3
Xanthippe Si Mar Berbagi pagi di ranjang setelah berdua kunjungi malam yang gusar. Meluncurkan adukan dalam secangkir. Menyingkap tirai lalu duduk menyapu mega timur. Mentari menembuskan sunting tembakan cahaya berbagai kaliber. Mengganti tanda untuk padamkan obor- obor. Koran-koran tahun lalu, pungutan sisa pelanggan tukang sampah. Dibaca dari balik kaca mata. Dengan pose tumpang kaki semanis tehnya. Sambil memantik api nyaris membakar ujung bibir. Dibolak-balik mencari berita korban mutilasi. Menjelajahi motif pelaku. Rumor disana mengatakan dipicu pengkhianatan kekasih. Pada sudut pandang ini, kekasih yang tak lebih dari budak pemuas hasrat. Beberapa malam setalah laut-laut memuncakkan ombak malam purnama. Di garis pantai pembunuh itu menelanjangi kekasih yang membuatnya patah hati. Dan Mar tetap Mar yang dulu, berdarah panas. Terbawa emosi merasuki pikiran pembunuh sadis itu. “Mar, sayang… dimana kau sembunyikan BH-ku? “ “Mana ku tau, Mona… jangan rusak penyelidikanku kali ini!” “kasus apalagi hey pemulung!?” “Pembunuhan sadis” “Bukankah kau lebih sadis membiarkanku melarat, Mar!?” “Terserah lah apa katamu!” Kelengangan Blok M menjadi motif paling unik untuk menampung raut pagi yang hampir tak merah. Tak lagi anjing dan tuannya melenggang berjogging bersama. Trayek yang lebih serius sedang terjadi di sana, di simpang jalan, besar dan rumit serta tentunya penuh asap. Menuntut penumpang setia angkutan kota berlarian menghambur. Mobil-mobil pribadi lebih santai lagi, mereka lebih suka mengikuti peraturan macet lalu lintas Jakarta. Mar juga macet karena Istrinya. Noni-noni menggerai topi lebar. Di pelantingan bus kota mampir halte dalam daftar kunjungan. Satu-satu memasuki pintu manual dengan kenek gesit. Dirangsek semuanya sesak, yang penting di atas roda. Gencetan kaki sopir. Pedal gas yang mulai ugal- ugalan panjat pedal rem mendadak. Terhentak serentak. Perhentian selanjutnya, lampu hijau yang juga macet. Meski selalu hijau.

CERPEN "Xanthippe si mar"

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CERPEN "Xanthippe si mar"

Xanthippe Si Mar

Berbagi pagi di ranjang setelah berdua kunjungi malam yang gusar. Meluncurkan adukan dalam secangkir. Menyingkap tirai lalu duduk menyapu mega timur. Mentari menembuskan sunting tembakan cahaya berbagai kaliber. Mengganti tanda untuk padamkan obor-obor.

Koran-koran tahun lalu, pungutan sisa pelanggan tukang sampah. Dibaca dari balik kaca mata. Dengan pose tumpang kaki semanis tehnya. Sambil memantik api nyaris membakar ujung bibir. Dibolak-balik mencari berita korban mutilasi. Menjelajahi motif pelaku. Rumor disana mengatakan dipicu pengkhianatan kekasih. Pada sudut pandang ini, kekasih yang tak lebih dari budak pemuas hasrat. Beberapa malam setalah laut-laut memuncakkan ombak malam purnama. Di garis pantai pembunuh itu menelanjangi kekasih yang membuatnya patah hati. Dan Mar tetap Mar yang dulu, berdarah panas. Terbawa emosi merasuki pikiran pembunuh sadis itu.

“Mar, sayang… dimana kau sembunyikan BH-ku? ““Mana ku tau, Mona… jangan rusak penyelidikanku kali ini!”“kasus apalagi hey pemulung!?”“Pembunuhan sadis”“Bukankah kau lebih sadis membiarkanku melarat, Mar!?”“Terserah lah apa katamu!”Kelengangan Blok M menjadi motif paling unik untuk menampung

raut pagi yang hampir tak merah. Tak lagi anjing dan tuannya melenggang berjogging bersama. Trayek yang lebih serius sedang terjadi di sana, di simpang jalan, besar dan rumit serta tentunya penuh asap. Menuntut penumpang setia angkutan kota berlarian menghambur. Mobil-mobil pribadi lebih santai lagi, mereka lebih suka mengikuti peraturan macet lalu lintas Jakarta. Mar juga macet karena Istrinya.

Noni-noni menggerai topi lebar. Di pelantingan bus kota mampir halte dalam daftar kunjungan. Satu-satu memasuki pintu manual dengan kenek gesit. Dirangsek semuanya sesak, yang penting di atas roda. Gencetan kaki sopir. Pedal gas yang mulai ugal-ugalan panjat pedal rem mendadak. Terhentak serentak. Perhentian selanjutnya, lampu hijau yang juga macet. Meski selalu hijau. Mungkin ini hari kebebasan. Biarkan dua orang sopir dan kenek menikmatinya.

Mar berjalan menyusuri tempat sampah. Diteliti plastik dan bahan logam yang bisa diangkut. Sayangnya dia tak punya pedal gas dan rem. Deretan penampungan barang-barang sisa itu tak menyediakan cukup waktu karena terlampau banyak. Banyak sekali yang mestinya layak ia angkut. Tapi kapasitas karung bawaannya tak memadai. Dan jika tidak lekas juga terangkut akan terdahului pemungut lain, layaknya Mar, yang tentu mereka menginginkan pundi-pundi uang hasil penjualan barang bekas.

Page 2: CERPEN "Xanthippe si mar"

Dinding-dinding penuh graffiti melewati jembatan layang yang selalu menjadi trayek favoritnya. Ia tak mau menjajal rute lain. Beberapa waktu lalu ia menyelidiki kasus bunuh diri. Lagi-lagi perempuan. Ketika melintas jembatan penyeberangan. Perempuan itu, yang ternyata gadis yang masih berusia tujuh belas tahun. Ia berpegangan pada teralis samping jembatan. Dipanjatnya, setelah berdiri di atas teralis ia menggapai-gapai atapnya. Tidak ada yang tahu tepatnya. Bisa dikatakan berdasarkan data dari saksi mata perempuan itu bukan sedang berusaha menggapai atap. Tapi ia seakan sedang melambai berusaha mengejar seseorang. Lalu melompat. Dan penyeledikan Mar berhenti. Lantaran ia bukan ahli kejiwaan.

“Mar, dapat berapa hari ini?”“dapat apa Mona?”“Duit!, apa lagi! Aku butuh duit Mar!.. Habis make’ perempuan harus

ngasih duit”“jadi kamu suruh aku make’ WTS?”“kesana aja, Mar..! asal dapat duit.”Mar kalah telak kalau perdebatannya sudah urusan uang. Istrinya

menampakkan seolah cinta yang melandasi pernikahan mereka sudah bukan hal penting. Ia lelah menghadapi kerasnya Jakarta. Suaminya juga tidak salah, karena telah bekerja keras. Memang karena lulusan Sekolah Dasar, suaminya hanya mampu memulung. Tapi kadang kata-kata kasar Mona seperti itu begitu saja keluar karena penatnya. Dan Mar pun menyadari ketidakberdayaan.

Ia mulai berpikir mencari pekerjaan lain. Setidaknya bukan pemulung.

To be continued….