View
30
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KERTAS POSISI
“ HANYA 8% DARI KAWASAN HUTAN DI
BENGKULU, LAMPUNG DAN BANTEN YANG
MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM “
Sebagian besar kawasan hutan di Bengkulu Lampung dan Banten belum
memiliki kepastian hukum. Menngingat hanya 8,4 % kawasan hutan di tiga
provinsi yang telah dilakukan penetapan. Hal ini menimbulkan
ketidakpastian luar biasa dalam pengelolaan hutan maupun wilayah kelola
masyarakat dalam kawasan hutan. Padahal di sisi lain, di lapangan banyak
sekali tutupan hutan yang tersisa dalam kawasan hutan. Sebagai misal, di
Lampung dari total 1 juta hektar, hanya 2 ribu hektar atau sekitar 0,24%
hutan di Lampung yang telah dilakukan penetapan. Dari luas kawasan hutan
yang ada di Lampung kini hanya tersisa ±328.603 ha atau (32,70%) yang
masih berhutan. Pembukaan lahan (opening of farm), penebangan liar
(illegal logging) dan pemberian izin konsensi untuk perkebunan dan
pertambangan adalah penyebab semakin tingginya tingkat kerusakan hutan
di Provinsi Lampung. Situasi ini sangat dimungkinkan menjadi pemicu
konflik tenurial baik antara masyarakat versus pemerintah, masyarakat
versus perusahaan atau pemerintah versus perusahaan terkait
ketimpangan distribusi lahan.Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya izin
kepada perusahaan baik perkebunan skala besar maupun pertambangan
yang mencapai lebih dari 100 ribu hektar sementara akses untuk
pengelolaan bagi masyarakat hanya ±47.000 ha.
“SEBANYAK 24 PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN
BENGKULU DAN LAMPUNG MENYEBABKAN TANAH MASYARAKAT
MENJADI RUANG KONFLIK”
Data Sawit Watch tahun 2012 terdapat 664 konflk antara masyarakat dengan
perusahaan. Beberapa penyebab konflik tersebut sangat beragam, baik itu
persoalan kompensasi kepada masyarakat yang lahannya diambil, maupun
akibat perampasan dan kesewenang-wenangan terhadap akses masyarakat
atas sumber daya hutanDi sektor perkebunan, persoalan tersebut sangat
menonjol. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Koalisi Anti Mafia Hutan,
setidaknya 24 perusahaan perkebunan di Lampung dan Bengkulu selama ini
lebih banyak berkonflik dengan masyarakat. Alih-alih memenuhi janji
kesejahteraan dari masuknya kegiatan usaha, konflik tersebut bahkan tidak
jarang berkaitan dengan perampasan tanah secara sewenang-wenang dan
penggunaan aparat untuk melakukan ancaman kekerasan terhadap
masyarakat. Tidak hanya konflik, usaha perkebunan itu menghasilkan
limbah berbahaya dan mengganggu ruang hidup masyarakat.
CONTACT PERSON
BENGKULU
Akar Foundation: Satria Budhi Pramana (081373559548)
WALHI Bengkulu: Sony Taurus (085273762037)
Genesis Bengkulu: Supintri Yohar (081373499788)
LAMPUNG
WALHI Lampung: Alian Setiadi (085279000567)
WATALA: Eko Sulistiantoro (081272227437)
BANTEN
Pattiro Banten: Subhan (087771731277)
NASIONAL
PWYP Indonesia, WALHI, Auriga, ICW, TuK Indonesia, SPKS, JATAM Nasional,
RMI, Epistema Institute
Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, dipersiapkan dalam Rapat
Koordinasi dan Supervisi KPK sektor Kehutanan dan Perkebunan untuk wilayah
Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015
“MISKINNYA RAKYAT DAN KAYANYA HUTAN”
Lampung
Keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Sandabi Indah Lestari di
Kabupaten Seluma, dari awal telah berkonflik dengan masyarakat, bahkan
ketika dikuasai oleh PT. Way Sebayur sejak tahun 1987. Luas hak guna usaha
(HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit ini seluas 2.812 Hektar.
Berdasarkan laporan survey Pemda Seluma Nomor 500/122/05/2008 di
Kecamatan Seluma Barat dan Lubuk Sandi, realisasi aktivitas dan
perkembangan perkebunan ini mengidentifikasi aktivitas perusahaan hanya
mengelola produktif seluas 250 Hektar.
Pada tahun 2012, konflik perusahaan dengan masyarakat memuncak
bahkan perusahaan menggusur kebun masyarakat mencapai 30 hektar.
Bahkan 29 orang masyarakat ditangkap dan dipenjara dari desa Lunjuk,
Minggur Sari, Talang Prapat, Air Latak, dan Tumbuan Kecamatan Seluma
Barat dan Lubuk Sandi, karena dituduh menggarap lahan perusahaan PT.
Sandabi Indah Lestari. Permasalahan wilayah kelola masyarakat dan
perkebunan ini masih terjadi sampai sekarang dan menyisakan konflik
dengan 511 kepala keluarga. Pemerintah Daerah tidak peduli bahkan tetap
memperpanjang HGU milik PT. Sandabi Indah. Pemerintah Kabupaten
Seluma merekomendasikan perpanjangan sehingga keluarlah surat BPN
perpanjangan HGU PT. SIL Rayon Kabupaten Seluma Nomor
163/HGU/BPNRI/2014 pada 24 November 2014 atau semasa transisi
pemerintah SBY ke Jokowi, dan HGU perpanjangan milik PT. Sandabi Indah
Lestari seluas 2.812 Hektar melalui HGU No. 100011 tahun 2014.
Boks 1. Tanah Berkonflik, HGU Diperpanjang Diakhir Jabatan
“25 PERUSAHAAN PERKEBUNAN DI BENGKULU DAN LAMPUNG
MERUPAKAN BAGIAN DARI LANDBANKING TAIPAN BESAR
DI INDONESIA”
Perizinan di sektor Perkebunan memberi peluang atas penguasaan lahan
tanpa batas bagi korporasi, terutama yang telah go public. Peraturan
Menteri Pertanian No. 98/2013, yang membatasi total landbank untuk
produksi kelapa sawit 100.000 hektar per perusahaan grup, gagal untuk
membatasi penguasaan korporasi atas lahan di Indonesia. Hal ini karena
perusahaan yang telah go public (terdaftar di bursa saham) dikecualikan dari
peraturan ini.
Tidak ada argumen yang jelas mengapa perusahaan terbuka dikecualikan
dari peraturan ini. Penelitian Transformasi untuk Keadilan – TuK Indonesia
menunjukkan bahwa 21 dari 25 grup bisnis yang dikendalikan oleh para
taipan terbesar di sektor kelapa sawit Indonesia telah beroperasi melalui
perusahaan induk yang terdaftar di bursa saham. Pada tahun 2013
perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya dikuasai oleh 25 grup, di mana
Grup Sinar Mas menguasai lahan terbesar dengan luas 471.100 hektar lahan
yang telah ditanami, diikuti oleh Grup Salim seluas 326.136 hektar, Jardine
Matheson Group seluas 281.378 hektar, sedangkan penguasaan lahan
terkecil dari 25 grup tersebut oleh Grup Tiga Pilar Sejahtera seluas 16.836
hektar.
Fenomena land banking tidaklah sederhana, selain potensi terjadinya
persaingan usaha tidak sehat, pertumbuhan bisnis dan kuasa mereka juga
bisa dikaitkan dengan isu-isu korupsi, penggelapan pajak, transparansi,
penghormatan hak-hak masyarakat dan isu akuntabilitas. Akibatnya usaha-
usaha pekebun skala kecil maupun wilayah kelola masyarakat lainnya lebih
sering kalah bersaing atau bahkan tergusur dan dirampas oleh grup-grup
besar tersebut. Temuan kajian TUK menemukan bahwa setidaknya 25 usaha
perkebunan merupakan bagian dari landbanking 25 taipan besar.
2
No Perusahaan Provinsi Perizinan dan Hak Tipologi Konflik
1 PT. Silva Inhutani (Register 45)
Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
2 PT. Barat Selatan Makmur Investindo
Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
3 PTPN VII (Waykanan) Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
4 PT. Indo Lampung Perkasa (SGC)
Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
5 PT. Swet Indo Lampung (SGC)
Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
6 PT. Desaria Plantation Mining
Bengkulu Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
7 PT. Dinamika Selaras Jaya Bengkulu Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat
8 PT. Jadropa Bengkulu Konflik dengan masyarakat
9 PT. Sinar Bengkulu Selatan Bengkulu Konflik dengan masyarakat
10 PT. Agriandalas Bengkulu Konflik dengan masyarakat
11 PT. Sandabi Indah Lestari Bengkulu Konflik dengan masyarakat
12 PTPN VII Talo Pino Bengkulu Konflik dengan masyarakat
13 PT. Mutiara Sawit Seluma Bengkulu Konflik dengan masyarakat
14 PT. Bio Nusantara Teknologi
Bengkulu Konflik dengan masyarakat
15 PT. Giantara Mulya Pratama
Bengkulu Konflik dengan masyarakat
16 PT. Sarana Mandiri Mukti Bengkulu Konflik dengan masyarakat
17 PT. Sandabi Indah Lestari Bengkulu Konflik dengan masyarakat
18 PT. Grand Jaya Niaga Bengkulu Konflik dengan masyarakat
19 PT. Mukomuko Agro Bengkulu Konflik dengan masyarakat
20 PT. Agricinal Bengkulu Konflik dengan masyarakat
21 PT. DDP Bengkulu Konflik dengan masyarakat
22 PT. Agrecinal Bengkulu Konflik dengan masyarakat
23 PT. Sapta Sentosa Jaya Abadi
Bengkulu Konflik dengan masyarakat
24 PT. Perkebunan dan Dagang Aceh Timur
Bengkulu Konflik dengan masyarakat
No Anak Perusahaan Land bank
(ha)
Luas yang
ditanami (ha)
Ke
pemilik
an
Taipan Provinsi
1 PT Mitra Puding Mas 4.323 4.031 95% Anglo-Eastern
Plantations
Bengkulu
2 PT Alno Agro Utama 14.202 12.896 90% Anglo-Eastern
Plantations
Bengkulu
3 PT Empat Lawang Agro
Perkasa
14.1 2.882 95% Anglo-Eastern
Plantations
Bengkulu
4 PT Karya Kencana
Sentosa Tiga
16 1.125 95% Anglo-Eastern
Plantations
Bengkulu
5 PT Riau Agrindo Agung 7.2 1.864 95% Anglo-Eastern
Plantations
Bengkulu
6 PTMutiara Sawit
Seluma
1,995 100% Provident Agro Bengkulu
7 PT Nakau 2,654 100% Provident Agro Lampung
8 PT Sumber Indah
Perkasa23,445 100% Golden Agri-
Resources
Lampung
10 PT Bumi Sentosa Abadi 970 100% Tunas Baru
Lampung
Lampung896
11 PT Bangun Nusa Indah
Lampung16,343 100% Tunas Baru
Lampung
Lampung15,851
12 PT Budi Dwiyasa
Perkasa
7,958 100% Tunas Baru
Lampung
Lampung6,968
13 PT Budinusa
Ciptawahana4,001 98% Tunas Baru
Lampung
Lampung3,230
14 PT Adikarya Gemilang 2,972 100% Tunas Baru
Lampung
Lampung1,591
15 PT Bangun
Tatalampung Asri9,870 100% Tunas Baru
Lampung
Lampung8,078
16 PT Agro Muko ANJ Group Bengkulu
17 PT Bangun Nusa Indah
Lampung
Sungai Budi
Group
18 PT Bangun
Tatalampung Asri
Sungai Budi
Group
Lampung
19 PT Budi Dwiyasa
Perkasa
Sungai Budi
Group
Lampung
20 PT Budinusa
Ciptawahana
Sungai Budi
Group
Lampung
21 PT Bumi Sentosa Abadi Sungai Budi
Group
Lampung
22 PT Mutiara Sawit
Seluma
Provident Agro Bengkulu
23 PT Nakau Provident Agro Lampung
24 PT Sumber
Indahperkasa
Sinar Mas Lampung
25 PT Tunas Baru
Lampung
Sungai Budi
Group
Lampung
Grafik. Total landbank kelapa sawit dari 25 grup bisnis, akhir 2013 (ha)
(TUK-Indonesia)
Gambar di atas menunjukkan luasan lahan kebun kelapa sawit di provinsi-
provinsi di Sumatera yang dikendalikan oleh 25 grup bisnis yang dikuasai
oleh para taipan. Angka ini menunjukkan ukuran landbank milik
perusahaan-perusahaan tersebut dalam hektar (yang sudah dan yang belum
ditanami) dan membandingkan luasan lahan tersebut dengan daerah yang
sudah ditanami kelapa sawit di tiap provinsi (dalam persentase). Saat ini total
luasan lahan Indonesia yang menjadi landbank dari 25 grup bisnis yang
dikendalikan oleh taipan ini sama dengan 51% dari total area yang ditanami
kelapa sawit di Indonesia secara keseluruhan, persentase itu lebih rendah
untuk semua provinsi di Sumatera. Persentase penguasaan tertinggi dapat
ditemukan di Lampung (44%), Sumatera Selatan (40%) dan Bangka-Belitung
(39%). Persentase yang relatif rendah ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa
industri kelapa sawit pertama kali dikembangkan di Sumatera, yang
mungkin berarti bahwa sebagian besar dari landbank kelapa sawit di
Sumatera berada di tangan grup bisnis yang dikendalikan oleh negara dan
grup bisnis yang dikendalikan oleh taipan yang lebih kecil dan pekebun.
“DI LAMPUNG HANYA 6,91% KAWASAN HUTAN YANG DIALOKASIKAN
UNTUK PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL”
Dengan luasan kawasan hutan mencapai 1 juta hektar, hanya 69 ribu hektar
atau 6,91% kawasan hutan yang dialokasikan untuk pengelolaan hutan bagi
masyarakat kecil sekitar hutan. Sebagian besar di antaranya justru untuk
skala besar. Sebagai misal, 129 ribu di antaranya diberikan kepada
pemegang izin Hutan Tanaman Industri. Dari total 69 ribu hektar, 22 ribu
hektar di antaranya merupakan Hutan Tanaman Rakyat, Hutan
Kemasyarakatan 33 ribu hektar, Hutan Desa 2 ribu, sementara Kemitraan 12
ribu hektar.
Grafik. Pengelolaan Hutan Skala Kecil Di Lampung.
Tumpang Tindih Dalam Kawasan Hutan Sebagai Modus Untuk
Merambah Hutan
Beberapa kegiatan usaha perkebunan juga ditengarai dengan sengaja
mendapatkan lahan di dalam kawasan hutan untuk dikonversi ilegal.
Sebagai misal pada kasus PT Agromuko di Lampung dari ditengari justru
melakukan pembukaan hutan produksi terbatas di Air Manjunto
(Boks PT Agromuko dan Perambahan Air Manjunto).
Sejak tahun 2006 PT Agromuko melakukan perambahan di HPT Air
Manjunto Reg.62 seluas 1.215 Ha, Lokasi perambahanyang dilakukan
di lokasi perkebunan PT Agromuko, sungai Sei Betung, di sekitar
koordinat S: 02.33.58.9 E: 101.21.34.9 Desa Penarik Kec. Penarik Kab.
Mukomuko. Prov. Bengkulu. Pada tahun 2008 Dishut kabupaten
Mukomuko memetakan Kebun PT Agromuko yang masuk kawasan
seluasan +/- 1.215 Ha.
Perambahan yang dilakukan oleh perusahaan PT Agromuko ini tidak
dilakukan penindakan hukum oleh pemerintah daerah, bahkan
difasilitasi untuk pelepasan kawasan hutan. Sehingga pada tahun
2012 melalui SK. Menhut 784, lokasi perambahan PT Agromuko
dikeluarkan dari kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi
Hutan Produksi Konfersi (HPK). Perambahan yang dilakukan oleh
perusahaan perkebunan besar di Mukomuko ini melanggar UU 41
tahun 1999 tentang kehutanan.
Boks 2. PT Agromuko dan Perambahan Air Manjunto.
“PENUNJUKAN SEPIHAK KAWASAN HUTAN DAN PERLUASAN
WILAYAH KONSERVASI TANPA PERSETUJUAN MASYARAKAT LOKAL
DAN ADAT MENYEMPITKAN LAHAN KELOLA
MASYARAKAT DI BANTEN”
Penunjukan sepihak dua taman nasional di Provinsi Banten oleh
pemerintah telah menyingkirkan masyarakat adat dan lokal yang telah
lama mengelola lahan hutan. Penyingkiran masyarakat Kasepuhan sudah
dimulai sejak penetapan wilayah Halimun sebagai cagar alam di zaman
kolonial Belanda. Kawasan hutan itu berubah statusnya menjadi hutan
produksi yang dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Statusnya
berubah kembali menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (SK Menhut
No. 282/Kpts-II/1992). Tanpa ada konsultasi dan bahkan pemberitahuan
kepada masyarakat, Taman Nasional Gunung Halimun yang semula hanya
40.000 hektar diperluas menjadi 113.357 hektar dengan didasarkan pada
SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003.
Padahal di dalam kawasan konservasi itu sudah hidup 52 kelompok
masyarakat hukum adat yang dikenal sebagai Kasepuhan yang sudah lama
mendiami daerah tersebut. Penunjukan sepihak dan perluasan wilayah
konservasi telah membatasi masyarakat adat Kasepuhan dalam
mengelola lahannya sesuai dengan pengetahuan lokal dan turun temurun
itu. hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI dan AMAN hingga
tahun 2014, menyebutkan sekitar 18.055,263 ha merupakan wilayah adat
yang di klaim masuk ke dalam wilayah TNGHS. Luas wilayah adat ini masih
bersifat sementara mengingat masih ada Kasepuhan yang belum
dipetakan wilayah adatnya.
Namun, bukan hanya wilayah konservasi yang membatasi gerak
Masyarakat Kasepuhan ini, terdapat juga Perhutani yang mengelola hutan
produksi, beberapa ijin pertambangan dan perkebunan yang tumpang
tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Peta di bawah ini memperlihatkan
tumpang tindih antara wilayah Kasepuhan dengan wilayah konservasi dan
konsesi pengelolaan lahan yang berada di Provinsi Banten dan Jawa Barat.
788,907
413,138
363,227
342,850
304,468
257,469225,254
206,513200,000
192,716
186,535
185,199
164,956
162,741
144,923
139,038
120,748
102,90295,608
92,899
82,50082,307
78,70167,804
65,718
Pa
lm O
il L
an
db
an
k (
tho
usa
nd
he
cta
res)
100
200
300
400
500
600
700
0
Aceh
Nort
h Sum
atera
Riau
West
Sum
atera
Jam
bi
Bengkulu
South S
umate
ra
Bangka-Belit
ung
Lampung
Wilmar Group
Triputra Group
Tiga Pilar Sejahtera Group
Tanjung Lingga Group
Surya Dumai Group
Sungai Budi Group
Sinar Mas Group
Sampoerna Agro Group
Salim Group
Royal Golden Eagle Group
Provident Agro Group
Musim Mas Group
Kencana Agri Group
Jardine Matheson Group
IOI Group
Harita Group
Gozco Group
Genting Group
DSN Group
Darmex Agro Group
BW Plantation Group
Batu Kawan Group
Bakrie Group
Austindo Group
Anglo-Eastern Group
Sinar Mas Group
Jardine Mathson Group
Salim Group
Triputra Group
Surya Dumai Group
Wilmar Group
Musim Mas Group
Harita Group
Darmex Agro Group
Kencana Agri Group
Sampoerna Agro Group
DSN Group
Royal Golden Eagle Group
Genting Group
Batu Kawan Group
Austindo Group
Anglo-Eastern Group
Bakrie Group
BW Plantation Group
Tiga Pilar Sejahtera Group
IOI Group
Sunga Budi Group
TanjungLingga Group
Gozco Group
Provident Agro Group
HD
2.109 HTR
22.000
HKM
33.591,15
Kemitraan Kehutanan
12.500
3
Tercatat setidaknya 34 konflik terjadi di Kawasan Halimun. Seluas 20,6 % dari wilayah yang berkonflik itu diperebutkan oleh masyarakat
dan Perum Perhutani. Kemudian 70,6 %, konflik terjadi antara masyarakat dengan Taman Nasional/Kementerian Kehutanan. Sisanya
adalah konflik antar masyarakat dengan perkebunan dan konflik horizontal antar masyarakat sendiri. Selain dengan masyarakat adat,
konflik juga menyulitkan kehidupan masyarakat lokal. Tercatat 108 desa, 314 kampung berada di wilayah yang diklaim sebagai Taman
Nasional Gunung Halimun dan Salak.Masyarakat Desa Legon Pakis juga mengalami masalah yang sama, ketika wilayah kelolanya tiba-
tiba ditunjuk sebagai kawasan konservasi bernama Taman Nasional Ujung Kulon. Penunjukan itu menyebabkan mereka terbatasi haknya
dalam mengelola lahannya. Mereka bahkan tidak bisa menanam padi dan pihak Taman Nasional menentukan sepihak tanaman apa yang
boleh ditanam di Desa Legon Pakis.
PETA OVERLAY PROVINSI BANTEN DAN JAWA BARAT
4
REKOMENDASI
Berdasarkan kondisi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera dan Koalisi Anti Mafia Hutan menuntut:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan dengan
cara yang partisipatif dan memperhatikan hak-hak masyarakat atas hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian terkait melakukan audit perizinandan kinerjanya
terhadap seluruh kegiatan usaha perkebunan dan kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian beserta Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan
konflik dengan masyarakat.
Aparat Penegak Hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pejabat Penyidik Negeri Sipil (PPNS) agar menilisik
dugaan tindak pidana kehutanan dan korupsi khususnya terhadap korporasi.
Pemerintah Kabupaten Lebak dan Kabupaten Lebong hendaknya mempercepat proses penyusunan Peraturan Daerah
pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Kasepuhan dengan tidak melupakan pemetaan dan penetapan wilayah adatnya.
1
2
3
4
5
HPK
HPT
HP
HLKSAPALKSAPA
Kawasan HutanKeterangan :Serapan Kasepuhan CicarucubBatas Wilayah Adat
Konsesi Tambang
Batas Administrasi Desa