69
eBook Motivasi Spiritual Moderen REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI 1

E-Book REVOLUSI HATI UNTUK NEGERI

Embed Size (px)

Citation preview

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

1

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

2

REVOLUSI HATI untuk NEGERI

IMRON SUPRIYADI provokator indonesia

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

3

REVOLUSI HATI untuk NEGERI @Imron Supriyadi

Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved

Copyright © 2012 by Venesia Publishing Penyunting Naskah : Citra M Syahrian

Desain Cover : Team Kreatif Venesia Publishing Penata Isi : Tunas Gemilang Press Cetakan pertama, Februari 2012

Diterbitkan oleh Venesia Publishing

(Venesia dari TIMUR Grup)

Marketing dan Organizer PAReS management

Jalan Sersan Sani Lrg. Sukadarma II No.45 Palembang

Sumatera Selatan - Indonesia e-mail : [email protected]

ISBN : dlm proses

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

4

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang No 19 Tahun 2002

tentang HAK CIPTA

(1) Barang siapa sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau didenda paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah)

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima

ratus juta rupiah).

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

5

daftar ISI halaman COVER __1 daftar ISI__5 biodata PROVOKATOR__6 perSEMBAHAN__7 komentar MEREKA__8 proLOG__11 pengantar PENERBIT__13 Pengantar PENULIS__14 Ucapan terima KASIH__16

1. Kemiskinan Adalah Jembatan Emas__18 2. Persahabatan Mati Lampu__19 3. Jangan Usir Ayam di Ruang Tamu__20 4. Dialog Sungai__21 5. Mengubah Sakit Menjadi Nikmat__23 6. Mengubah Tinja Menjadi Cinta __25 7. Mulut Kita dan Dandang Bakso__27 8. Bertemu Tuhan dalam Kegagalan__28 9. Kehilangan Adalah Kasih Sayang__30 10. Kecurigaan Adalah Wajah Kita__31 11. Sedang Tuhan Pun Mengutus Ayam__33 12. Ayam Kesayangan Pak Kiai__35 13. Ada Tuhan Dalam Minuman Keras__36 14. Nyamuk Sosial, Nyamuk Sok Sial__37 15. Ada Tuhan Di Balik Udang__38 16. Bersyukur Dalam Kebutaan__40 17. Rugi Satu Juta Adalah Kebahagiaan__41 18. Negeri Ikan Tempalo__42 19. Ayam Mati di Meja Presiden__44 20. Ayat-Ayat Kemacetan__45 21. S3M__47

JENDELA LAIN 1. Kebersihan Kok Nunggu Perintah, Bos__49 2. Kampanye Hitam dan Tuhan Bermain Bola__52 3. Silaturahim (Aliran Sesat?)__54 4. Tragedi Zakat dan Kebijakan Langit__57 5. Nikmatnya Gagal Menjadi Anggota Dewan__60 6. Antasari dan Pemeliharaan Tuhan__63

halaman AKHIR__59

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

6

biodata provokator

Nama lengkap saya Muhamamd Imron Supriyadi, biasa di panggil Imron. Menurut Akta, Saya lahir pada Hari Ahad, Tanggal 18 Mei 1973 di Magelang. Saya adalah putra tunggal dari Abdul Salam (Alm) dan Alfasanah. Sejak tahun 1989 Saya dan keluarga “hijrah” ke Pulau Sumatera sampai sekarang. Isteri saya bernama Pustrini Hayati, S.Pd.I, Perempuan berdarah Suku Pasmah (Semende Lembak), yang telah melahirkan dua anak kami ; Annisatun Nurul Alam (6 tahun) dan Muhammad Kahfi Elhakim(3 tahun). Motto Hidup saya ; Setiap Mahluk Adalah Guru, dan Setiap tempat Adalah Sekolah” Saya belajar menulis sejak aktif di Teater tahun 1993 saat saya belajar menulis naskah drama panggung dan TVRI Palembang. Setelah itu, ikut mengelola Majalah Ukhuwah, Media Kampus IAIN Raden Fatah Palembang, yang terbit hingga sekarang. Beberapa tulisan sudah banyak dimuat di sejumlah media. Pernah bekerja sebagai wartawan wartawan Harian Pagi Sumatera Espres, Tabloid Mingguan Media Sumatera, Reporter dan Moderator Talkshow Radio Smart FM Palembang, Kontributor Kantor Berita Radio 68H Jakarta, wartawan Majalah Politik “Sindang Merdeka” Palembang dan News Director Radio Gema Bukit Asam (RGBA) FM, Direktur Pendidikan Yayasan Nurul Iman Talang Jawa Tanjung Enim, Dosen Jurnalistik di AMIK RAMA dan Pjs.Sekretaris Islamic Center Kabupaten Muaraenim. Buku Revolusi Hati untuk Negeri, adalah buku kedua, setelah sebelumnya buku Kumpulan Cerita Pendek “Sedang Tuhan pun Bisa Mati” terbit di tahun 2003 (Tenggala Press-Tangerang). Saat ini aktif di organisasi wartawan ; Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Palembang. Kegiatan sekarang, sebagai Provokator Revolusi Hati, Trainer Jurnalsitik (cetak dan radio), Melatih Teater dan Menulis Sastra di Teater Tubun SMA Negeri 15 Palembang. Juga Fasilitator Sekolah Demokrasi Ogan Ilir (SDOI), yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) Jakarta dan Yayasan Puspa Indonesia (YPI) Palembang. Kritik dan saran, dapat dikirim melalui email saya : [email protected]. Blog saya : www.sastramusi.blogspot.com

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

7

Persembahan

Karya ini kupersembahkan buat Isteriku tercinta, Pustrini Hayati,S.Pd.I, dan kedua matahariku,

(Annisatun Nurul Alam dan Muhammad Kahfi El Hakim). Semoga buku ini menjadi janji Ayah kalian, agar Ayah tetap menjadi mahluk ciptaan-Nya, yang senantiasa komitmen dan konsisten menjaga kemuliaan diri

dan keluarga di hadapan Tuhan

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

8

KOMENTAR MEREKA

TENTANG

REVOLUSI HATI untuk NEGERI

Renungan yang menarik dibaca tentang pengalaman-pengalaman kecil, kadang sederhana,

dalam kehidupan sehari-hari sang pengarang. Dia memberi makna kepada pengalaman hidup sehari-hari yang tampaknya sederhana, tetapi, setelah direnungkan lebih jauh, mengandung

"tambang" makna yang kaya. (Ulil Abshar-Abdalla, Intelektual Muslim)

Revolusi Hati untuk Negeri karya Imron Supriyadi, begitu menggugah hati saya. Bagaimana tidak? Baru membaca kalimat awalnya saja, saya langsung menyadari betapa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari adalah cermin diri untuk belajar sekaligus koreksi. Bahwa di setiap peristiwa kehidupan ada sebuah makna dan kasih sayang Ilahi untuk kita

resapi. Buku ini wajib Anda baca! Tak peduli berapa pun usia Anda. Karena Anda akan menjadi semakin cerdas diri serta bijak hati.”

Ainy Fauziyah, CPC, Leadership Motivator (AINY COACHING PT. AIFA GLOBALINDO)

Melihat, menerima, merasakan, memikirkan dan kemudian menuliskan sesuatu dengan sudut

pandang baru, adalah bagian dari kreativitas. Imron Supriyadi menggenjot itu di dalam Revolusi Hati ini, sehingga hal-hal kecil yang seringkali terlewatkan begitu saja, menjadi ilmu. Ia sudah melakukan akrobatik pemahaman dengan membalikkan kelemahan jadi kekuatan dan

merayakan kekalahan sebagai kemenangan, Ia sudah bertapa dalam sebutir debu. (Putu Wijaya, Budayawan)

Gejala dan peristiwa adalah wujud yang tersurat. Bersifat empiris, dan teramati secara kasat mata. Hikmah adalah sesuatu yang tersirat berada di balik yang wujud. Ia hanya bisa diamati oleh mata hati, dan dimaknai dengan menggunakan kearifan. Buku Revolusi Hati untuk

Negeri, mengajak pembaca ke arah pemaknaan seperti itu. Menyingkap tabir wujud di balik yang tersurat.

(Prof.Dr.H.Jalaluddin, Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang)

Tulisan-tulisan dalam buku ini menggambarkan sebuah petualangan emosi, mewakili fenomena empirik yang satir, kusamnya kehidupan, namun tetap menyimpan misteri mukjizat Tuhan di sebuah kampung bernama Sumatera Selatan. Pembaca diajak mengikuti pengalaman

spiritual penulis yang diutarakan secara lugas, kritis, nakal, reflektif, sarat makna bagi kehidupan sosial orang biasa.

Masduki, M.Si, MA, (Direktur Program dan Produksi LPP RRI Pusat 2010-2015,

Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen, Indonesia, 2011-2013.)

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

9

Sebuah buku yang penuh dengan inspirasi dan motivasi yang akan

merevolusihati para pembacanya. Haryanto Kandani,

(Indonesia's #1 Achievement Motivator & Penulis Buku Best Seller The Achiever)

Inilah buku tentang hikmah. Imron saya kira adalah pencatat yang baik. Ia menyusun pengalaman sehari-hari dengan bahasa mengalir. Pengalaman kecil dan pengalaman besar dalam hidupnya, ia rangkai dalam buku. Ini semacam kodifikasi pengalaman hidup. Lalu, ia

kemas itu semua pengalaman itu menjadi rangkaian mutiara hikmah.

Imron ingin menunjukkan, dia adalah orang biasa. Yang bisa marah, bisa cemas, bisa khawatir, bisa putus asa dan sejenisnya. Tapi, melalui pengalaman kecil dan pengalaman besar itu, ia

mengajak pembaca untuk tidak sekadar berhenti dalam murung dan gelap. Ia ingin membawa kita semua bahwa sesuatu yang gelap, yang pahit, bisa menjadi sesuatu yang baik dan manis.

Syaratnya, sabar dan cerdas mengambil hikmah.

Buku ini juga mengajak kita semua untuk terus mengasah batin, terus memoles mata hati agar jernih melihat semua persoalan. Kekayaan materi, adalah penting. Tapi, ada yang lebih

bermakna, yaitu kekayaan batin. Sebaliknya, miskin harta bukan berarti kiamat. Kita semua bisa bahagia, bisa gembira dengan segala kekurangan kita.

Asal, cerdas dan bijak. Sunudyantoro, Jurnalis Majalah Tempo

Kumpulan Tulisan Pendek Imron Supriyadi; opini dan apresiasi dari pengalaman pribadi dan sekitarnya. Sebuah renungan menarik, mengajak untuk tak melupakan hal-hal kecil yang

memungkinkan menjadi kesalahan besar bagi kita. Semoga bermanfaat. Ian Sancin, Penulis Novel Trilogi “Yin Galema”

Tak banyak orang di zaman iPad, Facebook, dan Google yang masih yakin pada hubungan langsung Tuhan dan manusia. Imron Supriyadi adalah salah seorang dari yang sedikit itu. Lebih sedikit lagi adalah yang rajin menulisnya. Imron Supriyadi melakukannya, dan tanpa banyak ‘minyak’ –kata orang Medan. Jadi tak perlu pretensius, juga tak harus puitis, atau sok intelek, karena hubungan Tuhan yang langsung dengan umatnya itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari: polos tanpa kemasan, seperti dalam Kehilangan Adalah Kasih Sayang atau Sedang

Tuhan pun Mengutus Ayam maupun Rugi Satu Juta Adalah Kebahagiaan dan, sebenarnya, dalam semua tulisannya walau dengan kadar beragam. Imron jelas perkasa dalam soal ini dan semoga

terus menjaga hubungan langsung dengan Tuhan dan tetap rajin menulisnya, tanpa banyak ‘minyak’.

Liston P Siregar, Jurnalis, Editor www.ceritanet.com

Kumpulan naskah "Revolusi Hati untuk Negeri" merupakan sebuah karya tulis yang sangat menggugah sekaligus menginspirasi kita. Imron telah menemukan makna kebahagiaan sejati

lewat dialog batin yang kental dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia yang serba materi, kekuatan hati merupakan pilihan

yang harus kita jadikan sebagai penyeimbang. Bacalah buku ini, temukan hati ... ! Dharma Azrevi Rangkuti, CSR, PT. Bukitasam Transpacific Railways

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

10

Buku ini menarik karena sarat dengan refleksi filosofis mengenai “manusia-ada-bersama-dunia”. Refleksi filosofis ini tercermin dari renungan penulis atas peristiwa kehidupan

keseharian yang biasanya luput dari perhatian kita, sehingga realitas kehidupan yang terhampar disekitar kita hadir begitu saja tanpa makna. Padahal, realitas disekitar kehidupan kita itu

merupakan teks yang kaya akan nilai-nilai bila direnungi secara mendalam atau dikupas-kuliti melalui kekuatan berpikir. Nilai-nilai yang tersembunyi dibalik peristiwa kehidupan inilah yang disajikan di dalam buku ini, dan nilai-nilai tersebut mengkonfirmasikan kepada kita bahwa “manusia-berada-didunia” haruslah senantiasa berpikir positif, rasional dan optimis dalam

rangka melakukan perubahan diri dan perubahan realitas. Dr. Tarech Rasyid, M.Si, Aktifis dan Akademisi di Palembang

Melalui bukunya, Imron Supriyadi menunjukkan, hikmah dan kebijaksanaan sebenarnya bisa diperoleh bukan dari teori yang muluk-muluk, tetapi justru dari kehidupan keseharian kita, yang sekilas terlihat biasa-biasa saja. Di sinilah terlihat kebesaran dan keadilan Allah SWT,

yang memberi kesempatan pada setiap manusia untuk belajar dari kehidupannya sendiri.

Satrio Arismunandar, Executive Producer, News Division Trans TV

Diinspirasi dari buku “La Tahzan” sebagai buku kategori pencerahan hati (An-Nafsu Al-Muthma Innah), Revolusi Hati mengajak kita hijrah sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna untuk menjadi mahluk paripurna. Guna menggapai puncak keparipurnaan sebagai khalifah di muka bumi , kita butuh keiklasan dan kepasrahan yang total. Adakah kita

mampu menjadi “murid pertama” bagi Revolusi Hati untuk Negeri? Yudi Fahrian, SH,MH, Rektor Universitas IBA Palembang

Sekolah yang paling luar biasa adalah sekolah kehidupan. Begitu pun dengan guru-gurunya, bisa siapa saja. Bahkan tidak hanya berwujud manusia, bisa juga berupa pengalaman hidup yang spesial diberikan oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran terbaik kepada kita. Melalui buku Revolusi Hati, saya seakan mendapatkan banyak pelajaran-pelajaran hidup dari sekolah

kehidupan melalui pengalaman Mas Imron. Lewat kisahnya yang santai, mengalir, namun sarat makna, memberikan kita pencerahan dan arah untuk benar-benar melakukan Revolusi Hati. Mengubah hati kita menjadi lebih baik dan

lebih dekat pada Sang Pencipta. Arief Maulana,

Blogger dan Internet Marketer, Penulis buku "You Are The Best Motivator"

Membaca tulisan Imron, kita bagaikan diajak mengembara di alam proses berpikir. Mengembara tanpa tujuan, karena pengembaraan itu sendiri yang diinginkan. Mudah-

mudahan, dia tanpa menyadari bahwa hanya dengan banyak mengembara, pengetahuan akan terus bertambah. Dia keluar dari alam teori mainstream tentang menulis

yang baik dan mudah dimengerti. Sutrisman Dinah, Redaktur Senior Harian Umum Sriwijaya Post, Palembang

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

11

Mengenal Imron Supriyadi selama puluhan tahun, akhirnya kita tahu bahwa dia selalu menempatkan setiap persoalan pada porsi yang tepat. Konsisten, istiqomah, percaya diri dan memahami hubungan dirinya dengan Tuhan dan makhluk lain. Buku ini adalah refleksi cara pikir dan cara pandang Imron dalam melihat persoalan hidup sehari-hari. Dan memang—sebagaimana yang dia tulis pada pengantar buku ini--sejatinya, Imron seorang provokator

Nurhayat Arif Permana, Penyair, Direktur Tavern Art Work Palembang

Melihat dibalik sebuah peristiwa sangat jarang dilakukan bagi setiap orang. Tetapi Buku ini, menjadi bagian penting untuk mengajak setiap hati melihat di balik peristiwa, bukan dengan

kekesalan, hujatan atau bahkan keputusasaan. Imron, sedang mengajak kita untuk mengendapkan semua persoalan duniawi melalui hati, sehingga menumbuhkan kesadaran, kehambaan kita di mata Tuhan, bahwa kita hanya menjadi pelaku di bumi (Khalifah),

sementara tentang hasil, semua menjadi keputusan-Nya

Djoesev Soetrisno.SE, Direktur CV.Venesia Dari TIMUR

prolog

Mengapa Harus PROVOKATOR ? Diawal pembuatan cover buku ini, Arya, teman saya di manajemen memprotes terhadap rencana penyematan lebel saya sebagai provokator.

“Mengapa harus pakai istilah provokator? Mengapa tidak pakai inspirator, motivator, atau bahasa lain yang lebih lembut?” tukas Arya.

“Memang provokator tidak sopan?” tanya saya balik. “Konotasinya negatif. Apa ini tidak akan menimbulkan kontroversi bagi pembaca?”

Arya masih kurang sepakat dengan istilah provokator. “Itu tergantung dari sudut pandang. Sejak awal, judul dan isi buku ini memang kita

arahkan, agar pesan didalamnya keluar dari logika umum orang kebanyakan. Maksud saya, apapun istilah, kalimat atau bahkan peristiwa apapun, akan selalu berkonotasi negatif, kalau pola pikir dan cara pandang kita tidak berubah. Coba kita mulai memahami sesuatu dengan berpikir memutar, bukan dengan berpikir satu arah, sehingga ketika mendegar istilah provokator tidak buru-buru negatif thinking!” Saya menjelaskan kembali.

“Yes, Oke! Saya paham. Tetapi selama ini provokator selalu identik dengan kerusuhan. Belum lagi buku ini juga mengusung judul besar revolusi. Kita tidak ingin, buku ini akan menjadi celah aparat atau pihak manapun untuk mempersoalkan kita, hanya lantaran kita salah memilih istilah judul. Itu juga harus menjadi pertimbangan!” Arya tak mau kalah argument.

“Justeru cara berpikir seperti itu yang harus kita luruskan. Revolusi yang selama inii ditakutkan orang, karena kata revolusi selalu diidentikan dengan darah dan anarkisme. Padahal revolusi itu diartikan upaya perubahan secara cepat, termasuk keharusan merubah secara cepat hati kita yang penuh borok, agar kembali bersih. Kemudian provokator juga, selalu dipadankan dengan kerusuhan, aksi brutal dan sejenisnya. Tapi memang itulah adanya. Karena istilah

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

12

provokator ini kian mengemuka beriring dengan kerusuhan era 1998 jatuhnya Rezim Orde Baru. Setelah Era Reformasi, istilah provokator kemudian berlanjut.

Tetapi yang jadi masalah, istilah provokator seolah menjadi legitimasi aparat untuk menangkap oknum mahasiswa, petani, aktifis dan lainnya, jika mereka sedang melakukan aksi. Itu yang menurut saya salah tempat. Sebab tidak semua provokator selalu disamakan dengan hal negatif!” Kalimat saya mengucur begitu saja, tak dapat dibendung.

“Coba Anda lihat ini,” Kata saya pada Arya, sembari menunjukkan sederet tulisan dari Prof.Dr.H.Imam Suprayogo, Guru Besar Universitas Islam Negeri Malang.

“Apa hubungannya dengan provokator, Pak?” Sergah Arya, matanya menatap saya penasaran.

“Baca dulu, baru komentar,” Saya mendesak Arya untuk membaca tulisan itu. Dengan seksama, Arya kemudian membaca deretan huruf ;

“Seorang dosen secara berkelakar disebut oleh temannya sebagai provokator, tersinggung dan marah. Mungkin, kemarahannya itu disebabkan oleh persepsi dia tentang istilah provokator itu sendiri yang selalu dimaknai negatif. Provokator mungkin dimaknai olehnya sebagai pihak-pihak yang gemar mengadu domba, menyebarkan isu yang mengakibatkan beberapa orang atau kelompok bertikai, menyebarkan fitnah dan sebagainya. Padahal provokator sebenarnya juga dapat dimaknai positif.

To provoke artinya adalah membangkitkan atau mempengaruhi. Mempengaruhi tak selalu berkonotasi negatif, tetapi dapat juga sebaliknya, positif. Seseorang yang mempengaruhi teman, sahabat, atasan atau bawahannya agar melakukan hal yang baik, yang “ma’ruf”, yang mengarah pada kemajuan, persahabatan, memperkaya ilmu, beramal sholeh, adalah dapat diartikan melakukan provokasi. Dan, dengan demikian seorang itu dapat disebut sebagai provokator.

Selain itu, dosen harus menjadi reference person dan memiliki kekuatan mempengaruhi. Kekuatan itu dapat berupa ucapan atau kata-kata, porferment, tingkah laku sehari-hari dan mungkin juga berupa do’a. Kata-kata atau ucapan dapat memberi kesan dan juga mampu menjadi kekuatan penggerak para pendengarnya. Dosen dituntut mampu menyalakan api kecintaan terhadap subyek (mata kuliah) yang diajarkan. Bukan sebaliknya, justru semakin menginjak akhir masa kuliah justru mahasiswa menjadi tidak tertarik dan bahkan membencinya. Jika hal ini terjadi, gagalah tugas dosen yang sesungguhnya.”

Arya kemudian manggut-manggut, usai membaca tulisan professor itu. “Bagaimana?” Saya memancing argumentasi Arya, jika mungkin masih ada. “Tapi di kamus bahasa Indonesia, istilah provokator sangat negatif?” “Betul! Anda pasti membaca kutipan ini, kan?” Saya sodorkan sebuah tulisan, yang

mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hingga terlihat tulisan : “Dalam bahasa Indonesia, provokator berarti orang yang menggerakkan aksi atau gerakan ataupun

tindakan yang menjurus pada kekacauan atau ketidaktertiban dan ketidakamanan”. “Tapi bukan berarti, setiap kerusakan, suasana tidak tertib dan tidak aman itu, akibat

dari ulah provokator. Dalam situasi ini, istilah provokator seringkali dipakai untuk memudahkan proses penangkapan oleh aparat, bukan begitu artinya,” Saya kembali menjelaskan.

“Tapi Pers juga salah dalam soal ini, Pak!?” Arya menuduh media turut mengampanyekan istilah provokator.

“Kenapa bisa begitu?” Tanya saya ingin tahu argumentasi Arya. “Hampir setiap pemberitaan kerusuhan, ada kalimat berita begini, ini misalnya saja,

Pak : Dua oknum mahasiswa akhirnya ditangkap aparat keamanan, karena diduga sebagai provokator kerusuhan. Bukan begitu, Pak?!” tanya Arya butuh pembenaran dari saya.

“Ya, itu tadi! Istilah provokator, tergantung penempatannya mau dimana, dan akan kemana istilah itu dibawa. Sama seperti uang. Kalau uang digunakan untuk menyumbang tempat ibadah dan membantu fakir miskin dan anak yatim, menjadi bermanfaat bagi umat.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

13

Tapi kalau uang digunakan untuk menyuap demi kenaikan pangkat, jabatan atau untuk menyogok rakyat untuk dipilih jadi Gubernur, Walikota, Bupati atau sekadar menyuap agar diterima jadi karyawan, uang menjadi barang yang membahayakan bangsa. Bisa-bisa, bangsa ini menjadi negeri suap. Sila pertama Ketuhanan Yang Esa, bisa berubah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, dan Tuhan sudah dinomorduakan, kan hancur bangsa ini?” Saya setengah mengkritik.

“Bukankah bangsa ini kondisinya memang sudah begitu, Pak?” Kami saling pandang. Arya menunggu jawaban dari saya. Tapi Arya tahu di balik tatapan mata saya.

“Dari sini kita harus mulai merubahnya,” Kata saya sembari menunjuk dada Arya. Revolusi Hati, harus segera dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun! Karena jika hati manusia baik, maka baiklah semua. Tapi sebaliknya, jika hati manusia rusak, maka rusaklah semuanya. Ini yang perlu diprovokasi ke semua anak bangsa! Dan saya adalah salah satu provokator-nya!” Saya mengutip sebuah hadits Rasul.

**

Pengantar Penerbit

Tak ada kata paling indah yang patut kita ucapkan, kecuali Alhamdulillahirobbil ‘alamiin, ketika sampai hari ini kita masih diberi waktu untuk melakukan kebaikan di muka bumi. Kesempatan ini pula yang kemudian perlu kita manfaatkan untuk menebar kebaikan, yang diharapkan dengan karya ini dapat memberi manfaat bagi anak negeri. Shalawat dan Salam, kiranya penting kita sampaikan pada junjungan Nabi Besar Muhamamd SAW, beserta para pengikutnya, yang telah menjadi inspirator bagi peradaban dunia dalam beragam dimensi, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Meski pada kenyataannya ‘pesan nabi’ itu seringkali hanya sedikit kita ikuti, hanya lantaran kita lupa atau terlupa, bahkan melupakan karena tersita oleh “keseriusan duniawi”, yang membawa kita seolah tak punya waktu, walau hanya sekejap mengendapkan hati untuk mengingat Sang Pemilik langit dan bumi. Terbitnya buku “Revolusi Hati untuk Negeri” ini diharapkan dapat menjadi bagian dari pemicu kesadaran spiritualitas, (Guide to Spiritual Revolution) yang bukan saja penyadaran tekstual (fiqhiyah) tetapi juga kontekstual, seiring dengan modernitas, sehingga setiap kita akan lebh optimis dalam menjalani hidup, meski diiringi dengan berbagai kegagalan, kerugian, kebangkrutan, atau bahkan kematian sekalipun, Banyak hal yang kemudian perlu dipetik sebagai bahan renungan, terutama agar kita terhantar pada sebuah kesadaran positif terhadap realitas pahit sekalipun, yang acapkali bertentangan dengan ”nalar normal” manusia kebanyakan. Ketika Anda membaca, sangat mungkin Anda akan menemukan sesuatu yang bertentangan dengan “logika umum”, karena buku ini memang ditulis untuk dipahami, bukan dengan logika material melainkan dengan “logika ke-gaiban” vertical (logika ilahiyah) dan bukan dengan pandangan “kacamata kuda” yang lebih condong tekstual horizontal.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

14

Bagi anda yang tidak “gemar membaca” bisa mengikuti tulisan-tulisan ini dalam bentuk audio, yang dikemas oleh tim kreatif, tanpa mengurangi pesan dan nilai-nilai yang terkandung dalam rekam jejak perjalanan batin penulis. Sengaja kemasan audio ini dibuat, selain ingin masuk dalam wilayah telinga pembaca, juga memudahkan siapa saja yang malas membaca, termasuk bagi orang yang buta huruf sekalipun dapat mengikuti sampai akhirnya masuk dalam relung batin kita dan menemukan ke-agungan hikmah di balik sebuah peristiwa. Kepada semua pihak, terutama rekan-rekan jurnalis, yang telah membantu pengumpulan tulisan yang tersebar di beberapa media, untuk kemudian dapat dikemas menjadi sebuah buku. Semoga upaya kreatif yang telah disumbangkan kepada kami dapat menjadi penebar kebaikan, demi perbaikan anak negeri. Selamat membaca dan Salam Revolusi Hati!

Palembang, 20 Februari 2012

Pengantar Penulis

“Telanjang” Dulu, Sebelum Membaca

Pertama, tentu saya mengucap syukur Alhamdulillah, karena hingga hari ini--sampai sejumlah catatan ini di tangan pembaca--saya dan keluarga masih dalam lindungan-Nya, Amin. Shalawat dan salam, saya sampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah menjadi ‘cahaya’ diatas cahaya bagi umat sedunia, hingga saya, Anda telah banyak ‘diajari’ bagaimana menangkap ayat-ayat, bukan yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat, Sebelum Anda membaca, saya meminta Anda untuk “menelanjangi” diri terlebih dahulu, sehingga Anda tidak melihat siapa yang menulis, tetapi melihat apa yang ditulis. (Lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Sebab kalau dikelompokkan, pembaca setiap buku terbagi tiga golongan. Golongan Pertama, membaca judul dan isinya saja, masuk lewat mata kemudian keluar dari telinga kiri dan kanan. Kelompok ini biasanya melihat buku karena kebutuhan pragmatis, dengan logika, apa untungnya membaca Buku Revolusi Hati? Standarnya sangat matematik, karena membaca buku diukur dengan untung rugi materi, lain tidak! Kedua; Pembaca yang hanya membaca judul, nama pengarangnya, ringkasan halaman belakang, membolak-balik halaman dalam, kemudian menutupnya kembali, melihat bandrol harga buku. Setelah itu diletakkan dan mencari buku yang lain tanpa permisi. Kelompok ini, tipe pembaca buku yang menempatkan buku sebagai pelengkap, bukan kebutuhan informasi, sehingga yang terbersit dibenaknya, membeli atau tidak, sama sekali tidak akan memperngaruhi diri dan kehidupannya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

15

Ketiga ; Membaca judul, pengarang, membacanya sedikit halaman dalam, atau ringkasan halaman di halaman belakang dan membeli atau meminjam karena merasa butuh informasi dari buku Revolusi Hati. Kelompok ketiga ini, adalah golongan yang menempatkan buku sebagai kebutuhan informasi, tanpa melihat pengarang, tetapi lebih kepada isi buku—dengan harapan--dengan membaca Revolusi Hati, ada ‘sesuatu’ hal baru yang didapatkannya. Oleh sebab itu, sebelum lebih dalam membaca buku ini, Anda harus melepas semua ‘baju’ status sosial Anda, sehingga Anda benar-benar ‘telanjang’ tanpa merasa ada sekat-sekat lain yang membenai Anda ketika membaca Buku Revolusi Hati. Lepaskan baju Anda sebagai Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah, Ketua RT/RW, Direktur Perusahaan dan status lainnya, sehingga Anda kembali menjadi manusia secara utuh sebagai mahluk Tuhan yang lahir dengan telanjang. Tanpa Anda melakukan itu, rencana saya mengajak Anda untuk melakukan Revolusi Hati, akan mengalami hambatan. Untuk itu saya mohon bantuan Anda, agar Revolusi Hati untuk Negeri ini, bukan hanya sekadar menjadi bacaan dlohir, tetapi juga menjadi ‘pedoman batin’ bagaimana anak negeri, agar hatinya menjadi lebih baik dari sebelumnya, termasuk dalam memahami segala bentuk carut marutnya negeri kita yang sedang menuju pembenahan. Buku Revolusi Hati untuk Negeri bukanlah bacaan berat. Sebab tulisan ini mengalir begitu saja, tanpa ada beban akademik dan kaidah bagaimana cara saya menulis yang baik. Namun demikian, Insya Allah dengan bahasa yang sederhana inilah, buku ini akan dapat dipahami oleh siapapun tanpa membedakan jenjang pendidikan, agama, suku dan golongan. Sebab ketika catatan-catatan ini ditulis, sebelumnya tidak dilatari dengan perencaan pemetaan pasar pembaca terlebih dahulu, melainkan “mengkuti” alur batin saya, kemudian dikumpulkan dari tahun ke tahun, dan jadilah buku ini sampai di tangan Anda. Hampir di semua tuisan buku ini, saya sengaja mengajak Anda untuk mengernyitkan kening, memutar otak kemudian mongolah batin sehingga bertemu dengan makna tersirat dari sebuah peristiwa. Dalam beberapa tulisan, sedikit banyak akan mengundang pendapat, kalau buku ini mematahkan sikap optimisme, mendorong kepasrahan Tuhan tanpa usaha, atau hanya menunggu emas dari langit tanpa ikhtiar. Bahkan diantara teman saya ada yang menyebut, buku ini argumentasi orang kalah yang kemudian membuat pembenaran diri dengan argumentasi ilahiyah, menyerahkan semua kenyataan hidup pada Tuhan, sehingga kekalahan itu sebagai bentuk penjagaan idealisme hidup saya. Saya katakan tidak sama sekali! Malah sebaliknya, buku ini sedang mengajak Anda untuk tetap optimis menjalani hidup, apapun profesinya, termasuk pemulung sekalipun. Sebab, di balik semua peran, fungsi dan kewajiban setiap mahluk ada pesan moral tersirat, sebagaimana lahirnya presiden karena ada rakyat, ada presiden tanpa rakyat, siapa yang akan dipimpin? Atau banyaknya orang miskin, menjadi bagian solidaritas Tuhan pada orang kaya, untuk senantiasa berderma, datangnya pengemis ke rumah kita sebagai bentuk ‘utusan Tuhan’ karena ‘kebijakan langit’ sedang ingin membersihkan harta kita dari segala macam kotoran. Atau kalau Anda kehilangan handphone, jangan dulu buru-buru menyalahkan maling, karena sangat mungkin selama Anda hidup, ada sejumlah rupiah yang menjadi hak orang lain, tetapi tidak Anda

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

16

berikan, sehingga Tuhan harus “memaksa” uang Anda harus hilang seharga handphone, dan lain sebagainya. Segala usaha, ikhitiar dan doa, adalah upaya maksimal dari setiap mahluk. Tetapi tentang bagaimana hasil akhir dari suatu pekerjaan dan proses kreatif seorang mahluk, bukan wewenang manusia. Semua itu menjadi hak mutlak Sang Maha Pemberi, Sang Maha Kasih dan Sang Maha Penyayang. Ketika hasil tidak sesuai dengan pengorbanan, maka yang harus dilakukan adalah melakukan revolusi hati; dengan meyakinkan diri, kalau hasil apapun yang kita diterima, merupakan hasil yang terbaik di mata Tuhan untuk kita, seklipun buruk di mata mahluk!. Selamat membaca!

Palembang, 20 Februari 2012 Penulis

Imron Supriyadi

Ucapan Terima Kasih

Tentu dalam proses penulisan buku ini tidak lepas dari bantuan sejumlah pihak, baik secara kelembagaan maupun pribadi, baik. Oleh sebab itu, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada ;

- Kepada Ayah saya, Abdul Salam (Alm) dan Ibu saya Alfasanah, yang telah menitipkan “semangat kebaikan dan kemuliaan diri dan keluarga” pada saya yang masih tertanam dalam batin saya hingga hari ini sampai akhir hayat nanti.

- Kepada kedua mertua saya, Bapak Andarwin dan Ibu Marni, yang turut memberikan ‘pesan kesabaran ekstra’ kepada putrinya, untuk kemudian sanggup mendampingi saya dalam suka dan duka, hingga buku ini bisa terbit sebagaimana harapan.

- Kepada Isteriku tercinta, Pustrini Hayati.,S.Pd.I, dan kedua anak kami ; Annisatun Nurul Alam (Chacha) dan Muhammad Kahfi El Hakim (Apink) yang tetap setia dan sabar untuk bertahan pada ‘keterbatasan material’ sehingga semua itu menjadi bagian do’a sampai akhirnya buku ini di tangan pembaca.

- Kepada Para Guru Ngaji Saya dan saudara-saudara saya di Borobudur dan Magelang, yang turut mengiring doa atas terbitnya buku ini, hingga sampai di tangan pembaca.

- Kepada Pimpinan Yayasan dan Civitas Akademika Kampus Pondok Pesantren Moderen Islam As-Salaam (PPMIA) Surakarta, yang ikut ‘mengisi’ otak dan batin saya saya, meski hanya sebentar, tetapi sangat bermanfaat.

- Kepada Almamater saya (IAIN Redan Fatah Palembang) yang telah ikut ‘mendesain’ intelektual saya selama dalam proses belajar di dalam kampus.

- Kepada KH Imron Jamil di Jombang (Jawa Timur), meski melaui digital, saya banyak mendapat inspirasi dari sejumlah rekaman pengajian Kitab Al-Hikam yang sempat saya dengar setiap waktu tanpa merasa bosan.

- Kepada Bapak Drs.H.Asymuni Hambali (Kepala Kementerian Agama Kabupaten Muara Enim), Kiai Abdul Majid dan Budayawan Eko Wahyu di Tanjung Enim, yang dengan lapang dada meluangkan waktunya menjadi tempat saya ‘mengadu’ dan konsultasi dalam segala hal, termasuk sejumlah tulisan dalam buku ini yang sebagian

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

17

terinspirasi dari berbagai obrolan keseharianya antara saya dengan mereka dari waktu ke waktu.

- Kepada Mas Suparno Wonokromo, CEO Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group) Wilayah Sumatera dan Jawa Barat, yang sempat ‘memacu’ saya menjadi penulis yang baik, saat saya masih di Harian Pagi Sumatera Ekspres.

- Kepada Bapak Fachry Mohammad, Owner Smart FM Network, yang “memfasilitasi dan mendidik” saya di bidang Broadcasting dan Public Speaking selama 5 tahun di Radio Smart FM Palembang.

- Kepada Ustadz H.Hendra Zainudin, S.Ag, Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren Sumsel, yang ikut membantu proses peluncuran buku ini,

- Kepada Para Ulama (Pemimpin Agama), Rohaniwan dan Umaro (Kepala Pemerintahan) di Wilayah Sumsel, yang turut membantu dan mendoakan terbitnya buku ini, sampai akhirnya bisa dibaca oleh masyarakat, khususnya di Sumsel.

- Kepada Bung Dr.Tarech Rasyid,M.Si, aktifis dan akademisi Universitas IBA Palembang, yang ikut ‘mengawal’ komitmen dan konsistensi saya untuk menulis.

- Kepada Bung Febuar Rahman, SH dan Mbak Endang Rahmawati serta keluarga yang sempat menjadi tempat saya ‘berteduh’ selama 3,5 tahun dalam menjalani proses kreatif ini.

- Kepada Tim kerja di Lembaga Kebudayaan Venesia dari Timur, Djoesev Soeterisno, SE, Putu Lilik Supandi dan PAReS management, Muhammad Syahrian,SH, Evan Berliansyah (Beben), Sofyan Saputra (Pepen), yang turut mendampingi saya saat ‘begadang kreatif’ dalam proses penyelesaian buku ini.

- Kepada Tim Kreatif (Broadcaster Radio Smart FM Palembang), Darwin Syarkowi, Mohd.Ade Syafe’i (Izoel) dan Feddy Irawan, yang turut membantu dalam prosesing studio, (recording dan mengemas sound effect) dalam bentuk audio, sehingga buku ini bukan saja dapat dinikmati melalui tulisan tetapi juga dalam bentuk audio yang dapat didengar bagi siapapun, termasuk yang punya waktu sedikit untuk membaca, atau bagi tuna netra sekalipun.

- Kepada sejumlah tokoh, motivator dan para cendekiawan Indonesia yang berkenan memberi endorsement buku saya, semoga dapat mendorongan ke setiap pembaca untuk mengambil manfaat dari buku saya.

- Kepada Nurhayat Arif Permana, Direktur Tavern Art Work Palembang dan Tim Work-nya, yang telah ikut “menemani” saya beberapa waktu, sehingga saya tetap ‘terjaga” untuk tetap menulis.

- Kepada kawan-kawan di LBH Pers (Yohanes Simanjuntak,SH.MH dkk) dan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Palembang yang telah banyak berperan ikut serta dalam pengumpulan naskah yang tersebar di sejumlah media online dan cetak.

- Kawan-Kawan Seniman Sumsel, baik di Dewan Kesenian Sumsel (DKSS) maupun di Dewan Kesenian Palembang (DKP), yang turut menyemangati saya dalam proses kreatif ini.

- Kepada Yusron Masduki,S.Ag,M.Pd.I, Pimpinan Penerbit Tunas Gemilang, yang membantu proses tata latak dan isi buku.

- Kepada Ibu Dra.Rina Bakre, Direktur Eksekutif Yayasan Puspa Indonesia, dan kawan-kawan, yang turut ‘menjaga’ semangat saya dalam penyelesaian buku ini, dengan memberi ruang saya, sebagai fasilitator di Sekolah Demokrasi Ogan Ilir (SDOI)

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

18

- Kepada Kawan-Kawan aktifis NGO juga kawan-kawan di SDOI, yang turut serta mengapresiasi buku ini dalam diskusi informal saat malam menjelang.

- Kepada Kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ukhuwah IAIN Raden Fatah Palembang, yang membantu dalam sosialisasi buku ini di sejumlah kampus.

- Kepada kawan-kawan Ikatan Da’i Lawang Kidul (IKDL), Ustadz KH.Arifin Aman, A.Zahri,AR, M. Makki Kamil,S.Ag,M.Pd.I, Taufik Hidayat,S.Ag, Assamarkondi,S.Ag,M.Si, Endri Suburdin,S.Ag, Nazaruddin,S.Ag, Jalaluddin,S.Ag, Yahdi,S.Ag, Amran Kadir, Tulus, Roni Ridwan,S.Pd, yang telah membantu penyebarluasan jaringan buku ini, terutama di Kota Muara Enim.

- Kepada kawan-kawan lain ; Mas Eko Sulistyanto dan Mas Andi Budiman (eks KBR 68H Jakarta), H Dachromy, S.Pd.I (Owner Yayasn Nurul Iman), Bung Eddy Purwanto, SH (Mantan Dirut Dana Pensiun PTBA Tanjung Enim), Kartiko Bajoe (Penyair di Tanjung Enim), Ayi Syamsudin (GM Radio Gema Bukit Asam FM) dkk, Drs.H.Kamil Kamal, Kanda Syafik Gani (GM PalTV), FJ Adjong, Coni Sema, Sutrisman Dinah, Asriel OSM Chaniago, Anwar Rasuan, Anto Narasoma, Taufik Usman, M Nasir, Fahrurozi, S.Ag, Triono Junaidi, Abadi Tumanggung, Arif A OKI (Jurnalis), Ade Indra Chaniago, Toton Dai Permana, Arif Ardiansyah,S.Pd,M.Si, Bambang Karyanto (DPRD Kab. Muba), Beny Iskandar,ST (DPRD OKI), Jaid Saidi (Sutradara dan Penyair), Erwin Janim, Yussudarson Sonov, Zulfikar, Edwin Fast, Anton Bae (Owner Dapunta.Com), Heru Siswanto (Direktur Graphic Point), Para Seniman seperti; Taufik Wijaya, Anwar Putra Bayu, Saudi Berlian, Zulkhair Ali, A Muahaimin, Vebri Al Lintani, Amir Hamzah, Sudarto Marelo, Evan Fajrullah, Anthoni Ansori, Rafa,iudin, Suharto, Muhsin Fajri, Dadang Lara Utama, Rusydi Bey (alm), B Trisman (alm), A Rapani Igama, Erwan Suryanegara, SN Al Sajidi, Kamsul A Harla, J. Filuz, Syamsu Indra Usman, Warman Pluntaz,S.Ag, Mohammad Azhari, S.Pd, M Solikin,S.Ag, Surono,S.Pd, Sulyaden,SH, Ian Iskandar,Sh,MH, dan Kanda Suharyono,SH, Munarman, Chairil Syah,Sh (Praktisi Hukum), Robi Budi Puruhita, SE, Ardi Syukri,ST, Ade Indriani, JJ Polong, Yeni Izi, Wahib Situmorang, Eti Gustina dan (aktifis NGO), Nur Kholis (Wakil KomnasHAM), Samsul Arifin, Sehabudin, M Syukri Soha (KPID Sumsel), Kurnia Abadi, Romi Maradona, Retno Palupi, Hendra Jamal, Warto Raharjo,S.Ag,MM (Owner PT Afzarki Permata Abadi), Nas’at Patikawa, S.Ag, Khoiriyah,YS, S.Ag, Robain,S.Pd.I, Jhon Kenedy, H.Ahirman,S.Ag, Mustaqiem Eska, S.Ag, M.Muhibullah,S.Ag, Ali Mursyi AR,S.Ag, yang turut ‘mengawal’ semangat saya untuk terus berkarya, menulis dan menulis dari tahun ke tahun.

- Kepada kawan-kawan wartawan media cetak, elektronik dan media online yang telah membantu dalam publikasi sejumlah tulisan saya di berbagai media.

- Dan kepada semua pihak lain, yang telah membantu proses penerbitan buku ini, terutama sejumlah pendukung yang tidak bisa saya sebut satu persatu.

Semoga apa yang telah diberikan dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Sekali lagi, saya ucapkan selamat membaca dan semoga bermanfaat bagi kita untuk melakukan revolusi hati, demi perbaikan negeri, mulai detik ini juga!

Palembang, 20 Februari 2012

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

19

Kemiskinan Adalah Jembatan Emas Mungkin, saya, anda atau siapapun juga selama ini terbersit dalam hati membenci terhadap kemiskinan di negeri ini atau di belahan dunia lain. Kebencian ini bisa jadi bermula dari ketidaksediaan kita membantu menyelesaikan kemiskinan, atau karena di putaran otak kita yang ada hanya tuduhan pada pemegang kebijakan negara yang kita anggap tidak peduli terhadap kemiskinan dan orang miskin. Tetapi, jika kemudian orang miskin dan kemiskinan itu kita putar menjadi diri kita, mungkin kita tidak pernah akan membenci kemiskinan dan orang miskin, sebab saya, anda atau siapapun dia sedang berada dalam posisi miskin. Artinya, katika kita dalam posisi miskin dan diligkupi oleh kemiskinan kemudian kita membenci kemiskinan, itu sama halnya kita sedang membenci diri kita sendiri. Mulai hari ini sebaiknya kita melihat kemiskinan dan orang miskin bukan dengan kacamata dendam, benci atau kasihan. Sebab dendam, benci dan ucapan kasihan tidak akan menyelesaikan persoaoan kemiskinan. Yang terpenting dalam melihat kemiskinan dan orang miskin adalah bagaimana kemiskinan dan orang miskin itu dijadikan ladang kita untuk menebar benih kebaikan, sehingga kemiskinan dan orang miskin tidak selalu dihujani dengan hujatan, cercaan dan caci maki yang penduh dendam dan kebencian terhadap siapapun. Sebab, ketika Tuhan menciptakan kemiskinan dan orang miskin bukan tanpa tujuan. Sedemikian egonya kita yang dalam keseharian kita lebih banyak menahan hak orang lain, dari pada kita mau memberikan sebagian dari harta kita, sehingga untuk membuka lahan kebaikan itu, Tuhan tetap saja membiarkan kemiskinan dan orang miskin itu ada di sekitar kita. Kalau kita kemudian sudah memantapkan diri dalam hati, kalau sebenarnya kemiskinan dan orang miskin itu adalah peluang kita untuk berbuat baik yang diciptakan Tuhan, mengapa kita harus memaki-maki mereka, mencaci mereka, mengusir mereka dari hadapan kita, Toh Tuhan dengan sengaja menciptakan kemiskinan dan orang miskin itu sebagai alat, sebagai ruang kita untuk terus menanamkan benih kebaikan antar sesama mahluk. Jika teryata kemiskinan dan orang miskin adalah sekumpulan mahluk yang diciptakan Tuhan, tetapi kita usir mereka dengan tenpa memberi apapun pada mereka, bukankah kita sama saja sedang membuang kesempatan berbuat baik, yang sedang diberikan Tuhan di hadapan kita? Dalam keseharian, kita sering melihat kemiskinan dan orang miskin itu seperti tinja yang menjijikkan, karena kita tidak mengetahui rahasia Tuhan, kenapa kemiskinan dan orang miskin itu diciptakan. Padahal, kemiskinan dan orag miskin yang ada disekitar kita adalah jembatan emas untuk membuka diri dan hati kita agar kita mau berbagi antar sesama, karena semua harta yang kita punya ada hak orang lain yang wajib kita berikan pada mereka.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

20

Kemiskinan dan orang miskin, tisdak kita sadarai ternyata telah membawa jasa besar pada bangsa ini. Indonesia pernah disebut di mata internasional, sebagai bangsa yang mampu ber-swasembada pangan karena mampu membantu jutaan rakyat miskin terbebas dari krisis pangan. Kemiskinan, juga telah banyak membuka peluang bagi kita untuk terus melakukan pembersihan diri, pembersihan ego kepemilikan kita, dengan memberikan sebagian kecil dari harta yang kita punya. Tuhan sepertinya belum bersedia melenyapkan kemiskinan, karena, kita masih perlu banyak berbuat, untuk membayar hutang-hutang kebaikan kita pada Sang Pencipta. Untunglah, Tuhan belum mencabut kemiskinan. Itu pertanda, Tuhan masih berbaik hati dengan kita. Ini bentuk solidaritas Tuhan buat kita. Tuhan masih memberi kesempatan kita untuk melakukan perbaikan diri melalui kemiskinan untuk berhadapan dengan kematian? Pesan saya, janganlah kita hanya bisa menyimpan tumpukan tinja di dalam rumah, karena itu akan membuat kita makin tidak mengerti siapa kita sebenarnya di hadapan Tuhan. Lalu kita tidak pernah sadar ruang diri kita, dimana Tuhan dan dimana kita. Jika di hadapan kita ada jembatan emas yang mengantarkan kita sampai pada kesempuraan ketataatan pada Tuhan dengan berbagi antar sesama, mengapa kita sering memilih menyimpan tinja di dalam rumah?**

Redaksi Majalah Sindang Merdeka Palembang, 1999-2001

Persahabatan Mati Lampu

Suatu ketika, di Er-Te saya sedang mendapat giliran mati lampu. Dan sebelumnya, PLN memang sudah memberitahu tentang giliran mati lampu ini, sekalipun tidak jarang, pemberitahuan itu melenceng dari jadwal. Nah, menurut jadwal giliran, seharusnya malam itu di Er-te saya tidak mendapat giliran mati lampu. Oleh karena meleset dari jadwal itulah, kemudian beberapa warga uring-uringan, marah-marah, kesal dan lain sebagainya.

Tetapi di sisi lain, saya juga melihat, beberapa warga keluar dari rumah, menuju warung membeli lilin, ada juga yang tandhang atau mencari sahabat ke rumah tetangga. Saya melihat, mereka kemudian berkumpul, sambil menunggu hidupnya lampu, dengan ngobrol dan bercengekarama seadanya.

Saya tidak tahu persis, Anda masuk di bagian mana. Apakah masuk di kelompok yang marah-marah dan kesal, atau masuk kelompok orang yang biasa saja menghadapi mati lampu. Nah, dari peristiwa mati lampu, sebenarnya ada nilai yang mungkin selama ini tidak pernah kita pikirkan, tetapi justeru muncul di saat mati lampu. Mungkin, selama ini kita selalu disibukkan oleh bermacam aktifitas kantor atau pekerjaan keseharian. Sehingga, sepulang dari kantor, Anda tidak pernah melakukan silaturahmi ke para tetangga, karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan satu hari penuh. Demikian juga, oleh karena kita sering berbelanja di Supermarket,

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

21

Anda pun sangat jarang membeli lilin di warung tetangga, yang mungkin membutuhkan keuntungan dari tangan kita.

Inilah yang saya katakan, dari mati lampu, ada nilai dan pesan sosial yang mungkin selama ini kita lupakan. Sebab, dari mati lampu, dalam masing-masing warga tiba-tiba muncul semangat kebersamaan untuk berkumpul dengan tetangga, berbagi kesejahteraan dengan warung sebelah dengan cara membeli lilin, atau bahkan kita pun memiliki emosi yang serupa, yaitu kekesalan terhadap musuh yang sama yaitu : mati lampu.( baca; kegelapan). Kenapa di saat mati lampu kemudian kita berkumpul, mengerubungi lilin atau lampu minyak? Atau kenapa pula di saat mati lampu kita kemudian lebih memilih mencari teman ngobrol, ketimbang tidur-tiduran di dalam kamar sendirian? Apalagi alasannya, kalau bukan karena Anda, saya dan kita tidak menginginkan adanya kegelapan.

Tetapi, semangat kebersamaan dan menyatu dalam satu gerakan emosi, dalam kisah mati lampu, tidak pernah kita petik, untuk kemudian tetap kita lestarikan dalam kedirian kita. Selama ini kita tidak menginginkan rumah kita gelap, tetapi kita sering berdiam diri di rumah masing-masing yang berpagar tinggi, atau di kamar masing-masing tanpa berfikir, kalau sebenarnya kita membutuhkan sahabat, yaitu orang lain (baca : cahaya). Setelah kegelapan itu hadir di depan mata, kita baru tersadar, bahwa kita sedang berada dalam kegelapan dan tidak ingin sendirian. Mati lampu, ternyata tidak harus mendorong kita untuk marah terhadap PLN, tetapi ada nilai dan pesan sosial yang mesti diajarkan pada hati dan pikran kita, yaitu semangat kebersamaan, untuk melawan kegelapan. Apakah kegelapan di rumah kita, kegelapan di dalam dada kita, di dalam hati nurani kita atau bahkan, kegelapan dalam sistem ketatanegaraan kita, dari tingkat bawah (Rukun Tetangga) sampai di tingkat pusat sekalipun (Presiden). Mestikah kita membiarkan kegelapan itu, jika kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu bakar dalam satu “ikatan api” kebersamaan untuk melawan kegelapan secara bersama-sama?**

Lorong Akbar, Pakjo Palembang, 2002

Jangan Usir Ayam di Ruang Tamu Saya atau juga anda, mungkin lebih sering memilih mengusir ayam dari dalam rumah, ketimbang membiarkannya. Setiap orang, selalu tidak rela jika ada seekor ayam masuk ke dalam rumah. Di teras pun, saya atau juga anda akan cepat-cepat mengusir dengan kasar, tanpa mengetahui tujuan ayam masuk ke rumah kita. Kenapa kita selalu cenderung mengusir ayam dari dalam rumah? Sebab yang pasti, karena kita, selalu berprasangka buruk terhadap ayam yang masuk ke rumah kita. Prasangka itu muncul, karena kebanyakan kita, tidak pernah tahu data ghaib dari Tuhan tentang apa niat ayam masuk ke dalam rumah.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

22

Oleh sebab itu, kita selalu khawatir, jangan-jangan ayam itu akan berak sembarangan, dan mengotori lantai. Kenyataan perilaku ayam yang selalu berak sembarangan di lantai rumah kita, kemudian menjadi satu persangkaan buruk bagi setiap ayam. Padahal, anda atau juga saya tidak mau dikatakan, semua manusia itu jelek. Sama juga ayam, kalau saja kita mengetahui bahasa ayam, maka ayam pun akan protes kalau dikatakan, semua ayam itu jelek. Tahun 2002, satu hari menjelang Hari Raya Idul Adha, saya berkunjung ke rumah Kiai Abdul Madjid di Tanjung Enim. Seperti tuan rumah pada umumnya, Kiai Majid begitu hormat menyambut saya. Semula saya diam. Saya hanya mendengarkan perbincangan sederhana, antara Kiai Madjid dengan tamu yang datang lebih dulu dari saya. Di tengah asyiknya perbincangan, seekor ayam masuk ke ruang tamu, persis di tempat kami sedang berbincang. Semula saya akan mengusir ayam itu. Tetapi dicegah oleh Kiai Madjid. Ayam itu kemudian berjalan tanpa beban ketakutan. Sementara Kiai Madjid masih berbincang dengan tamu, saya mengamati ayam, sambil di benak saya bertanya-tanya kenapa Kiai Madjid melarang saya mengusir ayam dari ruang tamunya? Perlahan-lahan, ayam betina yang masuk ke dalam ruang tamu dibiarkan saja. Merasa tidak diusik, ayam ini tiba-tiba mendekat, persis di samping Kiai Majid duduk. Ia memosisikan diri, seperti hendak bertelur di sebuah sarang. Sembari mengepulkan asap rokok-nya, Kiai Majid hanya melirik, gerangan apa yang akan dilakukan oleh ayamnya ini. Saya juga ikut mengamati. Kiai Majid tak sedikitpun mengusik ulah ayam yang ada di sampingnya. Tak lama kemudian, ayam ini melompat dari atas kursi, dan keluar rumah.

Kiai Majid tersenyum puas, di saat melihat satu butir telur ada di samping duduknya. Ternyata, tidak selamanya, ayam masuk ke dalam rumah akan mengotori dan mengeluarkan tinja. Terbukti, ayam Kiai Majid memberi satu butir telur bukan tinja.

Perilaku ayam Kiai Majid, paling tidak telah menyadarkan kita pada nilai kemanuisaan kita, yang sering mendahulukan prasangka buruk dari pada prasangka baik kepada orang lain. Secara sadar atau tidak, ayam Kiai Majid, telah mengingatkan kita, untuk memupuk berpikir positif atau dalam bahasa agamanya khusnuzhon, berbaik sangka kepada siapapun, termasuk juga pada ayam. Sebab, selama kita mendahulukan sikap buruk sangka, maka selama itu pula kita akan disiksa oleh perasaan kita sendiri. Dari kisah ini, saya hanya akan menyampaikan pesan dari ayam Kiai Majid, kalau ayam saja bisa memberikan yang terbaik bagi manusia, berupa telur, kenapa kita, yang jelas-jelas manusia, tidak atau bahkan lupa untuk memberi yang terbaik kepada sesama. Padahal, Tuhan sudah menyatakan, Tidaklah engkau akan sampai pada kebaktian atau ketaatan yang sempurna, sebelum engkau memberikan sesuatu yang terbaik..” Mungkin, kita memang harus lebih banyak belajar lagi dari ayamnya Kiai Majid.**

Tanjung Enim, Idul Adha 1423 H / 2002

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

23

Dialog Sungai

Suatu ketika, saya dan teman-teman se-profesi, menyusuri Sungai Musi Palembang. Sekalipun melibatkan unsur pimpinan menejemen, tetapi, perjalanan ini, sifatnya, berjalan santai. Ibarat orang sedang mencari angin, diluar tempat kerja, tanpa schedule, tanpa jam dan batas waktu yang jelas. Katanya, acara jalan-jalan ini sebagai salam kesan dan pesan dari salah satu pimpinan kami yang akan meninggalkan Palembang. Tetapi justeru inilah, yang mebuat saya dan teman-teman, dapat dengan bebas--untuk memaknai perjalanan, dengan segala penglihatannya, baik secara dhohir, maupun batin. Jam sepuluh pagi menjelang siang, kami berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak. Terus menyusuri beberapa perkampungan pinggir Sungai Musi, ke arah Pulau Kemaro. Sejak awal keberangkatan, saya sengaja berada diatas atap perahu. Sehingga, saya bisa menikmati alam secara bebas tanpa sekat apapun. Suatu ketika, perahu yang saya tumpangi berlintasan dengan sebuah perahu kecil tanpa mesin, yang banyak disebut orang dengan sampan. Diatas sampan itu, ada dua orang yang sedang menggayuh dayung. Dan ketika sampan itu tinggal beberapa meter akan berlintasan dengan kami, seketika itu juga si pengemudi perahu mesin yang kami tumpangi, tiba-tiba menurunkan gas. Dengan sendirinya, kecepatan perahu kami berkurang. Dan beberapa detik kemudian, setelah berlalunya sampan itu, si pengemudi, kembali menarik gas-nya dan kecepatannya kembali normal. Melihat peristiwa ini, ada tanda tanya yang kemudian muncul di benak saya. Karena saya awam terhadap “pergaulan” air, maka saya tanyakan pada awak perahu. Saya turun dan mendekati tukang perahu. “Mas, kenapa waktu waktu kita berpapasan dengan sampan tadi, parahu kita harus direm gasnya?” tanya saya kepada si tukang perahu. “O, Itu memang sudah biasanya seperti itu, Pak. Setiap kali ada perahu besar atau perahu mesin yang berlintasan dengan perahu kecil, yang lebih besar harus mengurangi gasnya. Kalau tidak direm gas-nya, nanti sampan kecil itu bisa oleng kena ombak perahu besar, bisa-bisa sampan itu terbalik dan karam,” jawab si tukang perahu. Kisah ini memberi satu pelajaran lagi bagi hati dan pikiran kita. Ternyata, diatas air ada etika dan hukum tidak tertulis yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pengemudi perahu mesin dengan sampan. Kenyataan “pergaulan sampan dan perahu mesin” menggambarkan betapa berharganya sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi justeru dapat membentuk satu kesantunan peradaban air. Kenapa saya sebut sebuah kesantunan? Karena pergaulan sebagaimana perahu mesin dan sampan, hampir sangat jarang ditemui dalam pergaulan di darat.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

24

Kalau meminjam bahasa Budayawan Emha Ainun Nadjib, mungkin saya, atau anda sering melihat bagaimana peradaban kendaraan di darat, yang lebih mengutamakan pada kesadaran gas dari pada kesadaran rem. Tetapi, diatas Sungai Musi, justeru sebaliknya, mengedepankan kesadaran rem, dari pada kesadaran gas. Kesadaran rem seorang pengemudi perahu yang kami tumpangi, sekaligus mewakili keinginan penumpang, yaitu keinginan selamat secara bersama-sama, dan berharap untuk tidak tenggelam ke dalam Sungai Musi. Kesadaran untuk saling menyelamatkan antar satu sama lain inilah, yang saat ini seakan mulai pudar. Kalaupun ada, paling-paling hanya kesepakatan untuk saling menyelamatkan dari jeruji penjara.

Mungkin, karena kita tidak belajar dari kesantunan peradaban sungai ini, kemudian yang muncul dari kedirian kita adalah kegersangan. Muara kecil dalam diri kita yang bernama “hati nurani”, tak pernah kita dialiri oleh kesantunan air, sehingga, dalam keseharian, kita memilih untuk saling mendahukukan emosional kita, merasa ingin menang sendiri, atau merasa paling benar sendiri, lantas mengantarkan kita pada kecenderungan, untuk selalu memandang rendah dan salah pada orang lain.

Kenyataan ini, tentu sebagai akibat dari kealpaan kita untuk berdialog dengan air. Air, tak pernah lagi kita ajak bersentuhan dengan muka kita dan hati kita. Komunikasi dengan siraman air rohani, juga sering kita putuskan. Air muka persahabatan pun sering kita libas dengan persoalan materi. Bahkan, air mata pengakuan kesalahan, tak lagi kita tumpahkan dihadapan Tuhan. Kalau tukang perahu dan sampan saja bisa belajar dari peradaban dan kesantunan aliran air Sungai Musi, kenapa kita tidak?**

Smart FM, Palembang, 2002

Mengubah Sakit Menjadi Nikmat

Kisah ini terjadi pada 4 Agustus 2010 pukul empat sore. Persis di depan rumah kontrakan saya di Palembang. Sore itu, Annisa, putri sulung saya yang baru berumur 5 tahun, jatuh terjerembab. Lutut kakinya lecet tergesek aspal. Tangannya juga bernasib serupa. Luka dan Kulit arinya terkelupas. Seketika itu ada bercak darah yang mengembun dari pori-pori lukanya. Memang tidak terlalu parah. Tetapi bagi anak seusia Annisa, luka itu cukup untuk beralasan, jika anak saya kemudian harus menangis karena menahan rasa sakit. Tangisnya kian meledak, saat saya kemudian keluar menyambutnya. Dia menganggap, saya akan langsung memanjakan dan menggendongnnya. Tangannya menjuntai ke arah saya. Tetapi saya tidak langsung menerima permintaan itu. Kian meraunglah suara tangis anak saya itu.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

25

Sebagai orang tua, saya tidak ingin tangisan anak saya makin keras. Saya coba mengobatinya. Setelah itu, saya menggendongnya dan saya baringkan diatas ranjang. Dalam belaian, tak lama kemudian, anak saya terlelap bersama rasa nyeri lutut dan tangannya. Saya kemudian meninggalkan anak saya di dalam kamar sendirian, setelah sebelumnya saya mencium keningnya. Demikianlah kisah rasa sakit yang sore itu diderita anak saya. Rasa sakit bisa menimpa siapa saja. Rasa sakit tidak kenal dengan pangkat dan jabatan. Dan sore itu rasa sakit menimpa anak saya. Tetapi, saya melihat demikian indah rasa sakit yang menimpa anak saya sore itu, ketika kemudian kecelakaan kecil itu mengantarkan anak saya bisa tidur siang meski hanya sesaat. Seperti kebanyakan anak seusia anak saya, tidur siang biasanya dianggap sebagai siksaan, karena mereka mengangap ruang dan waktu bermain menjadi tersita oleh tidur siang. Tetapi, sore itu ternyata Tuhan ternyata berkata lain pada anak saya. Jika tanpa ada kejatuhan yang menimbulkan rasa sakit, anak saya akan menolak untuk diperintah tidur siang. Jatuhnya anak saya adalah ‘bahasa langit’ yang kemudian menyadarkan saya, betapa keinginan baik dari orang tua yang ditolak mentah-mentah oleh anak, kemudian diambil alih kewenangannya oleh Tuhan, dengan cara “sakit dan jatuh” lebih dulu, baru kemudian anak saya bersedia berbaring dan terlelap. Dalam skenario langit, Tuhan telah sedemikian banyak menciptakan jutaan rasa sakit yang acap kali kita anggap cobaan, teguran atau bahkan laknat. Tetapi sedemikian sombongkah kita jika kemudian menganggap rasa sakit yang menimpa, kita sebut sebagai cobaan. Sudah berapa banyakkah kita berlaku adil atas karunia-Nya, sehingga kita menganggap rasa sakit itu sebagai cobaan? Seberapa taatkah kita pada Sang Pemberi nikmat, sehingga kita beraninya menganggap rasa sakit yang menimpa kita sebagai teguran, apalagi cobaan? Lalu sebagian orang mengangap rasa sakit sebagai teguran. Seberapa besar kesalahan yang telah kita lakukan sehingga kita menganggap rasa sakit yang kita derita sebagai teguran? Pernahkah kita kemudian melakukan perhitungan (muhasabah diri) atas segala kelalaian kita yang telah melakukan dosa ritual, dosa sosial dan dosa struktural dalam system tatanegaraan kita, jika kemudian kita menyebut rasa sakit itu sebagai teguran? Lalu di sebagian lain, diantara kita menyebut rasa sakit dengan laknat. Bukankah Tuhan Maha Pengampun? Betapa kejamnya Tuhan melakukan laknat terhadap mahluk ciptaan-Nya sendiri hanya lantaran kesalahan yang sebenarnya kesalahan itu sendiri adalah bagian proses untuk mengantarkan mahluk-Nya menemukan kebenaran? Apapun julukan kita terhadap rasa sakit, tetap saja akan menjadi indah ketika rasa sakit itu bukan dijadikan sebagai keluhan, penderitaan apalagi halangan untuk tetap kita berterima kasih atas semua “bonus gratis” dalam hidup, yang Tuhan sendiri memerintahkan kita hanya untuk “mengabdi” kepada-Nya, tak ada lain. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk mengeluh, mengumpat apalagi menghujat terhadap rasa sakit. Sebab dengan rasa sakit, kita akan sangat paham betapa nikmatnya sehat. Dengan rasa sakit, kita makin banyak tahu tentang sakit-sakit lain, baik sakit fisik atau sakit jiaw, yang mungkin selama ini diderita oleh banyak orang, sementara kita memilih mentertawakannya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

26

Dengan rasa sakit itu, Tuhan sebenarnya sedang memanusiakan kita, agar kita tersadar kalau manusia memiliki kewajiban untuk merasakan rasa sakit. Dengan rasa sakit, kita makin terlihat watak keaslian kemanusiaan kita, yang ternyata hanya bisa mengeluh saat ditimpa rasa sakit, dan akan tertawa, bahkan terjerumus dalam kelalaian saat kita sehat. Maka nikmatilah rasa sakit itu, sehingga dengan sakit itu kita akan lebih memahami Tuhan sedang menyapa kita, meski sapaan itu dengan rasa sakit. Demikian pula, sore itu, ketika anak saya jatuh, sebenarnya bukan sedang melukai anak saya, tetapi sebaliknya, Tuhan sedang mengasihi anak saya, memaksa anak saya untuk lelap sebentar demi keberlangsungan tenaganya di esok hari.**

Palembang, 5 Agustus 2010

Mengubah TINJA menjadi CINTA

April 2009, Anak kedua saya (Muhamamd Kahfi El Hakim) lahir. Diawal kelahirannya tidak ada tanda akan ada hambatan Buang Air Besar (BAB). Tetapi pada usia tiga tahun ini (2011), anak saya mengalami hambatan ketika akan BAB. Sedemikian banyak upaya saya dan isteri untuk mengatasi persoalan BAB anak saya. Sejak dokter umum, sampai dokter spesialist anak kami datangi, hanya sekadar untuk ‘memaksa’ tinja agar segera keluar dari perut anak saya. Semua saran dokter dan para tetangga yang sebelumnya punya pengalaman serupa kami jalankan. Segala bentuk informasi dari internet kami download, kami praktikkan, guna mempercepat BAB anak saya. Tapi hasilnya nihil. Semua sudah kami lakukan, usaha dan ikhtiar kami jalani atas dasar kecintaan kami kepada anak saya. Bukan hanya karena cinta pada mahluk kecil yang kami punya, tetapi lebih dari itu, kecintaan kami karena cinta pada Dzat yang telah menciptakan anak saya. Melukai anak saya, sama halnya kami juga telah melukai Yang Maha Pencipta anak saya. Sebagai orang tua, kali itu kami sedang diberi mandat untuk merawat dan ‘dipaksa’ berpikir keras bagaimana kami harus mendorong tinja agar segera keluar dari perut anak saya. Selama satu minggu, isteri saya hanya mengelus dan membelai anak saya dengan derai air mata. Dalam setiap doa, kami selau menyelipkan permohonan agar anak saya segera diberi kesempatan secara normal untuk BAB. Setelah semuanya kami jalani, saya dan isteri hanya bisa berserah pada Sang Pengatur Tinja. Semua usaha dan upaya yang kami lakukan, menjadi bagian ikhtiar kami sebagai mahluk ciptaan-Nya. Sementara kebijakan, keputusan dan wewenang waktu, kapan tinja anak saya harus keluar, bukan kami yang punya wewenang. Jangankan tinja, untuk sekadar menghentikan detak jantung dan aliran darah untuk sesaat saja, kami tak mampu, apalagi jika kami harus mengatur sirkulasi tinja? Setiap waktu dalam hitungan menit, isteri saya mengajak dialog anak saya, menawari anak saya, supaya mau jongkok diatas closed di kamar mandi. Tapi anak saya tetap diam. Sesekali terkulai diatas ranjang sembari memegangi mainan kesukaannya. Isteri saya tahu kalau anak saya sedang mengalami kontraksi dalam perutnya, setiap kali lambat BAB. Tak ada senyum yang

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

27

mengulas di wajah anak saya kali itu. Isteri saya kembali memeluk dan membelai diringi derai air mata. Sedih, pedih sekaligus merindukan tinja anak saya. Tepat, satu minggu lebih satu hari, syukur Alhamdulillah Tuhan mengabulkan doa kami. Anak saya bisa BAB dengan baik. Tak ada kesulitan, meski anak saya harus menangis karena komposisi tinja sudah sangat keras, sehingga menimbulkan rasa sakit saat BAB. Tetapi setelah itu, keceriaan di wajah anak saya seketika menyemburat sebagaimana sebelumnya. Demikian pula kami sebagai orang tua. ** Tinja, menurut kita adalah seburuk-buruk kotoran, yang selama ini kita buang setiap waktu. Kita tidak pernah bisa membuat permakluman sedikitpun, misalnya meluangkan waktu bagi tinja, agar suatu kali tinja kita, bisa sekadar singgah sebentar di rumah kita. Jangankan untuk melihat bentuknya, mencium baunya saja, kita akan secepat mungkin menutup hidung, agar bau busuknya tidak masuk ke rongga dada kita. Begitulah sikap kita terhadap tinja, atau kotoran sejenis yang keluar dari setiap lubang di tubuh kita. Sering kali kita menganggap tinja mahluk ciuptaan biasa, bukan sebagai bentuk karunia Tuhan. Akibatnya kita memandang tinja tetap saja kotoran yang menjijikkan, tanpa melihat bagaimana tinja itu berproses, atau bertanya siapa yang telah mengatur sirkulasi tinja, sehingga secara rutin keluar dari perut kita, demi keberlangsungan hidup setiap mahluk? Tapi di kali lain, bagi saya dan isteri, onggokan tinja telah membangkitkan kecintaan saya dan isteri pada anak saya—sekaligus membangkitkan kesadaran kecintaan saya pada Yang Maha Pengatur Tinja. Bagaimana mungkin kami akan merelakan anak saya terkulai lemas tanpa daya, bergulat dengan rasa sakit lantaran tumpukan tinja di perutnya belum keluar? Membiarkan anak saya sakit, sama halnya saya telah menyakiti Sang Pemberi Hidup pada anak saya. Pun demikian Anda. Suatu kali, tentu pernah menggendong putra-putri Anda semasa masih bayi. Bila suatu ketikia anak Anda BAB tanpa permisi, lalu baju dan separo tubuh Anda terkena air kencing dan tinja anak Anda, apakah Anda akan marah kali itu? Apakah Anda juga akan membenci anak Anda hanya gara-gara BAB tidak permisi? Tentu tak akan ada kebencian, tak aka nada kemarahan, melainkan kasih sayang dan kecintaan, karena ternyata tinja yang keluar adalah bentuk kecintaan Tuhan pada mahluk-Nya, agar keberlangsungan hidupnya terus berjalan dengan baik, tanpa hambatan BAB. Dalam hidup, setiap kita pernah mendapat tinja. Bentuknya bisa beragam, apakah kegagalan ujian, bangkrut dalam perdagangan, atau kepailitan modal usaha, dan lain sebagainya. Semua itu sama dengan tinja ; sesuatu yang sama sekali tidak enak. Kita tidak pernah akan suka dengan kedatangannya. Rasanya pahit, masam dan penuh kegetiran. Namun faktanya, setiap kita akan mengalaminya. Tetapi, jika tinja-tinja kehidupan itu, kita rasakan sebagaimana anak kita yang ‘diberi’ tinja tanpa sengaja oleh anak kita saat dalam gendongan, maka yang lahir bukan kebencian, kegalauan, apalagi keputusasaan. Sebaliknya, kita justeru kemudian sadar, betapa Tuhan masih memberi kecintaan-Nya pada kita dan anak kita, sehingga dengan sejumlah tinja kehidupan itu, kita sedang dimanusiakan oleh Tuhan, untuk kemudian Tuhan sedang ingin memuliakan kita**

Jl. Swadaya - Palembang, 10 Januari 2011

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

28

Mulut Kita dan Dandang Bakso

Dalam sebuah diskusi di Majalah Bintang Pelajar di Tanjung Enim, saya bertemu dengan Kiai Abdul Madjid, seorang pegiat agama di Kabupaten Muara Enim Sumsel. Kepada saya, dia mengisahkan tentang mulut dan Dandang Bakso. Awalnya cerita ini terdengar sederhana. Tetapi bagi saya, cerita ini menyimpan pesan yang tidak bisa kita lupakan begitu saja. Bagi kebanyakan orang, Anda mungkin agak sulit, menghubungkan apalagi mempertemukan antara Mulut dan Dandang Bakso. Sebab, selama ini mulut kita harus terjaga dari benda-benda keras apalagi harus bersentuhan dengan dandang atau panci besar yang biasa untuk memasak bulatan bakso. Tetapi, jika dirunut, secara langsung atau tidak, keduanya bisa berhubungan. Sebab, bisa saja sekali-sekali mulut kita, memakan bakso, yang sebelumnya sudah direbus di dalam dandang. Kalau ternyata kita bukan pedagang bakso, mungkin sekali-sekali kita juga membutuhkan “jasa” dandang, untuk memasak atau merebus makanan tertentu. Dan hasil rebusannya, pasti akan masuk ke perut, setelah sebelumnya dikunyah-kunyah di mulut kita. Ilustrasi ini menggambarkan, betapa antara Mulut Kita dan dan dandang Bakso juga bisa melakukan kegiatan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Secara fisik, Dandang Bakso, dapat dibeli di pasar, seharga 25-35 ribu rupiah. Sementara, Mulut kita, harganya tidak bisa dinominalkan secara materi dalam rupiah. Sampai sekarang pun, kita juga belum menemukan Rumah Sakit, yang menjualbelikan mulut manusia. Yang ada menjahit mulut robek akibat kecelakaan, atau operasi bibir sumbing. Dengan demikian jelas, harga Mulut Kita lebih mahal dari sebuah Dandang Bakso. Namun kenyataan lain, Dandang Bakso bisa lebih bermanfaat dari pada mulut kita. Posisi Dandang Bakso lebih “terhormat” dari mulut kita. Kalau seorang pedagang Bakso, memasukkan adonan gandum dan daging ke dalam Dandang, maka yang dihasilkan kemudian adalah Bakso. Pedagang kemudian memadukan bakso dengan mie beserta bumbu-bumbunya, lalu dihidangkan kepada para pembeli. Semua suka, semua memakannya dengan lahap. Tetapi di sisi lain, jika bulatan Bakso, dimasukkan ke dalam mulut kita, lalu dikunyah-kunyah, kemudian kita keluarkan dari mulut, lalu ditawarkan kepada setiap orang dengan mangkuk sebagaimana tukang bakso yang menjula baksonya, siapa yang bakal mau memakannya? Tentu, semuanya akan menolak. Kenapa? Karena semua kita akan merasa risih dan jijik. Ini bukti, sebuah Dandang Bakso ternyata bisa “lebih mahal” harganya dibanding dengan mulut kita. Disadari atau tidak, setiap lubang dalam tubuh kita sebenanrnya “hanya” bisa mengeluarkan kotoran. Mulut, menghasilkan air liur (iler-red), Telinga, menghasilkan kopok, Hidung, menghasilkan upil dan inius. Dubur, sudah pasti mengeluarkan tinja. Sampai-sampai, Tuhan jelas menyatakan, kalau manusia sebenarnya tercipta dari air hina (sperma) yang keluar dari

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

29

tempat keluarnya kotoran, dan lahir dari tempat dikeluarkannya kotoran juga. Lha kalau, begitu, apa yang mesti dibanggakan? Kemudian apa yang membuat manusia itu manjadi terhormat? Dandang Bakso harganya menjadi lebih mahal dari mulut kita, karena tebaran rahmat dan karunia kebesaran Tuhan. Pedagang Bakso, ketika berangkat dari rumah, yang terbersit dalam nitanya adalah, bagaimana berjualan laris untuk menghidupi anak dan isteri, lain tidak. Hati Pedagang bakso benar-benar “nol”, hanya untuk mencari nafkah. Ketika itu dimantapkan dalam hati si Pedagang Bakso, Tuhan kemudian menebar rahmat-Nya ke setiap Dandang Bakso. Pun demikian manusia. Mulut kita akan menjadi mulia, ketika tebaran rahmat Tuhan bisa ditangkap dengan kesadaran hati kita. Kesadaran hati adalah kesadaran yang menyadarkan manusia untuk meyakini kalau mulut kita, atau seluruh anggota tubuh kita adalah barang titipan. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan anggota badan kita, apakah itu mulut yang mesti dihindarkan dari perkataan kotor, mata juga wajib diselamatkan dari hal-hal yang ma’siat, termasuk hati kita, harus dijauhkan dari perasaan yang tidak baik. Kenapa ini penting? Sebab, jika kemudian anggota badan kita tidak digunakan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat, maka tinggal menunggu giliran, kapan Tuhan akan mengambil haknya. Oleh sebab itu, sahabat revolusi hati, kisah dari Kiai Majid ini, perlu menjadi bahan pemikiran bersama, agar kita tidak terjebak dengan “merasa memiliki segalanya”, padahal kita sebenarnya kita punya apa-apa. Jika kesadaran hati ini sudah muncul, maka “harga” anggota badan kita, termasuk mulut kita, harganya tidak akan “jatuh” dibawah harga dandang bakso.**

Kantor Redaksi Majalah Bintang Pelajar di Tanjung Enim, April 2006

Bertemu Tuhan dalam Kegagalan Tahun 2004, seorang teman dari Jakarta datang kepada saya. Dia mengajak saya untuk melakukan bisnis jual beli ban bekas. Kata teman saya, dia memiliki teman di Lampung yang siap menampung semua jenis ban bekas dengan harga yang sangat fantastis. Teman saya ini kemudian menghitung secara rinci keuntungan dalam bisnis ban bekas. Sampai-sampai, dia menyakinkan saya, kalau dalam hitungan minggu saya akan bisa mendapat untung puluhan juta rupiah. Demikian semangat teman saya ini mengajak saya ikut serta dalam bisnis ban bekas. Dengan menawarkan mimpi keuntugan bisnis ini, teman saya ini meminta saya untuk mendanai bisnis ini. Sejak mengeluarkan ban bekas dari lokasi pertambangan, sampai biaya angkutnya ke lokasi penampungan sebelum dibawa ke Lampung. Tanpa berpikir panjang, saya kemudian menyetujui gagasan ini. Saya anggap teman saya ini tidak pernah akan membohongi saya. Malamnya, saya mengajak orang tambang untuk mencari ban bekas di lokasi tambang untuk di bawa ke penampungan. Semua berjalan lancar. Kriteria ban yang diminta perusahaan vulkanisir ban di Lampung sudah terpenuhi. Ada sekitar 1500 ban bekas menumpuk di halaman belakang rumah saya. Tidak cukup di halaman saya, kemudian saya alihkan ke lapangan sepak bola, setelah sebelumnya saya izin dengan Ketua RT.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

30

Pagi harinya, teman saya kemudian mendatangkan dua orang wakil perusahaan Vulkanisir dari Lampung. Dua orang ini saya jamu sedemikian rupa, karena harapan saya dialah yang akan menjadi penentu layak dan tidaknya ban bekas ini dibawa ke Lampung. Bayangan rupiah kali itu kian terbayang jelas dimata saya. Yang terpikir di benak saya, kalau dalam tiga hari saja bisa mengumpulkan uang puluhan juta rupiah, berarti dalam satu bulan saya akan mendapat ratusan juta rupiah. Terus, dan terus gambaran rupiah itu melintas pikiran saya. Tetapi apa yang terjadi, dua orang yang saya anggap ahli ban bekas dari Lampung itu mengatakan, kalau ban bekas yang saya tampung tidak satupun yang layak dibawa ke Lampung untuk di Vulkanisir. Hampir saja saya menampar mulut dua orang itu. Saya demikian kesal. Jengkel. Saya juga marah dan emosi pada teman saya yang memberi gagasan awal. Modal saya sudah terkuras untuk mengangkut ban bekas dari lokasi tambang ke rumah saya. Tetapi kali itu, tak ada lagi pilihan lain kecuali hanya menerima keputusan itu. Dua orang dari Lampung pulang dengan tangan kosong, sementara saya hanya menatap tumpukan ban bekas itu dengan pandangan hampa. Apa yang kemudian terjadi? Tumpukan ban bekas itu menjadi sarang nyamuk. Warga sekitar di kampung saya protes, agar ribuan ban bekas itu harus disingkirkan. Ketika itu saya harus kembali mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya pemindahan ban bekas. Sementara teman saya yang diawal member ide bisnis ban bekas sudah hengkang entah kemana. Tak sepeserpun dia mengganti modal awal yang pernah saya keluarkan. Ada dendam yang seketika menyelip di batin saya. Dalam hati saya kemudian bertanya mengapa ini harus terjadi pada saya? Adalah Abdul Majid, guru spiritual saya kemudian menasehati saya. Kegagalan saya dalam bisnis ban bekas ini adalah bentuk rasa kasih sayang Tuhan pada saya. Menurutnya, teman saya yang member ide bisnis ban bekas itu, sebenarnya punya niat menjual ban dengan harga tinggi, dengan tujuan dia ingin cepat kaya untuk mempertontonkan pada keluarganya kalau dirinya kaya, dengan tanpa megeluarkan dana sepeserpun. Ini adalah nafsu kesombongan. Saat itu, saya kemudian tersadar, betapa Tuhan tidak menginginkan nafsu kesombongan teman saya itu menular dan mengalir pada anak dan isteri saya. Sebab, semua jerih payah dan hasil akhir dari usaha, kalau dilatarbelakangi oleh niat kesombongan, apalagi niat untuk merasa lebih dari orang lain, maka semua itu akan menyebar ke aliran darah anak dan isteri saya, dan saya akan melahirkan generasi-generasi sombong dan angkuh di negeri ini. Tuhan masih mengasihi saya, agar saya tidak tertular nafsu kesombongan. Baru saya merasa bahagia atas kegagalan itu, karena dari kegagalan ini, saya kemudian menemukan kebesaran Tuhan yang masih mengasihi dan memelihara saya dari kesombongan!**

Palembang, April 2005

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

31

Kehilangan Adalah Kasih Sayang

Suatu ketika, Anca adik tingkat saya di kampus mengadu pada saya. Dia mencurahkan hatinya tentang sikap orang tuanya yang tidak mau membelikan sepeda motor untuk kuliah. Dari getaran suaranya ada nada protes, dan setengah kebencian terhadap kedua orang tuanya. Bahkan, saya menebak kalau dalam pikiran Anca muncul kesimpulan kalau orang tuanya tidak sayang pada dirinya. Saya kemudian tanya pada Anca, tentang penghasilan kedua orangtuanya. Menurut pengakuannya, orang tua Anca memiliki kebun Kelapa Sawit dan Kebun Karet yang luas. Atas dasar itulah, Anca menganggap sangat tidak masuk akal kalau orang tuanya tidak bersedia membelikan sepeda motor untuk kuliah. Di tengah berbagai kegundahan hati dan seribu tanya pada diri Anca, saya kemudian mengatakan, kalau sebenarnya penolakan orangtuanya bukan karena ayah Anca tidak sayang padanya. Bahkan sebaliknya, oleh karena orang tuanya sayang pada Anca, sehingga orang tua Anca sampai hari itu belum membelikan sepeda motor. Saya berkata lagi pada Anca, “orang tuamu tidak ingin kamu celaka yang disebabkan oleh sepeda motor. Orang tuamu sangat mengerti dengan watakmu, yang mungkin kamu suka kebut-kebutan, sehingga orang tuamu khawatir, kalau sampai terjadi apa-apa pada kamu!” “Ah! Itu hanya alasan ayah saya yang tidak mau membelikan sepeda motor!” Kata Anca protes. “Saya ini sudah besar. Sudah kuliah, mana mungkin saya akan ikut-ikutan kebut-kebutan seperti anak-anak SMA,” katanya menyakinkan saya. “Anca, masalahnya bukan itu saja. Kamu harus berpikir, jangan sampai orang tuamu membelikan sepeda motor itu dengan amarah dan tidak dengan kerelaan. Sebab, Tuhan hanya akan meridloi jika orang tua juga meridloi. Jadi jangan dipaksakan. Ini adalah penundaan dan kasih sayang Tuhan kepada kamu melalui kedua orang tuamu!” “Aaaah, itu tidak rasional!” katanya kesal “Sekarang begini. Seberapa penting sepeda motor yang harus kamu punya, lalu untuk apa?” tanya saya pada Anca. “Untuk kuliah! Lagi pula kalau saya pulang ke kampung, saya tidak perlu ongkos naik bis. Saya bisa pulang satu bulan satu kali, tidak seperti selama ini saya pulang setiap libur semester, naik bis,” kata Anca berargumentasi. Saya tanya lagi pada Anca, “kalau seandainya ayahmu tidak membelikan sepeda motor, apakah kamu tidak bisa kuliah? Kemudian jika tanpa sepeda motor apakah kamu tidak bisa mudik menemui kedua orangtuamu di kampung?” Anca terdiam! Tatapannya membentuk bulatan, yang jelas tidak setuju dengan ucapan saya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

32

“Kalau ada sepeda motor, saya siap narik ojek, sambil kuliah, kan saya bisa cari duit,” katanya menegaskan lagi. “Oke, besok kamu pulang dan katakan pada orang tuamu, dengan semua alasan yang kamu sampaikan hari ini,” kata saya setengah menyuruh Anca. Dua minggu saya tidak bertemu. Saat saya datang ke kampus Anca sudah mengendarai sepeda motor baru. Ada rona keceriaan yang tersemburat di wajahnya. Tetapi sejak itu pula, Anca makin jarang saya temui di kampus, apakah dalam ruang kuliah atau di sejumlah kegiatan mahasiswa. Saya tanya pada sebagian teman-teman Anca. Kata mereka, Anca sekarang sibuk dengan kekasihnya. Antar jemput kekasihnya dan setelah itu narik ojek. Ketika itu, dalam kesenangan Anca mungkin tidak menyadari, kalau sebenarnya orangtaunya membelikan sepeda motor dengan keterpaksaan dan setengah hati. Sekitar dua atau tiga bulan saya tidak mendapat kabar tentang Anca dan sepeda motornya. Dan masuk bulan keempat, saya dapat kabar dari teman Anca, kalau sepeda motornya hilang di kampus saat Shubuh menjelang. Anca sekarang kembali kuliah tanpa sepeda motor seperti sebelumnya. Kisah ini memberi pelajaran bagi kita, kalau kasih sayang tidak selalu dalam bentuk pemenuhan materi. Sebab, pemenuhan materi pada anak tanpa menimbang risiko, sama saja kita sebagai orang dewasa telah menjerumuskan generasi bangsa ini ke jurang kesesatan sosial. Kedua, dari kisah ini kita dapat memetik, sebenarnya Tuhan secara ghoib sudah membisikkan pada Anca untuk tidak terlalu memaksakan diri memiliki sepeda motor. Cara Tuhan berbisik melalui penolakan orang tua Anca yang tidak bersedia membelikan sepeda motor. Tetapi karena Anca memaksa, akhirnya sepeda motor dibeli, tetapi hanya saat saja kemudian sepeda motor itu diambil kembali oleh Tuhan dengan cara Tuhan mengutus Pencuri untuk mengambil paksa. Tuhan mengutus pencuri, bukan karena Tuhan jahat, atau menghukum Anca dan kedua orangtuanya. Pesannya adalah, dengan hilangnya sepeda motor, tanpa sepengetahuan indera manusia, Anca dan kedua orangtuanya sedang diselamatkan oleh Tuhan, pada peristiwa yang mungkin akan terjadi pada keluarga itu, yang lebih buruk lagi dibanding sekadar kehilangan sepeda motor.**

Palembang, November 2010

Kecurigaan Adalah Wajah Kita Suatu ketika, Hery teman saya datang ke rumah kontrakan saya. Seperti biasa, rumah kontrakan saya tidak sepi dari mahasiswa yang mengambil mata kuliah sore. Andre, teman saya yang lain tak begitu kenal pada Hery. Tanpa mengucap izin, Hery tiba-tiba masuk kamar saya. Dan seperti biasanya, Hery langsung membuat secangkir kopi, lalu melakukan apa saja yang

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

33

dia mau. Sebagian yang kenal, sikap Hery seperti itu bukan hal yang aneh. Karena, Hery memang bukan kali pertama datang ke kontrakan saya. Tapi bagi Andre, yang baru kenal Hery hari itu, menatap curiga. Dari sorot matanya, ada ke-khawatiran di benak Andre kalau-kalau Hery melakukan hal-hal buruk di kamar saya, mencuri benda berharga atau apa saja yang mungkin menarik bagi Hery. Kamar bagi siapapun, adalah ruang pribadi yang tidak sembarang orang bisa masuk, jangankan orang lain, anak dan orang tua saja ada rambu-rambu khusus ketika akan masuk kamar pribadi. Tetapi, karena waktu itu saya belum berkeluarga, siapapun boleh masuk kamar, bagi saya bukan masalah. Sikap saya yang membebaskan siapa saja masuk kamar ini, sepertinya tidak disukai Andre. Di mata Andre, saya terlalu open manajemen dalam mengatur rumah tangga saya di rumah kontrakan. Tak lama kemudian, Hery pergi ke kampus, meninggalkan kami di rumah kontrakan. Andre bertanya pada saya, kenapa saya tidak curiga saat Hery masuk kamar? Bukankah di kamar banyak benda-benda berharga? Dia menyarankan pada saya, lain kali agar tidak terlalu percaya pada teman yang keluar masuk kamar pribadi. Andre khawatir keterbukaan saya dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan hal buruk pada saya. Saran itu sangat bagus. Saya hargai teguran Andre ini. Tetapi akan lebih bagus kalau Andre menyarankan saya, bukan untuk mencurigai Hery yang masuk kamar, melainkan mengingatkan, agar saya menyimpan barang-barang berharga di dalam lemari supaya tidak memancing selera orang lain, yang kebetulan punya kesempatan mencuri. Kali itu, saya sama sekali tidak curiga pada Hery , ketika dia masuk kamar saya. Selain karena Hery sudah saya kenal baik sejak di masa SMA, dalam perjalanan hidup saya, tidak pernah ada pengalaman melakukan hal buruk, misalnya mencuri barang-barang teman, atau barang siapapun baik di dalam maupun di luar kamar. Demikian juga ketika Hery masuk kamar saya. Tak ada sedikitpun ke-khawatiran, misalnya Hery iseng mencuri handphone saya atau apa saja yang merugikan saya. Tidak ada sama sekali yang terlintas di benak saya ketika itu. Semua saya melihatnya dari kacamata positif pada setiap teman yang datang. Sebab dengan cara itulah, saya atau anda akan merasa tenang menghadapi berbagai bentuk dan watak rekan kerja, teman kuliah yang kebetulan datang ke rumah atau ke kantor kita. Pesan dari kisah ini adalah, apa yang kita pikirkan dan rasakan terhadap perilaku orang lain di rumah kita merupakan bentuk pikiran anda, atau bahkan perilaku yang mungkin pernah anda lakukan sebelumnya. Dengan anda mencurigai seseorang akan berbuat hal buruk, sebagaimana kecurigaan Andre pada Hery yang masuk kamar, secara tidak langsung anda sedang membuka anda yang sebenarnya, yaitu dalam diri anda lebih dikungkung oleh rasa kecurigaan, yang jika itu dipupuk terus menerus akan menjadi siksaan sepanjang hidup anda.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

34

Kedua, yang terburuk lagi adalah, ketika anda mecurigai pada seseorang, misalnya dalam mengelola uang, atau apa saja, secara sadar atau tidak anda sedang membuka baju anda, membuka diri anda sebenarnya, jangan-jangan ketika anda diberi kewenangan mengelola uang akan melakukan hal buruk seperti yang anda pikirkan saat itu. Saat itu juga, tanpa sadar kecurigaan kita pada orang lain ternyata adalah wajah kita yang sebenarnya. Seperti halnya ketika kita berteriak maling, bukan karena benci pada malingnya, tetapi yang terpikir dalam otak kita adalah, kenapa bukan kita yang maling. Rasa curiga memang akan selalu ada dalam setiap diri saya dan diri anda. Tetapi jika rasa curiga ini terus menerus menggurita dalam diri kita, maka kecurigaan ini lambat laun akan menggerogoti nurani kita, untuk kemudian kita menjadi orang yang selalu disibukkan oleh persoalan orang lain, sementara masalah penting dalam diri kita justeru terlupakan, bahkan sama sekali tidak terpikirkan. Hal positif dari kisah saya, Hery dan Andre adalah keberhati-hatian menjaga hati, pikiran dan tingkah laku untuk tidak selalu menanamkan kecurigaan terhadap siapapun. Sebab, sikap buruk sangka terhadap seorang teman, terhadap mitra kerja dan terhadap isteri dan anak hanya akan meracuni hati dan pikiran anda, sementara persoalan yang lebih penting tidak pernah terselesaikan dengan baik. Kecenderungan memandang curiga terhadap orang lain, hanya akan melahirkan prasangka buruk pada setiap orang yang kita jumpai. Kita tidak pernah akan merasa tenang dalam hidup, karena dalam hati kita sudah sedemikian parah melihat orang lain dengan pandangan negatif. Kalau Tuhan telah sedemikian banyak memberikan jutaan energi positif dalam diri kita, kenapa kita sering memilih melestarikan rasa curiga dan energy negatif dalam perilaku kita? Sejak hari ini, saya mengajak saya dan anda untuk segera meninggalkan energi negative dan menggantinya dengan energi positif, sehingga kita akan merasakan kenyamanan hati dan pikiran dalam hidup.**

Palembang, 26 Oktober 2001

Sedang TUHAN pun mengutus AYAM

Suatu sore, di Tanjung Enim, saya berkunjung ke rumah Ustadz Taufik. Tujuannya ngobrol-ngobrol kosong sembari menunggu datangnya waktu maghrib. Ustadz Taufik punya hobi memelihara ayam Bangkok.

“Bagus, itu. Lagi pula Ayam Bangkok kan nilai jualnya cukup bersaing di pasaran. Kalau berkembang, wah ini bisa jadi bisnis baru Pak Ustadz,” saya berseloroh.

“Ah, enggak juga. Ini hanya untuk hiburan saja. Yah, hitung-hitung untuk mengisi waktu luang diluar kegiatan dakwah,” jelas Ustadz Taufik ringan.

Ada satu jam lebih kami berbincang tentang apa saja sore itu. Tak lama kemudian, Aidil tukang kebun Ustadz Taufik datang tergopoh-gopoh ke hadapan kami. Ada kecemasan yang tergambar di wajahnya. Ia menyeka keringat di keningnya.

“Ada Apa?” tanya Ustadz Taufik pada Aidil heran. “Pak Ustadz, ayamnya hilang satu,” kata Aidil setengah ketakutan. “Paling-paling kerjaan anak-anak kampung atas,” ujar Ustadz Taufik spontan menuduh

anak-anak ‘nakal’ kampung Atas, yang terkenal banyak anak yang suka mencuri.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

35

“Tapi kalau kerjaan anak kampung atas, aku pasti tahu siapa pelakunnya,Pak” jelas

Aidil meyakinkan kalau dirinya sangat kenal dengan anak-anak kampung Atas yang suka menjadi ‘pencuri’ kecil-kecilan karena butuh makan dan merokok.

“Lagi pula siapa yang berani mencuri ayam kamu Pak,” tambah Aidil. “Oi, Dil, Kalau orang mencuri itu tidak pandang bulu ayam siapa? Mau ayam ustadz

atau ayam siapa, yang penting bisa dijual. Minggu kemarin saja, Handphone Pak Camat saja disikat. Padahal dalam mobil,” ustadz Taufik mengungkap data kejahatan anak-anak kampung atas.

“Ah, sudahlah. Kalau barang sudah hilang mana mungkin akan balik lagi,” jawab Ustadz Taufik tanpa beban.

“Biasanya juga masuk sendiri. Aidil inilah yang sehari-hari mengurusi ayam,” tambahnya Ustadz Taufik menjelaskan pada saya.

“Pak Ustadz, apa tidak perlu dibuktikan dulu. Jangan-jangan kita yang salah tuduh. Nanti timbul fitnah, lho,” saya mencoba mengendapkan emosi Aidil dan Ustadz Taufik yang masih tertahan di dadanya masing-masing.

“Kejadian ini bukan kali ini saja. Tapi sudah sering. Beberapa kali juga anak-anak kampung atas yang tertangkap mencuri. Lagi pula hanya kampung atas yang paling dekat dengan perumahan ini. Jadi tidak mungkin dari kampung lain. Apalgi hanya mengambil satu ekor ayam,” pendapat Ustadz Taufik belum juga berubah. Di benaknya kuat menduga kalau yang mengambil ayamnya adalah anak-anak kampung Atas.

Tanpa pamit, Aidil beranjak dari duduk. Ia melangkah lebar. Ada getaran emosi dari hentakan kakinya.

“Oi, Dil mau kemana, kau?!” Ustadz Taufik mencoba mencegah Aidil keluar. Aidil tak menggubris. Saya jadi tidak enak dengan situasi itu. “Sekarang begini saja, Pak. Mumpung masih ada waktu, kita sama-sama cari ayam di

kandang,” saya kembali mencairkan suasana. Tak ada yang bergerak. Saya kemudian beranjak lebih dulu. Pak Ustadz, Aidil,

mengiring saja. Dari beberapa sudut kandang ayam kami acak-acak. Karena hari makin sore, ada beberapa sudut kandang yang tak terlihat.

“Kamu tadi kasih makan ayam-ayam ini di luar kandang atau di dalam?!” Tanya saya mencari data dengan alur mundur.

“Ya di dalam, lah, Pak. Ayamnya kan masih kecil-kecil. Kalau di luar mereka kalah dengan ayam yang besar,” katanya.

Kurang lebih 15 menit kami mencari ayam Pak Ustadz yang hilang. Beberapa kotak kami lihat satu per satu. Saya, Aidil, dan Ustadz Taufik juga ikut menghitung jumlah ayam dalam setiap kotak. Saya kebetulan mendapati kotak yang kurang jumlahnya.

“Setiap kotak ada berapa ayam, Dil?!” “Sepuluh, Pak!” Benar juga. Dalam kotak yang saya hitung hanya sembilan. Ada satu yang hilang. Di dalam kandang itu, saya melihat sebuah baskom plastik bekas makanan ayam yang

terbalik. Lubangnya telungup ke bawah. Saya curiga ayam kecil itu ada di bawah baskom plastik yang terbalik.

“Coba sekarang kalian lihat. Amati apa yang terjadi di dalam kandang itu,” saya mengajak Aidil dan Ustadz Taufik, untuk menatap secara jelas terhadap gerakan aneh baskom plastik.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

36

Tepat dugaan saya. Ayam kecil yang hilang itu terjebak dalam baskom bekas makanan. Karena beban ayam lebih berat dari bibir baskom, sementara makanan di dalam baskom sudah habis, otomatis ketika ayam itu naik ke bibir baskom langsung terbalik. Celakannya ayam kecil tak bisa selamat dari gerakan baskom yang kemudian mengurungnya di balik baskom.

Melihat kejadian sore itu, kami tersadar dari kealpaan yang tidak sengaja kami lakukan. Kami telah melakukan kesalahan, yaitu berburuk sangka terhadap anak-anak kampung atas. “Pak, sepertinya Tuhan telah mengutus ayam ini pada kita, supaya kita tidak gampang berprasangka buruk,” kata Ustadz Taufik sambil tersenyum kecil. Semua tersenyum dalam kesadaran untuk tidak mudah berburuk sangka pada siapapun. Dan sore itu Tuhan pun tersenyum bersama kami.**

Tanjung Enim, 2008

Ayam Kesayangan Pak Kiai Seperti hari sebelumnya, Kiai Ilham melangkah pasti menuju Mushola Al-Hikmah, Bedeng Kaco, Tanjung Enim. Dia menjalankan tugas rutin untuk memberi tausiyah atau ceramah di sejumlah mushola. Dan kali itu Kiai Ilham mendapat jadwal di kampungnya sendiri. Wildan, putra sulung Kiai Ilham yang berumur 15 tahun, kali itu mengiringi ayahnya. Biasanya Wildan memilih datang belakangan bersama teman-teman sebayanya, tetapi kali itu tidak. Saya bersama jamaah lain kemudian menyambut kedatangan Kiai Ilham, untuk kemudian mempersilakan masuk di baris paling depan, persis di dekat mihrab mushola. Sementara Wildan kemudian membaur dengan teman yang seumur di baris belakang. Hanya berselang lima menit, kami kemudian melakukan shalat maghrib berjamaah. Usai shalat, para jamaah mengambil tempat untuk mendengarkan ceramah Kiai Ilham, sampai waktu isyak tiba. Ada sekitar 30 menit kami mendengarkan tausiyah Kiai. Para jamaah mushola mendengarkan dengan hikmat. Masalah penting yang kali itu disampaikan adalah kewajiban bersedekah. Kata Kiai Ilham, mengutip sebuah ayat Al-Quran, dia berkata : Tidak akan sampai pada kebaikan sejati, kalau kamu sekalian belum memberikan sesuatu pada orang lain yang paling kamu sayangi dan cintai. Maksud Kiai Ilham, jika kita memberikan sesuatu pada orang lain, sebaiknya benda atau harta yang kita sayangi, atau yang terbaik, sehingga kita akan sampai pada kesempurnaan ketaatan pada Tuhan. Lima menit sebelum waktu isyak, Kiai Ilham sudah menutup tausiyahnya dengan doa. Para jamaah kemudian melaksanakan shalat isyak berjamaah. Tetapi setelah doa bersama, saya tidak menjumpai Wildan. Saya tidak tahu persisnya kemana Wildan pergi. Sementara anak-anak lain masih pada baris di belakang saya. Pagi harinya, saya kebetulan berlalu di depan rumah Kiai Ilham. Saya mendengar Kiai Ilham sedang memarahi Wildan. Terdengar Wildan menangis. Sebagai tetangga, sesaat saya mampir,

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

37

gerangan apa yang membuat Wildan menangis pagi itu. Ternyata, Kiai Ilham marah pada Wildan karena tadi malam setelah mendengar ceramah Kiai Ilham tentang sedekah, dia pulang dan dengan sigap memberikan ayam kesayangan Kiai Ilham pada salah satu fakir miskin di kampungnya. “Kenapa ayam kesayangan ayah kamu berikan orang pada lain? Ayam lain kan banyak?!” kata Kiai Ilham dengan nada tinggi. “Kata ayah, kalau kita memberikan sesuatu pada orang lain, harus yang bagus, terbaik! makanya ayam kesanyangan ayah aku berikan pada fakir miskin, supaya kebaikan kita lebih sempurna?” Kiai Ilham terdiam. Saya juga kikuk melihat Kiai Ilham yang merasa tidak enak mendapat ceramah anaknya. Kisah ini mengggambarkan, betapa dalam keseharian kita masih sangat berat untuk memberikan sesuatu yang terbaik di rumah kita untuk orang lain. Kita selalu memilih barang yang sudah tidak kita sukai kemudian baru diberikan pada orang lain. Padahal untuk sampai pada ketaatan sempurna pada Tuhan, sebaiknya kita memberikan yang terbaik, bukan yang terburuk.**

Palembang, 16 November 2002

Ada Tuhan dalam Minuman Keras Kalau kita menyimak sejumlah informasi di berbagi media, Koran, televise dan radio betapa kita kemudian sangat miris dan prihatin ketika terdengar, sebagian generasi kita terjebak dalam pergaulan bebas dan minum-minuman keras. Bahkan, diantara mereka ada yang kemudian harus terenggut nyawanya akibat menenggak minuman keras. Ya, mereka mati. Bila kemudian kita melihat secara kasat mata, ada perasaan kasihan, sedih terutama bagi kedua orang tuanya yang harus kehilangan buah kasihnya. Ini sangat manusiawi. Tetapi ketika ini kita pahami dalam pandangan lain, sebenarnya dengan peristiwa meninggalnya sejumlah generasi bangsa ini akibat minuman keras, Tuhan tengah memberikan undangan kepada korban meninggal, agar segera kembali kepada-Nya. Saya hanya ingin mengatakan, meninggalnya sebagian generasi bangsa ini yang menenggak minuman keras adalah pembatasan dosa yang mungkin akan terus dilakukan oleh korban, sehingga Tuhan harus menghentikan perilaku menyimpang ini dengan kematian. Tuhan masih cinta dan sayang pada mereka, sehingga dengan segera Tuhan menarik mereka dari kolong langit ini. Mereka sedang dijemput kembali, karena di bumi mereka tidak mempan lagi dengan bermacam teguran, sapaan atau dalam bentuk apapun. Seolah, Tuhan berkata; dari pada kalian akan terus terjerumus dalam kubangan dosa, lebih baik kalian Aku batasi dosamu sampai disini. Maka meninggalah sebagian anak-anak kita. Kedua, bagi yang tidak meninggal, minuman keras menjadi mediator Tuhan untuk mengundang mereka, agar mereka cepat kembai meng-Agungkan dan menyebut nama-Nya. Sebab, kenyataannya, sebagian teman, kerabat atau siapa saja yang sudah merasa tersiksa oleh

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

38

minuman keras, lantas hampir saja mati oleh minuman keras atau obat terlarang, kalimat yang terucap dari bibirnya ; Ya, Tuhan kalau sekiranya Engkau masih memberi waktu aku hidup, maka aku berjanji besok aku tidak akan lagi minum barang haram ini. Ada satu kesadaran yang seketika muncul dalam setiap diri yang tengah sekarat. Napasnya masih ditenggorakan. Tetapi kemudian masih punya waktu menyebut nama Tuhan. Disitulah, sebenarnya Tuhan sedang memberi undangan kepada korban agar cepat kembali, atau paling tidak agar korban menyebut dan ingat pada Sang Pencipta. Bahasa dan simbol Tuhan untuk mengundang kita, bisa dengan berbagai berbentuk jika memang Tuhan berkehendak. Tetapi meski begitu, kiranya kita tidak mesti lebih dulu minuman keras untuk minta undangan dari Tuhan untuk kita.**

Palembang 16 November 2002

Nyamuk Sosial, Nyamuk Sok Sial

Dalam keseharian, hampir setiap orang, sangat membenci terhadap nyamuk. Selain dari gigitannya yang membuat gatal, atau juga karena nyamuk menjadi penebar virus Demam Berdarah atau belakangan ada penyakit Cikungunya yang juga disebabkan oleh seekor nyamuk. Kebencian kita terhadap nyamuk, memang cukup beralasan karena siapapun orangnya sudah pasti tidak ingin terkenal gatalnya, tidak ingin terkena virus demam berdarah dan tidak ingin mengidap penyakit cikungunya. Sedemikian parahnya kita membenci nyamuk, sampai-sampai kita tidak ingin nyamuk masuk ke ruang tidur kita, kemudian kita memasang kelambu dan memasang segala obat nyamuk supaya kita tidak terganggu oleh mahluk kecil ini. Dalam pandangan sepintas, kebanyakan orang menilai nyamuk adalah mahluk yang menjengkelkan dan membahayakan bagi kehidupan manusia. Bahkan, kalau bisa nyamuk harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, supaya mahluk ini tidak lagi membuat pusing banyak orang di kolong langit ini. Tidak salah memang cara pandang yang demikian. Sebab, sebagian kita memang hanya melihat kehadiran nyamuk dari efek negatif ; seperti sumber penyakit, penyebar virus Demam Berdarah, Cikungunya dan lain sebagainya. Tetapi, kalau kita kemudian memutar otak kita dan menyadarkan hati kita, betapa Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia di bumi ini. Semua bentuk mahluk ciptaan pasti ada manfaatnya bagi manusia, termasuk nyamuk. Siapapun boleh benci dan jengkel pada nyamuk. Tetapi perlu kita lihat bagaimana ratusan, bahkan ribuan buruh, pengusaha, yang bermodal besar atau kecil telah banyak tertolong oleh hadirnya nyamuk.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

39

Dengan hadirnya mahluk kecil ini, kemudian berdiri perusahaan atau pabrik obat anti nyamuk dengan bermacam merek dan kemasan-nya. Belakangan berkembang obat anti nyamuk elektrik, dengan pewangi ruangan. Belum lagi para pembuat kelambu, racun jentik-jentik dan lain sebagainya. Dari kenyataan itu, ternyata seekor nyamuk kecil, yang selama ini kita benci, kita usir-usir kehadirannya, bahkan kita bunuh kalau dia tertangkap, telah menyumbangkan peluang pekerjaan bagi rubuan buruh, memberi keuntungan bagi sejumlah pengusaha, sampai membantu hidup para pembuat kelambu. Dengan penyakit Demam Berdarah, Malaria, dan Cikungunnya yang disebabkan nyamuk, para ahli kedokteran dan sejumlah peneliti kemudian melakukan riset sedemikian rupa terhadap virus yang dibawa nyamuk, untuk kemudian mencari obat penangkalnya. Sejumlah dokter kebanjiran pasien akibat terserang nyamuk. Apotik, ikutserta mendapat untung dari penjualan obat resep dokter. Masih banyak lagi keuntungan dan manfaat dari nyamuk di bumi ini, termasuk gerakan kebersihan atau fooging (penyemprotan) lingkungan dengan asap racun nyamuk. Nyamuk, secara fisik memang sangat kecil, tetapi dengan badannya yang kecil, ternyata dia telah menyumbangkan manfaat besar bagi kelangsungan hidup jutaan manusia di negeri ini. Sebagian kita, secara tidak sadar, selama ini sering kali mengecilkan peran-peran mahluk kecil dalam tatanan sosial masyarakat kita, dalam perusahaan kita, atau bahkan dalam rumah tangga kita. Padahal sekecil apapun mahluk ciptaan seperti halnya nyamuk punya andil besar bagi keberlagsungan sebuah negeri, baik secara sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dalam dimensi spiritual, nyamuk telah membangkitkan kesadaran bagi setiap hati kita untuk merasakan betapa nikmatnya sehat, ketika kita sedang terbaring sakit demam berdarah, malaria dan cikungunnya. Dalam kedaan sakit itulah, nyamuk tersenyum disaat kita kemudian, berkali-kali kita menyebut nama Tuhan karena kita segera disembuhkan dari rasa sakit. Kalau nyamuk yang kecil saja, bisa memberikan sumbangan besar bagi keberlangsungan hidup manusia negeri ini, kenapa kita sering memilih menahan diri untuk tidak membantu orang lain, sementara kita sebenanrnya mampu melakukannya? Mulai hari ini kita memang harus lebih banyak belajar dari nyamuk?**

Palembang, 18 November 2009

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

40

Ada Tuhan Dibalik Udang

Suatu ketika, di tahun 2007 Pak Asmar datang ke rumah saya. Dia menceritakan tentang kegagalanya dalam meraup keuntungan dari tambak udang yang ia rintis dari nol. Modal yang ia keluarkan sudah mencapai 75 juta lebih. Bagi seorang pegawai negeri sipil seperti Pak Asmar, modal 75 juta bukan jumlah yang sedikit. Sebab risiko dari pinjam uang di kantornya, Pak Asmar harus rela hidup dalam keterbatasan dengan mengandalkan sisa potongan gajinya. Tetapi harapan tinggal harapan. Panen tambak udang yang seharusnya bisa mendatangkan untung sekitar 300 juta seketika raib, habis dan musnah. Semua hasil tambak udang yang ia harapkan dapat merubah nasib hidupnya diracun orang, satu hari menjelang panen. Pak Asmar hanya bisa memunguti sejumlah udang tersisa. Dari kumpulan sisa-sisa udang itu, Pak Asmar hanya memperoleh hasil 75 juta rupiah, cukup kembali modal. Menghadapi ini betapa stresnya Pak Asmar. Meski tidak depresi, tetapi kerugian itu telah membuatnya terkulai lemas tak berdaya. Dari nada bicara dan guratannya, malam itu Pak Asmar benar-benar menyimpan dendam pada orang-orang yang telah menabur racun di kawasan tambaknya. Satu hari setelah ia gagal, Pak Asmar membaca sebuah media cetak di Sumatera Selatan, sejumlah pengelola tambak udang menjadi tersangka dalam pengiriman udang ke luar negeri secara ilegal. Tiga orang lainnya tewas ditangan perampok setelah memanen udang. Mereka dibantai oleh sejumlah perampok dan tewas mengenaskan. Kegagalan Pak Asmar dalam penan udang, tidak harus kita pandang sebagai laknat, atau tidak juga harus kita lihat sebagai hukuman dari Tuhan. Tetapi sebaliknya, kegagalan Pak Asmar meraup untung 300 juta, telah menyelamatkan diri dan keluarga Pak Asmar dari semua peristiwa yang jauh merugikan ketimbang sekadar gagal panen tambak udang. Ada rahasia Tuhan yang semestinya kita telah dalam kasus Pak Asmar. Seandaianya, Pak Asmar juga mendapat hasil yang melimpah dari tambak udang, bukan tidak mungkin Pak Asmar juga ikut terjerat dalam kurungan penjara, sebagai akibat ikut serta dalam pengiriman udang secara ilegal sebagaimana teman-temannya. Kalau ini terjadi, status PNS Pak Asmar akan dicabut oleh negara, dan Pak Asmar akan segera menjadi terkulai di terali besi. Kedua, bukan tidak mungkin, jika Pak Asmar juga berhasil menangguk keuntungan 300 juta, Pak Asmar akan menjadi salah satu korban perampokan yang tewas mengenaskan, dengan risiko, anak dan isterinya kehilangan suami dan ayah tercintanya. Tidak ada kepedihan yang lebih sakit kecuali kita kehilangan keluarga. Akan lebih baik kita kehilangan harta dan benda, asal kita tidak kehilangan keluarga tercinta. Kasih sayang Tuhan tidak selalu dengan kekayaan, tidak selalu dalam bentuk keberhasilan, tidak juga selalu dalam perjalanan karir yang gemilang. Tidak juga dengan kesuksesan meraih untung besar dari tambak udang, seperti yang di harapkan Pak Asmar, yang ternyata gagal dan musnah.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

41

Tetapi kasih sayang Tuhan, bisa dalam bentuk kegagalan, bisa dalam bentuk lambatnya perjalanan karir, kecilnya keuntungan dalam bisnis dan sangat mungkin kasih sayang Tuhan itu dalam bentuk pemusnahan hasil tambak udang sebagaimana yang dialami Pak Asmar. Dalam kasus Pak Asmar, Tuhan sebenarnya sedang memelihara Pak Asmar dan keluarganya agar tetap utuh sebagaimana ketika keluarga Pak Asmar dibangun untuk menuju hidup yang tenang dan bahagia, meski dalam keterbatasan. Peristiwa kegagalan, kenyataan yang menyakitkan dan mungkin putaran nasib yang menyengsarakan hati dalam kehidupan kita, tidak harus kita lihat sebagai siksaan atau hukuman, sehingga dengan ragam peristiwa itu justeru akan mengembalikan kita pada kesadaran, bahwa kita adalah hamba yang hanya menjalankan tugas, dan tentang hasil dari jerih payah bukan milik dan kewenangan kita.**

Tanjung Enim, 26 November 2006

Bersyukur dalam Kebutaan

Dikisahkan, ada seorang pemuda tanggung yang dalam hidupnya buta sejak lahir. Orang tuanya menyesal sepanjang hidupnya, karena anaknya lahir dalam keadaan buta. Demikian pula si pemuda buta. Dalam kesehariannya menangis dan meratapi kebutaannya, sampai tubuhnya kurus kering. Pemuda yang buta ini tinggal di sebuah negeri yang dikuasai oleh seorang Raja Lalim. Dalam kisahnya, Raja Lalim ini suka memakan daging manusia. Orang menyebutnya Raja Kanibal. Raja ini selalu menyuruh pasukannya masuk ke setiap desa untuk mencari pemuda tanggung yang kurus, untuk kemudian dibawa ke istana. Di suatu pagi, Raja Lalim memerintahkan para punggawa istana pergi dan masuk ke pelosok desa untuk mencari pemuda tanggung yang kurus. Maka berangkatlah satu pasukan khusus yang kemudian menyebar ke penjuru desa. Sampailah pasukan Raja Lalim ini di rumah si pemuda buta. Perlawanan dari kedua orangtuanya tak mampu mencegah pasukan raja untuk membawa pemuda buta ini ke istana. Sampai di istana, puluhan pemuda kurus yang terjaring hari itu kemudian dimasukkan dalam ruangan khusus. Mereka dikarantinakan dan diberi makanan yang enak supaya dalam hitungan minggu pemuda yang kurus-kurus ini bisa gemuk dan siap disantap oleh Raja Kanibal ini. Setelah beberapa pekan, pemuda kurus yang sudah gemuk ini, satu persatu diseret ke lokasi pemotongan. Tiba giliran pada si pemuda yang buta. Sesaat si Raja Lalim menatap pemuda buta ini dengan tajam. Bertanyalah Raja Lalim ini pada pasukannya, kenapa mata pemuda ini putih semua? Salah satu pasukannya menjawab dengan lantang : Pemuda ini buta sang raja! Saat itu pula, Raja Lalim marah. “Saya tidak suka menyantap daging orang buta!” bentak sang Raja. Pasukan yang membawa pemuda buta itu kemudian mendapat hukuman setimpal karena kesalahan yang diperbuatnya. Raja Lalim kemudian menyuruh pasukannya untuk segera

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

42

mengembalikan pemuda buta ini ke kampungnya. Sang Pemuda Buta kemudian kembali pada orang tuanya dalam keadaan bugar dengan badan yang sehat, gempal dan gemuk. Sampai di rumah, pemuda buta ini dalam hatinya baru mengucapkan rasa syukur dilahirkan dalam keadaan buta. Demikian pula orang tuanya, kemudian mengucapkan terima kasih pada Tuhan yang telah mengaruniai anak dalam keadaan buta. Mereka baru tersadar, seandainya putra mereka tidak dalam keadaan buta, mungkin kedua orang tua ini akan kehilangan anak tercintanya disantap si Raja Lalim. Seringkali kita mendapati kenyataan buruk dalam kehidupan kita. Dan dari sekian banyak orang, sering memandang keburukan itu selalu dengan kekesalan, penyesalan, kebencian dan dendam, sebagaimana kedua orang tua si pemuda buta tadi. Tetapi setelah sekian bulan mendapati rahasia kebijakan Tuhan dalam bentuk kebutaan anaknya, yang kemudian tidak menjadi santapan Raja Lalim, kedua orang tua pemuda buta ini baru menyadari, betapa Tuhan masih mengasihi mereka dengan tetap memberikan hidup bagi anak tercintanya meski dalam keadaan buta. Sangat banyak peristiwa yang sering kita anggap buruk, tetapi sebenarnya disitulah Tuhan sedang memberikan kebaikan pada kita. Tetapi keterbatasan kita melihat petikan hikmah dibalik sebuah peristiwa buruk, kita seringkali menghujat Tuhan, mencaci Tuhan bahkan meninggalkan Tuhan sama sekali. Padahal dengan kenyataan pahit yang dimata manusia dianggap buruk dan nista, secara tidak kita sadari, Tuhan sedang memberikan kebaikan, meski kebaikan itu hanya akan diketahui setelah kita menemukan petikan hikmah dibalik peristiwa keburukan, sebagaimana kedua orang tua pemuda buta tadi.**

Palembang 26 Oktober 2010

Rugi Satu Juta Adalah Kebahagiaan

Dalam sebuah pengajian, Kiai Imron Jamil mengupas Kitab Al-Hikam. Dalam pengajian itu, ada sebuah kisah sufi tentang balasan bagi seorang hamba yang beramal baik, akan dibalas sepuluh kali lipat. Sebut saja Pak Ahmad, seorang kuli bangunan yang taat beragama. Suatu ketika, Pak Ahmad ikut mendengarkan pengajian sebagaimana saya berada dalam majelis itu. Sebuah ayat Al-Quran disampaikan oleh Kiai Imron Jamil dengan penjelasan yang detil. Intinya, setiap orang yang berbuat satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat, bahkan bisa lebih dari itu. Ulasan Kiai Imron Jamil ini demikian lekat dalam hati dan pikiran Pak Ahmad. “Satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat, bahkan bisa lebih dari itu,” kalimat itu demikian lekat di benaknya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

43

Ucapan Kiai ini kemudian ia ceritakan kepada isterinya. Terpikirlah bagaimana isterinya bisa memberi uang pada Pak Ahmad agar diberikan pada fakir miskin atau yang berhak menerima, sehingga dalam waktu singkat akan segera berbalas sepuluh kali lipat. Hitung-hitungan keuntugan ini yang terus membayangi tidur Pak Ahmad dan isterinya sampai keduanya bangun kembali. Pagi harinya, Pak Ahmad tidak bekerja. Dia kemudian meminta uang pada isterinya seratus ribu rupiah. Kata Pak Ahmad, hari itu dia akan memberikan uang seratus ribu kepada fakir miskin atau siaapapun yang berhak menerimanya. Dengan senyum dan harapan besar, isteri Pak Ahmad memberikannya tanpa adalagi pertanyaan dan keraguan. Di depan rumah Pak Ahmad duduk menunggu siapa saja yang layak diberi uang seratus ribu rupiah. Datang seorang anak kecil dengan membawa kotak amal yang meminta sumbangan. Tak lagi berpikir panjang, Pak Ahmad segera bangkit dan memberikan uang seratus ribu kepada anak kecil itu. Hari itu, Pak Ahmad sangat bahagai karena dalam pikirannya akan segera mendapat satu juta rupiah sebagaimana keterangan dari pengajian tadi malam. Ia yakin penjelasan Kiai Imron Jamil tidak bohong, sebab yang disampaikan adalah firman Tuhan. Sampai lepas makan siang, belum ada tanda-tanda uang Pak Ahmad kembali dan berbalas sepuluh kali lipat. Ashar menjelang, Pak Ahmad makin gelisah dan kesal. Dalam hatinya sudah mulai uring-uringan, kenapa Tuhan belum membalas uang seratus ribu dengan satu juta rupiah. Pikiran Pak Ahmad mulai dikacaukan oleh harapan satu juta rupiah, yang hingga sore itu belum juga ia dapatkan. Berbagai umpatan, makian mulai keluar dari mulut Pak Ahmad. Tanpa ia sadari, kekesalan dan sikap uring-uringan Pak Ahmad ini didengar oleh Malaikat. Maka saat itu pula Sang Malaikat kemudian melaporkan sikap Pak Ahmad ini kepada Tuhan. Terjadilah dialog singkat antara Malaikat dan Tuhan tentang Pak Ahmad. “Tuhan, di Palembang ada Pak Ahmad yang belum kamu penuhi janji-Mu. Dia sudah memberikan sumbangan kepada anak panti asuhan sebesar seratus ribu rupiah, tetapi Kau belum membalas sepuluh kali lipat,” Malaikat setengah protes pada Tuhan tentang balasan yang belum dipenuhi. Tuhan kemudian menjawab, bahwa sebenarnya balasan itu sudah sampai pada Pak Ahmad, hanya saja Pak Ahmad yang tidak mengetahuinya. “Balasan apa yang telah Kau berikan?” Tanya Malaikat. Tuhan kemudian memperlihatkan catatan. Dalam tulisan itu tertera jelas ; Pada pukul empat sore, Pak Ahmad pergi ke pasar, tetapi di simpang jalan Pak Ahmad tersenggol mobil dan berobat ke rumah sakit biayanya sebesar satu juta rupiah. Tetapi karena Tuhan tidak membalas seratus ribu rupiah dengan nominal uang, maka Pak Ahmad tetap tinggal dirumah dan Pak Ahmad terselamatkan dari kecelakaan. Diluar jangkauan analisa Pak Ahmad, ternyata Tuhan sudah membalas amal baik yang dilakukan Pak Ahmad. Uang seratus ribu rupiah telah dibalas dengan satu juta rupiah, meskipun dalam bentuk lain, yaitu dalam wujud keselamatan Pak Ahmad dari kecelakaan.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

44

Seandainya Tuhan membalas dengan nominal uang, maka sore harinya setelah Pak Ahmad menerima uang satu juta, Pak Ahmad berangkat ke pasar, dan dia akan mendapat kecelakaan yang biaya pengobatannya sebesar satu juta rupiah. Tetapi karena tidak dibalas kontan dengan wujud fisik, Pak Ahmad selamat dari mala petaka. Balasan kebaikan dari Tuhan terhadap apa yang telah kita lakukan tidak selalu dalam bentuk balasan fisik, uang atau harta benda. Tuhan Maha mengetahui gerak batin dan rencana hamba-Nya sehingga dengan segala Kebesaran-Nya Tuhan memiliki kebijakan lain, yang sesungguhnya itu bagian dari kasih sayang-Nya pada kita semua. Tetapi karena balasan itu seringkali dalam bentuk yang abstrak, ghoib maka untuk memahami kebijakan Tuhan yang demikian kitu hanya dengan ketaatan dan keyakinan, kalau Tuhan akan membalas segala kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun kebaikan itu.**

Palembang, 27 November 2010

Negeri Ikan Tempalo

Suatu ketika, saya sedang berjalan-jalan di suatu kampung di Palembang. Pada sebuah halaman rumah, saya mendapati kerumunan anak-anak, yang umurnya masih belasan tahun. Dengan posisi jongkok, masing-masing anak memutar, seakan sedang membuat lingkaran. Ada sesuatu yang sedang mereka lakukan. Saya coba mendekat. Ternyata, anak-anak ini sedang mengadu dua ekor Ikan Tempalo atau yang lebih dikenal dengan ikan cupang. Tujuannya, untuk saling mengalahkan, dengan bayaran tertentu. Atau paling tidak, sekalipun tidak saling bayar, kedua binatang itu sedang dituntut untuk saling melukai antar sesama mereka.

Sepulang dari kampung tadi, saya pulang. Kebetulan, saya melewati jalan belakang, dengan harapan, saya lebih cepat sampai ke tempat rumah kontrakan saya. Belum sampai di rumah, di sebuah halaman warga, saya kembali mendapati kerumunan yang sama. Tapi, kali ini bukan anak belasan tahun, melainkan sudah bapak-bapak. Paling tidak mereka sudah berumur 30-an keatas. Kalau kerumunan anak-anak tadi mayoritas jongkok, kali ini tidak, sebab sebagian berdiri. Suasananya ramai.

Saya pun mendekat. Persis, di tengah arena, saya melihat dua ekor ayam jago, sedang diadu dan disaksikan oleh banyak orang. Dari salah satu ayam jago, di ujung matanya sudah terluka dan mengeluarkan darah. Sementara, ayam satunya, masih tegar dan terus menyerang. Tapi, si pemilik masih juga membiarkan ayamnya terus bertarung. Adu ayam ini, sudah tentu untuk mendapatkan bayaran atau dengan taruhan. Bagi para penonton, mungkin hanya sekadar mencari kepuasan batin, atau hanya mencari hiburan. Tidak jauh berbeda, arena sabung ayam dan arena aduan ikan tempalo, sama-sama sedang memaksa dua binatang untuk saling melukai, saling serang, bahkan saling bunuh. Konsekuensinya, siapa kalah, harus membayar atau harus memenuhi taruhan kepada yang menang.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

45

Dalam perjalanan pulang, saya jadi teringat disaat masa anak-anak dulu. Ketika itu, saya dan teman-teman juga sering mengadu antara dua jangkrik. Oleh karena kepolosan sifat anak-anak, maka saya dan temen-teman se-umur, santai saja disaat kedua jangkrik saling serang dan saling melukai. Tentu saja, keduanya pasti ada luka. Baik dalam tubuh masing-masing jangkrik, atau luka bagi saya, kalau kebetulan jangkrik saya yang kalah. Seratus meter dari rumah kontrakan, saya sempatkan mampir ke warung Mbak Anik, tempat biasa saya makan nasi. Tak biasanya warung Mbak Anik sepi. Biasanya, dari abang becak, sampai mahasiswa tumplek di warung Mbak Anik, sekalipun hanya sekadar nongkrong. Saya mencoba membuka sedikit jendela nako, persis di belakang tempat duduk saya. Dari lipatan nako, saya kembali mendapati kerumunan orang yang sedang serius menonton pertandingan tinju kelas berat, waktu itu Mike Tyson melawan Clifford Etienne. Sayang, baru 49 detik, Clifford Etienne harus mencium kanvas. Sampai di rumah, saya membuka sebuah koran harian. Halaman kota, masih diwarnai aksi bentrok antara buruh dan aparat. Halaman nasional, memberitakan, satu mahasiswa menjadi korban dalam bentrokan dengan aparat. Demikian pula, aparat Kejaksaan bentrok dengan massa yang menuntut penyelesaian kasus korupsi. Berita lainnya, mahasiswa masih melakukan aksi demonstrasi, dan berita kekerasan lainnya, termasuk menuntut presiden mundur dari jabatannya. Aksi desakan menurunkan presiden kemudian disikapi oleh seorang menteri kolega presiden, dengan mengatakan, kalau mahasiswa masih berdemo ingin menurunkan presiden maka dia harus berhadapan dengan pasukan pak menteri. Tak jelas pasukan mana yang disebutnya. Dari pernyataan Pak Menteri, saya jadi ingat dengan perjalanan saya di awal, sejak dari sebuah kampung, sampai saya dirumah. Ternyata bukan saja jangkrik, Ikan Tempalo, Mike Tyson atau ayam jago yang akan dipaksa untuk beradu fisik, mahasiswa pun sedang dipaksa untuk diserang dan menyerang. Dipaksa untuk saling melukai, saling menyakiti. Mungkin, Pak Menteri atau juga kita, sudah terlalu sering mengadu jangkrik, Ikan Tempalo, menyabung ayam, sampai sering menikmati adu jotos di ring tinju, sehingga kita kadang tidak ingat dengan kalimat-kalimat ancaman terhadap kelompok lain, yang pada intinya, hanya memaksa antara satu sama lain untuk saling serang dan saling melukai. Dari persoalan ini, saya kemudian bertanya, kenapa saya harus mengerahkan massa pendukung saya, jika kakak dan adik saya mengkritik, atau bahkan menginjak-injak foto Bapak saya. Apa hubungannya, antara massa pendukung saya dengan posisi Bapak saya? Mungkin, kita terlalu sering, terlalu panjang dilatih, terlalu dibiarkan, dan banyak difasilitasi untuk terus bertarung, sehingga, secara tidak sadar, saya, anda dan bisa menjadi negeri “Ikan Tempalo”—negeri yang berisi manusia-manusia yang kesehariannya hanya bisa saling serang, saling melukai, saling membunuh, atau suka memfasilitasi, dan menikmati pertarungan, pertengkaran, perkelahian. Kalau memang itu yang akan terus dilakukan di negeri ini, kenapa kita masih mengaku cinta damai, kalau pada kenyataannya, kita lebih memilih menjadi Ikan Tempalo, yang setiap saat

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

46

dipaksa untuk diadu atau malah kita yang juga masih ingin melukai orang lain. Bukankah melukai sesama mahluk ciptaan, sama juga telah melukai yang menciptakan mahkuk?**

Jl.D.L.Daun-Palembang, 2003

Ayam Mati di Meja Presiden

Jika kita datang ke setiap undangan pernikahan, atau dalam acara pesta tertentu, sudah pasti kita akan menjumpai berbagai jamuan makan, dari kelas Er-Te, sampai kelas Presiden, termasuk di dalamnya hidangan daging ayam. Selama ini, kalau kita diundang makan yang terpikir oleh kita, memilih makanan yang sesuai selera kita, atau makanan yang tidak membahayakan kesehatan kita, terutama yang menyimpan banyak kolestrol atau yang sedang diet bagi kaum perempuan. Melihat sajian makanan, seperti daging ayam, misalnya kita pasti hanya berpikir bagaimana rasanya ayam bakar, ayam goreng, apalagi kalau anda suatu ketika diajak makan ayam satu meja bersama presiden. Ayam jika masih hidup, sangat tidak mungkin bisa sampai di meja presiden. Sebab, jauh sebelum ayam bertemu presiden, para pengawal sudah lebih dulu mengusir ayam-ayam itu sejauh mungkin, supaya pesta presiden tidak terganggu oleh ayam yang kurang ajar itu. Tetapi ketika ayam sudah mati, kapan saja bisa terhidang di meja presiden, tanpa siapapun yang berani melarang. Bahkan sangat mungkin seorang presiden memesan ayam bakar atau ayam panggang untuk menjamu tamu-tamunya. Tetapi, ketika ayam itu mati dan bisa sampai di meja presiden, bukan tanpa perjuangan. Sebab, untuk sampai di meja presiden, seekor ayam harus lebih dulu siap mati. Lehernya diserahkan kepada si penyembelih. Berdarah-darah. Tidak cukup hanya disembelih, bulunya kemudian dicabuti setelah sebelumnya disiram air panas. Lalu semua badannya disayat dan dipotong-potong. Tidak sampai disitu saja, ayam harus menahan pedih oleh lumuran bumbu lada, garam atau bahkan pedasnya cabai. Setelah itu, ayam harus dieksekusi lagi di atas penggorengan dengan minyak panas, atau dipanggang diatas bara seratus drajat Celsius lebih. Setelah semuanya selesai, baru ayam ini bisa naik ke meja presiden. Tetapi dengan tebusan kematian, ayam itu demikian puas karena perjuangannya telah sampai pada kemuliaan. Selain sampai di meja presiden, ayam itu bisa dinikmati oleh siapa saja, dan membantu tambahan protein hewani dari perjuangan kematian ayam yang sampai di meja presiden atau di meja makan kita.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

47

Perjuangan ayam untuk bisa naik ke meja presiden, ternyata sangat panjang perjalannya. Tetapi itu dilakukan untuk memposisikan dirinya agar menjadi mahluk yang mulia di mata presiden. Sama seperti kita. Untuk mempertahankan akhlak, perilaku dan kemuliaan di hadapan Tuhan, kita juga memerlukan perjuangan yang tidak mudah. Perlu kesabaran. Siap dilempar-lemparkan kesana kemari. Bersedia menerima kenikmatan dan musibah. Sanggup menahan diri dari godaan apapaun. Siap menaggung kepedihan, kesengsaraan, berdarah-darah dan lain sebagainya. Sekali saja kita terjerumus dalam gelimang tipuan duniawi, dan tidak sabar terhadap kebijakan dari langit, kita akan kembali menjadi mahluk yang kotor. Saat itulah kemuliaan kita akan jatuh tak lebih berharga dari seekor ayam. Bila ayam saja siap berkorban sampai pada titik kematian untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang mulia, lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita juga sudah menyiapkan diri untuk berjuang keras mempertahankan akhlaq, perilaku hati kita demi sebuah kemuliaan di mata Sang Pencipta, sebagaimana ayam yang berjuang menuju meja presiden?**

BTN Krg. Asam Tanjung Enim, 9 April 2009

Ayat-Ayat Kemacetan

Suatu ketika, di tahun 2008. Saya bersama keluarga mau pulang mudik lebaran. Tujuannya ke kampung halaman isteri saya di Desa Sukaraja Muaradua Kisam OKU Selatan. Jarak tempuh dari Palembang sekitar 300-an kilo meter. Tetapi kali itu saya berangkat dari Tanjung Enim. Jarak tempuhnya sekitar 200 kilo meter, mamakan waktu sekitar 6 jam lebih sedikit untuk sampai di kampung. Seperti tahun sebelumnya, saya bersama keluarga menggunakan angkutan umum. Jam Tujuh pagi saya sudah bersiap diri di Terminal Bantingan Tanjung Enim. Ada sejumlah angkutan umum yang menuju ke Simpang Meo, tempat perlintasan saya ke Baturaja dan langsung ke Muaradua Kisam OKU Selatan. Biasanya, angkutan yang saya tumpangi berangkat jam delapan. Tetapi sampai jam delapan lebih lima belas menit belum juga berangkat. Isteri saya mulai gelisah. Anak saya juga mulai lelah menunggu keberangkatan. Hitung-hitungan waktu, jika berangkat jam sembilan, sudah dipastikan saya dan keluarga akan sampai di kampung sudah masuk waktu magrib. Ini tidak menguntungkan bagi perjalanan masuk kampung yang belum ada listrik dan jalan jelek. Belum lagi, saya dan keuarga harus menunggu angkutan lain yang menuju ke Baturaja, baru berganti lagi angkutan ke Muaradua Kisam. Makin gelisah isteri saya. Sesekali dia tanya pada sopir dengan nada agak tinggi. Kekesalan itu kian tampak ketika jam delapan lebih tiga puluh menit belum juga berangkat. Hampir saja isteri saya akan memarahi sopir mobil, tetapi saya cegah, supaya suasana tidak makin keruh. Ini adalah risiko ikut angkutan orang. Harus ikut aturan main yang memiliki mobil.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

48

Saya kemudian menenangkan isteri saya. Saya katakan pada isteri saya, hari ini kita akan melihat rahasia Tuhan, gerangan apa yang akan dilakukan Tuhan untuk saya dan keluarga dengan keterlambatan ini. Tepat pukul sembilan saya dan keluarga baru berangkat. Diatas mobil, isteri saya sudah uring-uringan karena takut mobil angkutan yang menuju Baturaja sudah habis. Belum lagi angkutan umum yang masuk kampung kami. Jika sudah lebih dari jam lima sore, biasanya sudah tidak ada lagi yang mau masuk kampung kami. Selain jalannya terjal dan berliku, juga kegelapan di sepanjang jalan masuk kampung membuat ngeri setiap sopir untuk balik kembali keluar kampung. Ada sekitar tiga puluh menit saya dan isteri tidak berdialog. Kami berdua bermain dalam pikirannya masing-masing. Saya terus menunggu kebijakan Tuhan, apa yang bakal terjadi dengan keterlambatan ini. Sementara isteri saya hanya memandang keluar sembari membuang kekesalan. Anak saya sudah lelap dipangkuan isteri saya lima menit yang lalu. Belum sempat kami melepas kekakuan antara saya dan isteri, sebuah mobil jenis L300, Travel ke Muaradua Kisam meluncur dan mendahului angkutan yang membawa kami. Persis di depan kami, travel itu berhenti dan menanyakan tujuan kami. Secara spontanitas, kami jawab saja kalau kami mau ke Muaradua Kisam. Sopir Travel seketika itu langsung mengajak saya dan keluarga untuk pindah mobil, setelah sebelumnya saya membayar angkutan yang kami tumpangi dari Tanjung Enim. Setelah naik travel yang menuju ke Muaradua Kisam, saya memandang ke isteri saya. Ada keceriaan yang seketika menyeburat diwajahnya. Ia pandang saya dengan rasa bersalah. Ada kesadaran yang datang tiba-tiba bahwa Tuhan tengah menguji kesabaran saya dan isteri saya. Sebab, dalam sejarah perjalanan antara Tanjung Enim ke Muaradua Kisam, tidak ada izin trayek yang membolehkan angkutan langsung ke Muaradua Kisam. Tetapi hari itu kami mendapatkannya. Biasanya, semua jalur ke Muaradua Kisam harus melalui transit tiga kali ganti angkutan. Dari Tanjung Enim ke Simpang Meo, kemudian ke Baturaja, baru ke Muaradua Kisam, dan dilanjutkan masuk kampung dengan mobil angkutan desa atau dengan ojek. Tetapi kali itu, saya dan isteri saya cukup dua kali ganti angkutan. Dengan menggunakan jasa Travel, perjalanan kami lebih cepat dari perkiraan semula. Dalam hitungan normal, seharusnya kami sampai di Muaradua Kisam jam enam sore. Tetapi kali itu, saya dan keluarga sudah sampai di kampung jam empat sore, dua jam lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dari perjalanan keterlambatan keberangkatan saya ke kampung, isteri saya baru menyadari, ternyata keterlambatan dari Tanjung Enim adalah skenario dari Tuhan, agar kami bisa bertemu dengan Travel ke Muaradua Kisam, yang selama ini tidak ada jalur izin trayeknya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

49

Ini bukan faktor kebetulan, sebab dalam rumus Tuhan tak ada faktor kebetulan. Bukan pula faktor nasib, tetapi apapun yang saya temui kali itu adalah skenario dari langit, agar saya dan isteri lebih cepat sampai di kampung dan bertemu dengan orang tua yang telah sekian lama merindukan kami. Keterlambatan yang saya alami, sangat mungkin terjadi pada anda. Bisa dalam bentuk kemacetan lalulintas, mobilnya mogok, ban bocor, atau apa saja. Tetapi yakinlah bahwa itu adalah skenario dari langit yang dibelakang waktu kemudian pasti ada petikan hikmah, yang terkadang tidak kita sadari. Bisa jadi, kemacetan itu sebagai pesan kasih sayang Tuhan pada anda agar anda terselamatkan dari kecelakaan, atau bisa juga agar anda mendapatkan kondisi yang lebih baik dari pada anda datang lebih awal, tetapi anda justeru mendapati peristiwa yang buruk dan membuat anda tidak nyaman. Tuhan Maha mengetahui, tentang bagaimana memberikan keselamatan dan kebaikan pada hamba-Nya, apakah harus melalui keterlambatan perjalanan, melalui kemacetan atau melalui ban bocor dan lain sebagainya. Tidak ada sesuatu apapun yang menjadi ketentuan Tuhan itu buruk bagi kita, sebab Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi kita, meskipun terkadang dimata kita terasa buruk dan menjengkelkan.**

Tanjung Enim, 2008

S3M (Solidaritas Standar Sepeda Motor)

Standar sepeda motor ini, bentuknya kecil. Tempatnya di bagian paling bawah, letaknya agak tinggi sedikit dari posisi separo bulatan ban yang menyentuh tanah. Jenisnya ada dua, standar satu kaki dan satunya lagi dengan dua kaki. Kalau dilihat dari bentuknya, standar ini tidak lebih indah dari bagian lain. Bahkan diantara bagian sepeda motor, benda ini menempati posisi paling sial, sebab posisinya selalu dipancal (ditekan) dengan kaki. Sesekali bisa saja diinjak kalau kebetulan kita sedang ingin menyandarkan sepeda motor dengan doubel standar. Jarang kita lihat, standar sepeda motor disentuh tangan saat kita ingin menyandarkan kendaraan. Kecuali kalau standar ini sedang memerlukan service, baru seorang tukang bengkel memegang pakai tangan. Selebihnya, orang kebanyakan memancal dengan kaki. Begitulah nasib standar sepeda motor. Posisinya selalu diperlakukan lebih rendah dari yang lain. Tetapi sekalipun begitu, benda kecil ini meski posisinya selalu direndahkan oleh struktur dan anatomi kendaraan, standar sepeda motor memiliki peran yang tidak kecil. Penggunaannya tidak sesederhana bentuk dan letaknya yang berada di bagian paling bawah. Justeru sebaliknya, standar sepeda motor punya peran penting dibanding onderdil lain, meski sepeda motor itu rusak sekalipun. Saya juga tidak bisa bayangkan, jika dealer pembuat sepeda

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

50

motor tidak memasang standar, mungkin kita akan banyak meluangkan waktu untuk sekadar menjaga sepeda motor kita agar tetap berdiri sepanjang siang dan malam. Atau kita harus menyiapkan diri untuk memegangi sepeda motor agar ia tetap berdiri tegak; agar tidak roboh menyentuh tanah. Atau kalau kita tidak malu, harus menumpang pagar rumah tetangga untuk menyandarkan sepeda motor, setiap kali kita hendak meninggalkannya. Tapi syukurlah, dealer sangat mengetahui betapa pentingnya standar sepeda motor, sehingga kita tidak repot-repot numpang menyandarkan sepeda motor dip agar tetangga setiap kali kita tinggal pergi. Standar sepeda motor, meski bendanya kecil tetapi jika benda yang satu ini tidak dipedulikan, suatu ketika bisa membuat kita celaka. Bila kita sedang mengendarai sepeda motor, lalu kita biarkan standar itu dengan tidak melipatnya ke dalam, maka kita telah membuka diri untuk terjatuh dan tergelincir dari atas sepeda motor. Oleh sebab itu, setiap kali ada seseorang yang berteriak dan menegur kita ; Mas, standarnya! Atau, awas standar! Kita dengan kesadaran yang cepat, kemudian melipat standar sepeda motor, tanpa ada perasaan kesal, dendam dan perasaan kebencian dalam hati. Malah sebaliknya, dalam hati kecil kita mengucap terima kasih atas teguran yang disampaikan oleh oang lain. Kalau semua penghuni bangsa ini mau belajar dari kesadaran standar sepeda motor, sadar posisi, sadar fungsi, sadar struktural, sadar tanggungjawab dan tugas seperti peran dan fungsi standar sepeda motor, bangsa ini akan menjadi satu ‘kendaraan’ yang nyaman, aman dan tenteram. Misalnya saja, ada staf kantor pemerintah menegur pimpinannya ; “Pak, ini hari Minggu, jadi Bapak tidak boleh memakai fasilitas negara, kan diluar dinas!, bukan begitu, Pak?” Atau ; “Honor itu tidak boleh diptong-potong, Pak. Kalu dipotong namanya Bapak telah mengabil hak orang lain”. Lalu Sang Pimpinan menjawab ; “O, iya terima kasih, Anda telah mengingatkan saya. Terima kasih, atas tegurannya.” Kalau semua penghuni bangsa ini bersedia untuk sedikit saja menurunkan keangkuhan dengan kerendahatian, untuk kemudian bersedia melipat ‘standar’ egoismenya, melipat ambisi untuk memiliki barang atau benda, kewenangan yang bukan haknya, sebagaimana kesadaran kita melipat standar sepeda motor, maka bangsa ini tidak mesti ada pertengkaran dan permusuhan. Tidak mesti ada dendam berkepanjangan. Tidak mesti ada adu kekuatan wewenang dan lain sebagainya. Dengan belajar dari kesadaran melipat standar sepeda, kita sebenarnya bisa membangkitkan kesadaran untuk saling menegur, kesadaran untuk tidak ingin melihat orang lain celaka, kesadaran untuk membuka diri terhadap mengkritik dan dikritik, kesadaran untuk memperbaiki diri saat mendapat peringatan dari orang lain, kesadaran untuk saling menyelamatkan, agar orang lain tidak tergelincir dan jatuh, akibat lupa melipat standar. Kalau standar sepeda motor saja, bisa memerankan diri dalam fungsi sosial dan tanggungjawabnya yang selalu ingin menyelamatkan, mengapa sebagian kita memilih untuk

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

51

membuang kesadaran kemanusiaan kita, yang sebenarnya kita sekali waktu terkadang tidak lebih berharga dari standar sepeda motor?**

Jl.Swadaya - Palembang, 8 Okt 2009

Kebersihan Kok Nunggu Perintah, Bos

Suatu ketika, saya dan kawan-kawan mengadakan siaran langsung (Off Air) lomba mewarnai gambar dan peragaan busana tingkat TK dan SD di Lapangan Segitiga Tanjung Enim. Lapangan Segitiga ini, secara kebetulan berada di komplek perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia, yang berdekatan dengan ruang utama direksi perusahaan itu. Sudah tentu, hampir setiap karyawan dan petinggi perusahaan tambang ini, akan melewati jalan yang persis ada di sebelah kanannya. Seperti biasa, setiap kali menggelar Off Air, puluhan pedagang kakilima dari berbagai jenisnya, muncul secara berangsur. Persis, seperti semut, yang kemudian mengerumuni gula, saat ada satu butir gula jatuh ke lantai. Tidak berbeda pada acara ini. Ratusan, anak dari berbagai penjuru di wilayah Kabupaten Muara Enim, beserta orang tuanya, tumplek bleg di lapangan segitiga, ditambah lagi dengan pendukung lainnya. Adalah sebuah konsekuensi, jika kemudian akibat kerumunan itu, selain membawa cerita masing-masing orang tua wali, juga meninggalkan onggokan sampah diluar batas kebiasaan. Tumpukan sampah, sudah pasti siapapun enggan melihatnya, apalagi sampah itu bertumpuk, tepat di kawasan kantor besar sebuah perusahan elit. Bagi perusahaan, ini adalah noda. Apalagi kalau tiba-tiba ada tamu dari luar kota dan melewati lapangan itu. Tapi karena kebetulan hari itu adalah hari libur, saya dan panitia tidak terlalu dikejar oleh jam kerja. Kami selesai membereskan barang-barang keras, sekitar pukul 14. 00 WIB. Semua peralatan elektronik, panggung, tenda, kursi, sudah beres, diangkat ke kantor, tempat kami berkerja. Barang yang pinjaman juga sudah diangkut yang punya, seperti organ tunggal dan sound sistem-nya. Sebelum kami bubar, saya dan kawan-kawan sempat makan bersama, diatas terpal yang didaulat sementara menjadi tikar darurat. Asyik memang, sekalipun agak gatal. Tapi, karena keadaan lelah dan lapar, rasa gatal dan kumuh tak membuat kami harus beranjak pergi. Semua berjalan sebagaimana biasa, sama seperti ketika kawan-kawan makan diatas meja makan. Usai makan, muncul lagi persoalan. Apalagi kalau bukan sampah. Di hadapan kami, selain bekas bungkus nasi, masih terserak berbagai jenis sampah ringan. Koran bekas, bekas kemasan minuman mineral, plastik bekas bungkus permen, kue kering atau hanya air minum energi yang tak sempat dihabiskan, karena keburu anaknya minta pulang. Sampah. Ini yang kemudian kami tinggalkan satu malam, usai kegiatan. Kami berpikir, besok pukul 06. 00 WIB, seperti biasa ada petugas kebersihan yang sigap membersihkan segala sampah di Lapangan Segitiga. Tapi apa yang kami perkirakan salah.

JENDELA LAIN

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

52

Pukul. 07. 00 WIB, saya masuk kantor. Dan ternyata, saya masih melihat sampah kemarin masih menghampar di Lapangan Segitiga. “Waduh, gawat,” pikir saya spontan. Ini pasti akan mengundang reaksi keras dari direksi perusahaan tersebut, atau minimal bagian kebersihan lingkugan. Belum, sempat pikiran saya mengendap, seorang petugas datang ke kantor saya. Mukanya sudah menunjukkan sikap yang kurang sedap. Tapi karena saya harus meng-handl berita pagi, saya tak sempat bicara dengan petugas itu. Hanya Heru, teman saya yang diajak bicara soal sampah. Sudah pasti, akan terjadi ketegangan Heru dengan petugas. Saya baru tahu dari Heru, kalau untuk membersihkan Lapangan Segitiga, harus ada “uang rokok” sebagai tambahan insentif. “Lho, itu kan tugas mereka?” tanya saya spontan. “Iya, Mas, tapi kebersihan ini kan sudah ditekel CV, diluar perusahaan ini”. “Nah, apalagi CV, itu artinya yang bekerja sudah kontrak kerja, dan mereka harus membersihkan sampah di lingkungan kantor utama”. “Justeru CV-nya yang minta tambahan insentif, Pak”. Belum lagi saya selesai berbincang dengan Heru, saya sudah melihat “pasukan bersapu”, berbondong-bondong datang ke Lapangan Segitiga. Ada seorang pengawas di sekitar lapangan itu. “Gara-gara sampah, saya jadi kena marah direksi.” pengawas itu menggerutu, yang mungkin hanya didengar oleh dirinya sendiri. “Kenapa kamu yang harus nyapu, kan bukan giliran CV-mu?” tanya saya pada salah satu petugas kebersihan. “Kena marah direksi Mas, kalau tidak dibersihkan,” jawabnya pendek. “Oooo, jadi, kalau tidak dimarahi Direksi sampah ini akan tetap dibiarkan?!”

** Peristiwa diatas, hanya sekelumit realitas, yang sering terjadi di masyarakat kita. Membersihkan sampah, sering berdasar pada ke-inginan untuk dipuji, dilatari oleh uang seseran, takut dipecat, takut dimarahi direksi, atau karena ada kunjungan seorang pejabat. Ini sama halnya, ketika suatu kampus Perguruan Tinggi di Palembang, akan kedatangan salah satu Menteri. Karena kebetulan, jalan masuk ke kampus yang berjarak 400 meter itu, disesaki oleh pedagang kakilima. Maka satu hari sebelum Pak Menteri datang, semua diusir, dipaksa pindah, untuk sesaat saja, sampai Pak Mentri pulang ke Jakarta. Persis dengan membersihkan sampah, karena takut dengan direksi. Menjelang dan pada saat pelaksanaan Sea Games di Palembang juga begitu. Semua yang semrawut seketika rapi. Pedagang kakilima dan semua bentuk kekumuhan disulap jadi metropolis, mewah, tertata dan rapi. Tujuannya apa? Supaya tidak dimarahi Presiden dan Pak Menteri. Dalam konteks yang lain lagi, misalnya ; Gerakan Jumat Bersih (GJB) di kampung-kampung, juga menunggu SK Walikota. Membersihkan got dan mengecat pagar, menunggu lomba kebersihan lingkungan, atau membersihkan kursi dan memperbaiki perabotan rumah, menunggu lebaran tiba dan lain sebagainya.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

53

Ini adalah potret nyata, betapa sikap bersih kita terhadap lingkungan, yang tidak langsung berhubungan dengan kita, hanya kebersihan yang dilatari oleh kesadaran palsu (kamuflase). Yang terjadi kemudian adalah, kebersihan bukan berjalan secara natural yang bermula dari kesadaran diri terhadap pentingnya kebersihan bagi manusia dan lingkungan, melainkan menjadi kebersihan struktural. Semua menunggu perintah bos. Selagi tidak ada perintah atau berisiko akan menghilangkan “pendapatan” keseharian, sampah tetap akan terbiar begitu saja. Kultur Kebersihan struktural ini, bukan saja pada kasus Off Air diatas tadi, tapi jauh lebih dari itu, masih banyak lagi contoh kasus yang secara tidak kita sadari, sudah menjebak kita, dalam sikap hidup yang selalu menjaga kebersihan karena struktural, bukan didasari kesadaran diri untuk selalu bersih, tanpa perintah atasan. Masyarakat kita, ternyata hanya mempunyai dalil : bersih itu sehat, Jagalah kebersihan, atau bahasa agamanya : Kebersihan sebagian dari iman”. Bulshit! Sebab, kenyataannya, semboyan itu, hanya sebatas slogan. Sama artinya, seseorang boleh saja hafal ayat kursi, tetapi setelah berdiri dan mempunyai otoritas di sebuah lembaga, hanya kursinya yang di duduki, sementara ayat-ayatnya ditinggal begitu saja. Dan kita, semua kembali terjebak dalam kebersihan struktural.**

Tanjung Enim, 26 September 2005

Kampaye Hitam, Tuhan “Bermain Bola” Hampir sudah menjadi hukum alam, setiap menjelang suksesi (baca ; kompetisi kekuasaan), baik dalam konteks daerah maupun nasional, selalu ada pro-kontra soal kampanye hitam. Tetapi dari sekian banyak politisi, pengamat, pemerhati sosial kebudayaan, atau bahkan para ulama sekalipun, lebih cenderung melihat kampaye hitam menjadi sesuatu yang ’haram’ didengungkan. Menurut beberapa pengamat, kampaye hitam menjadi sesuatu yang akan berakibat buruk terhadap proses pencerdasan bagi masyarakat. Lebih ekstrim lagi, kampaye hitam dianggap sebagai bentuk opini yang akan merusak pendidikan demokrasi rakyat. Ragam pernyataan terhadap ”pelarangan” kampaye hitam diakui atau tidak juga didasari oleh banyak kepentingan dan keberpihakan. Bagi kelompok yang sedang terkena serangan oleh kampaye hitam, dengan sigap melakukan counter opini dengan melontarkan ”pengharaman” adanya kampaye hitam. Namun bagi pihak penyerang, reaksi pihak lawan ini dianggap sebagai bagian keberhasilan, karena ’pancingan’ itu kena sasaran. Sama persis ketika beberapa waktu lalu, Presiden SBY secara reaksioner menanggapi tuduhan dari salah satu petinggi partai politik tentang adanya pernikahan sebelum menjadi petinggi negara. Penilaian sebagian pihak yang ’mengharamkan’ kampaye hitam ini paling tidak ada beberapa latar belakang. Selain adanya kepentingan dan keberpihakan terhadap salah satu kandidat kepala daerah, juga dilatari oleh cara pandang sebagian masyarakat, yang cenderung melihat sesuatu dari sudut pandang satu arah. Atau yang saya bahasakan, selama ini sebagian tokoh masyarakat cenderung menilai terhadap realitas sosial budaya menggunakan perspektif ’kacamata kuda’.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

54

Apa yang terjadi kemudian? Sama seperti kuda! Ia hanya akan melihat dinamika politik dan sosial budaya hanya dengan pandangan lurus kedepan, tanpa melihat persoalan dari perspektif yang berbeda. Akibatnya, tidak memunculkan pendapat yang koprehensif, melainkan opini yang cenderung tendensius, parsial dan terpenggal-penggal. Efek yang timbul adalah, sesuatu yang terjadi tidak lagi dipahami dalam kacamata positif (positif thinking), melainkan dianggap sesuatu yang mengganggu stabilitas politik (negatif thinking). Alasan lain yang melatari, kenapa sebagian tokoh dan pengamat ’mengharamkan’ kampanye hitam adalah, ketakutan politik. Ada kesan yang muncul, melalui kampaye hitam seolah akan merusak ’kebaikan’ seseorang yang secara kebetulan sedang disiapkan menjadi kepala daerah. Para tokoh yang ’mengharamkan’ kampaye hitam menganggap, dengan kampanye hitam seorang calon kepala daerah akan jatuh, dan akan kalah dalam kompetisi politik kekuasaan, sebagai akibat dari ’aksi’ lawan politiknya yang membeberkan keburukan dan ketidakberhasilan seorang calon kepala daearah yang dimaksud. Dalam konteks ini ada beberapa point yang sebaiknya menjadi bahan renungan bagi sebagian kita, terutama yang ’mengharamkan’ kampaye hitam. Pertama; ketika kampaye hitam ini muncul kepermukaan, jika pandang dari perspektif yang positif, justru dapat menjadi peringatan (warning) bagi generasi mendatang untuk lebih banyak menanamkan ’investasi kebaikan’ jauh sebelum ia akan bercita-cita sebagai calon kepala daerah. Dengan kata lain, jika seorang calon kepala daerah yang berkeinginan turut serta dalam kompetisi politik kekuasaan ada ketakutan politik terhadap kampaye hitam, maka selayaknya melakukukan meminimalisasi ’investasi keburukan’ yang mungkin selama ini dilakukan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kedua; munculnya kampaye hitam terhadap seorang calon kepala daerah, atau seorang calon presiden sekalipun, sebaiknya tidak menjadi sebuah ketakutan. Sebab, ditengah proses pencerdasan politik bagi rakyat, memang sebaiknya ditawarkan beberapa alternatif, antara kampaye putih dan kampanye hitam. Sehingga rakyat tidak hanya akan disuguhi ’kabar baik’ secara terus menerus, tanpa membongkar ’kabar buruk’ yang terselip dibalik kebaikan. Mentalitas Orba Pelarangan kampanye hitam terhadap calon kepala daerah, atau terhadap sistem pemerintahan dimanapun berada, ini bisa menjadi bagian upaya pengembalian mentalitas orde baru, yang secara historis pemerintah Orde Baru (Orba) sama sekali tidak menginginkan adanya ’kabar buruk’ di media terhadap pemerintahan, kecuali hanya ’berita kebaikan’. Tetapi, toh akhirnya semua borok dan keburukan itu terbongkar yang akhirnya menumbangkan rezim Orba pada 21 Mei 1998. Pemikiran ini sama sekali bukan berdasar pada logika politik semata, melainkan bagian upaya penulis untuk menyampaikan ’bahasa’ Tuhan yang selalu mengajari manusiaa untuk menyikapi perbedaan pendapat (pluralitas) dengan kearifan dan bukan dengan arogan. Bukankah Tuhan secara nyata telah membuat pernyataaan secara demokratis; telah aku bentangkan jalan yang hitam dan yang putih...supaya manusia mau berpikir. Maka dengan munculnya pelarangan kampaye hitam yang belakangan sedang menjadi perdebatan di media, saya justru berpikir ini merupakan ’pengingkaran’ terhadap ayat-ayat Tuhan yang secara nyata telah membentangkan berbagai perbedaan-perbedaan.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

55

Pada tulisan ini saya ingin mengatakan, mengutip pernyataan Kiai Madjid, di Tanjung Enim, ketika Tuhan menciptakan iblis (syetan), atau dalam konteks sekarang munculnya kampaye hitam, sebenarnya Tuhan menciptakan lawan, sehingga akan manusia akan menjadi lebih berharga. Dengan kata lain, munculnya kampaye hitam ini, dalam perspektif ’bahasa langit’, Tuhan sedang ingin membeberkan kepada calon pemilih, agar merea mampu menjadi ulil albab (kaum pemikir), untuk kemudian bisa membedakan antara calon yang bernilai dan calon yang tidak bernilai, baik di mata Tuhan atau di mata manusia. Sebab, bagaimana mungkin 1 goal dalam permainan sepak bola akan mendapat hadiah sepatu emas, kalau tim yang 11 orang tidak dihadapkan 11 tim yang menjadi lawan permainan? Bagi calon kepala daerah yang merasa diserang oleh kampaye hitam, sebenarnya juga sedang dijadikan ’bola’ oleh Tuhan. Logikanya, ketika Tuhan ’bermain bola’, kemudian bola itu dihempaskan ke bumi, maka yang terjadi kemudian adalah bukan ’bola’ makin terperosok ke dasar bumi, melainkan akan memantul semakin tinggi ke langit. Namun, karena keterbatasan dan ke-awaman manusia menterjemahkan ’bahasa’ Tuhan, yang terjadi kemudian bukan kearifan dan mengucap alhamdulillah terhadap kampaye hitam, melainkan kasak-kusuk melakukan counter opini, agar figur calon kepala daerah yang disiapkan tidak terkena noda keburukan. Kenapa mesti harus blingsatan terhadap kampaye hitam. Toh kita sadar dengan istilah; no body perfect (tidak ada manusia yang sempurna). Hanya saja kadar kebaikan dan keburukan saja yang sudah pasti mempunyai persentase yang berbeda-beda di mata Tuhan.**

Tanjung Enim, 02 November 2007

Silaturahim (Aliran Sesat?) (Kilas Balik Pelarangan Al-Qiyadah Islamiyah)

Munculnya Al-Qiyadah Islamiyah beberapa waktu lalu, sempat mengguncang kehidupan keber-agama-an di Indonesia. Islam yang kemudian merasa dirugikan dengan munculnya ’syahadat baru’, dengan segala daya upaya merangkul semua pihak untuk kemudian melakukan pelarangan terhadap aliran yang dipimpin Ahmad Mushodieq. Dalam berbagai dialog, munculnya Al-Qiyadah Islamiyah sebagian diantara meraka ada yang mengecam secara keras. Tetapi di sisi lain, ada sebagian lagi yang melihat masalah ini dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Bagi yang mengecam, secara otomatis melakukan upaya pelarangan penyebaran terhadap aliran ini. Namun bagi aktifis HAM, lebih kompromis, karena tinjauan mereka dalam konteks humanisme dan pluralisme. Terlepas pro-kontra terhadap aliran ini, paling tidak aliran Al-Qiyadah Islamiyah yang kemudian dinyatakan sesat oleh kejaksaan Agung dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menjadi fakta betapa manusia di muka bumi ini sangat ’awam’ menangkap bahasa Tuhan. Berdasar dari ke-awam-an mahluk inilah, kemudian hampir semua kita (terutama kalangan muslim), menangkap ’isyarat’ Tuhan ini dengan ’kacamata kuda’. Akibatnya, penilaian yang muncul ke permukaan hanya terbatas antara salah-benar, halal-haram, atau syurga dan neraka, tanpa melihat setitik kebaikan yang ada di balik Al-Qiyadah Islamiyah. Pandangan ’kacamata kuda’ yang menjangkiti sebagian kaum muslim inilah, mengakibatkan cara pandang menjadi satu arah. Persis seperti pandangan kuda yang sudah

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

56

dilengkapi dengan atribut, yang hanya bisa melihat satu arah ke depan, tanpa melihat ’kebaikan’ yang mungkin datang dari arah yang berbeda. Karena sebagian umat muslim sudah terlanjur sering memakai ’kacamata kuda’ inilah, maka cara pandangnya tidak didasari oleh pemikiran memutar, untuk kemudian mengkaji ulang terhadap aliran Al-Qiyadah Islamiyah. Tidak mendebatkan kenapa dan bagaimana sampai Ahmad Mushodieq mendapat ’wangsit’ yang disebut perintah Tuhan. Melainkan hujatan, makian dan tindakan anarkis terhadap sebagian orang yang sudah ikut aliran ini. Ketika sebuah realitas hanya dipahami dalam perspektif ’kacamata kuda’ sudah pasti tidak akan melihat sisi baik dari aliran ini, walau sebiji dzarroh (lebih kecil dari sebutir beras). Sama seperti anak kecil yang di depannya dibentangkan satu lembar kertas hitam, kemudian di tengahnya diberi titik putih seujung mata pena. Karena jarak pandang yang jauh, maka anak kecil tadi tidak bisa melihat titik putih yang ada di tengah kertas. Yang mereka lihat hanya satu lembar kertas hitam, tanpa ada satu titik pun dipermukaannya. Inilah yang sebenarnya teah berdasa warsa menggejala di kalangan kaum muslim. Dari tingkat elit sampai di kalangan bawah. Yang terjadi kemudian adalah melihat pluralitas kebudayaan hanya dari pandangan satu arah, sehingga tidak memiliki literatur lain untuk melihat realitas dengan penilaian yang lebih komprehensif. Bila kita sejenak kembali kepada peristiwa Fathu Makkah (Pembukaan Kota Mekah), jauh sebelum aliran Al-Qiyadah Islamiyah ini mencuat, Nabi Muhammad Saw suah dihadapkan dengan berbagai bentuk ’pengingkaran’ dari sebagian kaum muslimin ketika itu. Sebut saja Nabi Palsu Musailamah Al-Kadzab, yang kemudian menciptakan hadist palsu. Belum lagi, setelah nabi kembali ke Makkah, Nabi Muhammad juga dihadapkan pada perbedaan-perbedaan ’aliran’ di kota Makkah. Sebagian masyarakat Makkah tetap memeluk agama mereka, dengan tetap menyembah berhala (Latta, Uzza dan Manata). Sementara sebagian lagi juga muncul kaum musyrikin dan manafiqin, yang menjadi musuh dalam selimut bagi kaum muslim. Tetapi kuatnya ruh kenabian dan kecerdasan Muhammad Saw, dalam menangkap bahasa Tuhan, sekembalinya kamum muslimin dari Madinah ke Makkah, Muhammad Saw, dan pasukannya yang berjumlah puluhan ribu tidak merta memerangi kafir Quraisy. Malah sebaliknya, dengan bijak, Muhammad Saw, kemudian menyatakan, bahwa kedatagannya ke Makkah dengan membawa kedamaian. Saat itulah, betapa kita melihat konsep Lakum Diinukum Waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) sedemikian mengakar dalam jiwa Muhammad Saw, sehingga dengan kecerdasan batinnya, Nabi bergelar Al-Amin ini, secara bijak menghargai satu sama lain, tanpa harus salng ganggu. Dari peristiwa inilah, tergambar jelas bagaimana sikap Muhammad Saw, yang demikian arif dan bijak, ketika berhadapan dengan pluralitas keyakinan dan ideologi, tetap memegang ’semangat madani’; sebuah sikap yang tetap mengedepankan humanisme, pluralisme dan bukan anarkisme. Pertanyaan yang kemdian muncul adalah, kenapa kita meng-agung-kan ’ajaran’ Muhammad Saw, tetapi disatu sisi justru mengingkarinya? Tentu, ini sebagai akibat ke-awam-an manusia yang kecerdasan mata batinnya jauh di banding dengan Muhammad Saw. Tetapi, awam dan tidak awam bukan karena sebagian kaum muslim ini berada jauh dari generasi Muhammad

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

57

Saw. Tetapi karena eterbatasan cara pandang sebagian umat muslim inilah yang menimbulkan, ’bahasa langit’ tidak bisa ’membumi’. Padahal secara sadar atau tidak, dengan mucnulnya Al-Qiyadah Islamiyah semua kita sedang ditolong. Kenapa? Minimal ini menjadi sebuah sentuhan yang kemudian membangkitkan ruh ilahiyah, berupa silaturahim nasional. Jauh sebelum Al-Qiyadah Islamiyah muncul, hampir tidak pernah para tokoh agama dan kejaksaan agung (ulama-umara) duduk satu meja membahas masalah ketuhanan, kecuali hanya acara kongkow-kongkow dalam acara kenegaraan. Kedua lembaga ini hampir setiap waktu hanya berjalan sendiri-sendiri dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Tetapi ketika ’crew Ahmad Mushodieq’ muncul, semua kalangan, dari tingkat elit sampai ke pelosok desa berbincang soal agama. Ulama dan Umara bersilatrahim dan berbincang soal ketuhanan. Sebagian orang tua yang beragama Islam kemudian mengajari syahadat putra-putrinya. Sebagian lagi ada orang tua yang kemudian memindahkan anaknya ke pondok pesantren, ke Taman Pendidikan Al-Quran dan lain sebagainya. Kesadaran kolektif dalam konteks teologi yang muncul secara spontan inilah, yang sebaiknya menjadi bahan pemikiran, untuk kemudian sebagian kita tidak mesti membahas tentang salah dan benar terhadap sebuah aliran yang dikemudian hari bisa saja muncul kembali. Sebab, munculnya ’aliran baru’ dalam konteks teologi ini, jika kita kembali kepada sejarah, bukan baru muncul belakangan ini. Jauh sebelum manusia lahir, Tuhan sudah menciptakan iblis. Bukan untuk membuat manusia bingung, melainkan untuk menaikkan posisi manusia ini menjadi lebih bernilai. Sebelum aliran Al-Qiyadah mengemuka, sangat mungkin sebagian umat muslim tidak sama sekali berbincang tentang agama. Diantara sebagian kamum muslim, menjalankan agama, hanya karena keturunan tanpa mengkaji kebenaran friman-firman Tuhan. Posisi manusia hanya sebetas menjadi ’hamba’ yang nilainya tidak lebih tinggi dari manusia biasa. Tetapi dengan Tuhan menciptakan ’musuh’ atau lawan politik dalam konteks teologi, manusia dituntut untuk bertanding, guna ’menggoal’-kan satu point, demi sebuah janji Tuhan yang berupa ’sepatu emas’. Al-Qiyadah adalah bahasa Tuhan untuk membangkitkan ’nasionalisme agama’, sehingga posisi ke-khalifah-an manusia di bumi ini akan lebih dinamis, lebih bernilai dimata Tuhan. Tuhan menggebark kedirian setiap kamum muslim, untuk menjadi warosyatul anbiya (pewaris para nabi), yang tepa menjaga ibadah ritual dan ibadah sosial.**

Tanjung Enim, 20 Nov 2007

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

58

‘Tragedi Zakat’ & Kebijakan ‘Langit’

Peristiwa pembagian zakat oleh keluarga Saikhon di Pasuruan Jawa Timur (2008) berakhir tragis. Banyak kalangan menyebut peristiwa ini sebagai ‘tragedi’ zakat. Sedikitnya 21 orang (semua wanita) meninggal dunia. Ini menjadi pengulangan ‘tragedi’ pada 2003 di Jakarta yang menelan korban 3 orang tewas, dan pada 2002 di Gresik menelan korban 1 orang tewas. Bukan tidak mungkin bila masalah ini terbiar begitu saja akan muncul kasus serupa di tahun-tahun berikutnya. Betapa tidak, belum genap satu pekan ‘tragedi’ zakat terjadi, di Probolinggo Jawa Tengah juga sudah kembali melakukan kegiatan serupa. Untung korban hanya pingsan akibat kelelahan. Menyimak dari beberapa kasus ini, saya tidak tahu persis kenapa sebagian umat kita lebih senang menjadi sekelompok manusia yang suka mengulangi kesalahan, ketimbang belajar dari kesalahan untuk mencari kebenaran? Kalau sejak peristiwa Gresik (2002) dan Jakarta (2003) dijadikan pelajaran, maka tidak perlu ada peristiwa serupa yang menelan banyak korban. Tetapi kita sering aneh. Sudah jelas kumpulan ribuan manusia akan menimbulkan risiko nyawa manusia, tetapi tidak juga mencoba melakukan kordinasi dengan pihak berwenang. Mengutip Budayawan Emha Ainun Nadjib, kadang-kadang kita sudah benar tetapi belum baik. Dan di lain hari, kita kadang-kadang sudah baik tetapi belum benar. Sepintas, kalimat Cak Nun-panggilan akrab suami Novia Kolopaking ini, seperti parodi dan lelucon dalam seni ludruk atau lenong. Tetapi secara kontekstual, ini sindiran Cak Nun yang mempunyai makna serius sekaligus kritik terhadap perilaku manusia, baik perilaku fisik maupun batin. Perilaku fisik contohnya tragedi zakat di Pasuruan. Perilaku batin, contohnya; seseorang yang sudah sedemikian rajin mengaji di dalam masjid, tetapi kemudian dalam hatinya terbersit akan lebih baik kalau membaca Al-Qurannya menggunakan pengeras suara supaya didengar oleh banyak orang. Masalahnya kemudian bukan boleh dan tidaknya menggunakan pengeras suara, tetapi ketika perbuatan yang bernilai ibadah kemudian berbalik hanya ingin mendapatkan pujian manusia, maka yang terjadi bukan prestasi ibadah secara vertikal, melainkan riya (pamer) atau ‘prestise’ ibadah horizontal. Mengukur pamer dan tidaknya seseorang itu memang tidak bisa dilihat secara dlohir. Tetapi ilmu kejiwaan mengajari kita, kejiwaan seseorang akan terlihat dari gejala jiwa yang mucnul. Lihat saja pada seseorang yang rajin mengaji menggunakan pengeras suara. Suatu ketika mati lampu, atau pengeras suaranya rusak, yang bersangkutan masih rajin mengaji atau tidak? Ini untuk membaca kejiwaan seseorang. Kalau yang bersangkutan tetap mengaji tanpa pengeras suara, berarti memiliki komitman rihani yang standar. Kalau tidak, berarti ukurannya pengeras suara. Besok kalau di alam akhirat bisa jadi membuka toko elektronik menjal pengeras suara. Tragedi zakat menjadi bagian bukti dari kalimat Cak Nun. Program kepedulian terahadap fakir miskin itu sudah baik. Tetapi membiarkan mereka berdesakan hingga tersengal-sengal kehabisan napas itu yang belum benar. Atau sebaliknya, memberi uang dan sedikit bahan sembako kepada fakir miskin sudah benar dilakukan di Bulan Ramadhan, tetapi kepedulian ini

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

59

kemudian belum baik karena dilakukan tidak dengan menejemen atau pengelolaan yang baik, sehingga jatuh korban yang tidak sedikit. Terlepas lebih dan kurangnya, dari tragedi zakat di rumah keluarga Saikhon Pasuruan Jawa Timur ini dapat ditarik beberapa catatan kebaikan, sehingga dalam kasus ini kita tidak bisa melihat dari sudut searah. Karena ketika satu kasus hanya dilihat dari satu arah maka kesimpulan yang didapat adalah menyalahkan sepihak, dan yang lain merasa paling benar. Kalau kemudian masing-masing pihak merasa paling benar, bukankah sikap ingin paling benar hanya dimiliki iblis, syetan dan dajjal? Naudzubillah. Ada lima hal yang bisa dipetik dari tragedi zakat di Pasuruan. Pertama; Manajemen Zakat. Ini menjadi bagian penting dan kritik terhadap lembaga pengelola zakat. Artinya, dari peristiwa ini lembaga pengelola zakat harus kembali menyusun rencana strategis (renstra) tatakelola penyaluran dan pemberdayaan zakat, sehingga di masa mendatang para mustahik (penerima zakat) tidak perlu berjejal-jejal dalam antrean panjang yang melelahkan. Kedua : Trust (kepercayaan). Dalam kasus ini, tidak bisa serta merta keluarga Saikhon disalahkan. Tetapi semua ini harus dikaji dari berbagai sisi, sehingga tidak ada ‘kesimpulan berat sebelah’ terhadap tragedi zakat. Yang perlu dikaji adalah mengapa keluarga Saikhon tidak menyerahkan zakatnya ke lembaga-lembaga pengelola zakat? Ada apa? Bukan hanya Saikhon, tetapi sebagian masyarakat Indonesia ternyata belum secara maksimal menjadikan lembaga pengelola zakat sebagai ruang beramal atau sebagai lembaga yang dipercaya dalam mengelola harta ummat. Kalau melihat potensi, dalam setiap tahunnya di Indonesia diperkirakan akan terkumpul Rp. 700 triliun. Sementara yang terealisasi hanya Rp. 500 miliar? Mengapa ini terjadi? Kurangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap lembaga pengelola zakat di negeri ini. Tetapi dilain pihak, minimnya pengetahuan sebagian masyarakat terhadap harta yang wajib dizakati. Ini juga menjadi tanggungjawab semua pihak, tentang bagaimana membangkitkan kepercayaan sekaligus meningkatkan pengetahuan dan penyadaran zakat kepada masyarakat. Ketiga;Kepedulian. Dengan kasus ini, Tuhan sedang ingin mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia menjadi mahluk sosial (zoon politicoon), merupakan fakta yang tak terbantahkan. Dengan peristiwa ini Tuhan juga sedang ‘memaksa’ Pemerintah Pasuruan agar mengeluarkan anggaran dana APBD untuk fakir miskin. Bukan karena Pemerintah Pasuruan selama ini tidak peduli, tetapi Tuhan memang sedang ingin mengajari para pengelola ‘Negara Pasuruan’ untuk menjadi pelayan rakyat, sehingga Pemerintah memang harus melayani mereka dengan mengobati dan memberi santunan kepada korban seperti yang diperintahkan pemerintah SBY. Ini artinya, tragedi zakat di Pasuruan bisa menjadi teguran bagi semua pihak betapa sudah minimnya sikap kepedulian kita, sehingga untuk membangkitkan kepedulian ini saja, Tuhan harus ‘membuat tragedi’ zakat supaya manusia kembali kepada fitrah-nya; saling peduli. Peduli yang saya masksud bukan sekedar ikut prihatin, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana kita harus mewajibkan diri, untuk terus peduli dan berbagi antar sesama, agar di kemudian hari para tetangga kita tidak lagi menjadi ‘tangan dibawah’ yang berhimpit menunggu amplop dan sembako, tetapi menjadi sekelompok masyarakat “tangan diatas” yang selalu memberi dan menebar manfaat.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

60

Keempat; Pemeliharaan. Peristiwa ini merupakan cara Tuhan untuk memelihara hamba-Nya, untuk segera ‘pulang’ bagi yang meninggal, atau harus ‘istirahat’ bagi korban yang terluka. Panggilan untuk ‘pulang’ bagi 21 orang yang meninggal merupakan kewajiban setiap mahluk hidup. Ini adalah strategi Tuhan memutus kesempatan berbuat keburukan bagi yang meninggal, atau satu cara Tuhan dalam ‘mengurangi’ dosa bagi 10 korban yang masih dalam perawatan. Sebab, sakitnya seseorang di dunia merupakan bagian cara Tuhan untuk mengurangi siksanya di akhirat. Kasus ini juga sebagai wujud betapa Tuhan demikian sayang terhadap 21 orang, sehingga untuk memelihara mereka Tuhan harus memanggil mereka. Tujuannya, Tuhan sedang meluruskan 21 orang itu agar mereka tidak berbelok ‘niat’ hanya lantaran mendapat uang Rp. 30 ribu. Sebab, tidak jarang diantara kita ada saja yang kemudian ‘menggeser tauhid’ dan menggantinya dengan simbol-simbol lain, apakah memper-Tuhan-kan uang, jabatan, kekayaan dan lain sebagainya. Kelima; miniatur Indonesia. Indonesia menurut Cak Nun adalah penggalan sorga. Seolah sorga pernah pecah, dan pecahannya itu bernama Indonesia. Setiap jengkal tanah tidak ada yang tidak menghidupi manusia. Tongkat dan kayu saja bisa menjadi tanaman. Tetapi mengapa tragedi zakat Pasuruan masih terjadi? Jawabnya, begitulah meniatur Indonesia. Kita menjadi ayam yang mati di lumbung. Mestinya mati karena tertimpa makanan, tetapi realitanya tertimpa orang cari makan, akibat berebut makanan karena kekurangan makanan. Padahal kita berada di bumi yang merupakan pecahan sorga. Tanah terbentang luas. Musim berganti secara taratur sesuai kebutuhan manusia. Tetapi mengapa sebagian kita masih tetap dalam keterpurukan? Sepertinya, ‘kebijakan langit’ memang sedang ingin mengabarkan pada dunia, orang kaya di Indonesia itu memang masih senang dan minta didatangi fakir miskin, ketimbang mendatangi fakir miskin. Itulah (Bukan hiduplah) Indonesia Raya!**

Muara Enim, 17 September 2008 M

Nikmatnya Gagal Jadi Anggota Dewan

Hasil pemilu 9 April 2009, telah membuat sebagian calon legislatif (Caleg) yang gagal, menjadi tidak rasional. Sebagian dari mereka kemudian membuang akal sehat, dengan melakukan hal-hal diluar logika normal manusia pada umumnya. Penutupan Sekolah Dasar karena merasa berjasa atas pembangunannya, pembongkaran saluran air rakyat, karena atas bantuannya, pengambilan kembali ambal masjid yang diberikan pada masa kampaye, melarikan diri dari tanggungjawab utang piutang, sampai mengakhiri hidup dengan gantung diri. Tragis. Tetapi inilah realitas yang tengah kita hadapi saat ini. Kesal, kecewa akibat gagal dalam pen-calegan adalah manusiawi! Tetapi jika dirunut, semua ini akibat dari kecenderungan manusia yang selalu mengukur urusan gagal dan berhasil, dengan “logika sebab dan akibat” (kausalitas). Sehingga dalam memahami kalah-menang pemilu menjadi kalkulasi untung-rugi; berapa yang diberikan, dan berapa yang diperoleh.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

61

Ketika tidak ada kesesuaian antara pengeluaran dan pendapatan, yang timbul kemudian stress dan depresi. Atau sebagian mencurigai pihak lain; mengapa ini bisa terjadi? Ada apa dibalik kekalahan? Apakah ini rekayasa? Ada manipulasi suara? KPU yang tidak profesional? Semua cenderung menyalahkan pihak lain. Ini semua terjadi, karena sebagian caleg dan tim-suksesnya memahami realitas politik dalam perspektif kausalitas tadi. Secara sadar atau tidak, asumsi negatif terhadap hasil pemilu, sebenarnya sudah keluar dari term politik itu sendiri, yang mengatakan; politik tidak bisa dihitung seperti matematika (bukan kausalitas). Pengamat politik selalu mengatakan; konstelasi politik tidak bisa dihitung dengan logika; satu ditambah satu sama dengan dua. Bukankah kalimat ini sudah sedemikian mengkristal bagi sekian banyak politisi kita? Lantas mengapa harus menuduh salah terhadap institusi KPU? Atau mengapa harus mengkambinghitamkan pihak lain, bila politik memang bukan rumus matematika yang menerapkan hukum kausalitas? Paradigma politik non matematik dalam konteks politik ini, bila kemudian dipahami dalam konteks hakikat (bukan syariat), maka langsung atau tidak, membahas politik maka tidak lepas dari dunia ke-ghaiban. Sebab, ketika politik dikatakan; tidak bisa diukur secara matematik, maka ia akan berpulang pada keyakinan terhadap kekuatan gaib diluar batas logika manusia, bukan hukum kausalitas. Ketika, dunia politik terkait dengan kesadaran spiritual, maka kegagalan caleg, sebaiknya bukan menciptakan tuduhan-tuduhan dan asumsi buruk terhadap pihak lain, justeru membangkitkan kesadaran, bahwa realitas politik tidak kemudian dipandang dari perspektif politik murni (hukum kausalitas) tetapi juga dalam perspektif norma hukum ke-gaiban langit yang selama ini sering diabaikan dalam politik. Dijelaskan oleh Syeh Ibnu Athoillah, dalam Kitab-nya Al-Hikam, melalui Kiai Imron Jamil, dalam konsep tasawuf tatanan dunia, (baca; realitas politik-red) memang tidak didasari dengan hukum kausalitas. Antara sebab dan akibat merupakan kutub berbeda yang tidak berbanding lurus sebagaimana yang selama kita pahami. Fakta sejarah membuktikan, betapa hukum kausalitas dalam konteks politik tidak selalu berbanding lurus; setelah Habibie menggantikan Soeharto, Gus Dur menjadi presiden Indonesia. Dalam logika politik, saat itu perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tidak signifikan untuk mengangkat Gus Dur. Secara fisik-pun, Gus Dur tidak memenuhi syarat dari kriteria presiden. Tetapi ketika Tuhan mengatakan; jadi, maka jadilah (Kun Fayakun), maka yang muncul adalah ‘akibat’ yaitu Gus Dur menjadi presiden, meskipun tanpa ‘sebab’ politik yang rasional. Namun dalam perjalanan waktu, Tuhan kemudian menciptakan keduanya. (Sebab dan akibat). Gus Dur jatuh oleh parlemen sebagai ‘akibat’ dugaan terlibatnya Gus Dur dalam kasus Bruneigate. Walapun saat itu, Mahkamah Agung sudah menyatakan Gus Dur bebas dari Bruneigate, tetapi ketika Tuhan berkehendak Gus Dur harus turun (sebagai akibat), maka melalui Dekrit Presiden, Gus Dur lengser, kemudian mengusung Megawati naik menggantikan presiden. Ketika ranah politik dipahami dalam perspektif spiritual, maka akan menguatkan pemahaman, ‘kebijakan langit’ tidak menciptakan realitas dunia dengan hukum kausalitas. Tuhan

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

62

menciptakan sebab dan akibat dengan ruang yang berbeda. Tidak setali tiga uang. Analoginya, sebab sebagai kutup positf, dan akibat sebagai kutub negatif. Ketika dalam realitas politik beberapa caleg yang gagal mempertemukan keduanya (positif-negatif), yang terjadi kemudian bukan terangnya bola lampu neon dan cerahnya batin dan pikiran caleg, melainkan menjadi dua kutub yang konsleting atau terjadinya hubungan arus pendek. Akibatnya, depresi, stress atau lebih parah lagi, sampai bunuh diri. Padahal diluar kesadaran, sebagian caleg sering begitu ringan mengatakan; manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Tetapi dalam banyak hal, ketika hasil jerih payah tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanannya, sebagian kita kemudian sering menuduh atau mencurigai pihak lain yang salah. Dan yang lebih parah lagi, sebagian kita berburuk sangka kepada Sang Pengatur Bumi. Ketika ini terjadi, ada nilai ketauhidan, yang bergeser, walau sehelai rambut sekalipun. Akhirnya berlari ke dukun dan mahluk lainnya. Dalam konteks kegagalan caleg ini, ada tiga hal yang perlu menjadi bahan renungan. Pertama; dalam kebijakan langit ada yang disebut nilai kepantasan. Artinya bagi caleg yang gagal, adalah kepantasan lebih baik di mata Tuhan, (bukan dimata manusia), ketimbang harus duduk di parlemen tetapi banyak mudharat bagi yang bersangkutan. Dengan kata lain, kegagalan akan menjadi nikmat dan rahmat, ketika kagagalan dijadikan sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan terhadap caleg gagal, agar terhindar dari peluang berbuat dosa (korup) atau membohongi rakyat. Logikanya, kalau anak kita sedang sakit pilek, maka kita tidak akan membelikan minuman es, meskipun anak kita sampai menangis. Kita melarang karena kita sayang dan takut pilek anak kita bertambah parah. Pelarangan minum es terhadap anak kita juga bagian pemeliharaan kita, supaya anak kita tidak bertambah sakit. Kita ingin anak kita sembuh dan sehat. Pun demikian halnya kebijakan langit. Ketika sebagian caleg gagal duduk di parlemen, sebenarnya Tuhan sedang mencegah, supaya ‘pilek’-nya para caleg tidak lebih parah dari sebelumnya. Tugas caleg gagal adalah, bagaimana menyembuhkan pilek-nya agar dikemudian hari lain di mata Tuhan mendapat posisi kepantasan untuk duduk di parlemen. Kita sering menganggap diri kita pantas menjadi mahluk yang berhak mendapat kedudukan, jabatan dan kekayaan, tetapi kita sendiri tidak pernah sadar bagaimana kita harus lebih dulu memantasi diri untuk menjadi hamba yang terpilih di mata Tuhan. Kedua; Pengorbanan yang telah diberikan, seharusnya dimaknakan kecintaan Tuhan terhadap seorang hamba, bukan malah sebaliknya. Banyaknya harta yang telah dikeluarkan dalam kampaye, telah menjadi sarana Tuhan untuk melakukan pencucian harta di rumah kita, yang mungkin selama ini ada hak orang lain, tetapi tidak pernah kita berikan. Gagal dan banyaknya korban materi untuk rakyat, adalah bahasa langit untuk memaksa hamba-Nya, agar bersedia mengeluarkan hartanya untuk orang lain, yang selama ini di tahan di dalam rumah. Mengutip Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi ; yang seharusnya kita bangkitkan adalah, bagaimana kita bersiap diri untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan bersiap diri untuk menerima sebanyak-banyaknya. Ketiga; kerugian berkorban materi untuk rakyat pada masa kampaye, bukanlah menjadi sesuatu yang merugikan. Mengapa harus merasa rugi berbuat baik pada masa kampaye? Toh, ketika kita lahir juga telanjang. Maka, menjadikan pengorbanan dan kegagalan caleg untuk kembali pada ketelanjangan rohani di hadapan Tuhan, akan menjadi lebih berarti ketimbang sekadar

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

63

keluhan dan penyesalan. Ketika kebaikan dan pengorbanan di-ikhlaskan sebagaimana kita membuang air besar (tidak diingat dan tidak disebut-sebut), maka kebaikan itu akan menjadi istana surga, melebihi dari sekadar kedudukan sebagai anggota parlemen. Ketiga; bagi yang lolos menjadi anggota dewan, Tuhan sedang memberi tugas kepada mereka menjadi panitia bumi di parlemen, untuk ikut mengelola negara dan mewakili rakyat. Ketika nanti anggota dewan tidak memegang amanat, maka suatu ketika Tuhan dengan secepat kilat akan segera memecat panitia di parlemen dengan membenturkan mereka pada kasus korupsi, pembakalan hutan, suap menyuap tender dan lain sebagainya. Melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tuhan akan mamanjangkan tangan-Nya di bumi. Demikianlah, bahasa Tuhan untuk mempertemukan kembali seorang hamba yang lupa amanat, agar kembali ke pangkuan-Nya. Oleh sebab itu, apapun hasil dari semua perjalanan kampaye pada pemilu dan pilkada, berhasil atau gagal sebaiknya dihadapi dengan kecintaan kepada Sang Maha Pencipta. Sehingga baik dan buruk dari hasil jerih payah, bukan membuat lalai dengan amanat-Nya, tetapi mengantarkan kita pada ketaatan dan kedekatan, bukan pengingkaran pada Tuhan. Kita mempunyai kewajiban untuk terus berjuang, berdoa dan berihtiar, tetapi soal hasil akhir, kapan, dimana, jumlahnya berapa, itu bukan urusan kita.**

BTN Karang Asam Tanjung Enim, 17 April 2009

Teologi Situ Gintung Tangisan warga korban Situ Gintung (2009), hingga kini masih terngiang. Bukan hanya di telinga dan mata kita, melainkan lebih dalam lagi di batin kita. Ada banyak hal yang kemudian dapat menjadi petikan pelajaran bagi kita, untuk memahami simbol-simbol dari langit, yang bukan saja dipahami secara syariat tetapi juga hakikat. Tujuannya, agar dengan peristiwa Situ Gintung bukan membangkitkan prasangka buruk pada ‘langit’ tetapi sebaliknya dapat menguatkan sikap berketuhanan kita (teologi). Paling tidak, ada beberapa catatan yang patut menjadi renungan. Pertama; melalui peristiwa yang menelan korban ratusan nyawa itu, membangkitkan kesadaran, bahwa dibalik tampilan fisik dunia, yang dihitung dengan logika dan sebab akibat, ada kekuatan lain (kegaiban) yang wajib kembali dipercayai. Dan itu yang mungkin selama ini sedang terlupakan. Kedua, musibah Situ Gintung adalah sebuah skenario besar dari langit untuk mengembalikan manusia agar kembali mengenal kegaiban-Nya yang selama dalam kurun waktu tertentu terlibas oleh kesibukan materi, sehingga nilai-nilai Ilahiyah lenyap dari getaran hati dan ruang batin kita. Inilah pesan dari langit, bukan saja bagi korban Situ Gintung, tetapi juga bagi semua manusia yang mampu menangkap pesan ghoib dari peristiwa ini. Ketiga; petaka menjelang fajar itu, menjadi bagian dari solidaritas Tuhan pada manusia. Betapa sikap manusia zaman kini sudah sedemikian ego, sudah sedemikian individualistik, sehingga untuk menciptakan kebersamaan, Tuhan harus mengutus malaikat untuk membongkar tanggul Situ Gintung. Dengan jebolnya tanggul Situ Gintung, secara spontanitas muncul semangat solidaritas antara satu sama lain. Ada keinginan saling berbagi, saling tolong, yang mungkin

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

64

sebelum ada peristiwa Situ Gintung kita memilih mengumandangkan ego untuk kemudian tidak saling berbagi. Merasa bahwa harta dan benda, atau nyawa seolah milik kita. Sehingga kita acapkali memegang materi dengan ke-akuan kita, bukan untuk penebar manafaat. Dengan berbagai sikap inilah, sehingga Tuhan tengah memaksa kita untuk saling berbagi, dengan menciptakan musibah Situ Gintung. Keempat; musibah Situ Gintung untuk mengajari hamba-Nya agar kembali pada kesadaran kolektif, bukan kesadaran individualistik. Kesadaran antar sesama untuk saling memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk saling memberi dan menyadarkan setiap hamba untuk tidak sombong antar sesama. Betapa tidak? Saat ini ada sekitar 600-an lebih warga yang berada dalam pengungsian. Dan sebagian diantara mereka adalah keluarga elit dan berkecukupan. Sekarang, dengan tidur di ruang-ruang darurat seadanya. Masih pantaskah kesombongan diri atas kepemilikian duniawi yang melimpah ruah mereka katakan dapat menolong? Lantas mana jabatan dan kewenangan yang mereka miliki? Ketika musibah datang, tak ada pembedaan perlakukan yang dilakukan Tuhan antara pejabat dengan penjahat. Antara si kaya dan si miskin. Antara penguasa dan yang dikuasai. Semua dihempas oleh banjir bandang yang datang tiba-tiba. Kelima; tumpahnya air sekitar 2 juta kubik dari Situ Gintung, sebagai bentuk kecintaan Tuhan terhadap hamba-Nya. Dengan peristiwa ini, sebagian umat yang terkena musibah tengah dimanusiakan. Sebab tidak ada manusia yang tidak mengalami musibah dan kesedihan. Bila sebagian manusia hanya berkeinginan untuk sehat, senang dan tanpa mengalami musibah, sama halnya manusia ingin menjadi malaikat. Tetapi Tuhan tetap saja Tuhan Sang penguasa Alam. Ia menginginkan agar hambanya tetap menjadi hamba (manusia) dan bukan menjadi malaikat. Dengan memberi musibah inilah, Tuhan sedang menyadarkan status kemanusiaan dan kehambaan sebagian umat, agar kembali sadar terhadap tugasnya; menjalani perintah-Nya sebagai hamba. Keenam; di tengah hiruk pikuknya dunia, sebagian hamba sering terlupa menyebut asma Tuhan. Mengucap ‘alhamdulillah’ sehabis membuang air kecil dan air besar saja, acap kali kita abaikan. Dan ketika kelalaian hamba sampai di puncak kenikmatan duniawi, Tuhan menebar pesona dengan menggelontorkan jutaan kubik air, lalu sebagian hamba berteriak memanggil nama Tuhan. Ya. Allah. Astaghfirullah. Sungguh! Dalam genangan air yang telah menelan harta benda duniawi Tuhan sedang membangkitkan kembali kecintaan sebagian hamba-Nya. Nama Tuhan selama ini sudah terselip diantara hingar bingarnya kecintaan dunia, sehingga sebagian hamba lupa dengan kecintaannya terhadap Sang Pencipta. Panggilan cinta itu kini kembali menyeruak melalui Situ Gintung. Ketujuh; jebolnya tanggul Situ Gintung yang sejak zaman Belanda tidak meggeliat mengingatkan kita pada peristiwa, ketika Musa ingin belajar pada Nabi Khidir. Ketika Khidir membocori perahu dan membuang beberapa papannya ke laut. Musa pun protes! Di kali lain, Khidir kemudian membunuh anak kecil pada sebuah kebun yang dimata Musa tidak punya salah apapun. Dan di saat lain, Khidir juga membangun rumah reot di kampung yang dihuni kaum bahil. Protes Musa terhadap perilaku Khidir karena Musa tidak memiliki data-data ghoib yang dimiliki Khidir. Musa melihat dari kacamata syariat. Sementara Khidir memiliki pemahaman hakikat. Baru kemudian Khidir menjelaskan semuanya. Bahwa dibalik musibah justeru ada

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

65

rahmat yang besar. Pemilik perahu akan menganggap Khidir, membocori perahu suatu bencana. Tetapi sebenarnya di balik itu ada kenikmatan, yaitu; kenikmatan yang akan diketahui setelah terjadinya peperangan di laut, dimana seorang raja akan merampas semua perahu-perahu, lalu membiarkan perahu yang rusak. Dengan cara Khidir melobangi dan merusak perahu justeru menyelamatkan bekal para penumpang dari rampasan raja lalim yang hendak menghadangnya. Demikian juga ketika Khidir membunuh anak kecil. Sebagian orang menganggap membunuh anak kecil secara syariat menjadi musibah. Tetapi dalam hakikat, kematiannya membawa rahmat bagi mereka, karena Tuhan dikemudian hari akan menggantinya dengan anak shaleh yang dapat melindungi dan memelihara keluarga mereka pada saat mereka menginjak usia dewasa. Musibah Situ Gintung menjadi bagian dari fragmen dunia yang sebagian orang akan menganggap peristiwa itu adalah laknat. Tetapi olah pikir yang demikian itu sebaiknya kita putar, sehingga peristiwa itu bukan sebagai laknat tetapi justeru menjadi rahmat dan kenikmatan, yaitu segumpal kenikmatan yang hanya bisa dipahami dengan keyakinan (hakikat). Kebijakan-kebijakan langit yang secara lahiriyah sering diterjemahkan sebagian umat sebagai tindak kekerasan Tuhan, justeru menyimpan hakikat tersembunyi berupa rahmat dan kasih sayang. Demikianlah, aspek lahiriah sering bertentangan dengan akal sehat manusia. Tetapi sebenarnya disitulah ada pesan batiniyah yang sebenarnya tengah dibentangkan Tuhan kepada setiap manusia. Hal inilah yang sering tidak kita ketahui, sebagaimana Musa yang tidak melihat hakikat tindakan yang dilakukan Nabi Khidir.**

BTN Karang Asam Tanjung Enim, 3 Maret 2009

Antasari dan Pemeliharaan Tuhan

Decak kagum dan tepuk riuh dari warga anti korupsi, seketika berubah menjadi heran, penasaran dan gundah, atau bahkan tidak percaya ketika Antasari Azhar, pentolan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu terseret dalam kasus dugaan pembunuhan Nasrudin, Direktur PT Rajawali Banjaran. Terlebih dugaan keterlibatan Antasari hanya dilatari oleh urusan celah sepele diantara dua paha—meminjam istilah Emha Ainun Nadjib. Tetapi bagi para koruptor, tertangkapnya Antasari menjadi angin surga. Seolah mesin penggerak pemberantas korupsi itu sebentar lagi akan habis masa bhaktinya usai terkurung di terali besi, untuk kemudian para koruptor dapat melenggang kembali tanpa harus ketakutan terhadap sepak terjang Antasari di KPK. Tetapi, apapun hasil akhir dari proses hukum dalam kasus ini, paling tidak beberapa petikan mutiara yang dapat menjadi bahan renungan. Bukan saja bagi keluarga Antasari, Nasrudin, tetapi juga bagi kita, sebagai anak bangsa yang sudah pasti menolak korupsi. Kali ini menimpa Antasari, boleh jadi, kasus serupa sangat mungkin akan menimpa keluarga kita, meski dalam bentuk, ruang dan waktu yang berbeda.

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

66

Pertama; Memuliakan nilai manusia. Ketika Tuhan menciptakan iblis dan syetan di muka bumi, bukan serta merta sebagai bentuk ketidakinginan Tuhan terhadap kebaikan sifat dan watak manusia di bumi. Justeru sebaliknya, penciptaan iblis dan syetan sebagai bentuk rahman dan rahim-Nya agar manusia kembali pada kemuliaan. Analoginya, satu gol dalam pertandingan sepak bola akan dapat bernilai sepatu emas, bila tim sepak bola berhadapan dengan lawan. Apalah artinya sebelas gol, bila satu tim tidak dihadapkan dengan lawan main. Apalah artinya perjuangan Antasari memberantas korupsi bila tidak dihadapkan pada lawan-lawannya. Tinggal pilihan, siapa yang akan lebih kuat. Iblis dan syetan yang kemudian menjatuhkan manusia dalam kubangan dosa, atau sebaliknya manusia yang akan tetap mempertahankan dirinya sebagai penduduk sorga dalam kemuliaan? Kasus yang menimpa Antasari, dapat menjadi bagian rahman dan rahimnya Tuhan, bila kasus ini kemudian dipahami dalam kacamata hakikat. Sehingga ada secercah keyakinan, bahwa saat ini Antasari tengah akan dimuliakan Tuhan, atau minimal sedang diajak berkomunikasi, sebagai proses penyadaran bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi bukan lantaran keberanian KPK semata-mata, melainkan ada peran gaib sebesar 0,001 persen dari langit, yang mungkin selama ini terabaikan. Kedua; Mudharat dan Manfaat. Ketika Nabi Khidir membunuh anak kecil di sebuah kebun, banyak warga yang menghujat, termasuk Musa. Ini terjadi karena sebagian dari mereka tidak memiliki data gaib secara hakikat. Tetapi ketika kemudian Tuhan berjanji akan mengganti anak yang dibunuh dengan generasi shaleh yang memelihara keluarga di kemudian hari, sebagian orang baru menyadari bahwa terbunuhnya anak kecil di tangan Khidir, menebar manfaat. Sebab bila dibiarkan hidup, kelak anak kecil itu akan banyak membawa banyak mudharat bagi umat manusia. Tanpa bermaksud menyamakan anak kecil dengan Nasrudin, tetapi kematian tetap saja kematian. Tanpa adanya dugaan keterlibatan Antasari sekalipun, kematian Nasrudin memang harus jatuh pada taqdir. Kontrak hidup Nasrudin sudah jatuh tempo. Jadi bukan lantaran dugaan cinta segitiga Rani, Nasrudin dan Antasari, yang kemudian membuahkan kamatian. Tetapi didalam kematian setiap mahluk menyimpan banyak manfaat dan mudharat. Oleh sebab itu, yang seharusnya dikaji bukan kematian itu sendiri, melainkan penyebab kematian itu yang harus diteliti, sehingga secara hakikat setiap kita akan mendapat petikan mutiara yang kelak dapat memberi pencerahan rohani, bukan berbalik membangkitkan keangkuhan, kebencian dan dendam berkepanjangan. Dengan kesadaran ini, minimal dapat membangkitkan ketenangan batin, bahwa dikemudian hari Nasrudin akan diganti generasi baru yang di masa mendatang dapat mendatangkan manfaat lebih banyak bagi keluarga yang ditinggal, sebagaimana peristiwa Khidir. Ketiga ; Kesadaran Spiritual. Acapkali, peristiwa bumi selalu dianggap lepas dari ketentuan langit. Kemudian dari kebanyakan manusia melihat setiap kejadian dalam perspektif sebab dan akibat (kausalitas). Kemiskinan data gaib yang kita miliki inilah yang menciptakan cara pandang kita menjadi sangat materialis, sehingga semua peristiwa bumi hanya dipandang dalam sudut syariat (hukum dunia).

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

67

Saya ingin mengatakan, tanpa duduk di KPK sekalipun, atau tanpa keterlibatan Antasari dalam konteks cinta segitiga, peristiwa ini sudah menjadi skenario besar dari langit. Masalahnya kemudian adalah, bagaimana setiap peristiwa di bumi Tuhan dapat menjadi pijakan pikiran dan batin kita, untuk kemudian membangkitkan kesadaran spiritualitas, lalu meyakinkan kembali terhadap nilai-nilai syahadat yang selama ini lebih banyak dikungkung pandangan duniawi, yang cenderung melihat segala persoalan dunia dalam perspektif materialis. Ketiadaan kesadaran batin kita (hakikat), acapkali membuat kita tidak menerima kekalahan dan kematian sekalipun. Keempat, Pemeliharaan dan Penyelamatan. Ketika Antasari digiring ke terali, muncul kebencian, dendam dari keluarga Nasrudin. Atau ada tepuk riuh dari para koruptor karena monster anti korupsi itu sudah tertangkap. Ada pula kegundahan pada diri Rani dan Sigit, sebagai sosok yang diduga mendanai pembunuhan. Apapun kasus dan skenario di balik ini, sekali lagi saya katakan, pasti ada pesan ghaib yang manusia tidak banyak mengetahuinya. Melihat ini semua tentu tidak harus dalam kacamata dlohiriyah tetapi batiniyah. Bukan dengan pandangan materi dunia tetapi dengan keyakinan dan kepercayaan (keimanan). Sebab hanya dengan pandangan keyakinan (tauhid) inilah, semua peristiswa dunia menjadi buah rahmat Tuhan, bukan malah dipandang laknat dan kemurkaan. Bagi Antasari, Nasrudin dan Rani, bila dugaan adanya cinta segitiga memang benar adanya, justeru dengan peristiwa ini Tuhan tengah memelihara ketiganya untuk tidak terlarut dalam persengketaan asmara yang kian memanjang. Bagaimana tidak? Kalau kemudian kasus ini tidak mencuat ke permukaan, maka konflik cinta segitiga ini akan terus berlanjut. Orang pertama yang akan tersakiti adalah isteri Antasari. Sementara isteri Antasari adalah mahluk ciptaan yang tidak layak disakiti. Menyakiti mahluk ciptaan sama halnya menyakiti yang menciptakan mahluk. Tuhan secara langsung atau tidak tengah menyayangi ketiganya, sehingga Tuhan katakan : cukup sampai disini!. Bagi penyandang dana, otomatis menjadi kebijakan Tuhan yang sedang melakukan pencabutan SK kepanitiaan Sigit sebagai donatur tetap di bumi. Kalau memang dana itu diperuntukkan pendanaan pembunuhan Nasrudin, berarti Sigit tengah memanfaatkan amanat tidak sesuai SK dari langit. Uang yang seharusnya dapat menebar manfaat, tetapi kemudian digunakan untuk mendanai (kalau ini benar) proses eksekusi mati Nasrudin, sama halnya menyakiti mahluk ciptaan. Bukankah Sigit juga sedang menyakiti Sang Pencipta mahluk? Dengan terbongkarnya kasus ini, Sigit sedang dipertemukan kembali keharibaan Tuhan, pun demikian halnya Nasrudin, Rani dan pelaku eksekutor. Ini semua bukan kemurkaan dan laknat, tetapi justeru menjadi pemeliharaan bagi semua yang mungkin terlibat dalam kasus ini, sehingga melalui peristiwa ini dapat menjadi proses pengembalian mahluk untuk mendatangi dan menyebut lagi asma-asma Tuhan yang selama ini mungkin terselip diantara lipatan syahwat dunia. Ini adalah kebijakan langit, untuk kemudian tinggal semua yang tengah diduga terlibat untuk kemudian menunggu kebijakan baru. Apapun kebijakan itu, baik atau buruk di mata mahluk, pasti yang terbaik di mata Tuhan.**

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

68

BTN Karang Asam, Tanjung Enim, 8 Mei 2009

halaman AKHIR

Semoga goresan tinta yang tertuang dapat mendorong Saya, Anda dan kita untuk menuju kemuliaan yang sejati.

Sampai Jumpa

Di Revolusi HATI untuk NEGERI edisi Ke-2

Salam Revolusi Hati!

eBook Motivasi Spiritual Moderen

REVOLUSI HATI untuk NEGERI – IMRON SUPRIYADI

69

COVER BELAKANG