View
5.775
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Eksistensi hukum pidana memiliki fungsi sebagai social defense yakni untuk
menyeimbangkan kehidupan masyarakat yang diaturnya. Dengan adanya hukum
pidana, masyarakat akan merasa aman, tenang, dan tenteram. Dengan kata lain,
hukum pidana dibentuk berdasarkan kecenderungan masyarakat yang ingin
mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungannya atau hukum pidana ini
lahir karena disebabkan oleh adanya fenomena sosial berupa suatu tindakan atau
perilaku yang merusak atau mengganggu ketertiban masyarakat. Dari sinilah,
dapat kita pahami bahwa manusia selain memiliki kecenderungan untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban tersebut, ia juga memiliki kecenderungan
untuk melawan hukum pidana yang diprakarsai olehnya sendiri.
Ironisnya, kita melihat terdapat banyak bentuk perbuatan melawan hukum
atau bentuk pelanggaran (kejahatan) yang ada saat ini di berbagai negara
khususnya di Indonesia, maka bukan hal yang tidak mungkin banyak pula bentuk
dari perbuatan melawan hukum itu sendiri.
Sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana yang sedikitnya telah penulis
ilustrasikan di atas tentunya akan dimintai pertanggungjawaban legal atau
pertanggungjawaban pidananya. Pertanggungjawaban pidana ini diberlakukan
agar orang yang diidentifikasi telah melakukan suatu tindakan melawan hukum
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut sesuai dengan prosedur
dalam hukum pidana. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan sifat
melawan hukum dalam perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapat di
antaranya ialah:
1
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
a. Apa pengertian dari sifat melawan hukum
b. Bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam konsepsi hukum
pidana?
c. Bagaimana bentuk sifat melawan hukum?
d. Apa pengertian pertanggungjawaban pidana?
e. Apa saja unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Pidana. Selain itu pula, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Di
samping bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, makalah ini juga
dibuat guna menambah pengetahuan serta memperluas wawasan penulis
mengenai sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana dan agar makalah ini dapat diijadikan referensi bagi para pembaca.
2
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum
Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di
dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain
adalah dari:
a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada
umumnya.
b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang
lain.
c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang
tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
d. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/
wewenang.
e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan
hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain
disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan
dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian
“bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang
lain atau hukum subjektif”.1
Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat,
antara lain sebagai berikut:
“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa
1 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 31-32.
3
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan
masyarakat.”2
2.2 Eksistensi Sifat Melawan Hukum di dalam Konsepsi Hukum
Pidana
Hukum pidana di dalam perspektif sistem hukum di Indonesia berada pada
ruang lingkup hukum publik yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi
hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel
strafrechtlstrafprocesrecht).
Selanjutnya, ketentuan hukum pidana sesuai konteks di atas dapat
diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana
khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum
pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus
menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai
ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang
khusus (bijzonder lijkfeiten).3
Hukum pidana sebagai lingkup hukum publik merupakan salah satu sarana
untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan
memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi
keseimbangan kepentingan perorangan dan masyarakat.
Identifikasi dari beberapa aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan adalah sebagai berikut:4
1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan
anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat maka timbulah
2 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hal 44.
3 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia: Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1. Dikutip dari Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, hal. 1
4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 26
4
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah
penanggulangan kejahatan/penindasan kejahatan/pengendalian kejahatan.
2. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya orang
(si pelaku), maka timbul pendapat bahwa tujuan pidana adalah untuk
memperbaiki si pelaku/rehabilitasi/reformasi sosial/resosialisasi/
pemasyarakatan/pembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna
mengubah atau mempengaruhi tingkah laku kembali patuh pada hukum.
3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi
terhadap pelanggar pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana adalah
mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga
masyarakat pada umumnya dalam melakukan reaksi terhadap si pelanggar
sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk menyediakan
saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam atau untuk
menghindari balas dendam.
4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya
mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan
dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan/dapat dikatakan bahwa
tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan
masyarakat.
Konsepsi (rancangan) sifat melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum
perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka sifat
melawan hukum dalam ranah hukum pidana sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas dikenal dengan terminologi "wederrechtelijk", dan terminologi
"onrechtmatige daad" dalam ranah hukum perdata. Pengertian dan terminologi
"wederrechtelijk" dalam hukum pidana tersebut memiliki beberapa arti, di
antaranya diartikan sebagai ‘bertentangan dengan hukum’ (in strijd met het recht),
atau ‘melanggar hak orang lain’ (met krenking van eens anders recht) dan ada
juga yang mengartikan sebagai ‘tidak berdasarkan hukum’ (niet steunend op het
recht) atau sebagai ‘tanpa hak’ (zonder bevoegheid).
5
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
2.3 Pembagian Sifat Melawan Hukum
Dalam Hukum Pidana dikenal dua macam sifat melawan hukum yaitu sifat
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dan sifat melawan
hukum formil (formale wederrechtelijkeheid). Berikut uraiannya:
a. Sifat melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) merupakan
sifat melawan hukum yang luas yaitu melawan hukum sebagai suatu unsur
yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang
tidak tertulis (dasar-dasar/norma-norma hukum pada umumnya).
Terdapat dua pandangan/pemahaman mengenai makna materiil itu sendiri, yakni:
1. Pandangan pertama mengaitkan atau melihat makna materiil dari
sifat/hakikat perbuatan terlarang dalam undang-undang (perumusan delik
tertentu). Jadi, yang dilihat atau dinilai secara materiil adalah “perbuatan”-
nya. Cara pandang yang demikian cukup banyak terungkap dalam
kepustakaan maupun yuriprudensi. Misalnya dalam buku Hukum Pidana,5
kumpulan tulisan Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keizer, dan Mr.
E. Ph. Sutorius dikemukakan empat makna atau pengertian sifat melawan
hukum, yaitu sifat melawan hukum umum6, sifat melawan hukum khusus7,
sifat melawan hukum formal, dan sifat melawan hukum materiil. Menurut
pandangan ini, sifat melawan hukum materiil diartikan sebagai suatu
perbuatan yang melanggar atau membahayakan “kepentingan hukum” yang
hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik
tertentu.8
2. Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat makna materiil dari sudut
sumber hukum. Jadi yang dilihat atau dinilai secara materiil adalah “sumber
hukum”-nya. Maka menurut pandangan ini, pengertian sifat melawan
5 Lihat Sahetapy (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keizer, dan Mr. E. Ph. Sutorius, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 39-50 dan 347-355. Dikutip dari Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, hal. 266 Ibid., hal. 39 dan 347: sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. 7 Sifat melawan hukum khusus: Sifat Melawan Hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik. Juga dinamakan sifta melawan hukum “faset”8 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 26-27
6
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
hukum materiil adalah identik dengan melawan atau bertentangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/living law),
bertentangan dengan asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan
sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan atau
adat). Jadi singkatnya, “hukum” tidak dimaknai secara formal sebagai wet,
tetapi dimaknai secara materiil sebagai recth.9
Penganut Sifat Melawan Hukum Materiil
Zevenbergen mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur
bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan .
Van Hamel mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur bersifat
melawan hukum. Tetapi sehubungan dengan pembuktian dikatakan jika
bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas sebagai unsur delik,
atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan tegas akan tetapi
timbul keragu-raguan apakah menurut paham masyarakat tindakan itu
bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada
pembuktian pidana.
Contohnya adalah seorang guru yang menghukum muridnya, seorang ayah
yang menghukum anaknya, atau seseorang yang menjewer kuping anak nakal
akan dipidana dengan alasan tindak penganiayaan jika tidak dibuktikan dahulu
bahwa tindakan tersebut adalah untuk mendidik murid atau anak tersebut. Oleh
karenanya, perlu pembuktian dari suatu tindakan. Jika tindakan itu terbukti tidak
bertentangan dengan kepatutan atau norma masyarakat, maka tindakan itu bukan
termasuk tindakan melawan hukum.
Contoh lain adalah seorang dokter dengan alasan pengobatan melakukan
abortus yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 348 KUHPid tidak bersifat
melawan hukum karena dokter tersebut melakukan hal demikian hanyalah untuk
urusan pengobatan. Dengan kata lain, ia tidak melanggar norma hukum itu
sendiri.
b. Sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid) merupakan sifat
melawan hukum terhadap unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga
9 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), Hal. 27-28
7
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
ia baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan
dalam rumusan tindak pidana (KUHP).10
Contoh Kasus :
1. Kasus Penganiayaan Pasal 351 KUHPid
Jika A memukul B, dan B mendapat luka karenanya maka A telah
melanggar delik penganiayaan tersebut Pasal 351 ayat 1 KUHPid. Tidak perlu
diselidiki apakah pemukulan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Tegasnya
pemukulan itu sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum karena telah
memenuhi perumusan delik dalam Undang-undang.
2. Kasus melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHPid)
C berada dalam keadaan telanjang bulat di muka umum, Dalam hal ini C
telah melakukan delik delik Pasal 281 KUHPid. Tindakan itu dengan sendirinya
sudah bersifat melawan hukum, karena memenuhi perumusan Pasal tersebut.
Tidak perlu lagi diselidiki apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau
tidak.
3. Kasus memasuki rumah dengan paksa (Pasal 167 KUHPid).
Seandainya di dalam Pasal 167 KUHPid tidak dinyatakan dengan tegas
unsur melawan hukum, maka seseorang pegawai penyidik atau jaksa memaksa
memasuki suatu rumah untuk menjalankan tugasnya, dapat dipersalahkan
melanggar Pasal 167 KUHPid. Justru dengan adanya unsur bersifat melawan
hukum pada Pasal tersebut, maka harus dibuktikan apakah pegawai tersebut
benar-benar sedang melakukan tugasnya atau tidak, yang akan menentukan
apakah tindakannya memasuki rumah tersebut melawan hukum atau tidak.
Dalam perkembangannya muncul pandangan sifat melawan hukum materiil
(materieele wederrechttelijkheid) dalam fungsi secara positif dan negatif. Ajaran
sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu perbuatan secara
materiil merupakan perbuatan melawan hukum apabila tidak ada aturan tertulis
dalam perundang-undangan pidana, maka perbuatan tersebut tidak dapat
10 M. Sudrajad Basar (1998:5) dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan HukumUndang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hlm. 25. Dikutip dari Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, hal. 5
8
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
dipidana.11 Sedangkan, Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya
yang negatif yaitu bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum, apabila secara materiil perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum.12
Contohnya, seseorang tidak termasuk melawan hukum apabila orang tersebut
dalam perbuatannya melawan hukum bertujuan untuk sesuatu yang berguna atau
het juistemiddel tot het juiste doel bezigde, konsep ini diajukan oleh A. Grafzu
Dohna dalam karangannya tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges
Markmal im Tatbestande starfbarer handlungen”.13
Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Indonesia
telah dimungkinkan dalam menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif. Seperti yang dikutip dari Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan Mahkamah Agung
tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970 bahwa “Meskipun yang dituduhkan
adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus memperhatikan
juga keadaan terdakwa atas dasar apa ia tidak dapat dihukum atau materieele
wederrechttelijkheid.”
Sedangkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung yang lain yakni Putusan
Nomor 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977 dan Putusan MA Nomor 572
K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004, diketahui bahwa hukum pidana Indonesia
dalam pendiriannya telah menganut pandangan sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif.14 Jadi, pada intinya bahwa sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif ini telah diterapkan dalam hukum pidana
Indonesia.
Sedangkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil masih belum
sepenuhnya dapat diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi,
ide-ide untuk menerapkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah
ada, namun masih dijumpai banyak penolakan, termasuk penolakan dari
Mahkamah Konstitusi misalnya dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi.
11 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji & rekan”, Jakarta, 2002, hlm 1812 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm 2613 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 116. 14 Guse Prayudi, Op Cit., hlm. 25.
9
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
Jika dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya sifat
melawan hukum formil saja yang dapat diterima. Oleh karenanya, sifat melawan
hukum materiil bertentangan dengan asas legalitas. Begitupun dengan penerapan
fungsi negatif pada sifat melawan hukum materiil, penerapan ini tidak sejalan
dengan asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerimaannya
semata-mata didasarkan pada doktrin dan kemudian diikuti oleh Yurisprudensi
Mahkamah Agung.
Namun, adapula yang berpendapat bahwa sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif sudah dipengaruhi asas legalitas materiil atau asas
keseimbangan monodualistik. Singkatnya, sifat melawan hukum ini masih terikat
pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.15
Karena Indonesia menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya
yang negatif, maka penulis akan memaparkan tentang sifat melawan hukum
materiil dalam kebijakan formulasi beberapa KUHP asing dan dokumen
internasional. Hal ini guna menambah khazanah ilmu pengetahuan kita mengenai
sifat melawan hukum materiil. Berikut uraiannya:
1. Pasal 20 KUHP Korea Merumuskan Sebagai Berikut:
“Conduct in accordance with law or pursuant to accepted bussiness
practices, or other conduct which doesn’t violate the social mores shall
not be punishable.”
Jadi, menurut ketentetuan di atas, tindak pidana:
a. Perbuatan yang sesuai dengan undang-undang (in accordance with
law)
b. Perbuatan yang sesuai dengan praktek bisnis yang sudah lazim atau
diterima (pursuant to accepted bussiness practices)
c. Perbuatan lain yang tidak melanggar norma / kebiasaan masyarakat
(does not violate the social mores)
2. Pasal 15 International on Civil and Political Rights (ICCPR) Menegaskan:
a. “Tidak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan untuk suatu perbuatan
(atau tidak berbuat) yang tidak merupakan tindak pidana menurut
15 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 30
10
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
hukum nasional ataupun hukum internasional yang ada / berlaku pada
saat perbuatan itu dilakukan.”
(No one shall be held guilty of any criminal offense on account of any
act or amission which didn’t constitute a criminal offense, under
national or international law, at thetime when it was committed).
b. “Tidak sesuatu pun dalam pasal ini yang akan menghambat atau
merugikan (mengurangi hak) peradilan dan pemidanaan terhadap
seseorang atas perbuatan (atau tidak berbuat) yang pada saat dilakukan
merupakan kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”
(Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any
person for any act or amission which, at the time when it was
committed, was criminal according to the general principles of law
recognized by the community of nation).
3. Pasal 7 (3.76) KUHP Kanada tentang “Crime Against Humanity”
Menyatakan:
“’Kejahatan terhadap kemanusiaan’ ialah pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiaran/pemindahan, penganiayaan, atau perbuatan tidak
manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil atau kelompok
orang, apakah perbuatan itu merupakan atau tidak merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang yang berlaku pada saat itu dan ditempat
perbuatan itu dilakukan, dan bahwa perbuatan-perbuatan itu pada saat dan
di tempat itu merupakan pelanggaran terhadap hukum kebiasaan
international atau merupakan kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”
(‘Crime against huminity’ means murder, extermination, enslavement,
deportation, persecution, or any other inhumane act or omission that is
committed against any civilian population or any identifiable group of
person, whether or not it constitutes a contravention of the law inforce at
the time and in the place of its commission, and that, at the time and in
that place, constitutes a contravention of customary international law r
11
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
conventional international law or is criminal according to general
prinsiples of law recognized by the community of nations).
2.4 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis,
pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana
bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak
pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di
lakukannya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan
karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi
juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka
tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkanya atas atau jenis
perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak
dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
Namun setelah Revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana di dasarkan atas
dasar falsafah kebebasan berkehendak yang di sebut dengan teori tradisionalisme
(mashab taqlidi), kebebasan berkehendak di maksud bahwa seorang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut
teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan
mana yang di katakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.16
Dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
‟toerekenbaarheid‟, “criminal responbility‟, “criminal liability‟. Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau
dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu
bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan
tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan
16 Alie Yafie, Ahkad Sukaraja, Muhammad Amin Suma, dkk, ibid hlm. 64
12
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang
dilakukan tersebut.17
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung18 jawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si
pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat
yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena
perbuatanya.19
Menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa:
“Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang
yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal
apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau
tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana”.20
2.5 Unsur-Unsur dalam Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban
pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan
perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia
17 Loc. Cit. Hal. 250.18 Op.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.19 Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.7520 Op. Cit. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Hal. 75
13
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang
melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan kesalahan.
Menurut Ruslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk
mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu
sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan
bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan
kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan
perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah21 :
1. Melakukan perbuatan pidana;
Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua
alasan mengenai hakikat perbuatan pidana (kejahatan).22 Yakni pertama,
pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak
senonoh yang di lakukan manusia lainnya. Kedua, pendekatan yang
melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang
tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini
mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan.
Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai
perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari
refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah
menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
2. Mampu bertanggung jawab;
Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari
keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan
masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting
untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang
21 Op.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.22 Andi Matalatta, “santunan bagi korban” dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870) , hlm.41-42
14
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat
dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang
dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.23
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka
ukuran – ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk
diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan
Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim
boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya
satu tahun untuk di periksa.
3. Yang di tentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.24
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara
terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang
yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)
syarat, yaitu : (1) dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam
alam kejahatan, (2) dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak
patut dalam pergaulan masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau
kehendaknya terhadap perbuatan tadi.25
Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan
beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu : (1) kemampuan untuk
membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai
dengan hukum dan yang melawan hukum; (2) kemampuan untuk
23 Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986), hlm. 7824 R. Soesilo Ibid, hlm. 60-6125 Sutrisna, I Gusti Bagus , Op.cit, hlm.79
15
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya
perbuatan tadi.26
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah (Subjective guilt).
Di sini berlaku apa yang di sebut atas “TIADA PIDANA TANPA
KESALAHAN” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld)
atau NULLA POENA SINE CULPA (“Culpa” di sini dalam arti luas
meliputi kesengajaan).
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu
teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.
- Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A
mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B. A adalah
“sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B.
- Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu
akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena
itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan
yang terlebih dahulu telah dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu :
26 Sutrisna, Ibid. hlm 83
16
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Dalam VOS, definisi
sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat
perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah
mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah
tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya.
Contoh: A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia
mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B.
Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar
dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk
sengaja yang paling sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja
dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut: sengaja dengan
maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut
teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang
dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang
bersangkutan.
2. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat
tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa
pelanggaran juga.
Contoh: agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A
sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B.
Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C
pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C
dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A
tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih
dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya
tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu
membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B.
3. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar
dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran
pertama.
Contoh: keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A
hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart
17
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
ke alamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan
kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut.
Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan
bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja,
yaitu sengaja dengan kemungkinan.27
Adapula bentuk-bentuk kesengajaan yang ditinjau dari sudut berat
ringannya, yang terdiri dari :
- Kesengajaan berat (culpa lata). Kesengajaan berat dalam bahasa
belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli
menyatakan bahwa kesengajaan berat ini tersimpul dalam ”kejahatan
karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP.
- Kesengajaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte
schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis
kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat
didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.28
Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP di
muat dalam buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan atau
memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai
alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana
dapat menghapuskan perbuatan pidananya sehingga ia tidak perlu
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dalam ketentuan Umum KUHPidana Alasan penghapus pidana ini
dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu
KUHPidana yang terdiri dari pasal 44, pasal 48 sampai dengan pasal 51.29
27 https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/28 Op.Cit. Tri Andrisman. 2009. Hal. 9129 Sedangkan pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah di cabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang N0.3Tahun 1997 ( undang-undang peradilan anak). M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, ( Medan Desember :2008), hlm. 43
18
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
a. Pasal 44 ( pelaku yang sakit/terganggu jiwanya ) pasal 44 KUHPidana
berbunyi :
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit
berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit
gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.
3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi
mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
b. Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
terpaksa) berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu
kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan, tidak boleh di hukum.”
c. Pasal 49 ayat 1 KUHPidana (perbuatan yang di lakukan untuk mebela
diri) berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya
untuk memeprtahankan dirinya, atau diri orang lain,
mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau
kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan
mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.”
d. Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan)
yang berbunyi :
“Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang-undang tidak boleh di hukum.”
e. Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah)
yang berbunyi :
19
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di
hukum.”
f. Pasal 51 ayat (2) (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap
syah) berbunyi :
“Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak
membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya
atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di
berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan
perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah
tadi.”
2.6 Subyek Pertanggungjawaban Pidana
Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana, karena
berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan
mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu
sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku
tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.
Menurut Ey. Kanter dan SR. Sianturi30, yang dianggap sebagai subyek Tindak
Pidana adalah manusia (natuurlijke-persoonen), sedangkan hewan dan badan-
badan hukum (rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya
manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara
lain dari :
a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah:
barangsiapa, warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan
lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada
yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, ditemukan
dasarnya dari pasal-pasal: 2 sampai dengan 9 KUHP. Untuk istilah
barangsiapa, dalam pasal-pasal : 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah
„’een ieder’‟ (dengan terjemahan „‟ setiap orang „‟).
30 Op.Cit. E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. hlm. 253
20
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur,
terutama dalam pasal: 44, 45, 49 KUHP, yang antara lain
mengisyaratkan sebagai geestelijke vermogens dari petindak.
c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP,
terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang mengerti
nilai uang.
Perkembangan hukum pidana selanjutnya memang bukan hanya manusia saja
yang dianggap sebagai subyek. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai
subjek tindak pidana, adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan,
perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan
peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusia
yang merasakan/menderita pemidanaan itu.31
Lalu siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku
tindak pidana? Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa:
Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta
melakukan perbuatan.
2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan seseuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesetan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) KUHP di atas
mengategorikan pelaku tindak Pidana sebagai orang yang melakukan sendiri suatu
tindak tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk
melakukan tindak pidana
Daftar Pustaka
31 Ibid. hlm. 222.
21
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Ramadja Karya, 1986)
Widjoyo Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama Bandung, 2003)
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perpektif Kajian
Perbandingan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakrie, 2005)
Mesdiana Purba SH, MH Dan Nelvitia Purba SH. M.Hum., September 2013,
Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijk) di dalam Prespektif Hukum
Pidana dan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) di dalam
Perspektif Hukum Perdata, Volume: 14 No. 1.
RB. Budi Prastowo, Juli 2006, Delik Formiil atau Materiil Sifat Melawan Hukum
Formiil atau Materiil dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Tundak Pidana
Korupsi Kajian Teori Hukum Pidana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Perkara No. 003/PUU-04/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 24 No. 03.
Ninil Eva Yustina SH. M.Hum. Februari 2009, Perbuatan Melawan Hukum
Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada
Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
22