14
A.Pendahuluan Tasawuf, sebagai amalan keagamaan yang praktis, dimaksudkan untuk mencapai derajat taqwa yang tertinggi. Para sufi telah merumuskan ajaran tasawuf yang berakar dari ajaran islam. Jalan (Thariqoh) yang ditempuh berbeda-beda sesuai dengan garis ajaran guru, kultur, dan konteks social yang melingkupinya. Perbedaan itulah yang melatarbelakangi kehidupan para sufi melahirkan macam- macam aliran tasawuf dengan penekanan ajaran yang berbeda pula. 1 Seperti Ibn ‘Arabi yang berpendapat bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurutnya setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek dalam dan luar. Aspek luar disebut makhluk dan aspek dalam disebut Tuhan.Aspek yang ada adalah Aspek dalam yaitu Tuhan dan aspek luar merupakan bayangan dari aspek dalam. Karena itu menurutnya perbedaan antara makhluk dan Tuhan hanyalah pada rupa dan ragam, sedangkan hakikatnya sama. 2 Juga Al-Jilli yang berpandangan bahwa yang ada ini adalah tunggal, semua perbedaan hakikatnya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. 3 Dan masih banyak lagi perbedaan yang tidak mungkin penulis jelaskan semuanya. Terlepas dari perbedaan itu, manusia sesungguhnya membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual untuk kesejukan 1 Dr. H.M. Jamil, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Referensi), hal. 2 Ibid. 133 3 Ibid, hal.138-139.

Tasawuf amali dan falsafi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tasawuf amali dan falsafi

A. Pendahuluan

Tasawuf, sebagai amalan keagamaan yang praktis, dimaksudkan untuk

mencapai derajat taqwa yang tertinggi. Para sufi telah merumuskan ajaran tasawuf

yang berakar dari ajaran islam. Jalan (Thariqoh) yang ditempuh berbeda-beda sesuai

dengan garis ajaran guru, kultur, dan konteks social yang melingkupinya. Perbedaan

itulah yang melatarbelakangi kehidupan para sufi melahirkan macam-macam aliran

tasawuf dengan penekanan ajaran yang berbeda pula.1

Seperti Ibn ‘Arabi yang berpendapat bahwa manusia dan Tuhan pada

hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurutnya setiap sesuatu yang ada memiliki

dua aspek, yaitu aspek dalam dan luar. Aspek luar disebut makhluk dan aspek dalam

disebut Tuhan.Aspek yang ada adalah Aspek dalam yaitu Tuhan dan aspek luar

merupakan bayangan dari aspek dalam. Karena itu menurutnya perbedaan antara

makhluk dan Tuhan hanyalah pada rupa dan ragam, sedangkan hakikatnya sama.2

Juga Al-Jilli yang berpandangan bahwa yang ada ini adalah tunggal, semua

perbedaan hakikatnya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah)

dari realitas tunggal tersebut.3 Dan masih banyak lagi perbedaan yang tidak mungkin

penulis jelaskan semuanya.

Terlepas dari perbedaan itu, manusia sesungguhnya membutuhkan sentuhan-

sentuhan spiritual untuk kesejukan dan kedamaian hati. Manusia memang rindu

kepada Kekasihnya yang Tunggal.4 Oleh karena itulah penulis memandang perlunya

mempelajari aliran-aliran Tasawuf. dengan harapan dapat menemukan jalan yang

terbaik untuk mengenal Tuhan dan memahami lebih jauh tentang aliran-aliran

Tasawuf dalam islam.

1 Dr. H.M. Jamil, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Referensi), hal. 2 Ibid. 1333 Ibid, hal.138-139.4 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 16

Page 2: Tasawuf amali dan falsafi

B. PEMBASAHAN

TASAWUF AMALI

Tasawuf Amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri

kepada Allah. Ini identik dengan Tarekat, sehingga bagi mereka yang masuk tarekat akan

memperoleh bimbingan semacam itu.

Tasawuf Amali yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan

diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, Tasawuf Amali berkonotasikan tarekat. Tarekat

dibedakan antara kemampuan sufi yang satu dari pada yang lain, ada orang yang

dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang

memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan

terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham, dan dari sini munculah strata-

strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka

muncullah istilah Murid, Mursyid, wali, dan sebagainya.

Dalam Tasawuf Amali mempunyai aturan, prinsip, dan sistem khusus. Semua hanya

merupakan jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat

mungkin dengan Tuhan, lama-kelamaan berkembang menjadi organisasi sufi yang

melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya disistematisasi sedemikian rupa

sehingga masing-masing tarekat mempunyai metode sendiri-sendiri.

Dalam tarekat ada tiga unsur, yakni guru (Mursyid), murid dan ajaran.guru adalah

orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya

dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dia

mempunyai keistimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih. Dalam buku Tanwirul al-

Qulub fi Mu’amalati ‘Allami al-Ghuyub sebagaimana yang dinukil oleh Abu Bakar Aceh

bahwa seorang Mursyid, adalah orang yang telah suluk, syari’ah dan hakikatnya sesuai

dengan ajaran Islam, dan telah mendapat ijazah untuk mengajarkan suluk kepada orang

lain. sedang murid adalah orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam

amal ibadahnya.

Page 3: Tasawuf amali dan falsafi

Dalam tasawuf, pendalaman dan pengamalan aspek batin adalah yang paling utama

dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriyah yang dimotifasikan untuk membersihkan jiwa.

Kebersihan jiwa yang dimaksud adalah hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-

hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi.

2.1. Tokoh-tokoh Tasawuf Amali

a. Junaid Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-

nihawandi. Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi

yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara

mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Al-Junaid memberikan pengertian

tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain

Allah. Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan

mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid

disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala

sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam

sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan

perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.

b. Al-Qusyairy

Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin

Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan

para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah

yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut

sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy

cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia

juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan

Syi’ah.

c. Al-Harawi

Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di

atas doktrin Ahl al-Sunnah. Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah

Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin, dia menguraikan tingkatan-tingkatan

rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai

Page 4: Tasawuf amali dan falsafi

awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa

tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti

halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan

awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-

Sunnah”.

Dalam kedudukannya sebagai seorang penganut paham sunni, al-harawi

melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-

ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-

ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harawi berbicara tentang maqam ketenangan

(sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan:

“peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul

dari perasaan ridha atas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bisa mencegah

ucapan aneh yang menyesatkan; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada

batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan

itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.

Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki

ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang aneh.

Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari

ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu

akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan

tersebut.

d. Ibn Athaillah as Sakandary

Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),

dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki

serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih

membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat.

Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam,

kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid

tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan

Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya

Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode

madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru

Page 5: Tasawuf amali dan falsafi

pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa

Syaikhibi Abil Hasan.

e. Haris al-Muhasibi

Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah.

Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia

memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah

tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis

sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan

spiritual.

f. Abdul Qadir Al Jilani

Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia

mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut

sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al

Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena

janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku

karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).

TASAWUF FALSAFI

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis

dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf amali, tasawuf falsafi menggunakan

terminologi filosofis dalam mengungkapkannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari

bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. 5

Ajaran tasawuf falsafi bersifat samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya

dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak

dapat dipandang filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (Dzauq), tetapi

tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena

ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.6 Hal yang senada pula ditegaskan oleh

5 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 1716 Ibid, hlm. 172

Page 6: Tasawuf amali dan falsafi

Hamka, yang menyatakan bahwa tasawuf ini tidak sepenuhnya tasawuf dan juga tidak

sepenuhnya dikatakan filsafat.7

Tasawuf falsafi memiliki beberapa karakteristik secara khusus, diantaranya :

Pertama, banyak konsepsi pemahaman ajarannya yang menggabungkan antara

pemikiran raasional-filosofis dan perasaan. Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering

mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan

interpretasi dan ungkapan yang samar dan sulit dipahami orang lain.

Kedua, mendasarkan ajarannya pada pelatihan-pelatihan yang bersifat rohaniyah

(riyadhah), yang dimaksudkan untuk meningkatkan moral, yakni mencapai kebahagiaan

hakiki.

Ketiga, Memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat

realitas, yang menurut penganutnya bias dicapai dengan fana.

Keempat, para penganut tasawuf ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang

hakikat realitas dengan berbagai symbol atau terminologi.

Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf jenis lainnya.

Dalam hal ini, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya

Al-Muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para

sufi filosof 8.

Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul

darinya. Mengenai latihan rohaniyah dengan tahapan (maqom) maupun keadaan (hal)

rohaniyah serta rasa (dzauq), sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni sebab

masalah tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.

Kedua, menggairahkan ruh dengan jalan menggiatkan dzikir. Karena dengan dzikir,

jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas hingga yang tersingkap dari alam ghaib.

Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap

berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.

Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar,

yang melahirkan interprestasi yang berbeda-beda.

Jika dalam tasawuf sunni mengenal ma’rifah sebagai maqam yang tertinggi yang

dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan kalbu, dalam

7 Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas : Jakarta, 1986, hlm 768 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 172-173

Page 7: Tasawuf amali dan falsafi

tasawuf falsafi dikatakan bahwa jika manusia dapat melewati maqam tersebut, manusia dapat

naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan.9

2.2. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi

a. Abu Yazid al-Bustami

Abu Yazid al-Bustami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan

tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan; suatu

tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga

salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata:”Hai

Aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan

dikarenakan fana’-nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan

nama Tuhan. Di antara syathahiyyat diungkapkan oleh al-Busthami ialah: “Tiada

Tuhan selain dari Aku, maka sembahlah Aku”. “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku,

Alangkah Maha Agungnya keadaan-ku”. “Tidak ada sesuatu dalam bajuku ini

kecuali Allah”.

Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada

konsepsi ‘kesatuan wujud’ atau ‘union mistisism’, dimana inti ajarannya adalah

bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya,

yaitu Tuhan. Satu-atunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan yang

merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia adalah bayangan

yang keberadaannya tergantung wujud Tuhan, sehingga realitas wujud ini

hakikatnya tunggal. Sedangkan antara hakikat dengan yang nampak aneka terlihat

ada perbedaan, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan hakikinya adalah akibat

yang timbul dari keterbatasan akal budi. Jadi adanya keberagaman tidak lain

hanyalah hasil pencerapan indrawi dan penalaran akal budi yang terbatas dan

ketidak mampuan memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Jadi mereka

berpendapat bahwa alam ini dimana di dalamnya terdapat manusia dan makhluk

dan atau benda-benda lainnya merupakan radiasi dari ‘hakikat Ilahi’. Dalam diri

manusia terdapat unsur-unsur ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran Nur

Ilahi (Cahaya Tuhan) seperti pancaran cahaya matahari.

b. Al-Hallaj

9

Page 8: Tasawuf amali dan falsafi

al-Hallaj dengan ajaran al-Hulul, yaitu suatu paham yang mengatakn bahwa

Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di

dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu

dilenyapkan. Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni

unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsur lahut (ketuhanan) karena itu persatuan

Tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulu.

Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyyat sebagaimana diungkapkan oleh al-

Busthami, seperti: “Aku adalah yang Haq”. Karena ungkapannya yang dianggap

menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan berkomplot dengan Syi’ah

Qaramithah, maka dia dijebloskan kedalam putusan pengadilan fuqaha’ yng

sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia dijatuhi

hukum mati.

c. Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi mengembangkan teori wahdatul wujud. Tuhan bagi sufi dipahami

sebagai dzat yang Esa yang mendasari seluruh peristiwa prinsip ini membawa

konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan,

maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia dipandang

sebagai emanasi yang berkembang daripada-Nya, tanpa mengganggu keesaan-

Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari ataukah ia berlaku seperti cermin

yang dengannya sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para

sufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas. Dengan analisis seperti ini,

maka hasil yang diperoleh oleh para sufi falsafi adalah sesuatu yang wajar dan

suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan Ilmu Kalam,

adalah jelas hal tersebut dianggap sesuatu yang menyimpang, karena antara kholiq

dan makhluq, antara ‘abid dan Ma’bud tidak bisa disatukan.

d. Al-Jilli

Al-Jilli (W. 832 H) juga mengemukakan pendapatnya bahwa upaya manusia

melalui Ma’rifat untuk mendekati Tuhan akan mampu dicapai sampai kepada

hakikat jati dirinya, yang disebut ‘insan kamil’. Konsep al-jilli adalah insan kamil

yaitu nukhsoh atau copy tuhan, Tuhan memiliki sifat pandai, berkehendak,

mendengar dan sebagainya. Manusiapun memiliki sifat tersebut, dari konsep ini ia

berusaha memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia adalah insan kamil

Page 9: Tasawuf amali dan falsafi

dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama

illahi.Sama dengan al-arabi karekteristik ajarannya lebih mengedepankan akal.

e. Sabi’in

Ibn Sabi’in terkenal dengan fahamnya yaitu kesatuan mutlak yang menempatkan

ketuhanan pada tempat pertama, sebab wujud Allah menurutnya adalah asal

segala yang ada. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukkan pada

wujud mutlak. Pemikirannya ini dirujuk dengan dalil al-qur’an, yang

diinterprestasikan secara khusus dan terkadang ia memperkuatnya dengan hadis

nabi saw.

f. Ibnu Massarah

Ia menganut faham emanasi yaitu tingkatan-tingkatan wujud yang memancar dari

Tuhan, dalam fahamnya adalah materi pertama yang bersifat rohaniah, kemudian

akal universal, diikuti dengan jiwa yang bersifat murakkab.