Upload
pusat-analisis
View
258
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonseia Tahun 1945
(UUD 1945), lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar. Sebelum
perubahan lembaga perwakilan rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan setelah perubahan menjadi
tiga lembaga yaitu, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Disamping itu baik sebelum maupun sesudah
perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
maupun DPRD Kabupaten dan Kota
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR merupakan lembaga tertinggi
negara dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perwakilan dalam MPR terdiri
dari tiga pilar perwakilan yaitu perwakilan politik (political representation), yaitu para
anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum, perwakilan fungsional (functional
representation), yang terdiri dari para utusan golongan dan perwakilan
kedaerahan (regional representation) yaitu para utusan daerah. Karena itu, MPR
diartikulasikan sebagai representasi dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR
sebagai lembaga perwaklilan rakyat tidak sama dengan yang dikenal di berbagai negara
yang biasanya merupakan lembaga pembentuk undang-undang, akan tetapi hanya
terbatas sebagai pembentuk UUD termasuk melakukan perubahan yaitu sebagai
lembaga konstituante. Sedangkan lembaga perwakilan yang memiliki kewenangan
membentuk undang-undang itu dalam ketatanegaraan Indonesia adalah DPR (walaupun
tidak sepenuhnya karena dilakukan bersama Presiden).
Sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga-
lembaga negara.1 Sistem pemerintahan negara mencakup folosofi yang menjadi dasar
hubungan, pengaturan mengenai hubungan serta pembagian kewenangan dan fungsi
antar lembaga negara serta institusi lainya yang terkait dengan gerak roda pemerintahan.
Dengan demikian sistem pemerintahan mencakup lembaga-lembaga negara, 1 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Strutur Ketata Negaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,
2001, hlm, 74
Page 1 of 25
kewenangan dan fungsi lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga-lembaga
negara serta pelaksanaan berbagai fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam proses
penyelengaraan pemerintahan.
Suatu negara hanya akan hidup dan bergerak dinamis jika dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan
negara itu dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pada tingkat pusat maupun oleh
lembaga negara pada tingkat loka/daerah. Kekuasaan negara dibagi kepada lembaga-
lembaga negara yang menurut Miriam Budiardjo2 dapat dibagi dalam dua cara, yaitu;
pertama secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam
hal ini yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara bebarapa tingkat
pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini nampak jelas dapat kita saksikan kalau kita
bandingkan antara negara kesatuan, negara federal dan negara konfederasi. Kedua,
secara horisontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini
menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica.
Pada abad pertengahan berkembang dua teori mengenai sumber kekuasaan
pemerintah/raja. Pertama,kekuasaan datang dari atas yaitu dari Tuhan, seperti yang
dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Karena itu kekuasaan Tuhan diwakili oleh Sri
Paus. Seorang raja atau penguasa hanya dapat berkuasa kalau dilantik oleh Sri Paus atau
wakilnya yang mendapat restu dari Sri Paus. Kedua, adalah teori yang mengatakan
bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan didelegasikan pada para pemimpin dan
rajanya. Jadi menurut pendapat yang kedua ini raja secara simbolis mewakili rakyat dan
dia berkewajiban melindungi hidup rakyatnya serta harta benda dan tanahnya. Karena
itu lembaga perwakilan rakyat yang mendampingi raja hanyalah mendengar serta
mengiyakan pendapat raja dan hal-hal yang akan dilakukannya, dan lembaga
perwakilan rakyat atau dewan itu tidak berwenang membahasnya.3 Pada tingkat ini raja
dapat menjadi penguasa absolut.
Oleh karena itu pemikiran yang mendasari pembagian kekuasaan negara adalah
bahwa kekuasaan negara itu tidak diserahkan kepada satu badan akan tetapi dibagi
dalam beberapa badan negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan negara oleh
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan keduapuluh tujuh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 138
3 Tambunan, A.S.S., Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publishers, 2001, hlm. 43
Page 2 of 25
satu badan itu4 yang dikenal dengan doktrin trias politica. Doktrin ini pertama kali
dikemukakan oleh John Locke (1632) dan Montesquieu (1689) dan pada taraf itu
ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Menurut John Locke
kekuasaan negara itu dibagi dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan
untuk mengadili dan kekuasaan federatif adalah kekuasaan dalam menjaga keamanan
negara dalam hubungannya dengan negara lain. Sedangkan Montesqieu memasukkan
kekuasaan mengadili termasuk dalam kekuasaan tersndiri yaitu kekuasaan yudikafif,
sedangkan kekuasaan federatif dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif.
Akan tetapi sekarang ini, doktrin trias politika sebagai pemisahan kekuasaan yang
murni tidak lagi dapat dijalankan seperti yang dipikirkan oleh Montesqiueu. Tidak ada
suatu negara pun yang menjalankan pemisahaan kekuasaan itu secara murni bahkan
Amerika Serikat sekalipun yang dianggap sebagai negara yang paling mendekati
prinsip trias politica itu. Hal in terjadi karena perkembangan negara-negara modern
yang begitu sangat kompleks dengan prinsip negara kesejahteraan. Masing-masing
lembaga negara tidak bisa lagi secara kaku hanya pada bidangnya kekuasaannya saja.
Pemerintah tidak terbatas hanya menjalankan undang-undang, tapi juga ikut membahas
dan menentukan undang serta membuat berbagai peraturan pelaksanaannya, serta
lembaga legislatif ikut mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah dan
dalam beberapa hal pelaksanaan undang-undang perlu mendapat persetujuan lembaga
legislatif.
Demikian halnya di Indonesia sejal awal para perumus UUD 1945 pada tahun
1945 telah memperdebatkan prinsip trias politica ini, yang menurut Soekarno (Presiden
Pertama RI) sudah kuno dan sudah kedaluwarsa, kolot, tidak mencukupi, tidak bisa
menjamin keadilan sosial, 5karena itu tidak perlu diikuti. Karena itu sistem
pemerintahan yang dianut UUD 1945 tidak menganut prinsip trias politica. Memang
dalam UUD 1945 dikenal lembaga eksekutif (Presiden), legislatif ( DPR ) dan yudikatif
(Mahkamah Agung) sebagaimana halnya yang dikenal dalam trias politica, akan tetapi
4 Ibid, hlm. 1515 Kusuma, RM.A.AB., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004, hlm. 3
Page 3 of 25
terdapat suatu lembaga negara yang memiki kekuasaan tertinggi yang sepenuhnya
melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap penjelamaan dari seluruh rakyat
Indonesia, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga inilah yang
mengangkat Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara dan Presiden adalah
Mandataris MPR. Jadi posisi MPR tidak bisa ditempatkan dalam kerangka teori trias
politica. Disamping itu fungsi legislatif bukanlah monopoli DPR, akan tetapi
pembahasan dan persetujuan berasama anatara Presiden dan DPR, bahkan posisi DPR
dalam UUD 1945, lebih berfungsi sebagai pengawas terhadap Presiden.
Dewan Perwakilan Daerah harus ditempatkan pada posisi yang mana diantara
ketiga sistem dalam teori trias politica karena berdasarkan Pasal 22C dan 22D
disebutkan sebagai berikut :
Pasal 22C
1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih oleh setiap Propinsi melalui Pemilihan Umum.
2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Propinsi jumlahnya sama dan seluruh jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.4. Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan Undang-
undang.Pasal 22D1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubunganpusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, pembentukan daerah; pengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan perimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pajak, Pendidikan dan Agama.
3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah pengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
4. Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya di atur dalam undang-undang.
Page 4 of 25
Dari keseluruhan wewenang tersebut dapat terlihat bahwa porsi kewenangan DPD
hanya berkisar dalam tahap pembahasan dengan DPR. Artinya, keputusan mengenai
undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah. Seharusnya DPD
merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan sebagai
lembaga perwakilan rakyat.6 DPD juga merupakan lembaga perwakilan daerah yang
berkedudukan sebagai lembaga negara yang terdiri dari wakil-wakil daerah Provinsi
yang dipilih melalui pemilihan umum tanpa melibatkan peranan Partai Politik.
Pembentukan sebagai salah satu institusi negara yang baru bertujuan memberikan
kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat
nasional, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah.7
Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga
masyarakat.8 Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan
penggunaan kekuasaaan di dalam kenyataan. Untuk mengatur negara, bangsa dan
rakyat. Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang–undangan
negara. Jika peraturan perundang-undangan kemudian tidak dapat melahirkan hukum
yang dapat diperuntukkan untuk apa juga peraturan perundang-undangan dibuat apakah
hanya sebagai alat pelengkap negera atau dibuat dengan tujuan untuk dapat berbagi
kekuasaan di Negara dengan berdalil hukum telah membentuk hal tersebut maka kita
wajib melaksanakannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka diperoleh beberapa masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan DPD dalam struktur dan Sistem ketatanegaraan
berdasarkan Trias Poitica ?
2. Bagaimanakah peran DPD sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
6 Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005, hlm. 75
7 Ibid8 https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/politik-hukum/apa-politik-hukum-itu/, diakses pada
tanggal 25 November 2014, pukul 14. 03
Page 5 of 25
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka yang menjadi
tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan DPD dalam struktur dan Sistem
Ketatanegaraan berdasarkan Trias Poitica ?
3. Untuk mengkaji dan mengetahui sejauh mana peran DPD sebagai suatu lembaga
perwakilan rakyat ?
2. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk makalah ini adalah penelitian hukum
normatif (normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap
suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan
penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan
perundang-undangan dan bahan pustaka.9
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang
menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat
dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu
konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.10
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas.11 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum atau
bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis.
b. Bahan Hukum Sekunder
9 Soejono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 5610 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988,
hlm. 11.11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm.
141
Page 6 of 25
Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi.12 bahan-bahan hukum yang
menjelaskan bahan hukum primer yaitu buku-buku ilmiah yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti, hasil penelitian yang relevan dan buku-
buku penunjang lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk
seperti, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan bahasa lain yang
behubungan dengan penulisan makalah ini.13
3. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini dibagi dalam empat bab dengan sistematika sebagai
berikut :
Bab pertama, sebagai bab pendahuluan menguraikan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, kemudian diakhiri
dengan sistematika penulisan.
Bab kedua, menguraikan tentang teori-teori yang digunakan dalam penulisan
makalah ini akan dijelaskan tentang landasan teori dimana terdapat tiga teori yang dapat
dikaitkan dengan permasalahan yang ada pada makalah ini yaitu, pada huruf pertama
akan diuraikan tentang teori organ, huruf kedua teori kelembagaan negara dan teori
perundang-undangan.
Bab ketiga, merupakan jawaban dari permasalahan yang telah diuraikan di atas
yaitu pada huruf pertama Kajian keududukan DPD dalam struktur dan sistem
ketatanegaraan berdasarkan Trias Pilitica, yang kedua peran DPD sebagai Lembaga
Perwakilan Rakyat.
Bab keempat sebagai penutup dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa
kesimpulan dari uraian yang ditarik dari bab sebelumnya serta saran.
12 Ibid13 Ibid
Page 7 of 25
BAB II
TEORI
Dalam penelitian ini digunakan tiga teori (grand theory, middle trip theory dan apply
theory) yang digunakan sebagai alat analisis, teori ini pula yang menjadi kerangka pikir
daripada penelitian ini, yaitu :
Page 8 of 25
A. Teori Organ
Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam konstitusi.
Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi dimaksudkan agar tercipta
keseimbangan antara organ negara yang satu dengan lainnya (check and balances).
A. Hamid Attamimi menyebutkan bahwa konstitusi adalah pemberi pegangan dan
pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.14
Secara umum, konstitusi dapat dikatakan demokratis mengandung prinsip
dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya adanya pembagian kekuasaan
berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta keseimbangan lembaga-lembaga
pemerintahan.15
Pemahaman mengenai organ negara dikenal dengan trias politica yang
berarti bahwa kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga cabang
kekuasaan tersebut diatur dan ditentukan kewenangannya oleh konstitusi.
Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau lazim disebut lembaga
negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi
negara.16 Sebagaimana pengertian di atas maka dalam penerapan sistem
ketatanegaraan Indonesia menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).
Pada sistem ini terdapat 3 (tiga) macam cabang kekuasaan yang terpisah,
yaitu eksektif dijalankan oleh Presiden, legislatif dijalankan oleh DPR, dan
yudikatif dijalankan oleh MA. Pada masa sekarang prinsip ini tidak lagi dianut,
karena pada kenyataannya tugas dari lembaga legislatif membuat undang-undang,
telah mengikutsertakan eksekutif dalam pembuatanya. Sebaliknya pada bidang
yudikatif, prinsip tersebut masih dianut, untuk menjamin kebebasan dan
memberikan keputusan sesuai dengan prinsip negara hukum.17
14 Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 72
15 Ibid, hlm. 7316 Dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen tidak dikenal dengan istilah lembaga
negara, hal ini dikarenakan penyebutannya dalam UUD 1945 beragam, ada disebut dengan komisi seperti KPU dan KY, dan ada juga yang disebutkan sebagai badan seperti BPK. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 terkait kewenangan MK menyebutkan bahwa lembaga negara adalah lembaga yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945.
17 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 122
Page 9 of 25
Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan
dari konsep separation of power berdasarkan teori trias politica menurut pandangan
Monstesque, harus dipisahkan dan dibedakan secara struktural dalam organ-organ
negara yang tidak saling mencampuri dan urusan organ negara lainnya.18
Selain konsep pemisahan kekuasaan juga dikenal dengan konsep pembagian
kekuasaan (distribution of power). Arthur Mass membagi pengertian pembagian
kekuasaan dalam 2 (dua) pengertian yaitu :
Capital division of power, yang bersifat fungsional; dan
Territorial division of power, yang bersifat kewilayahan.19
Muh. Kusnardi dalam bukunya juga menyebutkan bahwa : kegunaan dari
prinsip trias politica yaitu untuk mencegah adanya konsentrasi kekuasaan dibawah
satu tangan dan prinsip checks and balances guna mencegah adanya campur tangan
antar badan, sehingga lembaga yang satu tidak dapat melaksanakan kewenangan
yang dilakukan oleh lembaga lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam konstitusi.20
Hal ini dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan
kekuasaan itu dalam konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan
secara vertikal dan secara horizontal. Dalam konteks vertikal, pembagian dan
pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk membedakan kekuasaan pemerintah
atasan dan pemerintah bawahan, seperti halnya negara federal atau antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi negara kesatuan.
B. Teori Kelembagaan Negara
Konsep dasar pembentukan kelembagaan Negara dikenal dengan 2 konsep, yaitu :
1. Teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power)
2. Teori pembagian kekuasaan (Division of Power)
18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 15
19 Ibid, hlm. 1820 Kusnardi Muh. dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-
Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1983, hlm. 31
Page 10 of 25
a. Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Teori Pemisahaan Kekuasaan diperkenalkan olej John Locke (1632 – 1704)
dan Montesqueie (1689 – 1755). Menurut John Locke, kekuasaan Negara di bagi
3 bentuk yaitu : Legislatif, Eksekutif, dan Federatif, dimana masing – masing
kekuasaan ini terpisah antara satu dan yang lain.
Legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan dan perundangan
Eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang–undang dan di
dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (dalam hal in John Locke
memandang mengadili sebagai “ultvoering” yaitu dipandang sebagai
termasuk pelaksanaan undang–undang).
Federatif adalah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan Negara dalam hubungannya dengan Negara lain (seperti
hubungan luar negeri)
Adapun konsep dari John Locke disempurnakan oleh Montesqueie dalam
bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Dimana Montesqueie menjabarkan kekuasaan
menjadi 3 yaitu : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Legislatif adalah kekuasaan membuat undang–undang.
Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang – undang (diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri).
Yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang–undang.
Menurut pendapat dari Montesqueie, semua kekuasaan itu harus terpisah
satu sama lain baik mengenai fungsi, ataupun mengenai alat kelengkapan
yang menyelenggarakannya. Terutama Montesqueie memisahkan
kewenangan mengadili adalah bukan kewenangan dari eksekutif.
Montesqueie memandang bahwa kekuasaan pengadilan adalah kekuasaan
yang berdiri sendiri. Montesqueie berpendapat bahwa kemerdekaan akan
dapat dijamin apabila ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu
badan, melainkan tiga badan yang terpisah. Inilah yang menjadi dasar
pemikiran Montesqueie sebagai Separation of Power.
b. Teori Pembagian Kekuasaan (Division of Power)
Teori pembagian kekuasaan merupakan kelanjutan dari teori pemisahaan
kekuasaan. Pada dasarnya teori pemisahaan kekuasaan dianggap sebagai yang
Page 11 of 25
paling mencerminkan Trias Politica. Namun demikian, walaupun ketiga fungsi
tersebut telah dipisahkan, masih dirasakan perlu untuk menjamin bahwa masing
kekuasaan tidak melampaui batas–batas dari kekuasaannya. Oleh karena itu,
untuk mencegah hal seperti itu, maka diadakan suatu system yang bernama
“check and balances”.
Tujuan dari check and balances adalah agar dapat dilakukannya pengawasan
dan untuk mengimbangi fungsi kekuasaan lainnya. Sistem ini mengakibatkan
fungsi kekuasaan yang satu dengan yang lainnya dapat turut campur dalam
batasan tertentu terhadap fungsi kekuasaan yang lain. Hal ini bukan dimaksudkan
untuk memperbesar efisien kerja, melainkan untuk membatasi kekuasaan dari
setiap fungsi agar lebih efektif.
Dikarenakan hal tersebut, maka mulai dikenal lah teori pembagian kekuasaan
yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoknya saja yang dibedakan menurut
sifatnya, serta diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi untuk selebihnya
kerja sama di antara fungsi – fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran
organisasi. Teori pembagian kekuasaan secara garis besar dianggap sebagai
usaha untuk membendung kecenderungan lembaga–lembaga kenegaraan untuk
melampaui batas kewenangan, yang memungkinkan terjadinya tindakan yang
sewenang- wenang.
Fungsi dari Lembaga Negara, diawal telah dijelaskan bahwa terdapat 3 bentuk
fungsi lembaga Negara, yaitu legislative, eksekutif, yudikatif dengan masing–masing
kewenangannya.
Fungsi Legislatif
Legislatif secara etimologis berasal dari kata legislate yang berarti
membuat undang – undang. Lagislatif biasa disebut sebagai parlemen atau
dewan perwakilan rakyat.
Di Indonesia sendiri kewenangan legislative (Dewan Perwakilan
Rakyat) tercantum dalam pasal 20A UUD 1945. Namun pada intinya,
terdapat 3 fungsi yang menjadi kewenangan badan legislative yaitu :
1. Fungsi Legislasi, adalah tugas utama dari badan legislative yaitu
untuk membuat peraturan perundangan untuk menentukan arah
kebijakannya.
Page 12 of 25
Menurut Prof. Philipus M Hadjon, DPR Indonesia melakukan
fungsi “medewetgeving” yang berarti ikut serta membuat undang–
undang. Hal ini dikarenakan UU Indonesia adalah produk bersama
dengan Presiden.
2. Fungsi Anggaran (Budgeting/Begrooting), legislatif mempunyai
kewenangan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja
Negara
3. Fungsi Pengawasan (Monitoring), legislatif mempunyai fungsi
untuk mengawasi dan mengontrol aktifitas badan eksekutif. Hal ini
ditujukan agar eksekutif melakukan sesuai dengan kebijakan apa
yang telah ditetapkan oleh legislatif. Pengawasan dilakukan melalui
sidang – sidang panitia legislatif dan melalui hak – hak control
khusus yang dimiliki oleh legislatif, seperti hak bertanya, interplasi,
hak angket, mosi dan sebagainya.
Tiga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif,
adalah control of executive, control of expenditure, dan control of taxation.
Selain ketiga fungsi legislatif di atas, terdapat fungsi lain seperti mensahkan (ratify)
perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif.
Fungsi Eksekutif
Menurut trias politca, fungsi dari eksekutif adalah melaksanakan
kebijakan–kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif. Namun seiring
dengan perkembangan zaman, eksekutif memiliki fungsi lain yang tak hanya
melaksanakan undang – undang saja. Adapun fungsi dari eksekutif adalah :
1. Diplomatik : menyelanggarakan hubungan diplomatic dengan
Negara lain
2. Administratif : melaksanakan undang–undang serta peraturan–
peraturan lain dan menyelenggarakan administrative Negara
3. Militer : mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan
perang sserta keamanan dan pertahanan negara.
4. Yudikatif : memberikan grasi, amensti, abolisi, dan sebagainya.
5. Legislatif : merencanakan undang – undang dan membimbingnya dalam
badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang – undang.
Page 13 of 25
Fungsi Yudikatif
Yudikatif merupakan lembaga negara yang berwenang untuk mengadili
setiap pelanggaran perundang–undangan yang ada. Adapun setiap negara
memiliki konsep yudikatif yang berbeda. Apabila kita berbicara yudikatif,
maka harus dimulai dengan memisahkan dengan system hukum yang ada,
yaitu system Anglo Saxon dan Eropa Continental.
Dalam system hukum Anglo Saxon, disamping undang – undang yang
dibuat oleh parlemen, juga terdapat hukum sebagai common law atau hukum
kebiasaan yang dirumuskan oleh hakim. Dengan kata lain hakim juga dapat
membuat hukum dengan keputusannya yang lebih dikenal dengan nama
Judge made law.
Sementara dalam sistem hukum Eropa Continental, hukum telah
dikodifikasikan dengan rapi. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa
perkara hanya berdasar peraturan hukum yang ada dalam UU saja. Namun
apabila ternyata UU belum mengatur suatu hal, maka hakim dapat
memberikan keputusan sendiri (Ius Curia Novit), tanpa terikat dengan
precedent. di Indonesia sendiri, fungsi yudikatif menurut UUD 1945
dilakukan oleh MA dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah MK.
C. Teori Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai
dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Asas-asas pembentukan peraturan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-
rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Penerapan
dalam bidang hukum berkaitan dengan pembentukan perundang-undangan Negara,
Burkhardt Krems menyebutnya dengan istilah Staatslische Rechtssetzung sehingga
pembentukan peraturan meliputi:
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung);
dan
Page 14 of 25
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbetung der Regelung).
Paul Scholtern mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtbeginsel)
bukanlah aturan hukum (rechtsregel). Sebuah azas hukum terlalu umum atau
berbicara terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide) untuk disebut sebagai aturan
hukum. Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau
pengelompokan sebagai aturan tidaklah mungkin sehingga harus dibentuk isi yang
lebih konkret.
Asas hukum bukanlah hukum, tetapi hukum tidak dapat dipahami tanpa asas-
asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan hukum
mengemban tugas untuk menelusuri dan mencari asas hukum dalam hukum positif.
Berikut pendapat dua ahli hukum yaitu I.C. van der Vlies dan A. Hamid S.
Attamimi serta menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
a. Asas pembentukan peraturan negara yang baik
Menurut I.C. van der Vlies asas-asas pembentukan peraturan negara
yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) dibagi dalam asas-asas
yang formal dan materiil. Asas-asas formal meliputi:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);3) Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);4) Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);5) Asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas materiil meliputi:Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systemetiek);
1) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbarheid);2) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkeheidsbeginsel);3) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);4) Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu (het beginsel van
de individuele rechtsbedeling).21
b. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut.
21 http://qolbifsh.blogspot.com/2012/04/asas-asas-pembentukan-perundang.html, diakses pada tanggal 23 Oktober 2014, pukul 22.37
Page 15 of 25
Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut:
1) Cita hukum Indonesia. Cita hukum Indonesia tidak lain merupakan Pancasila (Sila-sila dalam Pancasila berlaku sebagai ide yang berlaku sebagai “bintang pemandu”). Norma fundamental negara yang juga tidak lain merupakan Pancasila (Sila-sila di dalamnya berlaku sebagai norma);
2) Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi;
3) Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Recht);
4) Asas-asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
5) Asas-asas lainnya.22
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu
meliputi juga asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas
organ/lembaga dan materi muatan yang tepat, asas dapat dilaksanakan, asas
dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian
hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan kemampua individual.
Apabila dibagi berdasarkan asas formal dan materiil,
c. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Landasan peraturan perundang-undangan yang baik
harus memiliki empat unsur yaitu:
1) Landasan Yuridis : Berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki
pembuat peraturan perundang-undangan;
2) Landasan Sosiologis : Untuk mencapai kesesuaian bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama bila
diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau sederajat;
3) Landasan Filosofis : Keharusan mengikuti tata-cara tertentu;
4) Landasan Teknik Perancangan : Peraturan perundang-undangan yang
akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi tingkatannya.
22 Ibid
Page 16 of 25
Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa syarat
penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan asas sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan;2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;3. Kesesuaian antara jenis hirarki dan materi muatan;4. Dapat dilaksanakan;5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;6. Kejelasan rumusan;7. Keterbukaan.
Page 17 of 25
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kajian Keududukan DPD Sebagai Lembaga Perwakilan dalam Struktur dan
Sistem Ketatanegaraan berdasarkan Trias Politica.
DPD adalah Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi
keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah
ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota
MPR. Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik
Indonesia.DPD dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
DPD mempunyai fungsi :
Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.23
Tugas dan Wewenang DPD24
1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
2. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak.pendidikan dan agama
Berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan Pasal 22C dan Pasa 22D mengatur
tentangDPD berikut isi Pasal 22C dan 22D UUD 1945 :
Pasal 22C
1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
23 Prof. C.S.T. Kansil, Hukum tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008. hlm 14424 Ibid, hlm. 145
Page 18 of 25
2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diber-hentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Bahwa dalam UUD 1945 kewenangan dan organ DPD ada pada dasarnya bukanlah sebagai lembaga legislatif sebagai mana teori Mostequin yang menyebutkan yaitu fungsi legilasi adalah kekuasaan membuat undang–undang yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal dalam UUD 1945 yaitu:
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Page 19 of 25
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Bahwa DPD juga tidak mempunyai kewenangan yang jelas karena
berdasarkan Teori Kewenagan tidak mempunyai suatu kejelasan yang jelas,
karena jika dibandingkan dengan teori-teori sebagaimana disebutkan di atas maka
tidak ada suatu kejelasan mengapa kemudian DPD lahir, karena Fungsi Legislasi,
Budgeting dan Controling sudah menjadi tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat
sehingga jika kemudian memperbandingkan di antara keduanya dapat dilihat
bahwa semua fungsi yang diberikan kepada DPD oleh UUD maupun Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang, MPR, DPR, DPD dan DPRD hanya
sebagai pelengkap dan tidak mempunyai fungsi apa-apa yang sangat diperlukan
oleh Negara Indonesia, disebabkan semua kewenagannya hanya berupa “dapat”
mengajukan, dapat mengawasi, dan dapat mempertimbangkan, ikut membahas
hanya itu saja kewenangan dari DPD, kalaupun sampai habis periode DPD tidak
menghasilkan sesuatu produk apapun atau hanya melakukan sidang 1 (satu) tahun
sekali para anggota DPD telah sepenuhnya menjalankan UUD dan UU yang
mengatur tentang fungsi dan kewenangan anggota DPD Republik Indonesia.
Bahkan seharusnya sebagaimana disebutkan dalam Teori Perundang-
Undangan menjelaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan yaitu suatu peraturan
perundang-undangan haruslah bentuk dengan memenuhi asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan. Dalam hal ini DPD lahir tidak memenuhi asas hukum tersebut,
karena jika dikaji secara teoritis fungsi Legislatif dilakukan Oleh DPR, Fungsi
Eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Fungsi Yudikatif dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Page 20 of 25
B. Peran DPD sebagai suatu Lembaga Perwakilan Rakyat
Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas
Indonesia karena dibentuk sebagai per-wujudan kebutuhan, kepentingan, serta
tantangan bangsa dan negara Indonesia.
Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara
lain dimaksudkan untuk :
1. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memper-teguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-
daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan
daerah;
3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah
secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan
sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan
saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu :
1. Dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
Page 21 of 25
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
3. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendi-dikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dalam penjelasan tentang mengapa kemudian DPD lahir juga tidak dapat
dikuatkan dengan pelaksanaan kewenagan dan fungsi sebagaimana di atur dalam
peraturan perundang-undangan karena juga kewenagan DPD sebenarnya tidak ada
jika kemudian DPR sebagai badan legislasi yang melakukan segala macam hal yang
berkaitan dengan legislasi peran DPD juga bukanlah peran yang dapat mengesahkan
karena pengesahan suatu Undang-Undang dilakukan oleh Eksekutif yaitu Presiden
dan Legislatif yaitu DPR, dan DPD tidak termasuk di dalamnya.
Jika dibandingkan dengan lembaga perwakilan seperti hal nya DPR RI jauh
dibandingkan peran DPD yang dapat dijalankan oleh DPR, namun sistem perwakilan
seperti apa yang menjadi tugas dan wewenang yang sangat dibutuhkan oleh Rakyat
Indonesia terkati lahirnya lembaga negara ini sebagai organ kenegaraan yang
mengurusi urusan di daerah. Jika itu jawabannya maka apa juga guna Pemerintahaan
Daerah.
Page 22 of 25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari semua teori hukum yang ada tidak satupun yang dapat memberikan penjelasan
terhadap kedudukan DPD sebagai badan legislatif, serta dalam teori Pembagian
kekuasaan dan pemisahan kekuasaan juga tidak dapat dikatagorikan sebagai salah
satu di antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. DPD hanya “dapat” menjalankan
fungsinya yaitu, dapat mengawasi, dan dapat mempertimbangkan, ikut
membahas,dapat mengajukan hanya itu saja kewenangan dari DPD, kalaupun sampai
habis periode DPD tidak menghasilkan sesuatu produk apapun atau hanya
melakukan sidang 1 (satu) tahun sekali para anggota DPD telah sepenuhnya
menjalankan UUD dan UU yang mengatur tentang fungsi dan kewenangan anggota
DPD Republik Indonesia
2. Dalam sistem perwakilan, perwakilan seperti apa yang dilakukan oleh organ negara
ini tidaklah jelas, karena semua fungsi yang ada pada DPD saat ini sebagai lembaga
perwakilan kesemuanya dapat dilaksanakan oleh DPR sebagai badan legislative yang
mempunyai segala aturan dan kewenangan dalam melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undagan.
B. Saran
1. Agar DPD dibubarkan saja terlebih lagi peran yang tidak dapat berbuat apa-apa
tersebut hanya akan banyak menghabisi anggaran negara karena tidak dapat berbuat
banyak terkait kewenagannya.
2. Jika pun tidak dibubarkan perkuat tugas, fungsi dan kewenagan DPD.
Page 23 of 25
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008
Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Kusnardi Muh. dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1983
Kusuma, RM.A.AB., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan keduapuluh tujuh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Strutur Ketata Negaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Prof. C.S.T. Kansil, Hukum tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988
Soejono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003
Tambunan, A.S.S., Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publishers, 2001
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Page 24 of 25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
B. Internet
http://qolbifsh.blogspot.com/2012/04/asas-asas-pembentukan-perundang.html, diakses pada tanggal 23 Oktober 2014, Pukul 22.36
Page 25 of 25