37
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah Abstraksi Dewasa ini, perkembangan keuangan atau perekonomian syariah sedang dalam iklim positif di bumi pertiwi. Secara fisik produk-produk keuangan syariah seperti bank-bank Islam semakin banyak bermunculan. Hal ini dapat kita lihat pada regulasi-regulasi yang mengatur ekonomi syariah yang banyak dibentuk baik oleh Dewan Syariah Nasional, Otoritas Jasa Keuangan maupun lembaga-lembaga terkait. Bahkan Undang-undang yang mengatur ekonomi syariah ini telah dibuat dalam peraturan perundang-udangan. Kita kerucutkan tulisan ini kepada perbankan. Salah satu produk Perbankan Syariah yang banyak diminati masyarakat ialah akad atau kontrak murabahah yang notabenenya merupakan akad jual-beli. Dalam perspektif bisnis, termasuk bisnis syariah sebagaimana murabahah pasti menggunakan konsep profit oriented, tentu dengan berbagai perbedaan mendasar antara syariah dengan konvensional. Oleh karena perbankan menganut asas profit oriented dan asas prudential maka akad atau kontrak bisnis pada perbankan ini perlu menggunakan “Jaminan”. Murabahah menggunakan konsep jaminan syariah dalam transaksinya. Namun, hukum yang mengatur mengenai jaminan syariah ini belum ada dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, jaminan menjadi hal yang penting bagi bank, sebab jaminan merupakan alat yang dijadikan sebagai kepercayaan bank terhadap debiturnya dan alat berjaga-jaga jika debiturnya wanprestasi. Oleh

Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad

Murabahah pada Perbankan Syariah

Abstraksi

Dewasa ini, perkembangan keuangan atau perekonomian syariah sedang dalam iklim positif di bumi pertiwi. Secara fisik produk-produk keuangan syariah seperti bank-bank Islam semakin banyak bermunculan. Hal ini dapat kita lihat pada regulasi-regulasi yang mengatur ekonomi syariah yang banyak dibentuk baik oleh Dewan Syariah Nasional, Otoritas Jasa Keuangan maupun lembaga-lembaga terkait. Bahkan Undang-undang yang mengatur ekonomi syariah ini telah dibuat dalam peraturan perundang-udangan.

Kita kerucutkan tulisan ini kepada perbankan. Salah satu produk Perbankan Syariah yang banyak diminati masyarakat ialah akad atau kontrak murabahah yang notabenenya merupakan akad jual-beli. Dalam perspektif bisnis, termasuk bisnis syariah sebagaimana murabahah pasti menggunakan konsep profit oriented, tentu dengan berbagai perbedaan mendasar antara syariah dengan konvensional. Oleh karena perbankan menganut asas profit oriented dan asas prudential maka akad atau kontrak bisnis pada perbankan ini perlu menggunakan “Jaminan”.

Murabahah menggunakan konsep jaminan syariah dalam transaksinya. Namun, hukum yang mengatur mengenai jaminan syariah ini belum ada dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, jaminan menjadi hal yang penting bagi bank, sebab jaminan merupakan alat yang dijadikan sebagai kepercayaan bank terhadap debiturnya dan alat berjaga-jaga jika debiturnya wanprestasi. Oleh karenanya, tidak adanya hukum yang mengatur mengenai jaminan syariah, maka akan berimplikasi pada kepercayaan masyarakat sebagai debitur dan proses penyelesaian sengketanya di Peradilan Agama.

Payung hukum jaminan syariah menjadi penting untuk dibentuk. Sebab tanpa payung hukum yang jelas yang mengatur mengenai jaminan syariah ini, akan rancu bagi Peradilan Agama tatkala menyelesaikan sengketa murabahah serta akan semakin banyak masyarakat yang meragukan keabsahan kontrak jaminan syariah sebagai kontrak yang menganut prinsip syariah.

Kata kunci: akad murabahah, akad jaminan syariah, hukum jaminan syariah.

Page 2: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan Nasional

bertujuan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur

berdasar Pancasila dan Undang-Undang 1945. Dalam rangka pembangunan

ekonomi Nasional, bidang hukum membutuhkan perhatian yang serius dalam

pembinaan hukumnya di antaranya ialah hukum jaminan. Pembinaan hukum

dalam bidang Hukum Jaminan adalah sebagai konsekuensi logis dan merupakan

perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum guna mengimbangi lajunya

kegiatan-kegiatan ekonomi. Kegiatan tersebut yang pada akhirnya memerlukan

adanya fasilitas kredit dalam usahanya dan di pihak lain pemberi modal

mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit demi keamanan modal dan

kepastian hukumnya.1

Bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga keuangan pada

umumnya berupa jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, dan penyertaan modal atau

kemitraan. Bank sebagai kreditur biasanya akan mempertimbangkan kemampuan

nasabah dalam pengembalian pembiayaan tersebut dikarenakan pembiayaan yang

dilakukan oleh bank ini mengandung resiko kredit macet, moral hazard, dan lain

sebagainya. Secara umum, bank akan menyetujui untuk melakukan pembiayaan

jika nasabah memberikan jaminan yang layak. Jaminan tersebut akan menjadi

indikator penentuan yang digunakan oleh bank untuk menilai kelayakan nasabah

debitur dalam memperoleh jumlah pembiayaan dari bank dan jangka waktunya.

Kreditur memerlukan adanya perlindungan hukum untuk melindungi

piutangnya terhadap debitur. Perlindungan tersebut meliputi adanya jaminan

kepastian hukum akan hak-haknya, dan adanya sarana yang mudah dan cepat

untuk melakukan eksekusi atas kekayaan debitur.2 Hal-hal inilah yang menjadi

obyek pengaturan Hukum Jaminan. Munir Fuady menyebutkan bahwa pada

prinsipnya campur tangan sektor yuridis untuk mengatur masalah perkreditan

adalah untuk memenuhi unsur safety, soundness, dan with-out substantial risk;

1 Purwahid Patrik, Kashadi, 1998, Hukum Jaminan, Edisi Revisi Dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 2-3. Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 222 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 23

Page 3: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

perlindungan yang seimbang antara nasabah dan bank, dan menjamin berjalannya

kompetisi dan efisiensi.3 Soedewi menyebutkan bahwa adanya jaminan mampu

menunjang perkembangan kegiatan ekonomi dan pengkreditan serta memudahkan

masyarakat dalam memperoleh modal.

Dewasa ini, banyak bermunculan Bank Syariah di Indonesia sebagai

alternatif pembiayaan dan/atau permodalan, khususnya bagi masyarakat muslim

dan bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Lembaga keuangan syariah ini

dilengkapi pula dengan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai tempat

penyelesaian sengketa yang terjadi di lembaga keuangan syariah, khususnya bank

syariah. Berdasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006, secara implisit ditegaskan

bahwa sengketa muamalah yang terjadi di perbankan syariah menjadi kompetensi

absolut Peradilan Agama.4

Prinsip Hukum Jaminan dalam hukum positif Indonesia tidak bisa begitu

saja diterapkan pada perbankan syariah. Karena prinsip jaminan di perbankan

syariah mesti memerhatikan nilai-nilai syariah dalam sistem dan operasionalnya.

Produk pembiayaan syariah hampir seluruhnya menerapkan jaminan. Sebab,

seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jaminan dalam produk pembiayaan

syariah pun sangat diperlukan sebagai pemenuhan prinsip perbankan syariah pada

pasal 2 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah5 sekaligus sebagai

bentuk penjagaan jika debitur tidak mampu membayar utang.

Salah satu skim fiqh yang paling populer digunakan oleh perbankan

syariah adalah murabahah. Berdasarkan data dari Bank Indonesia6, komposisi

transaksi pembiayaan yang diberikan melalui BUS dan UUS melalui akad

murabahah menjadi top funding selama tiga tahun terakhir yakni sebesar

Rp.110.565 Miliar pada tahun 2013 dan bergerak secara signifikan menjadi

3 Munir Fuady, 2002, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, hlm. 2. Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 23.4 5 Pasal 2 UU No. 21 tahun 2008 berbunyi : “Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian”.6 http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS (Diakses pada tanggal. 14 April 2014)

Page 4: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Rp.117.210 Miliar pada bulan Juni 2015. Sedangkan pembiayaan melalui akad

lain tidak mampu menyaingi jumlah transaksi pembiayaan murabahah.

Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan Yang Diberikan Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah (Miliyar Rupiah)

Transaksi Pembiayaan 2013 2014 Juni 2015

Mudharabah 13,625 14,354 14,906

Murabahah 110,565 117,371 177,777

Salam 0 0 0

Istishna 582 633 678

Ijarah 10,481 11,620 11,561

Qardh 8,995 5,965 4,938

Selama lebih dari 30 tahun perkembangannya, perbankan Syariah lebih

banyak menggunakan akad jual beli murabahah dalam memperoleh keuntungan.

Secara nasional, perbankan syariah di Indonesia saat ini menggunakan akad

murabahah sebagai salah satu produk utama pembiayaannya. Hal ini dikarenakan

sistem dan teknik perhitungannya lebih mudah dilakukan dan dipahami baik oleh

nasabah maupun oleh pihak bank, sehingga aspek kejelasannya lebih terlihat.

Perbankan syariah menggunakan akad murabahah sebagai bentuk pembiayaan

atas pembelian barang oleh bank kepada pihak ketiga yang kemudian dijual

kepada nasabah baik secara angsuran (bitsaman ajil) atau tunai (naqdan)7.

Namun, permasalahannya ialah hukum jaminan yang diterapkan dalam

produk murabahah ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Oleh karenanya,

adanya kekosongan hukum (legal issue) tersebut menjadi persoalan yang menarik

untuk dibahas dalam artikel ini. Permasalahan yang akan dikaji dalam artikel ini

di antaranya ialah bagaimana hukum jaminan yang diterapkan dalam akad

murabahah pada perbankan syariah dan apa urgensinya peraturan (hukum) yang

mengatur jaminan dalam akad murabahah? 7 Dalam buku Adiwarman Karim “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Temporer”, menyatakan bahwa penerapan murabahah naqdan (tunai) tidak ada, yang ada hanyalah murabahah secara angsuran (bai’ bitsaman ajil)

Page 5: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

LANDASAN TEORI

Murabahah

Tidak ada tinjauan khusus mengenai akad murabahah baik di dalam Al-

Qur’an maupun Hadits, akan tetapi eksistensi akad ini lazim dilakukan oleh

Rasulullah dan para sahabatnya melalui transaksi jual-beli. Oleh karenanya,

murabahah ialah hasil implementasi dari perbuatan Rasulullah (fi’li) dan

dianggap sah oleh para ulama.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad murabahah adalah jual-beli barang

pada harga asal dengan tambahan yang disepakati.8 Sedangkan menurut Ibnu

Rusyd, murabahah memiliki karakteristik yang melekat yaitu penjual mesti

memberitahukan tentang harga barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang

ditambah pada biaya tersebut kepada pembeli.9

Dengan memerhatikan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para

ulama diatas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah transaksi jual beli yang

menerapkan prinsip transparansi informasi oleh penjual atas penambahan harga

barang kepada pembeli yang akan diambil oleh penjual sebagai keuntungan atau

mark up. Dengan kata lain, penjualan barang kepada nasabah dilakukan atas dasar

cost plus profit.10

Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam pasal 20 ayat 6,

murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh

shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan

penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang

merupakan keuntungan atau laba bagi shahib almal dan pengembaliannya

dilakukan secara tunai atau angsur.

Sedangkan menurut Adiwarman Karim, Murabahah (al-ba’i bi tsaman

ajil) berasal dari kata ribhu (keuntungan) yang artinya adalah transaksi jual-beli

8 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2001), hlm. 1019 Adiwarman Karim, Bank Islam, hlm. 11310 Prof. Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syarih dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, hlm. 223

Page 6: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

dimana pihak bank menyebutkan jumlah keuntungannya. Bank (shahibul mal)

bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual tersebut

adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).11 Sehingga

transaksi murabahah ini termasuk kedalam akad Natural Certainty Contracs

karena memberikan kepastian pembiayaan, baik dari segi jumlah (amount)

maupun waktu (timing)-nya dan memiliki cash flow yang dapat diprediksi dan

relative pasti.12

DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No. 4 Tahun 2000 mengenai ketentuan

murabahah bagi perbankan syariah, berikut Ketentuan Bagian Pertama:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah

disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri,

dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,

misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)

dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini

Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah

berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada

jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,

pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari

pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,

secara prinsip, menjadi milik bank.

11 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 9812 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 51

Page 7: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Dalam aplikasinya, klien Bank Syariah membeli suatu barang menurut

rincian tertentu dan menghendaki agar Bank mengirimkannya kepada mereka

berdasarkan imbuhan harga tertentu menurut persetujuan awal kedua belah

pihak.13 Sehingga Bank Syariah selaku shahib mal membiayai barang dengan

spesifikasi yang ditentukan oleh nasabah dengan cara membeli kepada pihak

ketiga secara tunai, kemudian menjual barang tersebut dengan menyebutkan

transparansi keuntungan atau mark-up kepada nasabah secara cicilan oleh nasabah

sesuai kesepakatan awal kedua belah pihak.

Gambar 1.1 Ilustrasi Transaksi Akad Murabahah di Perbankan Syariah

2. Supplier menjual barang 4. Bank menjual barang + keuntungan

1. Akad

3. Bank membeli barang tunai 5. Nasabah membeli secara cicilan+margin

Peran bank selaku penjual dalam pembiayaan murabahah lebih tepat

digambarkan sebagai pembiaya dan bukan penjual barang, karena bank tidak

memegang barang, tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja bank hampir

semuanya hanya terkait penanganan dokumen-dokumen.14 Murabahah

dimasukkan kedalam kategori financing yang memiliki peran untuk memberikan

pembiayaan dari pihak shahibul mal kepada nasabah (mudharib). Sehingga

Murabahah mengalami perkembangan arti dalam konteks pengaplikasian pada

perbankan syariah.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu bentuk

akad pembiayaan Bank Syariah yang pendapatan keuntungannya mesti disebutkan

kepada nasabah dan pembayarannya dapat dilakukan baik secara tunai atau cicilan

(sesuai kesepakatan di awal akad).

Pengertian Jaminan13 Prof. M. Abdul Mannan, MA., Ph.D, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 16814 Bagya Agung Prabowo. Januari, 2009. Konsep Akad Murabahah pada Perbankan Syariah (Analisis Kritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia). Jurnal Hukum, Volume. 16 No. 1, hal. 111

Supplier NasabahBank Syariah

Page 8: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Jaminan yang berasal dari kata jamin yang berarti tanggung. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jaminan merupakan tanggungan atau

agunan atas pinjaman yang diterima. Tanggungan yang dimaksud diperjelas

dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari,

menjadi tanggunganuntuk segala perikatan.”

Singkatnya, jaminan merupakan sebuah tanggungan berupa kebendaan,

baik yang bergerak maupun tidak yang dibebankan kepada pihak debitur atas

pinjaman yang ia terima sebagai bentuk keseriusan kepada kreditur.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan

Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan

bank atas kesanggupam debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang

diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 yang dimaksud

dengan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada

bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah.15

Bentuk-bentuk Jaminan

Jaminan dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni jaminan yang timbul

dari undang-undang dan jaminan yang timbul dari perjanjian.

1. Jaminan umum (1131 KUH Perdata) yaitu, jaminan dari pihak debitur

yang terjadi atau timbul dari undang-undang. Perwujudan dari jaminan

umum berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata ini, menentukan

bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak, baik

yang ada ataupun yang akan ada menjadi jaminan untuk segala perikatan.

Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti kreditur telah

diberikan jaminan yang berupa harta benda milik debitur tanpa khusus

diperjanjikan terlebih dahulu. Namun, dengan jaminan semacam itu

15 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 73

Page 9: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

kedudukan kreditur hanyalah sebagai kreditur konkuren saja terhadap

seluruh kekayaan debitur.

2. Jaminan khusus (1133 dan Ps. 1134 KUH Perdata) yaitu bahwa setiap

jaminan utang yang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian

tertentu, baik yang khusus terhadap benda-benda tertentu maupun orang

tertentu. Sehingga jaminan khusus dibagi menjadi dua sifat:

a. Jaminan yang bersifat kebendaan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa

hak mutlak atas suatu benda dari debitur yang dapat dipertahankan

terhadap siapapun. Jaminan ini mempunyai ciri-ciri, yakni :

1) Mempunyai hubungan langsung atas bendanya;

2) Dapat dipertahankan kepada siapapun;

3) Selalu mengikuti bendanya (droit de surte);

4) Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi;

5) Dapat diperalihkan kepada orang lain.16

Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka benda jaminan pada

jaminan kebendaan harus benda yang dapat dialihkan dan mempunyai

nilai jual (ekonomis).

Jaminan kebendaan meliputi benda bergerak, contohnya: gadai

dan fidusia. Dan jaminan kebendaan benda yang tidak bergerak,

dengan lembaga jaminannya adalah hipotik dan hak tanggungan.

Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan

debiturnya, tetapi juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak

ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari si

berutang. Pemberian jaminan kebendaan ini memisahkan dari bagian

kekayaan seseorang, apabila tidak adanya pemisahan atau

penyendirian oleh debitur, maka seluruh kekayaan debitur dijadikan

jaminan untuk pembayaran semua utang debitur.17

16 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2007), hlm.1317 Hermansyah, Hukum perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada MediaGrup, 2005), hlm. 75

Page 10: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

b. Jaminan immaterial (perorangan) adalah

Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan

tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap

harta kekayaan debitur umumnya. Jaminan ini dapat diadakan bahkan

di luar (tanpa) pengetahaun si berhutang tersebut. Atau dapat juga

berarti pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikat diri untuk

memenuhi utang dari debitur, manakala debitur tidak memenuhi

janjinya.18

Akan tetapi orang lebih memilih Jaminan Khusus dalam kegiatannya, hal

ini dikarekanakan :

1. Eksekusi benda jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika debitur

melakukan wanprestasi;

2. Kreditur jaminan khusus didahulukan dibanding kereditur jaminan umum

dalam pemenuhan piutangnya;

3. Dalam bentuk jaminan kebendaan, memberikan kreditur suatu privilege

atau kedudukan istimewa terhadap kreditur lainnya.19

Perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :

1. Perjanjian Pokok adalah Perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri

sendiri tanpa bergantung pada adanya perjanjian. Contoh: perjanjian kredit

bank

2. Perjanjian tambahan (assesoir) adalah Perjanjian antara debitur dan

kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan dari pada perjanjian

Pokok. Contoh: perjanjian pembenanan jaminan, seperti perjanjian gadai,

tanggungan, dan fidusia.

Jaminan dalam pembiayaan memliki dua fungsi: yaitu pertama, untuk

pembayaran utang seandainya terjadi wanprestasi dengan jalan menguangkan atau

menjual jaminan tersebut. Kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai

indikator penentuan jumlah pembiayaan yang akan diberikan kepada pihak 18 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty), hlm. 4719 Hermansyah, Hukum perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada MediaGrup), 2005, hal. 75

Page 11: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang

dijaminkan.

Menurut Prof. Soebekti, jaminan yang baik dapat dilihat dari :20

1. Dapat membantu memperoleh pembiayaan bagi pihak ketiga.

2. Tidak melemahkan potensi pihak ketiga untuk menerima pembiayaan

guna meneruskan usahanya.

3. Memberikan kepastian kepada bank untuk mengeluarkan pembiayaan

dan mudah diuangkan apabila terjadi wanprestasi.

Jaminan dalam Islam

Jaminan dalam hukum Islam dikenal dengan adh-Dhaman. Perkataan

dhaman berasal dari mashdar “dhimmu” yang berarti menghendaki untuk

ditanggung. Dhaman menurut pengertian etimologis ialah menjamin atau

menyanggupi apa yang ada dalam tanggungan orang lain. Kafalah memiliki

makna yang sama dengan dhamman. Kamus istilah fiqih menyebutkan bahwa

dhaman adalah jaminan utang atau dalam hal lain menghadirkan seseorang atau

barang ke tempat tertentu untuk diminta pertanggung-jawabannya atau sebagai

barang jaminan.21

Menurut Imam Mawardi, dhaman dalam pendata-gunaan harta benda,

tanggungan dalam masalah diyat (denda), jaminan terhadap kekayaan dan jiwa,

serta jaminan terhadap beberapa perserikatan ialah berlandaskan pada kebiasaan

masyarakat (urf).22

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwasannya jaminan dapat

berbentuk benda (Gadai atau rahn) dan jaminan yang ditanggung melalui pihak

lain (kafalah).

1. Rahn (Gadai)

20 Prof. Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni) hal. 2921 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih¸(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 5922 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, hlm. 260

Page 12: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Kompilasi Hukum Eknoomi Islam meyebutkan bahwa Rahn/gadai

adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai

jaminan. Menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Fathul

Wahab mendefinisikan Rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta

benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta

benda itu apabila utang tidak dibayar.23

Menurut hemat penulis, rahn adalah suatu yang memiliki bentuk

dan nilai yang dimiliki oleh debitur dan dapat menjadi sumber

kepercayaan untuk suatu perjanjian. Dalam konteks ini bila kita mengingat

bahwa bentuk rahn serupa dengan jaminan kebendaan dalam BW yakni

objek jaminannya berupa benda, baik benda bergerak maupun tidak

bergerak.

2. Kafalah

Dalam pengertian Bahasa kafalah berarti adh-dhammu

(menggambungkan). Menurut pengertian syara’, kafalah adalah proses

penggabungan tanggungan kafil (orang yang berkewajiban melakukan

makful bihi (yang ditanggung) menjadi tanggugnan ashil (orang yang

berhutang) dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang,

barang dan pekerjaan.24

Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Pasal 20 ayat 12 menyebutkan,

kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada

pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak

kedua/peminjam.

Lebih jelasnya, kafalah (guaranty) adalah jaminan, beban atau

tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga

untuk memenuhi kewjiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful).

Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang

dijamin.

23 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta, Ekonosia, 2004),hlm. 15624 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung, Al-Ma’arif, 1996), hlm. 157

Page 13: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Perbankan Syariah

Secara teknis yuridis, harus dibedakan antara istilah Perbankan Syariah

dengan Bank Syariah. Bank Syariah adalah bagian dari Perbankan Syariah selain

dari Unit Usaha Syariah (UUS), sedangkan Bank Syariah terdiri atas Bank Umum

Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 7 mengenai

Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa bank syariah adalah Bank yang

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya

terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Sedangkan pada ayat 1 Undang-undang tersebut, menjelaskan Perbankan Syariah

adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.

Jadi, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang

Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan Unit Usaha Syariah

yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah.

Kepercayaan

Kepercayaan adalah sikap individu yang mengacu pada keyakinan

konsumen atas kualitas dan kehandalan jasa yang diterimamnya. Kepercayaan

dapat diukur berdasarkan komponen-komponen yang berikut ini25:

1. Memelihara titipan

2. Adanya transparansi.

3. Sistem yang bebas dari riba.

4. Menepati janji.

5. Menjaga rahasia.

6. Sumber daya insani yang berkualitas.

Citra Perbankan Syariah

25 Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3, hal. 174

Page 14: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Citra adalah cara seseorang atau masyarakat mempersepsikan atau memikirkan

perusahaan atau produknya. Berdasarkan uraian teori-teori pada tinjauan literatur

maka citra bank syariah adalah persepsi atau kesan yang diperoleh masyarakat

sebagai konsumen dari adanya pengalaman, perasaan, pola pengetahuannya

terhadap bank syariah.26 Hal ini dapat diukur dari aspek-aspek:

1. Kehalalan produk

2. Besaran bagi hasilnya

3. Kualitas perusahaan

4. Persepsi yang terbentuk pada bank syariah

METODE PENULISAN

Data dalam penelitian artikel ini diperoleh melalui penelusuran pustaka

(library research). Analisis data dilakukan secara kualitatif terhadap semua

sumber literatur, Dengan analisis data yang objektif dan reliabel diharapkan akan

diperoleh pembahasan akurat dan valid sebagai jawaban terhadap rumusan

masalah yang dalam penelitian ini.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Jaminan dalam Murabahah pada Perbankan Syariah

Pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah tentu haruslah

memenuhi unsur-unsur yang berada pada jalur koridor syariah. Agar penerapan

pembiayaan murabahah tersebut tidak terdapat unsur kecatatan yang berimplikasi

terhadap keabsahan akad oleh Bank Syariah. Sehingga, DSN-MUI mengeluarkan

Fatwa No. 4 Tahun 2000 mengenai ketentuan murabahah bagi perbankan syariah.

Pembiayaan murabahah yang diberikan oleh bank ini mengandung risiko,

maka dalam pelaksanaannya bank harus memerhatikan asas-asas pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah yang tertera dalam fatwa DSN-MUI. Untuk 26 Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3, hal. 175

Page 15: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

mengurangi risiko, jaminan pada murabahah dalam arti keyakinan atau

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya

sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh bank.27

Oleh karenanya, perjanjian khusus dengan nasabah yang diadakan karena

terjadi penyalahgunaan atau kerusakan akad yang dimaksud poin ke-8 Fatwa

DSN-MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah tidak lain ialah perjanjian

jaminan. Murabahah merupakan akad atau kontrak pokok (prinsipil) yang bersifat

riil. Sebagai akad prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada

dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada akad murabahah. Pada

Bagian Ketiga Fatwa DSN-MUI tersebut pun disebutkan bahwa jaminan dalam

murabahah dibolehkan, serta bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan

jaminan yang dapat dipegang.

KUH Perdata memuat ketentuan dasar bahwa suatu jaminan yang terbit

dari perjanjian tertentu disebut Jaminan Khusus yakni jaminan utang yang bersifat

kontraktual. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan

Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan

bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang

diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia di atas yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan

tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian

fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Bank Syariah di Indonesia pada umumnya dalam memberikan pembiayaan

murabahah, menetapkan syarat-syarat yang dibutuhkan dan prosedur yang harus

ditempuh oleh pembeli yang hampir sama dengan syarat dan prosedur kredit

sebagaimana lazimnya yang ditetapkan oleh bank konvensional. Syarat dan

ketentuan umum pembiayaan murabahah yaitu:28 Umum, tidak hanya 27 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 72 28 Wawancara dengan Arif Wijaya, Account Officer dari PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Syariah Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 2008. Dikutip dari Bagya Agung Prabowo. Januari, 2009. Konsep Akad Murabahah pada Perbankan Syariah (Analisis Kritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia), Jurnal Hukum, Volume. 16 No. 1,

Page 16: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

diperuntukan untuk kaum muslim saja; harus cakap hukum, sesuai dengan KUH

Perdata; memenuhi 5 C yaitu: Character (watak); Collateral (jaminan); Capital

(modal); Condition of Economy (prospek usaha); Capability (kemampuan).

Bank Syariah menerapkannya rahn sebagai perjanjian jaminan assessor

untuk akad murabahah. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa sekarang di

Indonesia dikenal ada tiga jenis transaksi jaminan, yaitu Pertama, Gadai (Pand)

menurut KUH Perdata yang digunakan sebagai jaminan dalam kegiatan usaha

Bank Konvensional; Kedua, Gadai (Verpanding) menurut Aturan Dasar Pe-

gadaian/ADP (Pandhuis Reglement) sebagai kegiatan usaha pokok pada Perum

Pegadaian; Ketiga, Gadai Syariah (Rahn) sebagai jaminan peminjaman uang pada

kegiatan usaha Bank Syariah dan Pegadaian Syariah.29

Bank Syariah masih menggunakan ketentuan Hukum Jaminan

konvensional. Padahal jaminan syariah (rahn) dan jaminan konvensional tentu

memiliki perbedaan. Sehingga, konsep jaminan konvensional yang diatur dalam

Hukum Jaminan baik dalam KUH Perdata maupun peraturan perundang-

undangan tidak bisa diterapkan pada jaminan syariah.

Tabel 1.2 Perbandingan Jaminan dan Jaminan Syariah (Rahn)30

Jaminan Jaminan Syariah (Rahn)Pengertian Hak kreditur untuk

mengambil pelunasan atas benda jaminan

Hak kreditur untuk mengambil pelunasan atas benda jaminan

Pemberi Jaminan Debitur atau pihak III DebiturPenerima Jaminan Orang perseorangan, Bank Orang perseorangan, BankObyek Jaminan Benda bergerak bertubuh

dan tidak bertubuhBenda yang mempunyai nilai ekonomis, dapat dimanfaatkan dan dapat dikualifikasi

Utang yang dijamin Utang dari semua jenis perikatan

Pinjam-meminjam uang tanpa bunga

Hak Penerima Jaminan 1. Parate eksekusi (hak menjual benda jaminan atas kekuasaan sendiri)2. hak revindikasi dan

1. hak menguasai benda jaminan sampai hutang dilunasi2. hak menjual untuk

hal. 11129 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 2430 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 25

Page 17: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

hak-hak kebendaan lainnya3. hak retensi4. hak mengambil pelunasan lebih dahulu5. dibebaskan dari tuntutan hukum yang berkaitan dengan benda jaminan

mengambil pelunasan

Kewajiban Penerima Jaminan

1. memberi tahu debitur kalau melakukan eksekusi2. memelihara benda jaminan dan menanggung kerusakan karena salahnya3. mengembalikan uang sisa hasil eksekusi4. berhak menerima bunga dari piutang yang dijaminkan

1. memelihara dan menyimpan benda jaminan2. memberi tahu debitur agar segera melunasi hutangnya3. mengembalikan uang sisa eksekusi

Hak Pemberi Jaminan 1. menerima pengembalian uang sisa eksekusi2. meminta pengembalian benda jaminan kalau disalahgunakan3. menerima ganti rugi kalau benda jaminan hilang/rusak

1. menerima pengembalian uang sisa eksekusi2. menerima ganti rugi kalau benda jaminan hilang/rusak

Kewajiban Pemberi Jaminan

Menjamin bahwa benda jaminan adalah milik pemberi jaminan

1. membayar biaya pemeliharaan dan penyimpanan2. menjamin bahwa benda jaminan adalah milik pemberi jaminan

Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa jaminan syariah (rahn)

termasuk salah satu lembaga jaminan kebendaan, dan menjadi sub sistem hukum

jaminan nasional mengenai penjaminan benda bergerak. Namun, tidak ada

ketentuan yang mengatur jaminan yang berlandaskan pada prinsip syariah ini baik

dalam KUH Perdata maupun peraturan perundang-undangan.

Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

hukum jaminan syariah sebagai pola hubungan hukum baru di bidang transaksi

jaminan, menimbulkan keadaan vacuum of law atau kekosongan hukum di bidang

jaminan syariah. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, untuk mengisi kekosongan

hukum diperlukan alat bantu berupa konstruksi hukum yaitu tindakan analisis

Page 18: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan

bangunan hukumnya.31

Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada

Perbankan Syariah

Kepercayaan Masyarakat terhadap Murabahah pada Perbankan Syariah

Tidak adanya hukum yang mengatur jaminan syariah (rahn) berimplikasi

pada kepercayaan masyarakat pada akad pembiayaan murabahah. Sebagaimana

yang telah dijelaskan di atas bahwa sebagai produk pembiayaan, murabahah

mengandung beberapa risiko. Sehingga pembiayaan ini mesti membangun baik

kepercayaannya terhadap masyarakat maupun kepercayaan masyarakat terhadap

bank syariah itu sendiri. Salah satu jalan yang dapat membangun kepercayaan ini

adalah dengan mengaplikasikan jaminan sebagai akad assesoir terhadap akad

murabahah. Namun, kenyataan yang ada bahwa hukum yang mengatur akad

assesoir ini belum ada dalam peraturan perundang-undangan mengakibatkan

kepercayaan masyarakat berkurang.

Sejak berdirinya Perbankan Syariah sampai saat ini, Perbankan Syariah

selalu menghadapi lack of trusty (kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan syariah). Tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap Perbankan

Syariah dan Perbankan Konvensional itu sama. Sehingga sejak saat itu pula,

Perbankan Syariah mesti membangun kepercayaan masyarakat dengan berbagai

macam cara, misalnya dengan kegiatan sosialisasi mengenai eksistensi perbankan

syariah kepada masyarakat. Namun, usaha tersebut belum saja bisa meyakinkan

masyarakat sepenuhnya.

31 konstruksi hukum dibutuhkan khususnya untuk memahami suatu hubungan hukum baru yang belum ada aturan hukum yang secara khusus mengaturnya, sehingga dapat ditentukan aturan hukumnya. Caranya adalah dengan menerapkan salah satu ketentuan hukum atau berbagai aturan hukum secara bersamaan atau model campuran. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyelidiki apa yang esensial dari suatu hubungan hukum itu, di antaranya dengan melakukan abstraksi, dan membuang semua bentuk kekhususannya dan pada akhirnya dapat ditentukan esensinya. Dengan demikian yang dinamakan konstruksi hukum adalah suatu tindakan analitis kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan bangunan hukumnya (Paul Scholten). Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto, Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1 Januari 2010, hal. 22.

Page 19: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Dari hasil penelitian Bank Indonesia di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Jawa Timur didapatkan bahwa nasabah Perbankan Syariah memiliki

kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah salah satunya adalah karena faktor

keraguan terhadap konsistensi penerapan prinsip syariah pada Perbankan

Syariah.32

Buku II KUH Perdata menurut doktrin bersifat tertutup, dalam arti orang

tidak leluasa membuat hak kebendaan baru kecuali yang sudah diatur dalam

undang-undang. Penambahan hak kebendaan baru harus dilakukan berdasarkan

suatu undang-undang, seperti Fidusia berdasar Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999, dan Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Oleh karenanya, tidak adanya payung hukum yang mengatur jaminan

syariah ini bisa mengakibatkan citra akad jaminan syariah berkurang. Masyarakat

akan meragukan prinsip atau landasan yang digunakan akad jaminan syariah ini.

Berdasarkan doktrin dalam KUH Perdata di atas masyarakat juga tidak akan

merasa leluasa atau merasa ragu dalam bertransaksi dengan jaminan syariah yang

belum ada payung hukumnya. Dengan demikian, peraturan baru yang mengatur

jaminan syariah yang digunakan sebagai akad assesoir pada akad murabahah

harus dibuat dalam bentuk undang-undang.

Penyelesaian Sengketa Murabahah pada Perbankan Syariah

Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah mengatur bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi di

Perbankan Syariah dilakukan di lingkungan Peradilan Agama. Namun, ketentuan

Pasal 55 ayat (2) membuka peluang penyelesaian sengketa di tempat lain. Sebab,

penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan secara operasional penyelesaian

sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Alternatif penyelesaian sengketa

tersebut yakni a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase

Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ayat (2) di atas menyebabkan

32 Bank Indonesia. 2000. Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa (Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan).

Page 20: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

adanya dualisme (choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara

Peradilan Agama dan Peradilan Umum.

Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa syariah mesti berdasarkan pada

prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (3) Undang-

undang di atas. Namun, ayat (2) Pasal tersebut telah memungkinkan dilakukannya

penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena

penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum dilakukan berdasarkan Hukum

Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa

melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No.

8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah

dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.33

Pada tanggal 29 Agustus 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.

93/PUU/X/2012 mengakhiri dualisme (choice of forum) penyelesaian sengketa

ekonomi syariah antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Penyelesaian

sengketa Perbankan Syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Oleh

karenanya pihak-pihak yang melakukan akad berdasarkan prinsip-prinsip syariah

telah tertutup untuk melakukan pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan

di luar pengadilan agama.34 Namun, hukum yang mengatur jaminan syariah dalam

akad murabahah nyatanya belum ada dalam peraturan perundang-undangan.

Sehingga, Peradilan Agama belum memiliki dasar hukum yang jelas yang dapat

digunakan dalam penyelesaian sengketa murabahah dengan jaminan. Sehingga

peraturan baru yang mengatur jaminan syariah yang digunakan sebagai akad

assesoir pada akad murabahah harus dibuat dalam bentuk undang-undang.

PENUTUP

Kesimpulan

33 www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4572/akad-murabahah-dan-penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal 21 April 2016). 34 www.pa-manna.go.id/wp-content/uploads/2014/10/sengketa-ekonomi-syariah-dan-kesiapan-peradilan-agama.pdf (Diakses pada tanggal 18 April 2016)

Page 21: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Akad Murabahah merupakan produk pembiayaan yang paling banyak

digunakan oleh Perbankan Syariah. Akad ini mengandung risiko, sehingga

Perbankan Syariah perlu memerhatikan jaminan sebagai alat yang dapat

digunakan untuk berjaga-jaga (prudential) manakala nasabah wanprestasi.

Perbankan Syariah akan menetapkan syarat-syarat yang dibutuhkan dan prosedur

yang harus ditempuh oleh nasabah yang hampir sama dengan syarat dan prosedur

kredit sebagaimana lazimnya yang ditetapkan oleh bank konvensional sebelum

melakukan akad murabahah. Syarat dan ketentuan umum pembiayaan murabahah

yaitu: Umum, tidak hanya diperuntukan untuk kaum muslim saja; harus cakap

hukum, sesuai dengan KUH Perdata; memenuhi 5 C yaitu: Character (watak);

Collateral (jaminan); Capital (modal); Condition of Economy (prospek usaha);

Capability (kemampuan).

Selama ini Perbankan Syariah menggunakan rahn sebagai akad assesoir

terhadap akad murabahah. Rahn merupakan akad jaminan yang berlandaskan

pada prinsip-prinsip syariah, aplikasi rahn dan jaminan konvensional tentu

memiliki perbedaan. Rahn menjadi salah satu lembaga jaminan di samping

lembaga jaminan konvensional dan merupakan subsistem hukum jaminan

nasional mengenai penjaminan benda bergerak. Oleh karenanya, payung hukum

yang mengatur jaminan konvensional tidak bisa begitu saja diterapkan pada rahn.

Adanya kekosongan hukum tersebut berimplikasi pada citra Perbankan

Syariah dan proses penyelesaian sengketa akad murabahah. Sebab akad jaminan

syariah belum memiliki payung hukum yang jelas, masyarakat akan meragukan

keabsahan (kehalalan) akad tersebut sebagai akad yang menganut prinsip syariah.

Menurut doktrin dalam KUH Perdata, disebutkan pula bahwa masyarakat akan

leluasa atau merasa yakin dalam membuat kontrak jaminan bila kontrak jaminan

tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk menjaga

kepercayaan masyarakat terhadap Perbankan Syariah, mesti dibuat payung hukum

yang jelas yang mengatur jaminan syariah ini.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat

diselesaikan di Peradilan Umum. Hal ini menyebabkan terjadinya dualisme

Page 22: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

(choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara Peradilan Agama

dan Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah mesti

berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. Namun, dualisme tersebut membuka

kemungkinan penyelesaian sengketa tidak dilakukan berdasarkan pada prinsip

syariah. Sebab penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum dilakukan

berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU/X/2012 mengakhiri dualisme

(choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara Peradilan Agama

dan Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah menjadi

kewenangan absolut Peradilan Agama. Namun, Peradilan Agama belum memiliki

dasar hukum yang jelas yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa

murabahah dengan jaminan. Sehingga peraturan baru yang mengatur jaminan

syariah mesti dibuat dalam bentuk undang-undang.

Saran

Jaminan syariah (rahn) harus segera diatur dalam suatu undang-undang

untuk memberikan dasar hukum sebagai salah satu lembaga jaminan kebendaan

yang berbeda dengan jaminan kebendaan konvensional (gadai, fidusia,

tanggungan, dan hipotik). Dasar hukum jaminan syariah ini akan berguna untuk

meningkatkan citra Perbankan Syariah serta dapat dijadikan sebagai landasan

hukum dalam penyelesaian sengketa murabahah di Peradilan Agama.

Page 23: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Setyo Harianto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah

(Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum

Volume 10 Nomor 1.

Munir, Fuady. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer. PT. Citra Aditya

Bhakti. Bandung.

Karim, Adiwarman. 2014. Bank Islam. Jakarta. Rajawali Press.

M. Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema

Insani. Jakarta.

Prof. Mannan, Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syarih dalam Perspektif

Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta. Kencana.

Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi. 2007. Hukum Jaminan di Indonesia:

Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta. Liberty.

Page 24: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

Prof. Soebekti. 1986. Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut

Hukum Indonesia. Bandung. Alumni.

M. Mujieb, Abdul dkk. 2002. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta. Pustaka

Firdaus.

M. Ali, Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta.

PT. Raja Grafindo.

Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi

dan Ilustrasi. Yogyakarta. Ekonosia.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia. 2003.

Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta. Djambatan.

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah 12. Bandung. Al-Ma’arif.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta. PT. Raja Grafindo

Persada.

Prof. Mannan, Abdul, MA., Ph.D. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi

Islam. Yogyakarta. Dana Bhakti Wakaf.

Hermansyah. 2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta.

Kencana.

J. Satrio. 2007. Hukum Jaminan, Hak jaminan Kebendaan. Bandung. Citra

Aditya Bakti.

Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan

Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank

Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3.

Bank Indonesia. 2000. Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat

terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa (Jakarta: Direktorat Penelitian dan

Pengaturan Perbankan).

Page 25: Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah

http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS

(Diakses pada tanggal. 14 April 2014)

www.pa-manna.go.id/wp-content/uploads/2014/10/sengketa-ekonomi-

syariah-dan-kesiapan-peradilan-agama.pdf (Diakses pada tanggal 18 April 2016)

www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4572/akad-murabahah-dan-

penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal 21 April 2016).