View
234
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bidang kedokteran gigi, perawatan gigi karena kerusakan gigi
menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap mikroorganisme yang akan
menyebabkan terjadinya infeksi pulpa dan jaringan periradikular. Untuk menjaga
vitalitas jaringan pulpa dan mencegah perubahan patologis jaringan periradikular
maka daerah tubulus dentin harus ditutup dengan bahan dentinogenesis untuk
memperbaiki jaringan gigi ketika karies mendegradasi dentin sampai mendekati pulpa
(Ferracane dkk., 2010).
Kemampuan bahan untuk masuk ke dalam tubulus dentin yang terbuka
berkaitan dengan jumlah tubulus dentin, ukuran tubulus dentin, ukuran partikel
bahan, dan pengaturan reaksi bahan. Diameter tubulus dentin 2,0-3,2 µm pada
dinding pulpa. Diameter tubulus dentin terbesar banyak terdapat di daerah servikal
dengan penurunan yang signifikan pada daerah akar. Ukuran partikel bahan untuk
menembus tubulus dentin harus lebih kecil dari diameter tubulus dentin (Hargreaves
dan Cohen, 2011)
Sesuai dengan Fokus Area Kegiatan Penelitian, Pengembangan dan Rekayasa
untuk Pembangunan Nasional (JAKSTRA 2000 – 2004), bidang kedokteran gigi
mempunyai dua bidang fokus area penelitian yang dapat dilakukan yaitu: (1) bidang
kesehatan (pencegahan dan pengobatan penyakit), (2) bahan baru dengan ruang
lingkup penelitian antara lain bahan khusus berkinerja tinggi (keramik, polimer
Universitas Sumatera Utara
komposit), engineering materials (materials science dan engineering), dan bahan
baru dalam sudut pandang kesehatan yang berasal dari bahan yang bersifat alami.
Kecendrungan masyarakat kembali memakai bahan alami dikenal sebagai new green
wave, dimana gerakan ini berupaya menggunakan bahan alam sebagai obat-obatan.
Sumber bahan baku obat hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari alam, baik
nabati maupun hewani (JAKSTRA 2000–2004).
Pemahaman mengenai interaksi antara bahan material gigi dengan jaringan
gigi penting untuk diketahui, tidak hanya mengenai biokompatibilitas tetapi juga
mengenai potensi dari bahan material gigi tersebut untuk merangsang respon jaringan
gigi. Interaksi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu komposisi bahan, unsur
kimiawi, konsentrasi, gambaran morfologi permukaan dentin dengan bahan, produk-
produk degradasinya dan bagaimana respon jaringan terhadap bahan-bahan tersebut
(Goldberg dan Smith, 2004).
Penelitian mengenai interaksi antara bahan material dengan jaringan gigi
terutama bertujuan untuk mengidentifikasi efek toksik dari bahan-bahan terhadap sel-
sel kemudian dilakukan penelitian lebih spesifik mengenai respon selular spesifik.
Dan banyak peneliti memberikan perhatian untuk memahami bagaimana bahan
kedokteran gigi dapat merangsang regeneratif pulpadentinal kompleks (Goldberg dan
Smith, 2004). Proteksi pulpodentinal kompleks adalah berupa pengaplikasian satu
lapisan atau lebih bahan khusus diantara bahan restoratif dan jaringan gigi untuk
mencegah rangsangan tambahan bagi jaringan pulpa akibat prosedur operatif,
toksisitas bahan restoratif serta penetrasi bakteri akibat terjadinya kebocoran mikro.
Universitas Sumatera Utara
Proteksi pulpodentinal kompleks juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa
(Ferracane dkk., 2010). Banyak faktor yang diperhatikan pada saat meneliti bahan
kedokteran gigi.
2.1 Faktor-faktor Interaksi Bahan Kedokteran Gigi dengan Pulpodentinal
Kompleks
2.1.1 Struktur dan komposisi dentin
Dentin terdiri dari mineral hidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90%
dari bahan organik adalah kolagen, dan hampir semua kolagen tipe I. Dan 10%
sisanya adalah matriks ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous
dan proteoglycans. Dentin dibentuk selama perkembangan gigi sebagai respon
terhadap banyak rangsangan, dijumpai pada gigi dalam beberapa bentuk yang
ditandai oleh perbedaan dalam kandungan mineral dan struktur. Protein
noncollagenous dan faktor pertumbuhan diasingkan dalam struktur dentin selama
proses pembentukan gigi. Zat-zat ini termasuk berbagai matriks protein terfosforilasi
dan nonphosphorylated, proteoglikan, metaloproteinase, berbagai faktor pertumbuhan
(Transforming Growth Factor–Beta 1 (TGF- β1), Fibroblast Growth Factor (FGF-2),
Insuline –like Growth Factor (IGF-I), IGF-II, Platelet-Derived Growth Factor
(PDGF), dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF, dan protein). Beberapa
molekul tersebut ditemukan di dalam tulang, sedangkan yang lain lebih terdapat di
dalam dentin, seperti sialoprotein dentin (DSP), sialophosphoprotein dentin (DSPP).
Berdasarkan penelitian sebelumnya banyak dari molekul-molekul tersebut berperan
Universitas Sumatera Utara
dalam mineralisasi dentin serta remineralisasi dentin. Kemampuan untuk
mengekstrak molekul-molekul berpotensi bioaktif ini dari struktur dentin untuk
memudahkan interaksi bahan dengan sel pulpa yang memiliki potensi secara alami
dalam meningkatkan proses perbaikan pulpodentinal kompleks (Ferracane dkk.,
2010).
2.1.2 Struktur dan komposisi pulpa
Selama pulpa dalam keadaan sehat ataupun terjadi inflamasi, pulpa
mempunyai campuran sel yang kompleks, yaitu odontoblas, sel lir odontoblas, stem
sel pulpa, fibroblas, sel sistem imun yaitu makrofag, limfosit, dll. Sel-sel imun ini
meningkat pada saat proses inflamasi. Sistem saraf dan jaringan kapiler juga terdapat
pada pulpa. Pulpa juga mengandung matriks kolagen ekstraselular tipe I, bronektin
III, V, dan VI, fibronektin, dan banyak glukosaminoglikan yang ditemukan sebagai
proteoglikan. Susunan molekul pada pulpa dan dentin berbeda signifikan, oleh karena
itu pulpa tidak mengalami mineralisasi (Goldberg dan Smith, 2004).
2.1.3 Potensi bahan kedokteran gigi terhadap pulpodentinal kompleks
Bahan yang diletakkan pada daerah pulpodentinal kompleks berpotensi
menghasilkan spektrum luas dari fisikokimia dan efek biologis (Gambar 2.1).
Keberhasilan bahan kaping pulpa direk berkisar 44-97%, sedangkan keberhasilan
bahan kaping pulpa indirek umumnya jauh lebih tinggi (Murray dkk., 2002).
Beberapa efek mempunyai pengaruh yang berbeda, tergantung pada jaringan sehat
atau karies, yang disebabkan oleh infeksi bakteri, inflamasi, dan respon sel pulpa.
Universitas Sumatera Utara
Telah lama diketahui bahwa dentin mempunyai aktivitas enzim proteolitik dan saat
ini diakui bahwa dentin mempunyai beberapa matriks metaloproteinase (MMP-2,-8, -
9,-13,-20). Aktivitas MMP pada permukaan bahan dengan dentin dapat menyebabkan
degradasi dari permukaan lapisan hibrida. Efek dari bahan toksik dapat mengganggu
fungsi sel dalam pulpodentinal kompleks dan akhirnya menyababkan kematian sel
(Silva dkk., 2009).
Gambar 2.1 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Murray, 2002)
2.1.4 Sisa ketebalan dentin pada daerah pulpodentinal kompleks
Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin.
Menurut Dahl dan Ǿrstavik (2010) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin adalah 1
mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc phosphate
dan semen ionomer kaca modifikasi resin selama proses luting. Murray dkk., 2002
melaporkan bahwa estimasi yang benar terhadap sisa ketebalan dentin adalah 0,5 mm,
Universitas Sumatera Utara
dimana pada sisa ketebalan dentin 0,5 mm masih terdapat kelangsungan hidup
odontoblas. Sisa ketebalan dentin dan sekresi dentin reaksioner saling berkaitan.
Bagian terpenting dalam sekresi dentin reaksioner pada sisa ketebalan dentin antara
0,25 - 0,50 mm karena pada sisa ketebalan dentin 0,25 - 0,50 mm mempunyai
molekul bioaktif untuk mendifusi sel odontoblas yang lebih banyak dibandingkan
ketebalan di atas 0,5 mm. Dentin reaksioner tidak terjadi pada sisa ketebalan dentin di
bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm menyebabkan
kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak. Aktivitas sisa ketebalan dentin
memainkan peran utama dalam menentukan tingkat cedera pulpa dan respon
perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel Odontoblas,
Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray dkk., 2002).
Sisa ketebalan
Dentin
Tipe Kavitas
Kelangsungan hidup sel
odontoblas (%)
Pembentukan dentin
reaksioner
Aktifitas inflamasi
pulpa
>1mm Dangkal 100 Sedikit Sedikit 0,5-1 mm Sedang 88,9 Sedikit Sedikit 0,25-5 mm Dalam 82,5 Meningkat
signifikan 292% Makin tinggi
<0,25 mm Sangat dalam
68,3 Sedikit Banyak terdapat bakteri
Universitas Sumatera Utara
2.2 Regenerasi Pulpodentinal Kompleks
2.2.1 Dentin reaksioner
Respon odontoblas terhadap cedera atau stimulus menghasilkan matriks
ekstraseluler. Dentin tersier berfungsi untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Proses
dentin tersier berlangsung akibat reaksi odontoblas dan populasi sel yang ada,
sehingga cedera yang terjadi biasanya lebih ringan ketika dentin reaksioner terbentuk.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa pulpa yang terpapar dapat menyebabkan
kematian odontoblas dan menghilangkan potensi dentinogenesis reaksioner. Efek
mekanis dari preparasi kavitas dan efek kimia dari bahan yang diaplikasikan pada
permukaan dentin yang terpapar mampu memulai pembentukan dentin reaksioner,
dengan demikian efek yang dihasilkan dari bahan penting untuk dipertimbangkan
(Gambar 2.2) (Ferracane dkk., 2010).
2.2.2 Dentin reparatif
Dentin reparatif dibentuk sebagai respon cedera yang berkelanjutan atau
rangsangan yang besar atau pun cedera yang mengakibatkan terjadinya pengendapan
dentin reaksioner. Mineral dentin akan terbentuk dalam proses ini, yang merupakan
tubular fibrodentin atau tubular dentin yang teratur, yang diproduksi oleh sel lir
odontoblas yang berasal dari daerah yang terkena cedera. Proses ini terjadi akibat sel
odontoblas yang asli telah mati akibat cedera. Faktor pertumbuhan seperti TGF – β
berhubungan dengan diferensiasi sel lir odontoblas (Gambar 2.3) (Dahl dan Orstavik.,
2010).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Bahan Kedokteran Gigi Melepaskan Protein pada Gigi yang Mengalami Cedera.
(A) Kedalaman Kavitas Superfisial, (B) Kavitas Sedang Sampai Dalam, (C) Pulpa yang Terpapar (Ferracane dkk., 2010)
Gambar 2.3. (A) Odontoblas Dirangsang untuk Menghasilkan Matriks Ekstraselular, yang Digunakan untuk Mineralisasi Dentin Reaksioner. (B) Sel-sel lain dirangsang untuk Berdiferensiasi menjadi Sel Lir Odontoblas yang kemudian Dirangsang untuk Menghasilkan Matriks Ekstraselular yang menyebabkan Mineralisasi Dentin Reparatif (Ferracane dkk., 2010)
2.3 Mineral Trioxide Aggregate (MTA)
MTA dikembangkan oleh Mahmoud Torabinejad di Loma Linda University
tahun 1993. Penelitian menunjukkan bahwa bahan dasar MTA adalah semen Portland
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan bahan yang digunakan dalam bidang bangunan yang harganya
murah dan mudah diperoleh. Sejak diperkenalkan, MTA merupakan bahan
kedokteran gigi yang terbukti telah menjadi salah satu bahan yang serbaguna dan
biokompatibel pada saat ini.
Banyak peneliti yang mempelajari interaksi antara jaringan gigi dengan
kalsium hidroksida dan interaksi jaringan gigi dengan bahan MTA. Hasil reaksi
hidrasi dari MTA adalah kalsium hidroksida dimana terjadi pelepasan kalsium dan
ion hidroksil dan meningkatnya pH lingkungan diatas 7,0 (Dreger cit. Chang, 2012).
Berdasarkan pernyataan Queireoz dkk (2006) menyatakan bahwa kalsium hidroksida
lebih ekonomis dan banyak beredar dibanding MTA, tetapi hasil akhir yang
diharapkan tidak sebaik dibandingkan menggunakan MTA. Kalsium hidroksida
kurang mampu beradaptasi dengan dentin, tidak dapat merangsang difrensiasi
odontoblas secara konsisten, sitotoksik pada sel, dan menyebabkan defect tunnel
sedangkan MTA merupakan bahan kaping pulpa non biologi yang memiliki sifat fisik
yang lebih baik dalam hal sealing ability dan biokompatibilitasnya dibandingkan
dengan bahan lainnya seperti kalsium hidroksida. Kemampuannya yang tinggi dalam
hal sealing ability dapat mengurangi masuknya bakteri sehingga hal tersebut dapat
mencegah kontaminasi. Sedangkan daya biokompatabilitas yang tinggi menghasilkan
reaksi penyembuhan jaringan yang sangat baik, sehingga seringkali menyebabkanya
terjadinya proses regenerasi jaringan yang sempurna pada tempat berkontaknya bahan
dan jaringan tersebut. (Ferracane dkk., 2010; Lohbauer, 2010; Nagaraja, 2005;
Kishore , 2005; Trimurni dkk., 2007).
Universitas Sumatera Utara
MTA dapat mengeras dalam keadaan lembab, dan menyebabkan
penyembuhan jaringan, kemampuannya dalam menginduksi sementogenesis, maka
bahan ini dapat digunakan untuk memperbaiki perforasi baik di akar maupun daerah
furkasi. Bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai kaping pulpa, pulpotomi, bahan
penutup ujung akar, apeksifikasi, memperbaiki perforasi daerah akar dan bifurkasi,
serta sebagai bahan pengisi saluran akar (Gutmann dkk., 2006).
Walaupun banyak penelitian menunjukkan hasil yang sangat baik dari MTA,
namun penggunaan bahan ini relatif masih jarang karena harganya yang relatif mahal,
manipulasi yang sulit, dan waktu pengerasan yang panjang serta terdapatnya sedikit
kandungan arsen pada MTA (Bramante dkk., 2008). Berdasarkan penelitian Bird dkk
(2012) menyatakan bahwa tidak terjadi penetrasi MTA ke dalam tubulus dentin, diuji
dengan menggunakan SEM (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Gambaran SEM dari Permukaan Dentin dengan MTA (Bird dkk., 2012)
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Kandungan MTA
MTA terdiri dari senyawa kompleks. Kandungan utama MTA adalah
trikalsium silikat dan dikalsium silikat. Selain itu, MTA mengandung sedikit
trikalsium aluminat dan tetrakalsium aluminoferrit. Untuk meningkatkan radiopak,
bismut oksida ditambahkan dalam MTA. Trikalsium silikat dan dikalsium silikat
dibuat dari kapur (CaO) dan silika (SiO2). Beberapa bahan baku lainnya seperti
aluminium oksida (Al2O3) dan ferric oksida (Fe2O3
) dipanaskan dalam klinker untuk
membentuk empat fase yaitu trikalsium silikat, dikalsium silikat, trikalsium alumina
dan tetrakalsium aluminoferrit. MTA Berdasarkan International Organization for
Standardization (ISO 6876) (International Organization for Standardization, 1986)
dan the American Dental Association (ADA) nomor 30 (ANSI/ADA.1991) (Rao
dkk., 2009 dan Camilleri, 2010).
2.3.2. Kandungan logam berat pada MTA
MTA mengandung sedikit arsenik, timbal, kromium, zat besi. Zat besi
menjadi penyebab diskolorasasi gigi. Produk lain yang terbentuk sebagai hasil dari
reaksi setting MTA adalah kalsium hidroksida. Kalsium hidroksida terbentuk sebagai
hasil dari reaksi hidrasi MTA (Camilleri, 2008). Kalsium hidroksida mempunyai pH
tinggi dan bereaksi dengan ion fosfat untuk membentuk kalsium fosfat amorf yang
pada akhirnya menghasilkan kalsium hidrosiapatit (CDHA). CDHA terdiri dari
kalsium yang dilepaskan MTA, ion-ion fosfat dan hidroksil yang terkandung dalam
cairan tubuh. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa jenis dan morfologi dari
Universitas Sumatera Utara
CDHA dibentuk pada permukaan dentin dengan MTA dan tergantung pada pH, rasio
Ca atau P, dan jenis cairan permukaan MTA dengan dentin yang terpapar (Chang,
2012). MTA yang terhidrasi larut dalam Fosfat Buffered Saline (PBS) menghasilkan
lebih banyak mineral dibandingkan MTA larut dalam air suling (Han dan Okiji,
2010).
Kemampuan sealing ability MTA sangat baik, hal ini behubungan dengan
morfologi permukaaan MTA dan dentin (Bird, 2012). Reyes-Carmona dkk., 2010
melaporkan bahwa lapisan permukaan MTA dengan dentin membentuk tag like
structure sebagai hasil dari biomineralisasi. Bird dkk., 2012 juga melaporkan bahwa
lapisan hidroksiapaptit terbentuk antara MTA dan dentin, ini disebabkan karena
kemampuan sealing ability MTA yang sangat baik dengan adanya tag like structure
pada permukaan MTA dan dentin. MTA memproduksi lebih banyak tag like structure
daripada Portland cement. Tag like structure merupakan hasil dari pelepasan ion
dissolusi dari MTA yang mengakibatkan pertumbuhan dan nukleasi pada lapisan
apatit. Reyes-Carmona dkk., 2010 melaporkan bahwa ion kalsium yang dilepaskan
dari semen menyebar melalui tubulus dentin dan bereaksi dengan ion fosfat dalam
cairan jaringan, dan menghasilkan kalsium phosphat. Dan akhirnya, kalsium fosfat
masuk pada ion lain dan matang menjadi apatit berkarbonasi (CDHA). Hal ini terjadi
karena endapan mineral yang terbentuk pada lapisan mineral antara MTA dan dentin
yang menghasilkan ikatan kimia antara MTA dan dentin (Sarkar dkk., 2005). Han dan
Okiji (2011) menunjukkan bahwa dentin yang berkontak dengan MTA mengandung
Ca dan Si dari silikat kalsium. Ca dan Si yang terdapat pada dentin disebabkan karena
Universitas Sumatera Utara
bahan kimia dan struktural modifikasi, yang mengakibatkan resistensi asam tinggi
dan menyebabkan kekuatan fisik.
2.4 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR)
SIKMR dikembangkan untuk memperbaiki sifat fisik dan mengurangi
sensitivitas air dari semen ionomer kaca konvensional. SIKMR merupakan bahan
hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh diperkenalkan dengan penambahan monomer
seperti HEMA. Pada dasarnya SIKMR memiliki komposisi yang sama dengan semen
ionomer kaca konvensional hanya saja komponen air diganti menjadi campuran air
dengan HEMA. SIKMR dapat mengeras dengan dua cara, yaitu kombinasi asam dan
basa serta reaksi polimerisasi (Modena dkk., 2009).
Bahan ini mengandung bubuk kaca yang mampu memindahkan ion dan asam
polimer yang larut dalam air seperti asam akrilik. Bahan ini mengandung monomer
organik (biasanya HEMA) dan sistem inisiator. Inisiator umumnya sensitif terhadap
cahaya sehingga kebanyakan SIKMR mengeras dengan cara di sinar dengan
menggunakan lampu penyinaran biasa yang memancarkan sinar dengan panjang
gelombang 470 nm (Goldberg, 2008; Modena dkk., 2009).
SIKMR memiliki tahap-tahap reaksi pengerasan yang terjadi melalui reaksi
asam-basa antara bubuk alumino silikat dengan asam polikrilat, reaksi polimerisasi
dari partikel-partikel resin yang ada di dalam semen; reaksi antara logam poliakrilat
dengan resin hingga membentuk matriks semen yang lebih kuat. Dari ketiga reaksi
tersebut, sebenarnya SIKMR mengeras dengan sistem “Dual Cure” yaitu reaksi
Universitas Sumatera Utara
penggaraman (asam-basa) yang terjadi secara kimia dan polimerisasi yang terjadi
akibat penyinaran (Petri dkk., 2007).
Pada umumnya SIKMR dapat membentuk ikatan yang kuat ke dentin dan
enamel serta dapat melepaskan fluoride (F). Selain itu, bahan ini juga melepaskan
beberapa ion seperti Na, Ca, Sr, Al, P dan Si . Ion – ion tersebut juga dilepaskan oleh
SIK konvensional namun kadar ion phosphat yang dilepaskan SIKMR lebih rendah
dibandingkan dengan konvensional (Goldberg, 2008).
SIKMR ini terbukti bersifat sitotoksis terutama karena pelepasan HEMA
dalam kadar tinggi dan bersifat mutagenik, akan tetapi data mengenai mutagenitas
sangat sedikit dan sulit diinterpretasi. SIKMR menimbulkan respon inflamasi
persisten tingkat menengah hingga berat pada pulpa dan pembentukan zona nekrotik
yang besar (Nicholson dan Czarnecka,2008). Menurut Preenan, 2004 mengatakan
bahwa terjadi penetrasi SIKMR ke dalam tubulus dentin (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Gambar SEM Permukaan SIKMR dengan Dentin, Penetrasi SIKMR ke dalam Tubulus Dentin (Preenan, 2004)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Abu Sekam Padi
Padi merupakan produk utama pertanian di negara-negara agraris, termasuk
Indonesia. Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari butir padi dan produk
samping yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Dari hasil penelitian
sebelumnya telah dilaporkan bahwa sekitar 20% dari berat pada adalah sekam padi,
dan bervariasi dari 13% sampai 29 % dari komposisi sekam adalah abu sekam padi
atau rice husk ash (RHA) yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar (Putro dan
Prasetyoko, 2007). Sekam padi dikategorikan sebagai biomassa yang dapat
digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih
rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan
sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran lingkungan (BPPP,
2001). Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial yang dapat
digunakan sebagai bahan kedokteran (Indayani dkk., 2011). Nilai paling umum
kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 – 96 % dan apabila nilainya
mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk amorf terhidrat. Abu sekam
padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000
Menurut Balai Penelitian Pasca Panen (BPPP) sekam padi terdiri atas dua
belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses
penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau
limbah penggilingan.
C) akan
menghasilkan abu silika (Putro dan Prasetyoko, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan derajat pembakaran abu sekam padi, warna abu sekam dapat
diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-abu, putih dan merah jambu.
Berdasarkan hasil laboratorium, perbedaan warna ini mempunyai sifat permukaan
dan kadar penghidrat yang berbeda. Abu sekam padi berwarna merah jambu jauh
lebih reaktif dan mampu memberikan sifat pengerasan yang lebih baik (Zakaria,
2002).
Sekam mengandung senyawa organik berupa lignin dan kitin, selulosa,
hemiselulosa, senyawa nitrogen, lipid, vitamin B, dan asam organik, sedangkan
senyawa anorganik berupa silika (Makarim dan Suhartatik, 2009). Selulosa adalah
penyusun utama dinding sel tumbuhan. Senyawa ini tidak larut dalam air dan terdiri
atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang disatukan oleh ikatan β1→4 membentuk rantai
lurus panjang yang diperkuat oleh ikatan hidrogen. Selulosa yang terdapat pada
sekam padi sebanyak 34,34-43,8%. Berdasarkan komposisi kimiawi yang
terkandung, sekam bisa digunakan sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama
kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
berbagai industri kimia; sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama
kandungan silika (SiO2
) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan
semen dan digunakan sebagai sumber energi panas, kadar selulosa yang cukup tinggi
dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil (Kalapathy dkk., 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Silika abu sekam padi
Silikon dioksida (SiO2
) atau biasa juga disebut silika pada umumnya
ditemukan di alam dalam batu pasir, pasir silika atau quartzite. Zat ini merupakan
material dasar pembuatan kaca dan keramik. Silika merupakan salah satu material
oksida yang keberadaannya berlimpah di alam, khususnya di kulit bumi. silika bisa
dalam bentuk amorf dan kristalin. Terdapat tiga bentuk kristal silika, yaitu quartz
(kuarsa), tridymite, dan cristobalite. Pada tanaman, silika terakumulasi dalam bentuk
phytolith yang merupakan bentuk primer dari silika amorf. Silika disebut kristalin jika
mempunyai susunan atom yang teratur dan disebut amorf jika mempunyai susunan
atom yang kurang teratur (Kalapathy dkk., 2002).
Tabel 2.2 Komposisi Sekam Padi beserta Zat Organiknya (Chandra dkk., 2012)
Komponen Kandungan (%) Air 9,02
Protein kasar 3,03 Lemak 1,18
Serat kasar 35,68 Abu 17,71
Karbohidrat kasar 33,71 Karbon (zat arang) 1,33
Hidrogen 1,54 Oksigen 33,64 Silika 16,98
Sumber: (Chandra dkk., 2012)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Data Fisik Unsur Silika (Chandra dkk., 2012)
Volume atom 12,1 cm3/mol Titik didih 2630 K Titik lebur 1683 K Massa jenis 2,33 gr/cm
Kapasitas panas
3 0,7 J/gr K
Konduktivitas kalor 148 W/m K Sumber: (Chandra dkk., 2012)
Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas
mulai dari bidang elektronik, mekanis, medis, seni, dan bidang lainnya. Salah satu
pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di
udara, (Harsono, 2002, cit Sitorus, 2009). Selain itu, silika juga digunakan sebagai
penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan
polimer (Bansal dkk., 2006). Gugus -OH yang mampu membentuk ikatan hidrogen
dengan gugus yang sama dari molekul lain yang mengakibatkan silika dapat
digunakan sebagai pengering dan fasa diam pada kolom kromatografi (Narsito,
2005).
Silika abu sekam padi terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika
merupakan bahan semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-
sifat mekanis, morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang
mengandung silika dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk
mensekresi kolagen tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan
pembentukan tulang (Indahyani dkk., 2003).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian Indahyani dkk (2011) menyatakan bahwa silika yang
berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi
osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi.
2.5.2 Abu sekam padi nanopartikel (ASPn)
Nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika, Richard
P. Feynman pada tahun 1959. Erick Drexler kemudian memperkenalkan konsep
nanoteknologi kepada masyarakat luas melalui buku yang berjudul “Engine of
Creation” pada pertengahan tahun 1980. Kata depan nano-berasal dari bahasa yunani
yang berarti kerdil dan satu nanometer sama dengan 10-9
Nanopartikel dikelompokan menjadi nanopartikel organik dan nanopartikel
anorganik. Nanopartikel organik meliputi nanopartikel karbon, sedangkan
nanopartikel anorganik meliputi nanopartikel logam mulia (seperti emas dan perak)
dan nanopartikel semikonduktor (seperti titanium dioksida dan zinc oksida).
Nanopartikel yang lebih berkembang adalah nanopartikel anorganik dengan
fungsinya yang beraneka ragam. Silika pada sekam merupakan nanopartikel
anorganik yang telah diuji sebagai alat yang berpotensi dalam dunia medis, yaitu
m. Nanopartikel merupakan
produk yang dihasilkan dari nanoteknologi, sehingga nanopartikel dianggap suatu
bahan yang mempunyai dimensi ukuran kurang dari 100 nm. Penelitian mengenai
nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas, seperti
di bidang lingkungan, biomedis, optis, dan elektronik. Hal ini juga ditentukan oleh
ukuran, bentuk, dan kristalinitas (Saunders, 2009).
Universitas Sumatera Utara
mampu menghantarkan obat sampai ke target dan mengontrol pelepasan obat.
Aplikasi lainnya, yaitu sebagai antimikroba, optik, elektronik, biosensor, biolabel,
biofiltrasi, magnetik, mekanik, katalis, bioremediasi, pereduksi limbah industri,
sumber energi (Moghaddam, 2010).
2.6 Kitosan
Kitosan (poly-β-1,4-glukosamin) merupakan biopolimer alami yang banyak di
jumpai di alam setelah selulosa dan merupakan hasil N-diasetilisasi dari kitin. Kitin
banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras seperti udang, rajungan, kepiting,
blangkas, serangga, moluska, dan dinding jamur seperti klas zygomycetes. Bahan ini
pertama kali ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859 (Gambar 2.7). Komposisi
kitosan terdiri dari Karbon, Hidrogen, dan Nitrogen (Tabel 2.3) serta dapat larut
dalam pelarut asam seperti asam asetat, asam formiat, asam laktat, asam sitrat dan
asam hidroklorat. Kitosan tidak larut dalam air, alkali dan asam mineral encer kecuali
di bawah kondisi tertentu yaitu dengan adanya sejumlah pelarut asam sehingga dapat
larut dalam air, methanol, aseton dan campuran lainnya. Kelarutan kitosan
dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi. Kitosan dalam bentuk
terprotonisasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai
polielektrolit kationik dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan
negatif dan biomolekul permukaan (Agusnar, 1997; Sugita dkk., 2009).
Universitas Sumatera Utara
CHITIN CHITOSAN
Gambar 2.6 Struktur Bangun Kitin dan Kitosan (Petri dkk., 2007) Tabel 2.4 Komposisi Kimia Kitosan (Agusnar, 1997). Dalam persen
Karbon (C) Hidrogen ( H) Nitrogen (N)
Kitosan 40,30 5,83 6,35
Sumber: (Agusnar, 1997)
Kitosan tidak beracun dan memiliki sifat biokompatibel dan biodegradble
serta mucoadhesion yang dapat menjadi keuntungan bagi aplikasi biomedis (Modena
dkk., 2009).
Pawlowska cit Petri dkk., 2007 mengatakan bahwa bahan primer yang telah
ditambahkan dengan kitosan dan diaplikasikan pada pulpa gigi tikus dapat
menyebabkan sedikit perubahan patologis reversibel.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Kitosan blangkas (Tachypleus gigas)
Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan
bermolekul rendah, kitosan bermolekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi.
Kitosan bermolekul rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv dan kitosan
bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv berasal dari hewan
laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan.
Kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan
laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas (Gambar 2.8)
(Trimurni dkk., 2006).
Gambar 2.7 Kitosan Blangkas (Trimurni dkk., 2006)
Kitosan blangkas merupakan kitosan bermolekul tinggi yang diperoleh dari
cangkang blangkas. Blangkas disebut juga dengan Horseshoe-crab. Kitosan blangkas
yang diuji oleh Trimurni Abidin dkk., 2006 mempunyai derajat deastilisasi 84,20%
dengan berat molekul 893.000 Mv. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kitosan
blangkas mempunyai berat molekul yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa kitosan blangkas yang
mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan
kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang
memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti dentinoblast untuk memudahkan
migrasi dan proliferasi sel-sel pulpa dentinoblast.
2.6.2 Kitosan nanopartikel
Dalam perkembangannnya, kitosan dimodifikasi dalam bentuk magnetik
Kitosan nanopartikel dengan ukuran partikelnya 100-400 nm untuk meningkatkan
daya absorbsinya. Kitosan nanopartikel dapat dilihat mikrostrukturnya dengan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope).
Szeto dan Zhigang Hu cit Siregar (2009) menyiapkan kitosan nanopartikel
dengan melarutkan kitosan dalam larutan asam lemah ditambahkan larutan yang
bersifat basa, seperti amoniak, NaOH, atau KOH distirer dengan kecepatan 300 rpm
sehingga diperoleh gel kitosan putih dan dibilas dengan aquadest sampai netral
kemudian ditempatkan dalam ultrasonic bath untuk memecah partikel-partikel gel
kitosan menjadi lebih kecil. Cheung cit Siregar (2009) menyiapkan kitosan nano
dengan metode lain, yaitu dengan menambahkan larutan tripolipospat ke dalam
larutan kitosan sehingga diperoleh emulsi kitosan sambil distirer dengan kecepatan
1200 rpm, dan ditambahkan asam asetat agar pH-nya 3,5 dengan hasil berupa suspen
kitosan.
Universitas Sumatera Utara
Lu E-Shi cit. Ningsih (2010) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan
menambahkan larutan tripolipospat (TPP) kedalam larutan suspensi kitosan yang
dibuat dengan menambahkan asam asetat, kemudian distrier dengan kecepatan 1200
rpm terbentuk emulsi.
Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni Abidin dkk, 2006 menunjukkan
bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi
dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai
sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti odontoblast
untuk memudahkan migrasi dan proliferasi.
Ada yang menyebutkan (Tiyaboonchai, 2003) kitosan
nanopartikel dapat dipakai sebagai pembawa penyaluran obat karena stabilitasnya
yang baik, rendah toksik, metode persiapannya sederhana, dan dapat mengikuti rute
pemberian obat. Kitosan nanopartikel sebagai agen penyalur obat sangat bermanfaat
karena kitosan nano merupakan biopolimer alam yang biokompatibel, dapat larut
dalam air, dapat menyalurkan obat dalam bentuk makromolekul, mempunyai berat
molekul yang bervariasi sehingga mudah dimodifikasi secara kimia, membantu
absorpsi antara substrat dan membran sel, serta ukuran partikel nanonya memiliki
efektivitas yang lebih baik.
Henny dkk., 2013 melakukan penelitian dengan menambahkan kitosan molekul
tinggi nano yang diperoleh dari blangkas (Tachypleus gigas) 0,15% berat kitosan
pada SIKMR dan SIKMRn dan efeknya terhadap proliferasi sel. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan viabilitas sel yang signifikan pada
SIKMR dan SIKMRn yang ditambahkan 0,015% berat kitosan nano dari blangkas.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Alat Uji
2.7.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) merupakan mikroskop elektron yang
mampu menghasilkan gambar beresolusi tinggi dari sebuah permukaan sampel.
Gambar yang dihasilkan oleh SEM digunakan untuk menentukan struktur permukaan
dari sampel. SEM menerapkan prinsip difraksi elektron dengan pengukuran sama
seperti mikroskop optik. Prinsip kerjanya adalah elektron yang ditembakkan akan
dibelokkan oleh lensa elektromagnetik dalam SEM. Sistem kerja SEM terdiri atas
sumber cahaya elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV. Sumber cahaya
elektron dihasilkan di dalam suatu penembak elektron yang berbentuk filamen
pemanas berupa tabung tanpa udara. Sumber cahaya elektron dipercepat dan
difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang berada di atas objek. Elektron
dikumpulkan oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase (energi listrik), kemudian
disebar (Gambar 2.8) (Radiological and Eviromental Management,2010).
SEM dapat menghasilkan gambaran permukaan sampel dengan resolusi yang
sangat tinggi dan dapat mengungkapkan detail berukuran kurang dari 1 nm.
Gambaran sampel diambil (captured) secara digital dan akan ditampilkan pada layar
monitor dan disimpan di dalam komputer. Pada gambar ditampilkan skema bagian-
bagian dari SEM. Pembesaran pada SEM dapat dikendalikan mulai dari 10 sampai
500.000 kali. SEM memiliki kondenser dan lensa objektif yang berfungsi
memfokuskan sinar kepada suatu tempat dan bukan menggambar keseluruhan
spesimen (Materials Evaluation and Engineering, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Spesimen yang akan digambar oleh SEM harus dapat mengalirkan listrik
(electrically conductive). Spesimen yang terbuat dari metal hanya memerlukan sedikit
tindakan preparasi untuk digambar oleh SEM. Tetapi bagi spesimen yang tidak dapat
mengantarkan listrik harus dilapisi (coating) dengan suatu zat yang bersifat sebagai
konduktor. Pelapis yang biasa digunakan adalah emas, aloi emas/paladium, platinum,
osmium, iridium, tungsten, chromium dan graphite. Syarat agar SEM dapat
menghasilkan citra permukaan yang tajam adalah permukaan benda harus bersifat
sebagai pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder ketika ditembak
dengan berkas elektron. Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika
permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil permukaan akan tampak
dengan jelas. Sementara, pada profil permukaan bukan logam untuk diamati dengan
SEM, permukaan material tersebut harus dilapisi dengan logam. Film tipis logam
dibuat pada permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan berkas
elektron. Metode pelapisan yang umum dilakukan adalah evaporasi dan sputtering .
SEM memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mampu menggambarkan area yang
besar secara komparatif dari spesimen, mengukur komposisi dan sifat dasar dari
spesimen, serta memiliki resolusi tinggi (MEE, 2009; REM, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Cara Kerja SEM.(Radiological and Evironmental Management Purdue University, 2010)
Sinar elektron dihasilkan pada bagian atas mikroskop oleh electron gun.
Elektron akan mengikuti jalur vertikal melalui mikroskop, yang tetap dalam keadaan
vakum. Sinar melewati area elektromagnetik dan lensa, yang memfokuskan sinar
turun ke arah sampel. Ketika sinar mengenai sampel, elektron dan sinar-X akan
dikeluarkan dari sampel. Detektor akan mengumpulkan sinar-X, backscattered
electron, dan elektron sekunder. Detektor akan merubahnya menjadi sinyal yang
menghasilkan gambaran dan selanjutnya ditampilkan pada layar monitor (Lawes,
1987; Radiological and Evironmental Management Purdue University, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Energy Dispersive X-ray (EDX)
Energy Dispersive X-ray (EDX) adalah teknik mikroanalisis kimia yang
digabungkan dengan scanning electron microscope (SEM). EDX merupakan suatu
alat yang dapat mendeteksi sinar-X yang keluar dari sampel selama pemaparan
pancaran elektron untuk mengkarakteristikkan komposisi kimia dari sampel yang
dianalisa. Sistem ini terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu detektor sinar-X yang
dipisahkan dari ruang SEM dengan jendela polimer yang sangat tipis, untaian
pengolahan getaran yang menentukan energi sinar-X yang dideteksi, dan peralatan
analisa yang menginterpretasikan data sinar-X dan menampilkannya pada layar
komputer. Alat ini dikendalikan oleh suatu program Windows-based user interface
(UI) yang dinamakan Genesis. Program ini terletak di dalam komputer EDX
(Materials Evaluation and Engineering, Inc. 2009).
Informasi analisa yang dapat diperoleh adalah analisa kualitatif, analisa
kuantitatif, pemetaan elemen dan analisa profil garis. Untuk analisa kualitatif, nilai
energi sinar-X sampel dari spektrum EDS dibandingkan dengan karakteristik energi
sinar- X yang sudah diketahui untuk mendapatkan elemen yang terdapat pada sampel.
Hasil kuantitatif dapat diperoleh dari hitungan sinar-X relatif pada karakteristik
tingkat energi dari komponen sampel (Materials Evaluation and Engineering, Inc.
2009).
Spektrum EDX ditampilkan secara digital membentuk sumbu-X yang
menggambarkan energi sinar-X dan sumbu Y menggambarkan intensitas
(Gambar 2.9) (Russ, 1984).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Spektrum EDX yang Menunjukkan Puncak dari Na,Al,dan S (Russ, 1984)
Universitas Sumatera Utara
2.8 Landasan Teori
MTA SIKMR KITOSAN ASP
HEMA Sitotoksik Flour Bahan hibrid yang lebih kuat & tidak rapuh
Komposisi: C, O, F, Na, Al, Si
Mikrostruktur SIKMR-dentin : Resin tag
Asam amina Anti toxic Biokompatibel Menstimulasi dentin reparatif Produk alam mudah didapat dan relatif murah
Komposisi: hidroksil & asetamida, C, H, N
-Silika tinggi (SiO2
>>>) Osteoinduksi Biokompatibilitas Biodegradasi Nilai absorbansi paling tinggi Produk alam mudah didapat dan relatif murah
Komposisi: Si>>>, C, H, O
biokompatibel biodegradabel sealing ability Mahal Setting time lama Mengandung Arsen Mengandung logam berat Komposisi : Ca, P, Si, O, Cl, C, Al, Mg, Fe
Mikrostruktur MTA-dentin : tag like structure
Bahan Bioaktif
Proliferasi sel
Dentinogenesis
(Dentin reparatif)
Universitas Sumatera Utara
2.9 Kerangka Konsep
Dentin yang terbuka akibat cedera fisiko-mekanis dapat diberikan ASPn +
KMTn sebagai bahan kaping pulpa indirek dengan tujuan untuk merangsang
dentinogenesis. ASP merupakan sumber silika potensial yang dapat digunakan
sebagai bahan kedokteran gigi dengan kandungan silika (SiO2) dalam ASP adalah
94–96 %. Silika terbukti mempengaruhi pembentukan tulang dan gigi serta
merupakan bahan semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-
sifat mekanis, morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Dan berdasarkan
penelitian Indahyani dkk (2011) menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam
padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan
mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi. Kitosan memiliki sifat-sifat seperti
biokompatibel dan biodegradble serta mucoadhesion yang dapat menjadi keuntungan
bagi aplikasi biomedis. Kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat
menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang
padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti
dentinoblas untuk memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel pulpa dentinoblas
(Trimurni, 2006).
- MTA - SIKMR - ASPn + KMTn
Mikrostruktur
&
komposisi kimia
Karakterisasi Biomaterial
Universitas Sumatera Utara
Berkembangnya bahan material yang bergerak ke arah nanopartikel, maka
dengan menggabungkan ASPn + KMTn sebagai perancah diharapkan dapat tercipta
biomaterial baru yang dapat berinteraksi dengan permukaan dentin, maka untuk
melihat mikrostruktur permukaan jaringan dentin dengan ASPn+KMTn diperlukan
alat uji yaitu SEM dan untuk mengetahui komposisi kimia menggunakan EDX.
2.10 Hipotesis Penelitian
Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu :
1. Ada perbedaan mikrostruktur permukaan jaringan dentin yang
diaplikasikan biomaterial gabungan ASPn + KMTn dengan MTA dan
SIKMR.
2. Ada perbedaan kandungan aktif dalam mempertahankan jaringan
pulpodentinal kompleks antara biomaterial gabungan ASPn + KMTn
dengan MTA dan SIKMR.
Universitas Sumatera Utara
Recommended