Upload
zalmes
View
297
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mmmmmmmmmmm
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Neurologi adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani kelainan pada sistem
saraf. Dokter yang mengkhususkan dirinya pada bidang neurologi disebut neurolog dan memiliki
kemampuan untuk mendiagnosis, merawat, dan memanejemen pasien dan kelainan saraf.
Kebanyakan para neurolog dilatih untuk menangani pasien dewasa. Untuk anak-anak dilakukan
oleh neurolog pediatrik, yang merupakan cabang dari pediatri atau ilmu kesehatan anak. Di
Indonesia, dokter dengan spesialisasi neurologi diberi gelar Sp.S. atau Spesialis Saraf.
Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem
serebrospinal dan saraf otonom, yang mencakup susunan saraf simpatik dan susunan saraf
parasimpatis. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas tentang asuhan keperawatan
pada pasien pre dan post operasi sistem persarafan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Persarafan
Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem
serebrospinal dan saraf otonom, yang mencakup susunan saraf simpatik dan susunan saraf
parasimpatis. Susunan saraf pusat terdiri atas otak, sumsum tulang belakang dan urat-urat saraf
atau saraf cabang yang tumbuh dari otak dan sumsum tulang belakang yang disebut urat saraf
periferi. Jaringan saraf membentuk salah satu dari empat kelompok jaringan utama pada tubuh.
Sistem saraf otonom bergantung pada sistem saraf pusat dan antara keduanya
dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen. Juga memiliki sifat seolah-olah sebagai bagian
sistem saraf pusat, yang telah bermigrasi dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh
darah, jantung, paru-paru dan usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkenaan dengan
pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga susunan saraf
tak sadar.
2.2 Pendidikan Kesehatan pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan
Pendidikan kesehatan pada klien diberikan melalui penyuluhan tentang pre dan post
operasi sistem persarafan. Diantaranya diinformasikan tentang persiapan-persiapan yang harus
dilakukan dalam masa pre operatif sebagai tahap awal untuk menjalani peri operatif. Perlu juga
diberikan pendidikan kesehatan pada saat post operatif yaitu dengan memberikan pengetahuan
bahwa harus menghindari trauma pada sitem persarafan.
2.3 Tindakan Kolaborasi pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan
a. Obat – obatan
Steroid
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan elektrofisiologis (EMG)
2) Tap spinal
c. Terapi
2
1) Terapi kortikosteroid
2) Plasmaferesi
3) Ventilasi mekanis
2.4 Tindakan Monitoring pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan
2.4.1 Pre Operasi
Pre operatif adalah tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Maksudnya adalah fase
ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahap-tahap selanjutnya.
Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat
diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang harus dilakukan saat pre operatif:
1. Persiapan fisik pre operatif yang dialami pasien dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
a. Persiapan di unit perawatan
b. Persiapan di ruang operasi
2. Lakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum meliputi identitas klien ,
riwayat penyakit, dll.
3. Lakukan pemeriksaan kasus nutrisi, kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur
tinggi badan dan berat badan.
4. Balance cairan dan elektrolit perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang
normal.
2.4.2 Post Operasi
Post operasi adalah masa yang dimulai ketika masuknya pasien ke ruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan perubahan faal, sebagai
respon terhadap trauma. Berikut ini hal-hal yang harus dipantau secara faktuil, singkat, jelas, dan
lengkap, dan dituliskan setiap harinya dalam periode yang berlangsung tepat sesudah
pembedahan:
1. Uraian secara umum: kesiapan mental, kesadaran, toleransi terhadap rasa sakit dll
2. Tanda-tanda vital
3
3. Respirasi kepatenan jalan nafas, kedalaman, frekuensi, sifat dan bunyi nafas
4. Neurologi: tingkat respon klien
5. Drainase: kondisi balutan ( adanya drainase atau tidak )
6. Kenyamanan: tipe dan lokasi nyeri, mual dan muntah, perubahan posisi yang
diperlukan
7. Psikologi: kebutuhan akan istirahat dan tidur, sifat dan pertanyaan pasien
8. Keselamatan: kebutuhan akan pagar tempat tidur, drainase selang tidak tersumbat.
9. Diit ( misalnya toleransi terhadap cairan dan makanan )
10. Tes diagnostik
2.5 Pemeriksaan Sistem Persarafan
2.5.1 Pengkajian Fisik dan Tes Diagnostik
1. Tingkat kesadaran :
a. Alert : Composmentis / kesadaran penuh
Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu
terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.
b. Lethargic : Kesadaran
1) Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara.
2) Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat
berespon dengan cepat.
3) Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.
c. Obtuned
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon
misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.
d. Stuporus
1) Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.
2) Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus
2. Glasgow Coma Scale (GCS)
Score : 3 – 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja
11 : moderate disability
4
15 : composmentis
Adapun scoring tersebut adalah :
a. Respon Scoring
1) Respon membuka mata ( E = Eye )
2) Spontan ( 4 )
3) Dengan perintah ( 3 )
4) Dengan nyeri ( 2 )
5) Tidak berespon ( 1 )
b. Respon Verbal ( V )
1) Berorientasi (5)
2) Bicara membingungkan (4)
3) Kata-kata tidak tepat (3)
4) Suara tidak dapat dimengerti (2)
5) Tidak ada respons (1)
c. Respon Motorik (M )
1) Dengan perintah (6)
2) Melokalisasi nyeri (5)
3) Menarik area yang nyeri (4)
4) Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi (3)
5) Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)
6) Tidak berespon (1)
3. Saraf kranial :
a. Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman
1) Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang
baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
2) Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
b. Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
5
1) Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di
koran, ulangi untuk satunya.
2) Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien
memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan
perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu
klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
c. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
1) Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan
senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien
dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena
sinar.
2) Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm
sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya
deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
3) Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa
menengok.
d. Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas
dan bawah.
1) Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
2) Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
3) Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata
klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
4) Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan
palpasi pada otot temporal dan masseter.
e. Test nervus VII (Facialis)
1) Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,
asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan,
6
klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi
yang sehat.
2) Otonom, lakrimasi dan salivasi
3) Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :
tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha
membukanya
f. Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris
1) Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa
berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
2) Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah
dapat melakukan atau tidak.
g. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
1) N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian
ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian
parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
2) N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah
simetris dan tertarik keatas.
Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx
dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
h. Test nervus XI (Accessorius)
1) Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi
kekuatannya.
2) Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan, test otot
trapezius.
i. Nervus XII (Hypoglosus)
7
1) Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
2) Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
3) Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan
minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
2.5.2 Fungsi Sensorik
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem
persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling
akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan
pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan
baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli
(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau
perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot,
twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan
sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan
refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti : Jangka, untuk 2
(two) point tactile dyscrimination.
6. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
7. Pen / pensil, untuk graphesthesia.
2.5.3 Sistem Motorik
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls
berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan
bersinaps dengan lower motor neuron.8
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
1. Massa otot :
hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot :
Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian
secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang
dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif
sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus
otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat
berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis.
Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan
fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks,
lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan
sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan
halus.
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif
menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat
dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s
(memiliki nilai 0 – 5)
0 = Tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = Gerakan kontraksi.
2 = Kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = Cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = Cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = Kekuatan kontraksi yang penuh.
2.5.4 Aktifitas Refleks
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer.
Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = Tidak ada respon9
1 = Hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = Normal ( ++ )
3 = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )
4 = Hyperaktif, dengan klonus ( ++++ )
Refleks – refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan
refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.
2. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90o , supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon
m. Biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hiperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan
fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok dengan
refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot
bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
5. Refleks abdominal10
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus
kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak
kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki.
Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya
tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
2.6 Pemeriksaan Khusus Sistem Persarafan
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien
untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada
secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara
pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi
lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
11
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang
m. ischiadicus.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Tumor otak
3.1.1 definisi
12
Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan ruang baik
jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. (price, A. Sylvia, 1995:
1030). Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum tulang
belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa tumor
primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut
tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru,
payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002).
3.1.2 klasifikasi
Tumor otak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Berdasarkan Jenis Tumor
a. Jinak
1. Acoustic neuroma
2. Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi jaringan sekitarnya
tetapi menekan struktur yang berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki banyak pembuluh darah
sehingga mampu menyerap isotop radioaktif saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.
1. Pituitary adenoma
2. Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1. Astrocytoma (grade 2,3,4)
2. Oligodendroglioma
1. . Klasifikasi
13
Berdasarkan lokasi
1. Tumor intradura
a) Ekstramedular
- Cleurofibroma
- Meningioma
b) Intramedula
- Apendymom
- Astrocytoma
- Oligodendroglioma
- Hemangioblastoma
2). Tumor ekstradural
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat muncul hingga 10
tahun. Secara klinis bersifat agresif dan menyebabkan simptomatologi bermakna akibat
peningkatan tekanan intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling bersifat
kemosensitif.
3.1.3 Etiologi Tumor Otak
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti walaupun telah banyak
penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:
1. Herediter
14
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-
jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya
faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya sebagian
dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan merusak bangunan di
sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma
intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma.
Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma
tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan
perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi karsinogenik
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone,
nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
3.1.4 Menisfestasi Klinis
15
a) Nyeri Kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian
berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga
sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik.
Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral
pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada
fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
b) Perubahan Status Mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan
berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus
frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
c) Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal
baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.
d) Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik
neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak
menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang
berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang
perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
e) Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut
juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam
16
hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya
massa intracranial.
f) Vertigo
Pasien merasakan pusing yang berputar dan mau jatuh.
3.1.5 Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini
menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya
dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap
disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial.
Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi
pada tumor yang tumbuh paling cepat. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan
tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan
dengan gangguan cerebrovaskuler primer.
3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Tumor Otak
1. CT scan dan MRI
2. Foto polos dada
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal
4. Biopsi stereotaktik
5. Angiografi Serebral
6. Elektroensefalogram (EEG)
17
18
3.2 Pengkajian pre op pada pasien tumor otak
3.2.1 Pengkajian
Point penting dalam riwayat keperawatan preoperative :
a) Umur
b) Alergi terhadap obat, makanan
c) Pengalaman pembedahan
d) Pengalaman anestesi
e) Tembakau, alcohol, obat-obatan
f) Lingkungan
g) Kemampuan self care
h) Support system
3.2.2 Pemeriksaan fisik
a) Pengkajian dasar preop dilakukan untuk :
b) Menentukan data dasar
c) Masalah pengobatan yang tersembunyi
d) Potensial komplikasi s.d. anestesi
e) Potensial komplikasi post op.
Fokus : Riwayat dan sitem tubuh yang mempengaruhi prosedur pembedahan.
a) System kardiovaskuler
Untuk menentukan kekuatan jantung dan kemampuan untuk menttoleransi pembedahan
dan anestesi. Perubahan jantung à 39 % kematian perioperatif.
b) Sisten pernapasan
Lansia, smoker, PPOM à resiko atelektasis, kolap jaringan paru.
à Mencegah pertukaran oksigen/CO2
à Intoleransi karena perubahan dalam dada dan paru.
à Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru à efisiensi ekskresi paru
terhadap anestesi menurun.
19
c) Renal system
Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi Skopolamin, morphin
à konfusi disorientasi
d) Neuorologi system
1. Muskulussceletal
Defomitas à mempengaruhi posisi intra dan post-operasi
Artritis à menerima posisi à nyeri post-operasi oleh karena immobilisas
2. Status nutrisi
Malnutrisi,obesitas à resiko tinggi pembedahanVit. C , vit.b diperlukan untuk
penyembuhan luka dan pembentukan fibrin.Obesitas à wondhiling menurun oleh
karena jaringan lemak tinggi.
e) Psikososial asesment
Tujuan : menentukan kemampuan coping
Informasi
Support
f) Laboratorium
Analisis:
1. Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op
2. Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op
Planning :
Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )
Tujuan : klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op mendemostrasikan teknik
untuk mencegah komplikasi post-op
Intervensi
Fokus : edukasi pre-operasi
Informasi : informed consent, pembatasan diit, pre-operatip preparation, post-op
exersice.
20
Informed consent :
- alasan pembedahan
- pilhan dan resikonya
- resiko pembedahan
- resiko anestesi
Pembatasan diit à npo (nothing per oral )à 6 – 8 jam sebelum pembedahanGi (gastro
intestinal ) preparasi :
- mencegah perlukaan colon
- melihat jelas area
- mengurangi bacteri intestinal
Skin preparasi Tube, drain, i v line Post – op exercise :
- diaphragmatic breating
- incestive spirometri
- cougling and spinting the surgical wound
- turning and leg exercise
Kecemasan :
Tujuan : kecemasan clien menurun , menunjukkan relaksasi saat istirahati ntervensi :
- preoperatip teaching
- comunikatip
- rest.
INTERVENSI KLIEN INTRA OPERATIF
Anggota Tim Pembedahan
Tim pembedahan terdiri dari :
Ahli bedah
Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang sudah melakukan
operasi. Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bias dokter, riside, atau perawat, di
bawah petunjuk ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.
Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.
21
Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain untuk
mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.
Circulating Nurse
Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Tugas :
− Set up ruangan operasi
− Menjaga kebutuhan alat
− Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan
− Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
− Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi klien.
Selama pembedahan :
- Mengkoordinasikan aktivitas
- Mengimplementasikan NCP
- Membenatu anesthetic
- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.
Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan
mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi
fisiologi dan prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.
Penyiapan kamar dan team pembedahan.
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor
penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan
pencegahan infeksi.
1). Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan
pendukung ( bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).Alur lalu lintas
yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan terkontaminasi à
design (protektif, bersih, steril,dan kotor).Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan
rumah sakit.
22
Umumnya :
Kamar terima
• Ruang untuk poeralatan bersih dan kotor.
• Ruang linen bersih.
• Ruang ganti
• Ruang umummuntuk pembersihan dan sterilisasi alat.
• Scrub area.
• Ruang operasi terdiri dari :
• Stretcher atau meja operasi.
• Lampu operasi.
• Anesthesia station.
• Meja dan standar instrumen.
• Peralatan suction.
• System komunikasi.
3.3 Pengkajian post op tumor otak
Pembedahan adalah pengobatan yang paling umum untuk tumor otak. Tujuannya adalah
untuk mengangkat sebanyak tumornya dan meminimalisir sebisa mungkin peluang kehilangan
fungsi otak.
Operasi
Untuk membuka tulang tengkorak disebut kraniotomi. Hal ini dilakukan dengan anestesi
umum. Sebelum operasi dimulai, rambut kepala dicukur. Ahli bedah kemudian membuat sayatan
di kulit kepala menggunakan sejenis gergaji khusus untuk mengangkat sepotong tulang dari
tengkorak. Setelah menghapus sebagian atau seluruh tumor, ahli bedah menutup kembali bukaan
tersebut dengan potongan tulang tadi, sepotong metal atau bahan. Ahli bedah kemudian
menutup sayatan di kulit kepala. Beberapa ahli bedah dapat menggunakan saluran yang
ditempatkan di bawah kulit kepala selama satu atau dua hari setelah operasi untuk
meminimalkan akumulasi darah atau cairan.
23
Efek samping yang mungkin timbul pasca operasi pembedahan tumor otak adalah sakit
kepala atau rasa tidak nyaman selama beberapa hari pertama setelah operasi. Dalam hal ini dapat
diberikan obat sakit kepala.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identifikasi faktor resiko paparan dengan radiasi atau bahan – bahan kimia yang bersifat
carcinogenik.
Identifikasi tanda dan gejala yang dialami: sakit kepala, muntah dan penurunan
penglihatan atau penglihatan double.
Identifikasi adanya perubahan perilaku klien.
Observasi adanya hemiparase atau hemiplegi.
Perubahan pada sensasi: hyperesthesia, paresthesia.
Observasi adanya perubahan sensori: asteregnosis (tidak mampu merasakan benda
tajam), agnosia (tidak mampu mengenal objek pada umumnya), apraxia (tidak mampu
menggunakan alat dengan baik), agraphia (tidak mampu menulis).
Observasi tingkat kesadran dan tanda vital.
Observasi keadaan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Psikososial: perubahan kepribadian dan perilaku, kesulitan mengambil keputusan,
kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya
perubahan peran.
Laboratorium:
a. Jika tidak ada kontraindikasi: lumbal puncti.
b. Fungsi endokrin
Radiografi:
a. CT scan.
b. Electroencephalogram
c. Χ - ray paru dan organ lain umtuk mencari adanya metastase.
2. Diagnosa Keperawatan
24
Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.
Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan
mengenal informasi.
3. Rencana Intervensi
a. Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.
Data penunjang: peruabhan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon
sensorik/motorik, gelisah, perubahan tanda vital.
Kriteria hasil: Tingkat kesadaran stabil atau ada perbaikan, tidak adan tanda – tanda
peningaktan TIK.
Intervensi Rasional• Pantau status neurologis secara
teratur dan bandingkan dengan
nilai standar.
• Pantau tanda vital tiap 4 jam.
• Pertahankan posisi netral atau
posisi tengah, tinggikan kepala
200-300.
• Pantau ketat pemasukan dan
pengeluaran cairan, turgor kulit
• Mengkaji adanya perubahan pada
tingkat kesadran dan potensial
peningaktan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan okasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
• Normalnya autoregulasi
mempertahankan aliran darah ke otak
yang stabil. Kehilanagn autoregulasi
dapat mengikuti kerusakan
vaskularisasi serebral lokal dan
menyeluruh.
• Kepala yang miring pada salah satu
sisi menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena yang
selanjutnya akan meningkatkan TIK.
• Bermanfaat sebagai indikator dari
25
dan keadaan membran mukosa.
• Bantu pasien untuk
menghindari/membatasi batuk,
muntah, pengeluaran feses yang
dipaksakan/mengejan.
• Perhatikan adanya gelisah
yang meningkat, peningkatan
keluhan dan tingkah laku yang
tidak sesuai lainnya.
•
cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan.
• Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intra toraks dan intra abdomen
yang dapat meningkatkan TIK.
• Petunjuk non verbal ini
mengindikasikan adanya penekanan
TIK atau mennadakan adanya nyeri
ketika pasien tidak dapat
mengungkapkan keluhannya secara
verbal.
b. Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.
Data penunjang: klien mengatakan nyeri, pucat pada wajah, gelisah, perilaku tidak
terarah/hati – hati, insomnia, perubahan pola tidur.
Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, klien menunjukkan perilaku
untuk mengurangi kekambuhan.
Intervensi Rasional• Teliti keluhan nyeri: intensitas,
karakteristik, lokasi, lamanya, faktor
yang memperburuk dan meredakan.
• Observasi adanya tanda-tanda nyeri non
• Nyeri merupakan pengalaman
subjektif dan harus dijelaskan oleh
pasien. Identifikasi karakteristik nyeri
dan faktor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat
penting untuk memilih intervensi yang
cocok dan untuk mengevaluasi
keefektifan dari terapi yang diberikan.
• Merupakan indikator/derajat nyeri
26
verbal seperti ekspresi wajah, gelisah,
menangis/meringis, perubahan tanda
vital.
• Instruksikan pasien/keluarga untuk
melaporkan nyeri dengan segera jika
nyeri timbul.
• Berikan kompres dingin pada kepala.
yang tidak langsung yang dialami.
• Pengenalan segera meningkatkan
intervensi dini dan dapat mengurangi
beratnya serangan.
• Meningkatkan rasa nyaman dengan
menurunkan vasodilatasi.
c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan
mengenal informasi.
Data penunjang: Klien dan keluarga meminta informasi, ketidakakuratan mengikuti
instruksi, perilaku yang tidak tepat.
Kriteria hasil: Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan
pengobatan, memulai perubahan perilaku yang tepat.
Intervensi Rasional• Diskusikan etiologi individual dari sakit
kepala bila diketahui.
• Bantu pasien dalam mengidentifikasikan
kemungkinan faktor predisposisi.
• Diskusikan mengenai pentingnya
posisi/letak tubuh yang normal.
• Mempengaruhi pemilihan terhadap
penanganan dan berkembnag ke arah
proses penyembuhan.
• Menghindari/membatasi faktor-
faktor yang sering kali dapat
mencegah berulangnya serangan.
• Menurunkan regangan pada otot
daerah leher dan lengan dan dapat
menghilangkan ketegangan dari
27
• Diskusikan tentang obat dan efek
sampingnya.
tubuh dengan sangat berarti.
• Pasien mungkin menjadi sangat
ketergantungan terhadap obat dan
tidak mengenali bentuk terapi yang
lain.
Daftar pustaka
Carpenito. 1998. Diagnosa Keperawatan. Edisi vi. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Hudak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi V. Volume II. Jakarta: Buku kedokteran
EGC.
28
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1995. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Ganggungan Persyarafan. Jakarta.
Sutanto. 1998. Mata Ajaran Gangguan Sistem Persyarafan. Yogyakarta.
Juan, Lynda. 1995. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
www. Google. Sistem persyarafan.
29