View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Abdul Fatah
133 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama
Volume: 5 Nomor: 2, Desember 2019
ISSN: 2527-3248, E-ISSN: 2613-9367
ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES TENTANG
ASḤ BUL F L
Abdul Fatah
Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
doel.fattah@yahoo.com
Abstrak
Salah satu sisi kemukjizatan al-
keindahan bahasanya.Ungkapan-ungkapan yang terangkum dalam ayatnya, Allah
menggunakan sastra bahasa indah yang tiada tandingannya.Di dalam bahasa tersebut,
tentu tersimpan tanda-tanda yang membentuk sistem yang indah. Para pembaca akan
terperangah ketika berhasil menyingkap tanda-tanda tersebut berikut maknanya.
Penelitian ini mencoba menyingkap makna di balik kisah Aṣḥ bul F l. Untuk
menemukan makna lain di dalam kisah tersebut, penulis menggunakan pendekatan
Semiotika Roland Barthes yang populer dengan makna mitos dan signifikasinya.
Sehingga, penelitian ini dapat mengungkap makna mitos Aṣḥabul F ldalam QS.al-F l
[105]: 1-5 yang bukan hanya sebagai pasukan bergajah. Dari sinilah dapat diungkap
rahasia besar di balik tanda yang tersirat dari kisah tersebut.
Kata Kunci: al- , Aṣḥ bul F l, bahasa, semiotika, Roland Barthes
Abstract
One of the attractive miracle of the Quran is the precious of the language aspect. The
phrases of the verses were summarized by Allah in beautiful literature. Certainly, there are
the signs behind the beautiful language system form. The reader will be stunned if they
reveal these signs and meanings well. This research attempts to uncover the meaning
behind the story of Aṣḥ bul F l in Quran. To find other meanings in this story, the writer
approach to get the mythical meaning and significance.
Thus, this research can uncover the mythical meaning of Aṣḥ bul F l in the QS. al-F l
[105]: 1-5 which is not only as a fighting force. So, by this paper will be revealed the big
secret behind the sign implied from the story.
Keyword: Quran, Aṣḥ bul F l,Language, Semiotic, Roland Barthes
A. Pendahuluan
Dalam kedudukannya, al-Qur’an merupakan petunjuk bagi kehidupan umat
manusia. Dengan pembacaan ulang terhadap ayat-ayatnya, akan ditemukan makna
Abdul Fatah
134 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
sebagai tafsir al-Qur’an yang dapat menjawab setiap persoalan kemanusiaan di berbagai
aspek kehidupan. Baik di antaranya berkaitan dengan persoalan kejiwaan, jasmani, sosial,
ekonomi maupun politik.1Secara praktis, dari hasil penafsiran tersebut dapat diambil
sebagai sumber nilai-nilai bagi kehidupan manusia.2Inilah di antara keistimewaan al-
Qur’an yang memiliki fungsi sebagai hudanbagi umat manusia.Dengan demikian, al-
Qur’an memiliki posisi sentral untuk memecahkan segala problem kehidupan yang
relevan di segala zaman.
Kajian terhadap al-Qur’an selalu terbuka dan tidak pernah selesai.Usaha untuk
memahami dan memaknai al-Qur’an selalu mengalami perkembangan dengan
keterlibatan umat Islam dalam penafsiran ulang dari masa ke masa.3Usaha tersebut telah
menghasilkan banyak karya tafsir yang menjadi fenomena umum di kalangan umat
Islam.Keragaman literatur tafsir yang berkembang, itu menunjukkan bahwa teks al-
Qur’an merupakan sistem tanda dalam pengertian linguistik-semiotik. Meskipun terbatas,
Ia tetap mengandung makna yang beragam ketika terjadi adanya proses pemaknaan.4Hal
itu seperti dapat dilihat pada sebuah warna merah yang tidak berarti satu hal saja.Warna
merah dapat berarti tanda berhenti dalam lampu lalu lintas dan bisa juga sebagai salah
satu warna pada bendera Indonesia.
Di sisi lain, al-Qur’an merupakan wahyu turun kepada Nabi Muhammad sebagai
pesan kepada umat manusia. Wahyu tersebut menjadi alat perantara pesan dari Allah
yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Saw. Di dalam penurunannya, tentu terjadi
proses transmisi di antara subyek yang terlibat sebagai tokoh utama. Tranmisi al-Qur’an
dari Allah kepada Jibril, yang kemudian dilanjutkan kepada Nabi Muhammad
Saw.beserta umatnya menunjukkan adanya proses komunikasi antara satu sama lain.5
Sehingga, dapat dipahami bahwa dari proses tersebut terdapat adanya pesan-pesan tersirat
dalam wahyu yang harus sampai kepada manusia.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam studi al-Qur’an secara teoretis
interpretatif dalam bingkai linguistik ialah pendekatan semiotika.Kerangka dasar
1Manna’ al-Qatthān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an terj. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014, Cet. XIV), hal. 15. 2 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2013), hal. 2. 3 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 1. 4Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia…, hal. 2. 5 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an…, hal. 5.
Abdul Fatah
135 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
semiotika ialah disiplin keilmuan yang mengkaji fenomena sosial dan kebudayaan
sebagai tanda.Tanda dapat tercipta karena adanya sistem yang menjadikannya bisa
dimengerti dan dimaknai.6Dengan semiotika, akan dapat ditemukan makna di balik
tanda-tanda yang muncul di sekitar kehidupan manusia. Semiotika dapat berarti studi
sistematis berkaitan tentang produksi atau interpretasi tanda, cara kerja dan manfaatnya
bagi kehidupan manusia. Secara tidak langsung, dapat dipahami jika kehidupan manusia
ini dipenuhi oleh tanda-tanda yang menjadi perantara komunikasi di antara mereka serta
menjadi alat untuk mengenal dunia ini lebih baik.7
Kisah-kisah di dalam al-Qur’an selalu menarik perhatian pembaca untuk
mengkajinya lebih mendalam.Pembaca bukan sekedar mengagumi keindahan bahasa
sastra yang menjadi sisi kemukjizatan al-Qur’an.Akan tetapi, pembaca harus mampu
menangkap makna tersembunyi di balik tanda-tanda yang terhimpun dalam susunan ayat
maupun surah al-Qur’an.Tanda-tanda yang membentuk sistem menjadi bahasa
penghubung antara pembawa pesan dan penerimanya.Sehingga, kisah-kisah al-Qur’an
memuat pesan yang dapat diambil hikmah pelajaran bagi pembaca yang merenungi
maknanya.Di antara makna yang dapat ditangkap dari tanda ialah mitos yang berasal dari
makna denotasi dan konotasi.Inilah konsep makna yang dikembangkan oleh salah
seorang tokoh semiotika Roland Barthes.Maka, bukan tidak mungkin jika memahami al-
Qur’an bisa menggunakan pendekatan semiotika tersebut.
Bagi penulis, salah satu kisah al-Qur’an yang menarik untuk dikaji ialah kisah
Aṣḥābul Fīl yang dihimpun dalam QS.al-Fīl [105]: 1-5. Ada asumsi bahwa kisah ini tidak
saja memberikan keterangan tentang sejarah yang terjadi di masa awal kelahiran Nabi
Saw.Kisah ini disinggung al-Qur’an barangkali karena bertepatan dengan tahun kelahiran
Nabi Muhammad Saw.Dikatakan, peristiwa ini terjadi pada tahun 570 M atau 571 M
yang kemudian oleh orang Arab dinamakan dengan sebutan Tahun Gajah.8Ada asumsi
bahwa dokumentasi kisah bersejarah dalam al-Qur’an bukan semata-mata untuk
pengetahuan, melainkan tersimpan pelajaran moral bagi manusia.Karena itu, penulis
6 Frizky Yulianti, “Komodifikasi Idealisme Feminisme dalam Industri Musik (Analisis Semiotika
Roland Barthes dalam Video Klip Beyonce “Run The World”)”, Jurnal Komunikator, Vol. 3, No. 1, Mei
2011, hal. 102. 7 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an…, hal. 1-2. 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāḥ, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002, J. XV, Cet. I), hal. 617.
Abdul Fatah
136 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
tertarik untuk mengkaji kisah Aṣḥābul Fīl tersebut dengan pendekatan semiotika Roland
Barthes untuk mengungkap makna dan pesan tersirat yang terkandung dalam kisah
tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes sebagai pisau
analisa untuk menyingkap makna dan signifikasi yang terdapat dalam kisah Aṣḥābul Fīl.
Tanda di dalam al-Qur’an bukan saja berupa serangkaian ayat dalam satu surah,
melainkan juga huruf, kata, kalimat hingga semua ayat dalam al-Qur’an. Segala aspek
yang ada termuat dalam al-Qur’an merupakan serangkaian tanda-tanda yang memiliki
arti.Di samping menggunakan analisa struktural yang diterapkan pada karya sastra,
Barthes juga memiliki konsep mitos yang memunculkan makna konotasi.Mitos ini
berfungsi untuk menjadikan alami sesuatu yang semula tidak natural.9Sehingga, dengan
analisa tersebut dapat diungkap makna mitos di balik kisah Ashḥābul Fīl yang selama ini
hanya sekedar makna terjemah saja.
B. Biografi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam bidang
Semiotika.Ia lahir di Cherbourg pada tahun 1915. Namun, Ia dibesarkan di kota Bayonne
dan Paris, yang keduanya di Perancis. Ia berasal dari keluarga Protestan.Ayahnya
merupakan seorang perwira Angkatan Laut yang terbunuh dalam tugas saat Barthes
masih kecil. Masa kecilnya dihabiskan di Bayonne. Pada usia sembilan tahun, Ia pindah
ke Parisbersama ibunya yang bekerja sebagai penjilid buku.10
Pada tahun 1934, Ia terobsesi untuk masuk Ecole Normale Superiure. Namun,
karena Ia terserang penyakit TBC menjadikannya batal untuk melanjutkan keinginannya.
Barthes harus berobat di beberapa sanatoria di Pyreness dan Alps.Selama masa
pengobatan, banyak hal yang dilakukannya. Di antaranya, Ia meluangkan untuk belajar
tentang Marxisme dan Eksistensialisme Sartre. Setelah satu tahun berobat, Ia kemudian
masuk ke Universitas Sorbone mengambil studi bahasa dan sastra Perancis serta studi
klasik (Latin, Romawi dan Yunani). Di samping itu, Ia juga aktif dalam teater dan drama-
drama klasik bersama beberapa temannya.11
9 Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991), hal. 128. 10 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 224. 11 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 224.
Abdul Fatah
137 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
Pada tahun 1948, Barthes menjadi dosen bahasa dan sastra Perancis di Bukarest,
Rumania dan Kairo, Mesir.Selama menjadi dosen di Bukarest, Ia banyak belajar kepada
linguist terkenal, yaitu A.J. Greimas. Sekembalinya ke Perancis, Ia bekerja di Centre
national de recherce Scientifique (Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah) dan berhasil
menerbitkan sejumlah artikel tentang sastra. Pengembaraan intelektualnya semakin tak
tertahankan kala membaca karya Ferdinand De Saussure, Course de Linguistic Generale,
pada tahun 1956.Ia menyadari adanya kemungkinan penerapan semiology di luar bidang
linguistik. Barthes beranggapan bahwa semiology harus merupakan bagian dari linguistik
dan bukan sebaliknya.Ia sepakat dengan E. Benveniste yang menekankan bahwa
sekelompok tanda hanya baru bermakna apabila terbahasakan.12
Sejak tahun 1960-an, Barthes tercatat sebagai seorang strukturalis terkemuka di
Paris.Pemikiran-pemikirannya turut mewarnai dinamika kehidupan Perancis di kalangan
akademik maupun dalam politik kenegaraan. Dan, setelah tiga tahun sebelumnya ibunya
meninggal dunia,13 akhirnya Barthes menyusul wafat pada tahun 1980 dalam usia 64
tahun karena kecelakaan tragis yang menimpanya sebulan sebelumnya.14Tercatat, Barthes
termasuk salah satu ilmuwan bahasa yang banyak melahirkan karya. Bahkan, pada
dasawarsa terakhir pada masa keemasannya, Ia dapat menerbitkan satu buku hampir di
setiap tahunnya. Di antara beberapa karyanya, ialah Le Degree Zero de I’ecriture (1953),
Micheletpar Lui Meme (1954), Mythologies (1957), Sur Racine (1963), Elements de
Semiologie (1964), Critique et Verite (1966), Systeme de la Mode (1967), S/Z (1970) dan
sebagainya.
C. Semiotika Roland Barthes
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda. Dalam versi
lain, disebutkan juga berasal dari kata semeiotikos yang berarti teori tanda. Colbey
menyatakan bahwa kata dasar semiotik berasal dari kata seme yang berarti penafsir
tanda.Semiotik telah berkembang di Yunani sebagai cabang keilmuan sejak tahun 1990-
an. Namun, baru populer dengan istilah Semiotik pada abad ke-XVIII setelah digunakan
12 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 224-225. 13Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa; Semiologi atau Sosiologi Tanda, Simbol
dan Representasi terj. Ikramullah Mahyuddin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010, Cet. X), hal. xv-xvi. 14 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 227.
Abdul Fatah
138 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
oleh Lambert, seorang filsuf Jerman.15Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik
atas seni logika, retorika dan poetika. Menurut Ferdinand De Saussure, semiotika berarti
ilmu yang menelaah tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Di samping itu,
Ia juga merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial yang disebut “tanda”. Setelah
muncul adanya tanda tersebut, dilakukan rekayasa memunculkan adanya hubungan antara
penanda dan petanda yang lazimnya tidak memiliki ketertarikan secara logis.16
Dalam konteks Eropa dan Amerika, ilmu tentang tanda ini dikenal dengan dua
istilah populer, yakni semiologi dan semiotics.Ferdinand De Saussure menjadi salah satu
tokoh yang mempopulerkan istilah semiologi di kalangan bangsa Eropa.Mereka
menggunakan istilah tersebut dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang.Di
antaranya, selain menggunakan dalam ilmu bahasa dan susastra, mereka juga
menggunakan istilah ini dalam ilmu seni lukis, arsitektur, interior, antropologi budaya,
filsafat dan psikologi sosial.Adapun istilah semiotik dipopulerkan oleh Charles Sanders
Peirce di kalangan bangsa Amerika.Menurutnya, penamaan tersebut berdasarkan kepada
semiotik sebagai doktrin formal tentang tanda-tanda.Ia juga menyamakan semiotik
dengan logika yang dikembangkan dalam hubungannya dengan filsafat pragmatisme.17
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sejak awal kemunculannya semiotika
telah memiliki dua madzhab besar yang masing-masing memiliki ciri khas dalam
pemikirannya.Sebagian pakar yang berkiblat ke Saussure ialah mereka yang menerapkan
semiotik dari konsep-konsep linguistik dan psikologi sosial.Sedangkan, mereka yang
mengikuti Peirce ialah para pakar yang menerapkan semiotiknya berangkat dari filsafat
pragmatisme dan logika.Hal ini menandakan kedua tokoh tersebut telah menciptakan dua
kutub pemikiran yang sungguh berbeda dalam wilayah pengembangan kajiannya.Namun,
ada pula yang menggabungkan pemikiran keduanya dalam menelaah bidang ilmu
pengetahuan, seperti Umberto Eco.18
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.
Tiga unsur utama yang digunakan dalam memahami studi tentang makna, ialah tanda,
acuan tanda dan pengguna tanda.Apa yang dapat dipersepsi oleh indra kita secara
15 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 121. 16 Hamidah dan Ahmad Syadzali, “Analisis Semiotika Roland Barthes Tentang Fenomena
Jilboobs”, Jurnal Studi Insania, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016, hal. 123. 17 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 121-122. 18 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 122.
Abdul Fatah
139 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
langsung disebut sebagai tanda. Ia juga bersifat fisik yang mengacu pada sesuatu yang di
luar tanda itu sendiri. Karena itu, tanda itu bergantung kepada pengenalan oleh
penggunanya.Misalnya, ada seseorang menggelengkan kepala.Hal ini dipahami sebagai
tanda ketidaksetujuan.Maka, makna dari tanda yang ditangkap ialah penolakan.19
Salah satu tokoh populer yang menjadi pengikut Ferdinand De Saussure ialah
Roland Barthes.Pemikiran semiotikanya merupakan hasil dari pengembangan dari konsep
linguistik milik Saussure.Kekhasan Saussure lebih nampak bahwa Ia menganggap bahasa
sebagai sistem tanda.20Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi terbaik
bagi manusia yang dikelilingi oleh tanda-tanda.Barthes melihat tanda sebagai alat
komunikasi sebuah ideologi yang memiliki makna konotasi untuk mempertegas nilai
dominan dalam masyarakat. Konotasi dimaknai sebagai label yang berisi perangkat tanda
yang dapat dibawa dalam kondisi apapun.21
Makna dibagi menjadi dua, yakni denotatif dan konotatif.Makna denotatif ialah
sistem makna primer atau makna pertama.Sedangkan makna konotatif ialah sistem
makna kedua.Barthes dalam hal ini mengemukakan bahwa denotatif merupakan tanda
yang penandanya mempunyai tingkat konvensi yang tinggi dan tingkat keterbukaan
maknanya rendah.Sebaliknya, walaupun konotasi merupakan sifat asli tanda, namun tetap
dibutuhkan keaktifan pembaca untuk berfungsi.22Sehingga, dapat dipahami jika makna
denotasi merupakan makna eksplisit yang dapat langsung ditangkap oleh
pembaca.Sedangkan makna konotasi merupakan makna kedua yang pemaknaannya
bergantung kepada pembaca memaknainya.
Tanda dibagi menjadi dua, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified).
Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.Bisa dikatakan, penanda
merupakan elemen bentuknya.Sedangkan petanda menjadi konsepnya. Sehingga,
penggabungan penanda dan petanda akan menjadi tanda. Bagi Roland Barthes, dalam
metode yang diberlakukannya tidak berhenti dalam mengamati makna tanda saja dengan
melakukan pembedahan penanda dan petanda. Makna tersebut merupakan pemaknaan
19 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 106. 20 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an…, hal. 14. 21 Frizky Yulianti, “Komodifikasi Idealisme Feminisme dalam Industri Musik (Analisis Semiotika
Roland Barthes dalam Video Klip Beyonce “Run The World”)”, Jurnal Komunikator, Vol. 3, No. 1, Mei
2011, hal. 101. 22 Muhammad Mukhoyim, Filsafat Bahasa…, hal. 106.
Abdul Fatah
140 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
yang dilakukan sebatas pada lapisan pertama, yang disebut dengan makna
denotasi.Karenanya, perlu adanya pemaknaan pada lapisan kedua, yakni pada tataran
makna konotasi. Jika keduanya telah dilakukan, maka akan timbul tanda kedua yang
dikenal sebagai mitos dalam masyarakat.23
D. Mitologi Roland Barthes
Dalam hal ini, yang dimaksud mitos bukanlah dalam konteks mitologi lama yang
merupakan cerita fiktif, ilusi, angan-angan, atau kepercayaan yang dibentuk oleh
masyarakat pada masa lalu.Namun, mitos yang dimaksud ialah suatu bentuk pesan atau
tuturan yang harus diyakini kebenarannya.Adanya mitos tersebut memanfaatkan sistem
tanda kedua, yaitu sistem konotasi yang berfungsi menaturalisasi ideologi kata saat
hendak disampaikan ke publik.Sehingga, proses tersebut seperti terlihat alamiah yang
penyampaiannya secara massif dan intensif melalui media massa yang membentuk
sebuah ideologi.
Roland Barthes menuliskan konsepnya tentang mitos secara jelas dalam bukunya,
Myhotologie. Dalam buku ini, Barthes memaparkan mengenai mitos, cara mitos
terbentuk dan dilengkapi contoh-contoh mitos yang tersebar di Perancis saat itu. Selain
menjadi kritik ideologis terhadap ideologi bahasa, buku ini juga dijadikan Barthes dalam
menganalisis secara semiotik cara kerja bahasa budaya massa.24Sehingga, dalam buku
tersebut dapat ditelaah secara utuh konsep mitos yang dirumuskan oleh Roland Barthes.
Mitos sendiri merupakan suatu jenis tuturan (a type of speech) yang dapat
terbentuk dari berbagai hal dengan ketentuan disampaikan sebagai wacana.Di samping
itu, mitos tidak ditetapkan oleh obyek pesannya melainkan oleh caranya menyatakan
pesan.Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa mitos tidak hanya terjadi pada
bentuk tuturan oral saja melainkan juga dapat berbentuk hal lainnya. Misalnya, seperti
tulisan, fotografi, film, pertunjukan, iklan, lukisan dan apa saja yang disampaikan dalam
bentuk wacana.25Dengan demikian, hal yang mendasari mitos ialah semua hal yang
memiliki modus representasi.
23 Frizky Yulianti, “Komodifikasi Idealisme Feminisme dalam Industri Musik (Analisis Semiotika
Roland Barthes dalam Video Klip Beyonce “Run The World”)”, Jurnal Komunikator, Vol. 3, No. 1, Mei
2011, hal. 103. 24 St. Sunardi dkk, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), hal. 8. 25 Roland Barthes, Mythologies…, hal. 108.
Abdul Fatah
141 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
Adapun sistem tanda yang dipakai dalam mitos merupakan sistem tanda tingkat
kedua, yaitu sistem konotasi. Dengan sedemikian rupa, mitos membangun maknanya
dengan cara mengeksploitasi, merekayasa dan mempermainkan sistem tanda bahasa
(sistem tanda pertama primer). Setelah itu, barulah kemudian dikaitkan dengan berbagai
aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan.Contohnya, seperti tanda yang
terdapat dalam bunga mawar.Dalam hal ini ‘mawar’ merupakan sistem tanda
pertama.Mawar di sini berarti bunga berwarna merah dengan tangkai yang berduri
sebagaimana tampilan aslinya.Sedangkan, apabila menjadi sistem tanda kedua, ‘mawar’
dapat berarti cinta atau kasih sayang. Sehingga, dengan begitu dapat dipahami bahwa
mitos tidak lagi sekedar memiliki makna pada tingkat primer (makna denotatif),
melainkan terdapat makna lain yang tersembunyi (makna mitos) yang disebut makna
konotasi.26
Untuk memperjelas pandangan di atas, Barthes membuat bagan model yang
menggambarkan penindasan sistem tanda mitos terhadap sistem tanda bahasa sebagai
berikut:
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa dalam satu mitos itu terdapat dua
sistem semiologis.Pertama, ialah bahasa sebagai sistem linguistik.Kedua, ialah mitos itu
sendiri. Tanda bahasa (sistem tanda tingkat pertama) yang berupa kesatuan penanda dan
petanda itu akan berubah menjadi sekedar penandadalam mitos (sistem tanda tingkat
kedua). Adapun penanda dalam sistem mitos itu akan menempati dua posisi, yaitu penuh
dan kosong. Ketika penanda menempati posisi penuh, maka disebut sebagai makna
(meaning).Sedangkan, ketika penanda menempati posisi kosong, maka disebut sebagai
bentuk (form).Adapun untuk petanda, tetap disebut sebagai konsep karena tidak
menimbulkan keambiguan.
26 Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa…, hal. 303.
Abdul Fatah
142 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini sangat menentukan analisis
mitos.Karena, penanda mitos diambil dari sistem bahasa yang sebelumnya memiliki
makna penuh, yang kemudian mengalami penguapan makna.Sehingga terjadi kekosongan
dan tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem mitos. Adapun
mitos yang bertahan secara historis (diulang-ulang dan menjadi acuan dalam proses
pemaknaan) itulah yang akan mengisi kode-kode budaya pada masyarakatnya. Dalam
kondisi seperti inilah, ideologi terbentuk dan melekat pada masyarakat tertentu.
Sementara, petanda pada sistem mitos akan menjadi bagian dari fragmen ideologi yang
mana penandanya ialah hal-hal yang menjadi menyimpan makna konotasi.27
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apa yang menyangkut mitos ini telah
membawa kepada kesadaran untuk lebih teliti dalam membaca sebuah fakta yang ada.
Karena, bisa saja sebuah mitos yang membawa ideologi tersembunyi akan
dinaturalisasikan melalui sistem mitos. Di sisi lain, pandangan Barthes tentang mitos ini
menyumbangkan sebuah metode untuk digunakan dalam mengupas mitos yang ada di
tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mitos yang merupakan sebuah bentuk wicara yang
disampaikan dalam bentuk wacana dapat terjadi di segala tempat.
E. Analisa Semiotik Terhadap Kisah Aṣḥābul Fīl
Kisah Aṣḥābul Fīl merupakan salah satu dari sekian kisah sejarah yang
diceritakan secara tersurat dalam al-Qur’an, yaitu QS.al-Fīl. Allah secara eksplisit
menceritakan kisah Aṣḥābul Fīl dengan mengabadikannya pada satu surah di dalam al-
Qur’an. Mannā’ al-Qatthān berpendapat bahwa kisah al-Qur’an merupakan pemberitaan
al-Qur’an tentang umat terdahulu, nubuwat (kenabian) dan peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi.28Dengan adanya kisah-kisah tersebut, Allah menegaskan kebenaran ajaran
Muhammad Saw. Sehingga, sebagai umat muslim sudah seharusnya meyakininya sebagai
bagian dari ajaran. Ini sebagai representasi dari QS.al-Baqarah [2]: 3, yang
memerintahkan untuk beriman kepada hal yang ghaib. Salah satunya ialah terhadap hal
yang berkaitan dengan kisah al-Qur’an.Walaupun tidak pernah melihat secara langsung
terhadap bukti-buktinya, kita tetap beriman terhadap peristiwa tersebut.
27Roland Barthes, Elemen-elemen Semiologi terj. Kahfie Nazaruddin (Yogyakarta: Jalasutra,
2012), hal. 93-94. 28Manna’ al-Qatthān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…, hal.386.
Abdul Fatah
143 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
Pada dasarnya, pembacaan semiotik tingkat pertama pada kisah-kisah di dalam al-
Qur’an tidak terbatas pada konvensi bahasa saja, melainkan juga melibatkan analisis
struktur kisah tersebut. Cerita atau kisah tidak akan pernah berdiri sendiri tanpa ada
unsur-unsur lain yang membangun cerita tersebut. Seperti unsur tema, tokoh-penokohan,
latar dan sebagainya.Oleh karena itu, analisis strukturalisme memiliki kedudukan penting
dalam mengungkap makna semiotik tingkat pertama.29Sehingga, dapat dipahami bahwa
unsur-unsur pembangun sebuah kisah atau cerita merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat melepaskan dirinya sendiri. Karena, adanya makna terungkap dari kisah tersebut
jika masing-masing unsur memiliki keterhubungan satu sama lainnya.
Di samping itu, pembacaan semiotik tidak boleh berhenti pada sistem semiotik
tingkat pertama.Untuk melanjutkan pembacaan tingkat kedua diperlukan pembacaan
bersifat retroaktif atau hermenuetik.Dalam pembacaan ini, diperlukan konvensi di atas
konvensi bahasa itu sendiri, yang meliputi hubungan internal teks al-Qur’an,
intertekstualitas, asbāb nuzūl, latar belakang historis dan perangkat studi al-Qur’an
lainnya.30
Berkaitan dengan kisah Aṣḥābul Fīl ini, merupakan salah satu cara Allah
meyakinkan Nabi Muhammad Saw. tentang kebenaran suatu peristiwa bersejarah yang
terjadi di masa lalu.Karena, dalam ayat ini Allah mengawalinya dengan kalimat
pertanyaan yang tujuannya bukan bertanya, melainkan untuk mengundang pengakuan
dari mukhāthab (mitra bicara).Dalam hal ini, yang diajak bicara ialah Nabi Muhammad
Saw.yang secara tidak langsung disuruh untuk berfikir sebenarnya siapa itu Aṣḥābul
Fīl?Seakan-akan pertanyaan itu menodong lawan bicara untuk bergegas mengingat
peristiwa tersebut.Allah berfirman:
لي م ليلأ رأر لل لراا ألم تلر كيف فلعل ربك بأصحاب الفيل ألم يجعلل كيلهمم فل ت طيل
يلأ فجع م كعصفأ مأكولأ أبابيل تلرمي م بحجارةأ من ج “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara bergajah?Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka
29 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an…, hal. 48. 30 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an…, hal. 49.
Abdul Fatah
144 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
(untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?dan Dia mengirimkan kapada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar,lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-
daun yang dimakan (ulat).”QS. al-Fīl [105]: 1-5. Jika dilihat dari makna kebahasaan, kata Aṣḥābul Fīl ini terdiri dari dua kata, yaitu
Aṣḥāb dan al-Fīl. Kata Aṣḥāb merupakan bentuk jama’ dari isim fā’il Shāḥib yang berarti
teman, pendekatan, atau pemilik dan kata al-Fīl berarti gajah.31 Sehingga, dapat dipahami
sebagai orang-orang yang memiliki gajah. Kalau seandainya hanya sekedar pemilik
gajah, tentu tidak mungkin menjadi salah satu nama surah dalam al-Qur’an. Akan tetapi,
jauh melampaui itu sebagai pembaca harus berfikir tentang rahasia di balik pemuatan
nama Aṣḥābul Fīl dalam al-Qur’an. Sehingga, pada awal surah Allah menggunakan kata
tanya ألللمyang dirangkaikan dengan kata تللرyang berarti tidakkah engkau melihat? Ini
menunjukkan betapa pentingnya pelajaran di balik kisah tersebut.
Walaupun khithabnya ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., secara tidak
langsung merupakan penegasan kepada kaum muslimin jika peristiwa tersebut benar-
benar terjadi.Karena, nabi sebagai lawan bicara dipaksa atau ditodong untuk mengakui
kebenaran tersebut seraya memikirkan hikmah besar yang terjadi di balik itu. Begitu pula
sebagai kaum muslim harus merenungkan kandungan dalam kisah ini. Sehingga,
pemaknaan tingkat pertama tidak cukup untuk mengetahui kandungan dalam QS.al-Fīl
tersebut.
Sebagai langkah selanjutnya, harus dilakukan pemaknaan semiotik tingkat kedua
atau makna konotasi agar diungkap makna mitos di balik kisah tersebut.Sebagai operator
pendukung sistem semiotik tingkat kedua diperlukan unsur-unsur yang melingkupi
makna denotasi.Tanpa itu semua, makna konotasi sulit untuk ditemukan.Oleh karena itu,
salah satu unsur yang dapat mendukung penafsiran ayat al-Qur’an harus dilibatkan.
Makna denotasi yang sudah ditemukan secara harfiah akan mudah dijelaskan ketika
makna konotasi berhasil diungkapkan. Salah satu perangkat penting dalam mendukung
upaya ini ialah sabab nuzūl.Maka, langkah pertama untuk mengungkap makna konotasi
31Abu al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakāriyā, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah (Beirut: Dār al-Fikr,
T.th., J. III), hal. 325
Abdul Fatah
145 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
dalam kisah ini ialah mencari sabab nuzūlnya. Dengan begitu, akan ditemukan makna
yang sesuai berdasarkan bukti atau latar belakang historis terhadap ayat itu.
Berkaitan dengan pemaknaan semiotik tingkat kedua atau makna konotasi
terhadap kata Aṣḥābul Fīl, maka akan dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Aṣḥābul Fīl Para pemilik gajah
Pasukan penunggang gajah Panglima Abrahah
Mereka adalah bala tentara penunggang gajah di bawah
Panglima Abrahah yang akan menghancurkan ka’bah
Berdasarkan tabel di atas, dapat di pahami bahwa pembentukan makna mitos itu
melalui dua langkah. Pertama, harus dicari dulu makna denotasinya dari istilah tersebut.
Dalam hal ini, Aṣḥābul Fīl berkedudukan sebagai penanda pertama. Adapun yang
menjadi petanda ialah para pemilik gajah, yang merupakan makna kamus dari penanda.
Dari kesatuan penanda dan petanda tersebut dapat diungkap tandanya, yaitu pasukan
penunggang gajah. Setelah ditemukan makna tingkat pertama, selanjutnya dilakukan
analisis kedua dengan menghadirkan petanda tingkat kedua. Dalam hal ini, petandanya
ialah Raja Abrahah. Pasukan penunggang gajah memiliki kaitan erat dengan peristiwa
bersejarah yang berhubungan dengan Raja Abrahah. Sehingga, dari penanda dan petanda
tingkat kedua tersebut, ditemukan makna mitos dari Aṣḥābul Fīl, yaitu bala tentara
penunggang gajah utusan raja Abrahah yang akan menghancurkan ka’bah.
Abrahah merupakan penguasa Yaman di bawah kekuasaan Negus di Ethiopia. Ia
telah membangun sebuah gereja di San’a yang bernama al-Qullais. Setelah melakukan
pembangunan tersebut, Ia menyurati raja Negus di Ethiopia, yang isinya: “Aku telah
membangun untuk baginda Raja sebuah gereja indah dan megah yang belum pernah
dibangun oleh siapapun. Dan aku tidak berhenti melakukan segala upaya, agar orang-
orang Arab nanti berkunjung melakukan ibadah haji ke sana.” Surat ini diketahui
penduduk Mekkah, yang membuat mereka tersinggung. Sehingga, ada salah seorang suku
Kinanah pergi ke gereja tersebut melakukan penghinaan terhadap gereja tersebut dengan
Abdul Fatah
146 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
membang air besar di sana. Atas hal ini, akhirnya Abrahah bersama pasukannya
menyerbu Ka’bah, setelah sebelumnya gagal dilakukan perundingan dengan orang-orang
Arab.32 Namun, usaha Abrahah bersama pasukannya gagal karena dihalangi oleh Allah
dengan bala tentara burung Abābīl yang menyerang mereka dengan batu panas yang
memporak-porandakan pasukan bergajah tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun 570 M
yang merupakan tahun kelahiran Rasulullah Saw.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diungkap banyak hal yang berkaitan dengan
kisah tersebut. Setidaknya, kisah ini telah menunjukkan besarnya kekuasaan Allah Swt.
Melalui kisah tersebut, Allah ingin menunjukkan kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa
kesombongan dalam bentuk apapun akan sangat mudah dikalahkan oleh Allah Swt.
Abrahah yang awalnya berniat menghancurkan Ka’bah, harus berakhir tragis dengan bala
tentara burung Abābīl yang dipersenjatai batu panas yang menembus tubuh dan
kendaraan mereka. Di akhir surah, Allah mengibaratkan mereka seperti dedaunan yang
hancur dimakan ulat. Hal ini menandakan betapa dahsyatnya adzab Allah yang seketika
diberikan kepada Abrahah beserta pasukannya. Dari kisah inilah, dapat diungkap tanda-
tanda kebesaran Allah yang begitu hebat dan tidak mungkin dapat dilawan siapapun.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apa yang tersurat dalam al-Qur’an
belum tentu dapat ditangkap secara langsung pesan-pesannya. Seperti halnya yang
terdapat dalam QS. al-Fīl ini. Apabila tidak melakukan eksplorasi pemaknaan yang
mendalam, maka yang ditangkap hanya tentang kisah Aṣḥābul Fīl yang telah diadzab
oleh Allah, tanpa mengetahui latar belakang historis peristiwa bersejarah itu. Di samping
itu, perintah untuk beriman yang ditodongkan kepada Nabi Muhammad terkait suatu
peristiwa bersejarah seakan tidak ada manfaatnya. Sehingga, mengetahui latar belakang
sejarah merupakan prasyarat dalam mengungkap makna mitos yang merupakan makna
semiotik tingkat kedua. Apabila tidak dilakukan hal demikian, besar kemungkinan makna
parsial seperti yang ada di dalam kamus kerap dijadikan makna terakhir sebuah teks. Jadi,
melibatkan unsur-unsur yang menyertai sebuah teks, yang dalam hal ini adalah kisah al-
Qur’an merupakan cara terbaik dalam menggali makna di balik pesan-pesan Allah yang
terdapat di dalam al-Qur’an.
32 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāḥ, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, J. XV, hal.
616-617.
Abdul Fatah
147 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
F. Simpulan
Kisah Aṣḥābul Fīl merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang patut menjadi
perhatian para pengkaji al-Qur’an.Kisah ini terabadikan dalam satu surah yang utuh
dalam al-Qur’an. Akan tetapi, tanpa membacanya secara seksama tidak akan mudah
menemukan makna di balik apa yang tersurat dalam surah al-Fīl tersebut. Pada ayat
pertama Allah menggunakan redaksi pertanyaan yang seakan menodong Nabi
Muhammad untuk mengakui kebenaran sejarah tersebut.Namun, tidak secara eksplisit
kisah tersebut dituliskan dalam teks al-Qur’an. Dengan menggunakan analisa semiotik
Roland Barthes, dapat terungkap makna di balik teks yang terstruktur dalam gaya bahasa
khas al-Qur’an. Jika tidak melakukan pengungkapan makna tersebut, term Aṣḥābul Fīl
hanya berupa teks yang tersurat tanpa ditemukan makna di balik teks.Oleh karena itu,
dengan analisa semiotik Roland Barthes dijelaskan makna mitos yang menjadi hasil
makna konotasi pada sistem makna tingkat kedua.
Setiap kisah yang tersurat dalam al-Qur’an selalu membawa hikmah.Tak
terkecuali kisah Aṣḥābul Fīl yang diabadikan dalam al-Qur’an.Dengan mengungkap
makna mitos di balik ayat tersebut, dapat diketahui runtutan kisah tentang Abrahah
beserta pasukan bergajah yang hendak menyerang Ka’bah.Motif penyerangan itu, atas
arogannya Abrahah ingin menjadikan gereja yang dibangunnya di San’a menjadi pusat
ibadah haji bagi orang-orang Arab.Dengan penuh kesombongan, Abrahah mengabaikan
perundingan dan berupaya menyerang Ka’bah.Melihat niat buruk Abrahah, akhirnya
Allah secara spontan mengirimkan tentara burung Abābīl yang menghancurkan pasukan
Abrahah.Mereka diibaratkan seperti dedaudan yang termakan ulat. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa apapun bentuk kesombongan yang diiringi dengan ambisi
perusakan tempat ibadah akan mendapatkan murka Allah secara spontan.
Daftar Pustaka
al-Qatthān, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014, Cet. XIV).
Barthes, Roland.Elemen-elemen Semiologi terj. Kahfie Nazaruddin (Yogyakarta:
Jalasutra, 2012).
Abdul Fatah
148 Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan Agama Vol: 5 No: 2, Desember 2019
______________.Membedah Mitos-mitos Budaya Massa; Semiologi atau Sosiologi
Tanda, Simbol dan Representasi terj. Ikramullah Mahyuddin (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010, Cet. X).
______________.Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991).
Gusmian, Islah.Khazanah Tafsir di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2013).
Ibn Zakāriyā, Abu al-Husain Ahmad Ibn Fāris.Mu’jam Maqāyīs al-Lughah (Beirut: Dār
al-Fikr, T.th., J. III).
Imron, Ali.Semiotika Al-Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2011).
Mukhoyim, Muhammad.Filsafat Bahasa (Bandung: Pustaka Setia, 2013).
Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Mishbāḥ, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002, J. XV, Cet. I).
Sunardi dkk, St. Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002).
Hamidah dan Ahmad Syadzali, “Analisis Semiotika Roland Barthes Tentang Fenomena
Jilboobs”, Jurnal Studi Insania, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016.
Yulianti, Frizky. “Komodifikasi Idealisme Feminisme dalam Industri Musik (Analisis
Semiotika Roland Barthes dalam Video Klip Beyonce “Run The World”)”,
Jurnal Komunikator, Vol. 3, No. 1, Mei 2011.
Recommended