Upload
ullaah-fathullah-syahrul
View
620
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis pada awal abad ke-20 telah
membuka jalan bagi kalangan pribumi untuk menempuh pendidika berbahasa Belanda. Dari
kebijakan pemerintah colonial tersebut telah menghasilkan sejumlah kelas menengah terdidik
pribumi dalam jumlah yang banyak, meski fasilitas pendidikan tinggi di negeri jajahan masih
bersifat terbatas, namun kebijakan yang terbatas tersebut membuka ruang bagi penguatan
kelompok intelektual pribumi di negeri Belanda meningkat tajam bila dibandingkan dengan
periode sebelumnya.
Peningkatan jumlah kalangan terdidik memiliki implikasi politis bagi penguatan kasadaran
social, politik dan budaya masyarakat pribumi. Umumnya mereka yang menempuh
pendidikan tinggi di Belanda para aktor pergerakan yang memiliki pengaruh pada kelompok
dan komunitasnya, begitu mereka berada di negeri, mereka terlibat dalam berbagai kegiatan
politik untuk membangun jaringan pergerakan di Indonesia dan bergabung dengan organisasi
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Kesadaran nasional mulai tumbuh ketika itu, pada
1908 telah berdiri Indische Vereeniging yang menjadi wadah penyalur aspirasi para kalangan
mahasiswa yang dikembangkan dari pusat kegiatan social dan kebudayaan para mahasiswa
Indonesia dapat melewatkan waktu senggang mereka dan bertukar pikiran mengenai keadaan
Indonesia.1
Dari peningkatan jumlah kelangan pelajar tersebut, tumbuh dan berkembang berbagai
pergerakan nasional yang lahir sejak awal abad ke-20, bersamaan dengan diterapkan
kebijakan politik etis Belanda. Kekuatan-kekuatan social politik Indonesia muncul,
berkembang, kemudian mengalami gelombang pasang dan gelombang surut, mengalami
perlunya ada wadah untuk memperjuangkan tegaknya amar ma’ruf nahi mungkar, Islam
sangat memetingkannya, sebagaiman dinyatakan dalam firman Allah SWT yang aritnya
berikut ini:
1 John Ingelson, Jalan ke Pengasingan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983)
1
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunujuk. Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang
beruntung (Q.S. Ali-Imran/3: 103-104).
Dalam ayat lain, Allah berfirman mengenai pentingnya memperteguh kekuatan dan
mempererat silaturrahmi yang artinya sebagai berikut;
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
satang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat” (Q.S. Ali-Imran/3: 105).
Juga penting kiranya ayat berikut ini melandasi pembentukan kekuatan politik di Indonesia
yang artinya sebagai berikut;
“Hai orang-orang yang beriman, jka dating kepadamu orang fasik membawa suau berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu” (Q.S.
Al-Hujurat/49: 6).
Ayat diatas menjadi dasar bagi proses pembentukan sejumlah kekuatan sosio politik di
berbagai Negara dan bangsa, termasuk dasar yang dirujuk oleh elite-elite Islam ketika
mendirikan kekuatan politik Indonesia. Meski demikian, perdebatan mengenai isu dan klaim
politik berlangsung dalam tempo yang sangat penting, misalnya klaim kekuatan politik yang
mengaku memperjuangkan “bahasa” Tuhan, ada partai yang memperjuangkan nilai-nilai sosialis,
dan adapula partai yang mencoba menerjemahkan pesan-pesan Tuhan untuk kepentingan
kemanusiaan.
2
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
Bagaimana pembetukan kekuatan politik Islam di Indonesia
Bagaimana pembentukan kekuatan nasionalis kebangsaan di Indonesia
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan Kekuatan Politik Islam
Kekuatan politik Islam telah muncul pada awal 1900-an bahkan menurut beberapa
dokumen jauh lebih dahulu dari kemunculan kekeuatan-kekuatan nasionalis. Pada tahun 1905,
pengorganisasian kekuatan Islam dilakukan oleh sejumlah saudagar Islam dengan mendirikan
Sarekat Dagang Islam (SDI) dapar dipandang sebagai embrio bagi kemunculan kekuatan-
kekuatan Islam setelahnya, bahkan kemunculan SDI telah menginspirasi kalangan kebangsaan
untuk mendirikan perkumpulan dikalangan mereka sebagai menifestasi dari panggilan untuk
terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat pribumi.
Kajian mengenai kekuatan Islam politik pada periode pra kemerdekaan telah dilakukan
oleh sarjana, khususnya sarjana Indonesia sendiri seperti yang dilakukan oleh Deliar Noer2
dan Aqib Suminto,3 keduanya telah menganalisis pertumbuhan dan perkembangan kekuatan-
kekuatan Islam pada masa itu. Dalam konteks yang hampir sama, yang dilakukan Alfian4
dengan member tekanan pada gerakan Muhammadiyah telah menjadi sumber yang penting
untuk memahami kemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan Islam, baik yang
bersifat politik maupun social keagamaan.
Aktor-aktor gerakan Islam yang mengorganisir diri pada masa itu memiliki spirit
perjuangan yang kuat, mereka menghadapi kekuatan kolonial yang ingin tetap berkuasa di
Hindia Belanda, namun pemerintah kolonial mengalami kesulitan menentang kuatnya
desakan kalangan Islam untuk terlibat dalam kegiatan pencerahan umat. Dalam konteks ini,
pemerintah mengembangkan dua model kebijakan dalam menghadapi kekuatan Islam yakni
bersikap netral terhadap ibadah agama, disamping juga bertindak tergas terhadap
kemungkinan perlawanan orang-orang Islam, Artinya ada unsure toleransi dan kewaspadaan.5
Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk menjaga keamanan dan ketentraman warga,
sebagai implikasi dari penerimaan terhadap arus pekembangan kesadaran umat Islam.
2 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996).3 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandshe Zaken (Jakarta: LP3ES, 1985)4 Alfian, Muhammadiyah The Political Behavioral of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989)5 Lihat Aqib Suminto, op. cit., hlm. 199.
4
Selain kekuatan Islam yang muncul pada awal abad ke-20, juga berkembang berbagai
ideologi politik lain seperti nasionalisme, komunisme, dan ideologi kebangsaan lainnya yang
ikut serta memperkuat barisan perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi yang
merdeka, terbebas dari penjajahan.
Pada sub bagian ini akan difokuskan dalam memotret kekuatan politik Islam yang berdiri
pada masa pra kemerdekaan. Penjelasan ini penting untuk memperoleh gambaran yang
memadai mengenai kemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik Islam.
Kemunculan kekuatan Islam tersebut member indikasi kuat bagi praktek politik Islam periode
berikutnya termasuk apa yang dipraktekkan politik Indonesia dewasa ini.
1. Kebangkitan Islam Politik: Kasus Sarekat Islam
Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi politik yang didirikan di Solo pada 11
November 1912. SI dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kelanjutan dari Sarekat Dagang
Islam (SDI) yang didirikan pada 16 Oktober 1905 yang dipelopori oleh Tamat Djaja dan
Samanhoedi. Si didukung oleh kalangan pelajar seperti HOS Tjoromianoto, Agus Salim,
Moeis, termasuk Suwardi Surjaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan Ki Hajar
Dewantara pernah bergabung dengan SI. Tokoh-tokoh SI dengan keras mengkritik pemerintah
kolonial Belanda yang dipandangnya sebagai pihak yang hanya mengambil hasil bumi
Indonsia, tidak hanya kekayaan alam Indonesia yang dikuras, tetapi juga melakukan
penindasan secara social, politik dan budaya.
Lahirnya SI merupakan respons lansung kalangan Islam terhadap praktik politik
pemerintah kolonial Belanda yang juga menyebarkan agama resmi pemerintah mereka. Elite-
elite SI memandang bahwa pemerintah Belanda telah memperlakukan penduduk pribumi
sebagai sapi perahannya, Tjokroaminoto misalnya mengatakan bahwa “Tidaklah wajar untuk
melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh
susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat dimana
orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat
dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai
hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya
sendiri…tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan
untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita”.6
6 Di kutip dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996)
5
Visi untuk memperjuangkan tegaknya suatu bangsa yang berdaulat menjadi visi besar
yang diusung oleh SI, itulah yang kemudian dirumuskan dengan judul “Keterangan Pokok”
pada 1917, keterangan pokok ini berisi sejumlah gagasan penting tentang perjuangan umat
Isalam dan rakyat Indonesia menuju terbebasnya dari berkuasanya rakyat Negara lain atas
rakyat ISIegara lain atas rakyat Indonesia, meningkatnya pengaruh golongan pribumi dalam
masyarakat menjadi tumpuan harapan akan memperoleh kekuasaan sendiri dengan diperintah
golongan sendiri. Beberapa tuntutan SI kepada pemerintah kolonial Belanda adalah berdirinya
dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad (Dewan Rakyat) dengan tujuan
mentransformasikannya menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk
keperluan legislatif. Selain itu, SI juga menuntut dihapuskan segala macam undang-undang
dan peraturan yang menghambat tersebamya Islam, pembayaran gaji bagi kiyai dan penghulu,
pemisahan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, kemudahan bagi rakyat miskin untuk
memperoleh bantuan bukum, perbaikan di bidang agraria dan pertanian dengan
menghapuskan milik tuan tanah, perbaikan irigasi. Tuntutan lain dari SI kepada pemerintah
adalah agar industri-industri yang sangat penting dinasionalisasi yaitu industri-industri yang
mempunyai sifat monopoli dan yang memenuhi pelayanan dan barang-barang yang bersifat
pokok bagi rakyat banyak.7
Fokus perhatian pada isu-isu poiitik telah memposisikan SI sebagai satu gerakan poiitik
Indonesia pertama yang secara terbuka menuntut pemerintah untuk memperhatikan
kepentingan penduduk pribumi, pemilik tanah air. Karena sumber pembiayaan pemerintah
berasal dari pajak yang dipungut — baik sukarela maupun paksa dari penduduk Indonesia,
maka partai SI menuntut agar pemerintah memberikan bantuan pembiayaan kepada
perkumpulan pribumi, khususnya koperasi. Sebelum munculnya kekuatan-kekuatan nasionalis
kebangsaan dalam aktivitas poiitik, kalangan Islam melalui SI telah rnelakukan berbagai
langkah penting sejak SI berdiri, khususnya pada 1917 rnelakukan kritik terbuka kepada
pemerintah dan menuntut dilakukan perbaikan atas nasib rakyat.
7 Ibid. hlm. 127-130.
6
Dengan memahami sejumlah visi, program dan tuntutan SI kepada pemerintah tersebut,
maka dengan sangat jelas, orientasinya pada poiitik kekuasaan dengan meletakkan partisipasi
rakyat. Karena itu, SI berbeda dengan Muhammadiyah yang berdiri pada akhir 1912, Persis
(Persatuan Islam) didirikan tahun 1923 dan NU (Nahdatul Ulama) didirikan pada 1926 yang
membawa misi sosial keagamaan. SI membangun hubungan yang baik dengan kelompok
sosial Islam termasuk dengan gerakan-gerakan Islam atau ormas Islam, bahkan SI
membangun hubungan bersifat simbiosis mutualisme dengan sejumlah ormas Islam. Secara
umum, ormas Islam berkiprah pada wilayah keagamaan atau berorientasi kultural, sedangkan
Sarekat Islam yang berkiprah pada wilayah poiitik atau berorientasi struktural.8 Hubungan
ormas Islam dengan Sarekat Tslam bersifat fungsional dan saling membutuhkan, Sarekat
Tslam membutuhkan dukungan ormas-ormas Islam untuk meningkatkan pengaruh politiknya,
sedangkan ormas-ormas Islam membutuhkan Sarekat Islam untuk menyalurkan aspirasi
politiknya.9
Masa kejayaan SI terjadi ketika dukungan kuat kalangan Islam terhadap kekuaran politik
Islam itu. Kejayaan itu berlangsung sejak awal berdirinya SI hingga pertengahan tahun 1920-
an. Setelah tahun 1925, SI mulai mengalami problem aktual (baik internal maupun eksternal),
khususnya ketika diselenggarakan Kongres Al-Islam di Mekkah. Kongres ini memicu protes
sebagian kalangan pembaru atas tingkah laku pemimpin SI yang hadir pada Kongres itu,
wakil kalangan pembaru dan Indonesia adalah Tjolaroaminoto dan KH. Mas Mansur,
ditambah kalangan tradisional. Tapi kehadiran mereka menimbulkan persoalan di kemudian
hari setelah beberapa elite Muhammadiyah (pusat dan daerah) menunaikan ibadah haji tahun
1926, mereka menemukan kekurangan dalam diri Tjokjroarninoto.10 Persoalan bertambah
rumit setelah jama'ah haji yang berasal dari Muhammadiyah kembali ke tanah air, mereka
menyebarkan berbagai selebaran pamflet, dan brosur yang menceritakan kekurangan
Tjokroaminoto, sekalipun upaya memperluas selebaran dihentikan oleh ketua cabang yang
akhirnya minta maaf atas tingkah warganya.11
8 Syarifuddin Jurdi, Elite Muhammadiyah, hlm. 70.9 MT. Arifin, Muhammadiyah Potret yang Berubah, hlm. 102-10310 Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, Hlm. 255-256.11 Ibid.
7
Dengan keadaan itu, hubungan SI dengan kekuatan sosial Islam tidak harmonis lagi dan
segera disusul dengan berbagai kebijakan SI atas beberapa kelompok dan individu yang
berafiliasi dengannya, kebijakan ditempuh sejak keadaan tidak membaik (1926-1927) dengan
melakukan politik penertiban para anggotanya yang merangkap sebagai anggota
Muhammadiyah dan Persis.12 Kebijakan tersebut menimbulkan perpecahan di kalangan umat
Islam. Dalam Kongres SI dipersoalkan hubungan antara Sarekat Islam dengan organisasi
sosial Islam terutama Muhammadiyah, dalam kongres disebutkan bahwa "segala kekurangan
Muhammadiyah dalam rangka hubungan ini akan dilaporkan kepada pimpinan Sarekat Islam
yang akan meminta perhatian pimpinan pusat Muhammadiyah tentang masalah ini.13
Menyangkut hubungan Sarekat Islam dengan ormas Islam yang mulai mengalami
keretakan, mulanya dipicu oleh perkawinan Tjokroaminoto dengan penari Solo, langkah itu
"mencoreng" SI, sebagian kelompok sosial Islam tidak senang dengan langkah petinggi SI
tersebut, tapi sejak itulah SI mengalami pemudaran pengaruh di kalangan pergerakan
kebangsaan. Sementara itu kelompok sosial Islam mulai mengalami perkembangan yang
cukup baik, pihak SI segera menuduh bahwa perkembangan gerakan sosial Islam tersebut
disebabkan oleh politik kooperasi yang dilakukannya oleh sebagian mereka dengan menerima
subsidi dari pemerintah untuk sekolah-sekolah terutama yang dilakukan oleh
Muhammadiyah.14 Sikap politik Sarekat Islam bersifat non-kooperatif, partai ini juga
menjalankan pohtik hijrah, Sarekat Islam menentang dan menolak untuk menerima subsidi
yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, SI menganggap menerima subsidi dari
pemerintah, merupakan sikap yang a-nasionalis atau bahkan anti-nasionalis.
Sarekat Islam dalam kongresnya 1927 membolehkan cabang-cabangnya untuk melakukan
penertiban atas gerakan Islam yang menerima subsidi seperti Muhammadiyah, serta melarang
pimpinan partai untuk menghadiri kongres Muhammadiyah yang chlaksanakan pada tahun itu
juga, sedangkan Salim yang menjadi penasihat Muhammadiyah meletakkan jabatan ini "atas
kemauan sendiri".... dan tahun 1929 SI mengambil langkah disiplin terhadap Muhammadiyah
secara umum yang berarti bahwa anggota Muhammadiyah harus berhenti dari SI, atau bila
12 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 255-260.13 Ibid. hlm. 255-256. Masalah hubungan antara Muhammadiyah dan SI akan dibahas kembali dalam kongres SI yang berlangsung tahun 1927 di Pekalongan.14 Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah: Dari K.H.A. Dahlan sampai dengan K.H. Mas Mansur (Yogyakarta: Persatuan, tt.), 32-35
8
mereka meinilih tinggal dalam partai, mereka harus meniggalkan Muhammadiyah.15 Setelah
pohtik penertiban atas Muhammadiyah dan Persis dilakukan Sarekat Islam, pada tahun 1933
(berubah menjadi PSII [Partai Sarekat Islam Indonesia]) memecat Sukiman tanpa diberi
kesempatan untuk membela diri.16
Meskipun kondisi internal yang dihadapi SI begitu dinamis, namun perhatian dan sikap
kritisnya terhadap pemerintah tidak pernah pudar. Penting kiranya disebutkan bahwa SI
memperoleh dukungan dari berbagai aliran dan kekuatan, termasuk keterlibatan SI dalam
serikat kerja atau buruh dan kemudian mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh Hindia
(PPKB) pada 15 Desember 1919, pimpinan PPKB masuk dalam struktur kepemimpinan SI
sebagai Wakil Presiden, termasuk beberapa tokoh yang beraliran komunis. Pada dekade
1920-an, SI mengalami dinamika internal yang cukup penting bagi masa depannya,
mengingat SI telah disusupi oleh ideologi kiri termasuk konflik internal antara kubu komunis
Darsono dengan Tjokroaminoto terkait dengan masalah keuangan.
Kiprah politik Sarekat Islam yang mulai pudar pada dekade 1930-an dan kemudian
mengalami "Pemunahan" ketika gerakan kebangsaan mulai mengalami penguatan, tentu
merupakan suatu kenyataan sejarah )-ang kurang baik bagi kalangan Islam. Pada dekade
1940-an, SI juga membuat berbagai sikap politik yang kurang mencerminkan nilai-nilai
kebersamaan di antara sesama pergerakan Islam, seperti sikapnya untuk keluar dari federasi
politik umat Islam pada tahun 1947. Keluarnya SI dari federasi politik umat Islam Masyurni
tidak terlepas dari posisi dan status SI yang merupakan "raksasa" kekuatan politik Islam pada
dekade awal kemunculan kekuatan Islam, jelas yang muncul adalah motif kekuasaan, untuk
kepentingan kalangan SI sendiri.
Terlepas dari dinamika internal SI, kekuatan politik Islam ini memiliki pandangan
mengenai politik yang integralistik yakni bahwa "agama, politik dan peri kehidupan
(ekonomi) itu sudah serangkai,17 sikap politik seperti ini, umum dipakai oleh para aktivis
gerakan Islam dan partai politik Islam yang melihat bahwa Islam merupakan agama yang
komprehensif, lengkap dan sempurna mengatur kehidupan umat manusia. Ketika keinginan
menerapkan ideologi Islam secara totalistik tersebut, dalam struktur SI masuk dan
berkembang ideologi kiri, ideologi komunis. Para aktor yang terlibat dalam menyusupkan
15 Ibid.16 Abdul Azis Thaba, op. Cit., hlm. 143.17 Neratja, 5 Maret 1918 dikutip dalam Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm, 144.
9
ideologi kiri tersebut tidak memiliki alternatif pergerakan lain, kecuali mempergunakan SI
sebagai alat politik yang sudah tersedia.
Itulah sebabnya ketika dalam SI muncul dasar-dasar yang bukan Islam yang kemudian
melemahkannya, kekuatan ideologisnya melakukan upaya-upaya "pembersihan" agar Islam
tetap menjadi faktor utama dalam menggerakkan partai. Bagi kalangan SI, ideologi diluar
Islam tidak diperlukan, karena dalam Islam telah lengkap mengatur segala dimensi
kehidupan,, tidak perlu lagi umat Islam mencari berbagai paham atau isme-isme yang lain
yang dapat mengobati pergerakan mereka. Dalam Islam telah ada dasar perjuangan yang
kekal. Bahwa segala kebajikan yang ada dalam suatu isme, ada dalam azas islamisme itu.18
Agus Salim salah seorang pemimpin SI mengemukakan bahwa tujuan SI adalah untuk
mendirikan suatu "aturan dunia yang membawa persamaan dan kebahagiaan bagi segala
manusia",...hal itu hanya akan dicapai apabila susunan dunia sekarang di ubah.19 Prinsip
persamaan merupakan penekanan untuk membangun masyarakat baru yang berkemajuan,
terbebas dari kolonialisme dan imperialisme. Dalam pemahaman Islam, bahwa kemerdekaan
yang hakiki adalah terbebasnya manusia dari segala penghambaan atau ketergantungan
kepada selain Allah, satu-satunya tempat untuk meminta pelindung hanya kepada Allah SWT,
inilah pandangan dasar politik SI.
Sikap politik SI berbeda dengan sikap umum kelompok Islam lainnya, SI lebih
menekankan pada politik progresif-radikal ketika berhadapan dengan pemerintah Hindia
Belanda yang melancarkan gerakan kristenisasi. Apa yang dilakukan SI merupakan sesuatu
yang wajar dan rasional, hanya kurang mengkalkulasi secara matang sikap politik tersebut
untuk kepentingan jangka panjang Islam, misalnya dalam salah satu sikapnya mengenai hal
ini, SI menyatakan bahwa SI didirikan sebagai reaksi umat Islam terhadap kerteningspolitik
(politik pengkristenan) pemerintah Belanda dan aktivitet zending....".20
18 Ibid, hlm. 139.19 Ibid.20 Ibid.
10
Pendirian kekuatan sosial keagamaan untuk memperkuat basis gerakannya dengan cara
mencerdaskan mereka merupakan rangkaian sikap yang sama yang diterapkan oleh SI, bahkan
SI menyerukan beberapa hal kepada penduduk pribumi;21
a. kemerdekaan yang berazaskan ke-Islaman..., yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat
daripada perhambaan macam apapun juga.
b. hampir segenap rakyat Hindia sebagai kaum buruh, termasuk yang terpelajar yang hanya
berharga sebagai perkakas pihak penarik kekayaan itu.
c. menekankan perlunya persatuan dari para petani dan pekerja yang diharapkan akan berjuang
untuk rnenghapus segala "kejahatan dari perbudakan politik dan ekonomi". Hak-hak politik
dianggap sebagai kemestian bagi penghapusan ini.
d. menurut Islam pemerintah itu haruslah sebuah "pemerintahan rakyat, yang berhak
mengadakan dan memecat punggawanya untuk keperluan bersama".
Pendirian politik yang keras dan progresif seperti SI menyebabkan kekuatan tersebut
mengalami persoalan tersendiri, karena menghadapi pihak lain, khususnya Negara yang
memiliki posisi yang kuat. Sikap politik tidak diteruskan oleh sejumlah kekuatan politik yang
berdiri pasca SI mengalami kemunduran pengaruh di kalangan umat Islam. Beberapa
organisasi politik yang muncul pada dekade 1930-an adalah munculnya Majelis A'la Islam
Hindia Syarqiyah (MATHS),22 partai ini termasuk didukung oleh Muhammadiyah. Setelah itu
berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Partai ini menyalurkan aspirasi dari banyak anggota
organisasi pendidikan dan sosial Islam yang dahulunya disalurkan melalui Sarekat Islam.23
PII merupakan partai yang menonjolkan bila dibandingkan dengan partai yang lain selain SI.
Partai ini dicetuskan oleh beberapa ceadekiawan Islam seperti Sukiman yang merasa tidak lagi
mendapat tempat dalam Sarekat Islam. Organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah
bergabung dengan PII dan menjadikan partai ini sebagai saluran aspirasi warganya, begitu juga
dengan organisasi-organisasi Islam lain yang tidak lagi terakomodasi dalam Sarekat Islam.
Kehadiran PII sebagai bentuk protes kelompok Islam yang terhadap Sarekat Islam. Selain itu,
muncul dan berkembang federasi politik umat Islam yakni Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
yang dideklarasikan pada 1938, didukung Muhammadiyah, SI, dan NU.
21 Ibid. hlm. 146.22 Lihat Bendera Islam, 26 Februari 1925, 3/7 September 1925 seperti yang dikutip oleh Deliar Noer, op. cit., hlm. 153.23 Lihat Deliar Noer, op. cit., hlm. 154.
11
2. Pergulatan Kekuatan Islam: Kasus MIAI dan PII
Politik penertiban dan pemecatan yang dilakukan oleh SI terhadap sejumlah organisasi
sosial Islam yang menjadi jejaringnya serta perseorangan pada akhir 1920-an dan sikap yang
hampir sama dilakukan SI pada awal dekade 1930-an telah mendorong kalangan Islam lainnya
untuk membangun persatuan politik alternatif selain SI. Dalam kongres Nahdatul Ulama di
Banjarmasin KH. Hasyim Asy'ari menyampaikan agar seluruh ulama peserta kongres untuk
mengesampingkan semua pertikaian, membuang perasaan ta'assub (fanatik) dalam berpendapat,
melupakan segala cacian dan celaan terhadap sesama serta menegakkan persatuan.24 Kyai
Hasyim juga menyerukan kepada seluruh umat Islam (kalangan tradisi dan pembaru) untuk
bersatu, menghindari perpecahan; "Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat
bercerai-berai, berpecah belah, bertengkar-tengkar dan bermusuh-musuh... Atau akan kita
lanjutkan jugakah perpecahan ini; hina-menghinakan, pecah-memecah, munafik ... Padahal
agama kita hanya satu belaka: Islam! Mazhab kita hanya satu belaka: Syafi'i! Daerah kita satu
belaka: J awa!’’25
Pernyataan KH Hasyim Asyari di atas sebagai respons atas kondisi umat Islam yang sulit
bersatu dalam menegakkan Islam, setidaknya mempersiapkan "Islam" sebagai faktor utama
dalam pembentukan oegara-bangsa. Menurutnya, umat Islam telah masuk dalam
pertentangan-pertentangan dan bermusuh-musuhan. Dengan sangat baik dituniukkan tentang
pertentangan kalangan Islam, khususnya dalam soal pohtik. Akibat pertentangan tersebut,
kekuatan Islam mengalami kemerosotan, kim peran baru segera lahir untuk mengganti posisi
sentral yang selama ini dimainkan oleh SI.
Dalam rangka menyatukan kekuatan umat, Muhammadiyah diwakih oleh KH. Mas
Mansur, NU diwakili oleh KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah dan SI oleh
Wondoamisono, mendirikan federasi pohtik umat Islam yang diberi nama Majelis Islam A'la
Indonesia (MIAI) dengan tujuan utama untuk mempererat persatuan kaum mushmin di dunia,
dan khususnya Indonesia.26 MIAI didirikan di Surabaya pada 21 September 1937.27 Dalam
24 Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 261.25 Jawa saja pada masa itu dalam penjelasan Delier Noer merupakan istilah yang mudah untuk menyebut Indonesia sebagaimana orang-orang Arab di Mekah dahulu untuk menyebut Indonesia, lihat dalam Ibid.26 Ibid., hlm. 262-267.27 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.), Mas Mansur: Pemikiran Tentang Islam dan Muhammadiyah (Yogyakarta: Hanindita, 1986), hlm. 113-116; lihat juga ibid., hlm. 262.
12
laporan Syafii Maarif dinyatakan berdirinya MIAI didasarkan pada alasan;28 Pertama, usaha-
usaha pohtik Islam pada waktu itu masih belum mantap, karena itu diperlukan persatuan umat
diperlukan dalam menghadapi kolonial. Sukiman menyebut persatuan di kalangan Islam
supaya kedudukan (posisi) Islam di Indonesia sedemikian hingga boleh disebut sepadan dengan
penlingtiya A.gama dan besarnyajnmlab Umat Islam disini.29 Kedua, untuk menggalang
persatuan di antara kekuatan-kekuatan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang
semakin kritis.
Para elite Islam yang memprakarsai terbentuknya MIAI telah memberikan pola baru bagi
hubungan organisasi keagamaan dengan pohtik. Mas Mansur misalnya menjelaskan tentang
maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh MIAI, bahwa tujuan adalah "Uttasawwur,
artinya untuk tempat bermusyawarah. Tempat bermusyawarah inilah Majlis namanya. Di
situlah dikumpulkan beberapa orang ulama dan pemimpin Islam, guna berunding dan
bermusyawarah. Pada setiap waktu yang ditentukan, mengadakan persidangan, untuk
kepentingan umat dan agaroa Islam. Bilamana ada sesuatu keputusan, maka keputusan itulah
dibawa dan dilakukan kepada anggota setiap perkumpulan dan kaum, yang masuk menjadi
anggota MIAI atau yang ddak pun diharapkannya, agar supaya persatuan dalam sesuatu
upacara dan hukum dapat bersatu".30
Federasi ini sebagai tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdin dari
wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar
agama Islam di seluruh Indonesia.31 Tujuan MIAI sendiri adalah sebagai berikut;
"Untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi
kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya harus dipegang teguh dan
dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpiman-perhimpunan yang menjadi
anggotanya". Statuta yang disetujui 14-15 September 1940 rnemperluas "mengadakan
perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang
telah tergabung di dalam MIAI, maupun yang belum".32
Langkah mendirikan wadah baru ini sebagai klimaks dari persoalan yang dihadapi
kalangan Islam, khususnya SI. Kalangan Islam mengambil haluan baru dalam kegiatan politik
mereka, dengan mendirikan wadah baru dan bukan membesarkan SI, mereka mendasarkan
28 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 17-20.29 Ibid., hlm. 17.30 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.), op. cit., hlm. 115.
13
persatuan itu pada argumen bahwa persatuan untuk memperoleh kemajuan, kemerdekaan dan
kebaikan bersama diperlukan adanya kesatuan. Pada sisi lain, kekuatan Islam muncul hampir
bersamaan dengan lahir MIAI yakm Partai Islam Indonesia (PII) yang dipimpin oleh Sukiman
berdiri pada 1937, beberapa gerakan Islam pun mendukung partai ini seperd datang dari
Muhammadiyah, Persis, Thawalib, dan bekas anggota Permi di Sumatera. Beberapa tokoh PII
yang cukup tenar namanj'a adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Mohammad Natsir, dan Abdul
Kahar Muzakkir. Konsul PII di Jawa Timur adalah KH. Mas Mansur dan konsul-konsul PII
pada beberapa daerah lainnya dimotori kaum modernis.
Sementara MIAI yang merupakan federasi Islam, pada dasarnya bergerak pada kawasan
agama, tetapi dalam perkembangannya terutama menjelang jatuhnya Hindia Belanda ke
tangan Jepang, kiprahnya meluas ke bidang politik. Beberapa tokohnya menghadapi situasi
yang sulit. Banyak elite Islam masa itu yang memiliki keteguhan sikap dan pendirian, mereka
menghadapi berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Selain persoalan politik
kenegaraan (kolonial Belanda), di kalangan umat Islam pun terjadi pertentangan dan
pertikaian antara sesama ulama, Mas Mansur salah seorang dari kalangan ulama rnenyatakan
tentang hal tersebut;
"... kita gemar berbantah-bantahan, bermusuh-musuiian di antara kita umat Islam,
malahan perbantahan dan permusuhan itu di antara ulama dengan ulama. Sedang yang
dibuat perbantahan itu perkara hukum kecil-kecil saja. Adapun timbulnya permusuhan
itu, karena kebanyakan kita berpegang kuat pada hukum yang dihukumkan manusia.
Sehingga suatu perkara di utara rnenyatakan sunnat, di selatan rnenyatakan makruh, di
barat rnenyatakan wajib, di timur rnenyatakan haram, begitulah seterusnya sehingga umat
Islam yang awam dibuat bal-balan oleh ulama kita. Sana benci kepada sini, sini benci
kepada sana".33
Persoalan khilafiyah dalam pandangan Mas Mansur ddak perlu dibesar-besarkan menjadi
pertentangan dan bahkan menjadi permusuhan sesama muslim. MIAI telah dinisbahkan untuk
menyatukan perbedaan, menghindari konflik dan pertentangan antara sesama Islam, dan
bersatu untuk membangun kesadaran agama umat. Semua komponen yang mengintegrasikan
dirinya dengan MIAI mengharapkan akan adanya suatu usaha bersama untuk menyembuhkan
31 Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 262.32 Ibid., hlm. 262-263.33 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.). op. cit., hlm. 111.
14
penyakit perpecahan. Sekalipun dalam kenyataan bahwa MIAI bertujuan untuk menyatukan
perbedaan antara golongan Islam, menurut Prawoto Mangkusasmito terdapat tujuan politik
yang tersembunyi dari gerakan MIAI. Tujuan yang dimaksud mempersatukan gerakan Islam
untuk melawan kolonialisme Belanda.34
Dalam bagian tertentu, MIAI menjadi wadah untuk rnemperluas segmentasi pengaruh
para organisasi yang bernaung terutama untuk kegiatan-kegiatan kepemudaan dan
kehartabendaan, seperri partisipasi Muhammadiyah dalam mengirim pemuda-pemuda
Muhammadiyah dalam kegiatan Majelis Pemoeda dan Majelis kepoetrian MIAI dan
mengikuti kursus-kursus majelis tersebut.35 Pemuda-pemuda Muhammadiyah mengikuti
kursus agama Islam yang dilaksanakan selama tiga bulan, dan sebelumnya dilaksanakan
kursus administrasi kebendaharawanan, yang masing-masing dilaksanakan di kota Jakarta
dan Bandung.36
Setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, federasi MIAI mengembangkan kerja
sosial yang mencakup pembinaan kepada umat Islam. MIAI menekankan pada persatuan anak
negeri, juga mengembangkan program yang bersifat sosial, kemanusiaan dan nasionalisme,
program yang terdiri dari;37
a. menjaga dan mempertahankan martabat dan kemajuan agama Islam dan penganut-
penganutnya;
b. mempropagandakan "masyarakat baru" di kalangan orang Islam;
c. memperbaiki semua masalah yang sangat penting kepentingan umat, meliputi:
perkawinan, pergantian, dan warisan, masjid, wakaf zakat fitrah, pengajaran dan
kependidikan, publikasi dan propaganda, bantuan terhadap fakir miskin dan masalah haji;
d. membantu pemerintah Dai Nippon dan bekerja bagi Asia Raya.
Sikap keras kalangan Islam atas kebijakan Nipponisasi — setidaknya telah merubah
keinginan Jepang untuk mengadakan Seikeirei bagi umat Islam. Sikap menentang kebijakan
Dai Nippon merupakan manifestasi dan pemahaman akan nilai-nilai agama. Kendatipun
dalam hal tertentu, MIAI dan PII dapat bersikap tegas dan keras kepada pihak-pihak lain,
tetapi sebenarnya keberadaannya tidak memiliki aturan organisasi yang ketat, melainkan
34 Syafii Maarif, Islam dan Politik., hlm. 20.35 MT. Arifin, op. cit., hlm. 178.36 Ibid.37 MT. Arifin, op. cit., hlm. 175.
15
bersifat sukarela dan bukan kesatuan politik yang memiliki disiplin kuat. Melalui MIAI
seluruh potensi umat Islam terakomodasi secara wajar. Ada dua alasan kuat dari pembentukan
MIAI yakni;38
1) usaha-usaha politik Islam pada waktu itu masih belum mantap sebagaimana diharapkan,
padahal persatuan di antara mereka sangat penting untuk menghadapi kaum kolonial dan
nasionalis sekuler.
2) adanya contoh yang kompetitif dari golongan nasional sekuler yang juga mempersatukan
organisasinya.
Sementara itu Ahmad Syafii Ma'arif menyebut MIAI sebagai wadah persatuan umat dan
munculnya MIAI didorong oleh dua kenyataan;39
a) usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada waktu itu masih berserakan dan karena
itu persatuan amat diperlukan dalam kerangka perjuangan melawan Belanda. Adanya
friksi-friksi dalam bidang pohtik dan perbedaan-perbedaan paham dalam soal khilafiyah di
kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.
b) adanya corak yang kompetitif di kalangan nasionaHs sekuler yang merapatkan barisan
mereka.
Belum sampai lima tahun umur MIAI pasukan Jepang mendarat di Indonesia dan dengan
mudah mengusir Belanda. Kondisi politik yang kacau-balau, membuat MIAI tidak bisa
bertahap "hidup" lebih lama lagi, walaupun awalnya Jepang membiarkan MIAI untuk eksis
tetapi hanya bersifat sementara. Karena federasi ini membuat kegiatan-kegiatan yang selalu
menentang setiap Kolonialisme dan secara tegas sebagai wadah untuk menentang
kolonialisme, dengan menyadari hal tersebut, pemerintah baru pimpinan Jepang
membubarkan MIAI, dan riwayar hidup MIAI berakhir tahun 1942, dan proses
pembubarannya sangat berdimensi politis karena dipaksa oleh keadaan.
Setelah gagal mempertahankan eksistensi MIAI, elite Islam sekitar tahun 1942 kembali
membuat partai politik baru yaitu MajeHs Syura Muslim Indonesia (Masjoimi) yang sering di
sebut Masyumi buatan Jepang sebagai ganti MIAI. Partai baru ini mendapat kesempatan
untuk bisa berbuat sesuatu bagi umat Islam, tetapi aktivitasnya dikontrol oleh pemerintah
Jepang secara ketat. Menurut Benda, terbentuknya Masyumi merupakan "kemenangan politik
38 Lihat Azis Thaba, op. cit., hlm. 143-144.39 Lihat Ahmad Syafii M’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 96.
16
Jepang terhadap Islam"40 dan pembentukan Masyumi untuk mendukung pemerintahan Jepang.
Namun para pemimpin Islam membelokkan tujuan dari Masyumi dan perjuangan tersebut
dianggap berhasil.
Usaha Jepang untuk merangkul pemimpin-pemimpin Islam selalu gagal, karena sentimen
anti Jepang sangat kuat dan Kahin dalam penelitiannya menyimpulkan;
"Walaupun melalui pertubuhan ini Jepang memang nampaknya telah menaikkan semangat
nasionalisme rakyat jelata, tetapi nampaknya mereka tidak banyak berjaya dalam menaikkan
sentimen anti pihak Berikat, berbanding dengan anti Jepun. Hampir semua kiaji tidak mahu
menjadikan diri mereka sebagai alat kepada cita-cita Jepun.-perasaan marah terhadap Jepun
telah menyebabkan mereka berpaling ke arah kemerdekaan Indonesia lebih daripada segala-
galanya dan ini selalu diikuti oleh nada anti-Jepun daripada anti pihak barat".41
3. Islam, Nasionalisme dan Politik Jepang
Mempertahankan MIAI setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia hanyalah bersifat
sementara, kendati di awal Jepang berkuasa, wilayah kekuasaan MIAI diperluas dengan izin
dari pemerintah, pendirian berbagai sarana pergerakan sampai ke daerah-daerah menjadi
sesuatu yang penting bagi penguatan basis gerakan umat Islam, bahkan pada masa itu berhasil
mendirikan baitul ??jaal di 35 kabupaten.42 Keberhasilan tersebut berkat dukungan yang
diberikan oleh kelompok pemuda dan pada tahun 1943 di bentuklah konsul-konsul yang
diharapkan dapat mewakili MIAI. Umat Islam mengembangkan kerjasama dengan pihak
Jepang. Secara lahir kelihatan bahwa MIAI membangun kerjasama dengan Jepang, tapi Harry
J. Benda menyebut bahwa dalam kenyataan terdapat kombinasi antara ketakutan dan
kekaguman; hal itu dipengaruhi pula oleh faktor lain, sebagian besar pernimpin Islam kurang
sofistikasi dan kurang pengalaman politik, sehingga secara keseluruhan tidak siap
menghadapi perubahan pemerintahan kolonial secara mendadak. Tapi secara umum dapar
dianggap, bahwa orang Indonesia dimana kebanyakan anggota-anggota elite politik,
administrasi, dan Islam mengambil bagian, meskipun dengan pelbagai tingkat entuasiasme
yang berbeda.43
40 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 185.41 George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pengajaran Malaysia, 1980), hlm. 138-139, dikutip dari Abdul Azis Thaba, op. cit., hlm. 150-151.42 Ibid., hlm. 178.43 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
17
Sekalipun yang tampak bahwa umat Islam mengambil peranan yang kooperatif dengan
Jepang, tapi kecurigaan Jepang terhadap MIAI sulit dihindari. Mereka yakin, bahwa tujuan
MIAI mengandung suatu proses politik yang berada di luar "mejifikasi", dan karena itu
peranan MIAI tidak diabaikan oleh penguasa milker, meskipun diizinkan memiliki beberapa
fasilitas, seperti penerbitan dua mingguan, ataupun peralatan lainnya.44 Perizinan itu tidak
berlangsung lama, karena sikap kecurigaan Dai Nippon terhadap pergerakan MIAI semakin
kuat setelah beberapa kenyataan bahwa MIAI mengandung misi atau maksud-maksud politik.
Kondisi demikianlah yang membuat posisi MIAI makin suHt, kesulitan yang utamanya
adalah Jepang tidak melihat MIAI sebagai suatu federasi bagi umat Islam yang minus-politik,
tetapi motif-motif politiknya jauh lebih menonjol. Implikasi dari kecurigaan itu melahirkan
suatu kebijakan dari pemerintah Dai Nippon yang membubarkan MIAI. pembubaran MIAI
tidak serta merta membawa implikasi yang sama bagi ormas yang bergabung di dalamnya.
Untuk memastikan status organisasi Muhammadiyah dan NU, pada 10 September 1943
pemerintah Dai Nippon mengumumkan status hukum kedua organisasi tersebut, sebab ada.
desas-desus organisasi yang berafiliasi dengan MIAI ada kemungkinan akan memperoleh
perlakuan yang sama seperti MIAI yang dibubarkan pemerintah, tapi keputusan pemerintah
bagaikan "rahmat tersembunyi" bagi kedua organisasi.45 Muhammadiyah dan NU diizinkan
untuk melakukan kegiatan dan MIAI sejak Oktober telah dilarang keberadaannya oleh
pemerintah tanpa alasan yang jelas.
Untuk memperoleh status hukum dari pemerintahan Dai Nippon, beberapa ormas Islam
seperti Muhammadiyah mengajukan permohonan pendirian perkumpulan agama. Pada 6 April
1943 melalui Ketuanya Ki Bagus Hachkusumo, Muhammadiyah memohon izin dengan
merubah tujuan Muhammadiyah agar sesuai dengan harapan Dai Nippon, sekalipun ddak
terdapat perbedaan yang serius dengan tujuan sebelumnya. Sesuai dengan kepercayaan untuk
mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan
memang diperintahkan oleh Allah, maka Muhammadiyah merumuskan tujuannya sebagai
berikut;
a. Hendak mengajarkan Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan
tuntunannya.
b. Hendak melakukan pekerjaan perbaikan umum.
44 MT Arifin, op. cit., hlm. 176.45 Ibid., hlm. 180.
18
c. Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada
anggota-anggotanya.46
Permohonan Ki Bagus tersebut memperoleh tanggapan dari Gunseika dengan
memberikan izin atas berdirinya Muhammadiyah. Dalam surat jawabannya Gunseika
menyampaikan beberapa catatan, diantaranya;
1) Kalau hendak merobah apa jang terseboet dalam soerat permohonan pokok, haroes idzin
kepada Gunseika
2) Saban tahoen, selambat-lambatnja 2 boelan sehabis teotoep boekoe, haroes
memberitahoekan kepada Gunseika dari pekerdjaan dalam tahoen jang laloe: a) Keterangan
oemoem dari pekerdjaan dalam tahoen jang laloe. b). Banjaknja masjid, langgar, tempat-
tempat sebahjang dan menjiarkan agama jang lain, sekolah-sekolah agama, pendirian-
pendirian oentok kebaikan oemoem (diterangkan matjamnja masing-masing di achir tahoen).
c). Banjaknja goeroe agama (kijahi dll.), anggauta-anggauta dan penganoet di achir tahoen. d).
Perhitoengan pemasoekan dan pengeloearan orang dalam tahoen jang lalu.
3) Djika diadakan tetapkan atau perobahan atoeran perkoempoelan haroes dengan selekas
moengkin diberi tahoekan kepada Gunseikan.
4) Perkoempoelan tidak dibolehkan mendirikan pergerakan perempoean seroepa Fujinkai,
pergerakan pemoeda seroepa Seinen dan atau pergerakan anak-anak seroepa Sjaendan.47
Setelah memperoleh status hukum baru dari pemerintalian Dai Nippon, ormas Islam
seperti Muhammadiyah, dapat menyelenggarakan kegiatan, membangun kembali komunikasi
dengan cabang-cabang yang telah terhenri selama dua tahun. Langkah yang penting segera
dilakukan konsolidasi dan penataan kembali organisasi yang sudah rusak. Ormas Islam yang
kala itu, kembali memperoleh "gizi" dari pemerintah berbenah untuk menyongsong "fajar"
kemerdekaan dalam menyebarkan ajaran agamanya, meski masih dalam wilayah kendali Dai
Nippon.
Program sosial keagamaan menjadi penting untuk bisa memperoleh ijin bagi pergerakan
sosial Islam, bahkan beberapa elite Islam rnemberikan dukungan bagi Dai Nippon, meski
dukungan itu bersifat simbolik belaka, sebab dalam kenyataannya banyak kalangan Islam
yang tidak bisa menerima upacara untuk memberi hormat seperti orang n/ku' sebagaimana
46 PP Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 1912-1985 (Yogyakarta: Sekretariat PP Muhammadiyah, 1998), hlm. 13. Di kumpulkan oleh Mh. Djaldan Badawi.
19
yang dipraktekkan masyarakat Jepang, bagi umat Islam sikap seperti im sebagai suatu tingkah
laku yang menyimpang dari ajaran Islam. Ketua PB Muhammadiyah KH. Mas Mansur
rnemberikan dukungan kepada Dai Nippon dengan syarat "... bahwa kita bisa bekerjasama
(dengan tentara Dai Nippon), akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak
menghina agama. Namun kalau sekiranya agama dihinakan, maka haruslah disadari bahwa
orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, apa pun yang terjadi. Dan hal ini
dipahami oleh mereka semua.48 Penghormatan diberikan kepada pimpinan (raja) yang menjadi
tradisi masyarakat Jepang dalam pandangan Islam sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
Islam, penghormatan seperti rnkn' hanya untuk Allah.
Untuk merespons kasus serupa Abdul Kahar Muzakkir memperingatkan Dai Nippon
dalam soal ini, menurutnya "....cukup banyak orang Nippon yang telah mempelajari prinsip-
prinsip Islam... karena im mereka harus tahu bahwa Islam itu bukan saja agama akan tetapi
seluruh way of life meresapi seluruh masyarakat... Perjuangan melawan imperialis Barat
sudah lama kami kenal, sehingga kami menerima tujuan Nippon untuk melawannya.49
Pandangan Muzakkir sebagai respons atas keinginan Jepang untuk menggalang kerjasama
yang luas, umat Islam menyambut dengan baik asalkan tidak kerjasama dalam soal agama.
Menurut Muzakkir, perbedaan diantara semua kepercayaan kita tidak perlu menghalangi
kerjasama kita untuk mengusir Sekum dari Asia, yang adalah rumah bagi semua agama.50
B. Pembentukan Kekuatan Nasionalisme Kabangsaan
Peningkatan jumlah kalangan terdidik yang berlangsung sejak awal abad ke-20 hingga dekade
1920-an, pergerakan nasional kebangsaan tumbuh yang diawali dengan pengorganisasian kalangan
mahasiswa di negeri Belanda yang berlangsung pada tahun 1908 melalui Indische Vereeniging. pada
47 Ibid., hlm. 15. 48 Harry J. Benda, op. cit., hlm. 15749 Ibid.50 Ibid.
20
tahun yang sama di tanah air muncul pergerakan Budi Utomo, suam pergerakan nasional yang
diprakarsai oleh kalangan priyayi Jawa. Kekuatan politik kalangan nasionalis kebangsaan muncul dan
berkembang secara massif pada dekade 1920-an yang ditandai dengan berdirinya kekuatan komunis
(Partai Komunis Indonesia [PKJ]) pada tahun 1920, anggotanya dibiarkan memiliki keanggotaan
ganda yakni menjadi anggota PKI dan sekaligus anggota SI dengan tujuan untuk mengubah SI dari
dalam melalui penyusupan.
Kekuatan nasionalis muncul pada tahun-tahun berikutnya dengan dukungan kalangan terpelajar,
baik mereka yang menempuh pendidikan tinggi di negeri Belanda maupun kalangan terpelajar
pribumi. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai kemunculan dan perkembangan kekuatan-
kekuatan politik nasionalis kebangsaan serta memotret peran aktor-aktor yang terlibat dalam
pergerakan tersebut.
1. Kabangkitan Politik Nasional: Kasus Budi Utomo
B(oe)udi U(Oe)tomo (disingkat BO) merupakan gerakan nasional pertama yang
memperjuangkan nasib kaum pribumi, kelahirannya juga dijadikan sebagai kebangkitan
nasional Indonesia. BO sebenarnya merupakan perkumpulan kaum elite atau golongan
terdidik, karena sifatnya yang elitis tersebut, BO tidak mencakup semua lapisan sosial,
kendatipun dalam perkembangannya, BO tidak membatasi keanggotaannya
pada kalangan priyayi abangan semata, melainkan juga kalangan warga secara umum,
termasuk kalangan muslim. Dalam berbagai dokumen dinyatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan
sebelum mendirikan Muhammadiyah telah menjadi anggota BO. Hubungan Ahmad Dahlan
dengan BO bersifat mutualisme simbiosis, meski sebagiarl rang lain justru menyebutkan
bahwa Kyai Dahlan-lah yang paling membutuhkan BO, selain memiliki "misi tersendiri"
untuk mendirikan suatu pergerakan di kalangan Islam, Kyai Dahlan juga memperoleh
kesempatan untuk memberikan pelajaran agama kepada murid-murid sekolah BO yang
terletak di Jetis.
Budi Utomo didirikan pada tahun 1908, empat tahun sebelum Sarekat Islam dan
Muhammadiyah didirikan (1912). Tapi banyak pihak terutama kalangan Sarekat Islam
menentang klaim bahwa BO-lah organisasi pribumi pertama, karena Samanhudi dkk telah
mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO berdiri,
bahkan kalangan Sarekat Islam pada tahun 1950-an telah menunrut pada pemerintah agar SDI
yang menjadi pelopor gerakan nasional Indonesia. Gerakan nasional mana yang lebih dulu
dari lain, bukanlah soal yang perlu dibahas di sini, apakah BO atau Sarekat Dagang Islam?
21
Kelahiran BO telah disepakati sebagai hari kebangkitan nasional, itu menunjukkan bahwa
BO menjadi simbol dari gerakan kebangkitan nasional, terlepas apakah BO yang lebih dahulu
lahir atau SDI. Dalam struktur kelembagaan BO dikuasai oleh kalangan priyayi abangan
terdidik yang telah menempuh pendidikan pada sekolah-sekolah umum dibawah kontrol
pemerintah kolonial Belanda, meskipun hampir seluruh pengurusnya merupakan pada priyayi
abangan, tapi di kalangan elite BO tidak membenci Islam, bahkan mereka ingin sekali
mempelajari Islam. Pada 1909, setahun setelah BO berdiri, pergerakan ini mulai kontak
dengan elite-elite Islam di Yogyakarta, khususnya dengan KH. Ahmad Dahlan yang
dihubungkan oleh salah seorang pengurus BO yang bernama Joyosumarto dan sangat dekat
dengan dr. Wahidin Sudirohusodo salah seorang pimpinan BO vang tinggal diketandang
Yogyakarta.
Setelah kontak itu, kebangkitan BO kemudian menginspirasi kalangan Islam untuk
mengikuti jejak BO, KHA Dahlan setelah bertemu dan berdialog dengan para petinggi BO
kemudian diajak untuk duduk dalam anggota pengurus BO, menurut Sjoedja, Dahlan
mendapat pelajaran mengenai cara membentuk persyarikatan, menyusun anggota-anggota
pengurus, dan Iain-lain yang bersangkutan dengannya... Beliau dapat pula memberikan
penerangan Islam dengan cara akliyah-ilmiyah dan nakliyah dengan bahasa Jawa, di waktu
sehabis rapat pengurus BO ditutup. Jadi, sifatoya ramah-tamah dan tidak sebagai pelajaran.51
Sikap inkluasif BO telah membuka jalan bagi transrnisi semangat pembaruan kalangan
Islam. Beberapa pengurus BO seperti R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo (guru di kweekshool
Jetis) disebut-sebut menyukai agama Islam. Para siswa sekolah BO di Jetis memperoleh
penerangan agama dari kalangan pembaru Islam, meski dilakukan diluar jam resmi sekolah,
tetapi kesediaan untuk menerima materi agama itu menjadi penting bagi proses integrasi kelas
intelegensia baru. Persetujuan Kepala Sekolah atas keinginan untuk memberi bekal
pendidikan agama kepada kader-kader BO tidak saja membuka kontak antara kalangan
kebangsaan dengan Islam, menurut beberapa sumber bahwa pendidikan Islam diisi pada
setiap Sabtu sore, atas inisiatif para siswa, pertemuan itu dilanjutkan pada Ahad pagi di rumah
Ahmad Dahlan.52
51 H.M. Sjoedja, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1989), hlm. 52 dan PP, hlm. 8.52 Sjoedja, op. cit., hlm. 67-68.
22
Untuk menyebarkan spirit kebangkitan nasional, BO mempergunakan lembaga
pendidikan {Kweekshool Jetis) sebagai sarana pencerahan, juga disebut sebagai
"laboratorium" bagi calon inetelegensia, melalui sekolah ini juga, terjadi pertukaran guru
antara kalangan nasionalis dengan kalangan Islam untuk mengajar ilmu-ilmu yang mereka
kuasai kepada sekolah-sekolah Islam dan pelajaran Islam pada sekolah-sekolah umum.
Kemunculan intelegensia yang menjadi kekuatan pergerakan nasional pasca BO, lahirnya
SI dan Muhammadiyah pada 1912 merupakan rangkaian proses kebangkitan nasional yang
diinspirasi oleh BO. Bahkan kelahiran Muhammadiyah berkat dukungan BO. Banyak
kalangan muslim puritan dan muslim tradisional yang kurang meminati kegiatan politik
seperti yang dilakukan oleh BO. KHA Dahlan misalnya mulai aktif dalam BO pada tahun
1909, setahun setelah gerakan itu berdiri dan menjadi komisaris untuk residen Yogyakarta.
Keanggotaannya dalam BO ini bermula dari perbincangan dengan Joyosumarto dan
diteruskan dengan menjalin hubungan baik dengan Dr. Wahidin dan Dr. Sutomo-keduanya
merupakan pemirnpin BO terkemuka. Seperti telah dijelaskan dalam bagian awal tadi,
hubungan Muhammadiyah dengan BO lebih banyak dipersonifikasi oleh pribadi Dahlan,
kendatipun menjelang berdirinya Muhammadiyah beberapa orang dari Kampung Kauman
dimobilisasi untuk menjadi anggota BO sebagai salah satu syarat berdirinya perkumpulan
Muharnmadiyah.
Kegiatan BO lebih banyak pada proses pencerahan anak bangsa melalui pendidikan dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Afiliasi BO dengan gerakan-gerakan Islam berlangsung hingga
tahun 1920-an, menjelang masa dimana pamor BO mulai mengalami penurunan dan
digantikan oleh gerakan-gerakan nasional baru seperti PNI.
BO menjadi gerakan nasional pertama yang bersifat inklusif, tidak rnembatasi diri pada
kalangan priyayi abangan, meski pada mulanya digerakkan priyayi abangan, gerakan ini
menerima anggota dari kalangan muslim. Sebagian anggota Muhammadiyah misalnya
23
menjadi anggota BO yang dimotivasi oleh pidato Hoofdbestuur BO yang melaksanakan rapat
anggota di Gedung Masonnik di Jalan Malioboro, demikian pula ketika mereka dilibatkan
dalam persiapan dan mendengarkan pidato pada rapat anggota BO yang diselenggarakan di
Sekolah Muhammadiyah Kauman pada suatu malam ahad di pertengahan bulan Maret 1917,
dengan melihat itu mereka sangat tertarik untuk bisa berpidato.53
2. Pergulatan Kekuatan Ideologi Nasionalis: Kasus PNI
Partai Nasional Indonesia (PNI) lahir bersamaan dengan meningkatnya jumlah kalangan
terdidik pribumi, baik peningkatan jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di negeri
Belanda maupun luasnya akses kalangan pribumi untuk menempuh pendidikan pada sekolah-
sekolah Belanda. Kebijakan politik etis membuka ruang artikulasi politik kalangan pribumi.
Peningkatan jumlah intelegensia pada dekade 1920-an merupakan "sinyal" bagi
berkembangnya gerakan sosial yang mendorong pemenuhan hak-hak rakyat.
Semangat kaum muda untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merupakan
rangkaian proses yang telah diletakkan Belanda melalui politik etisnya, disertai pula dengan
akses pada berbagai sumber bacaan, khususnya dalam llmu-ilmu sosial. PKI yang
berkembang pada awal 1920-an merupakan partai yang berhaluan kiri yang memperoleh
"amunisi" ideologis dari gerakan-gerakan komunis atau ideologi yang dirintis oleh Karl Marx.
Pemberontakan yang dirancang PKI pada 1927 untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda sebagai manifestasi dari berbagai persoalan sosial politik yang dihadapi bangsa
ketika itu.
Polemik antar tokoh dalam melihat bagaimana seharusnya memperjuangkan
kemerdekaan berlangsung secara cerdas, antara Soekarno (nasionalis, PNI) dengan Semaun
(Komunis, PKI), antara Soekarno dengan kalangan muslim yang berasal dari berbagai aliran
politik, antara Tan Malaka dengan tokoh-tokoh nasionalis dan muslim serta polemik-polemik
mengenai strategi memperjuangkan kemerdekaan berlangsung dalam tempo yang padat.
Namun pengaruh komunis
mengalami kemunduran akibat percobaan perlawanan yang gagal, sernentara kalangan
nasionalis yang baru tumbuh pada tahun 1927 memperoleh respons yang tinggi dari berbagai
kalangan terdidik, meski pNI yang didirikan pada masa itu tidak merencanakan tindakan
maker, flamun sikap politiknya sangat kritis kepada pemerintah.
53 PP Muhammadiyah, Sejarah, hlm. 8.
24
Lahirnya PNI sebagai suatu kebutuhan akan adanya gerakan nasional baru, lebih
dilatarbelakangi oleh kegagalan pemberontakan atau re^olusi yang direncanakan oleh PKI,
menurut Ingleson akibat yang ditimbulkannya;54
a. Kelihatan bahwa pemberontakan dengan kekerasan semacam itu (yang dilakukan PKI,
pen.) tak ada gunanya, karena dengan mudah dapat ditekan oleh kekuatan Belanda yang lebih
unggul;
b. Pembubaran PKI dan pembuangan sejumlah besar pemimpin- pemimpin dan pendukung-
pendukungnya yang dicurigai ke Boven Digul, menyingkirkan kaum komunis dari arena
politik sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda;
c. Setelah kegagalan PKI untuk menyusun suatu revolusi yang meluas dan berhasil, kaum
nasionalis menjadi sadar akan kelemahan- kelemahan organisatoris tidak hanya dari PKI,
tetapi juga dari semua organisasi nasionalis dan juga akan perlunya menciptakan
suatu organisasi yang rapi dan berdisiplin.
d. Dengan tersingkirinya PKI timbul suatu kekosongan dalam gerakan nasionalis; gerakan
ini memerlukan pengarahan dan pimpinan baik dari sisa-sisa organisasi-organisasi politik
yang ada maupun dari pembentukan partai-partai yang baru.
Atas keadaan itu, timbul keinginan dari kalangan pergerakan kebangsaan mendirikan
suatu pergerakan baru atau partai yang tidak didasarkan pada Islam ataupun komunis. Hatta
dengan sejumlah anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang didirikan pada Februari 1925
menggalang kekuatan di kalangan intelektual yang bermukim di Indonesia, sernentara Hatta
sendiri masih berada di negeri Belanda untuk tujuan pendidikan. Dengan jaringan PI, Hatta
optimis akan memunculkan partai baru yang akan digerakkan oleh anggota PI sebagai sarana
mengartikulaslkan kepentingan rakyat Indonesia.
PNI lahir dalam proses penguatan gerakan kebangsaan, kemunculan PNI atas dukungan
kuat dari PI yang dipimpin Hatta. Pada awal tahun 1927 berdiri Sarekat Rakyat National
Indonesia (SRNI) yang juga ikut menjadi bagian dari kekuatan nasionalis. Partai baru yang
dikehendaki merupakan partai yang akan berperan pada upaya pencerdasan bangsa. Perhatian
partai baru itu menurut Hatta harus diarahkan pada bidang pendidikan, dan melalui
54 Lihat John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 31.
25
pendidikan menyiapkan rakyat untuk merdeka. Apa yang dilakukan oleh Hatta tidak
seluruhnya berjalan mulus, tampak jelas kekuatan-kekuatan kebangsaan yang mulai bersaing
untuk Indonesia merdeka.
Pada 4 Juli 1927 melalui suatu pertemuan yang diadakan di Bandung, dalam pertemuan
itu diputuskan bahwa partai baru itu akan diumumkan secara terbuka dengan nama
Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) Pimpinan PNI terdiri dari Soekarno sebagai ketua,
Iskaq sebagai sekretaris sekaligus merangkap bendahara dan Dr. Samsi sebagai komisioner.55
Setelah adanya PNI, SRNI yang semula dirancang untuk suatu kekuatan politik baru tidak
terdengar lagi suaranya. PNI sebagai partai baru tidak begitu kuat ke dalam, karena masing-
masing pihak memiliki agenda yang tidak sama dalam membawa PNI.
Kendati PNI memiliki masalah-masalah internal dengan munculnya faksi-faksi politik
yang memiliki agenda masing-masing yang hendak mereka perjuangkan, namun dalam
perkembangannya, PNI memainkan peran yang besar dalam pergerakan nasional, dan peran
yang dilakukan oleh PNI sejalan dengan sejumlah agenda-agenda )7ang secara umum
dikehendaki oleh masing-masing kekuatan nasionalis, termasuk faksi-faksi yang beragam
dalam PNI sendiri. Pada awal tahun 1930-an, PNI bubar sebagai akibat dari persoalan internal
yang sulit diselesaikan, khususnya faksi-faksi yang bersaing yakni faksi kooperatif dan faksi
yang non-kooperatif.
Kendati persaingan antar faksi dalam struktur pergerakan PNI sangat tajam, namun
respons kalangan intelegensia lulusan sekolah Barat sangat tinggi, termasuk Hatta yang sejak
awal menghendaki adanya pergerakan nasional yang kritis, meskipun tidak seluruh harapan
Hatta dilaksanakan oleh PNI seperti dalam soal gaya dan taktik pergerakan. Dalam soal
tuntutan, PNI memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi tuntutan SI yang telah disuarakan
sejak awal tahun 1920-an, misalnya tuntutan PNI mengenai keanggotaan Volksraad yang
harus seluruhnya merupakan warga Indonesia serta tuntutan kemandirian bangas Indonesia,
sikap seperti ini juga dikembangkan oleh SI. Untuk mendukung berbagai program penguatan
pergerakan nasional, PNI membangun jaringari ke berbagai daerah seperti Bandung, Batavia,
Surabaya, Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.
Untuk memperluas pengaruhnya, pergerakan kebangsaan ini mendirikan berbagai
perkumpulan kepemudaan seperti berdirinya Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Putri
55 John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, hlm. 35.
26
Indonesia dan majalah. Juga infiltrasi pNl ke dalam organisasi-organisasi lain seperti
organisasi buruh, pendidikan dan pers. Dengan basis dukungan yang meluas dan sikap-sikap
politiknya yang kritis terhadap pemerintah Belanda, PNI dalam kongresnya di Surabaya
membicarakan mengenai kecurangan-kecurangan kolonialisme di Indonesia dalam bidang
politik, sosial dan ekonomi. Untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, PNI rnerumuskan
program yang pen ting diantaranya;56
1) Bidang politik meliputi;
a) Memperkuat perasaan kebangsaan dan persatuan Indonesia;
b) Menyiarkan pengetahuan tentang tambo-tambo nasional dan memperhatikan dan
memperbaiki hukum nasional;
c) Mengekalkan pertalian di antara bangsa-bangsa Asia;
d) Menghapuskan halangan-halangan yang merintangi kemerdekaan din, kemerdekaan
bergerak, kemerdekaan drukpers, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul;
2) Bidang ekonomi meliputi;
a) Memajukan kehidupan mardika;
b) Memajukan perusahaan perdagangan-perdagangan bumiputra;
c) Mendirikan perserikatan-perserikatan kooperasi nasional;
d) Melawan riba'
3) Bidang Sosial dan Pendidikan
a) Mendirikan sekolah-sekolah nasional, dan memerangi analfabetisme;
b) Memperbaiki derajatnya kaum perempuan;
c) Memajukan inter-Indonesische emigratie;
d) Memajukan vakbond-vakbond dan perserikatan tani;
e) Mendirikan badan perantaraan bagi orang-orang yang tidak bepekerjaan;
f) Memperhatikan soal kesehatan rakyat;
g) Memarangi madat dan minuman keras;
h) Memerangi perkawinan anak-anak, memajukan perkawinan istri satu.
56 Di Kutip dalam John Ingleso, Jalan Ke Pengasingan, hlm. 61.
27
Rumusan program tersebut tidak membuat pemerintah kolonial merasa terancam dengan
keberadaan PNI, karena program diatas menunjukkan sikap moderat PNI bila dibandingkan
dengan PKI yang sudah menjadi organisasi terlarang akibat upaya PKI dalam melakukan
pemberontakan yang gagal tahun 1927. Untuk memperlancar programnya, PNI membangun
jaringan organisasi hingga ke tingkat bawah, dengan mengikuti struktur pemerintahan
Belanda hingga Kabupaten, kecamatan dan desa. Segala aktivitas politik PNI berada dalam
ruang yang diijinkan oleh pemerintah, meski PNI menganggap diri mereka revolusioner dan
Belanda pun menganggap hal yang sama, narnun para pemimpin PNI merupakan tokoh
konservatif dalam bidang sosial dan ekonorni, karena itu, program PNI sangat jauh dari
program PKJ yang radikal.
Segala gerak langkah PNI selalu dalam pengawasan pemerintah Hindia Belanda, namun
watak moderat PNI tetap menonjol daripada watak radikalnya, barangkali PNI banyak
didukung oleh intelektual yang telah memperoleh pendidikan Barat. Banyaknya kaum
terpelajar dan kecenderungan akademis mereka tinggi, berasal dari latar belakang sosial dan
keagamaan yang juga beragam, implikasi dari keragaman itu mengakibatkan PNI dapat
merumuskan suatu strategi pergerakan yang kemudian dikhawatirkan oleh pemerintah Hindia
Belanda bahwa propaganda PNI akan memberikan efek yang dalam bagi perlawanan kaurn
terpelajar terhadap pemerintah.
Tokoh sentral PNI sejak kemunculannya yakni Soekarno dan Hatta (keduanya kelak
ketika Indonesia merdeka menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI), Hatta sendiri pada 1932
mendirikan PNI Bara sebagai ekspresi ketidakpuasannya terhadap gerakan kebangsaan
termasuk gabungan kekuatan nasionalis dan Islam yang berdiri pada 17 Desember 1927 yakni
Permufakatan Perhimpunan Partij-partij Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dinilai
Hatta belum menjadi badan yang kuat dan terorganisir dengan baik.
Selain belum maksimalnya peran yang diartikulasikan oleh kekuatan-kekuatan politik,
namun PNI sendiri sebagai wadah aktualisasi diri para aktor gerakan nasionalis kebangsaan
justru mulai kehilangan orientasi, misalnya Hatta sendiri mulai mempertanyakan ke arah
mana PNI akan dibawa oleh Soekarno. Bagi Hatta, PNI telah menjadi sarana bagi pemenuhan
kepentingan politik tertentu para aktornya, menurut Hatta, kalau Soekarno selalu bersikap
keras dan tidak memperlunak penampilannya di depan publik, maka pasti akan ada tekanan
28
pemerintah, sementara PNI sendiri belum cukup berkembang untuk dapat menghadapinya.
Selain itu, Soekarno lebih mengedepankan persoalan politik daripada persoalan sosial dan
ekonorni, menurut sebagian pimpinannya hal itu menarnbah persoalan.
Perdebatan internal PNI mengenai isu apa yang harus direspons oleh PNI menjadi fokus
yang selalu aktual berkembang dalam struktur partai, bagi sebagian menganggap bahwa
persoalan yang dihadapi bangsa bukanlah persoalan politik yang elitis, sementara Soekarno
telah mendahulukan isu-isu politik daripada memperjuangkan persoalan sosial dan ekonorni
yang menjadi kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Keinginan agar PNI memberi perhatian pada
usaha memperbaikl kehidupan ekonorni negara dan memperkuat ekonorni rakyat Indonesia
sebagai salah satu syarat pertama yang perlu bagi kemerdekaan ekonorni. Dinamika internal
ini menandai adanya orientasi kebijakan partai yang tidak solid, antara mereka yang mewakili
kubu moderat menghendaki agar PNI mengambil sikap yang lebih kooperatif terhadap
pemerintah dengan kubu revolusioner yang menghendaki adanya upaya ke arah Indonesia
merdeka dengan berkonfrontasi dengan pemerintah.
Karena sikap-sikap kritis PNI yang ditransmisikan ke berbagai daerah, aparat pemerintah
di tingkat dengan kecerdasan yang terbatas memberikan laporan-laporan rutin mengenai
aktivitas PNI di daerah, akibatnya muncul usulan agar PNI diberlakukan sama dengan PKI
yakni dibubarkan, namun usulan ini ditolak oleh jaksa agung. Bersamaan dengan
perkembangan politik tersebut, para pejabat daerah meningkatkan permusuhan dan
memperkuat kewaspadaan mereka terhadap PNI. Menurut Ingelson bahwa semakin rendah
tingkat seorang pejabat semakin keras ia akan menentang PNI dan semua kegiatan politik
orang Indonesia. Antagonisme ini mewamai laporan-laporan mereka ten tang kegiatan politik
di daerah.57
Akibat sikap kritis serta seringnya pergerakan ini melaksanakan rapat-rapat umum yang
melibatkan banyak warga telah menimbulkan kemarahan di kalangan bangsa Eropa, Soekarno
kemudian ditangkap dan diasingkan dari berbagai aktivitas politiknya. Pasca penangkapan
tokoh PNI, Hatta kemudian menunjukkan sikap frustrasinya terhadap sepak terjang PNI yang
menurutnya telah keluar dari garis perjuangan golongan kebangsaan. Hatta juga mengkritik
PPPKI yang menurutnya berada dalam krisis ganda yakni krisis ideologi dan krisis impotensi.
57 John Ingleson. Jalan Ke Pengasingan, hlm. 106.
29
Krisis ideologi terjadi karena konsepsi yang salah tentang arti persatuan dalam gerakan
nasionalis. PPPKI menurut pandangannya tidak pernah dimaksudkan untuk menekan kritik,
kecuali terhadap kritik yang tidak pada tempatnya atau tidak masuk akal.58
Pergerakan kaum nasionalis kebangsaan pasca penangkapan Soekarno menimbulkan
keheranan Hatta, tindakan pemerintah terhadap partai yang tidak kooperatif seharusnya
menjadi catatan penting bagi kekuatan moderat. Berdasarkan keputusan pemerintah, PNI
dibubarkan. Implikasi lebih lanjutnya adalah pecahnya kekuatan kaum nasionalis kebangsaan,
Sartono dan kawan-kawan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) pada 1 Mei 1931, oleh
sementara kalangan Partindo dianggap sebagai PNI dengan nama lain. Kemudian berdiri
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru yang diprakrsai Hatta dengan memfokuskan
perhatian pada pendidikan para pemimpin untuk gerakan nasionalis. Antara Partindo dan PNI
Baru memiliki visi yang berbeda, PNI Baru menghendaki kebangsaan rakyat dan kedaulatan
rakyat, Partindo tetap meneruskan pola pergerakan sebagaimana dalam PNI dan memberi
ruang bagi Soekarno untuk melakukan propaganda dan gitasi dalam kegiatan politiknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemunculan kekuatan-kekuatan politik telah ada sejak awal abad ke-20, dimulai dengan
berdirinya berbagai organisasi sosial keagamaan. Dalam hal ini, kekuatan politik Islam jauh
lebih dahulu lahir daripada kekuatan politik nasionalis kebangsaan. Pada tahun 1905,
58 Ibid, hlm. 150.
30
pengorgamsasian kekuatan Islam dilakukan oleh sejumlah saudagar Islam dengan mendirikan
Sarekat Dagang Islam (SDI) dapat dipandang sebagai embrio bagi kemunculan kekuatan-
kekuatan Islam setelahnya, bahkan kemunculan SDI telah menginspirasi kalangan kebangsaan
untuk mendirikan perkumpulan di kalangan mereka sebagai manifestasi dari panggilan untuk
terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat pribumi. Kemudian disusul
dengan lahirnya Boedi Oetomo 1908 dan Sarekat Islam 1912, Muhammadryah 1912
dan sebagainya.
B. Saran-saran
Sebagai seorang mahasiswa jurusan ilmu politik kita harus lebih mengetahui sampai
diman letak sejarah-sejarah Indonesia yang telah digores oleh para pejuang kita baik dari
paham Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme, baik itu dari pra sejarah maupun pasca
sejarah karena ini sangat penting sebagai titip acuan pengetahuan kita di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Syarifuddin Jurdi, Kekuatan Politik Indonesia, (Makassar: Alauddin Univesity Press, 2012)
John Ingelson, Jalan ke Pengasingan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983)
31
H.M. Sjoedja, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis
Pustaka, 1989)
32