25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perusahaan memiliki berbagai macam bentuk, seperti PerusahaanTerbatas (PT), Commandite Value (CV), Firma (Fa), dan Koperasi. Dalam menjalankannya setiap bentuk usaha memiliki ciri atau corak yang berbeda, tetapibentuk usaha yang paling sering terlihat dan banyak digunakan didalam masyarakat adalah Perusahaan Terbatas (PT) karena perusahaan terbatasmerupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang dianggap oleh masyarakat dapatmemberikan keuntungan dengan mudah dan cepat. Perseroan Terbatas adalah perusahaan berbadan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Perseroan Terbatas menjadi badan hukum setelah adanya akta pendirian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan mendapatkan pengesahan dari DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas adalah Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam mendirikan suatu usaha terdapat faktor atau penyebab mengapa badan-badan usaha banyak yang mengalami kemerosotan dan yang pada akhirnya mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut antara lain mulai dari 1

Makalah hukum dagang tentang kepailitan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah perusahaan memiliki berbagai macam bentuk, seperti

PerusahaanTerbatas (PT), Commandite Value (CV), Firma (Fa), dan Koperasi.

Dalam menjalankannya setiap bentuk usaha memiliki ciri atau corak yang

berbeda, tetapibentuk usaha yang paling sering terlihat dan banyak digunakan

didalam masyarakat adalah Perusahaan Terbatas (PT) karena perusahaan

terbatasmerupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang dianggap oleh

masyarakat dapatmemberikan keuntungan dengan mudah dan cepat.

Perseroan Terbatas adalah perusahaan berbadan hukum yang didirikan

berdasarkan perjanjian. Perseroan Terbatas menjadi badan hukum setelah adanya

akta pendirian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan mendapatkan

pengesahan dari DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan

perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas adalah Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Dalam mendirikan suatu usaha terdapat faktor atau penyebab mengapa badan-

badan usaha banyak yang mengalami kemerosotan dan yang pada akhirnya

mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut antara lain mulai dari

hubungannyadengan urusan internal perusahan sampai pada eksternal

perusahaan, seperti adanya akibat dari utang-piutang, perjanjian wanprestasi,

hingga sampai menyebabkan perusahaan tersebut tidak dapat melakukan kegiatan

usaha lagi.

Jika perusahaan masih bisa atau dapat membayar utang (solvable), hal itu

karena perusahaan sudah memperhitungkan modalpinjaman tersebut apakah bisa

mengembalikannya atau tidak serta bagaimana mengelola dan memanfaatkan

modal yang telahdidapat. Sedangkan perusahan yang tidak mampu membayar lagi

utang-utangnyadisebut sebagai perusahaan yang insolvable atau tidak mampu

membayar utang-utangnya. Hal ini tidak wajar atau tidak dibenarkan apabila

1

Page 2: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

perusahaantidak mampu mengembalikan atau membayar utang yang telah

dimiliki.

Ketidakmampuan perusahaan dalam mengembalikan utang adalah merugikan

baik dari perusahaan yang meminjam maupun pihak yang meminjamkan.Jika

perusahaan mengalami kasus di mana perusahaan tidak mampu membayar utang-

utangnya maka dapat dikatakanbahwa perusahaan tersebut sudah tidak sehat.

Perusahaan sudah tidak bisamenjalankan kegiatan usahanya dan masih memiliki

tanggungan utang padapihak lain yaitu pihak yang memberikan pinjaman. Bila

suatu perusahaan sudah berada dalam keadaan berhenti membayaratau sudah tidak

mampu lagi membayar utang-utangnya, implikasinya perusahaan dapat dijatuhi

putusanpailit oleh Pengadilan Niaga baik atas permohonan kreditur

maupun debitursendiri atau pihak lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang

Nomor 37 Tahun2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

Pada hakikatnya, kepailitan adalah suatu sitaan umum yang bersifat

konservatoir atas semua kekayaan debitur yang dinyatakan pailit. Pihak yang

dinyatakan pailit kehilangan penguasaan terhadap harta benda yang ia miliki.

Penyelesaian harta pailit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam

menjalankan tugasnya dibantu oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim

Pengadilan Niaga.1

Dari ringkasan singkat diatas, penulis tertarik untuk menganalisis Putusan

Mahkamah Agung No. 080 PK/ Pdt.Sus/ 2009 tentang kepailitan atas

permohonan Peninjauan Kembali oleh PT Arta Glory Buana (selanjutnya disebut

PT AGB), yang mana PT AGB mendapatkan gugatan kepailitan oleh Serikat

Pekerja Serikat Pekerja Nasional (PSP SPN) dikarenakan setelah dilakukan

perundingan-perundingan antara kedua belah pihak, ternyata tidakterjadi

pemenuhan atas utang/kewajiban Termohon Pailit(PT AGB). Pemohon Pailit pun

telah berkali-kali memperingatkan Termohon Pailit melalui somasi termasuk di

dalamnya memberikan batas waktu pemenuhan kewajiban/ utang Termohon Pailit

kepada Pemohon Pailit.

1Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, 2006, Yogyakarta, hlm. 263-264

2

Page 3: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

B. Rumusan Masalah

1. Apa sajakah prinsip-prinsip kepailitan yang diundangkan dalam Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimana kriteria kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

3. Bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 080

PK/Pdt//Sus/2009 terhadap PT Arta Glory Buana?

3

Page 4: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip Kepailitan yang Dinormakan dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang

Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum.2 Selain itu juga

merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan peraturan

perundang-undangan serta dapat pula dijadikan dasar bagi hakim dalam

menentukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk

diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada norma hukum positifnya.3

Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara

kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan) yang secara expressis verbis

menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis, termasuk pula prinsip-prinsip

hukum dalam kepailitan dapat dijadikan hakim sebagai dasar untuk memutus4.

Dalam pasal 8 Ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa

putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat pula5:

a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili; dan

b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota

atau ketua majelis.

Terdapat 10 prinsip hukum kepailitan yang terdapat dalam berbagai macam

sistem hukum kepailitan di berbagai negara, yaitu6:

1. Prinsip paritas creditorium;

2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 253 Ibid., hlm. 274 Ibid.,5 Ibid.,6 Ibid., hlm. 353

4

Page 5: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

2. Prinsip pari passu prorata parte;

3. Prinsip structured prorata (structured creditors);

4. Prinsip utang dalam arti luas;

5. Prinsip debt collection;

6. Prinsip debt pooling;

7. Prinsip debt forgiveness;

8. Prinsip universal;

9. Prinsip territorial;

10. Prinsip commercial exit from financial distress.

Dari prinsip-prinsip universal tersebut, terdapat beberapa prinsip yang

dinormakan dalam Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, di antaranya:

1. Prinsip Paritas Creditorium

Bersama prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured

prorata, prinsip paritas creditorium merupakan prinsip utama penyelesaian

utang dari debitur kepada krediturnya.7 Prinsip paritas creditorium

(kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur

mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur.8 Apabila

debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur

menjadi sasaran kreditur.9 Prinsip paritas creditorium mengandung makna

bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun

barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur

dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada

penyelesaian kewajiban debitur.10

Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan

suatu ketidakadilan jika debitur memiliki harta benda sementara utang

debitur terhadap para krediturnya tidak terbayarkan. 11

7 Ibid., hlm. 278 Ibid.,9Mahadi, dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 2710 Kartini Mulyadi, dalam Ibid., hlm 27-2811 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 28

5

Page 6: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

Prinsip ini harus digandengkan dengan prinsip pari passu prorata

parte dan prinsip structured creditors karena prinsip paritas creditorium

tidak membedakan perlakuan terhadap kreditur yang memiliki piutang

besar maupun kreditur yang memiliki piutang kecil, baik kreditur yang

memegang jaminan maupun kreditur yang tidak memegang jaminan.12 Hal

ini agar tercapai keadilan di antara para kreditur.

Prinsip paritas creditorium ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang

Kepailitan).13

Terkait dengan kasus PT Arta Glory Buana maka dalam kasus tersebut

Mahkamah Agung menyatakan pendapat bahwa menurut Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang Kepailitan, baik kreditur konkuren, kreditur separatis,

maupun kreditur preferen dapat mengajukan permohonan pailit.

2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte

Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan debitur

merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus

dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika di antara para

kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus didahulukan dalam

menerima pembayaran tagihannya.14 Prinsip ini menekankan pada

pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur

secara berkeadilan dengan cara sesuai porsinya dan bukan dengan cara

sama rata. Prinsip ini dapat dilihat dalam Pasal 189 Ayat (4), (5), dan

Penjelasan Pasal 176 Huruf a. Undang-Undang Kepailitan.15

3. Prinsip Structured Creditors

Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan

prinsip pari passu prorata parte dalam konteks kepailitan juga masih

memiliki kelemahan jika antara kreditur tidak sama kedudukannya. Bukan

12 Ibid., hlm. 2913 Ibid.,hlm. 35414 Kartini Mulyadi dalam Ibid., hlm 2915 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 354

6

Page 7: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya

karena ada sebagian kreditur yang memegang jaminan kebendaan dan/atau

kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh Undang-

Undang. Prinsip structured creditors mengklasifikasikan dan

mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya

masing-masing.16 Dalam kepailitan, kreditur dikelompokkan menjadi 3

macam:

a. Kreditur separatis: kreditur yang memiliki jaminan kebendaan;

b. Kreditur preferen: hanya kreditur yang menurut Undang-Undang

didahulukan pembayaran piutangnya;

c. Kreditur konkuren

Di dalam Undang-Undang Kepailitan, prinsip ini diatur dalam Pasal 1

Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 1 Ayat (1).17

1. Prinsip Debt Collection

Prinsip debt collection mempunyai makna sebagai konsep pembalasan

dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap

debitur atau harta debitur.18 Pada hukum kepailitan modern, prinsip debt

collection dimanifestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi asset.

Manifestasi dari prinsip debt collection dalam kepailitan adalah

ketentuan-ketentuan untuk melakukan pemberesan asset dengan jalan

likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana,

diterapkannya keputusan kepailitan secara serta-merta, adanya ketentuan

masa tunggu bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai

pelaksana pengurusan dan pemberesan.

Prinsip debt collection tercermin beberapa di antaranya yakni dalam

Pasal 1 Ayat (1), Pasal 21, Pasal 65, Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang

Kepailitan.19

16 Ibid., hlm. 31-3217 Ibid., hlm. 35418 Ibid., hlm. 3819 Ibid., hlm. 354

7

Page 8: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

Terkait dengan kasus PT Arta Glory Buana,Pengadilan Negeri

mengangkat Saudara Yana Supriatna, SH., sebagai kurator.

2. Prinsip Universal

Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan

pailit dari suatu pengadilan di suatu negara berlaku terhadap semua harta

debitur baik yang berada di dalam negeri maupun terhadap harta debitur

yang berada di luar negeri.20 Prinsip universal menekankan aspek

internasional dari kepailitan atau yang dikenal sebagai cross burder

insolvency.

Prinsip universal terlihat dalam Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214

Undang-Undang Kepailitan.21

B. Kriteria Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Kepailitan, menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut dengan Undang-Undang Kepailitan) adalah, “...sita umum atas semua

kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini“.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menyatakan secara tegas bahwa

debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur, tidak membayar sedikitnya satu

utang, jatuh waktu dan dapat ditagih dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit.22

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga, yang

persyaratannya menurut Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang

Kepailitan adalah:

1. Adanya dua atau lebih kreditur. Kreditur adalah orang yang mempunyai

piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka

20 Ibid., hlm. 4721 Ibid., hlm 35422 Ridwan Khairandy, Pokok- Pokok Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta, 2014, hlm.464

8

Page 9: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

pengadilan. Kreditur di sini mencakup baik kreditur konkuren, kreditur

separatis maupun kreditur preferen;

2. Ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah

kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah

diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang

berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis

arbitrase; dan

3. Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan Pengadilan Niaga apabila

ketiga persyaratan tersebut di atas terpenuhi. Namun, apabila salah satu

persyaratan di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan

ditolak.

Selain itu, Undang-Undang Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit

terhadap debitur-debitur tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (3), Ayat

(4) dan Ayat (5), sebagai berikut:

Dalam hal Debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat

diajukan oleh Bank Indonesia.

Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana

Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh

Menteri Keuangan.

Undang-Undang Kepailitan mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan

permohonan kepailitan pada Pengadilan Niaga, yaitu:

1. Debitur sendiri;

2. Seorang atau lebih krediturnya;

9

Page 10: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

4. Bank Indonesia (BI) dalam hal debitur merupakan bank;

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitur merupakan

Perusahaan Efek;

6. Menteri Keuangan dalam hal debitur merupakan perusahaan asuransi,

perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang

kepentingan publik.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 080 PK/Pdt//Sus/2009

terhadap PT Arta Glory Buana

Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Arta Glory Buana

(dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utamanya Willi Josep Candra)

menghasilkan putusan Pailit PT Arta Glory Buana. Salah satu hasil putusan itu

memutuskan bahwa sesuai pertimbangan hakim dalam Pasal 2 dan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yangtelah diubah dengan Undang-

Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3

Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang lain, majelis hakim

menyatakan bahwa PT Arta Glory Buana pailit dengan segala akibat hukumnya.

Kata-kata dengan segala akibat hukumnya mengandung makna bahwa segala

akibat hukum yang timbul dari putusan pailit itu wajib ditanggung oleh PT Arta

Glory Buana.

Akibat hukum yang timbul dari Putusan pailit oleh pengadilan tidak

mengakibatkan Debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan

hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan

kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta

kekayaannya saja. Status Debitur tidaklah berada di bawah pengampuan, tidak

kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut

dirinya kecuali jika menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang

telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan tersebut diserahkan pada Kurator.

10

Page 11: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

Dalam hal harta benda yang akan diperolehnya, Debitur tetap dapat melakukan

perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu, namun harta

yang diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit.23 Menurut Pasal

21 UU KPKPU, yang dimaksud dengan Kepailitan adalah meliputi seluruh

kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala

sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Namun selanjutnya dalam Pasal 22 UU

KPKPU diatur bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap :

1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur

sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang

dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang

dipergunakan oleh Debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30

(tiga puluh) hari bagi Debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai

penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu

atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau

3. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban

memberi nafkah menurut undang-undang.

Perlu diingat bahwa Pasal 23 UUKPKPU mengatur bahwa Debitur Pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 UUKPKPU juga meliputi istri atau

suami dari Debitur Pailit yang menikah dalam persatuan harta. Menurut Pasal 24

UU KPKPU, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan maka Debitur

demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya

yang termasuk dalam harta pailit, sedangkan tanggal putusan sebagaimana

dimaksud tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Apabila sebelum

putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank

atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud transfer

tersebut wajib diteruskan dan dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit

diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di Bursa Efek, maka transaksi

23Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002), hal.256-257.

11

Page 12: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

tersebut wajib diselesaikan. Setelah adanya putusan pernyataan pailit maka semua

perikatan Debitur yang terbit sesudahnya tidak dapat lagi dibayar dari harta pailit,

kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU KPKPU).

Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus

diajukan oleh atau terhadap Kurator, dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau

diteruskan oleh atau terhadap Debitur Pailit. Apabila tuntutan tersebut

mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitur Pailit, maka penghukuman

tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. Menurut Munir

Fuady, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan 2 (dua) model

pemberlakuan, yaitu sebagai berikut:24

a. Berlaku demi hukum

Akibat yang paling besar dari berlakunya demi hukum adalah berlaku sitaan

umum atas seluruh harta debitor (Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 21, Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU) dan debitor kehilangan

hak mengurus (Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU) Dengan akibat hukum yang besar tersebut, selayaknya hakim benar-

benar cermat dalam mengambil keputusan pailit suatu perusahaan.

b. Akibat hukum tertentu dari kepailitan yang berlaku rule of reason

Akibat-akibat hukum yang lain yang merupakan dampak kepailitan tersebut

adalah menyangkut pembayaran kompensasi pensiun tersebut. Pembayaran

kompensasi pensiun akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4) yang

mengatur :

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari

pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”

24Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek.Bandung: Alumni, 1982

12

Page 13: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

Sehingga akibat hukum yang berlaku bagi PT Arta Glory Buana dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. PT Arta Glory Buana serta segala sesuatu yang diperoleh selama

kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit

diucapkan, hal ini berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan), kecuali :

a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutukan oleh debitur

sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis

yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan

perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya;

b. segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri

sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,

pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan

hakim pengawas;

c. uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajiban

memberi nafkah menurut Undang-Undang.

2. PT Arta Glory Buana tidak memiliki wewenang lagi atas harta kekayaan

yang dimilikinya setelah dinyatakan pailit.

3. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 hari (sembilan

puluh) hari. Hal ini berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan.

4. Segala perbuatan hukum PT Arta Glory Buana yang telah dinyatakan

pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum

putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada

pengadilan. Hal ini di tegakan dalam Pasal 43 Undang-Undang

Kepailitan, yaitu “Hibah yang dilakukan debitur dapat dimintakan

pembatalan kepada pengadilan, apabila kurator dapat membuktikan

bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut

mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi

kreditur”,

13

Page 14: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

5. Pengurusan dan Pengelolaan harta kepailitan akan dialihkan kepada

Kurator berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yaitu

sdr. Yana Supriyatna S.H. sebagai kurator sah yang telah ditunjuk oleh

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusan

nomor 14/pailit/2008/PN.Niaga.Sby.

6. PT Arta Glory Buana masih dimungkinkan untuk mengadakan perikatan-

perikatan selama perikatan itu mendatangkan keuntungan. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Kepailitan yang menentukan

bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan

pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika perikatan itu

mendatangkan keuntungan.

7. PT Arta Glory Buana dapat mengajukan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) Undang-Undang

Kepailitan. Penundaan kewajiban membayar utang diajukan oleh debitur

yang memiliki lebih dari 1 (satu) debitur. Adapun utang tertanggung

yang belum dibayarkan meliputi seluruh kewajiban/utang upah, upah

lembur, tunjangan uang makan, lembur, THR, Penggantian Pengobatan

dan Perawatan, luran Organisasi SPN, dan denda yang belum dibayar

Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit seluruhnya sebesar ± Rp

8.455.514.616,00 (kurang lebih delapan milyar empat ratus lima puluh

lima juta lima ratus empat belas ribu enam ratus enam belas rupiah) dan

tagihan lain yang belum dibayar sebesar ± Rp 2.594.764.556,40 (kurang

lebih dua milyar lima ratus sembilan puluh empat juta tujuh ratus enam

puluh empat ribu lima ratus lima puluh enam koma empat puluh rupiah).

8. PT Arta Glory Buana harus membayar seluruh biaya perkara berdasarkan

Pasal 128 Ayat (1) Bagian B Undang-Undang Kepailitan yang

menyatakan bahwa biaya perkara ditangguhkan kepada debitur pailit.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 917 K/Pdt.Sus/2008,

tanggal 13 Januari 2009 PT Arta Glory Buana diwajibkan membayar

pengajuan kasasi sebesar Rp. 5.000.000; dan biaya perkara pemeriksaan

Peninjauan Kembali sebesar Rp. 10.000.000

14

Page 15: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prinsip-prinsip universal kepailitan atau yang dapat disebut dengan

prinsip-prinsip hukum kepailitan yang diundangkan dalam Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang ialah prinsip paritas creditorium, prinsip

pari passu prorata parte, prinsip structured prorata, prinsip debt

collection, danprinsip universal.

2. Syarat kepailitan menurut Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 8 Ayat (4) Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:

a. Adanya dua atau lebih kreditur

b. Ada hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

c. Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara

sederhana.

d. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Khusus yang disebut

Pengadilan Niaga

e. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang ,

yaitu :

1) Pihak debitur

2) Satu atau lebih kreditur

3) Jaksa untuk kepentingan umum

4) Bank Indonesia jika debiturnya bank

5) Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek,

bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan dan lembaga

Penyimpanan dan Penyelesaian

15

Page 16: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

6) Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi,

reasuransi, dana pension dan BUMN yang bergerak dibidang

kepentingan Publik.

3. Akibat hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 080 PK/Pdt//Sus/2009

terhadap PT Arta Glory Buana:

a. PT Arta Glory Buana serta segala sesuatu yang diperoleh selama

kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan

pailit diucapkan, hal ini berdasarkan Pasal 22 UU KPKPU

b. PT Arta Glory Buana tidak memiliki wewenang lagi atas harta

kekayaan yang dimilikinya setelah dinyatakan pailit

c. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 hari (sembilan

puluh) hari. Hal ini berdasarkan Pasal 56 UU KPKPU

d. Segala perbuatan hukum PT Arta Glory Buana setelah dinyatakan

pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum

putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan

kepada pengadilan. Hal ini di susai dengan Pasal 43 UU KPKPU

e. Pengurusan dan Pengelolaan harta kepailitan akan dialihkan kepada

Kurator

f. PT Arta Glory Buana harus membayar seluruh biaya perkara. Hal ini

berdasarkan Pasal 128 Ayat (1) Bagian B UU KPKPU

g. PT Arta Glory Buana dapat mengajukan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) UU KPKPU

h. PT Arta Glory Buana masih dimungkinkan untuk mengadakan

perikatan-perikatan selama perikatan itu mendatangkan keuntungan.

B. Saran

Untuk mendirikan, membangun, dan mengelola sebuah PT yang sehat harus

ada keterbukaan antara atasan dan bawahan. Jika diperkirakan terdapat resiko

pailit ke depannya, maka PT dapat membuka sahamnya untuk diperjual belikan.

Jika dirasa prospek kedepan tidak baik, segera mencari solusi lain atau

menginformasikan pada seluruh organ PT. Bagi perusahaan yang pailit,

16

Page 17: Makalah  hukum dagang tentang kepailitan

pemerintah juga perlu melakukan pengawasan lebih lanjut bagi kurator dan

pelaksanaan akibat hukum putusan pailit lainnya.

17