Upload
researcher-syndicate68
View
308
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Pertemuan yang berlangsung di Nusadua-Bali pada penghujung 2007 merupakan respons nyata pemerintah dan negara Indonesia serta Negara lain di dunia yang tergabung dalam UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) dalam mengimplementasikan muatan materi Protokol Kyoto tersebut. Komitmen seluruh bangsa dituntut untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).
Citation preview
1
GLOBAL WARMING: Menanti Komitmen Seluruh Bangsa untuk Menyelamatkan Bumi
Suryanto
Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Pertemuan yang berlangsung di Nusadua-Bali pada penghujung 2007 merupakan respons nyata pemerintah dan negara Indonesia serta Negara lain di dunia yang tergabung dalam UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) dalam mengimplementasikan muatan materi Protokol Kyoto tersebut. Komitmen seluruh bangsa dituntut untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).
Pada bulan Desember 2007, seluruh dunia menoleh ke Nusadua-Indonesia
bukan saja karena kemolekan dan keindahan objek wisatanya, tetapi karena disana
tengah berlangsung konferensi internasional negara-negara di dunia tentang
perubahan iklim (united nations framework on conference climate change), yang
dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti Protokol Kyoto 1997. Protokol Kyoto
adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam
mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan
lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).
Secara umum protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta
protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati
(http://untreaty.un.org/). Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara
normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk
2
mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih
detil dan spesifik.
Sepanjang Conference on Parties 1 dan 2 (COP 1 dan COP 2) hampir tidak ada
kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat
dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I
(Negara-negara maju) yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri
dengan negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-
negara maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak
dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.
Untuk mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut.
Adapun isi Protokol Kyoto pada pokoknya mewajibkan negara-negara
industri maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs) -
CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS dan SF6- minimal 5,5 % dari tingkat emisi tahun 1990,
selama tahun 2008 sampai tahun 2012. Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme
teknis pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs) yang dikenal dengan Mekanisme
Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM).
Perubahan Iklim Dunia: Seberapa Parah?
Pemanasan global yang sedang ramai dibicarakan adalah
meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan bumi. Temperatur rata-
rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F)
selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global
sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.
Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan
akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan
tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa
kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara
*) Peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
3
tahun 1990 dan 2100. Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di masa
mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda pula.
Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga 2100,
pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama
lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Hal ini
mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya
intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,
hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan.
Pengaruh terhadap hasil pertanian misalnya terlihat pada turunnya produksi
pertanian di Indonesia karena terjadinya kekeringan yang parah akibat krisis air.
Sebuah studi terkini memprediksikan berkurangnya aliran air hujan ke Daerah
Aliran Sungai (DAS) Citarum di Jawa Barat. Sungai Citarum adalah DAS terbesar di
Pulau Jawa, yang menjadi sumber air paling penting bagi Jawa Barat dan Jakarta.
Berkurangnya aliran itu adalah dampak meningkatnya temperature dan perubahan
tata guna lahan.
Penelitian WWF-Indonesia dan ITB mengemukakan, temperature di sekitar
DAS Citarum akan meningkat secara signifikan sampai tahun 2020( Gatra,
November 2007). Hal itu akan terjadi di musim hujan maupun kemarau. Riset
memprediksikan, suhu rata-rata pada musim hujan akan menjadi 26,1 derajat
celcius pada 2020, meningkat dari 24,7 derajat celcius pada 2001. Pada saat
kemarau, suhu rata-rata meningkat menadi 30,7 derajat celcius dari rata-rata 27,1
derajat celcius.
Menurut Armi Supandi, Kepala Penelitian dari ITB, kenaikan temperatur
disebabkan pemanasan global. Kenaikan temperatur udara itu jelas akan menambah
kapasitas udara menyimpan uap air. Dengan begitu, kenaikan suhu itu akan
meningkatkan urah hujan dari 239 sampai 1.377 milimeter per tahun pada 2020.
Meskipun curah hujan yang tinggi bisa menjawab kelangkaan air, juga bisa
4
menimbulkan banjir dan tanah longsor. Terlebih lagi jika penghijauan untuk
menangkap air di DAS Citarum tidak dilakukan. Badan Pengelola Lingkungan Hidup
Daerah Jawa Barat melaporkan, sekitar 54% tutupan hutan di DAS Citarum telah
hilang dalam periode 1983 sampai 2002. Begitu memprihatinkan kondisi Citarum,
padahal kombinasi makin sempitnya daerah tangkapan hujan dengan curah hujan
yang semakin tinggi jelas akan memberi peluang munculnya banir dan tanah
longsor lebih dahsyat.
Badan itu juga mengemukakan bahwa banyak lahan pertanian yang
kemudian berubah menjadi perumahan dan industri, yang berkontribusi dalam
pengurangan air di daerah tangkapan air. Lebih lanjut disampaikan bahwa jumlah
kompleks perumahan meningkat menjadi 233% dari tahun 1983 sampai 2002, dan
sektor industri meningkat 868% pada periode yang sama.
DAS Citarum mempunyai luas sekitar 6.080 kilometer persegi, dengan sungai
sepanjang 269 kilometer. Data Pemerintah Daerah Jawa Barat menunjukkan sekitar
11 juta penduduk hidup dan tinggal di sekitar DAS, dengan lebih dari 1.000
perusahaan yang beroperasi di sekitarnya. Padahal, DAS Citarum juga merupakan
sumber air bagi Bendungan Jatiluhur, Cirata dan Cikumpay. Bendungan Jatiluhur
menjadi penyedia 80% air baku bagi Perusahaan Air Minum Jakarta. Belum lagi, air
Citarum digunakan untuk berbagai keperluan irigasi dan pembangkit listrik.
Menurunnya kemampuan DAS menyuplai air berdampak sangat luas, termasuk
menurunnya produksi pangan.
Data BPS Jawa Barat menyebutkan, panen pada 2006 mengalami penurunan.
Jika pada 2005 produksi padi sawah dan ladang mencapai 9.787.217 ton, maka pada
2006 anjlok tinggal 9.418.572 ton, atau turun hingga 368.645 ton. Tidak hanya DAS
Citarum yang mengalami gangguan, DAS Brantas di Jawa Timur juga mengalami hal
serupa. Akibatnya, produksi padi di Jawa Timur mengalami penurunan. Jika pada
2006 produksinya mencapai 9.346.947 ton, maka pada 2007 hanya 9.126.356 ton,
berarti turun 220.519 ton.
Penurunan produksi pangan juga terjadi di Jawa Tengah. Pada 2006 produksi
padi tercatat 8.729.291 ton, sedangkan pada 2007 hanya 8.378.854 ton, merosot
350.436 ton. Meskipun tiga provinsi lumbung beras Indonesia mengalami
5
penurunan produksi, secara nasional Indonesia produksi padi masing meningkat
1,23%.
Tabel 1 Produksi Padi Nasional
Tahun Area (Ha) Rerata
(ton/ha) Produksi (Ton) Pertumbuhan
(%) 2003 11.488.034 4.538 52.137.604 - 2004 11.922.974 4.536 54.088.468 3,74 2005 11.839.060 4.574 54.151.097 0,12 2006 11.786.430 4.620 54.454.937 0,56 2007 11.757.845 4.689 55.127.430 1,23
Sumber: Gatra, Nov 2007
Keterangan: kendati terdapat peningkatan produksi pangan secara nasional (1,23%) tetapi di tiga provinsi ’lumbung beras” yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami penurunan produksi pangan yang cukup signifikan.
Pemanasan global juga telah menyebabkan perubahan iklim yang tidak
menentu, dan telah membuat bingung para petani. Dalam salah satu pemberitaan di
harian umum Kompas beberapa waktu disebutkan bahwa sebagian besar petani di
Cirebon dan sekitarnya berduyun-duyun mengadu nasib ke Jakarta, sambil
menunggu ’hujan’ tiba untuk bercocok tanam. Padahal bulan-bulan ini seharusnya
sudah turun hujan, tetapi karena pemanasan global, iklim pun jadi tidak menentu.
Dampak pemasan global lainnya adalah melelehnya salju di kutub utara dan
kutub selatan. Laporan NASA menyatakan bahwa dari hasil pengamatan satelit,
mereka mendapati fakta penyusutan dramatis es abadi Kutub Utara selama 10
tahun terakhir. Pada 2005 terjadi pengurangan sampai 14% atau kurang lebih
seluas Texas atau Turki. Hal yang lebih dramatis adalah ikhwal lapisan es musiman
di laut Arktik. Laju pencairan es di kawasan itu semakin meningkat dan tidak dapat
kembali ke keadaan semula dalam satu dasawarsa terakhir.
Sebelumnya, setiap kali musim gugur, bagian-bagian yang mencair biasanya
membeku kembali dengan arus dingin yang bergerak di setiap musim gugur, akan
tetapi pola seperti itu tidak terjadi lagi. Semestinya, bagian lapisan es yang mencair
di musim panas akan kembali membeku di musim dingin. Hal ini menjelaskan
6
bagaimana perubahan besar telah berlangsung di kawasan Kutub Utara. Menurut
pantauan para ilmuwan, kawasan Laut Arktik telah kehilangan sekitar 2.000.000
kilometer persegi lapisan esnya dalam 6 tahun terakhir. Dari tahun 1978 hingga
2000 silam, luas rata-rata lapisan es di kawasan ini sekitar 7.000.000 kilometer
persegi.
Laporan serupa juga disusun oleh gabungan peneliti dari Washington
University dan McGill University. Lewat simulasi model iklim global, mereka
menganalisis pengaruh pemanasan global terhadap lapisan es Kutub Utara.
Hasilnya, seperti dilaporkan Geophysical Research Letters, es hampir tidak
ditemukan lagi di kawasan Kutub Utara pada September 2040 jika pelepasan emisi
gas rumah kaca tetap sebanyak sekarang.
Keadaan serupa juga diperkirakan bakal berlangsung di Kutub Selatan, baik
Son Nghiem maupun Conrad Steffen dari Universitas Colorado sama-sama melihat
ancaman perairan es di kawasan itu karena kenaikan suhu. Mereka membandingkan
akumulasi pencairan salju antartika dalam kurun waktu enam tahun, 1999-2005.
Dari pengamatan itu diketahui, lapisan salju Antartika telah mencair kira-kira seluas
California.
Namun pandangan berbeda ikhwal kondisi Kutub Selatan dilontarkan
Christian Haas, Peneliti dari Institut Alfred Wagener di Bremerhaven, Jerman, yang
melihat dampak pemanasan global di kawasan itu tidak sekuat di Kutub utara.
Malah, seperti dikutip Deutsche Welle, ia malah melihat kecenderungan sebaliknya,
yakni terjadi peningkatan lapisan es di perairan sekitar Antartika dalam 30 tahun
terakhir.
Efek Rumah Kaca dan Gas Rumah kaca
Pemanasan pada permukaan Bumi dikenal dengan istilah 'Efek Rumah Kaca'
atau Greenhouse Effect. Proses ini berawal dari sinar Matahari yang menembus
lapisan udara (atmosfer) dan memanasi permukaan Bumi. Permukaan Bumi yang
menjadi panas menghangatkan udara yang berada tepat di atasnya. Karena menjadi
ringan, udara panas tersebut naik dan posisinya digantikan oleh udara sejuk.
7
Sebagian dari udara panas yang naik ke atas ditahan dan dipantulkan
kembali ke permukaan oleh lapisan gas di atmosfer Bumi yang terdiri dari Karbon
Dioksida, Metan dan Natrium Oksida. Udara panas yang dipantulkan tersebut
berfungsi untuk menjaga temperatur Bumi supaya tidak menjadi beku. Proses
pemantulan udara panas untuk menghangatkan Bumi inilah yang disebut dengan
efek rumah kaca.
Gambar 1 Efek Rumah Kaca
Tapi proses alam yang normal tersebut menjadi tidak sehat sejak manusia
memasuki proses industri. Pada masa ini manusia mulai melakukan pembakaran
batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan bakar dan listrik. Proses
pembakaran energi dari Bumi ini ternyata menghasilkan gas buangan yang berupa
karbon dioksida. Otomatis, kadar lapisan gas rumah kaca yang menahan dan
memantulkan kembali udara panas ke Bumi menjadi semakin banyak.
8
Kalau Bumi terus menerus terkena pemanasan ini, bahaya besar lainnya
akan muncul, atau bahkan sudah terjadi dan sedang kita rasakan saat ini. Efek
pertama yang terjadi adalah tingginya temperatur udara. Masyarakat di Eropa Barat
pada bulan-bulan kemarin sudah merasakan bagaimana tersiksanya hidup ketika
suhu menjadi luar biasa panas. Jumlah korban yang meninggal akibat 'kepanasan'
mencapai ratusan, belum terhitung yang harus mengalami rawat inap karena
dehidrasi.
Temperatur yang terus meningkat dapat melelehkan banyak salju di kedua
kutub bumi dan gunung-gunung tertinggi dunia. Para ahli lingkungan sudah
membuat laporan baru kalau saat ini salju dunia secara keseluruhan sudah
berkurang 10%. Hasilnya adalah volume air yang mengalir ke lautan akan semakin
tinggi yang otomatis menaikkan permukaan laut.
Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan akibat dari efek rumah kaca. Sembilan
puluh sembilan persen atmosfer kita terdiri dari dua jenis gas, yaitu nitrogen (78%)
dan oksigen (21%). Keduanya hampir tidak bertanggung jawab terhadap
pengaturan iklim di planet bumi. Enam gas yang didakwa menyebabkan pemanasan
global itu hanya mengisi tidak lebih dari 1% atmosfer. Gas-gas itu terutama tercipta
dari aktivitas manusia, yakni:
1. Karbon Dioksida (CO2);
2. Metana (CH4);
3. Nitrogen Oksida (NO2);
4. Sulfur Heksafluorida (SF6);
5. Hidrofluorokarbon (HFC); dan
6. Perfluorokarbon (PFC).
Protokol Kyoto untuk Mengatasi Global Warming
Pemanasan global, suhu udara meningkat, melelehnya salju dunia, serta
naiknya permukaan laut pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan iklim. Kita
sekarang merasakan datangnya musim kemarau yang lebih lama dari seharusnya.
Akibatnya air tanah menjadi langka karena belum mendapat pasokan baru dari
hujan. Jadi pemanasan global yang terjadi karena perbuatan manusia memang
9
memiliki efek negatif yang tidak bisa dipandang sepele. Dan kita pun, suka tidak
suka, tercatat sebagai salah satu pelakunya.
Tanggal 16 Pebruari 2005 merupakan momen penting dari derap langkah
proyek ”mendinginkan bumi” yang ditabuh dari Kyoto, Jepang, 7 tahun sebelumnya.
Tepatnya pada 11 Desember 1997, di sesi ketiga pertemuan antarbangsa yang
tergabung dalam wadah United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) itu, diterima sebuah protokol untuk menahan laju konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer bumi.
Dari 28 pasal teknis, rumit dan menjerat, terdapat satu pasal yang
memenjarakan seluruh isi protokol yaitu pasal Pasal 25 yang menyebutkan segala
ketentuan akan mulai berlaku 90 hari setelah tak kurang dari 55 negara peserta
konvensi, termasuk negara ANNEX I yang melepas setidaknya 55% gas buang
berdasarkan data tahun 1990, telah meratifikasi kesepakatan tersebut. Syarat 55
negara dicapai dengan mudah, sejak Islandia meratifikasi Protokol Kyoto pada 23
Mei 2002. Namun kesepakatan tersebut terus terkatung-katung karena syarat 55%
gas buang tidak juga tercapai. Hal ini karena negeri yang bertanggung jawab atas
33% (versi lain menyebut 36%) gas buang dunia, Amerika Serikat, menolak
mentah-mentah untuk meratifikasi kesepakatan tersebut.
Kunci kerangkeng Protokol Kyoto baru terbuka ketika Rusia (emisi gas
buang 17%) meratifikasinya pada 18 November 2004 menjadi negeri ke-128 yang
melapor pada PBB, dimana hal itu telah membulatkan syarat 55%. Maka resmilah
Protokol Kyoto itu berlaku bagi semua party (negara yang meratifikasi protokol
tersebut).
Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur masalah
pengurangan emisi GRK, seperti dijelaskan di bawah ini:
Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju
untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan
atau penyerapan emisi GRK.
Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju
untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. ET
10
dapat dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi
GRK memiliki kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya.
Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan negara
non-ANNEX I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif membantu
penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh sebuah
negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek
tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut. CDM juga bertujuan agar
negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan, selain itu
CDM adalah satu-satunya mekanisme di mana negara berkembang dapat
berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.
Bagi negara-negara ANNEX I mekanisme-mekanisme di atas adalah
perwujudan dari prinsip mekanisme fleksibel (flexibility mechanism). Mekanisme
fleksibel memungkinkan negara-negara ANNEX I mencapai target penurunan emisi
mereka dengan 3 mekanisme tersebut di atas. Namun, penolakan 3 negara ANNEX I
(AS, Australia dan Monaco) menimbulkan keraguan bahwa kesepakatan itu akan
berjalan mulus. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama
datang dari kalangan industri minyak, batubara, dan perusahaan lain yang
produksinya bergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengkalim
bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat
mencapai US$ 300 Miliar, terutama disebabkan oleh biaya energi.
Sebaliknya, pendukung Protokol percaya biaya yang diperlukan hanya
sebesar US$ 88 Miliar dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk
penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan dan proses industri
yang lebih efisien. Alasan lain penolakan AS adalah karena tidak dimasukkannya
Cina dan India untuk mengurangi emisi gas buangnya, padahal pada 2004, emisi
karbon diosida Cina sudah sebesar 54% dari emisi AS. Ekonomi negeri
berpenduduk 1,3 miliar itu pun tumbuh sekitar 10% per tahun. Untuk memnuhi
pertumbuhan ekonomi itu, Cina rata-rata per tahun membangun satu pembangkit
listrik batubara.
Tidak memasukkan Cina dalam Annex I dan tidak dihitungnya AS membuat
penurunan 5,2% dari negara Annex I diduga hanya akan menghasilkan penurunan
11
emisi karbon global tak lebih dari 1%. Karena itu, banyak pihak menyangsikan
efektivitas Protokol Kyoto. Pada 11 Desember di Bali, Protokol Kyoto akan berulang
tahun ke-10, dan protokol itu akan mengakhiri masa tugasnya pada 2012. Bali akan
turut menjadi saksi penyiapan protokol pengganti Kyoto? Apakah Protokol baru itu
akan lebih keras dari Protokol Kyoto?
Tabel 1 Emisi Karbon 1990-2004
Negara Total emisi
juta ton setara Co2
1990
Total emisi juta ton
setara Co2 1990
Perubahan emisi gas
(1990-2004)
Keharusan berdasar Protokol
Kyoto Jerman 1.226,3 1.015,3 -17% -8% Kanada 598,9 758,1 +27% -6% Australia 423,1 529,2 +25% +8%*) Spanyol 287,2 427,9 +49% -8% AS 6.103,3 7.067,6 +16% -7%*) Jepang 1.272,1 1.355,2 +6.5% -6% Rusia 2.974,9 2.024,2 -32% 0% Inggris 776,1 665,3 -14% -8% *) karena AS dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto, target emisinya tidak menjadi kewajiban untuk dipenuhi.
12
Prinsip-Prinsip Protokol Kyoto 1. Protokol Kyoto menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan
global yang dilindungi PBB. 2. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum: a) Negara-negara ANNEX I adalah
negara maju yang dianggap bertanggung jawb terhadap emisi gas sejak Revolusi Industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara ANNEX I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, satu-satunya Negara di Asia yang masuk hanyalah Jepang, dan b) Negara Non ANNEX I adalah Negara berkembang. Mereka tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi bisa berpartisipasi lewat clean development mechanisme (CDM). Cina, India, dan Indonesia, tiga Negara berpenduduk padat dan sedang berkembang pesat, bersama lebih dari 130 negara lainnya masuk dalam daftar Non ANNEX I.
3. Negara-negara ANNEX I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 (perlu diperhatikan, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa protocol, target ini berarti pengrangan sebesar 29%).
4. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca – CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), NO2 (nitrogen oksida, SF6 (sulfur heksafluorida), HFC (Hidrofluorocarbon), dan PFC (Perfluorocarbon) – ini dihitung sebagai rata-rata selama lima tahun antara 2008 dan 2012. target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
5. Batas pengurangan itu kadaluarsa pada 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon baru. Jika pada 2012 negara ANNEX I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dala target ANNEX I.
6. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara ANNEX I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari Negara lain. Pembelian itu bisa dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara Non ANNEX I melalui mekanisme CDM. Bisa juga melalui perngerjaan proyek di sesame ANNEX I melalui program joint implementation atau membeli langsung dari Negara ANNEX I yang sudah berada di bawah target.
7. Sebuah proyek baru bisa dijual dalam perdagangan emisi karbon bila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CER) bagi sebuah proyek untuk bisa diperjualbelikan.
8. Jadi, Negara-negara non ANNEX I yang tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan “proyek gas rumah kaca” yang bisa menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang bisa diperjualbelikan pada Negara ANNEXI.
13
Apa untungnya Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto?
Indonesia merupakan paru-paru dunia, posisi hutan Indonesia yang
mensuplai mayoritas oksigen di dunia sangat penting. Hal ini harus disosialisasikan
kepada masyarakat secara luas. Kelestarian hutan di Indonesia sangat berpengaruh
pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini. Bahkan negara super
power seperti Amerika menyadari dampak dari perlunya kelestarian hutan di
Indonesia. Dengan mengikuti ratifikasi protokol Kyoto maka Indonesia terdaftar
sebagai negara yang mendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup.
Indonesia mempunyai suara dalam menentukan kebijakan lingkungan hidup dunia.
Indonesia selalu diikutsertakan dalam program pelestarian lingkungan hidup di
dunia dan pengurangan emisi karbon. Kayu-kayu dari hutan Indonesia tidak akan
laku dijual di negara yang mengikuti protokol apabila tidak memiliki sertifikat legal
(bukan hasil pembalakan liar). Pemimpin dan pemerintah di Indonesia juga
diwajibkan mempunyai program yang menjaga kesinambungan daya dukung
lingkungan hidup. Salah satu program yang penting adalah alih teknologi dan
koordinasi dalam penerapan biofuel untuk mengurangi emisi karbon, hanya
memang sosialisasi bahan bakar yang ramah lingkungan masih barang 'aneh'.
Setidaknya ada keseriusan dari Pemerintah untuk memperhatikan sumber
daya alam.
Sayangnya manajemen lingkungan hidup di Indonesia terlambat diterapkan,
ketidakseimbangan ekosistem sudah menunjukkan pembalasannya. Banjir di
Jakarta utara, angin puting beliung di Jawa Timur merupakan dampak awal dari
pemanasan global. Sampah yang menumpuk di setiap kota besar, lumpur panas di
Sidoarjo akibat tidak mengindahkan Amdal adalah salah satu contoh bahwa
dominasi materi lebih diutamakan daripada kelangsungan sumber daya alam.
Akibat dari paradigma jangka pendek ini mengorbankan manusia sendiri dalam
jangka panjang. Memang ratifikasi Kyoto perlu juga didukung dengan penerapan UU
PLH yang tegas bagi setiap pelanggar lingkungan hidup.
Undang Undang Ratifikasi Protokol Kyoto telah ditandatangani pada 19
Oktober 2004, yaitu UU No. 17/2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Dengan
demikian telah jelas kekuatan hukum yang mendasari ratifikasi Protokol Kyoto oleh
14
Indonesia. Pekerjaan rumah yang tertinggal terkait dengan ini adalah menyerahkan
instrumen ratifikasi ini ke PBB dengan segera, agar pada COP-10 (Konferensi Para
Pihak UNFCCC ke-10) nanti, Indonesia sudah menjadi para pihak dari Protokol
Kyoto. Artinya, tahun depan Indonesia dapat ikut dalam COP-11 yang juga Meeting
of the Parties (MOP) yang pertama bagi para pihak UNFCCC setelah keputusan
parlemen Rusia untuk meratifikasi Protokol Kyoto maka Protokol ini akan segera
berkekuatan hukum (enter into force).
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB/CDM)
CDM adalah suatu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang dimaksudkan
untuk mambantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya
menurunkan emisi GHGs serta membantu negara berkembang dalam upaya menuju
pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan the
UNFCCC. Mekanisme ini menawarkan win-win solution antara negara maju dengan
negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GHGs, dimana negara maju
menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat
menghasilkan pengurangan emisi GHGs dengan imbalan CER (Certified Emission
Reduction).
Hitungannya, menurut Protokol Kyoto, satu unit reduksi emisi gas rumah
kaca sebanding dengan 1 metrik ton CO2. Sertifikat itulah yang kemudian dijual
kepada negara maju untuk membantu mengurangi target pengurangan emisi gas
rumah kaca di negaranya. Memang, negara berkembang, seperti Indonesia, tidak
memiliki kewajiban menurunkan emisinya. Namun, negara berkembang dapat
membantu mengurangi emisi global secara sukarela dengan menjadi tuan rumah
proyek-proyek CDM. Dengan demikian, CDM dapat menjadi insentif bagi negara
berkembang yang secara sukarela mempertimbangkan lingkungan dalam setiap
kegiatannya.
Hal ini berarti, semua pihak turut berkontribusi pada tujuan utama Konvensi
Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Berdasarkan ukuran dan tipe kegiatan yang dilakukan, proyek CDM dapat
15
dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni proyek pengurangan emisi dan proyek
penyerapan karbon.
Proyek pengurangan emisi dilakukan oleh sektor industri, misalnya industri
pembangkit energi dan sumber terbarukan maupun tidak terbarukan atau industri
manufaktur, kimia, konstruksi, transportasi, pertambangan, produsi logam,
penggunaan pelarut, dan pertanian lewat pengurangan emisi CH4 dan N2O.
Sedangkan proyek penyerapan karbon dilakukan melalui aforestasi dan reforestasi
dari sektor kehutanan. Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang
sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu menjadi berhutan. Adapun
reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 31
Desember 1989.
Penutup
Bumi makin panas! Kalimat ini bukan hanya menjadi bagian dari lirik lagu
atau judul sebuah buku yang sedang best seller, tetapi benar-benar tengah menjadi
suatu realitas. Global warming atau pemanasan global merupakan peningkatan
rerata temperatur (panas) di atmosfer, darat, dan laut yang disebabkan efek rumah
kaca dan gas rumah kaca. Adalah enam gas yang dituding menjadi ’biang kerok’
terjadinya pemanasan global tersebut – yang keenamnya merupakan hasil tindakan
manusia, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO2), Sulfur
Heksafluorida (SF6), Hidrofluorokarbon (HFC), dan Perfluorokarbon (PFC).
Melalui pertemuan antarbangsa dalam Conference of Parties yang ke-3 maka
disepakati apa yang disebut sebagai Protokol Kyoto, yakni sebuah kesepakatan
antar negara-negara maju (Annex I) untuk mengurangi emisi gas buangnya sebesar
55% sampai dengan 2012. Secara ringkas, Protokol Kyoto membagi negara-negara
peserta konferensi dalam dua kategori umum: a) Negara-negara ANNEX I adalah
negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak Revolusi
Industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah
kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara ANNEX I ini terdiri dari
38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, satu-satunya
Negara di Asia yang masuk hanyalah Jepang, dan b) Negara Non ANNEX I adalah
Negara berkembang. Mereka tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas rumah
16
kaca, tapi bisa berpartisipasi lewat clean development mechanisme (CDM). Cina,
India, dan Indonesia, tiga Negara berpenduduk padat dan sedang berkembang pesat,
bersama lebih dari 130 negara lainnya masuk dalam daftar Non ANNEX I.
Negara-negara ANNEX I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara
kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 (perlu
diperhatikan, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010
tanpa protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Pengurangan emisi
dari enam gas rumah kaca – CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), NO2 (nitrogen
oksida), SF6 (sulfur heksafluorida), HFC (Hidrofluorocarbon), dan PFC
(Perfluorocarbon) – ini dihitung sebagai rata-rata selama lima tahun antara 2008
dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7%
untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang
diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
Batas pengurangan itu kadaluarsa pada 2013, dan akan dibuat target reduksi
karbon baru. Jika pada 2012 negara ANNEX I tidak mencapai target, selain tetap
harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda
sebesar 30% dari berat karbon dalam target ANNEX I. Protokol Kyoto memiliki
mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara ANNEX I mencapai batas emisi
gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari negara lain. Pembelian itu
bisa dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek
penurunan emisi gas buang dari Negara Non ANNEX I melalui mekanisme CDM. Bisa
juga melalui perngerjaan proyek di sesama ANNEX I melalui program joint
implementation atau membeli langsung dari Negara ANNEX I yang sudah berada di
bawah target.
Sebuah proyek baru bisa dijual dalam perdagangan emisi karbon bila sudah
mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman.
Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission
reductions (CER) bagi sebuah proyek untuk bisa diperjualbelikan. Jadi, Negara-
negara non ANNEX I yang tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas buang, tapi
jika mengimplementasikan “proyek gas rumah kaca” yang bisa menurunkan emisi,
ia akan menerima kredit karbon yang bisa diperjualbelikan pada Negara ANNEX I.
Indonesia, meski tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi gas buangnya,
namun tetap berkontribusi dalam mengatasi pemanasan global dengan meratifikasi
17
Protokol Kyoto pada 19 Oktober 2004, yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 17
Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Artinya, sebagai negara berkembang,
Indonesia turut peduli terhadap pencegahan gas rumah kaca yang dapat
menyebabkan bencana luar biasa. Dan, bencana tersebut sudah menjadi kenyataan
di beberapa bagian bumi, yang lain tinggal menunggu giliran – jika efek rumah kaca
dan gas rumah kaca tidak segera diatasi. Dengan kata lain, upaya menyelamatkan
bumi tidak hanya menjadi kewajiban negara maju tetapi juga negara-negara
berkembang, tanpa mempertimbangkan untung-rugi dan iri-dengki, seperti
Amerika Serikat.
Daftar Bacaan
Majalah GATRA Edisi November 2007
Harian Umum Kompas, tanggal 10, 11, 12, 13 dan 15 Desember 2007
NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007
http//www.wikipedia.co.id
http//www.google.com