7

Click here to load reader

Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Kereta Sudah Bukan untuk Kami

Oleh:

Rusdi Mathari

Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]

Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Page 2: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 2 | 7

Kereta Sudah Bukan untuk Kami

oleh Rusdi Mathari

Manajemen kereta rel listrik (KRL) di Jakarta mengalami ‘moderenisasi’ sembari menyingkirkan

pedagang kaki lima, pedagang buah, dan penjual kursi bambu—untuk menyebut di antaranya; satu

lanskap kekerasan simbolik dari rezim politik dan rezim estetik yang bertaut mesra.

NAIK KRL DARI Stasiun Bogor hingga Stasiun Kota, dan turun di hampir setiap stasiun di antara dua

stasiun besar itu, akan terlihat wajah stasiun KRL yang berubah. Pagar-pagar hingga tiang listrik yang

menancap di peron di setiap stasiun berwarna ceria seperti warna permen. Ada yang dicat jingga, hijau,

biru, dan lain-lain.

Halaman luar di hampir semua stasiun disulap jadi areal parkir berbayar mirip tempat parkir di pusat-

pusat belanja atau hotel. Penuh mobil dan sepedamotor yang seharian terpanggang matahari atau terguyur

air bila musim hujan. Di Stasiun Citayam, helm-helm yang bertengger di kaca spion sepeda motor

dibungkus plastik warna-warni. Tidak ada pilihan, karena bahkan tempat parkir pun tidak beratap.

Pintu masuk menuju peron sudah menggunakan sistem elektronik dan entah kenapa menggunakan bahasa

Inggris: Commuter Electronic Ticketing (disingkat Commet). Lewat Commet, penumpang cukup

menempelkan tiket ke mesin pencatat yang membuka pintu masuk berupa tiga batang besi berputar. Mirip

pintu masuk di Dunia Fantasi. Tak ada batas waktu penggunaan tiket kecuali saldo berkurang.

Penumpang dengan saldo tiket yang masih mencukupi untuk stasiun tujuan, tidak perlu lagi mengantre ke

loket. Mereka mengisi kembali saldo itu atau menukarnya dengan uang Rp 5 ribu.

Sistem Commet meniru atau mirip dengan ‘ez-link MRT’ di Singapura dan konon akan benar-benar

dibuat seperti tiket ez-link: satu tiket untuk banyak keperluan. Bisa digunakan naik MRT (mass rapid

transit), bus, LRT (light rail transit), dan keluar-masuk areal parkir. Sementara ini, tiket KRL hanya bisa

digunakan untuk naik kereta dan keluar-masuk areal parkir di stasiun. Sistem terpadu yang mulai

menyingkirkan tenaga manusia.

Toilet-toilet di hampir semua stasiun sudah makin bersih dan tidak mampat. Tak ada pungutan. Tak ada

preman yang dulu selalu menyetor kepada kepala stasiun. Petugas kebersihan berseragam merah-hitam

dari perusahaan alih-daya Ristra dilarang menerima tip. Mereka juga menyapu lantai peron dan gerbong

pada jam-jam sepi penumpang, dan mencuci kereta bahkan hingga larut malam di Stasiun Bogor.

Page 3: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 3 | 7

Sebagian toilet mudah diakses. Sebagian lain terletak di sudut-sudut yang jauh dari peron sehingga

penumpang harus jalan berputar, menyeberang perlintasan rel. Di Stasiun Bogor, penumpang yang masuk

di pintu selatan harus menyeberangi rel Jalur 1 untuk ke toilet di ujung bangunan stasiun lama yang kini

banyak kiosnya disewakan untuk kepentingan komersial.

Di Stasiun Cikini hingga Mangga Besar, penumpang harus turun melewati lantai berundak dari peron di

lantai tiga ke toilet di lantai dua, lalu keluar pintu masuk dan menempelkan kembali tiket mereka, bahkan

seandainya mereka sudah terkencing-kencing di celana.

Siksaan macam itu melengkapi usaha penumpang mencapai peron di Stasiun Bogor. Mereka bisa keluar-

masuk ke areal stasiun, setelah berputar sejauh kurang-lebih satu kilometer. Melintasi taman-taman yang

dibuat untuk ornamen keindahan yang terlepas dari realitas, berjalan di atas koridor tanpa atap dan lantai

yang licin bila hujan. Tak ada koridor untuk penyandang cacat. Satpam dan marinir yang berjaga juga

akan mengabaikan para orang tua atau ibu-ibu hamil yang kesulitan menapak tangga peron setinggi

semeter. Keadaan yang kurang-lebih sama bisa dijumpai di Stasiun Pasar Senen: loket-loket KRL dengan

ruang antre yang sempit, diletakkan di sudut paling ujung, jauh dari pintu keluar-masuk stasiun.

Tak ada lagi pedagang kaki lima. Tak ada lagi kios-kios buku seperti yang pernah ada di Stasiun

Universitas Indonesia. Tak ada pedagang lontong sayur dan penjual kopi di Stasiun Manggarai. Ibu-ibu

yang biasa menjulurkan bungkusan gorengan dari balik pagar Stasiun Cawang atau Tebet untuk sarapan

pegawai-pegawai perempuan yang tergesa-gesa—tak terdengar lagi teriakannya. Di Stasiun Pasar

Minggu, laki-laki tua penjual kacamata baca sudah lama menghilang. Tukang servis blender di Stasiun

Lenteng Agung, entah di mana kini membuka kios.

Sebagai gantinya, di ujung-ujung peron dibangun minimarket: Indomaret atau Alfamart. Gerai Roti Boy

dan Dunkin Donuts berjajar di Stasiun Bogor menempati bangunan tua stasiun. Kios Starbucks di Stasiun

Kota menyambut penumpang yang kelelahan dan kebingungan: apa beda rasa kopi di warung kopi

bermerek itu dengan kopi-kopi yang dulu dijajakan anak-anak muda dari Kuningan, Jawa Barat, kepada

penumpang di dalam kereta.

Di peron, penumpang dipersilakan duduk di bangku yang terbuat dari potongan rel. Bila musim hujan,

bangku panjang itu terasa dingin di pantat, dan menyengat bila musim kemarau.

Lantai peron adalah lantai yang berlubang.

Di Stasiun Bojong Gede, lubang-lubang itu dipenuhi air hujan yang mengucur deras dari atap peron yang

berbentuk V. Di Stasiun Gondangdia, Juanda dan seterusnya, lantai ubin stasiun ditambal seadanya. Di

Stasiun Cilebut, sebagian peron tidak beratap. Sementara peron di enam jalur Stasiun Bogor, seluruhnya

bahkan tak beratap. Bila sedang hujan atau terik, peron-peron itu penuh dengan penumpang berpayung.

Page 4: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 4 | 7

Lalu turunlah di Stasiun Depok Baru. Tak ada lagi gelandangan dan pengamen yang biasa memenuhi

peron. Namun, di areal stasiun sebelah timur, terlihat beberapa kolam pemancingan dan gubuk-gubuk reot

dipenuhi pemancing. Menyusuri rel dari stasiun ini menuju ke Stasiun Pondok Cina, mata disergap

bangunan kios pasar dan gunungan sampah yang menjorok hingga ke rel.

Lebih setengah juta penumpang setiap hari melintasi Stasiun Bogor-Kota dan stasiun-stasiun KRL di

Jakarta dan sekitarnya. Di pagi hari, mereka adalah penumpang yang wangi, menenteng ransel atau tas

warna-warni, menyuntuki perangkat komunikasi dengan kabel-kabel menjuntai sejak sebelum naik ke

kereta. Menjelang petang, mereka adalah penumpang yang kelelahan.

Tidak ada lagi bapak-bapak penjual jambu dan daun pisang dari Bogor yang berhenti di Stasiun Pasar

Minggu. Tidak ada lagi penjual kembang taman yang biasa turun di Stasiun Pancasila atau Lenteng

Agung. Tidak ada lagi penjual kursi bambu dari Cilebut.

KRL sudah bukan angkutan untuk mereka lagi.

NAIK KRL DI JAKARTA yang banyak dipuji orang sebagai angkutan yang kini mulai nyaman, telah

mengubur ingatan banyak penumpang bahwa jalur dari kereta yang mereka tumpangi, dibuat oleh

pemerintah kolonial Belanda justru bukan hanya untuk mengangkut manusia. Melainkan juga

mengangkut palawija, hasil kebun, dan ternak dari wilayah di sekitar Jakarta. Sejak jalur kereta di wilayah

ini dibuat kali pertama oleh Staats Spoorwegen pada 1923 dan mulai dipergunakan dua tahun kemudian,

pemerintah Hindia Belanda bermaksud memudahkan pengangkutan hasil perkebunan semisal kopi dan

tembakau, dan karena itu jalur pertama dibuat dari Jatinegara (dulu bernama Meester Cornelis) ke Stasiun

Tanjung Priok (pelabuhan).

Jalur itu kemudian diperluas hingga melingkari Jakarta; semuanya bermuara di Stasiun Tanjung Priok.

Ditarik dari Bogor, Bekasi, Tangerang, bahkan hingga Rangkasbitung. Setelah Proklamasi 1945,

Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia tidak pernah mampu menambah jalur dan pelayanan kereta.

Beberapa jalur kereta bahkan dimatikan, dan yang baru dibuka kembali adalah rute ke Stasiun Tanjung

Priok.

Hingga Orde Baru, seluruh manajemen kereta di bawah kendali PJKA yang berubah nama jadi PT KAI.

Menyusul ledakan penumpang di Jakarta dan sekitarnya, pengelolaan KRL lalu diserahkan kepada PT

KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Perusahaan yang disebut terakhir, semula mengelola 37 rute kereta di

wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun 2011, rute-rute itu disederhanakan dan hanya menjadi lima rute

Page 5: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 5 | 7

dengan antara lain menghapus KRL cepat, menerapkan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama

KRL menjadi Kereta Commuter—sekali lagi memakai istilah bahasa Inggris.

Manajemen KRL di Jakarta dan sekitarnya, kata orang-orang, mengalami revolusi. Namun kereta yang

dipergunakan adalah evolusi: bagian dari kereta masa lalu yang sebagian besar, untuk tidak menyebut

seluruhnya, adalah kereta bekas; sedekah dari Jepang. Jepang punya kepentingan untuk memberi banyak

kereta bekas, agar industri otomotif mereka terus menerima keuntungan langsung dari pesatnya

perkembangan infrastruktur jalan raya yang lebih banyak lagi dibiayai oleh Tokyo termasuk dengan

memberi utangan pada Jakarta.

Sedekah KRL dari Jepang sekaligus mengakhiri rezim kereta yang seharusnya disediakan oleh negara. Ia

mengubah sejarah KRL yang awal kisahnya banyak menggunakan kereta dari Belanda, Jerman dan

Swiss, seperti lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik Swiss Locomotive & Machine Works–Brown

Baverie Cie, atau lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft Jerman.

Pemerintah untuk kali pertama mendatangkan KRL bekas Jepang untuk kelas ekonomi sebanyak 56 unit

pada awal 1976, atau dua tahun setelah kerusuhan yang dikenal Malari (‘Malapetaka 15 Januari’) yang

menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dan investasi asing.

Kedatangan KRL jenis reostastik, untuk mengganti armada lokomotif listrik dan kereta kayu itu, dipakai

melayani rute Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi, Tenabang-Serpong dan Jakarta-Tangerang. Setahun setelah

reformasi, gelombang besar KRL bekas Jepang datang di Pelabuhan Tanjung Priok. Pemerintah Kota

Tokyo memberikan 72 unit KRL berpendingan udara dari bekas Biro Transportasi Pemerintah Daerah

Tōkyō (Tōei).

Sejak itu, Jakarta punya KRL ber-AC, dan gelombang kereta bekas dari Jepang terus berdatangan kendati,

di sisi lain, mobil dan sepedamotor jauh lebih banyak diproduksi dan dipasarkan di sini. Kereta-kereta

yang telah berumur 30 tahun itu diperbaiki di depo Bogor atau Jatinegara. Pendingin udaranya yang sudah

tersumbat dibetulkan. Kaca-kacanya yang kusam dibersihkan. Dan sambungan rangkaiannya yang

berderit bila kereta berjalan mengingatkan bunyi bangku-bangku bambu yang hendak ambruk. Cerita

sampirannya: meski hibah atau hadiah dari Jepang, kereta-kereta itu telah memunculkan dugaan korupsi

dan menyeret nama Hatta Rajasa.

Ada 11 jenis seri KRL bekas termasuk dari East Japan Railway Company (JR East)—berputar di lintasan

rel di Jakarta dan sekitarnya. Paling baru adalah KRL seri 205 yang dioperasikan sejak Mei 2014. Kereta

jenis ini pernah digunakan di Yokohama dan dulunya dioperasikan oleh Depo Kamakura. Seri yang sama,

setahun sebelumnya, didatangkan dari bekas JR East yang pernah beroperasi di jalur Saikyo. Adapun

KRL buatan PT. INKA dioperasikan ke kota-kota lain menjadi KRD, kereta diesel.

Page 6: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 6 | 7

Apa yang disebut ‘revolusi’ itu berlanjut ke ‘renovasi’ stasiun dan KRL, penataan ulang keberangkatan,

dan pembaruan peron dan halaman stasiun.

Sejak Juli 2013, KCJ menerapkan sistem Commet dan perubahan sistem tarif kereta. Stasiun menjadi

steril, kendati untuk semua itu, diperlukan ratusan satpam dan marinir yang menganggur, yang berjaga

dari ujung ke ujung setiap stasiun. Ada yang membunuh waktu dengan memencet-mencet ponsel, ada

yang melamun bersandar di pagar, ada yang bergaya dengan handy talky. Sebagian dari mereka berjaga di

perlintasan rel di areal beberapa stasiun, meniup peluit yang bunyinya menjerit-jerit seperti mengabarkan

suatu keadaan gawat.

Mereka sigap berlari memukuli penumpang yang dituduh mencopet, membentak penumpang yang

kehilangan tiket, atau dengan galak menegur penumpang yang ketahuan merokok bahkan jika itu

dilakukan di peron paling ujung yang tidak beratap, seperti di Stasiun Bogor atau Cilebut. Papan nama

atau stiker bertuliskan “Dilarang Merokok,” dengan gambar dua garis lurus yang di ujungnya ada garis

melengkung—simbol rokok berasap—dipalang dengan warna merah, dipasang atau ditempelkan di

pagar-pagar, tembok, dan tiang-tiang listrik. Peron seakan telah berubah jadi bangsal-bangsal rumahsakit

atau Puskesmas. Sementara para satpam ceking yang mengenakan penutup kepala mirip topi baja yang

kedodoran dan marinir yang berseragam tempur berlagak perawat dan dokter.

Tak ada ruang yang disediakan bagi perokok meski hal itu adalah amanat undang-undang. Tak ada

“Smoking Area” sekalipun hanya berupa tempat paling ujung di peron stasiun-stasiun yang terbuka

seperti yang bisa dijumpai di bandara termasuk di Changi, Singapura. Merokok di stasiun dianggap

sebagai perilaku haram dan perbuatan ilegal. Perokok dianggap pengganggu.

Di Stasiun Bogor, para satpam dan marinir yang kelelahan, biasa mengaso dan menyelipkan badan

mereka di antara peron dan KRL atau duduk di sekitar toilet, hanya sekadar untuk minum kopi dan

merokok, di antara anak-anak muda petugas kebersihan yang kelelahan membersihkan kereta. Bila ada

penumpang yang mencoba ikut merokok, mereka akan segera meletakkan rokok, dan sigap berdiri untuk

melarang hanya dengan penjelasan singkat, seolah sudah diprogram, “Dilarang merokok di seluruh areal

stasiun.”

Ignatius Jonan, mantan direktur utama PT KAI dan kini menteri perhubungan, berhasil menanamkan

kepercayaan sinting: stasiun bukan tempat merokok, kendati kios-kios minimarket di hampir setiap

stasiun (dan membayar sewa), menjual rokok. Keputusannya yang membuat seluruh kawasan stasiun

steril dari asap rokok hanya didasari oleh perda. Namun mengabaikan ketentuan undang-undang yang

lebih tinggi yang mewajibkan setiap kawasan tanpa rokok termasuk stasiun harus menyediakan tempat

khusus untuk merokok atau perokok.

Page 7: Kereta Sudah bukan Untuk Kami

Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015

H a l a m a n 7 | 7

Jonan telah menempatkan PT KAI seperti peserta kampanye anti-rokok, dan Jonan yang perokok berat

memakai alasan bahwa asap rokok mengganggu kenyamanan penumpang yang tidak merokok.

Dan dari balik kaca kereta yang dilapisi aneka reklame, para penumpang menyaksikan banyak bangunan

liar yang dirubuhkan. Teronggok di tepi rel seperti sisa-sisa runtuhan bangunan akibat perang. Tambahan

lagi: pedagang kaki lima adalah bakteri yang harus dimatikan.

Para penumpang yang berdiri dan berdesakan setiap pagi dan petang di dalam gerbong, mematung dengan

wajah kesepian. Di deretan tempat duduk, bapak-bapak dan anak-anak muda menutup mulut dan mata,

membiarkan ibu-ibu tua bergelantungan di depan mereka. Di ujung rangkaian, yang tempat duduknya

diperuntukkan penumpang tak berdaya, sesak dengan laki-laki dan perempuan yang sibuk memainkan

ponsel mereka. Tak ada yang menegur.

Semua penumpang sibuk dengan urusan dan khayalan masing-masing, seolah mereka menikmati

angkutan yang akan membawa mereka ke Tanah Penuh Harapan. Mereka disuguhi iklan-iklan yang

ditempel di dalam dan di luar gerbong, dan di layar LCD yang kaku. Kereta api telah berubah menjadi

alat menangguk untung paling efektif dan penumpang terus dipaksa bermimpi.

Turun di Stasiun Cilebut, Anda akan menyaksikan para pembuat kursi bambu seperti Pak Agun antre

menunggu truk yang bersedia mengangkut mereka ke Jakarta. Dia terpaksa beralih menumpang truk, dan

tentu saja harus membayar ongkos lebih mahal ketimbang ongkos naik KRL. Turun di Depok, dia

berjalan hingga Lenteng Agung, memikul kursi bambu yang dibuat bersama anaknya. Matanya bersaput

peluh.

Di bibir Stasiun Citayam, Pak Jum penjual rumput terpaksa menumpang ojek hingga Stasiun UI, lalu

memikul dua karung rumput dan aneka bunga, melangkahkan kaki menyusuri jalan penuh asap knalpot ke

Srengsengsawah atau Jagakarsa.

“Kereta di Jakarta sudah bukan untuk kami lagi,” kata Pak Jum.[]

---

Rusdi Mathari, wartawan dan penulis, tinggal di Jakarta. Blog: www.rusdimathari.wordpress.com

Twitter: @rusdirusdi