79
PENGANTAR HAK ASASI MANUSIA Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hak asasi Menurut Drs. Usman Surur, M.Pd. Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata, yaitu : 1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan 2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada 3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Ada 3 hak asasi manusia yang paling fundamental (pokok) dalam kehidupan sehari – hari, yaitu : a. Hak Hidup (life) b. Hak Kebebasan (liberty) c. Hak Memiliki (property) PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Bahan ajar ham

Embed Size (px)

Citation preview

PENGANTAR HAK ASASI MANUSIA

Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan

Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak

ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian

bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab

apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak

asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Hak asasi

Menurut Drs. Usman Surur, M.Pd. Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian

tiga buah kata, yaitu :

1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa

Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan

kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip,

maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan

tidak boleh tidak ada

3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang

Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau

memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari

kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin.

Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia

adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

Ada 3 hak asasi manusia yang paling fundamental (pokok) dalam kehidupan

sehari – hari, yaitu :

a. Hak Hidup (life)

b. Hak Kebebasan (liberty)

c. Hak Memiliki (property)

PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia

adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

John Locke

" Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati

melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat

mutlak)."

Prof. Koentjoro Poerbopranoto (1976)

"Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang

dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari

hakikatnya sehingga bersifat suci."

G.J. Wolhots

"Hak-hak asasi manusia adalah sejulah hak yang melekat dan berakar pada

tabiat setiap pribadi manusia, bersifat kemanusiaan."

Jan Materson

"Anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB, merumuskan pengertian HAM dalam

“human right could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being” yang

artinya HAM adalah hak-hak yang secara secara inheren melekat dalam diri

manusia, dan tanpa hak itu manusia tidaka dapat hidup sebagai manusia."

Prof. Darji Darmodiharjo, S. H.

"Mengatakan : hak – hak asasi manusia adalah dasar atau hak – hak pokok

yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak –

hak asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban yang lain."

Muladi (1996)

"Mengemukakan pengertian HAM secara universal,yang dirumuskan sebagai those

rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as

human being.Rumusan tersebut garus besarnya adalah segala hak-hak dasar

yang melekat dalam kehidupan manusia."

Jack Donnely

"Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena

ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh

masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata

berdasarkan martabatnya sebagai manusia."

Miriam Budiardjo

"Berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang

telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam

kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa

perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat

universal. "

Karel Vasak

"Mengklasifikasikan hak asasi manuasi dari tiga generasi yang diambil

revolusi prancis. Alasan Karel Vasak menggunakan pengistilahan “generasi”

adalah karena generasi yang dimaksud adalah dengan merujuk pada inti atau

substansi dan ruang lingkup hak yang menjadi prioritas utama pada kurun

waktu tertentu."

Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan oleh Allah SWT

kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan

atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan oleh Allah itu bersifat permanen,

kekal, dan abadi. Tidak boleh diubah atau dimodifikasi.

1. 2. Karakteristik, Kandungan Nilai dan Cakupan Hak Asasi Manusia

Ciri khas dari Hak Asasi Manusia, antara lain :

1) Qodrat, artinya Hak Asasi Manusia itu adalah pemberian dari Tuhan

kepada setiap manusia agar hidupnya terhormat

2) Hakiki, Hak Asasi Manusia itu melekat pada diri setiap manusia, tanpa

melihat latar belakang kehidupan dan status sosialnya

3) Universal, artinya Hak Asasi Manusia itu berlaku umum, tidak membeda-

bedakan manusia yang satu dengan yang lainnya

4) Tidak Dapat Dicabut, artinya Hak Asasi Manusia dalam keadaan

bagaimana pun, tetap ada pada setiap orang

5) Tidak Dapat Dibagi, artinya Hak Asasi Manusia itu tidak dapat

diwakili atau pun dialihkan kepada orang lain

Kandungan Nilai Hak Asasi Manusia

Kebebasan atau Kemerdekaan ; manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka,

karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam

keadaan merdeka. Seperti merdeka memilih negara, tempat tinggal,

berkeluarga, bergerak, memilih pekerjaan, berserikat, berkumpul,

berekspresi, mengemukakan pendapat, memperoleh dan mendayagunakan informasi

dan lain sebagainya

Adapun macam-macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan

pribadi manusia.

A. Hak untuk memilih agama

B. Hak untuk memilih tempat tinggal

C. Hak kebebasan bergerak dalam wilayah Negara

D. Hak meninggalkan negeri dan kembali ke negeri sendiri

E. Hak atas rahasia surat menyurat

F. Hak memilih jodohnya dan sebagainya

b. Hak asasi politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik.

A. Hak ikut serta dalam pemerintahan atau

menjabat suatu jabatan pemerintahan

B. Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum

C. Hak kebebasan berkumpul dan berapat

D. Hak kebebasan mengeluarkan pendapat, baik dengan

lisan atau tulisan

E. Hak ikut serta dalam pertahanan Negara dan

sebagainya

c. Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian.

B. Hak untuk memiliki suatu benda, membeli, menjual, dan

menggunakannya

C. Hak untuk memilih pekerjaan yang disukainya

D. Hak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan

E. Hak untuk mendirikan atau memasuki serikat kerja

F. Hak untuk mendapatkan upah yang cukup dan adil, dan

sebagainya.

d. Hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan

bermasyarakat.

A. Hak jaminan social bagi fakir miskin

dan anak-anak terlantar

B. Hak mendapatkan derajat hidup yang layak bagi

kemanusiaan

C. Hak mendapat jaminan social di hari tua

D. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran

E. Hak kebebasan melakukan pekerjaan social dan

amal

F. Hak kebebasan memberikan pengajaran dan

pendidikan yang disukainya

G. Hak kebebasan mengusahakan kebudayaan,

kesenian dan ilmu pengetahuan, dan

sebagainya.

e. Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dah pemerintahan, yaitu hak yang

berkaiatan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan.

B. Hak mendapatkan perlakuan hokum yang sama di depan

pengadilan

C. Hak mendapat perlakuan jujurdala perkaranya dari hakim

yang tidak memihak

D. Hak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan

kesalahannyadi depan hakim

E. Hak tidak hukum yang mengakibatkan kematian perdata,

dan sebagainya

f.

.

LANDASAN HAKUM MENGENAI HAM DI INDONESIA

Pengakuan akan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut.

a. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama

Negara Indonesia sejak mas berdirinya, tidak bias lepas dari HAM

itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama UUD 1945

yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak

segala bangsa”… berdasarkan hal ini, maka bangsa Indonesia

mengakui adanya hak untuk merdeka atau bebas.

b. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat berbunyi: kemudian dari pada

itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan utnuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social,

maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk daalm susunan Negara

Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Imdonesia, Kerakyatan dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilam, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kedua Pancasila, kemausiaan yang adil dan beradab, merupakan

landasan idiil akan pengakuan dan jaminan hak asasi manusia di

Indonesia.

c. Batang tubuh UUD 1945

Rumusan hak tersebut mencakup hak dalm bidang politik, ekonomi,

social, dan budaya yang tersebar dari pasl 27 sampai dengan pasl

34 UUD 1945.

d. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 adalah tentang Hak Asasi Manusia.

Macam-macam hak asasi manusia yang tercantum dalam ketetapan ini

adalah:

a. Hak untuk hidup

b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

c. Hak keadilan

d. Hak kemerdekaan

e. Hak atas kebebasan informasi

f. Hak keamanan

g. Hak kesejahteraan

h. Kewajiban

i. Perlindungan dan pemajuan

e. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang tentang HAM di Indonesia adalah Undang-Undang nomor

39 tahun 1999, sebagai berkut:

1. Hak untuk hidup (pasal 4)

2. Hak untuk berkeluarga (pasal 10)

3. Hak untuk mengembangkan diri (pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan

16).

4. Hak untuk memperoleh keadilan (pasal 17, 18, 19).

5. Hak atas kebebasan pribadi (pasal 20 – 27).

6. Hak atas rasa aman (pasal 28 – 35).

7. Hak atas kesejahteraan (pasal 36 – 42)

8. Hak turut serta dalam pemerintahan (pasl 43 – 44)

9. Hak wanita (pasl 45 – 51).

10. Hak anak (pasal 52 – 66).

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki

tiga undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-

undang Dasar 1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27

Desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang

mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-

undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5

Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi

Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan

dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34.

Pengaturan tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan

dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu

kalimat saja dan penambahan satu pasal.

Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara

RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo

memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang

karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara

M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan

alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.

Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk

memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya

adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan

UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM,

tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.

Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang

berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru

telah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban

Warg Negara. MPRS telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR

tentang pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan

politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat

bahwa pada saat itu pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam

HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan

perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia

terhadap piagam HAM, maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11

Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan

kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk

menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada

seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM,

sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan

baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang

HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor

keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB

dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan

dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa

Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,

3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.

Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan

berlakunya

Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi

Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres

tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan

berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan

disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik

maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi

Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan

Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.

Sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan

Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment

or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman

lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)

Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor

XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar

Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan

Kewajiban Dasar Manusia.

Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk

menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia

serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi

perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran

terhadap HAM.

B. HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945

Memasukan norma HAM ke dalam Undang-undang Dasar Indonesia merupakan

perjuangan yang panjang. Pada awal Negara di bentuk telah menjadi

pertentangan antara pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu

atau tidaknya HAM dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Pertentangan tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa prinsip HAM

identik dengan ideology liberal-individual yang tidak sesuai dengan jiwa

bangsa.

Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya

pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman

terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang

bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai

kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi.

Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah

dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud

semata-mata :

1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak

dan kebebasan orang lain dan

2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,

nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal

retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan

Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima

dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi

pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan

kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh

MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip

kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan

rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah

dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang

diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.

Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah

rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula

tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya

itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2).

Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan

meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang

sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut

tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini

yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada

ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.

Berikut adalah nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar

1945:

1. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama

)

2. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (Pembukaan UUD, alinea pertama

)

3. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

(Pembukan UUD 1945, alinea ke empat)

4. Memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)

5. Mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)

6. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)

7. Hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27

Ayat 1 UUD 1945)

8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)

9. Hak dan kewajiban ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27 Ayat

3 UUD 1945)

10. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)

11. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD

1945)

12. Hak untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945)

13. Hak bekeluarga (Pasal 28B UUD 1945)

14. Hak mengembangkan diri (Pasal 28C UUD 1945)

15. Hak mendapatkan keadilan (Pasal 28D UUD 1945)

16. Hak Kebebasan (Pasal 28E UUD 1945)

17. Hak berkomunikasi (Pasal 28F UUD 1945)

18. Hak mendapatkan keamanan (Pasal 28G UUD 1945)

19. Hak mendaptkan kesejahteraan (Pasal 28H UUD 1945)

20. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 28I UUD 1945)

21. Kewajiban menghormati hak orang lain (Pasal 28J UUD 1945)

22. Kewajiban tunduk pada undang-undang (Pasal 28J UUD 1945)

Prinsip HAM ini telah di akui dalam Undang-Undang Dasar negar Indonesia HAM

dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus

dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-

ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh

negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa

perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab

negara terutama pemerintah.

C. HAM dalam UU No.39 Tahun 1999

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah

dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

UU No. 39 Tahun 1999 ini memuat norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM

yang dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh statute Roma,

maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar International

(khususnya standar barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh

cina dan Malaysia sangat berhati-hati dalam mengadopsinya.

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia disahkan pada tanggal

23 September 1999. Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 106 pasal yang

antara lain memuat hak-hak sebagai berikut :

1. Hak untuk hidup (Pasal 9)

2. Hak berkeluaga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)

3. Hak mengembangkan diri (Pasal 3-6)

4. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)

5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)

6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)

7. Hak kesejahteraan (Pasal 36-42)

8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)

9. Hak wanita (Pasal 45-51)

10. Hak anak (Pasal 52-66)

D. HAM Dalam Undang-Undang Lainnya Di Indonesia

1. Undang-undang No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan HAM baik pelanggaran HAM dilakukan oleh perseorangan, kelompok

orang sipil maupun militer .

Pelanggaran HAM berat yang meliputi :

a. Kejahatan Genosida

b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Menurut Pasal 8 Undang-Undang No 26 tahun 2000 Kejahatan Genosida adalah

setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau

memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,

kelompok agama, dengan cara:

1) Membunuh anggota kelompok;

2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

anggota kelompok;

3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam

kelompok; atau

5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok

lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b

adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan

yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

1) Pembunuhan;

2) Pemusnahan;

3) Perbudakan;

4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik lain secara sewenang-wenang

yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

6) Penyiksaan;

7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau strelisasi secara aksa atau bentuk-bentuk

kekerasan seksual lain yang setara;

8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang didasari persamaan

paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau

alasan laim yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang

menrut hukum internasional;

9) Penghilangan orang secara paksa; atau

10) Kejahatan apartheid.

Pengadilan HAM berada diperadilan khusus yang berada diperadilan umum,

Pengadilan HAM berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah

hukumnnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan

untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap

wilayah Pengadilan Negeri yang bersnagkutan.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berdasarkan kepada UU No 39 Th

1999 bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-

tipa warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak yang merupakan

hak asasi manusia dan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab

tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan

berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan

kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya

serta adanya perlauan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan

kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-

undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan yang memerlukan perlindungan untuk menjamin

dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,

dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasasn dan diskriminasi .

Dalam pasal 2 UU no 23 tahun 2002 mempunyai prinsip-prinsip dasar konvensi

hak-hak anak yang meliputi:

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

3. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Masuknya undang-undang ini yang berhubungan dengan HAM diIndonesia ini

mengacu pada Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal

28 E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J yang terdapat

dalam Undang-Undang dasar 1945 Tentang HAM.

Dalam Pasal 1 UU No 23 th 2004 kekerasan rumah tangga adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga. Pengahpusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang

diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga, menindak pelaku kekerasan korban rumah tangga, dan melindungi

korban kekerasan rumah tangga.

Ruang lingkup rumah tangga meliputi:

a. Suami, istri, anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud

pada huruf a karena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan

perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.

Pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Penghormatan hak asasi manusia;

b. Keadilan dan kesetaraan gender;

c. Nondiskriminasi; dan

d. Perlindungan korban

Setiap orang dilarangt melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap

ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara :

Kekerasan fisik

Kekerasan psikis

Kekerasan seksual, atau

Penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertidak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada

seseorang.

Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap

seorang dalam lingkup rumah tagganya dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan atau tujuan tertentu.

Dalam Pasal 10 korban yang mengalami KDRT berhak mendapatkan perlindungan

dari pihak keluarga, kepolisisan. Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga

sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan

perintah, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan

secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh

pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelayanan

bimbingan rohani.

Sumber:

Muladi, 2005. HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum dan masyarakat. PT Refika Aditama. Bandung.

Peter Baehr, 2001 Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia,

Yayasan Obor Indonesia,

Philipus M. Hadjon, 2007. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu

studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi),

Peradaban,

Satya Arinanto, 2005 Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,

Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta.

Darsim Budimansyah, 2004. PKn untuk SMP, Epsilon Grup, Bandung.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilah HAM

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah

Tangga

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang (PTPPO)

Hendaarmin Ranadineksa, Pengertian HAM, diunduh melalui , pada 19-09-2011

(20.00 WIB)

Hamdan Zoelvan, Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945, diunduh

melalui , pada 19-11-2011 (20.30 WIB

1. 3. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan

lahirnya Magna Charta. Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak

baru bagi pelaksanaan HAM yaitu jika raja melanggar hukum, ia harus di

adili dan mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Artinya

sejak itu, sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan

bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang

pada masa itu lebih banyak berada ditangannya. Dengan demikian, kekuasaan

raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarki konstitusional yang

berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.[7]

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih

konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di inggris pada tahun 1689.

Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa

manusia sama dimuka hukum (Equality Before The Law). Adagium ini

selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi Negara hukum dan

domokrasi. Kehadiran Bill Of Right telah menghasilkan asas persamaan harus

diwujudkan, betapapun berat resikonya yang dihadapi, karena hak kebebasan

baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.[8]

Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori “kontrak sosial”

J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh Mountesquieu dengan doktrin

trias politikanya yang terkenal yang mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk

mencegah tirani. Selanjutnya jhon locke di inggris dan Thomas Jefferson di

AS dengan gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan kemunculan the American

declaration of independence di Amerika Serikat yang lahir dari semangat

paham Rosseau dan Monesquieu. Jadi sekalipun di Negara kedua tokoh HAM itu

yakni Inggris dan Perancis belum lahir rincian HAM, namun telah muncul

amerika. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak

di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk akal bila sesudah lahir ia

harus dibelenggu. [9]

Selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French Declaration, dimana hak-hak

asasi manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan

dasar-dasar Negara hukum atau The Rule Of Law,dalam dasar-dasar ini antara

lain dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang

semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alas an yang sah atau ditahan tanpa

surat perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya

dinyatakan pula asas presumpsion of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang

ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah

sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan ia

bersalah. Selanjutnya dipertegas juga dengan asas freedom of

expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of

religion (kebebasan menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the

right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya.[10]

Penting untuk diketahui bahwa The Four Freedoms dari presiden Roosevelt

yang dinyatakan pada 6 januari 1941, “pertama, kebebasan berbicara dan

menyatakan pendapat. Kedua, kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai

dengan ajaran agama yang diperlukannya. Ketiga, kebebasan dari kemiskinan

dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang

damai dan sejahtera bagi penduduknya. Keempat, kebebasan dari ketakutan,

yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun

bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap

tetangganya”.[11]

Latar belakang sejarah hak asasi manusia pada hakikatnya muncul karena

keinsyafan manusia terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya,

sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari penguasa, penjajahan,

perbudakan ketidakadilan dan kelaliman (tirani) yang hampir melanda seluruh

umat manusia, di antaranya :

Tahun 2500 – 1000 SM ; (1) Perjuangan Nabi Ibrahim AS. melawan kelaliman

Raja Namruds, (2) Nabi Musa AS. memerdekakan bangsa Yahudi dari perbudakan

Raja Fir’aun di Mesir agar terbebas dari kesewenang-wenangan, dan (3)

Hukum Hammurabi pada masyarakat Babylonia yang menetapkan ketentuan-

ketentuan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya

Tahun 600 SM ; di Athena Yunani, Solon telah menyusun Undang-undang yang

menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warganya. Untuk itu ia

membentuk Haliaea, yaitu Mahkamah Keadilan untuk melindungi orang-orang

miskin, dan Majelis Rakyat atau ‘Ecclesia’ yang karena itu ia dianggap

sebagai Bapak Pengajar Demokrasi, perjuangan Solon ini didukung juga oleh

Pericles, seorang tokoh negarawan Athena

Tahun 527 – 322 SM ; (1) Kaisar Romawi, Flavius Anacius Justianus

menciptakan peraturan hukum modern yang terkodifikasi, ‘Corpus Iuris’

sebagai jaminan atas keadilan dan hak-hak asasi manusia, (2) pada masa

kebangkitan, Yunani banyak melahirkan filsuf terkenal dengan visi hak asasi

seperti, Socrates dan Plato sebagai peletak dasar diakuinya hak-hak asasi

manusia, serta Aristoteles yang mengajarkan tentang pemerintahan

berdasarkan kemauan dan cita-cita mayoritas warga

Tahun 30 SM – 632 M ; Kitab suci Injil yang dibawa Nabi Isa Almasih,

sebagai peletak dasar etika Kristiani dan ide pokok tingkah laku manusia

agar senantiasa hidup dalam cinta kasih, baik terhadap Tuhan maupun sesama

manusia, (2) Kitab suci Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa,

bijaksana, serta menerapkan kasih sayang, selain itu ‘Madinah Charter’

sebagai dokumen tertulis perjanjian perdamaian antar seluruh komunitas di

Madinah setelah Nabi Muhammad SAW. hijrah, selaku konstitusi pembentukan

negara Madinah, juga menetapkan perlindungan atas hak asasi manusia

Tahun 1215 ; salah satu langkah awal terjadinya gerakan Rasionalisme dan

Humanisme di Eropa bergolak secara revolusioner di bidang hukum, hak asasi,

dan ketatanegaraan pada abad XVII-XIX, yaitu lahirnya Magna Charta

(Pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia) di Inggris, yang

dipelopori antara lain John Locke dan Thomas Aquino

Tahun 1679 ; Habeas Corpus Act, di Britania Raya, yaitu jaminan kebebasan

warga negara dan mencegah pemenjaraan yang sewenang-wenang terhadap rakyat

Tahun 1689 ; Bill of Rights di Britania Raya, yaitu Undang-undang tentang

hak-hak dan kebebasan warga negara

Tahun 1776 ; Declaration of Indefendence di Amerika yang banyak dipengaruhi

ajaran J.J. Rousseau (Prancis), hak asasi secara resmi termuat dalam

Constitution of United States of America (USA) tahun 1787, berkat jasa

presiden Thomas Jeferson, yang disusul Abraham Licoln, Woodrow Wilson dan

lain-lain

Tahun 1789 ; Declaration des Droit de I’homme et Du Citoyen, yaitu

pernyataan hak-hak asasi manuisa dan warga negara sebagai hasil revolusi

Prancis di bawah kepemimpinan Jenderal Lafayatte dengan simbol Liberte,

Egalite, dan Freternite (kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan), untuk

menjamin hak asasi manusia tercantum dalam konstitusi. Revolusi ini

diprakarsai oleh para pemikir besar Prancis, seperti : J.J. Rousseau,

Voltaire dan Montesquieu. Pada tahun berikutnya diikuti oleh konstitusi

negara lain seperti, Belgia (1831), Jerman (1919), Autralia dan Ceko

(1920), Uni Sovyet (1936), dan Indonesia (1945)

Tahun 1941 ; Atlantic Charter yang muncul pada saat berkobarnya perang

dunia II, dengan pelopornya F.D. Roosevelt, yang menyebutkan empat

kebebasan (The Four Freedom) sebagai tiang penyangga hak-hak asasi yang

mendasar, yaitu : (1) kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat,

(2) kebebasan untuk beragama, (3) kebebasan dari rasa takut, dan (4)

kebebasan dari kemelaratan

Tahun 1948 ; lahirnya Universal Declaration of Human Rights yang diterima

dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10

Desember 1948 (tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari Hak Asasi

Manusia Internasional) melalui resolusi 217 A (III), yaitu pernyataan

sedunia tentang hak-hak asasi manusia atau juga disebut Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang terdiri atas 30 pasal. Piagam tersebut

menyerukan kepada semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bangsa lain

di dunia untuk menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang termuat di

dalam konstitusi negara masing-masing. Pesan moral dari deklarasi ini

adalah jangan ada perang, jangan ada kesewenang-wenangan dari yang punya

kekuatan, karena itu harus ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjunjung

tinggi martabat manusia (Human Dignity), agar tetap menjadi makhluk mulia

Tahun 1966 ; hasil sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada

tanggal 16 Desember 1966 menerima ‘Covenants on Human Rights’ Resolusi

2200 A (XXI), Covenants telah diakui dalam hukum Internasional dan

diratifikasi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu

antara lain :

1. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yaitu

memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (seperti berkaitan

dengan persamaan hak antara pria dan wanita)

2. The International Covenant on Economic, Social and Culture Rights

(ICESCR), yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem

demokrasi ekonomi, sosial dan budaya

3. Optional Protocol, yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang

mengadukan pelanggaran hak asasi kepada ‘The Human Rights Committee’

Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah melalui upaya pengadilan di negaranya

Tahun 1986 ; tepat pada tanggal 04 Desember 1986, Sidang Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa kembali telah mensahkan Deklarasi tentang Hak untuk

Pembangunan, inti deklarasi ini adalah menegaskan kembali komitmen

Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui

pembangunan seluruh aspek kehidupan dengan tetap mengedepankan penghormatan

terhadap hak asasi manusia

Sebelum dibahas lebih mendalam mengenai hak asasi manusia di Indonesia,

terlebih dahulu kita membahas sekelumit sejarah perkembangan dan perumusan

hak asasi manusia di Dunia. Perkembangan atas pengakuan hak asasi manusia

ini berjalan secara perlahan dan beraneka ragam. Perkembangan tersebut

antara lain dapat ditelusuri sebagai berikut.

1. Hak Asasi Manusia di Yunani

Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM)

meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi

manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol

kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan

kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus

mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.

2. Hak Asasi Manusia di Inggris

Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang

memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak

asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai

dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen

tersebut adalah sebagai berikut :

MAGNA CHARTA

Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah

diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap

rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut

mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil

mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna

Charta atau Piagam Agung.

Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya

memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting

daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka

dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau

dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan

hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab

hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah.

Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak

asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya

lebih tinggi daripada kekuasaan raja.

Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :

Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan,

hak, dan kebebasan Gereja Inggris.

Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk

memberikan hak-hak sebagi berikut :

Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-

hak penduduk.

Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa

bukti dan saksi yang sah.

Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap,

dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan

hukum sebagai dasar tindakannya.

Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur

ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

PETITION OF RIGHTS

Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan

mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh

para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya

secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :

Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.

Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.

Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.

HOBEAS CORPUS ACT

Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang

penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai

berikut :

Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari

setelah penahanan.

Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut

hukum.

BILL OF RIGHTS

Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan

diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :

Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.

Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.

Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin

parlemen.

Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-

masing .

Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.

3. Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat

Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak

alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and

property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu

memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke

mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan

Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE

UNITED STATES.

Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli

1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13

negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena

mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama

derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh

Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati

kebhagiaan.

John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah

memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup

lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat

bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya

dilindungi oleh negara.

Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika

sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia

dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih

dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas

Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai

“pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow

Wilson dan Jimmy Carter.

Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang

diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni

:

Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and

expression).

Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya

(freedom of religion).

Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).

Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari

kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler

(Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga

merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan

kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya

merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan

mendasar.

4. Hak Asasi Manusia di Prancis

Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah

pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan

kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION

DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak

manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini

mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau

kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).

Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat

Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan

mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen.

Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya

di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada

tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi

ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire,

serta Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain

:

1) Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.

2) Manusia mempunyai hak yang sama.

3) Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.

4) Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta

pekerjaan umum.

5) Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.

6) Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.

7) Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.

8) Adanya kemerdekaan surat kabar.

9) Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.

10) Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

11) Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.

12) Adanya kemerdekaan rumah tangga.

13) Adanya kemerdekaan hak milik.

14) Adanya kemedekaan lalu lintas.

15) Adanya hak hidup dan mencari nafkah.

5. Hak Asasi Manusia oleh PBB

Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan

piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial

ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB

membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya

dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt.

Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang

diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia

tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau

Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30

pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara

menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen.

Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak

Asasi Manusia.

Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa

setiap orang mempunyai Hak :

Hidup

Kemerdekaan dan keamanan badan

Diakui kepribadiannya

Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk

mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di

muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah

Masuk dan keluar wilayah suatu Negara

Mendapatkan asylum

Mendapatkan suatu kebangsaan

Mendapatkan hak milik atas benda

Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan

Bebas memeluk agama

Mengeluarkan pendapat

Berapat dan berkumpul

Mendapat jaminan sosial

Mendapatkan pekerjaan

Berdagang

Mendapatkan pendidikan

Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat

Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi

Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa

dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin

pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk

dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua

anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.

SEJARAH PERKEMBANGAN HAM DI INDONSEIA

1. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia

Secara garis besar menurut Prof. Dr. Bagir Manan, dalam bukunya

Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia (2001), membagi

perkembangan pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu periode sebelum

kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-

sekarang).[12]

1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam

organisasi pergerakan sebagai berikut:

1. Budi Oetomo, pemikirannya, “Hak Kebebasan berserikat dan mengeluarkan

pendapat”

2. Perhimpunan Indonesia, pemikirannya “Hak untuk menentukan nasib

sendiri (the right of self determination).”

3. Sarekat Islam, “Hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan

dam diskriminasi rasial.”

4. Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “Hak sosial dan berkaitan

dengan alat-alat produksi.”

A. Periode Sesudah Kemerdekaan (1945-sekarang)

B. Periode 1945-1950. Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada

hak-hak mengenai:

1) Hak untuk merdeka (self dtermination).

2) Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi polotik yang

didirikan.

3) Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.

1. Periode 1950-1959. Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan

pada semangat kebebasan demokrasi liberal yang berintikan kebebasan

individu.

2. Periode 1959-1966. Pada periode ini pemikiran HAM tidak mendapat ruang

kebebasan dari pemerintah atau dengan kata lain pemerintah melakukan

pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak untuk berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pkiran dengan tulisan.

3. Periode 1966-1998. Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat

dalam tiga kurun waktu yang berbeda.Pertama, tahun 1967 berusaha

melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan adanya hak uji

materiil yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kedua, kurun waktu

tahun 1970-1980, pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap

defensive (bertahan), represif (kekerasan), yang dicerminkan dengan

produk hokum yang bersikap restriktif (membatasi) terhadap

HAM. Ketiga, kurun waktu 1990-an pemikiran HAM tidak lagi hanya

bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk lembaga penegakan HAM.

4. Periode 1998-sekarang. Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang

resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna

menjamin HAM dan menetapakn UNdang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

hak asasi manusia. Artinya bahwa pemerintah member perlindungan yang

signifikansi terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak

politik, sosial, ekonomi, budaya, keamanan, hukum dan

pemerintahan.[13]

Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia

Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di

masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara

garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan

HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia

dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode

setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).

A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )

• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo

telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan

pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah

kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa.

Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan

berserikat dan mengeluarkan pendapat.

• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk

menentukan nasib sendiri.

• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh

penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi

rasial.

• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham

Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan

menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.

• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak

untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama

dan hak kemerdekaan.

• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh

kemerdekaan.

• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak

politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan

nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka

hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.

Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam

sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan

Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan

pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan

masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak

berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran

dengan tulisan dan lisan.

B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

a) Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak

kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak

kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM

telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan

masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap

HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1

November 1945.

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai

politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.

b) Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan

periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum

yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi

liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.

Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada

periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan.

Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin

banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing –

masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati

kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung

dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau

dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan

kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif

terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim

yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi

terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer.

Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan

presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan

inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran

infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi

masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

d) Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat

untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar

tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang

merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan

Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968

diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil

( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka

pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah

menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi

Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.

Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an

persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi

dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang

dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif

pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang

tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam

Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana

tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi

Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan

bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan

Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.

Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran

HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang

dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang

concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui

pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang

terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di

Irian Jaya, dan sebagainya.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh

hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari

represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang

berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap

tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.

Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi

pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.

e) Periode 1998 – sekarang

Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat

besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai

dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang

beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan

penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan

pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di

Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan

ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM

diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu

tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada

tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan

tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar

1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan

pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

KASUS KASUS PELANGGARAN HAM

Contoh Kasus Pelanggaran HAM

Modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling

sadis di dunia. Dari mulai penjualan untuk dijadikan budak seks, sampai

kekerasan fisik yang menyebabkan korban jiwa.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kematian bocah

3,5 tahun bernama Indah Sari di Serpong, Tangerang, yang dibakar ibu

kandungnya sendiri, merupakan salah satu buktinya.

"Pelaku tega menyeterika, menyiram dengan air panas, bahkan membakar hidup-

hidup," ujarnya kepadaVIVAnews.com, Senin, 27 September 2010. Tak cuma itu,

Arist membeberkan bahkan ada anak yang digorok ibunya karena tidak punya

uang.

Kekerasan sadistis yang diterima mereka akan membuat kejiwaan anak

bermasalah. Trauma psikologis di masa kecil kemungkinan besar akan memicu

mereka membalas dendam kelak atas apa yang pernah mereka alami.

Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan sejak Januari hingga September

2010, ada sebanyak 2.044 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh

Indonesia. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan 2008.

Pada 2009, jumlah kasus hanya 1.998, setahun sebelumnya mencapai 1.826,

sedangkan pada 2007 sejumlah 1.510. Pada 2007 kekerasan fisik terhadap anak

paling mendominasi. Jumlahnya mencapai 642. Sementara kekerasan seksual

berjumlah 527 dan kekerasan psikis mencapai 341.

Pada 2009, kekerasan seksual balik mendominasi. Angkanya mencapai 705. Hal

yang sama juga terjadi pada 2010. Kekerasan seksual terhadap anak mencapai

592. Semua kasus tersebut paling banyak terjadi di Jabodetabek.

Arist menambahkan, kekerasan seperti itu terjadi karena himpitan ekonomi.

Anak meminta susu, sementara ibu tidak dapat memenuhi karena tidak ada

uang. Akibatnya, orangtua mengalami depresi luar biasa.

"Anak menjadi korban karena paling tidak berdaya di dalam sebuah komunitas

keluarga," ungkapnya.

Budaya patrialineal juga menjadi faktor penyebab kekerasan seksual. Pria

begitu dominan dan tidak bisa diajak bermusyawarah oleh istri, atau bahkan

menganiaya sang istri. Karena itu, anaklah kemudian menjadi korban

penganiayaan. "Anak menjadi korban pelampiasan amarah sang istri," Arist

menerangkan.

Lingkungan yang kurang berpendidikan juga kerap menjadi pemicu kekerasan.

Yang tragis, sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibu,

baik itu ibu kandung, ibu tiri, ibu asuh, ataupun ibu guru di sekolah.

Menurut Arist, kasus kekerasan anak yang jumlahnya tidak sedikit ini

mestinya mulai menjadi keprihatinan nasional.

http://metro.vivanews.com/news/read/179841-kekerasan-anak-di-indonesia-

paling-sadis

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

( Beberapa waktu terakhir )

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan

pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok

orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja

atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan

atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang

dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan

tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku.

Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan

pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan

dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah maupun

masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.

Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :

a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1. Pembunuhan masal (genisida)

2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan

3. Penyiksaan

4. Penghilangan orang secara paksa

5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara

sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1. Pemukulan

2. Penganiayaan

3. Pencemaran nama baik

4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya

5. Menghilangkan nyawa orang lain

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat

baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang

menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti

membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.

Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara

aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun,

yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.

Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada

beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi

dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat

Indonesia, seperti :

a. Kasus Tanjung Priok (1984)

Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga

sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam

peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan

korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera

Surya Porong, Jatim (1994)

Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak

pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal

secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa

penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)

Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari

harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan

akhirnya ditemukan sudah tewas.

d. Peristiwa Aceh (1990)

Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan

korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak

berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana

terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)

Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan)

terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1

orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih

hilang).

f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)

Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan

puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13

November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II

pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-

luka).

g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)

Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat

1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan

komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada

dua kepala negara terkait.

h. Kasus Ambon (1999)

Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang

merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah

terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.

i. Kasus Poso (1998 – 2000)

Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang

diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di

kabupaten Dati II Poso.

j. Kasus Dayak dan Madura (2000)

Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang

juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.

k. Kasus TKI di Malaysia (2002)

Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia

dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak

dibayar.

m. Kasus-kasus lainnya

Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi

Manusia seperti dilingkungan keluarga, dilingkungan sekolah atau pun

dilingkungan masyarakat.

Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:

1. Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya

(tentang masuk sekolah, memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja,

memilih jodoh).

2. Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.

3. Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang

tuanya sendiri.

4. Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya

sewenang-wenang dirumah.

Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :

1. Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan

kepintaran, kekayaan, atau perilakunya).

2. Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara

fisik (dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau

dijemur di tengah lapangan).

3. Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.

4. Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.

5. Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya

ataupun dengan siswa dari sekolah yang lain.

Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :

1. Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik

sosial).

2. Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau

anggota masyarakat yang tertangkap basah melakukan perbuatan

asusila.

3. Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas

dengan kebijakan yang ada.

Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )

Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan

Kuta di pulau Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209

yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering

dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.

Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka

dalam pengeboman tersebut. Abu Bakar Baashir, yang diduga sebagai salah

satu yang terlibat dalam memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah

pada Maret 2005 atas konspirasi serangan bom ini, dan hanya divonis atas

pelanggaran keimigrasian.

Korban Bom Bali I

* Australia 88

* Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)

* Britania Raya 26

* Amerika Serikat 7

* Jerman 6

* Swedia 5

* Belanda 4

* Perancis 4

* Denmark 3

* Selandia Baru 3

* Swiss 3

* Brasil 2

* Kanada 2

* Jepang 2

* Afrika Selatan 2

* Korea Selatan 2

* Ekuador 1

* Yunani 1

* Italia 1

* Polandia 1

* Portugal 1

* Taiwan 1

Pelaku Bom Bali I

* Abdul Goni, didakwa seumur hidup

* Abdul Hamid (kelompok Solo)

* Abdul Rauf (kelompok Serang)

* Abdul Aziz alias Imam Samudra, terpidana mati

* Achmad Roichan

* Ali Ghufron alias Mukhlas, terpidana mati

* Ali Imron alias Alik, didakwa seumur hidup

* Amrozi bin Nurhasyim alias Amrozi, terpidana mati

* Andi Hidayat (kelompok Serang)

* Andi Oktavia (kelompok Serang)

* Arnasan alias Jimi, tewas

* Bambang Setiono (kelompok Solo)

* Budi Wibowo (kelompok Solo)

* Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu

tanggal 9 November 2005)

* Dulmatin

* Feri alias Isa, meninggal dunia

* Herlambang (kelompok Solo)

* Hernianto (kelompok Solo)

* Idris alias Johni Hendrawan

* Junaedi (kelompok Serang)

* Makmuri (kelompok Solo)

* Mohammad Musafak (kelompok Solo)

* Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo)

* Umar Kecil alias Patek

* Utomo Pamungkas alias Mubarok, didakwa seumur hidup

* Zulkarnaen

Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )

Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali

pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di

Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.

Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan

telah mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan

terorisme di Indonesia. Namun aparat mungkin menjadi lalai karena

pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga menjadi peka.

Tempat-tempat yang dibom:

* Kafé Nyoman

* Kafé Menega

* Restoran R.AJA’s, Kuta Square

Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan

Keamanan (Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti

awal menandakan bahwa serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga

pengebom bunuh diri dalam model yang mirip dengan pengeboman tahun 2002.

Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan dianggap sebagai bukti

pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel tersebut

disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.

Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang

digunakan tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat

kebanyakan korban meninggal dan terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan

tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis menunjukan hasil sinar-x

bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam badan

korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang

tubuhnya

Korban Bom Bali II

23 korban tewas terdiri dari:

* 15 warga Indonesia Flag of Indonesia.svg

* 1 warga Jepang Flag of Japan.svg

* 4 warga Australia Flag of Australia.svg

* tiga lainnya diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.

Pelaku Bom Bali II

Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme

Indonesia melaporkan kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini

jelas merupakan "pekerjaan kaum teroris".

Serangan ini "menyandang ciri-ciri khas" serangan jaringan teroris Jemaah

Islamiyah, sebuah organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaeda, yang telah

melaksanakan pengeboman di hotel Marriott, Jakarta pada tahun 2003,

Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, Bom Bali 2002, dan

Pengeboman Jakarta 2009. Kelompok teroris Islamis memiliki ciri khas

melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan

seperti pada 11 September 2001.

Pada 10 November 2005, Polri menyebutkan nama dua orang yang telah

diidentifikasi sebagai para pelaku:

* Muhammad Salik Firdaus, dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku

peledakan di Kafé Nyoman

* Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten,

Cilacap, Jawa Tengah - pelaku peledakan di Kafé Menega

Kemudian pada 19 November 2005, seorang lagi pelaku bernama Ayib Hidayat

(25), dari Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat diidentifikasikan.

Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap

pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga

sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-

13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan

tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II

terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa

dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban

luka - luka.

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu

orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk

membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa

mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh

aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga

beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya

adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang

merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung

dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua

penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus

Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,

tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang

terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai

dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi

penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam

kampus Atma Jaya.

Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun

terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus

berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya

peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.

Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo

(Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko

(Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono,

Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17

orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan

Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan

dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam

Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-

luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,

tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat

keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan

usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena

peluru nyasar di kepala.

Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan

tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan

Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut

banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk

melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah

mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang

diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak

di depan Universitas Atma Jaya.

Kasus Marsinah

Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik

PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan

kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga

hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan

Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,

Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen

Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),

menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal

sebagai kasus 1713.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.

50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan

kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji

pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh

karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran

perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya

(PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya,

karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993

menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif

dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa

tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa

pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon

Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk

perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp

2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa

diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-

rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah

menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan

perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut

unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat

itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah

menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan

sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya

yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,

Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-

rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei

1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim

untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.

Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas

Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim

serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur

resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya

perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama

diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V

Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat

skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi

Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan

Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi

Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat

kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang

diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang

yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian

kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos

Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih

ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari

Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah

stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka

naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam

proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia

membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan

Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan

sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah

"direkayasa".

Kasus Munir ( Pejuang HAM )

Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –

meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38

tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia.

Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi

Manusia Indonesia Imparsial.

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang

bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela

para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus.

Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen

Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.

Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut

pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.

Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin

melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama

Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke

toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir

pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan

berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju

Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September

2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat

diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda

(Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah

otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui

siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-

oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun

hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa

Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di

makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut.

Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus

menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh

agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu

Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil

penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat

Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan

dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan

kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi

divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau

ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa

Kasus Babeh Baekuni

Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi,

lelaki berusia 50 tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi

anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang dibuang di Jakarta, sebagian

“dikubur” di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa Mranggen,

Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.

Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya

hanya dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat

anak-anak jalanan. Di mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak

dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia menyediakan tempat

menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur

tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. “Pernah suatu hari, teman saya

bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan

lebih besar dibandingkan Diki.

Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam,”

kata Anggi Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe.

Perkenalan Anggi dengan Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru

tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang mengamen di pintu tol Cakung,

ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab dengan seorang pria

penjual rokok. “Anak-anak itu memanggilnya Babe,” kenang Anggi.

Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap

hari empat hingga lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya

bisa bertambah hingga 15 anak. Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama.

Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut anak-anak jalanan itu.

Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas habis di

bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu

dimandikan Babe.

Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak

itu direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen.

Sabun cuci itu juga digunakan sebagai sampo. “Nunduk, nunduk,” Anggi

masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu memandikannya. Ketika anak-

anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan mencuci

baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan

rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan

anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan Babe.

Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam

hari, Babe mengajak patungan membeli mi instan. “Dia juga memasok nasi

goreng untuk kami,” kata Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau

misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang mengobati mereka. Biasanya,

kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. “Dia disayangi anakanak, dan saya

menganggap sebagai orang tua sendiri,” kata Anggi yang masih punya orang

tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga

pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-

anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan diberikan kepada orang

tua masing-masing.

Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih

memiliki orang tua, termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut,

misalnya, Babe mengancam mereka agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula

Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal Babe. Sebelum

berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima

ribu rupiah. “Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung

selama satu bulan,” kata Deni.

Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu

Babe pernah menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat

kehidupan anakanak jalanan termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe.

Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi dan diduga sebagai pelaku

pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe mengaku

membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan

keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga

korban Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak

jalanan yang dikoleksi Babe.

“Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang

disenangi dia (Babe),” kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua

pembunuhan sadis itu? “Polisi menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak

mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal,” kata

Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga

bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali

plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi

tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan,

dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.

“Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik

bocah itu meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe,” kata

Rangga. Jika korban sudah meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah

itu. “Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena sewaktu anak-anak,

kulit Babe juga bersih,” kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal melakukan

pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe

selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena

itu, juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera

terungkap.

Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air

mineral. “Sehari-hari dia kan berdagang rokok, dan air mineral,” kata

Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui polisi, awal Januari silam:

Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang bocah,

yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang

dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya.

Dari mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya

bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. “Saya

percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh,” kata Anggi. _ rangga

prakoso.

KASUS – KASUS YANG LAIN SEPERTI :

1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI

Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian

hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.

Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan

Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.

2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah

berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku

Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah

(Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum

aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu

yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang

telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup

yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam

dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta

pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan

swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan

membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana

kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau

bom di sekitar kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang

luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah

hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang

telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.

Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya

penyelesaian konflik yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak

konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di

masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga

ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila

Darurat Sipil dicabut.

Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan

kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses

penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.

Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan

saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh

pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi

dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada

masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban

sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen),

masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam

kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang

dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di

suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh

kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi

sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan

tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan

diperbatasan antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu

sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi

baru pasca konflik.

Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak

langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit

untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program

PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental

anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar

bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap

aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).

Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan

obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus

diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak

berfungsi.

Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang

diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan

kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan

banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah

(radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara

Pembaruan MuslimMaluku).

3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA

Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja

Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang

justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang

menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus.Hal-hal ini dicatat dalam buku

sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja

difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang

hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan

kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters,

juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” ,

dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang

diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama

ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu

film GOYA’s GOST.

Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian

kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana

kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-

kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol

Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s

GOST ini.

Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama,

berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan

kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama

apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang

tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21,

akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia

yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan

sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita

telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama

jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS)

sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-

Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq,

penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada

terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak

berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang

super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-

belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana

mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS

mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.

Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri

karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang

sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.

Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris

kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh

dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George

Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya,

karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia

menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari

para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung

“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak

baik.

Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara

Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali

bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan

kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah

‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus

yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu

bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.

Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung

Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan

sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang melawan/menindas orang lain

yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi?

membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?

4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM

Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan

pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah

keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan

tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa

keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan

politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing

hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan

pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam

Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk

dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman

minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider)

hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal

Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun

penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-

ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila

terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya

minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan

dari segala tuduhan.

Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan

keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam

kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas

oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang

mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur

yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan

selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000

tewas.Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan

tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua

dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”

5. Kontroversi G30S

Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S

bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan

terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober

1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-

sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,”

jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang

terjadi pasca G30S.

Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai

keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua

surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha.

Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk

mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai

simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran

lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.

Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di

Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban

pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39

artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar

antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka

menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas

seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh

sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,

menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung

cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer

Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu.

Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua,

konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah

berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam

menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan

masyarakat geram.

Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media

inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet

kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti

diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak

dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita

tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada

1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan

yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan

banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang

dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan

militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan

pembunuhan.

Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah

datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan

tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya.

Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk

menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran

darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan

menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa

dituduh sebagai sponsor pembantaian.

Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas

Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965:

Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam

memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan

sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya

dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.

Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang

pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian

mereka yang masih hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda,

satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu

yang kita lakukan.”

Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah

mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah

kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November

1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan

putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari

rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”

Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga

dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu

terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas

tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa

mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan

dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan

perintah yang berwajib.

Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?”

Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari

masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya

tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari

korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.

Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran

KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1

Oktober.

1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI

umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian

hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.

Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan

Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.

2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah

berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku

Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah

(Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum

aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu

yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang

telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup

yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan

Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta

pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan

swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan

membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana

kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau

bom di sekitar kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang

luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah

hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang

telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku. Masyarakat kini semakin tidak

percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan

karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya

penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya

Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan

Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.

Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan

kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses

penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.

Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan

saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh

pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi

dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada

masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban

sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen),

masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam

kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang

dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di

suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh

kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi

sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan

tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan

diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu

sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi

baru pasca konflik.

Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak

langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk

mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan

Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah

menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain

itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM

dilakukan oleh NGO).

Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan

obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus

diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak

berfungsi. Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua

pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk

kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini

melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat

Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio

SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).

3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA

Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja

Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang

justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang

menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam

buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja

difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang

hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan

kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters,

juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” ,

dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang

diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama

ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu

film GOYA’s GOST. Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat

‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan

Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah

hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan

karya Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh

sentral dari film GOYA’s GOST ini.

Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama,

berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan

kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama

apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang

tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21,

akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia

yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan

sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita

telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama

jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS)

sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-

Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq,

penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada

terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak

berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang

super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-

belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana

mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS

mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.

Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri

karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang

sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.

Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris

kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh

dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush

adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena

gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan

dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari para

teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung

“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak

baik.

Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara

Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali

bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan

kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah

‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus

yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu

bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.

Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung

Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan

sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang melawan/menindas orang lain

yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi?

membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?

4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM

Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan

pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah

keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan

tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa

keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan

politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing

hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan

pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam

Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk

dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman

minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider)

hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal

Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun

penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-

ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila

terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya

minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan

dari segala tuduhan.

Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan

keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam

kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas

oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang

mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur

yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan

selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000

tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan

tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua

dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”.

5. Kontroversi G30S

Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S

bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan

terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober

1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-

sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,”

jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang

terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965

berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya

yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB)

dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk

mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai

simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran

lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.

Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di

Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban

pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39

artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar

antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka

menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas

seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh

sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,

menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung

cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer

Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu.

Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua,

konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah

berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam

menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan

masyarakat geram.

Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media

inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet

kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti

diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak

dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita

tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada

1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan

yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan

banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang

dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan

militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan

pembunuhan.

Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah

datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan

tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya.

Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk

menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran

darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan

menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa

dituduh sebagai sponsor pembantaian.

Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas

Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965:

Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam

memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan

sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya

dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.

Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang

pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian

mereka yang masih hidup. Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari

Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar

adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”

Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah

mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah

kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November

1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan

putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari

rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.” Menurut pengakuan sang

putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan

orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan

pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang

menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah

oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya

itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.

Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?”

Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari

masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya

tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari

korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya. Bisa jadi memang benar,

dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah

secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.

6. Kasus Pembunuhan Munir

Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah aktifis HAM yang pernah

menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8 Desember

1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti

kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak lagi. Munir

meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia

ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi

mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di

pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian

orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum di

makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang

masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty

Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari

Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara

karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir,

karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.

7. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah

Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya

(CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika

Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar

unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4

Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika

Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya

pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya

ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk,

Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi,

diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.

8. Penembakan Mahasiswa Trisakti

Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan

kepada para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota

polisi dan militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti

sedang melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis Finansial

Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa

mengalami luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan

meninggal karena ditembak peluru tajam oleh anggota polisi dan militer/TNI.

Kasus ini masuk dalam daftar catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia,

dan pernah diproses.