarta, 08 Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Sub
Cover…………………………………………………………………………………………
…………… i
Kata Pengantar………………………………………………………………….
………………………….. ii
Daftar
Isi………………………………………………………………………………………………
………. iii
Pendahuluan…………………………………………………………………………………
………………. iv
Isi………………………………………………………………………………………………
…………………. 1
Kesimpulan………………………………………………..
……………………………………………….… v
Penutup………………………………………………………………………………………
………………… vi
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk yang
berakhlak tentunya mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi yakni
menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi akhlak yang
buruk. Kewajiban inilah yang menjadi kekuatan moral dari terlaksananya
akhlak yang baik dan terhindarnya akhlak yang buruk. Dalam
melaksanakan kewajiban itu kita sebaiknya disertai Raja' yakni dengan
mengharap ridha Allah SWT agar kita yakin dapat melaksanakannya
dengan baik. Dalam melaksanakan kewajiban itu pula kita sebagai
manusia tentu tidak terlepas dari kekhilafan, baik itu besar ataupun
kecil. Supaya dosa kita diampuni kita dianjurkan untuk memohon
ampunan pada Allah SWT, salah satunya dengan taubat.
Dalam makalah ini kami mengulas tentang taubat dan roja', baik
pengertian, keutamaannya, hingga cara-caranya. Sehingga paling tidak
kita bisa mengerti apa dan bagaimana taubat dan roja' itu.
ISI
A. TAUBAT
Pengertian Taubat
Taubat adalah memohon ampunan pada Allah SWT atas segala
dosa dan kesalahan yang pernah kita perbuat. Taubat juga merupakan
pengakuan dan penyesalan terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan.
Taubat tidak sekedar mengucapkan dengan lidah seperti yang
dipahami oleh kalangan awam.
Ketika salah seorang datang kepada salah satu tokoh agama ia
berkata kepadanya, “Ikutilah perkataanku ini! Aku taubat kepada
Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyelasi dosa yang telah ku
perbuat, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi
selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain
agama Islam”. Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kyai itu dan
pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus. Kebodohan
orang awam serta sang kyai juga. Karena taubat bukan sekedar
ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekedar berbuat
seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu. Taubat adalah perkara
yang lebih besar dari pada itu, dan juga lebih dalam dan sulit.
Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam
tindakannya. Untuk kemudian dia mengakui dosanya dan meminta
ampun kepada Allah SWT. Sedangkan istighfar atau mengungkapkan
taubat dengan lisan tanpa janji dalam hati itu adalah taubat para
pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri. Itulah yang
dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah Al'Adawiyah, ”Istighfar kita
membutuhkan istighfar lagi”. Sehingga sebagian mereka ada yang
berkata, ”Aku beristighfar kepada Allah SWT”. Atau taubat yang
hanya dengan lisan. Tidak disertai dengan penyesalan dalam hati.
Sementara hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati ,dan
tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh
perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu,
Al-Hasan berkata, ”Ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan
lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji tidak
akan melakukan perbuatan dosa itu lagi”.
Keutamaan Taubat
Tentang anjuran dan dorongan untuk bertaubat, Al-Quran
berbicara: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah:
222). Maka derajat apa yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih
sayang Allah semesta alam?
Dalam menceritakan Ibadurrahman yang Allah berikan
kemuliaan dengan menisbahkan mereka kepada-Nya, serta
menjanjikan kepada mereka surga, di dalamnya mereka mendapat
ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat
yang baik. Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yag menembah Tuhan yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, dan siapa yang
melakukan itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)” (QS. Al
Furqan: 68-70).
Keutamaan apalagi yang lebih besar dari pada orang yang
bertaubat itu mendapat ampunan dari Allah SWT, hingga keburukan
mereka digantikan dengan kebaikan. Dan dalam penjelasan keluasaan
Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah
berfirman:
“Katakanlah: Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah
SWT. Sesunguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengasih dan Penyayang” (QS. Az-Zumar: 53).
Ayat ini membukakan pintu seluas-luasnya bagi orang yag
berdosa dan melakukan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah
mencapai ujung langit sekalipun. Seperti sabda Rasul SAW:
“Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahn (dosa) hingga ke ujumg
langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT memberikan
taubat kepada kalian” (HR: Ibnu Majah).
Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah Allah
SWT menugaskan para malaikat Muqarabbin untuk beristighfar bagi
mereka serta berdoa kepada Allah SWT agar Allah SWT
menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka
ke dalam surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan.
Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para
malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah berfirman:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada
disekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman
kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang beriman
(seraya mengucapkan): Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, maka berikan ampunan pada orang-orang
yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka
dari api eraka yang menyala-nyalu. Ya Tuhan kami, dan masukkan
mereka ke surga yang telah engkau janjikan kepada mereka dan
orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri
mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari
(balas) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari
(pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah
Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan
yang besar” (QS. Ghaafir: 7-9).
Terdapat banyak ayat dalam Al-Quran yang mengabarkan akan
diterimanya taubat orang-orang yang melakukannya jika taubat
mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan berdalil pada
kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak
terasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat,
meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar. Seperti dalam
firman Allah SWT:
“Tidaklah mereka mengetahui bahwasannya Allah menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya yang menerima zakat, dan bahwasannya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. At-Taubah: 104).
“Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
memaafkan kesalahan-kesalahan” (QS. Asy-Syura: 25).
Dan dalam menyipati Dzat Allah SWT:
“Yang mengampuni dosa dan menerima taubat” (QS. Ghaafir: 3).
Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau
dengan kata lain, orang yang bertaubat dan melakukan amal saleh.
Seperti dalam firman Allah SWT dalam maalah pria dan wanita yang
mencuri:
“Maka barang siapa yang bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maidah: 39).
“Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih saying, (yaitu)
bahwasannya barang siapa yang berbuat kejahatan diantara kamu
lantaran kejahilan, kemudian mereka bertaubat setelah mengerjakan,
dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Maha Penyayang” (QS. Al-An’am: 54).
“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-
orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian
mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya)
sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. An-Nahl: 119)
Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya “At-Tawwab”
(Maha Penerima Taubat) terdapat dalam Al-Quran sebanyak 11
tempat. Seperti dalam doa Ibrahim A.S. dan Ismail A.S.:
“Dan terimalah taubat kami, sesunggunya Engkaulah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqaah: 128).
Juga seperti dalam sabda Nabi Musa A.S. kepada Bani Israil
setelah mereka menyembah anak sapi:
“Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu, dan
bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan
yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu.
Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima Taubat dan Maha
Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 54).
Allah berfirman kepada rasul-Nya:
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya dating
kepadamu, lalu memohoin ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 64).
Syarat Diterimanya Taubat
Segera bertaubat setelah sadar telah berbuat kesalahan.
Mengakui dan menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan
ampunan Allah SWT.
Taubat Nasuha, yakni benar-benar menyesal dan bertekad tidak
akan mengulangi.
Mengganti kesalahan yang telah lalu dan melakukan perbuatan
baik.
Doa Taubat
Artinya: “Wahai Tuhanku, maafkanlah akan daku karena
sesungguhnya Engkau Tuhan yang Maha Pemaaf dan Yang
Mempunyai Kemuliaan”.
Shalat dan Doa Taubat
Shalat sunat taubat ini dikerjakan setelah melakukan dosa atau
merasa berbuat dosa, kemudian bertaubat kepada Allah SWT. Shalat
sunat taubat adalah shalat yang sisyariatkan. Bila bertaubat dari
sesuatu dosa berarti menyesal tentang perbuatan yang dilakukan dan
bercita-cita tidak akan melakukan lagi dan mohon ampun dari Allah
SWT. Cara mendirikan shalat:
Jumlah rakaat shalat sunat taubat ini tidak terbatas. Tiap dua
rakaat dengan satu salam. Waktu mengerjakan bebas.
Lafaz niat:
Artinya: “Sahaja aku shalat sunat Taubat dua rakaat karena
Allah Ta’ala”.
Pada rakaat pertama lafazlah dan surat An-Nas
Setelah memberi salam hendaklah memperbanyak istighfar
yaitu memohon ampun dari Allah SWT (sebut berulang kali).
Artinya: “Aku mohon keampunan kepada Allah SWT Yang Maha
Agung yang Tiada Tuhan yang lain, melainkan Dia, yang hidup
dan berdiri-Nya dan aku bertaubat kepada-Nya”.
Unsur-Unsur Taubat
Terma dari akar “t-w-b” dalam bahasa Arab menunjukkan
pengertian pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT
dan selalu berhubungan dengan-Nya, dan tidak menjauhi-Nya.
Manusia tidak dapat membebaskan diri dari Allah SWT untuk
memikirkan kehidupan fisiknya saja, juga tidak dapat membebaskan
diri dari Allah SWT karena memikirkan kebutuhan hidup duniawi saja.
Bahkan kebutuhannya kepada Allah SWT di akhirat akan lebih besar
dari kebutuhannya di dunia. Karena kehidupan dan kebutuhan fisik itu
secara bersamaan juga dilakukan oleh binatang yang tidak berpikir,
sementara kebutuhan rohani adalah sisi yang menjadi cirri pembeda
manusia dari hewan dan binatang.
Allah SWT telah menciptakan manusia dari dua unsure. Di
dalam tubuhnya terdapat unsur tanah, juga unsur roh. Inikah yang
menjadikan dirinya layak dijadikan obyek oleh malaikat sebagai
penghormatan dan pemuliaan kedudukannya. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadanya
roh (ciptaan)Ku; maka jendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya” (QS. Shaad:71-72).
Allah SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud
kepada Adam kecuali setelah Allah SWT memperbagus bentuknya dan
meniupkan ruh ke tubuhnya. Ketika manusia taat kepada Raabnya
berarti tiupan ruh itu mengalahkan sisi tanahnya. Atau dengan kata
lain, sisi rohani mengalahkan sisi materi. Dan sisi rohani mengalahkan
sisi tanah yang rendah. Maka manusia meningkat dan mendekat
kepada Rabbnya, sesuai dengan usahanya untuk meningkatkan sisi
roaninya ini.
Ketika manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi
itu terbalik; sisi tanah mengalahkan sisi roh, dan sisi materi yang
rendah mengalahkan sisi Rabbani yang tinggi. Maka manusia
merendah dan menjadi lebih hina, serta menjauh dari Allah SWT
sesuai dengan seberapa jauh dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.
Kemudian, taubat member kesempatan kepadanya untuk
mencapai apa yang tidak ia dapatkan, serta meluruskan kembali
perjalanan hidupnya. Maka manusia itupun kembali menaik setelah
kejatuhannya, dan mendekat kepada Rabbnya setelah ia menjauhi-
nya, serta kembali kepada-Nya setelah memberontak dari-Nya.
Taubat Nasuha
Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu’minin
adalah taubat Nasuha (yang semurn-murninya) seperti disebut dalam
Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang semurni-murninya” (QS At-Tahrim: 8).
Kemudian apa makna taubat nasuha itu? Al Hafizh Ibnu Katsir
berkata dalam kitab tafsirnya:
“Artinya adalah taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan
menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya,
mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus
keburukan-keburukan yang dilakukannya”.
Sedangkan nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih.
Seperi kata syukur dan shabur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir
dan syabir. Dan terma “n-sh-h” dalam bahasa Arab bermakna bersih.
Dikatakan dalam bahasa Arab “nashaha al’asal” jika madu itu murni,
tidak mengandung campuran. Sedangkan kesungguhan dakam
bertaubat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah. Dan dalam
bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya dari
penipuan, kekurangan, dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi
yang paling sempurna. An-nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-
(palsu).
Pendapat kalangan salaf berbeda-beda dalam mendefinisikan
hakikat taubat nasuha itu. Hingga Imam Al-Qurthubi dalam tafsinnya
menyebut ada 23 pendapat. Namun sebenarnya pengertian aslinya
hanyalah satu, tetapi masing-masing orang mengungkapkan kondisi
masing-masing, atau juga dengan melihat suatu unsur atau lainnya.
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, dan Ibnu Mas’ud serta Ubay bin Ka’b r.a.
bahwa pengertian taubat nasuha: adalah seseorang yang bertaubat
dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak
kembali ke payudara hewan lagi. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud dengan marfu’: taubat dari dosa adalah ia bertaubat darinya
(suatu dosa itu) kemudian ia tidak melakuka lagi. Sanadnya adalah
dha’if. Dan mauquf lebih tepat, seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir.
Hasan Al-Bashri berkata, ”Taubat adalah jika seorang hamba
menyesal akan perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji untuk
tidak mengulanginya”.
Al-Kulabi berkata ”Yaitu agar meminta ampunan dengan lidah,
menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak
melakukannya lagi”.
Sa’id bin Musayyab berkata, “Taubat nasuha adalah agar
engkau menasehati diri kalian sendiri”.
Kelompok pertama menjadikan nasuha itu dengan makna maf’ul
(obyek) yaitu orang yang taubat itu bersih dan tidak tercemari
kotoran. Maknanya ialah ia dibersihkan, seperti kata Raquubah dan
Haluubah yang berarti dikendarai dan diperah. Atau juga dengan kata
fa’il (subyek), yang bermakna yang menasehati, seperti khaalisah dan
shaadiqah.
Muhamad bin Ka’b Qurazhi berkata, “Taubat itu diungkapkan
oleh empat hal, yaitu beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari
tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta
meninggalkan rekan-rekan yang buruk.
Orang Yang Bertaubat Adalah Orang Zhalim
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan)
wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan kamu panggil memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang bertaubat,
maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (QS. Al-Hujurat: 11).
Setelah Allah SWT melarang kaum mu’minin untuk mencela
seorang muslim, baik laki-laki atau perempuan serta mengejeknya
dengan ucapan yang menyakitkan atau membuat susah, dan Al-Quran
menganggap orang yang mengejek sesama muslim sebagai orang
yang mengejek dirinya sendiri, karena kaum muslimin adalah seperti
satu tubuh, Al-Quran juga melarang untuk saling panggil memanggil
dengan panggilan yang buruk yang tidak disenangi orang. Perbuatan
itu semua akan memindahkan manusia dari derajat keimanan ke
derajat kefasikan. Dari seorang mu’min menjadi seorang fasik, dan
nama yang paling buruk setelah keimanan adalah kefasikan itu.
Kemudian Allah SWT berfirman: “Dan barang siapa yang
tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang zalim”. Ini adalah
dalil akna kewajiban bertaubat. Karena jika ia tidak bertaubat maka ia
akan menjadi orang-orang zalim. Dan orang-orang zalim tidak akan
beruntung.
“Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung”.
(QS. Yusuf:23)
Juga tidak dicintai Allah SWT:
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim” (QS. Ali ‘Imran: 57).
Dan mereka juga tidak selamat dari api neraka:
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi
neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah
ditetapkan. Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang
bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka
dalam keadaan berlutut” (QS. Maryam: 71-72).
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang mengajak kepada taubat
dan menganjurkannya, serta menjelaskan keutamaan dan buahnya
adalah firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222).
B. ROJA’
Pengertian Roja’
Roja’ adalah sikap mengharap ridha, rahmat, dan
pertolongan Allah SWT serta meyakini bahwa hal itu dapat diraih.
Harapan yang kita inginkan harus disertai usaha dan doa. Syaikh Zaid
bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman.
Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang
ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan, dan kebaikan
dunia akhirat. Dan raja’ haruslah diiringi usaha menempuh sebab-
sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136). Adapun
roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh
Tsalatsatu ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan
menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka
inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul ma’mul, hal. 87).
Keutamaan Roja’
Hati menjadi tentram.
Menjauhkan diri dari sifat gunur, yakni berkhayal atau
berangan-angan kosong.
Menjadi lebih giat dalam mencapai suatu harapan/keinginan.
Peranan Roja’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Ketahuilah penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga, yakni
Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut), dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang
terkuat diantara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah
yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan
adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di
akhirat. Berbeda dengan ‘takut’, rasa takut itu nanti akan lenyap di
akhirat (bagi orang yang masuk surga). Allah SWT berfirman:
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Yunus:
62).
“Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bias
menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan
kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah factor yang akan menjaga
diri seseorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang
dicintai-Nya. Langkah untuk terus maju meniti jalan itu tergantung
kuat lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya
untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintai-Nya, dan rasa
harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merypakan
kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperhatikan hal
itu…” (Majmu’ Fatawa, 1/95-96, dinukil dari Hushukul Ma’muul, hal.
82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “ Khauf dan Raja’ saling
beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang
hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah azza wa jalla dan
khawatir tertimpa siksaan-Nya serta mengharap curahan rahmat-
Nya…”. (Taisirul Wushul, hal. 136. Lihat juga Syarh Tsalasatu Ushul,
hal. 60).
Mengendalikan Khauf dan Roja’
Syaikh Al-‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimana madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan Khauf?”. Beliau
menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus
mendahulukan roja’ atau Khauf ke dalam beberapa pendapat”. Imam
Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan
harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak
boleh pula mendominasikan roja’. Karena apabila ada salah satunya
yang lebih mendominasi maka akan binasalah orangnya”. Karena
orang yang keterlaluan berharap akan terjatuh dalam sikap merasa
aman dari maker Allah SWT. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal
takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat
Allah SWT. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih
didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut
ketika muncul keinginan berbuat maksiat”. Karena apabila dia
berbuat taat maka itu berarti dia telkah melakukan penyebab
tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah SWT) maka hendaknya dia
mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia
bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa
takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang
sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit
memperbesar rasa hara”. Sebabnya dalah orang yang masih sehat
apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari
perbuatan maksiat. Dan orang yang sednag sakit apabila
memperbesar rasa harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah
SWT dalam kondisi berbaik sangka kepada-Nya.
Roja’ Merupakan Ibadah
Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-
Nya dan takut akan azab-Nya” (QS. Al-Israa: 57). Allah meneceritakan
kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang
dipuja selain Allah SWT oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan
orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada
Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksankaan
perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya
dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa
takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan
merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya.
Roja’ Yang Terpuji
Syaikh Al-‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji
hanya ada pada diri orang yang beramal, taat kepada Allah SWT, dan
berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatan-Nya an dan
berharap taubatnya diterima. Adapun roja’ tanpa disertai amalan
adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka, dan tercela”. (Syarh
Tsalasatu Ushul, hal. 58).
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang
disertai perndahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali
kepada Allah azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada
selain Alah adalah kesyirikan, bias jadi syrik ashghar dan bias jadi
syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…”
(Syarh Tsalasatu Ushul, hal. 58).
KESIMPULAN
Dari ulasan diatas, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:
A. Taubat adalah memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa
dan kesalahan yang telah dilakukan. Dan dalam melakukan taubat,
kita tidak hanya mengucapkannya dengan lidah saja, tetapi dengan
shalat dan doa taubat. Itu dikarenakan ucapan saja tidak termasuk
taubat, dan taubat harus dilakukan dengan sungguh-sungguh (taubat
nasuha).
B. Roja’ merupakan sikap menharapkan ridha, rahmat, dan pertolongan
dari Allah SWT, serta yakin bahwa hal itu dapat diraih. Dan harapan
itu hariu disertai dengan usaha dan doa sehingga tidak hanya menjadi
angan-angan kosong atau khayalan belaka.
PENUTUP
Demikian sedikit ulasan dari kami mengenai taubat dan roja’,
semoga ulasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila dalam
menyajikan terdapat kesalahan dalam penulisan maupun pilihan kata
yang kurang tepat, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami
sebagai menusia biasa tiada yang sempurna, dan kesempurnaan itu
hanyalah milik Allah SWT semata. Akhir kata
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.