Upload
ekho109
View
689
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
DAFTAR ISI
PELAKSANAAN UU KORUPSI DAN LEX SPECIALIS
Andi Hamzah 4
PARPOL JANGAN TERBELAH (CATATAN AKHIR TAHUN
DEMOKRASI)
Marwan Mas 8
11 TAHUN KPK
Emerson Yuntho 11
MENGHUKUM MATI KORUPTOR? (REFLEKSI DAN TITIK BALIK
HUKUM 2014)
Mardiansyah SP 14
FORMAT BARU RELASI ISLAM DAN PANCASILA
Ma’mun Murod Al-Barbasy 17
REFLEKSI PEMERINTAHAN JOKOWI-JK
Idil Akbar 21
SEGERAKAN UU PEMILU 2019
Moh Mahfud MD 24
FAKSIONALISASI PARTAI DAN OLIGARKI ELITE
Wasisto Raharjo Jati 27 CATATAN TAHUN 2014 DAN HARAPAN 2015
Bambang Soesatyo 30
MENEGAKKAN KONSTITUSIONALISME
Janedjri M Gaffar 34
MENGHIDUPKAN DEMOKRASI DEMOKRAT
Gede Pasek Suardika 37
KONTROVERSI IZIN TERBANG QZ8501
W Riawan Tjandra 40
2015, BAGAIMANA NASIB PEMERINTAHAN JOKOWI?
Bawono Kumoro 43 KEHARUSAN SELEKSI HAKIM MK
Moh Mahfud MD 46
RELASI MEDIA & TERORISME
Ahmad Khoirul Umam 49
2
KPK MENANTANG PRESIDEN!
Tjipta Lesmana 52
KASUS BG VERSUS KPK
Romli Atmasasmita 56 PENEGAKAN HUKUM BELUM MENUNJUKKAN SINYAL
PERUBAHAN Frans H Winarta 59
SILANG SENGKARUT TATA KELOLA DESA
Caswiyono Rusydie CW 62
AWAN POLITIK CUMULONIMBUS
Komaruddin Hidayat 66 KASUS BG: PERSILANGAN HUKUM PIDANA & TATA NEGARA
Gede Pasek Suardika 68
KURSI PANAS KAPOLRI
Marwan Mas 71
MORAL DI ATAS HUKUM
Moh Mahfud MD 74
PERSETUJUAN PERPPU PILKADA
Saldi Isra 77
KONTROVERSI EKSEKUSI MATI
Amzulian Rifai 80 EFEK JERA DAN DARURAT NARKOBA
Bambang Soesatyo 84
INDONESIA MOVE ON
Achmad M Akung 87
HUKUMAN MATI DALAM KONTEKS INTERNASIONAL
Dinna Wisnu 91
PROMOSI YANG ABAIKAN ETIKA
Victor Silaen 94
KASUS BG: ALAT BUKTI DAN TERSANGKA
Romli Atmasasmita 97 TEKNIK MEMILIH ARBITRER TERBAIK
Frans H Winarta 100
KASUS SAMAD DAN MASA DEPAN KPK
3
Moh Mahfud MD 104
MOMENT OF TRUTH BAGI POLRI
Reza Indragiri Amriel 107
PEMERINTAH TAK PERLU KHAWATIR PADA MEDIA MASSA
Hasan Asyari 110
PERHATIAN PADA KASUS BG
Yunus Husein 113 TIMUR TENGAH PASCA-ABDULLAH
Abdul Mu’ti 117
REVOLUSI MENTAL JOKOWI!
Mohammad Nasih 121
KE(TAK)JELASAN SIKAP PRESIDEN
Zainal Arifin Mochtar 124
PELEMAHAN KPK
Amzulian Rifai 128
MEMUDARNYA PESONA BINTANG
Gun Gun Heryanto 131 BUKAN SEKADAR OKNUM
Dinna Wisnu 134
SELAMAT(KAN) JALAN KPK (5)
Saldi Isra 137
SAATNYA PERPPU DAN KOMITE ETIK KPK
Gede Pasek Suardika 141
DEMAGOG
Moch Nurhasim 143
KARTEL POLITIK DAN POSISI JOKOWI
Aditya Perdana 146 DRAMATURGI POLITIK MADU TIGA
Idil Akbar 150
4
Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis Koran SINDO 27 Desember 2014
Kita telah memiliki sosok jaksa agung baru. Kita berharap, jaksa agung yang akarnya berasal
dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat strategi penegakan hukum
yang adil dan fair.
Ketegasan jaksa agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang
kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus-kasus
tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ditafsirkan terlalu luas
sehingga keluar dari teori hukum pidana.
Belakangan ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran
para pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan; dan kerja sama PT
Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penyelenggaraan 3G di
frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga terjadi pemaksaan terhadap korporasi.
Pada kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah layak tetap
menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ataukah selayaknya
menggunakan Undang-Undang lex specialis, mengingat ada payung hukum khusus selain UU
Tipikor. Adalah tugas mulia jaksa agung baru menempatkan kasus apakah layak dengan UU
Tipikor ataukah dengan lex specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan.
Cukup menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus hukum
karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat munculnya dua putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang lama tapi saling bertentangan.
Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama,
kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3
triliun berdasarkan perhitungan BPKP. Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor
282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat
Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai
dengan denda sebesar Rp300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun
yang dibebankan kepada korporasi IM2.
Sedangkan dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli
2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.
Bagaimana penyelesaiannya?
5
Lex Specialis
Perkara ini adalah tentang kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2
dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang-
Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian
apakah perbuatan menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak
perlu izin?
Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi IM2 tetap
melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal 11 ayat (1) jo Pasal 7
UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman pidana hingga maksimum enam
tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah. Itulah merupakan lex specialis.
Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga telah diperkuat oleh
Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor
T684/M.KOMINFO/KU.04.01/11/2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat dan
IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri Kominfo telah
mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan Indar Atmanto tidak
melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi, berarti dia tidak melawan hukum
seandainya pun negara dapat rugi.
Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang Telekomunikasi sebagai
pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan aturan yang bersifat umum (legi
generali). Dengan status lex specialis, artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undang-
undang legi generali.
Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU legi generali
harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar Atmanto telah dijatuhi
pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tidak tepat dalam perkara semacam
IM2 ini menggunakan legi generali.
Layak Bebas
PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti delik tidak terbukti.
Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan
hukum. Kedua, unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh PT
IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat dalam surat dakwaan dan
harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, jika satu bagian inti saja tidak
terbukti, maka putusannya menjadi bebas.
6
Perbuatan melawan hukum artinya beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk
korupsi ialah ”tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan
hukum ini berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting.
Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu, dengan melawan hukum dia memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Hal yang sering terjadi dalam praktik penegakan hukum, sering salah kaprah mengenai Pasal
2 ini. Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah terjadi
korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu telah melawan hukum
dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bahkan United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia menegaskan
bahwa kerugian negara bukan unsur korupsi.
Jadi bagaimana jika negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu tidak
memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar (memperkaya) atau
menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara melawan hukum? Saya ulangi
yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi. Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak
dibuktikan itu semua, maka putusan itu keliru.
Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU Telekomunikasi, barangkali karena tidak
berwenang menyelidiki delik telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah
menghadirkan Menkominfo saat itu. Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak
merugikan negara. Sehingga kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan
internet di Indonesia menggunakan model bisnis yang sama.
Jadi PT IM2 tidak melawan hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti
delik korupsi Pasal 2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena
dakwaan tidak terbukti.
Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua akuntan atau auditor
dapat dipanggil sebagai ahli, tidak mesti BPKP. Namun yang harus dibuktikan lebih dulu
adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan hukum atau bertentangan dengan UU
Telekomunikasi atau tidak, dan berapa jumlah uang yang diperoleh secara melawan hukum?
Upaya mencari keadilan bagi Indar dengan dua putusan saling bertentangan maka ada
langkah peninjauan kembali (PK). Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu
menjatuhkan pidana yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada
kelalaian hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan.
7
Kasus IM2 memang bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan jaksa agung baru
untuk kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali)
dan lex specialis.
PROF DR ANDI HAMZAH SH
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
8
Parpol Jangan Terbelah (Catatan Akhir Tahun Demokrasi)
Koran SINDO
30 Desember 2014
Konflik internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di negeri ini
belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai tersebut adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebetulnya bisa
disebut “partai senior” karena merupakan partai yang sudah eksis sejak Orde
Baru. Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian
kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok.
Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau
tidak mendukung pemerintahan baru. Dua kelompok elite parpol saling mengklaim
kebenarannya sendiri untuk memperebutkan jabatan ketua umum dengan beragam
kepentingan.
Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP
berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada
kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh
menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.
Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran
koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya
bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang
sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.
Jaga Soliditas
PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy)
bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat
muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar
Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM
dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan
Faridz. Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua
Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta.
Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam
musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan
9
munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi
dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara
musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak
yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32
Ayat 2 UU Parpol).
Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir
jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan
PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya
tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan
pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah
belah kesolidan mereka.
Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung
pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagai
pemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian
kepemimpinan. Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat
bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah.
Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah
dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar
jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan.
Regenerasi dan Kaderisasi
Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan
kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak
tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg)
menjelang pemilu.
Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga
banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan
sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka.
Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi
indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati
Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya
Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
di Partai Demokrat. Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang
karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda.
10
Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya
upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin. Calon
pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang,
serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang
bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang
pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang.
Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai. Apalagi
kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak
sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda
senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan
apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di level kepemimpinan nasional.
Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini, betapa urgennya keterlibatan
tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka
panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda
merupakan sesuatu yang niscaya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
11
11 Tahun KPK Koran SINDO 31 Desember 2014
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 29 Desember 2014 lalu, tepat berusia 11
tahun. Keberadaan lembaga antikorupsi yang berdiri pada akhir tahun 2013 ini telah menjadi
harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama frustrasi atas merebaknya korupsi di
negeri ini.
Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi
institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir
semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga kelompok bisnis. Wilayah
kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK
dan dijebloskan ke penjara.
Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption
Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh
kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh
pengadilan. Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai
ke pengadilan.
Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik
korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu
Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali. KPK juga telah memproses kasus
korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo; dan Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara
Rp249 triliun berhasil diselamatkan.
Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan, antara lain dengan
sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku
korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang,
menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik
untuk pelaku korupsi.
***
Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang
sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga
memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir
12
mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi. Meski berstatus
tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan.
Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan
berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah
lebih dari tiga tahun belum juga ditahan.
Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak
perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK. Artinya, meski sudah
ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan
ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah
dilakukan penyidikan.
Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan” ini misalnya saja dalam perkara suap
pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat. KPK
sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunun Nurbaeti)
serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa
bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut.
Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap
penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai
dibentuk sejak KPK dipimpin Antasari Azhar. Meski KPK telah meminta keterangan
sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih
tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan.
KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal,
yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan
atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara,
dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi.
***
Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu
terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan
para pendukungnya. Massifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan
istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back). Beberapa pelemahan yang
menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review) UU KPK ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedikitnya tujuh uji materi UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK.
Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya
mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang.
Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara
13
pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah.
Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR
meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya revisi UU KPK, RUU
KUHP, dan RUU KUHAP.
Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan
diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK
tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya
pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak
pihak termasuk dari rakyat dan media.
Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan
memperbaiki kekurangan yang ada. Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala
upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga
harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi
dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian. Langkah
pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
pemberantasan korupsi.
Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya
pembajakan dan pelemahan KPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon
pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti
RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu
terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada
upaya pelemahan terhadap KPK.
EMERSON YUNTHO
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
14
Menghukum Mati Koruptor? (Refleksi dan Titik Balik Hukum 2015)
Koran SINDO
1 Januari 2015
Ungkapan China yang mengatakan hanya ada dua tempat yang tidak mengenal suap, yaitu
neraka dan Hakim Bao, boleh jadi benar adanya. Indonesia misalnya, sejak reformasi
digulirkan 1998 sampai kini memasuki usia yang ke-16 ternyata masih belum lepas dari
gurita suap, kolusi, nepotisme, dan korupsi.
Perihal korupsi oleh para koruptor sesungguhnya dipicu oleh adanya kekuasaan dengan
kewenangan diskretif yang tak terkontrol disertai dengan lemahnya pengawasan, atau lazim
kita kenal dengan power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.
Akhir-akhir ini, berbagai pendapat dan ulasan pemikiran makin marak menyoroti penerapan
hukuman mati bagi koruptor di Indonesia bahkan langsung merujuk pada penerapan
hukuman mati seperti di China. Kita ketahui bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa China
memang banyak diwarnai dengan penerapan hukum dan aturan yang silih berganti dalam
setiap dinasti.
Menurut Ivan Taniputera dalam History of China (2009) dikenal adanya reformasi
pemerintahan Dinasti Qin yang dicetuskan oleh Shang Yang. Sebagai penganut legalisme,
Shang Yang menerapkan hukum dengan tegas sebagai landasan pembangunan negara tanpa
pandang bulu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Lebih jauh, penerapan hukuman
yang tegas sampai pada hukuman mati juga bisa dipelajari pada masa Dinasti Song (Hakim
Bao Zheng).
Namun, apa sesungguhnya yang bisa kita petik dari kisah hukuman mati dalam sejarah China
tersebut? Ada dua hal penting yang perlu disadari dan dipahami kita di Indonesia bahwasanya
hukuman mati tersebut bisa berlaku dan berjalan efektif karena adanya dua hal, yaitu: (1)
kepastian hukum yang diterapkan adil bagi siapa saja; (2) sosok pemimpin dan
kepemimpinannya yang menakhodai penegakan hukum tersebut. Ketegasan hukum Shang
Yang maupun Bao Zheng tidak lepas dari kuatnya sosok penegak hukum yang inheren dalam
setiap proses kepemimpinan mengambil keputusan, baik dalam memberikan hukuman
maupun imbalan/penghargaan (reward and punishment).
Kalau demikian alur pikir yang kita gunakan, lalu bagaimana seyogianya proses
penghukuman bagi koruptor di Indonesia? Sampai pada menghukum matikah?
Efek Jera Hukuman
15
Perilaku koruptif yang telah membudaya di Indonesia tidak lain disebabkan oleh hilangnya
efek jera yang semestinya ditimbulkan dari proses menghukum. Teori deterrence (efek jera)
sebagai doktrin sistem peradilan pidana di Indonesia menjelaskan tiga hal yang menyebabkan
suatu hukuman memiliki efek jera: Pertama, kesegeraan suatu tindakan (salarity); kedua,
specific deterrence yang menegaskan kepastian suatu perbuatan (certainty); dan ketiga,
pembebanan (severaty) yang memberikan hukuman secara adil sesuai dengan perbuatannya.
Demikian halnya hukuman mati bagi koruptor, setidaknya dapat memenuhi tiga unsur di atas
sehingga proses menghukum dimaknai sebagai rangkaian tindakan dari awal sampai akhir
(keseluruhan proses prosedural dan substansial) yang dapat menimbulkan efek jera.
Indonesia bersama 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati (menurut
Amnesty International and hands off Cain, 2007) perlu mengkaji lebih dalam tentang
penerapan hukuman mati untuk para koruptor. Pasalnya, sepanjang permasalahan utama
kepastian hukum belum mampu diwujudkan, menghukum mati seseorang hanya akan
ditafsirkan sebagai tindakan kejam tidak manusiawi yang belum memberikan dampak jera
bagi orang lain dan masyarakat.
Belum lagi, untuk memahami hukuman seharusnya diletakkan pada kerangka utuh rangkaian
proses baik secara prosedural maupun substansial. Bukan semata seseorang diproses, lalu
berakhir dengan target dijatuhi hukuman, tapi juga proses-proses substansial yang
menyertainya seperti sanksi moral dan sosial dari lingkungan masyarakat. Pemahaman
“menghukum” secara utuh inilah yang patut dikembangkan dan dimaknai oleh publik
sehingga proses dihukum akan memberi efek pembelajaran bagi yang menjalaninya sekaligus
menimbulkan efek jera bagi orang lain (general deterrence).
Jadi makin jelaslah, kejeraan suatu hukuman akan sangat tergantung dari tingkat kepastian
hukum yang mampu diwujudkan. Tanpa kepastian, mustahil hukuman apa pun yang
diberikan (termasuk hukuman mati) akan membawa efek jera.
Kepemimpinan Menghukum Mati
Diskursus penanggulangan korupsi melalui salah satunya penerapan hukuman mati tidaklah
semudah yang diwacanakan dapat terealisasi. Dari segi aturan Undang-Undang No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Korupsi, para koruptor dimungkinkan dikenai ancaman pidana
hukuman mati. Namun, dalam implementasinya tidak bisa serta-merta digunakan karena
masih menyisakan perdebatan panjang yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan, alangkah baiknya
perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang lebih konstruktif, yakni akar permasalahan
perilaku korupsi itu sendiri. Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi
diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati? Mengapa masyarakat sangat
membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah dihukum mati?
16
Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera. Tetapi lebih dari itu, yang
dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati para koruptor adalah salah satu
bentuk “pelarian” masyarakat (way out for the hope) yang telah jengah, jenuh dan letih atas
potret penegakan hukum kita di Indonesia.
Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum mati koruptor akan lahir
setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut penegakan hukum yang penuh dengan
ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam konteks memformulasikan harapan publik tersebut,
kepemimpinan mewujudkan kepastian hukum menjadi kuncinya.
Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya kepastian hukum yang
lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di tingkatan legislatif,
kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong kepastian hukum amat menentukan
pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan hukuman mati. Di bagian lain pada tataran
eksekutif, kepemimpinan pemerintah dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting
dalam menjamin kepastian hukum agar dapat menjawab “kegundahan” masyarakat yang
sudah apatis terhadap upaya dan proses penegakan hukum selama ini.
Lantas, kalau boleh berandai-andai Indonesia masa depan di kala kepastian hukum sudah
mampu ditegakkan, masih perlukah hukuman mati untuk sang koruptor? Mari kita renungi
bersama.
MARDIANSYAH SP
Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI) Jakarta dan Kader Partai Perindo
17
Format Baru Relasi Islam dan Pancasila Koran SINDO 2 Januari 2015
Tanggal 22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei melibatkan 100
responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI
1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%.
Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview)
dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII,
HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28%
lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.
Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila;
memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama;
memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan
Pancasila; serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman
dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan
penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.
Hasil Survei
Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi
negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini
menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang
ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakan
tersebut tetap minoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat.
Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang
menyatakan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%.
Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan
fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat
Indonesia.
Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan
terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden
rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%. Pandangan ini
menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang
Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi.
18
Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu
sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju
jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormas-ormas Islam. Hanya 10% yang
tidak setuju.
Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden
juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu
sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran
besar Islam dalam kehidupan bernegara.
Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran
normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai
mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski
sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secara politik.
Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut
sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai
di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaan-kerajaan Islam yang
pernah hadir di Indonesia.
Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua muslim, 51% responden
menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait
dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam.
Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju
penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.
Format Baru Relasi
Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila
sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat
ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh
1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya
begitu kuat.
Hal ini terlihat saat sidang-sidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia
Sembilan, dan Konstituante; maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis,
seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi
secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan,
dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu,
aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama
seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al-Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal
terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad. Semua nilai-nilai itu sangat Islami.
19
Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilai-nilai agama harus
dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok.
Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila,
nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.
Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi
tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan
berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan
rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi
terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).
Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa
Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam
itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam
dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam
dengan Pancasila. Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk
bumi”.
Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus
dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi
Islam dan Pancasila.
Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukkan perannya masing-
masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang-
sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu
kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum
nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ini lahir akibat
tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya
tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan.
Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara
Islam dan pendirian khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam
sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta
terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan
hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika
menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.
Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan,
kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini
bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945,
tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan
umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.
20
Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan
sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya,
sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya
dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya. Perda-perda
syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok,
melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka tunggal ika-an.
Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila
diharapkan bisa diakhiri. Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan
sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang
mubazir. Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-
persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
21
Refleksi Pemerintahan Jokowi-JK Koran SINDO 2 Januari 2015
Dua bulan lebih sudah sejak dilantik 20 Oktober lalu, Jokowi-JK memimpin Indonesia.
Untuk bisa menyimpulkan apakah pemerintahan saat ini berhasil atau tidak masihlah terlalu
dini. Usia pemerintah yang masih seumur jagung tentu belumlah bisa dinilai hasil
pemerintahannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, dalam waktu yang masih
minim tersebut, perencanaan dan proses di dalam menjalankan pemerintahan serta inisiasi
dari kebijakan yang telah pula diimplementasikan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintahan Jokowi-JK memberi kesan positif terhadap usaha
memenuhi harapan rakyat akan Indonesia yang lebih baik? Harapan rakyat Indonesia
terhadap pemerintahan Jokowi-JK tidaklah berlebihan. Setidaknya, hal itu yang sering
tercitrakan bahwa Jokowi-JK diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Lalu, apakah Jokowi-JK mampu memenuhi harapan tersebut, itu yang perlu dibuktikan
selama lima tahun ke depan. Kebijakan strategis dalam menyelesaikan persoalan negara akan
ditunggu dan dinilai oleh rakyat. Maka itu pula, setiap keputusannya akan memberi indikator
penting bagi keberlangsungan pemerintahan ke mana akan diarahkan.
Ke mana pemerintahan ini diarahkan mungkin menjadi kata kuncinya. Hal ini sekaligus
merefleksikan apa saja usaha yang dilakukan Jokowi-JK dalam membawa pemerintahannya.
Lebih jauh, perencanaan strategis juga perlu mendapat sorotan penting. Sebab, pada akhirnya
Jokowi-JK harus menjatuhkan keputusan pada pilihan kebijakan, melanjutkan perencanaan
sehingga menjadi sebuah kebijakan atau tidak.
Perlu dipahami bahwa penilaian terkait rencana kebijakan merupakan bagian penting dan tak
dapat dilepaskan dari penilaian terhadap kebijakan itu sendiri. Memang kadar penilaian ini
tak lebih tinggi dari halnya kebijakan yang telah diimplementasikan.
Beberapa Refleksi Strategis
Membangun tradisi politik yang sama sekali baru bukanlah hal mudah. Perlu komitmen dan
juga ketegasan mutlak agar proses politik yang dilakukan lebih karena dorongan
kebijaksanaan personal dan bukan atas intervensi dan problem jasa politik. Setidaknya itu
refleksi pertama yang diperoleh dari kabinet yang disusun Jokowi-JK, yang semula terlihat
cukup confidence untuk menyusun kabinet ramping, tetapi tidak dilakukan.
22
Beruntung, kabinet didominasi sebagian besar kalangan profesional. Namun, bukan berarti
menteri profesional tak lepas dari kesan politis. Selain di antaranya disorot karena persoalan
track record kepemimpinan dalam kementerian di masa lalu, terakhir pengangkatan orang
parpol menjadi Jaksa Agung menyiratkan kuatnya pengaruh parpol atau tokoh politik tertentu
dalam penyusunan SDM di kabinet.
Refleksi kedua yang sangat menyita perhatian publik Indonesia adalah terkait kenaikan harga
BBM bersubsidi. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi memang cenderung lazim
diambil oleh setiap rezim. Bahkan di era pemerintahan SBY, Presiden telah menaikkan harga
BBM hingga 4 kali selama 10 tahun periode kepemimpinannya. Namun, di era Jokowi-JK,
menaikkan harga BBM menjadi tak lebih sesederhana dari sebelumnya.
Sebab pada saat yang sama, kebijakan menaikkan harga BBM kontradiktif dengan harga
minyak dunia yang justru turun dan semakin turun hingga berada di titik terendah dalam 10
tahun terakhir. Kontradiksi ini menjadi sumber pertanyaan, di mana relevansi perlunya
menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun? Memang akhirnya per 1 Januari
2015 pemerintahan Jokowi-JK menurunkan harga premium menjadi Rp7.600.
Refleksi ketiga terkait dengan beberapa rencana strategis Pemerintah yang juga sudah mulai
menyedot perhatian publik, di antaranya rencana kenaikan TDL. Kenaikan TDL yang
menurut klaim pemerintah sebagai dampak dari naiknya kurs dolar menjadi implikasi
kebijakan yang di masyarakat suka ataupun tidak harus diterima.
Tak berhenti di sini, dampak kenaikan TDL biasanya akan pula menimbulkan ekses lain
berupa kenaikan pada kebutuhan pokok masyarakat, kelesuan sektor industri dan bahkan tak
menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya pengurangan pekerja pada sektor riil.
Problem seperti ini dipastikan akan membuat kebijakan yang dilematis bagi Pemerintah.
Meski, sangat kecil kemungkinan untuk tidak jadi dilaksanakan.
Menuntut Komitmen
Apa yang sudah disampaikan pada saat pencapresan lalu merupakan satu bentuk komitmen
yang harus dilaksanakan. Rakyat Indonesia tentu akan melihat dan menilai sejauh mana
komitmen tersebut mampu diimplementasikan secara riil dan berkontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sebagai pemimpin negara sewajarnya bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapi
bangsa. Karena itu, ketika rakyat menyampaikan pendapat kritis tentu didasarkan pada upaya
menuntut komitmen Jokowi-JK terhadap penuntasan masalah yang dihadapi rakyat.
Selama dua bulan memimpin Indonesia, Jokowi-JK masih terlihat gamang dengan komitmen
yang ada. Indikasinya tampak terlihat, baik dari kebijakan yang sudah diimplementasikan
maupun baru berupa rencana strategis, sudah cukup membuat ketidaknyamanan secara
massif. Tapi sebagai rakyat, masih tersisa harapan dan pemikiran positif bahwa situasi ini
23
hanya terjadi di permulaan dan akan happy ending pada perjalanan hingga pemerintahan ini
berakhir. Semoga!
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute
24
Segerakan UU Pemilu 2019 Koran SINDO 3 Januari 2015
Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik yang
sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi lebih sejuk. Koalisi
Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai titik temu; dan menyadari
kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya akan
merugikan semuanya, terutama rakyat.
Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan
DPR maupun antarkoalisi di DPR. Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya
masing-masing sesuai konstitusi.
Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah
membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg) maupun
pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera diselesaikan agar
cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai politik untuk melakukan berbagai
persiapan.
Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas sistem pemilu
dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali kita mengalaminya,
menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan
serentak.
Tidak dapat disangkal Pileg 2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan
ditengarai penuh kecurangan. Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan
terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg
2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem proporsional
tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja dilakukan dan tidak
perlu dipertentangkan dengan putusan MK. Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu
sebenarnya bukan perintah putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor
10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang
sangat tidak adil.
Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan adalah
lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal 214 huruf a, b, c,
d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak
dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.” Menurut MK ketentuan
ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang
mendapat suara minimal 30% dari BPP.”
25
Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional atau sistem
distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal policy yang bisa dipilih yang
mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan pemerintah.
Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh
legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu diubah lagi
menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu
menjadi hak lembaga legislatif.
Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan sendirinya menuntut
dibuatnya undang-undang baru yang bisa mencakup mekanisme pemilihan dan penetapan
capres/cawapres dan caleg sekaligus.
Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai presidential
threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu memakai threshold sehingga
semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru langsung bisa mengajukan
capres/cawapres.
Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan
threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan sejumlah
minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh mengajukan
capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai
kursi di DPR RI sekarang.
Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam
dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai
parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014 langsung boleh
mengajukan capres/cawapres.
Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil Pileg
2014 sehingga capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang
sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif masih terbuka untuk
diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif.
Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015
dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian, jika ada
pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan
diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan
dengan undang-undang yang sudah jelas. Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai
menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-
tahapan pemilu sudah dimulai.
26
Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk mengatasi
kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan politik
jangka pendek. Jika undang-undang bisa diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan
dan manuver politik tidak akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
27
Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite Koran SINDO 3 Januari 2015
Membincangkan eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas
dari adanya faksionalisasi partai. Adanya segregasi maupun fragmentasi antarelite internal
partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di Indonesia.
Perpecahan antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian
menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin oleh Agung
Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya faksionalisasi dalam tubuh
partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena konfliktual dalam partai itu, adanya
kepentingan tertanam (vested intered) antarelite partai itu yang sifatnya laten.
Tercatat sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu,
kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi elite partai induk.
Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan Masyumi. PDI yang
menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK, maupun PDI
Perjuangan. Golkar yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan
Gerindra.
Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik lainnya terlahir dari
basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak berlangsung lama. Daya survivalitasnya
dalam dunia politik tidak memiliki akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti
halnya partai yang terlahir dari proses faksionalisasi.
Adalah suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk persaingan antara
oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi. Tipologi oligarki yang
berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara oligarki penguasa (warring
oligarchy) dengan oligarki menengah (middle oligarchy).
Dalam hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah
kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk bisa
ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan arena jejaring
dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan personal.
Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi dalam upaya merebut posisi ketua
umum. Posisi tersebut menjadi teramat penting dalam upaya mempertahankan maupun juga
menambah sumber daya ekonomi-politik.
Secara umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap
28
pembilahan, yakni mutually excluded maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012).
Dalam pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian
menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih berupaya
untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh sama.
Pola transaksional maupun bargaining politic menjadi alat ukur dalam menjembatani
hubungan impersonal antara kelompok kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian
menciptakan koalisi oligarki kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi
dalam tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki kepentingan
berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis vote seeking, partai
berbasis office seeking, atau sebagai partai berbasis policy seeking. Ketiga varian orientasi
inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu terus berlangsung secara simultan
dan inheren.
Pemahaman kedua, faksionalisasi sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam
tubuh partai yang sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada
pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian mengidentifikasikan
dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan kelompok elite dalam tubuh
partai itu sendiri.
Dalam tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan
partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi disorganisasi
dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit kemudian masih tetap terjaga.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya
baik sebagai fungsi mentoring, koordinatif, maupun fungsi supervisi politik.
Faktor figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan
faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu, simbol
pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun ketika berhadapan
dengan kelompok lain.
Maka melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan serta memiliki
akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan sekarang ini adalah era
kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya meneguhkan premis dan asumsi bahwa
faksionalisasi partai tidak lebih dari usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai
saja.
Jika demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip hukum
besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru menghamba kuasa
daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang menunjukkan gejala ke arah sana
bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar usaha mempertahankan dan menambah
keuntungan pribadi dan kelompok daripada mengartikulasikan kepentingan publik secara
utuh.
29
Faksionalisasi partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika
organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian menghasilkan
arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali
memperkuat relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput
daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara mempertahankannya.
Berbicara mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk
kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking), tetapi lebih pada bentuk fragmentasi
ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk. Hal inilah yang membedakan antara
kasus faksionalisasi di negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang
mencari kuasa.
Kasus pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti yang
terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories di Inggris lebih
karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih satu partai. Adapun dalam kasus
negara berkembang seperti halnya Partai Kongres India dengan pecahannya Bharatiya Janata
Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian berkembang dalam bentuk
identitas politik lainnya.
Maka apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan oligarki itu pada
dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk fragmentasi
identitas politik. Pertarungan antarberbagai identitas inilah yang kemudian akan mengerucut
pada munculnya partai baru dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen”
dalam partai induk.
Pada akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga kemudian
menimbulkan faksi-faksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ tunggal yang satu
kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai kontestasi antarelite yang saling
mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam berbagai intrik politik tertentu.
Faksionalisasi adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product
dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan
kepentingan organisasi.
WASISTO RAHARJO JATI
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
30
Catatan Tahun 2014 dan Harapan 2015 Koran SINDO 5 Januari 2015
Presiden Joko Widodo telah menetapkan sejumlah program dan target pembangunan tahun
2015 yang terdengar merdu dan ambisius.
Pertanyaannya, mungkinkah realisasi program-program itu bisa berjalan mulus kalau
pemerintah terus memainkan lakon harmoni semu dengan DPR? Tahun 2015 belum tentu
produktif karena suhu politik diperkirakan lebih panas.
Tahun politik 2014 memang telah berakhir. Karenanya, semua komponen masyarakat
Indonesia seharusnya mulai fokus membangun diri, komunitas dan
lingkungannya. Sayangnya, tahun politik 2014 belum bisa dikatakan telah berakhir. Tahun
politik itu ternyata menyisakan masalah. Penanda utamanya adalah belum harmonisnya
hubungan eksekutif- legislatif. Kalau ada klaim bahwa hubungan pemerintah-DPR baik-baik
saja, itu klaim tentang harmoni yang semu.
Siapa saja pasti masih ingat dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang
larangan sementara bagi para menteri untuk menghadiri undangan rapat kerja dengan DPR.
Kiranya, esensi larangan itu sudah sangat memperjelas sikap dasar pemerintah yang belum
mau membangun sinergi dengan DPR. Padahal, sinergi pemerintah-DPR merupakan sebuah
keniscayaan. Tak boleh diingkari demi alasan apa pun.
Menjadi dosa konstitusional jika pemerintah-DPR tidak bersinergi. Pihak yang menolak
bersinergi akan langsung didakwa dengan tuduhan melanggar konstitusi. Hingga akhir 2014,
semua pihak bisa melihat bahwa sinergi pemerintah-DPR belum tulus. Hubungan kedua
lembaga tinggi negara ini masih diwarnai saling curiga. Bahkan, saling percaya belum
terbangun sama sekali.
Kendati mendapat dukungan solid Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Presiden Jokowi terkesan
belum merasa aman jika mayoritas kekuatan di DPR digenggam Koalisi Merah Putih (KMP)
yang mengambil posisi sebagai mitra kritis. KMP bahkan dituding akan menjegal
pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Rasa tidak aman yang menyelimuti Presiden itu tercermin dari sikap dan keputusan
pemerintah terhadap kisruh Partai Golkar, dan juga PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Cara atau strategi pemerintah membiarkan kedua partai politik ini terperangkap dalam
kepengurusan ganda memperlihatkan betapa pemerintah sangat berkepentingan untuk
menggoyahkan soliditas KMP.
31
Ketelanjangan interes itu sudah tak bisa lagi ditutup-tutupi oleh apa pun. Gerilya politik para
pendukung Jokowi dilanjutkan pascapelantikan presiden. PPP kisruh dan terbelah, begitu pun
Partai Golkar. Sebagian elemen kekuatan di dua partai ini ingin bergabung dalam koalisi
parpol pendukung Jokowi, sementara elemen kekuatan lainnya bertahan untuk menjadi mitra
yang kritis.
Memang, di permukaan, yang tampak adalah perebutan kepemimpinan partai. Tetapi,
sesungguhnya, kisruh di tubuh dua partai ini terjadi karena kerja kotor oknum penguasa yang
memecah belah kesolidan partai dengan kekuasaan dan iming- iming jabatan. Bagaimana
pemerintah menunggangi kisruh PPP dan Golkar bahkan ditunjukan dengan terang-terangan.
Dalam kasus Partai Golkar misalnya, kecenderungan pemerintah untuk memihak pada salah
satu kubu dinyatakan secara terbuka dengan pernyataan resmi. Sudah barang tentu, perilaku
tidak etis yang dipertontonkan pemerintah itu bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru
mengeskalasi persoalan.
Stagnasi Pemerintahan
Sebesar apakah persoalan itu tereskalasi akan dilihat publik setidaknya sepanjang paruh
pertama 2015. Artinya, bisa dipastikan bahwa sikap saling curiga antara pemerintah dan DPR
akan berlanjut di tahun 2015. Rumitnya PPP dan Golkar menyelesaikan masalah internal
mereka akan memberi dampak signifikan terhadap DPR dan dampak signifikan itu belum
tentu bersifat positif. Bisa saja yang muncul lebih banyak dampak negatifnya.
Bukan tidak mungkin DPR akan terbelah lagi sebagai akibat dari penyelesaian akhir kisruh
PPP dan Golkar yang tidak memuaskan semua elemen di tubuh dua partai itu serta anggota
KMP lainnya. Jadi, kalau sebelumnya KIH bermanuver membelah DPR, giliran KMP dan
elemen-elemen lain di tubuh PPP dan Golkar yang akan bermanuver membelah DPR. Kalau
perkiraan ini menjadi kenyataan, pemerintahan Jokowi-JK juga akan terkena dampak
negatifnya. Mungkin, Jokowi akan menerbitkan lagi surat berisi instruksi melarang para
menteri menghadiri rapat kerja dengan DPR. Jadi, bukan hanya suhu politik yang berpotensi
makin panas, tetapi persoalan pun menjadi semakin rumit dan berlarut-larut.
Dalam suasana serbatidak kondusif seperti itu, mungkinkah APBN-P 2015 yang akan
diajukan pemerintah akan dibahas dan disetujui DPR tepat pada waktunya? Patut diragukan.
Kalau persetujuan APBN-P 2015 tertunda, pemerintahan Jokowi-JK bisa mengalami
stagnasi. Karena itu, 2015 belum tentu lebih baik dari tahun 2014. Bisa dipastikan bahwa
harmoni semu yang coba dilakoni Presiden Jokowi saat ini pada gilirannya akan
memengaruhi pencapaian target-target presiden.
Seperti diketahui, untuk 2015, pemerintah benar-benar fokus pada sektor infrastruktur. Sudah
dipastikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat, Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Perhubungan akan berupaya merealisasi program-program besar
32
nan strategis. Dalam mempersiapkan APBN- 2015, pemerintah lebih terfokus pada kerja-
kerja besar di tiga kementerian itu.
Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah berencana membangun jaringan kereta api
(KA) trans-Sumatera, trans-Kalimantan, dan trans-Sulawesi. Di tiga pulau besar ini,
pembangunannya direalisasi sekitar Februari atau Maret 2015. Untuk jaringan KA trans-
Papua, studi kelayakan sedang dibuat dan pembangunannya diharapkan bisa dimulai pada
paruh kedua 2015.
Selain rel KA dan ruas jalan tol, pemerintahan Jokowi juga berambisi merealisasi
pembangunan infrastruktur energi pada 2015. Di antaranya pembangkit listrik, kilang
minyak, dan jaringan pipa gas di sejumlah kota. Pembangunan infrastruktur di sektor maritim
pun mulai direalisasi. Hal itu ditandai dengan pembangunan dan pengembangan puluhan
pelabuhan untuk menopang program tol laut.
Untuk mewujudkan target swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang, akan dibangun
49 waduk dalam lima tahun. Untuk 2015, sebanyak 13 waduk akan dimulai pembangunannya
dengan anggaran sekitar Rp9 triliun. Kemampuan desa membangun pun dieskalasi.
Anggarannya dialokasikan Rp20 triliun dari sebelumnya Rp11 triliun. Per desa diproyeksikan
menerima sekitar Rp750 juta pada 2015, sementara alokasi anggaran untuk perlindungan
sosial mencapai Rp50 triliun.
Untuk membiayai program-program besar dan strategis itu, sebagian anggaran berasal dari
program pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Berkat turunnya harga
minyak dan menaikkan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal pemerintah bertambah sekitar
Rp230 triliun. Kalau semua target program tahun 2015 berjalan mulus, target pertumbuhan
ekonomi 7% dalam tiga tahun ke depan bisa diwujudkan.
Jokowi boleh punya ambisi dan rencana. Tapi konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah
tidak boleh jalan sendiri. Untuk membiayai ambisi dan rencananya, pemerintah butuh
persetujuan DPR. Maka mulus atau tidak mulusnya realisasi program-program pembangunan
itu sangat bergantung pada setinggi apakah derajat harmoni pemerintah dan DPR. Untuk itu
kita perlu mengingatkan agar ambisi tersebut tidak kandas di tengah jalan.
Pertama, sangat urgen bagi Jokowi untuk menunjukkan respek kepada DPR. Kedua, jangan
usil mencampuri masalah internal partai politik. Ketiga, batasi segala bentuk politik balas
budi kepada para bandar atau sponsor dan para pendukung saat pilpres yang dapat merugikan
rakyat. Keempat, kendati telah beberapa kali ingkar janji seperti janji koalisi dan kabinet
ramping, menteri dan jaksa agung non-parpol, kali ini kita berharap Jokowi menepati janjinya
untuk tidak merebut jabatan ketua umum PDIP pada Kongres PDIP mendatang.
Kelima, hentikan segala bentuk intervensi dan campur tangan ke partai politik lawan. Karena
langkah tersebut bisa menjadi blunder politik yang membahayakan kelangsungan
pemerintahan itu sendiri.
34
Menegakkan Konstitusionalisme Koran SINDO 6 Januari 2015
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban negara-
negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpangkal pada
kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan
terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional.
Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan
politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan dipatuhi
bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi
dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa
Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum.
Tahun 2014 telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan
tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang telah terjadi
akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di
tahun 2015 ini.
Demikian pula halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk
meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai bagian dari
upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia. Bahkan
pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah menunjukkan kematangan
peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan konstitusional.
Tahun 2014 bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama, pada tahun lalu MK
berada pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol untuk
kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun lalu MK harus
menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) sebagai bagian dari
proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan
yang sedang menurun, MK ditantang untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang
menentukan keberlanjutan kehidupan ketatanegaraan.
Berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan
tugas konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil Pemilu 2014
sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1 perkara perselisihan hasil
Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang
sejarah berdirinya MK.
35
Namun catatan yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa
bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai negara demokrasi
dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam, baik dalam pemilu legislatif
maupun dalam pilpres berakhir dengan damai melalui putusan MK yang bersifat final dan
mengikat sebagai amanat konstitusi.
Putusan MK telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan
adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan
melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan
kepatuhan terhadap konstitusi. Kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum
inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
menegakkan konstitusionalisme Indonesia.
Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan
terhadap hukum dan putusan hukum. Tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan
jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan
didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata.
Selain memutus perselisihan hasil pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan
kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian undang-
undang (PUU). Sepanjang 2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140
perkara PUU yang diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak
110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71 perkara
yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU sampai dengan 31
Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara.
Adapun jumlah perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29
perkara (29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas rata-
rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu sebanyak 22%.
Beberapa putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait
pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan penafsiran
persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY, putusan memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan MK, putusan tindak pidana
perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan konstitusi, dan putusan pembatalan
keseluruhan UU Koperasi.
Pelaksanaan putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme
Indonesia di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan
kepatuhan terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan untuk
mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan. Semuanya bergantung dan sekaligus
merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara.
36
Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh setiap lembaga negara akan memperkuat
kematangan peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat
yang menerima dan menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan
pilpres. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional.
Sepanjang keberadaan MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU,
telah dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang
dimiliki. Pada tahun 2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak
termasuk bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya
tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah ditindaklanjuti dengan
adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014. Kedua produk hukum tersebut memberikan kewenangan memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada MA.
Namun ada beberapa putusan yang perlu segera didorong untuk dilaksanakan karena
menentukan bangunan hukum dan ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme
Indonesia. Beberapa putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan
dan mekanisme pembentukan undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden, dan DPD
yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan peninjauan kembali
(PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres
serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang; dan putusan
mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat
administrasi pemerintahan.
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum; Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
37
Menghidupkan Demokrasi Demokrat Koran SINDO 6 Januari 2015
Membangun budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah
mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi dan
prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit melalui tangga biasa.
Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada
lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam
menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul
berbagai penamaan sistem demokrasi. Ada Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila yang
hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi.
Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan
organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan
demokrasi kita hari ini dan di masa depan. Tanggung jawab partai politik dalam membangun
demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di
level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan
demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika
di partai sendiri masih bermasalah.
Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan
publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak
dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan
eksklusifnya untuk terus mendapat privilege. Hal ini berdampak pada menguatnya
antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan
bersama para kader partai politik di Indonesia.
SBY dan Demokrat
Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan
mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang
bintang Mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan
memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.
Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis
yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak
kejayaan PD.
38
Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi
dalam PD pasca-2010. Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul
konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman
normal bermula.
Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah
anugerah bagi partai. Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu
2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga
menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas
SBY.
Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah
bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran
SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai. Namun upaya ini terjegal, bahkan
Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni.
Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian
dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan
berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY
menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke
Pemilu 2014.
Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman
bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat.
Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak
terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di
PD menjelang Kongres 2015.
SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks
sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua
umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.
Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal
mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta
konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam
pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal
menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan. Pada prinsipnya, PD
di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelint ir
kerabatnya.
Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan
DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan
mantan ketua umum Anas Urbaningrum. Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh
memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah
39
Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8
kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan
bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang
rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan
hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.
Ikhtiar Membangun Demokrasi
Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang
untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi
tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang
menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri. Apalagi hanya untuk sekawanan
Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari
keuntungan pribadi di dalam partai.
SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis
cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau
pertaruhkan. Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai
Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan
panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah
Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar.
Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk
memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan
ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum,
tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar, bukan membiarkan saja dagelan
pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut
dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik
rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di
zaman normal.
GEDE PASEK SUARDIKA
Kader Partai Demokrat; Anggota Dewan Perwakilan Daerah
40
Kontroversi Izin Terbang QZ8501 Koran SINDO 7 Januari 2015
Di tengah masih berkabungnya keluarga penumpang dan seluruh rakyat di negeri ini atas
musibah yang dialami pesawat terbang AirAsia Indonesia QZ8501 dengan rute Surabaya-
Singapura yang jatuh di sekitar perairan Karimata/dekat Belitung Timur, aksi saling
melempar tanggung jawab perihal siapa pemberi izin untuk penerbangan pesawat AirAsia
QZ8501 terus berlangsung.
Dalam teori hukum administrasi negara, izin dimaknai oleh Spelt dan Ten Berge (1993)
sebagai “bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan”. Dengan memberikan izin, pemerintah selaku penguasa
memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tertentu yang
sejatinya dilarang.
Masih menurut Ten Berge dan Spelt, izin diperlukan karena aktivitas yang dilakukan
pemohon izin berkaitan dengan perkenan yang diberikan pemerintah atas tindakan yang demi
kepentingan umum mengharuskan dilakukan pengawasan khusus terhadapnya.
Perdebatan mengenai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas aktivitas
penerbangan pesawat nahas AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu pagi, 28 Desember
2014, berkembang paralel dengan pertanyaan publik mengenai peristiwa yang
melatarbelakangi musibah yang menimpa pesawat nahas tersebut meski dugaan sementara
diarahkan pada kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh awan cumulonimbus (awan CB)
yang selama ini banyak dilansir oleh berbagai media massa.
Pihak maskapai AirAsia Indonesia dipersalahkan telah melanggar izin rute penerbangan
periode winter 2014-2015 26 Oktober 2014-26 Maret 2015 yang seharusnya menjadi otoritas
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurut
Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata pada 4 Januari 2015 surat izin terbang dari
Kemenhub hanya diberikan pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu sehingga aktivitas
penerbangan AirAsia pada Minggu dinilai dilakukan menyalahi izin yang telah diberikan.
Namun, Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha mengungkapkan, tak ada
masalah perizinan pada penerbangan AirAsia QZ8501. Untuk rute penerbangan tersebut,
AirAsia telah mengajukan izin rute dan jadwal kepada Indonesia Slot Coordinator (IDSC)
dan di dalam slot sudah diperbolehkan. Rapat IDSC dihadiri oleh Kemenhub selaku
regulator, juga Angkasa Pura I dan AirNav Indonesia.
41
Slot yang diminta telah disesuaikan pula dengan kesediaan bandara internasional tujuan
seperti Australia atau Singapura. Apabila memang tersedia dan tak ada masalah pada jalur
udara, akan diteruskan ke Dirjen Perhubungan Udara untuk mendapatkan persetujuan.
Setelah itu akan dikirimkan ke Air Traffic Controller dan Angkasa Pura I (AP I) untuk
diumumkan.
Namun, menurut General Manager Angkasa Pura I Trikora Harjo, pemberian izin rute
penerbangan bukan merupakan kewenangan AP I. AP I bertugas sebatas pemberian fasilitas
terminal dan tempat parkir pesawat di bandara.
Melalui Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor AU.008/30/6/DRJU. DAU-
2014 tanggal 24 Oktober 2014 perihal Izin Penerbangan Luar Negeri Periode Winter
2014/2015, Plt. Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo membekukan sementara izin
rute penerbangan Indonesia AirAsia Surabaya-Singapura pp terhitung mulai Jumat, 2 Januari
2014. Itu berkaitan dengan penilaian pihak Kemenhub bahwa penerbangan rute Surabaya-
Singapura tersebut melanggar izin. Menurut versi Kemenhub, pembekuan baru akan dicabut
setelah hasil investigasi dan evaluasi terhadap jatuhnya QZ 8501 di Selat Karimata keluar.
Pembekuan rute penerbangan Surabaya-Singapura PT Indonesia AirAsia oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub tersebut tak urung mendapat kritik tajam dari
sejumlah pilot dan mantan pilot maskapai penerbangan di Indonesia. Salah satunya datang
dari mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Capt Sardjono Jhony
Tjitrokusumo. Menurut Jhony, alasan pembekuan rute AirAsia oleh Kemenhub akibat
melayani penerbangan pada Minggu (saat terjadi insiden QZ8501) tidak sesuai dengan jadwal
yang diberikan Kemenhub yaitu Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu terlalu dipaksakan.
Mantan pilot tersebut menilai kalaupun penerbangan yang dilakukan AirAsia tersebut dinilai
oleh pihak Kemenhub sebagai tidak berjadwal, dia yakin bahwa maskapai tersebut pasti telah
menerima flight approval untuk melayani penerbangan tambahan atau extra flight yang
diajukan ke otoritas penerbangan nasional yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan
Udara. Menurut Jhony, extra flight merupakan bagian dari pelayanan angkutan Natal dan
Tahun Baru sehingga tidak perlu mencari-cari kesalahan.
Dia menyayangkan penerbitan kebijakan pembekuan rute tersebut oleh Kemenhub yang
dinilainya sebagai keputusan reaktif. Padahal, Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) belum juga menyelesaikan investigasi atas penyebab kecelakaan nahas yang
menimpa Airbus A320-200 milik AirAsia pada Minggu lalu.
Berkaca pada silang sengkarut kebijakan perizinan penerbangan yang berkembang
pascainsiden jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 tersebut, kiranya itu
memperlihatkandengan kasatmata kelemahan administratif sistem perizinan penerbangan
pesawat. Secara paradigmatik izin telah digeser maknanya sekadar sebagai persyaratan
administratif semata-mata dari hakikat maknanya sebagai instrumen pengawasan dan
pengendalian oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Itu terlihat dari ketidakjelasan
42
rentang kendali dalam kebijakan perizinan penerbangan yang terkesan tersebar pada berbagai
tangan otoritas.
Dalam hukum administrasi negara, sejatinya kewenangan yang berhak memberikan atau
menolak izin adalah yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang secara
langsung. Dalam kasus tersebut, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 kewenangan itu
melekat pada Kemenhub yang mewakili pemerintah dalam melaksanakan “hak menguasai
negara atas penerbangan.” Meskipun suatu kewenangan tersebut dapat dimandatkan kepada
otoritas tertentu sebagai mandataris, pertanggungjawaban eksternal terakhir tetap berpuncak
pada Kemenhub sebagai wakil pemerintah di bidang perhubungan.
Justru dengan kasus yang menimpa AirAsia QZ8501 tersebut, kini saatnya Kemenhub
menata ulang desain rentang kendali perizinan penerbangan melalui standar operasional
prosedur yang jelas sebagai diamanatkan oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Jika polemik seputar otoritas perizinan terus berlanjut, dapat saja pihak keluarga korban
mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi untuk
meneliti keabsahan perizinan tersebut. Ini penting karena itu konon juga terkait upaya hukum
klaim asuransi yang mensyaratkan legalitas penerbangan sebagai syarat untuk mendapat
santunan asuransi bagi para korban pesawat tersebut.
Inilah saatnya menhub berani berbenah dan melakukan bersih-bersih ke dalam agar ke depan
administrasi perizinan tidak justru menjadi kendala dalam sistem keselamatan penerbangan
karena sejumlah keuntungan haram yang dinikmati segelintir oknum yang abai terhadap
implikasinya yang mengamputasi hajat keselamatan orang banyak.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
43
2015, Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi?
Koran SINDO 9 Januari 2015
Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri
sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di
parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko
Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik
pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).
Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan
Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi
pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat
mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat
dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.
Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan
Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan
Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia
Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla
diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di parlemen dalam melakukan lobi
dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur
menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR
awal Oktober lalu.
Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin
mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus.
Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban.
Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik parlemen saat hendak
menggulirkan berbagai rencana kebijakan.
Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
44
(BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di parlemen. Hingga awal
Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak
interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan
kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti. Para anggota DPR penandatangan hak
interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional.
Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi
dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam
memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi
sasaran tembak empuk kelompok oposisi di parlemen. Apalagi pada 2015 akan ada
kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di
parlemen.
Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi
Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR
mendesak untuk segera dituntaskan.
Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam
rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi
dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang
memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi
Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di parlemen terhadap pemerintahan
Jokowi dan Jusuf Kalla, terutama saat hendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti
pengurangan subsidi BBM dan APBN.
Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat
melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa
mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap
Partai Demokrat.
Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janji-janji
politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga
dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres
2004.
Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari
45
kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik
antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
46
Keharusan Seleksi Hakim MK Koran SINDO 10 Januari 2015
Rabu, 7 Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, I Gede
Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden untuk mulai bertugas
sebagai hakim konstitusi. Palguna terpilih menggantikan Hamdan Zoelva sebagai hakim yang
diajukan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai
hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang yang
diajukan (nominated) oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh presiden, tiga
orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diajukan oleh
MA. Harus ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut bukan “mewakili”,
melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga negara tersebut. Semua hakim
konstitusi haruslah independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga negara yang
mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres), hakim MK
tidak bertanggung jawab dan tidak mewakili presiden, sebab keppres hanya bersifat
administratif untuk meresmikan.
Sekarang ada kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan melalui proses seleksi
yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah Pasal 19 UU MK. Ini jauh berbeda
dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada periode pertama, saat pertama kali MK
dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim MK memang lebih bersifat langsung diajukan
oleh tiga lembaga negara, tidak banyak melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang
belum menarik perhatian publik.
Meski begitu, mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal sejarah dan segala
idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode pertama yang tanpa isu dan
intrik politik telah melahirkan figur-figur yang baik dan berintegritas. Di bawah
kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, hakim-hakim MK periode pertama mampu meletakkan
dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi yang kokoh dan disegani.
Namun, sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul aspirasi agar hakim-
hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak rekrutmen hakim MK periode kedua,
masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim yang berlatar belakang partai politik. Ketika
saya mengikuti seleksi sebagai calon hakim MK dari DPR pada tahun 2008, misalnya,
Indonesia Corruption Watch (ICW) mempersoalkan saya karena saya berasal dari parpol.
Tetapi ketika itu saya terus maju karena menurut undang- undang tidak ada syarat calon
47
hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau sudah menjadi hakim MK mereka
bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol. Ketika itu saya bilang, saya tak pernah
terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa menunjukkan, banyak orang yang berlatar belakang
LSM terlibat korupsi.
Hakim-hakim periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan dengan parpol. Sebutlah
Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I Gede Palguna yang duduk di MPR
mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa bekerja dengan baik.
Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakim-hakim MK yang dari Presiden sejak
periode kedua. Untuk pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh Adnan
Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakim-hakim MK berikutnya Presiden SBY
tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung ditetapkan oleh
Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar dari masyarakat.
Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh tiga
menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi siapa pun
tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan partisipatif, melainkan
lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan
Hamdan yang cukup dikritik; ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri
tugasnya.
Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar
tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan langsung
memperkarakannya ke PTUN.
Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses
yang transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK. Palguna tidak
ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada
yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik
adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh Presiden pasti akan
ada yang mengkritik, tetapi siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin
berlebihan.
Kritik bahwa kalau punya latar belakang parpol cenderung korup tentu harus dikritik balik
karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya, lihat saja, orang-orang yang dipenjara
karena korupsi ternyata bukan hanya mereka yang berlatar belakang parpol, melainkan juga
mereka yang datang dari berbagai latar belakang profesi dan organisasi seperti parpol,
birokrasi, perguruan tinggi, pengusaha, bahkan dari LSM.
Seleksi untuk memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan integritas dan kapabilitas,
bukan dengan latar belakang profesi atau organisasinya. Pada masa-masa mendatang
48
pembentukan tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK harus ditradisikan,
bukan hanya oleh Presiden, tetapi juga oleh DPR dan MA.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
49
Relasi Media & Terorisme Koran SINDO 12 Januari 2015
Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di
Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/2015), kembali mengguncang kesadaran
masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global.
Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi
kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia ; serta penembakan massal di
sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban,
termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014.
Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan
sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah
menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak
mengakomodasi kepentingan ekonomi-politik, aspirasi sipil, dan ideologinya.
Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi
majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang
dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan
kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka
terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo.
Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David
Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls
cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam
kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global.
Anomali Relasi Media dan Terorisme
Secara teoritik, ‘terorisme’ merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan
penggunaan terminologi ‘terorisme’ sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang
menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non-
state agent), maupun media itu sendiri.
Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka
antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis
kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara
juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen
50
state-terrorism atau tindak terorisme yang disponsori dan difasilitas oleh negara. Akibat itu,
distorsi dan sensasionalisasi terhadap fakta dan makna terorisme menjadi terbuka.
Dalam konteks ini, peran media dalam kajian kontraterorisme menunjukkan relevansinya. Di
satu sisi media dapat menjadi teman dekat teroris, di sisi lain media dapat menjadi agen
counter terrorism.
Terorisme selama ini diartikan sebagai aksi kekerasan yang digunakan untuk
mengomunikasikan pesan-pesan khusus untuk menarik perhatian publik melalui publikasi
aksi-aksi mereka (Hoffman, 2006). Untuk memperoleh target utamanya, para teroris
membutuhkan media sebagai alat propaganda yang strategis untuk menyampaikan pesan
penting kepada pihak-pihak yang menjadi sasaran utama. Itu umumnya dilakukan dengan
menampikan aksi-aksi kebiadaban hingga menimbulkan tekanan psikologis publik dengan
memainkan rasa cemas, gelisah, dan menebar ketakutan (politics of fear) untuk meningkatkan
posisi tawar dan mencapai sasaran utama aksi terorisme.
Media dan terorisme memang memiliki relasi simbiosis (Nacos, 1999; Wilkinson, 1997).
Menurut Walter B Jaehning (1978), para teroris umumnya memiliki pengetahuan memadai
mengenai timing aksi, medan pergerakan, dinamika audiens, struktur aksi, dan korban yang
disasar dari tindakan mereka untuk mengoptimalkan efek dramatisasi pemberitaan atas
tindakan mereka.
Tanpa pemberitaan media, aksi terorisme tidak akan menemukan entitas makna dan target
kepentingannya. Sebagaimana disampaikan mantan PM Inggris Margaret Thatcher, publisitas
media merupakan “the oxygen of terrorism” atau “the lifeblood of terrorism” (Picard, 1991).
Tetapi, satu hal yang perlu dipahami, pesan kekerasan dalam aksi terorisme memang
membutuhkan korban. Tetapi, target utama dari aksi-aksi terorisme acapkali tidak terkait
langsung dengan korbannya. Prinsip dasar itulah yang didefinisikan oleh Schimd dan de
Graff (1982) sebagai ‘strategi komunikasi kekerasan’ (‘violence communication strategy’).
Persoalan menjadi berubah ketika sebuah aksi terorisme justru menyasar sebuah institusi
media sebagaimana yang menimpa redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris. Media tidak lagi
diposisikan sebagai “mitra komunikator aksi” mereka, tidak pula menjadi “target antara” aksi
kebiadabannya, melainkan menjadi sasaran utama dari aksi terornya.
Kebebasan Bertanggung Jawab
Ketika media diserang, kemungkinan terkuatnya adalah kelompok teroris tersebut memiliki
hubungan konfliktual dengan institusi media tersebut. Adanya dugaan sejumlah kalangan
yang mensinyalir majalah Charlie Hebdo sebagai penerbit yang kontroversial karena sering
mengeksploitasi wilayah-wilayah tabu politik dan keagamaan sebagai bahan tertawaan dan
olok-olokan, telah memperkuat sinyalemen relasi konfliktual tersebut.
51
Terlepas dari mana pun asal kelompok teroris tersebut, yang pasti tragedi terorisme ini
mengajarkan kepada dunia pers kontemporer tentang pentingnya kembali berpijak kepada
prinsip kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom) dalam menjalankan kerja-
kerja jurnalistik.
Prinsip kebebasan berekspresi yang telah mapan dalam tradisi masyarakat Barat yang
cenderung sekuler akan sering mengalami benturan dengan kelompok-kelompok konservatif
yang masih sensitif dan membutuhkan pengakuan sekaligus penghormatan terhadap prinsip-
prinsip dasar keyakinan, agama, ideologi, dan afiliasi politik mereka. Jika itu dilanggar,
menjadi wajar ketika kelompok-kelompok konservatif radikal akan menjadikan institusi
media yang tidak bertanggung jawab sebagai sasaran utama aksi-aksi terorisme mereka untuk
menyampaikan pesan kepada dunia tentang harapan penghormatan terhadap identitas dan
keyakinan mereka.
Media harus memiliki tingkat kecerdasan dan sensitivitas yang lebih baik untuk memilah-
milah setiap materi yang layak dan tidak selayaknya dipublikasikan. Kepentingan modal dan
perebutan pasar acapkali menjadi faktor utama yang mendeligitimasi prinsip-prinsip dasar
jurnalisme. Kepentingan rating, oplah, aliran iklan, dan aspek sensasionalitas institusi media
terbukti di banyak kasus telah menjadi biang keladi penyalahgunaan arti kebebasan pers.
Akibat itu, beragam materi dieksploitasi dalam bingkai drama, tragedi, karikatur, hingga satir
sehingga menabrak wilayah-wilayah privasi masyarakat yang bersifat sensitif.
Kecaman kita dan masyarakat dunia terhadap aksi kebiadaban terorisme di kantor redaksi
Charlie Hebdo, Paris itu semoga juga menjadi pengingat bagi dunia pers internasional,
khususnya komunitas media di Indonesia, untuk senantiasa mawas diri untuk tetap
menjunjung tinggi prinsip kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan kerja-kerja
mulia media dan jurnalisme.
AHMAD KHOIRUL UMAM
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The
University of Queensland, Australia; Research Associate di The Indonesian Institute (TII)
Jakarta
52
KPK Menantang Presiden! Koran SINDO 14 Januari 2015
Ketika menyampaikan nama-nama calon menteri yang diduga ”bermasalah hukum”, Ketua
KPK Abraham Samad bertemu empat mata dengan Presiden Joko Widodo di Istana.
Sengaja Abraham minta pertemuan berlangsung tertutup, karena sifat top secret dari
permasalahan yang hendak dibahasnya dengan Presiden. Namun, di Indonesia mana ada
informasi yang tidak bocor kepada pers, serahasia apa pun informasi tersebut?
Maka bocorlah nama-nama calon menteri yang kabarnya ditandai ‘tinta merah’ atau ‘tinta
kuning’ oleh KPK. Salah satunya, menurut berita yang dilansir luas oleh media massa,
Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, salah satu calon menteri yang disodorkan oleh
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP.
Inisiatif ”screening” nama-nama calon menteri ke KPK dan PPATK kabarnya datang dari
Rini Soemarno. Maka Bu Mega marah besar kepada Rini, juga kesal terhadap Jokowi.
Namun, tindakan Presiden Jokowi minta bantuan KPK dan PPATK sebenarnya konsisten
dengan janjinya yang berulang-ulang dikemukakan dalam kampanye pemilu yang lalu.
Menurut Jokowi, menteri-menterinya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu integritas (bersih,
tidak terlibat korupsi, bermoral baik), ideologi (mendukung ajaran Trisakti Bung Karno), dan
kompetensi (berpengalaman di bidangnya).
***
Sayang, Presiden tidak konsisten dengan ucapan dan sikapnya soal kriteria ”integritas”.
Yunus Husein, mantan Kepala PPATK, jelas-jelas sudah mengatakan kepada publik– lewat
Twitter-nya Minggu 12 Januari yang lalu–bahwa ”calon kapolri sekarang (baca: Komjen
Polisi Budi Gunawan), pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi pada waktu pengecekan info
di PPATK dan KPK yang bersangkutan mendapat rapor merah/tidak lulus.” Apa artinya
mendapat rapor merah?
Salah satu Pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja, waktu itu menjelaskan silakan saja Presiden
mengangkat calon menteri yang sudah ditandai tinta merah oleh KPK. ”Asal mereka nanti
siap-siap berurusan dengan KPK, siap bolak-balik ke KPK!” kata Pandu. Tapi anjing
menggonggong, kafilah berlalu. Presiden ”nekat” mengajukan Budi Gunawan sebagai calon
kapolri ke DPR, bahkan calon tunggal, karena kabarnya Budi diusulkan langsung oleh Bu
Mega.
53
Menurut Presiden, pihaknya sudah menempuh prosedur yang benar. Ia sudah menerima lima
calon usulan dari Kompolnas. Dari ke-5 calon, lalu memilih Budi Gunawan. Ditanya soal
dugaan keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus ”rekening gendut”, Jokowi menjawab:
Presiden kan punya hak prerogatif!
Rupanya pimpinan KPK, terutama Abraham Samad, kecewa dan kesal melihat sikap Presiden
Jokowi. Seolah Presiden menantang KPK. Maka tindakan KPK yang menetapkan Budi
Gunawan sebagai tersangka, menurut hemat saya, tindakan balasan KPK terhadap Presiden.
KPK siap duel melawan Presiden, kira-kira begitu!
***
Presiden memang punya hak prerogatif untuk mengangkat kapolri. Tapi hak itu tidak mutlak.
Pasal 11 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyatakan ”Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan ”Usul pengangkatan
dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat
disertai dengan alasannya.”
Di luar prediksi–dan suatu kejutan–mayoritas fraksi di DPR, ternyata mendukung Budi
Gunawan. Hanya Gerindra dan Demokrat yang tidak mendukung. Golkar, PAN, bahkan PKS
ikut mendukung. Bagi saya, ini fenomena yang mencengangkan. Apakah pasca-2014 sebagai
”tahun panas”, rekonsiliasi akbar sudah tercapai di DPR? Apakah wakil-wakil rakyat di
Dewan sudah tidak memiliki sensitivitas mengenai masalah korupsi?
Kita tidak menuding Budi Gunawan terlibat dalam kasus korupsi. Tidak! Tapi jika Presiden
Jokowi benar-benar bertekad memberantas korupsi sebagaimana yang sering dicanangkan
dalam kampanye-kampanye politiknya, seyogianya ia minta ”clearance” dulu kepada KPK
dan PPATK sebelum mencalonkan Budi Gunawan.
Benar, pada tahun 2010 pimpinan Polri, berdasarkan penyelidikan Bareskrim, menyatakan
penyelidikan kasus ”rekening gendut” sudah tuntas. Dugaan korupsi itu tidak benar, kata
Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kapolri waktu itu. Maka oleh Markas Besar Kepolisian
RI, masalah ”rekening gendut” dinyatakan sudah selesai, the case is closed. Tapi oleh
kalangan LSM, terutama ICW, dan sejumlah media; the case is still on. Mereka menuntut
agar tudingan miring ini benar-benar diselidiki oleh instansi penegak hukum yang
independen. Masak polisi memeriksa anggotanya sendiri. KPK sudah beberapa kali didesak
untuk ”terjun”, tapi sejauh ini KPK tutup mulut.
Sebetulnya KPK tidak diam. KPK, saya yakin, diam-diam melakukan penyelidikan. Cuma,
untuk tidak merepotkan Presiden Jokowi, KPK menahan diri untuk tidak mengomentarinya.
Bahwa KPK diam-diam aktif menyelidiki dugaan ”rekening gendut” sejumlah jenderal polisi,
terbukti, ketika Presiden Jokowi menyodorkan nama-nama calon menteri kepada KPK dan
54
PPATK untuk dilacak ”kebersihannya”. Ternyata ada 10 nama yang diberikan tanda merah
dan kuning oleh KPK sebagaimana dikatakan sendiri oleh Presiden ketika itu. Delapan di
antaranya kemudian dicoret Presiden. Maka batallah mereka jadi menteri.
Ketika bulan lalu saya bertemu dan berdiskusi dengan Abraham Samad di kantornya, saya
sempat tanya soal menteri-menteri yang kini sudah duduk di kabinet. ”Apa masih ada menteri
yang ‘merah’, Pak Ketua?” tanya saya. Abraham tidak bersedia menjawab, tetapi ia
tersenyum sambil mengetuk-ngetuk dua jari tangan kanannya di meja.
Segera saya bisa menangkap meta-meaning di balik ketuk-ketuk dua jarinya diiringi senyum
lebar. Palu godam kini sudah diketuk oleh Ketua KPK, bahwa Komjen Pol Budi Gunawan
dinyatakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi.
***
Yang unik, DPR kelihatannya mau maju terus dengan menggelar fit and proper test.
Semalam, Tim Kecil Komisi III sudah mengunjungi rumah kediaman Budi Gunawan, sebuah
tradisi yang dilakukan Komisi tiap kali hendak fit and proper test calon kapolri. Menurut
Syarifudin Sudding dari Partai Hanura, masalah ”rekening gendut” adalah masalah hukum;
sedangkan uji kelayakan dan kepatutan DPR merupakan masalah politik.
Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, pengangkatan Kapolri Komjen Pol
Chaeruddin Ismail menimbulkan gaduh besar di DPR yang berujung pada impeachment dan
kejatuhan Presiden Gus Dur pada pertengahan 2001. Presiden Wahid berkilah bahwa dia
sudah menelepon Ketua DPR Akbar Tandjung. Dalam percakapan telepon itu, kata Gus Dur,
Akbar sudah menyetujui keinginannya untuk mengganti Kapolri.
Akbar membantah keras pernyataan Presiden. Lagi pula, Akbar tidak bisa begitu saja
bertindak ”mewakili” DPR, meski ia berkedudukan sebagai ketua. Ketentuan Pasal 11 ayat
(1) mensyaratkan ”dengan persetujuan DPR”, bukan ”dengan persetujuan Ketua DPR”.
Hanya dalam tempo 24 jam setelah Chaeruddin Ismail dilantik sebagai kapolri baru, DPR
melayangkan surat kepada MPR, meminta MPR segera menggelar Sidang Istimewa untuk
memakzulkan Presiden.
Tentu, situasi politik sekarang berbeda. Jika pada 2002 DPR memang sedang konfrontasi
melawan Presiden, dan sampai akhir 2014 pun konfrontasi DPR versus pemerintah Jokowi
lebih panas lagi. Tapi memasuki 2015, tampaknya DPR kita mulai jinak dengan pemerintah
Jokowi.
Nah, kita tidak tahu bagaimana ending konfrontasi antara KPK melawan Presiden Jokowi
terkait pengangkatan Komjen Pol Budi Gunawan. Yang jelas, penetapan Budi Gunawan
sebagai tersangka merupakan tamparan dahsyat bagi Megawati Soekarnoputri dan Presiden
Jokowi.
56
Kasus BG Versus KPK Koran SINDO 15 Januari 2015
Bukanlah KPK jika tidak membuat kejutan-kejutan sejak kasus LHI sampai dengan kasus
BG--Kalemdiklat Mabes Polri--yang terjadi pada tanggal 13 Januari 2015.
Kronologis peristiwa penetapan tersangka atas nama BG dimulai dari laporan transaksi
keuangan mencurigakan (TKM) dari masyarakat, KPK menepis memperoleh LHA dari
PPATK; sekitar bulan Juni s.d. Agustus 2010.
Pada Juli 2013 KPK ekspose berbekal laporan pengaduan masyarakat (lap dumas) dan
menelisik LHKPN BG. Juli 2014 KPK melakukan penyelidikan (lidik) terhadap BG dan hasil
penyelidikan selama enam bulan telah ada lebih dari dua alat bukti TKM ketika BG menjabat
sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri terhitung sejak tahun 2004 s.d.
2006. (Kompas.com, 13/1). Tanggal 12 Januari 2015 dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan
(sprindik) atas nama BG sebagai tersangka.
Fakta yang disampaikan KPK kepada publik menyimpulkan lima hal yaitu: (1) dasar
penyelidikan KPK terhadap BG adalah lap dumas dikuatkan dengan LHKPN yang telah
menunjukkan perolehan harta kekayaan BG yang fantastis (tidak serta merta mengandung
unsur pidana). (2) Penetapan tersangka atas nama BG berdasarkan lebih dari dua alat bukti
yang cukup, tetapi dalam hal gratifikasi dan suap tidak mudah memperoleh alat bukti
dimaksud dalam waktu relatif singkat, sekitar enam bulan. (3) Status BG sebagai tersangka
ketika menjabat kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri. (4) KPK tidak melakukan
tugas koordinasi dan supervisi (Pasal 6 a UU KPK) jo Pasal 8 UU KPK untuk mengambil
alih kasus BG dari Mabes Polri apalagi tim Mabes Polri telah memeriksa rekening BG dan
telah diumumkan tidak ada unsur pidana. (5) Momentum pengumuman penetapan tersangka
atas nama BG terjadi dua hari setelah BG diajukan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri
kepada DPR RI untuk memperoleh persetujuan.
***
Kelima fakta tersebut perlu dikaji lebih jauh dari aspek yuridis dan sosiologis. Dugaan KPK
terhadap BG adalah pelanggaran pasal-pasal 12 a atau 12 b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan
Pasal 12B UU Tipikor 1999/2001. Keempat pasal tersebut terkait perbuatan suap dalam
jabatan seorang penyelenggara negara atau lazim dikenal sebagai ‘delik jabatan’.
Dari aspek yuridis, kasus ini merujuk pada dugaan suap yang telah dilakukan BG selaku
kepala biro. Pertanyaan pertama, apakah secara yuridis, jabatan BG ketika itu termasuk
57
penyelenggara negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU Tipikor dan UU RI Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN? Merujuk pada
kedua UU tersebut, BG adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki
atasan langsung.
Pertanyaan kedua, apakah KPK telah meyakini dan memiliki bukti pihak pemberi
suap/gratifikasi yang seharusnya diumumkan juga kepada publik sebagai tersangka? KPK
bersikukuh menyatakan telah diperoleh lebih dari dua alat bukti bahwa harta kekayaan BG
berasal dari gratifikasi dan suap. Pembuktian atas dugaan ini akan diuraikan dalam surat
dakwaan dan proses pembuktian di sidang pengadilan.
Dari aspek yuridis, yang penting dan patut diketahui adalah, bahwa keempat ketentuan
tersebut termasuk delik jabatan dan perbedaan antara gratifikasi dan suap sangat tipis yaitu,
pembuktian gratifikasi lebih dari nilai Rp10.000.000, dibebankan pada terdakwa; sedangkan
pembuktian perbuatan suap dibebankan pada penuntut.
Jika secara teliti dikaji unsur-unsur yang harus dipenuhi di dalam kedua tindak pidana
tersebut, adalah tidak berbeda signifikan. Lihat saja kalimat, “...berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya...” (Pasal 12B), dan
kalimat, “...berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya....” (Pasal 5 ayat 2), dan “...karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya...”(Pasal 11); “...untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya...”( Pasal 12 a) idem Pasal 12 b.
Selain itu terdapat fakta bahwa kasus rekening atas nama BG telah disampaikan PPATK
kepada Polri dan Polri telah membentuk tim gabungan (Divisi Hukum, Propam dan Inspektur
Pengawasan) dengan hasil dinyatakan tidak ada unsur pidana dalam harta kekayaan yang
dilaporkan PPATK kepada Polri. Bahkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri ketika itu telah
menyampaikan hal ini di hadapan DPR RI.
Dalam peristiwa tersebut, terdapat “missing link“ koordinasi dan supervisi KPK terhadap
Polri dalam menangani peristiwa terkait rekening BG.
***
Dari aspek sosiologis, masyarakat luas berharap penuntasan peristiwa “rekening gendut”
sejak tahun 2010 oleh KPK namun tuntutan tersebut tidak dilaksanakan institusi tersebut.
Baru pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 KPK melaksanakan penyelidikan dan
pada tanggal 12 Januari 2015 menetapkan BG sebagai tersangka. Pertanyaan publik,
mengapa untuk menetapkan BG, KPK harus menunggu waktu kurang lebih empat tahun?
58
Untuk pembuktian suap/gratifikasi harus diperlukan bukti atau ditemukan siapa pemberi dan
penerima suap/gratifikasi karena baik penerima maupun pemberi suap adalah merupakan
pelaku (dader) eks Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) atau Pasal 12 B UU Tipikor 1999/2001.
Yang menarik perhatian khusus adalah KPK telah melanggar ketentuan Pasal 6 huruf a UU
KPK yaitu tugas koordinasi dan supervisi terhadap hasil temuan Tim Gabungan Mabes Polri
dalam menindaklanjuti LHA PPATK yang disampaikan kepada Polri.
Solusi yang diusulkan sesuai dengan asas-asas kepemimpinan KPK antara lain akuntabilitas,
integritas dan profesionalisme (Pasal 5 UU KPK) maka perlu ada gelar perkara bersama KPK
dan Bareskrim Polri untuk bersama-sama mendalami kasus BG. Atau alternatif lain, Presiden
merujuk pada kasus BC (cicak vs buaya) dapat membentuk tim pencari fakta atas keterlibatan
BG dalam perbuatan suap/gratifikasi yang bersifat independen karena BG telah diajukan
sebagai calon kapolri oleh Presiden.
Solusi ini untuk bersama-sama memelihara dan menjaga martabat sesama lembaga negara
terutama lembaga kepresidenan dan DPR RI termasuk KPK dan Polri di hadapan masyarakat
dalam dan luar negeri.
ROMLI ATMASASMITA
Pengamat Kebijakan Publik LPIKP; Guru Besar Ilmu Hukum
59
Penegakan Hukum Belum Menunjukkan Sinyal Perubahan
Koran SINDO 15 Januari 2015
Tahun 2014 baru saja berakhir, namun tanda-tanda bahwa akan ada perubahan signifikan
dalam penegakan hukum di Tanah Air belum juga terlihat sampai saat ini. Perlu dibahas
mengapa tanda-tanda perubahan tersebut belum terlihat sejak akhir Oktober 2014, ketika
Joko Widodo dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia menggantikan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Sepak terjang dari pemerintahan Jokowi adalah dengan adanya penerbitan tiga kartu sakti
Jokowi, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS) yang dalam penerbitannya sangat terburu-buru dan tidak didukung dengan
perencanaan anggaran dan payung hukum yang matang sehingga menimbulkan begitu
banyak pro-kontra dalam masyarakat. Kemudian, adanya pengesahan munas partai politik
yang pemerintah seperti terlalu turut ikut campur dalam urusan rumah tangga partai politik
tersebut.
Juga terdapat program pemerintah untuk membawa kembali kejayaan Indonesia di laut
seperti pada masa Kejayaan Sriwijaya yang ditandai dengan tindakan menenggelamkan
kapal-kapal asing pencuri ikan. Tujuan penenggelaman kapal tersebut tentunya sebagai shock
therapy dan ingin menimbulkan efek jera, namun ternyata hal tersebut malah mengisyaratkan
penegakan hukum secara kekerasan di Indonesia. Menenggelamkan kapal pencuri ikan di
perairan Republik Indonesia sebagai premium remedium adalah bertentangan dengan UU
Kelautan kita yang menggunakan ultimum remedium berupa denda, perampasan kapal
pencuri, dan pengembalian pencuri ikan ke negara asal.
Kekerasan yang bernadakan pembalasan ini mengingatkan kita kepada konsep “Petrus” atau
“penembak misterius” di zaman Orde Baru di mana pemberantasan kejahatan dilakukan
secara “extrajudicial“, yaitu tanpa melalui proses hukum dan yang dicari adalah pembalasan
dengan kekerasan yang bersifat “trigger happy“ dari aparat penegak hukum. Bentuk
pembalasan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan kejahatan, tetapi akan
menimbulkan komplikasi ketegangan diplomasi dan tudingan pelanggaran hak asasi manusia
dari masyarakat internasional.
Terkait penerapan hukuman mati dan penolakan grasi terhadap pengedar narkoba yang
dikomentari oleh Uskup Jakarta Ignatius Suharyo yang menyatakan dalam pesan Natal,
bahwa menghukum mati pengedar narkoba tidak akan menyelesaikan persoalan.
60
Pernyataan tersebut juga didukung dengan adanya data yang menunjukkan negara-negara
yang telah lama menerapkan hukuman mati seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China,
Iran, dan negara-negara Timur Tengah tidak menunjukkan penurunan angka kejahatan dan
malahan sebaliknya. Penolakan Presiden Joko Widodo atas 22 permohonan grasi terpidana
narkoba, dari total 64 terpidana narkoba, akan mengalami hal yang sama.
Apalagi jika tereksekusi mati telah menjalani hukuman penjara lebih dari 10 tahun, Indonesia
berpotensi dituding menerapkan standar ganda. Ketimbang menerapkan hukuman mati
sebaiknya pemerintah yang baru bekerja selama hampir tiga bulan ini mencari sumber
kejahatan narkoba dan memperbaiki penyakit masyarakat berupa kemiskinan (pauperism),
kebodohan, pengangguran, dan pelacuran; dengan memperbaiki sistem pendidikan,
memberantas korupsi, reformasi birokrasi, menghapuskan inefisiensi, dan penanggulangan
pajak tidak resmi yang membebani masyarakat yang menjadikan ekonomi biaya
tinggi. Memang penanggulangan kejahatan akan berlangsung lama dan melelahkan tetapi
kalau berhasil akan dapat mengurangi angka kejahatan (crime rate) secara signifikan di
Indonesia.
Penunjukan dan pengangkatan jabatan-jabatan hukum penting seperti menteri hukum dan hak
asasi manusia, jaksa agung RI, dan kapolri terlihat tidak profesional di mana tidak dilakukan
fit and proper test yang transparan sehingga diduga sarat kepentingan politis.
Selain hal-hal di atas, juga masih terdapat ketidakjelasan dari keputusan pemerintah dalam
pemberian ganti rugi bagi para korban dalam kasus Lapindo, ini menimbulkan pertanyaan
apakah yang dibantu itu Lapindo atau rakyat karena pemerintah malah mengambil alih
pembayaran ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban Lapindo. Belum ada jaminan
bahwa Lapindo akan melunasi dana talangan tersebut dalam kurun waktu empat tahun.
Padahal, rakyat sudah dibebani dengan kenaikan BBM yang dilakukan untuk menutupi defisit
APBN dan alokasi pembangunan nasional. Penggunaan APBN untuk menalangi ganti rugi
korban Lapindo tidaklah fair, karena itu jelas merupakan tanggung jawab perdata Lapindo
terhadap korban luapan lumpur Lapindo. Kebijakan ini sama sekali tidak menjamin kepastian
hukum bagi semua pihak yang dirugikan.
Intoleransi Agama Sebagai Ancaman Nyata
Selama 10 tahun pemerintahan SBY, fenomena yang sangat mengkhawatirkan adalah
terjadinya intoleransi agama, khususnya hak menjalankan ibadah di berbagai daerah di
Nusantara. Hal tersebut dapat menjadi ancaman riil atas keutuhan NKRI.
Padahal, hak beribadah merupakan hak konstitusional setiap WNI yang dijamin dalam Pasal
28 E UUD 1945. Yang paling menyadari terhadap ancaman tersebut dalam hal ini adalah
para aktivis pluralisme, masyarakat sipil, serta para pencinta dan penggagas konsep NKRI.
Oleh karena itu, harus ada sikap tegas dari pemerintahan Jokowi atas ancaman intoleransi
beragama yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini.
61
Mungkin merayakan Natal di Papua Barat bagi Presiden Jokowi adalah baik, tetapi
menyelesaikan masalah larangan beribadah bagi umat Kristen seperti yang terjadi pada umat
Gereja Yasmin (Bogor) dan HKBP Philadelphia (Bekasi) tentunya lebih penting untuk
dilakukan. Kalau saja Presiden merayakan Natal dan menemui para majelis gereja dari Gereja
Yasmin dan HKBP Philadelphia di Istana Merdeka, kejadian seperti itu dapat menjadi simbol
toleransi dalam beragama dan pluralisme yang diusung oleh sang Presiden selama kampanye
Pemilu Presiden 2014 dan menjadi bentuk nyata dari pemenuhan janji-janji beliau selama
kampanye Pemilu Presiden 2014.
Apalagi jika ada upaya nyata dari pemerintah di mana permasalahan yang dihadapi oleh
Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia dapat terselesaikan dengan segera. Jangan sampai
terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh peribahasa lama, yaitu semut di seberang lautan
terlihat, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat.
Sikap nyata dari pemerintah akan melambangkan persamaan di hadapan hukum dan keadilan
bagi semua orang yang menjadi “core“ dari suatu negara hukum (rechtsstaat) serta
pernyataan gamblang dan tegas bahwa Republik Indonesia adalah bukan negara kekuasaan
(machtstaat), melainkan adalah negara hukum (rechtsstaat) yang melindungi semua umat
beragama tanpa adanya diskriminasi.
Tahun 2015 merupakan tahun baru dan awal yang baru bagi Indonesia. Semoga ke depan
lompatan besar yang dilakukan pemerintah dapat meyakinkan rakyat Indonesia, bahwa
pemerintah sekarang adalah berbeda dan serius dalam menegakkan hukum bagi semua orang
tanpa adanya diskriminasi baik secara rasial, agama, atau untuk kepentingan-kepentingan
golongan atau partai tertentu.
FRANS H WINARTA
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
62
Silang Sengkarut Tata Kelola Desa Koran SINDO 16 Januari 2015
Polemik perebutan kewenangan pengurusan desa telah berakhir. Jalan tengah yang diambil
Presiden adalah membagi kewenangan atas desa ke dalam dua kementerian.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertugas mengurus ihwal yang berkaitan dengan
pemerintahan desa. Sedangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Kemendes PDTT) bertugas menangani ihwal yang berkaitan dengan
pembangunan perdesaan, yang meliputi perencanaan pembangunan desa, pengawasan
pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Secara politik kompromi itu mungkin merupakan ”jalan tengah” yang cukup elegan untuk
mencapai win-win solution. Namun, penataan kewenangan dan pengelolaan urusan desa
semestinya tidak cukup diambil dengan pertimbangan politik, melainkan harus
dipertimbangkan sisi ideal dan teknokratisnya. Kentalnya aspek politik dalam mengatur tata
kelola desa dapat menjebak desa semakin menjadi komoditas politik.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dalam visi-misinya menempatkan desa sebagai
pilar negara dan lokus penting dalam pembangunan nasional justru menghadapi ironi tata
kelola desa. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sebenarnya telah mengatur
pengurusan desa di dalam desain arsitektur pemerintahannya.
Dalam arsitektur baru pemerintahan itu, Presiden Jokowi membentuk Kementerian Desa
yang digabung dengan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Arsitektur
pemerintahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang
Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Dalam keppres tersebut kewenangan urusan desa
digeser dari Kemendagri ke Kemendesa PDTT. Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa Kemendesa
PDTT bertugas melaksanakan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa.
Pergeseran itu juga dalam rangka menyambut dan melaksanakan regulasi baru mengenai desa
yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang tersebut
ditegaskan bahwa urusan desa menjadi kewenangan menteri khusus yang menangani desa
(Pasal 1 angka 16). Kewenangan mengurus desa, menurut undang-undang tersebut, meliputi
pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Namun, desain ideal pemerintahan tersebut ternyata tak sejalan dengan ”aspek” politiknya.
Meski menurut arsitektur pemerintahan baru itu desa diurus oleh Kemendesa PDTT,
Kemendagri ”diberi” wewenang untuk tetap mengurus pemerintahan desa.
63
Silang Sengkarut
Dengan pembagian kewenangan tersebut, pengurus desa dilakukan oleh dua kementerian
yang berbeda dengan memisahkan aspek pemerintahan dan pembangunan. Aspek
administrasi pemerintahan menjadi kewenangan Kemendagri dan aspek pembangunan
menjadi kewenangan Kemendesa PDTT.
Dalam perspektif politik, pembagian ini menjadi salah satu solusi polemik yang
berkepanjangan akibat persebutan wewenang. Namun, di sisi lain, pemisahan ini
menimbulkan kejanggalan dan menjadikan silang sengkarut tata kelola desa.
Silang sengkarut itu setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, dari sisi paradigma,
pengelolaan urusan desa dengan mempertahankan urusan pemerintahan desa dalam
kewenangan Kemendagri berarti telah menyalahi paradigma baru desa sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Desa (Pasal 1). Undang-undang itu telah menggeser
paradigma desa yang sebelumnya dipandang sebagai ”unit pemerintahan terbawah” menjadi
”kesatuan masyarakat hukum”. Dengan pergeseran ini, menempatkan desa --termasuk
pemerintahan desa-- di bawah mendagri sama saja dengan menempatkan desa sebagai unit
pemerintahan di bawah pemerintahan daerah.
Kedua, pengurusan desa menjadi semakin tidak efektif dan efisien. Pembentukan
Kementerian Desa yang bertugas mengurus desa sebagai amanat undang-undang menjadi
tidak bermakna signifikan karena toh akhirnya urusan desa tetap terdistribusi ke kementerian
lain. Kementerian Desa tidak diberi wewenang penuh untuk mengurus desa dalam semua
aspeknya.
Di samping tidak efektif dan efisien, pemisahan urusan desa ini juga dipastikan akan
membuat tata kelola desa yang tumpang tindih dan menyulitkan desa. Ini karena pada
kenyataannya, urusan administrasi pemerintahan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, keputusan membagi tata kelola desa ke dalam dua kementerian juga tidak konsisten
dengan nomenklatur kementerian yang telah ditetapkan melalui Keppres Nomor 121/P Tahun
2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode
Tahun 2014-2019 dan Perpres Nomor 165 Tahun 2014.
Nomenklatur ”Kementerian Desa” menunjukkan bahwa kementerian tersebut bertugas dan
memiliki kewenangan untuk mengelola urusan desa dalam semua aspeknya, mulai dari
pemerintahan, pembangunan, hingga pemberdayaan masyarakatnya. Ini berbeda jika
kementerian tersebut diberi nama ”Kementerian Pembangunan Desa”.
Dengan berbagai silang sengkarut itu, sulit untuk tak mengatakan bahwa pemisahan ini lebih
bermakna politis ketimbang perbaikan tata kelola desa yang ideal. Pertimbangan politik itu
dipilih agar partai penguasa tak kehilangan ”ruang politik” desa.
64
Dalam konteks ini, tentu masalahnya bukan sekadar hak prerogatif Presiden dan kewenangan
Presiden untuk mengatur tata kerja kabinetnya. Sebagai kabinet politik, begitu banyak
intervensi yang tak terbendung karena kepentingan politik untuk mendapatkan ”ruang”
penguasaan desa sangat kental. Di sinilah ketegasan dan konsistensi Presiden sedang diuji
untuk memulai merealisasikan visi besarnya tentang desa.
Dengan kentalnya perhitungan politik, visi besar pembangunan perdesaan yang menjadi
agenda prioritas pemerintahan Jokowi bisa tersandera oleh kepentingan politik. Situasi ini
akan dapat melahirkan ironi tata kelola desa.
Desa dan Tata Kelola Baru
Agenda prioritas pembangunan perdesaan membutuhkan tata kelola yang memadai dari level
pusat hingga level desa. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan Presiden untuk
memperbarui tata kelola pembangunan desa. Pertama, meninjau kembali kebijakan
pemisahan kewenangan pengurusan desa ke dalam dua kementerian.
Dalam konteks ini Presiden seharusnya konsisten dengan pembentukan Kemendesa PDTT
yang diproyeksikan menjadi ”leading sector” pengelolaan urusan desa dan pembangunan
perdesaan. Ini diperlukan untuk menghindari inefisiensi, inefektivitas, dan overlapping dalam
tata kelola desa. Urusan administrasi pemerintahan desa dengan pelaksanaan
pembangunannya adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dipisah.
Kedua, memperkuat dan melakukan reorientasi terhadap pemerintahan daerah sebagai
kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk memastikan pelaksanaan Undang-Undang Desa
secara konsisten dan terukur. Dalam konteks ini pemerintah daerah bukan lagi berperan
sebagai ”atasan” pemerintahan desa yang dapat semudahnya mengintervensi pengelolaan
desa yang mandiri dan berdaulat, melainkan menjadi fasilitator, katalisator, dan akselerator
bagi pelaksanaan tata kelola desa dan pembangunan perdesaan. Untuk itu, pemda harus
memiliki visi dan persepsi yang sama dengan pemerintah pusat tentang desa sebagaimana
tertuang dalam UU Desa.
Ketiga, memperkuat tata kelola di level desa. Terakhir ini merupakan faktor kunci
keberhasilan pembangunan perdesaan. Sebagai subjek pembangunan, desa tidak lagi bisa
bergantung terhadap pemerintah pusat maupun daerah, melainkan harus bisa mengurus
dirinya sendiri secara mandiri dan berdaulat.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat melalui Kemendesa PDTT bertugas melakukan
penguatan tata kelola desa, mulai dari pengembangan sistem pemerintahan dan administrasi
desa, peningkatan kapasitas aparatur desa, pendampingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan desa, penguatan partisipasi masyarakat, hingga pengawasan pelaksanaan
pembangunan dan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Tiga hal di atas merupakan langkah kunci dan mendesak untuk memastikan pelaksanaan
65
Undang-Undang Desa dan visi pemerintahan Jokowi-JK yang akan membangun Indonesia
dari desa.
Tanpa pembaruan tata kelola yang konsisten dan akuntabel, pembangunan desa hanya akan
menjadi dongeng sebelum tidur. Masyarakat tentu berharap pemerintahan Presiden Jokowi
tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan dapat melakukan perubahan Indonesia mulai dari
desa.
CASWIYONO RUSYDIE CW MIP
Pemerhati Kebijakan dan Masalah Perdesaan; Ketua Yayasan Nusahada
66
Awan Politik Cumulonimbus Koran SINDO 16 Januari 2015
Presiden Joko Widodo sebagai pilot Kabinet Kerja mesti ekstra hati-hati menjalankan
pemerintahannya dan mengambil keputusan politik yang strategis. Jika salah, bisa masuk
pusaran awan politik cumulonimbus yang sangat membahayakan. Bisa-bisa patah sayapnya
atau oleng dan rakyat sebagai penumpangnya yang akan jadi korban.
Dalam pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri, posisi Jokowi memang
dilematis. Dia terjepit di antara banyak kekuatan dan kepentingan. Salah-salah mengambil
keputusan, dampaknya sangat besar bagi pemerintah dan bangsa.
Dari aspek hukum formal dan keputusan politik, bisa saja Budi Gunawan disahkan dan
dilantik sebagai kepala Polri menggantikan Sutarman yang hampir berakhir masa jabatannya.
Tetapi, mengingat posisi Budi Gunawan sebagai tersangka KPK, legitimasi moral kepala
Polri akan sangat lemah.
Padahal salah satu agenda besar Jokowi adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa, baik secara hukum maupun moral. Dalam pidato kampanye menjelang pemilu,
Jokowi tegas mengatakan, dirinya tidak akan mengangkat pembantunya yang bermasalah.
Janji Jokowi itu dibuktikan dengan melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menjaring calon-calon menterinya. Dikabarkan, ada
beberapa calon yang gagal karena diberi label kartu merah oleh KPK dan PPATK.
Tetapi, dalam pencalonan kepala Polri, Jokowi mengambil jalan berbeda. Dia menggunakan
hak prerogatif-nya sebagai presiden, mengajukan calon tunggal ke DPR untuk dilakukan fit
and proper test. It’s done. Komisi III DPR meloloskan. Beberapa anggota DPR memuji-muji
Budi Gunawan sebagai orang yang tepat dan memiliki visi serta program bagus untuk
menjadi kepala Polri.
Beberapa relawan dibuat bingung dan gelisah. Mereka khawatir, jika Jokowi salah
mengambil keputusan politik, bulan madu dengan massa pendukungnya akan berakhir lebih
cepat dari yang diharapkan dan dibayangkan. Saya sendiri belum tahu, sebagai pilot, langkah
dan keputusan politik apa yang akan diambil Jokowi mengenai pencalonan Budi Gunawan
sebagai kepala Polri.
Di Indonesia terdapat tiga lembaga andalan untuk menegakkan hukum dan memberantas
korupsi yaitu institusi kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Dari tiga lembaga tersebut, yang
memperoleh kepercayaan rakyat paling tinggi adalah KPK.
67
Idealnya, tiga pilar tersebut merupakan kekuatan tiga serangkai yang bekerja secara kompak
dalam penegakan hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih. Kalau saja pemerintahan
ini—ibarat tubuh—sudah sehat segar bugar bebas dari korupsi, KPK itu tidak diperlukan.
KPK itu lembaga ad hoc. Tetapi, selama korupsi masih tumbuh subur, justru KPK yang mesti
diperkuat lagi.
Lalu, apa yang akan dilihat dan dipikirkan rakyat andaikan sosok kepala Polrinya adalah jadi
tersangka KPK? Ibarat tangan dan kaki yang mestinya saling membantu berperang
menghadapi musuh, tetapi sesama organ tubuh malah berantem. Kalau itu terjadi, pasti
menimbulkan anomali dan tragedi bagi bangsa dan pemerintah yang tengah memacu diri
memberantas korupsi, sementara sesama pasukan penegaknya sibuk berkelahi.
Situasi ini bisa berkembang menjadi awan politik cumulonimbus yang akan dihadapi
pemerintahan Jokowi. Mumpung belum, mesti ekstra hati- hati. Jangan sampai terulang lagi
tragedi “Cicak lawan Buaya”. KPK berhadapan dengan kepolisian.
Memang ada suara dari pihak-pihak yang ingin mengerdilkan peran KPK karena dirinya
merasa terancam dan dirugikan oleh sepak terjang lembaga ini. Tetapi, mesti diingat, sampai
hari ini rakyat masih percaya dan menaruh harapan besar pada KPK ketimbang lembaga
penegak hukum lain. Jadi, rakyat akan selalu mengikuti alur cerita ke depan, bagaimana
kelanjutan dari pencalonan Budi Gunawan ini. Jangan sampai harapan dan pengorbanan
rakyat untuk menyukseskan pemilu yang baru saja berlalu disepelekan dan dilupakan.
Pada era demokrasi ini kedaulatan rakyat semakin mengemuka. Banyak cara dan saluran
untuk bersuara. Kadangkala bahkan berseberangan dengan suara yang dikemukakan oleh
wakil-wakilnya di Senayan.
Orang tua punya nasihat, orang berjalan itu tak akan tersandung gunung. Yang kadang bisa
membuat terpeleset itu justru tersandung batu kerikil atau lubang kecil yang tak terlihat atau
political blind spot.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
68
Kasus BG: Persilangan Hukum Pidana & Tata Negara
Koran SINDO 17 Januari 2015
Polemik dan tarik-menarik pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai kepala Polri
akibat status tersangka yang disematkan KPK menjadi masalah yang pelik. Pelik karena
terjadi persilangan hukum pidana dan hukum tata negara dalam kasus tersebut.
Belum lagi ada tambahan bumbu politik, rivalitas antarcalon kepala Polri, dan dugaan ada
kekecewaan salah satu komisioner KPK karena gagal menjadi wakil presiden. Untuk bumbu-
bumbu itu, tidak perlu dibahas karena lebih banyak rumor daripada faktanya.
Yang menarik justru mendudukkan kembali posisi hukum dari peristiwa tersebut. Membaca
kasus ini tidak bisa hanya membaca di hilirnya setelah status tersangka atau pun hanya
membaca proses ketatanegaraan soal prosedur pengangkatan kepala Polri di sisi lain. Mereka
bersilang bahkan bisa berkonflik dalam dua ranah hukum tersebut.
Penetapan tersangka korupsi kepada BG yang disampaikan langsung Ketua KPK Abraham
Samad hanya selang sehari jelang fit and proper test. Soal waktu tentu menjadi perdebatan
antara politis dan yuridis murni. Namun, fakta yang terlihat adalah begitu. Apalagi kasus
yang disangkakan terjadi 9-11 tahun silam.
Uniknya lagi, dua alat bukti yang dikatakan sudah ada itu tanpa didahului dengan
pemeriksaan satu orang saksi pun. Secara hukum acara pidana ini janggal. Dalam kasus
operasi tangkap tangan (OTT) saja, KPK selama ini masih melakukan pemeriksaan dulu
sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Keanehan ini membuat dugaan-dugaan politis lebih
kuat dari yuridis.
Kalau dari sudut kewenangan, sebenarnya kewenangan memang ada di KPK untuk
menjadikan siapa pun–terlebih penegak hukum--untuk dijadikan tersangka. Namun,
kewenangan itu tentu tidak berdiri sendiri karena ada kewajiban-kewajiban lain yang
mengikutinya. Misalnya dalam proses peningkatan tahapan dalam hukum acara pidana
menurut KUHAP, dari penyelidikan ke penyidikan dan dari penyidikan untuk menentukan
tersangkanya melalui prosedur dan tahapan yang ketat.
Di sisi lain, KPK juga berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK punya kewenangan
untuk melakukan supervisi dan koordinasi untuk penanganan tindak pidana korupsi kepada
Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu, tentu ada kewenangan lebih KPK untuk
69
mengambil alih kasus yang dirasa layak diambil alih. Atau pun sebaliknya, menyerahkan
kasus yang sekiranya lebih baik ditangani Polri atau Kejaksaan Agung.
Posisi kasus rekening gendut Polri selama ini diserahkan penanganannya ke institusi Polri.
Memang terasa kurang pas karena tidak mungkin memproses dirinya sendiri. Apalagi kalau
ada jiwa korsa atau hubungan atasan dan bawahan di dalamnya. Sulit mendapatkan
objektivitas.
Namun, faktanya itu dibiarkan saja dan tidak ada koordinasi dan supervisi terukur dilakukan
KPK selama itu. Padahal sudah ada MoU tentang bagaimana sebuah kasus akan diambil alih
KPK atau menyerahkan ke Polri dan Kejaksaan Agung. Pertanyaannya, adakah peristiwa
koordinasi dan supervisi itu? Adakah semangat saling hormat-menghormati secara
kelembagaan?
Di sisi lain, proses penentuan kepala Polri sudah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian. Lembaga yang terlibat adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bukan
KPK ataupun PPATK.
Kemarahan KPK dan PPATK karena tidak dilibatkan sebenarnya tidak etis dalam ketaatan
pada undang-undang. Bukankah hak, kewenangan, tugas, dan kewajiban secara tata negara
diatur secara detail dalam setiap UU. Karena itu, terobosan-terobosan pencitraan yang
dilakukan secara politik tidak dapat dijadikan instrumen hukum pembenar seakan-akan hak
dan kewenangan sudah dimiliki. Posisi KPK dan PPATK adalah pelaksana undang-undang,
bukan pembuat undang-undang. Kalau ingin terlibat, perjuangkan untuk revisi UU Kepolisian
terlebih dahulu sehingga legalitasnya kuat.
Dalam perspektif hukum tata negara, proses tahapan penentuan kepala Polri sudah
selayaknya dihormati oleh semua lembaga negara. Dengan selesainya tahapan di DPR,
selanjutnya menjadi tahapan di Presiden untuk proses pengeluaran surat keputusan maupun
pengangkatannya.
Yang membedakan, posisi surat Presiden pada tahap awal usulan calon kepala Polri dalam
perspektif administrasi negara merupakan kewenangan dan hak prerogatif Presiden. Namun,
setelah berproses di DPR RI dan telah menyatakan persetujuannya, posisi Presiden tidak lagi
menjadi ruang lingkup kewenangan dan hak prerogatif, namun sudah berubah menjadi
kewajiban jabatan dan konstitusional untuk melantiknya.
Dilema yang muncul di persimpangan ini, dengan status tersangka dalam ranah hukum
pidana dan telah ada persetujuan DPR RI dalam ranah hukum tata negara, Presiden berada
dalam posisi antara mau menegakkan hukum tata negara atau harus tunduk pada etika dan
fatsun politik. Seorang tersangka harus mundur dari atau tidak menjabat jabatan
publik. Dalam posisi inilah dilema tersebut terjadi.
70
Kalau BG tidak jadi diangkat sebagai kepala Polri, Presiden telah merendahkan posisi hukum
tata negara karena dikalahkan dengan fatsun etika politik yang belum ada payung hukumnya.
Apalagi dalam ranah hukum pidana, masih ada ruang asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence).
Tetapi, kalau diangkat, Presiden juga telah membuat rekor telah mengangkat kepala Polri
dalam status sebagai tersangka. Sebuah kesan politik yang tidak nyaman untuk politik yang
penuh pencitraan seperti saat ini.
Di sisi lain, KPK juga tidak bisa memaksakan semua harus tunduk pada keinginannya dengan
alasan untuk pemberantasan korupsi. Yang tidak menurut dengan tafsir KPK adalah pro-
koruptor. Sebuah stigma yang otoritarian. Padahal, bertindak melebihi kewenangan
merupakan korupsi kewenangan juga. Menggunakan kewenangan dengan sewenang-wenang
adalah kejahatan itu sendiri sehingga KPK harus hati-hati juga. Publik sekarang sudah melek
di balik pujian yang selalu diberikan,
KPK juga tetap terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam
hukum tata negara. Dalam hierarki ketatanegaraan, Presiden, Polri, Kejaksaan Agung,
Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lainnya diatur tegas dalam konstitusi negara yaitu
UUD NRI 1945 sehingga secara hierarki sebenarnya lebih tinggi. Sementara KPK diatur
dalam undang-undang atas amanat undang-undang, bukan amanat konstitusi.
Karena itu, sebagai lembaga penegak hukum, sudah seharusnya fokus saja pada proses
penegakan hukum. Toh, juga dalam ranah hukum pidana berlaku aturan equality before the
law. Semua orang sama di depan hukum, baik itu kepala Polri, Presiden, komisioner KPK;
maupun petani, pedagang, mahasiswa, dan lainnya; semua sama di depan hukum.
Bila sudah yakin dengan dua alat bukti yang dimiliki, KPK tidak perlu lagi banyak
melakukan manuver-manuver politik. Silakan jalankan hukum acara pidana untuk
pengumpulan alat bukti sehingga segera bisa dibawa ke pengadilan. Tidak perlu lagi lakukan
tekanan-tekanan politik kepada berbagai pihak hanya agar keinginannya dikabulkan.
Dalam sejarah KPK juga pernah memiliki komisioner berstatus tersangka yaitu Bibit Samad
Rianto dan Chandra Hamzah dan saat itu tetap menjadi komisioner meski undang-undang
dengan tegas mengatur kewajiban untuk mundur. Namun, kasusnya tidak sampai ke
pengadilan, tetapi dihentikan dengan upaya di luar peradilan yaitu deponeering oleh Jaksa
Agung. Salah atau tidak yang bersangkutan tidak diketahui sampai saat ini sebab berhenti di
status tersangka, tidak sampai menjadi terdakwa atau terpidana
GEDE PASEK SUARDIKA SH MH
Anggota DPD RI
71
Kursi Panas Kapolri Koran SINDO 17 Januari 2015
Kursi jabatan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masa pemerintahan Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) begitu panas. Saking panasnya, pengusulan calon Kepala Polri
Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sesuai
Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri justru menuai kontroversi. Penyebabnya,
Budi Gunawan ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak
12 Januari 2015.
Penetapan tersangka bagi calon kepala Polri tak pelak menimbulkan pro-kontra di ruang
publik. Ada yang menuding KPK bermain politik lantaran pengumuman tersangka dilakukan
sehari sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dalam
konferensi pers, KPK menyebut melakukan penyelidikan sejak Juni 2014 dan telah
menemukan bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Bagi DPR, penetapan tersangka calon kepala Polri yang diajukan Presiden tidak menghalangi
DPR melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Ternyata DPR dalam rapat paripurna
pada Kamis (15/1/ 2015) memberikan persetujuan calon kepala Polri untuk dilantik
Presiden. Padahal, publik berharap agar DPR tidak hanya memaknai undang-undang secara
normatif, DPR perlu juga melihat secara jernih realitas proses hukum yang terjadi di KPK.
Tanpa bermaksud melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang
menjadi salah satu dasar pertimbangan DPR, proses hukum di KPK semestinya bisa dijadikan
pertimbangan bagi DPR untuk tidak memberikan persetujuan.
Bagi Presiden yang mengajukan calon kepala Polri berdasarkan usulan Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas) sebetulnya sudah punya sinyal dari KPK bahwa Komjen BG saat
diajukan calon menteri telah diberi “stabilo merah”. Tetapi, karena ada surat dari Bareskrim
Polri yang diajukan Kompolnas bahwa rekening BG tidak ada masalah, Presiden
menganggap semuanya clear.
Sebetulnya Presiden punya waktu untuk menarik pencalonan itu sebelum DPR melakukan uji
kelayakan dan kepatutan, tetapi tidak dilakukan. Akibat itu, saat ini bola panas ada di tangan
Presiden yang boleh jadi akan menimbulkan kehebohan baru jika Presiden tidak mengambil
langkah yang bijak.
Akhirnya Presiden mengambil langkah sementara dengan mengangkat Wakapolri Komjen
Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt.) kapolri seraya menunda pencalonan
72
Komjen pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri hingga waktu yang tidak ditentukan.
Jebakan Simalakama
Kontroversi pengusulan yang begitu kencang bergaung yang kemudian diamini DPR
membuat publik bertanya kepada wakilnya di Senayan, apakah moralitas dan etika bernegara
tidak menggelitik anggota DPR dalam memberikan persetujuan? Bagaimana jadinya jika
institusi hukum sebesar Polri yang salah satu tugasnya menegakkan hukum dipimpin oleh
sosok yang berstatus tersangka?
Apabila Presiden melantik calon kepala Polri dalam status tersangka, berarti ini sejarah baru
dalam kenegaraan Indonesia. Kepala Polri baru terpaksa harus membagi perhatiannya. Selain
melaksanakan tugas konstitusional seperti dimaksud Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 yaitu
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum; juga mengikuti proses hukum di
KPK. Perkara di KPK adalah urusan pribadi yang harus dituntaskan sembari melaksanakan
tugas konstitusional.
Apabila kembali menengok pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setiap menteri
dan pejabat setingkat menteri diminta untuk mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai
tersangka korupsi. Tiga menteri aktif semasa pemerintahan SBY langsung mengundurkan diri
begitu ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK. Tetapi, pemerintahan Jokowi justru berkutat
pada persoalan penetapan tersangka KPK yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat.
Apakah Presiden akan melantik atau melakukan langkah progresif dengan mengajukan calon
lain? Beredar rumor bahwa Presiden tetap akan melantik kemudian menonaktifkan dan
menunjuk pelaksana tugas kepala Polri. Dua pilihan itu membuat Presiden harus hati-hati dari
kemungkinan “jebakan simalakama”. Tidak mengikuti persetujuan DPR berarti Presiden
mengingkari sendiri usulannya. Apabila melantik karena sudah mendapat persetujuan DPR,
berarti siap-siaplah mendapat sorotan dan kecaman publik. Presiden berada dalam situasi sulit
antara memenuhi usulannya yang sudah disetujui DPR atau melihat realitas publik yang
menganggap institusi Polri harus dipimpin oleh sosok yang tidak harus membagi
perhatiannya menghadapi proses hukum.
Ada juga yang berpendapat agar Presiden mengambil langkah ketiga, tidak melantik kepala
Polri sambil menunggu berakhir masa bakti kepala Polri saat ini yang memasuki pensiun
pada Oktober 2015. Tetapi, pilihan ini juga tidak akan memberikan jalan keluar sebab kasus
korupsi yang sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan atau penuntutan, KPK tidak berwenang
menghentikan itu. Artinya, kasus tersebut akan sampai di pengadilan untuk diperiksa, diadili,
dan dijatuhi vonis apakah bersalah atau tidak bersalah. Publik berharap agar Presiden Jokowi
konsisten pada janjinya yang akan membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Konsistensi KPK
73
Untuk menangani berbagai kasus korupsi, KPK harus tetap konsisten, berani, dan profesional
agar tidak menimbulkan kegaduhan baru. Ada yang menuding bahwa penetapan tersangka
calon kepala Polri sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR lantaran diboncengi
kepentingan politis. Meski ini baru sekadar rumor, KPK harus menjawabnya dengan langkah
tegas.
Betapa tidak, sejumlah tersangka belum ada tindak lanjutnya meski sudah berbulan-bulan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam catatan akhir tahun 2014 yang ditulis Emerson
Yuntho (KORAN SINDO, 31/ 12/2014) menyebut sedikitnya 11 tersangka korupsi belum
ditahan meski sudah lebih dari tiga bulan berstatus tersangka. Malah ada tersangka korupsi
yang sudah lebih dari tiga tahun, tetapi belum juga ditahan.
Menurut ICW, ada 11 kasus korupsi yang sudah lama dalam penyidikan, tetapi belum
dilimpahkan ke penuntutan. Jangan sampai anggapan bahwa KPK “hanya mahir mengungkap
kasus”, tetapi lamban menuntaskannya, menjadi senjata yang bisa dipakai menyerang balik.
Maka itu, KPK tidak boleh lagi beralasan kekurangan penyidik.
Perhatian publik saat ini tertuju pada konsistensi KPK agar mempercepat proses penyidikan
dan penuntutan. Setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka mempunyai hak untuk
secepatnya menjalani proses hukum untuk mendapat kepastian apakah bersalah atau tidak
bersalah. Kita tidak ingin kontroversi yang telanjur panas itu memengaruhi proses hukum.
Jangan sampai proses hukum yang tertunda memunculkan pandangan untuk memereteli
kewenangan KPK.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
74
Moral di Atas Hukum Koran SINDO 17 Januari 2015
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk tetap melakukan fit and proper
test atas calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, Fraksi Partai Demokrat merupakan satu-
satunya fraksi yang menolak. Benny K Harman yang menyuarakan sikap partainya
menyatakan, meskipun pengajuan calon kapolri oleh Presiden kepada DPR telah memenuhi
syarat hukum tata negara, karena secara hukum pidana yang bersangkutan sudah ditetapkan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Partai Demokrat tidak setuju
hal itu ditindaklanjuti dengan fit and proper test di DPR.
Ada yang langsung bersetuju dengan Partai Demokrat itu. Jika negara hukum ini mengangkat
seorang tersangka tindak pidana korupsi sebagai kapolrinya, Indonesia bisa jadi tertawaan
dunia. ”Apa kata dunia kalau kita mengangkat kapolri seorang tersangka,” kata mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi(MK) Hamdan Zoelva seperti dilansir sebuah media online.
Meski turut kecewa terhadap cara KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka,
pegiat demokrasi dan penegakan hukum Johnson Panjaitan mengatakan rasa
mirisnya. ”Indonesia akan menjadi pemecah rekor sebagai negara pertama di dunia yang
mengangkat seorang tersangka sebagai kapolri,” ujar Johnson melalui sebuah stasiun televisi
Kamis sore dua hari lalu.
Tapi para pendukung Budi Gunawan mengajukan argumen balik. Bukankah secara hukum
pengajuan Budi Gunawan oleh Presiden ke DPR itu sudah sah? Bukankah Presiden sudah
memilih salah satu dari nama-nama yang oleh Kompolnas dinyatakan layak dan bersih? Nah,
karena secara hukum pengajuannya sudah sah, apalagi yang bersangkutan barulah dinyatakan
sebagai tersangka yang berhak diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, prosesnya
dapat dilanjutkan dan Presiden tetap dapat mengangkatnya.
Menanggapi hal tersebut, Benny K Harman mengatakan, ”Di atas hukum ada moral.”
Meskipun secara formal-prosedural pengajuan Komjen Budi Gunawan sudah memenuhi
syarat, secara moral hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dia adalah tersangka
pelaku tindak pidana. Harus diingat bahwa hukum bersumber dari nilai-nilai moral sehingga
kalau yang formal-prosedural tidak sesuai dengan moral, moral itulah yang harus
dimenangkan.
Tapi dalil Benny K Harman bisa dibantah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan: moral menurut
siapa dan dari sudut mana? Apakah benar cara KPK yang seperti itu mewakili hukum yang
75
bermoral? Bukankah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kental dengan aroma
politik?
Untuk saat-saat yang masih diliputi suasana emosi seperti sekarang ini, tak mudah bagi kita
untuk memastikan mana yang benar secara hukum dan moral dari kontroversi ini. Kita belum
tahu pasti, apakah ini perang antara pegiat anti-korupsi dan geng para koruptor, perang
antarpihak yang sama-sama ingin menegakkan hukum yang bermoral tapi perspektifnya
berbeda atau sebaliknya, perang antarpihak yang sama-sama koruptif secara politik.
Namun satu hal yang pasti, memang benar bahwa moral itu berada di atas hukum. Moral
adalah salah satu dasar utama pembentukan hukum sehingga tidak bolehlah ada hukum, baik
materinya maupun implementasinya, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan di
dalam masyarakat. Hukum sebenarnya merupakan kristalisasi atau formalisasi nilai-nilai
moral dan nilai-nilai lain yang menjadi kaidah di dalam masyarakat.
Pada hari pertama mahasiswa kuliah di Fakultas Hukum, materi penting yang diberikan
dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum adalah bahwa di dalam masyarakat ada berbagai
kaidah atau norma yang menjadi pedoman bertingkah laku untuk menegakkan ketertiban dan
kedamaian, yakni norma agama, norma susila dan kesopanan yang bisa disebut sebagai dasar
moral; serta norma hukum.
Hukum adalah nilai-nilai moral yang sudah diformalkan atau dijadikan kaidah resmi dengan
disertai ancaman sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara bagi yang melanggarnya. Dengan
demikian hukum adalah moral yang diformalkan menjadi peraturan resmi. Oleh sebab itu,
jika ada hukum yang bertentangan dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.
Persoalannya, banyak di antara kita yang tidak lagi mengingat moral sebagai salah satu dasar
adanya hukum sehingga selalu berkutat dan berdebat kusir melalui dalil-dalil formal semata.
Banyak orang yang melakukan pelanggaran moral dan hukum, tetapi mengklaim dirinya
bersih karena secara resmi dan secara formal prosedural tidak atau belum dinyatakan bersalah
oleh pengadilan.
Pada masa lalu dan ini yang menjadi salah satu sumber KKN sehingga kita melakukan
reformasi pada 1998, banyak terduga dan tersangka pelaku korupsi yang dengan gagah
mengatakan dirinya bersih dan tidak mau turun dari jabatannya dengan alasan dirinya tidak
atau belum dinyatakan bersalah secara hukum oleh pengadilan. Itulah sebabnya pada 2001
kita membuat dua ketetapan MPR yang mengatur hal itu, yakni TAP No. VI/MPR/2001 dan
TAP No. VIII/MPR/2001.
Menurut TAP No. VI/MPR/2001, pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus
bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Menurut
TAP No. VIII/MPR/2001, pegawai negeri sipil yang tersangkut tindak pidana korupsi dapat
dikenai tindakan administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan atas kasusnya.
Kedua ketetapan MPR ini sampai sekarang masih berlaku.
77
Persetujuan Perppu Pilkada Koran SINDO 20 Januari 2015
Melihat perkembangan politik di sekitar Senayan, hampir dapat dipastikan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Apalagi kemarin Komisi II DPR telah menyepakati membawa perppu tersebut ke rapat
paripurna hari ini. Kemungkinan hari ini produk hukum yang mencabut dan menyatakan
tidak berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 akan mendapat persetujuan sesuai
dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
Meski demikian, beberapa partai politik menghendaki dilakukan revisi atas sejumlah
substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 (Perppu
Nomor 1/2014 atau Perppu Pilkada). Alasan mendasar yang dikemukakan, sejumlah pasal
memiliki kelemahan substansial untuk bisa menghasilkan pemilihan kepala daerah yang
demokratis dan berkualitas.
Setuju atau Tidak
Terlepas dari perbedaan sikap dalam memandang Perppu Nomor 1/2014, pilihan politik
untuk menyetujui produk hukum yang lahir dari hak subjektif presiden ini jelas merupakan
upaya untuk memulihkan daulat rakyat dalam memilih kepala daerah. Apalagi, kalau dibaca
risalah pembahasan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maksud frase “dipilih secara demokratis”
sama dengan model pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sekalipun arah semua partai politik di DPR telah mengerucut pada persetujuan, DPR tidak
diperbolehkan melakukan perubahan substansi perppu. Dalam ihwal ini, Pasal 22 ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan berikut” membatasi wewenang legislasi DPR. Dengan konstruksi itu,
DPR hanya diberi pilihan, menyetujui atau tidak menyetujui perppu.
Sekiranya menyetujui, DPR (apalagi pemerintah) tidak boleh mengubah ketentuan dalam
perppu. Tidak hanya sebatas pemaknaan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tersebut, pilihan setuju
atau tidak setuju tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12/2011).
Ihwal tindak lanjut perppu, Pasal 52 ayat (3) UU Nomor 12/2011 menegaskan bahwa DPR
hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu. Jikalau
78
DPR setuju, perppu ditetapkan menjadi UU. Artinya, secara konstitusional, tindak lanjut
perppu untuk memenuhi Pasal 22 UUD 1945 tidak memungkinkan dilakukan perubahan
substansi.
Karena keterbatasan pilihan tersebut, dalam pembahasan perppu yang dinilai atau diuji DPR
adalah alasan-alasan subjektif Presiden dalam menetapkan perppu. Bila diletakkan dalam
konteks Perppu Nomor 1/2014, yang harus diperdebatkan dalam proses pembahasannya
adalah alasan-alasan Presiden sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang. Dalam
hal ini, apakah alasan: (1) menghormati daulat rakyat; (2) perbaikan mendasar atas berbagai
masalah pemilihan langsung; dan (3) penolakan luas rakyat benar-benar telah menimbulkan
kegentingan yang memaksa?
Secara hukum, untuk menilai kondisi kegentingan yang memaksa tersebut DPR dapat
menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Merujuk pada
putusan ini, perppu diperlukan apabila: (1) adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan belum
ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai; (3) kekosongan
hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Berpijak pada putusan MK tersebut, sangat terbuka kemungkinan memperdebatkan alasan
subjektif Presiden dalam menerbitkan Perppu Nomor 1/2014. Namun jikalau dilacak dan
ditelusuri semua perppu yang pernah ada dan kemudian disetujui menjadi UU, sebagian besar
dapat dinilai tidak memenuhi alasan objektif ditetapkannya perppu. Artinya, pengalaman
selama ini, proses persetujuan perppu lebih banyak ditentukan oleh “komunikasi” Presiden
dan kekuatan politik di DPR.
Secara sederhana, kepentingan politik hampir selalu menjadi alasan utama persetujuan
perppu. Sulit dibantah, kepentingan politik pulalah yang menjadi alasan persetujuan Perppu
Nomor 1/2014.
Meski semua partai politik akan menyetujui Perppu Nomor 1/2014, sebagai sebuah hak
subjektif yang diberikan konstitusi, DPR perlu menambahkan catatan penting saat
memberikan persetujuan untuk mengingatkan Presiden agar tidak mudah menetapkan perppu
pada masa mendatang. Selain mem-by pass wewenang legislasi DPR, perppu mestinya hanya
dapat ditetapkan dalam situasi yang benar-benar memenuhi syarat “dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa”. Singkatnya, perppu tidak boleh jadi instrumen untuk
menempatkan DPR dalam posisi sulit.
Kebutuhan Revisi
Dalam posisi dukungan yang nyaris tidak terbelah terhadap persetujuan Perppu Nomor
1/2014, diharapkan proses pengesahan dan pengundangan segera dilakukan. Langkah cepat
79
ini perlu untuk menindaklanjuti keinginan sejumlah kalangan agar dilakukan revisi terbatas
terhadap substansi Perppu Nomor 1/2014.
Salah satu substansi baru yang diatur dalam Perppu No 1/2014 adalah hadirnya tahapan baru
yang disebut dengan uji publik. Jika dilihat dari semua tahapan yang ada, uji publik dilakukan
sebelum tahap pendaftaran calon. Sebagai sebuah tahapan yang secara eksplisit diwajibkan
bagi setiap bakal calon, uji publik sebetulnya menjadi sesuatu yang sangat aneh. Misalnya,
bagaimana menentukan bakal calon yang dinilai layak untuk diteruskan oleh partai politik?
Pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Perppu Nomor 1/2014
partai politik atau gabungan partai dapat mengusulkan lebih dari satu bakal calon gubernur,
bakal calon bupati, dan bakal calon wali kota untuk dilakukan uji publik. Dengan terbukanya
kesempatan mengajukan calon lebih dari satu orang, uji publik terasa kian aneh karena proses
ini ditegaskan tidak menggugurkan pencalonan. Karena uji publik tidak memberikan jaminan
untuk menghadirkan calon berkualitas dan memiliki integritas, menjadi masuk akal
membahas ulang dan merevisi keberadaannya sebagai salah satu tahapan. Bahkan, tahapan
uji publik berpotensi menimbulkan ketegangan baru sebelum memasuki tahapan pencalonan.
Dalam berbagai kesempatan saya kemukakan, gagasan ini menarik, tetapi akan jauh lebih
bermakna jika partai politik dipaksa melakukan proses pencalonan yang terbuka dan
transparan seperti konvensi agar calon tidak lahir melalui proses oligarkis partai politik. Bagi
partai politik yang tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan
calonnya oleh komisi pemilihan umum.
Catatan terhadap uji publik hanya salah satu saja di antara beberapa substansi yang
memerlukan revisi terbatas dalam Perppu Nomor 1/2014. Misalnya, isu lain mengenai
penyelesaian hasil sengketa pemilihan, kampanye, dana kampanye, dan lain-lain. Bahkan isu
wakil kepala juga tidak kalah menarik.
Revisi memang menjadi kebutuhan, tetapi usul tersebut baru dapat dilakukan setelah Perppu
Nomor 1/2014 menjadi UU.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
80
Kontroversi Eksekusi Mati Koran SINDO 20 Januari 2015
Tidak tanggung-tanggung, Indonesia mengeksekusi enam terpidana mati sekaligus, Minggu,
17 Januari 2015 dini hari.
Eksekusi mati ini tentu saja kontroversial bagi negara-negara yang sudah menghapus
hukuman mati. Apalagi di antara enam terpidana mati, hanya Rani Andriani alias Melisa
Aprilia saja yang WNI. Presiden Brasil mengajukan protes sebelum ataupun setelah eksekusi
mati. Brasil dan Belanda bahkan menarik duta besar mereka.
Hukuman mati (capital punishment) merupakan topik panas di dunia internasional. Terjadi
perdebatan panas antara kelompok yang setuju dan menentang hukuman mati. Masing-
masing memiliki argumentasi. Posisi Indonesia tetap mengakui adanya hukuman mati yang
tertuang dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Narkotika dan Undang-
Undang Terorisme.
Saya pernah dimarahi orang banyak ketika dalam suatu seminar HAM terbatas di Swedia,
menyatakan dukungan diterapkannya hukuman mati. Tidak dikira, cukup banyak peserta
yang mengacungkan tangan menyampaikan argumentasi dan menilai pendapat itu di luar
kebiasaan bagi warga negara yang beradab. Malah, “saya terus dikejar dan dicecar” dengan
pertanyaan hingga berlangsungnya coffee break. Intinya, saya dinilai memiliki pemikiran
sesat dan bertentangan dengan nilai-nilai HAM karena pro dengan hukuman mati.
Begitulah, ada beberapa alasan bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Di antara
alasan itu adalah pemenuhan HAM sebagaimana tertuang dalam beberapa instrumen hukum
HAM internasional atau deklarasi HAM. Pasal 3 United Nations Declaration on Human
Rights (UNDHR) “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan
pribadi.”
Memang bentuk yang paling ekstrem dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan
atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. Tentu hukuman mati
dinilai melanggar pasal ini. Hukuman mati itu sangat melanggar hak untuk hidup bagi
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Kelompok yang kontra juga merujuk ke Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik
(ICCPR) Pasal 6 ayat (1), “Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup”. Hak ini
harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh
dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 UNDHR bahwa pelaksanaan
81
eksekusi mati telah melanggar pasal 6 ayat (1). Indonesia meratifikasi ICCPR sebagaimana
dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Bukan itu saja, kelompok yang kontra hukuman mati tidak menilai eksekusi sebagai solusi.
Dalam kejahatan narkoba, misalnya, hukuman mati tidak mampu menghentikan kejahatan
narkotika. Kenyataannya ada peningkatan signifikan pengguna narkoba. Di banyak penjara,
di atas 60% penghuninya terkait dengan kejahatan narkoba. Ini membuktikan bahwa
hukuman mati tidak mampu menimbulkan efek jera sebagaimana menjadi alasan adanya
eksekusi mati.
***
Namun, jangan pula meniadakan argumentasi pihak-pihak yang pro dengan hukuman mati
karena kejahatan yang dilakukan sudah sangat meresahkan masyarakat. Dalam kejahatan
narkoba di Indonesia, misalnya, setiap hari ada 40 sampai 50 orang yang meninggal karena
penyalahgunaan narkoba. Rata-rata mereka yang mati sia-sia adalah generasi muda harapan
bangsa. Mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang dihukum mati karena
kejahatan terkait dengan narkoba.
Kini hampir tidak ada wilayah kabupaten (bahkan kecamatan) di Indonesia yang bebas dari
peredaran narkoba. Hampir tidak ada profesi yang bebas dari penyalahgunaannya, bahkan
“berkali-kali” aparat hukum juga terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Malah, ada yang
menjadi bandar dan pelindung peredaran narkoba.
Eksekusi mati adalah upaya memberikan efek jera kepada mereka yang bertanggung jawab
atas peredaran barang haram itu. Bukan hanya soal upaya pemberian efek jera, para outlaws
ini juga tetap berpotensi besar menyusahkan negara apabila dibiarkan tetap hidup. Mereka
yang dihukum seumur hidup, misalnya, malah menggunakan pengaruh dan kelicikannya tetap
menjalankan bisnis narkoba dari balik penjara. Dihukum seumur hidup pun tetap menambah
beban negara yang harus menanggung ongkos hidupnya selama dalam masa tahanan,
walaupun harus diketahui benar mana yang pengguna dan mana pula masuk kategori
pengedar atau produsen. Tidak boleh salah dalam memberikan vonis mati sesuai dengan
tingkat kesalahan.
Indonesia telah menjadi negara tujuan utama peredaran narkoba dunia. Bukan itu saja, malah
sekarang sudah naik status menjadi negara produsen narkoba. Sindikat pengedar narkoba
jaringan internasional berlomba-lomba masuk Indonesia karena dinilai sebagai lahan subur
barang haram itu.
Sebelumnya Indonesia dikenal sebagai negara transit bagi sindikat jaringan narkoba
internasional sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan. Sindikat jaringan
internasional belakangan lebih memilih menyelundupkan bahan baku membuat narkoba ke
Indonesia. Pengolahan dilakukan di Indonesia, karena bahan baku itu mungkin jarang
dicurigai. Untuk mempermudah operasi, mereka memanfaatkan jaringan lokal, termasuk
82
dengan cara menikah dengan perempuan Indonesia.
***
Prediksi akademik saya, apabila dilakukan survei maka mayoritas masyarakat Indonesia pro
dengan hukuman mati, termasuk terhadap penjahat bidang narkoba. Sikap ini muncul karena
parahnya kerusakan yang ditimbulkan. Nilai sakral dalam keluarga hancur, ekonomi keluarga
tambah berantakan (kemiskinan semakin merata) dan banyak pengguna yang mati sia-sia.
Walaupun tentu saja berbagai upaya hukum harus dilakukan sampai pada upaya hukum
terakhir, keenam orang terpidana mati telah melakukan upaya hukum terakhir hingga grasi.
Tereksekusi mati Namaona Denis, WNMalawi, telah menerima Putusan Pengadilan Negeri
2001, Pengadilan Tinggi 2002, grasi ditolak 30 Desember 2015. Selanjutnya ada Marco
Archer Cardoso Moreira, WN Brasil, diputus PN 2004.
Ada pula Daniel Enemuo, WN Nigeria, diputus oleh PN 2004, PT 2004, kasasi 2005, dan
grasi ditolak 30 Desember 2014. Ada Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias
Tommi Wijaya, WNI diputus PN 2003, PT 2003, MA 2003, PK 2006, grasi ditolak 30
Desember 2014. Juga Tran Thi Bich Hanh, WN Vietnam, diputus PN 2011, PT 2012, ia tidak
mengajukan kasasi, langsung grasi dan ditolak. Terakhir, Rani Andriani alias Melisa Aprilia
(WNI) yang diputus PN 2000, PT 2000, MA 2001, PK 2002, grasi ditolak 30 Desember
2014. Waktu yang lama menuju eksekusi mati membuktikan negara telah memberikan
kesempatan kepada para terpidana menggunakan semua hak hukum mereka.
Instrumen hukum internasional seperti ICCPR tidak sepenuhnya melarang hukuman mati.
Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan
hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai
dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan itu dilakukan. Hukuman ini hanya
boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.
Pasal 6 ayat (4) ICCPR mengatur bahwa seseorang yang telah dihukum mati harus
mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Maklum saja jika
Brasil dan Belanda sampai menarik pulang duta besar mereka, karena memang hukuman mati
tidak lagi dikenal di dua negara itu. Namun, mereka juga harus objektif menilai Indonesia
yang berdaulat menerapkan hukumnya sendiri. Bukankah sejak lama Indonesia dituntut tegas
dalam penerapan hukumnya.
Eksekusi mati merupakan bagian dari penegakan hukum Indonesia, setelah segala upaya
hukum yang menjadi hak-hak terpidana telah mentok (exhausted). Indonesia mestinya tidak
ragu dan tidak boleh kalah dengan “tekanan” ini. Apalagi, ke depan masih ada puluhan
terpidana mati lagi yang berpotensi dieksekusi.
Mengacu pada putusan MK bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi, apalagi
kompleksitas ekonomi negara, penjara yang kelebihan kapasitas berbaur dengan oknum
83
aparat yang korup menambah maraknya kejahatan narkoba. Boleh saja eksekusi mati
kontroversi di negara lain, tetapi akan berbeda bagi mayoritas bangsa Indonesia yang
memiliki berbagai cerita duka akibat narkoba. Sungguhpun, soal eksekusi mati ini, kini dan
nanti sikap pro dan kontra itu sendiri tidak akan pernah berhenti.
PROF AMZULIAN RIFAI PHD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
84
Efek Jera dan Darurat Narkoba Koran SINDO 20 Januari 2015
Sudah waktunya negara bertindak tegas-lugas untuk merespons status Indonesia yang darurat
narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang). Tindakan tegas-lugas sangat perlu untuk
menumbuhkan efek jera bagi para produsen dan pengedar narkoba.
Masalahnya, sindikat narkoba lokal dan internasional kini tak hanya membidik komunitas
pemadat, tetapi juga memperkuat cengkeramannya dengan menyusup ke tubuh birokrasi
negara. Dengan begitu, urgensi dari tindakan tegas-lugas itu bukan semata-mata melindungi
generasi muda dari ancaman narkoba, tetapi juga sebagai serangan balik terhadap sindikat
narkoba yang coba membangun kekuatan dan menanamkan pengaruhnya di tubuh birokrasi
negara.
Sebaliknya, jika sistem hukum Indonesia terus minimalis menyikapi kondisi negara yang
darurat narkoba seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin birokrasi negara nantinya bisa
dikendalikan sindikat narkoba.
Keberhasilan sindikat narkoba menyusup ke tubuh birokrasi negara sudah bukan rahasia lagi.
Oknum kepala lembaga pemasyarakatan (LP) hingga sejumlah sipir sudah dikendalikan
sindikat itu. Oknum polisi, jaksa, hakim dan oknum militer pun berhasil digarap untuk
menjadi bagian dari sindikat narkoba. Para anggota sindikat pun sudah menguasai beberapa
kampus perguruan tinggi.
Fakta yang paling heboh adalah kontroversi grasi untuk terpidana kasus narkoba Meirika
Franola alias Ola yang sempat dikabulkan Presiden. Begitu berangnya sehingga Ketua MK
(saat itu) Mahfud MD menuduh sindikat narkoba sudah berhasil menyusup istana presiden.
Kalau penyusupan sindikat narkotika itu tidak dihentikan atau diperangi, Indonesia bukan
lagi berstatus darurat narkoba, melainkan bisa berada dalam cengkeraman sindikat narkoba
lokal maupun internasional. Dalam konteks ini, kesulitan Meksiko memerangi kartel narkoba
bisa dijadikan contoh kasus sekaligus pembelajaran bagi semua unsur penegak hukum di
Indonesia.
Ada begitu banyak fakta yang sudah terungkap tentang kekuatan dan keberingasan kartel-
kartel narkoba di Meksiko. Tapi kasus Maria de los Angeles Pineda Villa menjadi contoh
paling relevan dengan kekhawatiran terhadap keberhasilan sindikat menyusup ke tubuh
birokrasi negara. Senin lalu (5/1), seorang hakim di negara bagian Guerreros, Meksiko
Selatan, mengeluarkan perintah penahanan prasidang terhadap Pineda, dari tahanan rumah ke
penjara Tepic di Mexico City.
85
Pineda adalah istri mantan Wali Kota Iguala, Jose Luis Abarca. Sebelum menikahi Abarca,
Pineda sudah menjadi pemimpin kartel narkoba Guerreros Unidos yang didirikan oleh
orangtuanya. Pineda menjadi pemimpin kartel itu setelah orang tuanya dipenjara dan dua
saudara laki-lakinya tewas dalam bentrok antargeng kejahatan. Tindakan paling biadab dari
Pineda adalah mendalangi penculikan serta pembunuhan 43 mahasiswa calon guru, sebuah
tragedi yang mengguncang Meksiko pada September 2014.
Pineda, yang pada periode itu sedang giat berkampanye untuk menggantikan posisi
suaminya, marah karena terganggu oleh aksi para mahasiswa itu. Polisi yang korup
diperintahkan menyerang dan menculik puluhan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu
kemudian diserahkan ke anggota kartel Guerreros Unidos untuk dibunuh dan jasad mereka
kemudian dibakar.
Modus Pineda bisa saja mengilhami sindikat narkoba yang sedang membangun kekuatan di
Indonesia. Mereka bisa menjadi penyokong politisi dan peserta pilkada di berbagai daerah,
untuk kemudian mengendalikan roda pemerintahan daerah. Harap diingat bahwa untuk saat
ini, baru komunitas koruptor yang menjadi kekuatan atau unsur ilegal dalam penyelenggaraan
pilkada atau agenda politik lainnya. Suatu saat nanti, peran para koruptor itu bisa digeser oleh
sindikat narkoba mengingat kekuatan dana serta jaringan mereka yang nyaris tak terbatas.
Pesan
Sebelum keadaannya bertambah buruk, negara harus berani bertindak tegas-lugas terhadap
produsen dan pengedar narkoba. Salah satu tindakan tegas-lugas itu adalah berani
mengeksekusi mati para terpidana kasus narkoba yang grasinya sudah ditolak Presiden.
Keberanian negara menghukum mati para terpidana kasus narkoba lambat laun akan
menumbuhkan efek jera, baik terhadap produsen dan pengedar, maupun terhadap para
pemadat.
Keberanian negara sudah terlihat baru-baru ini ketika sejumlah institusi pemerintah, institusi
hukum, dan Komnas HAM membahas proses eksekusi mati bagi terpidana kasus narkoba.
Ada kesepakatan bahwa bagi terpidana mati yang grasinya sudah ditolak, eksekusi harus
dilaksanakan. Keputusan MK tentang peluang para terpidana untuk mengajukan peninjauan
kembali (PK) berkali-kali tidak menjadi faktor penghalang eksekusi.
Kejaksaan Agung RI juga menegaskan akan secepatnya mengeksekusi terpidana mati yang
permohonan grasinya sudah ditolak. Kejaksaan Agung sedang melakukan persiapan dalam
hal waktu dan tempat eksekusi serta berkoordinasi dengan institusi lain. Adapun Kapolri
Jenderal Sutarman menegaskan bahwa Polri telah menyiapkan regu tembak untuk
mengeksekusi terpidana mati.
Berita tentang kesiapan Indonesia melaksanakan eksekusi mati ini kiranya sudah
menumbuhkan efek jera, baik bagi pimpinan sindikat lokal maupun sindikat internasional.
Karena itu, pemerintah atas nama negara tidak boleh lagi mundur dari posisi itu, demi alasan
86
apa pun. Pelaksanaan eksekusi mati harus dijadikan pesan kepada siapa pun bahwa Indonesia
tidak memberi toleransi lagi kepada pelaku kejahatan narkoba.
Kalau Indonesia berani bersikap tegas kepada pelaku pencurian ikan dengan
menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing, akan menjadi sangat aneh jika Indonesia
memberikan toleransi berlebih terhadap para pelaku kejahatan narkoba. Padahal, ancaman
narkoba sudah sangat serius bagi generasi muda, bahkan bisa menjadi ancaman bagi
ketahanan nasional.
Ketika pihak berwajib mulai menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan di perairan
Indonesia, sejumlah negara mulai bereaksi. Artinya, esensi pesan yang begitu tegas dari
penenggelaman kapal-kapal itu sudah diterima dan disikapi. Maka, kalau institusi hukum
juga mulai merealisasi tindakan tegas-lugas berupa eksekusi kepada terpidana mati kasus
narkoba, pesan itu pun akan diterima dan disikapi mereka yang selama ini telah menjadikan
Indonesia sebagai pasar untuk barang haram itu.
Seperti apa ekses dari peredaran dan perdagangan narkoba serta dampaknya bagi para
pemakai, sudah digambarkan dalam ragam ilustrasi. Setiap hari, jutaan orang tua diselimuti
gelisah, takut anak-anak mereka terperangkap dalam penggunaan obat-obatan terlarang.
Kecenderungan ini terus menguat karena Indonesia darurat narkoba. Nyaris tidak ada lagi
ruang yang steril dari peredaran narkoba.
Barang haram itu diperjualbelikan di tempat kerja, di kampus, dan di permukiman
masyarakat. Sebuah kampus di Jakarta terbukti menjadi tempat jual-beli dan pemakaian
narkotika. Seorang profesor ditangkap saat mengonsumsi sabu-sabu bersama mahasiswi
binaannya.
Berdasarkan gambaran tentang rangkaian ekses itu, tidak ada lagi alasan untuk menoleransi
pelaku kejahatan narkoba. Ujung dari kejahatan mereka adalah pembunuhan. Mereka
memang tidak langsung membunuh, tetapi dengan menjual barang dagangannya, produsen
dan pengedar membunuh para pemadat secara perlahan-lahan. Data hasil survei terbaru
menyebutkan bahwa di Indonesia 40 orang tewas setiap harinya akibat mengonsumsi
narkoba. Maka hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba menjadi setimpal dengan
perbuatan mereka. Dan, dengan menghukum mati para terpidana kasus narkoba, diharapkan
muncul efek jera.
Tidak kalah penting adalah mencegah penyusupan sindikat narkoba ke tubuh birokrasi negara
maupun birokrasi daerah. Eksekusi terhadap terpidana mati akan membuat jera oknum
birokrat agar berani menolak ketika diajak bekerja sama oleh sindikat narkoba.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
87
Indonesia Move On Koran SINDO 21 Januari 2015
Sekitar seratus hari hampir tertempuhi oleh Presiden terpilih untuk mengemban amanah
konstitusi. Meski mungkin masih terlalu dini, perlahan rakyat telah bisa menilai kinerja
presiden beserta Kabinet Kerja-nya. Rakyat mulai bisa menimbang, apakah harapan pada
Presiden yang konon merakyat itu bisa terwujud, atau sekadar eikasia berujung hampa.
Sekadar berkilas balik, pemilu tempo hari adalah pemilu paling pelik sepanjang sejarah
Indonesia. Tidak sekadar soal teknisnya yang rumit, berliku, dan tidak sederhana, tapi juga
perseteruan antar pendukung yang mengharu biru jagat psikososio politik masyarakat kita.
Baru sekali dalam sejarah Indonesia, pemenang pemilu ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
tersebab gugatan kecurangan pemilu secara terstruktur, massif, dan sistematis. Meski
akhirnya MK menolak gugatan tersebut, kuatnya indikasi atas dugaan kecurangan, serta
tipisnya selisih suara, menyimpan bara yang sewaktu-waktu berpotensi menaikkan tensi
politik masyarakat.
Kategorisasi
Pemilu yang hanya diikuti oleh dua calon memang memolarisasikan masyarakat menjadi dua
kutub pendukung capres. Polarisasi itu mengotakkan masyarakat kita dalam dua kategorisasi
besar, pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Koalisi
Indonesia Hebat atau Koalisi Merah Putih. Jika bukan kelompok kami (ingroup), berarti
kelompok mereka (outgroup).
Masing-masing kategori kelompok ini memiliki apa disebut Henry Tajfel (1972) sebagai
‘identitas sosial’ (social identity). Mereka terikat dalam sebuah ikatan emosional ke-kita-an
(we-ness) dengan standar nilai dan norma kelompok. Masing-masing pribadi meyakini,
memikirkan, merasakan, dan berperilaku sebagaimana nilai kolektif yang dipegang dalam
kelompok sosial rujukannya tersebut.
Asyiknya, kedua kutub besar ini meyakini bahwa kelompok dan jagoan yang mereka dukung
adalah yang terbaik dan paling benar. Lantas, berlakulah kecenderungan psikologis untuk
melakukan ingroup favoritism dan outgroup derogation. Mengagungkan kelompoknya
sendiri dan merendahkan kelompok outgroup-nya. Dalam konteks inilah, kita bisa memahami
ketegangan yang tempo hari kita saksikan selama proses pemilu. Saling bully, caci, maki
antarpendukung capres menjadi lumrah terjadi di tengah masyarakat kita. Mulai warung kopi,
pasar, terminal, hingga di obrolan sehari-hari. Yang paling parah terjadi perang siber di lini
masa dunia maya, termasuk di media sosial.
88
Pemilu memang telah berlalu, namun ternyata ”perseteruan” di tengah masyarakat kita belum
juga usai. Namun, kali ini sedikit mengalami pergeseran. Seusai Presiden baru dilantik,
sebagian pendukung calon presiden yang kalah bergerak menjadi ”oposan” yang begitu rajin
mencari celah, mengkritisi kebijakan Presiden terpilih.
Berbekal ketidak percayaan, kelompok ini sangat kritis menagih realisasi janji kampanye
yang berjibun itu. Janji kebijakan pembentukan kabinet yang ramping, politik bebas balas
jasa dan utang budi, mempertahankan subsidi dan tidak menaikkan harga BBM, sungguh
ditunggu realisasinya. Ketika kebijakan yang diambil ternyata meleset, bagi sebagian
kalangan, situasi ini menjadi semacam amunisi untuk mengkritisi dan menyerang
pemerintah. Dunia maya menjadi salah satu kanal untuk menyalurkan kegundahan mereka.
Di pihak lain, loyalis Presiden terpilih, sembari harap-harap cemas, selalu habis-habisan
membela kebijakan yang diambil pemerintah, mencari dalil pembenar dan rasionalisasi bagi
kebijakan idolanya.
Tren kurusetra politik dunia maya nampaknya memang mulai berubah. Para pendukung
Presiden terpilih, terlihat lebih banyak tiarap, tidak seintens dahulu seperti ketika masa-masa
kampanye pemilu yang begitu agresif, massif, dan sistematis. Tampaknya mereka mulai
keteteran, speechless, ketika janji-janji kampanye ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan
dikhianati oleh pemerintah yang mereka pilih.
Saatnya Move On
Apabila kita berkenan jujur memaknai, sesungguhnya segenap realitas perseteruan ini sangat
melelahkan. Padahal, bangsa ini harus selalu memperkuat diri melawan ”perang asimetris”
yang dilancarkan kapitalis asing. Sungguh, tidak ada jalan lain melainkan kita harus
merapatkan barisan, bersinergi dan membisik bangun kekuatan, untuk mempertahankan
eksistensi bangsa ini.
Kita mesti bergegas dan bersegera move on, beranjak dari situasi fatigue-anomik, dengan
mengusaikan segenap perseteruan yang melelahkan ini. Jika kita terus berseteru, kita akan
terpecah, lalu lemah sehingga mudah untuk kalah dan dijajah. Tidak lagi dengan kekuatan
senjata, namun dengan strategi perang asimetris yang terkadang halus dan melenakan.
Para psikolog sosial mencoba menawarkan beberapa formula untuk membantu kita
mengakhiri konflik tersebab terbelahnya masyarakat. Beberapa hal terpenting yang dapat kita
dilakukan adalah melakukan dekategorisasi, melepaskan sekat kategoris dan melakukan
rekategorisasi atau membuat kategorisasi baru. Muaranya adalah terciptanya identitas sosial
baru yang kukuh, yang dapat melampaui identitas kelompok, agar tercipta identitas sosial
yang lebih inklusif.
Sekat kategoris bahwa kita adalah pendukung Jokowi atau Prabowo, KIH atau KMP, sudah
saatnya kita lepaskan, kita ganti dengan kategorisasi baru bernama rakyat
89
Indonesia. Hilangnya sekat kategori ini diharapkan akan menanggalkan rintangan psikologis
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah terpilih jika menyimpang dari jalan kebenaran
berbangsa dan bernegara. Tentu saja dibutuhkan kebesaran jiwa, karena biasanya terdapat
kendala psikologis bernama gengsi, kebanggaan sebagai pengikut, terkadang juga muncul
rasa malu, gengsi, dan harga diri yang terusik tersebab rasa khilaf dalam melangkah, atau
salah dalam memilih. Kerelaan hati untuk kembali dalam identitas kekitaan (we-ness) di
rumah besar bernama Indonesia, adalah jawaban untuk mereduksi konflik dan mengokohkan
jati diri bangsa.
Pendukung Jokowi yang telah ikhlas, move on, justru akan keluar dari lingkar kekuasaan
yang melenakan. Mereka memilih memasang jarak dan berdiri tegak terhormat menjadi
kelompok yang paling awal, paling kritis, dan paling keras menegur idolanya, jika kebijakan
yang diambil mengkhianati rakyat. Bukan sebaliknya, nunut mulyo, mendompleng menikmati
kekuasaan. Membabi buta, mematikan nalar, menumpulkan nurani, membela, mendewakan,
dan menganggap pemimpin pujaannya tidak pernah berbuat salah (can do no wrong).
Sikap yang menunjukkan kejumudan berpikir dan kekonyolan politik ini hanya akan
membidani kelahiran tirani kuasa absolut tanpa kontrol, yang gemar melakukan represi dan
kedustaan terhadap rakyatnya sendiri.
Sebaliknya, pendukung Prabowo yang telah move on, pantang mencari-cari kesalahan
pemerintah jika memang tidak sesat langkah. Mereka semestinya justru berada di garda
terdepan dalam mendukung dan membela setiap kebijakan yang memenangkan rakyat.
Jikapun tersalah, mereka akan menegur dengan mesra, menyentil dengan cinta, mengingatkan
tentang konstitusi, serta mendoakan agar amanah agar kebaikan tercurah untuk semua.
Bersikap kritis bukan karena benci Jokowi, melainkan karena peduli, tersebab rasa cintanya
yang tulus pada negeri ini.
Pun demikian halnya dengan pemerintah. Saatnya pemerintah move on, beranjak dari euforia
kemenangan pemilu yang telah lalu itu. Saatnya membuktikan janji mengayomi, ”momong”
dan melayani hampir setengah miliar penduduk Indonesia. Bukan sekadar pendukungnya
semata, namun juga pendukung mantan capres yang lain, bahkan termasuk mereka yang
dalam pemilu tempo hari memilih untuk tidak memilih. Kebijakan yang diambil harus
menyejahterakan seluruh rakyat, bukan sekadar membalas budi partai pendukung, relawan,
media propaganda, maupun konsorsium investor politik penyandang dana pemenangan
pemilu.
Namun jika pemerintah memilih untuk mengalahkan rakyat, mengkhianati janji politik
semasa kampanye, dan membangun tradisi politik purba di atas kebohongan yang dusta,
sesungguhnya kekuasaan itu adalah fana. Puja-puji bisa saja berubah menjadi caci maki,
sanjungan bisa berbuah hujatan, trust bisa bergeser menjadi distrust, suka bisa menjadi duka,
cinta bisa berujung benci. Terlebih ketika ekspektasi setinggi langit itu terempas di cadas
realitas kehidupan yang kian berat disangga rakyat.
90
Senyampang masih pagi, saatnya segenap anak bangsa, move on dari masa lalu, bersinergi,
membisik bangun kekuatan yang memenangkan rakyat, untuk bersama menjaga negeri indah
bernama Indonesia ini. Indonesia, mari kita move on. Wallahua’lam.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Semarang
91
Hukuman Mati dalam Konteks Internasional
Koran SINDO 21 Januari 2015
Polemik seputar hukuman mati masih hangat diperbincangkan masyarakat. Polemik ini
semakin dalam ketika Brasil dan Belanda mengajukan protes dengan memanggil duta
besarnya di Indonesia. Ancaman serupa kemungkinan juga akan dilakukan Australia yang
warga negaranya akan menerima eksekusi mati. Perdebatan kemudian bergeser menjadi
masalah kehormatan dan kedaulatan negara yang menolak diintervensi melalui ancaman-
ancaman tersebut.
Saya pikir kita perlu mengembalikan diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukuman
mati pada hak hidup dan norma-normanya dalam hubungan internasional. Dua tema ini
adalah tema yang amat sulit dan perlu kajian yang mendalam dan tentu tidak akan cukup
dalam ruang yang terbatas ini. Oleh sebab itu kolom ini mungkin hanya memberikan sebuah
analisis untuk mengantarkan diskusi agar lebih konstruktif dan menyentuh masalah-masalah
mendasar mengenai hukuman mati.
Masalah pokok dari hukuman mati adalah sejauh mana hak hidup itu berlaku universal atau
merupakan cultural relativism (berlaku khusus sesuai dengan konteks tertentu). Apabila hak
hidup tersebut berlaku universal, tidak ada pengecualian apa pun yang dapat digunakan untuk
mencabut hak tersebut. Namun apabila ia berlaku khusus, ada kondisi tertentu yang memberi
ruang untuk mencabut hukuman mati. Turunan dari paradigma tersebut secara sederhana
adalah pertanyaan tentang apakah hak hidup ini sebuah keadaan yang sangat sakral atau
bukan?
Melalui eksekusi enam terpidana mati, kita secara tidak langsung memasuki perdebatan
tentang hak hidup ini. Namun hak hidup dalam konteks hak asasi manusia tidak hanya
menyangkut hukuman mati. Hak hidup juga menjadi perdebatan dalam masalah-masalah
eutanasia, aborsi, membunuh untuk mempertahankan diri, dan terkait dengan moralitas dalam
peperangan.
Dalam masalah aborsi sebagai contoh, mereka yang menolak aborsi memiliki argumen bahwa
janin dalam kandungan berapa pun usianya telah memiliki hak hidup yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun. Negara harus melindungi janin tersebut terutama karena
si janin tidak memiliki kemampuan untuk membela diri.
Sementara mereka yang menyetujui aborsi mengaitkan hak hidup si janin dengan hak hidup
sang ibu. Sang ibu juga berhak untuk mempertahankan hak hidupnya. Apabila sang ibu
92
mendapat risiko baik psikologis maupun fisik karena janin yang dikandungnya, ia memiliki
hak untuk mencabut hak hidup si janin.
Polemik itu juga berkembang dalam kasus hukuman mati. Pendapat yang mendukung
hukuman mati sebagian besar memiliki argumen bahwa hak hidup terpidana dapat dicabut
karena kejahatan kejam yang mereka lakukan. Sementara mereka yang menolak hukuman
mati berpendapat bahwa hak hidup adalah sebuah kondisi yang sakral dan asasi di mana
melalui hak itulah tujuan dari kehidupan manusia dilekatkan.
Apa yang menarik dari polemik tersebut adalah kecenderungan negara-negara di dunia untuk
mengurangi daftar kejahatan berat yang dianggap dapat diganjar dengan hukuman mati dan di
beberapa negara di Eropa, bahkan menghapuskan hukuman mati sebagai sanksi. Contoh
adalah di China. Negara ini terkenal sebagai negara yang paling banyak melakukan eksekusi
mati.
Sebuah lembaga hak asasi manusia yang beroperasi di China, Dui Hua Foundation,
menyebutkan 5.000-6.000 eksekusi dilakukan pada tahun 2007 (Washington Post,
24/12/2008). Sepuluh tahun yang lalu, jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu. Di China,
kejahatan yang berat antara lain korupsi, bandar narkoba, pembunuhan, dan kejahatan lain.
China adalah negara yang paling banyak mengeksekusi hukuman mati. Sebelum tahun 2011,
China memiliki 68 daftar kejahatan berat yang dapat diganjar hukuman mati. Namun dengan
banyaknya tekanan, China mengurangi 13 kejahatan dari daftar tersebut. Kejahatan yang
dikurangi antara lain menyelundupkan besi, mengajari metode mencuri, dan mencuri harta
dalam makam kuburan.
Di Amerika Serikat, kecenderungan untuk mengurangi kejahatan yang dapat dijatuhi
hukuman mati juga terjadi dalam sistem hukumnya. Hal ini diawali dengan diperkenalkannya
pengategorian pembunuhan tingkat pertama dan kedua. Kejahatan berat yang dapat dihukum
mati adalah kejahatan tingkat pertama seperti pembunuhan berencana, pembakaran,
pemerkosaan. Daftar kejahatan ini semakin lama semakin berkurang dan syarat untuk
dikategorikan sebagai pembunuhan tingkat pertama semakin diperberat.
Sementara itu di tingkat pemerintahan federal, ada beberapa negara bagian yang tidak
membolehkan hukuman mati, yang telah menghapuskan hukuman mati atau telah melakukan
moratorium hukuman mati. Ada 18 negara bagian yang telah menghapuskan hukuman mati.
Negara bagian yang sejak awal tidak memiliki hukuman mati adalah Michigan (1846) dan
Maryland adalah negara ke- 18 yang menghapuskan hukuman mati.
Di Eropa, upaya untuk menghapuskan hukuman mati berawal dari berakhirnya Perang Dunia
II. Kekejaman Nazi di bawah Hitler telah membawa trauma yang besar bagi masyarakat
Eropa dan mengupayakan sebuah perangkat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan
yang terjadi di masa lalu.
93
Dari wilayah inilah sejumlah perangkat hukum hak asasi manusia lahir dan diadopsi oleh
PBB seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik serta beberapa
konvensi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Eropa menjadi ujung tombak dari
advokasi masalah hak asasi manusia.
Di tingkat regional, mereka memiliki The Charter of Fundamental Rights of The European
Union (EU) dan The European Convention on Human Rights of The Council of Europe yang
secara tegas menghapus hukuman mati. Hanya Belarusia dan Kazakhstan yang masih
mempraktikkan hukuman mati.
Menurunnya dan dihapuskannya hukuman mati di beberapa negara di dunia antara lain
disebabkan alasan-alasan moral, filosofis, etik, dan zaman yang sudah semakin modern.
Kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati adalah kenyataan yang tak dapat
ditolak, tetapi dialog ilmiah atau politik di antara mereka berlangsung secara ilmiah dan
objektif. Selain itu ada studi-studi seputar efektivitas hukuman mati dalam mengurangi
tingkat kejahatan yang ingin diberantas.
Pengalaman itu juga perlu menjadi tantangan buat kita di Indonesia. Pemerintah perlu
memfasilitasi atau menjelaskan dengan baik pilihan-pilihan yang mereka putuskan dalam soal
hukuman mati dan jangan dibiarkan hanya menjadi debat kusir yang tidak produktif.
Dalam hubungan internasional, Indonesia juga perlu lebih elegan menyampaikan alasan-
alasannya ketika mempertahankan hukuman mati; jawaban Indonesia perlu kontekstual dan
tidak abai pada perkembangan zaman. Pada akhirnya bila pergaulan internasional bergerak ke
arah penghapusan hukuman mati, argumen kedaulatan bangsa menjadi lemah (irrelevant).
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
94
Promosi yang Abaikan Etika Koran SINDO 22 Januari 2015
Status hukum sebagai terdakwa ternyata tak menghalangi karier Hasban Ritonga di
pemerintahan. Pada 14 Januari lalu, ia dilantik sebagai Sekda Provinsi Sumatera Utara
berdasarkan Keppres No. 214/M/2014 per 29 Desember 2014.
Pelantikan Hasban menjadi sorotan karena saat ini statusnya sebagai terdakwa di pengadilan
dalam kasus penyalahgunaan wewenang dalam sengketa lahan sirkuit Jalan Pancing, Medan,
dengan PT Mutiara Development. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengatakan bahwa
pelantikan tersebut sudah melalui berbagai pertimbangan. Dia mengaku hanya mengamankan
kebijakan presiden.
Sementara di Provinsi Banten, Plt. Gubernur Rano Karno melantik Sutadi, tersangka korupsi
dalam proyek pembangunan Jembatan Kedaung, Kota Tangerang, senilai Rp23,42 miliar,
sebagai staf ahli gubernur bidang pembangunan, pada 17 Januari lalu. Rano mengatakan,
tujuan pelantikan para pejabat eselon II ini sebagai upaya percepatan berupa penyediaan daya
dukung pelaksanaan APBD Tahun 2015 sehingga program yang telah ditetapkan dapat segera
dilaksanakan untuk hasil optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Rano tercatat juga pernah mengangkat tersangka korupsi menjadi asisten daerah 1 (asda) di
Pemprov Banten, yakni Ling Suwargi, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Dinas
Sumber Daya Air dan Permukiman. Ling ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Banten
dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Pembangunan Prasarana Pengaman Pantai
Normalisasi Muara Pantai Karangantu di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang
senilai Rp4,8 miliar.
Dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), ada juga
tersangka korupsi, Vinsensius Saba, kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga/PPO,
yang dimutasi ke jabatan baru sebagai kepala Badan Kepegawaian Daerah, 6 Januari lalu.
Padahal, ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Kafemanu, dalam kasus
korupsi dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan senilai Rp47,5 miliar.
Terkait itu, Wakil Bupati TTU Aloysius Kobes mengatakan sepanjang belum ada keputusan
pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap maka mereka masih bisa dapat jabatan. “Proses
hukum tetap kita harus hormati, tetapi ini soal birokrasi tetap harus berjalan karena ini
berkaitan dengan hak-hak pegawai negeri sipil yang perlu dipenuhi,” ujarnya.
95
Pertanyaannya, apa artinya Indonesia hari ini dipimpin oleh Jokowi, yang pernah menerima
Bung Hatta Anti Corruption Award (2010), jika di masa pemerintahannya ada sejumlah
tersangka koruptor yang malah dipromosikan sebagai pejabat pemerintah? Bukankah ini
ironis di negara hukum yang mencanangkan perang terhadap korupsi ini?
Betul bahwa yang harus dijadikan pegangan adalah putusan pengadilan yang telah inkrah.
Tapi harus diingat bahwa di atas hukum ada etika dan moralitas yang merupakan roh dari
hukum itu sendiri. Itu sebabnya ada beberapa partai politik yang sudah memberlakukan
kebijakan internal mereka: setiap kader yang dinyatakan sebagai tersangka koruptor oleh
pengadilan, langsung dicopot dari jabatan publik yang sedang dipegangnya, hingga akhirnya
kemudian dipecat sebagai kader partai saat putusan pengadilan sudah inkrah.
Adalah paradoks bahwa di negeri yang religius ini etika dan moralitas diabaikan begitu saja.
Padahal, keduanya sudah tercakup dalam Tap MPR VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa. Jadi sebenarnya asas praduga tidak bersalah yang dikenakan pada sejumlah
pejabat yang tersangkut kasus korupsi hanya dalih belaka.
Ketetapan MPR ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Indonesia di awal Reformasi
1998. Saat itu muncul berbagai persoalan bangsa sebagai kelanjutan dari krisis moneter tahun
1997. Krisis moneter berkembang menjadi krisis multidimensial. Maka dirumuskanlah etika
kehidupan berbangsa yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal, dan nilai-
nilai luhur budaya bangsa yang tecermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,
bersikap, dan bertingkah laku di tengah kehidupan berbangsa.
Pertanyaannya, apakah Indonesia hari ini masih layak disebut bangsa yang religius? Mengapa
kian lama kekayaan dan jabatan tinggi seakan lebih dihargai daripada kejujuran? Tak heran
jika korupsi seolah telah menjadi banal--dianggap sesuatu yang biasa. Mungkin karena
jumlah pelakunya justru makin meningkat. Bukankah suatu kejahatan niscaya dianggap biasa
jika yang melakukannya kian lama kian banyak?
Sanksi hukum yang lemah dan tak efektifnya pengawasan membuat korupsi juga menjadi
sesuatu yang memesona. Seandainya tertangkap pun, proses hukum sulit berjalan lancar
karena pelakunya berpotensi menyeret banyak orang lain, termasuk para pejabat di institusi-
institusi penegakan hukum.
Dengan hati yang miris kita bertanya: mampukah Indonesia memerangi korupsi sampai ke
akar-akarnya? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria
Mallam Nuhu Ribadu pernah berkata: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi
hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu
melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para
pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi
jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami
menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect“.
96
Sementara Pascal Couchepin, konsuler federal sekaligus menteri dalam negeri Swiss,
memberi resep: jadikan korupsi musuh bersama dan jangan pernah berkompromi
menghadapinya. Tak heran jika Swiss selalu dikategorikan Transparency International
sebagai negara yang “bersih dari korupsi”.
Akan halnya Jeffrey Winters, seorang indonesianis, mengatakan bahwa demokrasi yang
berkembang di Indonesia saat ini adalah demokrasi kriminal: demokrasinya bergerak maju,
tapi hukumnya lemah dan etika para pemimpinnya luntur. Alhasil, korupsi tak pernah
berhasil diberantas secara signifikan.
Tak pelak, harus ada perubahan untuk menjadi bangsa yang tahu diri. Untuk itu Presiden
Jokowi harus belajar dari Presiden Brasil Dilma Rousseff. Sejak menjadi presiden tahun
2011, Rousseff gencar mengampanyekan perang melawan korupsi setelah sejumlah pejabat
tinggi dalam pemerintahannya dituding melakukan kejahatan luar biasa itu.
Di bawah kepemimpinannya yang belum genap dua tahun, kepala staf kepresidenan serta
menteri pertanian, menteri pariwisata, menteri tenaga kerja, menteri pertahanan, dan menteri
transportasi juga dipaksa mundur dari jabatan mereka akibat tudingan korupsi. Padahal,
semua pejabat negara itu belum divonis pengadilan. Mereka hanya tak tahan mendapat
tekanan dari masyarakat dan sorotan pers yang begitu gencarnya.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
97
Kasus BG: Alat Bukti dan Tersangka Koran SINDO 23 Januari 2015
Dinamika penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi di Indonesia kini dikuasai oleh
pemberitaan pers dan media elektronik yang sangat transparan bahkan telanjang. Pemberitaan
pers tidak pernah setelanjang ini di negara-negara demokrasi dan penjunjung tinggi HAM
mana pun.
Kenyataan yang saya amati sejak kiprah KPK Jilid III terbukti bahwa pernyataan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara
melanggar hukum. Jargon pemiskinan koruptor disalahartikan bahkan disalahgunakan dengan
dalih pencucian uang untuk mempermalukan dan membinasakan siapa pun yang ditetapkan
sebagai koruptor oleh KPK.
Siapa pun jika telah diduga atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, serta-merta
mereka menjadi “mayat hidup” alias zombie tanpa ada toleransi. Bahkan melakukan reaksi
atas perlakuan KPK otomatis dicap anti-korupsi. Bahkan sampai penasihat hukum tersangka
korupsi diperlakukan sama dengan kliennya dengan dalih menghalang-halangi proses
penyidikan. Berbagai cara untuk menjerakan dan memiskinkan tersangka korupsi oleh KPK
telah dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa timur yang
dikenal dengan keluhuran budinya sejak dulu.
Bahkan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dalam sejarah tercatat ada pimpinan
lembaga negara di luar konstitusi yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan
Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika
hubungan kelembagaan antarlembaga negara.
***
Jika KPK sejak 2009 melakukan proses koordinasi dan supervisi dan mengambil alih kasus
BG, tentu tidak harus menunggu sampai lima tahun lebih untuk menetapkannya sebagai
tersangka tanpa harus berseberangan dengan Presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Langkah pimpinan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan
cara-cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan.
Terlepas dari benar dan tidak perolehan alat bukti yang cukup sesuai KUHAP, tetap saja
dalam pandangan penulis merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat
kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat hidup
bangsa Indonesia. Sehebat apa pun lembaga yang sama di negara lain juga termasuk di Hong
98
Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu langkah pun yang (berani) bertentangan
dengan seorang gubernur Hong Kong sebelum termasuk bagian dari pemerintahan China.
Langkah KPK terhadap BG merupakan langkah kedua kalinya setelah HP yang persis pada
hari ulang tahun dan memasuki masa pensiun dinyatakan sebagai tersangka dan langkah
kedua pula terhadap jenderal dari kepolisian. Masyarakat tentu bertanya-tanya apakah
rekening gendut berdasarkan data PPATK tidak ada di kalangan pati instansi lain atau di
kalangan kejaksaan dan pengadilan?
Di sinilah dituntut kejujuran dan transparansi pimpinan PPATK dan KPK untuk secara
konsisten dan konsekuen seperti terhadap institusi Polri. Jika negara tercinta ini mau
dibereskan oleh PPATK dan KPK, saya dukung sepenuhnya tanpa ada tebang pilih lagi!
***
Hati nurani, adat istiadat, dan keluhuran budi sebagai orang Timur warisan nenek moyang
kita kini sudah hancur lebur. Manusia tentu ada alpa dan ada sengaja. Itu telah menjadi
fitrahnya sehingga jika kedua niat jahat tersebut dilakukan pasti ada akibat yang merugikan
baik individu lain, masyarakat, atau negara.
Penetapan tersangka dalam praktik sering dilakukan secara simbolik yang dibalut dengan
hukum kini telah merupakan praktik yang menjurus kepada keharusan bukan sesuatu yang
ditabukan karena cara-cara tersebut lebih populer dibandingkan dengan proses peradilan
dengan prinsip “due process of law“, yang dianggap lamban.
Profil seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK secara simbolik dan kental
muatan politis tersebut secara kasatmata telah dipertontonkan disertai arogansi sekalipun
tersangka adalah pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan
negara dibandingkan (mungkin) pengabdian pimpinan KPK itu sendiri.
Kini pepatah,”hilang kemarau setahun dengan hujan satu hari” tidak terbantahkan. Pangkat,
jabatan, pengalaman, dan tanda jasa seketika sirna bak dimakan api yang mengganas baik
terhadap diri maupun seluruh keluarganya. Apakah memang pola penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi seperti ini yang dikehendaki oleh pendiri negara ini dan khususnya
pembuat/penyusun UU Tipikor dan UU KPK?
Jawabannya tidak! Jika mau merenung dan meneliti secara jernih dan objektif seluruh UU
terkait dengan apa yang saya uraikan termasuk UU Pers, tidak ada satu ketentuan pun di
dalamnya yang bertujuan “menghabisi secara lahir dan batin pelaku kejahatan termasuk
koruptor dan seluruh keluarganya” atau memiskinkan koruptor. Pola itu bahkan tidak juga
tercantum di dalam TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 --dan perubahannya.
Sebelum lima pimpinan KPK Jilid III lengser seharusnya masyarakat sipil juga mendorong
agar mereka tidak tebang pilih. Jika meneliti Pasal 6 huruf a hingga e UU KPK, pertanyaan
99
saya, apakah KPK telah melalui tahapan-tahapan sebagaimana tercantum dalam pasal
tersebut untuk berkoordinasi dan lakukan supervisi serta ambil alih kasus BG dari Polri?
Apakah LHA PPATK terkait BG Tahun 2004-2006 telah secara resmi dilimpahkan PPATK
kepada KPK; apakah ratione temporis kasus BG terhitung sejak LHA disampaikan PPATK
kepada Polri juga merupakan kewenangan KPK berdasarkan UU TPPU Tahun 2002/2003
atau kewenangan Polri?
Informasi rekening gendut yang diberitakan dan berasal dari mantan pimpinan PPATK dan
orang lain terkait sejatinya merupakan pelanggaran atas larangan penyebarluasan isi dokumen
yang tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU 2010, dengan ancaman empat tahun.
Penyidik Polri tanpa harus menunggu pengaduan seharusnya telah memeriksa mantan
pimpinan PPATK dan pihak lain terkait pemberitaan tersebut apalagi kini tersebar dalam
media sosial sejumlah rekening pati Polri; hukum harus ditegakkan dan berlaku sama kepada
semua pihak sekalipun langit akan runtuh!
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
100
Teknik Memilih Arbitrer Terbaik Koran SINDO 23 Januari 2015
Saat ini pelaku usaha lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase
daripada litigasi di pengadilan karena arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
yang bersifat win-win solution, confidential, dan putusan yang final and binding.
Karena itu, dengan ada sifat win-win solution dan confidential yang melekat pada arbitrase,
pelaku usaha yang bersengketa dapat tetap menjaga hubungan baik dan tidak ada pihak yang
dipermalukan dalam sengketa arbitrase tersebut. Selain itu, dengan ada sifat final dan binding
pada putusan arbitrase, pelaku usaha juga tidak perlu lagi menunggu proses panjang untuk
mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap karena putusan arbitrase tersebut tidak
dapat diajukan banding karena putusan arbitrase adalah final, mengikat para pihak dan
mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 60 UU Arbitrase).
Selain itu, pada arbitrase melekat juga prinsip kebebasan para pihak (party autonomy), di
mana berdasarkan kesepakatan para pihak bebas untuk memilih bahasa yang digunakan
dalam proses arbitrase, tempat arbitrase, jumlah arbitrer, jumlah pengajuan saksi dan/atau ahli
dan jangka waktu proses arbitrase itu sendiri, asalkan kesepakatan tersebut sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Karena itu, kebebasan para pihak ini menyebabkan arbitrase lebih
efisien karena menghemat waktu dalam proses penyelesaian sengketa dan jelas menghemat
biaya juga.
Kendati begitu, masih terdapat pendapat dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa proses
arbitrase memakan waktu dan terlalu mahal. Ini mungkin saja terjadi jika proses arbitrase
tidak dikelola dengan baik oleh majelis arbitrase dan para pihak itu sendiri. Terkadang
kebebasan yang dimiliki para pihak dalam arbitrase (party autonomy) mengakibatkan proses
arbitrase menjadi lambat. Terlebih, apabila para pihak itu sendiri tidak memiliki komitmen
untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase dengan efisien. Karena itu, proses arbitrase
yang cepat dan hemat biaya kemungkinan besar akan sulit untuk dicapai.
Di sisi lain, majelis arbitrase adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
proses arbitrase. Jika majelis arbitrase tidak proaktif dan terampil dalam mengelola perkara
arbitrase, proses arbitrase bisa menjadi panjang dan mahal. Karena itu, majelis arbitrase
memiliki peran penting dalam mencapai suatu proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya.
Penunjukan Arbitrer
101
Dalam arbitrase, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan integritas, pengetahuan,
keahlian, dan reputasinya. Ini berbeda dengan litigasi di pengadilan di mana hakim tidak
dapat dipilih oleh para pihak yang beperkara. Namun, arbitrer tidak seperti hakim di
pengadilan, arbitrer dapat berasal dari sektor swasta seperti firma hukum (law firm), firma
teknik, dan perusahaan.
Hal ini mengakibatkan arbitrer memiliki dua potensi masalah yang mungkin timbul yaitu; (1)
konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan pihak yang bersengketa karena
keterlibatan sebelumnya atau saat ini; dan (2) tidak tersedianya waktu yang dimiliki arbitrer
untuk melakukan tugasnya dengan benar.
Karena arbitrer berasal dari sektor swasta, ada kemungkinan bahwa arbitrer yang ditunjuk
memiliki keterlibatan atau koneksi dengan salah satu pihak baik sebelum atau saat
penunjukan. Ini dapat menyebabkan munculnya konflik kepentingan (conflict of interests)
karena imparsialitas dan independensi arbitrer menjadi diragukan.
Apabila ada keraguan terhadap imparsialitas dan independensi seorang arbitrer, UU Arbitrase
menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge) atau hak ingkar
terhadap arbitrer tersebut. Namun, perlu menjadi catatan bahwa sebuah perlawanan
(challenge) atau hak ingkar yang diajukan kepada seorang arbitrer bisa menghambat proses
pembentukan majelis arbitrase, yang mana hal tersebut dapat menghambat proses
penyelesaian sengketa arbitrase itu sendiri. Dengan terhambatnya proses penyelesaian
sengketa, akan menimbulkan biaya tambahan bagi para pihak.
Untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interests), beberapa peraturan dan
prosedur dari lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional serta hukum nasional
dari beberapa negara telah mengatur bahwa sejak awal calon arbitrer harus mengungkapkan
(disclosure) fakta atau keadaan yang dapat menimbulkan keraguan mengena i imparsialitas
dan independensi dari calon arbitrer tersebut.
Berkaitan dengan fakta atau keadaan tersebut, IBA Guidelines on Conflict of Interest in
International Arbitration sebagai pedoman telah menyediakan referensi mengenai keadaan-
keadaan apa saja yang harus diungkapkan untuk menghindari ada konflik kepentingan
(conflict of interests) antara arbitrer dan para pihak. Pedoman ini tentu harus dijadikan acuan
oleh para calon arbitrer saat menerima penunjukan. Selain itu, apabila seorang calon arbitrer
melihat ada potensi conflict of interest dengan salah satu pihak, akan lebih bijaksana untuk
menolak penunjukan tersebut daripada menerimanya.
Namun, terkadang hak ingkar (challenge) sebagai mekanisme untuk menghindari ada conflict
of interest justru terkadang dijadikan upaya oleh trouble maker-lawyer yang tidak percaya
kepada proses arbitrase perdagangan untuk menghambat proses arbitrase. Challenge seperti
ini harus ditolak demi kepentingan manajemen kasus yang efisien.
102
Poin berikutnya adalah terkait tidak tersedianya waktu arbitrer yang telah ditunjuk untuk
menjalankan proses arbitrase. Karena berasal dari sektor swasta, arbitrer mungkin terlibat
dalam kasus atau masalah komersial mereka sendiri.
Seorang arbitrer sebaiknya hanya menerima penunjukan arbitrer terhadap suatu proses
arbitrase jika dirinya yakin bahwa ia memiliki waktu yang cukup untuk menangani secara
menyeluruh semua pekerjaan dan pertemuan yang akan ada dalam proses arbitrase. Dengan
kata lain, seorang arbitrer harus mempertimbangkan perhitungan waktu yang realistis dalam
menerima penunjukan.
Terkait penolakan penunjukan tersebut, calon arbitrer tidak perlu khawatir mendapatkan
reputasi buruk. Dirinya dapat menjelaskan secara profesional alasan penolakan dan
menunjukkan bahwa dirinya akan memiliki waktu untuk kasus selanjutnya. Para pihak dalam
sengketa harus mempertimbangkan hal ini dalam memilih seorang arbitrer.
Selain hal tersebut di atas, jika calon arbitrer tetap menerima penunjukan, masalah
selanjutnya adalah pemilihan arbitrer ketiga atau ketua majelis. Ketua majelis adalah seorang
arbitrer yang akan memimpin majelis arbitrase serta proses (sidang) arbitrase, dan sampai
batas tertentu memiliki wewenang penuh dalam membuat keputusan tertentu. Karena itu,
pemilihan ketua majelis sangat penting dalam arbitrase. Dalam hal ini, ketua majelis harus
memiliki reputasi yang baik, bijak, kooperatif, berpengetahuan luas, berpengalaman puluhan
tahun dalam bidang (profesi) tertentu, dan ahli dalam arbitrase.
Jika ketua majelis seperti itu berhasil diangkat oleh para koarbitrer, ada kemungkinan besar
bahwa proses arbitrase akan berjalan lancar sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.
Sebaliknya, jika ketua majelis yang ditunjuk tidak memiliki ciri-ciri seperti itu, proses
arbitrase memiliki risiko terhambat, yang bisa menyebabkan penundaan dan biaya tambahan
bagi para pihak.
Memasuki Proses Arbitrase
Salah satu keuntungan dari proses arbitrase dibandingkan dengan litigasi di pengadilan
adalah majelis arbitrase dapat membentuk prosedur khusus atas suatu kasus tertentu berupa
sebuah kerangka proses arbitrase. Berdasarkan ICC Rules 2012, kerangka proses arbitrase
terdiri atas kerangka acuan, rapat manajemen kasus, dan jadwal prosedural.
Setelah menentukan kerangka prosedur arbitrase, majelis arbitrase selanjutnya dihadapkan
dengan proses pelaksanaan arbitrase. Kerangka prosedur arbitrase yang baik akan sangat
memudahkan implementasi proses pelaksanaan arbitrase ke depan.
Selanjutnya dalam proses arbitrase, sidang juga merupakan bagian yang penting dari proses
arbitrase. Dalam kasus tertentu, jika tahapan dalam persidangan tidak diatur dengan benar
seperti penjadwalan sidang dan waktu membuat pembelaan para pihak, akan mengakibatkan
103
penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak. Karena itu, penting untuk melakukan
manajemen kasus yang baik untuk mencapai suatu arbitrase yang efisien.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam sidang. Yang pertama adalah menghindari
pernyataan pembuka (opening statement) atau pernyataan penutup (closing statement) dan
pembelaan yang panjang dan berbelit-belit. Sebuah pernyataan pembuka adalah kesempatan
untuk membuat ringkasan dari sebuah kasus dan dapat membantu pemahaman majelis
arbitrase pada isu-isu kunci. Semakin panjang pernyataan tersebut, semakin besar
kemungkinan untuk mengadakan sidang lanjutan.
Selanjutnya sehubungan dengan pemeriksaan saksi dan ahli selama persidangan, majelis
arbitrase harus mempertimbangkan apa yang terbaik, dalam kasus tertentu, untuk
mengungkapkan fakta-fakta yang benar dan penilaian yang paling meyakinkan. Lebih baik
mendengar saksi dan ahli yang pernyataan dan laporan tertulisnya telah disampaikan di
muka.
Untuk menghindari pengulangan dalam bertanya di persidangan, majelis arbitrase diharapkan
telah memeriksa pernyataan dan laporan tertulis saksi dan ahli tersebut sebelum sidang.
Majelis arbitrase juga harus merekomendasikan kepada para pihak mengenai pembatasan
pemeriksaan lisan terhadap para ahli karena seringkali pendapat hukum tertulis yang diajukan
para ahli dapat sangat membantu proses arbitrase.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah memilih arbitrer yang
memahami arbitrase secara mendalam. Ketidakmampuan arbitrer terkadang mengakibatkan
proses arbitrase menjadi panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit. Karena itu,
pemilihan arbitrer menjadi suatu hal yang penting dalam proses arbitrase sehingga
menghasilkan putusan yang memuaskan para pihak (win-win solution) dengan proses efektif
dan biaya yang tidak mahal.
FRANS H WINARTA
Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase; Arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan
SCIA
104
Kasus Samad dan Masa Depan KPK Koran SINDO 24 Januari 2015
Bahwa menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Abraham Samad sering melakukan kontak-kontak politik dengan orang-orang
PDIP dan atau dengan Tim Capres Jokowi, itu bukanlah berita baru.
Kita sudah lama tahu dan tidak ada alasan untuk tidak percaya. Soal pertemuan Abraham
Samad dengan Jokowi di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, misalnya, pada saat itu pers
memberitakannya secara besar-besaran. Bahkan majalah mingguan Tempo menulis detail,
bagaimana Abraham Samad tiba-tiba meninggalkan forum ceramahnya di UGM dan
langsung lari ke bandara untuk menemui Jokowi begitu mendapat SMS bahwa Jokowi berada
di bandara tersebut.
Tidak ada yang salah jika Abraham Samad secara pribadi merancang masa depan peran
politiknya untuk, misalnya, menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Itu tidak salah
dan merupakan hak politik Abraham yang dilindungi oleh konstitusi, apalagi Abraham
memang sangat potensial dan mendapat banyak dukungan pada saat itu.
Kalau kita membuka file atau kliping pemberitaan di sekitar Mei dan Juni 2014 akan terlihat
betapa banyaknya media massa menyebut nama Abraham sebagai salah seorang calon wapres
yang layak mendampingi Jokowi. Cyber troops atau pasukan media sosial pendukung
Abraham juga aktif meramaikan pertarungan politik di dunia maya saat itu.
Meskipun memang agak sedikit janggal jika dikaitkan dengan kode etik bagi penegak hukum,
secara mendasar tidak ada yang salah dari komunikasi-komunikasi politik yang dilakukan
oleh Abraham itu. Ingat, waktu itu bangsa ini sedang mencari pasangan calon pemimpin yang
akan ditawarkan kepada rakyat. Abraham Samad merupakan salah seorang yang dianggap
layak karena nyalinya besar untuk memerangi koruptor dan dia punya hak politik untuk
mengapitalisasi dukungan itu.
Tetapi ketika pada Kamis dua hari lalu Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkap
berbagai pertemuan politik Abraham Samad dengan pihaknya menjelang Pilpres 2014,
masyarakat kaget, seakan-akan hal itu merupakan berita baru. Muncullah kesan spontan, ini
serangan brutal terhadap KPK, tetapi dengan peluru bekas. Tetapi sebentar dulu, tampaknya
memang ada unsur baru dari berita itu, yakni Abraham Samad memakai masker dan topi
untuk menyembunyikan wajahnya dalam pertemuan-pertemuan yang menurut Hasto ada
bukti-buktinya itu. Kalau benar, untuk apa Abraham harus berdrama seperti itu? Mengapa
tidak terang-terangan saja tampil berbicara tanpa topeng segala?
105
Yang lebih mengagetkan adalah penjelasan Hasto bahwa pada pertemuan itu Abraham
menyatakan telah menolong orang PDIP yang terkena kasus, tentu, sebagai bagian dari barter
politiknya. Nah, kalau itu benar, masalahnya menjadi sangat serius. Dunia penegakan hukum
menjadi sangat ternoda: penegak hukum menolong orang terlibat kasus hukum melalui barter
politik.
Demi kebenaran dan masa depan, penegakan hukum masalah ini harus dituntaskan secara
benderang. Kita berharap cerita Hasto itu tidak benar adanya. Tapi cerita ini harus diungkap
tuntas, tak boleh menjadi bahan barter politik baru dalam kasus-kasus hukum yang sedang
berjalan. Apa pun yang menodai dan akan melemahkan KPK harus dibersihtuntaskan tanpa
membahayakan KPK itu sendiri.
Belakangan ini, para aktivis pro-demokrasi dan penegakan hukum memang sedang sangat
mencemaskan masa depan KPK. Lembaga penegak hukum yang gagah perkasa ini selalu
mendapat serangan dari berbagai penjuru untuk didegradasikan dengan berbagai cara agar
taring-taringnya habis dan akhirnya bubar. Bukan rahasia lagi, menguat pendapat di
masyarakat bahwa KPK tak disukai oleh banyak politisi yang selalu mengganggunya dari
Gedung DPR di Senayan.
Serangan balik para koruptor (corruptors fight back) yang bersinergi dengan politisi
penyerang KPK telah benar-benar mencemaskan kita. Itu sudah sering dan sejak lama terjadi.
Upaya membonsai KPK melalui pengujian UU KPK ke Mahkamah Konstitusi telah
dilakukan belasan kali tetapi MK selalu memberi penguatan terhadap KPK.
Upaya mempreteli wewenang KPK melalui revisi UU (legislative review) juga sudah sering
dilemparkan tetapi civil society masih selalu bisa menghalaunya. Kita sungguh cemas,
jangan-jangan pada tahun ini, melalui momentum pemilihan kembali komisioner KPK yang
akan habis masa baktinya pada Oktober 2015 taring-taring KPK benar-benar dicabut di DPR.
Untuk belasan tahun ke depan, kita masih sangat membutuhkan KPK demi masa depan
Indonesia yang lebih baik. Kalau KPK lumpuh atau dilumpuhkan, akan runtuhlah harapan
kita untuk bisa memerangi korupsi dengan efektif, padahal gurita korupsi sedang mengancam
keselamatan negara kita. Ke depannya, kita berharap ada sinergitas positif antara Kejaksaan
Agung, Polri, dan KPK dalam memerangi korupsi demi keselamatan negara dan demi
keselamatan kita.
Di antara gulitanya kecemasan itu, kita masih bisa berharap KPK bisa baik-baik saja, karena
pada saat kampanye Pilpres Jokowi menyatakan akan mendukung KPK bahkan akan
menaikkan sepuluh kali lipat anggaran KPK. Dalam pada itu, dua hari lalu, di depan
silaturahim lintas politik Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Wapres Jusuf
Kalla mengatakan, ”Negara akan hancur dan bubar jika pemerintahnya membiarkan
ketidakadilan dan tidak bisa memerangi korupsi secara sungguh-sungguh”.
107
Moment of Truth bagi Polri Koran SINDO 24 Januari 2015
“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Kalau mau konsekuen dengan
perkataan Allah bahwa manusia adalah gudangnya alpa, maka masyarakat semestinya tidak
bisa menganggap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto
sebagai manusia bertabiat nabi.
Begitu pula jika mau berpedoman pada mazhab behaviorism bahwa manusia bisa belajar
sepanjang hayat, maka publik sepatutnya tidak bisa menolak mentah-mentah langkah hukum
yang Polri ambil terhadap wakil ketua KPK itu. Tidak tertutup kemungkinan operasi kilat
kemarin pagi itu adalah wujud membaiknya profesionalitas Polri.
Namun, faktanya sedemikian benderang. Bisa dibilang, apa pun yang KPK lakukan,
dukungan masif langsung mengalir. Demikian pula ketika petinggi dan personel komisi anti-
rasuah itu disebut-sebut bermasalah hukum, barikade fisik, dan opini serta-merta tegak
berdiri menjaga mereka. Di seberangnya adalah korps Tribrata.
Terlebih manakala bersangkut paut dengan penindakan kasus korupsi, hingga kini masih
terdapat skeptisisme besar terhadap kesungguhan Polri. Khalayak cenderung abai terhadap
kenyataan bahwa, sebagaimana dinyatakan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad, niscaya
ada personel-personel Tribrata yang berwatak lurus dan bertentangan dengan stigma negatif
Polri.
Cara pandang di atas memang sarat bias. Komunitas psikologi menyebutnya sebagai
availability bias. Bias semacam itu terbentuk antara lain akibat ekspos media. Polri
tampaknya lebih sering ditampilkan dengan penekanan pada serbaneka sisi negatifnya,
sedangkan KPK lebih sering ditangkap pengindraan pemirsa dengan rupa-rupa
kegemilangannya menggilas koruptor.
Pewartaan tersebut pada gilirannya membentuk keyakinan publik pada “realita sosial” bahwa
KPK adalah baik dan Polri adalah tidak baik. Kalangan yang yakin bahwa pola pikir terbaik
harus berbasis pada rasionalitas sempurna, tentu akan menilai pemikiran bias sebagai cacat
kognitif yang akan berujung pada kekeliruan. Semakin banyak data atau informasi tentang
suatu hal, semakin akurat pula keputusan dihasilkannya.
Sebaliknya, ada pula kelompok pemikir yang menganggap rasionalitas sempurna sebagai
kemustahilan. Manusia, dalam teori mereka, hampir selalu untuk tidak mengatakan selalu
berpola pikir jalan pintas atau heuristic. Pola pikir jalan pintas, karena bersifat kodrati, tidak
108
bermutu rendah. Heuristic, berdasarkan banyak riset, justru kerap menghasilkan simpulan
ataupun putusan yang lebih berkualitas daripada rasionalitas sempurna. Rasionalitas versus
heuristic; membawanya ke dalam konteks penangkapan Bambang Widjojanto (baca:
pertikaian KPK dan Polri), pola kognitif mana yang sebaiknya dikenakan?
Kendati masyarakat luas tak terkecuali saya angkat topi terhadap kinerja KPK, kurang baik
apabila dukungan terhadap KPK ditegakkan di atas proses berpikir jalan pintas. KPK harus
terus dikawal secara kritis. Setali tiga uang, sikap kontra terhadap kerja Polri tidak elok
dibangun di atas bias. Polri patut terus memperoleh kepercayaan untuk maju. Karena Polri
adalah lembaga penegakan hukum, korps tersebut perlu diberikan kesempatan untuk
menjalankan fungsinya itu terhadap Bambang Widjojanto.
Polri pantas diberikan tantangan bahwa mereka tidak bermain api, apalagi menjadi instrumen
politik, saat menangkap sosok yang sudah sedemikian gigih memerangi korupsi. Konkretnya,
karena Polri mengaku telah memiliki tiga alat bukti, maka semestinya tidak butuh waktu
terlalu lama bagi Polri untuk mematahkan syak wasangka publik lewat terselenggaranya
persidangan atas Bambang.
Hanya dengan mekanisme seperti itulah masyarakat dapat diajak untuk berpikir secara
rasional sempurna sekaligus mengesampingkan sentimen apriori mereka. Apabila proses
hukum benar-benar membuktikan bahwa Bambang bersalah, Polri patut menerima apresiasi.
Ibarat pemain akrobat sirkus, mereka mampu menegakkan kebenaran dengan meniti tipisnya
tali dukungan publik yang membentang di atas kobaran api antipati.
Tetapi sebaliknya, andaikan Polri gagal membuktikan apa yang mereka tuduhkan terhadap
Bambang, bahkan justru menelanjangi diri mereka sendiri seiring terkuaknya berbagai
rekayasa hukum, maka institusi tersebut pantas menerima ganjaran keras. Sanksi terberatnya
adalah, seperti yang dilakukan otoritas Veracruz di Meksiko pada 2011 silam, pembubaran
institusi kepolisian.
Di wilayah tersebut, seluruh petugas kepolisian dan staf administrasi diberhentikan sebagai
cara untuk membersihkan lembaga kepolisian dari korupsi. Pengambilalihan peran polisi oleh
militer telah beberapa kali dilakukan di sana. Namun, baru kali itulah pembubaran total
diambil sebagai solusi.
Setelah di-PHK, mantan polisi dan staf administrasi bisa melamar serta memperoleh
pekerjaan kembali, asalkan berhasil melalui proses seleksi yang jauh lebih ketat. Dan selama
itu belum berhasil direalisasikan, tentara terus ditugasi untuk bekerja laiknya polisi.
Waldo City Council, Amerika Serikat tahun lalu pun menunjukkan ketegasan serupa berupa
pembubaran institusi kepolisian setempat. Penyebabnya, lagi-lagi, adalah penyalahgunaan
kewenangan yang kronis oleh kepolisian. Berabad sebelum itu, Gubernur Hong Kong Sir
Henry Pottinger juga memutuskan pemberhentian seluruh personel polisi Hong Kong dan
menjadikan tentara sebagai penggantinya.
109
Pembubaran lembaga kepolisian memang tidak melulu disebabkan oleh masalah dekadensi
moral organisasi dan personel (institutional reason). Contingency reason, berupa pengetatan
anggaran, juga merupakan faktor lain. Namun seiring perjalanan waktu, tuntutan besar akan
pembubaran institusi kepolisian memang kian didominasi oleh masalah-masalah terkait
tindak-tanduk buruk aparat kepolisian.
Langkah revolusioner sedemikian rupa memang dapat berisiko pada meningginya frekuensi,
variasi, dan intensitas kejahatan. Namun jika militer memiliki kesiapan untuk mengantisipasi
rangkaian problem susulan tersebut, pemvakuman lembaga kepolisian untuk sementara waktu
tetap merupakan sebuah opsi yang patut dipertimbangkan guna memurnikan organisasi
tersebut.
Tentu, hanya pemerintah dan DPR yang tangguh lagi istikamah yang siap meletakkan opsi
tersebut di atas meja. Pembubaran institusi kepolisian adalah harga mahal. Luar biasa mahal.
Namun, simpulan riset Jennifer Marek (2013) dapat menjadi penggedor semangat. Bahwa,
persepsi publik akan korupnya lembaga kepolisian berhubungan secara signifikan dengan
pandangan masyarakat bahwa pemerintah mereka pun bergelimang dalam kebusukan yang
sama. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
110
Pemerintah Tak Perlu Khawatir pada Media Massa
Koran SINDO 24 Januari 2015
“Semua tahu kita ini selalu dipotret, selalu diikuti, dan selalu dinilai media. Meskipun perlu
saya sampaikan ekspos media, belum tentu mewakili kinerja pemerintahan. Media sebagai
pembawa pesan akan membentuk persepsi, imej terhadap kinerja pemerintah. ...Persepsi
media terhadap kinerja pemerintah didasarkan atas berbagai variabel. Ada aktivitas-aktivitas,
ada kebijakan-kebijakan, ada langkah- langkah menteri maupun institusi lain. (Semua)
dipotret media dari berbagai sudut, pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi”.
Kira-kira demikian yang dikatakan Presiden dalam rapat kabinet pada 7 Januari 2015 lalu,
seperti yang dikutip beberapa media. Apa yang dilakukan Presiden dengan menginstruksikan
mesin intelijen untuk mengawasi 343 media, cukuplah beralasan. “Takut dan khawatir”
media akan selalu memberitakan yang tidak baik terhadap kinerja Kabinet Kerja. Karena
media massa, seperti yang diungkapkan oleh Harsono Suwarno (Ibnu Hamad, 2004),
memiliki peranan penting dalam pembentukan opini karena beberapa aspek.
Pertama, media memiliki kekuatan yang cukup dalam menyosialisasikan informasi. Kedua, ia
bisa melipatgandakan pesan dengan sangat baik. Ketiga, setiap media mampu
mempresentasikan wacana pada kejadian tertentu sesuai dengan cara pandang media itu
sendiri. Keempat, dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki peluang
yang besar untuk menyajikan berita atau kejadian berdasarkan agenda setting yang
dimilikinya.
Dan kelima, apa yang diberitakan oleh media biasanya berhubungan dengan media yang lain
sehingga membentuk lingkaran pada penciptaan peluang yang lain secara otomatis. Inilah,
media tidak hanya menyajikan informasi tetapi juga bisa memengaruhi publik. Untuk itu jika
memberitakannya selalu minor, misalnya, persepsi masyarakat pun tidak lebih dari pada itu.
Pertanyaannya, haruskah Presiden sekhawatir itu? Padahal tidak sedikit kejadian atau fakta
yang luput dari mata dan hati pengambil kebijakan bisa terungkap secara rapi ke publik
karena peran media massa, dan pengambil kebijakan selalu mengambil manfaat dari itu.
Media sebagai Mitra
McLuhan (Rachmat, 2000) mengatakan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra
kita. Dengan media massa, kita memperoleh tentang gambaran benda, orang, atau tempat
111
yang kita alami secara langsung. Negara Indonesia ini terlalu luas untuk kita masuki
semuanya. Televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh
dari jangkauan alat indra kita. Surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala
yang terjadi waktu kini di seluruh penjuru Indonesia.
Media massa, elektronik ataupun cetak, pada dasarnya juga adalah media diskusi publik
tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak, yaitu wartawan, sumber berita, dan
khalayak. Ketiga pihak tersebut mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-
masing dan hubungan mereka, di antaranya terbentuk melalui operasionalisasi teks yang
mereka konstruksi. Hubungan ketiganya pun juga saling terhubung satu dengan yang lainnya.
Wartawan membutuhkan sesuatu yang bisa dijadikan berita dan juga bisa bernilai ekonomis,
sumber berita butuh dipublikasikan dan diakui, sedangkan khalayak membutuhkan
informasi.
Tugas dari seorang wartawan secara sederhana adalah bekerja mencari berita, mengolah,
mengedit, dan kemudian menyajikannya kepada khalayak dengan sadar dan bertanggung
jawab. Artinya, tanggung jawab pemberitaan yang didasarkan kepada kepentingan publik,
kebenaran, hukum yang berlaku, common sense dan akal sehat.
Sedangkan khalayak membutuhkan informasi itu semua, dan mereka selalu memberikan
feedback atau respons balik berdasarkan informasi yang mereka terima. Jika informasi yang
mereka terima benar dan cocok dengan common sense, biasanya mereka pun merespons
dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya.
Dalam konteks tersebut, semestinya media bisa dijadikan mitra positif, membangun budaya
dan peradaban bangsa Indonesia. Presiden, menteri, dan instansi terkait yang secara tidak
langsung menjadi sumber berita. Mereka adalah pejabat publik yang bertanggung jawab
kepada masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan dibiayai juga dari pajak yang
dibayar oleh masyarakat.
Maka kebijakannya pun harus berorientasi kepada masyarakat. Di sinilah mereka
membutuhkan publisitas sebagai bentuk “pertanggungjawaban” sehingga masyarakat
mengetahuinya. Tapi di sisi lain, mereka harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan
mengeluarkan kebijakannya karena apa pun bentuknya, melalui media, masyarakat akan
menilainya.
Namun, mitra, di sini, tidak dimaksudkan bahwa media digunakan sebagai alat propaganda
negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni).
Dalam hal ini, ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk
menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Media juga tidak
dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara.
Media harus berani menolak dan melawan hegemoni jika harus melayani negara (servant of
the state). Akan tetapi, pemerintah harus memosisikan media sebagai kawan yang selalu
112
menyuarakan dan juga mengingatkan ketika ada kesalahan. Kawan untuk membangun
demokrasi bersama-sama. Media bukanlah lawan yang harus selalu diawasi oleh mesin
intelijen. Ingat, media dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
Media dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya checks and balances
dari berbagai kekuasaan yang ada. Di antara fungsi media adalah sebagai watchdog, yaitu
mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah),
organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta.
Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apa jadinya pemerintahan tanpa adanya
kebebasan pers atau media, dan media tanpa adanya pemerintahan? Akhirnya, apa pun yang
diberitakan media merupakan masukan dan pengingat bagi para pihak, termasuk Presiden,
untuk dijadikan pijakan dalam melakukan perubahan.
HASAN ASYARI
Kader Muda Perindo
113
Perhatian pada Kasus BG Koran SINDO 26 Januari 2015
Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan yang berjudul: “Kasus BG Alat Bukti dan
Tersangka”, yang ditulis oleh Prof Romli Atmasasmita pada KORAN SINDO, Jumat, 23
Januari 2015.
Tulisan Prof Romli cukup baik karena ditulis oleh seorang guru besar yang penuh
pengalaman di dalam dan luar kampus, termasuk pengalaman beliau di pemerintahan,
khususnya di bidang hukum. Prof Romli mengungkapkan keprihatinannya dengan cara-cara
penanganan kasus korupsi yang kental dengan muatan politis yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara yang arogan.
Berbagai cara pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dianggap dilakukan tanpa hati
nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa Timur yang dikenal dengan keluhuran
budinya. Pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk
menjerakan secara melawan hukum.
Langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang kurang pantas
dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan. Langkah ini dianggap bertentangan dengan
semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat
bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan KPK berulang-ulang, penanganan kasus tindak
pidana korupsi di KPK tidak ada yang bermuatan politis. Walau demikian, karena yang
terkena sebagian besar memiliki kekuasaan atau kedudukan, dirasakan ada muatan politis
dalam kasus yang ada.
Kami menyadari penanganan kasus korupsi seringkali dilakukan dengan cara-cara
pengumuman tersangka dalam suatu konferensi pers yang kadangkala mempermalukan
tersangka dan keluarganya. Ini dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang
menggunakan prinsip naming and shaming, menyebutkan nama orangnya dan
mengumumkannya kepada publik secara transparan. Dengan cara ini, diharapkan ada
penjeraan kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi. Dengan
penanganan secara transparan ini, selain untuk akuntabilitas, juga dapat memberikan
kesempatan kepada publik untuk melakukan pengawasan terhadap kasus tersebut.
Kiranya perlu dikaji kembali apakah penerapan prinsip naming and shaming ini lebih baik
dilaksanakan sejak penyidikan atau setelah ada putusan pengadilan. Juga perlu diperhatikan
114
bagaimana dampak penerapan prinsip ini sejak penyidikan terhadap keberhasilan pencegahan
dan pemberantasan korupsi.
***
Kasus BG dimulai dengan ada laporan hasil analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik
Indonesia dan Jaksa Agung pada 2010. Kemudian majalah Tempo edisi 28 Juni 2010 dengan
judul “Rekening Gendut Perwira Polri” memuat informasi mengenai aliran dana dan
transaksi sejumlah perwira dan purnawirawan Polri yang sumber informasinya diindikasikan
kuat berasal dari LHA tersebut.
Dengan beredarnya substansi LHA tersebut, pada 30 Juni 2010 PPATK berkirim surat
kepada kepala Polri yang ditandatangani Wakil Kepala PPATK Prof Gunadi karena kepala
PPATK sedang dalam perjalanan dinas di luar negeri, yang sangat menyesalkan dan sungguh
prihatin dengan terjadi kebocoran informasi.
PPATK juga meminta kepala Polri melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal mula
kebocoran LHA dan menindak tegas pelakunya. PPATK juga meminta dilakukan tindakan
segera untuk mengatasi kebocoran informasi tersebut dan memperbaiki mekanisme internal
untuk mencegah kemungkinan terjadi pembocoran pada masa mendatang.
Setelah kebocoran tersebut, saya sebagai kepala PPATK ditemani Direktur Kerja Sama
PPATK Brigadir Jenderal Polisi Tri Priyo mengadakan pertemuan dengan Kepala Badan
Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi di Jakarta. Pada
pertemuan tersebut, kami mempertanyakan masalah sumber kebocoran informasi yang
berasal dari LHA PPATK.
Beliau menjawab; “Pak Yunus, kalau tidak membocorkan, tenang saja tidak perlu khawatir.”
Lalu dari mana sumber kebocorannya? Menurut beliau, sumber kebocoran berasal dari
perwira Polri yang kecewa karena tidak naik pangkat walau sudah dijanjikan oleh Kapolri.
Perwira inilah yang memberikan informasi yang bersumber dari LHA kepada wartawan
Tempo.
Siapa perwira yang membocorkan tersebut, saya tidak pernah tahu. Mungkin pembocor ini
seorang yang sakit hati atau merasa kurang diperhatikan/disingkirkan. Ini pernah terjadi pada
waktu kebocoran laporan pemeriksaan Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan RI pada
1999 yang mengindikasikan hilangnya uang sebesar Rp300 miliar dari dana operasional surat
izin mengemudi (SIM) dan praktik penyelewengan dana pengamanan Pemilihan Umum 1999
sebesar Rp96,7 miliar rupiah (Tempo, 12 Maret 2000).
Semoga penjelasan ini bisa memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Akhir-akhir ini
hasil penyelidikan terhadap LHA PPATK tersebut disertai hasil investigasi wartawan dimuat
pada beberapa media massa, seiring dengan pencalonan BG oleh Presiden sebagai calon
115
tunggal kepala Polri walau sebelumnya KPK dan PPATK tidak merekomendasikan BG
sebagai calon menteri.
KPK juga menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai
tersangka ini mengundang berbagai pertanyaan dan reaksi yang beragam. Sebagian
menyatakan sah-sah saja KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sebagian mempertanyakan
kenapa KPK begitu lama menetapkan BG sebagai tersangka dan baru menetapkannya
sekarang setelah BG dicalonkan sebagai calon tunggal kepala Polri? Mengapa rekening
gendut lainnya milik perwira Polri lainnya tidak diselesaikan juga?
Masalah timing dan cara mengumumkannya sebagai tersangka dianggap kurang tepat dan
tidak etis menjadi seorang calon kepala Polri sebagai tersangka. Ada yang berpendapat
perbuatan KPK ini kurang menghargai Presiden Jokowi sebagai pejabat tertinggi dalam
pemerintahan presidensial. Prof Romli berpendapat sikap KPK ini sama dengan melawan
kebijakan Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara yang bertentangan
dengan etika hubungan kelembagaan antarlembaga negara.
***
Berdasarkan Undang- Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, sekarang ada empat macam
produk PPATK yaitu LHA, LHP (hasil pemeriksaan), rekomendasi, dan informasi. LHA dan
LHP ini biasa diberikan kepada penegak hukum. Dalam standar internasional LHA bukanlah
alat bukti, baik bukti tertulis atau bukti surat. LHA hanya merupakan petunjuk mengenai
dugaan terjadi tindak pidana, baik berupa tindak pidana asal dan atau tindak pidana pencucian
uang.
LHA dan dokumen lain dari PPATK harus dirahasiakan oleh pejabat dan pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau
keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagai pengatur dan pengawas industri jasa keuangan dengan ancaman paling lama empat
tahun penjara.
LHA ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik yang menurut Pasal 74 UU No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional, dan
penyidik pajak. Selanjutnya penyidik melakukan penyelidikan untuk membuat jelas apakah
tindak pidana asal atau TPPU sudah terjadi. Apakah barang bukti dan alat-alat bukti sudah
cukup untuk meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dengan tersangka yang sudah bisa
ditentukan.
Berdasarkan UU TPPU tersebut, KPK meminta beberapa LHA dari PPATK terkait kasus BG.
Tampaknya KPK memerlukan waktu yang lama karena KPK melakukan penyelidikan yang
hati-hati dan mendalam karena menyangkut seorang petinggi kepolisian dan kasusnya juga
116
tidak sederhana. Mungkin karena alasan itulah, penyelidikan kasus ini agak lama dan
memakan waktu lebih setahun.
Marilah kita tidak saling menyalahkan, tetapi berusaha selalu menyelesaikan masalah dengan
musyawarah dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau kepentingan. Kurangilah
pernyataan yang tidak perlu atau mengecam.
Semoga kita mampu mencari jalan keluar terbaik terhadap masalah yang timbul sebagai
akibat pencalonan BG sebagai kepala Polri dengan cepat dan dengan tetap mengutamakan
kepentingan negara atau umum di atas kepentingan pribadi, kelompok atau partai, sehingga
kita dapat lebih efektif memberantas korupsi dan lebih fokus membangun untuk tercipta
Indonesia yang hebat dan jaya.
YUNUS HUSEIN
Kepala PPATK Periode 2002-2011
117
Timur Tengah Pasca-Abdullah Koran SINDO 27 Januari 2015
Setelah bertahta selama satu dasawarsa Raja Abdullah meninggal dunia. Selama
pemerintahannya, Raja Abdullah berhasil meletakkan dasar-dasar reformasi politik, sosial,
keagamaan, dan perdamaian di Arab Saudi dan regional Timur Tengah.
Para pemimpin tertinggi negara-negara “sekutu” Arab Saudi seperti Barack Obama (AS),
Francois Hollande (Perancis), David Cameron dan Pangeran Charles (Inggris), Recep Tayyip
Erdogan (Turki), Nawaz Sharif (Pakistan) takziah langsung dan memberikan penghorma tan
terakhir. Kehadiran mereka merupakan pertanda pentingnya peranan Arab Saudi di dunia
internasional.
Lima Tantangan Salman
Sesuai sistem baiat, Salman bin Abdul Aziz al-Saud menduduki singgasana menggantikan
Raja Abdullah. Sistem tersebut diciptakan oleh Raja Abdullah pada 2006 untuk tiga tujuan:
menjamin keberlangsungan kepemimpinan kerajaan, menghindari perebutan kekuasaan di
antara para putera mahkota, dan menyiapkan pemimpin kerajaan yang kompeten. Arab Saudi
pernah mengalami masalah suksesi kepemimpinan ketika Raja Faisal dibunuh pada 1975.
Raja Salman berkuasa ketika Arab Saudi berada dalam kondisi yang kuat dan stabil. Walau
demikian, Salman mengalami lima tantangan yang tidak ringan. Pertama, masalah “rumah
tangga” kerajaan. Ini terutama terkait suksesi generasi kedua pasca-Salman. Sudah menjadi
rahasia umum, terdapat rivalitas di antara para putera mahkota. Jika Salman tidak arif
membagi kekuasaan dan memelihara hubungan baik dengan semua ahli waris kerajaan,
suksesi berikutnya belum tentu aman oleh permusuhan dalam selimut.
Kedua, masalah keamanan terutama radikalisme dan terorisme. Dalam dua puluh tahun
terakhir, Pemerintah Arab Saudi harus bekerja keras melawan berbagai tindak kekerasan.
Pada masa pemerintahan Raja Fahd, serangkaian aksi kekerasan terjadi pada Juni 1996;
Maret 2001; Mei dan November 2003; April, Mei, Juni, dan Desember 2004.
Aparat keamanan Arab Saudi beberapa kali berhasil menggagalkan upaya teror. Hanya ada
sekali serangan teror pada masa kepemimpinan Raja Abdullah (Februari 2007). Tetapi,
negara petro dolar itu tidaklah sepenuhnya aman. Raja Salman harus bekerja lebih keras
memadamkan bara dalam sekam, terutama dari jaringan al-Qaeda yang merupakan “anak
kandung” Kerajaan Saudi.
Ketiga, masalah kedaulatan terutama separatisme di wilayah selatan. Arab Saudi adalah
118
negara yang sangat sensitif terhadap Syiah. Selain terkait ideologi, juga terkait gerakan
politik kaum separatis Syiah di perbatasan Yaman dan wilayah timur yang kaya minyak.
Ancaman separatisme lain datang dari pada pendukung Islamic State pimpinan al-
Baghdadi. Sebagai keturunan Quraisy, al-Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah
dan merasa diri lebih berhak memimpin negara dibandingkan dengan keluarga Saudi.
Keempat, masalah ekonomi, terutama ancaman pengangguran. Separuh penduduk Arab Saudi
adalah kelompok muda di bawah 25 tahun. Masalah ini disebabkan oleh dua hal utama.
Pertama, kebijakan negara yang cenderung“memanjakan”. Generasi muda Saudi
dininabobokan dengan fasilitas sehingga miskin kreativitas dan malas. Kedua, aset-aset
strategis ekonomi dimonopoli oleh keluarga kerajaan sehingga rakyat tidak memiliki akses
luas. Kesenjangan sosial yang semakin menganga bisa mengobarkan semangat melawan
kerajaan.
Kelima, masalah politik dan hak asasi manusia. Arab Saudi merupakan salah satu negara
yang paling buruk dalam penegakan hak asasi manusia, khususnya hak politik. Pada 2009,
Komisi HAM PBB mengingatkan tingginya represi dan pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Amnesti internasional menyimpulkan Pemerintah Arab
Saudi tidak bersungguh-sungguh memenuhi komitmennya dalam pemenuhan hak-hak sipil di
negaranya.
Dunia mencatat reformasi politik yang telah dilakukan Raja Abdullah. Tetapi, bagi para
pejuang hak asasi manusia, langkah- langkah tersebut belumlah signifikan. Merujuk Muasher
(2014: 29) “...Saudi Arabias record on political and cultural diversity, representative
government, and womens record on political and cultural diversity, representative
government, and womens rights ... does not suggest a moderate, reformist approach.”
Pemerintah Arab Saudi harus me-reken dampak Arab Spring terhadap gerakan politik dan
hak asasi manusia yang merembet ke negaranya.
Perubahan di Timur Tengah?
Para analis menilai Raja Salman adalah figur religius yang cenderung konservatif. Dalam
bidang ekonomi dia cenderung pragmatis. Karena itu, pemerintahan Raja Salman tampak
akan lebih memperkuat orientasi keagamaan dan memperluas pengaruh Arab Saudi dalam
bidang agama.
Dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan meningkatkan ekonomi, Raja Salman
tampaknya akan lebih memperkuat pertahanan, mengefektifkan anti-terorisme, dan lebih
tegas terhadap separatisme. Pilihannya adalah mempererat kerja sama dengan pemerintahan
Yaman yang konservatif untuk menekan gerakan kaum minoritas Syiah. Jika langkah ini
dilakukan, Arab Saudi akan semakin bersitegang dengan Iran yang selama ini ditengarai
mendukung gerakan Syiah.
119
Konstelasi politik di Timur Tengah akan berubah jika Pemerintah Arab Saudi melakukan
ekspansi ideologi Wahabisme yang sudah dirintis sejak era 1970-an. Tujuan utama langkah
ini “merebut kembali” supremasi Arab Saudi sebagai “pemimpin” umat Islam dunia. Arab
Saudi adalah inisiator pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Rabitah Alam
Islami.
Langkah Pemerintah Arab Saudi ini tidak akan mudah. Pertama, faktor nasionalisme Arab
yang menguat setelah negara-negara Arab merdeka dari kolonialisme. Kedua, faktor
kemajuan ekonomi dan politik Turki. Dalam sejarah, Arab pernah dikuasai oleh Turki
Utsmani. Pengaruh Arab Saudi mulai digeser Turki terutama setelah OKI berubah menjadi
Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation), Juni 2011.
Ketiga, faktor perubahan kepemimpinan Iran. Sejak Revolusi Islam Iran 1979, Saudi begitu
khawatir dengan kebangkitan kaum Syiah di berbagai penjuru dunia. Saudi juga menaruh
perhatian serius dengan membaiknya hubungan Iran dan negara-negara Barat setelah Hasan
Rouhani memegang tampuk kekuasaan. Benturan Sunni-Syiah di Timur Tengah dengan
segala dampak politik yang menyertainya adalah perkembangan yang sangat berpengaruh
terhadap perdamaian. Dalam konteks ini kebijakan luar negeri Arab Saudi akan sangat
berpengaruh terhadap penyelesaian konflik di Suriah, Palestina, dan Mesir.
Tujuan lain dari ekspansi Wahabisme adalah meluruskan kesalahpahaman dan memperbaiki
citra Pemerintah Arab Saudi. Pascapemboman WTC 2001, citra Arab begitu buruk dan
terpuruk. Sebanyak 15 dari 19 eksekutor pemegang paspor Arab Saudi. Karena itu,
pemerintahan Raja Abdullah merintis dialog lintas iman dengan Vatikan. Pemerintah Saudi
juga mendirikan organisasi yang mensponsori dialog antariman.
Bisa jadi Raja Salman akan meninjau ulang kebijakan ini. Citra Arab sebagai “agen”
radikalisme dunia belum berubah sepenuhnya. Selain itu, kedekatan dengan Barat justru
membangkitkan radikalisme dan sentimen anti-Barat di dalam negeri.
Perubahan kepemimpinan di Arab Saudi tentu akan berpengaruh terhadap Indonesia. Secara
keagamaan, bangsa Indonesia memiliki emosional keagamaan dan pendidikan yang
kuat. Diperkirakan, ada jutaan warga negara Indonesia bermukim di Arab Saudi. Indonesia
juga sangat berkepentingan terkait jamaah haji dan umrah yang jumlahnya ratusan ribu tiap
tahun. Ratusan warga negara Indonesia (WNI) menunggu eksekusi pidana mati. Berbagai
ketegangan keagamaan di dalam negeri, khususnya yang terkait kaum Syiah, ditengarai
terjadi karena faktor ekspansi ideologi Saudi.
Pemerintahan baru Indonesia perlu mengambil momentum kepemimpinan baru di Arab Saudi
untuk memperbarui hubungan dan menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan,
pendidikan dan keagamaan.
121
Revolusi Mental Jokowi! Koran SINDO 27 Januari 2015
Arena politik hampir tidak pernah sepi dari tarik-menarik kepentingan. Sebab, politik
memang merupakan medan untuk mentransformasikan kepentingan, baik yang bersifat
ideologis maupun non-ideologis.
Pihak yang paling kuat dalam mendesakkan kepentingannya akan memiliki pengaruh paling
besar dalam menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mentransformasikan dan
merealisasikan ide-ide atau kepentingannya. Apalagi, jika yang dianut adalah sistem
multipartai. Tarikan kepentingan bisa datang dari berbagai penjuru dengan motif yang bisa
sangat beragam.
Ketika kepentingan-kepentingan itu telah bercampur baur, sering kali kemudian
menyebabkan rakyat kebingungan dan tidak mampu lagi menilai apa yang sesungguhnya
tengah terjadi. Terlebih jika dimasukkan unsur rekayasa tingkat tinggi kalangan elite politik
dan dibantu oleh media massa yang kehilangan objektivitas dalam menyajikan informasi,
maka pihak yang sesungguhnya benar bisa tampak salah, yang baik menjadi tampak
buruk. Sebaliknya, yang salah malah kelihatan tidak salah, dan yang buruk bisa jadi tampak
baik.
Untuk mencegah konflik politik berlanjut sampai pada taraf yang merugikan atau bahkan
membahayakan kepentingan negara, keterlibatan pemimpin tertinggi negara sangat
diperlukan. Untuk itu, konstitusi memberikan kewenangan yang besar kepada Presiden
sebagai kepala negara.
Karena itu, kecerdasan dan ketegasan Presiden sangat diperlukan. Kecerdasan diperlukan
untuk melihat secara jeli dan tepat tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan apa saja
implikasi yang bisa terjadi dari sebuah kasus yang terjadi. Sedangkan keberanian diperlukan
untuk menentukan sikap secara tegas untuk memberikan keberpihakan kepada kebenaran,
bebas dari intervensi pihak lain, yang tidak sesuai dengan kebenaran yang merupakan
prasyarat dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam negara.
***
Menjelang pilpres lalu Jokowi melontarkan jargon “Revolusi Mental” yang dianggap cukup
monumental. Sebab, kenyataan memang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah
yang sangat akut disebabkan oleh mentalitas negatif sebagian warga negaranya, baik yang
menjadi rakyat jelata maupun yang menempati posisi-posisi strategis sebagai pemimpin di
level masing-masing.
122
Karena itu, revolusi mental berlaku bukan hanya pada rakyat kebanyakan, tetapi
sesungguhnya, yang bahkan lebih penting, adalah bagi para pemimpin. Sebab, dalam konteks
Indonesia dengan masyarakat berkultur feodal, pemimpin sangat berpengaruh kepada cara
berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat luas. Jika para pemimpin memiliki mentalitas
positif, rakyat akan mengikuti mentalitas positif tersebut. Sama dengan jika mentalitas yang
mereka saksikan dan rasakan adalah mentalitas negatif.
Indonesia sudah sekian lama berada dalam kondisi tidak berdaya dalam tata pergaulan
dunia. Sebagai negara besar, Indonesia tidak disegani, bahkan sering dilecehkan. Jika dirunut
dengan baik, pangkal penyebabnya adalah mentalitas korup di kalangan pejabat dan rendah
diri di kalangan rakyat. Karena itu, jargon Jokowi tersebut disambut dengan sangat hangat
oleh sebagian pemilih yang melihatnya sebagai jalan keluar dari keterpurukan.
Mereka berpandangan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani mengatakan
tidak kepada korupsi, termasuk kepada pihak-pihak asing yang sering kali menawarkan
imbalan besar agar pejabat negara menjual kekayaan negara atau membuat kebijakan yang
menguntungkan mereka walaupun merugikan negara sendiri.
Jokowi diharapkan menjadi pemimpin dengan keberanian tinggi itu. Harapan besar itulah
yang menyebabkannya–walaupun berasal dari daerah kecil di Jawa Tengah, tidak memiliki
kekuasaan signifikan di dalam partai, dan belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan
dalam memimpin Jakarta–dipilih menjadi presiden.
Namun, setelah menjadi presiden, Jokowi mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi
janji-janji besar yang pernah dilontarkan pada saat kampanye. Bahkan, kian hari gaya
kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa dia disandera dan dikendalikan oleh tidak
hanya Megawati, tetapi juga pihak-pihak lain yang berasal dari parpol mitra koalisi.
Bukan koalisi yang menjadi oposisi di DPR yang mengganggunya, tetapi justru koalisi
pendukungnya sendiri. Karena gangguan itulah Jokowi tidak mampu membuktikan berbagai
janji yang diucapkan dan menjadi daya tariknya. Janji akan melantik kabinetnya paling
lambat hanya dua hari ternyata melampaui batas hari yang dijanjikan itu. Janji akan membuat
kabinet ramping, kenyataannya kabinetnya hanya beda-beda tipis dengan postur kabinet
sebelumnya. Janji akan mengangkat orang-orang yang profesional, ternyata beberapa figur
dalam kabinetnya diberi jabatan lebih karena posisinya dalam partai, bukan karena rekam
jejak yang meyakinkan sebelumnya untuk menjalankan amanat sebagai menteri dengan
tanggung jawab yang sangat besar.
Penyanderaan terhadap Jokowi kembali tampak dengan sangat jelas pada kejadian kisruh
antara Polri dan KPK. Jokowi tidak mampu menolak keinginan “irasional” dari Ketua Umum
PDI Perjuangan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Tampaknya karena ingin bermain aman dengan memanfaatkan kekuatan lain untuk
menggagalkan Budi Gunawan dari posisi yang diplot oleh Megawati, maka kejadiannya
123
justru menjadi semakin mengkhawatirkan. Dua lembaga negara yang sama bertugas
menegakkan hukum itu malah saling serang dan menyebabkan sebagian masyarakat terbelah
dalam memberikan dukungan.
Dalam keadaan yang sudah genting itu Jokowi ternyata hanya memberikan pernyataan sikap
yang sangat normatif. Lalu mengangkat orang-orang yang dianggap kredibel untuk
menyelesaikan masalah. Padahal, akar masalahnya sangat jelas, yakni kengototan untuk
mengajukan orang dengan status tersangka.
Dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang memiliki hak prerogatif
untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri, Jokowi tetap saja bersikap normatif
dengan sekedar menyerukan agar pimpinan kedua lembaga penegak hukum tersebut
melakukan langkah- langkah secara objektif.
Ini menunjukkan bahwa Jokowi berada pada posisi tidak berdaya menghadapi pesanan yang
datang dari pihak lain. Padahal, seorang Presiden memiliki kewajiban untuk hanya tunduk
kepada konstitusi. Jika Presiden bisa diintervensi oleh pihak-pihak lain untuk mengorbankan
kepentingan negara, tentu akan sangat berbahaya.
Karena itu, Jokowi harus kembali mengingat jargon politiknya sendiri pada saat menghadapi
kampanye. Revolusi mental itu harus diterapkan kepada dirinya sendiri, dengan cara
mengubah sikap untuk hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan menuruti keinginan
pihak-pihak tertentu, termasuk ketua umum partainya sendiri, atau partai lain yang
memberikan dukungan signifikan–apabila itu merugikan kepentingan negara. Apalagi saat
kampanye dulu Jokowi menyatakan bahwa koalisi mereka adalah koalisi tanpa syarat.
Jika Jokowi tidak merevolusi dirinya, kekhawatiran yang pernah disampaikan JK pada saat
menjelang pilpres lalu bisa terbukti. Tentu saja sangat merugikan rakyat Indonesia. Tentu,
kita semua tidak berharap itu terjadi. Wallahu alam bi al-shawab.
DR MOHAMMAD NASIH MSI
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah
Perkaderan Monash Institute
124
Ke(tak)jelasan Sikap Presiden Koran SINDO 28 Januari 2015
Ketika terjadi prahara perselisihan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir semua mata berpaling ke arah Presiden Jokowi.
Presiden di mana? Demikian pertanyaan publik yang ramai didorong di media sosial.
Pertanyaan yang tentu wajar mengingat Presiden Jokowi adalah kepala negara dan kepala
pemerintahan yang sah di negeri ini. Kontrol dan tanggung jawab atas pemerinta h dan negara
juga sebagian berada di pundaknya.
Sesungguhnya, sikap Presiden Jokowi sudah sedikit tergambar dalam cara pandang beberapa
menterinya yang kemudian nyaris tanpa koreksi sama sekali. Menteri yang menjadi pembantu
Presiden beberapa kali menyatakan pernyataan yang memberikan kesan bahwa Presiden tak
akan mengambil langkah langsung, memberikan kesempatan kepada penegakan hukum,
bahkan perkataan yang menyalahkan dukungan kepada KPK adalah bentuk kekanak-kanakan
dan dilakukan oleh rakyat yang tak jelas. Dengan Presiden membiarkan berbagai ucapan ini,
dapat dibaca bahwa Presiden sesungguhnya merestui ucapan-ucapan tersebut.
Pidato Ambigu
Tak hanya melalui para menterinya, Presiden Jokowi sendiri akhirnya menyampaikan
pidatonya. Dua kali. Pertama tentu saja pada hari penangkapan Bambang Widjojanto (BW).
Kala itu, Presiden menyatakan bahwa tak boleh ada pergesekan antara Polri dan KPK. Hal
yang tentu saja membingungkan karena seakan menghindari kasus konkret yang
terjadi. Seakan-akan Polri dan KPK jangan bergesekan, padahal pada faktanya sudah terjadi
perbenturan. Paling diingat, pidato tersebut sama sekali tidak menyentuh perkara yang ingin
diselesaikan.
Tak lama berselang, ada pidato kedua. Kali ini diimbuhi dengan mengenalkan tujuh orang
yang katanya akan menjadi tim dalam penyelesaian kasus ini. Perkembangan terkini, tak lagi
tujuh, tetapi sembilan orang. Bahkan masih ada lagi kemungkinan berbagai tambahan lain.
Sembari kemudian dia menjelaskan dan menegaskan jangan lagi ada kriminalisasi terhadap
KPK maupun terhadap Polri.
Atas dua pidato tersebut, satu hal yang sama adalah keduanya melahirkan ambigu. Posisi
yang tidak jelas. Pertama, pidato ambigu yang tak menjelaskan apa-apa. Posisi Presiden
hanya menegaskan bahwa jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi. Tapi, dalam hal
itu, siapa pun paham itu. Jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi adalah hal yang
125
semua orang paham. Itu adalah pernyataan normatif yang senilai dengan pernyataan; “Ayo
kita semua berbuat baik!” Siapa pun tahu akan hal tersebut.
Tapi tidak jelas, gesekan itu apa, siapa yang melakukan dan sebagainya. Begitu juga
pernyataan soal kriminalisasi. Siapa atas siapa, dan berbagai pertanyaan lainnya hilang tak
terjawab.
Kedua, membentuk tim yang belum terlalu jelas. Pembentukan tim independen tentu adalah
hal yang sangat menarik. Akan tetapi, tim ini sendiri masih akan bergantung pada sekian
banyak faktor. Salah satunya adalah formalisasi tim. Tanpa adanya keputusan Presiden yang
mendasari pembentukannya, maka tetap dikatakan mustahil tim ini diharapkan bisa bekerja.
Keppres adalah landasan hidup untuk sebuah kerja tim. Landasan individual dan konkret
yang akan menjadi sandaran bagi para anggota tim untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya. Sekali lagi, tanpa aturan dasar tentu mustahil dapat dikatakan dapat bekerja
dengan benar.
Selain dasar hukum, faktor yang paling penting adalah isi dari dasar hukum tersebut. Jika
dasar hukum ini berisi hal-hal yang menjelaskan keniscayaan sebuah tim dibentuk, tentu
menjadi hal yang menarik. Akan tetapi jika tidak, sangat percuma membentuk tim. Artinya,
pertanyaan mendasar jika tim ini dibentuk adalah apa kewenangannya? Sejauh mana daya
jelajahnya? Apa saja yang menjadi ranah yang akan dikerjakannya?
Tanpa daya jelajah yang kuat, kemungkinan solutif untuk menyelesaikan perkara menjadi
mengecil. Makanya, jika kemudian tim ini memiliki kewenangan untuk melakukan
pengawasan penegakan hukum, bahkan memiliki hal luar biasa semisal melakukan verifikasi
terhadap dugaan kriminalisasi dan penangkapan dan penahanan tidak wajar tentu akan
menjadi menarik.
Selain itu, kerja-kerja yang membuktikan adanya rekayasa kasus akan sangat berfungsi
menyelesaikan. Termasuk jika rekomendasi tim yang dikeluarkan nanti punya daya mengikat
yang tidak hanya sekedar rekomendasi tanpa ikatan. Artinya, pada faktor ini, andai timnya
dibuat kuat dan taktis, akan sangat kuat digunakan untuk mendorong penyelesaian perkara.
Selain itu, komposisi orang yang ada di tim, serta tata cara kerja mereka juga akan sangat
menentukan kedalaman hasil pemeriksaan yang dapat berujung pada kesimpulan yang
memadai dan solutif.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, tim ini belum kunjung diformalisasi. Belum ada
kepastian akan hadirnya dan berbagai pernik-pernik menentukan seperti yang dituliskan di
atas. Makanya, dalam hal ini, Presiden Jokowi masih menawarkan rencana yang masih jauh
dari hitungan solutif atau tidaknya hasil yang akan dicapai oleh tim.
Harga Ketakjelasan
126
Salah satu yang jadi faktor kuat dalam dugaan ketakjelasan sikap Presiden ini tentunya patut
diduga adalah sumbangsih dari beban politik yang terlalu kuat mendera Presiden Jokowi.
Padahal, sebagai pemilik suara dengan dukungan terbanyak pada pemilihan umum lalu,
Presiden Jokowi harusnya jauh lebih pede dalam bertindak.
Sekadar mengingatkan, posisi yang menjadi prahara ini juga diakibatkan ketakjelasan
Presiden dalam menentukan posisi kepala Polri. Ketidakcermatan Presiden Jokowi dalam
memilih kapolri, sedikit-banyak, telah mengakibatkan posisi mengunci saat ini. Kelambanan
sikap, telah memberikan implikasi yang tidak kecil.
Dan inilah harga besar yang harus dibayarkan. Keberpihakan Jokowi pada kepentingan
partai, telah memberikan label harga yang teramat tinggi, sangat mahal. Dapat dibayangkan,
andai sedari awal Presiden Jokowi bersikap tegas dengan usulan pengajuan Budi Gunawan
yang lebih mendapatkan restu politik dibanding restu publik, maka sebagian besar kisruh
yang ada sekarang ini tidak akan terjadi. Faktor penyebab dari berbagai posisi yang membuat
saling mengunci ini menjadi hilang. Lagi-lagi, akibatnya adalah harga mahal dan kemudian
posisi yang sudah semakin sulit.
Jika dikembalikan ke berbagai pidato dan janji kampanye yang dilakukan oleh Presiden
Jokowi ketika menjadi kontestan pemilu untuk memenangkan hati rakyat Indonesia, rasanya,
Jokowi telah terlampau laju meninggalkan janji tersebut.
Belum kering sesungguhnya ludah yang diucapkan Jokowi ketika dengan lantang
mengatakan bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia hanya akan
bekerja untuk dan atas nama rakyat. Hanya akan tunduk pada kehendak konstitusi dan
kehendak rakyat Indonesia. Tidak ada yang selain itu.
Dalam konteks inilah lecutan peringatan dan terapi kejut mesti diberikan kepada Presiden
Jokowi untuk segera siuman dalam kerja yang sudah menjauh dari suara konstitusi dan
kehendak rakyat secara hukum dan moral. Ia harus mengembalikan esensi awal dalam tunduk
pada kata rakyat dan bukan kata partai politik. Dan ketika mampu berdiri tegak di hadapan
partai politik dan mengatakan lantang akan keinginan untuk mengikuti kehendak rakyat, saya
yakin, kejelasan tindakan akan kembali hadir.
Kejelasan yang akan menyelesaikan perkara. Bentuk tim independen yang akan
menyelesaikan perkara-perkara kriminalisasi ini. Lalu jalankan rekomendasinya agar
penyelesaiannya menjadi mudah. Dan dalam hal itu juga segera tegakkan moralitas konstitusi
dengan mencari kapolri yang bukan tersangka kasus korupsi.
Serangkaian kerja yang sebenarnya bukan hanya berguna untuk rakyat Indonesia dan masa
depan Indonesia, tetapi juga untuk diri dan masa depan Presiden Jokowi sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan.
128
Pelemahan KPK Koran SINDO 28 Januari 2015
Bangsa Indonesia sepakat bahwa institusi hukum di Indonesia harus kuat dan berwibawa,
termasuk Polri dan KPK. Karena itu, kita mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang
membentuk tim independen dalam menyikapi kisruh KPK dan Polri.
Modal dasar tim independen ini karena berisikan tujuh orang yang memiliki rekam jejak baik
dan tepercaya yang dimotori oleh Profesor Jimly Asshiddiqie. Melalui tim independen ini
diharapkan ada solusi tuntas dari permasalahan pelik ini dengan mempertimbangkan suara
publik. Kita meyakini kenegarawanan semua anggota tim. Namun, hal yang juga mesti
disadari bahwa publik semakin merasa baik secara kebetulan atau memang diskenariokan,
upaya pelemahan terhadap KPK itu semakin nyata.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kondisi sekarang mengganggu misi pemberantasan
korupsi di negeri ini. Sejak awal penetapan calon Kapolri sebagai tersangka,13 Januari 2015,
saya sudah “ngeri-ngeri sedap” sekaligus khawatir akan terjadi apa-apa dengan KPK.
Bayangkan saja, sosok luar biasa sekaliber Komjen BG yang bakal memimpin institusi
tertinggi Polri, terjegal oleh KPK yang dalam kondisi normal hanya beranggotakan lima
orang. Status itu disandang hanya sehari menjelang tes kelayakan di DPR.
Jangankan Komjen BG, publik juga tersentak dengan peristiwa yang mungkin pertama kali di
dunia calon kepala polisi negara berstatus tersangka. Hancur sudah reputasi Komjen BG yang
sudah dibangun sejak lama, sosok perwira Polri yang dinilai brilian. Logika manusia biasa,
pastilah akan ada perlawanan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Perlawanan itu
dapat oleh yang bersangkutan ataupun dilakukan para pendukungnya dengan berbagai cara
yang terkadang tidak terkira.
Serangan terhadap KPK
Mungkin hanya kebetulan saja, namun faktanya sejak penetapan status tersangka terhadap
calon “orang nomor satu” di Polri, episode teror terhadap KPK dimulai. Babak pertama
beredar foto mesra Abraham Samad dengan Puteri Indonesia 2014 Elvira Devinamira.
Pelemahan terhadap KPK terjadi ketika sidang paripurna DPR, menyetujui penundaan
pemilihan pemimpin KPK pengganti Busyro Muqoddas. Pemilihan akan dilakukan
bersamaan dengan penggantian empat komisioner KPK lain pada akhir 2015. Putusan ini
memengaruhi kinerja KPK karena pimpinan tinggal empat orang saja dalam keadaan yang
rentan.
129
Serangan berikutnya ketika diajukannya gugatan praperadilan penetapan tersangka Budi
Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal ini dilanjutkan dengan melaporkan
pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung karena menilai penetapan tersangka Budi tidak sah
lantaran tidak ditandatangani seluruh pimpinan yang bersifat kolektif itu. Bukan itu saja,
pimpinan KPK dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Mereka dituding membocorkan rahasia
negara, berupa hasil penelusuran PPATK terhadap rekening Budi dan keluarganya, serta
mencemarkan nama baik.
Publik juga dikagetkan dengan langkah Pelaksana Tugas (Plt.) Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto yang melakukan jumpa pers dan membeberkan bahwa ada dendam pribadi
Abraham Samad terhadap Budi Gunawan. “Yang menggagalkan saya jadi cawapres adalah
Pak Budi Gunawan. Ada saya dan ada saksi di situ,” ujar Hasto menirukan ucapan Samad.
Sulit untuk tidak menyatakan tindakan ini sebagai serangan terhadap KPK. Luar biasa
implikasinya terhadap KPK ketika Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim dengan
cara diborgol oleh belasan polisi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Memang
akhirnya Bambang Widjojanto ditangguhkan penahanannya Sabtu (24/1) dini hari, namun
tetap berstatus sebagai tersangka.
Tidak berhenti di situ, serangan terbaru kepada KPK dengan cara mengkriminalisasi para
komisioner lain. Setelah BW ternyata tiga komisioner tersisa, yaitu Adnan Pandu Praja,
Abraham Samad, dan Zulkarnaen juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Abraham Samad,
misalnya, dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang KPK.
Adnan Pandu Praja dituduh memalsukan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy
Timber.
Alternatif Solusi
Seperti biasa, dalam banyak kejadian di negeri ini terhadap persoalan ruwet semacam
gesekan KPK dan Polri ini, ada saja yang ngeles, berargumentasi, atau malah saling
melempar bola panas. Prosesnya seperti “berputar-putar” bagai tak berujung, tak
berkesudahan.
Jika nanti rakyat bersatu langsung diberi label “ikut-ikutan saja” atau malah dianggap rakyat
yang tidak jelas. Padahal, rakyat hanya ingin isu pokok pemberantasan korupsi tidak boleh
melenceng.
Memang kini problemnya sudah sedemikian runyam. Seandainya saja pengisian jabatan
publik, apalagi sekaliber kepala Polri, secara konsisten dilakukan secara transparan dan
akuntabel, pastilah kejadian semacam ini bisa terhindarkan. Sudah benar dan publik berharap
banyak di saat penunjukan para menteri Kabinet Kerja dengan melibatkan PPATK dan KPK.
Ada yang berpandangan, salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan adalah
Presiden mencalonkan kepala Polri baru.
130
Polri jelas institusi yang sangat diperlukan selama negara ini ada. Hajat hidup orang banyak
bukan hanya soal pemberantasan korupsi semata, juga terkait dengan keamanan dan
ketertiban masyarakat yang juga parah kondisinya.
Solusi apa pun yang diambil harus juga dengan semangat tidak untuk menjatuhkan institusi
Polri yang sangat ditentukan siapa pimpinan tertingginya. Persoalan bertambah pelik jika
tetap dipaksakan untuk melantik Komjen BG dalam kondisi yang sangat tidak
menguntungkannya dan institusi Polri.
Memang ada yang menyayangkan jika sampai BW mengundurkan diri dari KPK. Walaupun
bagi paham legalistik, kemunduran BW justru dalam rangka mematuhi undang-undang. Pasal
32 ayat (2) menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya
dikarenakan menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Dalam Pasal 32 ayat (3) UU KPK
ditegaskan bahwa pemberhentian sementara itu ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Apa pun solusi yang diambil, mestinya kita semua menyadari bahwa musuh bersama bangsa
ini adalah korupsi, bukan malah Polri dan KPK terus bersengketa beserta masing-masing
pengikutnya. Mestinya kita tidak menjadi lengah karena isunya cenderung beralih dari
pemberantasan korupsi menjadi sengketa antardua lembaga.
Bangsa ini harus fokus dengan esensi masalah, bukan malah menghabiskan energi sia-sia
terhadap isu yang sengaja dialihkan. Perlawanan para koruptor menjadi sempurna setelah
pelemahan terhadap KPK semakin nyata.
PROF AMZULIAN RIFAI, PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
131
Memudarnya Pesona Bintang Koran SINDO 28 Januari 2015
Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 100 hari.
Ibarat pesawat, fase take off kerap membuat para penumpangnya waswas. Keselamatan,
kenyamanan, dan sampai tidaknya ke tujuan sangat ditentukan oleh peran dan tanggung
jawab pilot bersama seluruh awak kabinnya. Pun demikian dengan bangsa besar bernama
Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi, rising star yang dimandati kekuasaan hingga lima
tahun mendatang.
Seratus hari bukanlah indikator yang pas untuk menyimpulkan sukses tidaknya
pemerintahan. Tetapi fase awal ini sangat krusial untuk menandai orientasi kekuasaan
Jokowi. Percayakah publik akan kepiawaian Jokowi dalam mengelola tekanan? Tentu ini
ujian awal yang bisa diberi nilai oleh khalayak guna menguatkan dukungan atau menjadi
awal memudarnya pesona sang bintang.
Nalar Kritis
Hal menarik untuk diperhatikan dalam 100 hari Jokowi memerintah adalah arus balik media
massa; dan media sosial menjadi kanal saluran kritik terhadap penguasa.
Cukup lama Jokowi menjadi media darling. Sejak menjadi wali kota Solo sosoknya impresif
menghiasi bingkai berita positif media. Semakin kinclong dan kian memesona di pasar
pemilih saat Jokowi mendapatkan panggung istimewa di Pilkada DKI 2012. Inilah lompatan
karier politik Jokowi yang signifikan, karena dari Jakartalah sosok Jokowi memancar terang
lewat beragam media yang mengidolakannya. Jokowi pun benar-benar menjadi Indonesian
Idol saat memenangi kontes lima tahunan dan melenggang menuju kursi RI-1 dengan liputan
media yang gegap gempita.
Banyak media yang larut dalam euforia pemilu, dan larut pula dalam arus besar dukungan
kepada kedua kontestan, termasuk gegap gempitanya dukungan pada sosok Jokowi. Jokowi,
yang tampak populis, memang memudahkan aspek resonansi media, wajar jika konstruksi
realitas media turut menghadirkan kebintangan Jokowi di semua lapisan masyarakat.
Kini, setelah 100 hari, media massa mulai banyak yang memosisikan diri dalam fungsi
sejatinya, yakni sebagai kekuatan kontrol sosial. Jagat politik yang keruh dan kisruh akibat
konflik KPK vs Polri menjadi contoh nyata kebutuhan kita akan institusi media yang mampu
mengabarkan, bukan mengaburkan. Media dengan spirit jurnalisme, bukan media
propagandis.
132
Risiko Jokowi sebagai penguasa memang akan diingatkan banyak orang. Wujud kepedulian
rakyat kepada pemimpinnya adalah melalui kritik dan masukan, agar penerima mandat tak
tersesat di labirin kekuasaan. Di banyak sejarah kekuasaan, banyak pemimpin gagal karena
kerap berkeinginan menyenangkan semua orang.
Banyak yang memprediksi bulan madu Jokowi dengan rakyat akan berjalan cukup lama,
tetapi realitas politik menghadirkan turbulensi lebih dini. Faktor yang membuat pesona
bintang Jokowi mulai memudar di 100 hari pertamanya adalah kualitas proses pengisian
jabatan. Kasatmata terbaca publik, betapa derasnya tekanan, terutama dari mereka yang
merasa menjadi “investor” atau “pemegang saham”, di kekuasaan.
Saat Jokowi menawarkan konsep koalisi tanpa syarat di masa kampanye, hal ini menjadi oase
di tengah kegersangan politik pragmatis dan memicu dukungan meski sebagian kelompok
kritis skeptis atas niat Jokowi tersebut. Publik menuntut diterapkannya sistem meritokrasi
dalam pengisian jabatan-jabatan publik sehingga pemerintahan Jokowi tak tersandera oleh
sejumlah orang bermasalah.
Publik merespons positif saat Jokowi meminta masukan KPK dan PPATK dalam pengisian
pos-pos kementerian, meskipun sesungguhnya hal tersebut hak prerogatif Presiden.
Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi saat pemilihan Jaksa Agung dan mengalami
antiklimaks waktu mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon
tunggal kepala Polri.
Guliran isu seputar pengisian jabatan ini memantik ketidakpuasan pada peran Jokowi yang
sesungguhnya telah dipercaya mengemban amanah kekuasaan. Publik yang menyalurkan
nalar kritisnya lewat media mulai “menggugat” kemampuan dan daya tahan Presiden sebagai
pemimpin sejati (the real leader) sekaligus pengambil risiko (risk taker).
Tak dinafikan, salah satu kekhawatiran publik pada sosok Jokowi saat kampanye adalah
kesungguhannya keluar dari bayang-bayang Megawati dan juga elite parpol yang menjadi
pengusung Jokowi-JK saat pilpres. Karenanya, hal yang mestinya diperlihatkan Jokowi di
awal kekuasaannya adalah pembuktian nyata bahwa dirinya tak tersubordinasi siapa pun dan
pihak mana pun.
Media pun sangat tajam mengkritik blunder sejumlah orang di lingkaran Jokowi. Misalnya
yang terhangat adalah pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang
menyangsikan kelompok-kelompok yang mendukung KPK. Orang-orang kunci di sekitar
Jokowi harusnya piawai menjadi pengurai masalah (problem solver) di tengah ketegangan-
ketegangan yang mengemuka.
Peran Media
Masih ada waktu bagi Jokowi untuk berbenah dan mendengarkan suara rakyat, salah satunya
yang tergambar di media massa. Jalan terjal dan bising ini harus dikawal lewat
133
fungsionalisasi media sebagai ruang publik demokratis. James Curran dalam The Liberal
Theory of Press Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat
diperankan oleh jurnalis dalam upaya pengembangan demokrasi.
Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian,
media menjadi ruang publik demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di
masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar berlebihan. Kedua, media dapat
mengartikulasikan pendapat umum. Dalam konteks ini, ada upaya menyistematisasikan
berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu
penyikapan yang jelas dan terarah.
Ketiga, media memaksa pemerintah Jokowi mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan
dikehendaki oleh rakyat. Keempat, media bisa mendidik warga negara untuk dapat memiliki
informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan.Ini artinya, media harus turut serta
dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warga negara.
Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang
memiliki kepentingan berbeda-beda. Keenam, media dapat membantu individu- individu
melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.
Beragam kritik yang difasilitasi media massa dan juga media sosial di 100 hari pertama
Jokowi bisa jadi mulai memudarkan pesona kebintangannya. Tetapi, harusnya hal ini
dimaknai positif, yakni Jokowi harus bangkit dan menunjukkan kapasitasnya sebagai
pemimpin yang mampu merawat harapan publik. Jokowi kini mengayuh di tengah banyak
tekanan dan punya kewajiban untuk membuktikan pada sejarah republik ini, layakkah dia
mendapat bintang.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
134
Bukan Sekadar Oknum Koran SINDO 28 Januari 2015
Dalam beberapa minggu terakhir ini dunia politik kita memanas akibat timbulnya perseteruan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Pendapat umum menyimpulkan bahwa perseteruan ini adalah ulah oknum dan bukan
lembaga. Oleh sebab itu dalam wilayah media sosial, masyarakat mendorong kampanye
untuk menyelamatkan tidak hanya KPK, tetapi juga Polri dalam bentuk #saveKPK dan
#savePolri.
Tanpa mengurangi penghargaan atas advokasi yang dilakukan masyarakat terhadap dua
institusi penegak hukum yang sangat kita hormati ini, konflik antar kedua institusi penegak
hukum ini harus menjadi peringatan dini bagi kita. Bahwa masih ada masalah dalam upaya
menguatkan lembaga penegakan hukum secara keseluruhan dan khususnya upaya
pemberantasan korupsi. Keberadaan KPK yang awalnya sebagai pelengkap dari institusi
penegakan hukum yang sudah ada ternyata telah berkembang menjadi kompetitor dari
institusi lain.
Kita perlu mengakui bahwa masalah korupsi sudah menjadi kanker di dalam lembaga
penegakan hukum kita. Korupsi memang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di
negara-negara lain seperti di Benua Amerika dan Eropa. Hal yang membedakannya adalah
bahwa korupsi di negara-negara yang sistem hukumnya sudah mapan dan kuat dilakukan
sebagian besar oleh individu atau kelompok (alias oknum), sementara di negara berkembang
seperti Indonesia, korupsi dilakukan secara melembaga. Berdirinya KPK dan legitimasi yang
diperolehnya dari masyarakat adalah buah dari kinerja KPK yang baik, tetapi sayangnya
secara tidak langsung juga mengurangi penghargaan atas institusi lain, khususnya kepolisian.
Permasalahannya, apa yang telah dilakukan dengan baik oleh KPK ternyata tidak otomatis
mendorong instansi lain untuk melakukan hal serupa. Sebaliknya lembaga lain menganggap
KPK sebagai ancaman dan kompetitor. Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan
kompetisi ini akan terus terjadi?
Semakin tingginya tuntutan pertumbuhan ekonomi dan semakin besarnya arus investasi yang
akan masuk ke Indonesia, peluang terjadinya korupsi baik di pusat maupun daerah juga akan
semakin terbuka. Apabila tidak ada perbaikan dalam institusi penegakan hukum kita, konflik-
konflik seperti ini terbuka untuk terjadi kembali di masa depan.
Apakah kompetisi ini harus berakhir sampai satu institusi terdominasi oleh institusi lain?
135
Berapa biaya sosial yang akan ditimbulkan dari konflikkonflik yang terjadi nanti? Pertanyaan
ini mungkin perlu dijawab melalui kajian ilmiah dengan berbagai pendekatan yang
komprehensif, terutama tentang keberadaan institusi kepolisian yang memiliki kewenangan
dan wilayah operasi yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai sebuah institusi yang telah berdiri bersamaan dengan berdirinya republik ini,
reformasi di dalam tubuh kepolisian tidak hanya dapat mengandalkan atau mengharapkan
polisi yang bersih, tetapi juga perlu membersihkan lingkungan di dalam tubuh lembaga itu
sendiri. Lingkungan yang dimaksud adalah praktik, kebiasaan, norma, nilai, kepemimpinan,
struktur organisasi, atau pengawasan.
Usaha untuk menciptakan lingkungan yang bersih di dalam sebuah organisasi sangat berbeda
antara satu dengan yang lain. Organisasi seperti lembaga kepolisian tidak dapat disamakan
dengan organisasi lain seperti departemen atau perusahaan. Organisasi kepolisian adalah
sebuah institusi yang memiliki sebuah hierarki dengan distribusi kekuasaan atau kewenangan
yang jelas dan sulit untuk ditentang (challenged).
Sifat alamiah organisasi kepolisian yang tidak egaliter membutuhkan sebuah intervensi
pemberantasan korupsi yang khusus. Teori sosial dominasi sebagai contoh menjelaskan
bahwa seseorang yang berdiri di puncak organisasi cenderung menjadi tidak terlalu peduli
dengan praktik korupsi. Hal ini terjadi karena ia memiliki perasaan sebagai bagian dari
kelompok yang kuat, dengan kekuatan yang lebih besar dan kecenderungan untuk melakukan
subordinasi pihak lain sesuai dengan sifat dari organisasi yang membutuhkan hierarki ketat.
Intervensi untuk membersihkan organisasi yang memiliki hierarki ketat seperti ini
mempersyaratkan perlunya perbaikan sejak awal, terutama dari rekrutmen, pendidikan dasar
hingga jenjang pendidikan kepemimpinan. Contohnya, di tengah masyarakat masih
berkembang keyakinan bahwa mendaftarkan diri menjadi aparat keamanan baik TNI maupun
kepolisian membutuhkan uang pelicin agar dapat diterima di akademi. Secara ekonomis, hal
ini menciptakan motivasi bagi para kadet untuk melakukan korupsi ketika telah bekerja agar
dapat mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dan secara moril mereka juga sudah tidak
melihat lembaga penegakan hukum sebagai organisasi yang ideal.
Selain perbaikan internal, lingkungan eksternal yang terkait dengan penegakan hukum juga
menyumbangkan atau mendorong praktik korupsi. Misalnya, dalam beberapa kasus, polisi
bekerja keras dalam mengembangkan penyelidikan sebuah kasus. Mereka melakukan
pengintaian berhari-hari, menyamar, mengumpulkan bukti-bukti dan menyusunnya agar
sesuai dengan berkas yang diperlukan kejaksaan.
Pada saat sampai di pengadilan, kasus tersebut kemudian dimentahkan atau bahkan
terdakwanya dapat bebas karena korupsi yang terjadi di antara para hakim. Kasus-kasus
demikian yang secara tidak langsung membuat demoralisasi anggota kepolisian yang terlibat
dalam kasus tersebut.
136
Uraian di atas hanyalah puncak dari gunung es masalah yang terdapat di dalam lembaga
penegakan hukum kita. Penyelesaian dari masalah-masalah tersebut perlu dilakukan melalui
sebuah rangkaian yang konstruktif dan sistematis. Kita berharap tidak hanya dapat memiliki
pejabat penegakan hukum yang bersih, tetapi juga lingkungan yang bersih yang diupayakan
secara bertahap.
Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara perlu mengupayakan agar kinerja lembaga
penegakan hukum dapat kembali menjadi saling melengkapi ketimbang saling
berkompetisi. Pemerintah perlu menyiapkan secara lebih detail rencana reformasi penegakan
hukum yang tampaknya lebih sulit ketimbang agenda reformasi birokrasi lainnya.
Problem KPK vs Polri ini ternyata cukup menarik bagi para indonesianis alias ilmuwan yang
mengamati Indonesia. Yang mereka soroti adalah terobosan kelembagaan dan
kepemimpinan. Untuk itu, jangan heran bila tanggapan atas problem KPK vs Polri ini
kemudian membuka peluang kerja sama capacity building dari negara donor. Pertanyaannya,
seberapa serius kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia bergerak memperbaiki sistem?
Atau kita cenderung merasa tidak berdaya dan menunggu inisiatif dari presiden atau
pendonor?
Semoga ulasan di atas mengingatkan kita akan pentingnya kontribusi kita sebagai warga
negara dalam menjaga suasana lingkungan ”bersih korupsi” dan konsisten menindak siapa
pun yang berniat melakukan atau melanggengkan praktik curang yang merugikan para
pembayar pajak.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
137
Selamat(kan) Jalan KPK (5) Koran SINDO 29 Januari 2015
Terakhir kalinya saya menulis dengan judul serupa di harian ini pada 8 Oktober 2012. Secara
sengaja, tulisan tersebut dipicu oleh upaya penangkapan salah seorang penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Novel Baswedan.
Tidak bisa dipastikan, apakah karena hendak melihat perlawanan terbuka kepolisian pada
KPK atau memang bermaksud hendak melindungi lembaga antirasuah ini, masyarakat sipil
berduyun-duyun hadir di Gedung KPK sejak Jumat malam sampai Sabtu menjelang subuh (5-
6/10/2012). Ketika itu, dengan modal “surat perintahan penangkapan” dan “surat perintah
penggeledahan”, sejumlah polisi hadir di Gedung KPK dengan tujuan menangkap Novel
Baswedan.
Alasan mereka, penyidik KPK yang menjadi figur penting di balik peristiwa penggeledahan
Kantor Korps Lalu Lintas dinyatakan terkait tindak kriminal semasa bertugas di Polda
Bengkulu. Sesuatu yang sulit dimengerti karena kejadian yang dipakai sebagai alasan
berlangsung sekitar delapan tahun sebelum upaya penangkapan Novel Baswedan (KORAN
SINDO, 8/10/2012).
Kini, sejak perlakuan “tidak senonoh” kepolisian kepada Wakil Ketua KPK (23/1), judul ini
relevan ditulis kembali. Paling tidak, melacak perkembangan dalam beberapa hari terakhir,
pertanyaan ihwal masa depan KPK hampir pasti menghinggapi mayoritas kalangan yang
selama ini berharap banyak dari sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi.
Pertanyaan serupa makian relevan karena KPK dapat dukungan konkret hanya dari
masyarakat sipil. Banyak pihak yakin yang terjadi setelah penetapan Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai tersangka tak hanya upaya pelemahan, tetapi mungkin saja berujung pada
penghancuran KPK.
Lebih Sistemik
Jikalau ditelisik perkembangan KPK, sulit dibantah lembaga ini nyaris tidak pernah sepi dari
upaya pelemahan. Salah satu upaya tersebut adalah konsisten membangun opini, KPK adalah
badan ad-hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dalam “Selamat(kan) Jalan KPK (2)“
dikemukakan, opini begitu membuat KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadang laju
praktik korupsi yang kian masif. Ibarat petinju, selama bertanding, KPK lebih fokus bertahan
di pojok ring sembari memasang double cover menghadapi serangan pihak-pihak yang
dirugikan (KORAN SINDO, 28/11/2011).
138
Lebih lanjut dikemukakan, sejak terbentuk, serangan kepada KPK beruntun dan seperti tidak
ada matinya. Laksana digerakkan dan dirancang oleh kekuatan yang tidak bisa terpantau
dengan mata telanjang, serangan mematikan terhadap KPK benarbenar bergelombang dan
datang dari semua penjuru mata angin. Serangan tersebut tak hanya datang dari berbagai
pihak di Gedung DPR, tetapi juga dilakukan oleh lembaga negara yang harusnya seayun-
selangkah dengan KPK dalam melawan korupsi. Bahkan dilihat dari pola yang lebih
sederhana, upaya pelemahan KPK dapat dibaca dengan munculnya ancaman berkelanjutan
dengan cara keinginan menarik kembali para penyidik KPK.
Kendati demikian, dalam tenggat waktu lebih dari 11 tahun kehadirannya, KPK mampu
bertahan di tengah gelombang pelemahan tersebut. Salah satu buktinya, ketika dilakukan
serangan mendadak kepada Novel Baswedan, KPK tidak mengalami guncangan dan nyaris
tidak terpengaruh. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, dukungan publik makin mengental
pada KPK.
Boleh jadi, dukungan sepanjang upaya kriminalisasi kepada Novel Baswedan merupakan
salah satu ekspresi paling nyata kemarahan publik kepada pihak-pihak yang hendak
melemahkan KPK. Meski begitu, peristiwa pascapenetapan Budi Gunawan sebagai tersangka
dapat dibaca sebagai ancaman yang paling serius.
Kalau selama ini upaya pelemahan KPK hanya di pinggiran, penangkapan Bambang
Widjojanto (BW) menjadi bentangan empirik bahwa serangan dilakukan langsung ke jantung
pertahanan KPK. Pada batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa BW mirip dengan yang
dialami Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah. Bedanya, ketika itu dua pimpinan KPK yang
dijadikan tersangka, tetapi sekarang hanya BW. Sekalipun hanya seorang, perlakuan polisi
sangat kasar karena mirip dengan menangkap seorang teroris.
Ibarat serangan bergelombang, status tersangka yang diikuti penangkapan BW dapat dibaca
sebagai langkah awal untuk terus melumpuhkan jantung pertahanan KPK. Buktinya, tidak
perlu menunggu perubahan minggu, beberapa pimpinan KPK yang lain juga sedang
menunggu waktu untuk di-BW-kan.
Modusnya sama, polisi menindaklanjuti laporan terhadap indikasi tindak pidana yang
dilakukan masing-masing pimpinan KPK. Lihat saja, tiba-tiba muncul laporan terhadap
Abraham Samad, Adnan Pandu Pradja, dan Zulkarnaen. Dengan gejala tersebut, status
tersangka terhadap tiga pimpinan KPK yang lain hanya tinggal masalah waktu. Artinya, kali
ini serangan kepada KPK jauh lebih sistematis dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.
Langkah Penyelamatan
Di tengah situasi kritis yang menimpa KPK saat ini, pilihan yang tersedia menjadi sangat
terbatas yaitu menyelamatkan KPK atau membiarkan lembaga ini terkapar tak berdaya. Kalau
pilihannya jatuh pada opsi kedua, kita harus bersiap mengucapkan innalillahi wa inna illaihi
rojiun atau rest in peace.
139
Artinya, bilamana opsi kedua yang terjadi, negeri ini mengulangi kembali sejarah terkaparnya
dan matinya lembaga-lembaga khusus yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Akankah
KPK akan masuk ke dalam alur hukum besi sejarah yang terus berulang (l’histoire se reacute
pegravete)?
Agar opsi kedua tidak benar-benar terjadi, segala macam langkah darurat perlu dilakukan
untuk menyelamatkan KPK. Sebagai sebuah lembaga, di dalam situasi darurat seperti saat ini,
keberlangsungan KPK sangat ditentukan oleh komitmen memberantas korupsi. Sekiranya
negeri ini masih ingin diselamatkan dari jebakan korupsi, pimpinan tertinggi (baca; Presiden
Joko Widodo) harus mampu mengendalikan keadaan.
Langkah nyata yang harus dilakukan adalah memerintahkan kepolisian menghentikan
tindakan yang berpotensi melumpuhkan KPK. Sebagai sebuah institusi yang langsung berada
di bawah Presiden, Jokowi jelas memiliki otoritas untuk menghentikan kekisruhan antara
KPK dan kepolisian. Rasanya, bila memberi perintah langsung kepada pelaksana tugas dan
wewenang kepala Polri, tidak mungkin polisi akan meneruskan kekhawatiran berlanjutnya
kegaduhan dengan KPK. Bila perintah itu diberikan, ternyata masih ada upaya meneruskan
kegaduhan, bisa jadi ada upaya insubordinasi di lingkungan internal kepolisian.
Bagaimanapun, sikap tegas Presiden diperlukan untuk menenangkan situasi.
Selain itu, demi proses penyelesaian yang komprehensif, Presiden Jokowi segera
memfasilitasi bekerja tim independen (Tim Sembilan). Berkaca dari pengalaman upaya
penuntasan kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, peran tim independen sangat
diperlukan. Bagaimanapun dalam situasi seperti ini, tekanan dari berbagai pihak termasuk
tekanan politik menjadi sulit dihindari Presiden Jokowi. Karena itu, banyak kalangan
percaya, dengan bekerjanya Tim Sembilan, beban berat yang dipikul Presiden Jokowi bisa
dibagi dan dikurangi.
Secara lebih sederhana, dalam proses penyelesaian masalah ini, Tim Sembilan dapat menjadi
semacan perisai untuk melindungi Presiden. Apalagi, mereka yang tergabung dalam Tim
Sembilan merupakan tokoh yang memiliki reputasi dan kredibilitasnya tidak diragukan.
Di ujung proses, rekomendasi Tim Sembilan akan menjadi langkah penting dan strategis
guna memilih langkah hukum (dan mungkin juga politik) demi menyelesaikan silang-
sengkarut KPK-kepolisian. Terlepas dari kemungkinan rekomendasi yang akan dihasilkan,
kehadiran Tim Sembilan akan menjadi langkah nyata dalam menyelamatkan KPK.
Tanpa langkah ini, bersiaplah mengucapkan selamat jalan kepada KPK. Pertanyaan elementer
yang dapat dikemukakan: bisakah dibayangkan kita mengucapkan innalillahi wa inna illaihi
rojiun atau rest in peace kepada KPK pada saat Jokowi menjadi presiden?
140
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
141
Saatnya Perppu dan Komite Etik KPK Koran SINDO 29 Januari 2015
Polemik KPK-Polri makin menarik dikaji secara hukum. Sebab posisi dilematis secara
hukum, multitafsir soal isi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan berbagai ide terobosan
hukum berwacana di publik. Namun, yang pasti polemik tidak produktif itu harus diakhiri.
Karena masalah hukum, penyelesaiannya pun harus dengan pendekatan hukum.
Saat ini calon Kepala Polri Komjen Budi Gunawan (BG) berstatus tersangka oleh KPK
dengan sangkaan tindak pidana pada 2003-2006 dan mandek pelantikannya. Di sisi lain,
Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto (BW) juga berstatus tersangka kasus saksi palsu di
Mahkamah Konstitusi dari kasus Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Tidak hanya itu,
wakil ketua lain Adnan Pandu Praja juga dalam posisi sebagai terlapor soal memasukkan
keterangan palsu dalam akta otentik untuk sebuah kasus yang ada di Kalimantan Timur.
Zulkarnaen juga dilaporkan untuk kasus suap saat menjadi Kajati Jatim.
Ketiganya dilaporkan untuk kasus yang terjadi saat yang bersangkutan belum menjadi
komisioner. Hanya ketua KPK Abraham Samad yang dilaporkan terkait kasus saat dirinya
menjadi komisioner yaitu kasus dugaan menjual pengaruh sebagai komisioner dalam kasus
kader PDIP Emir Moeis dan kasus tindak pidana pencucian uang.
Belum jelas bagaimana kasus yang dilaporkan untuk Abraham Samad. Namun, sebelumnya
Plt. Sekjen Hasto Kristyanto sempat membeber ada pertemuan sampai enam kali dengan
Ketua KPK Abraham Samad yang ingin menjadi wakil presiden dengan menunjukkan
perannya telah memperingan hukuman kader-kader PDIP yang terkena kasus korupsi.
Di sisi lain, isu soal rekening gendut itu bukanlah hanya menimpa BG. Masih ada banyak
petinggi Polri juga diduga terlibat rekening gendut. Kalau semua itu juga dijadikan tersangka
oleh KPK, akan semakin heboh. Republik ini makin gaduh.
***
Melihat hal ini, sudah saatnya dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) oleh Presiden Jokowi. Posisi saat ini secara kondisi objektif sudah memenuhi syarat
kondisi kegentingan yang memaksa dalam program penegakan hukum. Ada dua institusi
penegak hukum yaitu Polri dan KPK dalam masalah di pucuk pimpinannya.
Hanya, bukan perppu untuk imunitas komisioner KPK seperti yang banyak didengungkan
oleh beberapa kalangan. Justru perppu yang harus dibuat adalah perppu yang mengatur
percepatan pergantian semua komisioner KPK di UU No. 30 Tahun 2002 dan perppu tentang
142
mekanisme pergantian kepala Polri yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002.
Mekanisme penggantian yang dipercepat justru akan jauh lebih menyehatkan daripada
membiarkan KPK ditangani oleh komisioner yang cacat dan bermasalah secara hukum.
Perppu untuk UU KPK berisi tentang ketentuan percepatan pembentukan panitia seleksi,
mekanisme mengisi kekosongan komisioner agar tetap berjumlah lima orang.
Selain itu, pengaturan soal penyadapan, pembentukan lembaga pengawas juga bisa
dimasukkan dalam perppu tersebut. KPK sudah saatnya sebagai lembaga superbodi juga
memiliki lembaga pengawas agar kinerjanya tetap profesional dan fokus sebagai penegakan
hukum yang ad hoc.
Di sisi lain perppu terkait UU Polri juga mengatur mekanisme pembatalan keputusan DPR
yang telah menyetujui kepala Polri yang dipilih Presiden sehingga ada mekanisme untuk
penggantian calon kepala Polri yang telah ditetapkan DPR.
Selain itu, KPK juga harus segera membentuk Komite Etik. Ada beberapa kesalahan
mendasar yang dilakukan ketua KPK. Seperti yang dituduhkan Plt. Sekjen PDIP Hasto
Kristyanto itu sangat mendasar sekali.
Kesalahan yang kedua adalah sikap tiga komisioner KPK (Abraham Samad, Zulkarnaen, dan
Adnan Pandu Praja) yang mengambil sikap menolak pengunduran diri BW sesuai perintah
UU KPK. Tidak ada kewenangan dari tiga pimpinan tersebut untuk menolak atau menerima
pengunduran diri tersebut. Karena itu perintah UU yang harus dijalankan. KPK adalah
pelaksana UU, bukan pembuat UU sehingga tidak bisa menjadikan dirinya bebas menafsirkan
sendiri isi UU. Berhenti sementara atau berhenti tetap adalah aturan yang tegas diatur dalam
UU KPK bagi komisioner yang menjadi tersangka atau terdakwa.
Problemnya, apa bisa Komite Etik dibentuk? Sebab yang bermasalah semua
komisionernya. Sementara yang harus berinisiatif membentuk adalah para komisioner itu
sendiri dengan melibatkan tokoh independen. Karena itu, kalau Komite Etik tidak mau
dibentuk dengan alasan subjektif, Perppu UU KPK harus mengatur lembaga pengawas KPK
yang bisa memeriksa secara etik atas penyimpangan perilaku para komisioner.
Jadi perppu tentang UU KPK sangat diperlukan, tetapi bukan untuk perppu meminta
kekebalan bagi komisionernya. Biarlah soal kekebalan menjadi kekayaan budaya spiritual
Nusantara dengan ilmu debus, rawe rontek, ajian pancasona, atau benda-benda unik seperti
besi kuning, rantai babi, kul buntet, dan lainnya. Atau kekebalan untuk kepentingan
kesehatan seperti vaksinasi dan imunisasi. Untuk hukum, tetaplah semua orang sama di depan
hukum (equality before the law).
GEDE PASEK SUARDIKA SH MH
Anggota DPD RI; Sekjen Pimnas PPI
143
Demagog Koran SINDO 29 Januari 2015
Di tengah kesibukan para aktivis, tokoh-tokoh masyarakat, rakyat, dan para pendukung
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyelamatkan lembaga anti-rasuah itu, seorang
mantan jenderal berbintang empat, Hendropriyono, menyebut mereka sebagai
demagog. Tuduhan yang lain juga dilontarkan oleh Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijatno
bahwa para pendukung #SaveKPK adalah rakyat tidak jelas.
Secara politik, ‘demagog’ dapat diartikan sebagai penggerak atau pemimpin yang memiliki
kepandaian menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh dukungan,
simpati, bahkan kekuasaan.
Memaknai dukungan masyarakat sipil untuk menyelamatkan penghancuran KPK oleh
kolaborasi “para penguasa” yang zalim dengan tangan-tangan terampil dari kepolisian
sebagai demagog adalah sebuah penghinaan. Itu dapat pula dianggap sebagai teror dari
orang-orang yang dekat dengan para penguasa.
Sebutan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan secara epistemologi mencerminkan watak
dan laku seseorang serta pendekatan yang “biasanya” diterapkan dalam menyelesaikan suatu
masalah. Cermin itu juga dapat ditafsir sebagai pola berpikir seseorang dalam menghadapi
suatu masalah.
Lebih jauh dari itu, pemakaian istilah ‘demagog’ juga berlawanan dengan prinsip
demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia meniscayakan ada partisipasi
rakyat dan peran rakyat untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintahan. Partisipasi dan
peran rakyat dalam proses pengambilan keputusan serta “kekuatan opini dan partisipasi”
untuk mengubah kebijakan pemerintah yang salah bukan sebuah penyimpangan, melainkan
sebagai sebuah keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kerangka seperti itu, demokrasi memberi nilai dan keadaban bahwa pemerintah yang
dikoreksi kebijakannya karena “kurang tepat,” keliru, atau bertentangan dengan kepentingan
publik bukan sebuah kehinaan. Sebaliknya, rakyat yang berhasil memengaruhi perubahan
kebijakan bukan sebuah kejemawaan. Kedua-duanya dapat menemukan nilai saling menjaga
dan saling menghindarkan bangsa dan negara dari bencana dan bahaya. Itulah nilai dan
prinsip yang seharusnya dapat dimengerti oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya atau
orang-orang yang dekat dengannya.
***
144
Menuduh tokoh-tokoh yang hadir di Gedung KPK dalam rangka menyelamatkan institusi
KPK dari pelemahan, penghancuran, dan pengerdilan oleh “orang-orang yang berkuasa”
sebagai ‘rakyat tidak jelas’ adalah kepongahan kekuasaan. Lebih dari itu, pola tingkah
Menkopolhukam seperti itu dapat ditafsir mewakili penguasa yang berwatak “bengis” seperti
para penguasa era Orde Baru.
Kita masih ingat, era Orde Baru, para penguasanya dengan mudah menuduh rakyat kritis,
yang tidak sependapat dengan penguasa, sebagai PKI, pemberontak, ekstrem kiri dan kanan,
serta tuduhan-tuduhan lain yang lebih mengerikan. Bukankah cara berkuasa seperti itu sudah
dikoreksi, sudah ditentang, agar tidak dihidupkan kembali, apalagi digunakan sebagai sebuah
metode untuk memerintah?
Pelajaran sejarah, perubahan politik dari era otoritarian ke demokratisasi (Era Reformasi)
baru saja berumur hampir 17 tahun, tetapi sudah dilupakan. Era Reformasi antara lain
menghendaki perubahan cara berpikir sebuah perubahan mindset Orde Baru ke cara berpikir
yang demokratis. Ingat, ini Era Reformasi, sebuah era yang dilahirkan sebagai koreksi atas
kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa lalu yang zalim akibat penguasa dapat
berperilaku sewenang-wenang, tidak dapat dikoreksi, dan berwatak otoritarian. Apa bedanya?
Era demokrasi adalah era yang memberikan partisipasi kepada setiap orang untuk
menyuarakan kebebasan dan pendapatnya. Negara memberikan jaminan atas semua itu.
Negara bukan hadir dalam wataknya sebagai leviathan, mirip dengan binatang yang buas dan
“bengis” yang menakuti rakyatnya. Negara justru hadir untuk menegakkan keadilan,
melindungi rakyat yang terzalimi, membela kebenaran dan keadilan.
Negara hadir untuk memberikan kepastian bahwa prinsip-prinsip itu terwujud dalam
hubungan antarinstitusi penegak hukum, hadir pada para pejabat yang diangkat, dan negara
hadir dengan wujudnya yang humanis, dialogis, dan melindungi. Dalam bingkai seperti itu,
negara justru tidak hadir pada saat Bambang Widjojanto ditangkap oleh Kabareskim Polri.
Justru rakyat biasa, rakyat sipil yang tergabung dalam komunitas masyarakat, yang bertekad
menyelamatkan KPK dari kelumpuhan agar pemberantasan korupsi tidak terganggu, disebut
demagog .
Para netizen itu hanya menggugah kesadaran civil society karena “tidak hadirnya” peran
negara saat KPK sebagai institusi sekaligus simbol pemberantasan korupsi akan dirobohkan
oleh kekuatan-kekuatan yang berlindung di balik tameng hukum dan penegakan hukum.
Harapan mereka yang berkumpul di Gedung KPK sangat gamblang, menanti sikap Presiden
Jokowi apakah hadir sebagai seorang kepala negara untuk menegakkan prinsip-prinsip negara
berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan membiarkan negara berjalan di atas prinsip
machtsstaat atas dasar kekuasaan belaka.
Mereka menunggu posisi Presiden Jokowi apakah akan berpihak kepada KPK ataukah Polri,
145
atau bersikap “ngambang”. Semua itu terjawab saat Presiden Jokowi memberikan pernyataan
singkat yang justru memicu kekecewaan baru karena sikap dan posisi Presiden dianggap
normatif, tidak menggambarkan sosok Jokowi yang dulu dianggap tegas, cepat, serta berani.
Semua label itu tidak ditemukan pada diri Presiden pada kasus KPK versus Polri Jilid II.
***
Niat yang mulia itu disalahartikan sebagai orang yang menghasut rakyat, dan rakyat tidak
jelas, sungguh pola nalar demikian perlu dibuang jauh-jauh karena nalar seperti itu bukan
yang dikehendaki oleh reformasi. Kita semua perlu khawatir jika Presiden Jokowi justru
dikelilingi oleh para pembantu yang memiliki nalar yang menyimpang dari cita-cita
Reformasi dan cita-cita Nawacita.
Kalau kita menengok ke belakang saat pemilihan presiden yang berlangsung pada 2014,
justru orang tidak jelas dan para demagog itulah pendukung utama Jokowi. Mereka terlibat
sebagai relawan dengan caranya masing-masing. Mereka menghidupkan harapan melalui
jaringan sosial dan media internet, dalam menggelorakan perubahan politik untuk
memenangkan seorang calon presiden.
Sungguh naif kalau mereka sekarang disebut demagog dan orang tidak jelas tatkala tujuan
untuk berkuasa itu telah tercapai.
MOCH NURHASIM
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
146
Kartel Politik dan Posisi Jokowi Koran SINDO 30 Januari 2015
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan resmi dicalonkan sebagai Kepala
Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapatkan
dukungan penuh dari DPR RI pada tanggal 15 Januari 2015.
Meski pada saat yang bersamaan KPK sudah menyatakan Komjen Pol Budi sebagai
tersangka dalam kasus gratifikasi, parlemen terus melanjutkan proses pencalonan Kapolri
dengan melakukan fit and proper test dan menyetujui pencalonan tersebut dalam sidang
paripurna. Berbagai peristiwa pun berkait kelindan setelahnya.
PDI-P sebagai partai pendukung Jokowi mempertanyakan etika politik Ketua KPK Abraham
Samad dalam pencalonan wapres pendamping Jokowi beberapa bulan lalu. Lalu tanggal 23
Januari 2015 publik dikagetkan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto oleh penyidik Polri karena terkait dengan sidang pilkada dalam Mahkamah
Konstitusi beberapa tahun lalu, meski kemudian dibebaskan sehari berikutnya.
Media massa serta merta memberi judul pertarungan“ KPK-Polri” terulang kembali dengan
episode yang jauh lebih menarik. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana posisi
Presiden Jokowi dalam menyelesaikan political turmoil ini?
Di tengah rumor yang begitu dahsyat terkait lemahnya posisi Jokowi dalam memutuskan
perkara pencalonan ini, masyarakat tengah menanti keberpihakan Presiden Jokowi dalam
penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks itu, kita akan coba jelaskan fenomena tersebut
dalam kerangka sebuah jebakan bagi pemerintahan Jokowi yang dipersiapkan oleh kartel
partai politik dan kelompok anti-korupsi lainnya. Jebakan ini membuat Jokowi dalam posisi
sulit dalam memutuskan segera dalam pencalonan tersebut.
Kartel Partai Politik
Tema kartel partai politik adalah sebuah diskursus penting dalam referensi partai politik di
dunia di pertengahan dekade 1990-an. Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada
1995 dalam edisi pertama jurnal Party Politics, kedua ilmuwan politik ini beranggapan
bahwa telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan partai politik dari catch-all party menjadi
cartel party.
Dalam tipologi catch-all party, partai merasa harus melakukan banyak perubahan kebijakan
yang efektif untuk merebut suara pemilih dari mana pun. Untuk mencapai tujuan tersebut,
tipe partai ini berkompetisi secara bebas untuk meraih berbagai sumber daya yang beragam
147
dalam masyarakat.
Sedangkan, tipologi cartel party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam
upaya memenangkan partainya dengan berbagai cara apa pun. Di samping itu, partai dalam
tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan sebagai orientasi
kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik menganggap bahwa berada dalam
lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap
partai tersebut rendah. Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga pemerintahan,
dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi keberlanjutan hidup partai
politik.
Adalah Dan Slater (2004) dan Kuskhrido Ambardi (2008) yang menggunakan tesis kartel
partai politik sebagai pisau analisis dalam melihat partai di Indonesia. Dan Slater
mengobservasi berbagai peristiwa politik dalam masa transisi pemerintahan antara 1999-
2002, di mana pergantian pemerintahan (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) adalah sebuah
jebakan dari mekanisme akuntabilitas yang baru digunakan oleh elite politik. Dalam kurun
waktu tersebut, elite politik telah melakukan berbagai manuver dan memaksimalkan jejaring
politik informal dalam merespons berbagai tindakan politik seperti impeachment terhadap
Gus Dur.
Sementara, Ambardi menegaskan dalam observasinya di DPR bahwa tidak ada koalisi partai
politik yang memiliki orientasi ideologi yang jelas. Ikatan di antara partai politik yang
berbasiskan agama, misalkan, sangat lemah dan temporal dalam melihat “Poros Tengah”
pada tahun 1999 dan 2001. Sementara, koalisi besar dari Pemerintahan SBY pun
mempertegas asumsi Katz dan Mair yang menyatakan bahwa partai memilih untuk dekat
dengan negara ketimbang menjadi oposisi.
Jebakan
Berangkat dari pemahaman tentang kartel partai politik dan potret awal yang sudah dilakukan
oleh Slater dan Ambardi, fenomena kekinian yang dialami oleh Jokowi pun tidak bisa
dilepaskan dalam diskusi di atas. Jokowi pun sebenarnya telah sadar akan jebakan yang
disiapkan oleh kartel partai pada pembentukan kabinetnya. Namun pada saat itu, Jokowi lolos
dan mendapat dukungan positif dari publik.
Hal tersebut dimungkinkan karena Jokowi menggunakan “tangan” KPK dan PPATK untuk
melakukan penyaringan terhadap nama-nama calon menteri yang diduga memiliki masalah
terkait dengan korupsi atau pencucian uang. Berdasarkan pengalaman pada era pemerintahan
SBY, sebagian menteri yang dipilih memiliki track record buruk dalam kasus korupsi.
Meski demikian, pemetaan asal dan riwayat para menteri saat ini pun tidaklah sepenuhnya
bersih dalam persoalan yang dikhawatirkan oleh KPK. Pada waktu itu Jokowi terlihat begitu
kewalahan dalam mengatur dan menegosiasikan komposisi dan nama-nama menteri dalam
kabinetnya hingga detik terakhir sebelum pengumuman. Alasannya adalah Jokowi harus
148
mempertimbangkan secara serius masukan dari KPK, usulan nama dari partai politik dan juga
tanggapan dari publik luas.
Jebakan berikutnya adalah pencalonan Komjen Pol Budi yang kontroversial. Salah satu faktor
penjelas dalam jebakan ini adalah dukungan penuh dari hampir seluruh partai politik di DPR
dalam pencalonan ini.
Padahal seperti yang sudah kita ketahui bahwa DPR baru saja menyelesaikan sebuah konflik
panjang akibat dari perseteruan pasca-Pemilu 2014 antara KIH dan KMP. Sebuah hal yang
aneh apabila DPR sudah terlihat kompak secara cepat dalam menyikapi pencalonan Komjen
Pol Budi yang disangka melakukan pencucian uang dan memiliki transaksi uang yang
mencurigakan.
Meski desakan nama Komjen Pol Budi tersebut berasal dari PDIP, ada fenomena
penggalangan dukungan penuh di DPR yang sulit dilihat kasatmata. Bahkan, proses
pencalonan yang cepat tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa tindakan politik ini
adalah skenario jebakan yang telah disiapkan lebih serius dari sekelompok elite politik, baik
dalam ataupun di luar pemerintahan Jokowi.
Dalam konteks penjelasan resmi pemerintah ataupun gesture tubuh dan fisik dari Jokowi,
publik bisa melihat bahwa kegalauan Jokowi dalam pemutusan kata akhir dalam pencalonan
ini. Apalagi intensitas pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi, sebagai pemegang saham
pemerintahan Jokowi-JK, terekam jelas dalam laporan media massa pada waktu itu.
Kondisi konflik semakin memanas manakala PDIP melalui Hasto Kristyanto melancarkan
serangan pertama kepada KPK dengan menyatakan buruknya etika politik Abraham Samad
dalam “ikut serta” pencalonan wapresnya Jokowi. Puncaknya adalah Polri melakukan
tindakan tidak populer dengan menangkap tangan Bambang Widjojanto manakala tengah
mengantar anaknya sekolah.
Inilah jebakan yang memperumit posisi Jokowi dalam memutus perkara pencalonan Kapolri.
Di satu sisi, Jokowi terdesak oleh kepentingan partai politik pendukungnya dalam pengajuan
calon Kapolri. Sementara di sisi lain, Jokowi pun tengah dikritik keras tentang komitmennya
dalam pemberantasan korupsi oleh para pendukungnya dan para aktivis LSM anti-korupsi.
Presiden Populis
Jokowi adalah satu di antara banyak presiden di dunia yang terpilih karena alasan
kepopuleran ketimbang dukungan mesin partai politik yang kuat dan efektif. Oleh karena ia
adalah presiden yang populis, maka semestinya Jokowi sadar bahwa dukungan pemilih
adalah nomor satu.
Dukungan partai politik bukannya tidak penting, namun saat ini, di mana lemahnya partai
politik dan menguatnya popularitas seorang presiden, maka posisi Jokowi berada dalam titik
149
aman. Dalam konteks saat ini, Jokowi pun semestinya paham bahwa sebuah kebijakan politik
yang tidak populer dan cenderung menegosiasikan kehendak rakyat tentu akan berdampak
terhadap besaran dukungannya yang harus terus dipelihara.
Ini adalah logika menjaga popularitas dan citra seorang presiden. Sehingga, pilihan terhadap
kebijakan dalam pencalonan sudah sangat jelas, apakah ia memilih masuk dalam agenda
kartel partai politik atau memilih menjadi presiden populis yang tentu kerapkali tidak populer
di kalangan partai politik yang ingin menjebaknya.
ADITYA PERDANA
Dosen Ilmu Politik FISIP UI; Kandidat doktor dari University of Hamburg, Jerman
150
Dramaturgi Politik Madu Tiga Koran SINDO 30 Januari 2015
Siapa pun warga negara berharap agar lembaga hukum negara akur-akur saja. Bekerja secara
benar dalam kewenangan menuntaskan persoalan hukum secara adil dan tidak memihak.
Lembaga-lembaga hukum tersebut tidak perlu berpolitik karena mereka memang bukan
lembaga politik. Sedapat mungkin pula mereka tidak perlu terlibat arus kuasa politik, meski
kondisi seperti itu masih bersifat utopia di Indonesia.
Konflik KPK-Polri mengingatkan kita pada peristiwa perselisihan antara Susno Duadji yang
pada masa itu masih menjabat kepala Bareskrim Polri dengan KPK yang kemudian dikenal
istilah “cicak versus buaya”. Hanya sedikit berbeda pada masa itu, kali ini konflik yang
terjadi nampak bereskalasi dan beraroma dendam. Peristiwa ini tak murni berupa konflik
hukum antarkedua kelembagaan tersebut, tetapi juga ada gesekan arus kepentingan partai
politik di dalamnya. Karenanya, konflik kali ini dinilai lebih rumit dari sebelumnya.
Sebetulnya tak berlebihan jika kasus konflik KPK-Polri ini sudah sarat dengan nuansa
politisasi hukum yang menjerat pemimpin di kedua lembaga tersebut, yang kemudian entah
bagaimana menyeret pula pada institutional conflict of interest. Politisasi inilah yang
kemudian menghasilkan complexity values yang mendistorsi penilaian publik terhadap KPK
dan Polri.
Maka, pengabaian terhadap kondisi ini sama saja menciptakan bom waktu bagi kehidupan
sosial politik dan keamanan Indonesia. Harapan besar publik sebetulnya ingin Presiden secara
tegas menengahi konflik tersebut. Tetapi, ketika Presiden berujar tak ingin mengintervensi
persoalan yang terjadi, seperti ada yang salah dalam bagaimana Presiden semestinya
memosisikan diri.
Sebagai kepala negara, fungsinya menengahi konflik ini akan berkontribusi terhadap upaya
politik menjaga kondusivitas kelembagaan KPK dan Polri. Karena itu, ini bukan persoalan
mengintervensi penanganan dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masing-masing
lembaga, tetapi bagaimana Presiden mampu menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi
di antara keduanya.
Dalam kelembagaan eksekutif, Jokowi bisa memerintahkan Polri agar bisa menahan diri
untuk tidak terlalu reaktif dan impulsif. Namun di sisi lain, Jokowi juga harus bisa meminta
KPK untuk melakukan hal yang sama dan menjelaskan ke publik bahwa kasus ini bersifat
individual, bukan kelembagaan KPK maupun Polri. Sehingga sebetulnya, tidak ada upaya
pelemahan bagi kedua lembaga tersebut. Karena itu, rekonsiliasi merupakan jalan terbaik
151
agar publik juga tidak merasa bahwa Jokowi sedang bermain-main dengan usaha
memberantas korupsi di Indonesia.
Jaga KPK dan Polri
Menjaga KPK dan Polri hukumnya fardhu ‘ain sebab keduanya sama-sama berkontribusi
terhadap penegakan hukum di Indonesia. Menjaga Polri dan juga KPK berarti sama-sama
menjaga marwah hukum Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dari sisi fungsi,
kewenangan dan tanggung jawab, keduanya memang berbeda. Tetapi, jika menelisik pada
relasi kebutuhan akan penegakan hukum yang sebenarnya, harapan publik pada kedua
lembaga ini sama.
Karena itu, langkah paling penting saat ini adalah menyelamatkan Polri dan KPK dari
perangkap kepentingan politik yang menariknya pada egosentrisme kelembagaan.
Dramaturgi politik madu tiga antara Presiden, KPK dan Polri harus disudahi. Tetapi,
penyudahan ini tetap berlandaskan pada mekanisme dan aturan hukum. Artinya, setiap yang
dipersangkakan bersalah tetap harus diproses secara hukum.
Bagaimana Caranya?
Menyudahi perseteruan KPK-Polri kali ini haruslah menyentuh persoalan atau penyebabnya.
Karenanya, Presiden perlu mengambil langkah taktis dan integratif agar persoalan bisa segera
teratasi, syukur-syukur tak terulang kembali. Pertama, meninjau kembali pengangkatan BG
sebagai Kapolri, memperjelas kasus hukum yang disangkakan kepadanya dan jika diperlukan
mengajukan kembali calon lain yang relatif lebih bersih dan tidak menimbulkan polemik di
mata publik.
Sebaliknya, meminta KPK melakukan tindakan yang sama terhadap pemimpin yang sudah
menyandang status tersangka, memperjelas kasus hukumnya. Dan jika tak terbukti, maka
harus dikembalikan lagi nama baiknya masing-masing. Presiden bisa langsung menunjuk
orang-orang yang independen untuk mengawasi prosesnya.
Kedua, merekonstruksi kepemimpinan di tubuh Polri dengan tetap berlandasan pada
peraturan perundang-undangan yang ada. Presiden harus mampu mengambil langkah
strategis agar di masa mendatang Polri betul-betul mampu bekerja secara profesional dan
proporsional. Hal itu harus dimulai dari pimpinannya dan berlangsung paralel hingga tingkat
yang lebih rendah.
Ketiga, melakukan rekonsiliasi terhadap kedua lembaga dengan diawali melakukan
pertemuan antar kedua lembaga dan diakhiri dengan menyepakati kesepakatan-kesepakatan
penting rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini penting untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang
kembali di masa depan. Rekonsiliasi perlu dibangun partisipatif agar kedua lembaga bisa
kembali menjalin kerja sama, saling mengisi dan memberi masukan, bukan saling sandera.
152
Keempat, tak kalah pentingnya adalah Presiden harus mampu keluar dari dilema kekuasaan
berupa balas jasa dan tekanan politik. Presiden harus mampu bersikap tegas dan
independen. Toh, kewenangan menentukan arah pemerintahan berada di tangannya. Jokowi
adalah seorang Presiden bukan petugas partai. Karenanya, harapan rakyat adalah dirinya
bertindak sebagai layaknya seorang Presiden yang menaungi segenap rakyat Indonesia,
bukan tunduk pada tekanan dan kepentingan politik.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP UNPAD dan Peneliti di Nusantara Institute
153
Teologi Polri dan KPK Koran SINDO Sabtu, 31 Januari 2015
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Wakil Ketua Muslimat NU Cabang Arab Saudi Hj Rufinah Madrais, misalnya, menyatakan
kegundahannya atas perang antara KPK dan Polri itu.
Berita tentang penetapan calon kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka pelaku korupsi oleh
KPK, yang kemudian dibalas dengan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai
tersangka perekayasa keterangan palsu oleh Bareskrim Polri, telah menyentak perhatian publik.
Meski mungkin ada yang berpura-pura menyebut peristiwa itu sebagai dinamika, tak bisa
dihindari sebenarnya banyak yang menyebut peristiwa tersebut sebagai perang antara KPK dan
Polri. Ia menarik perhatian bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, terutama
di kalangan warga negara Indonesia. Ketika pada Sabtu dini hari pekan lalu (24/1) saya
mendarat di Jeddah, dua aktivis Ansor NU di Arab Saudi, Maksum Jalal dan Nurkholis, yang
menjemput saya di bandara juga menanyakan soal kisruh Polri vs KPK itu.
Begitu juga ketika ngobrol-ngobrol ringan saat bertemu dengan orang-orang Indonesia di Masjid
Nabawi (Madinah) dan Masjid Haram (Mekkah), yang paling banyak ditanyakan kepada saya
adalah perang antara KPK dan Polri. Semua sedih dan prihatin karena pada saat kita sedang
dituntut untuk serius memerangi korupsi ternyata terjadi perang antarkedua institusi penegak
hukum itu sehingga memberi kesan kita tak serius memerangi korupsi.
Sebenarnya kalau kita melihat peristiwa itu secara jernih dan seimbang, kedua pihak mungkin
sama-sama melakukan kekeliruan. Tapi tak terhindarkan yang muncul dalam opini publik adalah
terjadinya upaya pelemahan terhadap KPK. Banyak yang kesal, mengapa Polri melakukan itu.
Orang kemudian tidak lagi menyebut Budi Gunawan sebagai oknum, melainkan menyebut Polri
sebagai institusi. Tanpa sadar kemudian mulai timbul ketidaksukaan terhadap Polri. Itu yang
membahayakan.
Menyebut Polri korup secara institusi apalagi sampai menimbulkan antipati dan kebencian di
tengah-tengah masyarakat sangatlah tidak baik. Polri adalah lembaga penegak hukum yang
keberadaannya disebutkan eksplisit di dalam konstitusi kita. Negara ini memerlukan Polri untuk
mengawal upaya pencapaian tujuan-tujuan bernegara terutama untuk menjamin ketertiban,
keamanan, dan ketenteraman di dalam masyarakat.
Karena itu polisi diberi monopoli oleh hukum untuk menggunakan senjata demi menjamin
keamanan dan ketertiban. Harus kita akui, dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu Polri sebagai
institusi secara umum sudah bekerja dengan baik. Kalau mau objektif, kita tak boleh
memandang Polri hanya sebatas markas besar, apalagi hanya sebagian kecil oknumnya saja.
Kita harus melihat masih banyak polisi yang baik dan penuh dedikasi.
Lihatlah kerja serius polisi sampai ke pelosok-pelosok kecamatan dan desa terpencil yang
mampu memberi jaminan kepada rakyat untuk hidup tenang dan nyaman, aman dari berbagai
ancaman. Bayangkan, betapa mengerikan seandainya Polri menyatakan berhenti bekerja atau
154
mogok selama satu jam saja.
Tentu selama satu jam itu tidak ada penegak hukum yang bisa menjaga ketertiban di tempat-
tempat umum, menangkap perampok, pembobol ATM, pemerkosa, pembuat kerusuhan,
pembunuh sadis, penyelundup, dan pengedar narkoba sehingga bisa terjadi kehancuran di
mana-mana.
Seumpama setelah satu jam Polri mengumumkan berhenti mogok dan siap aktif kembali, tentu
semuanya sudah terlambat dan terlanjur hancur. Itulah sebabnya semarah apa pun kita terhadap
oknumoknum di Polri, jangan sampai kebablasan merusak Polri sebagai institusi. Gerakan
#Save- Polri yang sekarang muncul adalah sama dengan gerakan #SaveKPK yang sama-sama
ingin memelihara kebaikan bagi negara kita.
Kalau soal oknum berperilaku korup itu adanya bukan hanya di Polri, tetapi juga ada di mana -
mana, termasuk di berbagai LSM bahkan ormasormas keagamaan sekalipun. Karena sedang
berceramah di Jeddah, saya sedikit menggunakan pendekatan teologis dengan mengatakan
bahwa Polri adalah representasi negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka itu Polri tidak boleh didelegitimasi. Begitu pentingnya ketaatan terhadap pemerintah yang
menyelenggarakan keamanan sehingga dari sudut agama Imam Nawawi pernah mengatakan,
kita tidak boleh melakukan perlawanan terhadap pemerintah karena hal itu bisa
menyengsarakan rakyat.
Maksudnya tentu bukan tidak boleh mengkritik atau mengontrol, melainkan tidak boleh
mendelegitimasi aparat pemerintah yang melakukan tugas-tugas menyelenggarakan keamanan
dan ketertiban. Dalam pada itu Ibn Taymiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun diperintah
oleh pemerintah yang jelek adalah lebih baik daripada satu malam saja tidak ada pemerintah.
” Dalil Ibn Taymiyah ini pun tak dimaksudkan untuk menoleransi tampilnya pemerintahan yang
korup. Kritik dan kontrol terhadap pemerintah atau aparat penegak hukum tetap dianjurkan,
tetapi dalam batas jangan sampai menimbulkan chaos karena lumpuhnya pemerintah. Kita harus
tetap tegas dan galak terhadap oknum-oknum yang korup, siapa pun mereka.
Tapi dalam konteks perang antar-dua lembaga penegak hukum ini kita juga harus selalu dalam
posisi menyelamatkan dan menguatkan KPK dan Polri karena keduanya dibentuk untuk
melaksanakan tugas-tugas pencapaian tujuan kita bernegara.
Partai dan Hukum Besi Oligarki Koran SINDO Sabtu, 31 Januari 2015
Firman Noor PHD
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
Pada awal abad kedua puluh muncul sebuah mahakarya dalam khazanah ilmu politik yang
ditulis oleh seorang lulusan sejarah dan kemudian memfokuskan diri pada kajian sosiologi politik
berjudul Zur Soziologie des Parteiwesens in der Modernen Demokratie, Untersuchungen über
die oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens.
Dalam bahasa Inggris buku tersebut diterjemahkan menjadi On the Sociology of Political
155
Partiesin Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in Political Aggregations.
Pengarangnya adalah Robert Michels, seorang pengajar dan sekaligus politikus mantan aktivis
Partai Sosial Demokrat Jerman, yang kemudian keluar dari partainya dengan kekecewaan.
Hal utama yang menyebabkannya angkat kaki adalah kesebalannya yang membuncah akan
sebuah kenyataan bahwa partai, yang menurut logika naifnya harusnya dikembangkan dengan
berlandaskan aspirasi dan kepentingan kader dan para pendukungnya, dalam kenyataannya
hanya diatur oleh segelintir orang. Di dalam partai tidak ada sebuah transaksi demokratis yang
benar-benar menghitung suara akar rumput.
Aspirasi populisobjektif pun kerap menjadi sulit untuk dikonversi menjadi kebijakan partai.
Secara normatif partai memang dibentuk sebagai wadah setiap kader untuk berkiprah. Namun,
dalam konteks riil politik, khususnya dalam soal power game , dunia partai adalah dunia kaum
elite dengan watak otokratik.
Partai, bahkan yang mengaku sebagai sosialis demokrat sekalipun, baginyaakansegera terjebak
dalam sebuah pola organisasi oligarkis. Berdasarkan amatan Michels nyaris tidak ada satu partai
pun yang tidak terhinggapi oleh penyakit yang bernuansakan elitisme ini. Di situlah kemudian dia
dengan mantap mengatakan fenomenainisebagai” ironlaw ” atau ”hukum besi”.
Oligarki Kekinian
Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini beberapa partai bahkan
telah dihinggapi oleh elitismeyangakut, ditandaiketergantungan yang nyaris total pada figur. Titah
figur-figur ini harus terjadi meski bisa jadi secara substansi tidak aspiratif dan bahkan menabrak
aturan main.
Dalam nuansa ini tidak heran kalau kemudian berbagai peristiwa politik–baik di lingkungan partai
maupun di luar partai, apakah yang berupa konflik ataupun konsensus–lebih ditentukan oleh
kekuatan eksklusif dari balik layar yang berasal dari aspirasi para elite. Dus , pelibatan massa
atau kader sejatinya hanyalah semu. Tak lebih dari sekadar penggembira dan pemberi legitimasi
atas kehendak para elite itu.
Bulan-bulan belakangan ini kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang demikian
bising. Simak saja misalnya mulai dari terbentuknya koalisi menjelang pilpres, konflik internal
partaipartai yakni Golkar dan PPP, kegagalan pembentukan alat kelengkapan Dewan (AKD)
yang berlanjut pada terbentuknya ”DPR Tandingan”, penyusunan kabinet Presiden Jokowi,
hingga yang teranyar perseteruan KPK versus Polri sebagai efek dari terpilihnya Komjen Budi
Gunawan sebagai kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman.
Semua itu sepintas tampak berasal dari penyebab yang berbeda-beda. Namun, secara umum
jelas dapat dilihat dari perspektif hukum besi oligarki, di mana secara mendasar akar penyebab
itu semua adalah (pertarungan) kepentingan para elite. Pembentukan koalisi apakah KIH dan
KMP adalah kesepakatan para elite partai, khususnya di level ketua-ketua partai.
Pertarungan internal partai-partai adalah jelas pertarungan para elite, antara mereka yang
tengah dan ingin terus berkuasa dan yang tak sabar lagi untuk berkuasa, dengan pernak -pernik
seputar aturan main sebagai legitimasi untuk bertarung. Penyusunan kabinet dan segenap posisi
penting dalam pemerintahan adalah hasil transaksi para elite atau bahkan para ”mahaelite” yang
segera saja dapat dengan mudah menyingkirkan harapan dan aspirasi akar rumput, termasuk
156
aspirasi mereka yang sebenarnya sudah berkeringat.
Sementara dalam soal pengangkatan sosok pimpinan Polri yang tidak populis, amat jelas
mengesankan hasil sebuah keputusan elitis yang melibatkan segelintir orang saja. Di sini
jangankan rakyat, kebanyakan kader partai hanya berperan sebagai penonton.
Mengapa?
Setidaknya ada lima hal yang menyebabkan hukum besi itu berlaku dan cenderung menguat.
Pertama, partai memang ”milik” segelintir orang. Ini seiring dengan terus bergantungnya
keberlangsungan hidup partai oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial. Studi Perludem
(2011) mengindikasikan lemahnya kemandirian partai dalam mendapatkan dan mengelola
keuangan.
Hal mana tentu saja membuka peluang para ”pemegang saham” yakni para elite untuk terus
berkiprah lebih besar dan lebih menentukan. Kedua, ini ditambah dengan situasi lemahnya
kaderisasi yang berimplikasi setidaknya pada dua hal.
(1) Ketidakjelasan jenjang karier atas dasar prestasi yang menyebabkan sirkulasi jabatan dan
pimpinan atau elite lebih ditentukan oleh jaring-jaring kepentingan elite itu sendiri guna
mengukuhkan basis oligarkinya. (2) Berkembangnya pendekatan pragmatisme, di mana ideologi
partai tidak lagi dipahami dan idealisme bekerja untuk partai tersingkirkan, terutama oleh
pengabdian kepada (kepentingan) elite yang jauh lebih menjanjikan.
Ketiga, mekanisme internal partai yang kerap memberikan porsi lebih kepada jajaran elite dalam
menentukan hidup mati partai. Dalam labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak
nyaris tanpa kontrol. Kontrol yang terjadi adalah justru sesama elite yang bila tidak diakomodasi
dengan cantik, berpotensi besar memunculkan konflik internal. Di sisi lain banyak hal penting
yang diatur sepintas dalam AD/ART yang selebihnya diserahkan pada keputusan segelintir
orang saja.
Semangat demokrasi pun kerap masih bersifat anjuran dan ada pada leve l tradisi, namun belum
secara total dilembagakan. Keempat, aturan main yang belum seutuhnya menopang
demokratisasi partai. Pengaturan keuangan partai yang diamanatkan oleh UU Partai Politik
misalnya justru cenderung memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar
untuk mengukuhkan perannya dalam partai karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk
dapat menyumbang sejumlah uang tanpa batas.
Aturan main yang ada juga belum mampu memaksa partai-partai untuk membenahi kaderisasi
yang dalam banyak aspeknya menjadi salah satu penyebab bagi munculnya budaya
pragmatisme dan pengukuhan elitisme. Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis.
Seandainya ada korelasi antara partai yang oligarkis dan kegagalan dalam perolehan suara,
tentu partai akan berlomba-lomba untuk mendemokratisasi diri. Namun, setidaknya hingga saat
ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam
pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk memperba iki diri.
Sebaliknya, kondisi ini amat melenakan partai-partai yang pada gilirannya mengokohkan
bangunan oligarki partai. Situasi ini tentu saja bukan menjadi alasan kita untuk menguburkan
partai-partai. Tugas kita sekarang justru mengembalikan jati diri partai dalam bentuk idealnya,
157
sebagai penyambung kepentingan rakyat.
Kalaupun menghapuskan hukum besi tidaklah mudah, setidaknya kita harus tetap berusaha
meminimalkan peluang tegaknya oligarki di antaranya mengatasi beberapa akar penyebab
kemunculannya di atas. Bagaimanapun partaipartai adalah kebutuhan alamiah dari demokrasi
yang bersama kita yakini.
Status Tersangka dan Perlindungan HAM Koran SINDO Selasa, 3 Februari 2015
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka
harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat berawal
dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa. KUHAP tidak menjelaskan
pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti
permulaan tersebut.
KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang menyandang
status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP
adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan
penuntutan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada
tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat
saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan. Mengingat
diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat berpengaruh
secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka mutlak perlu
ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang mengikat dan dapat
diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice system
dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana
(Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman,
Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-
076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi
Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat
bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per- 036/A/JA/
09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung RI No.
Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005.
158
Namun, ini lebih pada kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas
dan kewenangan seperti pelatihandanpertukaraninformasi, dan bukan dalam kaitannya dengan
teknis penanganan perkara. Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas
hak-hak tersangka relatif lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check
antara instansi kepolisian pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada
lingkup penuntutan dan pelimpahan perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik
(kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat hukum
pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due process of
law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana
korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan
yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti,
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik. atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang- Undang KPK menyatukannya di dalam
institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang- undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah
terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan
adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak
tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi. (pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan
tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini (pasal 46).
Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku. Kembali kepada pokok
tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka
adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia serta demi kepastian
hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak
hukum, dan instansinya.
Itulah juga salah satu implementasi esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang
akan datang hendaknya mengatur hal tersebut. Asas fundamental universal hak-hak asasi
159
manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak, kewenangan, dan diskresi yang diberikan
kepada suatu institusi atau perorangan yang membatasi dan mengekang hak asasi orang lain,
harus ditetapkan dengan peraturan publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang -undang lain
dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka
pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari
undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi
asas lex specialist derogates lex generalist. Penulis, Pemerhati Hukum - Alumni Pendidikan
Reguler Lemhannas RI Jakarta, awalPebruari 2015.
Sampe L Purba
Pemerhati Hukum, Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI.
Politik Jokowi Koran SINDO Selasa, 3 Februari 2015
Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua disingkat. Misalnya namanama
tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK merupakan singkatan populer.
Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah nama dari Komjen Polisi Budi
Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media karena setelah ia dipilih Presiden sebagai
calon tunggal kepala Polri baru menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui DPR.
Tetapi oleh KPK, justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).
Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra melibatkan beberapa pihak
menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga diri, keputusan pimpinan nasional dan banyak
pernik lain. Semua sebenarnya wajar, tetapi menjadi sangat penting karena menyangkut ranah
politik dan hukum.
Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu keputusan Presiden apakah
akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala Polri dan menunjuk yang lain. Dalam
keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan
menunda pelantikan BG, tetapi tidak membatalkan. Penulis mencoba mengulas dari sudut
pandang intelijen terhadap masalah ini hingga menemukan di mana bermuaranya. Dalam
terminologi intelijen, analisis serupa disebut sebagai sebuah ramalan intelijen.
Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi
Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis dari pakem intelstrat (intelijen strategis)
yang terdiri atas sembilan komponen yaitu Ipoleksosbudhankam plus komponen biogr afi,
demografi, dan sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah kekuatan,
kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).
Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala Polri baru, yang mengemuka
diberitakan adalah bidang hukum dan politik. Konflik mengarah kepada perseteruan antara KPK
dan Polri. Dalam perkembangannya, para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya politisasi,
sementara dari elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.
160
Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai kasus pada dua sisi tersebut.
Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama media kemudian melibatkan Presiden sebagai
decision maker. Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak komprehensif karena ada informasi
penting yang tertinggal.
Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan media, kesimpulan banyak yang tidak
tepat, walau mampu membentuk dan memengaruhi opini publik. Dalam hal ini, menurut penulis,
banyak yang tidak mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus BG yang
berkembang ke arah konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.
Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan komponen, apabila diurai, kasus
akan valid paling tidak mayoritas dari komponen intelstrat terpenuhi. Awalnya setelah penga juan
BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan, hingar-bingar yang muncul menempatkan Presiden
sebagai pihak yang bukan antikorupsi. Banyak yang heran, mengapa BG yang namanya di
stabilo KPK kok masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?
Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat informasi akurat mestinya. Ada
komponen intelstrat yang tidak terbaca publik bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi, politik,
sosial, biografi misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah ini yang
menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG. Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan
ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga tahun).
Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa menyimpulkan ada pengaruh psikologis dan
politis dari Teuku Umar dengan masuknya BG sebagai calon utama kepala Polri. Kita lihat saja,
beberapa elite PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar Presiden segera melantik BG.
Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan BG sebagai tersangka.
Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat dengan Megawati bisa
diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah benar calon PDIP (baca Mega).
Mereka menekan Presiden untuk segera melantiknya. Plt Sekjen PDIP (Hasto) bahkan
menyerang KPK dengan menyudutkan ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh soal
pelengseran.
Rasanya kurang smart dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang penuh dengan trik.
Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru menilai
Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas mengajukan sembilan nama
calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada orang yang menjadikannya pimpinan
nasional.
Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi politik serta pendukung
yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi.
Dalam masa kepemimpinannya yang 100 hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi
praktek politik kotor di Tanah Air pastinya.
Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan konflik dan mencoba menggiring
Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga pernah dilakukan
terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental ala Jokowi jelas tidak disukai
oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.
Arah Strategi Presiden
161
Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG ini sepertinya Presiden lebih
kepada ”solo karier”? Ke mana para pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak Tedjo
sebagai Menko Polhukam yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan, intelijen,
kejaksaan, dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan menjadi
kontraproduktif di media dan kalangan netizen dengan bahasa politik tergelincir.
Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi lebih terang, di mana Jokowi
sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di satu sisi melepaskan dan memenuhi semua
keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke DPR.
Selanjutnya Presiden melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik yang
terjadi.
Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak pihak yang meributkan masalah BG,
masalah penangkapan komisioner KPK, keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau tidak
melantik (membatalkan), serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK. Itu saja
sebenarnya muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang prorakyat dan
antikorupsi keluar.
Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang antikorupsi, dia tidak akan mau
berhadapan dengan rakyat yang antikorupsi. Di lain sisi, Presiden mampu menstabilkan kondisi
DPR setelah bertemu Prabowo karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah, bahaya
pelengseran dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus menjaga
stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga menjaga hati dan perasaan ”Ibu
Ketuanya”.
Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan bahwa dia tidak akan
mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan KPK. Sidang di Pengadilan
Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015), diperkirakan pada minggu pertama Februari ini
akan selesai. Dalam hal ini Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan KPK.
Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri hanya menunggu waktu. Kunci
waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi yang diambil dan akan cantik bagi Presiden,
penulis perkirakan BG akan mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan. Kemudian
Presiden akan meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri baru.
Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru, kemudian meminta clearance ke
PPATK dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang berlaku.
Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP terlihat setelah
pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat (30/1/2015).
KIH sudah berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam waktu dekat yaitu akan
dilangsungkan pilkada, bila bertahan dalam mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami
penurunan elektabilitasnya. Mungkin ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari
ketua umum PDIP. KIH tidak ingin disalib KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu
Presiden telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya
yakin beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan
memilih yang terbaik,” katanya.
Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar dicari saja calon kepala Polri baru.
162
Di samping melaporkan kepada Presiden bahwa dirinya dipilih sebagai Presiden Federasi
Pencak Silat Dunia. Ia meminta kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai pendekar
pencak silat Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat beberapa
kader PDIP melakukan tekanan.
Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang kemelut pencalonan Komjen Budi
Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil mendapat kesamaan pandangan tokoh - tokoh,
relawan, serta kekuatan nasional yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai institusi
yang perlu diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa melihat Jokowi
tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya sebagai capres.
Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan moril Prabowo.
Presiden Jokowi kini menemukan bukti kebenaran peribahasa yang mengatakan ” The enemy of
my enemy is my friend .” Walau perlahan, ia sedang berproses, tertempa dengan ATHG sebagai
pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan berpeluang menjadi pemimpin besar di negeri ini.
Kekuasaan itu sudah di tangannya, tinggal bagaimana mengolahnya secara bijak.
MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN
Pengamat Intelijen
www.ramalanintelijen.net
Hukum Praperadilan di Indonesia Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di
Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya.
Bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana.
Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum
acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang
yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.
Sebelumnya seseorang yang terlibat itu dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang
sebagai subjek yang wajib memperoleh perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial,
ekonomi, politik dll. Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI
Nomor 8/1981 juga telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR.
Di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees )
terhadap setiap orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b)
dan jaminan upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum
sekalipun di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
*** Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap
perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
dan penghentian penuntutan.
163
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta
perlakuan aparatur penegak hukum yang nyatanyata merupakan pelanggaran hak asasi
seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nya ta dari
negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang
(error in persona ) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga
diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara
pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang -undang pidana
khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP.
Yang terkini lahir beberapa putusan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah
tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan. Dalam kaitan
perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut pendapat saya
bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun
apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum
yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis) menurut
penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari, memperoleh,
dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal -
breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar
Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai -nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang
fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum
bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki
aspek nilai (values ) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan
terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan statusquo, akan
dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau
bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam
pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan
pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma dan
logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Aturan
tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di Indonesia dalam
penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.
*** Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia
merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di
164
pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan
hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan ketelitian
dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak
penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan
integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam
KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah
tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum,
termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi
seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan
ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jikawilayahhukumpraperadilan tidak
hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana tercantum
dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang bersinggungan
dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan merupakan
conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses penyelidikan
danpenyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan melawan hukum,
proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya adalah cacat
hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).
Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015
Ma’mun Murod Albarbasy.
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.
Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut
sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya
Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai
perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham Samad
(AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil presiden
mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres untuk
165
mendampingi Joko Widodo. Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau
menilik kasus yang dialami BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU.
Cara publik merespons kasus BW dan AS juga berbeda dengan cara merespons kasus AU.
Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai
proses persidangan, nyaris tak berbeda jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap
Bareskrim. Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan
yang dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK -salah
satunya- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW
membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan mengandung
kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK. Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”.
BW seakan ingin menunjukkan kepada publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu
apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan
kepada anaknya kalau dirinya telah diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak”
ini cukup berhasil menyita perhatian publik. Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku
Ketua KPK membocorkan s p r i n d i k A U , s a a t itu AU juga mempuny a i empat anak yang
masih kecil-kecil.
Seperti halnya BW yang mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana
perasaan anak-anak AU saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja
dibocorkan. BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa
ketika menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan
atau proyek-proyek lainnya”.
Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang begitu kabur. BW dan
pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris, di mana
puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat ketika sekadar
untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan puluhan Brimob
bersenjata lengkap.
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait
sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim
yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat
penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga arogan.
Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan panggil ini
Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kep a d a Anas lewat
forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya untuk memanggil
paksa,” (7/1/ 2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bar eskrim
untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan dua
alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat bukti
dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak
166
dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum.
Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di gedung
KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di bahwa
seakanakan pimpinan KPK tidak bisa salah.
Karenanya, kalau ada pimpinan KPK terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai
kriminalisasi KPK. Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di
Duren Sawit, bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam
menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun
meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan A U . Pendukung AU meyakini ada
nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang
menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga
mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi
presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik yang
bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad berkeinginan
menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi presiden”, ”publik”
diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU.
Sebagian lainnya berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan
ambisius ingin menjadi presiden. Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik
yang aneh. Mestinya komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS.
Sebagai ketua umum partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi
presiden? Sangat wajar AU berkeinginan menjadi presiden.
Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional maupun moral politik. Justru harus
dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres. Itu ibarat orang
laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar hingga di bawah lutut
tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-laki memang antara
pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya dengan menutup aurat
yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak setiap
warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam
menjalankantugas harusbetul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan menjadi
wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi ataupun
aturan apapun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik .
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin
sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah
didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan sebagai
167
calon tunggal Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS nantinya
ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan dijadikan sebagai
alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini dipandang lumrah dan
sepele. Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi
(muhasabah) bagi institusi penegak hukum.
Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam penetapan tersangka, harus
dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan secara terbuka alat bukti yang
dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal ini penting dilakukan untuk
menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses penetapan tersangka. Selain itu,
hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga mengetahui prosesnya.
Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi. Bukan hanya itu, penetapan status tersangka
juga terkait dengan seseorang yang mempunyai harga diri (marwah), mempunyai sanak
keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan harus benar-benar dikedepankan, bukan
karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan sampai ada penzaliman dalam penetapan
seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya
mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang
baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami
”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya
menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan -mungkin menyusul- AS
sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi. Semoga!
Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015
Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi)
dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi Malaysia.
Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar dalam
kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20. Pilihan mengunjungi Malaysia
adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam negeri dan luar negeri tentang
isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang relasi Indonesia dengan negara-
negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu perbatasan dan tenaga kerja migran.
Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar negeri
yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan muncul
dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal ini tidak
hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga dalam kaitan
strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga
termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu -
168
perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan
Indonesia.
Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di mata
negaranegara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di mana
akan berujung. Secara diplomatis, negaranegara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros
Maritim terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait
dengan proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di
beberapa kepulauan.
Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang kemungkinan
investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan kemananan di
laut. Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah-langkah konkret Jokowi untuk
meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut.
Setidaknya ada 3 alasan untuk ini. Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk
mengebom dan menenggelamkan kapal asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan
laut Indonesia. Dalam hubungan internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah
bagian dari gunboat diplomacy di mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan
siapa pun yang memasuki perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan
wilayah.
Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag
(unjuk bendera di batas wilayah) dimana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang
melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan. Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya
dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni
(penguasa) di suatu kawasan.
Dalam sejarahnya, gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme.
Pertanyaannya kemudian, apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait
intensi tersebut? Apakah akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara? Kedua, dalam
meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik yang menjadi basis
kebijakan.
Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat dengan negara tertentu, bersinergi
dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri pertahanan di Tanah Air. Dalam
konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer seharihari sudah mampu dipenuhi dari
industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya untuk menjaga
wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada industri militer di
Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China.
Pertanyaannya kemudian, kerja sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-
negara tetangga? Akankah terjadi penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia
Tenggara? Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah
penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang
sesungguhnya dari kebijakanJokowi dilaut.
Misalnya saja Automatic identification System menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal
dari China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah
tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring 8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau
169
kabur.
Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar China
untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya. Mungkin ini
urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah penegakan hukum
sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi dalam sejumlah
kesempatan, mengapa ada rahasia?
Apakah ini sekadar masalah teknis karena Indonesia belum punya kemampuan menangkapi
kapal-kapal asal China yang bandel ataukah ada pengecualian tertentu? Dari sini semoga dapat
tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada pengembangan Poros
Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang tunggal dimensi
kebijakannya.
Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat bahwa di Asia Tenggara masih
belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada Brunei Darussalam, Taiwan,
Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah dalam sengketa tersebut.
Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat mekanisme code of conduct, tetapi
sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti dalam pencapaian kesepakatan lewat
cara itu.
Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa China telah membangun pulau-pulau buatan yang
dijadikan tempat persinggahan kapal induk militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly.
Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang
dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah.
Hari ini kita telah mengirimkan pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal
fishing dan mereka tentu berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada
negara tertentu. Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negaranegara yang
kapalnya telah atau akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi
pembalasan.
Kesiapan itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negaranegara
yang kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi
yangdiperlukanuntukmembiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka
gagasan Poros Maritimlah yang akan menjadi korban.
Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang
dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.
Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi! Koran SINDO Kamis, 5 Februari 2015
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati. Selamat!
Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini.
170
Negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri
sipil yang mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan
cadangan. Jumlah yang besar. Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat
dalam suatu organisasi yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah.
Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim
dipergunakan dalam suatu pemerintahan modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat
administratif. Organisasi yang Bapak pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk
piramida. Dalam operasionalnya, piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan
keputusan dan tanggung jawab.
Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan
cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organ isasi
pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah
kebijakan. Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di
birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah.
Butuh kerja keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk
mencapai puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama
hampir 45 tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik keatas
dipemerintahan. Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut
kacangnya.
Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian bersama
puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karenaseorangputripresiden pun bisa tidak lulus.
Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia minati. Semua
memakan waktu hampir enam bulan penantian. Lulus sebagai calon pegawai negeri,
penempatan dan pendidikan di departemen sudah menunggu.
Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang baik. Setahun
pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan internal, si calon
pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang trainee. Secara
kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkataneselon1/
dirjen, menjadipanglima perang lapangan.
Seorang eselon 1 dari pegawai negeri sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor,
mempunyai pengetahuan yang nyaris sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai
network yang pastinya baik, serta teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun
pengabdian yang sudah dilakukan. Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola
memanajemen dan berhubungan dengan birokrasi.
Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi
menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan,
terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang
sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1.
Pak Sumarlin, Pak Hartarto, Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya
masih terdengar sampai sekarang. Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya,
reformasi sepertinya mengubah pandangan tentang kemampuan para birokrat.
171
Entah pengertian tentang Reformasi yang ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi
menjadi pimpinan birokrasi pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih
mementingkan kepopuleran, ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan
negara atau pimpinan partai.
Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya
pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang mengatakan
bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden serta wapres juga
jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini? Ingat bahwa karena
autopilot pesawat bisa kecelakaan.
Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan
seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para menteri
yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang mumpuni,
bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden! Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola
di televisi.
Kepopuleran serta keberanian berkoar- koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat
utama selain kedekatan dengan tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti
show pertunjukan di media para menteri itu. Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri,
menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan partai, sepetinya memang hebat!
Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu bahkan ada yang beberapa hari untuk
menganggap dirinya telah mengerti dan bisa memecahkan masalah pemerintahan. Mereka
langsungmengambilkeputusan, mengeluarkan kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa
kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi
danmelibatkandepartemen yang terkait.
Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung
memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau
sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan jabatan
yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi? Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan
membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output kerja menteri Bapak yang lebih berupa
keputusan bisnis semata.
Beberapa peraturan, bukan kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para
direktur dalam mengelola perseroan. Pelarangan- pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-
peraturan yang lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan,
sebagai suatu pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.
Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah teruj i
itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat. Penunjukan
para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur. Pertanyaan
memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para pembantu Bapak
sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan harus mengambil
tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi.
Apakah mencari keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih
penting dari tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan
172
multiplier effect untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah pegawai pemerintahan itu harus
terlihat miskin?
Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi,
menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, fungsi
PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan kesatuan
bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun bukan PNS,
walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus mengutamakan fungsi
pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.
Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di
perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti
Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara
jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat akan
mereka tinggalkan.
Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap eling.
Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran birokrasi ini
adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak Presiden, punten
Pak, this is governing, not campaigning! ?
DR Tito Sulistio, SE, MAF
Founder Charta Politica
Seandainya Koran SINDO Kamis, 5 Februari 2015
Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam menjalankan
politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa pemikiran para pendiri
bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.
Pemikiran tersebut berparadigma nonblok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka
dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar antara
blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat dan kawan-
kawan).
Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun
selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang terus
dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai dunia.
Politik luar negeri nonblok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pascaperang dingin
dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan menghadapi tiga
kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia dan kawan-
kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-Deng
Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pascaperang dunia II yaitu Jepang, India,
dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.
Mengapa konsep nonblok dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif” tahan dan cemerlang
sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran budi jernih
173
pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks kebijaksanaan hidup
negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).
Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia
diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus
berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah
satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi batu
penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik- konflik kepentingan lain yang
beragam dan bineka.
Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusiamanusia
Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega melacur
diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah baru”. Para
kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang sampai hasil laut,
bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.
Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam
bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesarbesarnya
kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika kebudayaan
sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga dalam
kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.
Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus
memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang
menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan
sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.
Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci,
dan yang indah sehingga manakala “teks” nonblok dan bebas aktif dilanjutkan oleh pemerintah -
pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai langkah - langkah
kontekstualisasi.
Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan nonblok kita dan
memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk kembali
ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti daratan pulau
dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya bertaburan pulau-pulau
kita sehingga lautan (baca: maritim)-lah penyambung Nusantara menjadi Indonesia.
*** Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip
musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa dalam
dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih dengan budi
dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi, berbineka pikiran
bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa memutuskan sebuah
keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara diskresi
musyawarah!
Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi putusan.
Mengapa kita dalam tahaptahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks” diskresi
musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan dalih
“demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas kalah?
174
Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu dijalan
pintasi dengan menang dan kalah lewat voting? Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan
rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini
dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu dari pertimbangan like and dislike, senang atau
benci.
Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang
diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia harus
diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.
Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa dipilih.
Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu, sedangkan bila
memilih yang kedua akan matiayah. Maka harus berani masuk ke pertimbangan “minus malum“
sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.
Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak negatifnya
lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum, harfiahnya adalah
mengambil jeleknya (=malum) paling minusatau paling sedikit.
*** Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus
diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati
memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain itu
perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya
melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos begitu
jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.
Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun
nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan
mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (dikulonuwuni) akan
tersinggung Sementara yang kedua, mereka- merekayangberlindungdibalik baju feodalisme
prosedural akan menggugat atas nama formalismetatacara yangdilupakan bahwa ini media atau
sarana dan bukan substansi atau tujuan.
Namun, keduanya samasama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan) seharusnya
adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita justru
berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk saling
mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.
Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna politik
untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka -mereka yang
masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa, kedudukan, dan cari
makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi rebutan selfie panggung
pencitraan-pencitraan.
Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan
bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu: ”menimbang,
mempelajari, lalu memutuskan”.
Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budij ernih, pastilah
175
proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud sebagai
berdaulat dan berperadaban. ?
Mudji Sutrisno SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Uji Publik dalam Pilkada Koran SINDO Jum'at, 6 Februari 2015
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu) telah disetujui oleh DPR.
Walaupun belum disahkan sebagai undang-undang (UU) oleh Presiden hingga tulisan ini dibuat,
secara konstitusional Perppu tersebut sudah pasti akan menjadi landasan hukum
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Paling lambat 30 hari setelah persetujuan DPR,
Perppu itu dengan sendirinya akan menjadi UU. Bahkan, DPR pun saat ini telah membahas
perubahan yang akan dilakukan terhadap Perppu yang telah disetujui.
Terdapat perubahan mendasar di dalam Perppu Pemilihan Kepala Daerah, jika dibandingkan
ketentuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adanya tahapan uji publik sebagai persyaratan
yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun demikian,
uji publik tidak bersifat menggugurkan. Uji publik dilaksanakan sebelum pendaftaran calon
kepala daerah.
Setiap orang yang mengikuti uji publik akan mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji
publik. Surat ini menjadi salah satu persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon kepala
daerah. Artinya, uji publik tidak bersifat menggugurkan, tidak ada pernyataan lulus atau tidak
lulus uji publik. Terdapat beberapa hal penting di dalam ketentuan umum Perppu Pemilihan
Kepala Daerah tentang uji publik. Pertama, uji publik merupakan pengujian kompetensi dan
integritas.
Kedua , uji publik dilaksanakan secara terbuka. Ketiga, uji publik dilaksanakan oleh panitia yang
bersifat mandiri yang dibentuk oleh komisi pemilihan umum provinsi atau kabupaten/kota. Tujuan
uji publik menurut penjelasan umum Perppu adalah untuk menciptakan kualitas kepala daerah
yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, serta memenuhi unsur akseptabilitas.
Kapabilitas sudah terangkum dalam unsur kompetensi yang telah ditegaskan dalam ketentuan
umum. Karena itu, tujuan uji publik sesungguhnya meliputi tiga aspek, yaitu kompetensi,
integritas, dan akseptabilitas.
Manfaat Uji Publik
Adanya mekanisme uji publik setidaknya memberikan tiga manfaat penting dalam proses
pemilihan kepala daerah. Pertama, uji publik merupakan bagian dari proses seleksi internal
partai politik yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memiliki arti penting bagi proses
demokratisasi internal partai politik yang selama ini di beberapa daerah sangat kuat dengan
karakter oligarki.
Penentuan calon tidak lagi hanya oleh internal partai politik yang kadang terdistorsi oleh
176
hubungan politik praktis, tetapi juga harus memperhatikan kualitas dan integritas calon yang
akan diuji oleh publik. Agar manfaat ini dapat diperoleh, sudah sewajarnya partai politik
mengajukan lebih dari satu calon untuk mengikuti uji publik.
Dengan adanya lebih dari satu calon, masyarakat juga akan dapat menilai apakah partai
memerhatikan atau mengesampingkan proses uji publik. Kedua, ujipublikdapatditempatkan
sebagai bagian dari kampanye calon yang objektif. Semua calon memiliki kesempatan yang
lebih luas untuk menunjukkan kapasitas dan integritasnya agar dapat meyakinkan partai
pengusung serta pemilih.
Ketiga , melalui uji publik, terdapat perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan
kepala daerah. Jika sebelumnya masyarakat tidak memiliki peran menentukan calon yang
diusung oleh partai politik, melalui uji publik suara masyarakat sedikit banyak akan ikut
menentukan keputusan partai.
Mekanisme Uji Publik
Salah satu kelemahan dalam Perppu adalah tidak mengatur mekanisme uji publik secara detail.
Ketentuan Pasal 38 Perppu hanya menentukan bahwa setiap WNI yang mendaftar sebagai
bakal calon kepala daerah wajib mengikuti uji publik. Parpol atau gabungan parpol dapat
mengusulkan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik.
Setiap bakal calon yang mengikuti uji publik mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji
publik. Mekanisme uji publik harus memosisikan pihak yang melakukan pengujian adalah publik,
bukan panitia. Tugas panitia hanyalah menjalankan tahapan, mengeksplorasi bakal calon, dan
memastikan adanya partisipasi publik. Panitia tidak memberikan penilaian terhadap calon.
Publiklah yang memberikan penilaian. Tantangannya di sini adalah bagaimana penilaian publik
itu dapat diketahui atau diukur terutama oleh parpol yang mengajukan. Tanpa adanya alat ukur
ini uji publik dapat k e h i l a n g a n makna. Mekanisme uji publik juga harus mampu
menunjukkan kepada publik kapasitas dan integritas calon. Untuk mengetahui kapasitas dan
integritas dapat saja dilakukan melalui ujian tertentu yang akan menghasilkan nilai kuantitatif
tertentu.
Namun jika hal ini dilakukan, berarti penilaian telah dilakukan oleh panitia dan akan
menghasilkan peringkat bakal calon berdasarkan nilai yang diperoleh. Karena itu, cara untuk
menunjukkan kepada publik bagaimana kapasitas dan integritas bakal calon adalah melalui
rekam jejak dan forum tanya-jawab secara terbuka. Persoalannya kemudian kembali pada
bagaimana penilaian publik dapat diketahui dan diukur setelah publik mengetahui rekam jejak
dan mengikuti forum dialog.
Untuk mencapai tujuan uji publik dan menjawab permasalahan yang muncul, mekanisme uj i
publik dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, semua bakal calon menyampaikan riwayat
hidup yang memuat rekam jejak. Panitia mengumumkan secara luas riwayat hidup dan rekam
jejak kepada seluruh masyarakat. Kedua, masyarakat dipersilakan memberikan masukan dan
informasi terkait dengan rekam jejak kapasitas dan integritas bakal calon.
Masukan dan informasi dari masyarakat ini juga diumumkan kepada masyarakat luas. Ketiga,
dibuat forum terbuka di mana setiap calon dapat menyampaikan kapasitas dan integritasnya
serta panitia melakukan pendalaman dan klarifikasi berdasarkan masukan dan informasi dari
177
masyarakat.
Hasil dari semua proses tersebut, baik dari rekam jejak, informasi masyarakat, maupun dari
forum dialog, diumumkan kepada publik dan disampaikan kepada parpol pengusul atau calon
perseorangan dengan harapan dapat menjadi instrumen untuk mengetahui penilaian publik.
Kunci keberhasilan uji publik ada pada dua hal. Pertama, keseriusan parpol pengusul
memanfaatkan uji publik sebagai bagian dari seleksi internal.
Misalnya, parpol dapat melakukan survei mandiri terhadap bakal calon yang diajukan setelah
adanya uji publik untuk mengetahui calon mana yang lebih diterima oleh masyarakat. Kedua,
tingkat partisipasi publik.
Tanpa adanya partisipasi publik, tidak akan diketahui kapasitas dan integritas calon, dan
pengambilan keputusan kembali milik sepenuhnya partai politik. ?
Janedjri M Gaffar
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Mengenal Platform Partai Perindo Koran SINDO Jum'at, 6 Februari 2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/ 2013, pada 23 Januari 2014 yang
menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak mulai 2019,
merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia.
Implikasidari putusantersebut, makapetapolitiknasional dan sistem pemilu di Indonesia berubah
secara signifikan. Dalam era baru penyelenggaraan pemilu itu, keberadaan dan peranan partai
politik, tidak terkecuali partai politik baru, menjadi sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di
Indonesia.
Apalagi, keberadaan partai politik mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam
kehidupan bernegara, karena secara eksplisit diatur dan dicantumkan dalam Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 yang berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”, dan dalam Pasal
6A ayat (2) yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”.
Tantangan bagi partai politik, khususnya partai politik baru, semakin tidak ringan pada Pemilu
2019. Partai harus mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang merosot terhadap
partai politik. Partai juga harus mampu memenuhi persyaratan dan regulasi kepesertaan yang
semakin ketat, mampu menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan kompeten, serta
mampu menyiapkan dukungan logistik dan infrastruktur partai yang memadai.
Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah partai politik baru harus
memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk memenangkan perebutan
dukungan, kepercayaan, dan simpati rakyat, sehingga partai unggul dalam perolehan suara
pada Pemilu 2019 kelak.
178
Keunggulan itu dapat tercermin dari ideologi, prinsip perjuangan, jati diri, visi dan misi, platform,
dan modal perjuangan suatu partai politik yang dirumuskan secara jelas dan spesifik
dibandingkan dengan partai politik lainnya.
Pembentukan Partai Perindo
Bertolak dari pemahaman atas peluang dan tantangan di atas, maka di tengah ingarbingar
ketegangan politik antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di
parlemen setelah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang lalu, dibentuklah sebuah partai politik baru
yang luput dari perhatian publik.
Partai politik itu adalah Partai Perindo (Persatuan Indonesia) pimpinan Hary Tanoesoedibjo,
seorang tokoh nasional dan pengusaha sukses di bidang media yang sebelumnya pernah
bergabung di Partai Nasdem dan Partai Hanura. Pembentukan partai ini bukanlah secara tiba -
tiba, melainkan telah dipersiapkan cikal bakalnya jauh-jauh hari dalam bentuk ormas Perindo
yang dideklarasikan di Jakarta pada 24 Februari 2013 oleh Hary Tanoesoedibjo bersama tokoh
nasional lainnya.
Meski sebagai partai politik baru, Partai Perindo telah memiliki badan hukum yang sah
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 08 Oktober 2014. Dengan status badan hukum,
berarti satu tahapan verifikasi yang wajib diikuti Partai Perindo telah terlampaui. Tahapan
selanjutnya yang mesti dilewati adalah verifikasi yang dilakukan KPU lolos sebagai partai politik
peserta pemilu.
Dengan status sebagai partai peserta pemilu, Partai Perindo akan ikut menentukan dalam
kompetisi politik tahun 2019 yang akan datang. ”Persatuan Indonesia” sebagai nama partai
diambil dari isi sila ketiga Pancasila. Penggunaan nama tersebut tentu mengandung maksud dan
tujuan, dasar pertimbangan filosofis, serta konsekuensi logis yang harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Partai Perindo memahami realitas sejarah bahwa masalah persatuan di Indonesia senantiasa
mengalami pasang-surutseiringdengandinamikadan perkembangan bangsa dan negara.
Persatuan bangsa bukanlah sesuatu yang given , melainkan sesuatu yang dinamis dan harus
terus diperjuangkan.
Partai Perindo menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai dan meyakini bahwa Pancasila
adalah ideologi yang benar, tepat, dan menyelamatkan, karena telah teruji dan terbukti mampu
melewati dengan selamat berbagai ujian dan cobaan disintegrasi dalam proses perjalanan
bangsa, dan tetap berhasil mempersatukan bangsa yang sangat majemuk ini.
Bagi Partai Perindo, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan motivasi, serta rujukan
sekaligus tolok ukur keberhasilan perjuangan partai dalam proses pembangunan bangsa.
Konsekuensi logis dari penggunaan nama tersebut, maka Partai Perindo harus mampu berperan
sebagai garda terdepan Persatuan Indonesia.
Partai Perindo harus senantiasa proaktif mengingatkan seluruh komponen bangsa mengenai
urgensi persatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Partai Perindo
digagas sebagai partai modern yang merupakan hasil perpaduan dari karakteristik partai kader
dan partai massa.
179
Jati diri partai secara singkat dapat dirumuskan sebagai ”Partai modern yang menjad i garda
terdepan Persatuan Indonesia, menjunjung tinggi prinsip keadilan, memelihara nilainilai luhur
budaya bangsa, berbasis pada kekuatan rakyat, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat
dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
” Sebagai partai modern, Partai Perindo harus dikelola secara profesional dan berdasarkan
sistem; mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis;
menerapkan reward and punishment serta merit system dalam kepemimpinan partai;
merencanakan program partai secara sistematis, rasional, terukur, dan terpadu; serta mampu
menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi
kepentingan, manajemen konflik, dan artikulasi ideologi partai ke dalam program dan kebijakan,
dalam rangka mewujudkan tujuan partai.
Adapun tujuan Partai Perindo yang hendak diwujudkan itu, yaitu (1) Mempertahankan dan
mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945, (2) Mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, (3)
Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4)
Mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Platform Perjuangan
Faktor distingtif dari suatu partai politik, selain ideologi adalah platform perjuangan. Dari platform
itulah dapat dikenali orientasi dan program perjuangan partai politik untuk mencapai visi dan
misi, serta tujuan yang telah ditetapkan.
Demikian halnya dengan Partai Perindo yang telah merumuskan secara jelas platform
perjuangannya dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP). yang memuat tata nilai dan
konsepsi perjuangannya. Partai Perindo memiliki wisi, yaitu mewujudkan Indonesia yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta berkemajuan, bermartabat, berbudaya, dan
sejahtera.
Sementara misinya adalah (1) Mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan, yang menjunjung
tinggi nilai-nilai hukum sesuai dengan UUD 1945; (2) Mewujudkan pemerintahan yang bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk Indonesia yang mandiri dan bermartabat; (3)
Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dalam rangka menjaga keutuhan NKRI; (4)
Menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (5) Menegakkan hak dan kewajiban asasi
manusia dan supremasi hukum yang sesuai Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan
keadilan dan kepastian hukum guna melindungi kehidupan rakyat, bangsa dan negara; dan (6)
Mendorong tumbuhnya ekonomi nasional yang berkontribusi langsung pada kesejahteraan
warga negara Indonesia.
Platform perjuangan Partai Perindo adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan fokus pada perbaikan secara signifikan kondisi ekonomi untuk
meningkatkan income per kapita, mengurangikesenjangan sosial, dan memperluas lapangan
kerja; pelayanan pendidikan yang makin merata, bermutu dan terjangkau; serta pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial yang memadai, sehingga secara keseluruhan kebijakan partai
dapat meningkatkan taraf hidup rakyat yang layak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab.
180
Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat haruslah
melalui suatu perubahan yang menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah, yakni perubahan
yang dikehendaki (intended change ) dan direncanakan (planned change ), baik di bidang politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya, terutama dalam merumuskan rencana kebijakan, subjek,
proses, dan objek perubahan di dalam masyarakat.
Dalam kaitan ini, Partai Perindo menyatakan kesungguhan untuk menjadi kekuatan perubahan
bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya.
Partai Perindo mendorong secara optimal terwujudnya Indonesiasebagainegara kesejahteraan(
welfare state ) yang berdasarkan Pancasila, karena telah memenuhi lima prinsip, meliputi: (1)
cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(2) usaha-usaha swasta di luar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak diperbolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, agar tidak merugikan
kesejahteraan rakyat; (3) negara terlibat langsung dalam usahausaha kesejahteraan rakyat; (4)
negara mengembangkan sistem perpajakan progresif; dan (5) pembuatan keputusan publik
dilakukan secara demokratis.
Pada akhirnya, apabila kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
dicapai, Persatuan Indonesia akan kukuh. Partai Perindo berkeyakinan bahwa Indonesia
Sejahtera sebagaimana semboyan ”Gemah Ripah Loh Jinawi ” dan ”Baldatun Thoyyibatun
Warobbun Ghofur ” dapat diwujudkan dengan kerja keras yang berlandaskan pada Tujuh Nilai
dan Prinsip Perjuangan, yaitu Persatuan, Keadilan, Kejujuran, Gotong Royong, Musyawarah,
Antidiskriminasi, dan Perubahan.
Keyakinan itu bertambah besar karena adanya dukungan modal perjuangan yang dimiliki partai,
berupa ideologi Pancasila, figur utama yang berkarakter, sumber daya manusia yang unggul,
jaringan media yang kuat, infrastruktur yang memadai, modal sosial yang besar, serta
keberpihakan pada rakyat kecil yang sungguh-sungguh. ?
Abdul Khaliq Ahmad
Wakil Sekjen DPP Partai Perindo
dan Mantan Anggota DPR RI
Mala Prohibita Abraham Samad Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita bahwa
Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang
dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.
Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana sebagai
balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka tindak
pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal. Belum jelas dan
masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di dalamnya.
181
Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik)
untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka. Namun sumber
Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka karena pemalsuan
dokumen di Sulawesi.
Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk
mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti
yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan
oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda penduduk
Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.
Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti kependudukan
dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen perpindahan yang
sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang bersangkutan bisa
mengurus dan mendapatkan paspor.
Perbuatan yang dilakukan Samad pada tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus
pemalsuan dokumen dan, konon, Samad sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Kalau
cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka
dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah
berlebihan.
Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai oleh umum
meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik antara KPK
dan Polri. Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak
merugikan siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga
dipergunakan untuk suatu kejahatan.
Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu melakukan
perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi belum tentu ada
yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se, yakni suatu
perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undangundang, tetapi
perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan
melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.
Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam
undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos
lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar
aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan
umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena
meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah -tengah
masyarakat.
Apakah melakukan mala prohibita itusalah? Ya, tentusalah karena melanggar aturan. Tapi,
dalampraktiknya, hal-halseperti itutidakdibesar-besarkansebagai kasus kriminal, bahkan banyak
yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain memiliki KTP
Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang memiliki KTP aktif
sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat mengurus dokumen-dokumen
kepindahannya.
182
Ada yang membuat SIM, tetapi kertas ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan
jawaban yang sudah lengkap. Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang
cenderung menerapkan permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang
tidak disertai dengan mala in se. Polri bukannya tak tahu ini. Pada 2012 oleh Kabareskrim
Sutarman saya diundang dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi
ceramah tentang restorative justice.
Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian
masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali
mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum
Indonesia.
Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasuskasus pidana tertentu yang tidak
mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan mengenakan
denda maksimal di lapangan. Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri
menerapkan restorative justice . Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke
pengadilan karena hanya mengandung mala prohibita tanpa mengandung malainse yang berarti.
Polri mengambil penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.
“Kalautidakdemikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke
pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto,
mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad
Ali. Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu
keluarga untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertaimala in
se
Pulihkan Citra KPK dan Polri Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum,
Universitas Bosowa 45,
Makassar
Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat citra
dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri saling
berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.
Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar
masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK untuk
memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi
terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung
mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi,
penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.
183
Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan
sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik
terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di kantor
KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim Polri, dan saat
sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2/2/ 2015).
Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-hadapan,
hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu tidak bisa
dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan pelaksanaan
fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan institusi.
Jalan Keluar
Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena
pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru
pertama yang populer disebut ”cicak-buaya ” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto
dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang
oleh Bareskrim Polri.
Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses hukum oleh KPK lantaran diduga
terkait kasus korupsi. Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save
KPK, save Polri, save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum
tanpa intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPKPolri
sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan sementara
dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Dalam kondisi
seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas korupsi. Maka
itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara pimpinan KPK sampai
selesai masa jabatannya Desember 2015.
Presiden juga membentuk panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum
berakhir masa jabatan pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen.
Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana
masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan untuk
sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan
uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan moral dan persoalan
hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih. Kedua, Presiden segera mengajukan nama
baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG
menggugat praperadilan harus dihargai sebagai upaya mencari keadilan.
Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga kamtibmas dengan tugas:
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4)
UUD 1945). Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945, maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi ha rus
diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam
konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan secara
transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.
184
Saling Mendukung
Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis
antikorupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan.
Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara yang
diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis itu
bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.
Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam
pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh
pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK. KPK dan Polri harus berada pada
posisi setara dan saling mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi. Seteru yang ber larut
justru membuat para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara
bersorak-sorai.
Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim
independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi. Tim
itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri perseteruan.
Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang dilakukan
kedua institusi hukum itu.
Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik kapolri
baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas dan
fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di
kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu dijadikan
landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betulbetul tidak punya beban masa lalu yang bisa
diungkap.
Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015
M BAMBANG PRANOWO
Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathla Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathlaul Anwar,
Banten
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan karena
ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah
pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden
Jokowi.
Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai
kapolri. Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah
menuai protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai
dengan penghasilannya sebagai pejabat di Polri.
Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG)
185
sebagai tersangka. Kasus ini kemudian berkembang liar–bukan hanya prokontra penunjukan BG
sebagai kapolri, melainkan juga ”jegalmenjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK. Dalam
pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan” BG
sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya.
Empat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu
Praja sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang
tersisa (setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya. Buya Syafii
Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah inisiatif Jokowi.
Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai calon kapolri
meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPRpun akhirnya menyetujui pencalonan
BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu aspirasi rakyat, tapi
keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau
sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak tahu.
Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau dan Jokowi
tersandera. Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka
kembalikan (re) ke publik (rakyat).
Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa dan menolak siapa.
Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah Putih (KMP) pasti tahu rakyat
cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik pengusung Jokowi memilih BG.
Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia. Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”.
Presiden menghadapi dilema. Partai politik menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan
dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun
yang diputuskan Presiden. Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan
Presiden? Itulah jiwa nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”.
Bagi seorang prajurit yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara
dan NKRI adalah final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya,
yaitu mendukung keputusan Presiden. Ini karena presiden adalah pimpinan tertinggi negara.
Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan
aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa pun
yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI inilah
kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau dilihat dari
layat belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo berseberangan dengan
arah politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk mendukung
apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu didukung untuk
kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah karena beliau bukan
pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah pimpinan partai pemenang
pemilu.
186
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah pimpinan
partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader partai, dan karena
itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini jelas bertentangan
dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau pimpinan partai menjadi
presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi ”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan
petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika
seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di
pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat. Apalagi, Jokowi terpilih
dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%.
Iniartinya, yangmemilihJokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan
demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan partai
politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi tidak lagi
menyerimpungnya. Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran.
Jangan melawan suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!
Governabilitas Jokowi Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional,
Jakarta
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah
candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan
kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya kewenangan
politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di kemudian hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu
mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan konflik.
Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang mempertimbangkan aspek-
aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi banyak bergantung pada asumsi
semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi tidak
bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan politik
pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk keseimbangan
antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pasca pembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang
dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor
kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang -bayang
figur-figur kekuatan-kekuatan politik lain.
187
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah
”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri. Benturan -
benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP dengan ikon
utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia sebagai
pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk pada
kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan, juga
dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks pengambilan
risiko, selain pengelolaan harapan.
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia
akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor, peta
politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait dengan
konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada
kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena ketekoran
kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah.Uraian di atas dimaksudkan untuk
memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan dihadapkan pada problem yang
sama. Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi
mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja.
Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi
integrator dan dinamisator yang produktif sehingga politik menjadi kondusif. Pembangunan
membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang berkompeten dalam
mengimplementasikan program-program pembangunan.
Golongan yang tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan
visi presiden. Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu
membutuhkan pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme
”reward and punishment ” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden
Jokowi tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi
sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan,
termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan
profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer. Pemimpin
memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai spektrum dan
sumber.
Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin penting sebagai referensi
yang mendasari kebijakan (policy ) yang diambilnya secara bijak (wisdom). Dari berbagai
masukan, semua akan berpulang ke dirinya. Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian.
Kesunyian itulah detik-detik untuk memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak
populer. Jokowi tentu akan terus dihadapkan pada kesunyian- kesunyian itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah berjalan
secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana. Dalam
188
aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan kebijakan,
pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya. Artinya,
sistem harus ada yang diubah.
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak.
Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal
saranaprasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin
sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust ) yang tinggi, bahwa
dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih sering
dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera dengan
simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan konflik
kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi
kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah
menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum
optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber
daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur? Bergantung
faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di negeri ini.
Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015
Prof Tjipta Lesmana
Pengamat Politik
Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015, tiba-tiba dipanaskan perbincangan
mengenai penandatanganan kerja sama perusahaan mobil Proton dan perusahaan Indonesia
yang dipimpin oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (purn)
Hendropriyono.
HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari Sabang sampai Merauke. Di hampir setiap
ruangan–dari restoran, kafe, lobi hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One, semua
berbicara tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka selalu
melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada apa dengan kerja sama antara Proton dengan
Hendro?
Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama, peristiwa penandatanganan betul -betul
mengejutkan, tampaknya dirahasiakan sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke media
massa. Artinya, hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini. Kedua,
sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan belakangan kerap jadi berita hangat di
media massa, termasuk media sosial.
Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya Hendro menghadap Presiden Jokowi di Istana.
Presiden kerap meminta saran dan masukan dari Hendro terkait berbagai isu nasional yang
189
“panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua orang tahu betapa dekatnya hubungan antara
Hendro dengan Presiden Jokowi. Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan pebisnis
automotif.
Bahkan, Gaikindo sendiri tidak pernah dengar nama perusahaan yang dikomandoi Hendro yang
bekerja sama dengan Proton dari Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak
terdaftar” di Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu
komisaris, atau mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi beberapa tahun
kemudian dia mengundurkan diri.
Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin mobnas bekerja sama dengan
Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri
pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50% kandungan Proton yang dibuat di Indonesia berasal
dari Indonesia. Lha, mobil merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan komponen lokal
sampai 80%.
Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan Malaysia. Masih 50% komponennya
buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih 50% komponen
Proton “dikuasai” oleh Jepang? Masyarakat bingung kenapa kalau memang pemerintah serius
mau bikin mobil nasional, kenapa bukan gandeng dengan prinsipal yang jauh lebih bagus
mobilnya dan laris di Indonesia?
Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi penandatanganan kerja sama ini.
Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia dengan status BUMN, sedangkan perusahaan
yang dipimpin oleh Hendro swasta murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru ketika
mengatakan ini kerja sama B to B (business to business), yang betul adalah kerja sama G to P
(government to private sector).
Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan pers, sehingga muncul pemikiran
untuk menggelar satu seminar khusus yang membahas soal proyek mobil nasional versi Proton
ini. Artinya banyak misteri di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka muncullah
macam-macam rumor.
Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti akan minta bantuan pada Presiden
Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua,
nanti semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton d i
Indonesia itu, sebab orang swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha,
sekarang saja pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobilmobil eks
Jepang dan Korea.
Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era perintah Gus Dur, Proton Indonesia
dikhawatirkan mengikuti pola Timor era Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat -bulat dari Korea,
dan pemerintah membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya, masyarakat tahu
bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.
Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa penandatanganan kerja sama ini terjadi ketika
suasana kebatinan hubungan RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara muncul iklan
Malaysia yang bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di Malaysia. Iklan
itu seakanakan melecehkan kualitas pembantu Indonesia.
190
Perhatikan reaksi media Indonesia, khususnya media sosial, yang marah besar terhadap iklan
Malaysia itu yang menghina PRT kita! Dalam suasana hubungan bilatera l RI-Malaysia yang
begitu tidak kondusif, kenapa kita menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia?
Peristiwa penandatanganan itu seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah- olah
kita melupakan iklan Malaysia tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.
Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat tidak
tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus memperhatikan
momen atau timing., Jika momennya jelek, komunikasi akan tidak efektif, biarpun pesan
komunikasi bagus.
Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri sementara tidak laku di Indonesia,
karena masyarakat sudah apriori gara-gara proyek mobnas yang gagal beberapa kali
sebelumnya. Pemerintah Indonesia memang tidak pernah serius untuk bikinmobil made-in
Indonesia!
Mimpi PDIP Menyapu Pilkada Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015
Didik Supriyanto
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September
2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar di 23
provinsi.
Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap Presiden di Istana,
Rabu (4/2). Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk
memundurkan jadwal pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota (Perppu No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).
Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi
muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran
konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang- panjang sampai seluruh tahapan
(tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan
masalah baru.
Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut. Menurut Pasal 201 ayat
(1) UU No 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa
jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan
pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan, tahapan pertama pilkada
yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.
Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan- peraturan teknis
penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No 1/2015
selesai. Komisi II DPR me-nargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang paripurna
DPR pada 17 Februari nanti.
191
Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal
menyepakati revisi UU No 1/ 2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera
dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No 1/2015 maka akan
banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.
Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No 1/2015 maka ada dua
kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU,
tahapan pertama pil-kada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua,
jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam bulan
(seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara
Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi
permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.
Salah Informasi?
Katakanlah, revisi UU No 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras
memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015; maka
langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan teknis
pilkada yang jumlahnya puluhan.
Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada
harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya,
tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri.
Sebelum disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan
pemerintah. Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada
September 2015 mustahil bisa dipenuhi. Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada
langsung (dua kali di Solo dan satu kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa
pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-merta dilakukan begitu undang-undang disahkan.
Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan
operasional lain. Namun karena dalam pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon,
mungkin saja Jokowi tidak paham sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada
tersebut. Oleh karena itu, saya menduga Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak
buahnya sehingga dia meminta agar pilkada serentak digelar pada September 2015.
Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan
pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah
penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke presiden tepat. Rasanya
tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo tidak
memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.
Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, T jahjo menyelipkan kepentingan
partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015.
Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan dengan
keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam pilkada
serentak nanti.
Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang
192
partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP percaya
kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap
kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal
pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.
Mengulang Taktik SBY
Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu
2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi kesemrawutan
dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No
32/2004.
Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai- sampai Komisi II
DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke tahun
berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga ketua dewan
penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal, mulai Juni
2010.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih menguntungkan
karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa
mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya harapan
itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada
digelar pada September 2015, alasan sebenarnya kurang lebih sama dengan SBY dan Partai
Demokrat lima tahun lalu.
Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang
kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama (2005 -
2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi kepala
daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan pilkada.
Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada
dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. MahkamahKonstitusi pun
kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.
Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada serentak
pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan pilkada Juni
2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat, juga tidak
terjadi.
Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi,
mestinya jadi pertimbangan utama.
Kewenangan Minus Etika Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015
Danang Girindra Wardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
193
Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah keprihatinan terhadap situasi dua lembaga
tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK.
Lembaga yang digadanggadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini tengah
terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda penegakan hukum
tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan penegakan hukum itu sendiri.
Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara Presiden dipandang menjadi
sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan penyelesaian masalah. Beberapa tokoh malah
terkesan latah menghujat institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok personal
Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.
Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh- tokoh itu memahami pentingnya Presiden bersikap
netral, menghormati tanpa intervensi terhadap upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif
terhadap urusan yudikatif dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan proses
politik impeachment.
Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua dimensi lain yang perlu dipelajari untuk
mencegah konflik terulang di masa depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus emosionalitas.
Benar bahwa supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi hukum yang
sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah hukum ke dalam
rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum lengkap dengan motif
dan hasratnya.
Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat publik dengan segala rasionalitasnya
terdapat dimensi emosional dalam bentuk motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas
keputusan pejabat publik, tidak bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible assets)
manusiawi. Rasionalitas bisa diartikan inteligensia.
Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini untuk mempelajari semua hal terkait proses
pembuatan keputusanataukebijakan. Namun, pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga
memiliki dimensi emosionalitas, dalam salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak suka)
yang kemudian menyaring aneka pilihannya ketika menentukan hal yang perlu diperhatikan
dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan.
Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah dirancang RUU Etika Penyelenggara
Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi bagian penting dari agenda reformasi birokrasi
ini masih belum dilanjutkan dan dikeluarkan dari jadwal prioritas pembahasan.
Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika penyelenggara negara, maka b isa
diharapkan adanya batas-batas etik yang berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara dan
Pemerintahan terkait dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap etik
dalam menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.
Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam ranah individu-individu, namun dimensi
etik berada di ranah sosial, karena itu etik sering kali paralel dengan norma-norma yang berlaku.
Etika akan selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga akan mewarnai
dampak dari produk kebijakan itu.
Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang bagus atau berkualitas–karena telah
194
sesuai dengan prosedur baku– namun dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada ruang
dan waktu tertentu maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan apapun
bakal tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka), bukan lagi soal
benar-salah keputusan atau kebijakan itu.
Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana, tampak jelas bahwa fenomena
perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan masalah etik. Kedua belah pihak tampak
lebih bernafsu mempertontonkan kewenangan (show of force) sehingga minus kaidah -kaidah
etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat pengaturan seragam untuk semua
institusi negara dan pemerintahan).
Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar menindak dugaan pidana, namun
tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan itu juga dipertontonkan sedemikian rupa
pada ruang waktu tertentu, pada momentum tertentu, dengan cara tertentu. Apa etik yang
dilanggar?
Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing, sehingga itu bisa dipakai untuk
mengukur seberapa besar deviasi antara aturan dan praktik. Pengawas internal atau dewan etik
bisa berperan untuk menilai dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran etik supaya
kredibilitas lembaga tidak ternoda.
Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga ataukah etik ska la makro yang perlu
dipakai untuk mengukur deviasi etik pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode etik yang
berlaku di setiap lembaga publik berbedabeda, maka ketentuan itu hanya berlaku dan mengikat
ke dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK dipergunakan untuk menindak
etika pejabat Polri.
Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro berlaku untuk seluruh lembaga negara
atau lembaga pemerintahan belum ada. Etika penyelenggara negara berada di ruang makro
yang berkaitan dengan kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di dalam
kepentingan sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan -
kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilakuperilaku kewenangan.
Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara negara perlu mengemukakan
pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan lembaga-lembaga negara atau pemerintahan
terletak di bawah kepentingan strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat
pemahaman di antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai kewenangan
itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan strategis
nasional.
Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat dengan norma-norma pejabat negara
yang secara makro berlaku umum, menurut saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan utama:
mengedepankan kepentingan strategis keamanan nasional dan ketertiban publik; menjaga
rahasia negara dan jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan ucapan yang
jujur; bertindak egaliter tidak diskriminatif.
Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik baik di KPK, Polri, ataupun
kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa ruang dan waktu adalah faktor penting dalam
menjalankan kewenangan, perilaku sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang
195
nondiskriminasi, maka hal itu bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik
diindikasikan kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.
Bila teori itu diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai apakah
ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian mengumumkan atau
menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi tersangka, sudah melalui
kaidah-kaidah etik atau tidak.
Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan turunannya secara substansial
mengatur tentang prosedur hukum acara pidana, tetapi manusia-manusia penegak hukum
menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap
eksekusi kewenangan terhadap pihakpihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan
keputusan atau melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.
Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa mengaburkan substansi hukum. Maka tidak
heran jika kemudian muncul penilaian publik terhadap para pejabat publik di kedua belah pihak
itu sebagai arogan, diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa. Penyimpangan kaidah etik
berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang disangkakan melanggar
pidana?
Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi pelanggaran etik bisa berdampak lebih
serius terhadap sosial masyarakat (publik) dan atau harga diri instansi-instansi publik (baik di
KPK ataupun Polri). Dampaknya terhadap masyarakat luas bisa terjadi polarisasi dukung-
mendukung terhadap kesatuan instansiinstansi publik secara membabi buta yang mengancam
kesa-tuan bangsa, kepastian hukum dan ketertiban sosial.
Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana, juga bisa menjadi masalah yang
serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang terjadi saat ini dan yang dulu dikenal dengan
cicak lawan buaya, terjadi juga karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa perilaku dan
model komunikasi) yang diduga tidak etis.
Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di beberapa tempat, penyebabnya
sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa oknum yang kemudian melebar pada konflik
dengan kekerasan antar kesatuan.
Ke depan, model-model show of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang minim
etika, mesti diganti dengan model show of wisdom, yang lebih menginspirasi para pejabat publik
untuk menunjukkan kewenangan dengan penuh etika. Lebih elegan dan simpatik, begitulah kira -
kira.
Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika penyelenggara negara, supaya
supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika bangsa Indonesia tanpa mengurangi
substansinya.
Uji Publik Calon Kepala Daerah Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015
Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka revisi Undang- Undang (UU)
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah uji publik calon kepala daerah.
196
Dalam UU tersebut, uji publik ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum penetapan
dan pengajuan sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat pencalonan kepala
daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh penyelenggara pilkada
yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan penyelenggara.
Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk memperkuat pelibatan atau partisipasi
publik dalam penjaringan calon kepala daerah sejak penentuan bakal calon oleh partai politik
dan perseorangan, sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini ”menyeleksi” calon
terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong semakin selektif,
transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.
Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk meminimalisasi oligarki partai dalam
menentukan calon kepala daerah—yang selama ini ditengarai lebih menonjolkan pertimbangan
popularitas dan modal (materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.
Pro-Kontra
Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014 maupun Perppu No 1/2014 yang
menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya ada kesepahaman pembentuk UU (DPR, DPD,
dan Pemerintah) bahwa uji publik perlu diangkat menjadi norma UU.
Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan materi in i dalam kapasitas saat itu
sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI. Bahkan, uji publik sejak awal merupakan konsepsi
yang secara resmi diusulkan oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut dalam norma
undang-undang secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika pembahasan.
Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan UU Nomor 22/ 2014 mendukung
gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan calon terbaikdari
sejumlah bakal calon yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik dan perseorangan.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada adalah menghadirkan pemimpin
daerah yang berkualitas dalam rangka mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin yang
demikian dapat diperoleh jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk mengetahui dan
menguji rekam jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal calon sebelum
dicalonkan sebagai kepala daerah.
Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi terhadap hasil pilkada selama ini.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak calon yang diajukan oleh partai politik maupun
perseorangan sebenarnya bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang
yang menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.
Sementara proses penentuan calon merupakan hak prerogatif” partai politik, yang sayangnya
lebih bernuansa oligarkis, nir-public discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal
ketimbang kualitas dan kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga ruang
publik turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.
Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk yang akan direvisi dengan
argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan kewenangan partai politik dalam proses
penjaringan bakal calon, sebagaimana langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu
197
fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?
Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian lalu merekomendasikan
bahkan dapat menentukan layak atau tidak layak bakal calon, lalu di mana letak kewenangan
partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi? Uji publik juga menjadikan tahapan pemilu
menjadi lebih panjang mengingat penambahan jadwal sebelum pencalonan.
Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan karakter seseorang sehingga gagal atau
batal dalam pencalonan. Toh publik pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama masa
kampanye hingga saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut mereka
terbaik di bilik suara.
Uji Publik Berkualitas
Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara objektif menguntungkan publik dan
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang
belum—menjabarkan konsep uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin
materi muatan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.
Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu esensi (dan urgensi) uji publik.
Esensinya adalah pelibatan publik sehingga publik menjadi sentral dalam proses-proses pilkada.
Pesannya, setiap calon harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik” sebagaimana
kredo demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus diletakkan dalam kerangka tersebut, bahwa
parpol sejatinya adalah publik itu sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana ada parpol
yang berani mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang menggali kubur
sendiri.
Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya untuk menangkap segala kepentingan,
kebutuhan, dan harapan publik, yakni: kepala daerah yang berkualitas. Pelaksanaan uji publik
terhadap bakal calon kepala daerah sama sekali tidak ada ruginya, bahkan justru
menguntungkan partaipolitikkarenaruanguntuk seleksi yang selama ini dilakukan oleh partai
politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih luas.
Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal calon untuk diseleksi awal (pre -
eliminary selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati publik, tapi juga
bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal ini jelas mengatasi ”maha lnya”
ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya mendapatkan calon yang tepat hingga gesekan
persaingan antarcalon—yang selama ini (juga) banyak dikeluhkan partai politik.
Pemahaman tersebut selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam regulasi
penyelenggaraan pilkada. Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk menguji dua aspek
utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh
pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon kepala
daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua
aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan)
yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih menonjolkan
198
aspek popularitas dan modal (materi).
Jalan Tengah: Publik dan Partai
Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh suatu panel independen yang dibentuk
oleh penyelenggara pilkada di mana panel memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka
dan menerima masukan publik terhadap bakal calon kepala daerah.
Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat menggali, menerima, dan menguji-
silang informasi publik terkait aspek kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala daerah.
Dengan kewenangan demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan sertifikasi
apakah bakal calon layak (qualified) atau tidak layak (unqualified).
Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi dari partai politik sebagai peserta
pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk
secara proaktif mengungkapkan data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa
menjustifikasi layak atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah
yang bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.
Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan profesional niscaya akan menghasilkan
demokrasi pemilihan kepala daerah yang lebih matang.
Prof DR Farouk Muhammad
Wakil Ketua DPD RI
Jurus Pendekar Mabuk Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015
Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas publik terhadap peristiwa yang diyakini
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tanpa rasa takut,
bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika ungkapan itu terkait dengan upaya
pemberantasan korupsi yang telah sangat meresahkan.
Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional atas hak-hak sipil dan politik yang
tertuang dalam Undang- Undang No 12 Tahun 2005 mewajibkan negara untuk menjamin adanya
hak mengemukakan pendapat. Kebebasan berekspresi bukan hanya karena esensi atas hak itu
sendiri, tetapi ia penting apabila hakhak asasi lainnya ingin dicapai.
Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang
bebas dari praktik korupsi. Itu sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi hukum
Indonesia saat ini, terutama di saat KPK tidak berdaya. Kini perdebatan nasional justru soal
perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu sesungguhnya adalah upaya bangsa ini
memerangi korupsi.
Topiknya justru beralih dan sering kali perdebatan melebar ke mana-mana. Dalam acara diskusi
di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015), mantan Wamenkumham Denny Indrayana (DI)
menyebut bahwa langkah Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan praperadilan KPK ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mirip pendekar mabuk. Langkah itu tidak memiliki dasar
199
hukum. Akibat dari pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.
Soal Praperadilan
Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk mengajukan praperadilan tidak
ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah, dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen BG
mempertontonkan jurus pendekar mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini
memunculkan pembicaraan dan reaksi cukup luas.
Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika ada pihak yang pro atau kontra
dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang memaksakan pendapatnya sebagai yang paling
benar sehingga antipati dengan pendapat orang lain. Mereka yang kont ra dengan langkah
praperadilan Komjen BG menilai bahwa apa yang dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada -
ada saja.
Pihak yang kontra dengan langkah BG berpendapat bahwa KUHAP telah secara rigid
menentukan hal-hal yang dapat dipraperadilankan, yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan, (2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a)
(3) sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1
huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan (4) terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
pada tingkat penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP).
Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang membuat Denny menyebut langkah
Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk. Namun mereka yang pro dengan langkah
Komjen BG juga memiliki argumentasi, tidak sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di
media, Eggi Sudjana sebagai salah seorang pengacara Komjen BG pernah membeberkan
argumentasinya mengajukan praperadilan.
Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan: ”Dalam hal seseorang dirugikan sebagai
akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh KPK, bertentangan
dengan Undang-Undang (KPK) atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan
berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”
Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang
yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan pengajuan
praperadilan sebagaimana ditentukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dalam perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi
harus menerima permohonan praperadilan.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa/ mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan alasan hukum tidak/kurang jelas, hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak
sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu
putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karen a
pernah diadukan atas sejumlah kasus ke KY.
Implikasi Kriminalisasi
200
Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan banyak korban di negeri ini. Salah
satu kenikmatan luar biasa dari reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang tid ak
dimiliki oleh banyak masyarakat di muka bumi ini. Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara
yang otoriter, penguasa yang sensitif atas kritikan.
Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah dilakukan apabila dinilai suatu media
terlalu kritis terhadap penguasa. Luar biasa buah dari reformasi yang diperjuangkan dengan
susah payah oleh berbagai elemen dengan mahasiswa sebagai motor utamanya itu, kini
Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh negara-negara tetangga.
Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani menawarkan berbagai solusi. Semua ini terjadi
dikarenakan adanya keberanian mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi dengan
pendapat-pendapat kritis sekalipun. Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI
yang menganalogikan langkah BG sebagai jurus pendekar mabuk.
Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era sekarang ini masih ada sekelompok
masyarakat yang tetap memelihara pola pikirnya yang jauh ke belakang dalam soal kebeba san
berpendapat. Salah seorang menteri saja ”berani berucap” bahwa mereka yang mendukung
KPK adalah rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi publik tergolong ”biasa -biasa saja” dan malah
dibalas dengan berbagai joke .
Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat mematikan sikap kritis banyak orang
yang dalam porsi masing-masing telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini. Ada
potensi, kriminalisasi itu diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan pasal
pencemaran nama baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi terhadap
pemberantasan korupsi.
Masyarakat yang kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance. Kriminalisasi
dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan. Memang materi laporan
terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main ”pukul rata” terhadap setiap laporan
yang terkait dengan BG agar tidak pula dinilai menggunakan jurus mabuk.
Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan selalu ada potensi pencemaran nama
baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa dengan silang pendapat dalam berbagai rupa.
Prof Amzulian Rifai PHD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Korea Utara dan KAA Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015
Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada 19-24 April 2015 di Bandung. Selain
untuk ajang berkumpul negara-negara anggota, konferensi kali ini sekaligus memperingati 60
tahun terselenggaranya acara yang sama di tempat yang sama.
Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk
mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih dari
100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas negara -
201
negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara dua negara
besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial
belaka, karena dalam kenyataannya negaranegara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur politik
dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika yang
berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia, Thailand, tetapi
ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga termasuk Korea Utara.
Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik
luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika
Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan
sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut tetap
bergeming sesuai yang diinginkan.
Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan PBB
No UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini sendiri
memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan untuk
melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negaranegara lain.
Rangkaian sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan
negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri. Terkait dengan tujuan
tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan pelaksanaan KAA telah
mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat Barat.
Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada Korea
Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah
pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk
mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi
kepentingan strategi di masa depan?
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam
konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik
dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang mengunjungi
Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat
George Bush.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea Utara
untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta -fakta ini
bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih luwes.
Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga dilakukan
oleh Indonesia.
Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi yang
menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah negara
jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadangkadang tidak menimbulkan
reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.
Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari Stockholm
International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara, menemukan bahwa
202
sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat sanksi memang
mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat di luar negeri.
Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak 75% entitas bisnis
dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian informasi dalam laporan
tersebut. Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Kor ea
Utara, sementara kaum elite tetap dapat bertahan.
Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru
dirugikan. Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah
resolusi sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang
menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat bertahan
hidup juga mendapat embargo.
Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan
terusmenerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya
suatu instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar -samar
(vague ), sebatas ada ”reasonable grounds to believe ” (alasan yang masuk akal untuk meyakini
sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti -bukti nyata apa pun,
semata bergantung pada keyakinan (belief ) yang subjektif yang dapat didasarkan pada atau
dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).
Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia
dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa
”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak
masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen
kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan
target kebijakan itu sendiri.”
Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas
terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa dalam
sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.
Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimbulkan biaya
yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang
menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan
mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.
Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan
obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan
bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi. Smart
atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sektor.
Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap Indonesia,
baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga dengan
demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar negara!
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
203
Memotret Wajah Politik KPK Koran SINDO Kamis, 12 Februari 2015
Ma’mun Murod AL-Barbasy
Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP)
FISIP UMJ
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang dapat
memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait dengan
tindak korupsi.
Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai lembaga penegak hukum. KPK tidak
boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus steril
dari kepentingankepentingan internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum, akuntabel,
proporsional, dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.
Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah yang
tak seharusnya dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad. Terlalu
sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu secara moral, ini
hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.
Wajah Politik
Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, publik dibikin kaget ketika
muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK untuk ”konsultasi” terkait caloncalon
menterinya. KPK memberikan rekomendasi atas namanama yang dinilai berapor merah dan
kuning. Saat itu berbagai spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi tersebut sebagai
bentuk kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi dalam menyusun kabinet.
Jokowi tak mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi yang menyebut bahwa
Jokowi sengaja ”nabok nyilih tangan ” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB,
dan partai pendukung lain. Ada juga yang menyebut KPK telah offside . KPK dinilai terlalu politis.
Apalagi kalau menyikapi pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang
kalau tetap mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang tidak
lama KPK akan menetapkan status hukumnya.
Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari pimpinan lembaga penegak hukum. Buktinya, tiga
bulan lebih setelah menteri-menteri berapor merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan
hukum dari KPK. Rasanya bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis.
Seminggu sebelum menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka, Abraham sudah cuapcuap
ke media bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK akan menetapkan tersangka terkait
204
proyek barang dan jasa penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2012 -2013. Abraham
bahkan menyebut bahwa ”calon” tersangka merupa-kan petinggi negeri.
Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK. Menetapkan seseorang jadi
tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya
layak disandang oleh para politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.
Ketika Setya Novanto terpilih jadi Ketua DPR, Abraham menyayangkan karena Setya pernah
beberapa kali diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya,
Zulkifli Hasan yang ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham,
justru beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut -turut.
Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan status hukum
seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta keterangan Zulkifli
yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap soal rapor merah dan kuning calon
menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan cara-cara kerja KPK selama ini dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Minta Maaf JPU
Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus Anas Urbaningrum. Penetapan
tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas
sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti oleh
bocornya surat perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek
Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.
Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada alasan yang dibuat -buat, Anas
dituduh melakukan obstruction of justice. Karena modalnya hanya kesaksian Nazaruddin dan
pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan ”pencucian keterangan”. Nazaruddin
dimuliakan jadi justice collaborator, sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio.
Adalah pemaksaan yang luar biasa telanjang ketika seorang Pinokio ditinggikan derajatnya
menjadi justice collaborator hanya karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan Anas
bersalah. Anehnya juga, hakim pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio sebagai dasar
untuk menjatuhkan vonis berat kepada Anas, vonis yang mengabaikan fakta persidangan.
Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar diadakan mubahalah, yang kalau
ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari
disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas juga pernah
berkata ringan, ”Karma akan bekerja dan mencari alamatnya sendirisendiri”. Sekarang muncul
kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul pula laporan untuk Adnan Pandu Praja dan
Zulkarnain.
Bambang sudah menjadi tersangka. Abraham kabarnya juga segera menjadi tersangka. Dua
pimpinan KPK yang lain sedang dalam proses penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi. Di
dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena itu, jangan
adigang, adigung, adiguna ; jangan pula bersikap sopo siro sopo ingsun.
Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada keterkaitan dengan ajakan mubahalah
dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri dan wilayah
205
kekuasaan Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti balasannya.
Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga. Aturan main yang demikian berlaku
buat kita semua, apa pun tugas kita.
Bisa jadi komisioner KPK, penyidik, jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat, atau apa saja.
Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir, komandan JPU sempat
menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya melaksanakan perintah. Fakta ini
sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis majelis hakim untuk menghindari adanya bias
penafsiran di mata publik.
Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya ”melaksanakan perintah” semakin
memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, tapi kasus politik
yang memanfaatkan rapuhnya institusi lembaga penegak hukum.
Kembali ke Khitah KPK
Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang setia kepada khitah saat KPK
didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan politik para pimpinannya dan pihak-pihak
lain yang bisa memesannya.
Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel dalam tugas pemberantasan
korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan bersinergi dengan lembaga- lembaga penegak
hukum lain.
KPK yang demikian itu adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah KPK
yang sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam .
Membaca Joko Widodo Koran SINDO 13 Februari 2015
Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi, merupakan sosok fenomenal.
Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di
bidang mebel, dia lalu masuk jajaran kelas menengah.
Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo yang berhasil. Jika diletakkan
dalam deretan bupati dan wali kota lain yang dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi
Jokowi tak jauh berbeda dari Bu Risma, Wali Kota Surabaya; atau Abdullah Azwar Anas,
Bupati Banyuwangi. Yang membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi
politik.
Di atas semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi. Dalam keyakinan
Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para
206
leluhurnya. Jadi, dalam kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar
wasilah. Adapun garis tangan sudah ditetapkan dari langit.
Kalau dalam pandangan modern, posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan
jejaring politik, terutama PDIP yang menjagokannya. Dan kini ketika suasana gaduh, perlu
diurai kembali serta direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya
mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat ini.
Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap metamorfosis untuk
pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya sangat cepat, menyalip dan
mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang sudah malang-melintang belasan dan
puluhan tahun baik dalam tubuh parpol maupun pemerintahan.
Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang kemudian berhasil memenangi
Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu loncatan kuantum (political quantum leap). Agenda
penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap berhasil, ditambah lagi
kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi oleh media massa pendukungnya sebagai
antitesis dari gaya kepemimpinan formal-elitis politisi pesaingnya.
Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber community tentu saja sangat
menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum selesai mengemban tugas sebagai gubernur,
sudah naik dan lebih berat lagi medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden.
Kemenangan Jokowi, sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik
konvensional. Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan
ucapannya ”Ra popo”. Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan bukan
sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil melakukan
improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang.
Jika bacaan ini benar, Gus Dur dan Jokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri heboh.
Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan ongkos sosial-
material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.
Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong Jokowi, melainkan dari mereka
yang bersimpati dan memiliki harapan serta kepentingan dengan kemenangan Jokowi.
Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu saja bermacam-macam dan tidak mesti
berkonotasi negatif. Memang selalu ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan
pribadi dengan cara membayar saham politik di depan.
Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya Presiden Jokowi. Bahkan diri
Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas
karena setiap pribadi memiliki potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu
dengan variabel pendukungnya. Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang
kemudian melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan
207
LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi yang tak
terbayangkan sebelumnya. Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan
dilakukan Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga-duga
apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan berbagai political
stakeholder ini.
Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian,
dan jebakan yang semua itu akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri. Dulu Pak Harto
bermodalkan Supersemar untuk merintis kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut
politik yang berdarah-darah dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang
mengatasi rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para pembantunya,
alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk duduk di jajaran kabinet.
Namun kendali politik tetap di tangannya.
Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi
yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang
Jawa, memang tidak mudah dibaca dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap
tenangnya.
Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi Jokowi, akankah perseteruan
jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan mematangkan sosok Jokowi sebagai
presiden lima tahun ke depan sebagai sosok yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik
ucapannya: ra popo?
Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi
meskipun mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama. Dia
boleh saja yakin bahwa posisi presiden itu merupakan takdir dan penunjukan dari langit.
Namun masyarakat modern semakin berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak
Tuhan itu telah didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei.
Rakyat telah menunjukkan harapan, kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu
sehingga Jokowi jadi presiden. Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu
dikecewakan, baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilu sikapnya
sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji angin surga.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Kenangan Sportivitas Polri Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
208
Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK) memutar
rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK, Bibit Samad
dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami perlakuan yang kurang
menyenangkan dari pihak “oknum” Polri.
Namun akhirnya MK dan Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap
sportif. Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah
mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi
terdakwa diberhentikan dari jabatannya”.
Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan direkayasa kedua komisioner KPK itu
dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke rumah tahanan, dengan dakwaan mener ima
suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka
diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari
Azhar dihukum.
Kalau kedua komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang
sehingga, dalam pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi
lumpuh. Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki
rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan
Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.
Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman yang
disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada relevansinya
MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU? Masak menguji
konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar rekaman pembicaraan
telepon?
Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam MK karena menyetel rekaman itu.
Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran
materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa direkayasa.
Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya dianggap tak
pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.
Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim
Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan Chandra
untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta Kejaksaan
Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya. Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror
atas peristiwa itu.
Dua hari setelah penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopirsopir
pengawalan, dan penjaga rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada
yang memerintahkan pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit
yang mundur dari tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi.
Pengunduran diri (yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.
Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam.
Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK menawarkan
santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi saya tidak
menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri pertahanan,
209
saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan komunikasi dengan
pimpinan Polri.
Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan
untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya
hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk merusak
Polri sebagai institusi.
Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK
hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada
maksud menyerang Polri. Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal
untuk meyakinkan bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan
orangorang penting di Polri.
Saya menye-lesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima
penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor saya
dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi tanggung
jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu Ketua MK merasa
tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata Wahyono.
“Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini. Yang
mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung Wahyono.
Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun
antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri
bersifatcorrect seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.
Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya
terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan
kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri.
Polri pun percaya dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik
kami dengan sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?
DPR (Bukan) Anutan Rakyat Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015
Victor Silaen
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang yang terpilih dengan susah-payah
demi memperjuangkan aspirasi rakyat.
Mereka niscaya cerdas, bijak, dan layak dipercaya. Namun mengapa sejak dulu hasil survei
selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga terkorup? Pakar politik Fachry Ali pada 31
Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7% responden mengatakan DPR sebagai lembaga
negara terkorup, disusul dengan institusi Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan
pada periode 16-22 Januari 2015 itu juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap partai politik sebagai lembaga yang ”bersih”.
210
Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik. Selain itu, survei menunjukkan hampir
separuh responden (49%) kurang percaya dengan DPR dalam menjalankan fungsi dan tugas
pokoknya sebagai lembaga legislatif. Hanya sebanyak 23% responden masih mempercayai
DPR. Pada akhir 2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk
meminta penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga
terkorup nomor dua setelah partai politik.
Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen diposisikan sebagai lembaga
terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1 (tidak korup) sampai 5 (sangat korup), parlemen
memperoleh skor 4,4 (naik 0,2 poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin. Padahal mereka
adalah wakil rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle ) untuk dan atas nama rakyat.
Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah nafsu besar menumpuk kekayaan bagi diri
sendiri tak ada di sanubari mereka. Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk dan
atas nama rakyat, mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah sebabnya
mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka ”tidur bersama” di
ruang sidang.
Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni bermain gadget, mulai dari SMS (short
messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya tak terkait dengan
kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang kian lama kian menyebalkan. Sudah
digaji besar, dapat fasilitas mewah dan tunjangan ini itu, masih juga tega mengecewakan rakyat.
Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap mereka. Sebab kinerja
politisi itu umumnya memang jauh dari memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian dari
mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya nyaris
tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.
Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa orang
lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah berpikir
bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara secara tidak
produktif? Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para wakil rakyat
itu, khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya sekarang cukup ”1D” saja, yakni
duit.
Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa ”duduk” dan ”diam” di rumah rakyat itu?
Itulah gambaran wakil rakyat minus keterpanggilan. Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR
pernah mengungkapkan keprihatinannya atas kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan
para wakil rakyat itu. ”Itu akan menjadi perhatian bagi kita semua, utamanya Badan Kehormata n
DPR,” kata Ketua Badan Kehormatan Muhammad Prakosa (26/ 2/2013).
”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2 disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR
diwajibkan secara fisik,” imbuhnya. Namanya kewajiban, mestinya diikuti sanksi jika dilanggar.
Namun, adakah kita pernah mendengar tentang anggotaDPRyang diberi sanksi karena rajin m e
m b o - los? Tidak. Itulah seb a b n y a sebagian besar dari m e r e k a dengan entengnya
mencalonkan diri lagi untuk periode 2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat
kursi lagi di parlemen, bahkan ada yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden Jokowi.
Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang, mereka malah tidak mau menggunakan
211
sistem elektronik melalui cap jempol (finger print ) untuk daftar hadir. Mereka lebih menyukai
sistem daftar hadir manual dengan tanda-tangan di atas kertas. Menurut Ketua Badan Urusan
Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila memakai finger print , seakanakan hal itu sama
dengan praktik absensi pegawai swasta di dunia perbankan.
”Kami bukan pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti lembaga lain. Ini lembaga politik,
lembaga pengambil kebijakan. Yang penting adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu.
Padahal, pengadaan alat finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR
periode sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu tetap
akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang belum diaktifkan
karena alasan teknis.
”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah teknis,” kata Roem Kono. Arogan betul dia.
Apa maksudnya membandingkan diri dengan pegawai bank? Jangankan pegawai bank, sejak
beberapa tahun terakhir ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi lain juga sudah banyak
yang menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya, tentu saja, demi kedisiplinan
dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa diketahui sesuai dengan ketentuan
atau tidak.
Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri, lalu bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-
orang lain? Sejujurnya kita kecewa, bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya
dapat menjadi anutan bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap
masuk ke DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk menggapai
ambisi berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet, dan sebagainya.
Maka, layaklah jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat. Tak pelak, sejumlah kritik patut
disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi wakil rakyat yang terhormat itu sulit karena
diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin
wakil rakyat itu adalah bersidang dan beradu argumen. Untuk itu setiap wakil rakyat harus berani
bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.
Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang tapi
ngawur, (2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti apa pun
yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang terjadi, alih-alih
menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen nyaris sia -sia karena
memboroskan anggaran negara.
Seandainya kursikursi politik yang mereka duduki itu ditempati orang-orang lain yang memang
berkompeten, tidakkah rakyat senang dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya?
Kedua, menjadi wakil rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang
bersifat Ilahi).
Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar, tulus, serius, tekun, dan disertai
tanggung jawab yang besar. Ketiga , karena ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat
apa kemauan mereka. Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai.
Perindo: Menggagas Politik Kesejahteraan Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015
212
Mardiansyah SP
Pengurus DPP Partai Perindo, Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI)
DKI Jakarta
Diskursus partai politik dan masa depan demokrasi Indonesia selalu menghadirkan kehangatan
tersendiri terlebih akhir-akhir ini di tengah ironi perpecahan partai politik besar Tanah Air, seperti
Partai Golkar dan PPP.
Suguhan drama politik konflik elite bagi perjalanan demokrasi kita sangatlah tidak sehat, karena
partai politik adalah cerminan demokrasi yang utama sehingga partai yang ”satu” (baca: tidak
pecah) menjadi harapan sebagian besar rakyat. Dalam riuh rendah politik dan dinamika
berpartai, rupanya tidak menghalangi satu kekuatan baru lahir sebagai poros alternatif rakyat
menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai baru besutan Hary Tanoesoedibjo, yakni Partai
Persatuan Indonesia (Perindo).
Kelahiran Partai Perindo merupakan metamorfosa sekaligus transformasi dari Ormas Perindo
sebelumnya yang mengusung tema besar mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu,
adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat, dan berbudaya. Partai Perindo dengan jargon
”bersatu memimpin bangsa” setidaknya harus mampu memberikan jawaban atas kegundahan
publik selama ini, utamanya apatisme rakyat akan keberadaan partai politik.
Apakah Partai Perindo (1) murni lahir ”dari” dan ”oleh” napas rakyat serta nantinya tumbuh
bersama aspirasi rakyat yang menghendaki kesejahteraan Indonesia lebih baik; dan (2) mampu
benar-benar menjalankan fungsi partai politik sejatinya bukan justru menambah kekisruhan,
keruwetan, dan kebingungan masyarakat karena semakin banyaknya jumlah pilihan partai politik
di samping yang sudah ada saat ini.
Dan sejak 7 Februari melalui deklarasi Partai Perindo, sejarah baru kehidupan partai politik mulai
ditorehkan seraya menegaskan ijtihad politik kesejahteraan yang menjadi pilihan perjuangan
partai Perindo sebagai ”part of solution” bukan ”part of problem”.
Kualitas Partai
Mendirikan partai baru bukanlah satu pekerjaan yang mudah meski alam demokrasi sekarang
memberikan jalan dan ruang lebih terbuka. Partai baru bukan sekadar ”baru” dalam arti
menambah jumlah akan tetapi bermakna baru dari segi kualitas.
Partai Perindo menjadi partai baru tidak an sich dalam wajah saja, melainkan baru juga dalam
memberikan warna, platform perjuangan, misi dan program- program yang berkualitas untuk
Indonesia masa depan. Pendirian partai politik yang berkualitas setidaknya mensyaratkan
perencanaan menyeluruh disertai muatan sumber daya manusia yang menggerakkan organ
partai itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan kader.
Pada bagian inilah kerap sejumlah partai politik di Indonesia kurang memberikan perha -tian
serius, di mana kader sesungguhnya menjadi kunci penting dalam melahirkan partai yang
berkualitas. Partai Perindo dituntut jelas dan tegas menerjemahkan pengertian kader secara
utuh: ”sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang
punggung bagi kelompok yang lebih besar ”, di mana dalam diri seorang kader melekat integral
kualitas individu dan juga organisasi yang akan membentuk kualitas partai secara keseluruhan.
213
Kader partai Perindo adalah pelopor, inspirator, motivator, dan mediator bagi individu,
lingkungan, dan masyarakat bangsanya sehingga kaderisasi menjadi ujung tombak partai yang
harus diprioritaskan dengan bertumpu pada tiga hal: pengetahuan dasar yang dimiliki, mampu
memberikan solusi konstruktif atas berbagai permasalahan, dan tentunya berkiprah
menghasilkan karya yang bermanfaat.
Kualitas berikutnya, yang berkaitan dengan proses rekrutmen anggota dan pengurus partai
secara terbuka. Salah satu perbedaan Partai Perindo yang harus ditampilkan adalah
kemampuannya membangkitkan kesadaran politik warga negara (khususnya anak-anak muda)
serta ikut ambil bagian dalam aktivitas kepartaian.
Hak politik warga—politik kesejahteraan— yang belum sepenuhnya diakui maupun diakomodasi
oleh partai politik selama ini ibarat pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan untuk bisa
diwadahi dalam Partai Perindo. Bangsa yang besar ini telah sejak lama kokoh kuat di atas
keberagaman dengan nilai-nilai budaya luhur dan sangat menghormati perbedaan.
Oleh karenanya, dengan pijakan ragam latar belakang serta suku, agama, ras yang berbeda-
beda tanpa memilah dan memilih status ekonomi/ sosial, Partai Perindo harus menjamin
sepenuhnya perlakuan dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk
bergabung. Keluarga besar Partai Perindo tidak membedakan antara orang-orang yang berlatar
belakang korporasi (dalam hal ini MNC Group) dengan orang-orang yang berlatar belakang
ormas/ aktivis/ LSM/akademisi.
Kedua unsur tersebut adalah kekuatan besar yang sangat bisa bersinergi saling menguatkan bila
dikelola oleh sistem rekrutmen dan manajemen partai yang cerdas sehingga wajah Partai
Perindo tampil utuh sebagai partai politik representasi denyut nadi rakyat. Bagian selanjutnya,
yaitu terbangun inklusivitas partai dalam kehidupan masyarakat dengan pengertian partai politi k
memiliki platform pergerakan yang dekat dan menyatu dengan rakyat (existing ) bukan dalam
posisi ”mulai” bahkan ”akan” mendekatkan diri kepada rakyat bila ada kepentingan/ tujuan yang
ingin dicapai.
Kesan umum publik terhadap partai politik yang hanya dimiliki oleh sekelompok elite/petinggi
partai, merangkul dan mengakomodir kepentingan tertentu saja bahkan cenderung pragmatis
hendaknya bisa ditepis sejak dini dan terbantahkan oleh sistem rekrutmen partai Perindo yang
terbuka.
Anggota dan pengurus adalah kader partai yang tidak boleh berjarak dengan masyarakat.
Mereka harus mampu menampung keluh kesah, merespons aspirasi rakyat yang memerlukan
solusi cepat sehingga tidak ada kesan Partai Perindo ”jauh” dari rakyat.
Ujian Eksistensi
Membuat terbilang lebih mudah ketimbang mempertahankan. Demikian halnya Partai Perindo
sebagai pendatang baru di antara para senior partai politik lainnya, berhadapan dengan
tantangan besar dunia perpolitikan Indonesia yang sangat ”unpredictable ”.
Mesin Partai Perindo dalam hal ini manajemen organisasi dan kepemimpinan menjadi kunci
utama dalam menghadapi tantangan, ujian, dan eksistensi partai di tengah masyarakat. Kualitas
partai yang tadi sudah terbangun akan mencerminkan kader yang memiliki integritas dan
214
kompetensi. Kader-kader partai inilah yang nantinya akan terus berada di garda terdepan
merespons permasalahan bangsa dan hadir ”hidup” bersama rakyat.
Tantangan berikutnya adalah konsistensi dan fokus perjuangan Partai Perindo pada politik
kesejahteraan, yang sama artinya dengan konsisten dan fokus berjuang melalui daerah-daerah.
Dewan pimpinan daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia sudah barang tentu menjadi
tumpuan partai dalam menyosialisasikan dan menjalankan program kerja partai sekaligus
menggerakkan masyarakat agar menjadi lebih sejahtera.
DPD-DPD melalui koordinasi dengan DPW dan DPP akan menjadi medan pertama
implementasi kebijakan dan program Partai Perindo yang pro terhadap kesejahteraan rakyat di
daerah. Berhasil atau tidaknya DPD-DPD memberikan hasil nyata yang bisa dirasakan rakyat
serta-merta, akan menjadi parameter keberhasilan partai secara keseluruhan.
Hasil kerja nyata Itulah yang menjadi jawaban untuk eksistensi partai. Selain tantangan di atas,
Partai Perindo juga dituntut mampu menerjemahkan fungsi partai politik sebagai sarana
komunikasi dan sosialisasi politik. Pilihan Partai Perindo mengusung politik kesejahteraan
tentunya berkorelasi dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
menyejahterakan rakyatnya.
Namun, Partai Perindo tidak harus masuk dalam ranah dukung-mendukung, setuju atau tidak
setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut melainkan berfungsi sebagai pemberi solusi
alternatif kebijakan. Partai ini dibentuk salah satunya melihat potret kemiskinan yang terus
bertambah dan kesejahteraan yang belum juga dinikmati oleh rakyat sehingga kehadirannya
harus dipastikan sebagai solusi dengan tawaran alternatif kebijakan yang lebih tepat bagi
pemerintah. Partai Perindo bersatu bersama rakyat membangun Indonesia sejahter a.
Penguatan KPK Kita Koran SINDO Selasa, 17 Februari 2015
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan sejarah yang tepat. Pada saat
kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi tinggi dan
bahkan menjadi sasaran kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa angin segar.
Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya dan mendapatkan banyak pujian.
Dengan keistimewaan yang dijamin undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus dalam tugas
berat pemberantasan korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin besar. Masa
depan Indonesia seolaholah diletakkan di pundak KPK.
Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan persepsi yang mulai kurang sehat.
Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga suci, serbabenar, dan mustahil bertindak khilaf.
Malah, pelan-pelan terbangun mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan tidak ada
kebenaran di luar KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK dari kritik dan
koreksi.
Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1: KPK tidak pernah salah. Pasal 2: Jika
KPK salah, kembali ke pasal 1. Terjadilah transformasi dari mitologi institusi menjadi mitos
personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan aparatnya, dianggap ”malaikat” dan
215
”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan keliru. Bahkan terbebas dari nafsu dan
kepentingan.
Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi dianggap sebagai pelemahan, tidak pro
terhadap pemberantasan korupsi, bahkan dinilai sebagai serangan balik para koruptor. Karena
terbiasa mendapatkan deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi dianggap
musuh yang harus ditampik dan ditindas sehebat- hebatnya. Ringkas cerita lalu muncullah
peristiwa-peristiwa yang tidak sedap.
Ada kejadian protes internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada pimpinan
yang melanggar standard operating procedure (SOP). Diberitakan ada pene tapan tersangka
tanpa bukti yang memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat perintah
penyidikan (sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran draf
sprindik yang sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang presiden dari luar
negeri.
Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip lawyer orang tertentu. Tentu saja
terkait dengan kekuasaan yang besar. Yang mutakhir adalah penetapan tersangka kepada calon
kapolri hanya beberapa hari setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.
Yang tidak kalah menarik adalah informasi pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan dan
beredarnya foto yang bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh
Bareskrim Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan masyarakat.
Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.
Individu Bukan Institusi
Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada mekanisme untuk menyelesaikan masalah
apabila ada imam yang (maaf) buang angin. Ini penting karena secara etik imam yang sudah
batal wudu kehilangan otoritas untuk melanjutkan tugasnya. Pada konteks kelembagaan, imam
yang buang angin, baik secara etik maupun hukum, tidaklah sama dengan kiamat.
Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam
yang batal hanya perlu diganti orang lain yang masih ”punya wudu” lewat mekanisme yang
sudah tersedia. Justru yang menjadi masalah adalah jika imam yang batal memaksakan diri
tetap melanjutkan tugasnya. Dalam konteks salat, jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga,
terang imam yang batal malah menjadi beban kelembagaan.
Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK tetap terjaga eksistensinya dan terus
menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan mutlak bagi kita mempertahankan dan menyelamatkan
KPK. Sama tepatnya ketika kita membela institusi Polri. Yang perlu ditimbang ulang dengan
jernih adalah pembelaan membabi buta ke-pada individu ”pengurus” KPK yang sedang
dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan hukum.
Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK identik dengan
menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK secara membabi buta adalah
tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya personalisasi dan mempertebal tembok mitos.
Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran untuk melakukan
demitologisasi. Pembelaan yang serius dan demitologisasi akan menyumbang besar bagi
216
penguatan kelembagaan KPK yang historis dan mendorong beker janya seluruh organ KPK
sesuai dengan pembagian tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan yang
tidak semestinya.
Penguatan Kelembagaan
Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan? Pertama, bagi pengurus KPK
yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara etik maupun hukum, perlu didorong untuk
bersedia berlaku ksatria. Bersedia menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian tanda
kecintaan kepada lembaga KPK.
Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, itu adalah bagian dari proses seleksi
alam yang akan membuat KPK makin kuat dan terjaga marwahnya. Kedua, ke depan proses
seleksi pimpinan KPK sebaiknya makin ketat, baik dalam persyaratan maupun prosesnya di
pemerintah dan DPR. Sudah ada contoh yang bisa dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan
KPK jilid I, II, dan III.
Sudah banyak pula wacana dan debat publik tentang bagaimana pimpinan KPK yang cakap,
kuat, dan kredibel. Seleksi pimpinan KPK bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan
dewa. Cukuplah pimpinan yang sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk
menyimpangkan mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.
Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan yang efektif. Sebagai lembaga
yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan adalah sesat pikir yang menyimpan
bencana. Justru karena otoritasnya yang istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan
yang nyata. Tanpa pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut.
Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute
power corrupts absolutely”.
Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi absolutisme itu. Di atas segalanya,
KPK yang kuat dan berhasil dalam menunaikan amanah adalah KPK yang ”sadar lingkungan”.
Karena itu, KPK harus bersedia membangun sinergi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga
penegak hukum lainnya.
Bahkan bisa saling memperkuat. KPK juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan
dan kenegaraan. Bukan KPK yang merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua
lembaga lain. Indonesia akan selalu membutuhkan KPK yang setia dan lurus kepada panggilan
sejarahnya.
Anas Urbaningrum
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015
PROF DR TJIPTA LESMANA
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan gugatan Komjen Pol Budi
217
Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya melantik
perwira tinggi polisi itu sebagai kepala Polri.
Kemarin, Selasa (17/2), Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik
BG sebagai kepala Polri ”Kalau saya presiden!” Menurut pemikiran linear dan logis, memang
tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin
Rizaldi, dengan tegas memutus bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan oleh sebab itu hakim mengabulkan gugatan BG?
Konkretnya, masih menurut pemikiran linear dan logis, BG sejak 16 Februari 2015 bukan
seorang tersangka.
Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai Minggu (15/2) malam di Istana Bogor,
Presiden masih mengatakan kepada para awak pers bahwa dia harus menunggu putusan
sidang praperadilan? Ketika Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore sekitar
pukul 16.00 menghadap Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin ter ang.
Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi KIH yang sejak awal mendesak
Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai kepala Polri. Saya berpikir Presiden akan
melantik BG kemarin. Tapi, rupanya Presiden masih harus berpikir - pikir, juga dengan alasan
ada masalah penting lain yang mendesak yaitu persiapan peringatan Konferensi Asia -Afrika
(KAA) pada April mendatang.
Saya yakin alasan ini hanya dibuat- buat. Jelas dong , putusan tentang BG jauh lebih penting
dan lebih mendesak ketimbang persiapan peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan bahwa
Presiden masih membutuhkan renungan dan timbangtimbanglagi sebelummengeluarkan
keputusan final, melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai kepala Polri?
Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?
Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly Asshiddiqie merupakan jawaban yang
jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan harus
dipertimbangkan masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya maupun
dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.
Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan risiko anjloknya integritas dan
popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia akan ditinggalkan para pendukungnya.
Sebaliknya, tekanan dari kalangan politisi ”berumur seharihari”. Dia akan digempur terus oleh
politisi kalau Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.
Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal rakyat banyak pendukungnya pada 2019
atau risiko berhadapan dengan DPR seharihari? Keduanya memang sama-sama tidak enak.
Tapi, Presiden harus segera ambil keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara dan
bangsa, harus memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan secepatnya, sekaligus
siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang diambilnya itu!
Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya dia tidak pantas
memimpin negara. Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa Presiden membutuhkan satu bulan
lebih untuk memutuskan masalah BG? Saya yakin seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang
paling dalam, Pak Presiden sesungguhnya tidak mau melantik BG.
218
Kenapa? Pertama , dia percaya penuh pada masukan ”9 Pendekar” yang tergabung dalam Tim
9 bentuk Presiden sendiri. Sembilan orang, semua, terdiri atas putra-putra Indonesia yang
sangat bagus integritasnya, apalagi ada figur-figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly
Asshiddiqie, dan Prof Hikmahanto Juwana. Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian
menopang Presiden ke kursi RI-1.
”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki Presiden untuk membuang nama Budi Gunawan.
Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16 Januari 2015. Hari itu massa besar
relawan Presiden turun ke jalan, termasuk di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak
melantik. Ketika itu mereka sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada
Presiden.
Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel Rahman, ketua Gerakan Salam
Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan sudah menyatakan penetapan tersangka BG
tidak sah? Jawaban atas pertanyaan ini, saya persilakan Anda buka media sosial dua pekan
terakhir ini.
Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak memperhatikan komentar -komentar para pakar
hukum terkait putusan sidang praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam putusan
yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko misalnya
mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjen Budi Gunawan.
”Hakimnya tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko Sarwono menyarankan
KPK tidak usah indahkan putusan yang melanggar KUHAP itu. Mantan Ketua Mahkamah Agung
(MA) Harifin Tumpa berpendapat yang sama. ”Memperluas kewenangan praperadilan dengan
alasan tidak diatur itu kan ngaco.
Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya.” Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan
ketua Mahkamah Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan tersangka.
”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan, dua bulan lagi, Budi Gunawan dijadikan tersangka
lagi. Bisa saja itu terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan untuk tidak cepatcepat
merasa di atas angin.
Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK terhadap putusan praperadilan yang
memenangkan BG. Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama, putusan itu
menjungkirbalikkan isi Pasal 7 KUHAP. Kedua, jika putusan tersebut memiliki kekuatan hukum
tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat menggugat ke sidang praperadilan dan pengadilan
tidak dapat menolak karena sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan praperadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu.
Ketiga , segera bakal banyak tersangka yang ”antre” menggugat ketetapan hukum atas diri
mereka yang dinilai ”sewenang-wenang” seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi. Jangan
lupa, MA pernah menguji putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27 September 2012,
hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono, memutus bahwa penetapan
tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah.
Tapi, dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui
kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub dalam
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Itulah sebabnya, Presiden atas
masukan para penasihat hukumnya juga bimbang.
219
Kalau BG dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari 2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi
Mahkamah Agung, berarti BG tetap tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK
untuk diajukan ke Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan
Presiden bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!
Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik BG dengan alasan the case is
closed setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat linear dan
logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih jauh. Atau pendapat yang
terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu mudah. Masalahnya, putusan hakim Sarpin
Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah Agung.
Dua mantan ketua Mahkamah Agung yang amat terhormat serta seorang mantan Hakim Agung
yang terhormat sudah mengeluarkan ”legal opinion ” yang sama bahwa putusan Sarpin Rizaldi
ngawur dan ngaco. Presiden kini dalam posisi terjepit. Marilah kita samasama berdoa agar Pak
Presiden pada akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam
dan petunjuk Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.
KPK vs Polri Pascavonis Praperadilan Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015 − 11:51 WIB
Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi “tren” dan topik
hangat di semua kalangan telah menemui babak akhir ketika gugatan praperadilan yang diajukan oleh
kandidat “terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan (BG), dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi
di PN Jakarta Selatan.
Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan status
tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening gendut” yang
dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode 2003-2006.
Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan kontra yang
merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam melihat realitas yang muncul
atas vonis gugatan praperadilan itu. Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan
tersebut ialah adanya dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan
dan melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.
Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG, terlepas dari
pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang rasional dan objektif.
Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi dari vonis praperadilan ini.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan sebagaimana
diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan status tersangka di dalam
hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari praperadilan.
Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum acara pidana;
dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta penghentian penuntutan atau
penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari hal ihwal pokok tersebut.
Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses hukum acara pidana, sedangkan penetapan
status tersangka merupakan arus hulu dari rangkaian proses di dalam hukum acara pidana
tersebut.Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide
pembaruan dan pembahasan RUUKUHAP diDPRperiodelalu.
Pada saat pembahasan memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di
220
dalam RUU KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk
memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih menjamin
pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana di dalam sistem
peradilan pidana.
Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas berpikir
sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak diatur secara jelas di dalam
KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadap seseorang
tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam polemik
penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat dimaknai sebagai hak
mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon kepala Polri. Artinya, hak
prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi penentuan nama-nama calon kepala
Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU Kepolisian).
Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakanhakprerogatiftersebut secara penuh
ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang selanjutnya
akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif tersebut tidak serta -
merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di parlemen (DPR);
sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif (presiden).
Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR, seketika setelah
DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden
tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut (lihat Pasal 11 angka (2), (3),
dan (4) UU Kepolisian).
Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala Polri
secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis, tetapi
dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian apabila
mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas penetapan
status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan yang bebas
dan tidak memihak (imparsial).
Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi kondisi yang dapat membenarkan penundaan
ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai Kepala Polri. Dalam hal ini tentu jikalau
menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak tidaklah dapat meragukan
ataupun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan
peradilan yang dilakukan oleh pihak BG.
Sebab, lembaga peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak
(imparsial)–sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan
tersebut haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang
membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun
bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yangberartibahwa putusan hakim
(vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih
tinggi yang membatalkan putusan tersebut.
Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG dengan
vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka dengan
dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan praperadilan
yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan atau pun batu
221
ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.
Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana diuraikan
sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan.
Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera melantik BG
sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang terjadi dan
resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.
Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas
politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi antara
KPK dan Polri.
AHMAD YANI
Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)
Abolisionist atau Retentionist? Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu
Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata tidak
berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati narkoba
beberapa minggu yang lalu.
Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi
semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa -Bangsa
Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati
kepada para terpidana narkoba.
Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang
warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti yang
dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar- benar terwujud, apakah jalan keluar
yang diantisipasi oleh pemerintah?
Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum
positif di Indonesia, dan intervensi dari negara- negara tersebut sama artinya dengan
mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah
wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata
politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan atau
membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga disampaikan
instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung,
kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat,
222
khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara
sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan tersendiri
yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi.
Masyarakat Eropa, khususnya, telah memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi
mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari
pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman
Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup
dan demokrasi sebagai tujuan bernegara.
Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut. Tidak dapat dimungkiri
bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan dukungan dan yang
menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati sekalipun. Masih ada warga
negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman mati.
Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada masyarakat
yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung sejak puluhan
bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan argumentasi dan
buktibukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan posisi mereka terhadap
hukuman mati.
Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan
hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist). Posisi ini sangat
mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas
memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.
Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan
pencabutanhakhidupseseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu dijawab
oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana tersebut dapat
direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi hukum?
Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling kepada pelaku
kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya. Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil
apakah terhadap terpidana dapat dilakukan incapacitation . Pendekatan ini pada dasarnya
adalah mencegah terpidana untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa mendatang.
Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku kejahata n
seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi berkurang.
Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke Australia
dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau Buru.
Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan dengan
baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga
pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik korupsi.
Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola jaringan
kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini untuk
menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa
lemahnya sistem peradilan kita.
223
Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara retributif
atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati yang telah
kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang melibatkan
korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur sebuah
tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan kontekstual.
Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum direvisi, mempelajari
metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum mati. Keempat, apakah
kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk memberikan efek jera? Saat ini
posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain yang masih memberlakukan hukuman
mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk menimbulkan efek jera.
Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN pada
2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini. Namun, hasil
penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia Stoicescu, seorang
kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan penelitian di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam penelitian tidak mengikuti
kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun dipertanyakan. Di tingkat
internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika yang telah
mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan menolak
hukuman mati.
Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang mendukung maupun menolak
hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga tidak dapat dijadikan rujukan dalam
persidangan. Hasil- hasil penelitian tersebut tentu akan menggugurkan argumen para diplomat
ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau masyarakat negara sahabat yang menentang
hukuman mati.
Dan apabila kita tetap menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu
kredibilitas kita akan turun. Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap
dukungan hukuman mati ini dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang
terancam hukuman mati.
Banyak di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk
menentang hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal,
apabila terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh
pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari
perdebatan tersebut.
Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah
penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan internasional
yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki norma yang berbeda
ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara- negara lain.
Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga harus sesuai
dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat ini pergaulan
negara- negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi hukum dan
norma internasional.
224
Momentum Revisi UU KPK Koran SINDO Jum'at, 20 Februari 2015
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana
sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan
peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”.
Kendati demikian, mayoritas masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM)
antikorupsi tidak percaya dan bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan
terhadap KPK. Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS,
penulis berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh
melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”, ketika
dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara.
Sedangkan AS justru diduga telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam
posisi sebelum menjadi pimpinan KPK. Dari tempus delictikedua-duanya bukan pimpinan KPK
sehingga tidaklah tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis
mutandis pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika
tempus dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III
tersebut belum berstatus pimpinan KPK?
Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III saat
ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan. Pertama,
pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum pidana kecuali
terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka tanpa reserve.
Kedua, penolakan permintaan audiensi para pengurus pusat Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah
direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan
maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja
mereka.
Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur
memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM antikorupsi bahwa apa pun tindakan
hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan pihak -pihak
yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke dalam kelompok
anti-KPK dan antipemberantasan korupsi.
Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari
bahwatidakadamanusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka
kelemahankelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan yang
kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih tua dan
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.
Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan bahwa
hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang lain
225
sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan hukum yang
dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana te rnyata tidak selamanya
menaati asasasas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai yang berada di
balik normanorma tersebut.
Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa
yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang telah
ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK hanyalah
bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semata -
mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status
”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3 UU
KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan Umum UU
KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain dicantumkan,
”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan
menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’ yang kondusif; dan KPK tidak
memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.
Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17 Oktober
2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum termasuk
pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan penyalahgunaan
wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).
Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada
lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di
masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara
sejalan dengan undang-undang tersebut.
Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap
orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional tentang
Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan
UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari
”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka dan
dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan DPR RI
melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.
Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan
terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat mempertahankan
asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum penyelidikan dan
penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan Dewan Pengawas untuk
menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif sebagaimana diharapkan awal
penyusunan UU KPK.
Problem Demokratisasi Partai Politik Koran SINDO
226
Jum'at, 20 Februari 2015
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan
Pada banyak peristiwa politik, sebagian besar orang hanya asyik melihat apa yang berlangsung
di permukaan panggung kekuasaan, namun melupakan dimensi substansial yang ada di balik
setiap peristiwa politik.
Dalam perhatian yang lebih besar pada gejala tanpa melihat akar persoalan inilah, peristiwa
politik kerap datang dan pergi tanpa kita paham akar persoalan dan terapi untuk
merehabilitasinya. Menelisik sampai ke akar persoalan politik termasuk gegar politik antara kubu
PDIP dan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kasus KPK versus kepolisian saat ini, satu
hal yang patut untuk direnungkan bahwa dominasi oligarki di internal partai politik adalah pokok
utama dari karut-marut politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (post-authoritarianism ).
Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana karakter dominasi elite politik di internal
partai memiliki konsekuensi pada dinamika eksternal politik, khususnya pada karakter politik
Indonesia. Untuk memahami persoalan politik Indonesia pada era post-authoritarianism, problem
potensi krisis koalisi di internal pemerintahan Joko Widodo sebenarnya hanyalah salah satu
contoh dari problem oligarki di dalam tubuh partai politik di Indonesia.
Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi seluruh
partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai, sampai sekarang kita hanya sibuk
menyaksikan ketegangan antara kekuatan pemerintah dan oposisi. Sementara itu, kita lupa
bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas dari
performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.
Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju pada perubahan politik yang lebih baik,
demokratisasi partai dalam pengertian rotasi kepemimpinan yang ajek, pemahaman partai politik
akan agenda dan aspirasi akar rumput, maupun kesadaran akan dinamika sosial yang bergerak
dan membutuhkan respons yang sigap terhadapnya.
Ada pelajaran menarik yang kita dapat ambil dari pengalaman Partai Kongres India. Turunnya
pamor IndiaIndias Congress Party dan kegagalan dalam pertarungan elektoral melawan
Bharatiya Janata Party (BJP) tidak dapat dilepaskan dari problem internal partai politik baik
dalam keengganan dari kekuatan elite lama untuk merespons dinamika sosial yang terus
berubah maupun dominasi mereka yang demikian kuat sehingga menolak tampilnya kekuatan -
kekuatan baru untuk menyegarkan partai politik.
Seperti diutarakan oleh Subrata Kumar Mitra (1994) dalam Party Organization and Policy Making
in a Changing Environment: The Indian National Congress jauh-jauh hari sebelumnya bahwa
kelambanan pergerakan Partai Kongres India dalam konstelasi politik disebabkan kekuatan
dominan konservatif di dalam partai (karena disebabkan oleh kepentingan politik yang
cenderung elitis, maupun hambatan-hambatan organisasional) tidak mampu menangani isu-isu
keadilan sosial dan operasi politik secara tepat dan terukur.
Sementara itu, loyalitas personal kepada elite daripada komitmen untuk mengembangkan partai
menjadi penentu rekrutmen kepemimpinan politik maupun mobilitas politik dari setiap kader -
227
kadernya. Problem politik di atas kemudian memanifes dalam bentuk terganjalnya rotasi
kepemimpinan secara ajek dan terlembagakan dalam tubuh Partai Kongres India.
Apabila kita refleksikan kasus di atas, problem yang dialami Partai Kongres India di atas juga
tengah dialami sebagian besar partai-partai di Indonesia. Secara umum partai-partai di Indonesia
mengalami persoalan besar terkait problem demokratisasi partai, terutama sehubungan dengan
problem rotasi dan rekrutmen kepemimpinan maupun mekanisme keterlibatan kader dalam
pengambilan kebijakan.
Perubahan Politik
Selanjutnya kita akan mengambil contoh dua partai politik yang saat ini akan menjalankan
kongres dalam waktu dekat yaitu PDI Perjuangan pada April 2015 dan Partai Amanat Nasional
(PAN) pada Maret 2015. Pada kasus pertama setelah kekalahan politik dalam Pilpres 2004, PDI
Perjuangan selama sepuluh tahun terakhir menjalankan strategi politik oposisional yang brilian
dan efektif.
PDI Perjuangan dalam peran oposisionalnya memproduksi beberapa agensi pemimpin organik
di tingkat lokal dan menjadi penyeimbang (counterpart ) bagi koalisi penguasa. Terpilihnya Joko
Widodo sebagai presiden pada 2014 adalah buah dari kerja keras tersebut. Kendati demikian,
krisis politik justru saat PDI Perjuangan berkuasa.
Benturan antara kepentingan konservatif kekuatan oligarki dan kehendak pemerintah dan
elemen-elemen progresif lainnya terartikulasi dalam krisis politik terkini. Berbeda dengan PDI
Perjuangan, meskipun tidak terlepas dari problem karakter oligarki partai, PAN memiliki tradisi
rotasi kepemimpinan politik yang cukup baik.
Sejak dilahirkan, partai ini melembagakan regenerasi dan pergantian kepemimpinan tiap sa tu
periode (Amien Rais 1998-2005, Soetrisno Bachir 2005-2010, dan Hatta Rajasa 2010-2015).
Dengan melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat
memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai. Meski demikian, PAN juga memiliki
problem internalnya sendiri.
Perolehan suara pada Pemilu 2014 (47 kursi) dari Pemilu 2009 (42 kursi) dapat diapandang
kurang memuaskan bila dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang pada Pemilu
2009 berada pada posisi yang hampir setara (Partai Gerindra naik dari 26 menjadi 73 kursi,
maupun PKB dari 28 menjadi 47 kursi). Ke depan PAN harus meneruskan tradisi rotasi
kepemimpinan yang ajek seperti yang menjadi tradisi kepemimpinan yang telah dibangun.
Kepemimpinan partai saat ini harus menyadari bahwa kemajuan partai lebih penting dari ambisi
kepentingan dalam jangka pendek. Sebagai sebuah agenda politik ke depan adalah menarik
tawaran dari Ketua DPP PAN Zulkifli Hasan untuk memperkenalkan mekanisme konvensi calon
presiden sebagai sebuah respons cerdas dari internal partai terhadap desakan perubahan politik
dari luar.
Demikianlah bahwa dalam konteks berbagai peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia,
arus permukaan konflik, krisis, maupun negosiasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
proses dialektika yang berlangsung di internal setiap partai politik. Dalam kondisi demikian,
seruan untuk melakukan demokratisasi di internal partai politik menjadi bagian penting bagi
agenda reformasi politik di Indonesia.
228
Solusi Elegan Jokowi? Koran SINDO Jum'at, 20 Februari 2015
IDING ROSYIDIN
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan
Deputi Direktur the Political Literacy Institute
Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi
Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR, dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo
(Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.
Rabu (18/02) sore Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris Jenderal
(Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai penggan -tinya
yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat pelaksana tugas (Plt) kepala Polri.
Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad (AS)
dan Bambang WIdjojanto (BW), diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi menunjuk tiga
orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK yaitu Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno
Adji, dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK.
Win-Win Solution
Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang
akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai kepala Polri baru.
Namun, ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justru membatalkan pelantikan BG
dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.
Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif teori
negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam kuadran kolaboratif
yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini Polri
dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-sama mendapatkan
keuntungan dan pada saat yangsamajugaterhindardari kerugian atau potensi buruk yang
kemungkinan didapatkannya.
Bagi BGsecara personal, meski keputusanJokowiterlihat merugikan karena kesempatan menjadi
orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang, sebenarnya
dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan praperadilan,
bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya.
Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur
penetapannya oleh KPK, bukan substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika
prosedur penetapan diperbaiki kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka.
Sekalipun BG dilantik menjadi kepalaPolri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan
tersangka.
Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian menjadi tersangka.
229
BG tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar -benar terjadi. Bagi Polri secara
kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga menguntungkan.
Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus berlanjut karena bukan
tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik kelembagaan tersebut telah
banyak menguras energi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia, bahkan mengancam matinya proses
penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik diharapkan bisa menjadi pereda
suasana ketegangan itu. Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya
terancam menjadi tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan,
KPK bakal pulih kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai Plt pimpinan sehingga lembaga
ini dapat berjalan secara sempurna.
Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan normal karena dua orang
pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka. Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada
komisioner KPK yang dirugikan secara personal yakni AS dan BW. Namun, karena undang-
undang sendiri menyatakan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus nonaktif, tidak ada
jalan lain bagi mereka berdua selain nonaktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi dua
komisioner nonaktif tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di
negeri ini. Mereka berdua boleh ”mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.
Dukungan Publik
Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak
positif besar baginya, terutama terkait dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik selama ini
tampaknya lebih condong pada pembatalan pelan-tikan BG. Dengan kata lain, publik lebih
memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan
korupsi.
Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka terhadap KPK tetap tidak
surut. Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan wali Kota
Solo itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik ini.
Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, setidaknya dengan
membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan antara dua
lembaga penegak hukum tersebut. Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait
langkah Jokowi di atas adalah mampunya sang Presiden keluar dari tekanan-tekanan eliteelite
partai politik, khususnya yang berada di dalam KIH.
Selama ini Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan itu sehingga berbagai
keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite politik tersebut ketimbang
kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih mendengarkan aspirasi publik dan lebih
mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Independen atau Tim 9 yang dibentuknya
sendiri.
Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendas ikan
oleh tim yang dipimpin Buya Syafii Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri
dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat
diapresiasi publik. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas
230
keputusannya tersebut adalah reaksi DPR.
DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik, bahkan sebelum proses praperadilan
selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih merusak kewibawaan
lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena keputusannya yang
menyetujui BG sebagai calon kepala Polri tidak digubris oleh Jokowi.
Namun, Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain telah
mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota Dewan tidak bisa begitu gegabah
untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama dengan elite -
elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa melenggang
aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi yang elegan.
Teka-teki di Balik Sikap Presiden Koran SINDO Sabtu, 21 Februari 2015
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala Polri,
disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap demikian
diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu meningkatkan kualitas
penyelenggaraan negara hukum.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam
intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus
waspada. Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya
tentang konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah
dari politik, dan masingmasing berdiri sendiri.
(2) Penegakanhukumditumpukan kepada hukum positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi
sosial, sehingga legalitas dipandang penting, sementara legitimitas dikesampingkan. (3)
Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya
sebagian besar politikus dan penegak hukum di negeri ini memiliki pandangan serupa dan
mengamini sikap Presiden tersebut.
Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya
kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting
dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana
ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang
disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.
Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara utuh
dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara hukum,
sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat semakin lebar,
dan citacita bernegara pun semakin jauh dari harapan.
Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan
231
penggiat antikorupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya? Publik
mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik
mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.
Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu
menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu
lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik?
Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait dengan
persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden?
Sungguh amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka
bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujungujungnya duit, tetapi melalaikan
kepentingan bangsa. Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis
seorang hakim praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis.
Benarkah hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari
tekanan politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan- jangan vonis
kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial hendaknya
mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim praperadilan tersebut.
Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.
Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK,
terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam ber-negara hukum, maka
perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai benalu pada
dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk diobati.
Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara
fondasi dan pilarpilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh sistem
kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
perbaikan negara hukum.
Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena keterjebakan
penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini bahwa keadilan,
ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui pembuatan dan
penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached), independen,
impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).
Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung
individual-imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada nilai-
nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik religius. Kita
insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep bernegara
hukum.
Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara mempelajari konsep
legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan tetapi, amat
disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut. Budaya Barat, yang oleh
sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki kecenderungan memandang
realitas secara dikotomis,
parsialistis, dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan, ternyata di -copy-paste dan
232
dipraktikan dalam bernegara hukum di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan,
perseteruan antarkoalisi partai, Polri versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecahbelah. Di
Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan
yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum, seperti: American
concept, American doctrines, American approach, etc.
Amerika berani melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang
seperti sekarang itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme
Court, antara lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang
berwawasan kebangsaan.
Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik? Penyelesaian konflik Polri
versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya dilakukan segera secara
holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral kebangsaan secara utuh,
dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.
Hormati Putusan Hakim Koran SINDO Sabtu, 21 Februari 2015
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan
atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan
korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan kejaksaan.
Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap
dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon melakukan
upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan te rsebut bisa
memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai tersangka
yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.
Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat
administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan
penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut umum
diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau penyitaan
barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang.
Maka itu, pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak
menggolongkan ”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan
upaya paksa yang potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Keberatan atas
penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap terhadap
tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat dilakukan saat eksepsi
oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan dalam sidang pengadilan.
233
Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak jelas dan cermat atau terjadi
kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela menolak surat dakwaan sehingga
pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah sebetulnya terdakwa mempersoalkan
penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan praperadilan.
Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim pengawas,
antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai penahanan,
termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan pengenaan
penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak.
Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP dari berbagai
pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.
Gelombang Gugatan
KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan
melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai
aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal yang
diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika ada yang
melanggar hukum materiil.
Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif
dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada
hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai -nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan praperadilan itu setidaknya
dapat menimbulkan dua persoalan.
Pertama, putusan itu akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai
gelombang gugatan praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan
hanya perkara korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal
jalanan yang begitu marak.
Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan pemeriksaan
darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi
tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu mengajukan gugatan
praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik kepolisian.
Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk melakukan tes
urine dan darah sebagai bahan perbandingan. Kemungkinan itu didukung dengan seringnya
muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik)
diduga menjebak seseorang yang kemudian dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat
dipastikan, pihak kepolisian yang akan merasakan dampak langsung dar i pembenaran dan
perluasan objek praperadilan sampai pada penetapan tersangka.
Upaya Hukum
Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah
putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena pu tusan
praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka KPK
dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung
(MA).
234
Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap dalam sidang
praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan
praperadilan, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya. Atau putusan itu jelas -jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.
Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi terhadap pelaksanaan penyidikan
dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya paksa. Sepanjang prosedur -prosedur
dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum acara yang diatur secara rigid,
hasilnya bisa saja diterima. Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan
putusan hakim bahwa tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum.
Padahal, dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk
mengabdikan diri sebagai ”alat negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati
dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula
Pasal 1 butir-4 KUHAP juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk
melakukan penyelidikan.
Adapun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undangundang memiliki
wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua anggota Polri mulai
dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat ”penyelidik” sebagai langkah
awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua anggota Polri adalah aparat penegak
hukum lantaran diberi wewenang melakukan penyelidikan.
Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2 ayat
(1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan
KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal berpangkat
inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat. Maka itu,
meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh MA lantaran
hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.
Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan Koran SINDO Senin, 23 Februari 2015
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana
Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan
golongan pangkat IV/D, telah mengundang prokontra.
Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum Mabes
Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat
mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu
hukum.
Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum
Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya
meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi
235
Gunawan.
Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis
mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam
pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga
praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum pidana,
memahami dengan sungguhsungguh dan baik.
*** Para ahli hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin.
Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa “segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf besar, pen),
kecuali dalam halhal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945”; bahkan terdapatancamanpidana terhadap siapa saja (ayat 3).
Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa
dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji
yang selalu dilakukan LSM antikorupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam demokrasi
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan konstitusi AS atau Inggris!
Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan
menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum
sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).
Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum yang
tidak memiliki kompetensi hukum pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan “apa pun
yang diputuskan hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi munafik
ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-lomba mengkritik
keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.
Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang
dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa
takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim
Sarpin, penulis melihat bahwa pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pa sal 5
ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan perkembangan HAM
Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM
yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM.
Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik,
dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara
termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat
dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan.
Kesempatan tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara
236
limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM
setiap orang terlepas dari latar belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dala m
masyarakat dari penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.
Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1 KUHAP
Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah hukum acara yang
ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi bersifat mutlak.
Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan persoalan serius; tidak lagi hanya
cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks penetapan
sebagai tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata, melainkan harus
diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang ditetapkan menjadi
tersangka.
*** Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum, tidak
terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan
hakim Sarpin menurut penulis merupakan putusan yang monumental (landmark decision) yang
membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan
pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum
(rechtsvinding ) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat
membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku
(alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).
Istana Rajawali atau Istana Kampret? Koran SINDO Senin, 23 Februari 2015
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional
KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap
Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.
Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi
segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang kuat
dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kalelawar (kampret),” kata Buya.
Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan
sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi
seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu awallahu alam. Yang pasti,
Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan
menghadapi tsunami politik.
Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini Presiden
bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga kemarahan
sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan Hak Angket DPR segera mengemuka
sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi
237
Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris Jenderal Badrodin
Haiti sebagai calon kapolri.
Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket
kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai Demokras i
Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR dari Fraksi
PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket itu. Dia
terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan Budi.
Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna DPR.
Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama
pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP
dengan Ketua Umum PDIP Mewawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu
Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi
PDIP Herman Hery.
Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak angket
dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket dan hak
interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu merefleksikan
kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak menghormati institusi DPR
dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR perihal calon kapolri.
Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk memberhentikan
Jenderal Sutarman sebagai kapolridanmengangkatKomjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri
yang baru. Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus.
Dinamika politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi
alasan pencalonan Badroedin pun dinilai tidak jelas.
Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen
Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden.
Di antaranya, “Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu
sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari
2015, dipandang perlu untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri
sebagaimana dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN
2015 tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk
Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia .”
Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal
Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di
masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta
memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh
seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs
Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.
“ Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari
2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR
memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.
238
Tsunami Politik
Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak
interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik
belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di DPR
solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.
Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi
Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal itu
benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak ada
kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana
penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa
komponen KIH.
Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden
terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung
meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga
kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu
Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar.
Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah
membahasnya bersama DPR. Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar
jika sebagian anggota DPR dan PDIP marah karena merasa telahdibohongi Presiden Jokowi.
Sebelumnya, selama lebih dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil
menunggu Presiden menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif.
Alih-alih konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri,
Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi
menyudahi kisruh Polri versus KPK. Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan
PDIP.
Sebab, pada jumpa pers Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat
tegas menjelaskan bahwa Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah
berstatus tersangka. Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil
memberi penekanan khusus pada kata penundaan. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini
yang perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.
Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol
Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali
inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak terpenuhi
karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan anggota
koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR. Janji kedua adalah koalisi partai
politik (parpol) tanpa syarat.
Di kemudian hari, janji ini jadi bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan
16 jabatan menteri untuk kader partai pendukungnya. Janji ketiga adalah membentuk kabinet
ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru
mengikuti postur Kabinet Indonesia Bersatu-II yang gendut.
239
Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa
yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi
negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah
sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain
dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden jugaharusterbebasdari berbagai tekanan.
Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan. Presiden
Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya dalam hal
pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana Presiden tetap
menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan sebaliknya, menjadi
istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.
Mencari Pemutus Sengketa Hasil Pilkada Koran SINDO Selasa, 24 Februari 2015
Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk mencari jawaban hendak diberikan ke
institusi apa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah
(pilkada).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang menyelesaikan
sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat disokong oleh
pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya mengembalikan pilkada ke
dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan langsung.
Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas UU
Nomor1/2015, merekatetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyelesaikan
sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih MA sudah
menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak perkara.
Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa menempatkan
sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada bukan pemilu
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Kontroversi MA
Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undangundang yang
mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian sengketa
hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan gubernur, MA
langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota diserahkan
kepada pengadilan-pengadilan tinggi.
Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa
kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan Pilkada
Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang bersaing dan
semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak menyelesaikan masalah,
tetapi malahan memancing masalah baru.
Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak
240
masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi.
Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih.
Akibat itu, meski undang-undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK) karena
putusan sangat tidak rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar. Pada Pilkada
Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada ulang, padahal
maksudnya pemungutan suara ulang.
Karena perintahnya pilkada ulang, yang artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih
hingga pelantikan pasangan calon terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU
Sulsel pun mengajukan PK dan akhirnya MA mengabulkan PK tersebut. Pada Pilkada Maluku
Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang dimenangkan.
MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU Maluku Utara telah
terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas siapa yang menang
karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil penghitungan pula. Kontroversi
di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke MK yang
dipandang lebih kredibel.
Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan sengketa hasil pilkada yang telah bergeser
maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Banyak apresiasi yang
dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil pemilukada.
Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan masyarakat
yangtinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima
suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar hukuman seumur hidup,
hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.
Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga titik
nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali
kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidakmenolak kewenangan MK untuk
menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan
tersebut dalam putusan pada 2013.
Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada
menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya
penanganan harus balik lagi ke MA.
Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil penggiat pemilu juga tidak ingin MA.
Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undangundang memerintahkan penanganan sengketa
hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum terbentuk,
MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
Wewenang Bawaslu
Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu,
termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada
parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di
241
Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada
instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh
penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap
parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa hasil pemilu dan pilkada.
Sementara instrumen internasionalsangat tidakdiperlukan karena institusi lokal masih mungkin
berjalan normal. Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian
sengketa hasil pilkada hendak diberikan?
Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada
Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan,
penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif.
Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di sini lah letak
persoalannya.
Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan ouptput tidak terukur. Tidak heran banyak
pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat,
pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu
juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.
Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu,
yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif
dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus diserahkan
kepada MK.
Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih
baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor
1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke
pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal.
Para pecundang dan pengacara siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan
sengketa hasil pilkada ke MA atau pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya
menggantang asap. Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu
sebelum terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat.
Namun, bila putusan MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil
pilkada secara permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat
menjadi pilihan.
Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal ada
lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.
Refly Harun
Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM
242
Prioritas Langkah Menyelamatkan Polri Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik,
The University of Melbourne
Ada yang merisaukan pada isipidato Presiden Jokowi, Rabu (18-2-2015) lalu. Pidato berisi
keputusan Presiden terkait kekisruhan antara KPK dan Polri itu menyinggung masyarakat
sebagai pihak yang terimbas sebatas dalam bentuk terjadi perbedaan pendapat.
Padahal, lebih dari sekadar perdebatan kognitif, pertikaian dua organisasi itu nyata -nyata sudah
sampai ke dimensi afektif yakni dalam bentuk kian tergerusnya kepercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga penegakan hukum. Apalagi, terdapat kesan kuat bahwa sinisme masyarakat
terhadap Polri tampak lebih mengental; suasana batiniah yang mengkhawatirkan, mengingat
Polri merupakan institusi penegakan hukum yang bersifat permanen.
Berhadapan dengan kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa, Polri sepatutnya terdo rong
untuk lebih inward looking, di samping terus mengupayakan perbaikan kualitas kemitraannya
dengan KPK. Dorongan bagi Polri untuk lebih mawas diri itulah yang sebenarnya sangat baik
bila disampaikan Jokowi.
Tentu, dengan sekian banyak area pembenahan internal yang ada, tugas Komisaris Jenderal
Polisi Badrodin Haiti kelak akan sangat berat. Area mana yang patut diutamakan bersumber dari
tiga potong kejadian yang telah terlupakan. Peristiwa penting yang justru dari situlah calon
Kapolri Badrodin dapat menemukan tiga area yang membutuhkan pembenahan besar-besaran.
Kejadian pertama yang mencerminkan kekacauan organisasi Polri adalah ketika dua petingginya
mengeluarkan pernyataan berbeda sehubungan dengan penangkapan Bambang Widjojanto. Plt
Kapolri (Wakapolri) Badrodin Haiti membantah ada penangkapan tersebut. Tapi, berbeda tajam,
Kabareskrim Budi Waseso justru mengonfirmasi kabar mengenai penangkapan terhadap
petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Bertolak belakangnya pernyataan dua komjen di atas mengisyaratkan ada faksi-faksi didalam
tubuh Polri. Koordinasi antarfaksi menipis, sebagai konsekuensi ketidaksempurnaan dalam
mengatasi keadaan kritis yang dipandang harus disikapi selekas mungkin. Kekacauan fungsi
komunikasi publik (hubungan masyarakat, humas) Polri itu sesungguhnya memalukan,
mengingat by nature kerja polisi identik dengan situasi krisis.
Publik pun bereaksi dengan mempertanyakan, apakah penangkapan Bambang merupakan
langkah penegakan hukum yang dihasilkan berdasarkan keputusan terpadu Polri atau sebatas
sebagai prakarsa sektoral oleh kubu dengan kepentingan tertentu di tubuh Polri? Jika ditarik ke
tataran lebih mendasar, istilah humas di institusi Polri pun seolah mengandung salah kaprah.
Seluruh aparat Polri sesungguhnya memiliki kewajiban untuk membangun hubungan dengan
masyarakat. Dengan kata lain, kehumasan tidak semestinya dijadikan sebagai tugas pokok dan
fungsi unit kerja tertentu lalu dikesampingkan pada unitunit kerja lain. Dengan dasar berpikir
seperti itu, unit humas Polri sepatutnya dilikuidasi ke seluruh unit kerja Polri.
243
Sebagai gantinya, dibentuk unit hubungan media (media relations) dengan tugas melayani
kebutuhan informasi para wartawan serta unit kerja sama antarlembaga. Bagaimana
memastikan setiap orang yang bergabung dalam Polri memiliki potensi kehumasan yang
memadai serta terkembangkan secara baik, itulah fondasi yang patut dibangun ulang oleh
Badrodin selaku kapolri nanti.
Spesifik dalam konteks kemelut yang sedang berlangsung, sinkronisasi informasi yang
disampaikan ke masyarakat merupakan keharusan guna mencegah agar kekacauan tidak
bergulunggulung seperti bola salju. Kejadian bahkan tak keliru disebut misteri kedua adalah
dimutasinya Komjen Suhardi Alius dari jabatan Kabareskrim Polri ke posisi Sestama Lemhanas.
Meski Polri mengemukakan alasan bahwa keputusan pemindahan Suhardi sesuai rekam jejak
Suhardi, gelombang skeptisisme publik tetap deras menolak penjelasan yang Polri ajukan.
Keragu-raguan masyarakat itu bertitik tolak dari penilaian bahwa Polri hingga kini belum
sungguh-sungguh menerapkan pendekatan objektif sebagai mekanisme penentuan karier
personelnya.
Pada satu sisi, profesionalisme selalu dikemukakan sebagai rasionalisasi. Tapi, pada sisi lain,
kasakkusuk nyaring terdengar bahwa promosi maupun demosi di lembaga Polri lebih ditentukan
oleh faktor-faktor semisal urut kacang, baik berdasarkan usia karier maupun usia biologis, dan
kedekatan pribadi. Ketiadaan mekanisme objektif itu pula yang mendasari syakwasangka bahwa
di dalam organisasi Polri sekali lagi terdapat faksi-faksi.
Sehingga, ketika Suhardi “masuk kotak”, publik serta-merta menyimpulkan bahwa Suhardi
merupakan korban rivalitas antarfaksi dan Suhardi bagian dari faksi yang kalah. Pemindahan
Suhardi yang terkesan bukan dilandasi penilaian akan faktor kompetensi mengirim pesan
nyaring ke Badrodin, dan para penerusnya ke depan, bahwa manajemen sumber daya manusia
(SDM) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Polri merupakan agenda prioritas yang mutlak
dilaksanakan.
SDM dan diklat yang terkelola modern merupakan indikasi kesungguhan Polri dalam
memosisikan para personel sebagai aset emas organisasi. Hanya dengan sistem pengelolaan
SDM dan diklat yang mantap, perbincangan tentang visi dan pencapaian kinerja masing -masing
personel menjadi sesuatu yang relevan. Sekaligus, meminimalkan ruparupa politik organisasi
yang busuk semacam “lelang” jabatan, kolusi, dan nepotisme.
Isu penting ketiga dipicu oleh ditetapkannya Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK sebagai
tersangka. Pascapenetapantersebut, yang lantas dianulir oleh hakim Sarpin Rizaldi pada sidang
praperadilan, spontan bangkit ingatan khalayak luas pada isu tentang rekening gendut sejumlah
perwira tinggi Polri. Bangkitnya memori publik menunjukkan bahwa pendisiplinan diri seluruh
anggota Polri oleh institusi Polri masih merupakan titik rawan yang terus-menerus
diperhatikanmasyarakat.
Memang wajar bila masyarakat meletakkan standar tinggi bahwa Polri seharusnya mampu
menjalankan misi kenabian sebagai acuan kebenaran dan kesantunan. Namun, faktanya, di situ
pula gumpalan kekecewaan publik berlipat ganda; telanjur terbangun keyakinan publik bahwa
solidaritas korps Polri terejawantah ke dalam kebiasaan menutup-nutupi perilaku jahat atau pun
perilaku tidak etis para personelnya.
244
Berulangnya gontokgontokan antara KPK dan Polri juga mempertegas hukum alam bahwa bagi
organisasi yang ruhnya berintikan pada jiwa korsa, sorotan dari pihak eksternal hampir bisa
dipastikan selalu ditanggapi dengan perlawanan. Karena itu, Polri yang semestinya memaks imal
peranperan pengawasan internalnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan personel.
Untuk tujuan tersebut, fungsi profesi dan pengamanan menjadi sektor terdepan. Pendisiplinan
mengincar dua subkultur yang mewabah di kebanyakan organisasi kepolisian, ya itu perilaku
korupsi dan tindakan brutal. “Save Polri-Selamatkan Polri” , begitulah semboyan yang kini
disuarakan ke segala penjuru. Tentu bukan menyelamatkan Polri dari incaran KPK, melainkan
dari hancur leburnya kepercayaan “orang tua kandung Polri” alias masyarakat. Allahu a’lam.
Sekali Lagi tentang Mubahalah Anas Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan
Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Membaca tulisan Moh Mahfud MDdi KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul “Mubahalah dan
Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.
Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa
melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum
konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata -mata karena
temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal
sampai selesainya proses persidangan.
Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?
Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama,
mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para pimpinan
KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud adalah “tidak ada
urusannya dengan mubahalahmubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan Anas kepada majelis
hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan di Indonesia juga tidak
mengenal mubahalah.
Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu jelas
untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap dan
penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau
penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan mungkin
pihak lain lagi.
Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena serangan
dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan
berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata angin”, bahkan
pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat ketimbang yang
sekarang ini.
Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan bukan karena kelemahan di KPK.
245
Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan
oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan JPU,
para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku, dan
membisu.
Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan
mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu.
Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini.
Setelahterpakusekianwaktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua
majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang.
Kemudian segera keluar ruang sidang dengan terburuburu dan diikuti oleh semua anggota
majelis. Para jaksa masih terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar
halilintar. Baru kali ini merasakan mimpi di siang bolong. Saya sangat memahami ajakan Anas
untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa.
Secara substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke
persidangan sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya
lewat proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis
faktafakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta -fakta
kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.
Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran
itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin
memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah ada lah
ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di dalamnya para
pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan laknat Tuhan.
Mubahalah, Kualat atau Karma?
Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya pasti
tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah? Wallahu
a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya sendiri atau
karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan.
Kita tidak tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama
penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya.
Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan
jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan karena tidak ada mekanismenya dalam sistem
peradilan kita.
Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa dikatakan secara substansial
tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan karena kebenaran dan keadilan
tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang absolut dan putusan hakim yang takut
kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan. Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.
Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai persidangan,
termasuk detildetil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya yakin akan
mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat d i dalam tulisannya tersebut.
246
Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan kesimpulan yang sangat
berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media. Saya menduga Mahfud menjadi
salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi terhadap Anas, hal yang biasa
dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus ini ada kekuasaan besar yang
rajin bekerja.
Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan Mahfud terkait Anas dan kasus yang
dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada yang memang cenderung negatif. Hanya
sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, karena
pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya komentar positif itu kembali
“dinetralkan” oleh Mahfud.
Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah
yang dikaitkan dengan Anas dan masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK. Saya pernah
menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut kepada Anas.
Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan
pernyataanpernyataan negatif dari seniornya itu.
“Anggap saja itu cara senior memplonco yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan
banyak berkahnya,” begitu jawabannya. Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren
Sawit untuk meminta dukungan menjadi pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang
saja tetap didoakan baikolehAnas. Itulahsikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang
lain.
Anas adalah orang yang “abnormal” dan kerap bikin gregetan temantemannya. Tidaklah penting
untuk meneliti mengapa senior Mahfud cenderung negatif terhadap yuniornya, Anas. Boleh jadi
banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda politik pada 2014, di mana Ma hfud
serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres. Anas pun didakwa oleh KPK karena
mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan yang disebut Anas sebagai imajiner.
Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah kalau Mahfud dan Anas mau ber-
mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus hukum yang belum berkekuatan
hukum tetap itu. Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah
misteri”. Bisa diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait
perubahan cepat yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan
jalannya sendiri. Wallahu a’lam.
Gaya Diplomasi Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras dengan
gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.
247
Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya
terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negaranegara lain.
Dalam beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia,
Singapura, Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan
yang diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat. Di masa pemerintahan Joko Widodo
(Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat.
Sejak awal masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih
keras dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan
bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan. Dalam
kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa
tegas.”
Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang ilegal,
Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi
tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-harga ikan di
pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai terbatas.
Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan untuk
tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk membunuh
terpidana itu melalui hukuman mati. Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman
mati ternyata menimbulkan reaksi keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman
mati, bahkan termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.
Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke masyarakat dan seperti di masa
pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan tindakan keras mulai dari
pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik. Presiden Jokowi tampaknya
akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan berbeda dengan gaya diplomatik
SBY.
Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan negaranegara yang tengah bermasalah dengan
kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter
dan kepribadian masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap
negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat dipengaruhi
karakter, budaya, dan politik masing-masing.
Namun yang lebih penting gaya diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang
negara tersebut dalam kompetisi di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak h anya
merebutkan akses pasar ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM)
dan demokrasi. Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang
hadir dalam Konferensi G-20 di Australia tahun lalu.
Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa, Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS
Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper
memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan, dan menukik langsung kepada Rusia atas
masalah yang terjadi di Ukrania.
Mereka bicara langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin
tentang keterlibatan Rusia dalam konflik Ukrania. Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di
248
suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden
Putin menghampiri Stephen Harper dan mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess
I’ll shake your hand but I have only one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.”
(Saya kira saya akan menjabat tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat
kaki dari Ukraina). Ucapan dan tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat
kaki sebelum konferensi itu berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat
keletihan. Namun semua tahu bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan
dipermalukan dalam konferensi itu.
Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara -negara
untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut
negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan
sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk memenuhi
psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah keadaan yang
konfrontatif.
Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya
pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi -situasi
tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin dan Eropa
yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk di dalam
forum-forum internasional yang akan dihadirinya.
Presiden Jokowi harus berani membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara
tersebut. Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan
Indonesia dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden
Jokowi memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan
memperbaiki situasi.
Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan etik atau
norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda dengan
ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-negara di
Timur Tengah.
Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan warga
negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu bergerak di
balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun masyarakat.