Upload
syahyuti-si-buyuang
View
290
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KONVERSI LAHAN PERTANIAN: Gejala Delandreformisasi dan Ancaman pada
Eksistensi Pertanian
Oleh: SyahyutiBadan Pertanahan Nasional –
Jakarta, 5 Desember 2014
1
Materi presentasi:
1. Dahsyatnya tingkat konversi lahan dan
dampaknya
2. Konversi lahan sebagai gejala
delandreformisasi
3. Upaya dan kebijakan yang telah dan
sebaiknya dilakukan ke depan
2
Manfaat lahan sawah:
1. Nilai penggunaan (use values) = hasil dari kegiatan usaha tani yang dilakukan di lahan sawah
2. Manfaat bawaan (intrinsic values) = keragaman biologis
Manfaat langsung:
1. Output yang dapat dipasarkan dan nilainya dapat terukur secara empiris (marketed output atau priced benefit) = manfaat personal.
2. Manfaat yang nilainya tidak terukur (unpriced benefit), dinikmati masyarakat luas atau bersifat komunal = tersedianya pangan, sarana rekreasi, sarana bagi berkembangnya budaya pedesaan, dan lapangan kerja di pedesaan.
3
Manfaat tidak langsung (lingkungan):
1. mencegah banjir,
2. pengendali keseimbangan tata air,
3. mencegah terjadinya erosi,
4. mengurangi pencemaran lingkungan
yang berasal dari limbah rumah tangga,
dan
5. mencegah pencemaran udara yang
berasal dari gas buangan.
4
Dahsyatnya konversi lahan:
Dalam Buku “Rencana Strategis Kementrian Pertanian tahun 2010-2014”:
konversi sawah menjadi lahan non-pertanian tahun 1999-2002 = 562.159 Ha
rata-rata = 187.197,7 Ha/tahun.
5
Konversi lahan di Jawa:
6
Perubahan lanskap Jabotabek:
7
Indonesia tidak “kaya” lahan:
8
Alih fungsi sawah ke kebun SAWIT:
• Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 2012= 12,3 juta Ha, rencana ekspansi = 26,5 juta Ha
• Alasan petani mengkonversi ke sawit:
1. pendapatan sawit lebih tinggi
2. resiko lebih rendah
3. nilai jual/anggunan kebun sawit lebih tinggi
4. biaya produksi padi lebih tinggi
5. ketersedian air utk lahan sawah sulit
6. teknologi budidaya sawit lebih mudah.
• Dampaknya:
1. produksi beras terancam
2. bekas lahan sawit butuh waktu panjang untuk recovery (umur produktif sawit hanya 15 tahun).
9
Reforma agraria dan pembangunan pertanian:
10
Pembangunan pertanian melalui landreform Pembangunan pertan melalui agribisnis
(tanpa landreform)
Syarat utamanya adalah tiap keluarga petani
menguasai lahan yang cukup, misal 2 ha per
keluarga.
Tidak ada batas minimum penguasaan lahan
per rumah tangga petani, lahan sesempit
apapun bisa diakali. Unit perhatiannya bukan
pada keluarga petani, bukan pada manusia;
tapi lebih kepada produksi pertanian
nasional. Pada analisis wilayah.
Cukup sekali, meski berat secara politis dan
anggaran
Perlu upaya terus menerus, membebani
anggaran pemerintah terus menerus tanpa
jelas kapan ujungnya
Bantuan benih, pupuk, dan modal bisa
dihentikan. Dengan penguasaan 2 ha, tiap
keluarga petani cukup modal untuk
membeli pupuk sendiri meskipun harganya
Rp. 10 ribu per kg, tanpa mengganggu ”asap
dapur”.
Bantuan benih, pupuk, dan modal tetap
dibutuhkan entah sampai kapan.
11
Pembangunan pertanian melalui landreform Pembangunan pertan melalui agribisnis
(tanpa landreform)
Peluangnya kecil saat ini, tidak ada pihak
yang mendukung secara serius. Presiden
dan BPN juga ga berkutik. Banyak pula yang
menolak, terutama investor swasta
perkebunan besar.
Saat ini merupakan opsi yang terpaksa harus
dilakukan pemerintah. Jika tidak, maka
pembangunan pertanian akan stagnan.
Sumbangan untuk pemberantasan korupsi
besar, karena kesempatan politisi besar
”bermain” menjual tanah air ke kapitalis
luar menjadi tertutup. Yang bermain disini
politisi kakap dan pejabat tinggi.
Korupsi kecil-kecilan terus terjadi dalam
pengadaan dan distribusi bantuan untuk
petani. Hampir selalu ada ”fee” dari setiap
pembelian. Yang bermain hanya staf-staf
kecil dan menengah. Kelas teri.
Jika lahan disediakan cukup untuk semua
yang mau dan butuh bertani, maka
kehidupan pedesaan akan lestari.
Akibat pendekatan agribisnis tanpa agraria
adalah “terusirnya” buruh tani dan petani
bertanah sempit dari desanya karena kalah
bersaing tidak mampu mencapai skala
ekonomi.
12
Reforma agraria = aspek landreform + aspek non-landreform
Aspek Landreform Aspek Non-Landreform
Objeknya Berkenaan dengan perihal penataan ulang
penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber
daya agraria lain (air, ruang bawah tanah, dan
ruang udara)
Berkenaan dengan perihal penggunaan dan
pemanfatan tanah dan sumber daya agraria lain.
Yang diatur Siapa menguasai sebidang tanah, apakah
individu, badan usaha, atau negara. Apakah
berupa hak milik, hak guna usaha, sewa, bagi
hasil, atau pinjam.
Apakah sebidang tanah tertentu lebih cocok
untuk ditanami padi, sawit, atau bikin pabrik.
Faktor-faktor
pembentuknya
faktor tatanan hukum (negara dan adat),
tekanan demografis, kondisi ekonomi (misal
lapangan kerja non-pertanian), dan lain-lain.
faktor geografi, topografi, kesuburan tanah,
infrastruktur yang ada, kondisi ekonomi lokal-
global, tekanan demografis, ketersediaan
teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan
usaha pertanian, dan lain-lain
Masalah yang
dihadapi
Konflik penguasaan dan pemilikan secara
vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum
(antara UUPA dan “turunannya”),
ketimpangan penguasaan dan pemilikan,
penguasaan yang sempit oleh petani
sehingga tidak ekonomis, ketidaklengkapan
dan inkosistensi data.
Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan
atau karena ketidaktepatan secara teknis, konflik
penggunaan dan pemanfaatan secara vertikal dan
horizontal, serta tanah semakin menjadi
komoditas pasar dengan maraknya jual-beli
tanah. Peta penggunaan tanah juga belum jelas
dan memadai.13
Aspek Landreform Aspek Non-Landreform
Aktifitas
Pembaruan Agraria
yang relevan
Penetapan objek tanah
landreform, penetapan petani
penerima, penetapan harga tanah
dan cara pembayaran,
pendistribusian tanah kepada
penerima, perbaikan penguasaan
(misal perbaikan sistem
penyakapan), dan penertiban
tanah guntay (absentee)
Berbagai bentuk pengelolaan dan
pengusahaan tanah, penyediaan
infrastruktur pendukung, peningkatan
produktifitas tanah, perbaikan sistem
pajak tanah, pemberian kredit
usahatani, penyuluhan dan penelitian,
penyediaan pasar pertanian, serta
pengembangan organisasi petani.
Pihak yang
bertanggung jawab
Badan Pertanahan Nasional dari
pusat sampai daerah, mungkin juga
Bappenas dan masyarakat adat, yang
merasa memiliki otoritas dalam hal
penguasaan tanah.
Kementerian Pertanian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan
departemen lain yang berkepentingan
dengan penggunaan tanah.
Kelompok studi Land tenure. Yakni hak atas tanah
atau penguasaan tanah, atau
tepatnya tentang status hukum dari
penguasaan tanah (hak milik, gadai,
bagi hasil, sewa menyewa, dan juga
kedudukan buruh tani).
Land tenancy. Lebih kepada pendekatan
ekonomi, yaitu menyangkut tentang
penggarapan tanah dan seterusnya.
14
Swasembada pangan vs kesejahteraan petani:
Mencapai swasembada Mencapai kesejahteraan petani
Unit perhatian nasional Rumah tangga petani
Pencapaian Swasembada bisa dicapai tanpa kesejahteraan petani, asalkan total pertanaman nasional cukup
Sejahtera bisa dicapai tanpaswasembada, bila lahan per rumah tangga cukup (mis 2 ha/RT)
Yang perduli Presiden, Mentan, media massa
NGO, dan “mestinya” PPL
Yang dibutuhkan Perluasan lahan (terutamakedelai), lahan yang cukup secara nasional, ketersediaan teknologi, dan dukungan untuk adopsi teknologi.
Lahan yang cukup per RT, pola bagi hasil, bantuan untuk menekan biaya usahatani, harga jual yang menarik
Bentuk dukungan Teknologi tinggi (benihunggul, pupuk cukup, dst)
Lahan yang cukup per RT, dan teknologi
Pendekatan yg bisa diaplikasikan
Farmer field school (FFS) Farmer Bussiness School (FBS)15
Kuadran II- Reforma agraria tanpa pembangunan
pertanian (= landreform tanpa aspek non landreform)
- Lahan cukup per petani, secara nasional kurang
- Bagi hasil menguntungkan penyakap
Kuadran IV- Pembangunan pertanian dengan
landreform (lahan minimal 2 ha/RT petani)
- Dukungan input cukup. Prasarana baik, dan harga menarik
- Bagi hasil menguntungkan penyakap
Kuadran I- Pembangunan pertanian lemah, tanpa
landrefrom - Ketersediaan input dan prasarana lemah- Harga kurang menarik- Bagi hasil merugikan penyakap
Kuadran III- Pembangunan pertanian tanpa
landreform- Lahan sec nasional cukup, namun hanya
0,2 ha/RT- Dukungan input, prasarana, dan insentif
harga- Bagi hasil merugikan penyakap
Petani sejahtera
Petani sengsara
Tidak swasembada swasembada 16
Gejala “Delandreformisasi”:
• Program landreform sejak 1960-an dibicarakan, namun tidak pernah efektif
• Pada waktu yang bersamaan, berlangsung proses sebaliknya, berupa ”delandreformisasi”
• Delandreformisasi = suatu kondisi yang bergerak ke arah yang berlawanan dari upaya-upaya landreformisasi, berlawanan dengan tujuan ideal reforma agraria.
17
Landreform Delandreformisasi
Proses panataan penguasaan dan
pendistribusian lahan kepada petani sehingga
setiap petani memperoleh lahan yang cukup
untuk diusahakan dan mampu mensejahterakan
keluarganya.
Gejala yang berlawanan dengan ide landreform.
Lahan petani yang semula cukup menjadi terus
berkurang karena dijual, karena dibagi-bagi, atau
karena dialihfungsikan.
Landreform memimpikan petani memiliki akses
pada lahan yang mudah, menguasai lahan yang
cukup untuk keluarganya untuk mencapai
kesejahteraan, dan penataan ruang sedemikian
sehingga kegiatan pertanian mendapat
dukungan secara skala ekonomi, infrastruktur,
dan kewilyahan.
Petani semakin terpisah dari lahan. Hanya
menguasai lahan yang semakin sempit, sehingga
tidak cukup untuk menafkahi keluarganya.
Bentuknya adalah pendaftaran tanah, ganti rugi
lahan, pendistibusian, pendaftaran calon
penerima tanah, dan lain-lain.
Beberapa bentuk utama delandreformisasi adalah
penjualan lahan oleh petani, fragmentasi lahan
sehingga menjadi tidak ekonomis, dan konversi
lahan yang sulit dikendalikan.
Terbatas hanya pada ide, yang malangnya makin
lama makin pudar.
Adalah fakta riel. Terjadi setiap hari, makin hari
makin cepat, makin luas, makin menguat.
Diwacanakan, dibuka secara luas, dan bahkan
dijadikan ”jualan politik” para kontestan calon
legislatif dan eksekutif.
Tersembunyi, tidak diperhatikan, tidak disadari oleh
siapapun. Saya berani katakan, Saya adalah orang
pertama yang menulis hal ini, dan pertama yang
menggunakan konsep ”delandreformisasi”. 18
Landreform Delandreformisasi
Redistribusi lahan hanya berlangsung era
1960-an, lalu transmigrasi, dan peningkatan
hak penguasaan (sertifikasi) sec terbatas
Terjadi sepanjang hari, pada lahan sawah dan kering,
di Jawa dan diluar Jawa. Faktor penyebab terjadinya
adalah tekanan penduduk, demand tinggi terhadap
lahan, dan karena sertifikasi lahan.
Skalanya besar, menarik perhatian, dan
diberitakan media massa.
Skalanya kecil-kecil, terjadi di setiap wilayah desa dan
kota. Tidak ada yang merasa sedih, dan tidak dianggap
sebagai sebuah ketidakadilan karena dijalankan secara
sukarela oleh petani, dan legal pula.
Diskenariokan dan direncanakan oleh
pemerintah dan kalangan cerdik pandai,
meski ga kesampaian.
Sesungguhnya juga tidak diharapkan bahkan oleh
petani sekalipun, namun tetap terjadi karena tekanan
hidup dan bujukan hidup konsumtif.
Dampak tidak berjalannya landreform =
akses petani padal lahan sulit, penguasaan
lahan makin sempit, pemerintah terpaksa
terus memberi bantuan dan subsidi karena
usahatani per keluarga sempit dan tidak
ekonomis, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Dampak delandreformisasi = terkendalanya
pengembangan agribisnis karena skala usaha semakin
tidak efisien, tenaga kerja usia muda kurang tertarik di
pertanian, pelepasan tanah menyebabkan kemiskinan
dan sulit akses ke perbankan, petani terpaksa harus
melakukan diversifikasi bidang usaha yang serba
tanggung, serta perubahan sosiokultural yakni
rusaknya relasi dan keutuhan dalam keluarga.
19
Upaya Pemerintah:
1. UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
2. Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2011 Ttg Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
3. Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
4. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
5. Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
6. Permentan No 81 tahun 2013 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
20
• Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan = (a). Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (b). Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (c) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
• Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
• Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang
21
PP No 1 Tahun 2011Pasal 17 (2):
Perlindungan dilakukan dengan mempertimbangkan:
1. luas kawasan pertanian pangan;
2. produktivitas;
3. potensi teknis lahan;
4. keandalan infrastruktur; dan
5. ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
Pasal 22 (1): Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi kriteria :
1. berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi;
2. memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan;
3. didukung infrastruktur dasar; dan/atau
4. telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan
Pasal 35 (1): Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
(2) Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan dalam rangka:
(a) pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau
(b) terjadi bencana
22
PP No 12 Tahun 2012
Pasal 5 : Pemerintah memberikan Insentif perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kepada Petani dengan jenis berupa:
1. pengembangan infrastruktur pertanian;
2. pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan
3. varietas unggul;
4. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;
5. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;
6. jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah; dan/atau
7. penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi
23
Permentan No 81 tahun 2013
Lahan yang akan dialihfungsikan harus memperhatikan:
1. luas lahan yang akan dialihkan;
2. potensi kehilangan hasil pangan akibat konversi;
3. nilai resiko akibat konversi;
4. dampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian; dan
5. perkiraan perubahan pada sosio kultural masyarakat (kekerabatan, pemukiman dll).
24
Beberapa kelemahan HUKUM dan kebijakan konversi lahan:
Tahun 2013: dari 33 Provinsi = 17 Provinsi telahmenyelesaikan dan menerbitkan Perda RTRW.
Dari 491 Kabupaten/Kota = 306 kabupaten/kotamenyelesaikan Perda RTRW
Perda RTRW cenderung lebih mengutamakan kebutuhanlahan sektor non pertanian.
UU No. 41/2009, lahan yang dilindungi = lahanberirigasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi(lahan yang dicadangkan untuk pangan berkelanjutanyang berada di dalam atau diluar kawasan pertanianpangan).
Dalam Perda RTRW = sebagian besar hanya mengarahkepada lahan sawah irigasi teknis dan lahan beririgasi.
25
UU No. 41/2009 terlalu longgar memberikan kewenanganpengaturan dan penetapan lahan yang akan dilindungikepada RTRW wilayah. Lahan pertanian pangan yang dilindungi hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan non pertanian.
Maka, UU No. 41/2009 yang dituangkan dalam Perda RTRW menjadi justifikasi terjadinya konversi lahan pertanian.
Agar lebih tegas. Jangan hanya “melindungi”, tetapi“mengkonservasi lahan pertanian pangan”.
Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanianberkelanjutan bervariasi antar wilayah, padahal seharusnyasemua luas lahan sawah beririgasi dan sebagian lahan keringdapat dicadangkan untuk LP2B.
Pada hakekatnya, pemberlakuan UU 41/2009 tidak akan dapat mencegah konversi lahan, bahkan konversi lahan menjadi legal sesuai UU dan Perda RTRW.
26
Kebijakan yang dibutuhkan:
Implementasi kebijakan membutuhkan tiga strategi (secara simultan) yaitu:1. Memperkecil peluang konversi lahan: menekan pertumbuhan penduduk,
relokasi penduduk di kawasan pertanian produktif, pajak progresif pada lahan nonpertanian, dan prinsip "hemat lahan" dalam pembangunan infrastruktur.
2. Mengendalikan konversi lahan: (a) mencadangkan kawasan pangan yang dilindungi dari proses konversi lahan, (b) membatasi luas lahan yang dapat dikonversi di setiap daerah berdasarkan konsep kemandirian pangan, (c) membatasi konversi pada lahan yang memiliki produktivitas pangan, daya serap tenaga kerja, dan fungsi lingkungan tinggi, (d) memberlakukan biaya konversi lahan yang bersifat progresif kepada investor pelaku konversi lahan, dan (e) membatasi konversi lahan untuk kegiatan nonpertanian yang memiliki daya serap tenaga kerja rendah dan berpotensi tinggi menimbulkan masalah lingkungan.
3. Menanggulangi/menetralisir dampak negatif konversi lahan: (a) membangun dan merehabilitasi jaringan irigasi, (b) melakukan perluasan lahan sawah dengan luasan sebanding dengan kapasitas produksi pangan dan penyerapan tenaga kerja pertanian yang hilang akibat konversi lahan, dan (c) mengembangkan kegiatan nonpertanian untuk menyerap TK setempat.
27
Pendekatan untuk pengendalian (Pearce and Turner , 1990) :
(1)Aturan dan kebijakan yang tegas dan penegakannya (2)Acquisition and management (sistem dan aturan jual beli
lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system)
(3) Insentif (subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian)
(4)Pengembangan prasarana untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.
28
Terima kasih, semoga [email protected]
29