View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TANTANGAN MODERNITAS DAN PERKEMBANGAN
SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK UMAT ISLAM
Oleh : Mukti Ali (NIM 2120102075)
A. Pengantar
Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun
diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi
keberlangsungan hidup umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu
masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang terus- menerus
berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan
bagi agama.
Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama
tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini
merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam
konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula. Tarik-menarik antara tradisi
(agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu
diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan
modernitas.
Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terdapat
berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup
dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, bersikap seimbang
dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai kebersihan dan
mengutamakan persaudaraan.( Syafaq, 2011, hal. 103)
Agama Islam lahir pada abad ke- 6 Masehi di semenanjung Arabia.
Pada awal kehadirannya, Islam mengalami hambatan kultural karena lahir di
tengah masyarakat pengembara (nomaden) dan tidak berperadaban. Namun
dalam perkembangan selanjutnya penyebaran agama Islam sangat menarik
minat para ahli sejarah. Dalam jangka waktu yang sangat singkat, sekitar 23
tahun, Islam telah dianut oleh penduduk yang mendiami ½ wilayah dunia.
Pada akhir abad ke-20 agama besar ini menjadi agama yang dipeluk oleh lebih
dari 1 milyar manusia yang tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia dan
Afrika.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup
dirangkaikan petunjuk Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia,
mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Peradaban Islam
dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas Islam dan historitas
manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman akan
selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang
disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam
di zaman modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam
merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era
modern ini.
Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat
ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia
(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami
realitas. Secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas
sosial kemanusiaan. Dalam hal ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog
secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam
partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi
penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta
alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama
pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan
otentitasnya sebagai pedoman hidup. http://dunia.pelajar
islam.or.id/dunia.pii/arsip/islam-dan-tantangan-modernitas.html (diakses pada tanggal 26
November 2012)
Makalah ini berangkat dari problem yang harus dihadapi umat Islam di
tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras
mengembangkan segala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya
dalam menghadapi dunia yang serba modern saat ini, maka selanjutnya
penulis akan membahas permasalahan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
problem tersebut, dirangkum dalam tema “Tantangan Modernitas dan
Perkembangan Sosial Budaya dan Politik Umat Islam”.
B. Kerangka Teoritis Kajian
Makalah ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan yang bersifat
deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis
persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata sejarah. Disamping itu
juga dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk menganalisa tantangan
modernitas dan perkembangan sosial budaya dan politik umat Islam.
Adapun sumber rujukan dalam penulisan makalah ini adalah
Pengantar Studi Islam karya Hammis Syafaq dkk, Oksidentalisme terjemahan
Hassan Hanafi, Hegemoni Kisten Barat karya Adian Husaini, Islam dan
Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran Barat karya Mahmud Hamdi
Zaqzuq, Sejarah Peradaban Islam karya Badri Yatim, dan beberapa buku
referensi lainnya yang berkaitan dengan dominasi barat dan respon umat
Islam.
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini baik bahan, alat dan
objek kajian akan mudah ditemukan setelah diurutkan dan ditata sesuai
dengan kaidah penulisan ilmiah. Sistematika pembahasan merupakan
rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi penulisan, antara
satu bagian dengan bagian yang lain saling berkaitan sebagai suatu kesatuan
yang utuh. Agar penulisan dapat dilakukan dengan runtut dan terarah, maka
penulisan ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
Bagian pertama: pengantar yang berisi tentang identifikasi
permasalahan pendekatan dan sistematika yang dipakai. Bagian kedua sumber
rujukan yang dijadikan referensi. Bagian ketiga pemaparan materi yang
menjelaskan tentang tantangan modernitas yang telah membawa perubahan-
perubahan besar dalam pola kehidupan umat Islam, baik dalam bidang sosial
budaya, politik dan kondisi ekonomi umat Islam, bentuk-bentuk
perkembangan yang dihadapi umat Islam baik secara positif maupun negatif.
Bagian keempat upaya umat Islam dalam menyikapi semua perkembangan itu.
Bagian kelima merupakan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan makalah
ini.
C. Pembahasan
1. Tantangan Modernitas Terhadap Kehidupan Islam
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna
umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan
dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu
segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas
adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain
bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap
hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita
berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu
sekarang dan masa depan.
Kata-kata modern, modernism, dan moderenisasi berasal dari kata
latin “modernus”yang artinya “baru saja; just now”, atau “terkini”. Akan
tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan
dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas.
(Madjid, 1985, hal.15)
Sedangkan pengertian Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-
islaaman, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah. Sedangkan Islam
menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya setiap masyarakat menginginkan perubahan dari
keadaan tertentu ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai
kehidupan yang lebih maju dan makmur. Keinginan akan adanya
perubahan itu adalah awal dari suatu proses modernisasi. Berikut ini
adalah beberapa pengertian modernisasi dan beberapa pakar, Wilbert E
Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama
yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi
social ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara
barat yang stabil. JW School, modernisasi adalah suatu transformasi,
suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Sebagaimana diungkapakan oleh Nasution yang dikutip dari
Azyumardi Azra (1985, hal. 11) bahwa Azyu lebih suka memakai istilah
modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah
pembaruan. Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah.
Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada
reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering
terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki.
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam
makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern
dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern
oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga
tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi
yang dianut masyarakat obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim,
di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali
tradisi yang dipegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi.
Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan. Seperti
Muhammad Abduh di Mesir, Hasan al-Banna di Mesir, Mawdudi di India
dan Colonel Qadhafi di Libia.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas
perubahan tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim
juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-
tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan
membersihkan praktek- praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang
dianggap tidak Islami.
Berdasar pada dua pendapat diatas, secara sederhana modernisasi
dapat diartikan sebagai perubahann masyarakat dari masyaraat tradisional
ke masyarakat modern dalam seluruh aspeknya. Bentuk perubahan dalam
pengertian modernisasi adalah perubahan yang terarah yang didasarkan
pada suatu perencanaan yang biasa diistahkan dengan sosial planning.
(http://id.shvoong.com/social-sciences/1997478-pengertian-modernisasi/
#ixzz289h7cVMc ) diakses pada tanggal 01 Oktober 2012.
Nurcholis (1998, hal. 17) pernah mengomentari Islam dan
tantangan modernitas. Dalam pandangannya Alquran menunjukkan bahwa
risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan
lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan
modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan
kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya
adalah Ernest Gellne yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi,
dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serentak dengan upaya
pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak
keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.
Modernitas untuk bangsa Indonesia menurut Suryohadiprojo
adalah pandangan oleh sikap hidup yang dikembangkan untuk menghadapi
kehidupan masa kini. Karena bangsa Indonesia telah menerima Pancasila
sebagai ideologi dan falsafah kehidupannya, dan juga sebagai satu-satunya
azas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka
modernitas untuk bangsa kita tidak lepas dari Pancasila.
Hakikatnya Pancasila merupakan satu pandangan yang modern.
Memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa
Indonesia, semua mempunyai akar dalam kehidupan bangsa Indonesia
sejak dahulu kala.
Namun belum pernah dalam sejarah Indonesia ada kehidupan
bangsa kita berbentuk negara yang dilandasi dan dikembangkan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Baru dalam Negara Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai dasar
landasan Pancasila secara utuh. Itu berarti bahwa bangsa kita mempunyai
keyakinan akan dapat menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang dengan sebaik-baiknya apabila menggunakan Pancasila
sebagai landasannya. Itu berarti bahwa Pancasila merupakan pandangan
atau Weltanschauung yang modern.
Tetapi seperti telah dikatakan, tidak ada bangsa di dunia yang dapat
menghindari pengaruh dan dampak peradaban Barat yang begitu dinamis
dan agresif. Apabila kita yang merupakan bekas jajahan salah satu bangsa
Barat, tentu telah memperoleh dampak dan pengaruh dari budaya Barat
tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena kita hendak
mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara kita, maka kita harus
pandai dan arif dalam menghadapi pengaruh dan dampak peradaban itu.
Selain itu Republik Indonesia tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang penuh dengan peradaban Barat atau pun pengaruhnya.
Untuk dapat tumbuh dengan selamat dan subur, maka Pancasila harus
mempunyai kemampuan untuk hidup dalam lingkungan demikian tanpa
kehilangan dirinya di satu pihak, tetapi juga kuat menghadapi pihak lain.
Pancasila sebagai pandangan modern tentu juga merupakan
pandangan yang terbuka. Tetapi justru karena keterbukaannya itu akan
dapat mengembangkan vitalitas dan energi yang berhubungan dengan
dunia luar, khususnya dunia Barat. Tentu keterbukaan itu tidak berarti
bahwa jiwanya sendiri dikesampingkan atau dikorbankan. Sebab justru
keterbukaan yang bermaksud untuk memupuk vitalitas dan energi lebih
besar mempunyai tujuan untuk mengamankan jiwa sendiri. Dalam
hubungan dengan peradaban Barat itu dapat diambil unsur-unsur mana
yang dapat memperkuat kehidupan bangsa, dan sebaliknya diperhatikan
unsur-unsur mana yang dalam peradaban Barat harus ditinggalkan karena
merugikan kita sendiri.
(http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ Modernitas 1 ) diakses
pada tanggal 28 September 2012.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Modernisasi yang
dimaksud adalah proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang
tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru
yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan
efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan
penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.
2. Perubahan-Perubahan Besar Dalam Pola Kehidupan Umat Islam
Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama
Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar
Muhammad SAW. Dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab,
membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat
persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif,
masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri,
masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat
sempurna dan wahyu ilahi.
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para
pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang
dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat
berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling
bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil
membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu
pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad
adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi
dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang
sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal
kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam,
mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang
sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di
atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara
untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya,
adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraisy dan penantang-
penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad
dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian
bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan
kebudayaan dengan sempurna. Dalam situasi yang demikian, kita perlu
merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita,
mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang,
kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan
progresif dalam waktu yang begitu singkat.
Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita
kaji kembali Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus
mampu memberikan anda suatu pisau analisa untuk kemudian menyusun
suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun kembali
umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut
diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi
yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.(Supriyadi,
2003, hal 65-66)
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhasil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda dengan dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara
tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang
paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang
universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan
dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli
pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang
partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory
democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-
kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan social.
(Nurcholis, 1985, hal. 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara
harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri.
Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama
Rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), Insaniyah
(sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), Wasthiyyah
(moderat-mengambil jalan tengah), Waqiiyah (kontekstual), jelas dan
harmoni antara perubahan dan ketetapan.(Nurcholis, 1994, hal. 5)
Bentuk-Bentuk Perkembangan Yang Dihadapi Umat Islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi
aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya.
Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak
berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai
para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah Islam
mahjub bi al-muslimin.
Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam
difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada
dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim yakni seruan
kembali kepada fundamen agama (al-Quran dan hadits), dan
menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons
terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan
zaman akibat modernitas.
Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah
dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai
dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan
Islam atau modernisme Islam.(Jainuri, 2002, hal. 38)
Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul
pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang
akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika
sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan
risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru,
pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat
Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa
ulama` merupakan pewarisnya dan di lain kesempatan ia
menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami
pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh
disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang
sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan
dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial)
merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya.
Pada aspek ini nilai- nilai Islam mewujudkan dirinya berupa
paradigma (cara pandang) kehidupan. Ajaran Islam menyediakan
pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan pemeluknya
sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada
wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali
yang dilarang”.
Menurut Kuntowijoyo (2007, hal. 170) penerjemahan nilai-
nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke
wilayah praktis. Ilmu Fiqh merupakan salah satu perwujudan yang
pertama.
Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah
praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial
terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh
adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu
kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan
ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial,
kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah
perubahan social.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan
Islam terhadaap kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam
proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan
manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah
kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang
tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah
ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman.
Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang
terjadi pada gereja di abad pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak
berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan
kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di
sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut oleh Qardhawi di atas
bahwa Islam berdiri di tengah-tengah. Islam mengandung
ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan di sisi
lainnya. Dengan sikap terebut, Islam bisa tetap eksis di tengah
perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama
ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-
modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M).
Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek Islam populer yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada
syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di
Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi yang
tidak Islami.(Jainuri, 2002, hal. 15-17)
Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik
praktek keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era
modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan yang
ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa
tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid
Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era modern mengalami dinamika yang
cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas
melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang berbeda-
beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan
sebagian yang lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak
pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).
Fungsi Agama Terhadap Perkembangan Dan Perubahan
Budaya
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama
dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan
humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut
sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan
dan perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, dapat
dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah
terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.
Lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama
dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan
dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial,
mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan.
Sosiolog Peter L Berger yang dikutip dari Sutarto (2006,
hal 67) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan
sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan
manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan,
serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan
penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat
kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai
bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama
dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan
meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-
nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para
pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah
nilai-nilai transenden.
Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan
dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan
bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi
pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat
dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena
agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga
mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui
agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara
efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun,
merupakan sistem integrasi yang menyeluruh.
Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh
untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin
dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah
memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu
orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang
tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat;
agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang
pluralistik.
D. Upaya Umat Islam Dalam Menyikapi Semua Perkembangan
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan
pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan
ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya peradaban material
yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan nilai-nilai moralpun
tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran, dan pemikiran-
pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan lain-lain.
Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin
akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk
menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak
mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban ditambah dengan
peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping pemikiran filsafat yang
diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya peradaban Barat, maka
peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-abad mengalami
keguncangan hebat dalam pikiran mereka.
Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di
Mesir lebih mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak
menyerap segi material daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari
keluarga kaum muslimin telah menggunakan penerangan listrik, menggunakan
sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban,
persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan
mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam
masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan
ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari
Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam,
yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur
asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba
gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan
yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa
Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat
ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak
menuntut ilmu ke Inggris.
Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah,
terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang
dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat
mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek
moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan
memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat. Kedua,
memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam
pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian
Barat.(Mansoor, 2007, hal. 26)
Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar
dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu
masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat
tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan
dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan
lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat
adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan
modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang
secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an
juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan sebagainya.
Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa noktah
ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para filsuf
Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela dan
melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah
dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis
tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya
dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa
mengalami pembaratan (Westernisasi).
Keadaan yang penuh dengan sikap bebas dan terbuka itu jelas
memerlukan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga ada dukungan psikologis
untuk bertindak proaktif dan reaktif. Kepercayaan diri yang diperlukan akan
segera terwujud, mengingat realitas kekinian menunjukkan semakin
banyaknya kaum Muslim yang memasuki kehidupan modern tanpa kehilangan
loyalitas pada agama mereka. Oleh karena itu, kemodernan adalah suatu
keniscayaan bagi umat Islam, meski sekarang ini kadang terjadi benturan
antara Islam dan modernitas yang sering menghasilkan sikap-sikap reaksioner
dalam bentuk anti-modernitas dan sikap-sikap penegasan diri (self-assertion)
secara berlebihan.
Luka lama dunia Muslim akibat penjajahan itu akan hilang, lenyap
ditelan sang waktu. Keyakinan itu didasarkan pada anggapan bahwa
kemodernan adalah kelanjutan wajar dan logis dalam perkembangan
kehidupan manusia sehingga kemodernan sendiri adalah sesuatu yang tak bisa
dihindari (inevitable).(Hanafi, 2002, hal. 84)
E. Kesimpulan
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-
negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah
kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras
mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan
permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran
Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat
Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski
memerlukan cost yang besar.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat
yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama
belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu
aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam
bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari
sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan
mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis
memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat;
agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang
pluralistik.
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk
ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah
agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap
maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak
dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang
paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan
dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.
Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan
modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang
secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an
juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan sebagainya.
Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa noktah
ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para
filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk
membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum
Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang
dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat
sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modern yang
datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi).
Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan
dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk
menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal.
Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa
bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan
demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang
bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
Daftar Pustaka
Al-Jamri, Mansoor, Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2007.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
h ttp://Dunia.Pelajar-Islam.Or.Id/Dunia.Pii/Arsip/Islam-Dan-Tantangan-
Modernitas.Html . hal 1
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ Modernitas 1
http://id.shvoong.com/social-sciences/1997478-pengertiamodernisasi/#ixzz289h7cVMc
Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal, Surabaya: LPAM, 2002.
Madjid, Nurcholish, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki,
sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah
Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1985.
, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998)
Montgomery Watt, William, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi Eko, “Sosialisme Islam”, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003
Sutarto Ayu, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia,
Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2006.
Syafaq, Hammis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2011.
Recommended