38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekalipun pungutan pajak sudah diatur dalam perundang-undangan perpajakan, harus diakui dan dipahami bahwa segala sesuatunya tidak selalu berjalan sesuai dengan proses hukum yang diinginkan kedua belah pihak, baik pemerintah selaku pemungut pajak maupun masyarakat yang terkena pajak. Umumnya sengketa pajak itu terjadi disebabkan adanya perbedaan pendapat terhadap tanggal surat pemberitahuan, dan perbedaan lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah wajib pajak dan pemahaman hak dan kewajiban dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindarkan akan timbulnya sengketa perpajakan yang memerlukan proses penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan sederhana. Dalam rangka menyelesaikan sengketa pajak yang umumnya berawal dari upaya hukum wajib pajak, pemerintah membentuk Pengadilan Pajak sebagai tempat penyelesaian sengketa perpajakan. penyelesaian sengketa perpajakan melalui lembaga yang dibentuk pemerintah atau yang diatur di dalam perundang-undangan perpajakan, menjadi cara bijak yang 1

Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekalipun pungutan pajak sudah diatur dalam perundang-undangan

perpajakan, harus diakui dan dipahami bahwa segala sesuatunya tidak selalu

berjalan sesuai dengan proses hukum yang diinginkan kedua belah pihak, baik

pemerintah selaku pemungut pajak maupun masyarakat yang terkena pajak.

Umumnya sengketa pajak itu terjadi disebabkan adanya perbedaan pendapat

terhadap tanggal surat pemberitahuan, dan perbedaan lainnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah wajib pajak dan pemahaman

hak dan kewajiban dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tidak

dapat dihindarkan akan timbulnya sengketa perpajakan yang memerlukan proses

penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan sederhana. Dalam rangka

menyelesaikan sengketa pajak yang umumnya berawal dari upaya hukum wajib

pajak, pemerintah membentuk Pengadilan Pajak sebagai tempat penyelesaian

sengketa perpajakan. penyelesaian sengketa perpajakan melalui lembaga yang

dibentuk pemerintah atau yang diatur di dalam perundang-undangan perpajakan,

menjadi cara bijak yang bisa dilakukan agar keadilan dan kepastian dalam proses

pemungutan pajak tetap berjalan dengan baik.

Oleh karenanya, dalam makalah ini, penulis akan menguraikan Pengadilan

Pajak dan penyelesaian sengketa perpajakan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalahnya ialah

“Bagaimana sistematika penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pajak?”

1

Page 2: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Hukum Pajak. Selain itu pula, penulis berharap semoga makalah ini dapat

memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Di samping bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, makalah ini

juga dibuat guna menambah pengetahuan serta memperluas wawasan penulis

mengenai penyelesaian sengketa pajak dan Pengadilan Pajak dan agar makalah ini

dapat diijadikan referensi bagi para pembaca.

2

Page 3: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sengketa Pajak

Definisi sengketa pajak terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak, yang saat ini digunakan sebagai dasar hukum

penyelesaian sengketa pajak pada tingkat banding dan gugatan. Undang-undang

tersebut Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang

timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang

berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding

atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-

undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan

Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Ada dua cara menyelesaiakan sengketa pajak, pertama melalui upaya

hukum administrasi dan kedua melalui jalur pengadilan. Upaya hukum

administrasi dilakukan agar wajib pajak dapat memperoleh keadilan. Dalam

menerbitkan surat ketetapan pajak, Direktorat Jenderal Pajak bisa saja keliru.

Misalnya keliru dalam hal tulisan, pengenaan tarif, atau yang lainnya. Oleh

karenanya, perundang-undangan mengatur soal pembetulan. Kekeliruan yang

terjadi dapat diselesesaikan dengan cara pembetulan dan dengan mengajukan

keberatan. Upaya hukum pembetulan dan keberatan merupakan upaya hukum

administrasi. Namun dalam makalah ini, kami hanya akan membahas upaya

hukum administrasi melalui keberatan.

Sengketa pajak yang bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan meliputi

banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Hal ini diberlakukan sama, baik untuk

pajak pusat maupun pajak daerah. Dengan dibukanya penyelesaian sengketa pajak

melalui peradilan pajak diharapkan tercipta keseimbangan hak antara wajib pajak

dan fiskus dalam penetapan pajak, yang pada akhirnya diharapkan dapat

mewujudkan keadilan dalam pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak.

3

Page 4: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

B. Sanksi Pajak

Wajib pajak yang terbukti bersalah atau melanggar ketentuan dalam

perundang-undangan perpajakan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang

tercantum dalam Undang-undang KUP. Secara garis besar, pengenaan sanksi

pajak ini ada dua, yaitu pertama, sanksi administrasi karena Wajib Pajak

melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif. Dan kedua, sanksi

pidana karena Wajib Pajak melanggar ketentuan-ketentua pidana. Pelanggaran ini

akan menentukan berat ringannya sanksi yang akan diberikan.

Wajib Pajak biasanya akan dikenakan sanksi administrasi karena

melanggar hal-hal seperti tidak atau terlambat menyampaikan Surat

Pemberitahuan Tahunan maupun Surat Pemberitahuan Masa, terlambat membayar

besarnya pajak terutang ke bank sesuai batas waktu yang ditentukan.

a. Sanksi Administrasi Denda

Sanksi denda diatur dalam 10 Pasal KUP, yaitu sebagai berikut:

1. Sanski sebesar Rp 500.000 dan 1.000.000 yang diatur dalam Pasal 7

ayat (1) Undang-undang KUP. Sanksi sebesar Rp 500.000 dikenakan

apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa

Pajak Pertambahan Nilai. Sebesar Rp 100.000 apabila Wajib Pajak

tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa lainnya dan Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Pengahasilan Wajib Pajak Orang

Pribadi. Dan sebesar Rp 1.000.000 apabila Wajib Pajak tidak

menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Badan.

2. Sanksi sebesar 150% yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-

undang KUP. Sanksi ini dikenakan Wajib Pajak yang telah dilakukan

tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan

mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. Terhadap ketidakbenaran

perbuatan Wajib Pajak tersebut, tidak akan dilakukan penyidikan,

apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapan

4

Page 5: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan pembayaran jumlah

pajak berserta sanksi administrasi denda sebesar 150% dari jumlah

pajak yang kurang dibayar.

3. Sanksi sebesar 50% yang diatur dalam Pasal 25 ayat (9). Sanksi

sebesar 50% dikenakan dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau

dikabulkan sebagian. Denda dihitung dari jumlah pajak berdasarkan

keputusan keberatan dikurangi denda pajak yang telah dibayar sebelum

mengajukan keberatan.

4. Sanksi sebesar 100% yang diatur dalam Pasal 27 ayat (5d). Sanksi

sebesar 100% dikenakan dalam hal permohonan banding Wajib Pajak

ditolak atau didahulukan sebagian. Denda dihitung dari jumlah pajak

berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pajak yang telah

dibayar sebelum mengajukan keberatan.

5. Sanksi sebesar 1 kali dan paling banyak 2 kali yang diatur dalam Pasal

36 Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling sedikit satu kali dan

paling banyak dua kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar

yang dikenakan apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana pajak

karena kealpaannya.

6. Sanksi sebesar 2 kali atau paling banyak 4 kali yang diatur dalam Pasal

39 ayat (1) Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling sedikit 2 kali

dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar

dikenakan apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana pajak karena

kesengajaannya. Sanksi ini merupakan akumulasi dengan sanksi

pidana berupa penjara.

7. Sanksi sebesar 2 kali dan paling banyak 6 kali yang diatur dalam Psal

39 A Undang-undang KUP. Sanksi sebesar 2 kali atau paling banyak 6

kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Denda ini

dikenakan apabila Wajib Pajak sengaja menerbitkan atau

menggunakan faktur pajak, yang tidak berdasarkan yang sebenarnya

dan juga belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

8. Sanksi sebesar paling banyak Rp 25 juta.

5

Page 6: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Diatur dalam Pasal 41 A Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling

banyak Rp 25 juta dikenakan apabila seseorang dengan sengaja tidak

memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukit

yang tidak benar. Sanksi denda ini dibarengi dengan pidana kurungan

paling lama 1 tahun.

9. Sanksi paling banyak Rp 75 juta yang diatur dalam Pasal 41 B

Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling banyak Rp 75 juta

dikenakan apabila seseorang dengan sengaja menghalangi atau

mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Sanksi

denda ini dibarengi dengan penjara paling lama 3 tahun.

10. Sanksi paling banyak Rp 1 miliar yang diatur dalam Pasal 41 C

Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling banyak Rp 1 miliar

dikenakan apabila seseorang dengan sengaja tidak memenuhi

kewajiban memberikan data sebagaimana diatur dalam Pasal 35 A ayat

(1) Undang-undang KUP. Sanksi denda ini dibarengi dengan pidana

kurungan paling lama satu tahun.

11. Sanksi sebanyak 4 kali jumlah pajak terutang yang diatur dalam Pasal

44 B Undang-undang KUP. Sanksi sebesar 4 kali jumlah pajak yang

tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan

dikenakan apabila Wajib Pajak akan dihentikan proses penyidikan

tindak pidana di bidang perpajakan.

b. Sanksi Administrasi Bunga

Sanksi administrasi berupa bunga diatur dalam 12 pasal. Hampir semua

pasal tersebut menyebutkan sanksi bungan sebesar 2% per bulan. Ketentuan

sanksi bunga tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal Wajib Pajak membetulkan

sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak

menjadi lebih besar. Bunga diitung sejak saat penyampaian Surat

Pemberitahuan terakhir sampai dengan tanggal pembayaran.

6

Page 7: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

2. Sanksi bunga 20% per bulan dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal Wajib Pajak membetulkan

sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak

menjadi lebih besar. Bunga diitung sejak jatuh tempo pembayaran

sampai dengan tanggal pembayaran.

3. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal pembayaran atau penyetoran

pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak

yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak. Bunga dihitung dari

tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran.

4. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 9 ayat (2b) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal pembayaran atau penyetoran

pajak dilakukan setelah jatuh tempo penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan. Bunga dihitung dari berakhirnya batas waktu

penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal

pembayaran.

5. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 13 Ayat (2) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal terdapat kekurangan pembayaran

pajak yang terutang dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar). Bunga dihitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa

pajak dan paling lama 24 bulan.

6. Sanksi bunga 48% dalam Pasal 13 Ayat (5). Sanksi ini dikenakan

apabila wajib pajak setelah jangka waktu lima tahun dipidana karena

melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain

yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

7. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 14 Ayat (3) Undang-undang

KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal terdapat kekurangan pajak yang

terutang dalam Surat Tagihan Pajak yaitu kekurangan pembayaran PPh

tahun berjalan dan adanya hasil penelitian akibat salah tulis dan atau

salah hitung. Bunga dihitung sejak terutangnya pajak sampai

diterbitkannya STP dan paling lama 24 bulan.

7

Page 8: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

8. Sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang diatur dalam Pasal

14 Ayat (4) Undang-undang KUP. Sanksi dikenakan yaitu pertama,

terhadap pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

Pajak (PKP) tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur

pajak tetapi tidak tepat waktu. Kedua, terhadap PKP yang tidak

mengisi faktur pajak dengan lengkap. Dan ketiga, terhadap PKP yang

tidak melaporkan faktur pajak sesuai dengan masa penerbitan faktur

pajak.

9. Sanksi 2% per bulan dalam Pasal 14 Ayat (5) Undang-undang KUP.

Sanksi ini dikenakan terhadap PKP yang gagal berproduksi dan telah

diberikan pengembalian Pajak masukan. Bunga dihitung dari jumlah

pajak yang ditagih kembali yaitu dari tanggal penerbitan Surat

Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan

tanggal penerbitan STP.

10. Sanksi bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar

dalam Pasal 15 Ayat (4) Undang-undang KUP. Sanksi ini dikenakan

apabila terhadap wajib pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar Tambahan (SKPKBT).

11. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 19 ayat (2). Sanksi ini

dikenakan terhadap wajib pajak yang mengangsur atau menunda

pembayaran pajak. Bunga dihitung dari jumlah pajak yang masih harus

dibayar.

12. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 19 ayat (3). Sanksi ini

dikenakan terhadap wajib pajak yang menunda penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak

yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang.

Bunga dihitung dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya

kekurangan pajak.

8

Page 9: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

c. Sanksi Administrasi Kenaikan

Sedikitnya ada delapan ketentuan dalam KUP yang mengatur sanksi

administrasi berupa kenaikan. Sanksi ini merupakan sanksi yang cukup berat

secara nominal atau jumlah jika itu harus ditanggung oleh wajib pajak. Berikut

ketentuannya:

1. Sanksi kenaikan sebesar 50% diatur dalam Pasal 8 ayat (5). Sanksi ini

dikenakan terhadap pajak yang kurang dibayar akibat pengungkapan

ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. Sanksi kenaikan

dihitung dari pajak yang kurang bayar.

2. Sanksi kenaikan sebesar 50% diatur dalam Pasal 13 ayat (13) huruf a.

Sanksi ini dikenakan terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau

kurang dibayar dalam satu tahun pajak, apabila berdasarkan hasil

pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang tidak atau kurang

dibayar.

3. Sanksi kenaikan sebesar 100% yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3)

huruf b. Sanksi ini dikenakan atas PPh yang tidak atau kurang

dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan

dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor. Apabila

berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang

tidak atau kurang dibayar.

4. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c.

Sanksi ini dikenakan atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang

dibayar, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,

pajak terutang tidak atau kurang dibayar.

5. Sanksi kenaikan sebesar 200% diatur dalam Pasal 13A. Sanksi ini

dikenakan apabila wajib pajak karena kealpaannya tidak

menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat

Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga

menimbulkan kerugian pada Pendapatan Negara.

9

Page 10: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

6. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 15 ayat (2). Sanksi

ini dikenakan bila diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan.

7. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 17c ayat (5). Sanksi

ini dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan surat

ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan

kelebihan pajak dari wajib pajak dengan kriteria tertentu. Wajib pajak

yang digolongkan memenuhi kriteria tertentu adalah wajib pajak yang

tepat waktu dalam menyampaikan Surat, tidak punya tunggakan untuk

semua jenis pajak kecuali tunggakan yang sudah mempunyai izin

mengangsur atau menunda pembayaran pajak, tidak pernah dipidana

karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dengan

keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka

waktu lima tahun terakhir.

8. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 17d ayat (5). Sanksi

ini dikenakan berdasarkan pada hasil pemeriksaan, diterbitkan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). SKPKB diterbitkan setelah

dilakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak dari wajib pajak yang memenuhi persyaratan

tertentu.

C. Penyelesaian Sengketa melalui Keberatan

Keberatan yang bisa diajukan oleh wajib pajak menciptakan keseimbangan

antara wajib pajak dan fiskus atau pejabat yang berwenang serta menjamin wajib

pajak terhindar dari kesewenangan fiskus. Penetapan pajak yang dilakukan fiskus

masih bisa ditanggapi oleh wajib pajak. Bila memberatkan, wajib pajak dapat

menggunakan lembaga keberatan ini untuk protes. Dengan demikian, penetapan

pajak masih bisa ditinjau kembali apabila wajib pajak bisa menunjukan bukti

bahwa penetapan pajak tersebut tidak benar.

10

Page 11: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Dalam KUP dijelaskan bahwa Surat Keputusan Keberatan adalah surat

keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap

pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan wajib pajak. Jadi

dapat dipahami bahwa keberatan adalah sengketa yang timbul antara wajib pajak

dengan pejabat pajak mengenai penetapan besarnya pajak yang terutang.

Lebih jelas lagi, Pasal 25 ayat (1) Undang-undang KUP menyatakan wajib

pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas suatu:

a. Surat Ketetepan Pajak Kurang Bayar,

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil,

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,

e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, wajib pajak akan

mengajukan upaya hukum melalui keberatan. Periode Januari-September 2010

terdapat sebanyak 6.500 keberatan yang diajukan wajib pajak di seluruh

Indonesia. Pada tahun 2008 mencapai 20.000 keberatan dan tahun 2009 mencapai

13.000 keberatan.1 Jumlah sengketa yang tidak sedikit ini menjadi alert bagi kita

semua untuk lebih serius dalam perpajakan.

Syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dalam

mengajukan keberatan, di antaranya ialah2:

a. Diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah

pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah

rugi menurut perhitungan wajib pajak disertai alasan yang menjadi dasar

perhitungan.

b. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat

ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak 1 Detikfinance.com. Sebagaimana dikutip pula oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 72.2 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 72.

11

Page 12: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

kecuali wajib pajak dapat menunjukan jangka waktu tersebut tidak dapat

dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Keadaan di luar kekuasaan

wajib pajak meliputi bencana, alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan

massal, diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang

mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam

surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang

diterbitkan sebagai hasil Persetujuan Bersam; atau keadaan lain

berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

c. Wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar sejumlah yang telah

disetujui wajib pajak dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, sebelum

keberatan disampaikan.

d. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau

pemotongan/pemungutan pajak.

Atas permohonan keberatan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak harus

memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)

bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 26

ayat (2) Undang-undang KUP. Namun, sebelum keputusan diterbitkan, wajib

pajak masih dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis kepada

Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak selanjutnya membuat keputusan

atas keberatan yang dapat berupa: (i) mengabulkan seluruhnya atau sebagiannya,

(ii) menolak, atau (iii) menambah besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.

Ketentuan tentang keberatan diatur dalam beberapa Undang-undang pajak,

yaitu Undang-undang KUP, Undang-undang PBB, Undang-undang BPHTB, dan

Undang-undang PDRD. Pengaturan keberatan pada pajak pusat diatur dalam tiga

Undang-undang yang disesuaikan dengan jenis pajak pusat yang diajukan

keberatan. Sedangkan untuk jenis pajak daerah keberatan diatur dalam Undang-

undang PDRD dan peraturan daerah yang memberlakukan pajak daerah di

provinsi, kabupaten, atau kota.3

3 Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 193.

12

Page 13: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

D. Pengadilan Pajak

Sejak tahun 1998, BPSP sudah ditetapkan menjadi Badan Pengadilan

Sengketa Pajak. Namun, BPSP ini belum menjadi Badap Peradilan yang

berpuncak di Mahkamah Agung. Kedudukannya berada di luar sistem peradilan

(kekuasaan kehakiman), tepatnya di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karenanya,

BPSP diubah menjadi Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002.

Kedudukannya menjadi berada di dalam sistem peradilan, tepatnya di bawah

kekuasaan yudikatif.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan

terhadap sengketa pajak. Pengadilan Pajak berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa pajak. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat

pertama dan terakhir dalam kewenangannya tersebut. Konsekuensinya, hanya

Pengadilan Pajaklah yang bisa memutus sengketa perpajakan. Putusannya tidak

dapat diajukan gugatan ke pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, atau

badan peradilan lainnya.

Pasal 10 ayat (2) Undang-undang yang sama di atas dinyatakan pula

bahwa Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata

usaha negara. kemudian, dalam Undang-undang yang sama, Pasal 25 ayat (1)

dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu

lingkungan peradilan sebagaimana dimaksus dalam Pasal 10 tersebut. Pasal 15

ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak adalah salah satu pengadilan

khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur

dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Oleh karenanya, pengadilan pajak

ini memenuhi persyaratan sebagai pengadilan administrasi murni, putusan

Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang bersifat final yang mempunyai

kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk dilakukan

13

Page 14: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Peninjauan kembali ke Mahkamah

Agung merupakan upaya hukum luar biasa, Mahkamah Agung akan menilai

aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta

yang mendasari sengketa perpajakan.

Menurut Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat dalam bukunya Hukum

Pajak dan Permasalahannya, Undang-undang merupakan produk politik,

sehingga ia tidak bebas dari kepentingan suatu kelompok. Hal ini dapat dilihat

dari Undang-undang Pajak yang telah mereduksi fungsi kontrol Mahkamah

Agung sebagai yudikatif, khususnya dalam tugas dan wewenang pemeriksaan

penerapan hukum (kasasi) terhadap tindakan pemerintah (Dirjen Pajak) dalam

menetapkan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan

Pajak.4

Menurut Tjia Siauw Jan dalam bukunya Pengadilan Pajak: Upaya

Kepastian Hukum dan Keadilan bagi Wajib Pajak, terjadi dualisme dalam

pembinaan Pengadilan Pajak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun

2002 mengatur dengan tegas bahwa pembinaan secara teknis Pengadilan Pajak

dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi Pasal 5 Ayat (2) disebutkan bahwa

pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak

dilakukan oleh Departemen Keuangan.5 Namun, penulis tidak akan membahas

dua persoalan tentang Pengadilan Pajak tersebut secara mendalam dalam makalah

ini.

Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak mewajibkan

kehadiran terbanding dan tergugat, sedangkan untuk pemohon banding atau

penggugat tidak diwajibkan untuk menghadiri persidangan, kecuali jika dipanggil

oleh hakim dengan dasar alasan yang cukup jelas. Pengadilan pajak yang diatur

dalam Undang-undang Pengadilan Pajak bersifat khusus menyangkut acara

penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan ialah sebagai berikut6:

4 Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Jakarta: Refika Aditama, 2004), hal. 114.5 Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak: Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan bagi Wajib Pajak, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2013), hal. 96 Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 210-211.

14

Page 15: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

a. Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka,

namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan

pemohon Banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup,

sedangkan pembacaan putusan hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan

dalam sidang terbuka untuk umum.

b. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim

khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah

sarjana Hukum atau sarjana lain.

c. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut

sengketa perpajakan.

d. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari

wajib pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib

pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak

terutang yang dikenakan kepadanya. Sehingga akibat jenis putusan

Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan

pada Pengadilan Pajak, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan

seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam undang-

undang Pengadilan Pajak diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan

Pengadilan Pajak.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002, Pengadilan

Pajak dibentuk dengan berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia. Sidang

Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila di pandang perlu

dapat dilakukan di tempat lain.

Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari pimpinan, hakim anggota,

sekretaris, dan panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang ketua dan

paling banyak lima orang ketua. Wakil ketua dapat lebih dari satu didasarkan pada

jumlah sengketa pajak yang harus diselesaikan. Apabila sengketa pajak sudah

tidak memungkinkan untuk ditangani oleh satu wakil ketua, diperlukan lebih dari

satu wakil ketua. Tugas tiap wakil ketua akan disesuaikan dengan jenis pajak,

wilayah kantor perpajakan, dan atau sengketa pajak.

15

Page 16: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Hakim Pengadilan Pajak diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon

yang diusulkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan Mahkamah

Agung. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak diangkat oleh Presiden dari

hakim Pengadilan Pajak yang diusulkan Menteri Keuangan setelah mendapat

persetujuan dari Mahkamah Agung. Ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan

Pajak adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di

bidang sengketa pajak.

Kepaniteraan dalam Pengadilan Pajak dipimpin oleh seorang panitera dan

dibantu oleh seorang wakil panitera dan beberapa orang panitera pengganti.

Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur

bahwa upaya hukum yang dapat diajukan oleh Wajib Pajak yaitu gugatan,

banding, dan peninjauan kembali. Upaya hukum gugatan dan banding diajukan ke

Pengadilan Pajak, sedangkan upaya hukum peninjauan kembali diajukan ke

Mahkamah Agung.

E. Banding

Pasal 27 Undang-undang KUP mengatur bahwa Banding adalah upaya

hukum atas Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan oleh Direktur

Jenderal Pajak. Sedangkan, Pasal 1 angka 6 Undang-undang Pengadilan Pajak

mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib

Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan

Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku.

Artinya, apabila wajib pajak merasa tidak memperoleh keadilan atas keputusan

keberatan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak dapat mengajukan

upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak.

Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002

mengatur syarat-syarat untuk dapat mengajukan banding, sebagai berikut:

16

Page 17: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

a. Diajukan dengan Surart Banding dalam Bahasa Indonesia.

b. Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang

dibanding. Jangka waktu dimaksud tidak mengikat karena keadaan di luar

kekuasaan pemohon banding.

c. 1 (satu) surat banding untuk 1 (satu) keputusan, dengan disertai alasan

yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang

dibanding. Juga dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding.

d. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang

terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang yang

dimaksud telah dibayar sebesar 50%.

Namun, ketentuan yang terakhir telah dihapus oleh Undang-undang KUP.

Pasal 27 ayat (5c) Undang-undang tersebut mengatur bahwa jumlah pajak yang

belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak

yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Jadi, persyaratan

membayar 50% tidak lagi menjadi syarat yang harus dipenuhi wajib pajak.

Pemohon banding dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada

Pengadilan Pajak atas banding yang telah diajukannya. Pencabutan banding dapat

diajukan atas banding yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan

pemeriksaan. Banding yang dicabut tersebut akan dihapus dari daftar sengketa

dengan dua cara, yaitu:

a. Melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak, dalam hal surat pernyataan

pencabutan banding diajukan sebelum sidang dilaksanakan.

b. Melalui putusan majelis atau hakim tunggal, dalam hal surat pernyataan

pencabutan banding diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Pasal 105 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah diatur bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan

banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai

keberatannya yang ditetapkan oleh kepala daerah. Syarat-syarat untuk dapat

mengajukan banding Pajak Daerah sama dengan syarat-syarat yang diatur untuk

pajak pusat.

17

Page 18: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Contoh kasus: untuk tahun pajak 2008, terhadap wajib pajak PT. A

diterbitkan SKPKB dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp

1.000.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, wajib pajak hanya

menyetujui pajak yang harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib pajak

telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan

kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Pajak

mengabulkan sebagian keberatan wajib pajak dengan jumlah pajak yang masih

harus dibayar sebesar Rp 750.000.000,00. Selanjutnya wajib pajak mengajukan

permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang

harus dibayar menjadi sebesar Rp 450.000.000,00. Wajib pajak dikenai sanksi

berupa denda sebesar 100% × (Rp 450.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) = Rp

250.000.000,00. Dengan demikian pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib

pajak adalah Rp 600.000.000,00. Karena wajib pajak sudah membayar pajak

terutang sebesar Rp 200.000.000,00, wajib pajak hanya membayar pajak terutang

sebesar Rp 400.000.000,00.

Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, ketentuan pengenaan

sanksi administrasi denda kepada wajib pajak yang mengajukan banding tidaklah

tepat. Bahkan sangat aneh ketika seseorang mencari keadilan atas perhitungan

jumlah pajak, harus dikenakan sanksi denda 100% apabila bandingnya ditolak

atau diterima sebagian. Undang-undang tidak menjelaskan logika hukum mengapa

harus dikenakan denda sebesar 100% apabila bandingnya ditolak atau diterima

sebagian.7 Penulis sependapat dengan dua Guru Besar perpajakan Universitas

Indonesia ini.

F. Gugatan

Pasal 1 angka 7 Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa

gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak terhadap

pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan

gugatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Hak wajib pajak untuk

7 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 88

18

Page 19: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

mengajukan gugatan diatur dalam Undang-undang KUP untuk semua jenis pajak

pusat.

Hal-hal yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak diatur dalam

Pasal 23 ayat (2) Undang-undang KUP, yaitu sebagai berikut:

a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau

Pengumuman Lelang;

b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,

selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

d. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang

dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang

telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Gugatan dimaksudkan untuk memberikan hak kepada wajib pajak untuk

mengajukan gugatan dalam hal penagihan pajak, yang meliputi pelaksanaan Surat

Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. Pasal

37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 menegaskan lebih lanjut bahwa

keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat

diajukan gugatan meliputi keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak

selain:

a. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur

atau tata cara penerbitan;

b. Surat Keputusan Pembetulan;

c. Surat Keputusan Keberbatan yang penerbitannya telah sesuai dengan

prosedur atau tata cara penerbitan;

d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;

e. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;

f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;

g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;

h. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;

19

Page 20: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Pajak ialah sebagai berikut:

a. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.

b. Jangka waktu gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak 14 (empat

belas) sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Sedangkan untuk gugatan

terhadap keputusan selain gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak

30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Jangka

waktu tersebut tidak mengikat apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan

penggugat dan dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak

berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Apabila dalam jangka

waktu tersebut wajib pajak tidak mengajukan gugatan, hak wajib pajak

untuk menggugat dinyatakan gugur.

c. 1 (satu) Surat Gugatan untuk 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)

Keputusan.

Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,

atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan

tanggal diterima pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan yang digugat dan

dilampiri salinan dokumen yang digugat.

Penggugat dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada

Pengadilan Pajak atas gugatan yang telah diajukannya. Pencabutan gugatan dapat

diajukan atas gugatan yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan

pemeriksaan. Gugatan yang dicabut tersebut akan dihapus dari daftar sengketa

dengan dua cara, yaitu:

c. Melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak, dalam hal surat pernyataan

pencabutan gugatan diajukan sebelum sidang dilaksanakan.

d. Melalui putusan majelis atau hakim tunggal, dalam hal surat pernyataan

pencabutan gugatan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.

G. Peninjauan Kembali

20

Page 21: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terakhir yang

dapat diajukan baik oleh wajib pajak maupun oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Upaya hukum peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung setelah ada

putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak. Artinya, Mahkamah Agung

akan melakukan pemeriksaan ulang atas putusan Pengadilan Pajak yang

dimohonkan peninjauan kembali oleh wajib pajak atau oleh Direktorat Jenderal

Pajak.

Upaya peninjauan kembali hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan

yang sudah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, yakni sebagai

berikut:

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau

tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau

didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan

palsu.

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,

yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan

menghasilkan putusan yang berbeda.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada

yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b

dan huruf c.

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya.

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain alasan-alasan di atas, syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat

mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah dilakukan dalam jangka

waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau

tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan

hukum tetap. Atau 3 (tiga bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang

21

Page 22: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan

oleh pejabat yang berwenang. Atau 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.8

Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan

kembali dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali

diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil

putusan melalui pemeriksaan acara biasa;

b. dalam jangka waktu satu bulan sejak permohonan peninjauan kembali

diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil

putusan melalui pemeriksaan acara cepat; dan

c. putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal 1

angka 5 menyatakan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam

8 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 91

22

Page 23: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan

kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,

termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Ada dua cara menyelesaiakan sengketa pajak, pertama melalui upaya

hukum administrasi dan kedua melalui jalur pengadilan. Salah satu bentuk upaya

hukum administrasi adalah dengan mengajukan keberatan. Dalam KUP dijelaskan

bahwa Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap

surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak

ketiga yang diajukan wajib pajak. Jadi dapat dipahami bahwa keberatan adalah

sengketa yang timbul antara wajib pajak dengan pejabat pajak mengenai

penetapan besarnya pajak yang terutang.

Sengketa pajak yang bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan meliputi

banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Pasal 27 Undang-undang KUP

mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum atas Surat Keputusan Keberatan

yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan, Pasal 1 angka 6

Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum

yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu

keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-

undangan perpajakaan yang berlaku.

Pasal 1 angka 7 Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa

gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak terhadap

pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan

gugatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Upaya hukum

Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terakhir yang dapat diajukan baik

oleh wajib pajak maupun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Upaya hukum

peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung setelah ada putusan yang

dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak.

23

Page 24: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Daftar Pustaka

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

24

Page 25: Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan

Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media,

2012).

Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal,

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).

Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya,

(Jakarta: Refika Aditama, 2004).

Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak: Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan bagi

Wajib Pajak, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2013).

25