View
221
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK
PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA
INDAH SUCI RAMADHANI
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Komparatif
Risiko Keuangan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta adalah
benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Indah Suci Ramadhani
NIM H24114056
1 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
ABSTRAK
INDAH SUCI RAMADHANI. Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR milik
Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta. Dibimbing oleh ALI
MUTASOWIFIN.
Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat
untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang memerlukan dananya tetap
aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat
dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang,
bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan semaksimal
mungkin sesuai dengan standar pelayanan jasa. Dengan kondisi seperti ini
lembaga perbankan sangat berperan penting, terutama BPR untuk menyalurkan
kredit yang digunakan untuk produktif maupun konsumtif. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu BPR Milik Pemerintah Daerah
yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk konsumtif dan BPR
milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk produktif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat risiko
keuangan yang dialami selama tahun 2010, 2011 dan 2012. Pengelolaan data yang
dilakukan menggunakan perhitungan rasio keuangan bank dan z-score. Dari hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai
tingkat risiko yang lebih kecil karena pihak BPR dapat bekerjasama dengan
perusahaan atau instansi pemerintah daerah lain untuk memotong upah atau gaji
karyawan. Sedangkan BPR milik Swasta mempunyai risiko yang lebih besar
karena ada kemungkinan usaha mengalami kebangkrutan sehingga tidak dapat
membayar kredit yang diterimanya.
Kata kunci: Risiko Keuangan, Rasio Keuangan, Z-Score
ABSTRACT
INDAH SUCI RAMADHANI. Comparative Analysis of Financial Risk in
Government Rural Bank and Private Rural Bank. Supervised by ALI
MUTASOWIFIN.
As the society needs in life is increasing, a place to manage their financial
aspect is needed. Everyone needs to make sure that their capital is safe,
developing, and easy to use for urgent things and also could be enjoyed in their
retired life. Based on that expectation, bank is challenged to give the best and
excellent service according to the standard. One of banking institutions which has
important role is Rural Bank to distribute the consumptive and productive credit.
Samples that are uses in this research is one of Rural Bank that belongs to the
government which most of its capital used for consumtive credit. And another
sample is Privat Rural Bank which most of its capital is used of productive credit.
The objective of this research is to identify the comparative level of identify the
comparative level of financial risk in 2010, 2011, 2012. Data processing wash
conducted using bank financial ratio measurement and Z-Score. It Can be seen
from the result that Government Rural Bank has samller level risk because it
cooperated with another government company to cut off the employee’s salary.
Meanwhile the Privat Rural Bank has higher risk because of the possibility to go
into liquidation in case they couldn’t pay the credit that they have received.
Keywords: Financial Risk, Financial Ratio, Z-Score
ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK
PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA
INDAH SUCI RAMADHANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Program Sarjana Alih Jenis Manajemen
Departemen Manajemen
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR Milik Pemerintah
Daerah dan BPR Milik Swasta
Nama : Indah Suci Ramadhani
NIM : H24114056
Disetujui oleh
Ali Mutasowifin, S.E., M.Ak.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Mukhamad Najib, STP, MM
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Analisis KomparatifRisiko Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah dan BPR Milik Swasta
Nama : Indah Suci Ramadhani NIM : H24114056
Disetujui oleh
Ali Mutasowifm, S.E., M.Ak. Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus: 1 3 MAR 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dipilih dalam penelitian yang diselesaikan sejak bulan April 2013
sampai Januari 2014 ini ialah Analisis Komparatif Risiko KeuanganBPR milik
Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta .
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ali Mutasowifin, S.E, M.Ak. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada ibu Maryamah, kakak Maswamah Safitri, Rifki Harianssa, Ahmad
Reza Rahmadi serta seluruh keluarga dan teman, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi rekan pembaca.
Bogor, Maret 2014
Indah Suci Ramadhani
DAFTAR ISI
PERNYATAAN iii
ABSTRAK v
PRAKATA xi
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 4 Fungsi Kegiatan Usaha BPR 6 Kriteria Penilaian BPR 7 Pengertian Risiko 7 Risiko Bisnis 7 Risiko Keuangan 8 Laporan Keuangan 8
Laporan Rugi/Laba 8
Laporan Neraca 9 Arus kas 10
Rasio Keuangan 11 Aspek Keuangan 11 Rasio Keuangan Bank 12 Rasio Likuiditas 12
Rasio Solvabilitas 13 Rasio Rentabilitas 13
Analisis Diskriminan (Z-Score) 14
Penelitian Terdahulu 18
METODOLOGI PENELITIAN 19 Kerangka Pemikiran 19 Lokasi dan Waktu Penelitian 20
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 20
Analisis Data 21
Rasio Keuangan 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 22 Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah 22 Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta 23 Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah 24
Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta 26 Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah 28 Analisis Z-Score BPR Milik Swasta 29 Pembahasan 29
Rasio Likuiditas 30 Rasio Solvabilitas 30 Rasio Rentabilitas 30 Z-Score 30
Implikasi Manajerial 31
SIMPULAN DAN SARAN 31 Simpulan 31 Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
RIWAYAT HIDUP 39
DAFTAR TABEL
1. Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan Maret 2013 2 2. Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta 6 3. Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 7 4. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public (public
manufacturing) 15 5. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan yang belum go public 15 6. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan non-manufaktur 16 7. Rasio Keuangan Bank 21 8. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah 24 9. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta 27 10. Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah 28 11. Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta 29
DAFTAR GAMBAR
1. Laporan Rugi/Laba 9 2. Neraca 10 3. Arus Kas 11 4. Kerangka pemikiran penelitian 20
DAFTAR LAMPIRAN
1. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Pemerintah Daerah 34 2. Neraca BPR Milik Pemerintah Daerah 35 3. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Swasta 36 4. Neraca BPR Milik Swasta 37
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbankan berperan sangat penting untuk perekonomian nasional, sebagai
lembaga intermediasi atau institusi perantara antara debitur dan kreditur. Bank
dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan
giro, tabungan dan deposito, selain itu juga sebagai tempat untuk meminjamkan
uang bagi masyarakat dan perusahaan yang membutuhkan. Bank dikenal juga
sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala
macam bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, air, telepon, kuliah, pajak,
gas alam dan pembayaran lainnya. Fungsi sebagai lembaga perantara yang
dilaksanakan oleh industri perbankan adalah bagian yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
akan dana pada saat pembangunan semakin meningkat. Industri perbankan
merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yang
diinginkan.
Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat
untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang menginginkan dananya tetap
aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat
dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang,
bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Pelayanan terbaik yang
dimaksud adalah bagaimana bank melayani para nasabahnya dengan standar-
standar pelayanan jasa keuangan agar dapat meraih nasabah dengan profit
semaksimal mungkin. Tentunya setiap bank berkeinginan agar pengumpulan dana
dari masyarakat terus bertambah sehingga jumlah kredit yang disalurkan kembali
ke masyarakat bisa meningkat dan penghasilan bank bisa meningkat pula seiring
dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan. Namun dalam menyalurkan
pemberian kredit, bank juga harus memperhatikan tingkat resiko kredit macet
yang akan terjadi.
Dengan kondisi seperti ini lembaga perbankan sangat berperan penting,
terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR), karena fungsi BPR tidak hanya
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan dari masyarakat. Hal ini beda dengan bank umum yang
mempunyai fungsi utamanya yaitu penciptaan uang, mendukung kelancaran
mekanisme pembayaran, menghimpun simpanan dana masyarakat, mendukung
kelancaran transaksi internasional, penyimpanan barang-barang berharga dan
pemberian jasa lainnya.
Perbedaan antara BPR dengan Bank Umum adalah dalam kegiatannya, yaitu
bank umum memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan BPR
tidak. Jasa lalu lintas pembayaran adalah jasa yang diberikan perbankan untuk
nasabah misalnya kliring, dan jual beli valuta asing. Maka BPR tidak terlibat
dalam kliring dan kegiatan usaha valuta asing. Ditinjau dari kegiatan usaha bank
umum dan BPR, perbedaannya terletak pada bentuk simpanan dana yang
dihimpun dari masyarakat. BPR tidak menghimpun dana dalam bentuk giro dan
deposito, hanya menerima dalam bentuk tabungan dan deposito. Maka BPR tidak
dapat melakukan transaksi giral. Sedangkan bank umum dapat melakukan
2
transaksi giral. Dilihat dari sasaran BPR pun berbeda dengan Bank Umum yaitu
melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil,
pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat dijangkau oleh bank
umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan
kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan. Dapat dilihat pada Tabel 1
adanya perubahan jumlah BPR, total asset BPR dan sumber dana BPR yang
tercatat di Bank Indonesia per Maret 2012 dan Maret 2013
Tabel 1 Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan
Maret 2013
Keterangan 2012 2013
Jumlah BPR 1.665 1.653
Total Aset Rp 57.211 Miliar Rp 68.645 Miliar
Sumber Dana Rp 46.763 Miliar Rp 56.443 Miliar
Penurunan jumlah BPR yang ada di Indonesia diakibatkan karena ditutup
atau bangkrut. Tingkat bunga simpanan yang berlaku periode 15 Januari 2013
sampai dengan 14 Mei 2013, BPR menawarkan sebesar 8% sedangkan bunga di
Bank Umum sebesar 5,5%. Bunga rata-rata tersebut jauh lebih besar daripada
bunga yang ditawarkan bank umum. Artinya BPR harus bersaing dengan bank
umum untuk memperebutkan dana masyarakat. Salah satu akibat bunga kredit
BPR lebih tinggi yaitu 31,98% untuk kredit modal, 28,33% untuk kredit investasi
dan 27,12% untuk kredit konsumsi. Jika BPR harus bersaing dengan bank umum
jelas tidak bisa. Walaupun BPR khusus untuk melayani masyarakat pedesaan dan
pelaku Usaha Mikro dan Kecil, namun masyarakat pedesaan dan pelaku Usaha
Mikro dan Kecil tidak ada larangan untuk meminjam ke bank umum.
Saat ini beberapa BPR telah memberikan kredit untuk keperluan konsumtif
kepada masyarakat, namun tindakan ini tidak sesuai dengan tujuan utama BPR.
Maka Bank Indonesia meminta kepada BPR untuk menurunkan porsi kredit
konsumsi karena dapat membahayakan kualitas pembiayaan. Kredit konsumsi
memang tidak bisa dihilangkan dari bisnis bank termasuk BPR karena beberapa
kebutuhan pinjaman mendesak menggunakan pembiayaan ini. Beberapa
kebutuhan yang banyak menggunakan pinjaman ini antara lain untuk anak sekolah
dan biaya berobat rumah sakit. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kredit
konsumtif yang disalurkan oleh BPR mencapai Rp 19,53 triliun pada akhir Januari
2012, atau sekitar 47,15% dari seluruh portofolio pembiayaan yang mencapai Rp
41,42 triliun. Kredit konsumsi memiliki porsi terbesar dari keseluruhan
pembiayaan dan sedikit di atas modal kerja yang sebesar Rp 19,5 triliun. Adapun
kredit investasi hanya memiliki porsi Rp 2,39 triliun. Hingga akhir Januari 2012,
kredit yang disalurkan oleh industri BPR mencapai Rp 41,42 triliun, tumbuh
21,25% dibandingkan dengan Januari 2011 yang tercatat Rp 34,16 triliun.
Sementara itu, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 28,79 triliun,
menurun dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 32,03 triliun.
BPR perlu mengetahui seberapa besar resiko yang akan ditanggung apabila
memberikan kredit yang digunakan untuk konsumtif dan kredit yang digunakan
untuk produktif. Karena BPR harus memperhitungkan seberapa besar
pengembalian yang diterima dalam waktu dekat agar tetap dapat mejalankan
kegiatannya.
3
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPR seluruh
Indonesia. Sampel dipilih secara purposive yaitu salah satu BPR milik Pemerintah
Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif dan BPR milik
Swasta yang memberikan sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif.
BPR milik Pemerintah Daerah memberikan kredit kepada pegawai yang
membutuhkan dana yang digunakan untuk konsumtif. Dilihat dari risiko yang
akan terjadi, kredit untuk konsumtif akan lebih rendah karena dapat langsung
dipotong dari gaji mereka. Sedangkan BPR milik Swasta yang lebih besar
memberikan kredit untuk produktif lebih besar risikonya, karena nasabah akan
mengembalikan pinjaman kepada BPR apabila usaha mereka telah mendapatkan
keuntungan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengambil judul
“ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BANK
PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIK PEMERINTAH DAERAH DAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIKI SWASTA”.
Rumusan Masalah
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi 11 Januari 2013 mencatat kredit
tahunan tumbuh subur 21,51% dari Rp 40,68 triliun per November 2011 menjadi
Rp 49,43 triliun per November 2012. Dana pihak ketiga (DPK) yang hanya
meliputi deposito dan tabungan tumbuh kalah subur, yakni 17,57% dari Rp 37,28
triliun menjadi Rp 43,83 triliun. Dengan aneka keterbatasan, BPR masih kalah
dibandingkan bank umum dalam pertumbuhan kredit 21,94% dan DPK 18,14
persen. Menurut laporan BI, nilai outstanding kredit BPR yang hingga akhir
kuartal 2012 mencapai Rp 4,15 triliun, tercatat mengalami peningkatan per kuartal
sebesar 5,88%, atau 16,82% secara tahunan. Pertumbuhan pangsa kredit tertinggi
secara kuartal diduduki kredit konsumsi yang mencatat pertumbuhan sebesar
7,64%. Sedangkan secara tahunan, pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh kredit
investasi, yakni sebesar 46,50%. Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit
BPR untuk sektor perdagangan masih memiliki pangsa yang terbesar. Nominal
kredit sektor perdagangan mencapai Rp 0,34 triliun dengan pangsa sebesar 8,19%
dari total kredit BPR di kuartal laporan. Sejalan dengan peningkatan kualitas
kredit di bank umum, kualitas kredit BPR juga mengalami peningkatan. Hal itu
tercermin dari rasio NPL (Non Performing Loan) BPR yang turun dari 1,68%
menjadi 1,47%.
Saat ini beberapa BPR lebih besar memberikan kredit untuk konsumtif dari
pada untuk produktif. Karena dilihat dari tingkat risiko pengembaliannya bahwa
kredit untuk konsumtif lebih rendah dari pada kredit untuk produktif. Dilihat dari
pembayarannya, kredit konsumtif lebih rendah resiko gagal bayarnya karena dapat
langsung dipotong dari penghasilan perbulannya. Sementara, kredit yang
disalurkan untuk produktif, akan menjadi kredit macet atau hutang tersebut tidak
dapat dibayar apabila usahanya mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik pemerintah
daerah dan BPR milik swasta?
2. Bagaimana kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik
swasta?
4
Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini agar sesuai dengan sasaran
adalah :
1. Mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik
pemerintah daerah dan BPR milik swasta.
2. Menganalisis kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik
swasta.
Manfaat penelitian
Dari pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain
yaitu :
1. Manfaat bagi penulis untuk menambah wawasan tentang risiko keuangan dan
mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan BPR milik pemerintah
daerah dan BPR milik swasta.
2. Manfaat bagi pihak perusahaan untuk menjadi masukan dalam menyusun
kebijakan perusahaan dan meminimalkan risiko keuangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Dari rumusan permasalahan yang telah dibuat maka ada beberapa hal yang
harus dibatasi dalam membahas permasalahan tersebut, antara lain :
1. BPR milik Pemeritah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya
untuk konsumtif.
2. BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk
produktif.
3. Laporan Keuangan tahun 2010 sampai 2012.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah UU No. 7/1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10/1998. Dalam UU
tersebut disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Menurut Bank Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat yang biasa
disingkat dengan BPR adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani
golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah dengan lokasi yang pada
umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan.
Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil
dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa perseroan
terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi. Pengertian lain tentang BPR adalah
salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan
5
menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat
yang membutuhkan. Dilihat dari kepemilikannya BPR yaitu:
a. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah
daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, dan
pemerintah daerah.
b. BPR yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
c. BPR yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat
diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
d. Perubahan kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
e. Merger dan konsolidasi antara BPR, serta akuisisi BPR wajib mendapat ijin
Merited Keuangan sebelumnya setelah mendengar pertimbangan Bank Indo-
nesia. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan
clengan Peraturan Pemerintah.
Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik
pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing.
a. Bank Milik Pemerintah
Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya
dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh
pemerintah pula.Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri.
Selain itu ada juga bank milik pemerintah daerah yang terdapat di daerah
tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi. Contoh Bank DKI, Bank
Jateng, dan sebagainya.
b. Bank Milik Swasta Nasional
Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh
swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga dipertunjukkan untuk
swasta pula. Contohnya Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia,
Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain.
c. Bank Milik Asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik
swasta asing atau pemerintah asing.Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar
negeri.Contohnya ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain.
Bentuk hukum BPR dapat berupa Perusahaan Daerah (Badan Usaha Milik
Daerah), Koperasi Perseroan Terbatas (berupa saham atas nama), dan bentuk lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
membagi jenis BUMD menjadi dua bentuk yaitu Pemerintah Daerah (PD) dan
Perseroan Terbatas (PT). Perbedaan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik
swasta dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta
Keterangan BPR Milik Pemerintah
Daerah
BPR Milik Swasta
Kepemilikan Modalnya dimiliki 100%
oleh Pemerintah Daerah.
Modalnya seluruhnya
dimiliki oleh swasta dan
tidak ada campur tangan
pemerintah, baik orang
perorang maupun
bersama-sama oleh
banyak orang dalam
bentuk pemilikan saham
atau simpanan pokok
Koperasi.
Pengambilan
Keputusan
Pemerintah Daerah
berperan besar dalam
penentuan kebijakan BPR.
Tidak ada peran
Pemerintah Daerah dalam
pengambilan keputusan.
Seluruhnya dilakukan
oleh pemegang saham.
Penambahan Modal Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD)
Investor
Fungsi Kegiatan Usaha BPR
Menurut Latumaerissa (2011), fungsi BPR tidak hanya sekedar
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada
masyarakat, BPR menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, dan
Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih
sederhana dan sangat mengerti kebutuhan nasabah. Selain itu peran BPR juga
untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lain yang serupa; dan memberikan kredit dalam bentuk Kredit
Modal Kerja, Kredit Investasi, maupun Kredit Konsumsi. Adapun kegiatan usaha
yang dapat dilakukan BPR secara detail adalah:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang serupa
b. Memberikan kredit
c. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito
berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh BPR antara lain:
a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta
asing (dengan izin Bank Indonesia)
c. Melakukan penyertaan modal
d. Melakukan usaha perasuransian
e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada
kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR
7
Kriteria Penilaian BPR
Bank Indonesia, mempunyai beberapa kriteria untuk penilaian kinerja BPR
yang bisnisnya meningkat secara signifikan. Kriteria
yang digunakan dalam penilaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa BPR yang memiliki predikat tingkat
kesehatannya dengan kriteria sehat, faktor manajemen cukup sehat, NPL kurang
dari 5%, CAR lebih dari 12%, LDR lebih dari 81% dan kurang dari 94,74%,
BOPO kurang dari 88,55, pertumbuhan kredit lebih dari 10% dan pertumbuhan
DPK lebih dari 5% merupakan BPR yang bisnisnya meningkat signifikan menurut
Bank Indonesia. Dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka
BPR dapat menilai sendiri bisnis yang telah dijalaninya.
Pengertian Risiko
Menurut Mardiyanto (2009), resiko adalah ketidakpastian perolehan atas
imbal hasil dari suatu aktiva finansial tertentu. Makin tinggi tingkat resiko yang
harus ditanggung makin besar imbalan hasil yang mungkin diperoleh, begitu juga
sebaliknya. Sedangkan manajemen resiko adalah suatu cara yang proaktif,
terkoordinasi, bernilai efektif dan memahami pemrioritasan dalam menanggulangi
ancaman terhadap perusahaan.
Risiko Bisnis
Menurut Mardiyanto (2009), risiko bisnis didefinisikan sebagai ketidak
pastian atas proyeksi tingkat pengembalian aktiva, atau atas ekuitas (ROE) jika
perusahaan tidak menggunakan utang.
Risiko bisnis berbeda-beda di antara industri dan juga di antara perusahaan
yang satu dengan yang lain dalam industri yang sama. Bagitu pula risiko bisnis
dapat berubah dari waktu ke waktu. Perusahaan kecil dan perusahaan yang hanya
memproduksi satu jenis produk saja juga mempunyai risiko yang relatif tinggi.
Kinerja 5 Tahun Terakhir Kriteria
Predikat Tingkat Kesehatan S
Faktor Manajemen Minimal CS
NPL (gross) < 5%
CAR > 12%
LDR 81% < LDR < 94,74%
BOPO < 88,5%
Pertumbuhan Kredit > 10%
Pertumbuhan DPK > 5%
8
Risiko Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), risiko keuangan adalah tambahan risiko bagi
pemegang saham biasa akibat penggunaan leverage keuangan. Leverage keuangan
merujuk pada penggunaan sekuritas yang memberikan penghasilan tetap yaitu
utang dan saham preferen. Secara konseptual, perusahaan mempunyai sejumlah
risiko yang melekat pada operasinya.
Menurut Hempel, et.al (1994:88) resiko perbankan dipengaruhi oleh
lingkungan, sumberdaya manusia, layanan keuangan, dan neraca. Berdasarkan
karakteristik perbankan tersebut, maka resiko dapat diklasifikasikan atas
environmental risks (resiko lingkungan), management risks (resiko
manajemen), delivery risks (resiko operasi), dan financial risks (resiko keuangan).
Resiko keuangan dapat ditelusuri melalui analisis diskriminan keuangan (Z-
score).
Menurut Hempel (1994: 89), cara mengukur dan mengelola resiko keuangan
(financial risks) perbankan, sebagai berikut: Resiko kredit dapat diatasi dengan
cara: Melakukan analisis kredit secara baik dan benar, dokumentasi kredit,
pengendalian dan pengawasan kredit, penilaian terhadap resiko khusus. Resiko
Likuiditas dapat diatasi dengan cara: Membuat perencanaan likuiditas, membuat
rencana kontingensi, analisis biaya dan penentuan bunga kredit, pengembangan
sumber pendanaan. Resiko Suku bunga dapat diatasi dengan cara: Membuat
analisis kepekaan bunga terhadap aktiva, Membuat analisis durasi, penilaian
bunga antar waktu Resiko leverage dapat diatasi dengan cara: Membuat
perencanaan modal, analisis pertumbuhan usaha berkelanjutan, memantapkan
kebijakan dividen, melakukan penyesuaian resiko terhadap kecukupan modal.
Laporan Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), laporan keuangan adalah catatan informasi
keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan
untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Pencatatan transaksi
akuntansi dapat didasarkan pada salah satu dari dua macam metode: dasar kas
(cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Dalam dasar kas, transaksi diakui
jika kas pendapatan (revenue) telah diterima dan kas beban (expenses) sudah
dibayarkan.
Prinsip dasar akrual adalah penyamaan (matching) perbedaan waktu antara
manfaat yang diterima dan beban yang harus dibayarkan. Dua laporan keuangan
yang umumnya memakai dasar akrual adalah laporan rugi/laba dan neraca.
Sementara itu laporan arus kas (cash flow statement) adalah laporan yang juga
didasarkan atas dasar akrual, tetapi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga
mencerminkan arus kas yang sebenarnya.
Laporan Rugi/Laba
Laporan rugi/laba adalah laporan yang menunjukkan kegiatan operasi
perusahaan pada periode tertentu terbagi dalam dua bagian utama. Pada bagian
pertama, pendapatan, yang meliputi pendapatan operasi (berasal dari aktivitas
penjualan) dan pendapatan nonoperasi (misalnya, hasil penjualan aktiva tetap).
Pendapatan operasi (penjualan) biasanya dinyatakan dalam istilah penjualan
9
bersih, yakni penjualan mula-mula dikurangi oleh potongan penjualan dan retur
penjualan. Yang kedua, beban operasi (beban penjualan dan beban administrasi),
beban bunga dan pajak. Bentuk laporan rugi/laba dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Laporan Rugi/Laba (Mardiyanto, 2009)
Laporan Neraca
Laporan neraca adalah laporan yang mengungkapkan posisi keuangan
(kekayaan) dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu mencakup aktiva (asset),
utang (liability), dan ekuitas (equity). Hubungan ketiganya disebut sebagai
persamaan akuntansi, yakni aktiva sama dengan utang ditambah ekuitas.
Aktiva dicatat di sebelah kiri atau bagian atas neraca, yang terdiri dari atas
aktiva lancar (misalnya kas, surat berharga jangka pendek, piutang usaha,
persediaan, biaya dibayar di muka, perlengkapan); investasi pada sekuritas jangka
panjang (misalnya pembelian saham dan obligasi); aktiva tetap berwujud
(misalnya tanah, bangunan, mesin, kendaraan, dan peralatan); dan aktiva tetap tak
berwujud (misalnya hak paten).
Utang dan ekuitas dicatat di sebelah kanan atau bagian bawah neraca. Utang
meliputi utang lancar (misalnya utang usaha, utang gaji, dan utang pajak) serta
utang jangka panjang (misalnya hipotik dan obligasi). Sementara itu, ekuitas
untuk perusahaan berbentuk perseroan terbatas mencakup saham preferen, saham
biasa, tambahan modal disetor dan laba ditahan. Bentuk neraca dapat dilihat pada
Gambar 2.
Laporan Rugi/Laba
Penjualan Bersih x
Harga Pokok Penjualan (x)
Laba Kotor x
Beban Operasi:
Beban Penjualan x
Beban Umum Administrasi x
Jumlah Beban Operasi (x)
Laba Operasi (Laba Sebelum Bunga dan Pajak) x
Beban Nonoperasi:
Beban Bunga (x)
Laba Sebelum Pajak x
Pajak (x)
Laba Bersih Setelah Pajak xx
Dividen Saham Preferen (xx)
Dividen Pemegang Saham Biasa xxx
10
Gambar 2. Neraca (Mardiyanto, 2009)
Arus kas
Laporan yang menunjukkan arus kas perusahaan pada periode tertentu
bersumber dari kegiatan operasi, kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan.
Kegiatan operasi adalah kegiatan mencari laba. Arus kas masuk penting dari
kegiatan itu, bersumber dari penjualan dan tagihan piutang usaha. Sebagian besar
arus kas keluarnya digunakan untuk membayar beban, utang usaha, bunga dan
pajak. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang membutuhkan pengeluaran
arus kas, terutama untuk pembelian aktiva tetap dan investasi sekuritas jangka
panjang.
Kegiatan pendanaan adalah kegiatan mencari sumber arus kas masuk,
khususnya yang berasal dari utang jangka panjang dan penerbitan saham baru.
Penting diketahui bahwa tambahan arus kas masuk dari utang jangka pendek yang
berasal dari penerbitan wesel bayar dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan
(bukan kegiatan operasi). Masuk pula dalam kegiatan ini adalah pembayaran
deviden kepada pemegang saham. Arus kas keluar untuk pembayaran pokok utang
dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan, tetapi pembayaran bunganya
dimasukkan ke dalam kegiatan operasi.
Laporan arus kas kadang-kadang disebut laporan sumber dan penggunaan
kas. Angka-angka yang dimasukkan ke dalam laporan arus kas berasal dari
perubahan pada neraca dua tahun terakhir. Penambahan aktiva merupakan
penggunaan kas. Sebaliknya, penurunan aktiva adalah sumber kas. Sementara itu,
penambahan utang dan ekuitas merupakan sumber kas. Sebaliknya, penurunan
utang dan ekuitas adalah penggunaan kas. Jumlah bersih kas dari kegiatan operasi,
kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan akan sama dengan jumlah bersih dari
kas dan surat-surat berharga jangka pendek. Bentuk laporan arus kas dapat dilihat
pada Gambar 3.
Aktiva Passiva
Aktiva Utang
Aktiva Lancar x Utang Lancar x
Investasi Sekuritas Jangka Panjang x Utang Jangka Panjang x
Aktiva Tetap Berwujud (netto) x Jumlah Utang xx
Aktiva Tak Berwujud Ekuitas:
Saham preferen x
Saham Biasa x
Tambahan Modal Disetor x
Laba Ditahan x
Jumlah Ekuitas xx
Jumlah Aktiva xxx Jumlah Utang dan Ekuitas xxx
11
Gambar 3. Arus Kas (Mardiyanto, 2009)
Rasio Keuangan
Menurut James C Van Horne dalam Kasmir (2010) rasio keuangan
merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh
dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan
untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Rasio keuangan
hanya merupakan cara untuk merangkum sejumlah besar data keuangan dan
membandingkan kinerja perusahaan. Analisis rasio keuangan merupakan
peralatan (tools) untuk memahami laporan keuangan (khususnya neraca dan laba-
rugi). Ada tiga jenis analisis dalam analisis rasio, yakni:
a. Analisis Silang (cross-sectional) yang membandingkan rasio dalam waktu
(tahun) yang sama.
b. Analisis Runtun waktu (time-series) yang membandingkan rasio dalam waktu
(tahun) yang berbeda.
c. Analisis gabungan (combined) yang menyatukan kedua analisis sebelumnya.
Aspek Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), ada lima aspek keuangan yang penting untuk
dianalisis, yakni:
a. Likuiditas (liquidity)
Likuiditas mengukur kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban
(utang) jangka pendek tepat pada waktunya, termasuk melunasi bagian utang
jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun bersangkutan.
b. Aktivitas atau aktiva (activity or asset)
Aktivitas atau aktiva mengukur kemampuan aktiva perusahaan dalam
menghasilkan pendapatan (penjualan).
c. Utang (debt) atau solvabilitas (solvability) atau leverage
Utang, solvabilitas atau leverage mengukur dua hal yakni proporsi utang
perusahaan yang digunakan untuk membiayai investasi dan kemampuan
perusahaan dalam membayar utangnya (khususnya dalam jangka panjang).
d. Profitabilitas (profitability)
Kegiatan Operasi:
Laba Bersih Setelah Pajak x
Penyusutan x
Perubahan Pada Aktiva Lancar (kecuali kas dan setara kas) x
Perubahan Pada Utang Lancar (kecuali wesel bayar) x
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Operasi xx
Kegiatan Investasi:
Perubahan Pada Aktiva Tetap (gross) x
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Investasi xx
Kegiatan Pendanaan:
Perubahan Pada Wesel Bayar x
Perubahan Pada Utang Jangka Panjang x
Perubahan Pada Ekuitas (kecuali laba ditahan) x
Pembayaran deviden x
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Pendanaan xx
Perubahan Bersih Kas dan Surat Berharga Jangka Pendek xxx
12
Profitabilitas mengukur kesanggupan perusahaan untuk menghasilkan laba
e. Nilai pasar (market value)
Nilai pasar mengukur kinerja saham perusahaan di pasar modal.
Rasio Keuangan Bank
Menurut Kasmir (2010), rasio keuangan yang digunakan oleh bank dengan
perusahaan nonbank sebenarnya relatif tidak jauh berbeda. Perbedaannya terutama
terletak pada jenis rasio yang digunakan untuk menilai rasio yang jumlahnya lebih
banyak. Hal ini wajar saja karena komponen neraca dan laporan laba rugi yang
dimiliki bank berbeda dengan laporan neraca dan laba rugi perusahaan nonbank.
Bank merupakan perusahaan keuangan yang bergerak dalam memberikan
layanan keuangan yang mengandalkan kepercayaan dari masyarakat dalam
mengelola dananya. Risiko yang dihadapi bank jauh lebih besar ketimbang
perusahaan nonbank sehingga beberapa rasio dikhususkan untuk memerhatikan
rasio ini.
Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas mengukur seberapa mudah perusahaan dapat memegang
kas. Rasio likuiditas juga memiliki beberapa karakteristik yang kurang diinginkan.
Karena aset dan kewajiban jangka pendek mudah diubah, ukuran likuiditas dapat
dengan cepat berubah menjadi ketinggalan zaman.
a. Loan to Assets Ratio
Loan to Assets Ratio untuk mengukur rasio jumlah kredit yang disalurkan dengan
harta yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah tingkat
likuiditas bank karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya
makin besar.
b. Rasio Kas (Cash Ratio/CsR)
Rasio Kas untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus
segera dibayar dengan harta likuid bank. Rasio kas yang rendah mungkin tidak
menjadi masalah jika perusahaan dapat meminjam dalam waktu singkat. Jadi,
rasio kas mengukur likuiditas dari aktiva lancar yang pasti dapat dicairkan
menjadi kas. Bilamana persediaan diperkirakan lama terjual dan piutang lama
tertagih, kita sebaiknya menggunakan rasio kas sebagai pengukuran likuiditas,
bukan rasio lancar atau rasio cepat.
c. Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio untuk mengukur komposisi kredit yang diberikan
dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri. LDR adalah
rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah
penerimaan dana dari berbagai sumber. LDR disebut juga rasio kredit terhadap
total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang
disalurkan dalam bentuk kredit. Semakin tinggi rasio LDR memberikan indikasi
semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit
menjadi semakin besar.
13
d. Non Performing Loan (NPL)
NPL adalah salah satu indikator untuk menilai kinerja fungsi bank. NPL
digunakan adalah NPL bersih yang telah disesuaikan. Aset penilaian kualitas
merupakan penilaian terhadap kondisi aktiva bank dan kecukupan manajemen
risiko kredit.
Rasio Solvabilitas
Rasio permodalan sering disebut juga rasio-rasio solvabilitas atau capital
adequacy ratio. Semakin besar nilai rasio solvabilitasnya maka, semakin besar
hutang yang dimiliki perusahaan. Artinya semakin besar kewajiban perusahaan
yang harus dipenuhi kepada pihak lain. Analisis solvabilitas digunakan untuk:
a. Ukuran kemampuan bank tersebut untuk menyerap kerugian-kerugian yang
tidak dapat dihindarkan.
b. Sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai
batas tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari hutang,
penjualan aset yang tidak dipakai dan lain-lain.
c. Alat pengukuran besar kecilnya kekayaan bank tersebut yang dimiliki oleh para
pemegang sahamnya.
d. Dengan modal yang mencukupi, memungkinkan manajemen bank yang
bersangkutan untuk bekerja dengan efisiensi yang tinggi, seperti yang
dikehendaki oleh para pemilik modal pada bank tersebut.
Sedangkan rasio solvabilitas terdiri dari:
a. Capital Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur permodalan dan cadangan penghapusan
dalam menanggung risiko perkreditan, terutama risiko yang terjadi karena
bunga gagal ditagih.
b. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi
menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin
tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank untuk menanggung risiko
dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka
bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan
kerugian di dalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga.
Rasio Rentabilitas
Rasio rentabilitas selain bertujuan untuk mengetahui kemampuan bank
dalam menghasilkan laba selama periode tertentu, juga bertujuan mengukur
tingkat efektivitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaannya.
Pada rasio rentabilitas (keuntungan), rasio yang dapat diukur antara lain: return on
assets, biaya operasi/pendapatan operasi, gross profit margin, dan net profit
margin.
a. Net Interest Margin (NIM)
Net Interest Margin (NIM) adalah ukuran perbedaan antara bunga pendapatan
yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lain dan nilai bunga yang
14
dibayarkan kepada pemilik simpanan. Semakin besar nilai NIM, maka semakin
bagus bank tersebut, karena itu berarti pendapatannya terbilang besar
dibanding asetnya.
b. Net Profit Margin (NPM)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih
sebelum pajak (net income) ditinjau dari sudut pendapatan operasinya.
Semakin besar angka yang dihasilkan, menunjukan kinerja yang semakin baik.
c. Return on Equity (ROE)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola
ekuitas yang ada untuk mendapatkan laba bersih. Semakin besar rasio ini maka
semakin besar kenaikan laba bersih bank yang bersangkutan, selanjutnya akan
menaikan harga saham bank dan semakin besar pula dividen yang diterima
investor.
d. Return on Assets (ROA)
Rasio ini mengukur kemampuan bank didalam memperoleh laba dan efisiensi
secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar
tingkat keuntungan bank dan semakin baik pula posisi bank dari segi
penggunaan assets.
Analisis Diskriminan (Z-Score)
Menurut Altman (1968) yang dikutip dalam Universitas Gunadarma (2010)
Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah
keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan
sebuah formula multivariat yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial
dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat
dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan
yang tidak bangkrut, maka terbentuklah fungsi diskriminan yang juga disebut Z-
score.
1. Versi Z-Score yang pertama ini untuk perusahaan manufaktur yang telah go
public (publicly manufacturing).
Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0 X5 ……………………………….(1)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Pasar
Modal Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban)
X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva)
Hasil perhitungan Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public
dapat dijelaskan pada Tabel 4.
15
Tabel 4 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go
public (public manufacturing)
Score Kategori
Z > 2,99
Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company). Perusahaan akan mengalami
permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang
berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan.
1,81 < Z < 2,99
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang
lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki
skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Z < 1,81
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini
perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak
terjadi kebangkrutan.
2. Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian ulang di berbagai negara.
Penelitian ini memasukkan dimensi internasional. Mengingat bahwa tidak
semua perusahaan go public dan tidak memiliki nilai pasar, maka formula
untuk perusahaan yang belum go public (privately manufacturing) adalah
sebagai berikut:
Z’ = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5 ……………….…..(2)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku
Saham/ Nilai Buku Total Kewajiban)
X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva)
Semua koefisien dari variable X1-X5 diubah, maka nilai cut off yang digunakan
pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan yang belum go public
Score Kategori
Z > 2,90 Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company).
1,20 < Z < 2,90
Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak
melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun
struktur keuangan
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang
lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki
skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Z < 1,20
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini
perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak
terjadi kebangkrutan.
16
3. Kemudian, Altman membuat apa yang disebutnya sebagai versi empat
variabel. Versi terakhir ini diperuntukkan bagi perusahaan non-manufaktur:
Z” = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3+ 1,05 X4………………………………….(3)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku Modal
Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban).
Semua koefisien dari variable X1-X4 diubah, maka nilai cut off yang digunakan
pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan non-manufaktur
Score Kategori
Z > 2,60 Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company).
1,10 < Z < 2,60
Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak
melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun
struktur keuangan.
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih
tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor
lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Z < 1,10
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini perlu
ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak terjadi
kebangkrutan.
Tujuan dari perhitungan Z-score adalah untuk mengingatkan akan
masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius
dan menyediakan petunjuk untuk bertindak.
Z-score hasil kreasi Altman ini telah teruji keandalannya sehingga bertahan
sampai sekarang. Selain metode ini dapat memprediksi kebangkrutan
perusahaan, Z-score juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan
keuangan suatu perusahaan melalui informasi yang diperoleh dari laporan
keuangan.
Sesuatu hal yang menarik tentang Z-score adalah keandalanya sebagai alat
analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Hasil dari analisis
tersebut dapat digunakan oleh pihak manajemen perusahaan dan pemegang
saham. Bila perusahaan memiliki kinerja keuangan yang sehat berarti perusahaan
dapat berkembang baik maka nilai perusahaan akan meningkat akibatnya harga
saham juga akan meningkat dan bila perusahaan dalam keadaan tidak sehat maka
perlu diwaspadai karena berisiko tinggi menuju kebangkrutan dan kemungkinan
harga sahamnya pun akan menurun.
Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan diketahui semakin baik bagi
seluruh pihak yang terkait. Tindakan korektif dapat diambil dengan lebih cepat
untuk memperbaiki keadaan sehingga tidak mencapai tahap yang lebih buruk.
Oleh karena itu, analisis Z-score perlu dilakukan setiap tahunnya untuk memberi
17
panduan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tentang kinerja keuangan
perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa
mendatang.
Rasio inilah yang akan digunakan untuk menganalisis laporan keuangan
sebuah perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya
kebangkrutan pada perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio
yang digunakan dalam metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga
kelompok besar yaitu:
a. Rasio Likuiditas yag terdiri dari X1
b. Rasio Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3
c. Rasio Aktivitas yang terdiri dari X4 dan X5
Uraian masing-masing variable tersebut adalah sebagai berikut:
a. Modal kerja terhadap total aktiva (working capital to total assets) digunakan
untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total
kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek.
b. Laba ditahan terhadap total aktiva (retained earning to total assets) digunakan
untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba
selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio
tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk
memperlancar akumulasi laba ditahan.
c. Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total aktiva (earnings before
interest and taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas
yang sebenarnyan dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang
digunakan.
d. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang (market value equity to book
value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva
perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada
aktivanya dan perusahaan menjadi pailit.
e. Penjualan terhadap total aktiva (sales to total assets) digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan.
Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva
untuk menghasilkan penjualan.
Analisis diskriminan dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan suatu
perusahaan dengan menganalisis laporan keuangan perusahaan dua sampai lima
tahun sebelum perusahaan tersebut diprediksi bangkrut. Kebangkrutan adalah
suatu kondisi di saat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk
menjalankan usahanya. Kebangkrutan biasanya dihubungkan dengan kesulitan
keuangan. Analisis diskriminan bermanfaat bagi perusahaan untuk memperoleh
peringatan awal kebangkrutan dan kelanjutan usahanya. Semakin awal suatu
perusahaan memperoleh peringatan kebangkrutan, semakin baik bagi pihak
manajemen karena pihak manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan dan
dapat memberikan gambaran dan harapan yang mantap terhadap nilai masa depan
perusahaan tersebut.
18
Penelitian Terdahulu
Hamdan dan Wijaya (2005), melakukan penelitian yang berjudul analisis
komparatif risiko keuangan BPR Kovensional dan BPR Syariah. Data yang
digunakan adalah laporan keuangan yang hanya terdiri dari Laporan Rugi/Laba
dan Neraca selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2001, 2002 dan 2003.
Laporan keuangan tersebut digunakan untuk menghitung rasio keuangan dari
tahun 2001, 2002 dan 2003. Rasio keuangan yang digunakan, yaitu rasio
likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan cara mempelajari data sekunder. Teknik analisis yang
digunakan adalah analisis rasio keuangan dan analisis diskriminan keuangan
menggunakan perhitungan Z-Score. Perbedaan penelitian terdahulu terletak pada
jenis BPR yaitu BPR Konvensional dan BPR Syariah. Populasi yang digunakan
berjumlah 12 BPR, yang terdiri dari 11 BPR Konvensional dan 1 BPR Syariah.
Sedangkan sampel yang digunakana adalah 1 BPR Konvensional dan 1 BPR
Syariah. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) Secara umum rasio-rasio
likuiditas BPR Syariah “F” relatif lebih baik dibanding BPR Konvensional “S”.
(2) Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR di atas ketentuan
minimum BI (8%). CAR pada BPR Konvensional “S” tahun 2003 sebesar 23,95%
dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92%. Dari angka tersebut ternyata rasio
solvabilitas BPR Syariah relatif lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas
BPR Konvensional “S. (3) Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positip.
Laba bersih terhadap pendapat operasi (NPM) cukup baik, di mana pada BPR
Konvensional “S” sebesar 39,73 persen, dan pada BPR Syariah “F” sebesar
35,37% pada tahun 2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu
memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR Syariah “F” relatif lebih
rendah dibanding dengan BPR Konvensional “S”. (4) Perbandingan tingkat resiko
keuangan berdasarkan hasil analisis diskriminan (Z-score) menunjukkan kedua
BPR berada pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR Syariah “F” relatif lebih
tinggi dibanding BPR Konvensional “S”, yang berarti resiko BPR “F” relatif lebih
rendah dibanding BPR Konvensional “S”.
Kamal (2012), melakukan penelitian yang berjudul analisis prediksi
kebangkrutan pada perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia.
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sampel dalam penelitian ini adalah 20
perusahaan perbankan dengan kriteria sebagai berikut (1) Merupakan perusahaan
perbankan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. (2) Berada pada
urutan 20 teratas dalam perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia pada tahun
2008-2010. (3) Memlliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit pada
tahun 2008-2010. Data yang digunakan adalah data historis perusahaan
perbankan, studi literatur, laporan penelitian, dan laporan keuangan yang
diterbitkan bank maupun internet yang telah diaudit selama tiga tahun 2008-
2010. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis diskriminan keuangan
menggunakan perhitungan Z-Score. Perbedaan penelitian terdahulu terletak pada
jenis perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia. Sampel yang
digunakan berjumlah 20 perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan perhitungan rasio keuangan untuk
19
mengetahui seberapa sehat kinerja keuangan perusahaan. Kesimpulan dari
penelitian ini yaitu (1) Model Altman’s Z-score dapat memprediksi keadaan
perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2008 ada satu
perusahaan perbankan yang berada pada grey area atau sekitar 5% dan 95%
diprediksi akan mengalami kebangkrutan. Ini ditandai dengan hasil nilai Z-score
yang di bawah 2,99. Hanya Bank Rakyat Indonesia Tbk. yang hasilnya 2,611
mendekati nilai 2,99 berada di grey area. Dilihat bahwa perbankan ada beberapa
yang mulai memperbaiki kondisi keuangan dengan melihat bahwa pada tahun
2009 sebanyak 40% berada dalam keadaan sehat, 45% diprediksi akan mengalami
kebangkrutan yang berkurang dibanding dengan tahun sebelumnya, dan 15%
berada pada grey area. (2) Tahun 2010 prediksi kebangkrutan pada perbankan
memiliki hasil 55% perbankan sehat, 5% berada pada grey area dan 40% masih
dalam prediksi keadaan bangkrut. Peluang kebangkrutan ini tentunya akan
semakin besar jika pihak manajemen perusahaan tidak segera melakukan tindakan
evaluasi terhadap kondisi keuangan perusahaan. Selain itu, perbaikan kinerja
diperlukan setiap bank agar semakin kecil kemungkinan mengalami
kebangkrutan.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Dilihat dari kepemilikan BPR dapat dibagi menjadi dua yaitu BPR
milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta. Saat ini BPR memberikan kredit
tidak hanya untuk produktif (UMKM) tetapi untuk konsumtif pun BPR dapat
melayaninya. Karena persaingan dalam dunia perbankan semakin ketat, maka
BPR memberikan kredit di luar tujuan utama BPR yang memberikan pinjaman
kepada UMKM yang membutuhkan modal. Banyaknya BPR yang memberikan
kredit konsumtif maka BPR harus mampu menganalisis tingkat pengembalian dan
tingkat risiko yang akan dihadapinya. Untuk mengetahui tingkat risiko maka BPR
dapat melihat laporan keuangan yang meliputi laporan rugi/laba dan neraca. Dari
laporan rugi/laba dan neraca maka BPR dapat menghitung rasio keuangan yang
terdiri dari rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas.
Dari penilaian kinerja tersebut dapat dibandingkan BPR milik Pemerintah
Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif atau BPR milik
Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif yang
mempunyai risiko lebih kecil dalam pemberian kredit. Bahwa BPR milik
Pemerintah Daerah mempunyai risiko lebih kecil karena sebagian besar portofolio
kreditnya untuk konsumtif, sehingga pihak BPR dapat bekerjasama dengan pihak
perusahaan atau instansi lain dalam pembayaran kredit dengan cara memotong
upah atau gaji karyawannya setiap bulan. Agar BPR tetap berjalan dengan baik
juga dapat berkembang BPR melakukan analisis prediksi kebangkrutan untuk
menilai bagaimana BPR pada masa sekarang dan bagaimana BPR nantinya. Untuk
itu maka digunakanlah analisis rasio keuangan dengan pendekatan metode Z-
Score. Dari hasil yang diperoleh sngat berguna untuk pihak manajemen BPR.
Kerangka penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 4.
20
Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di salah satu BPR yang memberikan kredit
untuk konsumsi tinggi dan BPR yang memberikan kredit untuk produktif tinggi.
Pemilihan BPR yang telah terdaftar pada Bank Indonesia dan memberikan laporan
keuangan secara rutin. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai
dengan Desember 2013.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data sekunder
diperoleh dari laporan keuangan tahunan BPR yang telah dilaporkan ke Bank
Indonesia dan dipublikasikan di website resmi Bank Indonesia. Selain itu data
sekunder juga didapat dari literatur yang relevan dan internet.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPR seluruh
Indonesia. Sampel dipilih secara purposive yaitu salah satu BPR milik
Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif dan
BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif.
Pemerintah
Daerah
Laporan Keuangan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Swasta
Neraca Laba/Rugi
Analisis Rasio Keuangan
Rasio Likuiditas
- Asset to loan Ratio
- Cash Ratio - Loan to Deposit Ratio
- Non Performing Loan
Rasio Solvabilitas
- Capital to Debt Ratio
- Capital Adequacy Ratio
Rasio Rentabilitas
- Gross Profit Margin
- Net Profit Margin
- Return on Equity
- Return on Asset
Risiko Keuangan
Z-Score
Rekomendasi
21
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis Z-score.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui kebangkrutan suatu usaha yang
dijalankan. Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel independen/bebas
dan variabel dependen/terikat. Dengan penelitian yang akan dilakukan pada BPR
milik Pemerintah Daerah dan Swasta yaitu variabel dependen/terikat dalam
penelitian ini adalah Z” seperti pada rumus 3.
Sedangkan varibel independen/bebas dalam penelitian ini adalah variabel X
yang terdiri dari empat variable dapat dilihat pada Tabel 6.
Rasio Keuangan
Dalam penelitian ini juga menggunakan perhitungan rasio keuangan bank
untuk mengetahui risiko keuangan di dalam BPR tersebut. Menurut Hempel
(1994) rasio bank dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu rasio likuiditas, rasio
solvabilitas dan rasio rentabilitas dengan rumus seperti pada Tabel 7.
Tabel 7 Rasio Keuangan Bank
Rasio Rumus
Rasio Likuiditas
1. Loan to Assets Ratio = Total Pinjaman
Total Aset
2 Cash Ratio = Kas
Kewajiban Lancar
3. Loan to Deposit Ratio
(LDR) =
Total Kredit
Total Dana Pihak Ketiga
4. Non Performing Loan
(NPL)
= Penyisihan Kredit
Total Kredit
Rasio Solvabilitas
1. Capital Ratio = Modal + Cadangan Kerugian Pinjaman
Total Pinjaman
2. Capital Adequacy Ratio
(CAR) =
Total Modal (Ekuitas)
ATMR
Rasio Rentabilitas
1. Net Interest Margin
(NIM) =
Pendapatan Bunga Bersih
Rata-rata Aktiva
2. Net Profit Margin (NPM) = Laba Bersih
Pendapatan Operasi
3. Return on Equity (ROE) = Laba Bersih
Ekuitas
4. Return on Assets (ROA) = Laba Operasi
Total Aktiva
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah
PD BPR BANK PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG merupakan salah
satu alat kelengkapan Otonomi Daerah di bidang Keuangan Perbankan dan
menjalankan usahanya sebagai BPR sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Berdirinya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar
Lampung bertujuan memberi pelayanan yang wajar kepada para pedagang
nasional yang bermodal kecil serta turut menciptakan stabilisasi perekonomian di
Kota Bandar Lampung khususnya serta Daerah Lampung pada umumnya.
Berdasarkan Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk
Betung tanggal 24 Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang persetujuan
pendirian “Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung Karang-
Teluk Betung” merupakan cikal bakal terbentuknya PD BPR Bank Pasar Kota
Bandar Lampung.
Pada waktu Walikota Bandar Lampung dijabat oleh Drs. Hi Thabrani Daud,
dikeluarkanlah Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk
Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar
Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung. Adapun pelaksanaan Surat
Keputusan tersebut di atas pada tanggal 01 Agustus 1970 merupakan awal
kegiatan/Operasioanal Bank Pasar dipimpin oleh Drs. Hamdan Amid dengan
modal awal sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) dan sampai dengan
akhir bulan Desember 1970 berjumlah sebesar Rp. 1.400.000,-(satu juta empat
ratus ribu rupiah).
Tanggal 30 Juli 1970 ditetapkan sebagai hari berdirinya PD BPR Bank
Pasar Kota Bandar Lampung. Berdasarkan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk
Betung tanggal 3 Agustus 1971 No. 4/7/UPPB/PPTR atas ketetapan Bank
Indonesia Pusat bahwa Struktur organisasi Bank Pasar harus dipisahkan dari
Pemerintah Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, agar Bank dapat
bertindak sesuai dengan kebijaksanaannya yang telah digariskan oleh Peraturan
Bank dan petunjuk-petunjuk dari Bank Sentral.
Dasar Hukum Operasional PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung
adalah sebagai berikut :
a. Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 24
Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang Persetujuan pendirian
“Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung karang-Teluk
Betung”, kemudian dirubah dengan
b. Keputusan Walikota/Kepala Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk
Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar
Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, kemudian dirubah dengan
c. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk Betung
Tanggal 23 September 1971 Nomor : 68/1971, tentang Pemisahan PD. Bank
Pasar dari Struktur Sekretariat Pemda Kodya Tanjung Karang-Teluk Betung,
sesuai dengan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk Betung tanggal 3 Agustus
1971 Nomor 4/7/UPPB/PPTR, kemudian dirubah dengan
23
d. Tahun 1973 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal
24 Mei 1973 Nomor : Keu.183/DJM/II.3/5 Tahun 1973 tentang Melanjutkan
usaha sebagai Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung,
kemudian dirubah dengan
e. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1983 tentang Pembentukan Perusahaan
Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung,
kemudian dirubah dengan
f. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perusahaan Daerah Bank
Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan
g. Tahun 1995 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal
08 Juni 1995 Nomor : S.808/MK.17/1995 perihal Persetujuan Perubahan
nama PD. Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung
menjadi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung,
kemudian dirubah dengan
h. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Pertama Peraturan
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 1994
tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung,
kemudian dirubah dengan
i. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan
Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Perusahaan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung,
kemudian dirubah dengan
j. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Perusahaan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung,
k. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah
l. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Pemerintah
Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk konsumtif
sebesar 99,2% dan 0,80% disalurkan untuk produktif.
Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta
PT Bank Perkreditan Rakyat Rama Ganda adalah salah satu lembaga
keuangan yang mempunyai visi “Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi
kerakyatan yang berlandaskan kehati-hatian dalam usaha”. Berkedudukan di Jl.
Raya Gunung Batu No. 53 Bogor Barat 16118 dan sudah berdiri sejak tanggal 04
juli 1994. BPR Rama Ganda melayani berbagai macam produk, diantaranya :
a. Tabungan dengan suku bunga menarik dan hadiah tanpa diundi.
b. Deposito berjangka dengan bunga maksimal LPS (lembaga penjamin
Simpanan).
c. Kredit baik untuk modal kerja, jasa dan konsumtif.
24
Visi
Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi kerakyatan yang berlandaskan
kehati-hatian dalam usaha.
Misi
a. Menciptakan pelayanan yang cepat, tepat dan aman.
b. Meningkatkan kepercayaan, menjamin keselamatan dan kerahasiaan nasabah.
c. Meningkatkan kualitas usaha kecil dan menengah.
d. Mewujudkan jalinan kemitraan diantara usaha kecil dan usaha menengah/\
besar berlandaskan kesetaraan.
e. Mendorong peningkatan pemupukan modal usaha kecil dan menengah.
f. Mewujudkan peningkatan produksi dan akses pas
Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Swasta
yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif sebesar
67,61% dan 32,39% disalurkan untuk konsumtif.
Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah
Dari laporan keuangan BPR milik Pemerintah Daerah mengenai laporan
rugi/laba BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 1 dan neraca
BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 2 maka hasil dari
perhitungan rasio keuangan seperti pada Tabel 8.
Tabel 8 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah
Rasio 2010 2011 2012
Rasio Likuiditas % % %
1. Loan to Assets Ratio 80,99 86,00 86,02
2. Cash Ratio 163,41 289,66 91,78
3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 124,70 144,89 165,34
4. Non Performing Loan (NPL) 0,29 0,13 0,27
Rasio Solvabilitas
1. Capital Ratio 14,11 10,70 9,42
2. Capital Adequacy Ratio (CAR) 12,62 11,12 9,42
Rasio Rentabilitas
1. Net Interest Margin (NIM) 17,00 17,29 16,10
2. Net Profit Margin (NPM) 23,75 23,24 20,24
3. Return on Equity (ROE) 15,35 16,34 15,22
4. Return on Assets (ROA) 5,49 5,11 4,03
Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Pemerintah Daerah,
secara umum rasio likuiditas cenderung berfluktuatif dari tahun 2010, 2011
hingga 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva mengalami peningkatan dari tahun
2010 sebesar 80,99% dan 2011 sebesar 86%, sedangkan tahun 2012 tidak ada
perubahan dari tahun 2011 sebesar 86,02%. Angka tersebut menunjukkan bahwa
BPR milik Pemerintah Daerah dapat membiayai kreditnya dengan aset yang
25
dimiliki, karena aktiva dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami peningkatan
sebesar Rp 199.818.248, Rp 243.593.991 dan Rp 290.316.688.
Rasio kas terhadap kewajiban lancar digunakan untuk mengukur
kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus segera dibayar. Pada tahun
2010 rasio kas sebesar 163,41% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin
dengan Rp 163,41 sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi
289,66% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 289,66 dan
pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 91,78% yang
artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 91,78. Meskipun rasio kas
terjadi peningkatan dan penurunan maka BPR milik Pemerintah Daerah tetap
dapat membayar semua kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid
yang dimiliki. Karena rasio kas yang rendah tidak menjadi masalah jika BPR
milik Pemerintah Daerah dapat meminjam dalam waktu singkat.
Rasio pinjaman terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) pada BPR milik
Pemerintah Daerah mengalami peningkatan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari
124,7%, 144,9% menjadi 165,3%. Semakin tinggi rasio LDR dapat memberikan
indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit
semakin besar pada tahun 2010 sebesar Rp 161.841.050, tahun 2011 sebesar Rp
209.484.294, dan pada tahun 2012 Rp 249.736.909. Karena rasio LDR digunakan
untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Untuk
rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun (loan to deposit
ratio) kurang baik, karena pada tahun 2010 mencapai 124,70% tahun 2011
mencapai 144,89% dan pada tahun 2012 mencapai 165,34%. Menurut Bank
Indonesia rasio ideal adalah antara 85% sampai dengan 105%, berarti rasio LDR
BPR milik Pemerintah Daerah masih terlalu tinggi. Kondisi ini menunjukkan
kemampuan BPR milik Pemerintah Daerah menyalurkan kredit sangat tinggi,
sehingga dana yang menganggur pun menjadi sangat sedikit. Maka BPR harus
dapat mengurangi pembiayaan kredit.
Rasio NPL dari tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan dari 0,29%
menjadi 0,13%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun
2011 menjadi 0,27%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio
NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk
menilai kualitas kinerja bank. Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah
dalam bank tersebut yang mana jika tidak segera mendapatkan solusi akan
berdampak bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun
kinerja atau profitabilitas perbankan. NPL di Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
milik Pemerintah Daerah masih dalam batas wajar karena di bawah 5%. Sehingga
BPR milik Pemerintah Daerah memiliki kredit macet yang sangat rendah
dibandingkan dengan aktiva produktivnya.
Rasio-rasio solvabilitas menunjukkan kondisi yang cukup sehat. Rasio
CAR berdasarkan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993
tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Pada tabel 8 CAR BPR
milik Pemerintah di atas 8%, yaitu masing-masing pada tahun 2010 sebesar
12,62%, pada tahun 2011 sebesar 11,12% dan pada tahun 2012 menjadi sebesar
9,42%. Secara teori menurut Winton (1993) adanya ketentuan CAR tersebut
mempunyai kaitan dengan keterbatasan tanggung jawab dan struktur kepemilikan
26
dalam suatu perusahaan. Dalam struktur kepemilikan sebagian harta perusahaan
diperoleh dari dana pinjaman dari kreditur, sehingga perlu diimbangi dengan
kemampuan pemilik modal menyediakan dana sendiri. BPR milik Pemerintah
Daerah mempunyai total modal yang selalu meningkat dari tahun 2010, 2011 dan
2012 sebesar Rp 54,781.551, Rp 58.222.788, Rp 58.651.304.
Rasio rentabilitas pada BPR milik Pemerintah Daerah mengalami
penurunan dan peningkatan setiap rasio. Pada rasio Net Interest Margin (NIM)
mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke 2011 dari 17% menjadi 17,29% dan
mengalami penurunan di tahun 2012 dari 16,10% yang artinya pada tahun 2011
BPR milik Pemerintah Daerah mengalami peningkatan pendapatan dari bunga
bersih dibandingkan dengan asetnya dari tahun 2010, sedangkan pada tahun 2012
BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan pendapatan dari bunga
bersih dikarenakan adanya penambahan pada aktiva. Namun BPR milik
Pemerintah Daerah menunjukkan kondisi yang bagus karena memilik pendapatan
yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva yang dimilikinya.
Rasio Net Profit Margin (NPM) mengalami penurunan dari tahun 2010
hingga 2012 dari 23,75%, 23,24% menjadi 20,24%. Hasil dari NPM yang
semakin menurun dari tahun 2010 hingga tahun 2012 menunjukkan kinerja yang
kurang baik karena dari tahun 2010 hingga 2012 terjadi peningkatan beban
operasional dan non operasional.
Rasio Return On Equity (ROE) dari tahun 2010 dan 2011 mengalami
peningkatan dari 15,35% menjadi 16,34%, sedangkan pada tahun 2012
mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 15,22%. Pada tahun 2011
mengalami peningkatan sehingga laba bersih semakin meningkat. Sedangkan pada
tahun 2012 mengalami penurunan laba bersih dari tahun 2011 dari Rp 9.514.410
menjadi Rp 8.928.515 pada tahun 2012.
Rasio Return on Assets (ROA) pada tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami
penurunan dari 5,49%, 5,11% menjadi 4,03%, yang artinya dari tahun 2010, 2011
dan 2012 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan keuntungan
meskipun laba operasi tiap tahunnya meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp
10.966.357, tahun 2011 sebesar Rp 12.445.753 dan tahun 2012 sebesar Rp
11.694.703. Data ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi dan efektifitas BPR
milik Pemerintah Daerah dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan
aktiva yang dimilikinya lebih rendah.
Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta
Dari laporan keuangan BPR milik Swasta mengenai laporan rugi/laba BPR
milik Swasta dapat dilihat pada lampiran 3 dan neraca BPR milik Swasta dapat
dilihat pada lampiran 4 maka hasil dari perhitungan rasio keuangan seperti pada
Tabel 9.
27
Tabel 9 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta
Rasio 2010 2011 2012
Rasio Likuiditas % % %
1. Loan to Assets Ratio 78,04 76,92 81,46
2. Cash Rati 343,65 806,24 1755,22
3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 168,93 152,32 156,33
4. Non Performing Loan (NPL) 0,00 0,78 1,18
Rasio Solvabilitas
1. Capital Ratio 36,29 32,11 28,78
2. Capital Adequacy Ratio (CAR) 20,47 16,35 15,94
Rasio Rentabilitas
1. Net Interest Margin (NIM) 32,76 32,16 31,07
2. Net Profit Margin (NPM) 28,85 27,75 26,21
3. Return on Equity (ROE) 21,12 23,59 23,59
4. Return on Assets (ROA) 12,36 11,66 10,45
Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Swasta, secara umum
rasio likuiditas mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011 dan mengalami
peningkatan dari tahun 2011 ke 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva
mengalamai penurunan di tahun 2010 ke 2011 dari 78,04% menjadi 76,92%,
sedangkan mengalami kenaikan di tahun 2012 menjadi 81,46%. Hal ini
menunjukkan bahwa aktiva yang dimiliki BPR milik Swasta dapat membiayai
kredit yang dimilikinya.
Pada rasio kas mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2012 dari
343,65% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 343,65,
806,24% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 806,24
menjadi 1755,22% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp
1755,22. BPR milik Swasta memiliki rasio kas tinggi di tahun 2011 dan 2012
lebih dari 50%, ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta dapat membayarkan
utang-utangnya dengan dana kas yang tersedia tidak perlu menjual atau menagih
utang lancar lainnya.
Rasio LDR BPR milik Swasta mengalami penurunan dari tahun 2010 ke
2011 dari 168,93% menjadi 152,32% sedangkan pada tahun 2012 mengalami
peningkatan lagi menjadi 156,33%. Rasio LDR digunakan untuk mengukur
komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana
masyarakat. Besarnya loan to deposit ratio menurut Bank Indonesia maksimum
adalah 105%, sedangkan BPR milik Swasta memiliki rasio LDR lebih dari 105%
dar tahun 2010 hingga 2012. Hal ini menunjukkan bahwa total kredit yang
diberikan terlalu besar dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal
sendiri. Maka BPR milik swasta harus mengurangi dalam pembiayaan kreditnya
agar dana yang menganggur dan disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit
seimbang.
Rasio NPL dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami kenaikan dari 0%,
0,78% menjadi 1,18%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio
NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk
menilai kualitas kinerja bank. NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam
28
bank tersebut yang jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak
bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun kinerja atau
profitabilitas perbankan. Di BPR milik Swasta masih dalam batas wajar karena di
bawah 5%. Sehingga BPR milik Swasta memiliki kredit macet yang sangat
rendah dibandingkan dengan aktiva produktifnya.
Sedangkan pada rasio solvabilitas kurang sehat karena dari tahun 2010,
2011 dan 2012 mengalami penurunan. Sedangkan pada Capital Ratio mengalami
penurunan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari 36,29%, 32,11% menjadi 28,78%
yang artinya BPR Milik Swasta modal yang dimilikinya lebih dari 8% sesuai
dengan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Karena Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang dimiliki BPR milik Swasta setiap tahun semakin meningkat.
Pada Capital Adequacy Ratio (CAR) dari tahun 2010, 2011 dan 2012
mengalami penurunan dari 20,47%, 16,35% menjadi 15,94% yang artinya BPR
milik Swasta memiliki modal yang setiap tahunnya menurun tetapi aktiva yang
dimiliki setiap tahun semakin meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari Rp
18.611.724.000, Rp 21.469.040.000 menjadi Rp 22.887.868.000. Maka BPR
milik Swasta mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi
dalam profitabilitas. Namun apabila beberapa tahun kedepan CAR semakin turun
maka BPR dapat menjual aktiva yang dimilikinya untuk membiayai
operasionalnya.
Rasio-rasio rentabilitas yang dinyatakan dengan rasio-rasio net profit
margin, ROE dan ROA cenderung berfluktuasi dari tahun 2010-2012. Untuk Net
Interest Margin (NIM) dari 32,76%, 32,16%, menjadi 31,07%, untuk Net Profit
Margin (NPM) dari 28,85%, 27,75%, menjadi 26,21% dan untuk Return on
Assets (ROA) dari 12,36%, 11,66%, menjadi 10,45%. Sedangkan untuk Return on
Equity (ROE) mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2011 dari 21,12%
menjadi 23,59% dan 2012 tidak ada perubahan dari tahun 2011 yaitu 23,59%.
Semua rasio rentabilitas adalah positif, laba bersih terhadap pendapatan operasi
(NPM) cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta cukup sehat
sebagai lembaga keuangan, karena pendapatan bunga bersih yang selalu
meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 sebesar Rp 6.097.396, Rp 6.445.256
dan Rp 6.891.273 yang artinya setiap tahun DPK yang diterima semakin
meningkat.
Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah
Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10 Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah
X Keterangan 2010 2011 2012
X1 Working Capital to Total Assets 0,100 0,082 0,069
X2 Retained Earning to Total Assets 0,042 0,039 0,031
X3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets 0,055 0,051 0,040
X4 Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities 0,311 0,270 0,227
Z - Score
29
6,56 X1 0,657 0.539 0,452
3,26 X2 0,137 0,127 0,100
6,72 X3 0,369 0,343 0,271
1,05 X4 0,327 0,284 0,238
Total 1.489 1,293 1.061
Hasil perhitungan Z-Score menunjukkan bahwa selama tiga tahun nilai Z
sekitar angka 1,281 yang berarti kondisi BPR milik Pemerintah Daerah berada
dalam keadaan perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak
melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan.
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada
kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut
sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat
bertahan (gray area).
Analisis Z-Score BPR Milik Swasta
Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11 Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta
X Keterangan 2010 2011 2012
X1 Working Capital to Total Assets 0,269 0,233 0,218
X2 Retained Earning to Total Assets 0,104 0,097 0,086
X3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets 0,124 0,117 0105
X4 Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities 0,721 0,598 0,546
Z - Score
6,56 X1 1,762 1,528 1,433
3,26 X2 0,338 0,315 0,280
6,72 X3 0,831 0,784 0,702
1,05 X4 0,757 0,628 0,573
Total 3,688 3,255 2,988
Hasil perhitungan Z-Score dalam kurun waktu dari tahun 2010-2012 nilai Z
di sekitar angka 3,310 yang artinya BPR milik Swasta merupakan Perusahaan
yang tidak memiliki masalah dengan kondisi keuangan (non – bankrupt
company).
Pembahasan
Dari hasil perhitungan analisis rasio keuangan maka rasio likuiditas, rasio
solvabilitas dan rasio rentabilitas BPR milik Pemerintah Daerah dapat
dibandingkan dengan BPR milik Swasta, untuk mengetahui seberapa besar risiko
yang akan dialami oleh BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta.
30
Perhitungan Z-Score juga dapat dibandingkan dengan BPR milik Swasta untuk
mengetahui skor yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan.
Rasio Likuiditas
Dapat disimpulkan secara umum rasio-rasio likuiditas BPR milik
Pemerintah Daerah relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan BPR milik
Swasta. Demikian pula dengan rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana
yang dihimpun dari pihak ke tiga melebihi dari standar rasio ideal yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu antara 85% sampai dengan 105%. Non
performing loan pada BPR milik Pemerintah Daerah masih lebih rendah
dibandingkan BPR milik Swasta. Pada BPR milik Pemerintah Daerah sebesar
0,14% sedangkan BPR milik Swasta sebesar 0,40%. Dengan ini menunjukkan
bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya
disalurkan untuk konsumtif lebih kecil risikonya dibandingkan dengan BPR milik
Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif.
Rasio Solvabilitas
Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) kedua BPR di atas ketentuan
minimum Bank Indonesia sebesar 8%. Jika rata-rata CAR pada BPR milik
Pemerintah Daerah selama kurun waktu tahun 2010-2012 sebesar 14,39%
sementara untuk BPR milik Swasta sebesar 25,84%. Dari angka tersebut dapat
dilihat bahwa solvabilitas BPR milik Swasta relatif lebih baik jika dibandingkan
dengan solvabilitas BPR milik Pemerintah Daerah.
Rasio Rentabilitas
Untuk semua rasio rentabilitas dari kedua BPR adalah positif. Laba bersih
terhadap pendapatan operasi (Net Profit Margin/NPM) cukup baik, di mana pada
BPR milik Pemerintah Daerah sebesar 20,24% dan pada BPR milik Swasta
sebesar 26,21% pada tahun 2012. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR
mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR milik Pemerintah
Daerah relatif lebih rendah jika dibanding dengan BPR milik Swasta. Hal ini
memberikan kesimpulan bahwa BPR milik Swasta relatif lebih efisien dalam
pengelolaan dananya.
Z-Score
Perbandingan tingkat rasio keuangan/bisnis menggunakan hasil analisis
diskriminan (Z-Score), menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah
memiliki nilai Z-Score sebesar 1,281 yaitu berada dalam posisi “gray area” yaitu
perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan dan jika tidak melakukan
perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan maka akan
menyebabkan kepailitan dalam jangka panjang, sementara untuk BPR milik
Swasta memiliki nilai Z-Score sebesar 3,310 lebih besar dari 2,60 yang artinya
perusahaan berada dalam kondisi tidak mengalami masalah dengan keuangan
(non-bankrupt company).
31
Implikasi Manajerial
Implikasi manajerial yang dapat dimunculkan dalam penelitian adalah
bagaimana menciptakan risiko keuangan yang kecil sehingga dapat
meminimalkan kebangkrutan. Untuk itu diperlukan cara agar risiko keuangan
perusahaan kecil meliputi:
1. Harus memperhatikan rasio-rasio keuangan dan dikelola dengan baik karena
dapat berpengaruh pada laba dan kinerja BPR.
2. Dalam pemberian kredit kepada nasabah harus seimbang dengan dana pihak
ketiga yang diterima agar dana yang menganggur tidak terlalu banyak atau
sedikit, mengakibatkan LDR yang terlalu tinggi sehingga kemampuan
likuiditas BPR semakin rendah.
3. BPR dalam memberi kebijakan kredit kepada nasabah harus berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Analisis rasio keuangan menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah
mempunyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan BPR milik Swasta,
karena dapat dilihat pada perhitungan NPL BPR milik Pemerintah Daerah
lebih rendah sebesar 0,14% dibandingkan dengan BPR milik Swasta sebesar
0,040%. Karena BPR milik Pemerintah Daerah dapat memotong langsung
upah atau gaji karyawan dengan cara bekerjasama dengan perusahaan atau
instansi.
2. Analisis Z-Score menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang
berada dalam posisi “gray area” yaitu perusahaan akan mengalami
permasalahan keuangan, jika tidak melakukan perbaikan dalam manajemen
maupun struktur keuangan maka akan mengalami kepailitan dalam jangka
panjang.
3. Analisis Z-Score menunjukkan bahwa BPR milik Swasta berada dalam
kondisi aman yaitu kondisi yang tidak mengalami masalah dalam keuangan
(non-bankrupt company).
4. Dilihat dari permodalannya BPR milik Pemerintah Daerah lebih besar
dibandingkan dengan BPR milik Swasta karena BPR milik Pemerintah
Daerah mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Saran
Berdasarkan simpulan dari penelitian ini ada beberapa hal yang disarankan
bagi BPR maupun calon kreditor, beberapa hal tersebut yaitu:
1. BPR harus menjalankan aktivitas sesuai dengan fungsi utama yang telah
ditetapkan dengan Bank Indonesia yaitu sebagai salah satu jenis bank yang
32
dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah, agar dapat
membantu untuk memajukan UMKM yang telah ada.
2. BPR harus dapat lebih mengoptimalkan dalam pemberian kredit. Di satu sisi
pemberian kredit yang tinggi memang diharapkan mampu mendatangkan
return yang tinggi pula. Namun di sisi lain, pemberian kredit yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan penurunan likuiditas serta menimbulkan risiko
kredit. Oleh karena itu, kredit ini harus dikelola dengan lebih baik.
3. BPR harus dapat lebih selektif dalam pemberian kredit agar risiko timbulnya
kredit bermasalah menjadi berkurang.
4. BPR sebaiknya dapat mengelola dengan baik modal dan aktivanya yang
berisiko. Modal yang dimiliki BPR harus dapat mengcover aktiva yang
berisiko, namun tidak terlalu besar karena akan menyebabkan adanya dana
yang menganggur dan tidak dioptimalkan dengan baik.
5. Melakukan analisis terhadap beban dan penentuan bunga kredit atau beban
bagi hasil yang akan ditetapkan atas kredit konsumtif dan produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Ali M. 2006. Manajemen Risiko – Strategi Perbankan dan Dunia Usaha
Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis. Sudradjat P, editor. Jakarta
(ID): Raja Grafindo Persada
[BI] Bank Indonesia. 2011. Model Bisnis Bank Perkreditan Rakyat (Referensi
Mengelola BPR). Jakarta (ID): BI
[BI] Bank Indonesia. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Jakarta
(ID): BI
[BI] Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Indonesia [Internet]. [diunduh
2013 Apr 20]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1ECCD
38D -E250-4750-B7B7-1202CBB1D67B/29147/SPIMaret2015.pdf
Hamdan U, Wijaya A. 2006. Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan Syariah. JMB. 4(7)
Hariyanto. 2011. Laporan Keuangan Bank dan Rasio Keuangan Bank [Internet].
[diunduh 2013 Agust 24]. Tersedia pada: http://antohilya.blogspot.com/
2011/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
Hempel G.H, Simonson D.G, and Coleman A.B, 1994. Bank Management Text
and Cases. New York (US): John Wiley & Sons, Inc
Kamal ST.Ibrah Mustafa. 2012. Analisis Prediksi Kebangkrutan Pada
Perusahaan Perbankan Go Public Di Bursa Efek Indonesia. Skripsi pada
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Univeritas Hasanuddin,
Makassar
Kasmir. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada
Kusumaningrum AE. 2013. Bank Perkreditan Rakyat Yang Tidak Merakyat?
[Internet]. [diunduh 2013 Sept 14]. Tersedia pada: http://asteriaelanda.
wordpress.com/2013/01/27/250/
33
Latumaerissa JR. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta (ID):
Salemba Empat
Mardiyanto H. 2009. Inti Sari Manajemen Keuangan. Jakarta (ID): Grasindo.
[Mendagri] Menteri Dalam Negeri. 1998. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Jakarta (ID): Menteri Dalam Negeri
Munawir S. 2010. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta (ID): Liberty
Putra RP. 2010. Analisis Kinerja Keuangan PT Bank Negara Indonesia, Tbk
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Purnomo DS. 2011. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Makin Menyusut [Internet].
[diunduh 2013 Mar 25]. Tersedia pada: http://www.lppi.or.id/index.php/
module/Blog/sub/2/id/jumlah-bank-perkreditan-rakyat-makin-menyusut
[UG] Universitas Gunadarma. 2012. Rasio Keuangan Bank [Internet]. [diunduh
2013 Agust 24]. Tersedia pada: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012
/05/rasio-keuangan-bank/
[UG] Universitas Gunadarma. 2010. Tahukah Anda Tentang Metode Altman Z-
score? [Internet]. [diunduh 2013 Agust 24]. Tersedia pada:
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/tahukah-anda-tentang-metode-
altman-z-score/
Weston JF, Brigham EF. 1990. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Jakarta (ID):
Erlangga
Winton A. 1993. Limitation of Liability and the Ownership Structure of the Firm.
JF. 48(2)
34
Lampiran 1 Laporan Rugi/Laba BPR Milik Pemerintah Daerah
(Ribuan Rp)
No. Pos-Pos 2012 2011 2010
1 Pendapatan Operasional
2 - Bunga 42.971.814 38.338.887 33.975.661
3 - Provisi dan Komisi 35.611 41.586 14.044
4 - Lainnya 1.109.526 2.566.144 1.419.013
5 Jumlah Pendapatan Operasional 44.116.951 40.946.617 35.408.718
6 Pendapatan Non Operasional 437.749 517.192 397.417
7 Jumlah Pendapatan 44.554.700 41.463.809 35.806.135
8 Beban Operasional
9 - Beban Bunga 22.234.120 18.988.982 16.274.874
10 - Beban Administrasi dan Umum 659.187 1.864.570 1.874.861
11 - Beban Personalia 6.961.874 6.746.794 5.313.845
12 - Penyisihan Aktiva Produktif 685.046 279.374 475.000
13 - Beban Operasional Lainnya 2.012.733 780.822 886.563
14 Jumlah Beban Operasional 32.552.960 28.660.542 24.825.143
15 Beban Non Operasional 307.037 357.514 14.635
16 Jumlah Beban 32.859.997 29.018.056 24.839.778
17 Laba/Rugi Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) 11.694.703 12.445.753 10.966.357
18 Taksiran Pajak Penghasilan 2.766.188 2.931.343 2.557.827
19 Laba/Rugi Tahun Berjalan 8.928.515 9.514.410 8.408.530
35
Lampiran 2 Neraca BPR Milik Pemerintah Daerah
(Ribuan Rp)
No. Pos-Pos 2012 2011 2010
AKTIVA
1 Kas 891.022 1.115.782 848.848
2 Sertifikat Bank Indonesia 0 0 0
3 Antarbank Aktiva
a Pada Bank Umum 32.658.928 28.071.304 32.922.081
b Pada BPR 5.100.000 3.100.000 4.100.000
4 Kredit yang diberikan
a Pihak terkait 634.582 593.207 889.277
b Pihak tidak terkait 249.102.327 208.891.087 160.951.773
5 Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif 2.836.843 2.424.329 3.522.184
6 Aktiva dalam valuta asing 0 0 0
7 Aktiva tetap dan inventaris
a Tanah dan gedung 1.190.309 1.190.309 1.190.309
b Akumulasi penyusutan gedung 129.834 118.839 107.845
c Inventaris 1.473.831 1.636.115 1.349.758
d Akumulasi penyusutan inventaris 873.299 867.195 863.446
8 Aktiva Lain-lain 3.105.665 2.406.550 2.059.677
Jumlah Aktiva 290.316.688 243.593.991 199.818.248
PASSIVA
1 Kewajiban-kewajiban yang segera dapat
dibayar
970.795 385.207 519.450
2 Tabungan
a Pihak terkait 299.508 310.253 232.647
b Pihak tidak terkait 20.676.071 23.461.690 18.938.697
3 Deposito berjangka
a Pihak terkait 97.500 503.500 817.600
b Pihak tidak terkait 129.974.116 120.301.391 109.797.976
4 Kewajiban kepada Bank Indonesia 0 0 0
5 Antarbank pasiva 101.463.153 63.463.855 38.992.307
6 Pinjaman yang diterima 0 0 0
7 Pinjaman subordinasi 0 0 0
8 Rupa-rupa Pasiva 5.243.413 7.004.479 6.797.192
9 Ekuitas:
a Modal dasar 20.000.000 20.000.000 20.000.000
b Modal yang belum disetor 13.529.586 15.029.586 15.529.586
c Agio 0 0 0
d Disagio 0 0 0
e Modal sumbangan 0 0 0
f Modal pinjaman 0 0 0
g Dana setoran modal 0 0 0
h Cadangan revaluasi aktiva tetap 0 0 0
i Cadangan umum 8.835.086 7.335.086 6.135.086
j Cadangan tujuan 6.708.168 5.208.168 4.008.168
k Laba yang ditahan 649.949 1.135.538 700.181
l Saldo Laba (Rugi) tahun berjalan 8.928.515 9.514.410 8.408.530
Jumlah Pasiva 290.316.688 243.593.991 199.818.248
36
Lampiran 3 Laporan Rugi/Laba BPR Milik Swasta
(Ribuan Rp)
No. Pos-Pos 2012 2011 2010
1 Pendapatan Operasional
2 - Bunga 6.891.273 6.445.256 6.097.396
3 - Provisi dan Komisi 722.806 774.198 337.082
4 - Lainnya 297.294 252.480 250.572
5 Jumlah Pendapatan Operasional 7.911.373 7.471.934 6.685.050
6 Pendapatan Non Operasional 24.876 12.940 6.100
7 Jumlah Pendapatan 7.936.249 7.484.874 6.691.150
8 Beban Operasional
9 - Beban Bunga 1.477.823 1.431.739 1.355.043
10 - Beban Administrasi dan Umum 1.038.891 932.012 946.273
11 - Beban Personalia 2.765.256 2.427.847 2.037.876
12 - Penyisihan Aktiva Produktif 220.472 128.500 211
13 - Beban Operasional Lainnya 16.425 29.038 28.931
14 Jumlah Beban Operasional 5.518.867 4.949.136 4.368.334
15 Beban Non Operasional 25.549 30.379 21.409
16 Jumlah Beban 5.544.416 4.979.515 4.389.743
17 Laba/Rugi Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) 2.391.833 2.505.359 2.301.407
18 Taksiran Pajak Penghasilan 429.299 432.132 372.462
19 Laba/Rugi Tahun Berjalan 1.962.534 2.073.227 1.928.945
37
Lampiran 4 Neraca BPR Milik Swasta
(Ribuan Rp)
No. Pos-Pos 2012 2011 2010
AKTIVA
1 Kas 915.277 388.721 633.153
2 Sertifikat Bank Indonesia 0 0 0
3 Antarbank Aktiva
a Pada Bank Umum 2.354.351 3.466.751 2.555.968
b Pada BPR 33.713 31.202 154.297
4 Kredit yang diberikan
a Pihak terkait 33.833 0 0
b Pihak tidak terkait 18.610.298 16.513.579 14.524.733
5 Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif 365.392 302.203 271.275
6 Aktiva dalam valuta asing 0 0 0
7 Aktiva tetap dan inventaris
a Tanah dan gedung 0 0 0
b Akumulasi penyusutan gedung 0 0 0
c Inventaris 1.339.899 1.158.265 1.058.780
d Akumulasi penyusutan inventaris 965.893 807.575 661.965
8 Aktiva Lain-lain 931.782 1.020.300 618.024
Jumlah Aktiva 22.887.868 21.469.040 18.611.724
PASSIVA
1 Kewajiban-kewajiban yang segera dapat
dibayar
52.146 48.214 184.244
2 Tabungan
a Pihak terkait 1.374.668 1.131.804 985.777
b Pihak tidak terkait 4.981.977 4.460.731 3.785.515
3 Deposito berjangka
a Pihak terkait 905.000 765.000 1.025.500
b Pihak tidak terkait 4.664.500 4.483.900 2.801.500
4 Kewajiban kepada Bank Indonesia 0 0 0
5 Antarbank pasiva 3.267.222 3.006.281 3.534.230
6 Pinjaman yang diterima 0 0 0
7 Pinjaman subordinasi 0 0 0
8 Rupa-rupa Pasiva 854.457 788.546 360.768
9 Ekuitas:
a Modal dasar 5.000.000 5.000.000 5.000.000
b Modal yang belum disetor 1.000.000 1.000.000 1.600.000
c Agio 25.000 25.000 25.000
d Disagio 0 0 0
e Modal sumbangan 0 0 0
f Modal pinjaman 0 0 0
g Dana setoran modal 0 0 0
h Cadangan revaluasi aktiva tetap 0 0 0
i Cadangan umum 800.364 689.337 580.245
j Cadangan tujuan 0 0 0
k Laba yang ditahan 0 0 0
l Saldo Laba (Rugi) tahun berjalan 1.962.534 2.073.227 1.928.945
Jumlah Pasiva 22.887.868 21.469.040 18.611.724
38
Daftar Istilah dan Definisi
No. Istilah Definisi
1. ATMR (Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko)
Terdiri dari :
1.aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit
yang melekat.
2.beberapa pos dalam off-balance sheet yang diberikan
bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat.
2. Bank Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkakan taraf hidup.
3. Bank Indonesia Berfungsi sebagai Bank Sentral dan mempunyai tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur
dan menjaga kelancaran sstem devisa serta mengatur dan
mengawasi bank.
4. Bank Perkreditan Rakyat
(BPR)
Merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil di
kecamatan dan pedesaan baik yang berdasarkan prinsip secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
5. Bank Milik Pemerintah Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal bank ini
sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga
seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula.
6. Bank Milik Swasta Merupakan bak yang seluruh atau sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh swasta nasional.
7. Bunga Bank Sebagai harga atau balas jasa yang diberikan oleh bank yang
berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang
membeli atau menjual produknya.
8. Dana Pihak Ketiga (DPK) Simpanan pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari
Giro,Tabungan dan Simpanan Berjangka.
9. Kredit Penyediaan uang atau tagihanyang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk :
1.Pembelian Surat Berharganasabah yang dilengkapi
dengan Note PurchaseAgreement (NPA).
2.Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak
piutang.
10. Kredit Konsumtif Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi,
misalnya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang, maupun
papan.
11. Kredit Produktif Merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal kerja
atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk
diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan
dari hasil usaha yang dibiayai.
39
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 28 April 1989. Merupakan
puteri bungsu dari tiga bersaudara dari bapak Zainal Abidin (alm) dan ibu
Maryamah. Awal jenjang pendidikan dimulai pada tahun 1993 sampai 1995
bersekolah di Taman kanak-kanak Xaverius 2, Bandar Lampung. Pada tahun yang
sama melanjutkan ke Sekolah Dasar Fransiskus 1 Bandar Lampung dan lulus
tahun 2001. Jenjang pendidikan selanjutnya di tahun 2001 penulis melanjutkan
sekolah di SMPN 9 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan sekolah ke SMA Al-Masthuriyah Sukabumi, Jawa
Barat dan lulus pada tahun 2007.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Diploma III (D3) Program Keahlian
Akuntansi Program Diploma Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007, melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan
perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang
dilaksanakan tahun 2010 di PT PAM Lyonnaise Jaya dan lulus tahun 2010. Pada
tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Sarjana Alih Jenis
Manajemen (Ekstensi), Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Recommended