View
36
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
METODE PENGAWETAN SUSU DAN PROBLEMATIKA INDUSTRI
PERSUSUAN
Susu merupakan salah satu hasil ternak yang mengandung nutrien yang
diperlukan oleh tubuh antara lain lemak, protein, laktosa, mineral dan vitamin
yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Susu murni adalah cairan yang berasal
dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang
kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum
mendapat perlakuan apapun. Sedangkan susu segar adalah susu murni yang tidak
mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi
kemurniannya.
Orang Indonesia lebih mengenal susu bubuk padahal proses pengolahan
susu bubuk, melalui pengeringan dengan waktu yang cukup lama sehingga sangat
berpengaruh terhadap mutu sensoris dan gizi, terutama vitamin dan protein.
Vitamin dan protein pada suhu tinggi akan terjadi denaturasi atau kehilangan
kelarutan vitamin dan protein sehingga menyebabkan vitamin dan protein akan
rusak. Memang susu bubuk itu sendiri asalnya juga dari susu segar atau
rekombinasi dengan zat lain seperti lemak, dan protein yang dikeringkan.
Pemanasan juga dapat menyebabkan penurunan daya cerna protein. Pemanasan
susu dengan suhu tinggi dalam waktu lama juga dapat menyebabkan terjadinya
rasemisasi asam-asam amino, yaitu perubahan konfigurasi asam amino dari
bentuk L ke bentuk D. Padahal tubuh manusia hanya dapat menggunakan asam
amino dalam bentuk L. Oleh karena itu, banyak ahli gizi dunia yang menyarankan
agar kembali mengkonsumsi susu secara alamiah atau susu segar. Bahkan
masyarakat di negara maju, saat ini lebih memilih susu segar, seperti Amerika,
Jerman, Australia. Hanya sayangnya susu segar yang diperoleh dari pemerahan
sapi tidak tahan lama.
Namun dalam praktiknya, menurut Prof. Made Astawan, pakar teknologi
pangan dan gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, untuk mendapatkan susu
sesuai definisi SNI tidak mudah. Apalagi di kalangan masyarakat kita cenderung
lebih familiar dengan produk susu olahan baik bentuk cair maupun padat. Itu pun
tingkat konsumsi rata-rata baru mencapai 10,47 kg/kapita/tahun. Dibandingkan
dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia mengkonsumsi susu sebesar 20
kg/kapita/tahun. Singapura mengkonsumsi susu sebesar 32 kg/kapita/tahun dan
India tingkat konsumsi susunya yakni mencapai 43.929,2 juta liter susu cair per
tahun.
Sejumlah riset pada tahun 2004, melaporkan bahwa konsumsi susu di
Indonesia baru mencapai tujuh liter per kapita per tahun atau baru sebesar 197, 5
juta liter per tahun untuk susu cair dan 625,7 juta liter susu bubuk. Dari data itu
pun terlihat bahwa komsumsi susu bubuk di Indonesia sangat tinggi dibanding
susu cair. Padahal di Australia konsumsi susu rata-rata sudah mencapai 90 liter
perkapita per tahun. Sementara China 11.256 juta liter per tahun.
Permasalahan masyarakat di Indonesia yang lebih memilih susu bubuk tidak
terlepas dari kemudahan mendapatkan susu bubuk dibandingkan susu segar.
Selain itu, susu segar dalam suhu ruangan, hanya mampu bertahan sekitar 5 jam.
Sedangkan susu bubuk, mudah untuk disimpan dan praktis dalam penggunaannya
di bandingkan susu segar yang harus di simpan dalam suhu dingin.
Masa simpan susu segar sangat singkat, ini disebabkan karena susu mudah
tercemar oleh mikroba. Kandungan gizi pada susu merupakan media yang baik
bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu merupakan salah satu bahan pangan
yang mudah rusak atau perishable. Oleh karena itu, perlu adanya sentuhan
teknologi yaitu pengawetan susu agar susu dapat bertahan lebih lama sehingga
dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya agar mereka dapat memperoleh
manfaat dari susu.
Saat ini dengan proses pengolahan susu segar dapat meminimalisasi
kerusakan gizi yang terkandung di dalam bahan baku susu. Metode pengawetan
susu segar yang dikembangkan saat ini antara lain:
1) Pasteurisasi yaitu proses pengawetan atau pengolahan susu dengan memberi
perlakuan panas sekitar 63-72 derajat Celcius selama 15 detik. Tujuannya
membunuh bakteri patogen. Jika Anda penggemar susu ini mesti konsisten
dalam penyimpanannya. Susu hasil pasteurisasi ini hanya memiliki umur
simpan sekitar 14 hari dan harus disimpan pada suhu rendah (5-7 derajat
celcius).
2) Sterilisasi yaitu proses pemanasan susu pada suhu tidak kurang dari 100°C
selama waktu tertentu. Susu ini sudah aman dari bakteri dan jamur, jadi siap
diminum. Penyimpannya tidak harus di rak pendingin, tetapi bila kemasan
sudah dibuka, sisa susu harus disimpan di lemari pendingin. Jenis susu ini
biasanya dikemas dalam kotak karton (tetra pack), ada yg memiliki rasa dan
aroma.
3) Homogenized yaitu proses dimana lemak di dalam susu disebar secara merata.
Butirannya menjadi lebih halus, tetapi sifat dan rasanya tidak berbeda dengan
susu hasil pasteurisasi. Susu yang telah melalui proses ini lebih awet dibanding
pasteurisasi, karena proses ini menghambat kerja enzim lipase yg merusak
butir-butir lemak.
Untuk susu UHT (ultra high temperature), pengolahan susu segar ini
menggunakan pemanasan suhu tinggi (135-145 derajat celcius) dalam waktu yang
relatif singkat 2-5 detik. Proses pemanasan seperti itu selain dapat membunuh
seluruh mikroorganisme (bakteri pembusuk maupun patogen) dan spora (jamur)
juga untuk mencegah kerusakan nilai gizi. Bahkan dengan proses UHT, warna,
aroma dan rasa relatif tidak berubah dari aslinya sebagai susu segar. Di Indonesia
sendiri meski belum sesemarak India dan Vietnam namun sejak 1975-an susu
segar proses UHT sudah banyak dijumpai di pasaran. Contohnya adalah susu
ultra.
Namun, dibalik adanya usaha pengawetan susu segar, disayangkan
konsumsi susu segar masyarakat Indonesia hanya 50 cc dari rata-rata konsumsi
susu 7 liter-10 liter per orang per tahun. Statistik Peternakan 2007 menunjukkan
tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia sebesar 10,47 kg/kapita/tahun.
Namun, konsumsi susu cair dalam bentuk ultra high temperature (UHT) 4,6%
(118.500 ton), susu steril 2,7% (69.000 ton), susu pasteurisasi 1,2% (30.000 ton),
dan dalam bentuk bubuk (42,3%). Padahal, susu dalam bentuk bubuk harganya
lebih mahal dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar. Keadaan ini
dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak berpihak pada
peternak dan menyebabkan harga susu tidak terjangkau oleh masyarakat bawah.
Kebijakan tentang susu tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan perusahaan-
perusahaan multinasional.
Saat ini jumlah koperasi susu perah di Indonesia mencapai 340.000 unit dan
120.000 peternak yang rata-rata memiliki tiga hingga empat ekor sapi, sedangkan
produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25% dari jumlah
konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun, sisanya dipenuhi dari impor. Sedangkan
jumlah sapi perah di Indonesia hanya 350.000-400.000 ekor, dengan rata-rata
kepemilikan tiga ekor per peternak. Padahal, untuk mencukupi kebutuhan
peternak dan keluarganya, setidaknya harus memiliki 8 ekor sapi.
Selama ini dari rata-rata 10 liter susu yang dihasilkan peternak per hari,
harga beli berkisar Rp1.650-Rp 2.800 per liter. Bergantung pada kualitas susu
yang dihasilkan. Kalau koperasi bisa membeli dengan harga di atas Rp 3.100 per
liter, peternak bisa sedikit bernapas karena tiap hari untuk pengadaan pakan
ternak, biaya yang dikeluarkan Rp15.000/ekor/ hari.
Pemerintah tidak berpihak kepada peternak juga terlihat dari tidak adanya
subsidi untuk peternak sapi perah. Pemerintah juga terlalu rendah menetapkan
harga susu di tingkat peternak, yakni kurang dari Rp 3.000 per liternya, padahal
biaya produksinya saja mencapai Rp 2.500-Rp 3.000 per liter.
Sebelumnya Indonesia mempunyai kebijakan untuk melindungi peternak
susu dalam negeri lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu
Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi
pada tahun 1983. Saat itu, Industri Pengolahan Susu (IPS) diwajibkan untuk
membeli susu dari peternak lokal disamping susu impor sebagai bahan baku
Industrinya. Di sisi lain, penerapan SKB ini menimbulkan ketergantungan
peternak kepada IPS-IPS. Peternak tidak punya hak untuk menentukan harga,
sehingga yang berhak menentukan harga dan kuota susu dari peternak hanya IPS.
Ketergantungan yang merugikan itu terus berlanjut hingga hari ini. Sekitar
90 persen susu segar peternak diserap oleh IPS, yang hanya terdiri dari lima
perusahaan besar. Kelima perusahaan itu adalah PT Nestle, PT Frisian Flag, PT
Ultra Jaya, PT Sari Husada, dan PT Indomilk-Indo-lacto. Karena ketergantungan
terhadap IPS, para peternak tidak pernah mendapatkan harga yang sesuai untuk
produk susunya. Nasib peternak tetap berada di tangan perusahaan-perusahaan
asing dan dipermainkan oleh mekanisme pasar global. Misalnya, dalam kurun
waktu 6 bulan 2008-Juni 2009, Nestle telah dua kali menurunkan harga beli susu
dari peternak.
Penurunan pertama terjadi pada Desember 2008. Sebelumnya, harga
pembelian dari peternak Rp 3.900 per liter menjadi Rp 3.700 per liter dan
penurunan tahap kedua dberlakukan dari harga Rp 3.700 per liter menjadi Rp
3.400 per liter. Meski peternak dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI)
selaku agen menentang keras, Nestle tetap menurunkan harga beli susu.
Alasannya, harga susu impor turun.
Langkah Nestle tersebut diikuti perusahaan pengolahan susu lain. Fakta
dilapangan, harga susu yang dijual ke konsumen sama sekali tidak mengalami
penurunan. Jika demikian, sangat jelas pihak perusahaanlah yang diuntungkan.
Sedangkan peternak tidak pernah menerima harga yang layak dan konsumen
berpenghasilan rendah tetap tidak mampu untuk membeli susu. Kondisi ini sangat
jelas menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi, sehingga apabila terjadi
gejolak pasokan dari luar negeri maka akan terjadi kenaikan harga akibat
kekurangan stok susu di dalam negeri.
Kenyataan yang ada adalah perusahaan susu besar rata-rata mendatangkan
susu dan produk olahannya dari luar negeri. Susu impor yang paling besar
didatangkan dari New Zealand, Australia, dan Philipina. Keadaan tersebut terjadi
karena banyaknya perusahaan susu yang dikuasai oleh asing. Sedangkan negara
asal yang memiliki saham perusahaan susu tersebut mengalami surplus. Sehingga
perlu melakukan ekspor susu ke Indonesia, atau negara-negara lain. Khususnya
negara Indonesia yang memiliki potensi besar, namun sumber daya manusia
(SDM) rendah. Sehingga negara-negara pengekspor susu ke Indonesia tetap
terjaga stabilitas ekonominya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi impor susu adalah
dengan cara meningkatkan konsumsi susu segar konsumen. Jika tingkat konsumsi
susu segar masyarakat meningkat, hal ini secara langsung juga membantu
peternak agar mampu menjual produk susunya dengan harga yang layak. Selain
itu, perlu adanya proses pembangunan usaha peternakan sapi perah yang diiringi
dengan peningkatkan kualitas kesehatan ternak dan keamanan produknya. Hal ini
dilakukan agar kuantitas tinggi yang dihasilkan tidak menjadi sia-sia karena
kualitas produk yang tidak baik. Selain itu perlu diimbangi dengan pengolahan
atau pengawetan susu segar, sehingga konsumen tertarik untuk membeli susu.
Recommended