52
Pembaruan Komisi Informasi Menuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional 2014

Buku pembaharuan-komisi-informasi

Embed Size (px)

Citation preview

Pembaruan Komisi InformasiMenuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional

2014

i

PembaruanKomisi InformasiMenuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional

Penulis:Dessy Eko Prayitno

Ahmad HanafiAri Setiawan

Desiana Samosir

Peneliti Daerah:Ni Putu Ary Pratiwi, Panji Noor Ramadhan, Bambang Sundoro Tenti Novari Kurniawati, Willi Sumarlin, Asriyati Nadjamuddin, Arip Yogiawan, Widi Nugroho, Novli Thiessen, Linggarjati, Okky Syaifudin Adam, Turaihan Aldi, Dwie Arie Santo, Triono Hadi, Syarief Hidayat

Muh. Akil Rahman, Rurita Ningrum, Ruslan.

Didukung Oleh:

ii

Pembaruan Komisi Informasi Menuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional

Penulis:Dessy Eko PrayitnoAhmad HanafiAri SetiawanDesiana Samosir

Design & Layout:Agus Sumberdana

Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensiCreative Commons Attribution 3.0

Hak cipta dilindungi secara terbatas.

Katalog Dalam TerbitanCetakan Pertama, Januari 2015Pembaruan Komisi Informasi Menuju Komisi Informasi yang Mandiri dan ProfesionalCet.I-Jakarta: IPC, 2015;38 hlm.; 14,81 x 21,01 cm;ISBN : 978-602-17446-7-3

Diterbitkan Oleh:Indonesian Parliamentary CenterJl. Tebet Utara III D No. 12 A Jakarta 12820Tlp/Fax : (+62-21) 8353626www.ipc.or.id

iii

Kata Pengantar

Komisi Informasi Pusat (KIP) Republik Indonesia telah memasuki periode kepengurusan kedua periode 2013-2017, periode yang idealnya ditargetkan menjadi tonggak atas perbaikan kinerja jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang memang masih disibukkan dengan pembentukan KI Provinsi, penataan kelembagaan, penyusunan berbagai tata kerja, regulasi dan lainnya yang akan menjadi dasar dan landasan bekerja. Namun berbagai kendala yang muncul pada periode pertama 2009-2013 seperti: kantor yang belum tetap, terlambat terbentuknya KI di beberapa provinsi bahkan hingga kini, kepatuhan terhadap etika komisioner dan lain sebagainya membuat target yang diharapkan dicapai oleh KI Pusat periode pertama hampir sebagian besar belum tercapai. Agar berbagai problem tersebut tidak menjadi beban bagi KI Pusat yang berpotensi mengganggu dan membuatnya terlampau sering “menengok” ke belakang maka kami di Indonesian Parliamentary Center (IPC) menawarkan sejumlah rekomendasi perbaikan yang merupakan hasil kajian terhadap kelembagaan Komisi Informasi.

Tantangan dan harapan publik terhadap Komisi Informasi yang diharapkan dapat menjadi lembaga terpercaya yang mampu menyelesaikan sengketa informasi sebagai bagian dari pemenuhan terhadap Hak atas Informasi Publik sebagaimana diamanatkan dalam UUD Pasal 28 F. Tuntutan terhadap transparanasi penyelenggaraan negera juga semakin kuat seiring dengan bertambahnya usia republik ini dan perbaikan kualitas demokrasi. Selain itu, peran aktif Indonesia dalam percaturan global utamanya dalam Open Government Partnership dan inisiatif global lainnya menjadikan peran KI menjadi sangat strategis.

Untuk itu IPC dan FOINI mencoba mengidentifikasi beberapa kelemahan KI dari sisi kelembagaan dan kewenangan berdasarkan analisis terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta kajian terhadap lembaga quasi negara lain di negeri ini. Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi seluruh stakeholder (DPR, Pemerintah dan Masyarakat Sipil) yang sejak awal peduli dan berkomitmen untuk mewujudkan transparansi dan keterbukaan informasi di Indonesia untuk dapat dijadikan bahan perbaikan dan agenda advokasi dalam

iv

menata dan memperbaiki kelembagaan KI Pusat maupun KI Provinsi. Kajian ini juga dilengkasi dengan dukungan IPC terhadap penyusunan rencana strategis Komisi Informasi Pusat yang ditargetkan dapat menjadi panduan dan arah bagi Komisi Informasi dalam menyusun rencana kerja tahunan.

Harapan kami kajian ini bukanlah tujuan dan akhir dari upaya memperkuat kelembagaan KI seperti yang juga telah disampaikan tim peneliti dalam rekomendasi kajian ini tentu saja masih diperlukan berbagai upaya bagi perbaikan KI di masa depan melalui perbaikan peraturan perundang-undangan, penyusunan visi dan misi dan rencana strategis.

Untuk itu dalam kesempatan ini perkenankan saya mewakili IPC mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hadirnya kajian ini. Terima kasih pula kepada tim peneliti yang telah berupaya keras menuntaskan kajian ini. Juga kepada Sekretariat dan Anggota Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang tak terhingga sehingga kami dapat menuntaskan kajian ini. Terkhusus kepada para Komisioner Komisi Informasi Pusat yang selalu hadir dan turut berdiskusi selama kajian ini disusun.

Terima kasih pula kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan baik moril dan materiil yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga kajian ini bermanfaat mendorong transparansi di Indonesia.

Salam Transparansi,

Sulastio

v

DAFTAR ISI

HalHALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiiDAFTAR ISI vRingkasan Eksekutif viiBAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1B. Tujuan 3C. Metodologi 3D. Sistematika Penulisan 4

BAB II Analisis Permasalahan Kemandirian Kelembagaan Komisi Informasi

5

A. Pasal 28 – Pertanggungjawaban Komisi Informasi

5

B. Pasal 29 – Dukungan Administrasi, Keuangan, Tata Kelola dan Sekretariat Komisi Informasi

6

1. Permasalahan Kemandirian Sekretariat 82. Permasalahan Kemandirian Anggaran 113. Pasal 30, 31, dan 32 – Rekrutmen Anggota Komisi Informasi

14

BAB III Pembaruan Komisi Informasi Yang Mandiri dan Profesional

17

A. Advokasi Jangka Pendek 171. Kemandirian KI Pusat 17a. Sekretariat 18b. Anggaran 182. Kemandirian KI Provinsi 22a. Sekretariat 22b. Anggaran 26B. Advokasi Jangka Panjang 27

vi

1. Pertanggungjawaban Komisi Informasi Sebagai Lembaga Mandiri

28

2. Melahirkan Lembaga Komisi Informasi : Restrukturisasi Kelembagaan Komisi Informasi yang Hirarkis

29

3. Penambahan Tugas, Fungsi dan Wewenang Komisi Informasi

30

4. Pengisian Jabatan Anggota Komisi Informasi 31a. Komisi Informasi 31b. Komisi Informasi Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota

33

5. Penguatan Sekretariat Komisi Informasi 35

DAFTAR TABEL Hal

Tabel II.1. Anggaran Komisi Informasi Provinsi 12

DAFTAR GAMBAR HalGambar III.1. Alur Proses Seleksi Komisi Informasi Pusat 32Gambar III.2. Alur Proses Seleksi Komisi Informasi Provinsi

dan Kabupaten/Kota34

DAFTAR BOXBox 1 Dualisme Loyalitas 8Box 2 Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Tidak

Memiliki Staf Sekretariat9

Box 3 Kesulitan Pencairan Anggaran 13Box 4 Alasan Dibutuhkannya Fleksibilitas Anggaran

Penyelesaian Sengketa Informasi21

vii

Ringkasan Eksekutif

Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Komisi Informasi berfungsi memiliki tiga fungsi utama, yaitu: menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya, menyusun peraturan dan kebijakan pelaksanaan keterbukaan informasi, dan menyelesaikan sengketa informasi. Namun demikian, dalam melaksanakan tiga fungsi tersebut, Komisi Informasi menghadapi tantangan kemandirian lembaga. Meskipun Pasal 23 UU KIP telah secara tegas menyebutkan bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri, tetapi kemandirian ini direduksi melalui pengaturan Pasal 28, 29, 30, 31, dan 32 UU KIP.

Pasal 28 UU KIP mengatur mengenai pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pimpinan eksekutif. Pertanggungjawaban kepada pimpinan eksekutif memiliki makna bahwa Komisi Informasi merupakan bagian dari eksekutif yang melaksanakan tugas-tugas eksekutif sebagaimana dimandatkan oleh pimpinan eksekutifnya. Hal ini bertentangan dengan ciri lembaga mandiri, yang seharusnya tidak bertanggungjawab kepada siapapun, tetapi: pertama, dalam hal keuangan bertanggungjawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan kedua, dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya, memberikan laporan kepada eksekutif dan legislatif.

Pasal 29 UU KIP mengatur mengenai dukungan administrasi, keuangan, tata kelola, dan sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah. Pasal ini secara tegas memposisikan sekretariat Komisi Informasi melekat atau dibawah instansi pemerintah yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika –Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk KI Pusat, atau Dinas Perhubungan dan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) atau Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) untuk KI Provinsi. Sekretariat Komisi Informasi yang dilaksanakan oleh pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah wajib memberikan dukungan sekretariat kepada Komisi Informasi, tetapi di sisi lain pemerintah merupakan entitas badan publik yang dapat menjadi pihak yang diperiksa dan diadili dalam sengketa informasi di Komisi Informasi.

viii

Pasal 30, 31, dan 32 UU KIP mengatur mengenai rekrutmen calon anggota Komisi Informasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemberian mandat rekrutmen anggota Komisi Informasi kepada pemerintah (dan DPR/DPRD) merupakan salah satu permasalahan yang berpotensi mengganggu kemandirian Komisi Informasi dan pelaksanaan keterbukaan informasi, terutama untuk KI Provinsi. Permasalahan ini misalnya: masih terdapat delapan provinsi yang belum memiliki KI Provinsi, perilaku yang tidak objektif DPRD Jawa Timur dalam melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan untuk memilih calon anggota KI Provinsi Jawa Timur.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab berbagai permasalahan kemandirian Komisi Informasi tersebut di atas dengan memberikan rekomendasi sebagai berikut:

Rekomendasi Advokasi Jangka Pendek: rekomendasi ini difokuskan untuk penyelesaian permasalahan kemandirian akibat pengaturan Pasal 29 UU KIP, yaitu melalui pendekatan birokratis kepada pimpinan eksekutif (dan legislatif). Tujuan utama dari rekomendasi jangka pendek ini adalah meminta pimpinan eksekutif –presiden dalam kaitannya dengan KI Pusat, dan gubernur dalam kaitannya dengan KI Provinsi, agar memisahkan sekretariat Komisi Informasi dari instansi pemerintah dan mengalokasikan anggaran secara tersendiri dalam APBN/APBD.

Pemisahan sekretariat: pertama, untuk KI Pusat dilakukan dengan meminta presiden mengeluarkan perpres tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Pusat. Muatan perpres ini secara garis besar antara lain: membentuk sekretariat KI Pusat terpisah dari Kominfo, susunan organisasi sekretariat, tata kerja sekretariat, eselonisasi pejabat sekretariat, dan dukungan anggaran tersendiri dalam APBN. Kedua, untuk KI Provinsi dilakukan melalui tiga langkah advokasi, yaitu: 1) meminta presiden mengeluarkan perpres tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi; 2) meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengeluarkan permendagri tentang pedoman organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi yang akan menjadi dasar bagi gubernur untuk menyusun peraturan daerah (perda) tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi; dan 3) Meminta gubernur dan DPRD untuk mengeluarkan perda tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi. Muatan perda ini secara garis besar antara lain: membentuk sekretariat KI Provinsi terpisah dari satuan perangkat

ix

daerah lainnya, susunan organisasi sekretariat, tata kerja sekretariat, eselonisasi pejabat sekretariat, dan dukungan anggaran tersendiri dalam APBD.

Pemisahan anggaran: pertama, untuk KI Pusat dilakukan dengan meminta presiden mengalokasikan anggaran secara tersendiri dalam APBN. Dasarnya adalah Pasal 6 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kedua, untuk KI Provinsi juga dilakukan dengan meminta gubernur mengalokasikan anggaran secara tersendiri dalam APBD sebagai konsekuensi terpisahnya sekretariat KI Provinsi dari satuan perangkat daerah lainnya. Ketiga, khusus untuk anggaran pelaksanaan tugas penyelesaian sengketa informasi yang besaran dan spesifik kebutuhannya tidak dapat diprediksi, maka perlu adanya anggaran yang lebih fleksibel. Oleh karena itu, perlu adanya dana operasional khusus untuk penyelesaian sengketa informasi.

Rekomendasi Advokasi Jangka Panjang: rekomendasi ini difokuskan untuk untuk penyelesaian permasalahan kemandirian akibat pengaturan Pasal 28, 30, 31, dan 32 UU KIP, serta permasalahan eksekusi putusan Komisi Informasi, dan potensi lahirnya undang-undang tentang rahasia negara. Rekomendasi advokasi jangka panjang dilakukan melalui revisi UU KIP yang akan menyentuh pada aspek:

1. Pertanggungjawaban Komisi Informasi yang tidak lagi bertanggungjawab kepada pimpinan eksekutif, tetapi: pertama, dalam hal keuangan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam hal penyelenggaraan tugas, fungsi, dan wewenangnya, memberikan laporan kepada presiden dan DPR.

2. Restrukturisasi kelembagaan Komisi Informasi yang hirarkis. Namun demikian, sifat hirarkis kelembagaan Komisi Informasi tidak akan menyentuh pada aspek penyelesaian sengketa informasi. Putusan KI Provinsi dan KI Kabupaten/Kota tidak diselesaikan secara hirarkis dari tahapan KI Kabupaten/Kota hingga KI Pusat, tetapi bersifat final and binding pada masing-masing tingkatan, dalam hal tidak diajukan keberatan ke pengadilan.

3. Penambahan tugas, fungsi, dan wewenang Komisi Informasi. Pertama, kewenangan untuk mengeksekusi putusan Komisi Informasi dalam hal putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh para pihak. Kedua, dalam hal lahirnya undang-undang tentang rahasia

x

negara, maka Komisi Informasi juga akan berfungsi mengawal pelaksanaan undang-undang tentang rahasia negara tersebut.

4. Pengisian jabatan Komisi Informasi yang akan memperbaiki rekrutmen calon anggota Komisi Informasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 30, 31, dan 32 UU KIP, yaitu: untuk KI Pusat, rekrutmen dilaksanakan oleh presiden, sedangkan untuk KI Provinsi, rekrutmen dilaksanakan oleh KI Pusat.

5. Penguatan sekretariat Komisi Informasi, yaitu dengan menjadikan sekretaris Komisi Informasi menjadi sekretaris jenderal.

1

A. Latar Belakang

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), mengamanatkan pembentukan Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan perlaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik, dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi.1 Komisi Informasi wajib dibentuk ditingkat pusat dan provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten/kota dibentuk jika diperlukan.2 Komisi Informasi di tingkat pusat (KI Pusat) harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU KIP diundangkan,3 sedangkan Komisi Informasi di tingkat provinsi (KI Provinsi) harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU KIP diundangkan.4

Hingga 2014, KI Pusat telah terbentuk untuk dua periode, 2009-2013 dan 2013-2017. Untuk KI Provinsi, baru terbentuk di 26 dari 34 provinsi di Indonesia. Sangat disayangkan karena ada 8 (delapan) provinsi5 yang belum memiliki Komisi Informasi, padahal Pasal 59 secara tegas memandatkan KI Provinsi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU KIP diundangkan.Permasalahan Komisi Informasi tidak hanya soal pembentukan KI Provinsi yang lambat, tetapi juga permasalahan kemandirian kelembagaan Komisi

1 Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008, Pasal 23.

2 Ibid., Pasal 24 ayat (1).3 Ibid., Pasal 59.4 Ibid., Pasal 60.5 Delapan provinsi yang belum memiliki KI Provinsi adalah: Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat. Sebagai catatan, Provinsi Kalimantan Barat telah memilih 5 (lima) calon anggota KI Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan fit and proper test oleh DPRD Kalimantan Barat yang ditetapkan pada 21 Agustus 2014, tetapi hingga saat Desember 2014, calon anggota terpilih belum juga dilantik, sehingga belum dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya.

BAB IPENDAHULUAN

2

Informasi, baik KI Pusat maupun KI Provinsi. Permasalahan kemandirian ini pun menjadi salah satu permasalahan serius yang selalu menjadi topik pembahasan dalam forum Rapat Koordinasi Komisi Informasi seluruh Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun.

Secara normatif, permasalahan kemandirian Komisi Informasi berasal dari Pasal 28 dan Pasal 29 UU KIP. Pasal 28 mengatur mengenai pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pimpinan eksekutif. Sedangkan Pasal 29 mengatur sekretariat Komisi Informasi yang dilaksanakan oleh pemerintah –untuk KI Pusat dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sedangkan untuk KI Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan dan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) atau Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo).

Pasal 28 dan 29 ini secara tidak langsung bertentangan dengan Pasal 23 yang menyatakan bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri. Pengaturan Pasal 28 dan 29 secara tidak langsung mereduksi kemandirian Komisi Informasi. Sekretariat Komisi Informasi yang dilaksanakan oleh pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah wajib memberikan dukungan sekretariat kepada Komisi Informasi, tetapi di sisi lain pemerintah merupakan entitas badan publik yang dapat menjadi pihak yang diperiksa dan diadili dalam sengketa informasi di Komisi Informasi.

Dalam konteks pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Indonesia, permasalahan kemandirian Komisi Informasi menjadi penting untuk segera diselesaikan. Hal ini mengingat tugas, fungsi, dan wewenang Komisi Informasi yang cukup strategis dalam menjalankan UU KIP untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat atas informasi sebagaimana dimandatkan Pasal 23 jo Pasal 26.6

6 Kewenangan Komisi Informasi berdasarkan Pasal 23 jo Pasal 26 tersebut mencakup aspek kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), penyelesaian sengketa, dan secara implisit aspek pengawasan penaatan. (Lihat Henri Subagiyo, et.all., Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.,(Jakarta: ICEL, 2009), Hal. 44.)

3

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rekomendasi desain pembaruan kelembagaan Komisi Informasi yang mandiri dan profesional.

C. Metodologi

Penelitian ini fokus membahas mengenai kemandirian kelembagaan Komisi Informasi dalam konteks pengaturan dan penerapan Pasal 23 jo Pasal 28 jo Pasal 29 UU KIP. Di mana Pasal 23 secara tegas mengatur Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri, tetapi dalam prakteknya kemandirian kelembagaan Komisi Informasi tidak terjadi, karena: pertama, dukungan sekretariat dan aggaran Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah (Pasal 29) –halmana ini berpotensi mereduksi kemandirian Komisi Informasi; dan kedua, Komisi Informasi bertanggungjawab kepada kepala pemerintahan (Pasal 28) –halmana bertentangan dengan ciri lembaga yang mandiri. Selain itu, Pasal 30 UU KIP yang mengatur mengenai rekrutmen calon anggota Komisi Informasi yang dilakukan oleh pemerintah juga menjadi salah satu alasan keterlambatan pembentukan Komisi Informasi, sebagaimana terjadi di 8 (delapan) provinsi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kelembagaan Komisi Informasi sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary body), yang kemudian dibandingkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan tersebut terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Komisi Informasi dalam menjalankan UU KIP untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat atas informasi sebagaimana dimandatkan Pasal 23 jo Pasal 26.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptis-analitis, yaitu dengan memaparkan realitas empiris terhadap ketidakmandirian Komisi Informasi akibat dari pengaturan UU KIP. Kemudian, penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur. Sedangkan data primer diperoleh melalui diskusi dengan anggota koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), serta narasumber dari unsur akademisi –Refly Harun (ahli Hukum Tata Negara), Dian Puji Simatupang

4

(ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Anggaran Negara), dan ahli dari unsur birokrasi, yaitu Drs. Hastori (Asdep Asesmen dan Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kelembagaan, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Selain itu, data primer juga diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh Peneliti Daerah di 18 provinsi yang telah memiliki KI Provinsi, yaitu:

1. Provinsi Sumatera Utara 10. Provinsi Jawa Timur2. Provinsi Riau 11. Provinsi Bali 3. Provinsi Bengkulu 12. Provinsi Gorontalo4. Provinsi Lampung 13. Provinsi Kalimantan Tengah5. Provinsi DKI Jakarta 14. Provinsi Kalimantan Timur6. Provinsi Banten 15. Provinsi Sulawesi Tengah7. Provinsi Jawa Barat 16. Provinsi Sulawesi Selatan8. Provinsi DI Yogyakarta 17. Provinsi Sulawesi Utara9. Provinsi Jawa Tengah 18. Provinsi Nusa Tenggara Barat

D. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) Bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang memaparkan mengenai latar belakang dan tujuan dilakukannya penelitian, metodologi yang digunakan, serta sistematika penulisan hasil penelitian.

Bab II Analisis Permasalahan Kemandirian Komisi Informasi, yang memaparkan mengenai permasalahan kemandirian Komisi Informasi dilihat dari aspek normatif peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Komisi Informasi sebagai lembaga negara bantu, yang kemudian dibandingkan dengan implementasi dari pengaturan tersebut dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Komisi Informasi dalam menjalankan UU KIP untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat atas informasi sebagaimana dimandatkan Pasal 23 jo Pasal 26.

Bab III Pembaruan Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional, yang memaparkan usulan pembaruan kelembagaan Komisi Informasi menuju Komisi Informasi yang mandiri dan profesional.

5

Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri ditegaskan dalam Pasal 23 UU KIP yang menyatakan sebagai berikut:

Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Frasa “Komisi Informasi adalah lembaga mandiri” dalam rumusan Pasal 23 tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri. Kemandirian ini juga dipertegas melalui mekanisme pengangkatan anggota Komisi Informasi yang dilaksanakan bersama eksekutif dan legislatif, yang juga memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota Komisi Informasi.7 Keterlibatan eksekutif, legislatif, dan masyarakat dalam pemilihan anggota Komisi Informasi merupakan salah satu ciri lembaga mandiri.8

Namun demikian, kemandirian Komisi Informasi sebagaimana diatur Pasal 23 UU KIP, tersebut ternyata tidak sejalan dengan pengaturan Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 yang berpotensi mereduksi kemandirian Komisi Informasi.

A. Pasal 28 – Pertanggungjawaban Komisi Informasi

Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri sebagaimana diatur Pasal 23, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, secara normatif direduksi melalui pengaturan Pasal 28. Pasal 28 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban Komisi Informasi menyatakan sebagai berikut:

7 Indonesia, Op. Cit., Pasal 30 jo Pasal 31 jo Pasal 32.8 Refly Harun, “Kelembagaan Komisi Informasi,” disampaikan dalam

Diskusi Ahli HTN-Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2014.

BAB IIANALISIS PERMASALAHAN KEMANDIRIAN

KELEMBAGAAN KOMISI INFORMASI

6

(1) Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Komisi Informasi Provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan.

(3) Komisi Informasi Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada bupati/walikota dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pimpinan eksekutif sebagaimana diatur dalam Pasal 28 tersebut menunjukkan bahwa Komisi Informasi tidak benar-benar mandiri, karena pertanggungjawaban kepada pimpinan eksekutif memiliki makna bahwa Komisi Informasi merupakan bagian dari eksekutif yang melaksanakan tugas-tugas eksekutif sebagaimana dimandatkan oleh pimpinan eksekutifnya.9 Hal ini bertentangan dengan ciri lembaga mandiri, yaitu bahwa lembaga tersebut seharusnya tidak bertanggungjawab kepada siapapun, tetapi: pertama, dalam hal keuangan bertanggungjawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan kedua, dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya, memberikan laporan kepada eksekutif dan legislatif.10

B. Pasal 29 – Dukungan Administrasi, Keuangan, Tata Kelola dan Sekretariat Komisi Informasi

Permasalahan kemandirian Komisi Informasi juga disebabkan dari pengaturan Pasal 29 yang mengatur mengenai dukungan administrasi, keuangan, tata kelola, dan sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah. Secara lengkap, Pasal 29 menyatakan sebagai berikut:

(1) Dukungan administratif, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi dilaksanakan oleh sekretariat komisi.

9 Ibid.10 Ibid.

7

(2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah.

(3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan Komisi Informasi.

(4) Sekretariat Komisi Informasi Provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informasi ditingkat provinsi yang bersangkutan.

(5) Sekretariat Komisi Informasi Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informasi ditingkat Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(6) Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, anggaran Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pengaturan Pasal 29 tersebut, secara tidak langsung mereduksi kemandirian Komisi Informasi. Hal ini terutama jika melihat pegaturan Pasal 29 ayat (2), (3), (4), dan (5), dimana secara tegas dinyatakan bahwa sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika. Pasal 29 ayat (2), (3), (4), dan (5) berarti memposisikan sekretariat Komisi Informasi melekat atau dibawah instansi pemerintah yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika –Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk KI Pusat, atau Dinas Perhubungan dan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) atau Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) untuk KI Provinsi.

Sekretariat Komisi Informasi yang dilaksanakan oleh pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah wajib memberikan dukungan sekretariat kepada Komisi Informasi, tetapi di sisi lain pemerintah merupakan entitas badan publik yang dapat menjadi pihak yang diperiksa dan diadili dalam sengketa informasi di Komisi Informasi.

8

Pengaturan dan penerapan Pasal 23 dan Pasal 29 UU KIP, merupakan bentuk contrario in terminis dalam memaknai Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri, karena pengaturan dan penerapannya bertentangan.11 Pengaturan Pasal 29 ini setidaknya berimplikasi pada dua aspek, yaitu: kemandirian sekretariat dan kemandirian anggaran.

1. Permasalahan Kemandirian Sekretariat

Berdasarkan hasil wawancara di 18 Provinsi, ditemukan beberapa permasalahan yang mempengaruhi kemandirian sekretariat akibat pelaksanaan sekretariat oleh pemerintah –Diskominfo atau Dishubkominfo, antara lain:

1) Sekretaris KI Provinsi rata-rata diisi oleh pejabat eselon III (Kepala Bidang) di instansi induknya secara ex-officio, kecuali Sekretaris KI Provinsi Lampung, KI Provinsi DIY, KI Provinsi Jawa Timur, dan KI Provinsi Gorontalo, di mana sekretarisnya dijabat oleh pejabat non-struktural dan non-eselon. Kondisi ini berdampak pada:- pengisian sekretaris secara ex-officio berarti sekretaris KI Provinsi

melaksanakan dua tugas, yaitu tugas dari instansi induknya, dan tugas dari KI Provinsi. Dalam prakteknya, sekretaris KI Provinsi lebih banyak mengerjakan tugas-tugas dari instansi induknya, sehingga jarang berada di kantor KI Provinsi. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Jawa Tengah, KI Provinsi Lampung, KI Provinsi Bengkulu, dan KI Provinsi Kalimantan

11 Dian Puji Simatupang, “Pembahasan Mengenai Kesekretariatan Komisi Informasi,” Disampaikan dalam Diskusi Ahli HAN-Melihat Komisi Informasi dari Sudut Pandang Ahli Administrasi Negara di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2014.

Box 1Dualisme Loyalitas

Martha Lisa –Sekretaris KI Provinsi Sumatera Utara, menyatakan bahwa: “Masih ada dualisme loyalitas karena saya dari Dinas Kominfo, maka saya juga harus loyal pada Kominfo.” Namun demikian, Martha menyebutkan bahwa staf honorer lebih loyal pada KI Provinsi Sumatera Utara (Medan, 20 Mei 2014).

Drs. H. Bambang Herawan –Sekretaris KI Provinsi Bengkulu menyatakan: “Sekretariat KI belum memadai karena masih dibebani dengan tugas pokok di instansi asal yang menyebabkan ada dualisme loyalitas sehingga tidak dapat mendukung secara maksimal (Bengkulu, 23 Mei 2014).

Sawitri –Kepala Sekretariat KI Provinsi Lampung menyatakan: “Tugas kami melayani komisioner untuk tanggungjawab kami kepada Dinas. Jadi kami tidak punya tanggungjawab kepada Komisioner (Lampung, 19 Mei 2014).

9

Tengah. Permasalahan lainnya adalah adanya konflik kepentingan sekretaris KI Provinsi dengan pimpinan tertingginya di pemda –terutama dalam pelaksanaan tugas penyelesaian sengketa informasi. Pada kasus Banten, sekretaris KI Provinsi Banten yang dijabat oleh pejabat eselon III dari Dishubkominfo, dalam kapasitasnya sebagai Panitera KI Provinsi Banten, tidak berani mengirimkan surat panggilan kepada Sekretaris Daerah (Sekda). Hal ini tentunya mengganggu proses penyelesaian sengketa, dan berpengaruh pada independensi KI Provinsi.12

- pengisian sekretaris oleh pejabat non-struktural dan non-eselon akan berpengaruh pada penegakan disiplin pegawai. Dalam kasus KI Provinsi DIY, Sekretaris KI Provinsi DIY tidak bisa mengarahkan atau menegur “bawahan/staf sekretariat,” karena sekretaris yang berasal dari pejabat non-struktural dianggap bukan atasan.13 Meski tidak ditemukan dalam wawancara, pengisian Sekretaris oleh pejabat non-struktural juga berpengaruh pada penggunaan anggaran, karena pejabat non-struktural tidak memiliki kewenangan penggunaan anggaran.

2) Staf sekretariat KI Provinsi bukan staf yang ditempatkan, melainkan staf yang diperbantukan

12 Wawancara dengan Alamsyah Basri (Ketua Komisi Informasi Banten), pada 12 Mei 2014.

13 Wawancara dengan Nuri Achdiyati (Sekretaris KI Provinsi DIY), pada 14 Mei 2014.

Box 2KI Provinsi Gorontalo Tidak Memiliki

Staf Sekretariat

Dalam wawancara dengan Jafar Hunowu –anggota KI Provinsi Gorontalo, beliau menyatakan bahwa: KI Provinsi Gorontalo, tidak memiliki staf sekretariat karena staf sekretariat sebelumnya dipanggil pulang saat terjadi pergantian Gubernur Gorontalo. Sejak saat itu, tidak ada staf sekretariat, sehingga untuk melaksanakan tugas kesekretariatan, dilakukan dengan merekrut satu orang pegawai honorer. (Gorontalo, 8 Mei 2014).

Saat dikonfirmasi kepada Henry F. Djuuna –Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Provinsi Gorontalo, ditegaskan bahwa Sekretariat KI Provinsi Gorontalo tidak melekat di Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Provinsi Gorontalo. Namun demikian, Henry menyadari bahwa PemProv perlu memfasilitasi KI Provinsi Gorontalo dengan sekretariat, tetapi perlu dipikirkan soal independensinya, karena Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri. (Gorontalo, 15 Mei 2014).

KI Provinsi Gorontalo baru memiliki kantor sekretariat sendiri pada tahun 2014, meski telah terbentuk sejak 2010. Sebelumnya kantor KI Provinsi Gorontalo berada dalam satu ruangan dengan bidang Kominfo di Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi.

10

melalui Surat Perintah Tugas (SPT) dari instansi induknya, bukan dengan Surat Keputusan Gubernur. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Lampung. Hanya dengan SPT dari instansi induknya yang tidak dibekali dengan arahan tugas dan pola kerja yang jelas, membuat KI Provinsi Lampung tidak dapat memberikan arahan dan pembagian tugas kepada staf sekretariat, karena mereka merasa bukan staf KI Provinsi Lampung, melainkan staf Diskominfo.14

3) Adanya dualisme loyalitas sekretaris dan staf sekretariat KI Provinsi. Dualisme loyalitas berarti bahwa sekretaris dan staf-nya dituntut loyal kepada KI Provinsi, tetapi di sisi lain harus loyal kepada instansi induknya, karena penilaian kinerja berada di instansi induknya. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Jawa Tengah, KI Provinsi Lampung, KI Provinsi Sumatera Utara, dan KI Provinsi Bengkulu, di mana staf sekretariat dari unsur PNS tidak setiap saat berada di kantor KI Provinsi, karena masih harus mengerjakan tugas-tugas dari instansi induknya. (Lihat Box 1)

4) PemDa tidak memberikan dukungan sekretariat bagi KI Provinsi. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Gorontalo. (Lihat Box 2). Kondisi demikian membuat KI Provinsi harus melaksanakan sendiri tugas-tugas kesekretariatan dan kepaniteraan.

5) Komisi Informasi tidak memiliki kekuatan evaluasi terhadap kinerja staf sekretariat yang tidak maksimal. Hal ini sebagaimana terjadi KI Pusat, di mana tidak profesionalnya staf sekretariat dalam mengatur jadwal sidang, telah mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara di Komisi Informasi yang belum terselesaikan.15 Kondisi demikian mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi.

6) KI Provinsi tidak dapat melakukan rekrutmen staf secara mandiri. Pengisian staf sekretariat dilakukan oleh instansi induknya, kualifikasi staf yang ditempatkan tidak sesuai dengan kebutuhan KI Provinsi. Misalnya, rata-rata pendidikan hanya SMA, yang tidak bisa menggunakan komputer dan email,16 merupakan “staf

14 Wawancara dengan Ahmad Haryono (anggota KI Provinsi Lampung), Lampung: 2014.

15 Keterangan dari Yhannu Setyawan, Diskusi Ahli Hukum Tata Negara di Harris Hotel, 20 Agustus 2014.

16 Wawancara dengan Gema Pancawati (Sekretariat KI Provinsi Jawa Tengah) dan Siti Roswati Handayani (anggota KI Provinsi DIY), pada 14 Mei 2014.

11

buangan” atau tidak berprestasi di instansi induknya.17 Hal ini terjadi di seluruh KI Provinsi.

2. Permasalahan Kemandirian Anggaran

Berdasarkan hasil wawancara di 18 Provinsi, ditemukan beberapa permasalahan yang mempengaruhi kemandirian anggaran akibat pelaksanaan sekretariat oleh pemerintah –Diskominfo atau Dishubkominfo, antara lain:

1) Anggaran KI Provinsi diberikan pemda melalui mekanisme hibah. Secara normatif, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (PerMenDaGri 32/2011), pemberian dana hibah kepada KI Provinsi dimungkinkan berdasarkan Pasal 5 huruf a jo Pasal 6 ayat (1), akan tetapi pemberian dana hibah harus sesuai dengan ketentuan Pasal 4 jo Pasal 8 jo Pasal 9, yaitu:- dana hibah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah; - pemberian dana hibah dilakukan setelah memprioritaskan

pemenuhan belanja urusan wajib; - pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian

sasaran program dan kegiatan pemda; - pemberian dana hibah bersifat tidak wajib, tidak mengikat,

dan tidak terus-menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;

- pemberian hibah dilakukan berdasarkan evaluasi SKPD atas usulan hibah yang diajukan kepada kepala daerah.

Ketentuan Pasal 4 jo Pasal 8 jo Pasal 9 PerMenDaGri 32/2011, secara normatif berpotensi memberikan ketidakpastian penyediaan anggaran bagi KI Provinsi, baik dari sisi ketersediaan maupun kecukupannya.

2) Dalam pemberian hibah sebagaimana diatur Pasal 8 PerMenDaGri 32/2011 dinyatakan bahwa usulan hibah dilakukan oleh calon penerima hibah, yang kemudian usulan ini akan dievaluasi oleh SKPD sebagai bahan rekomendasi kepada kepala daerah. Namun

17 Wawancara dengan Siti Roswati Handayani (anggota KI Provinsi DIY), pada 14 Mei 2014.

12

demikian, dalam prakteknya di 18 KI Provinsi, besaran dana hibah ditentukan terlebih dahulu oleh pemda, sehingga perencanaan program kerja dan anggaran KI Provinsi didasarkan dari pagu dana hibah yang diberikan oleh pemda melalui SKPD. Berikut ini daftar anggaran KI Provinsi yang seluruhnya berasal dari dana hibah:

3) Tabel II.1 Anggaran Komisi Informasi Provinsi

No KI Provinsi 2013 20141 Gorontalo1 ± 300.000.000,- ± 300.000.000,-2 Bali2 ± 516.000.000,- ± 519.000.000,-3 NTB3 600.000.000,-

Catatan: hibah di luar gaji anggota KI Provinsi.

700.000.000,-

Catatan: hibah di luar gaji anggota KI Provinsi.

4 DIY4 681.068.650,- 841.197.750,-5 Kalimantan Tengah5 800.000.000,- 800.000.000,-6 Sulawesi Tengah6 ± 850.000.000,- ± 850.000.000,-7 Lampung7 - 114.000.000,-8 Bengkulu8 - 1.300.000.000,-9 Jawa Barat9 - 1.420.000.000,-

10 Sulawesi Utara10 ± 1.500.000.000,- ± 1.600.000.000,-11 Kalimantan Timur11 - ± 2.000.000.000,-12 Sulawesi Selatan12 ± 2.000.000.000,- ± 2.000.000.000,-13 Jawa Tengah13 2.250.000.000,- 1.700.000.000,-14 Riau14 2.288.903.350,- 2.640.789.975,-15 Banten15 3.000.000.000,- 3.000.000.000,-16 Sumatera Utara16 3.834.492.650,- 4.214.311.375,-17 DKI Jakarta17 ± 6.900.000.000,- ± 10.000.000.000,-

Catatan: dana diperoleh dari DPA (± 5 Milyar) + Hibah (± 4 Milyar).

18 Jawa Timur - -

13

4) Potensi pemotongan anggaran KI Provinsi dalam hal putusan KI Provinsi dianggap merugikan pemerintah. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Riau akibat memutus kalah badan publik yang memiliki pengaruh kuat di Riau, sehingga membuat tidak senang kepala daerah yang kemudian melakukan pemotongan anggaran KI Provinsi Riau.18

5) Penggunaan anggaran oleh KI Provinsi terbentur dengan judul mata anggaran instansi induknya (SKPD), padahal KI Provinsi memiliki tugas, fungsi, dan wewenang yang berbeda dengan SKPD, terutama tugas terkait dengan penyelesaian sengketa informasi, sehingga dalam penyusunan program kerja dan anggaran, KI Provinsi seringkali terjebak dalam judul mata anggaran kegiatan rutin SKPD. Hal ini sebagaimana terjadi di KI Provinsi Jawa Barat.19 Permasalahan yang sama juga terjadi di KI Pusat, anggaran yang dialokasikan untuk penyelesaian sengketa informasi jumlahnya mencapai Rp. 2 Miliar di tahun 2014 tidak terserap, karena nomenkaltur anggaran yang disediakan hanya untuk perjalanan dinas saja, sementara penyelesaian sengketa informasi di KI Pusat lebih banyak di Kantor, hanya sedikit yang diselesaikan di luar kantor.20

6) Kesulitan dalam pencairan anggaran. Dalam konteks ini, permasalahan yang muncul antara lain: a) dana hibah yang

18 Wawancara dengan Mahyudin Yusdar (Ketua KI Provinsi Riau), Riau, 19 Mei 2014.

19 Wawancara dengan Dan Satriana (Ketua KI Provinsi Jawa Barat), pada 19 Mei 2014.

20 Agus Wijayanto Nugroho, TA Komisi Informasi Pusat, dalam Diskusi Ahli tentang Perencanaan Anggaran Negara. Jakarta, 29 Agustus 2014.

Box 3Kesulitan Pencairan Anggaran

Lona Lengkong –anggota KI Provinsi Sulawesi Utara menyatakan: “Kita sudah susun Program. Misal, Pak Habel (anggota KI Provinsi Sulawesi Utara) akan sosialisasi di kabupaten-kabupaten harus lapor ke dinas. Kemudian dinas mengaatakan bahwa bulan ini tidak ada uang untuk perjalanan dinas. Coba bayangkan kantor apa seperti ini, kita tidak mandiri dalam perencanaan dan tidak mandiri dalam kesekretariatan.” (Manado, Mei 2014).

Juniardi –anggota KI Provinsi Lampung menyatakan: “… hal itu masih ditambah lagi dengan sikap minor dinas yang meminta setoran, fee, bahkan mempersulit saat pencairan.”

14

diberikan kepada KI Provinsi harus ditransfer terlebih dahulu ke instansi induknya, sehingga pencairan anggaran untuk kegiatan KI Provinsi harus dilakukan melalui instansi induknya. Hal ini seperti terjadi di KI Provinsi Lampung dan KI Provinsi Sulawesi Utara; b) adanya sikap instansi induk untuk meminta “fee” dalam pencairan anggaran KI Provinsi, sebagaimana terjadi di KI Provinsi Lampung. (Lihat Box 3)

C. Pasal 30, 31, dan 32 – Rekrutmen Anggota Komisi Informasi

Pasal 30 ayat (2) menyatakan: “Rekrutmen calon anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka, jujur, dan objektif.” Pemberian mandat rekrutmen anggota Komisi Informasi kepada pemerintah (dan DPR/DPRD) merupakan salah satu permasalahan yang berpotensi mengganggu kemandirian Komisi Informasi dan pelaksanaan keterbukaan informasi, terutama untuk KI Provinsi. Beberapa fakta yang mendukung argumen tersebut antara lain:

a. Dari 34 provinsi di Indonesia, baru 26 provinsi yang telah memiliki Komisi Informasi. Artinya, masih ada 8 (delapan) provinsi yang belum memiliki Komisi Informasi, yaitu: Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 59 secara tegas memandatkan pembentukan KI Provinsi dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU KIP diundangkan. Ironisnya, hanya tiga KI Provinsi yang terbentuk sesuai jangka waktu sebagaimana dimandatkan Pasal 59, yaitu: KI Provinsi Jawa Timur, KI Provinsi Jawa Tengah, dan KI Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam melaksanakan keterbukaan informasi sesuai mandat UU KIP.

b. Rekrutmen calon anggota KI Provinsi Kalimantan Barat yang tidak kunjung selesai. Berdasarkan catatan Koalisi Keterbukaan Informasi Publik Kalbar (KKIP Kalbar), inisiasi pembentukan KI Provinsi Kalimantan Barat dimulai sejak 30 Juli 2010, tetapi proses seleksi ini terhenti hingga Agustus 2014. Proses seleksi kembali bergulir ketika pada Juni 2014, KKIP Kalbar melayangkan surat notifikasi kepada Gubernur dan DPRD Kalimantan Barat untuk

15

mempercepat pembentukan KI Provinsi Kalimantan Barat. Pada 21 Agustus 2014, DPRD Kalimantan Barat mengumumkan 5 (lima) calon anggota KI Provinsi Kalimantan Barat terpilih, tetapi hingga Desember 2014, calon terpilih belum juga dilantik oleh Gubernur. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan Gubernur Kalimantan Barat dalam melaksanakan keterbukaan informasi sesuai mandat UU KIP.

c. Adanya perilaku tidak objektif DPRD Jawa Timur dalam rekrutmen calon anggota KI Provinsi Jawa Timur melalui uji kepatutan dan kelayakan. Kinerja anggota KI Provinsi Jawa Timur dapat dikatakan cukup membanggakan, karena mereka memiliki inisiatif, komitmen, dan resourcefulness yang sangat menentukan dalam mendorong keterbukaan informasi di Jawa Timur.21 Berbagai upaya dilakukan oleh ketua dan anggota KI Provinsi Jawa Timur ditengah minimnya fasilitas dan dana. Misalnya: mengupayakan kantor sementara, menggalang dana pinjaman untuk menutup dana operasional.22 Komitmen ketua dan anggota KI Provinsi Jawa Timur bahkan mendapatkan apresiasi dari Ali Mukti –anggota Komisi A DPRD Jawa Timur yang mengatakan:

“untuk operasional, mereka kadang patungan tapi kualitas kerja dan kekompakkan merekanya sangat terjaga. Anggota KID Jatim bermental tangguh meski hanya memiliki kantor kecil menumpang pada sebuah dinas dengan pasukan inti 5 orang saja.”

Namun demikian, kinerja apik ketua dan anggota KI Provinsi Jawa Timur sama sekali tidak berbekas, ketika pada pemilihan calon anggota KI Provinsi Jawa Timur periode kedua (2014-2018), tidak ada satupun incumbent yang terpilih, padahal empat incumbent masuk dalam tahap uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Jawa Timur. Memang tidak ada data yang secara gamblang menyatakan bahwa tidak terpilihnya incumbent adalah karena tidak dikehendaki oleh pemda atau sebelinya kalah bersaing dengan calon baru lainnya. Tetapi tidak terpilihnya satu pun

21 Pratikno, et.all., Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang No. 14 Tahun 2008., (Yogyakarta: FISIPOL UGM Yogyakarta, 2012), Hal. 38.

22 Ibid., Hal. 39.

16

incumbent telah mempengaruhi psikologis KI Provinsi lainnya,23 bahwa kinerja yang baik tidak menjamin akan terpilih kembali.

23 Akibat dari tidak terpilihnya satu pun incumbent KI Provinsi Jawa Timur, banyak KI Provinsi lainnya mendesak KI Pusat untuk membuat juklak-juknis Pasal 33 UU KIP yang mengatur anggota KI Provinsi dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya tanpa harus melalui seleksi. Meskipun usulan pengangkatan kembali ini oleh KI Pusat dan pegiat keterbukaan informasi dimaknai sebagai ambisi untuk melanggengkan posisi di KI Provinsi, tetapi hal ihwal usulan ini juga tidak lepas dari hasil fit and proper test KI Provinsi Jawa Timur, dan ketidakpastian lobi politik di DPRD ketika penetapan 5 (lima) calon terpilih.

17

Permasalahan kemandirian kelembagaan Komisi Informasi sebagaimana diuraikan pada Bab II menjadi agenda penting yang harus diselesaikan dalam rangka percepatan pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Dalam konteks ini, terdapat dua agenda advokasi, yaitu: advokasi jangka pendek dan advokasi jangka panjang.

Advokasi jangka pendek dilakukan untuk menjawab permasalahan pengaturan dan penerapan Pasal 29 UU KIP yang dilakukan melalui pendekatan birokratis kepada pejabat atau instansi yang berwenang untuk memperkuat kemandirian kelembagaan Komisi Informasi. Penguatan ini dilakukan dengan melahirkan kebijakan penguatan kelembagaan Komisi Informasi, baik pada aspek kesekretariatan maupun anggaran. Sedangkan advokasi jangka panjang dilakukan untuk menjawab seluruh permasalahan Komisi Informasi yang berdampak pada tidak efektifnya pelaksanaan keterbukaan informasi.

A. Advokasi Jangka Pendek

Berdasarkan uraian Bab II dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan kemandirian Komisi Informasi secara garis besar ada dua, yaitu: pertama, sekretariat Komisi Informasi yang melekat pada –Kominfo dalam hal KI Pusat, dan Diskominfo atau Dishubkominfo dalam hal KI Provinsi; dan kedua, anggaran Komisi Informasi yang juga melekat pada instansi induknya, yang juga merupakan konsekuensi dari sekretariat yang melekat pada instansi induknya. Oleh karena itu, advokasi jangka pendek ini difokuskan penyelesaian dua permasalahan yang disebutkan di atas, melalui pendekatan birokratis kepada pimpinan eksekutif.

1. Kemandirian KI Pusat

Sekretariat KI Pusat, secara normatif diatur dalam Pasal 29 ayat (2) dan (3), yang menyatakan:

(2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah.

(3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh

BAB III PEMBARUAN KOMISI INFORMASI YANG MANDIRI DAN

PROFESIONAL

18

sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan Komisi Informasi.

Ayat (3) tersebut secara tegas menyatakan bahwa sekretariat dan sekretaris ditetapkan oleh menteri yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan Komisi Informasi. Hal ini sebagaimana terlihat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 11/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Informasi Pusat (PerMenKominfo 11/2011). Artinya adalah sekretariat Komisi Informasi melekat dan di bawah Kominfo, sebagaimana terjadi saat ini. Implikasinya adalah penempatan staf dan penganggaran dilakukan oleh Kominfo. Permasalahan inilah yang harus diselesaikan, yaitu dengan memisahkan sekretariat KI Pusat dari Kominfo.

a. Sekretariat

Pemisahan sekretariat KI Pusat dari Kominfo dilakukan dengan meminta presiden untuk mengeluarkan peraturan presiden (perpres) tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Pusat. Muatan perpres ini secara garis besar antara lain:

1) Membentuk sekretariat KI Pusat terpisah dari Kominfo;2) Susunan organisasi sekretariat, yang terdiri atas:

- Kepala sekretariat/sekretaris;- Bagian perencanaan (dengan dua sub-bagian: program dan

evaluasi-pelaporan);- Bagian umum (dengan dua sub-bagian: keuangan dan tata

usaha-perlengkapan);- Bagian administrasi pengaduan dan penyelesaian sengketa

informasi/ kepaniteraan (dengan dua sub-bagian: pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi).

- Kelompok jabatan fungsional (ditujukan untuk dua hal, yaitu: pusat penelitian dan pengkajian perkara dan pusat pendidikan dan pelatihan)

3) Tata kerja sekretariat;4) Eselonisasi:

- Sekretaris: eselon II a;- Kepala bagian: eselon III a;- Kepala sub-bagian: eselon IV a.

19

5) Dukungan anggaran: adanya pos anggaran KI Pusat dalam APBN (terpisah dari Kominfo).

6) Dll.

Namun demikian, advokasi untuk mendorong lahirnya perpres sebagaimana diuraikan di atas bukanlah hal yang mudah, karena Pasal 29 ayat (2) dan (3) menjadi permalasahan tersendiri, di mana dalam pasal tersebut secara tegas dinyatakan bahwa sekretariat KI Pusat dan sekretarisnya ditetapkan oleh Kominfo. Oleh karena itu, harus memunculkan argumentasi yang memperkuat presiden untuk mengeluarkan perpres tersebut, antara lain:

1) Komisi Informasi merupakan lembaga yang pembentukkannya dimandatkan oleh UU KIP yang berfungsi menjalankan UU KIP dalam rangka memenuhi hak warga negara Indonesia atas informasi –Pasal 23 UU KIP;

2) Hak atas informasi merupakan hak asasi manusia yang secara tegas diatur dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 14 dan Pasal 60 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian hak prosedural perolehan informasi diatur dalam UU KIP;

3) Uraian permasalahan penerapan Pasal 29 UU KIP yang berdampak pada upaya mendorong pemenuhan hak atas informasi, yang juga menjadi tugas Komisi Informasi.

Selain itu, advokasi lahirnya perpres ini harus dilakukan tidak hanya dengan lobi kepada presiden, tetapi juga kepada DPR.

b. Anggaran

KI Pusat sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Dengan pemisahan sekretariat KI Pusat dari Kominfo, seharusnya berdampak pada adanya pos anggaran tersendiri KI Pusat dalam APBN. Untuk memperkuat pemisahan anggaran ini bisa menggunakan Pasal 6 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

20

(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1):a. …b. Dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga

selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinya;

c. …

Penjelasan ayat (2) huruf b:

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah non-kementerian negara.

Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.

Pasal 6 ayat (2) huruf b dan penjelasannya memberikan pengaturan yang jelas bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara dapat dipegang oleh pimpinan lembaga –baik lembaga negara maupun lembaga non-kementerian negara. Komisi Informasi, dalam Pasal 23 UU KIP secara tegas menyatakan, “Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya…” Dalam konteks tersebut, Komisi Informasi juga merupakan lembaga yang dapat diberikan kekuasaan pengelolaan keuangan negara.

Dana Operasional KI Pusat untuk Penyelesaian Sengketa Informasi

Permasalahan lain terkait anggaran yang dihadapi KI Pusat adalah “keterbatasan” anggaran penyelesaian sengketa. Secara faktual, anggaran Komisi Informasi –khususnya KI Pusat mencukupi untuk pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Namun demikian, khusus untuk penyelesaian sengketa informasi seringkali anggaran “tidak mencukupi,” karena tidak dapat diakomodir oleh nemenklatur anggaran Kominfo. Anggaran penyelesaian sengketa dialokasikan dalam bentuk perjalanan dinas, sedangkan kebutuhan penyelesaian sengketa tidak selalu dalam bentuk perjalanan dinas, tetapi kebutuhan mendatangkan ahli, diskusi-diskusi untuk memperdalam substansi informasi yang sedang diperiksa,

21

dll.24 Dengan mata anggaran dalam bentuk perjalanan dinas ini tidak saja membuat kekurangan anggaran penyelesaian sengketa, tetapi juga membuat anggaran tidak terserap untuk sebagian besarnya.

Dalam konteks demikian, untuk menjamin fleksibilitas anggaran penyelesaian sengketa informasi, KI Pusat dapat mengajukan kepada presiden agar mengeluarkan perpres yang secara khusus memandatkan adanya dana operasional penyelesaian sengketa Komisi Informasi. Perpres inilah yang akan dijadikan dasar bagi Kementerian Keuangan untuk menganggarkan dana operasional KI Pusat, khusus untuk penyelesaian sengketa informasi.

Jika melihat pengaturan dana operasional dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 03/PMK.06/2006 tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri (PerMenKeu 03/2006), terlihat bahwa dana operasional menteri/pejabat setingkat menteri disediakan untuk menunjuang kegiatan operasional yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan dan kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas menteri/pejabat setingkat menteri sehari-hari.25 Dilihat dari pengaturan ini, terlihat bahwa dana operasional tidak diuraikan dalam mata anggaran spesifik –misalnya perjalanan dinas, rapat, dll, tetapi lebih pada pengaturan umum, seperti representasi, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan dan kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas menteri/pejabat setingkat menteri sehari-hari.

24 Agus Wijayanto Nugroho, TA Komisi Informasi Pusat, dalam Diskusi Ahli tentang Perencanaan Anggaran Negara. Jakarta, 29 Agustus 2014.

25 Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, Peraturan Menteri Keuangan No. 03/PMK.06/2006.

Box 4Alasan Dibutuhkannya Fleksibilitas Anggaran Penyelesaian Sengketa

Informasi

Fleksibilitas anggaran penyelesaian sengketa informasi dibutuhkan karena:1. Jumlah dan kompleksitas sengketa

informasi yang tidak pasti;2. Tingkat kompleksitas sengketa

informasi yang membutuhkan kehadiran ahli dalam persidangan Komisi Informasi, diskusi pendalaman, dll. (*biaya ahli yang dihadirkan atas inisiatif Komisi Informasi, menjadi tanggungjawab Komisi Informasi).

3. Sengketa informasi yang berasal dari daerah lokasinya berbeda wilayah dengan kedudukan Komisi Informasi.

22

Dengan demikian, dengan adanya dana operasional penyelesaian sengketa informasi, KI Pusat tidak akan lagi terbentuk pada nomenklatur atau mata anggaran kegiatan pemerintah. Penggunaan dana operasional penyelesaian sengketa informasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan penyelesaian sengketa informasi, seperti mendatangkan ahli, diskusi pendalaman substansi perkara, dst.

2. Kemandirian KI Provinsi

Sekretariat KI Provinsi, secara normatif diatur dalam Pasal 29 ayat (2) dan (4), yang menyatakan:

(2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah.

(3) …(4) Sekretariat Komisi Informasi Provinsi dilaksanakan oleh

pejabat yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informasi ditingkat provinsi yang bersangkutan.

Ayat (4) tersebut secara tegas menyatakan bahwa sekretariat dan sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informasi ditingkat provinsi yang bersangkutan. Artinya sekretariat KI Provinsi melekat dan di bawah pejabat yang tugas dan wewenangnya dibidang komunikasi dan informasi ditingkat provinsi yang bersangkutan –dalam hal ini Dishubkominfo atau Diskominfo, sebagaimana terjadi saat ini. Implikasinya adalah penempatan staf dan penganggaran dilakukan oleh Dishubkominfo atau Diskominfo. Permasalahan inilah yang harus diselesaikan, yaitu dengan cara memisahkan sekretariat KI Provinsi dari Dishubkominfo atau Diskominfo.

a. Sekretariat

Pemisahan sekretariat KI Provinsi dari Dishubkominfo atau Diskominfo dapat dilakukan dengan tiga langkah, yaitu:

23

Langkah-1

Meminta presiden mengeluarkan perpres tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat Komisi Informasi –di dalamnya mencakup KI Pusat, KI Provinsi, dan KI Kabupaten/Kota. Advokasi ini dilakukan secara bersama oleh KI Pusat dan seluruh KI Provinsi. Muatan perpres ini secara garis besar antara lain:1) Membentuk sekretariat KI Pusat terpisah dari Kominfo;2) Susunan organisasi sekretariat KI Pusat, yang terdiri atas:

- Kepala sekretariat/sekretaris;- Bagian perencanaan (dengan dua sub-bagian: program dan

evaluasi-pelaporan);- Bagian umum (dengan dua sub-bagian: keuangan dan tata

usaha-perlengkapan);- Bagian administrasi pengaduan dan penyelesaian sengketa

informasi/ kepaniteraan (dengan dua sub-bagian: pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi).

- Kelompok jabatan fungsional (ditujukan untuk dua hal, yaitu: pusat penelitian dan pengkajian perkara dan pusat pendidikan dan pelatihan)

3) Susunan organisasi sekretariat KI Provinsi, yang terdiri atas:- Kepala sekretariat/sekretaris;- Bagian perencanaan;- Bagian umum;- Bagian administrasi pengaduan dan penyelesaian

sengketa informasi/ kepaniteraan;- Kelompok jabatan fungsional (ditujukan untuk dua hal,

yaitu: pusat penelitian dan pengkajian perkara dan pusat pendidikan dan pelatihan)

4) Tata kerja sekretariat KI Pusat dan KI Provinsi;5) Eselonisasi KI Pusat:

- Sekretaris: eselon II a;- Kepala bagian: eselon III a;- Kepala sub-bagian: eselon IV a.

24

6) Eselonisasi KI Provinsi:- Sekretaris: eselon III a;- Kepala bagian: eselon IV a.

7) Dukungan anggaran: - adanya pos anggaran KI Pusat dalam APBN (terpisah dari

Kominfo);- adanya pos anggaran KI Provinsi dalam APBD (terpisah dari

Dishubkominfo atau Diskominfo)8) Dll.

Meminta Kementerian Dalam Negeri untuk mengeluarkan peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) tentang pedoman organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi. PerMenDaGri ini merupakan dasar bagi gubernur untuk menyusun peraturan daerah tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi. Muatan permendagri ini secara garis besar adalah:1) Perintah pembentukan sekretariat KI Provinsi dalam peraturan

daerah yang berpedoman pada permendagri;2) Sekretariat KI Provinsi merupakan bagian dari perangkat daerah

yang berdiri sendiri terpisah dari satuan perangkat daerah lainnya;3) Pertanggungjawaban sekretariat KI Provinsi, secara tugas dan

fungsi bertanggungjawab kepada KI Provinsi, secara administratif bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekda;

4) Susunan organisasi sekretariat KI Provinsi, yang terdiri atas:- Kepala sekretariat/sekretaris;- Bagian perencanaan;- Bagian umum;- Bagian administrasi pengaduan dan penyelesaian

sengketa informasi/ kepaniteraan;- Kelompok jabatan fungsional (ditujukan untuk dua hal,

yaitu: pusat penelitian dan pengkajian perkara dan pusat pendidikan dan pelatihan)

Langkah-2

25

5) Tata kerja sekretariat;6) Eselonisasi:

- Sekretaris: eselon III a;- Kepala bagian: eselon IV a.

7) Dukungan anggaran: adanya pos anggaran KI Provinsi dalam APBD (terpisah dari Dishubkominfo atau Diskominfo);

8) Dll.

Langkah-3

Meminta gubernur dan DPRD untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi. Muatan perda ini secara garis besar antara lain:1) Membentuk sekretariat KI Provinsi terpisah dari satuan perangkat

daerah lainnya;2) Susunan organisasi sekretariat, yang terdiri atas:

- Kepala sekretariat/sekretaris;- Bagian perencanaan;- Bagian umum;- Bagian administrasi pengaduan dan penyelesaian sengketa

informasi/ kepaniteraan;- Kelompok jabatan fungsional (ditujukan untuk dua hal, yaitu:

pusat penelitian dan pengkajian perkara dan pusat pendidikan dan pelatihan)

3) Tata kerja sekretariat;4) Eselonisasi:

- Sekretaris: eselon III a;- Kepala bagian: eselon IV a.

5) Dukungan anggaran: adanya pos anggaran KI Provinsi dalam APBD (terpisah dari Dishubkominfo atau Diskominfo).

6) Dll.

26

Hal yang perlu diperhatikan dalam advokasi pemisahan sekretariat KI Provinsi dari Dishubkominfo atau Diskominfo adalah, jika mengambil opsi Langkah-1, maka Langkah-2 dan Langkah-3 harus tetap dilakukan. Hal ini karena dibutuhkan proses internalisasi kebijakan nasional (yang dihasilkan dari Langkah-1) kedalam kebijakan daerah (yang diupayakan melalui Langkah-2 dan Langkah-3). Internalisasi ini penting, karena hasil dari upaya Langkah-2, yaitu permendagri akan menjadi dasar legalitas yang kuat bagi gubernur dan DPRD untuk mengeluarkan perda pembentukan organisasi dan tata kerja sekretariat KI Provinsi. Hal ini dapat mengambil contoh dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), dimana Menteri Dalam Negeri mengeluarkan PerMenDaGri No. 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (PerMenDaGri 19/2008). PerMenDaGri 19/2008 ini menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan perda tentang organisasi dan tata kerja lembaga lain daerah, yang di dalamnya terdapat sekretariat KPI Daerah.26

b. Anggaran

KI Provinsi sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Dengan pemisahan sekretariat KI Provinsi dari Dishubkominfo atau Diskominfo, yang kemudian memposisikannya sebagai satuan perangkat daerah, akan berdampak pada adanya pos anggaran tersendiri KI Provinsi dalam APBD.

Dana Operasional KI Provinsi untuk Penyelesaian Sengketa Informasi

Lihat uraian Dana Operasional KI Pusat untuk Penyelesaian Sengketa Informasi.

26 Lihat Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Daerah Provinsi Jawa Tengah; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur; atau Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur.

27

B. Advokasi Jangka Panjang

Berdasarkan uraian Bab II, permasalahan kemandirian Komisi Informasi yang belum terjawab pada advokasi jangka pendek adalah: pertama, terkait pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pimpinan eksekutif, sebagaimana diatur Pasal 28. Kedua, potensi pemotongan anggaran jika Komisi Informasi memberikan putusan yang merugikan pimpinan eksekutif, terutama KI Provinsi sebagaimana dialami oleh KI Provinsi Riau. Ketiga, permasalahan pengaturan dan penerapan Pasal 30, 31, dan 32 UU KIP. Ketiga permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan melakukan pembaruan Komisi Informasi melalui revisi UU KIP.

Selain itu, pembaruan dan penguatan Komisi Informasi juga penting dilakukan mengingat RUU Rahasia Negara masuk dalam Prolegnas 2015-2019,27 dan potensi lahirnya undang-undang perlindungan data pribadi.28 Jika mellihat draft RUU Rahasia Negara versi Agustus 2006,29 terlihat bahwa: pertama, substansi informasi yang dirahasiakan juga diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Kedua, RUU Rahasia Negara juga mengatur masa retensi kerahasiaan sebagaimana diatur juga dalam UU KIP dan peraturan pelaksanaannya.30 Ketiga, lahirnya dewan rahasia negara yang bertugas menentukan kebijakan rahasia negara, antara lain: memperpanjang masa retensi kerahasiaan, menerima atau menolak keberatan pemohon informasi atas penolakan pemberian informasi yang dinyatakan rahasia. Dalam konteks ketiga substansi tersebut, memiliki irisan dengan UU KIP. Secara spesifik, tugas dewan rahasia negara juga beririsan dengan tugas Komisi Informasi dalam kaitannya dengan memutus suatu informasi bersifat dikecualikan (rahasia) atau sebaliknya. Dalam konteks demikian, Komisi Informasi harus dilibatkan dalam mengawal pelaksanaan RUU Rahasia Negara tersebut. Untuk itu pembaruan dan penguatan Komisi Informasi perlu dilakukan melalui revisi UU KIP.

27 http://www.elsam.or.id/printversion.php?id=3160&act=view&cat=c/101 28 Undang-undang tentang perlindungan data pribadi belum masuk

dalam prolegnas, tetapi wacana pembentukkannya sudah mulai disuarakan oleh Kominfo.

29 Draft diperoleh dari website http://www.kontras.org/pers/teks/RUU%20RN.pdf

30 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik , PP No. 61 Tahun 2010.

28

Usulan pembaruan dan penguatan Komisi Informasi dalam revisi UU KIP, antara lain:

1. Pertanggungjawaban Komisi Informasi sebagai Lembaga Mandiri

Sebuah lembaga dikatakan mandiri jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:1. Bukan merupakan bagian dari executive department atau

kementerian, legislatif, maupun yudikatif;2. Dinyatakan secara tegas oleh pembentuk undang-undang (dalam

UU yang mengatur lembaga tersebut) atau bila presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan pemberhentian pimpinan komisi. Dapat pula disebutkan disini bahwa pengawasan terhadap lembaga ini tidak berasal dari presiden;

3. Kedudukan dan wewenangnya secara langsung bersumber dari undang-undang;

4. Kepemimpinan kolektif; kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan tetapi bergantian (staggerred time);

5. Tidak terdapat bentuk pertanggungjawaban.31

Dalam konteks Pasal 28 UU KIP, diatur bahwa Komisi Informasi bertanggungjawab kepada pimpinan eksekutif –KI Pusat kepada presiden, KI Provinsi kepada gubernur, dan KI Kabupaten/Kota kepada bupati/walikota. Pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pimpinan eksekutif ini bertentangan dengan ciri lembaga mandiri. Dengan kata lain, Pasal 28 UU KIP bertentangan dengan Pasal 23 UU KIP yang menyatakan bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri.

Hal ini berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak bertanggungjawab kepada presiden atau gubernur atau bupati/walikota. KPU –dalam hal penyelenggaraan pemilihan umum dan tugas lainnya hanya berkewajiban memberikan laporan kepada presiden dan DPR dengan menembuskan kepada Badan Pengawas Pemilu. Sedangkan secara keuangan, KPU bertanggungjawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konteks memberikan laporan penyelenggaraan pemilihan umum dan tugas-tugas KPU kepada presiden dan DPR, tentu berbeda dengan konteks bertanggungjawab kepada presiden sebagaimana Komisi Informasi.

31 Radian Salman, S.H., LL.M. dan Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., CN, Lembaga Negara Penunjang: Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya. Hal. 7-8.

29

Oleh karena itu, pertanggungjawaban ideal bagi Komisi Informasi seharusnya sejalan dengan pertanggungjawaban KPU. Di mana Komisi Informasi tidak lagi bertanggungjawab kepada presiden, tetapi hanya bersifat memberikan laporan pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada presiden dan DPR. Dan terkait dengan anggaran, Komisi Informasi bertanggungjawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pertanggungjawaban KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota

KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Komisi Informasi, baik terhadap penggunaan anggaran dan penyelenggaraan tugas dan fungsi. Selain itu, KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kepada gubernur atau bupati/walikota terhadap pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam mendorong pelaksanaan UU KIP dan peraturan turunannya oleh pemerintah daerah dan masyarakat, tugas dan fungsi penyelesaian sengketa informasi publik, serta tugas dan fungsi lain yang relevan.

2. Melahirkan Lembaga Komisi Informasi: Restrukturisasi Kelembagaan Komisi Informasi yang Hirarkis

Pasal 24 ayat (1) mendefinisikan Komisi Informasi sebagai berikut: “Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi Kabupaten/Kota.” Secara normatif dan empiris, tidak ada lembaga yang namanya Komisi Informasi, tetapi yang ada adalah KI Pusat, KI Provinsi, dan KI Kabupaten/Kota. Sehingga untuk melahirkan lembaga “Komisi Informasi” harus dilakukan melalui penyatuan KI Pusat, KI Provinsi, dan/atau KI Kabupaten/Kota dalam kesatuan kelembagaan Komisi Informasi yang mandiri dan bersifat hirarkis dari aspek pengelolaan organisasi, administrasi, dan anggaran.

Usulan perubahan Pasal 28 UU KIP:

(1) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi:a. dalam hal keuangan

bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. dalam hal penyelenggaraan tugas, fungsi, dan wewenangnya, memberikan laporan kepada presiden dan DPR.

(2) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Komisi Informasi.

30

Dengan penyatuan KI Pusat, KI Provinsi, dan KI Kabupaten/Kota dalam kelembagaan yang bersifat hirarkis, berarti kedepan hanya akan ada Komisi Informasi dan KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota.

Namun demikian, sifat hirarkis kelembagaan Komisi Informasi tidak akan menyentuh pada aspek penyelesaian sengketa informasi. Desain penyelesaian sengketa informasi tetap seperti sekarang atau tidak bersifat hirarkis. Artinya putusan KI Provinsi dan KI Kabupaten/

Kota tidak diselesaikan secara hirarkis dari tahapan KI Kabupaten/Kota hingga KI Pusat, tetapi bersifat final and binding pada masing-masing tingkatan, dalam hal tidak diajukan keberatan ke pengadilan. Pilihan desain penyelesaian sengketa informasi yang tidak hirarkis ini untuk menjamin penyelesaian sengketa dilakukan secara cepat, biaya ringan, dan cara sederhana.

3. Penambahan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Komisi Informasi

Dalam konteks pelaksanaan UU KIP, salah satu permasalahan yang muncul adalah sulitnya untuk mengeksekusi putusan Komisi Informasi. Hal ini karena Komisi Informasi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi putusan. Eksekusi putusan Komisi Informasi hanya dapat dilakukan melalui pengadilan, tetapi hanya untuk putusan mediasi Komisi Informasi, sedangkan putusan yang berasal dari ajudikasi Komisi Informasi tidak dapat dimintakan eksekusi di pengadilan.32 Oleh karena itu, kedepan, Komisi Informasi harus diberikan wewenang untuk mengeksekusi putusan Komisi Informasi. Kemudian, terkait dengan lahirnya RUU Rahasia Negara, maka Komisi Informasi harus diberikan kewenangan untuk mengawal pelaksanaan undang-undang tentang rahasia negara tersebut.

32 Lihat Peraturan Mahkaman Agung No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan dan Peraturan Mahkaman Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Usulan perubahan Pasal 24 UU KIP:

(1) Komisi Informasi berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

(2) Komisi Informasi Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.

(3) Komisi Informasi Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.

(4) Komisi Informasi Kabupaten/Kota dibentuk jika dibutuhkan.

(5) Komisi Informasi, Komisi Informasi Provinsi, dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.

31

4. Pengisian Jabatan Anggota Komisi Informasi

Pengisian jabatan anggota Komisi Informasi dan kesekretariatan, –baik di pusat maupun di provinsi dan/atau kabupaten/kota menjadi salah satu elemen penting dalam mewujudkan Komisi Informasi yang mandiri dan profesional. Hal ini untuk menjawab permasalahan pengaturan dan penerapan Pasal 30, 31, dan 32 sebagaimana diuraikan pada Bab II.

a. Komisi Informasi

1) Seleksi Komisi Informasi

a) Jumlah, Komposisi, dan Masa Jabatan

Anggota Komisi Informasi berjumlah 7 (tujuh) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan masyarakat. Masa jabatan anggota Komisi Informasi adalah empat tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya melalui mekanisme seleksi yang dilaksanakan secara terbuka, jujur, objektif, dan akuntabel.

b) Kualifikasi

Untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota Komisi Informasi, harus memenuhi kualifikasi, antara lain:

- Warga Negara Indonesia;- Tidak menjadi pengurus partai;- Berintegritas dan tidak tercela;- Tidak pernah dipidana;- Memiliki pengetahuan, keahlian, dan/atau pengalaman dibidang

keterbukaan informasi publik, partisipasi, akuntabilitas, dan pelayanan publik;

- Tidak rangkap jabatan apabila diangkat menjadi anggota Komisi Informasi, baik sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pegawai negeri sipil, pengusaha, atau advokat.

- Bersedia bekerja penuh waktu;- Sehat jasmani dan rohani;- Berusia minimal 35 (tiga puluh lima tahun).

Usulan penambahan kewenangan Komisi Informasi dalam Pasal 27:(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Informasi memiliki wewenang:

a. …b. …c. …d. …e. …f. melakukan eksekusi putusan Komisi Informasi dalam hal putusan tersebut tidak

dilaksanakan oleh para pihak.Dalam Pasal 23:Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini … serta mengawal pelaksanaan undang-undang tentang rahasia negara.

32

c) Rekrutmen dan Proses Seleksi

Rekrutmen anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh Presiden dan DPR dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk memberikan catatan rekam jejak kompetensi dan integritas calon sebelum diangkat menjadi anggota Komisi Informasi. Rekrutmen dilaksanakan secara terbuka, jujur, objektif, dan akuntabel.

Gambar III.1. Alur Proses Seleksi Komisi Informasi Pusat33

33 Subagiyo, Henri, et. all., Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat: 2009. Hal. 295.

33

b. KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota

1) Jumlah dan Komposisi

Anggota KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota berjumlah 5 (lima) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan masyarakat. Masa jabatan anggota KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota adalah empat tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya melalui mekanisme seleksi yang dilaksanakan secara terbuka, jujur, objektif, dan akuntabel.

2) Kualifikasi

Untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota, harus memenuhi kualifikasi, antara lain:

- Warga Negara Indonesia;- Tidak menjadi pengurus partai;- Berintegritas dan tidak tercela;- Tidak pernah dipidana;- Memiliki pengetahuan, keahlian, dan/atau pengalaman dibidang

keterbukaan informasi publik, partisipasi, akuntabilitas, dan pelayanan publik;

- Tidak rangkap jabatan apabila diangkat menjadi anggota Komisi Informasi, baik sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pegawai negeri sipil, pengusaha, atau advokat.

- Bersedia bekerja penuh waktu;- Sehat jasmani dan rohani;- Berusia minimal 35 (tiga puluh lima tahun).

3) Proses Seleksi

Anggota KI Provinsi dan/atau KI Kabupaten/Kota dipilih oleh Komisi Informasi melalui Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Komisi Informasi, tanpa melibatkan gubernur dan DPRD Provinsi –dalam hal KI Provinsi atau bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota –dalam hal KI Kabupaten/Kota.

34

Gambar III.2. Alur Proses Seleksi Komisi Informasi Provinsi dan Kab/Kota

35

5. Penguatan Sekretariat Komisi Informasi

Untuk memperkuat Komisi Informasi sebagaimana diuraikan pada huruf B, C, dan E, maka harus diikuti dengan penguatan organisasi kesekretariatan yang memberikan dukungan administrasi dan keuangan Komisi Informasi. Kesekretariatan ideal yang mampu mengakomodir pengelolaan urusan organisasi, administrasi, dan anggaran secara mandiri adalah sekretariat jenderal, dimana sekretarisnya memiliki pangkat Eselon I. Usulan revisi Pasal 29:

(1) Untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang Komisi Informasi, Komisi Informasi Pusat, dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota, dibentuk sekretariat jenderal Komisi Informasi, sekretariat Komisi Informasi Provinsi, dan/atau sekretariat Komisi Informasi Kabupaten/Kota.

(2) Sekretariat jenderal Komisi Informasi, sekretariat Komisi Informasi Provinsi, dan/atau sekretariat Komisi Informasi Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.

(3) Pegawai Komisi Informasi, Komisi Informasi Pusat, dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota berada dalam satu kesatuan manajemen kepegawaian.

(4) Anggaran belanja Komisi Informasi, Komisi Informasi Pusat, dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota, sekretariat jenderal Komisi Informasi, sekretariat Komisi Informasi Provinsi, dan/atau sekretariat Komisi Informasi Kabupaten/Kota bersumber dari APBN.

36

Buku

Henri Subagiyo, et. all. Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat: 2009.

Pratikno, et. all. Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang No. 14 Tahun 2008, FISIPOL UGM Yogyakarta: 2012.

Makalah/Naskah

Radian Salman, S.H., LL.M. dan Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., CN, Lembaga Negara Penunjang: Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya.

Notulensi Diskusi Diskusi Ahli HAN – Melihat Komisi Informasi dari Sudut Pandang Ahli Administrasi Negara dengan Tema: “Pembahasan Mengenai Kesekretariatan Komisi Informasi,” Jakarta: 16 Juli 2014.

Notulensi Diskusi Ahli Aparatur Negara – Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi, Jakarta: 12 Agustus 2014.

Notulensi Diskusi Ahli HTN – Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi dengan Tema: “Kelembagaan Komisi Informasi,” Jakarta: 20 Agustus 2014.

Notulensi Diskusi Ahli Perencanaan Anggaran Negara, Jakarta: 29 Agustur 2014.

Notulensi Wawancara di 18 Provinsi oleh Peneliti Daerah yang dilaksanakan dalam kurun waktu: Mei 2014 s/d Agustus 2014.

DAFTAR PUSTAKA

37

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Peraturan Mahkaman Agung No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan.

Peraturan Mahkaman Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Daerah Provinsi Jawa Tengah.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur.

Peraturan Menteri Keuangan No. 03/PMK.06/2006 tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri.

38

Dokumen

Draft RUU Rahasia Negara.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran KI Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran KI Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran KI Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran KI Provinsi Riau Tahun 2013.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran KI Provinsi Riau Tahun 2014.

Website

http://www.elsam.or.id/printversion.php?id=3160&act=view&cat=c/101

http://www.kontras.org/pers/teks/RUU%20RN.pdf

Pembaruan Komisi InformasiMenuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional

2014