Upload
rahelianto
View
342
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas individu oleh Ike dwi Putri Kelas :
Citation preview
1
FONOLOGI BAHASA DAYAK KETUNGAU SESAT KABUPATEN
SEKADAU KECAMATAN SEKADAU HILIR
DESA ENGKERSIK JERAJAU
DUSUN BATU LEBUR
BAB I
RANCANGAN PENELITIAN
A. LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan sarana komunikasi utama yang digunakan oleh
manusia untuk berinteraksi. Dalam kehidupan sehari-hari bahasa selalu
digunakan baik dalam situasi resmi maupun tidak resmi. Sebagai mahkuk
sosial, manusia memerlukan sarana yang efektif untuk memenuhi hasrat dan
keinginannya sehingga bahasa merupakan sarana yang paling efektif untuk
berhubungan dan bekerja sama. Bahasa dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan perkembangan dan pertumbuhan pemikiran penggunanya. Dasar dan
motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya berupa: (a) untuk
menyatakan ekspresi; (b) sebagai alat komunikasi; (c) sebagai alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; (d) sebagai alat untuk mengadakan
kontrol sosial (Keraf, 2001:3).
Bahasa sebagai alat untuk eskpresi diri dan sebagai alat komunikasi
adalah fungsi bahasa secara sempit. Secara luas, fungsi bahasa adalah untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan untuk mengadakan kontrol
sosial. Secara garis besar sarana komunikasi dibedakan menjadi dua macam,
yaitu komunikasi bahasa lisan dan bahasa tulis. Selain itu, fungsi bahasa
adalah fungsi tekstual. Fungsi tekstual berkaitan dengan peranan bahasa untuk
membentuk makna rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi yang
memungkinkan digunakannya bahasa oleh pemakainya baik secara lisan
maupun tertulis (Sudaryanto dalam Sumarlan, 2003:3) Bahasa tidak terlepas
dari kehidupan manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting
2
dalam kehidupan karena dengan bahasa manusia dapat berbicara mengenai
apapun, baik yang disenangi maupun yang tidak disenangi. Bahasa digunakan
untuk menimbulkan suasana gembira, jenuh, marah, dan sebagainya
(Soenardji, 2000:5).
Aktivitas manusia tidak dapat berlangsung tanpa bahasa. Pada era
sekarang ini, semakin tinggi peradaban manusia maka semakin tinggi pula
intensitas penggunaan bahasa yang didukung kemajuan teknologi. Bangsa
Indonesia memiliki keberagaman suku dan bahasa, dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa bahasa nasional. Satu di antaranya adalah suku Dayak yang
mempunyai bahasanya sendiri. Suku Dayak terbagi lagi ke dalam sub-sub
suku dengan bahasa yang berbeda, seperti sub suku Dayak Ketungau. Bahasa
yang dituturkan suku ini dikenal juga dengan istilah bahasa Ketungau. Bahasa
ini sedikit berbeda dengan beberapa bahasa lainnya di sepanjang Sungai
Sekadau. Suku Dayak Ketungau merupakan salah satu sub-Ibanic yang
terbagi dalam beberapa pembagian lagi berdasarkan wilayah dan asal usul
keturunannya. Jika berbicara tentang Suku Ketungau maka anggapan orang
bahwa sub kelompok etnis Dayak tersebut adalah penghuni beberapa
kecamatan yang ada di Kab.Sintang saja, seperti Ketungau Hulu, Ketungau
Tengah dan Ketungau Hilir. Hal ini karena status mereka sebagai
purih/keturunan asli dari Kelompok ketungau ini.
Suku Lain yang juga mendapat sebutan ini adalah Suku Ketungau
yang menghuni wilayah Kabupaten Sekadau. Berdasarkan cerita dan asal-
usulnya ketungau sekadau atau yang dikenal dengan nama ketungau sesat ini
adalah kelompok yang terpisah dari kelompok ketungau yang ada di
Kab.Sintang. Hal ini karena adanya beberapa kesamaan dalam ciri-ciri
kebudayaan, kemiripan bahasa dan tentu saja kesamaan nama dari kedua
kelompok etnis tersebut. Berdasarkan penuturan-penuturan yang disampaikan
oleh para tetua masyarakat Dayak ketungau di Kabupaten Sekadau,
keterpisahan itu disebabkan oleh gangguan yang dilakukan oleh roh-roh halus
3
yang mengganggu pemukiman masyarakat Ketungau di masa itu. Namun jika
ditilik dari aspek geografis, jalan persebaran dan beberapa kebudayaan
esensial yang dimiliki oleh kedua etnis tersebut, maka akan ditemukan bahwa
secara ilmiah kelompok etnis Dayak ketungau Sekadau bukanlah bagian dari
suku ketungau yang ada di Sintang. Beberapa informasi yang disampaikan
oleh masyarakat ketungau yang ada di Kab.Sintang bahwa ketungau sesat
yang menjadi versi mereka bukanlah yang terdapat di Kab.Sekadau namun
masih berada di wilayah Kab. sintang juga,,yakni yang berada di sekitar kota
sintang, hidup di antara komunitas-komunitas ibanic lainnya seperti Desa
Seberuang dan mualang.
Hal lain yang membuatnya berbeda adalah kecenderungan orang pada
masa lalu untuk menyebutkan beberapa etnis di sekadau sebagai etnis yang
tersesat dari rombongan utama seperti Ketungau Sesat, Taman Sesat, Sawai
Sesat, dan ada beberapa lainnya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya beberapa
komunitas tersebut untuk mempertahankan jati dirinya sebagai sebuah etnis
yang berbudaya. Dengan jumlah sekitar 28.000 jiwa dan menjadi penghuni 46
kampung di 3 Kecamatan Sekadau yakni, Sekadau Hulu, Sekadau Hilir, dan
Belitang Hilir, maka kelompok ketungau Sekadau merupakan salah satu
kelompok sub etnis dayak besar di Kabupaten Sekadau. Kelompok ketungau
sekadau/ketungau sesat ini sebagian besar menghuni kampung kampung yang
berada di sekita Kota Sekadau di 4 penjurunya, mulai dari kota sekadau
menuju jalur jalan sanggau, jalan rawak, jalan sintang dan seberang kapuas.
Sebagian besar di antaranya bermata pencaharian sebagai petani
ladang, dan sawit (untuk daerah-daerah yang dimasuki perkampungan sawit)
dan sebagian kecil telah menempuh pendidikan hingga bekerja di lembaga-
lembaga formal dan pejabat daerah. Salah Kelompok suku Ketungau di
Kecamatan Sekadau Hilir menyebar di beberapa kampung diantara nya Desa
Jerajau Dusun Batu Lebur. Berdasarkan pengamatan peneliti, pemilihan
Dusun Batu Lebur sebagai lokasi penelitian dikarenakan bahasa yang
4
digunakan merupakan bahasa yang masih belum tercampur dengan bahasa
lain dan didukung kondisi masyarakat yang masih asli. Selain itu, mayoritas
penuturnya berada di Desa Jerajau. Dusun Batu Lebur sendiri berjarak 15 km
dari Kecamatan Sekadau Hilir dan 45 km dari Kota Sekadau. Dalam studi
linguistik terdapat empat subdisiplin ilmu linguistik, yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi mendeskripsikan masalah bunyi,
morfologi mendeskripsikan bentuk kata, sintaksis mendeskripsikan bentuk
kalimat, dan semantik mendeskripsikan bentuk makna. Luasnya sistem bahasa
yang ada, maka pada penelitian ini dibatasi tentang fonologi bahasa Dayak
Ketungau.
Peneliti tertarik mengkaji mengenai fonologi karena fonologi
merupakan subdisiplin ilmu yang paling mendasar dalam tataran linguistik.
Bidang kajiannya mencakup dua aspek, yaitu aspek fonetik dan fonemik.
Beberapa pertimbangan peneliti dalam mengambil penelitian fonologi bahasa
Dayak Ketungau. Pertama, berdasarkan kajian kepustakaan, belum pernah ada
penelitian ilmiah mengenai fonologi bahasa Dayak Ketungau. Kedua, dalam
bahasa Dayak Ketungau terdapat cirri-ciri fonologis yang menjadi sebuah ciri
khas bahasa tersebut yang membedakan bahasa Dayak Ketungau.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, masalah umum pada
penelitian ini adalah fonologi bahasa Dayak Ketungau. Masalah penelitian ini
terbagi menjadi dua submasalah, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspek fonetik dalam bahasa Dayak Ketungau Sesat Desa
Engkersik Jerajau?
2. Bagaimanakah aspek fonemik dalam bahasa Dayak Ketungau Sesat Desa
Engkersik Jerajau?
5
C. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
fonologi bahasa Dayak Ketungau. Penelitian ini secara khusus bertujuan
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan aspek fonetik bahasa Dayak Ketungau Sesat yang
berkaitan dengan inventarisasi bunyi dan deskripsi bunyi.
2. Mendeskripsikan aspek fonemik bahasa Dayak Ketungau Sesat yang
berkaitan dengan pembuktian status fonem, fonem dan alofonnya, dan
struktur fonem dalam suku kata.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis maupun
praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan pembelajaran
dan pengembangan dalam kajian kebahasaan, khususnya yang berkaitan
dengan fonologinya. Manfaat praktisnya antara lain sebagai berikut.
1. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan serta
menambah wawasan tentang bahasa, khusunya mengenai fonologi
bahasa Dayak Ketungau Sesat.
2. Bagi guru bahasa Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru bahasa Indonesia
sebagai salah satu alternasi bahan pembelajaran bahasa Indonesia.
3. Bagi penelitian lainnya
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternasi
bahan informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya di bidang
linguistik, khususnya yang berkaitan dengan fonologi.
E. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan
penelitian dalam pengumpullan data sehingga arah penelitian ini menjadi
lebih jelas. Berdasarkan masalah penelitian, perincian bahwa aspek fonologi
6
bahasa Dayak Ketungau Sesat yang akan dibahas adalah aspek fonetik dan
fonemik. Dengan demikian, ruang lingkup penelitian ini akan mengamati
sistem fonetik dan fonemik bahasa Dayak Ketungau Sesat. Objek kajian
fonetik adalah cabang fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa menurut cara
pelafalan, sifat-sifat akuistiknya, dan cara penerimaannya oleh telinga
manusia, sedangkan fonemik adalah fonem dalam fungsinya sebagai pembeda
makna kata. Dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi-bunyi itu
berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak (Kasman, 2008:7).
a. Penjelasan Istilah
Penjelasam istilah dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman
antara peneliti dan pembaca dalam memahami istilah yang digunakan
dalam penelitian. Penjelasan istilah tersebut sebagai berikut.
1. Fonologi
Fonologi adalah ilmu yang termasuk dalam tataran linguistik,
yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
(Kridalakasana, 2008:57).
2. Fonetik
Fonetik adalah ilmu yang mempelajari produksi bunyi bahasa.
Ilmu ini berangkat dari teori fisika dasar yang mendeskripsikan bahwa
bunyi pada hakikatnya adalah gejala yang timbul akibat adanya benda
yang bergetar dan menggetarkan udara di sekelilingnya. Oleh karena
bunyi bahasa juga merupakan bunyi, bunyi bahasa tentunya diciptakan
dari adanya getaran suatu benda yang menyebabkan udara ikut
bergetar. Perbedaan antara bunyi bahasa dengan bunyi lainnya
menurut fonetik adalah bunyi bahasa tercipta atas getaran alat-alat
ucap manusia sedangkan bunyi biasa tercipta dari getaran benda-benda
selain alat ucap manusia. Namun demikian, pada dasarnya deskripsi
bunyi bahasa fonetik ini masih kurang lengkap sehingga akan
dilengkapi oleh deskripsi bunyi bahasa menurut fonemik.
7
3. Fonemik
Fonemik sendiri adalah ilmu yang mempelajari fungsi bunyi
bahasa sebagai pembeda makna.
b. Prosedur Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini mengkaji fonologi bahasa Ketungau Sesat,
meliputi: aspek fonetik dan fonemiknya. Untuk mencapai tujuan
tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif diarahakn sebagai prosedur pemecahan masalah yang akan
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek
atau objek yang diteliti secara apa adanya sesuai dengan fakta pada
saat penelitian dilakukan. Menurut Sudaryanto, (1988:62) Metode
deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya, seingga dihasilkan atau
dicatat berupa pemberian bahasa yang dikatakan sifatnya seperti
potret, paparan seperti apa adanya. Dengan metode deskriptif,
penelitian dilakukan semata-mata berdasarkan fakta atau fenomena
yang memang hidup pada penuturnya. Dalam hal ini, metode dekriptif
memberikan gambaran yang objektif tentang fonologi bahasa Dayak
Ketungau Sesat yang akan dianalisis sesuai dengan faktor pemakaian
sebenarnya dari bahasa Ketungau Sesat.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan bentuk penelitian yang menggambarkan suatu keadaaan
dengan uraian. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan
bukan angka-angka (Moleong, 2005:11). Oleh karena itu, data yang
8
akan dikumpulkan tidak menggunakan angka-angka atau perhitungan,
melainkan mengacu pada makna atau pemahaman terhadap interkasi
terhadap konsep data yang dianalisis. Dengan demikian data dianalisis
dalam bentuk uraian dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Pendekatan
kualitatif memiliki ciri-ciri berlatar alamiah, bersifat deskriptif, lebih
mengutamakan proses daripada hasil, dan analisis data bersifat
induktif (Bogdan dan Biklen, 1982 dalam Djajasudarma,1994).
Berlatar alamiah, maksudnya data penelitian bersumber dari peristiwa-
peristiwa komunikasi dan situasi alamiah yang berlangsung di
masyarakat Dayak Ketungau. Bersifat deskriptif, maksudnya data
dikumpulkan berbentuk deskripsi wacana. Data dilengkapi dengan
konteks terjadinya interaksi. Pendeskripsian konteks diupayakan
hingga menyentuh hal-hal kecil, seperti waktu, tempat, dan kedudukan
partisipan.
Hasil analisis data dilaporkan dalam bentuk deskripsi
fenomenologis, artinya hasil analisis dipaparkan sesuai dengan temuan
di lapangan. Lebih mengutamakan proses daripada hasil, maksudnya
dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnyakegiatan pengumpulan
lebih diorientasikan pada proses. Pengorientasian tersebut, misalnya
pengupayaan waktu pelaksanaan pengumpulan data yang bersifat
fleksibel. Karena itu, jadwal tidak dijadikan target. Demikian halnya
dengan perolehan data, baik jenis maupun jumlahnya tidak didasarkan
pada perencanaan atau target tertentu. Analisis data bersifat induktif,
maksudnya penelitian ini tidak diarahkan untuk memperkuat atau
menolak hipotesis tertentu. Karena itu, paparan hasil analisis
penelitian yang berkaitan dengan fonologi bahasa masyarakat Dayak
Ketungau lebih didasarkan pada data alamiah yang terkumpul di
lapangan
9
3. Data dan Sumber Data
a. Data dalam penelitian ini berupa bunyi-bunyi bahasa dalam bahasa
Dayak Ketungau Sesat.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah bahasa yang
dituturkan oleh penutur asli bahasa Ketungau yang diperoleh
melalui pengamatan dan pencatatan lapangan secara langsung.
Subjek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah
masyarakat asli penutur bahasa Dayak Ketungau Sesat. Namun,
tidak semua masyarakat asli penutur bahasa Dayak Ketungau Sesat
mempunyai kedudukan yang sama..
4. Teknik dan Alat Pengumpul Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
Observasi langsung dengan wawancara dan perekaman. Teknik
Observsi langsung merupakan teknik penjaringan data melalui
percakapan antara peneliti dan informan. Pelaksanaan teknik ini
dilakukan dengan cara tanya jawab langsung sesuai dengan korpus
data yang telah dipersiapkan. Teknik perekaman dalam penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang
sebenarnya dalam bentuk pita rekaman yang akan ditranskripsikan
dalam bentuk tulisan.
b. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, para ahli mengemukakan
pendapatnya bahwa yang menjadi instrumen penelitian adalah
peneliti itu sendiri, atau dengan bantuan orang lain yang
merupakan alat pengumpul data utama (Guba dan Lincoln, 1981
dalam Moleong, 2005). Hal ini dikarenakan peneliti dalam
10
penelitian kualitatif dipandang sebagai pencari tahu alami dalam
pengumpulan data. Peneliti sebagai instrumen, ada beberapa
prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu: (1) peneliti ada jarak
dengan objek terteliti, (2) tetap objektif, (3) berorientasi pada
tujuan penelitian, (4) tetap setia pada data penelitian, dan (5)
menyelesaikan sesuai dengan disiplin ilmu serta paradigma. Selain
peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini menggunakan
instrumen bantu, yaitu alat perekam (tape recorder), kartu data atau
catatan lapangan. Alat perekam digunakan untuk merekam tuturan
informan, catatan lapangan digunakan untuk mencatat konteks
tuturan.
c. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data ini didasarkan pada teknik yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992: 15-20). Teknik
analisis yang dimaksud meliputi: (a) reduksi data, (b) penyajian
data, dan (c) penyimpulan. Ketiga langkah tersebut merupakan
satu siklus yang saling terkait dan dilaksanakan secara serentak
selama dan setelah pengumpulan data. Ketiga langkah itu secara
memadai dipaparkan di bawah ini. Reduksi data adalah kegiatan
analisis yang meliputi (a) identifikasi, dan (b) klasifikasi.
Identifikasi data adalah kegiatan menyeleksi kelayakan data,
Klasifikasi data adalah kegiatan memilah dan mengelompokkan
data. Penyajian data adalah kegiatan mengelompokkan data yang
telah direduksi. Dengan penyajian data ini diharapkan penarikan
kesimpulan menjadi terarah. Penarikan simpulan adalah kegiatan
analisis yang lebih dikhususkan pada penafsiran data yang telah
disajikan. Penafsiran dilakukan secara menyeluruh tetang fonologi
bahasa Ketungau
11
d. Pengecekan Keabsahan Data
Konsekuensi bagi peneliti yang melakukan penelitian kualitatif
adalah sering dijumpai data kasus negatif dan data bervariasi.
Dalam kegiatan penelitian diperlukan kriteria tertentu yang dapat
memenuhi nilai kebenaran (keabsahan) terhadap data informasi
yang dikumpulkan peneliti dari lapangan, untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan terjadi kesalahan, kekurangan atau
bias terhadap data yang dianalisis. Kekhawatiran ini dapat
dihindari dengan melakukan trianggulasi sebagai salah satu teknik
pemeriksaan data (Moleong, 2005). Pengecekan keabsahan data
menurut Moleong (2005:175) ada sembilan teknik, yaitu: (1)
perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3)
trianggulasi, (4) pemeriksaan sejawat melalui diskusi, (5) analisis
kasus negatif, (6) kecukupan referensi, (7) pengecekan
keanggotaan, (8) uraian rinci, dan (9) auditing. Dalam penelitian
ini, pemeriksaan keabsahan data hanya difokuskan pada ketekunan
pengamatan, trianggulasi, dan kecukupan referensial. Trianggulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu (Moleong, 2005:178). Teknik
trianggulasi paling banyak digunakan ialah pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode penyidik dan teori
(Denzin dan Moleong, 2005). Perlunya diadakan trianggulasi
adalah untuk memeriksa kepercayaan dan validasi dari hasil-hasil
temuan penelitian. Trianggulasi sebagai salah satu alat yang tepat
untuk mengatasi terjadinya perbedaan-perbedaan sumber dalam
temuan penelitian. Beberapa ahli mengatakan bahwa trianggulasi
dilakukan untuk pengecekan data agar penelitian memiliki taraf
kepercayaan yang tinggi (Miles dan Huberman, 1984). Dalam
penelitian ini, trianggulasi digunakan untuk memeriksa keabsahan
12
dan kesalahan data sebagai strategi yang dapat meningkatkan
kredibitas penelitian ini
F. Tabel Waktu Penelitian
No Jenis
Kegiatan
Bulan atau Minggu Ke
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan √ √
2 Pembuata
n Proposal
√
√
3
Revisi
Proposal
√
√
4
Pengutusa
n Izin
Proposal
√
5
Pengumpu
lan Data
√ √
6
Pengolaha
n Data dan
Analisis
Data
√
√
7
Pengumpu
lan
Laporan
Hasil
Penelitian
√
8
Revisi
Laporan
Hasil
Penelitian
√
√
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Fonologi
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori linguistik
struktural. Terori ini memeandang bahasa sebagai suatu kesatuan sistem yang
memiliki struktur sendiri. Lyons (1992) mengemukakan bahwa terori struktur
memandang setiap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, yang unsur-
unsurnya adalah bunyi, kata, dan sebagainya. Struktur bahasa inilah yang
kemudian menjadi qaspek-aspek khusus dalam tinjauan penelitian bahasa.
Ilmu tentang bunyi disebut fonologi. Fonologi adalah bidang dalam tataran
linguistik yang memnyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya
(Kridalaksana, 2008: 57). Ada dua sifat bunyi, yaitu bersifat ujar (parole) dan
yang bersifat sistem (langue). Untuk membedakan bunyi itu digunakan istilah
yang berbeda, pertama disebut fon atau bunyi, dan kedua disebut fonem
(Samsuri, 1991: 125).
Fonologi dapat didefinisikan sebagai penyelidikan tentang perbedaan
minimal antara ujaran dan perbedaan minimal tersebut selalu terdapat dalam
kata sebagai konstituen (suatu bagian) (Verhaar, 1982:36) Pada dasarnya para
penutur asli suatu bahasa tidak mengenal bunyi-bunyi yang beraneka ragam
dan relatif banyak, melainkan bunyi-bunyi yang jumlahnya terbatas dan
dikenal karena membedakan arti. Penutur asli bahasa itu hanya mengenal
bunyi dan distingtif (berfungsi untuk membedakan satuan-satuan bahasa)
yang secara fonetis akustis beraneka ragam. Jadi, ada dua macam pengukuran
bunyi bahasa, yakni (1) bunyi yang terjadi secara akustik dan (2) bunyi yang
dituturkan oleh penutur asli. Bunyi yang pertama dilihat dari segi ucapan atau
ujaran (parole) yang disebut bunyi (fon), bunyi yang kedua lihat dari segi
14
sistem (langue) yang disebut fonb h em. Kajian bunyi ujar disebut fonetik,
sedangkan kajian fonem disebut fonemik Semua ahli fonologi sependapat
mengenai perlunya mengenal dua satuan analisis fonologis, yaitu (1) satuan
fonetis, dan (2) satuan fonologis (fonem) (Lapoliwa, 1980:1). Penelitian ini
didasarkakn pada teori bahwa analisis fonologi mencakup dua satuan analisis,
yaitu fonetik dan fonemik. Pasangan minimal dalam penelitian ini
dipergunakan untuk menemukan fonem atau variasi bebasnya. Jika pasangan
minimal tidak dapat ditemukan, pembuktian fonem dapat dilakukan dengan
menggunakan pasangan mirip dan distribusi komplementer.
1. Aspek Fonetik
Fonetik merupakan cabang fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa
menurut cara pelafalan, sifat-sifat akuistiknya, dan cara penerimaannya oleh
telinga manusia. Ketika kita medeskripsikan bahwa bunyi [p] dalam bahasa
Indonesia adalah bunyi yang dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu
melepaskannya sehingga udara keluar dengan letupan. Deskripsi seperti itu
adalah deskripsi fonetis. Berdasarkan sudut pandang bunyi bahasa, fonetik
dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) fonetik organis, (2) fonetik
akustis, dan (3) fonetik auditoris ((Bloch & Trager, 1942: 11; Verhaar, 1982:
12).
a. Fonetik Organis
Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) ialah fonetik
yang memperlajari bagaimana meknanisme alat-alat bicara yang ada dalam
tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa ((Gleason, 1955:239-256;
Malmberg, 1963:21-28; Mol, 1970:15-18) dalam Marsono, 1993:2).. Fonetik
artikulatoris menyangkut produksi atau pembentukan bunyi bahasa dibuat
atau diucapkan, serta bagaimana bunyi bahasa diklasifikasikan berdasarkan
artikulasinya. Fonetik jenis ini banyak berkaitan dengan linguistik sehingga
para linguis khususnya para ahli fonetik memasukkannya sebagai cabang
linguistik.
15
b. Fonetik Akuistik
Fonetik akuistis memperlajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala
fisis ((Malmberg, 1963:5-20) dalam Marsono, 1993:2). Fonetik jenis ini
mengkaji frekwensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas, dan timbrenya.
Fonetik jenis ini banyak berkaitan dengan fisika dan laboratorium fonetis.
c. Fonetis Auditoris
Fonetis auditoris mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima
bunyi bahasa sebagai getaran udara ((Bronstein & Beatrice F. Jacoby,
1967:70-72) dalam Marsono, 1993:3). Cabang ilmu fonetik ini melakukan
penyelidikan tentang cara-cara penerimaan bunyi bahasa oleh telinga manusia.
Fonetik inni berkaitan erat dengan proses mendengar atau menyimak. Sebagai
getaran udara, bunyi merupakan aspek yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Pengelompokan bunyi dalam penelitian ini menggunakan landasan
fonetik artikulatoris, yaitu tentang bagaimana bunyi-bunyi dihasilkan oleh alat
ucap. Faktor utama yang terlibat dalam pembentukan bunyi bahasa yaitu
sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan tenaga pengubah
getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan
pernafasan sebagai sumber teanganya yang berupa udara yang keluar dari
paru-paru. Pada mulanya udara dihisap oleh paru-paru kemudian
dihembuskan sewaktu bernafas. Udara yang dihembuskan itu mengalami
perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan. Arus
udara yang keluar dari paru-paru dapat membuka pita suara yang merapat
sehingga mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu. Gerakan membuka dan
menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara di sekitar pita suara
itu berubah tekanannya dan bergetar. Perubahan bentuk saluran suara itulah
yang menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda.
16
Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas: vokal, konsonan, dan semi-
vokal ((cf. Jones, 1958:12) dalam Marsono, 1993:16) pembedaan ini
berdasarkan ada atau tidaknya rintangan terhadap arus udara.
1. Vokal
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami
rintangan, jadi tidak ada artikulasi. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara tidak
lazim disebut artikulasi (Verhaar, 1977:17).
a. Pembentukan vokal berdasarkan posisi bibir
1. Vokal bulat
Vokal bulat adalah vokal yang diucapkan dengan bentuk
bibir bulat. Bentuk bibir bulat bisa terbuka dan tertutup.
Jika terbuka, vokal itu diucapkan dengan posisi bibir
terbuka bulat. Misalnya: vokal [u], [o], dan [a].
2. Vokal tak bulat
Vokal tak bulat adalah vokal yang diucapkan dengan
bentuk bibir tak bulat atau terbentang lebar, seperti: [i], [e].
b. Pembentukan vokal berdasarkan tinggi rendahnya lidah
1. Vokal tinggi
Vokal tinggi atau atas dibentuk apabila rahang bawah
mendekat ke rahang atas, seperti: [i] dan [u].
2. Vokal madya
Vokal madya dibentuk apabila rahang bawah menjauh
sedikit dari rahang atas, seperti: [e] dan [o].
3. Vokal rendah
Vokal rendah dibentuk apabila rahang bawah dimundurkan
lagi sejauh-jauhnya, seperti [a].
c. Pembentukan vokal berdasarkan maju mundurnya lidah
1. Vokal depan
17
Vokal depan adalah vokal yang dihasilkan oleh gerakan
turun naiknya lidah bagian depan, seperti: [i] dan [e].
2. Vokal tengah] dan
[a].Vokal tengah adalah vokal yang dihasilkan oleh
gerakan lidah tengah, seperti: [
3. Vokal belakang
Vokal belakang adalah vokal yang dihasilkan oleh gerakan
turun naiknya lidah bagian belakang, seperti [u] dan [o].
2. Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa yang ketika dihasilkan mengalami
hambatan-hambatan pada daerah artikulasi tertentu.
a. Pembentukan konsonan berdasarkan daerah artikulasi
1. Konsonan bilabial
Konsonan bilabial adalah konsonan yang dihasilkan dengan
mempertemukan kedua belah bibir yang bersama-sama
bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi, seperti [p],
[b], dan [m].
2. Konsonan labiodentals
Konsonan labiodentals adalah konsonan yang dihasilkan
dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan
bibir bawah sebagai artikulator, seperti [f] dan [v].
3. Konsonan apiko-dental
Konsonan apiko-dental adalah konsonan yang dihasilkan
dengan ujung lidah (apex) yang bertindak sebagai artikulator
dan daerah antargigi (dens) sebagai titik artikulasi, seperti [t],
[d], dan [n].
4. Konsonan apiko-alvoelar
18
Konsonan apiko-alvoelar adalah konsonan yang dihasilkan
ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi
(alveolum) sebagai titik artikulasi, seperti [s], [z], [r], dan [I].
5. Konsonan platal
Konsonan platal adalah konsonan yang dihasilkan oleh bagian
tengah lidah (lamia) sebagai artikulator dan langit-langit keras
(paltalum) sebagai ], dan [y].titik artikulasi, seperti [c], [j].
6. Konsonan velar
Konsonan velar adalah konsonan yang dihasilkan oleh
belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut
sebagai titik artikulasi, ].seperti [k], [g], [x].
7. Konsonan glottal
Konsonan glotal adalah konsonan yang dihasilkan dengan
posisi pita suara sama sekali merapat sehingga menutup glottis,
seperti ].[
8. Konsonan laringal
Konsonan laringal adalah konsonan yang dihasilkan dengan
pita suara terbuka lebar sehingga udara yang keluar dogesekan
melalui glottis, seperti [h].
b. Pembentukan konsonan berdasarkan cara artikulasi
1. bunyi letupan [plosive] yakni bunyi yang dihasilkan dengan
menghambat udara sama sekali ditempat artikulasi lalu
dilepaskan, seperti [b], ], dan lain-lain;[p], [t], [d], [k], [g].
2. bunyi nasal adalah bunyi yang dihasilkan dengan menutup alur
udara keluar melalui rongga mulut tetapi dikeluarkan melalui
rongga hidung seperti fonem [n, m, ñ, h].
3. bunyi lateral yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
udara sehingga keluar melalui kedua sisi lidah seperi [l].
19
4. bunyi frikatif yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
udara pada titik artikulasi lalu dilepaskan secara frikatif
misanya [f], [s].
5. bunyi afrikatif yaitu bunyi yang dihasilkan dengan melepas
udara yang keluar dari paru-paru secara frikatif, misalnya [c]
dan [z].
6. bunyi getar yakni bunyi yang dihasilkan dengan
mengartikulasikan lidah pada lengkung kaki gigi kemudian
dilepaskan secepatnya dan diartikulasikan lagi seprti [r] pada
jarang.
c. Pembentukan konsonan berdasarkan posisi pita suara
Berdasarkan posisi pita suara, bunyi bahasa dibedakan ke dalam
dua macam, yakni bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara.
1. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit,
sehingga terjadilah getaran pada pita suara itu. Bunyi yang
termasuk bersuara antara lain, bunyi [b], [d], [g] [m] [n], [ñ],
[j], [z], [r], [w] dan [y].
2. Bunyi tak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak
lebar, sehingga tidak ada getaran pada pita suara. Bunyi yang
termasuk bunyi tak bersuara, antara lain [k], [p], [t], [f], [s],
dan [h].
d. Pembentukan konsonan berdasarkan jalan keluarnya udara
1. Konsonan oral
Konsonan oral adalah konsonan yang terjadi jika udara keluar
melalui ], [b],rongga mulut. Konsonan yang dihasilkan [p], [t],
[c], [k], [ [d], [j], [g], [f], [s], [x], [h], [I], [r], [w], dan [y].
2. Konsonan nasal
20
Konsonan nasal adalah konsonan yang terjadi jika udara keluar
melalui ].], dan [rongga mulut. Konsonan yang dihasilkan
[m], [n], [
2. Aspek Fonemik
Objek kajian fonemik adalah fonem dalam fungsinya sebagai
pembeda makna kata.Jika di dalam fonetik kita meneliti bunyi /l/ dan /r/
yang berbeda seperti terdapat pada kata laba dan raba maka dalam
fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi-bunyi itu berfungsi
sebagai pembeda makna atau tidak.
Fonemik dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai sistem fonem
suatu bahasa (Kridalaksana, 2008:56). Fonem itu sendiri merupakan
satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem
memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem juga dapat dibatasi
sebagai suatu unit bunyi yang signifikan.
Bunyi bahasa yang dicatat secara fonetik tidak semuanya berguna
dalam pernyataan peebedaan makna. Dalam hal ini perlu adanya
fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi yang
berfungsi dalam rangka pembedaan makna. Fonemisasi dilakukan
berdasarkan pencatatan fonetik yang baik dan cermat. Pencatatan fonetik
harus dilakukan berulang-ulang dengan mencari bunyi dan distribusi
bunyi bahasa tersebut. Dengan demikian, fonemisasi bertujuan untuk (1)
menentukan struktur fonemis bahasa, dan (2) membuat otografi yang
praktis atau ejaan sebuah bahasa.
Menetapkan suatu bunyi yang dianggap fonem atau bukan
disarankan untuk mencari pasangan minimal. Apabila bunyi itu kontras
21
dalam lingkungan yang sama atau mirip dengan bunyi yang lain, maka
bunyi itu disebut fonem atau fonem yang berbeda. Akan tetapi, apabila
bunyi-bunyi secara fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi
komplementer, bunyi-bunyi itu dianggap sebagai fonem yang sama
(Samsuri, 1991:131). Pasangan minimal adalah pasangan bentuk-bentuk
bahasa terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa
kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Bunyi
yang berbeda itu saling bertentangan dalam posisi atau distribusi yang
sama. Contoh dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. [barang] [dua]
[garam] [parang] [tua] [karam] [b] dan [p] [d] dan [t] [g] dan [k] Ketiga
pasangan kata-kata tersebut berbeda, baik bentuk maupun maknanya.
Unsur pembeda makna tersebut adalah pasangan bunyi [b] dan [p], [d]
dan [t], dan [g] dan [k]. bunyi tersebut merupakan sebuah fonem atau
unit bahasa terkecil dan bersifat fungsional atau distingtif, yakni
berfungsi sebagai pembeda makna kata.
Istilah kontras lingkungan sama (KLS) tidak berbeda maknanya
dengan pasangan minimal terutama dalam pandangan Fonologi
Struktural (FS), yakni sama-sama merupakan prosedur penemuan fonem
yang mempunyai konsep bahwa dua buah bunyi bahasa dapat
dinyakatan sebagai dua buah fonem yang berbeda apabila keduanya
berada pada leksikon yang dibentuk oleh lingkungan bunyi yang sama
dan kedua bunyi itulah yang menyebabkan makna dari sepasang
leksikon itu berbeda (Moeliono, 2004:86). Aspek pengenalan fonem
terdapat premis-premis fonologis yaitu bunyi bahasa yang mempunyai
kecendrungan dipengaruhi oleh lingkungan dan sistem bunyi
mempunyai kecendrungan bersifat simetris. Dikemukakan pula dua
buah hipotesis kerja sebagai berikut, (1) bunyi yang secara fonetis mirip
harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi atau fonem-fonem yang
berbeda apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang sama
22
atau mirip; (2) bunyi yang secara fonetis mirip dan terdapat dalam
distribusi yang komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas
bunyi atau fonem yang sama (Samsuri, 1991:132). Relisasi fonem
adalah pengungkapan yang sebenarnya diisi ciri atau satuan fonologis,
yaitu fonem yang menjadi bunyi bahasa. Relisasi fonem berkaitan erat
dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan satu di antara wujud
pengungkapan dari realisasi fonem. Berikut relisasi fonem dan
variasinya dalam bahasa Indonesia. Suku kata adalah bagian kata yang
diucapkan dalam satu hembusan napas dan umumnya terdiri atas
beberapa fonem. Kata seperti datang diucapkan dengan dua hembusan
napas, satu untuk da- dan satu lagi untuk tang. Suku kata yang berakhir
dengan vokal (K)V, disebut suku terbuka dan suku yang berakhir
konsonan (K)VK disebut suku tertutup (Kasman, 2008:13). Suku kata
dapat didefinisikan sebagai regangan wicara yang dibentuk oleh pusat
kenyaringan. Suku kata memiliki struktur yang terdiri dari vocal atau
kombinasi vocal dan konsonan. Penyukuan dan pemenggalan kata perlu
dibedakan. Penyukuan kata berkaitan dengan kata seperti satuan
fonologis, sedangkan pemenggalan kata sebagai satuan grafemis.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ismawati, Esti. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa&Sastra.
Surakarta: Yuma Pustaka
Zuldafrial dan Muhammad Lahir. (2011). Penelitian Kualitatif. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Yakub Nasucha. (2012). Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Karya Ilmiah.
Yogyakarta: Media Perkasa
Masnur Muslich. Fonologi Bahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Puastaka.