View
68
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
ASAS Kapastian hukum
Citation preview
ASAS KEPASTIAN HUKUM PADA
HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
Oleh:
CINDAWATI
Dosen PNS DPK Fakultas Hukum Universitas Palembang
Jl. Dharmapala No.1 A Bukit Besar Palembang
Email : cindawati_s@yahoo.com
ABSTRAK
Perjanjian atau kontrak sangat esensial, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Esensi kontrak adalah sekumpulan janji yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Dalam Hukum Kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan berkontrak para pihak diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini tertuang dalam perjanjian. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti dengan perumusan masalah sbb: Apakah asas kepastian hukum pada Hukum Kontrak Bisnis Internasional ?. Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal didalam Hukum Gereja didalam Hukum Gereja disebutkan bahwa : terjadinya suatu Perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap Perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan . Namun dalam perkembangannya Asas pacta sunt servanda diberi arti pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Prinsip Pacta Sunt Servanda Berdasarkan prinsip atau aturan dasar ini, para pelaku harus melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam kontrak. Prinsip ini pun sifatnya universal, setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini.Asas pacta sunt servanda disebut juga asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat dari Perjanjian. Asas pacta sunt servanda ini, adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai mana layaknya suatu Undang-Undang, mereka tidak boleh mengadakan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda disimpulkan dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata : semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perkataan “semua” berisikan pernyataan kepada masyarakat bahwa : kita diperbolehkan membuat Perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan Perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang. \
Kata Kunci : Asas Pacta Sunt Servanda , Asas Kepastian Hukum
1
A. PendahuluanSetiap negara berbeda dengan negara lain ditinjau dari sudut sumber alam, iklim, letak geografisnya, penduduk, keahlian, tenaga kerjanya, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi dan sosial budayanya. Perbedaan-perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan produk barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu dan kuantumnya. Karena itu mudah dipahami adanya negara yang lebih unggul dan lebih istimewa dalam memproduksi hasil tertentu. Hal ini dimungkinkan karena ada barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan pada iklim tertentu, atau karena suatu negeri mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih daya bersaingnya. apabila keunggulan suatu negara dalam memproduksi suatu jenis barang disebabkan faktor alam, maka negara itu disebut memiliki “keunggulan mutlak” (absolute advantage). Karet hanya tumbuh di daerah tropis seperti: Indonesia dan Malaysia sehingga keduanya mempunyai keunggulan mutlak terhadap negara-negara lainnya. Selanjutnya apabila suatu negara dapat memproduksi suatu jenis barang lebih baik dan lebih murah disebabkan lebih baiknya kombinasi faktor-faktor produksi (alam, tenaga kerja, modal dan manajemennya) maka negara tersebut dapat pula memperoleh “keunggulan” yang disebabkan karena produktivitas yang tinggi. Hal ini disebut sebagai keunggulan dalam perbandingan biaya (comparative advantage/cost). Adakalanya produksi dari suatu negara belum dapat dikonsumsi seluruhnya di dalam negeri, maka sejak berabad-abad lalu telah mendorong orang untuk memperdagangkan hasil produksi itu ke negeri lain di luar batas negaranya. Perdagangan barang-barang dari suatu negeri, ke lain negeri di luar batas negara itulah yang dimaksudkan dengan perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional. Sama halnya dengan perdagangan dalam negeri yakni melakukan transaksi “jual beli”, maka dalam perdagangan luar negeripun juga dilakukan aktivitas “jual” yang disebut ekspor dan aktivitas “beli” yang lazim disebut impor. Transaksi jual beli ini disebut pula Bisnis. Ekspor dan impor dalam pengertian ini dibatasi pada ekspor dan impor barang-barang (visible goods). Pada umumnya tata cara perdagangan dalam negeri tidak berbeda dengan perdagangan luar negeri, hanya perdagangan luar negeri agak lebih sulit dan lebih berbelit-belit, yang antara lain disebabkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan (geopolitik);
2. Barang harus dikirim atau diangkat dari satu negara ke negara lain melalui
bermacam peraturan, seperti Peraturan Pabean, yang bersumber dari pembatasan
yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah;
2
3. Antara satu negara dengan negara lainnya tidak jarang terdapat perbedaan dalam
bahasa, mata uang, takaran dan pertimbangan hukum nasionalnya, dan lain
sebagainya. 1
Faktor-faktor ini menuntut adanya perjanjian atau kontrak bisnis agar dapat dihindarkan
perselisihan atau sengketa bisnis bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kedua belah
pihak.
Perkembangan perdagangan atau bisnis internasional atas dasar persamaan dan
keuntungan bersama merupakan suatu unsur penting dalam upaya mendorong hubungan
bersahabat antar negara. Berdasarkan pandangan bahwa penetapan pengaturan seragam
yang akan mengatur kontrak untuk penjualan barang-barang internasional dengan
memperhitungkan perbedaan sosial, ekonomi, dan sistem hukum akan memberikan
sumbangan untuk menghapuskan berbagai kendala dan hambatan hukum kontrak dalam
perdagangan atau bisnis internasional.2 Kenyataan ini menempatkan Hukum Kontrak
Bisnis Internasional menjadi sangat relevan untuk diteliti secara ilmiah agar dapat menjadi
wacana bagi usaha pembangunan hukum perdagangan internasional yang menopang
pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk dapat dibangun Hukum Kontrak Bisnis
Internasional harus berlandaskan asas kepastian hukum yang bermuatan kewajaran dan
keadilan bagi pihak-pihak yang mengikatkan diri.
Di dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam kontrak-kontrak
Perdagangan Internasional, berupa klausul-klausul kontrak standar (baku). Standar yang
dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak dagang yang
dibuat oleh para pelaku bisnis, meskipun sifatnya tidak mengikat. Dua produk hukum
KADIN (Kamar Dagang Internasional) atau ICC (Inteernational Chamber of Commerce) :
UCP (The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits). Betapa penting dan
1 Perbedaan geografis, politis dan sejarah budaya masing-masing negara menyebabkan terjadinya perbedaan sistem hukum. Apabila dicermati terdapat “keluarga” sistem hukum yang dapat digolongkan sebagai berikut: keluarga sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), Anglo Saxon (Common Law), sistem hukum Timur Jauh, sistem hukum Timur Tengah, sistem hukum negara-negara Sosialis. Namun pada gilirannya semakin mengerucut dan yang paling berpengaruh adalah sistem hukum Civil Law (Eropa) dan Common Law (Inggris).2 Dalam praktik perdagangan internasional yang telah berlangsung, pelaksanaan diatur dalam kontrak bisnis antar dua negara (Perjanjian Bilateral) atau dalam standar baku yang ditetapkan oleh Konvensi yang disetujui bersama negara-negara, seperti dalam kesepakatan perdagangan yang diatur oleh World Trade Organization (WTO).
3
maslahatnya bagi perkembangan perdagangan internasional di Indonesia mendorong
penulis untuk meneliti Apakah Asas kepastian Hukum Dalam Hukum Kontrak Bisnis
Internasional ?
B Asas kepastian Hukum Dalam Hukum Kontrak Bisnis Internasional
Di dalam kontrak bisnis merupakan instrumen terpenting untuk mewujudkan
perubahan-perubahan dalam bentuk pembagian barang dan jasa. Ratio (dasar pemikiran)
kontrak merujuk pada tujuan terjadinya pergeseran harta kekayaan secara adil
(gerechtvaardigde) dan memunculkan akibat hukum terjadinya keuntungan para pihak
secara adil (perjanjian pada prinsipnya mengakibatkan pengayaan secara legal).
Untuk itu relevan dipaparkan sumber-sumber hukum bisnis (dagang) internasional sebagai
berikut:
Para pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap Hukum Dagang
Internasional (kontrak jual beli) perlu sekali mengetahui apa yang menjadi sumber hukum
terhadap berlakunya kontrak yang bersangkutan. Sebab sumber hukum itu merupakan
motor penggerak dari kontrak yang bersangkutan. Bukankah sumber hukum tersebut
pulalah yang mengatur dan mengendalikan beroperasinya kontrak tersebut. Mulai dari saat
pembentukan kontrak sampai dengan saat eksekusinya jika ada wanprestasi pihak tertentu.
Perlu untuk disimak sumber hukum dagang internasional yang justru dapat mengatasi
tertinggalnya dasar hukum dagang indonesia, yaitu KUHD dan KUHPdt (Buku III). Hal-
hal esensial dari sumber hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Provisi Kontrak (Contract Provisions)
Perlu dipahami bahwa yang merupakan dasar dan sumber hukum utama bagi suatu
kontrak, termasuk kontrak tentang jual beli internasional adalah contract provisions,
yakni apa-apa yang telah diatur dalam kontrak tersebut oleh kedua belah pihak.
Hukum memandang kontrak sebagai your own business. Artinya terserah pada para
pihak mau mengatur bisnisnya secara bagaimana dalam kontrak tersebut.
Untuk itu paling jauh hukum hanya memberikan rambu-rambu demi mencapai
dan melindunginya dari berbagai kepentingan lain yang lebih tinggi, misalnya
4
mencapai keadilan, ketertiban umum, kepentingan negara, dan sebagainya.
Selebihnya diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya. Di sini tercermin
bahwa “kontrak” adalah “hukum” bagi pihak-pihak yang mengadakan kontrak itu.
Akan tetapi, jika provisi dalam kontrak tidak dapat menampung aspirasi kedua
belah pihak, katakanlah ada hal dalam pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama
sekali dalam kontrak, maka untuk hal seperti itu kemudian hukum akan menyediakan
kaidahnya yang berbentuk hukum mengatur (optional law) sekadar untuk mengisi
kekosongan hukum dalam masyarakat. Artinya bisa saja ketentuan hukum yang
bersifat optional tersebut dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Pemberian
keleluasaan kepada para pihak ini kemudian dikenal dengan sebutan Freedom of
Contract. Di mana asas freedom of contract ini juga diberlakukan oleh hukum
Indonesia cq KUHPdt Buku-III dan KUHD.
Di samping itu, karena berlakunya asas freedom of contract ini, maka sangat
mungkin diperlukan kehati-hatian para pihak dalam menandatangani suatu kontrak,
sebab yang ditandatangani tersebut itulah yang kelak akan menjadi hukum yang
mengikat dirinya. Apalagi jika diingat bahwa dalam hukum dikenal asas “Pelepasan
Kebebasan”. Artinya, memang seseorang bebas untuk mengatur bisnisnya dalam
suatu kontrak, namun setelah suatu kontrak ditandatangani, kebebasan tersebut telah
dilepaskan untuk kepentingan bisnisnya itu. Oleh karena setelah ditandatangani suatu
kontrak, freedom (kebebasan)-nya sudah berakhir. Sudah diganti dengan keterikatan
yang timbul karena kontrak. Dengan demikian di satu pihak ada kebebasan
berkontrak, tetapi di lain pihak, ada pula “ketidakbebasan” atau keterikatan untuk
tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam kontrak.
2. Hukum Kontrak Umum (General Contract Law)
KUHPerdata, yang juga merupakan salah satu dasar dan sumber hukum bagi suatu
kontrak, menyediakan aturan, antara lain yang bersifat General Contract Law.
Artinya banyak ketentuan dalam Buku Ketiga KUHPdt mengatur secara umum,
seperti kontrak: jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan sebagainya.
Apabila terhadap suatu jual beli internasional berlaku hukum Indonesia, maka
ketentuan umum dalam Buku Ketiga KUHPdt tersebut juga harus diterapkan, karena
5
hukum nasional adalah sumber hukum yang utama dalam hukum kontrak
internasional. Kontrak internasional adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya
artinya kontrak tunduk pada salah satu sistem hukum nasional. KUHPdt mengatur
tentang asas-asas atau prinsip-prinsip suatu kontrak yaitu:
a. Tentang Ketentuan Umum;
b. Tentang Perikatan untuk memberikan sesuatu;
c. Tentang Perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
d. Tentang Pergantian biaya, rugi dan bunga;
e. Tentang Perikatan bersyarat;
f. Tentang Perikatan dengan ketetapan waktu;
g. Tentang Perikatan manasuka;
h. Tentang Perikatan tanggung renteng;
i. Tentang Perikatan yang dapat atau tidak dapat dibagi;
j. Tentang Perikatan dengan ancaman hukuman;
k. Tentang Perikatan yang lahir karena perjanjian;
l. Tentang Perikatan yang lahir karena undang-undang;
m. Tentang hapusnya Perikatan.
Keseluruhan ketentuan tersebut ada yang dapat dikesampingkan oleh para pihak
dan ada pula yang tidak dapat dikesampingkan. Repotnya, ketentuan-ketentuan
tersebut seperti juga terhadap ketentuan lainnya dalam KUHPdt berbeda atau saling
bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh karena itu wajar apabila
dalam mengadakan kontrak antar individu yang berbeda negara, masing-masing
diharapkan memahami undang-undang yang secara umum dapat mempengaruhi
kontrak, sekalipun kontrak memiliki kebebasan bagi kedua pihak yang
mengadakannya. Kenyataan ini kembali membuktikan sukarnya freedom of contract
dipertahankan sepenuhnya.
3. Hukum Kontrak Khusus (Specific Contract Law)
Selain ketentuan-ketentuan umum tentang kontrak yang terdapat dalam KUHPdt,
maka KUHPdt juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan
dengan kontrka-kontrak tertentu. Ada ketentuan tentang jual beli, tukar-menukar,
6
sewa-menyewa, dan sebagainya. Terhadap perjanjian jual beli internasional, jika
yang berlaku hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual
beli yang terdapat dalam KUHPdt. Ketentuan tentang jual beli dalam KUHPdt ini
ditemukan dalam Pasal 1457 KUHPdt sampai dengan Pasal 1540 KUHPdt, yang pada
prinsipnya mengatur tentang :
a. Ketentuan-ketentuan Umum;
b. Kewajiban-kewajiban Penjual;
c. Kewajiban Pembeli;
d. Hak Membeli Kembali; dan
e. Ketentuan-ketentuan Khusus Mengenai Jual Beli Piutang dan Hak-hak Tidak
Berwujud Lainnya.
Ketentuan ini pun akan mendapatkan penyelarasan dengan undang-undang
negara tertentu yang kerapkali berbeda dengan kaidah hukum Indonesia. Untuk itu
perjanjian multilateral akan banyak mewarnainya.
4. Kebiasaan Dalam Perdagangan Internasional
Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat merupakan salah satu sumber
hukum. Demikian juga dengan kebiasaan dalam bisnis atau dagang. Sehingga apa
yang namanya trade usage atau custom telah merupakan salah satu sumber hukum
dagang dan merupakan salah satu pedoman dalam menginterpretasi kontrak bisnis
termasuk hukum dagang internasional. Misalnya jika ada pemesanan pembelian
letterheads oleh pihak pembeli dari pihak percetakan, maka jika yang dikirim
kemudian hanya berjumlah 960 saja, tidaklah berarti pihak penjual atau pencetak
telah ingkar janji. Sebab, telah menjadi kebiasaan dalam bisnis yang telah diterima
secara meluas dalam praktik bisnis sejenis bahwa terhadap pemesanan yang
demikian, kekurangan atau kelebihan tidak lebih dari 5% dapat ditoleransi. Kecuali
jika pihak pembeli telah memberitahukan bahwa keakuratan jumlah menjadi faktor
esensial, seperti misalnya pembeli akan membagikan kepada persis 1000 orang, maka
dalam hal yang demikian, sering ditafsirkan bahwa trade usage tersebut tidak
7
mengikat kontrak yang bersangkutan. Artinya, kalau kurang dari 1000 lembar
penjual harus menambahnya.
5. Yurisprudensi
Adakalanya apa yang terdapat dalam praktek dagang sehari-hari kemudian
dikukuhkan dalam suatu yurisprudensi, yakni diputuskan oleh pengadilan yang
kemudian keputusan tersebut memperoleh kekuatan tetap. Memang dalam sistem
hukum Indonesia, seperti juga dalam negara-negara dengan sistem hukum Eropa
Kontinental lainnya, bahwa kekuatan dari yurisprudensi tidak sekuat di negara-negara
yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, dengan teori precedent-nya.
Namun demikian yurisprudensi di negara-negara dengan Sistem Hukum Eropa
Kontinental tersebut tetap saja menjadi dasar hukumnya, terutama terhadap hal-hal
yang belum diatur dalam undang-undang, atau yang memerlukan penafsiran-
penafsiran terhadap suatu undang-undang. Dalam bidang hukum dagang
internasional, maka peranan yurisprudensi sebagai sumber hukum kurang begitu
terasa berhubung banyak kasus yang tidak sampai diputus oleh pengadilan atau
diputus oleh badan non pengadilan, seperti arbitrase misalnya. Keputusan seperti itu
tidak terbuka untuk publik, sehingga tidak diketahui oleh orang. Karenanya tidak
dipergunakan sebagai sumber hukum yurisprudensi.
Untuk Indonesia dan negara-negara penganut civil-law lainnya yurisprudensinya
disebut yurisprudensi persuasif, sedang di Inggris dan penganut common-law adalah
yurisprudensi mutlak. Oleh karena itu jarang yurisprudensi berperan dalam praktek
perdagangan internasional.
6. Kaidah Hukum Perdata Internasional
Banyak juga kaidah hukum perdata internasional yang digunakan terhadap suatu
kontrak jual beli internasional. Sebab, sebagaimana transaksi lainnya yang
melibatkan para pihak dari berbagai negara, kemungkinan untuk timbul suatu konflik
antara hukum di negara yang satu dengan hukum di negara lainnya tentunya besar.
Apalagi terhadap kontrak dagang rutin yang hanya memakai kontrak yang sangat
sederhana, sehingga pengaturan dalam kontrak sama sekali tidak jelas.
8
Contoh yang sangat prima dalam hal ini adalah tentang hukum mana yang
seharusnya berlaku bila ada perselisihan jika dalam kontrak tidak dengan tegas
ditentukan untuk itu. Untuk hukum yang seharusnya berlaku ini, dalam hukum
perdata internasional dalam bidang bisnis telah berkembang beberapa teori. Tetapi
teori yang sangat dominan dan telah diterima secara meluas adalah apa yang dikenal
dengan The Most Characteristic Connection Rule. Menurut teori ini, hukum yang
berlaku adalah hukum para pihak yang mempunyai prestasi yang sangat karakteristik.
Dalam bidang jual beli internasional, maka hukum pihak penjual-lah yang berlaku
karena mengandung paling karakteristik tersebut.
Secara logis nyata bahwa penjual menghadapi banyak pembeli sehingga harus
ada ketentuan yang lebih umum, apabila tidak, akan banyak klaim dari pembeli-
pembeli tertentu.
7. Konvensi Internasional
Konvensi Internasional adalah kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah,
sedang atau akan diratifikasi oleh banyak negara di dunia ini. Tentu saja, ketentuan
yang terdapat dalam konvensi-konvensi internasional tersebut berlaku juga terhadap
perjanjian jual beli internasional. Asal saja negara kedua belah pihak tersebut
merupakan peserta konvensi dan telah meratifikasi konvensi tertentu itu sehingga
menjadi bagian dari hukum nasionalnya.
Konvensi-konvensi internasional yang khusus mengatur mengenai perdagangan
internasional di antaranya adalah:
a. United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods.
Konvensi yang menyediakan ketentuan yang seragam tentang perdagangan
internasional ini adalah hasil kreasi dari The United Nations Commission on
Trade Law (Uncitral) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian
diadopsi oleh Konferensi Diplomatik tanggal 11 April 1980.
Sungguhpun begitu, sebenarnya persiapan terhadap uniform law mengenai
perdagangan internasional ini sudah dilakukan sejak tahun 1930 di International
Institute Law for the Unification of Private Law (UNIDROIT) di Roma. Secara
garis besar , konvensi ini berisikan hal-hal:
9
1) Ruang Lingkup Aplikasi dan Ketentuan Umum;2) Formasi dari Kontrak;3) Penjualan Barang;4) Ketentuan Penutup.
b. Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New
York, 1974)
Konvensi juga lahir dari hasil kerja pihak Uncitral dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yang kemudian diterima oleh General Assembly di New York pada
tanggal 14 Juni 1974. Kemudian konvensi ini diamendir pada tahun 1980,
sehingga menjadi lebih aplikable. Kovensi ini berisikan keseragaman tentang
ketentuan-ketentuan mengenai daluwarsanya suatu gugatan yang berhubungan
dengan jual beli. Sehingga diharapkan dapat memecahkan persoalan mengenai
hal tersebut antara satu negara dengan negara lainnya, yang berisikan:
1) Ruang Lingkup Penerapan;2) Lamanya dan mulai berlakunya Masa Daluwarsa;3) Perhentian dan Perpanjangan Masa Daluwarsa;4) Total waktu untuk suatu Daluwarsa;5) Konsekuensi hukum dari lewatnya Masa Daluwarsa;6) Ketentuan lain-lain dan Ketentuan penutup.
8. Ketentuan-ketentuan yang diundangkan oleh Negara tertentu
Selain dari ketentutuan-ketentuan seperti tersebut diatas, masih terdapat lagi
ketentuan-ketentuan yang berlaku dan mesti diperhatikan oleh mereka yang akan
melakukan dan terlibat dalam suatu transaksi perdagangan internasional misalnya:
ekspor-impor, Letter of Credit, Asuransi, Bill of Lading (konosemen), Bill of
Exchange (wersel), Kepabeanan dan Perpajakan
Dalam Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Internasional sbb:
a. Prinsip Pacta Sunt Servanda
Berdasarkan prinsip atau aturan dasar ini, para pelaku harus melaksanakan
kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam
kontrak. Prinsip ini pun sifatnya universal, setiap sistem hukum di dunia
menghormati prinsip ini.3
3 Adolf Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm 16.
10
Asas ini berhubungan dengan akibat dari Perjanjian. Asas pacta sunt servanda
disebut juga asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat dari
Perjanjian. Asas pacta sunt servanda ini, adalah asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagai mana layaknya suatu Undang-Undang, mereka tidak boleh mengadakan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta
sunt servanda disimpulkan dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata : semua
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Perkataan “semua” berisikan pernyataan kepada masyarakat
bahwa : kita diperbolehkan membuat Perjanjian yang berupa dan berisi apa saja
dan Perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti UndangUndang.4
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal didalam Hukum Gereja didalam Hukum Gereja disebutkan bahwa : terjadinya suatu Perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap Perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan . Namun dalam perkembangannya Asas pacta sunt servanda diberi arti pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.5
Blacks Law Dictionary mengartikan prinsip ini sebagai berikut:
“Agreement must be kept”. The rule that agreement and stipulations, esp. those contained in treaties must be observed”6
b. Prinsip Good Faith (Itikad Baik)
Prinsip ini harus dianggap ada, pada waktu negosiasi, pelaksanaan kontrak
hingga penyelesaian sengketa. Prinsip ini penting karena dengan hanya adanya
prinsip inilah rasa percaya yang sangat dibutuhkan dalam bisnis agar pembuatan
kontrak dapat direalisasikan. Tanpa adanya good faith dari para pihak sangatlah
sulit kontrak dapat dibuat. Kalaupun kontrak sudah ditandatangani, pelaksanaan
kontrak tersebut pastilah akan sulit untuk berjalan dengan baik apabila prinsip
4 . Subekti, Hukum perjanjian, Cet. VI Intermasa, Jakarta, 1979 , hlm. 145 .Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat dii Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hlm 11
6 Cf. Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, St. Paul: Minn., 5th. Ed. 1979, p 1133.
11
ini tidak ada. Dalam kontrak, kadangkala para pihak dengan tegas
mencantumkan aturan prinsip utama ini. Contoh, dalam kontrak para pihak
mensyaratkan keharusan adanya itikad baik dalam menyelesaikan sengketa.
Namun prinsip ini mengandung makna berbeda di antara sistem hukum.
Pengertian dan pemahaman itikad baik tampak berbeda khususnya di antara
Sistem Hukum Kontinental dan Common Law. Menurut Subekti, essensi
(prinsip) ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dalam Hukum
Perjanjian.7
Menurut Sudargo Gautama, Hukum Kontrak Internasional tidak lain
adalah hukum kontrak nasional yang ada unsur asingnya, maka prinsip ini
relevan bagi Hukum Kontrak Internasional. Itikad baik tampak berbeda
khususnya di antara Sistem Hukum Kontinental dan Common Law :
1) Prinsip Itikad Baik dalam Sistem Hukum Kontinental.
Dalam Sistem Hukum Kontinental, pendekatan terhadap prinsip ini
didasarkan pada filosofi dari kontrak yang menitikberatkan atau
memusatkan pada hubungan para pihak.8 Hubungan ini mensyaratkan
kewajiban itikad baik bukan saja ketika kontrak ditandatangani, tetapi juga
sebelum kontrak ditutup. Misalnya, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Belgia, negara ini mensyaratkan semua kontrak dilaksanakan
dengan itikad baik dan penafsiran (kontraktualnya) pun harus disertai
dengan kebiasaan.9
2) Prinsip Itikad Baik dalam Sistem Common Law.
Khususnya Inggris, tidak mengenal proses negosiasi, para pihak terikat
oleh prinsip beritikad baik. Menurut Hukum Inggris, masuknya para
pihak ke dalam negosiasi tidak dengan serta merta melahirkan kewajiban
itikad baik. Menurut Hukum Inggris, selama kontrak belum
ditandatangani, para pihak tidak terikat satu sama lain dan tidak memiliki
kewajiban apapun terhadap pihak lainnya hingga kontrak tersebut
akhirnya ditandatangani.10
7 Subekti, Hukum Perjanjian, ………..op cit,, hlm 41.8 Grace Xavier, Global Harmonization of Contract Laws Fact, or Fincitons, 20:1 construction LJ, 2004, p 13.9 Ibid, p. 15.10 Ibid, p. 18.
12
Seperti hukum di Amerika Serikat (AS) juga berpendapat sama,
bahwa itikad baik hanya ada setelah kontrak ditandatangani. Dalam
Sistem Common Law, arti itikad baik tidak lain adalah “kejujuran” dalam
perilaku atau kejujuran dalam bertransaksi dagang, termasuk didalamnya
adalah kejujuran dalam fakta dan penghormatan terhadap standar-standar
dagang yang wajar dan transaksi dagang yang jujur.
3) Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Internasional.
Pengakuan dan kewajiban untuk melaksanakan prinsip itikad baik diakui
dalam prinsip-prinsip kontrak komersial di negara-negara yang ingin
menerapkannya. Menurut UNIDROIT (The International Institute for the
Unification of Private Law). Pasal 1.7 prinsip UNIDROIT menyatakan:
a) Each party must act in accordance with Good Faith and fair dealing
in international trade.
b) The parties may not exclude or limit thir duty.
Norma-norma yang telah dinyatakan secara abstrak di dalam ketentuan
pasalnya, kemudian dinyatakan kembali dalam bentuk uraian penjelasan,
disertai dengan contoh-contoh, oleh karena itu disebut restatement. Menurut
restatement dari pasal di atas ada 3 (tiga) unsur prinsip itikad baik dan transaksi
yang jujur, yaitu:
1) Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi
kontrak;
2) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCS (UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts) ditekankan pada
praktek perdagangan internasional;
3) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.
Dari pasal ini dapat diketahui tujuannya adalah, untuk mendorong
diterapkannya prinsip itikad baik (good faith) dan kewajaran (fair dealing)
dalam setiap transaksi komersial yang bersifat internasional. Manifestasi upaya
mendorong harmonisasi hukum tampak ketika di dalam kontrak atau hukum
nasional tidak ditemukan aturan yang diperlukan atau telah terjadi kekosongan
13
hukum (gaps), maka prinsip-prinsip UNIDROIT (The International Institute for
the Unification of Private Law) dapat digunakan sebagai rujukan.
The United Nations on Contracts for the International Sale of Goods
(CISG) berlaku terhadap kontrak jual beli barang yang para pihaknya memilih
tempat usaha di negara yang berbeda. Ruang lingkup jual beli barang dibatasi
hanya untuk tujuan komersial, bukan tujuan pribadi atau kepentingan
pemerintah. Sedangkan prinsip-prinsip UNIDROIT merupakan prinsip umum
bagi kontrak komersial internasional yang dapat diterapkan ke dalam aturan
hukum nasional, atau dipakai oleh pembuat kontrak untuk mengatur transaksi
komersial sebagai pilihan hukum.
Sementara transaksi bisnis serta persoalan ekonomi saat ini semakin
bersifat transnasional, dipercepat dengan teknologi, sehingga muncul
permasalahan baru. Prinsip-prinsip UNIDROIT adalah prinsip hukum yang
mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip
kebebasan, jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Demikian
pula, walaupun disadari bahwa prinsip kebebasan berkontrak bersifat fleksibel,
prinsip itu bisa digunakan untuk menekan pihak yang lemah. Untuk
menerapkan prinsip keseimbangan, Pengadilan atau Arbitrase harus mampu
secara kritis melihat kebebasan berkontrak dengan prinsip-prinsip
UNIDROIT.11
Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang
timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum
yang relevan dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu
prinsip-prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan
acuan dalam menafsirkan ketentuan kontrak yang tidak jelas. Apabila tidak
ditemukan aturannya dalam hukum yang berlaku (governing law) maka prinsip-
prinsip tambahan, karena prinsip-prinsipnya diambil dari kebiasaan dan praktik
yang seragam secara internasional. Sebagian besar prinsip-prinsip UNIDROIT
dimaksudkan seperangkat aturan penyeimbang untuk digunakan di seluruh
dunia tanpa memperhatikan tradisi hukum dan kondisi ekonomi politik. Dari
11 Soenandar Taryana, Prinsip-Prinsip UNIDROIT, Op Cit, hlm 4.
14
segi formal, prinsip ini menghindari penggunaan terminologi yang digunakan
dalam sistem hukum tertentu. Selain itu prinsip ini merujuk pada CISG
sehingga dilihat dari segi substansinya prinsip-prinsip UNIDROIT bersifat
fleksibel.12
Kewajiban yang sama terdapat pula dalam The United Nations on
Contract for the International Sale of Goods (CISG). Pasal 7(1) CISG
menyatakan sebagai berikut: (1) In the interpretation of Convention, regard is
to be had to its international character and to the need to promote uniformity in
its aplication and observance of good faith in international trade. (Dalam
menafsirkan konvensi ini, perhatian harus ditujukan pada sifat internasionalnya
dan kebutuhan untuk mendorong keseragaman dalam pemakaiannya dan
pengamatan terhadap itikad baik dalam perdagangan internasional).
c. Prinsip Resiprositas (Resiprokal)
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa para pihak dalam kontrak harus
melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing secara timbal balik.
Menurut prinsip ini, pelaksanaan kontrak harus memberi “keuntungan” timbal
balik. Salah satu pihak tidak boleh semata-mata melakukan prestasi yang tidak
seimbang. Pada prinsipnya, di mana ada hak suatu pihak, disitu ada kewajiban
pihak tersebut, demikian sebaliknya. Dibandingkan dengan prinsip exceptio
non adimpleti contractus (prinsip resiprositas).
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, menyebutnya Prinsip
Keseimbangan.13 Adanya prestasi timbal balik (resiprositas atau sering juga
disebut dengan resiprokal) ini timbul karena adanya kesepakatan timbal balik.
Prinsip ini antara lain ditegaskan oleh Hakim Agung Lord Devlin, Common
Law Inggris sebagai berikut: “It is of the essence of every contract that there
should be mutuality a contract is an exchange of promises for another…a
contract can consist of an exchange of promises on one subject. eg, payment
12 Ibid, hlm 10.13 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 42.
15
against delivery; the if the seller does not delivery on the due date, the buyer
may release himself from his obligation to pay.14
Sifat timbal balik atau resiprositas adalah unsur paling mendasar dari
perikatan yang lahir dari perjanjian serta juga dapat dikatakan merupakan inti
tidak saja dari Hukum Perjanjian, tetapi juga dari keseluruhan hukum, tercakup
ke dalamnya Hukum Keperdataan dan Hukum Publik. Kiranya dapat dikatakan
bahwa asas timbal balik (resiprositas) merupakan gejala universal yang dapat
kita jumpai di semua negara dalam setiap budaya, dan di setiap tingkatan
interaksi manusia.15
Harmonisasi Hukum Kontrak Internasional dari fakta tersebut di atas, terdapat
minimal 3 (tiga) pemahaman dasar guna mendukung pemahaman terhadap Hukum
Kontrak Internasional, yaitu:
a. Perlu pemahaman tentang Hukum Kontrak (Perjanjian) dari suatu sistem
hukum para pihak (contohnya dalam hal ini Hukum Nasional Indonesia).
Pemahaman tentang hukum nasional (Indonesia) ini relevan karena hukum
nasional merupakan salah satu sumber hukum utama yang dipilih oleh para
pihak untuk mengatur kontrak. Istilah yang digunakan dalam choice of law,
governing law, atau hukum yang dapat digunakan dalam kontrak (The Law
applicable to the contract). Sumber hukum perdagangan internasional
merupakan sumber yang utama dan terpenting, seperti perjanjian atau kontrak
adalah undang-undang bagi pihak yang membuatnya.16 Oleh karena itu
perjanjian atau kontrak sangat esensial, kontrak berperan sebagai sumber hukum
yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam
melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.
Esensi kontrak adalah sekumpulan janji yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.$ Dalam Hukum Kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap
14 Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum….., Op Cit, hlm 27.15 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia , Hukum Perjanjian berlandaskan
Asas-asas Wigati Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 348.
16 Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum, Op Cit, hlm 27.
16
prinsip konsensus dan kebebasan berkontrak para pihak diserahkan kepada para
pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini tertuang dalam perjanjian.
Meskipun kebebasan para pihak sangat esensial, namun kebebasan
tersebut ada batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan yang
melingkupinya. Pertama, pembatasan kebebasan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, dan dalam tarif tertentu dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan kesopanan. Kedua, status kontrak itu sendiri, kontrak
dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada
unsur asingnya.17 Artinya kontrak paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum
nasional (suatu negara tertentu).18 Hukum itu adalah peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yakni dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan
hukum tertentu.19 Ketiga, pembatasan mengikat para pihak adalah kesepakatan
atau kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan para pihak yang
bersangkutan. Daya mengikat kesepakatan-kesepakatan sebelumnya ini
meskipun tidak tertulis, tetapi mengikat.
b. Perlu pemahaman tentang Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia.
Fakta atau ilustrasi di atas menunjukkan adanya dua sistem hukum yang
mengatur status personal para pihak (dalam ilustrasi kasus di atas, menunjukkan
adalah hukum Indonesia dan hukum Singapura). Dalam situasi ini terdapat
kemungkinan terjadinya konflik hukum antara hukum Indonesia dan hukum
Singapura. Untuk menentukan hukum mana yang diterapkan, maka peran
Hukum Perdata Internasional (misalnya HPI Indonesia dan HPI Singapura yang
akan digunakan untuk menentukan hukum yang akan diberlakukan terhadap
Hukum Kontrak Internasional).
c. Perlu pemahaman tentang prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah Hukum
Kebiasaan Internasional yang berlaku dalam kontrak internasional. Prinsip-
prinsip tersebut bisa tertulis maupun tidak tertulis.20 Prinsip ini mengisyaratkan 17 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1976, hlm 65.18 Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Cavendish, Sidney, 2002, p 7.19 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Dagang, Djambatan Jakarta, 2001, hlm 1.20 Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Internasional yang tidak tertulis, misalnya tertuang dalam UNIDROIT.
17
bahwa para pihak dalam kontrak harus melaksanakan hak dan kewajibannya
masing-masing secara timbal balik atau Prinsip Resiprositas (Resiprokal). Pada
prinsipnya di mana ada hak suatu pihak, disitu ada kewajiban pihak tersebut,
demikian sebaliknya. Menurut Mariam Darius Badrulzaman, inilah yang
disebutnya asas keseimbangan yang menghendaki kedua belah pihak untuk
memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul
pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat
disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya
untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
Dalam kontrak-kontrak internasional khususnya yang menyangkut dana besar
dan terkait dengan pembangunan suatu infrastruktur, klausul overmacht antara lain
adalah gempa bumi, demonstrasi, perang. Muatan dari kejadian-kejadian yang
tergolong ke dalam overmacht, misalnya bencana alam seperti banjir tsunami atau
bencana alam, sudah diterima umum. Pemaparan ini mengakui prinsip Hukum
Kontrak Internasional di berbagai negara. Namun persamaan tersebut hanya
menyentuh substansi secara sangat umum. Aturan substansi dari setiap hukum
nasional sudah barang tentu memiliki aturannya sendiri. Keadaan seperti ini tidak
kondusif bagi transaksi perdagangan, ada aturan-aturan yang berbeda hanya akan
menghambat terlaksananya transaksi-transaksi dagang internasional yang
menghendaki kecepatan dan kepastian. Salah satu contohnya, praktek perdagangan
internasional yang sangat menghendaki harmonisasi ini adalah hukum di bidang
transportasi, baik laut, darat, maupun udara.
Para pedagang mengakui, tanpa adanya harmonisasi hukum yang baik di antara
negara di dunia mengenai hukum bidang ini, transaksi perdagangan sulit untuk dapat
berjalan dengan lancar dan pasti.21
Di samping itu, hukum nasional pada prinsipnya hanya berlaku di dalam
wilayah suatu negara, yaitu di wilayah hukum nasional tersebut diundangkan.
21 Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum, opcit, hlm 30.
18
Hukum tersebut, Hukum Kontrak Nasional, pada prinsipnya tidak dapat diberlakukan
di luar wilayah suatu negara. Dengan sifatnya yang terbatas pada wilayah atau
teritorial suatu negara, Hukum Kontrak Internasional tidak efektif untuk mengatur
transaksi yang sifatnya lintas batas atau transnasional.
Harmonisasi, menurut Hannu Honka adalah menyeragamkan aturan-aturan
atau prinsip-prinsip substantif dari hukum kontrak. Menurut Grace Xavier,
mengungkapkan realita hukum kontrak di masing-masing negara dengan ciri khasnya
masing-masing. Misalnya, India dan Malaysia memiliki hukum kontraknya sendiri.
Sedangkan Inggris tidak memiki hukum kontrak secara khusus.22
Oleh karena itu, upaya untuk mengharmonisasi aturan-aturan substantif tersebut
diperlukan. Seragam disini memiliki beberapa pengertian:
a. Seragam berarti aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum kontrak internasional
yang paling tidak adalah sama atau hampir sama (‘Similar or almost similar
rules’).
b. Seragam berarti penerapan aturan-aturan hukum kontrak internasional tidak
menyebabkan hasil yang berbeda-beda.23
Tujuan utama harmonisasi hukum, adalah berupaya mencari keseragaman atau
titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum
yang ada (yang akan diharmonisasikan).
Tujuan akhir dari Hukum Perdagangan Internasional sebenarnya merupakan
tujuan dari eksistemsi hukum perdagangan itu sendiri, terungkap beberapa tujuan
bidang Hukum Perdagangan Internasional ini sangat positif, yaitu mensejahterakan
negara-negara anggota dan warga negaranya. Untuk mencapai tujuan positif tersebut
harus dibarengi dengan mengetahui dan pemahaman aturan-aturan hukum
perdagangan itu sendiri.
4. Sumber Hukum Perjanjian (Kontrak) Internasional
Arti atau kata sumber Hukum Kontrak Internasional ini adalah di mana kita dapat
menemukan hukum yang mengatur kontrak internasional. Pengertian ini kadangkala
22 Grace Xavier, Global Harmonization of Contract Law, 20(1) Const L.J., 2004. 3.23 Hannu Honka, Harmonization of Contract, Op Cit, p. 113.
19
disebut sebagai sumber hukum formal. Sumber tersebut dapat digolongkan dalam
bentuk hukum, sebagai berikut:
a. Hukum Nasional (termasuk peraturan perundang-undangan suatu negara, baik
secara langsung atau tidak langsung terkait dengan kontrak);
b. Dokumen Kontrak;
c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang perdagangan Internasional yang terkait dengan
kontrak;
d. Prinsip-prinsip Hukum Umum;
e. Putusan Pengadilan;
f. Doktrin; dan
g. Perjanjian Internasional (mengenai kontrak).
Uraian tersebut diatur menurut derajat kekuatan mengikatnya, tetapi urutan
tersebut tidaklah mutlak. Misalnya, secara umum diakui bahwa hukum nasional
adalah sumber hukum yang utama.24
Menurut Sudargo Gautama, Hukum Kontrak Internasional adalah hukum
(kontrak) nasional yang ada unsur asingnya. Namun dalam hal-hal tertentu hukum
nasional mungkin saja tidak mengatur suatu bentuk atau obyek tertentu, yang menjadi
substansi dalam kontrak. Hukum nasional dalam bentuk perundang-undangan
misalnya agak statis, sedangkan perkembangan transaksi bisnis sifat dinamis dan
cepat. Sehingga acuan yang menjadi pegangan adalah sumber hukum lainnya seperti
kebiasaan dagang, putusan pengadilan, doktrin. Contoh lain, Dokumen Kontrak
adalah sumber hukum utama bagi para pihak. Dokumen kontrak adalah dibuat secara
tertulis dari kesepakatan para pihak. Dokumen kontrak adalah dokumen undang-
undang bagi para pihak. Sumber hukum lainnya adalah Perjanjian Internasional,
dapat digolongkan sebagai sumber hukum terpenting setelah hukum nasional dan
dokumen kontrak. Masyarakat bangsa di dunia menggunakan instrumen perjanjian
internasional sebagai sarana untuk menciptakan Hukum Kontrak Internasional baru,
mengharmonisasikan hukum dan mengkristalisasi Hukum Kebiasaan ke dalam bentuk
formal.25
24 Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum, Op Cit, hlm 69.25 Ibid, hlm 72.
20
C Kesimpulan1 Perjanjian atau kontrak sangat esensial, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang
perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Esensi kontrak adalah sekumpulan janji yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.26 Dalam Hukum Kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan berkontrak para pihak diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini
tertuang dalam perjanjian Berdasarkan prinsip atau aturan dasar ini, para pelaku harus melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam kontrak. Prinsip ini pun sifatnya universal, setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini.27
2 Asas pacta sunt servanda disebut juga asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat dari Perjanjian. Asas pacta sunt servanda ini, adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai mana layaknya suatu Undang-Undang, mereka tidak boleh mengadakan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda disimpulkan dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata : semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perkataan “semua” berisikan pernyataan kepada masyarakat bahwa : kita diperbolehkan membuat Perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan Perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti UndangUndang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
26 Syahmin A.K., Hukum Kodrat, Op Cit, hlm 17.27 Adolf Huala, Hukum Perdagangan….., Op Cit, hlm 16.
21
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Huala Adolf & An-An. Chandrawulan, Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
__________, Hukum Perdagangan Internasional, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
________, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Agus Suryana, Kiat Sukses Ekspor Impor, Progress, Jakarta, 2004.
Amir M.S., Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, Pustaka Binaman Presindo, Jakarta, 2001.
________, Kontrak Dagang Ekspor, edisi revisi, PPM, Jakarta, 2002.
________, Ekspor-Impor: Teori dan Penerapannya, Pustaka Binaman Presindo, Jakarta, 1991.
________, Seluk Beluk dan Tehnik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta, 2000.
________, Ekspor-Impor: Teori dan Penerapannya, PPM, Jakarta, 2005.
Bachsan Mustafa, Bewa Ragawini, Yaya Priatna, Asas-Asas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Armico, Bandung, 1982.
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD dan KUHPer, Sinar Grafika, Jakarta, 1984.
________, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Dagang, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000.
________, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000.
Chairul Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pembukuan Kredit Berdokumen (Documentary Credit Opening), Seksi Hukum Dagang FH UGM, Jogyakarta, 1979.
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan, Ind-Hill Co, Jakarta, 2002.
Gorrys Keraf, Komposisi Sebuah Kemahiran Bahasa, Nusa Indah, Jakarta, 1979.
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Lisensi, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
22
________, Seri Hukum Bisnis Efek Sebagai Benda, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
________, Efek Sebagai Benda, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
H. Man S. Sastrawidjaya, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005.
H.C. Gutteridge dan Maurice Megrah, The Law of Bankers Commercial Credits, 1976.
H.M. Arbi Syarif, Seri Impor Petunjuk Praktis Perdagangan Luar Negeri, dicetak dan diterbitkan oleh BPFE, Yogyakarta, Edisi 2003/2004.
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, PT Prenhalindo, Jakarta, 2002.
Karla C. Shippey, JD., Menyusun Kontrak Bisnis Internasional, (terjemahan Hesti Widyaningrum), PPM, Jakarta, 2001.
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum, Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, 2003.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
________, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1997.
Maurich Megrah, Mengutip dari Ramlan Ginting, Letter of Credit.
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
-----------------, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
23
Oden Shenkar, Ya dong Luo, International Business, Willy International edition, North America, 2004.
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999.
Parluhutan Situmorang, Jauhari Mahardika, Tri Listiyarini, Jurus-Jurus Berinvestasi Saham Untuk Pemula, TransMedia Pustaka, Jakarta, 2010.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional: Suatu Orientasi, CV Rajawali, Jakarta, 1983.
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Ramlan Ginting, Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2000.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Roselyne Hutabarat, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta, 1990.
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat dii Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Siswanto Sutojo, Membiayai Perdagangan Ekspor Impor, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2001.
Soepriyo Andhibroto, Letter of Credit Dalam Teori Dan Praktek, Dahara Prize, Semarang, 1987.
Steven R. Berger, Comments, The Effects of Issuing Bank Insolvensy on Letters of Credit, Harvard International Law Journal, Vol. 21 Nim. 1, Winter 1980.
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Internusa, Jakarta, 1987.
Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1996.
T.B. Irman S., Anatomi Kejahatan Perbankan, MQS Publishing, Jakarta, 2006.
Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Warsidi, Ekspor Impor Terapan, Karya Adhitama, Surabaya, 2003.
24
B. Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi Internasional
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/26/ULN Tanggal 12 Januari 1999 tentang Penjaminan L/C dan atau Pembiayaan L/C melalui Penempatan Dana Bank Indonesia pada Bank Asing.
Uniform Customs Practice for Documentary Credit (UCP 500).
Uniform Customs Practice for Documentary Credit (UCP 600) Revision 2007, ICC Publication 600.
United Nation Convention on Contract for the International Sale of Goods/ CISG (Konvensi tentang Jual Beli Internasional Tahun 1980).
UNIDROIT (The United Nations Commission on International Trade Law).
UNCITRAL (United Nations Commission on Trade Law) Arbitration Rules.
25
Recommended