View
223
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
kawula
Citation preview
318
Jangan pakai otak modern penuh polusi untuk memahamiperbudakan masa lalu. Maksudnya mengapa Al Quran takserentak saja mendeklarasikan pembebasan budak.Mengapa harus bertahap melalui kifarat sumpah, zihar, bahkan
berbagai amalan nafilah, pembebasan budak dilaksanakan secara
pasti, gradual dan tak mengguncangkan kehidupan sosial, politik,
terutama ekonomi masyarakat. Tentu saja Islam tak meng-
hendaki perbudakan dan selalu mendorong ke arah kebebasan
dan kemerdekaan. Ada budak sangat bersedih ketika tahu akan
dijual atau dimerdekakan. Ia akan kehilangan tuan yang telah
memberi kemerdekaan jiwa dan pikiran, sebelum fisik. Padahal
begitu banyak orang dengan pakaian seperti orang merdeka,
bergelimang lautan kekayaan, tapi mengidap penyakit mental
budak akut.
Kawula Mardika
54
Warisan sang Murabbi, Pilar-Pilar Asasi
319
Jalan mendaki jalan menantang. Orang yang nekat mener-
jangnya hanyalah yang berjiwa petualang. Karenanya Allah
memberi perjalanannya menuju maqam tinggi dengan sifat
istimewa; menerjang tanjakan sulit, Mengapa ia tidak menerjang
Aqabah (hambatan yang sulit) itu? (Qs. 90:11). Hambatan berat
itu pembebasan budak, memberi makan kaum dhuafa dan hidup
bersama (menjadi) orang-orang beriman, saling berpesan dalam
kesabaran dan kasih sayang (Qs.90:12-17).
Merdeka di Bawah Panji TauhidTauhid memiliki karakter pembebasan jauh sebelum orang
mengatakan pembebasan, dan melekatkannya pada ideologi atau
teologi yang dari akarnya membelenggu, fatalis, mesianic dan
zalim. Sebelum era Tauhid, budak belian tak pernah hadir dalam
pentas sejarah, karena sejarah hanya sekumpulan kisah kaum
steril: raja, permaisuri dan putera-puterinya. Kaum waisya, sudra,
paria tak pernah punya sebutan dan masa depan, kecuali karena
kenekatan semacam Ken Arok, yang memperoleh legitimasi
magis lewat keberaniannya melompati jenjang kasta baru.
Zaid bin Haritsah, bukan saja mendapat kemuliaan menjadi
Zaid bin Muhammad sebagai bentuk penghargaan egaliter,
bahkan kembali jadi Zaid bin Haritsah, karena memang ia sebuah
pribadi besar menentukan pilihannya dengan merdeka, bukan
oleh tekanan lingkungan atau tekanan hedonisme, trend dan
mode yang predator bagi jiwa rapuh. Muncullah generasi immaah
(Pak turut). Dan kemuliaan ini menjadi sempurna ketika namanya
tercantum dalam Al Quran, bukan nama sahabat lainnya (QS.
320
33:37). Zaid merdeka dengan mengambil pilihan sadar di saat
orang gemar dengan pilihan ganda.
Ketika tak ada yang berani menurunkan jenazah Abdullah
bin Zubair dari penyaliban di batang kurma. Asma binti Abu
Bakr Shiddiq, ibunya yang telah tua dan buta datang sendiri,
Turunkan dia, sergahnya pada Hajjaj gubernur Mekkah. Sang
ibu memangku tubuh syahid berbau harum dengan daging mulai
berjatuhan. Kudengar dari Rasulullah ada dua perusak di ummat
ini, pendusta dan penumpah darah. Sang pendusta telah kulihat
sendiri. Penumpah darah pasti engkaulah.
Siapa tak kenal Hasan Albashri? Ibunya mantan budak Ummu
Salamah, isteri Rasulullah SAW. Ketika ibunya pergi dan ia menan-
gis, Ummu Salamah menyusukannya dan ajaib mengalir susu
dalam kondisi dan usia mustahil itu. Ketika akhirnya tertang-
kap Hajjaj tiran ini, menyuruh algojo memenggal kepalanya.
Ajaib, setelah Hajjaj memandang wajahnya, ia jadi gamang dan
malu, terseret pusaran wibawanya. Hajjaj menanyakan berbagai
persoalan agama. Khalayak bertanya, apa yang diucapkannya
ketika melihat Hajjaj yang murka. Ia menjawab, Ya Allah,
Pengatur nikmat dan tempat berlindung saat susahku. Jadikan
siksanya sebagai penyejuk dan penyelamatku, sebagaimana
Engkau telah menjadikan api penyejuk dan penyelamat Ibrahim.
Hajjaj yang memeriksa dan menyuruh algojo membunuh Said
bin Jubair kehilangan wibawa di hadapan Said yang masih
menyebut beberapa kali Lailahaillallah sementara kepala itu telah
terpisah. Hanya beberapa hari sesudah itu Hajjaj mati dalam
sakratul maut mengerikan.
Kawula Mardika
321
Warisan sang Murabbi, Pilar-Pilar Asasi
Suatu hari Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto seperti
dituturkan Alm KH. Dalari Oemar mendatangi walikota Jakarta
di jaman penjajahan Belanda. Hentikan niat menggusur masjid
Cikini (Jl. Raden Saleh, masjid bersejarah yang dilindungi),
sergahnya. Tapi penduduk sekitarnya banyak kaum Nasrani,
jawab walikota. Siapa yang lebih dulu, masjid atau penduduk
Nasrani?lanjutnya. Ya, masjid,jawab walikota. Nah, kalau
begitu mereka yang harus pergi atau biarkan masjid itu berdiri,
masih ada jamaah yang memerlukannya, tangkis HOS. Tapi
para ulama semua sudah tanda tangani persetujuan, jawab
walikota. Masih ada yang belum tanda tangan, jawabnya lagi.
Siapa itu, walikota heran. Aku, aku yang belum dan tak akan
tanda tangan. Langkahi mayatku, sebelum bongkar masjid itu.
Ketika walikota tak berdaya dan mengangkatnya ke Gubernur
Jendral, hal sama diungkapkan. Pendiriannya tak berubah dan
sampai hari ini masjid itu tetap tegak. Apa karena penguasa
sekarang Londo Ireng, lalu dengan bebas menggusuri masjid dan
rumah jamaahnya? Wallahualam.
Tak ada hinanya jadi orang desa atau berasal dari desa. Yang
jadi hina bila orang desa pergi ke kota dan kehilangan harga diri
di sana. Mereka yang mengklaim datang membebaskan penger-
tian Islam dari belenggu dengan cara memberi belenggu baru,
sesungguhnya telah memberi aib, bukan pembebasan. Belenggu
itu adalah hawa nafsu dan perasaan rendah diri menjadi Mukmin.
Fana dalam KebajikanBila belenggu makin mengencang pada mereka yang merasa
322
telah membebaskan diri dari ikatan ilahiyah, maka kebebasan
tertinggi dicapai mereka yang telah fana, lebur dalam pengab-
dian. Seekor kupu-kupu tua ingin mengajarkan anak-anaknya
hakekat cinta dan pengabdian. Siapa di antara kalian dapat
membuktikan panasnya api? Sulungnya menjawab, Aku akan
membuktikannya. Ia berputar disekitar api dan mendekatkan
sayap sampai terasa panasnya. Ia kembali menceritakan betapa
panas itu dirasakannya. Adiknya tampil. Bukan begitu, aku akan
membuktikannya. Ia berputar dekat api dan menyulut sedikit
sayapnya. Nah, lihatlah, sayapku terbakar. Ini buktinya. Bung-
sunya menyusul. Aku akan memberikan bukti tak terbantah.
Ia berputar sekitar api dan menerjunkan diri ke api sampai binasa
di sana.
Orang kini merindukan totalitas dari para penutur kebenaran,
walau mereka sendiri takut melaksanakannya. Inikah tanda titik
jenuh kemungkaran sudah menemukan kulminasinya? Di
kalangan orang saleh dikenal tiga kerangka pematangan syakh-
siyah (kepribadian), bagaimana mereka harus mengutuhkan
komitmen kebenaran. Pertama, fana (lebur, larut, totalitas) dalam
Allah. Kedua, baqa (kekal, selalu) bersama Allah. Ketiga, liqa
(berjumpa) Allah. Dalam metode pencapaian, mereka menyu-
sun tiga anak tangga. Pertama, takhalli (pengosongan diri) dari
segala yang negatif. Kedua, tahalli (berhias diri) dengan segala
yang positif, ketiga, tajalli (pencerahan) dalam cahaya Allah.
Sawah Subur dalam Kerontang MusimBalam bin Baura dan Kab bin Alasyraf dua figur yang mes-
Kawula Mardika
323
Warisan sang Murabbi, Pilar-Pilar Asasi
tinya minoritas, seperti pencuri mestinya lebih sedikit dari
mangsanya. Tapi bila munafik mayoritas dan pencuri melimpah,
maka kiamat bukan lagi sudah dekat, tapi sudah datang, setidak-
nya kiamat nilai-nilai mulia. Ibu-ibu jadi budak anak dan budak-
budak perempuan melahirkan bayi tuannya. Rakyat miskin
telanjang badan, telanjang kaki, fakir-miskin dan gembala
domba, berlomba meninggikan bangunan. Wajah-wajah terbuat
dari tembok dan urat bertukar urat badak. Korupsi di tengah
keramaian, lalu melombakan bacaan Kitab Suci dan berbincang
fasih seputar agama dan kitab suci.
Recommended