Upload
lbh-masyarakat
View
53
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte
oleh Christina W
Pertemuan pertamaku dengan Rodrigo Gularte, warga negara Brasil di Lapas
Pasir Putih, Nusakambangan terjadi pada pertengahan bulan Februari 2009, ketika
aku mengikuti pelayanan Romo Carolus, O.M.I. di Lapas itu. Saat kami saling
memperkenalkan diri, Rodrigo sangat sopan, sederhana, dan terlihat yang paling
muda diantara narapidana lainnya dalam ruang Kapel - tempat beribadat bagi
narapidana Katolik dan Kristen – di lingkungan Lapas Pasir Putih tersebut.
Pada bulan-bulan berikutnya, pada keikutsertaan saya dalam pelayanan Rm.
Carolus, O.M.I. - setiap hari Rabu minggu ketiga - makin terbiasa saya melihat
ketidaknormalan pada diri Rodrigo. Sering sekali saya melihat dia berbicara sendiri
dengan tembok di sebelah kiri ataupun kanannya, baik sebelum maupun setelah
Misa terlaksana dalam Kapel itu. Ketika saya sapa, Rodrigo sangat komunikatif,
sopan, dan sangat murah senyum kepada siapapun. Setiap kali setelah saya selesai
berkomunikasi dengan dia dan kemudian melihat dia berbicara sendiri, saya selalu
berdoa untuk dia, “Tuhan kasihanilah dia dan jagalah dia selalu dalam Lapas Pasir
Putih ini, karena dia sangat menderita dengan kondisinya itu. Amin”.
Perkenalan saya dengan Rodrigo akhirnya membuat saya juga berkenalan
dengan keluarganya, yaitu dengan ibu serta kakak perempuannya, Adriana, ketika
mereka sedang berkunjung ke Lapas Pasir Putih. Kami sempat berfoto bersama di
dalam Kapel, tentu dengan seijin Petugas Lapas Pasir Putih, karena sedang ada
acara bersama ketika itu.
Pada awal Februari 2015, saya juga mulai bersahabat sangat dekat dengan
Angelita Aparecida Muxfeldt, lebih akrab dipanggil Angelita, saudara sepupu
Rodrigo. Tepatnya, setelah diketahui bahwa nama Rodrigo masuk dalam daftar 10
terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahap II yang belum jelas kapan
pelaksanaannya itu.
Persahabatanku dengan Angelita membuat aku menjadi salah satu kuasa
hukum/pengacara dari tim kuasa hukum Rodrigo Gularte1 melalui Angelita sebagai
sepupu Rodrigo, dengan surat kuasa tertanggal 12 Maret 2015. Setelah Angelita
mencabut kuasanya pada pengacara yang lama.
Sebagai bagian dari tim kuasa hukum/pengacara Rodrigo, saya yang
kebetulan berdomisili di Cilacap, bisa dengan mudahnya membezuk Rodrigo di
Lapas Pasir Putih, Nusakambangan pada setiap hari Selasa dan Kamis bersama-
sama Angelita. Setiap kali kami berdua besuk, baru bisa bertatap muka dengan
Rodrigo pada sekitar jam 11.00, karena harus melewati tahap-tahap pemeriksaan
sejak di Pelabuhan Wijayapura hingga Lapas Pasir Putihnya. Bersama-sama
Angelita, kami mulai bekerja keras memperjuangkan supaya Rodrigo tidak
dieksekusi pada rencana pelaksanaan eksekusi tahap II.
Kesedihan, ketakutan serta ketegangan sudah mulai dirasakan oleh keluarga
dari 10 terpidana mati yang masuk dalam daftar para terpidana mati yang akan
dieksekusi pada tahap II.
Segala upaya advokasi untuk mencegah pelaksanaan eksekusi bagi Rodrigo
mulai kami (tim pengacara, Angelita dan Perwakilan Kedutaan Brasil) lakukan
dengan gencarnya sejak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengumumkan nama-
nama para Narapidana yang masuk tahap II. Sebagai salah satu bukti kuat yang
kami peroleh dari keluarga (Angelita) dan bisa kami gunakan dalam advokasi kami
adalah hasil pemeriksaan psikiatri oleh tim dokter dari RSUD Cialacap (dr. Sri
Rahayu Hartini, Sp.KJ bersama Prof. DR.dr. H. Soewadi, MPH, SpKJ (K) pada hari
Selasa, 10 Februari 2015 pukul 09.00 hingga selesai terhadap Rodrigo Gularte (42
th) di Poliklinik LP. Pasir Putih, menyatakan bahwa pasien menunjukkan tanda-tanda
gangguan mental kronis dengan diagnosis Skizofrenia Paranoid dan DD: Gangguan
1 Tim kuasa hukum Rodrigo Gularte terdiri dari pengacara-pengacara dari LBH Masyarakat, Kontras, JPIC-OMI,
LAPDI, dan PJS.
bipolar dengan ciri psikotik. Kemudian disarankan oleh tim psikiatri agar Rodrigo
segera mendapatkan perawatan dan pengobatan psikiatri intensif di RS. Jiwa. Serta
bukti-bukti sangat penting lainnya dari Brasil, yang diupayakan oleh pihak keluarga
Rodrigo di Brasil.
Strategi advokasi kami yang pertama-tama adalah mengajukan permohonan
Pengampuan bagi Rodrigo di PN Cilacap, Angelita sebagai Pemohon Pengampu
bagi Rodrigo yang benar-benar menderita kelainan jiwa, sebenarnya sudah diderita
sejak dia masih remaja. Permohonan kami telah diterima dan dijadwalkan akan
disidangkan pada hari Rabu, 6 Mei 2015. Upaya permohonan grasi yang kedua dan
juga upaya mengajukan gugatan PTUN terhadap Keputusan Presiden RI No.5/G
Tahun 2015 juga telah dilakukan oleh kami selaku tim pengacara Rodrigo.
Seluruh upaya hukum tersebut sudah kami beritahukan kepada pihak
Kejagung, agar pelaksanaan eksekusi mati bagi Rodrigo ditunda terlebih dahulu,
karena pihak Kejagung haruslah menghargai upaya-upaya hukum yang sedang
dilakukan oleh pihak keluarga Rodrigo.
Rupanya, pihak Kejagung sama sekali tidak mempedulikan hal itu dan tetap
akan melaksanakan eksekusi mati bagi 10 narapidana yang seara resmi diumumkan
oleh Kejagung pada awal bulan April 2015. Rodrigo Gularte benar-benar ada dalam
daftar nama 10 terpidana mati tersebut dan akan segera dieksekusi di Pulau
Nusakambangan, Cilacap.
Tiba waktunya pihak Kejagung RI akan memberikan notifikasi kepada
kesepuluh terpidana mati tersebut. Hari Jumat, 24 April 2015, yang rencananya
Angelita bersama kami, tim pengacara, akan menemui Prof. Soewadi di Yogyakarta,
sehubungan dengan permohonan kami bahwa beliau akan kami minta menjadi saksi
ahli dalam persidangan permohonan pengampuan, terpaksa kami batalkan. Hal ini
harus dilakukan karena pihak Kedutaan Brasil diberitahu oleh pihak Kementrian Luar
Negeri RI bahwa perwakilan Kedutaan Brasil harus segera ke Cilacap untuk
mendampingi Rodrigo Gularte dan keluarganya. Kepada Angelita, perwakilan
Kedutaan Brasil (Bapak Leonardo M) mengatakan prosesnya sama seperti ketika
akan dilaksanakannya eksekusi terhadap sdr. Marco pada eksekusi tahap I, akhir
bulan Januari 2015.
Kekecewaan, ketakutan, kebingungan dan kepanikan sudah mulai dialami
baik oleh Angelita dan pihak Kedutaan Brasil, maupun kami selaku tim
pengacaranya sejak Kamis, 23 April 2015 malam hari.
Hari Sabtu, 25 April 2015 adalah hari yang paling tidak bisa kami lupakan dan
merupakan hari yang terberat dalam hidup saya sebagai manusia biasa. Kepedihan
serta ketakutan sudah jelas menyelimuti batin kami semua: perwakilan Kedutaan
Brasil (2 orang), Angelita, serta 5 orang tim pengacara Rodrigo berkumpul di Hotel
Dafam menunggu undangan dari Kejagung RI, segera berkumpul di Kejaksaaan
Negeri Cilacap, karena akan disampaikan notifikasi tentang pelaksanaan eksekusi
mati bagi 10 terpidana mati tersebut.
Bersama-sama semua perwakilan kedutaan-kedutaan, keluarga-keluarga
serta semua tim Pengacara dari 10 orang terpidana mati pada tahap ke II ini, pada
jam 12.00 kami sudah berkumpul di Kejaksaan Negeri Cilacap, untuk siap-siap
mendengarkan notifikasi tersebut. Ternyata diperintahkan hanya perwakilan dari
masing-masing kedutaan hanya 1 orang serta pengacaranya juga 1 orang saja yang
diijinkan masuk ke dalam ruangan yang telah disediakan. Di saat itulah, Angelita
meminta kesediaan saya untuk mewakili keluarga. Hati saya berdebar-debar
sebenarnya, ada ketidaksiapan secara mental serta kelelahan bathin yang sudah
berhari-hari mengalami tekanan dari pihak luar sejak menjadi pengacara Rodrigo.
Akan tetapi karena kepercayaan yang telah diberikan oleh Angelita sejak pertama
kali kami bersahabat itulah yang membuat saya mengatakan “ya” untuk menjawab
permintaan Angelita itu. Kalau boleh jujur, ketika itu saya sangat berharap Angelita
meminta Ricky sebagai koordinator tim pengacara untuk maju mewakili kami.
Sebelum masuk salah satu ruangan di Kejaksaan Negeri, saya sempatkan diri
mendekati Angelita hanya untuk mengatakan, “Angelita, please pray for me, I am
afraid.” Angelita menjawab, ”Yes, of course, Christina. I will pray for you. Don’t cry,
Christina. Please… for Rodrigo. You have to be strong!” Kemudian kami berpelukan
sejenak untuk saling menguatkan. Rupanya, di dalam ruangan kami masih harus
menunggu 2 jam lamanya tanpa ada kepastian kapan tim Kejagung akan datang
dan memberitahukan soal notifikasi itu.
Akhirnya pada pukul 14.00 lebih tim eksekutor yang didampingi pihak staf
Kementrian Luar Negeri RI serta para pejabat negara yang berwenang lainnya,
masuk ke dalam ruangan dan memberitahukan bahwa:
1. Pemberitahuan notifikasi pelaksanaan eksekusi akan disampaikan
pada hari ini juga, Sabtu, 25 April 2015 secara langsung kepada 10
terpidana mati di Lapas Besi dan masing-masing mereka hanya boleh
didampingi oleh 1 orang perwakilan kedutaan dan 1 orang pengacar.
Pihak keluarga tidak boleh mendampingi sama sekali. Oleh karena itu
kita semua akan segera berangkat ke Lapas Besi.
2. Pihak keluarga akan diberikan waktu khusus untuk bertemu dengan
para terpidana mati setelah notifikasi itu diterima oleh yang
bersangkutan.
3. Para pihak yang sudah diijinkan tersebut, pada poin 1 harus segera
melaporkan nama-namanya pada petugas. Akan disediakan
kendaraan khusus dengan pengawalan khusus dari pihak Kejagung
dan Kepolisian.
Dan tepat pukul 15.30 kami meninggalkan Kejaksaan Negeri Cilacap untuk
menuju ke Lapas Besi, Nusakambangan, dengan menggunakan kendaraan kami
masing-masing, karena koordinasi Kejagung mulai kelihatan tidak jelas dalam hal
kendaraan yang akan membawa kami tersebut. Sekali lagi Angelita memberikan
pelukan kepada saya sebelum saya berjalan menuju ke pos penjagaan, dengan
membisikkan kata-kata, “Don’t cry, Christina, and be strong for Rodrigo, okay?”
Tetapi saya tahu kepedihan hatinya, sama seperti yang sedang saya rasakan sejak
Rabu malam. Maka saya tidak bisa berkata apa-apa, hanya anggukan kepala sambil
menahan tangisku yang hampir meledak siang itu. Tiap langkah kakiku terasa amat
berat, kukatakan pada diriku dalam hati, “Christina, kamu harus kuat!” Akhirnya saya
(perwakilan tim pengacara), Pak Leonardo (wakil Atase Kedutaan Brasil) dan pak
Lukman (staf kedutaan) -pihak Kedutaan Brasil diijinkan ikut 2 orang- sampai di
Lapas Besi sore hari sekitar jam 16.30. Rupanya, pemberitahuan notifikasi bagi 10
narapidana dilakukan satu persatu, sehingga kami yang harus mendampingi Rodrigo
mendapatkan giliran yang terakhir.
Tepat jam 19.00 WIB, kami bisa bertemu Rodrigo dalam sebuah ruangan
yang sudah penuh dengan petugas dari Kejagung selaku Tim Eksekutor, ada meja
lain dimana sudah ada Okuwdili Ayotanze (Dili) dengan pengacaranya. Kami bertiga
dan Rodrigo diarahkan untuk menuju ke salah satu meja yang sudah ada 3 orang
petugas dari Tim Eksekutor. Salah satu eksekutor menyampaikan dengan sangat
tegas dan langsung. Pertama-tama mengklarifikasi data-data pribadi Rodrigo, yang
dibenarkan oleh Rodrigo. Saya langusng menyampaikan surat pernyataan dari
keluarga bahwa Rodrigo harus didampingi Rm. Carolus, O.M.I. sebagai pendamping
Rohaninya, karena Rodrigo beragama Katolik. Kemudian tim eksekutor
menyampaikan, “Saudara Rodrigo dengarkan baik-baik, ya. Kami beritahukan
bahwa permohonan grasi saudara telah ditolak oleh Presiden RI dengan Keputusan
No.5/G tahun 2015. Oleh karena itu, hukuman mati atas diri saudara akan
dilaksanakan pada 3 hari kemudian diperhitungkan sejak disampaikannya notifikasi
ini.” Reaksi Rodrigo langsung mengatakan, “Ini sebuah kesalahan, Pak, Bu. Karena
itu, saya tidak akan dieksekusi! Beberapa negara-negara sedang berkumpul untuk
bicarakan tentang hukuman mati dan hukuman mati sudah dinyatakan tidak ada lagi
di mana-mana, juga di Indonesia. Jadi, saya tidak akan dieksekusi. Narkoba itu hal
yang biasa, narkoba itu seperti minum-minuman keras dan juga rokok, orang-orang
dewasa bebas untuk memutuskan sendiri akan menggunakan atau tidak. Saya tahu,
kalian semua tahu juga, pasti, bahwa ada juga orang di dalam ruangan ini yang
menggunakan narkoba”. Pada saat yang bersamaan seorang petugas eksekutor
menanggapi jawaban Rodrigo, “Kami akan segera menangkap pengedar narkoba.”
Hal itu mengakibatkan Rodrigo makin emosi dengan berkali-kali mengatakan “Ini
ada yang salah, saya hanya melakukan kesalahan 1 kali! Mengapa saya akan
dieksekusi?” Lalu, dia berpaling ke arah saya dengan berkata “Christina, help me.”
Saat itulah saya tersekat tidak bisa berkata apa-apa, perasaan bersalah yang begitu
besar mulai mempengaruhi diri saya. Karena Rodrigo tidak pernah berhenti bicara,
tiba-tiba seorang petugas eksekutor dengan nada keras berkata, “Stop, saudara
Rodrigo! Saudara diam dulu, ya.” Saya meraba punggung Rodrigo untuk
menenangkan dia, dan Rodrigo berhenti bicara. Eksekutor yang tinggi dan besar itu
melanjutkan lagi, “Ibu, anda pengacaranya kan? Tolong, dengarkan penjelasan saya
lalu terjemahkan untuk klien saudara ya. Grasi anda, Saudara Rodrigo, ditolak oleh
Presiden, lalu suka atau tidak suka, anda akan dieksekusi mati dalam waktu 3 x 24
jam terhitung mulai besok. Dalam waktu 3 x 24 jam itu, anda diberi kesempatan
untuk bertemu dengan keluarga dan anda boleh menyampaikan 4 permintaan
terakhir anda, akan kami penuhi sejauh kami bisa menfasilitasinya. Silahkan
terjemahkan, Bu.” Ketika saya akan menterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Rodrigo
langsung menjawab, ”Saya sudah paham Christina, tapi ini ada yang salah dalam
hal ini, saya tidak akan menyampaikan apa-apa karena saya tidak akan dieksekusi.”
Kemudian, saya menyampaikan kepada para eksekutor bahwa “Rodrigo sudah
mendengarkan, Pak, hanya belum bisa menerimanya.” Sambil berdiri, sekali lagi
Rodrigo meminta kepada saya, “Christina, tolong saya!” Ia sudah diminta untuk
kembali lagi ke dalam sel isolasi. Sebelum berdiri, Rodrigo sempat mengatakan
kepada semua petugas eksekutor yang ada di hadapan kami “Bapak dan Ibu, saya
meminta maaf ya kalau tadi saya emosi, ya. Maaf-maaf, ya.” Para eksekutor itu
menjawab, “Ya, Pak Rodrigo, gak apa-apa”. Kaki saya terasa lemas dan seperti mau
jatuh rasanya, tapi saya harus kuat untuk Rodrigo. Saya sempat sampaikan ke dia,
“See you tomorrow Rodrigo, we will visit you again with Angelita”. “Yes, please. Help
me, Christina.” Jawaban itu menjadi kalimat terakhir dari dia sebelum dia
berbincang-bincang dengan Pak Leonardo sebelum meninggalkan ruangan.
Ketika saya sedang berusaha menguatkan perasaan saya dari rasa bersalah,
karena saya tidak akan pernah bisa meloloskan dia dari pelaksanaan eksekusi 3 hari
kemudian, seorang eksekutor yang berkacamata menyampaikan, “Bu Christina,
tolong besok dijelaskan sekali lagi pada Rodrigo, ya, supaya dia bisa menerimanya
dan ibu harus bisa menyampaikan kepada kami, apa 4 permintaan terakhir Rodrigo,
karena dalam peraturan diberikan hak-haknya demikian sebelum dieksekusi.”
Sambil mengangguk saya berkata dalam hati, “Tuhan, kuatkanlah Rodrigo,
kuatkanlah kami.”
Di dalam bis perjalanan pulang dari Lapas Besi ke penyebrangan Sodong,
saya menangis sepanjang jalan, pak Leonardo membiarkan saya menghabiskan
kepedihan dan rasa putus asa yang sedang aku alami, karena dia tahu aku tidak
akan menangis di hadapan Angelita. Hanya sekali dia berusaha menguatkan aku
dengan menepuk bahuku.
Hari Pertama.
Hari Minggu, 26 April 2015 adalah hari kunjungan pertama bagi Angelita,
setelah notifikasi pelaksanaan eksekusi disampaikan. Hari itu yang besuk: Pak
Leonardo, Angelita, Ricky, dan saya. Kami baru bisa bertemu Rodrigo kira-kira jam
11.00 dan diberi kesempatan hingga jam 16.00. Seluruh keluarga, wakil kedutaan-
kedutaan, pendamping rohani serta tim pengacara dari 9 terpidana yang akan
dieksekusi, memulai pertemuan dengan masing-masing terpidana. Kesedihan yang
mendalam, kebingungan, ketakutan dan ketegangan sangat bisa kami rasakan satu
sama lain. Setiap kali aku memandang wajah Rodrigo lalu wajah Angelita selama
kami bertemu dan berbincang bersama-sama, hatiku mengalami kepedihan yang
belum pernah aku alami dalam hidupku. Setiap kali, aku melihat Rodrigo tersenyum,
perasaan bersalah sangat kuat dalam batinku. Maka saya lebih sering memandang
kel antai setiap kali air mata saya akan jatuh, setelah saya bisa menguasai suasana
hati, baru saya menatap Rodrigo atau Angelita lagi. Petugas Kejagung (eksekutor)
yang semalam ada mendekati saya dan mengingatkan saya untuk menjelaskan
sekali lagi kepada Rodrigo dan juga hari itu juga saya harus bisa mendapatkan 4
keinginan terakhir Rodrigo. Dalam hati saya, “Setan betul ya, kamu, Pak!” Tapi yang
keluar dari mulut saya, “Sabar, kenapa sih Pak? Kan Bapak tau bahwa Rodrigo itu
sakit jiwa, jadi kita mesti hati-hati dan lebih sabar.” Siang itu Rodrigo sempat
mengatakan “Nasi padang,” adalah makanan favoritnya selama di Lapas Pasir Putih.
Rodrigo meminta pada Ricky dan saya sebagai Pengacara dia, untuk kerja
keras menolong dia mulai besok pagi. Rodrigo mengatakan besok tidak perlu ada di
ruang ini, kami berdua harus kerja keras. Dan kami menyampaikan bahwa kami
akan berjuang terus untuk menolong dia. Rodrigo menyampaikan terima kasihnya
kepada kami semua yang telah susah payah menjadi pengacara bagi dia dan
berjuang untuk dia.
Hari Kedua.
Hari Senin, 27 April 2015, pada hari kedua yang besuk di pagi hari hanya
Angelita. Kami, tim pengacara, berusaha maksimal melakukan koordinasi dengan
tim pengacara lain di Jakarta untuk melakukan audiensi dengan Jaksa Agung dan
juga mengajukan gugatan ke PTUN serta upaya-upaya non litigasi lainnya. Pak
Leonardo dan Rm. Carolus, O.M.I sebagai Pendamping Rohani membesuk Rodrigo
jam 13.00, menyusul Angelita yang sudah ada di dalam. Siang itu, seperti janji
eksekutor, Rodrigo diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan ibunya serta
saudara-saudaranya yang berada di Brasil dengan fasilitas telepon dari Kejagung,
hal itu dianggap sebagai salah satu permintaan Rodrigo melalui Angelita,
sepupunya. Pada sore hari, sebelum Angelita, Rm. Carolus dan Pak Leonardo
meninggalkan Rodrigo, mereka harus menandatangi pernyataan bahwa Rodrigo
menolak untuk dikremasi, dan meminta supaya jenazahnya dipulangkan kembali ke
Brasil. Hal itu oleh pihak eksekutor dianggap sebagai salah satu pemintaan terakhir
Rodrigo. Karena Rodrigo memang ingin sekali pulang ke Brasil, seperti yang
berulang kali dia katakan ketika Angelita dan saya membesuk dia, ketika masih di
Lapas Pasir Putih.
Hari Ketiga.
Hari Selasa, 28 April 2015 adalah hari terakhir bagi kami untuk bertemu
dengan Rodrigo, demikian juga bagi para terpidana mati lainnya, hari terakhir untuk
bertemu dengan anggota keluarganya, perwakilan kedutaannya, serta tim
pengacaranya. Pertemuan terakhir itu hanya diberi kesempatan hanya hingga jam
14.00. Ketika Rodrigo muncul menemui kami, dia mengatakan, “Maaf ya… saya
sudah merepotkan kalian semua, Angelita, Leonardo, Rm. Carolus, dan kamu,
Christina, juga lawyer lainnya.” Hampir bersamaan kami jawab, “Tidak apa-apa.”
Lalu, Rodrigo cerita panjang lebar tentang mimpinya, yang di dalamnya tersirat
bahwa dia menyalahkan diri sendiri.” Saya hanya menatap dia terus dengan
kesadaran saya tidak akan lagi melihat dia masih hidup besok. Sesekali, Rodrigo
melihat ke arah saya. Lalu, tiba-tiba dia berkata, “Christina, kamu juga pasti lelah
sekali ya.” Saya jawab, “Tidak, Rodrigo.” Dia katakan, sambal tersenyum, “Ya, kamu
kelihatan lelah sekali.” Saya selalu ingat cara dia tersenyum dan menguatkan saya.
Kesempatan itu saya gunakan untuk menyampaikan sesuatu pada dia, “Rodrigo
terima kasih ya… Kamu adalah klien yang tebaik yang pernah saya jumpai dalam
hidup saya. Kamu mengajari saya supaya saya harus ingat pada binatang ketika
saya sedang makan buah-buahan.“ Rodrigo menanggapi dengan menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum.
Beberapa detik sebelum berpisah, karena waktu besuk kami sudah habis,
kami berpelukan satu per satu dengan Rodrigo, saya tidak bisa berkata apa-apa dan
tanpa kusadari mata saya sudah mulai berkaca-kaca. Rodrigo mengatakan “Don’t
cry, Christina. Thank you.”
Suasana histeris, tangisan anggota keluarga dari 9 para Narapidana yang
akan dieksekusi mati, menjadi kenangan kepedihan mendalam yang tidak pernah
bisa dilupakan oleh siapapun yang ada dalam Lapas Besi pada siang hari itu,
termasuk para eksekutornya. Angelita selalu memeluk mesra adik sepupunya
terkasih sambil menunggu giliran untuk dipisahkan oleh petugas. Ibunda Andrew
Chan dan saudara-saudaranya menangis tanpa henti, demikian juga ibu dari Myuran
Sukumaran serta adik perempuannya. Tangis mereka sangat menyayat perasaan
saya, belum lagi Mary Jane sendiri yang marah-marah sambil menangis karena
tidak diberitahu sebelumnya bahwa siang itu hanya diberikan waktu hanya sampai
dengan jam 14.00. Tidak tega saya melihat kedua anak Mary Jane yang masing
kecil-kecil harus menyaksikan kepedihan yang mendalam siang itu. Untuk
menguatkan batin saya, saya mencoba berkomunikasi dengan Sang Pencipta,
“Tuhan, seandainya saja semua orang yang menyetujui hukuman mati di bumi
Indonesia ini menyaksikan atau bahkan mengalami semua ini, pasti merekalah yang
akan meminta supaya hukuman mati segera dihapuskan dari bumi Indonesia
tercinta ini.”
Sebelum kembali ke Sodong, kami berempat masih menunggu barang-
barang yang sangat pribadi milik Rodrigo yang diantarkan oleh petugas Lapas Pasir
Putih ke Lapas Besi untuk kami bawa pulang. Hal itu atas permintaan Angelita.
Kepedihan mendalam masih harus kami lalui sekali lagi, karena malam itu
sejak jam 20.00 hingga jam 00.35 dini hari, Angelita, Pak Leonardo dan saya di Pos
penyeberangan Sodong, Nusakambangan, harus menanti saat-saat pelaksanaan
eksekusi mati bagi 9 terpidana mati -yang sudah menjadi seperti saudara bagi kami-
di hadapan regu tembak di dalam pulau Nusakambangan, tepatnya berlokasi di
belakang Pos Polisi, kira-kira 2 km dari Sodong. Tepat jam 24.00 kami melihat
deretan mobil-mobil yang membawa para terpidana dengan para pendamping rohani
masing-masing dari kejauhan yang bisa kami lihat dengan jelas dari sisi kiri pos
Sodong, karena di kegelapan sinar lampu mobil-mobil itu menjadi jelas sekali. Sejak
mereka mematikan lampu, kami semua keluarga yang menanti di Sodong
menyalakan lilin untuk mereka yang akan dieksekusi dan bagi yang sudah
dieksekusi pada bulan Januari lalu. Kami semua duduk di depan lilin-lilin itu, sambil
berdoa sesuai dengan agama dan bahasa masing-masing. Saya berdoa Rosario
sambil mencoba menguatkan diri untuk mendengarkan hal terburuk yang akan kami
dengar. Akhirnya, 30 menit kemudian kami mendengar rentetan tembakan seperti
bunyi petasan kecil itu… dan setelah itu bunyi tembakan terkeras bersamaan dan
hanya sekali saja,
“Dor!”
Serempak kami semua menjerit bersama dan melampiaskan tangisan kami
masing-masing sambil bergandengan tangan satu sama lain. Rasanya badan saya
seperti melayang sejenak dan saya memeluk Angelita untuk saling menguatkan.
Saya hanya sanggup mengatakan, “I am so sorry Angelita, I am so sorry.” Lalu,
Angelita, dalam tangisnya, mencoba menguatkan saya. Karena syok, saya tidak
mendengar lagi apa yang dikatakan Angelita. “Tuhan, ampunilah saya yang tidak
bisa menolong Rodrigo terlepas dari eksekusi di hadapan regu tembak itu”, hanya
hal itu saja yang saya ucapkan dalam hati saya, sambil menangis terus menerus
dalam keheningan malam itu. Saat itu, saya membayangkan tubuh Rodrigo
tertunduk telah mati tak berdaya di tiang kayu yang telah diikatkan sangat erat
dengan tubuhnya. Saya bisikkan kata-kata, “Selamat jalan, Rodrigo, saudaraku
terkasih. Kamu akan langsung menikmati kebahagiaan bersama Allah di Surga.
Doakan kami, ya, Rodrigo.”
Kepedihanku bertambah ketika, akhirnya pada sekitar pukul 4.00 pagi lebih,
kami bertiga, Angelita dipapah Rm. Carolus dan saya harus menyaksikan Rodrigo
Gularte yang sudah terbujur kaku di dalam ambulans. Kami harus memastikan
bahwa benar dia adalah Rodrigo yang sangat kami sayangi itu. “Ya Tuhanku dan
Allahku.” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku, saat melihat Rodrigo sudah terbujur
kaku. Tidak ada lagi senyum yang rupanya selama ini telah menguatkan aku.
“Selamat jalan, Rodrigo. Rest in peace, Rodrigo.”
Pengalaman pahit itu membuat saya merasa tidak berguna sama sekali
sebagai pengacara, alias saya telah gagal total menjadi pengacara untuk klien saya,
seseorang yang masih menderita kejiwaan skizofrenia dan bipolar disorder, tetap
tereksekusi di hadapan regu tembak di Pulau Nusakambangan.
Akhirnya aku bisa selesaikan tulisan ini, meskipun kepedihan itu menjadi terkuak
kembali, yang selama ini tidak pernah bisa saya memulai untuk menuliskannya.
Terima kasih atas support dan kepercayaan dari Angelita terkasih dan Ayu
(ELSAM), sehingga tulisan ini bisa saya selesaikan dengan baik.
Cilacap, 7 Juli 2015.
Christina Widiantarti, S.H.
Bekerja di YSBS dan untuk JPIC-OMI Provinsi Indonesia.