Upload
abdul-fauzan
View
17
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
A. Pendahuluan
Tasawuf, sebagai amalan keagamaan yang praktis, dimaksudkan untuk
mencapai derajat taqwa yang tertinggi. Para sufi telah merumuskan ajaran tasawuf
yang berakar dari ajaran islam. Jalan (Thariqoh) yang ditempuh berbeda-beda sesuai
dengan garis ajaran guru, kultur, dan konteks social yang melingkupinya. Perbedaan
itulah yang melatarbelakangi kehidupan para sufi melahirkan macam-macam aliran
tasawuf dengan penekanan ajaran yang berbeda pula.1
Seperti Ibn ‘Arabi yang berpendapat bahwa manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurutnya setiap sesuatu yang ada memiliki
dua aspek, yaitu aspek dalam dan luar. Aspek luar disebut makhluk dan aspek dalam
disebut Tuhan.Aspek yang ada adalah Aspek dalam yaitu Tuhan dan aspek luar
merupakan bayangan dari aspek dalam. Karena itu menurutnya perbedaan antara
makhluk dan Tuhan hanyalah pada rupa dan ragam, sedangkan hakikatnya sama.2
Juga Al-Jilli yang berpandangan bahwa yang ada ini adalah tunggal, semua
perbedaan hakikatnya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah)
dari realitas tunggal tersebut.3 Dan masih banyak lagi perbedaan yang tidak mungkin
penulis jelaskan semuanya.
Terlepas dari perbedaan itu, manusia sesungguhnya membutuhkan sentuhan-
sentuhan spiritual untuk kesejukan dan kedamaian hati. Manusia memang rindu
kepada Kekasihnya yang Tunggal.4 Oleh karena itulah penulis memandang perlunya
mempelajari aliran-aliran Tasawuf. dengan harapan dapat menemukan jalan yang
terbaik untuk mengenal Tuhan dan memahami lebih jauh tentang aliran-aliran
Tasawuf dalam islam.
1 Dr. H.M. Jamil, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Referensi), hal. 2 Ibid. 1333 Ibid, hal.138-139.4 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 16
B. PEMBASAHAN
TASAWUF AMALI
Tasawuf Amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri
kepada Allah. Ini identik dengan Tarekat, sehingga bagi mereka yang masuk tarekat akan
memperoleh bimbingan semacam itu.
Tasawuf Amali yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, Tasawuf Amali berkonotasikan tarekat. Tarekat
dibedakan antara kemampuan sufi yang satu dari pada yang lain, ada orang yang
dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang
memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan
terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham, dan dari sini munculah strata-
strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka
muncullah istilah Murid, Mursyid, wali, dan sebagainya.
Dalam Tasawuf Amali mempunyai aturan, prinsip, dan sistem khusus. Semua hanya
merupakan jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat
mungkin dengan Tuhan, lama-kelamaan berkembang menjadi organisasi sufi yang
melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya disistematisasi sedemikian rupa
sehingga masing-masing tarekat mempunyai metode sendiri-sendiri.
Dalam tarekat ada tiga unsur, yakni guru (Mursyid), murid dan ajaran.guru adalah
orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya
dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dia
mempunyai keistimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih. Dalam buku Tanwirul al-
Qulub fi Mu’amalati ‘Allami al-Ghuyub sebagaimana yang dinukil oleh Abu Bakar Aceh
bahwa seorang Mursyid, adalah orang yang telah suluk, syari’ah dan hakikatnya sesuai
dengan ajaran Islam, dan telah mendapat ijazah untuk mengajarkan suluk kepada orang
lain. sedang murid adalah orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam
amal ibadahnya.
Dalam tasawuf, pendalaman dan pengamalan aspek batin adalah yang paling utama
dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriyah yang dimotifasikan untuk membersihkan jiwa.
Kebersihan jiwa yang dimaksud adalah hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-
hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi.
2.1. Tokoh-tokoh Tasawuf Amali
a. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-
nihawandi. Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi
yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Al-Junaid memberikan pengertian
tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain
Allah. Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan
mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid
disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala
sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam
sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan
perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
b. Al-Qusyairy
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan
para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah
yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut
sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy
cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia
juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan
Syi’ah.
c. Al-Harawi
Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di
atas doktrin Ahl al-Sunnah. Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah
Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin, dia menguraikan tingkatan-tingkatan
rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai
awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa
tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti
halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan
awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-
Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorang penganut paham sunni, al-harawi
melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-
ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-
ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harawi berbicara tentang maqam ketenangan
(sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan:
“peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul
dari perasaan ridha atas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bisa mencegah
ucapan aneh yang menyesatkan; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada
batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan
itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.
Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki
ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang aneh.
Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari
ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
d. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),
dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki
serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih
membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat.
Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam,
kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid
tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan
Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya
Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode
madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru
pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa
Syaikhibi Abil Hasan.
e. Haris al-Muhasibi
Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah.
Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia
memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah
tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis
sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan
spiritual.
f. Abdul Qadir Al Jilani
Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia
mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut
sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al
Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena
janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku
karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf amali, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam mengungkapkannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. 5
Ajaran tasawuf falsafi bersifat samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya
dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak
dapat dipandang filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (Dzauq), tetapi
tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.6 Hal yang senada pula ditegaskan oleh
5 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 1716 Ibid, hlm. 172
Hamka, yang menyatakan bahwa tasawuf ini tidak sepenuhnya tasawuf dan juga tidak
sepenuhnya dikatakan filsafat.7
Tasawuf falsafi memiliki beberapa karakteristik secara khusus, diantaranya :
Pertama, banyak konsepsi pemahaman ajarannya yang menggabungkan antara
pemikiran raasional-filosofis dan perasaan. Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering
mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan
interpretasi dan ungkapan yang samar dan sulit dipahami orang lain.
Kedua, mendasarkan ajarannya pada pelatihan-pelatihan yang bersifat rohaniyah
(riyadhah), yang dimaksudkan untuk meningkatkan moral, yakni mencapai kebahagiaan
hakiki.
Ketiga, Memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat
realitas, yang menurut penganutnya bias dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang
hakikat realitas dengan berbagai symbol atau terminologi.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf jenis lainnya.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya
Al-Muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para
sufi filosof 8.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya. Mengenai latihan rohaniyah dengan tahapan (maqom) maupun keadaan (hal)
rohaniyah serta rasa (dzauq), sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni sebab
masalah tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.
Kedua, menggairahkan ruh dengan jalan menggiatkan dzikir. Karena dengan dzikir,
jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas hingga yang tersingkap dari alam ghaib.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar,
yang melahirkan interprestasi yang berbeda-beda.
Jika dalam tasawuf sunni mengenal ma’rifah sebagai maqam yang tertinggi yang
dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan kalbu, dalam
7 Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas : Jakarta, 1986, hlm 768 Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag & Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm. 172-173
tasawuf falsafi dikatakan bahwa jika manusia dapat melewati maqam tersebut, manusia dapat
naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan.9
2.2. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi
a. Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan
tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan; suatu
tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata:”Hai
Aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan
dikarenakan fana’-nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan
nama Tuhan. Di antara syathahiyyat diungkapkan oleh al-Busthami ialah: “Tiada
Tuhan selain dari Aku, maka sembahlah Aku”. “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku,
Alangkah Maha Agungnya keadaan-ku”. “Tidak ada sesuatu dalam bajuku ini
kecuali Allah”.
Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada
konsepsi ‘kesatuan wujud’ atau ‘union mistisism’, dimana inti ajarannya adalah
bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya,
yaitu Tuhan. Satu-atunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan yang
merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia adalah bayangan
yang keberadaannya tergantung wujud Tuhan, sehingga realitas wujud ini
hakikatnya tunggal. Sedangkan antara hakikat dengan yang nampak aneka terlihat
ada perbedaan, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan hakikinya adalah akibat
yang timbul dari keterbatasan akal budi. Jadi adanya keberagaman tidak lain
hanyalah hasil pencerapan indrawi dan penalaran akal budi yang terbatas dan
ketidak mampuan memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Jadi mereka
berpendapat bahwa alam ini dimana di dalamnya terdapat manusia dan makhluk
dan atau benda-benda lainnya merupakan radiasi dari ‘hakikat Ilahi’. Dalam diri
manusia terdapat unsur-unsur ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran Nur
Ilahi (Cahaya Tuhan) seperti pancaran cahaya matahari.
b. Al-Hallaj
9
al-Hallaj dengan ajaran al-Hulul, yaitu suatu paham yang mengatakn bahwa
Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di
dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu
dilenyapkan. Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni
unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsur lahut (ketuhanan) karena itu persatuan
Tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulu.
Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyyat sebagaimana diungkapkan oleh al-
Busthami, seperti: “Aku adalah yang Haq”. Karena ungkapannya yang dianggap
menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan berkomplot dengan Syi’ah
Qaramithah, maka dia dijebloskan kedalam putusan pengadilan fuqaha’ yng
sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia dijatuhi
hukum mati.
c. Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi mengembangkan teori wahdatul wujud. Tuhan bagi sufi dipahami
sebagai dzat yang Esa yang mendasari seluruh peristiwa prinsip ini membawa
konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan,
maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia dipandang
sebagai emanasi yang berkembang daripada-Nya, tanpa mengganggu keesaan-
Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari ataukah ia berlaku seperti cermin
yang dengannya sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para
sufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas. Dengan analisis seperti ini,
maka hasil yang diperoleh oleh para sufi falsafi adalah sesuatu yang wajar dan
suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan Ilmu Kalam,
adalah jelas hal tersebut dianggap sesuatu yang menyimpang, karena antara kholiq
dan makhluq, antara ‘abid dan Ma’bud tidak bisa disatukan.
d. Al-Jilli
Al-Jilli (W. 832 H) juga mengemukakan pendapatnya bahwa upaya manusia
melalui Ma’rifat untuk mendekati Tuhan akan mampu dicapai sampai kepada
hakikat jati dirinya, yang disebut ‘insan kamil’. Konsep al-jilli adalah insan kamil
yaitu nukhsoh atau copy tuhan, Tuhan memiliki sifat pandai, berkehendak,
mendengar dan sebagainya. Manusiapun memiliki sifat tersebut, dari konsep ini ia
berusaha memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia adalah insan kamil
dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama
illahi.Sama dengan al-arabi karekteristik ajarannya lebih mengedepankan akal.
e. Sabi’in
Ibn Sabi’in terkenal dengan fahamnya yaitu kesatuan mutlak yang menempatkan
ketuhanan pada tempat pertama, sebab wujud Allah menurutnya adalah asal
segala yang ada. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukkan pada
wujud mutlak. Pemikirannya ini dirujuk dengan dalil al-qur’an, yang
diinterprestasikan secara khusus dan terkadang ia memperkuatnya dengan hadis
nabi saw.
f. Ibnu Massarah
Ia menganut faham emanasi yaitu tingkatan-tingkatan wujud yang memancar dari
Tuhan, dalam fahamnya adalah materi pertama yang bersifat rohaniah, kemudian
akal universal, diikuti dengan jiwa yang bersifat murakkab.